Anda di halaman 1dari 4

Menilai Imunitas Bank Sultra Terhadap Covid19

Sejak ditemukannya kasus pertama virus corona yang kemudian diberi nama Corona Virus Disease 2019
(Covid19) di Wuhan China pada akhir Desember 2019 lalu, jumlah kasus terkonfirmasi positif Covid19
semakin naik pesat sehingga memaksa World Health Organization atau WHO menyatakan Covid19
sebagai pandemi pada tanggal 11 Maret 2020. Dari data per hari Senin (20/4) pukul 09.00 WITA
sebanyak 2.241.359 orang dinyatakan positif di seluruh dunia. Di Indonesia sendiri kasus pertama
ditemukan pada 2 Maret 2020 yang diumumkan langsung oleh Presiden Joko Widodo, hingga kini total
kasus mencapai 6.575 kasus atau meningkat 327 kasus dari sebelumnya yang mana Kota Jakarta menjadi
episentrum penyebaran virus tersebut, sementara itu di Sulawesi Tenggara (Sultra) sendiri sudah
mencapai 36 orang positif , 4 orang telah dinyatakan sembuh dan 2 orang meninggal dunia.

Data tersebut menggambarkan ketidaksiapan dunia dalam menghadapi pandemi ini, berbagai masalah
dan tantangan muncul bagi kesehatan dunia. Mulai dari lambannya identifikasi virus yang membuat
penyebarannya meningkat secara eksponensial, kemudian belum ditemukannya vaksin Covid19 yang
memaksa medis menggunakan obat maupun antivirus yang bukan peruntukannya, kurangnya alat
pelindung diri bagi tenaga kesehatan hingga kelangkaan masker dan hand sanitizer.

Belum juga berhasil menjinakkan Covid19 kini dunia tengah dihadapkan dengan dampak dominonya
terhadap perekonomian global. Meskipun perlambatan ekonomi sudah mulai terasa sejak tahun 2019
lalu, namun kehadiran covid19 ini seakan menjadi trigger yang cocok bagi para analis dan pakar
ekonomi dunia untuk mengidentifikasi the next recession wave atau gelombang resesi selanjutnya pasca
resesi tahun 2007/2008.

The Economist Intelligence Unit (EIU) memprediksi negara-negara yang tergabung dalam G20 termasuk
Indonesia bakal mengalami resesi di tahun 2020 ini. Resesi dimaknai sebagai kondisi ketika
perekonomian mengalami penurunan signifikan selama dua kuartal atau lebih secara berturut-turut
atau suatu negara juga dapat dikatakan mengalami resesi bila dalam dua kuartal berturut-turut Produk
Domestik Bruto (PDB) tumbuh negatif. Berdasarkan rilis data EIU digambarkan bahwa 17 dari 20 negara
yang tergabung dalam G20 akan mengalami pertumbuhan ekonomi negatif, yang terparah adalah Italia
yang tumbuh -7% lalu diikuti Prancis dan jerman masing-masing -5%. Untuk 3 negara lainnya masih
diprediksi tumbuh positif namun bakal mengalami penurunan yang cukup signifikan yakni India 2,1%
disusul Indonesia dan China masing-masing 1% yang sebelumnya tumbuh diatas 5%.

Kementerian Keuangan Indonesia sendiri sudah merilis skenario pertumbuhan ekonomi Indonesia pada
kuartal II dan dan kuartal III masing-masing hanya akan tumbuh 1,1% dan 1,3% dari yang sebelumnya
tumbuh 4,7% di kuartal I tahun 2020. Hal ini mengindikasikan bahwa perekenomian Indonesia kedepan
akan mengalami perlambatan yang signifikan, bahkan skenario terberat yang lebih mengkhawatirkan
adalah pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa mencapai negatif 0,4% sebagaimana perkiraan Komite
Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) yang diketuai oleh Sri Mulyani Indrawati.
Lalu bagaimana dengan Sulawesi Tenggara ? Tentu konsekuensi logis Sulawesi Tenggara (Sultra) juga
akan mengalami perlambatan ekonomi apabila Indonesia mengalami perlambatan ekonomi atau bahkan
sampai terjadi resesi, karena Sultra merupakan satu kesatuan dari supply chain nasional. Jika kita
menilik dalam laporan perekonomian regional Bank Indonesia Perwakilan Sulawesi Tenggara (Sultra),
perekonomian Sultra pada kuartal I 2020 berada diangka minimum 6,3% atau mengalami perlambatan
dibanding kuartal IV tahun 2019 yang mencapai angka 6,9%. Untuk kuartal II dan Kuartal III tahun 2020,
penulis belum mendapatkan data yang valid sehingga dalam hal ini penulis mensimulasikan
pertumbuhan ekonomi Sultra pada kuartal II dan kuartal III dengan mengacu pada skenario
pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dirilis oleh Kemenkeu RI yang mana proyeksi penurunan kuartal II
dan kuartal III dari kuartal I masing-masing mencapai 75% dan 72%, maka didapatkan angka
pertumbuhan ekonomi Sulawesi Tenggara pada kuartal II sebesar 4,7% dan kuartal III sebesar 4,5%,
dengan pertimbangan margin of error yang tinggi maka penulis mengambil angka pertumbuhan
ekonomi secara konservatif dikisaran 5% - 5,5%.

Kita sudah mengetahui setidaknya asumsi pertumbuhan ekonomi Sultra yang diproyeksikan mengalami
penurunan signifikan akibat dari perlambatan ekonomi nasional disebabkan oleh wabah Covid19 ini, lalu
apa dampaknya terhadap prospek bisnis industri perbankan di Sultra khususnya Bank Pembangunan
Daerah (BPD) Sultra kedepan? Apakah imunitas fundamental perusahaan mampu menghindarkan BPD
Sultra ini dari jangkitan Corona?

Untuk menjawabnya kita perlu mendignosa fundamental BPD Sultra atau Bank Sultra ini dengan rasio-
rasio keuangan yang berhasil dibukukan oleh perusahaan dalam kurun waktu minimal 5 tahun
belakangan. Beberapa acuan rasio yang penulis gunakan dalam menilai imunitas bank kebanggaan
masyarakat Sultra ini adalah tingkat kesehatan kredit yang dituangkan dalam rasio non performing loan
(NPL), kekuatan permodalan yang dimiliki dengan menggunakan nilai capital adequacy ratio (CAR) atau
KPMM, kemampuan perusahaan menghasilkan keuntungan melalui rasio return on asset (ROA), efisiensi
perusahaan melalui rasio beban operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) dan yang
terakhir dari segi likuiditas perusahaan yang digambarkan dalam rasio loan to deposit ratio (LDR).
Selanjutnya penulis akan memproyeksikan pertumbuhan pendapatan dan laba bersih perusahaan yang
dapat diraih terhadap pertumbuhan ekonomi Sultra, sehingga setidaknya kita dapat mengetahui
proyeksi pertumbuhan Bank Sultra kedepan.

Berdasarkan laporan keuangan (audited) tahunan yang dirilis oleh manajemen Bank Sultra, penulis
dapat merangkum rasio-rasio keuangan sebagai berikut:

2015 2016 2017 2018 2019


NO RASIO ACUAN
(%) (%) (%) (%) (%)
1 NPL (net) 1,22 0,84 0,57 0,33 0,39 ≤5%
2 CAR 23,09 24,69 26,30 26,33 25,13 ≥8%
3 ROA 3,41 3,87 3,92 4,01 3,73 ≥0,765%
4 BOPO 76,41 73,42 73,49 69,19 69,85 <93,52%
5 LDR 94,44 97,72 103,51 101,38 95,17 <94,75%
Berdasarkan data tersebut, Bank Sultra dalam 5 tahun terakhir cenderung mencatatkan penurunan NPL
namun di tahun 2019 NPL meningkat sebesar 18,18% yoy dibanding tahun 2018, apabila di breakdown
dalam laporan kualitas aset produktif (LK FY2019) maka peningkatan kredit macet sektor bukan debitur
UMKM sekitar 84% yoy dari sebelumnya Rp. 6,7 miliar di tahun 2018 menjadi 12,4 miliar di tahun 2019.
Hal ini mengindikasikan menurunnya kemampuan perusahaan dalam menguranngi resiko kredit macet
selama tahun buku 2019, namun secara keseluruhan (5y) rasio NPL lebih baik dibanding rasio NPL Bank
Umum di Sultra tahun 2019 yang berada dikisaran 2,3% dan jauh lebih baik dari acuan batas maksimum
NPL yang ditentukan oleh Bank Indonesia (BI) sebesar 5%, capaian ini ditopang oleh tingginya kredit
konsumtif pegawai.

Dari sisi kecukupan modal, Bank Sultra juga menunjukkan kinerja yang cukup apik. Periode tahun 2015 –
2018 CAR Bank Sultra terus tumbuh secara rata-rata di atas 3% (CAGR) meskipun di tahun 2019 terjadi
penurunan sebesar 4,6% namun masih jauh di atas syarat CAR yang ditentukan oleh BI. Semakin tinggi
nilai CAR maka akan semakin baik, Bank Sultra memiliki kemampuan yang besar dalam meminimalisir
resiko serta memiliki potensi pertumbuhan dan ekspansi bisnis kedepan. Meskipun Bank Sultra memiliki
kecukupan modal yang besar, namun likuiditasnya sangat ketat yang dicerminkan dari tingginya nilai
LDR mencapai 95,17%. Hal ini perlu menjadi perhatian manajemen untuk dapat menjaga LDR dibawah
batas aman yang ditentukan oleh BI misalnya dengan cara meningkatkan kepemilikan surat berharga
dan menekan pertumbuhan kredit yang dianggap beresiko, hal ini untuk mengantisipasi agar Bank Sultra
tidak sampai mengalami kekeringan likuiditas.

Kinerja Bank sultra selama 5 tahun terakhir terbilang efisien apabila dilihat dari pertumbuhan return on
aset nya jika dibandingkan dengan rata-rata industri perbankan. ROA mencerminkan kemampuan
perusahaan untuk menghasilkan laba dari setiap aset yang dimilikinya, meskipun terjadi penurunan di
tahun 2019 yang disebabkan oleh melonjaknya nilai aset mencapai 42% tidak dibarengi dengan
pertumbuhan laba yang signifikan. Sedangkan dari sisi efisiensi biaya operasional terhadap pendapatan
operasional Bank Sultra sedikit meningkat sebesar 66 bps, dari 69,19% pada tahun 2018 menjadi 69,89%
pada tahun 2019, meskipun sejatinya rasio BOPO untuk rerata BPD berdasarkan data Statistik Perbankan
Indonesia bulan Desember 2019 yang dirilis oleh OJK berada di angka 79,56%.

Selanjutnya, dengan memperhitungkan CAGR laba Bank Sultra selama 5 tahun terakhir dan
memperhatikan proyeksi pertumbuhan ekonomi Sultra tahun 2020 ini, penulis memperkirakan
pertumbuhan laba secara moderat sekitar 10% - 14% dan secara konservatif dikisaran 8% - 12%, dengan
harapan pandemik Covid19 berakhir di kuartal IV tahun 2020 dan perekonomian dapat bangkit kembali.

Pada akhirnya penulis menganggap keseluruhan kinerja keuangan Bank Sultra cukup sehat dan terus
menunjukkan pertumbuhan yang konsisten. Kendati performa di tahun 2019 cenderung turun, hal ini
perlu menjadi evaluasi bagi manajemen untuk melakukan akselerasi terhadap berbagai potensi yang
dimiliki dalam menghadapi tahun 2020 yang mana saat ini kita masih berjuang melawan pandemi
Covid19, kita belum mengetahui secara pasti sebesar apa dampak ekonomi yang akan ditimbulkan
sehingga kelihaian manajemen melihat peluang dan meminimalisir resiko akan sangat diuji.

Penulis menilai kesehatan fundamental Bank Sultra dapat diandalkan dalam melawan wabah Covid19
meski sedikit tertekan di kuartal II dan kuartal III. Dengan menjaga performa yang apik di tahun-tahun
sebelumnya maka perlambatan ekonomi nasional dan domestik sebagai dampak dari Covid19 ini akan
dapat dilewati secara ketat dengan berbagai syarat, diantaranya peningkatan good coorporate
governance (GCG) dengan melangkapi posisi top manajemen, melakukan ekstra efisiensi, melakukan
diversifikasi portopolio investasi, melonggarkan likuiditas dengan menerbitkan surat berharga atau
menggenjot DPK melalui transaksi uang digital dan kalau memungkinkan manajemen dapat menjajaki
peluang memperoleh tambahan modal dengan melakukan initial public offering (IPO) di Bursa Efek
Indonesia sehingga saham Bank Sultra dapat dimiliki oleh masyarakat Sultra yang juga akan
meningkatkan rasa kepemilikan dan kecintaan terhadap Bank Sultra.

Demikian opini penulis, kami sadari terdapat banyak kekurangan dalam tulisan ini semoga dapat
menjadi bahan referensi bagi pembaca sekalian dan sebagai bahan masukan kepada manajemen Bank
Sultra untuk terus tumbuh dan tetap menjadi kebanggan masyarakat Sultra.

Penulis:

Hasrul, S.IP

Penggiat Pasar Modal Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai