Anda di halaman 1dari 9

Analisis Bahasa Kias dan Sarana Retorik dalam Puisi

Berjudul Yogya, Senandung Tak Bernama, Tanpa Jarak,


dan Bulan Tertusuk Lalang
1. Puisi Pertama
YOGYA
Kuda tersipu dengan mata tertutup
setiap kita adalah bertemu
beban
dan kemerdekaan

Kuda tersipu dengan mata tertutup


setiap kita adalah berpisah
penjuru
dipacu salah

(Djajanto Supra, Tonggak 3, hlm.196)

PERSONIFIKASI (Bahasa Kias)


Kuda tersipu dengan mata tertutup
Dalam puisi berjudul Yogya di atas terdapat majas personifikasi yaitu
mempersamakan sesuatu benda dengan manusia yang terdapat pada kata "kuda
tersipu", kata tersipu biasanya digunakan oleh manusia yang menyatakan keadaan
malu, tetapi pada puisi tersebut yang tersipu adalah kuda.

METAFORA EKSPLISIT (Bahasa Kias)


setiap kita adalah bertemu
setiap kita adalah berpisah
Pada kalimat yang digaris bawah di atas menunjukkan metafora eksplisit, karena ada
unsur pembanding dan yang dibandingkan. Setiap kita sebagai hal yang dibandingkan
dan bertemu / berpisah sebagai pembandingnya.
REPETISI (Sarana Retorik)
Kuda tersipu dengan mata tertutup
setiap kita adalah bertemu
beban
dan kemerdekaan
Kuda tersipu dengan mata tertutup
setiap kita adalah berpisah
penjuru
dipacu salah

Pada puisi berjudul Yogya terdapat sarana retorik yang berkenaan dengan segala
bentuk perulangan. Perulangan tersebut pada permulaan sejumlah baris di antara bait
yang berbeda. Hal tersebut tergambar pada kata Kuda tersipu dengan mata
tertutup ;setiap kita adalah, yang berfungsi sebagai penekan dan melukiskan keadaan
atau peristiwa yang terjadi secara terus menerus.

2. Puisi kedua
SENANDUNG TAK BERNAMA
Apakah dunia bagiku ? Mungkin sebuah
rumah untuk sebentar waktu. Atau mungkin suatu
daerah pengembaraan asing
tak ada rumahku, rumah kita. Kita baru bakal masuk ke sana

dan kebahagiaan tiada lain


selain mencintai rumah ini, mencintai kau
penghuninya. Moga-moga aku betah terus
di sini, sesampai waktu

Sedangkan penderitaanku adalah kecemasan seorang


anak tersesat. Atau kecemasan pengembara yang menyandang kutuk
berjalan dalam kabut
entah di kampung halaman, entah ke tempat buangan

(Abrar Yusra, Tonggak 3, hlm. 206)

METAFORA EKSPLISIT (Bahasa Kias)


Sedangkan penderitaanku adalah kecemasan seorang
Pada kalimat di atas menunjukkan metafora eksplisit, karena ada unsur pembanding
dan yang dibandingkan. Sedangkan penderitaanku sebagai hal yang dibandingkan dan
kecemasan seorang sebagai pembandingnya.

REPETISI (Sarana Retorik)


tak ada rumahku, rumah kita. Kita baru bakal masuk ke sana
selain mencintai rumah ini, mencintai kau

Pada puisi yang berjudul "Senandung Tak Bernama" terdapat repetisi yaitu
pengulangan kata "rumah" dan "mencintai" dalam baris yang sama.
PERTANYAAN RETORIS (Sarana Retorik)
Apakah dunia bagiku ?

Dalam puisi yang berjudul "Senandung Tak Bernama" terdapat pertanyaan retoris
pada bait pertama baris pertama. Pada kalimat Apakah dunia bagiku ? merupakan
pertanyaan yang tidak perlu dijawab karena sudah terjawab oleh kalimat selanjutnya
yaitu "Mungkin sebuah rumah untuk sebentar waktu. Atau mungkin suatu daerah
pengembaraan asing".

TAUTOLOGI (Sarana Retorik)


dan kebahagiaan tiada lain
selain mencintai rumah ini, mencintai kau

Pada bait kedua baris pertama dan kedua dalam puisi "Senandung Tak Bernama"
terdapat tautologi yaitu sarana retorik untuk menyatakan keadaan dua kali "mencintai
rumah ini, mencintai kau" yang ditandai dengan kata tiada lain selain.

ENUMERASI (Sarana Retorik)


entah di kampung halaman, entah ke tempat buangan

Pada bait ketiga baris keempat menunjukkan adanya sarana retorik yang berupa
pemecahan suatu hal atau keadaan menjadi beberapa bagian agar jelas (enumerasi)
yaitu pada kalimat "entah di kampung halaman, entah ke tempat buangan".

3. Puisi ketiga
TANPA JARAK
Tanpa jarak
Maka entah rapat entah berantara
Tanpa aksara
Maka entah diam entah bicara
Tanpa ketika
Maka entah sebentar entah lama
Tanpa masa
Maka entah kekal entah fana
Tanpa janji
Maka entah berpisah entah bersua.

(A. Mustofa Bisri, Tadarus, hlm.64)

REPETISI (Sarana Retorik)


Tanpa jarak
Maka entah rapat entah berantara
Tanpa aksara
Maka entah diam entah bicara
Tanpa ketika
Maka entah sebentar entah lama
Tanpa masa
Maka entah kekal entah fana
Tanpa janji
Maka entah berpisah entah bersua.

Pada puisi yang berjudul "Tanpa Jarak" terdapat perulangan/repetisi berupa kata
tanpa , maka entah , dan entah yang berfungsi sebagai penekan dan melukiskan
keadaan atau peristiwa yang terjadi secara terus menerus.

ENUMERASI (Sarana Retorik)


Tanpa jarak
Maka entah rapat entah berantara
Tanpa aksara
Maka entah diam entah bicara
Tanpa ketika
Maka entah sebentar entah lama
Tanpa masa
Maka entah kekal entah fana
Tanpa janji
Maka entah berpisah entah bersua.

Pada puisi "Tanpa Jarak" terdapat sarana retorik yang berupa pemecahan suatu hal
atau keadaan menjadi beberapa bagian agar jelas (enumerasi) yaitu pada frasa yang
digaris bawahi.

4. Puisi keempat
BULAN TERTUSUK LALANG
bulan rebah
angin lelah di atas kandang

cicit-cicit kelelawar
menghimbau di ubun bukit
di mana kelak kujemput anak cucuku
menuntun sapi berpasang-pasang

angin termangu di pohon asam


bulan tertusuk lalang

tapi malam yang penuh belas kasihan


menerima semesta bayang-bayang
dengan mesra menidurkannya
dalam ranjang-ranjang nyanyian

(D. Zawawi Imron, Bulan Tertusuk Lalang)

PERSONIFIKASI (Bahasa Kias)


bulan rebah
angin lelah di atas kandang

cicit-cicit kelelawar
menghimbau di ubun bukit
di mana kelak kujemput anak cucuku
menuntun sapi berpasang-pasang

angin termangu di pohon asam


bulan tertusuk lalang

tapi malam yang penuh belas kasihan


menerima semesta bayang-bayang
dengan mesra menidurkannya
dalam ranjang-ranjang nyanyian

Pada kata-kata yang digaris bawah dalam puisi di atas termasuk personifikasi yaitu
mempersamakan sesuatu benda dengan manusia .

HIPERBOLA (Sarana Retorik)


tapi malam yang penuh belas kasihan
Kalimat di atas menggambarkan sarana retorik sarana retorik dengan
melebih-lebihkan sesuatu dari yang sebenarnya (hiperbola).

Anda mungkin juga menyukai