Anda di halaman 1dari 14

ANALISIS PERMASALAHAN DAN KEBUTUHAN KADER TERKAIT

PENCEGAHAN STUNTING DI WILAYAH KABUPATEN SUMEDANG


DAN KABUPATEN BANDUNG PADA TAHUN 2020

Oleh:

AGRI AZIZAH AMALIA

220120180056

PROGRAM PASCASARJANA

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS PADJADJARAN

2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.2 Latar Belakang Penelitian


Penelitian ini dilatarbelakangi oleh pengalaman peneliti saat
melakukan kegiatan posyandu di Desa Margamukti Kabupaten Sumedang.
Peneliti melakukan wawancara pada salah satu kader Ny. L yang sudah
menjadi kader sejak tahun 2000 dan terlibat aktif sejak tahun 2010 di desa
margamukti kecamatan sumedang utara. Kader Ny. L ketika diwawancara
mengungkapkan bahwa di desa margamukti terdapat 75 anak dengan
diagnosa stunting, sudah dilakukan beberapa tindakan pencegahan oleh
tenaga kesehatan setempat melalui penyuluhan stunting ke masyarakat
oleh dinas kesehatan, dibentuk KWT (Kelompok Wanita Tani) kemudian
turun komunitas tani untuk memberikan tanaman-tanamanan sayuran
kepada anak yang stunting dan skrining pertumbuhan perkembangan anak
di setiap posyandu. Meskipun tindakan pencegahan sudah dilakukan tetapi
masih terdapat permasalahan dilapangan yang dirasakan oleh kader
sebagai petugas yang turun langsung ke masyarakat.
Permasalahan terkait lingkungan di desa margamukti yang masih
padat penduduk dengan perekonomian yang masih kurang, kemudian
kesadaran kesehatan lingkungan yang kurang, seperti membuang sampah
sembarangan, BAB (Buang Air Besar) tidak pada tempatnya, dan
kurangnya konsumsi sayuran oleh anak-anak. Pada tahun 2019 sudah
dibangun MCK (Mandi Cuci Kakus) Komunal dan 1 septic tank manual
yang besar untuk 60 KK (Kepala Keluarga) sehingga sekarang sudah
tidak ada lagi yang membuang BAB sembarangan walaupun belum 100%.
Karena seringnya dipantau dan diberikan penyuluhan oleh tenaga
kesehatan dan kader sehingga kasus stunting tidak bertambah banyak.
Selain permasalahan terdapat juga kebutuhan yang diperlukan kader dalam
melaksanakan program pencegahan stunting seperti alat pengukuran berat
badan dan tinggi badan yang belum memadai (Pendekatan Personal
dengan kader Ny. L, 20 Februari 2020).
Menurut kader kedua yaitu Ny. E yang menjadi kader sejak tahun
2007 kurang lebih sudah 13 tahun menjadi kader aktif di desa sukamulya
kecamatan rancaekek. Permasalahan kasus stunting yang ditemukan di
desa sukamulya disebabkan asupan gizi yang kurang pada ibu hamil, hal
ini terjadi karena kurangnya informasi tentang Asi Ekslusif sehingga
banyak yang menggunakan susu formula pengganti Asi. Kemudian
ditambah juga dengan pola asuh anak yang salah karena mayoritas
penduduk setempat bekerja sebagai buruh pabrik. Sanitasi yang kurang
baik akibat dari Pengelolaan sampah karena tidak adanya TPS (Tempat
Pembuangan Sampah), kurangnya ketersediaan air bersih untuk
masyarakat, dan tidak adanya MCK (Mandi Cuci Kakus) sehingga
menyebabkan BAB (Buang Air Besar) sembarangan hal ini disebebkan
oleh beberapa rumah yang masih belum mempunyai septic tank tetapi
mempunyai kloset sehingga kotoran mengalir kemana saja.
Pencegahan yang sudah dilakukan di desa sukamulya diantaranya
memberikan informasi tentang stunting, penyuluhan-penyuluhan pada saat
kelas ibu hamil serta balita, karena banyaknya ibu hamil yang masih
berusia sangat muda. Kemudian kurangnya fasilitas posyandu di daerah
setempat yang hanya memiliki dua posyandu di dalam satu desa sehingga
menyebabkan kurangnya informasi yang tersampaikan kepada semua ibu
hamil. selanjutnya pencegahan stunting juga dilakukan dengan cara
penyuluhan PHBS (Perilaku Hidup Bersih Sehat), penyuluhan CTPS (Cuci
Tangan Pakai Sabun) karena kurangnya kesadaran masyarakat tentang
lingkungan bersih dan sehat serta pentingnya mencuci tangan
menggunakan sabun tidak hanya cukup dengan air saja, pemberian
makanan tambahan (PMT) untuk anak usia balita dan juga untuk ibu hamil
dari Puskesmas. Hambatan yang ditemukan di desa sukamulya salah
satunya adalah BAB (Buang Air Besar) yang tidak pada tempatnya, kader
KPM (Kader Pembangunan Manusia) ingin mengajukkan pembangunan
MCK (Mandi Cuci Kakus) Komunal di desa sukamulya tetapi kurangnya
kesadaran masyarakat untuk kepentingan bersama. Masalah stunting masih
dianggap kurang serius oleh pemerintah desa sehingga menghambat
pembangunan MCK Komunal di desa sukamulya. Selain permasalahan
yang sudah diuraikan diatas terdapat juga kebutuhan kader untuk
menunjang pencegahan stunting diantaranya dibutuhkan kader untuk
setiap RW (Rukun Warga) satu kader untuk mendampingi kader KPM
(Kader Pembangunan Manusia), tambahan fasilitas posyandu serta
pengukuran panjang badan untuk bayi (Pendekatan Personal dengan kader
Ny. E, 05 Maret 2020).
Peneliti menemukan penangan pencegahan stunting sudah
dilakukan oleh pemerintah namun masih dirasakan ada permasalahan yang
muncul antara lain faktor lingkungan, status ekonomi masyarakat, dan
kesadaran masyarakat baik tentang kebersihan maupun kesehatan serta
Asupan Nutrisi atau Gizi, Asi Eksklusif, Pola Asuh Anak, Sanitasi
lingkungan dan fasilitas yang belum menunjang sehigga dapat
menghambat program pencegahan yang telah dilakukan dan masih muncul
beberapa kebutuhan yang dirasa diperlukan oleh kader untuk menunjang
pencegahan stunting.
Di Indonesia sendiri sudah ada beberapa penelitian yang dilakukan
terkait pencegahan stunting, salah satunya yang dilakukan oleh Adistie
dkk (2018) menunjukkan bahwa terdapat peningkatan pengetahuan para
kader kesehatan yaitu sebelum dilakukan kegiatan kader kesehatan yang
memiliki pengetahuan yang baik dan setelah dilakukan kegiatan, kader
kesehatan yang memiliki tingkat pengetahuan yang lebih baik dan
meningkat. Selain itu, hasil uji statistik menunjukkan terdapat peningkatan
yang signifikan pada pengetahuan kader kesehatan setelah dilakukan
intervensi melalui kegiatan pelatihan kader kesehatan dalam deteksi dini
stunting serta stimulasi tumbuh kembang pada anak. Hal ini menunjukkan
bahwa pelatihan yang telah dilaksanakan efektif dalam meningkatkan
pengetahuan para kader kesehatan mengenai deteksi dini stunting serta
stimulasi tumbuh kembang pada anak. Namun, untuk aspek psikomotor
hampir setengah dari jumlah responden masih berada pada kategori kurang
baik dalam mengaplikasikan pelaksanaan deteksi dini stunting serta
stimulasi tumbuh kembang pada anak.
Sitorus dkk (2019) menunjukkan bahwa Hasil perubahan perilaku
kader setelah penerapan model edukasi cerdas digital RoSi dalam bentuk
modul dan website stunting mengalami perubahan, pengetahuan baik
meningkat setelah intervensi, sikap postif meningkat, tindakan baik
meningkat. Hasil uji statistik diperoleh ada kebermaknaan antara
pengetahuan, sikap dan keterampilan kader sebelum dan sesudah
penerapan model edukasi cerdas digital RoSi. Hasil evaluasi model RoSi
ada beberapa kelemahan yaitu butuh jaringan internet, harus memiliki
smartphone dan ibu tidak rutin berkunjung. Kelebihannya mudah diakses,
memudahkan tugas kader memprediksi ibu yang berisiko, model mudah
dipahami karena disertai buku petunjuk operasional.
Kasmita (2019) menunjukkan bahwa edukasi sebagai upaya
pencegahan stunting yang telah dilakukan dalam bentuk aplikasi lesson
study (ALS) secara nyata dapat meningkatkan indikator-indikator
pengetahuan ibu dan sikap terkait upaya pencegahan stunting. masalah
yang dihadapi kader dalam memberikan edukasi adalah keterbatasan
kompetensi mengajar, keterbatasan pengetahuan, kurangnya alat bantu
mengajar. ALS terbukti efektif meningkatkan pengetahuan dan sikap ibu
tentang materi upaya pencegahan stunting. Terdapat perbedaan bermakna
antara pengetahuan dan sikap ibu, antara kelompok intervensi dan
kelompok kontrol.
Megawati dan Wiramihardja (2019) menunjukkan bahwa Kegiatan
pelatihan dilaksanakan dalam tiga sesi. Sesi pertama berupa pemberian
materi pelatihan, meliputi: a) latar belakang pelatihan; b) pengenalan
stunting dan identifikasi faktor risiko penyebab stunting; c) materi tentang
gizi seimbang dan pencegahan stunting Sesi kedua adalah studi kasus
dengan fokus utama kader diminta untuk mengidentifikasi faktor penyebab
stunting di wilayah kerja masing-masing serta mendiskusikan berbagai
alternatif untuk penyelesaian masalah tersebut. Sesi ketiga berupa review
materi yang sudah disampaikan. Peserta pelatihan tampak antusias dan
berpartisipasi aktif diseluruh sesi pelatihan, baik saat menerima materi
maupun dalam sesi berdiskusi dan tanya jawab. Kegiatan pelatihan
dilaksanakan dalam tiga tahap yaitu sosialisasi program, persiapan
pelatihan dan pelaksanaan pelatihan. Pelatihan dilakukan dengan
menggunakan pendekatan model deduktif, materi pelatihan dibuat sama
secara umum, disusun berdasarkan data pengamatan yang dilakukan oleh
tim pengabdian masyarakat dan KKNM Unpad yang kemudian
didiskusikan dengan narasumber ahli.
Hendrawati dkk (2018) menunjukkan bahwa Hasil kegiatan
menunjukkan terdapat perbedaan ratarata skor pengetahuan kader sebelum
dan setelah kegiatan pemberdayaan, dengan rata-rata peningkatan skor
11,5 ± 15,5. Pada kemampuan psikomotor kader menunjukkan
peningkatan yang signifikan setelah dilakukan kegiatan. Melalui kegiatan
ini pengetahuan dan kemampuan kader kesehatan dapat meningkat dalam
pencegahan dan penatalaksanaan stunting pada anak. Hasil kegiatan ini
merekomendasikan perlunya rencana tindak lanjut yaitu pencegahan dan
penatalaksanaan stunting pada anak oleh kader kesehatan yang sudah
dilatih dan dilakukan evaluasi secara berkelanjutan bekerjasama dengan
Puskesmas Jatinangor. ini menunjukkan bahwa kader kesehatan mampu
melakukan pencegahan dan penatalaksanaan stunting pada anak. Dengan
demikian maka melalui kegiatan PKM ini, pengetahuan dan kemampuan
kader kesehatan dapat meningkat dalam melakukan pencegahan dan
penatalaksanaan stunting pada anak.
Sri Astuti (2018) menunjukkan bahwa Hasil kegiatan tersebut
berisi peningkatan pengetahuan kader Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu)
dan ibu balita setelah penyuluhan, kader Posyandu dan ibu balita memiliki
pengetahuan yang baik. penyuluhan dapat meningkatkan pengetahuan
kader Posyandu dan ibu balita tentang pencegahan stunting. Permatasari
dkk (2019) menunjukkan bahwa Rata-rata skor pengetahuan kader
sebelum diberikan edukasi (pretest) yaitu 60 ± 9.0 SD dan rata-rata skor
pengetahuan setekah diberikan edukasi (posttest) yaitu 74 ± 7.2 SD.
Peningkatan skor pretest dan posttest sebesar 14% dan bermakna secara
signifikan berdasarkan uji t-dependen. Penguatan kapasitas kader
‘Aisyiyah dalam mencegah masalah kesehatan perlu dilakukan secara
terus menerus dan diimplementasikan dari tingkat wilayah hingga ranting.
Sewa dkk (2019) menunjukkan bahwa Terdapat pengaruh promosi
kesehatan yang signifikan terhadap pengetahuan dan sikap dengan
tindakan pencegahan stunting oleh kader posyandu pada kelompok
eksperimen a (penyuluhan) dan kelompok eksperimen b (penyuluhan dan
leaflet) dengan p-value < 0.05. Selanjutnya, tidak terdapat pengaruh yang
signifikan sikap dan tindakan pencegahan stunting pada kelompok kontrol
dengan nilai p > 0.05. Stewart et al (2013) menunjukkan bahwa Pemberian
makanan pendamping yang memadai adalah salah satu pilar utama yang
mendukung pertumbuhan dan perkembangan yang sehat, namun masih
banyak pekerjaan yang diperlukan untuk membangun bukti yang
mendokumentasikan apa yang berhasil, dalam konteks mana, dan mengapa
program berhasil atau berjuang. Untuk alasan ini, kami mengusulkan
kerangka kerja konseptual ini untuk membantu memandu perencanaan dan
evaluasi kebijakan dan program di arena IYCF. Ini tidak dimaksudkan
untuk menggantikan kerangka kerja konseptual UNICEF yang telah
digunakan secara luas dan teruji waktu. Sebaliknya, ini dimaksudkan
untuk memfokuskan dan menyoroti pertimbangan unik, masalah dan
faktor kontekstual yang penting untuk mendorong pertumbuhan yang sehat
melalui pemberian makanan pendamping yang memadai. Tinjauan yang
mendukung kerangka ini menunjukkan mengapa tindakan transdisipliner
yang dipertimbangkan dengan baik diperlukan.
Irma afifa (2019) menunjukkan bahwa pengetahuan dan kinerja
kader terbukti berbeda signifikan, sedangkan lama menjadi kader dan
motivasi kader tidak berbeda signifikan di kedua wilayah Puskesmas.
Berdasarkan hasil analisis jalur pengetahuan dan motivasi kader tidak
terbukti menjadi variabel mediasi lama menjadi kader terhadap kinerja
kader serta lama menjadi kader tidak berpengaruh terhadap kinerja kader
di kedua wilayah. Meskipun demikian, motivasi kader berpengaruh
dominan terhadap kinerja kader di kedua wilayah Puskesmas.
Aye et al (2019) Hasil penelitian menunjukkan Tiga opsi kebijakan
baru diidentifikasi. Kelayakan operasional untuk ketiga opsi berkisar dari
sedang hingga tinggi. Dibandingkan dengan situasi saat ini, keduanya
sama-sama hemat biaya, dengan tambahan USD 598 dan USD 667 per
kasus terhambatnya stunting. Opsi ketiga jauh lebih hemat biaya, dengan
tambahan USD 27.741 per kasus yang dihindari. Namun, jika lembaga
donor memperluas dukungan mereka dalam opsi tiga ke seluruh negara,
prevalensi 22,5 persen akan dicapai pada tahun 2025 dengan tambahan
USD 667 per kasus yang dihindari. Kodish et al (2015) menunjukkan
bahwa Anggota masyarakat merasa bahwa penyakit yang berhubungan
dengan gizi kurang menonjol dan lebih mengancam daripada penyakit
lainnya, dan kualitas makanan kurang penting daripada kuantitas makanan.
Alokasi makanan rumah tangga terjadi dalam pola yang dapat diprediksi
dan bervariasi berdasarkan jenis anggota rumah tangga dan musim.
Dianggap sebagai makanan yang memberi energi, SQ-LNS diterima, tetapi
pendidikan kesehatan dan komunikasi yang disesuaikan dengan
pemahaman lokal tentang nutrisi dan kesehatan diperlukan untuk
memastikan pemanfaatannya yang tepat.
Mbuya & Humpherey (2016) menunjukkan bahwa Pada tahun
2011, satu dari setiap empat (26%) anak di bawah usia 5 tahun di seluruh
dunia terhambat. Kesadaran bahwa kebanyakan pengerdilan tidak dapat
dijelaskan dengan pola makan yang buruk atau diare, atau sepenuhnya
dibalikkan dengan pola makan yang optimal dan pengurangan diare telah
mengarah pada hipotesis bahwa penyebab utama pengerdilan adalah
penyakit usus subklinis. Pada dasarnya, mikroba yang tertelan
menggerakkan dua jalur yang tumpang tindih dan berinteraksi yang
menghasilkan gangguan pertumbuhan linier. Pertama, atrofi vili parsial
menghasilkan berkurangnya luas permukaan serap dan hilangnya enzim
pencernaan. Hal ini pada gilirannya menghasilkan gangguan pencernaan
dan malabsorpsi nutrisi yang sangat dibutuhkan. Kedua, mikroba dan
produknya membuat usus bocor, memungkinkan konten luminal untuk
mentranslokasi ke dalam sirkulasi sistemik. Hal ini menciptakan kondisi
aktivasi kekebalan kronis, yang (i) mengalihkan sumber nutrisi ke bisnis
metabolisme yang mahal melawan infeksi daripada pertumbuhan; (ii)
menekan poros hormon IGF pertumbuhan dan menghambat pertumbuhan
tulang, yang menyebabkan gangguan pertumbuhan; dan (iii) menyebabkan
kerusakan lebih lanjut pada mukosa usus sehingga memperburuk masalah.
Dengan demikian, lingkungan yang tidak higienis tempat bayi dan anak
kecil hidup dan tumbuh harus berkontribusi, jika tidak menjadi penyebab
utama, disfungsi enterik lingkungan ini. Kami menyarankan bahwa paket
intervensi mencuci bayi (perbaikan sanitasi dan air, mencuci tangan
dengan sabun, memastikan permainan yang bersih dan lingkungan
pemberian makanan bayi dan kebersihan makanan) yang mengganggu
jalur tertentu di mana penularan melalui mulut terjadi pada dua tahun
pertama kehidupan seorang anak. mungkin menjadi pusat dari upaya
pengurangan stunting global.
Michaelsen (2013) menunjukkan bahwa Menambahkan protein
susu meningkatkan kualitas protein, yang memungkinkan untuk
mengurangi kandungan protein total, yang kemungkinan memiliki
kelebihan metabolisme. Dengan mengurangi ketergantungan pada kedelai
dan sereal, produk susu juga mengurangi efek antinutritional (mis., Dari
phytate) serta meningkatkan rasa. Namun, menambahkan protein susu
meningkatkan harga jauh dan membatasi jumlah penerima manfaat
potensial. Harga produk susu yang relevan telah berfluktuasi selama
beberapa tahun terakhir, dengan tren yang meningkat. Dengan tingginya
biaya produk susu dan tingginya jumlah anak yang menderita MAM dan
terhambat, penting untuk menilai jumlah susu minimum yang dapat
membuat perbedaan. Langlois et al (2020) menunjukkan bahwa Berbagi
adalah umum di semua kelompok, dengan yang tertinggi dilaporkan dalam
SC + (73%) dan tertinggi diamati dalam CSWB dengan minyak (36%).
Beberapa melaporkan memberikan jatah jauh (tertinggi di SC + di 17%)
atau menggunakannya untuk tujuan lain (tertinggi di CSWB dengan
minyak di 17%). Anak penerima diamati mengkonsumsi ransum di 49%
rumah tangga rata-rata (38-60% dengan lengan dalam CSB + w / minyak
dan RUSF, masing-masing). Laporan kualitatif tentang kepahitan dan
pembusukan muncul di CSWB bersama kelompok minyak. Sebagian besar
rumah tangga yang diamati (tidak termasuk RUSF) tidak menyiapkan
bubur setiap hari seperti yang diperintahkan (35-46% dengan lengan).
Sampel air rumah tangga menunjukkan kontaminasi berisiko tinggi atau
tidak aman dengan Escherichia coli (72-78% dengan lengan). Persentase
rendah diamati cuci tangan (baik anak-anak dan server) sebelum
mengkonsumsi bubur.
Berdasarkan uraian diatas maka peneliti mencoba mendapatkan
gambaran yang lebih mendalam mengenai permasalahan dan kebutuhan
kader dalam pencegahan stunting dengan menggunakan desain penelitian
deskriptif eksploratif. Belum ada penelitian serupa di luar negeri maupun
di indonesia. Sehingga penting untuk menggali bagaimana permasalahan
dan kebutuhan di masyarakat berdasarkan penjelasan tersebut peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian analisis permasalahan dan kebutuhan
terkait pencegahan stunting di wilayah kerja Puskesmas Situ Kabupaten
Sumedang dan di wilayah kerja puskesmas linggar Kabupaten Bandung.
Stunting atau kerdil adalah kondisi dimana balita memiliki panjang
atau tinggi badan yang kurang jika dibandingkan dengan umur. Kondisi ini
diukur dengan panjang atau tinggi badan yang lebih dari minus dua
standar deviasi median standar pertumbuhan anak dari WHO. Balita
stunting termasuk masalah gizi kronik yang disebabkan oleh banyak faktor
seperti kondisi sosial ekonomi, gizi ibu saat hamil, kesakitan pada bayi,
dan kurangnya asupan gizi pada bayi. Balita stunting di masa yang akan
datang akan mengalami kesulitan dalam mencapai perkembangan fisik dan
kognitif yang optimal (Pusdatin Kemenkes RI, 2018).
World Health Organization (WHO) menempatkan Indonesia
sebagai negara ketiga dengan angka prevalensi stunting tertinggi di Asia
pada 2017. Menurut Data Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) pada tahun
2018 stunting mencapai 36,4 persen namun, pada tahun yang sama
angkanya menurun hingga 23,6 persen. Stunting pada balita di Indonesia
pun turun menjadi 30,8 persen. Adapun pada Riskesdas 2013, stunting
balita mencapai 37,2 persen. Anak dikatakan stunting ketika pertumbuhan
tinggi badannya tak sesuai grafik pertumbuhan standar dunia. Penurunan
angka stunting di Indonesia bila merujuk pada standar WHO, batas
maksimalnya adalah 20 persen atau seperlima dari jumlah total anak balita.
Prevalensi stunting bayi berusia di bawah lima tahun (balita) Indonesia
pada 2015 sebesar 36,4%. Prevalensi stunting / kerdil balita Indonesia ini
terbesar kedua di kawasan Asia Tenggara di bawah Laos yang mencapai
43,8%. Tim Nasional Percepatan Penanggulanan Kemiskinan (TNP2K)
menerapkan 160 kabupaten prioritas penurunan stunting. Berdasarkan
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, terdapat 15 kabupaten / kota
dengan prevalensi stunting di atas 50%.
Indonesia masuk kedalam tertinggi kedua di ASEAN pada tahun
2015 dengan prevalensi bayi berusia di bawah lima tahun (balita) sebesar
36,4%. Artinya lebih dari sepertiga atau sekitar 8,8 juta balita mengalami
masalah gizi di mana tinggi badannya di bawah standar sesuai usianya.
Stunting tersebut berada di atas ambang yang ditetapkan WHO sebesar
20%. Prevalensi stunting / kerdil balita Indonesia ini terbesar kedua di
kawasan Asia Tenggara di bawah Laos yang mencapai 43,8%.
Berdasarkan Pantauan Status Gizi (PSG) 2017, balita yang mengalami
stunting tercatat sebesar 26,6%. Angka tersebut terdiri dari 9,8% masuk
kategori sangat pendek dan 19,8% kategori pendek. Dalam 1.000 hari
pertama sebenarnya merupakan usia emas bayi tetapi kenyataannya masih
banyak balita usia 0-59 bulan pertama justru mengalami masalah gizi.
(UNICEF, 2017).
Provinsi Jawa Barat memiliki prevalensi mencapai 29,2% atau 2,7
juta balita termasuk di kabupaten atau kota yang memiliki prevalensi
stunting masih tinggi (BAPPEDA JABAR, 2018). Dinkes Jabar
melakukan pemantauan status gizi (PSG) di 14 kabupaten dengan tingkat
prevalensi stunting yang tinggi. Yaitu di Kabupaten Bogor, Kabupaten
Sukabumi, Cianjur, Kabupaten Bandung, Garut, Kabupaten Tasikmalaya,
Kuningan, Kabupaten Cirebon, Sumedang, Indramayu, Subang,
Karawang, Kabupaten Bandung Barat, dan Majalengka (Kabid Dinkes
Jabar). Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung mengungkapkan sebanyak
10 desa di 8 kecamatan akan diprioritaskan mendapatkan program
pencegahan stunting. Hal itu berdasarkan data Kementerian Kesehatan
(Kemenkes) terkait masalah stunting di Kabupaten Bandung. Berdasarkan
hasil riset kesehatan dasar tahun 2013, prevalensi stunting di kabupaten
Bandung sebesar 40,7% dan data ini digunakan oleh Tim Nasional
Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) sebagai dasar
penentuan 100 kabupaten kota untuk intervensi standing stunting.
Kabupaten Sumedang adalah salah satu Kabupaten yang termasuk
14 kabupaten dengan tingkat stunting tertinggi yang menjadi fokus
pemerintah dengan 10 desa termasuk dalam fokus program intervensi
Stunting. Desa-desa tersebut merupakan yang memiliki penghasilan
perkapita rendah, yang merupakan salah satu faktor penting penyebab
tingginya angka Stunting di Indonesia. Dari data tahun 2018, angka
Stunting di Sumedang masih 32%. Sementara di Jawa Barat sendiri,
tercatat ada 29.9% atau 2.7 juta balita stunting. Angka 32% tersebut
menunjukkan bahwa dari 100 bayi di Sumedang, ada 32 orang mengalami
stunting. 10 desa di delapan kecamatan di Kabupaten Sumedang menjadi
fokus intervensi untuk menekan angka stunting Salah satunya yaitu Desa
Margamukti (Kabupaten Sumedang Utara). (Pemerintah Daerah
Kabupaten Sumedang, 2018). Data yang diperoleh dari dinas kesehatan
kabupaten bandung tahun 2019 didapatkan bahwa kabupaten bandung
memiliki 62 puskesmas dan terdata puskesmas linggar kecamatan
rancaekek dengan prevalensi stunting 31,85%. Sedangkan data yang
diperoleh dari dinas kesehatan kabupaten sumedang tahun 2019
didapatkan bahwa kabupaten sumedang memiliki 32 puskesmas dan
terdata puskesmas situ kecamatan sumedang utara dengan prevalensi
30,9% tingkat stunting cukup tinggi dibandingkan dengan puskesmas lain.

1.2 Pernyataan Masalah


Berasarkan latar belakang diatas, peneliti ingin mengungkapkan
secara mendalam identifikasi permasalahan dan kebutuhan kader terkait
pencegahan stunting di wilayah kerja puskesmas Situ kecamatan
Sumedang Utara dan wilayah kerja puskesmas Linggar kecamatan
Rancaekek. Maka peneliti, tertarik untuk meneliti “Bagaimanakah
menganalisis permasalahan dan kebutuhan kader terkait pencegahan
stunting di wilayah Kab. Sumedang dan Kab. Bandung.”.

1.3 Tujuan penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk menganalsis permasalahan dan kebutuhan
kader terkait pencegahan stunting di wilayah kerja Puskesmas Situ Kec.
Sumedang Utara dan wilayah kerja Puskesmas Linggar Kec. Rancaekek.

1.4 Manfaat Penelitian


Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai data dasar bagi perawat dalam
memberikan asuhan keperawatan yang akan memberikan pelayanan
keperawatan bagi peningkatan kualitas pelayanan pencegahan stunting.
Serta manfaat bagi partisipan adalah dengan adanya penelitian ini akan
terungkap pengalaman partisipan saat menemukan permasalahan dan
kebutuhan di lapangan.

1.5 Penjelasan Istilah


1.5.1 Permasalahan
Masalah yakni merupakan suatu kesenjangan antara apa yang
seharusnya terjadi dengan apa yang sudah terjadi tentang suatu hal
atau kesenjangan antara kenyataan yang terjadi dengan yang
seharusnya terjadi serta harapan dan kenyataannya dari masalah
tersebut (Notoadmojo, 2002).
1.5.2 Kebutuhan
Kebutuhan adalah sebuah konstruk yang menunjukkan “sebuah
dorongan dalam wilayah otak” yang mana mengatur berbagai
proses seperti pikiran, persepsi dan beberapa tindakan lainnya.
Tindakan yang dimaksud adalah tindakan yang ditujukan
untuk mengubah kondisi yang ada. Jika digambarkan,
kebutuhan disertai dengan perasaan tertentu dan juga memiliki
cara khusus dalam mengekspresikan diri untuk mencapai
resolusi (Murray).
1.5.3 Pencegahan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007), pencegahan
adalah proses, cara, tindakan mencegah atau tindakan menahan
agar sesuatu tidak terjadi. Dengan demikian, pencegahan
merupakan tindakan. Pencegahan identik dengan perilaku.
1.5.4 Stunting
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita (bayi
dibawah lima tahun) akibat dari kekurangan gizi kronis sehingga
anak terlalu pendek untuk usianya. Kekurangan gizi terjadi sejak
bayi dalam kandungan dan pada masa awal setelah bayi lahir akan
tetapi, kondisi stunting baru nampak setelah bayi berusia 2 tahun.
Balita pendek (stunted) dan sangat pendek (severely stunted)
adalah balita dengan panjang badan (PB/U) atau tinggi badan
(TB/U) menurut umurnya dibandingkan dengan standar baku
WHO-MGRS (Multicentre Growth Reference Study) 2006.

Anda mungkin juga menyukai