Salah satu strategi exit dari investasi di private startup adalah dengan
melakukan penawaran perdana kepada publik (initial public offering/IPO) di
pasar modal. Apalagi selama 2014—2021, indeks S&P 500 Information
Technology Sector outperform dengan kenaikan mencapai 422% (22,9% per
tahun), dibandingkan indeks S&P500 yang naik 158% (12,6% per tahun).
Tren koreksi harga saham startup pasca-IPO akibat risiko pasar terjadi secara
global. Penulis mendata 100 startup yang melakukan IPO di beberapa bursa
dunia. Sampel startup IPO di bursa Amerika, Jepang, India, dan Eropa, masing-
masing berjumlah 71, 10, 7, dan 12. Periode IPO di Amerika yaitu 2019—
2021, di Jepang sepanjang 2020—2021, dan di India dan Eropa hanya pada
2021. Perubahan harga dihitung sesuai harga saham penutupan per 29 April
2022 dibandingkan dengan harga penawaran saat IPO.
10 startup tersebut diatas IPO di 2021 dengan valuasi fantastis, antara US$10
miliar—US$86 miliar, dengan rata-rata kapitalisasi US$38 miliar.
Tujuh perusahaan startup dengan kenaikan harga saham diatas 100% sejak
IPO, ternyata enam diantaranya memiliki valuasi dibawah US$10 miliar. Lima
diantaranya penyedia perangkat lunak (software as a service/SaaS), seperti
Zoom Video, dan dua market place (Airbnb dan Chewy.com). Tiga diantaranya
sudah laba, sedangkan empat lain menunjukkan perbaikan berupa rugi per
unit yang mengecil (smaller loss per unit economics).
Dari sampel, paling tidak ada tiga faktor penyebab koreksi harga saham
startup yang baru IPO tersebut.
Pertama, valuasi saham yang sangat mahal. Valuasi saham yang sangat mahal
akan memicu investor yang berbasis analisa fundamental menjual saham
tersebut. Saat banyak investor yang menjual, maka harga saham tersebut
mulai terkoreksi, memaksa investor momentum yang membuat keputusan
menggunakan analisa teknikal juga ikut menjual.
Sebagai contoh, saat Zoom mencapai titik harga tertinggi US$568 per saham,
di Oktober 2020, valuasi saham Zoom berdasarkan Price to Sales Ratio (PS)
mencapai 90x lebih. Padahal, saham-saham unggulan seperti Amazon dan
Microsoft, rasio PS-nya saat itu masing-masing sekitar 5x dan 11x. Per 29
April, harga saham Zoom terkoreksi 82% dibandingkan titik tertinggi Oktober
2020, menjadi US$100.
Ketiga, risiko kenaikan suku bunga global. Sejak awal 2021, US Treasury yield
(tenor 10 tahun) terus mengalami kenaikan dan mengalami akselerasi di 2022
menjadi 3,1%, dibandingkan titik terendah 0,5% pada 2020. Pada saat bunga
sangat rendah, horison investor makin panjang dan bersedia bersabar dengan
investasi pada perusahaan merugi. Prospek pertumbuhan pendapatan
perusahaan menjadi lebih penting daripada laba. Investor mentolerir kinerja
perusahaan yang lemah dan tidak mempertanyakan fundamental secara
detail.
Saat suku bunga pasar naik, sikap investor berbalik 180 derajat: horison
investasi menjadi pendek, arus kas dan laba menjadi lebih penting daripada
harapan pertumbuhan pendapatan, dan investor menghindari investasi yang
bersifat spekulatif. Akibatnya, perusahaan startup yang belum menghasilkan
laba, meski tumbuh tinggi (unprofitable growth), cenderung akan dihindari
oleh investor publik.
*Anggota Komite Investasi dan Penempatan, Badan Pengelola Keuangan Haji Siswa Rizali
saat ini aktif di Komite Investasi dan Penempatan, Badan Pengelola Keuangan Haji. Peraih
gelar Master of Science dari Economics National Univrsity of Singapore ini pernah menjadi
Direktur Utama Asanusa Asset Management periode 2015-2018