Anda di halaman 1dari 11

Bab I Pendahuluan

1.1 latarbelakang Masalah


Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas tulang, kebanyakan fraktur
terjadi akibat trauma, beberapa fraktur terjadi secara sekunder akibat proses penyakit seperti
osteoporosis yang menyebabkan fraktur-fraktur yang patologis (Engram, 1998 : 266).
Penyebab fraktur adalah trauma, yang dibagi atas trauma langsung, trauma tidak
langsung, dan trauma ringan. Trauma langsung yaitu benturan pada tulang, biasanya
penderita terjatuh dengan posisi miring dimana daerah trokhater mayor langsung
terbentur dengan benda keras (jalanan). Trauma tak langsung yaitu titik tumpuan
benturan dan fraktur berjauhan, misalnya jatuh terpeleset di kamar mandi. Trauma ringan
yaitu keadaan yang dapat menyebabkan fraktur bila tulang itu sendiri sudah rapuh atau
underlying deases atau fraktur patologis (Sjamsuhidayat dan Wim de Jong, 2010).
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat pada tahun 2013- 2017 terdapat 5,7
juta orang meninggal dunia dan 1,3 juta orang meninggal akibat kecelakaan lalu lintas.
Fraktur merupakan suatu kondisi dimana terjadinya inkontinuitas integritas tulang.
Penyebab terbanyak fraktur adalah kecelakaan, baik itu kecelakaan kerja, kecelakaan lalu
lintas dan sebagainya.
Menurut (Riskesdas, 2018) dari sekian banyak kasus fraktur di Indonesia, fraktur pada
ekstermitas bawah akibat kecelakaan memiliki prevalensi yang paling tinggi diantara
fraktur lainnya yaitu sekitar 67, 9%. Dari 92.976 orang dengan kasus fraktur ekstermitas
bawah akibat kecelakaan, 19.754 orang mengalami fraktur pada Femur, 14.027 orang
mengalami fraktur cruris, 3.775 orang mengalami fraktur tibia, 970 orang 2 mengalami
fraktur pada tulang-tulang kecil dikaki dan 337 orang mengalami fraktur fibula.
Di Jawa Barat untuk kasus fraktur femur yang paling sering yaitu sebesar 39% diikuti
oleh fraktur humerus (15%), fraktur tibia dan fibula (11%), dimana penyebab terbesar
fraktur femur adalah kecelakaan lalu lintas yang biasanya disebabkan oleh kecelakaan
mobil, motor, atau kendaraan rekreasi (62,6%) dan jatuh dari ketinggian (37,3%) dan
mayoritas adalah pria (63,8%). Insiden fraktur femur pada wanita adalah fraktur
terbanyak kedua (17,0 per 10.000 orang pertahun) dan nomor tujuh pada pria (5,3 per
orang per tahun). Puncak distribusi usia pada fraktur femur adalah pada usia dewasa (15-
34 tahun) dan orang tua (diatas 70 tahun) (Depkes, 2014)

Salah satu penatalaksanaan pada kasus fraktur yaitu dengan melakukan operasi ORIF
(Open Reduction Internal Fixition) atau yang lebih dikenal dengan fiksasi terbuka. ORIF
adalah sebuah prosedur bedah medis, yang tindakannya mengacu pada operasi terbuka
untuk mengatur tulang, seperti yang diperlukan untuk beberapa patah tulang, fiksasi
internal mengacu pada fiksasi sekrup dan piring untuk mengaktifkan atau memfasilitasi
penyembuhan (Brunner & Suddart, 2003, dalam RA Maghfiroh, 2016). Permasalahan
paska pembedahan ortopedi berkaitan dengan nyeri, perfusi jaringan, promosi kesehatan,
mobilitas fisik, dan konsep diri (Smeltzer et al, 2010). Permasalahan yang terjadi secara
keseluruhan mengakibatkan perubahan status fungsional. ORIF merupakan metode
penatalaksanaan bedah patah tulang yang paling banyak keunggulannya (Price & Wilson,
2003 dalam Ropyanto, Sitorus & 3 Eryano, 2013). Namun, meski begitu ORIF pun memiliki
dampak yang cukup siginifikan pada pasien yang menjalaninya. Pada pasien pasca ORIF
biasanya akan mengalami gangguan pada musculoskeletal baik secara fungsional maupun
bentuk yang bervariasi tergantung dari jenis fraktur dilihat dari tulang, sendi, dan otot
yang secara keseluruhan menimbulkan penurunan mobilitas. Faktor-faktor yang
mempengaruhi status fungsional paska ORIF pada fraktur ekstremitas bawah meliputi
usia, lama menjalani perawatan paska operasi, jenis fraktur, nyeri, kelelahan, motivasi,
fall-efficacy, serta dukungan keluarga (Ropyanto, Sitorus & Eryano, 2013).
1.2 Tujuan Penulisan
1.3 Manfaat Penulisan

Bab II Tinjauan Pustaka


II.1 Konsep Praktur
II.1.1 Pengertian
Fraktur adalah pemisahan atau patahnya tulang (Dongoes, 2000). Fraktur adalah
setiap retak atau patah pada tulang yang utuh (Reeves, 2001). Fraktur adalah
terputusnya kontinuitas tulang. Kebanyakan fraktur adalah akibat dari trauma,
beberapa fraktur sekunder terhadap proses penyakit seperti osteoporosis yang
menyebabkan fraktur-fraktur yang patologis (Enggram1998).
II.1.2 Etiologi
Menurut Appley & Solomon (1995) yang dapat menyebabkan frakturadalah
sebagai berikut:
1. Traumatik
Sebagian besar fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba dan yang
dapat berupa pukulan, penghancuran penekukan, penarikan berlebihan. Bila
terkena kekuatan langsung tulang dapat patah pada tempat yang terkena dan
jaringan lunaknya pun juga rusak
2. Kelelahan atau tekanan berulang-ulang
Retak dapat terjadi pada tulang seperti halnya pada logam dan benda lain
akibat tekanan yang berulang-ulang. Keadaan ini paling banyak ditemukan pada
tibia fibula, terutama pada atlit atau penari.
3. Kelemahan dan abnormal pada tulang (patologis)
Fraktur dapat terjadi pada tekanan yang normal jika tulang itu lemah atau
tulang itu sangat rapuh
II.1.3 Manifestasi Klinik
MenurutApley dan Solomon (1995) manifestasi klinis yang muncul:
1. Kelemahan pada daerah fraktur.
2. Nyeri bila ditekan atau bergerak.
3. Krepitasi.
4. Deformitas.
5. Perdarahan (eksternal atau internal)
6. Syok.
II.1.4 klsifikasi fraktur
1. Fraktur ter tutup
2. Fraktur terbuka
II.i.4 klasifikasi fraktur terbuka

Menurut Gustilo dan Anderson, fraktur terbuka dapat diklasifikasikan menjadi 3, yaitu :
 Derajat I : Fraktur terbuka dengan laserasi < 1 cm yang relatif bersih

 Derajat II : Fraktur terbuka dengan laserasi > 1 cm, tetapi tanpa kerusakan jaringan mayor
atau avulsi

 Derajat III : Fraktur terbuka dengan kerusakan yang berat, baik fraktur segmental terbuka,
fraktur terbuka dengan kerusakan jaringan lunak ekstensif, ataupun amputasi traumatik [2]

II.1.4 Proses penyembuhan Fraktur


Menurut Apley dan Solomon (1995) ada lima tahap proses penyembuhan fraktur antara
lain sebagai berikut:
1. Tahap pembentukan hematom
Dimulai setelah fraktur sampai hari kelima terjadi perdarahan,dalam 24 jam
pertama terbentuk darah dan fibrin yang masuk ke daerah fraktur, setelah 24 jam
pertama, suplai darah meningkat ke area fraktur dan terbentuk hematom. Hematom
berkembang menjadi jaringan granulasi
2. Tahap proliferasi seluler
Proses ini terjadi sampai hari ke dua belas. Pada area fraktur, periosteum
endosteum dari sumsum tulang yang mensuplay sel berubah menjadi fibro kartilago,
kartilago hialin dan jaringan penunjang fibrosa, terjadinya osteogenesis dengan
cepat.
3. Tahap pembentukan kalus
Enam sampai sepuluh hari setelah cidera, jaringan granulasi berubah menjadi
bentuk pra kalus. Pra kalus menjadi puncak ukuran maksimal pada empat belas
sampai dua puluh satu hari setelah cidera.
4. Tahap osifikasi kalus
Ini terjadi sampai minggu keduabelas, membentuk osifikasi kalus intermediet
pada minggu ketiga sampai seluruh kalus menutupi tulang.
5. Tahap konsolidasi
Dengan aktifitas osteoblas dan osteoklast, kalus menalami pembentukan tulang
sesuai bentuk aslinya.
II.1.5 Komplikasi Fraktur
Komplikasi fraktur menurut Handerson (1997), Brunner dan Suddart(1995) adalah:
Syok, infeksi, nekrosis vaskuler, mal union, non union, delayed union, kerusakan arteri,
sindroma kompartemen, sinrdoma emboli lemak.
II.2 Konsep ORIF
II.2.1 Pengertian
Open Reduction Internal Fixation (ORIF) adalah sebuah prosedur bedah medis dengan
pemasangan fiksasi internal yang dilakukan ketika fraktur tersebut tidak dapat direduksi
secara cukup dengan close reduction. Fungsi ORIF adalah mempertahankan posisi fragmen
tulang agar tetap menyatu dan tidak mengalami pergerakan (Firdaus & Pribadi, 2016).
Penanganan pada kondisi fraktur yang bergeser adalah reduksi, yaitu
manipulasi tulang untuk mengembalikan kelurusan, posisi, dan panjang dengan
mengembalikan fragmen tulang sedekat mungkin (Nampira, 2014).
Reduksi terbuka fraktur atau disebut juga open reduction, internal fixation (ORIF)
merupakan sebuah tindakan invasif yang seringkali dilakukan untuk membuka jalan
bagi fiksasi internal. Reduksi terbuka merupakan tindakan yang invasif sehingga
seringkali dipertimbangkan bila reduksi tertutup tidak memungkinkan.

II.2.3 Indikasi
Indikasi reduksi terbuka fraktur atau disebut juga open reduction, internal
fixation (ORIF)
a. untuk memperbaiki alignment tulang sehingga memungkinkan penyembuhan
fraktur berupa union tulang dan memastikan fungsi kembali baik.
b. untuk memberi jalan agar fiksasi internal dapat dilakukan, misalnya pada keadaan
tatalaksana dengan reduksi tertutup gagal, terdapat fragmen artikuler besar yang
memerlukan perubahan posisi yang akurat, dan traksi (avulsi) fraktur dimana
fragmen terpisah.
c. Tatalaksana non-operatif gagal.
d. Fraktur tidak stabil yang tidak dapat dipertahankan di posisi reduksi.
e. Fraktur displaced intra-artikuler lebih dari 2 mm.
f. Pasien dengan riwayat fraktur yang penyembuhannya buruk dengan tatalaksana
non-bedah.
g. Fraktur avulsi besar yang mengganggu fungsi otot-tendon atau ligamen di sebuah
sendi
h. Fraktur patologis
i. Trauma multipel .
j. Fraktur terbuka yang tidak stabil, tipe II (fraktur berat dengan kontusi dan
pembengkakan jaringan lunak dalam) atau tipe III (fraktur sangat berat dengan
kerusakan jaringan lunak yang berat dan ancaman sindroma kompartemen)
k. Fraktur pada pasien yang memiliki toleransi rendah terhadap kondisi imobilisasi
pada jangka waktu yang Panjang
l. Fraktur di daerah pertumbuhan pada pasien yang memiliki risiko gangguan
pertumbuhan dan perkembangan tulang
m. Non Union atau malunion  yang gagal respon terhadap tatalaksana non operatif (1.
Fraktur yang tidak dapat direduksi kecuali dengan operasi. 2. Fraktur yang tidak
stabil secara bawaan dan cenderung mengalami pergeseran kembali setelah
reduksi, selain itu juga fraktur yang cenderung ditarik terpisah oleh kerja otot.)
II.2.4 Kontra indikasi
a. Adanya infeksi aktif (lokal atau sistemik), atau osteomyelitis.
b. Jaringan lunak tidak memfasilitasi tindakan bedah dengan baik, misalnya karena kualitas
jaringan yang buruk akibat kerusakan saat trauma, atau luka bakar, pembengkakan yang
berlebih, jaringanparut operasi sebelumnya, atau infeksi yang aktif.
c. danya kondisi medis yang merupakan kontraindikasi tindakan operatif atau anestesi,
contohnya baru terkena infark miocar
II.2.5 Kompllikasi
a. Komplikasi Dini
Komplikasi dini yang mengancam nyawa terutama langsung disebabkan
oleh kejadian fraktur. Komplikasi yang mengancam nyawa yang dapat terjadi
termasuk perdarahan yang berat di pelvis atau femur, atau kontusio paru apabila
terjadi fraktur multipel iga.
Komplikasi awal yang dapat terjadi juga mencakup luka pada saraf dan
sindroma kompartemen. Saraf mudah terkena luka karena lokasi nya yang
berdekatan dengan lokasi fraktur. Contohnya, nervus medianus sering diasosiasikan
dengan fraktur radius distal. Oleh karena itu, fungsi sensorik dan motorik sebaiknya
diperiksa saat pemeriksaan awal.
Sindroma kompartemen terjadi saat ada peningkatan tekanan akibat adanya
cairan intrakompartemen. Komplikasi ini sering terjadi pada fraktur tulang panjang
seperti fraktur tibia, radius distal, daerah suprakondiler humerus dan femur. Selain
dari peningkatan tekanan akibat cairan intrakompartemen, penggunaan bidai juga
dapat menyebabkan sindrom kompartemen.
b. Komplikasi Lambat/Jangka Panjang
Komplikasi lambat atau jangka panjang yang dapat terjadi mencakup gangguan
tromboembolisme, infeksi, dan gangguan penyembuhan tulang.
II.2.6 Edukasi
Beberapa hal yang perlu disampaikan pada pasien yang dilakukan ORIF
a. Akan dilakukan insisi untuk mendapatkan akses ke tulang yang fraktur
b. Dilakukan reduksi terbuka yaitu sebuah prosedur dimana bagian-bagian tulang
diselaraskan
c. Sebuah alat fiksasi seperti plate atau screw dipasang untuk menahan tulang-tulang
menjadi satu
d. Ekstremitas kemudian diimobilisasi menggunakan cast atau splint
e. Edukasi pasien juga mencakup informasi mengenai keadaan weight bearing atau
penyangga berat yang perlu diperhatikan.
f. Fungsi dan range of motion (ROM) ekstremitas yang fraktur akan memerlukan
waktu dan latihan agar dapat berfungsi kembali seperti semula. Pasien harus diberi
edukasi bahwa kepulangan dari rumah sakit tidak berarti akhir dari pengobatan.
Pasien memerlukan latihan dan kontrol rutin dengan bagian rehabilitasi untuk
menentukan perawatan yang sesuai.
g. Pasien dapat membantu penyembuhan melalui adjunctive therapy seperti
mempertahankan nutrisi yang baik termasuk mengkonsumsi vitamin D dan
kalsium, serta untuk berhenti merokok dan mengurangi konsumsi alkohol.
II.2.7 Persiapan Pasien
a. Persiapan pasien lainnya yang perlu dilakukan serupa dengan protokol pre-operatif
standar, yaitu memeriksa adanya komorbiditas seperti pemeriksaan darah lengkap,
faktor pembekuan darah, gula darah, dan rontgen area fraktur thorax. Pasien juga
direkomendasikan untuk puasa cairan 2 jam sebelum operasi, dan puasa makanan
padat sejak 6 jam sebelum operasi.
b. Antibiotic propilaksis
c. Persiapan darah transfuse
d. Side marking
e. Pengaturan posisi pasien sesuai rencana tindakan
f. Pemasangan cateter urine bila diperlukan
g. Pencukuran dan pencucian area operasi
h. Pemasangan alat penunjang yang menempel pada tubuh

II.2.8 Posisi
Posisi tidur pasien saat dilakukan tindakan ORIF tergantung tulang yang
mengalami fraktur, lokasi dan dari arah mana operator melakukan aprouch sesuai
anatomical pasien sehingga memudahkan tindakan, ada beberapa posisi yang
digunakan diantaranya :
a. Posisi B”chair dilakukan pada orif fraktur clavicula,intra medular nailing humerus,
prosedur orif humerus dengan aprouch anterior atau lateral
b. Posisi supine pada prosedur orif extrimitas atas, tulang panggul dan extrimitas
bawah dengan aprouch anterior atau lateral
c. Posisi lateral kiri atau kana pada prosedur orif calcaneus, talus, proksimal femur
dengan aprouch lateral
d. Posisi pron untuk prosedur orif apruch posterior
II.2 persiapan ruangan
a. Standar ruangan operasi kelembaban udara 50 – 60 % , suhu ruangan 20 – 22
°C, bertekanan positif atau negative
b. Semua alat penunjang diseting berlawanan dengan area operasi
II.2. 9 Persiapan Alat
a. Unit meja operasi mobail lengkap dengan asesoris
b. Unit elektro surgical monopolar dan bipolar
c. Unit tourniquet
d. Unit table traction
e. Unit suction
f. Unit zet lapase
g. Unit doek steril
h. Unit bor
i. Unit set wire
j. Unit pemindai rontgent
k. Unit troli atau meja instrument

II.2.10 Persiapan insturumen


Untuk mempermudah prosedur kerja Instrument yang digunakan pada tindakan
pembedahan ORIF dikelompokan berdasarkan jenis implant yang digunakan dan
berdasarkan urutan kerja/tindakan diantaranya:
a. Berdasarkan jenis impant
- Larg fragment untuk fraktur humerus, femur dan tibia.
- Small fragment untuk fraktur clavicula, scavula, velvis, radius, ulna, fibula,
talus dan calcaneus.
- Mini fragment untuk fraktur digiti, metacarfal, metatarsa, mandibula, maksila
( bedah mulut ,NC)
b. Berdasarkan urutan kerja/tindakan
- Basic surgical instrument
- Basic orthopaedic instrument
- Basic insersi instrument
II.2.11 Persiapan Implant
a. Plat
b. Screc
c. Ss wire
d. K wire
e. washer
f. Intermedular nail
II.2.12 persiapan bahan habis pakai
a. Sarung tangan orthopaedic sesui ukuran
b. Bisturi no 10,11,15, 20 sesuai kebutuhan
c. Benang untuk jahitaan menutup / menyambung otot vasia,tendon, subkutis dan
kulit
d. Vacum drain no 14,12, 10 dan 8. ukuran sesuai kebutuhan
e. Elastis verban ukuran sesuai kebutuhan
f. Elastomol ukuran sesuai kebutuhan
g. Spongostan
h. Kassa
i. Spuit 10 cc
j. Kateter urine set
k. Bone graff ( bila diserta graff tulang)
l. Daryantule
m. Antibiotic dan bone semen ( bila disertai pemasangan antibiotic beat)
n. Amsling bila diperlukan
o. Gifsona ( bila disertai pemasangan giff )
p. Anti coagulan dan abocat ( bila disertai rupture arteri)
II.2.12 persiapan basic surgery instrument
a. Scaple no 2, 4 atau sesuai kebutuhan 1 atau2
b. Pinset sirurgis 2
c. Pinset anatomis 2
d. Gunting metcenbow 1
e. Gunting benang 1
f. Arteri clamp2
g. Kocher 2
h. Skin hook ( skin retractor)2
i. Langen bach (retractor) 2
j. Needle holder 2
k. Sendok curettage / bone curet
II2.12. persiapan basic orthopaedic instrument
a. Rasparatorium
b. Cobra / lowman
c. Bone holding
d. Keyep/bone retraktor
e. Pointed ( bila fraktur multiple pragment)
f. Bila non unio atau mal union fraktur maka disediakan :
- ronger
- tatah
- palu
- saw
g. banding
h. template
i. bending
II.2.12 persiapan basic insersi instrument
a. Unit bor
b. Mata bor/drill sesuai ukuran
- Dril 3,5inc untuk screw 4,5 inc cortical dan canceleous
- Dril 3,7-4,2 inc untuk screw 4,5 inc locking
- Dril 2,5 inc untruk screw 3,5 cortical dan cancellous
- Dril 2,7 – 3,2 inc untuk screw 3,5 inc locking
- Dril 1,4 inc untuk screw 2,4 inc
- Dril 1,0 inc untuk screw 1,6 inc
c. Sliver / dril guide sesuai ukuran drill yang digunakan ( sliver cortical,
compresing, variable angle dan locking)
d. Penduga ( deep gaid)
e. Screw driver ( locking dan non locking)
II.2.12 persiapan unit bor terdiri dari
a. Handle/ mesin bor
b. Consol batrai
c.
II.2.12 prosedur tindakan
a. Memakai APD lengkap
b. Mengatur posisi tidur klien sesuai dengan rencana tindakan ORIF
c. Memasang manset tourniquet,seting tekanan extrimitas atas 250mmhg dan etrimitas
bawah 350mmhg
d. Memasng dan setting suction, cauter dan perlengapan lainnya
e. Mencuci area operasi dengan hibiscrub 4%, H2O2 3%, NACL 0,9%, dan alcohol 70%
f.Cucitangan bedah
g. Gauning
h. Gloving
i.Seting instrument steril terdiri dari instrument basic surgical, basic orthopaedic dan basic
insersi dan menghitung jumlah instrument dan kassa sesuai lembar ceklis
j.Painting area operasi dengan betadin 5% campur alcohol 70% 2:1
k. Drafing
l.Seting sarana op steril cauter, suction, tourniquet, zet lapas dan bor
m. Pembacaan TO dan Do’a
n. Tindakan ORIF membuka soft tissue menggunakan instrument set basic surgical,
tindakan reposisi/reduksi menggunakan instrument basic orthopaedic,tindakan fiksasi
tulang dengan implant/plat menggunakan basic insersi dan setelah tindakan selesai
menutup kembali jaringan menggunakan instrument basic surgical
o. Menghitung kembali jumlah instrument dan kasa yang telah digunakan
p. Menutup jahitan dengan desinfektan dan tampon kering
q. Membersihkan klien dari darah dan noda operasi
r.Mengganti alas dan pakaian klien
s. Memindahkan klien ke bed trasportasi,memasang selimut dan pengaman ( bed plang)
t.Merapikan dan hitung kembali instrument
u. Cuci tangan
v. Dokumentasi tindakan dan penggunaan implant
II.2.12 Hal hal yang perlu diperhatikan
a. keadaan umum selama dilakukan tindakan
b. jumlah perdarahan dan irigasi
c. vascular dan syaraf sebelum dan sesudah dilakukan tindakan
d. prosedur penggunaan instrument
- pengoprasian mesin bor
- penggunaan mata bor
- penggunaan sliver / guide drill
- keakuratan pengukuran
- pengenalan jenis dan anatomi plat
-pengenalan jenis dan anatomi screw
e. kerjasama dan disiplin team
II.2.. Komplikasi
a. Komplikasi dini
Komplikasi dini yang mengancam nyawa terutama langsung disebabkan oleh
kejadian fraktur. Komplikasi yang mengancam nyawa yang dapat terjadi termasuk
perdarahan yang berat di pelvis atau femur, atau kontusio paru apabila terjadi fraktur
multipel iga.
Komplikasi awal yang dapat terjadi juga mencakup luka pada saraf dan sindroma
kompartemen. Saraf mudah terkena luka karena lokasi nya yang berdekatan dengan
lokasi fraktur. Contohnya, nervus medianus sering diasosiasikan dengan fraktur
radius distal. Oleh karena itu, fungsi sensorik dan motorik sebaiknya diperiksa saat
pemeriksaan awal.
Sindroma kompartemen terjadi saat ada peningkatan tekanan akibat adanya cairan
intrakompartemen. Komplikasi ini sering terjadi pada fraktur tulang panjang seperti
fraktur tibia, radius distal, daerah suprakondiler humerus dan femur. Selain dari
peningkatan tekanan akibat cairan intrakompartemen, penggunaan bidai juga dapat
menyebabkan sindrom kompartemen.
b. Komplikasi lambat
Komplikasi lambat atau jangka panjang yang dapat terjadi mencakup gangguan
tromboembolisme, infeksi, dan gangguan penyembuhan tulang.
C. OREF
1. pengertian
Reduksi terbuka dengan fiksasi luar atau open reduction external fixation (OREF)
merupakan prosedur pembedahan untuk menyatukan dan menstabilkan fraktur dan jaringan
lunak dengan memasukkan pin melalui kulit kedalam tulang lalu ditahan dengan external
frame.
fiksasi eksternal digunakan untuk mengobati fraktur terbuka dengan kerusakan jaringan
lunak alat ini memberikan dukungan yang stabil untuk fraktur kominutif ' hancur atau remuk
( . Pin yang telah terpasang dijaga agartetap terjaga posisinya , kemudian dikaitkan pada
kerangkanya. fiksasi ini memberikan rasa nyaman bagi pasien yang mengalami kerusakan
fragmen tulang
3. Indikasi
Indikasi pemasangan OREF, antara lain fraktur dengan kerusakan jaringan lunak yang berat
sehingga luka harus dirawat terbuka, fraktur comunitif disertai kerusakan pembuluh darah
dan syaraf fraktur disertai infeksi, fraktur pada area persendian, fraktur multipel berat
terutama jika terdapat fraktur pada os femur bilateral, dan fraktur pelvis dengan pendarahan
masif.

DAFTAR PUSTAKA
1. . American Academy of Orthopaedic Surgeons. Open Fractures.
https://orthoinfo.aaos.org/en/diseases--conditions/open-fractures
2. Berger R, Taylor B. Open Fractures. https://www.orthobullets .com/trauma/1004/open-
fractures-management
3. Cross WW, Swiontkowski MF. Treatment Principles in The Management of Open
Fractures. Indian J Orthop. 2008; 42(4): 377–386.
4. Morris BJ, Unger RZ, Archer KR, Mathis SL, Perdue AM, Obremskey WT. Risk
Factors of Infection After ORIF of Bicondylar Tibial Plateau Fractures. Journal of
Orthopaedic Trauma, 2013. 27(9): e196–e200. doi:10.1097/bot.0b013e318284704e
5.

Anda mungkin juga menyukai