Anda di halaman 1dari 28

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Konsep Tuberculosis Paru

1. Pengertian

Tuberkulosi yang selanjutnya disingkat TB adalah penyakit

menular yang sisebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, yang dapat

menyerang paru dan organ lainnya (Permenkes RI 2016).

Tuberkulosis adalah penyakit infeksius terutama menyerang

parenkim paru. TB paru adalah suatu penyakit yang menular yang

disebabkan oleh bacil Mycobacterium tuberculosis yang merupakan salah

satu penyakit saluran pernafasan bagian bawah. Sebagian besar bakteri M.

tuberculosis masuk ke dalam jaringan paru melalui airbone infection dan

selanjutnya mengalami proses yang dikenal sebagai focus primer (Wijaya

& Putri, 2013).

Mycobacterium tuberculosis merupakan basil tahan asam

berukuran 0,5-3 μm. Mycobacterium tuberculosis ditularkan

melalui droplet udara yang disebut sebagai droplet nuclei yang

dihasilkan oleh penderita TB paru ataupun TB laring pada saat

batuk, bersin, berbicara, ataupun menyanyi. Droplet ini akan tetap

berada di udara selama beberapa menit sampai jam setelah proses

ekspektorasi (Amanda, 2018).

8
9

2. Etiologi

Penyakit Tubercolosa Paru adalah suatu penyakit menular yang

disebabkan oleh kuman dari kelompok Mycobacterium yaitu

Mycobacterium tuberculosis. Terdapat beberapa spesies Mycobacterium,

antara lain: M. Tuberculosis, M. Africanum, M. Bovis , M. Leprae. Yang

juga dikenal sebagai bakteri tahan asam (BTA). Yang mempunyai sifat :

basil berbentuk batang, bersifat aerob, mudah mati pada air mendidih (5

menit pada suhu 80°C), mudah mati terkena sinar ultra violet (matahari)

serta tahan hidup berbulan-bulan pada suhu kamar dan ruangan yang

lembab.

Kelompok bakteri Mycobacterium tuberculosis yang bisa

menimbulkan pada saluran napas dikenal sebagai MOTT (Mycobacterium

Other than Tuberculosis) yang terkadang dapat mengganggu penegakan

diagnosis dan pengobatan TB. Secara umum sifat kuman TB adalah

sebagai berikut: berbentuk batang dengan panjang 1-10 mikron, lebar 0,2-

0,6 mikron, bersifat tahan asam dalam pewarnaan dengan metode Ziehl

Neelsen, memerlukan media husus untuk biakan antara lain Lownstein

Jensen dan ogawa, kuman nampak berbentuk batang berwarna

merah dalam pemeriksaan dibawah mikroskop, tahan terhadap

suhu rendah sehingga dapat bertahan hidup dalam jangka waktu

lama pada suhu antara 4°C sampai minus 70°C, kuman sangat peka

terhadap panas sinar matahari dan ultraviolet, dalam dahak pada

suhu 30°C -37°C akan mati dalam wktu lebih kurang 1 minggu dan
10

kuman dapat bersifat dormant (“tidur”/tidak berkembang)

(Kemenkes RI, 2014).

Agen infeksius utama, M. tuberculosis adalah batang aerobic tahan

asam yang tumbuh dengan lambat dan sensitive terhadap panas dan sinar

matahari. M. bovis dan M. avium adalah kejadian yang jarang yang

berkaitan dengan terjadinya infeksi tuberkulosis (Wijaya & Putri, 2013).

M. tuberculosis termasuk famili Mycobacteriaceace yang

mempunyai berbagai genus, salah satunya adalah Mycobaterium dan

salah satu speciesnya adalah M. tuberculosis. Bakteri ini berbahaya bagi

manusia dan mempunyai dinding sel lipoid sehingga tahan asam. Bakteri

ini memerlukan waktu untuk mitosis 12 – 24 jam. M. tuberculosis sangat

rentan terhadap sinar matahari dan sinar ultraviolet sehingga dalam

beberapa menit akan mati Bakteri ini juga rentan terhadap panas – basah

sehingga dalam waktu 2 menit yang berada dalam lingkungan basah

sudah mati bila terkena air bersuhu 1000. Bakteri ini juga akan mati

dalam beberapa menit bila terkena alkhohol 70% atau Lysol 5%

(Danusantoso, 2012).

3. Patofisiologi

Setelah seseorang menghirup Mycobakterium Tuberkolosis,

kemudiam masuk melalui mukosiliar saluran pernafasan,

akhirnya basil TBC sampai ke alveoli (paru), kuman mengalami

multiplikasi di dalam paru-paru disebut dengan Focus Ghon,

melalui kelenjar limfe basil mencapai kelenjar limfe hilus. Focus


11

Ghon dan limfe denopati hilus membentuk Kompleks Primer.

Melalui kompleks Primer inilah basil dapat menyebar melalui

pembuluh darah sampai keseluruh tubuh.

Mycobakterium Tuberkolosis yang mencapai permukaan alveoli

biasanya diinhalasi sebagai suatu unit yang terdiri dari satu sampai tiga

basil karena gumpalan yang lebih besar cenderung tertahan di rongga

hidung dan tidak menyebabkan penyakit. Setelah berada di ruang alveolus

di bagian bawah lobus atau bagian atas lobus bakteri Mycobakterium

Tuberkolosis ini membangkitkan reaksi peradangan. Lekosit

polimorfonuklear tampak pada tempat tadi dan memfagosit bakteri tetapi

tidak membunuh organisme tersebut.

Sesudah hari pertama maka lekosit diganti oleh makrofag. Alveoli

yang terserang akan mengalami konsolidasi dan timbul gejala –

gejala pneumonia akut. Pneumonia seluler ini dapat sembuh

dengan sendirinya tanpa menimbulkan kerusakan jaringan paru

atau biasa dikatakan proses dapat berjalan terus dan bakteri terus

difagosit atau berkembang biak di dalam sel. Bakteri juga

menyebar melalui kelenjar limfe regional.

Makrofag yang mengalami infiltrasi menjadi lebih panjang dan

sebagian bersatu sehingga membentuk sel tuberkel epiteloid yang

dikelilingi oleh limfosit. Reaksi ini biasanya berlangsung 10 – 20

hari. Nekrosis bagian sentral lesi memberikan gambaran yang

relative padat seperti keju, lesi nekrosis ini disebut nekrosis


12

kaseosa. Daerah yang mengalami nekrosis kaseosa dan jaringan

granulasi di sekitarnya yang terdiri dari epilteloid dan fibroblast

menimbulkan respon yang berbeda. Jaringan granulasi menjadi

lebih fibrosa, membentuk jaringan parut yang akhirnya

membentuk suatu kapsul yang mengelilingi tuberkel. Lesi primer paru –

paru disebut focus ghon dan gabungan terserang kelenjar limfe regional

dan lesi primer dinamakan komplek ghon. Komplek ghon yang

mengalami perkapuran ini dapat dilihat pada orang sehat yang mengalami

pemeriksaan radiogram rutin. Respon lain yang terjadi pada daerah

nekrosis adalah pencairan di mana bahan cair lepas ke dalam bronkus dan

menimbulkan kavitas.

Materi tuberkular yang dilepaskan dari dinding kavitas akan masuk

ke percabangan treakeobronkial. Proses ini dapat terulang kembali pada

bagian lain dari paru atau bakteri Mycobakterium Tuberkolosis dapat

terbawa ke laring, telinga tengah atau usus. Kavitas kecil dapat menutup

sekalipun tanpa pengobatan dan meninggalkan jaringan parut fibrosa. Bila

peradangan mereda lumen bronkus dapat menyempit dan tertutup oleh

jaringan parut yang tedapat dekat dengan perbatasan bronkus.

Bahan perkejuan dapat mengental sehingga tidak mengalir melalui

saluran yang ada dan lesi mirip dengan lesi berkapsul yang tidak

terlepas. Keadaan ini tidak dapat menimbulkan gejala dalam waktu

lama atau membentuk lagi hubungan dengan bronkus dan menjadi

tempat peradangan aktif. Penyakit dapat menyebar melalui


13

saluran limfe atau pembuluh darah ( limfohematogen ). Organisme yang

lolos dari kelenjar limfe akan mencapai aliran darah dalam jumlah lebih

kecil yang kadang – kadang dapat menimbulkan lesi pada berbagai organ

lain (ekstrapulmoner). Penyebaran hematogen merupakan suatu fenomena

akut yang biasanya menyebabkan tuberkulosis milier. Hal ini terjadi bila

focus nekrotik merusak pembuluh darah sehingga banyak organisme

masuk ke dalam sistem vaskuler dan tersebar ke dalam sistem vaskuler ke

organ – organ tubuh (Wijaya & Putri, 2013).

Perjalanan penyakit selanjutnya ditentukan oleh banyaknya basil

TBC dan kemampuan daya tahan tubuh seseorang, kebanyakan respon

imun tubuh dapat menghentikan multiplikasi kuman, namun sebaqgian

kecil basil TBC menjadi kuman Dorman. Kemudian kuman tersebut

menyebar kejaringan sekitar, penyebaran secara Bronchogen keparu-paru

sebelahnya, penyebaran secara hematogen dan limfogen ke organ lain

seperti; tulang, ginjal, otak. Terjadi setelah periode beberapa bulan atau

tahun setelah infeksi primer, reaktivasi kuman Dorman pada jaringan

setelah mengalam multiplikasi terjadi akibat daya tahan tubuh yang

menurun/lemah. Reinfeksi dapat terjadi apabila ; ada sumber infeksi,

julmlah basil cukup, virulensi kuman tinggi dan daya tahan tubuh

menurun.
14

4. Perjalanan Alamiah TBC pada Manusia

Terdapat empat tahapan perjalanan alamiah penyakit. Tahapan tersebut

meliputi tahap paparan, infeksi, menderita sakit dan meninggal dunia.

a. Paparan

Peluang peningkatan paparan terkait dengan beberapa faktor antara

lain:

1) Jumlah kasus menular dimasyarakat

2) Peluang kontak dengankasus menular

3) Tingkat daya tular dahak sumber penularan

4) Intensitas batuk sumber penularan

5) Kedekatan kontak dengan sumber penularan

6) Lamanya waktu kotak dengan sumber penularan

7) Faktor lingkungan : konsentrasi kuman di udara (ventilasi, sinar

ultraviolet, penyaringan adalah faktor yang dapat menurunkan

konsentrasi)

Paparan kepada pasien TB menular merupakan syarat untuk infeksi.

Setelah infeksi ada beberapa faktor yang menentukan seseorang akan

terinfeksi saja menjadi sakit dan kemungkinan meninggal dunia

karena TB

b. Infeksi

1) Reaksi daya tahan tubuh akan terjadi setelah 6 – 14 minggu

setelah infeksi.
15

2) Reaksi imunologi (lokal).

a) Kuman TB ditangkap oleh alveoli dan ditangkap oleh

makrofag dan kemudian berlansung reaksi antigen – antibody.

b) Reaksi imunologi (umum) Delayed hypersensitivity (hasil

tuberkulin tes menjadi positif)

c) Lesi umumnya sembuh total namun dapat saja kuman tetap

hidup dalam lesi tersebut (dormant) dan suatu saat dapat

aktif kembali.

d) Penyebaran melalui aliran darah atau getah bening dapat

terjadi sebelum penyembuhan lesi

c. Sakit TBC

Faktor resiko untuk menjadi sakit TB adalah bergantung dari:

1) Konsentrasi atau jumlah kuman yang terhirup

2) Lamanya waktu sejak terinfeksi

3) Usia seseorang yang terinfeksi

4) Tingkat daya tahan tubuh seseorang.

Seseorang dengan daya tahan tubuh yang rendah

diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk) akan

memudahkan berkembangnya TB aktif (sakit TB). Bila jumlah

orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah pasien TB akan

meningkat, dengan demikian penularan TB di masyarakat akan

meningkat pula. Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan

menjadi sakit TB.


16

Namun bila seorang dengan HIV positif akan meningkatkan

kejadian TB melalui proses reaktifasi. TB umunya terjadi

pada paru, namun penyebaran melalui aliran darah atau

getah bening dapat meyebabkan terjadinya TB diluar organ

paru (TB ekstra paru). Apabila penyebaran secara masif

melalui aliran darah dapat menyebabkan semua organ tubuh

terkena(TB milier).

d. Meninggal Dunia

Faktor resiko kematian karena TB

1) Akibat keterlambatan diagnosa

2) Pengobatan tidak adekuat

3) Adanya kondisi kesehatan awal yang buruk atau penyakit

penyerta. Pasien TB tanpa pengobatan, 50% akan meninggal dan

kondisi ini meningkat pada pasien dengan HIV positif (Kemenkes

RI, 2014).

5. Klasifikasi TBC

Berdasarkan Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis tahun 2014

adalah sebagai berikut (Fitriani, 2020):

a. Klasifikasikan berdasarkan lokasi anatomi:

1) Tuberkulosis Paru adalah kasus TB yang melibatkan parenkim

paru atau trakeobrankial. TB milier diklasifiksikan sebagai TB

paru karena terdapat lesi diparu. Pasien yang mengalami TB paru

dan ekstra paru haus diklasifikasikan sebagai kasus TB paru.


17

2) TB ekstra paru adalah kasus TB yang melibatkan organ diluar

parenkim paru seperti pleura, abdomen, genitourinaria, kulit, sendi

dan tulang, selaput otak. Kasus TB ekstra paru dapat ditegakan

secara klinis atau histologis setelah diupayakan semaksimal

mungkin dengan konfirmasi bakteriologis.

b. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya.

1) Pasien baru TB Adalah pasien yang belum pernah mendapatkan

pengobatan sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun

kurang dari 1 bulan (< dari 28 dosis).

2) Pasien yang pernah diobati TB. Adalah pasien yang sebelumnya

pernah menelan OAT selama 1 bulan atau lebih (≥dari 28 hari).

Pasien ini selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil

pengobatan TB terakhir, yaitu:

a) Pasien kambuh: adalah pasien TB yang pernah dinyatakan

sembuh dan saat ini didiagnosis TB berdasarkan hasil

pemeriksaan bakteriologis atau klinis ( baik karena kambuh

atau reinfeksi).

b) Pasien yang diobati kembali setelah gagal: adalah pasien TB

yang pernah diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan

terakhir.

c) Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat ( lost to

follow-up): adalah pasien yang pernah diobati dan dinyatakan


18

lost to follow up (klasifikasi ini sebelumnya disebut sebagai

pengobatan pasien setelah putus berobat/ default).

d) Lain-lain: adalah pasien TB yang pernah diobati namun

hasil akhir pengobatan sebelumnya tidak diketahui.

3) Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui.

c. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat.

Pengelompokan pasien berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji dari

Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dan dapat

berupa:

1) Mono resistan (TB MR) : resistan terhadap salah satu jenis OAT

lini pertama saja.

2) Poli resistan (TB MR) : resistant terhadap lebih dari 1 jenis OAT

lini pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara

bersamaan.

3) Multi drug resistan (TB XDR) : resistant terhadap Isoniazid (H)

dan rifampisin secara bersamaan.

4) Extensive drug resistan (TB XDR) : adalah TB MDR yang

sekaligus juga resistan terhadap salah satu OAT golongan

fluorokuinolon dan minimal salah satu dari OAT lini kedua jenis

suntikan (Kanamisin, Kapreomisin, dan Amikasin).

5) Resistan Rifampisin (TB PR) : resistan terhadap Rifampisin

dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT lain .


19

d. Klasifikasi pasien TB berdasarkan status HIV.

1) Pasien TB dengan HIV positif (pasien ko-infeksi TB/HIV): adalah

pasien TB dengan :

a) Hasil tes HIV positif sebelumnya atau sedang mendapatkan

ART.

b) Hasil tes HIV positif pada saat didiagnosis TB. Apabila pada

pemeriksaan selanjutnya tes HIV menjadi positif, pasien harus

disesuaikan kembali klasifikasinya sebagai pasien TB dengan

HIV positif.

2) Pasien TB dengan status HIV tidak diketahui adalah pasien TB

tanpa ada bukti pendukung hasil tes HIV saat didiagnosa TB

ditetapkan. Apabila pada pemeriksaan selanjutnya dapat diperoleh

hasil tes HIV pasien, pasien hasrus disesuaikan kembali

klasifikasinya berdasarkan hasil tes terakhir (Kemenkes RI, 2014).

6. Gejala dan Diagnostik

Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3

minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu

dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu

makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari

tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan. Gejala-gejala

tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti

bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain (Fitriani,

2020).
20

Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi,

maka setiap orang yang datang ke Fasyilitas Pelayanan kesesehatan

dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang tersangka

(suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara

mikroskopis langsung ((Fitriani, 2020).)

Suspek TB MDR adalah semua orang yang mempunyai gejala TB

dengan salah satu atau lebih kriteria suspek dibawah ini (Fitriani, 2020):

a. Pasien TB yang gagal pengobatan kategori 2 (kasus kronik)

b. Pasien TB tidak konversi pada pengobatan kategori 2.

c. Pasien TB dengan riwayat pengobatan TB di fasyankes Non DOTS.

d. Pasien TB gagal pengobatan kategori 1.

e. Pasien TB tidak konversi setelah pemberian sisipan.

f. Pasien TB kambuh.

g. Pasien TB yang kembali berobat setelai lalai/default.

h. Pasien TB dengan riwayat kontak erat pasien TB MDR

i. ODHA dengan gejala TB-HIV

7. Diagnosis TBC

Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari,

yaitu sewaktu - pagi - sewaktu (SPS).

a. Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan

ditemukannya kuman TB. Pada program TB nasional, penemuan BTA

melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama.

Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat
21

digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan

indikasinya.

b. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan

pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan

gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi

overdiagnosis (Kemenkes RI, 2011).

8. Cara Penularan TBC

a. Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif melalui percik

renik dahak yang dikeluarkannya.

Namun, bukan berarti pasien TB dengan hasil pemeriksaan BTA

negatif tidak mengandung kuman dalam dahaknya. Hal tersebut bisa

saja terjadi oleh karena jumlah kuman yang terkandung dalam contoh

uji < 5000 kuman per cc dahak sehingga sulit untuk dideteksi melalui

pemeriksaan mikroskopis langsung.

b. Pasien TB dengan hasil pemeriksaan BTA negatif juga masih

memiliki kemungkinan menularkan penyakit TB. Tingkat penularan

pasien TB BTA positif adalah 65%. Pasien TB dengan BTA negatif

hasil kultur positif adalah 26 % sedangkan pasien TB dengan hasil

kultur negatif dan foto toraks positf adalah 17 %.

c. Infeksi akan terjadi apabila orang lain menghirup udara yang

mengandung percik renik dahak yang infeksius tersebut.

d. Pada waktu batuk atau bersin pasien menyebarkan kuman keudara

dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei/percik renik) sekali


22

batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak ( Kemenkes

RI, 2014).

9. Pencegahan TBC

Pencegahan dan pengendalian faktor risiko TBC dilakukan dengan cara

(Kemenkes RI, 2018):

a. Membudayakan perilaku hidup bersih dan sehat; Membudayakan

perilaku etika berbatuk;

b. Melakukan pemeliharaan dan perbaikan kualitas perumahan dan

lingkungannya sesuai dengan standar rumah sehat;

c. Peningkatan daya tahan tubuh;

d. Penanganan penyakit penyerta TBC;

e. Penerapan pencegahan dan pengendalian infeksi TBC di Fasilitas

Pelayanan Kesehatan, dan di luar Fasilitas Pelayanan Kesehatan.

10. Pengobatan TBC

Pengobatan TBC bertujuan untuk menyembuhkan pasien dan

memperbaiki produktivitas serta kualitas hidup, mencegah terjadinya

kematian oleh karena tuberkulosis atau dampak buruk selanjutnya,

mencegah terjadinya kekambuhan tuberkulosis, menurunkan penularan

tuberkulosis, mencegah terjadinya dan penularan tuberkulosis resisten

obat. Kini pengobatan Tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-prinsip

sebagai berikut (Aditama dalam Suhada, 2018):


23

a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis

obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori

pengobatan.

b. Untuk menjamin kepatuhan pasien dalam menelan obat, pengobatan

dilakukan dengan pengawasan langsung (DOT= Directly Observed

Treatment) oleh seseorang pengawas menelan obat (PMO).

c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap awal intensif dan

tahap lanjutan.

1) Tahap awal (intensif)

Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat 3 atau 4 obat sekaligus

setiap hari selama 2 bulan dan perlu diawasi secara langsung

untuk mencegah terjadinya kekebalan obat. Bila pengobatan tahap

intensif tersebut diberikan secara tepat,biasanya pasien menular

menjadi tidak menular dalam kurun waktu 1-2 bulan,

2) Tahap lanjutan

Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, 2

macam saja, namun dalam jangka waktu yang lebih lama biasanya

4 bulan. Obat dapat diberikan setiap hari maupun secara

intermitten, beberapa kali dalam 1 minggu, tahap lanjutan penting

adalah untuk mencegah terjadinya kekambuhan


24

11. Pola Pengobatan TBC

Pola pengobatan TBC ada dua fase yaitu (Aditama dalam Suhada, 2018):

a. Fase intensif terdiri dari terapi Isoniazida yang dikombinasikan dengan

Rimfamfisin dan Pirazinamida selama 2 bulan untuk prevensi

resistensi ditambah lagi Etambutol lebih disukai karena dapat

digunakan per orang.

b. Fase pemeliharaan menggunakan Isoniazida bersama Rimfafisin

selama 4 bulan lagi. Sehingga seluruh masa pengobatan menjadi 6

bulan. Studi baru memperlihatkan bahwa jangka pendek selama 6

bulan, yakni 2 bulan dengan 4 obat dan 4 bulan dengan 2 obat sama

efektifnya dengan presentaseresiditif yang juga lebih kurang sama.

Yang terpenting untuk berhasilnya pengobatan adalah kesetiaan terapi

dari penderita serta dapat minum obat terus-menerus secara teratur

selama 6 bulan (Aditama dalam Suhada, 2018)

B. Kepatuhan Minum Obat

1. Pengertian

Kepatuhan (ketaatan) adalah tingkat pasien melaksanakan cara

pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh dokternya atau orang lain.

Kepatuhan pasien sebagai sejauh mana perilaku pasien sesuai dengan

ketentuan yang diberikan oleh petugas kesehatan. Penderita yang patuh

berobat adalah yang menyelesaikan pengobatannya secara teratur dan

lengkap tanpa terputus selama minimal 6 bulan sampai 8 bulan (Prayogo,

AHE, 2013)
25

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Minum Obat

Ada faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan menurut

(Prayogo,AHE, 2013), yaitu :

a. Faktor yang mendasar atau faktor yang ada dalam diri individu yang

mempengaruhi perilaku kepatuhan (predisposising faktor) antara lain:

pengetahuan, sikap, perilaku merokok, pendidikan.

b. Faktor yang memperkuat atau yang mendorong (reinforcing faktor)

antara lain : efikasi diri, dukungan atau motivasi dari keluarga.

c. Faktor yang mendukung (enabling factors) : tersedianya fasilitas

kesehatan, kemudahan untuk menjangkau sarana kesehatan (jarak),

sosial ekonomi atau budaya.

3. Kepatuhan Minum Obat TBC

Kepatuhan pasien penderita tuberkulosis dalam menjalani

pengobatan merupakan salah satu faktor dominan yang dapat menjadi

parameter keberhasilan pengobatan tuberkulosis.Jika penderita

tuberkulosis tidak patuh terhadap terapi yang dijalankannya, akibatnya

adalah resistensi kuman mycobacterium tuberculosis terhadap obat yang

di berikan (Setyowati, 2012)

Pengobatan TBC menggunakan OAT dengan metode Directly

Observal Treatment Shortcourse(DOTS). DOTS adalah suatu strategi

yang sudah dibakukan oleh badan kesahatan dunia (WHO) dalam

program pemberantasan TBC. Tujuan utama adalah agar pengobatan yang

diberikan pada pasien TBC diberikan secara benar dan dijamin


26

kesembuhannya. DOTS mempunyai 5 komponen, salah satunya adalah

pemberian obat sesuai standar (short-course) selama minimal 6 bulan.

Obat ini harus diyakini selalu diminum secara teratur.

Penderita dikatakan lalai jika tidak datang lebih dari 3 hari sampai 2

bulan dari tanggal perjanjian dan dikatakan drop out jika lebih dari 2

bulan berturut- turut tidak datang setelah dikunjungi petugas kesehatan.

C. Dukungan Keluarga

1. Pengertian

Dukungan keluarga merupakan bantuan yang dapat diberikan

kepada keluarga lain berupa barang, jasa, informasi dan nasehat, yang

mana membuat penerima dukungan akan merasa disayangi, dihargai, dan

tentram. Dukungan keluarga sangat dibutuhkan dalam menentukan

kepatuhan dalam menentukan kepatuhan pengobatan, jika

dukungankeluarga diberikan pada pasien TB paru maka akan memotivasi

pasien tersebut untuk patuh dalam pengobatannya dan meminum obat

yang telah diberikan oleh petugas kesehatan. Sejumlah orang lain yang

potensial memberi dukungan tersebut sebagai significant other, misalnya

sebagai seorang istri significant other nya adalah suami, anak, orang tua,

mertua, dan saudara-saudara (Ulfah, M, 2013).

Dukungan sosial keluarga menjadikan keluarga mampu berfungsi

dengan berbagai kepandaian dan akal, sehingga akan meningkatkan

kesehatan dan adaptasi mereka dalam kehidupan (Wahyuni, H, 2015).

Dukungan keluarga telah mengkonseptualisasi dukungan sosial


27

sebagai koping keluarga, baik dukungan-dukungan yang bersifat eksternal

maupun internal terbukti sangat bermanfaat. Dukungan sosial keluarga

eksternal antara lain, sahabat, pekerjaan, tetangga, sekolah, keluarga

besar, kelompok sosial, kelompok rekreasi, tempat ibadah, dan praktisi

kesehatan. Dukungan sosial keluarga internal atara lain, dukungan dari

suami, istri atau saudara kandung atau dukungan dari anak (Wahyuni, H,

2015).

2. Jenis Dukungan Keluarga

Jenis dukungan keluarga Menurut Fridman dalam (Wahyuni, H,

2015), yaitu:

a. Dukungan informasional yaitu keluarga berfubngsi sebagai penyebar

dan pemberi informasi. Informasi yaitu bantuan yang disediakan agar

dapat digunakan oleh seseorang dalam menanggulangi persoalan-

persoalan yang dihadapi. Disini diharapkan bantuan informasi yang

disediakan keluarga dapat digunakan oleh individu dalam mengatasi

persoalan yang sedang dihadapi.

b. Dukungan penghargaan/ penilaian yaitu keluarga bertindak sebagai

penengah dalam pemecahan masalah dan juga sebagai fasilitator

dalam pemecahan masalah yang sedang dihadapi. Dukungan dan

perhatian dari keluarga merupakan bentuk penghargaan positif yang

diberikan

kepada individu.
28

c. Dukungan instrumen yaitu keluarga merupakan sumber pertolongan

praktis dan konkrit. Bantuan instrumental adalah bantuan bentuk ini

mempermudah seseorang dalam melakukan aktivitasnya berkaitan

dengan persoalan-persoalan yang dihadapinya, misalnya dengan

menyediakan peralatan lengkap bagi penderita, menyediakan obat-

obat yang dibutuhkan dan lain-lain.

d. Dukungan emosional yaitu keluarga sebagai tempat yang aman dan

damai untuk beristirahat dan juga menenangkan pikiran. Setiap orang

pasti membutuhkan bantuan dari keluarga. Individu yang menghadapi

persoalan atau masalah akan merasa terbantu kalau ada keluarga yang

mau mendengarkan dan memperhatikan masalah yang sedang

dihadapi

D. Efikasi Diri

1. Pengertian

Bandura adalah orang yang pertama kali mengenalkan tentang

efikasi diri. Teori efikasi diri berasal dari teori belajar sosial yang

menyatakan bahwa permulaan adaptasi dengan lingkungan sebagian

ditentukan oleh penilaian efikasi diri. Efikasi diri menurut Bandura

(dalam Fitriyah dkk, 2019) adalah keyakinan diri individu dalam

memperhitungkan kemampuan dirinya dalam melakukan sesuatu

untuk mencapai hasil pada situasi dan kondisi tertentu. Keyakinan

diri ini terdiri dari kepercayaan diri, kemampuan adaptasi diri,

kualitas dan kuantitas kognitif serta bertindak pada kondisi yang


29

memiliki tekanan. Keyakinan diri individu dalam kemampuan

melaksanakan suatu tugas tergantung pada tingkat kesukaran

tugas dan kecakapan individu dalam menghadapi tugas tersebut (Fitriyah

dkk, 2019)

2. Sumber Efikasi Diri

Efikasi diri dapat terbentuk pada diri manusia dengan

mempelajari dan mengembangkan empat sumber informasi, yaitu:

a. Mastery Experience (Pengalaman Keberhasilan).

Keberhasilan yang diperoleh seseorang akan meningkatkan efikasi diri

individu sedangkan kegagalan akan menurunkan efikasi dirinya.

Pengalaman tersebut mampu meningkatkan kegigihan dalam berupaya

mengatasi kesulitan tugas dan mengurangi kegagalan.

b. Social Modeling (Permodelan Sosial).

Efikasi diri seseorang akan meningkat ketika ia melihat

pengalaman keberhasilan orang lain yang memiliki kemiripan dengan

individu tersebut dalam mengerjakan suatu tugas dan setara

kompetensinya. Efikasi diri seseorang akan menurun ketika melihat

kegagalan orang lain.

c. Social Percuasion (Persuasi Sosial).

Persuasi sosial berhubungan dengan kemampuan verbal dalam

meyakinkan seseorang bahwa ia mampu melakukan suatu tugas.

Individu yang diyakinkan secara verbal cenderung akan berupaya

lebih keras untuk mencapai keberhasilan. Individu yang memperoleh


30

persuasi sosial akan memiliki derajat efikasi diri lebih tinggi

dibandingkan dengan individu yang tidak mendapatkan

persuasi sosial.

d. Physiological and Emotional States (Kondisi Fisik dan Emosi).

Situasi yang menekan kondisi fisik dan emosi dapat

mempengaruhi efikasi diri. Emosi yang bergejolak, gelisah, cemas,

takut, stres yang mendalam dan keadaan fisiologis yang

lemah akan dirasakan seseorang jika yang telah terjadi tidak

sesuai dengan yang diinginkan. Jika suasana hatinya membaik

maka akan meningkatkan efikasi diri dan sebaliknya jika suasana

hatinya memburuk maka akan melemahkan efikasi diri

3. Komponen Efikasi Diri

Efikasi diri yang dimiliki setiap manusia berbeda-beda; terletak pada tiga

komponen yaitu magnitude, strength, dan generality.

a. Magnitude.

Komponen ini berkaitan dengan kesulitan tugas. Apabila tugas-

tugas yang dibebankan dan dihadapkan pada individu menurut tingkat

kesulitannya maka individu tersebut akan lebih memilih tugas-tugas

yang mudah/sederhana, sedang, dan tinggi/sulit sesuai dengan batas

kemampuan yang dirasakan untuk dilaksanakannya serta mampu

menyelesaikan tugas-tugas tersebut dengan baik.

b. Generality.

Komponen ini berkaitan dengan luas bidang tugas dengan keyakinan


31

individu atas kemampuannya untuk menyelesaikan tugas tersebut.

Beberapa individu akan merasa mampu melakukan tugas dalam

bidang luas, sementara individu yang lain mungkin hanya bisa pada

bidang tertentu dalam menangani/melakukan/menyelesaikan tugas-

tugas tersebut.

c. Strength

Komponen ini berkaitan dengan kemantapan dan kekuatan seseorang

terhadap keyakinannya untuk bisa menyelesaikan tugas dengan baik

dan sempurna. Individu dengan efikasi diri yang lemah lebih mudah

menyerah pada ketidakberhasilan, sementara individu dengan efikasi

diri yang kuat akan tetap berupaya meskipun dijumpai pengalaman

yang menghambatnya.

3. Faktor-Faktor Mempengaruhi Efikasi Diri

Faktor yang Mempengaruhi Efikasi Diri Tinggi rendahnya efikasi diri

seseorang dalam melaksanakan tugas sangat bervariasi. Hal ini

disebabkan oleh faktor yang berpengaruh dalam mempersepsikan

kemampuan dirinya. Ada beberapa faktor yang mempengaruhu efikasi

diri yaitu:

a. Budaya

Budaya dapat mempengaruhi efikasi diri melalui nilai dan

kepercayaan yang mempunyai fungsi sebagai sumber penilaian efikasi

diri dan konsekuensi dari keyakinan diri.


32

b. Jenis kelamin

Perbedaan jenis kelamin juga dapat mempengaruhu efikasi dir.

Bandura menyatakan bahwa wanita mempunyai efikasi diri yang lebih

tinggi dalam mengelola sesuatu dibandingkan laki- laki. Wanita bisa

berprofesi sebagai ibu rumah tangga dan juga sebagai wanita karir itu

akan memiliki efikasi diri yang tinggi disbanding laki-laki yang

pekerja.

c. Sifat dari tugas yang dihadapi Semakin kompleks derajat kesulitan

tugas yang dihadapi individu maka akan semakin rendah orang

tersebut menilai

E. Konsep Perilaku Merokok

1. Pengertian

Rokok adalah salah satu produk tembakau yang dimaksudkan untuk

dibakar dan dihisap dan/atau dihirup asapnya, termasuk rokok kretek,

rokok putih, cerutu atau bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman

nicotiana tabacum, nicotiana rustica, dan spesies lainnya atau

sintetisnya yang asapnya mengandung nikotin dan tar

dengan atau tanpa bahan tambahan (PP No. 109 tahun 2012 dalam Sodik,

2018).

Seperti halnya perilaku lain, perilaku merokok pun muncul karena

adanya faktor internal (factor biologis dan factor psikologis, seperti

perilaku merokok dilakukan untuk mengurangi stres) dan factor eksternal

(factor lingkungan sosial, seperti terpengaruh oleh teman sebaya). Sari


33

dkk (Sodik, 2018) menyebutkan bahwa perilaku merokok adalah aktivitas

menghisap atau menghirup asap rokok dengan menggunakan pipa atau

rokok. Menurut Ogawa (dalam Sodik, 2018) dahulu perilaku merokok

disebut sebagai suatu kebiasaan atau ketagihan, tetapi dewasa ini merokok

disebut sebagai tobacco dependency atau ketergantungan tembakau.

Tobacco dependency sendiri dapat didefinisikan sebagai perlaku

penggunaan tembakau yang menetap, biasanya lebih dari setengah

bungkus rokok per hari, dengan adanya tambahan distres yang disebabkan

oleh kebutuhan akan tembakau secara berulang-ulang. Perilaku merokok

dapat juga didefinisikan sebagai aktivitas subjek yang berhubungan

dengan perilaku merokoknya, yang diukur melalui intensitas merokok,

waktu merokok, dan fungsi merokok dalam kehidupan sehari-hari (Sodik,

2018).

Sementara Leventhal & Cleary (Sodik, 2018) menyatakan bahwa

perilaku merokok terbentuk melalui empat tahap, yaitu: tahap

preparation, initiation, becoming a smoker, dan maintenance of smoking.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku merokok

adalah aktivitas menghisap atau menghirup asap rokok dengan

menggunakan pipa atau rokok yang dilakukan secara menetap dan

terbentuk melalui empat tahap, yaitu: tahap preparation, initiation,

becoming a smoker, dan maintenance of smoking (Sodik, 2018).


34

2. Klasifikasi Perokok

Smet (dalam Sodik, 2018) mengklasifikasikan perokok berdasarkan

banyaknya rokok yang dihisap, yaitu:

a. Perokok berat yang menghisap lebih dari 15 batang rokok dalam

sehari.

b. Perokok sedang yang menghisap 5-14 batang rokok dalam sehari.

c. Perokok ringan yang menghisap 1-4 batang rokok dalam sehari.


35

F. Kerangka Teori

Faktor Individu:

1. Pengetahuan
2. Sikap

3. Efikasi Diri
4. Perilaku Merokok

5. Pendidikan

Faktor Pendorong:
Kepatuhan Minum
Dukungan Keluarga Obat Pasien TB Paru

Faktor Pendukung:

1. Fasilitas
Kesehatan
2. Jarak
3. Sosial ekonomi
atau budaya

Keterangan:

: Diteliti

: Tidak diteliti

Bagan 2.1 Kerangka Konsep

(Prayogo,AHE, 2013)

Anda mungkin juga menyukai