Anda di halaman 1dari 26

MATAKULIAH GEOLOGI TEKNIK BATUAN (GL5027)

Dosen : Dr. Eng. Imam Achmad Sadisun, S.T, M.T.

UJIAN AKHIR SEMESTER

Oleh
KUKUH VIVIAN TRI ADHITAMA
NIM: 22019011
(Program Studi Magister Teknik Geologi)

INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG


April 2020
Geologi Teknik Batuan – Program Magister ITB

1. Merupakan hal yang penting dalam mengembangkan pemahaman dari


geomtrik dan mekanik propertis dan segala yang akan berdampak pada
rock engineering.
a. Apa hubungan antara pengukuran propertis massa batuan dan stabilitas
massa batuan?
b. “Tidak ada kemungkinan mengukur sifat massa batuan dari batuan inti”.
Berikan pendapat mu tentang pernyataan tersebut.
Jawaban No. 1
a. Pada penjelasan Hatzor (2018) bahwa Batuan merupakan sebuah kesatuan
unit yang terdiri lebih dari 1 mineral dan batas antara mineral menjadi
membentuk diskontinuitas pada skala mikro, tetapi berhubungan dengan
skala pengamatan kondisi tersebut dalam sampel megaskopis/meso scale
biasa disebut dengan intact rock. Jadi pada suatu massa batuan tidak lepas
dari adanya faktor diskontinuitas. Hoek dan Bray (1981) berargumen
apabila suatu model desain batuan dianggap sebagai suatu sistem yang
continuity akan mengakibatkan kekeliruan dalam estimasi nilai propertis
dari massa batuan.
Pada beberapa kegiatan proyek pembangunan dan proses pembuatan desain
(metode) memiliki permasalahan terkait material propertis (intact rock,
discontinuities, dan permeabilitas. Kemudian hal tersebut mempengaruhi
dari boundary conditions seperti nilai stress dan hidrogeologi rezim (dalam
L. Zhang).

Gambar 1.1 Permasalahan dalam rock engineering (Hudson, 1993; dalam L. Zhang
hal 3).

22019011_Kukuh_ GL5027_UAS 1
Geologi Teknik Batuan – Program Magister ITB

Gambar 1.2 geometrik propertis dari diskontinuitas (Hudson, 1989; dalam Vallejo,
2011 hal 335).

Diskontinuitas merupakan hasil dari proses geologi pada masa lampau yang
terdistribusi pada massa batuan sebagai struktur penyusun. Macam dari
jenis diskontinuitas berdasarkan pembentukannya seperti Tension
Discontinuities (karena cooling, drying, freezing, bending, flexural slip,
uplifting, faulting dan stress relaxation), Shear Discontinuities akibat sesar
dan lipatan, lalu Discontinuities karena periodik sedimantasi, serta akibat
metamorfik proses. Karena distribusi dari diskontinuitas mengakikabatkan
massa batuan di alam terlihat seperti susunan-susunan dari beberapa block
dengan bentuk dominan rectangural, rhombohedral, hexagonal, atau prisma
pentagonal (Aydan, 2018).

Gambar 1.3 Mechanical behavior dari diskontinuitas (Aydan, 2018; hal 12).
Adanya bentuk distribusi diskontinuitas pada massa batuan menjadikan
respon dari batuan berbeda-beda terhadap stress yang diterima (mechanical

22019011_Kukuh_ GL5027_UAS 2
Geologi Teknik Batuan – Program Magister ITB

properties) seperti pada Gambar 1.3 Terkait dengan ketidakstabilan massa


batuan parameter diskontinuitas sangat mempengaruhi, beberapa contoh
dari contoh ketidakstabilan ‘hanya’ pada massa batuan yang memiliki
diskontinuitas cukup (bukan intact rock) seperti block falls, sliding,
toppling, dan kombinasi sliding-topling yang merupakan bagain dari bentuk
longsoran.

Gambar 1.4 Hubungan antara faktor Diskontinuitas, Inhomogem, Anisotrop, dan Non-
Elastis.

Oleh Hudson (1997) pada bukunya menjelaskan mengenai parameter massa


batuan secara umum dalam istilah DIANE, untuk diskontinuitas (Gambar 1.4)
terlihat memiliki keterikatan pada ketiga parameter massa batuan lainnya tidak
seperti parameter lainnya, jadi dapat disimpulkan bahwa faktor diskontinuitas
memang sangat berpengaruh dalam kualitas massa batuan. Pada Diskontinuitas-
Inhomogen sebagai contoh veinlet kuarsa, berawal keterdapatan bidang
diskontinuitas yang memiliki spacing kemudian diisi fluida yang menjadi
Filling Material. Kemudian untuk Dikontinuitas-Anisotrop ketika terdapat joint
pada suatu massa batuan, adanya orientasi dari joint tersebut akan
mempengaruhi dari strength (stress maksimal) yang dapat diterima sehingga
dalam contohnya seperti pembentukan sesar dan dalam analisis kinematiknya
terdapat sigma1-3 yang berperan. Dan untuk Dikontinuitas-NonElastic
digambarkan pada saat pengujian sampel batuan, dari hasilnya akan membentuk
grafik non-linier (Yield-point, softening, hardening, failure).

22019011_Kukuh_ GL5027_UAS 3
Geologi Teknik Batuan – Program Magister ITB

b. Tidak mungkin melakukan pengukuran massa batuan melalui core,


bagaimana pendapatmu?
Diskontinuitas merupakan hal yang sangat berpengaruh dalam penentuan
nilai dari massa batuan dan GSI merupakan salah satu contoh dari klasifikasi
massa batuan. Marinos (2005) dalam publikasinya terkait penentukan nilai
GSI dengan data inti pengeboran, “borehole core data merupakan sumber
data yang baik mewakili kedalaman, tetapi dibutuhkan titik pengeboran
(vertikal maupun incline) diperlukan untuk interpretasi massa batuan tiap
kedalaman”, adanya hal interpretasi massa batuan antar titik pengeboaran
ini menjadi kunci dalam efektifitas penentuan massa batuan dengan data
pengeboran.

Gambar 1.5 Skematik persebaran diskostinuitas pada batuan (Hudson, 1989).

Pada Gambar 1.5 di atas merupakan model persebaran dari diskontinuitas


pada massa batuan, terdapat garis secara horizotal (borehole) yang
menggambarkan inti batuan yang diambil melalui pengeboran. Dalam
pengeboran tersebut seharusnya dapat merekam kondisi dari keterdapatan
diskontinuitas tiap kedalaman. Tetapi terkait dengan massa batuan dimensi
yang mewakili bentuk 3 dimensional yang lebih besar dari ukuran
handspacement, dalam data pengeboran kita tidak bisa mengetahui secara
presisi kepenerusan dari bidang dikontinuitas secara lateral.

22019011_Kukuh_ GL5027_UAS 4
Geologi Teknik Batuan – Program Magister ITB

Gambar 1.6 Ilustrasi persebaran titik pengeboran.

Pada Gambar 1.6 dianggap sebagai contoh persebaran titik pengeboran yang telah
dilakukan. Hasil pengeboran tersebut merupakan data persebaran/kondisi vertikal
persatuan titik koordinat, sedangkan dalam menganalisis massa batuan mengetahui
persebaran (diskontinuitas) sangat diperlukan, sebenarnya dapat dilakukan dengan
intrapolasi dari beberapa data pemboran tetapi hal tersebut pun masih memiliki nilai
ketidakpastian sehingga diperlukan semacam expert judgement. Seperti yang
dijelaskan oleh Hoek dan Bray dalam analisis massa batuan faktor diskontinuitas
sangat penting karena mempengaruhi terhadap nilai properties batuan, pada titik
observasi yang berbeda tetapi jenis batuannya sama belum tentu kondisi massa
batuannya sama. Kesalahan yang dilakukan pada saat desain adalah tidak
memperhitungkan massa batuan, sehingga sata pengambilan sample batuan yang
diuji belum tentu bisa mewakili dari luasan area yang terpengaruh adanya
perbedaan kondisi massa batuan. Jadi disimpulkan dengan data pengeboran tidak
bisa menggambarkan dari massa batuan karena tidak cukup mewakili dalam satuan
ruang dan juga dari faktor skala, hampir sama seperti keterbatasan data dari uji
laboratorium yang dijelaskan oleh de Vallejo (2011; hal 165).

22019011_Kukuh_ GL5027_UAS 5
Geologi Teknik Batuan – Program Magister ITB

2. Massa batuan bersifat diskontinu dan bervariasi dalam suatu ruang.


a. Salah satu tujuan klasifikasi massa batuan adalah untuk
menghubungkan pengalaman kondisi batuan di satu lokasi dengan
kondisi dan pengalaman yang dihadapi di tempat lain. Berikan
penjelasan anda tentang tujuan ini.
b. Mengapa kriteria Hoek-Brown dapat lebih baik digunakan untuk
mewakili kekuatan massa batuan daripada kriteria Mohr-Coulomb?
Jawaban No. 2
a. Analisis penurunan faktor empiris dari masing2 kriteria rock classification
Perkembangan dan banyaknya pengaplikasian dari kalsifikasi batuan sampai
saat ini banyak memunculkan rumus/formula untuk mengetahui nilai suatu
parameter (mass behavior) tanpa harus menunggu lama dari hasil laboratorium.
Jadi kecepatan untuk mendapatkan nilai parameter dan efisiensi dari jumlah
sample tes menjadi dasar munculnya berbagai rumus perhitungan yang
merupakan pendekatan dari pengalaman-nilai yang telah dilakukan dalam
beberapa kondisi waktu dan lokasi (by project). Berapa parameter yang
dikembangkan dalam menentukan nilai pendekatan dari klasifikasi massa
batuan seperti P-wave velocity, modulus deformation, support pressure, tunnel
deformation, Lugeon-value (permeability), nilai kohesi, dan nilai Frictional
Component (Barton, 2002).

Gambar 2.1 Grafik hubungan dari data perngukuran in-situ dari RMR terhadap
modulus massa batuan (Hoek, 2006).

22019011_Kukuh_ GL5027_UAS 6
Geologi Teknik Batuan – Program Magister ITB

Tabel 2.i Estimasi rumus empirical modulus massa batuan (Hoek, 2006).

Pada tabel di atas merupakan kumpulan dari beberapa rumus dari beberapa
sumber penelitian berdasarkan dari data-data lapangan yang telah dilakukannya
(Gambar2.1). Jadi dasar dari didapatnya rumus-rumus pendekatan tersebut
adalah dari distribusi nilai-nilai yang telah didapatkan yang kemudian
membentuk sebuah grafik yang kemudian dapat dikeluarkan rumus dari
distribusinya (Regresi), seperti yang dilakukan Hoek (1989) dalam menentukan
bagaimana hubungan roof-span dan stand-up time dari nilai RMR. Dan perlu
digaris bawahi bahwa penggunaan dari rumus-rumus pendekatan tersebut
memiliki banyak keterbatasan seperti yang dijelaskan oleh Barton (2002).
Hubungan klasifikasi massa batuan Q dan RMR terhadap nilai modulus massa
batuan.
Pada rumus di samping menentukan nilai modulus massa batuan
dengan nilai Q, tetapi nilai dari Q harus > 1.

Rumus di samping untuk mencari nilai modulus massa batuan


nilai RMR, tetapi hanya dapat digunakan apabila RMR > 50.

Jadi dapat disimpulkan bahwa beberapa rumus pendekatan dari nilai klasifikasi
massa batuan dapat digunakan untuk menentukan nilai mass behavior yang
biasanya merupakan hasil dari tes laboratorium, tetapi dalam penggunaanya kita
harus mengetahui batasan dan syarat dalam pengaplikasian rumus-rumus
tersebut.

b. Kenapa hoek-brown criterion lebih baik dalam perhitungan strength


daripada mohr-coulomb criteria? (cari bahasan pro dan cons dari masing2
kriteria)
Mohr Coulomb merupakan kuantitatif dalam menganalisis strength material
yang paling awal ditemukan yakni pada abad 18 dengan dasar kondisi
semua bantuan merupakan intact rock. Berkembangnya penelitian failure

22019011_Kukuh_ GL5027_UAS 7
Geologi Teknik Batuan – Program Magister ITB

criterion yang semakin detail dan representatif seperti yang dikembangkan


oleh Hoek, menjadikan Mohr-Coulomb memiliki kekurangan antara lain
(Vallejo, 2011; hal 150):
- Bahwa sebenarnya strength envelope tidak linier seperti yang
ditunjukkan Mohr-Coulomb (gamabr 2.2).

Gambar 2.2 Mohr-Coulomb linear failure criterion.


- Arah dari fracture tidak sama dengan hasil eksperimen yang telah
dilakukan.
- Dalam menentukan nilai tensile strength kriteria kegagalan ini nilai
yang didapat lebih tinggi dari kondisi sebenarnya

Gambar 2.3 Perbandingan dari non-linear dan linear failure criteria (Vellejo,
2011; hal 147).

Gambar 2.4 Failure envelope dari Hoek-Brown Criterion, a. principal stress;


b. hubungan normal dan shear stress (Vallejo, 2011; hal 152).

22019011_Kukuh_ GL5027_UAS 8
Geologi Teknik Batuan – Program Magister ITB

Mohr-Coulomb .............................................. i

Hoek-Brown Criterion ................................. ii

Berdasarkan perbedaanya dapat dilihat dari rumus di atas antara Mohr-


Coulomb Criterion dengan Hoek-Brown Criterion, pada (i)
Mohr_COulomb mendapatkan nilai shear strength sedangkan pada (ii))
Hoek-Brown menghasikan sigma 1 (tegasan utama), kemudian untuk
kohesi dalam (i) di (ii) menggunakan nilai sigma 3. Dan yang menjadi
beda pada Hoek-Brown menambahkan nilai UCS yang dapat
menggunakan GSI dan nilai konstanta dari propertis batuan intact-rock.
Perbedaan lainnya yakni pada Mohr-Coulomb menggunakan Direct
Shear Test, sedangkan Hoek-Brown menggunakan pengujian UCS dan
Triaxial. Untuk keuntungan lain dari Hoek-Brown memiliko nilai
maksimum dan residual dari strength massa batuan.
Dapat disimpulkan terkait kedua kriteria kegagalan diatas bahwa Mohr-
Coulomb hanya cocok pada intact-rock sehingga dalam pengujian tanah
tidak bisa dilakukan, berbanding terbalik dengan Hoek-Brown
Criterion. Untuk pengaplikasian di lapangan tergantung pada keadaan
seperti ketersedian alat, waktu kondisi lapangan dan individu (expert
judgement) itu sendiri.

22019011_Kukuh_ GL5027_UAS 9
Geologi Teknik Batuan – Program Magister ITB

3. Terlampir di bawah ini adalah data scanline diskontinuitas pada jenis batuan
tertentu
a. Jika open cut memiliki existing slope yang sama tapi dengan dipping
80 derajat, apa kemungkinan model keruntuhan lerengnya? Lakukan
analisis kinematik untuk mejawab pertanyaan tersebut.
b. Berdasarkan RMR dan SMR, tentukan safe-cut slope yang aman dan
jenis stabilisasi lereng tersebut yang mungkin diperlukan jika lereng
harus dibuat melebihi sudut kemiringan lereng yang aman.
c. Jika pada kedalaman 45 m pada massa batuan yang akan dibuat
lingkaran terowongan berdiameter 8,5 m, tentukan tekanan vertikal
pada terowongan tersebut. Berdasarkan klasifikasi massa batuan,
rekomendasikan stand-up time, unsupported span dan tipe stabilisasi
(penguatan dan atau dukungan) yang harus diterapkan pada rencana
terowongan. Jika terowongan akan dibuat ke arah N35◦E, gunakan
proyeksi stereografis. Tentukan potensi keruntuhan dalam kaitannya
diskontinuitas yang ada.
d. Analisis kriteria keruntuhan Hoek-Brown dari massa batuan dan
menentukan parameter massa batuan seperti uniaxial compressive
strength (σc), tensile strength (σt), kohesi (cm), friction angle (ɸm),
modulus elastisitas (E) dan poisson ratio (v) berdasarkan RMR, Q-
system atau GSI.

Jawaban No. 3
a. Diketahui dari data sheet bahwa scanline yang telah dilakukan pada lereng
dengan orientasi N105 E, panjang kelereng 12,2 m dan tinggi kelerengan
10 m.

12,2 m
10 m

54o didapatkan kondisi kelerengan pada lokasi pengamatan


dengan derajat kelerengan sebesar 54o. Jika dilakukan opencut slope dengan
dip direction seperti kondisi existing kelerengan dengan dip 80o, dapat
dilakukan kinematik analisisnya sebagai berikut:

22019011_Kukuh_ GL5027_UAS 10
Geologi Teknik Batuan – Program Magister ITB

Gambar 3.1 Hasil dari input beberapa data dari hasil scanline pada Roclab.
Pada Gambar 3.1 merupakan hasil dari pengolahan data lapangan secara
empirical dari Hoek dengan software roclab dengan input data seperti nilai
strength batuan, GSI, serta konstanta mi (diasumsikan claystone) dan
diturbing factor sebesar 0,7 untuk rencana opencut-slope. Dari beberapa
nilai yang didapat, internal friction angle sebesar 13o menjadi tambahan
untuk memodelkan analisis kinematik longsoran. Analisis kinematik hanya
dilakukan pada jenis longsoran wedge dan topple karena dengan persebaran
discontinuitas yang ada kedua jenis longsor tersebut yang paling berpotensi.

Gambar 3.2 Analisis longsoran baji dengan dipping 80o (kiri); dipping 13o
(kanan).

22019011_Kukuh_ GL5027_UAS 11
Geologi Teknik Batuan – Program Magister ITB

Gambar 3.2 menunjukan 2 hasil analisis kinematik terhadap potensi


longsoran wedging (baji) dengan rencana buka slope dipping 80o dan
rekonstruksi pada dipping 13o. Jika dilakukan pembukaan slope dengan
kemiringan 80o dari kondisi existing 54o maka kejadian longsoran baji akan
berpeluang 53% (critical/total). Dan dengan kondisi massa batuan seperti
itu untuk kondisi aman dari longsoran (Gambar 3.2; kanan) maka dilakukan
dengan menimbun area tersebut hingga membentuk sudut kelerengan 13o.

Gambar 3.3 Analisis longsoran jenis Toppling dengan dipping 80o .


Gambar 3.3 merupakan hasil dari analsis potensi longsoran toppling,
berdasarkan perbandingan dari jumlah titik kritis dengan total analisis
tersebut menunjukkan nilai 3% dan cenderung minim untuk terjadinya
longsoran.

b. Berdasarkan dari data sheet hasil scanline dapat dianalisis klasifikasi massa
batuan (RMR), antara lain:
- Nilai strength diketahui termasuk pada R2 (Weak rock) dengan rentang
nilai 5-25 Mpa, jadi berdasarkan pada pada Bieniawski nilai rating pada
parameter ini bernilai 2.

- disamping merupakan rumus dalam menentukan


nilai RQD, berdasarkan dari data scanline didapat nilai RQD = 110,4 –
3,68*(97/33,2) = 110,4 - (3,68*2,92) = 110,4 – 10,7 = 99,3 %.
Mencoba dengan membandingkan cara menghitung RDQ seperti pada
core didapatkan nilai RQD dengan data spacing diskontinuitas (Gambar

22019011_Kukuh_ GL5027_UAS 12
Geologi Teknik Batuan – Program Magister ITB

1.5) didapat 31/33,2 = 94%. Nilai rating yang didapat sebesar 20 untuk
parameter ini.
- Spacing diskontinuitas berdasarkan dari data scanline didapat rentang
spacing antara 0,1 sampai 1,81 meter, sehingga nilai dari parameter
spacing dikontinuitas termasuk pada golongan sangat lebar dengan
bobot nilai 15.
- Pada parameter kondisi dari diskontinuitas didapatkan presistance
bernilai 6, aperture bernilai 1, derajat kekasaran bernilai 1, indikasi
material pengisi (vein) bernilai 2, dan derajat pelapukan masih
cenderung fresh rock sehingga bernilai 6. Dengan beberapa parameter
tersebut didaparkan nilai total dari parameter kondisi dikontinuitas
sebesar 16.
- Berdasarkan data scanline tidak terdapat kenampakan mataair sehingga
pada parameter groudnwater memiliki nilai 15.
- Berdasarkan dari parameter orientasi dicontinuity hampir sama dengan
jawaban 3.a mengenai analisis longsoran, apabila dilakukan open cut-
slope pada orientasi N 105 E akan mendapatkan potensi longsor yang
besar sehingga dengan adanya distribusi orientasi dikontinuitas tersebut
menjadikan buruk kestabilan lerengnya, pada parameter ini didapat nilai
-25 (fair). Tetapi jika arah pada open cut slope di kuardran 3 membuat
nilai relatif favorable.
Tabel 3.i Pemeriaan dari penilaian RMR.
No Parameter Rating Remarks
R2 5-25 Mpa (Weak
1
Strength 2 rock)
93-99% (Deere;
2
RQD 20 Priest)
Spacing of
3
Dicontinuities 8 Spacing 0,1 - 1,81 m
Condition of
4
Dicontinuities 16 relative smooth, tight
5 Groundwater 15 Completely dry
Open Cut-slope
6
Orientation (Dip/DipDir) -25 N105E
Total rating 36 Class IV

22019011_Kukuh_ GL5027_UAS 13
Geologi Teknik Batuan – Program Magister ITB

a Rock Mass Class IV Poor rock

b Average Stand-uptime 10 h Span 2,5 meters


100-
c
Cohesion of Rockmass 200 estimated
Friction angle of
d
rockmass 15-25 estimated

Perhitungan SMR (Romana, 1993):

didapat nilai A dari selisih dipdirection bukaan


slope dengan joint set yakni 154-105 = 49, maka nilai dari F1 = (1-sin 49)2
= (1-0,75)2 = (0,25)2 = 0,0625

didapat nilai beta dari rata-rata joint dip yakni sebesar 60,
maka nilai dari F2 = (tg260) = 2,99
Pada parameter F3 didapatkan kondisi unfavorable karena selisih dari slope
rencana bukaan (80) dan joints dip (54) lebih dari 20o. jadi nilainya -60.
Pada parameter F4 didapat nilai +15 karena area penelitian masih termasuk
natural slope.

maka nilai SMR yang


didapat sebesar = 36 + [0,0625*2,99*(-60)] + 15 = 39.

Tabel 3.ii Klasifikasi kerelengan (Romana, 1993).

22019011_Kukuh_ GL5027_UAS 14
Geologi Teknik Batuan – Program Magister ITB

Tabel 3.iii Kelas klasifikasi SRM (Romana, 1993; hal 580).

Sesuai dengan Table 3.iii dari nilai SMR yang didapat sebesar 39 termasuk
pada kelas IV (bad), diinterpretasikan kondisi stabilitasnya tidak-stabil, tipe
failure yang mungkin terjadi adalah planar (Gambar3.2), serta berdasarkan
klasifikasi di atas disebutkan untuk support pada rencana terowongan sangat
penting.

Tabel 3.iii Rekomendasi support dari nilai SMR (Romana, 1993; hal 592).

Berdasarkan tabel 3.iii dengan kondisi nilai SMR yang didapat sebesar 39
maka dapat diambil rekomendasi dari tabel tersebut berupa melakukan slope

22019011_Kukuh_ GL5027_UAS 15
Geologi Teknik Batuan – Program Magister ITB

stability dengan anchor, systematic-shotcrete, toe wall concrete dan


perbaikan jalur drainase pada kelerengannya.

Gambar 3.4 Bolting untuk peningkatan stabilitas (Aydan, 2018; hal 293).

Pada Gambar 3.4 merupakan bentuk dari efektifitas bolting (rock-bolting)


dalan meningkatkan kestabilan lereng dengan kondisi massa batuan yang
buruk dan hal tersebut efektif dalam area lereng yang memiliki potensi
terjadinya longsoran baji (Wedge Failure).

c. Jika pada kedalaman 45 m pada massa batuan akan dibuat circular tunnel
dengan diameter 8,5 m, determinasikan vertikal support pressure dalam
tunnel. Rekomendasikan stand-up time, unsupported span dan tipe
stabilisasi yang akan digunakan berdasar klasifikasi massa batuan. Arah
penggalian tunnel akan dilakukan dengan arah N 35o E, determinasikan
proyeksi stereografis dan potensi longsor berdasarkan distribusi
dinkontinuitasnya.

22019011_Kukuh_ GL5027_UAS 16
Geologi Teknik Batuan – Program Magister ITB

Gambar 3.5 Perkiraan panduan support system (Bienawski, 1993).

Berdasarkan dari Gambar 3.5 antara perbandingan UCS kondisi massa


batuan dilapangan dengan nilai RMR didapat kondisi yang sangat
memerlukan “Heavy Support” karena kodisi ketidakstabilannya.

Rumus disamping merupakan perhitungan


support load (P), didapat nilai P sebesar [(100-36)/100]1520*8,5 = 8.268
kN. (xdensitas claystone dengan sumber dari rocscience table)

Vertikal stress diperkirakan sebesar dari Tekanan vertical (𝜎v) = 𝜌𝑔𝑧 = 2,8
gr/cm3 x 9,8m/s2 x 45m = 1,234MPa.

22019011_Kukuh_ GL5027_UAS 17
Geologi Teknik Batuan – Program Magister ITB

Gambar 3.5 Plot nilai RMR terhadap roof span dan stand-up time
(Bieniawski, 1989).
Gambar 3.4 merupakan pendekatan proses penggalian terowongan (metode
dengan alat TBM) memperlihatkan hasil plot untuk pendekatan dari
Bieniawski (1989) dari data RMR untuk menentukan span dan stand-up
time. Terlihat garis merah merupakan nilai dari nilai RMR yang didapat,
kemudian kita dapat menyimpulkan dengan nilai RMR 36, kita dapat
melakukan kemajuan penggalian sejauh 2 meter dengan stand-up time
sampai 30 jam (garis hijau), kita juga dapat melakukan kemajuan
penggalian sejauh 4 meter, tetapi stand-up time sekitar 8 jam. Jadi
disimpulkan semakin panjang kemajuan akan memperkecil nilai stand-up
time dan berdampak semakin membutuhkan struktur support tambahan,
begitu juga sebaliknya.

22019011_Kukuh_ GL5027_UAS 18
Geologi Teknik Batuan – Program Magister ITB

Gambar 3.6 Rekomendasi mekanisme penerepan support pada penggalian


tunnel (Biniawski, 1989).

Gambar 3.6 menunjukan hubungan kelas massa batuan (RMR) dengan


rekomendasi dari pemasangan dan teknik dalam penggalian tunnel.
Berdasarkan kelas yang didapat pada lokasi penelitian didapat RMR kelas
IV (Weak rock), dari gambar tersebut maka direkomendasikan pada saat
melakukan penggilan terowongan pada 10 m pertama perlu perhatian yang
intensif terhadap support yang akan digunakan, kemudian dapat
direkomendasikan menggunakan system bolting dengan panjang 5-6 m
dengan spasi jarak efektif 1-1,5 m disertai dengan wiremesh untuk
stabilization, kemudian dapat diterapkan pelindungan dengan shocrete
dengan tebal 10-15cm pada crown (atas) dan tebal 10 cm untuk sidewall
tunnel, dan juga direkomendasikan menggunakan steel rib dengan jarak
sekitar 1,5 m. Data-data tersebut merupakan rekomendasi awal, jadi untuk
detil desainnya tetap dilakukan dengan perhitungan yang lebih terperinci.

22019011_Kukuh_ GL5027_UAS 19
Geologi Teknik Batuan – Program Magister ITB

Gambar 3.7 Rekonstruksi area penelitian (Scanline dan rencana Tunnel).

Gambar 3.7 menunjukkan rekonstruksi keadaan lokasi penelitian (area


scanline koreksi di sebelah barat. Rencana akan dilakukan penggalian
terowongan pada kedalaman 45 dengan bentuk circular dan berdiameter 8,5
meter.

22019011_Kukuh_ GL5027_UAS 20
Geologi Teknik Batuan – Program Magister ITB

Gambar3.8 Gambar stereografis rencana arah penggalian terowongan.

Dapat dijelaskan dari Gambar 3.8 jika dilakukan penggalian terowongan


dengan arah N 35 E maka akan didapat kondisi penggalian tegak lurus
terhadap dipping dan dipdirection dari persebaran dikontinuitas yang ada di
lokasi penelitian (fair-unfavorable). Berkorelasi dengan hasil RMR yang
termasuk weak rock, sehingga dibutuhkan perhatian khusus karena support
pengaman terowongan sangat dibutuhkan dengan kondisi massa batuanya.

Gambar 3.9 Rekonstruksi distribusi diagram block (massa batuan)


terhadap terowongan (Vallejo, 2011; Hal 461).

Gambar 3.9 menunjukan pendekatan rekonstruksi visual dari kondisi massa


batuan yang memiliki beberapa joint sets yang mempengaruhi dari

22019011_Kukuh_ GL5027_UAS 21
Geologi Teknik Batuan – Program Magister ITB

penggalian terowongan, dalam gambar tersebut mirip dengan kondisi pada


area penelitian, termasuk pada potensi kerentanan terhadap over-break
penggalian.

d. Analisis Hoek-Brown criterion failure massa batuan dan definisikan


parameter massa batuan seperti UCS, tensile strength, kohesi, sudut geser
dalam, modulus elastisitas, dan poisson’s ratio berdasarkan RMR, Q-
system, atau GSI.

Hasil pengolahan dari Roclab. Terkait dengan Gambar 3.1 yang melakukan
perhitungan beberapa parameter dengan pendekatan dari data klasifikasi
massa batuan (GSI) dengan memasukkan parameter UCS (insitu-test), nilai
GSI dan parameter Hoek-Brown Criterion didapat nilai mass behavior dari
kohesi, sudut geser dalam, tesile strength, dan modulus elastisitas.
Pemeriaan beberapa rumus yang digunakan (Hoek-Brown Failure
Criterion), antara lain :

22019011_Kukuh_ GL5027_UAS 22
Geologi Teknik Batuan – Program Magister ITB

- Rumus untuk internal friction angel dan kohesi

- Rumus untuk menentukan nilai modulus

- Rumus Tensile Strength

- Rumus Poisson’ratio
Poisson’s Ratio(v) = (0,5-0,2) x*{RMR/[RMR+0,2*(100-RMR)]}
= (0,5-0,2) * (36/(36+0,2x(100-36)))
= 0,3 * [36/(36+0,2*64)]
= 0,3 * (36/48,8)
= 0,3 * 0,74 = 0,22

22019011_Kukuh_ GL5027_UAS 23
Geologi Teknik Batuan – Program Magister ITB

DAFTAR PUSTAKA

Aydan, O. (2018): Rock reinforcement dan rock support. International Society for
Rock Mechanics – Volume 6. CRS Press. Hal 9-29.
Barton, N. (2002): Some new Q-value correlation to assist in site characterisation
and tunnel design. International Journal of Rock Mechanics and Mining
Sciences 39 (2002) 185-216. Elsevier-Pergamon.
Bieniawski, Z. T. (1989): Engineering rockmass classifications. John Wiley and
Sons, Inc. Canada. Hal 61.
Bieniawski, Z. T. (1993): Classification of rock masses for engineering : The RMR
system and future trends. Chapter 22.
De Vallejo, L. I. G., dan Ferrer, M. (2011): Geological engineering. CRC Press.
Imperial Collage, London.
Hatzor, Y. H., Guowei Ma, Shi, G. (2018): Discontinuos deformation analysis in
rock mechanics practice. International Society for Rock Mechanics –
Volume 5. CRS Press. Hal 2.
Hoek, E., dan Diederichs, M. S. (2006): Empirical estimation of rock mass modulus.
International Journal of Rock Mechanics and Mining Sciences. Elsevier.
Hoek, E., Torres. C. C., dan Corkum, B. (2002): Hoek-Brown criterion. Manual
help Roclab version 1.031, build 2007.
Hudson, J., A. (1989): Rock mechanics principles in engineering practice.
Ciria/Butterworths, London.
Hudson, J. A., dan Harrison, J. P. (1997): Engineering rock mechanics. Elsevier
Ltd. USA.
Marinos, V., Marinos, P., dan Hoek, E. (2005): The geological strength index –
application and limitations. Springer-Verlag. doi : 10.1007/s10064-004-
0270-5.
Priest SD, Hudson J. (1976): Discontinuity spacing in rock. International Journal of
Rock Mechanics and Mining Sciences & Geomechanics Abstracts
1976;13(5):135e48.

22019011_Kukuh_ GL5027_UAS 24
Geologi Teknik Batuan – Program Magister ITB

Romana, M. R. (1993): A Geomechanical classification for slopes – Slope Mass


Rating. Universidad Politecnica Valencia, Spain.
Zhang Lianyang ( - ): Engineering properties of rocks. Elsevier Geo-Engineering
book series editor : John A. Hudson Volume – 4. Hal 3.
Zhang, L. (2016): Determination and application of rock quality designation
(RQD). Journal of Rock Mechanics and Geotechnical Engineering.

22019011_Kukuh_ GL5027_UAS 25

Anda mungkin juga menyukai