Anda di halaman 1dari 3

OPINI

IPO Startup dan Risiko Pasar


Siswa Rizali*
Kamis, 12/05/2022 02:00 WIB

Salah satu strategi exit dari investasi di private startup adalah dengan
melakukan penawaran perdana kepada publik (initial public offering/IPO) di
pasar modal. Apalagi selama 2014—2021, indeks S&P 500 Information
Technology Sector outperform dengan kenaikan mencapai 422% (22,9% per
tahun), dibandingkan indeks S&P500 yang naik 158% (12,6% per tahun).

Rally saham teknologi sendiri mulai mengalami perlambatan di akhir 2021.


Bahkan sepanjang tahun berjalan 2022, kinerja saham sektor informasi dan
teknologi jauh tertinggal dibandingkan dengan kinerja indeks S&P500.
Sentimen koreksi ini adakah risiko pasar bagi perusahaan startup yang
memutuskan IPO.

Kondisi serupa terjadi di Indonesia. Keberhasilan IPO startup unicorn


Bukalapak (Juli 2021) dan PT GoTo (April 2022) diikuti dengan koreksi harga
saham yang signifikan. Per 29 April, harga saham Bukalapak dan PT GoTo
masing-masing telah terkoreksi 55% dan 20% dibandingkan dengan harga
saat IPO.

Tren koreksi harga saham startup pasca-IPO akibat risiko pasar terjadi secara
global. Penulis mendata 100 startup yang melakukan IPO di beberapa bursa
dunia. Sampel startup IPO di bursa Amerika, Jepang, India, dan Eropa, masing-
masing berjumlah 71, 10, 7, dan 12. Periode IPO di Amerika yaitu 2019—
2021, di Jepang sepanjang 2020—2021, dan di India dan Eropa hanya pada
2021. Perubahan harga dihitung sesuai harga saham penutupan per 29 April
2022 dibandingkan dengan harga penawaran saat IPO.

Dari 100 perusahaan, 74 perusahaan (74%) harga sahamnya dibawah harga


IPO. Dari 71 perusahaan startup yang IPO di Amerika, 56 perusahaan (79%)
harga sahamnya dibawah harga IPO. Porsi perusahaan startup yang IPO di
bursa Amerika tahun 2021 dengan harga sahamnya saat ini di bawah harga
IPO mencapai 97%, lebih banyak dibandingkan yang IPO pada 2020 dan 2019
yaitu masing-masing 68% dan 57%. Porsi harga saham startup dibawah harga
IPO di Jepang dan Eropa masing-masing 60% dan 67%, serupa dengan kondisi
di bursa Amerika. Porsi startup di bursa India yang harga sahamnya di bawah
harga IPO lebih sedikit, yaitu 57%.
Uber sebagai pionir startup mobility IPO di 2019 dengan valuasi US$82 miliar,
harga sahamnya telah koreksi 30%. Perusahaan startup unggulan e-
commerce dan mobility yang harga sahamnya turun dibawah harga IPO
diantaranya: Coupang (Korea), Deliveroo (Eropa), Grab (Asean), Auto1 Group
(Eropa), dan Didi Chuxing (China). Harga saham perusahaan startup tersebut
terkoreksi antara 63%—87%, dengan rata-rata koreksi sekitar 74%. Startup
fintech, seperti Nubank (Brazil), Wise (Inggris), Coinbase (investing platform),
Paytm (India), dan Robinhood (investing paltform), juga terkoreksi antara
33%—74%, dengan rata-rata koreksi 57%.

10 startup tersebut diatas IPO di 2021 dengan valuasi fantastis, antara US$10
miliar—US$86 miliar, dengan rata-rata kapitalisasi US$38 miliar.

Tujuh perusahaan startup dengan kenaikan harga saham diatas 100% sejak
IPO, ternyata enam diantaranya memiliki valuasi dibawah US$10 miliar. Lima
diantaranya penyedia perangkat lunak (software as a service/SaaS), seperti
Zoom Video, dan dua market place (Airbnb dan Chewy.com). Tiga diantaranya
sudah laba, sedangkan empat lain menunjukkan perbaikan berupa rugi per
unit yang mengecil (smaller loss per unit economics).

Dari sampel, paling tidak ada tiga faktor penyebab koreksi harga saham
startup yang baru IPO tersebut.

Pertama, valuasi saham yang sangat mahal. Valuasi saham yang sangat mahal
akan memicu investor yang berbasis analisa fundamental menjual saham
tersebut. Saat banyak investor yang menjual, maka harga saham tersebut
mulai terkoreksi, memaksa investor momentum yang membuat keputusan
menggunakan analisa teknikal juga ikut menjual.

Sebagai contoh, saat Zoom mencapai titik harga tertinggi US$568 per saham,
di Oktober 2020, valuasi saham Zoom berdasarkan Price to Sales Ratio (PS)
mencapai 90x lebih. Padahal, saham-saham unggulan seperti Amazon dan
Microsoft, rasio PS-nya saat itu masing-masing sekitar 5x dan 11x. Per 29
April, harga saham Zoom terkoreksi 82% dibandingkan titik tertinggi Oktober
2020, menjadi US$100.

Kedua, kinerja perusahaan startup yang dibawah ekspektasi pasar. Kinerja


Zoom untuk tahun 2021 sebenarnya diatas konsensus pasar. Namun, proyeksi
pertumbuhan pendapatan Zoom untuk 2022 turun menjadi 11%,
dibandingkan 2021 yang mencapai 55%, dan dibawah perkiraan analis yang
sekitar 15% (Barrons.com, 2 Maret).
Grab gross merchandise volume (GMV) dan pendapatan tahun 2021 masing-
masing naik 29% dan 44% dibandingkan tahun 2020. Namun, rugi Grab pada
2021 mencapai US$3,6 miliar, naik 30% dibandingkan dengan rugi US$2,7
miliar pada 2020. Akibatnya, harga saham Grab terkoreksi 37% per hari pada
3 Maret (Reuters.com, 4 Maret).

Koreksi ekstrem harian akibat kinerja fundamental dibawah harapan pasar


juga dialami saham startup WeWork, Lyft, dan Teladoc, yang masing-masing
terkoreksi sebesar 22% (4 Maret), 30% (4 Mei), dan 40% (28 April).

Ketiga, risiko kenaikan suku bunga global. Sejak awal 2021, US Treasury yield
(tenor 10 tahun) terus mengalami kenaikan dan mengalami akselerasi di 2022
menjadi 3,1%, dibandingkan titik terendah 0,5% pada 2020. Pada saat bunga
sangat rendah, horison investor makin panjang dan bersedia bersabar dengan
investasi pada perusahaan merugi. Prospek pertumbuhan pendapatan
perusahaan menjadi lebih penting daripada laba. Investor mentolerir kinerja
perusahaan yang lemah dan tidak mempertanyakan fundamental secara
detail.

Saat suku bunga pasar naik, sikap investor berbalik 180 derajat: horison
investasi menjadi pendek, arus kas dan laba menjadi lebih penting daripada
harapan pertumbuhan pendapatan, dan investor menghindari investasi yang
bersifat spekulatif. Akibatnya, perusahaan startup yang belum menghasilkan
laba, meski tumbuh tinggi (unprofitable growth), cenderung akan dihindari
oleh investor publik.

Prospek jangka panjang investasi startup berbasis IT tetap baik mengingat


dimasa mendatang perusahaan berbasis teknologi akan makin penting dalam
kegiatan ekonomi. Namun, untuk mendapatkan keuntungan dari investasi
startup, investor harus memperhatikan valuasi dan kinerja fundamental
perusahaan, serta siklus ekonomi. Risiko fluktuasi pasar pasca-startup IPO
mengindikasikan bahwa valuasi private startup cenderung kemahalan dan
tidak objektif.

*Anggota Komite Investasi dan Penempatan, Badan Pengelola Keuangan Haji Siswa Rizali
saat ini aktif di Komite Investasi dan Penempatan, Badan Pengelola Keuangan Haji. Peraih
gelar Master of Science dari Economics National Univrsity of Singapore ini pernah menjadi
Direktur Utama Asanusa Asset Management periode 2015-2018

Editor : Akhirul Anwar

Anda mungkin juga menyukai