Penelitian ini dilatarbelakangi oleh pengalaman peneliti saat melakukan kegiatan posyandu di Desa Margamukti Kabupaten Sumedang. Peneliti melakukan wawancara pada salah satu kader Ny. L yang sudah menjadi kader sejak tahun 2000 dan terlibat aktif sejak tahun 2010 di desa margamukti kecamatan sumedang utara. Kader Ny. L ketika diwawancara mengungkapkan bahwa di desa margamukti terdapat 75 anak dengan diagnosa stunting, sudah dilakukan beberapa tindakan pencegahan oleh tenaga kesehatan setempat melalui penyuluhan stunting ke masyarakat oleh dinas kesehatan, dibentuk KWT (Kelompok Wanita Tani) kemudian turun komunitas tani untuk memberikan tanaman-tanamanan sayuran kepada anak yang stunting dan skrining pertumbuhan perkembangan anak di setiap posyandu. Meskipun tindakan pencegahan sudah dilakukan tetapi masih terdapat permasalahan dilapangan yang dirasakan oleh kader sebagai petugas yang turun langsung ke masyarakat. Permasalahan terkait lingkungan di desa margamukti yang masih padat penduduk dengan perekonomian yang masih kurang, kemudian kesadaran kesehatan lingkungan yang kurang, seperti membuang sampah sembarangan, BAB (Buang Air Besar) tidak pada tempatnya, dan kurangnya konsumsi sayuran oleh anak-anak. Pada tahun 2019 sudah dibangun MCK (Mandi Cuci Kakus) Komunal dan 1 septic tank manual yang besar untuk 60 KK (Kepala Keluarga) sehingga sekarang sudah tidak ada lagi yang membuang BAB sembarangan walaupun belum 100%. Karena seringnya dipantau dan diberikan penyuluhan oleh tenaga kesehatan dan kader sehingga kasus stunting tidak bertambah banyak. Selain permasalahan terdapat juga kebutuhan yang diperlukan kader dalam melaksanakan program pencegahan stunting seperti alat pengukuran berat badan dan tinggi badan yang belum memadai (Pendekatan Personal dengan kader Ny. L, 20 Februari 2020). Menurut kader kedua yaitu Ny. E yang menjadi kader sejak tahun 2007 kurang lebih sudah 13 tahun menjadi kader aktif di desa sukamulya kecamatan rancaekek. Permasalahan kasus stunting yang ditemukan di desa sukamulya disebabkan asupan gizi yang kurang pada ibu hamil, hal ini terjadi karena kurangnya informasi tentang Asi Ekslusif sehingga banyak yang menggunakan susu formula pengganti Asi. Kemudian ditambah juga dengan pola asuh anak yang salah karena mayoritas penduduk setempat bekerja sebagai buruh pabrik. Sanitasi yang kurang baik akibat dari Pengelolaan sampah karena tidak adanya TPS (Tempat Pembuangan Sampah), kurangnya ketersediaan air bersih untuk masyarakat, dan tidak adanya MCK (Mandi Cuci Kakus) sehingga menyebabkan BAB (Buang Air Besar) sembarangan hal ini disebebkan oleh beberapa rumah yang masih belum mempunyai septic tank tetapi mempunyai kloset sehingga kotoran mengalir kemana saja. Pencegahan yang sudah dilakukan di desa sukamulya diantaranya memberikan informasi tentang stunting, penyuluhan-penyuluhan pada saat kelas ibu hamil serta balita, karena banyaknya ibu hamil yang masih berusia sangat muda. Kemudian kurangnya fasilitas posyandu di daerah setempat yang hanya memiliki dua posyandu di dalam satu desa sehingga menyebabkan kurangnya informasi yang tersampaikan kepada semua ibu hamil. selanjutnya pencegahan stunting juga dilakukan dengan cara penyuluhan PHBS (Perilaku Hidup Bersih Sehat), penyuluhan CTPS (Cuci Tangan Pakai Sabun) karena kurangnya kesadaran masyarakat tentang lingkungan bersih dan sehat serta pentingnya mencuci tangan menggunakan sabun tidak hanya cukup dengan air saja, pemberian makanan tambahan (PMT) untuk anak usia balita dan juga untuk ibu hamil dari Puskesmas. Hambatan yang ditemukan di desa sukamulya salah satunya adalah BAB (Buang Air Besar) yang tidak pada tempatnya, kader KPM (Kader Pembangunan Manusia) ingin mengajukkan pembangunan MCK (Mandi Cuci Kakus) Komunal di desa sukamulya tetapi kurangnya kesadaran masyarakat untuk kepentingan bersama. Masalah stunting masih dianggap kurang serius oleh pemerintah desa sehingga menghambat pembangunan MCK Komunal di desa sukamulya. Selain permasalahan yang sudah diuraikan diatas terdapat juga kebutuhan kader untuk menunjang pencegahan stunting diantaranya dibutuhkan kader untuk setiap RW (Rukun Warga) satu kader untuk mendampingi kader KPM (Kader Pembangunan Manusia), tambahan fasilitas posyandu serta pengukuran panjang badan untuk bayi (Pendekatan Personal dengan kader Ny. E, 05 Maret 2020). Peneliti menemukan penangan pencegahan stunting sudah dilakukan oleh pemerintah namun masih dirasakan ada permasalahan yang muncul antara lain faktor lingkungan, status ekonomi masyarakat, dan kesadaran masyarakat baik tentang kebersihan maupun kesehatan serta Asupan Nutrisi atau Gizi, Asi Eksklusif, Pola Asuh Anak, Sanitasi lingkungan dan fasilitas yang belum menunjang sehigga dapat menghambat program pencegahan yang telah dilakukan dan masih muncul beberapa kebutuhan yang dirasa diperlukan oleh kader untuk menunjang pencegahan stunting. Di Indonesia sendiri sudah ada beberapa penelitian yang dilakukan terkait pencegahan stunting, salah satunya yang dilakukan oleh Adistie dkk (2018) menunjukkan bahwa terdapat peningkatan pengetahuan para kader kesehatan yaitu sebelum dilakukan kegiatan kader kesehatan yang memiliki pengetahuan yang baik dan setelah dilakukan kegiatan, kader kesehatan yang memiliki tingkat pengetahuan yang lebih baik dan meningkat. Selain itu, hasil uji statistik menunjukkan terdapat peningkatan yang signifikan pada pengetahuan kader kesehatan setelah dilakukan intervensi melalui kegiatan pelatihan kader kesehatan dalam deteksi dini stunting serta stimulasi tumbuh kembang pada anak. Hal ini menunjukkan bahwa pelatihan yang telah dilaksanakan efektif dalam meningkatkan pengetahuan para kader kesehatan mengenai deteksi dini stunting serta stimulasi tumbuh kembang pada anak. Namun, untuk aspek psikomotor hampir setengah dari jumlah responden masih berada pada kategori kurang baik dalam mengaplikasikan pelaksanaan deteksi dini stunting serta stimulasi tumbuh kembang pada anak. Sitorus dkk (2019) menunjukkan bahwa Hasil perubahan perilaku kader setelah penerapan model edukasi cerdas digital RoSi dalam bentuk modul dan website stunting mengalami perubahan, pengetahuan baik meningkat setelah intervensi, sikap postif meningkat, tindakan baik meningkat. Hasil uji statistik diperoleh ada kebermaknaan antara pengetahuan, sikap dan keterampilan kader sebelum dan sesudah penerapan model edukasi cerdas digital RoSi. Hasil evaluasi model RoSi ada beberapa kelemahan yaitu butuh jaringan internet, harus memiliki smartphone dan ibu tidak rutin berkunjung. Kelebihannya mudah diakses, memudahkan tugas kader memprediksi ibu yang berisiko, model mudah dipahami karena disertai buku petunjuk operasional. Kasmita (2019) menunjukkan bahwa edukasi sebagai upaya pencegahan stunting yang telah dilakukan dalam bentuk aplikasi lesson study (ALS) secara nyata dapat meningkatkan indikator-indikator pengetahuan ibu dan sikap terkait upaya pencegahan stunting. masalah yang dihadapi kader dalam memberikan edukasi adalah keterbatasan kompetensi mengajar, keterbatasan pengetahuan, kurangnya alat bantu mengajar. ALS terbukti efektif meningkatkan pengetahuan dan sikap ibu tentang materi upaya pencegahan stunting. Terdapat perbedaan bermakna antara pengetahuan dan sikap ibu, antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Megawati dan Wiramihardja (2019) menunjukkan bahwa Kegiatan pelatihan dilaksanakan dalam tiga sesi. Sesi pertama berupa pemberian materi pelatihan, meliputi: a) latar belakang pelatihan; b) pengenalan stunting dan identifikasi faktor risiko penyebab stunting; c) materi tentang gizi seimbang dan pencegahan stunting Sesi kedua adalah studi kasus dengan fokus utama kader diminta untuk mengidentifikasi faktor penyebab stunting di wilayah kerja masing-masing serta mendiskusikan berbagai alternatif untuk penyelesaian masalah tersebut. Sesi ketiga berupa review materi yang sudah disampaikan. Peserta pelatihan tampak antusias dan berpartisipasi aktif diseluruh sesi pelatihan, baik saat menerima materi maupun dalam sesi berdiskusi dan tanya jawab. Kegiatan pelatihan dilaksanakan dalam tiga tahap yaitu sosialisasi program, persiapan pelatihan dan pelaksanaan pelatihan. Pelatihan dilakukan dengan menggunakan pendekatan model deduktif, materi pelatihan dibuat sama secara umum, disusun berdasarkan data pengamatan yang dilakukan oleh tim pengabdian masyarakat dan KKNM Unpad yang kemudian didiskusikan dengan narasumber ahli. Hendrawati dkk (2018) menunjukkan bahwa Hasil kegiatan menunjukkan terdapat perbedaan ratarata skor pengetahuan kader sebelum dan setelah kegiatan pemberdayaan, dengan rata-rata peningkatan skor 11,5 ± 15,5. Pada kemampuan psikomotor kader menunjukkan peningkatan yang signifikan setelah dilakukan kegiatan. Melalui kegiatan ini pengetahuan dan kemampuan kader kesehatan dapat meningkat dalam pencegahan dan penatalaksanaan stunting pada anak. Hasil kegiatan ini merekomendasikan perlunya rencana tindak lanjut yaitu pencegahan dan penatalaksanaan stunting pada anak oleh kader kesehatan yang sudah dilatih dan dilakukan evaluasi secara berkelanjutan bekerjasama dengan Puskesmas Jatinangor. ini menunjukkan bahwa kader kesehatan mampu melakukan pencegahan dan penatalaksanaan stunting pada anak. Dengan demikian maka melalui kegiatan PKM ini, pengetahuan dan kemampuan kader kesehatan dapat meningkat dalam melakukan pencegahan dan penatalaksanaan stunting pada anak. Sri Astuti (2018) menunjukkan bahwa Hasil kegiatan tersebut berisi peningkatan pengetahuan kader Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu) dan ibu balita setelah penyuluhan, kader Posyandu dan ibu balita memiliki pengetahuan yang baik. penyuluhan dapat meningkatkan pengetahuan kader Posyandu dan ibu balita tentang pencegahan stunting. Permatasari dkk (2019) menunjukkan bahwa Rata-rata skor pengetahuan kader sebelum diberikan edukasi (pretest) yaitu 60 ± 9.0 SD dan rata-rata skor pengetahuan setekah diberikan edukasi (posttest) yaitu 74 ± 7.2 SD. Peningkatan skor pretest dan posttest sebesar 14% dan bermakna secara signifikan berdasarkan uji t-dependen. Penguatan kapasitas kader ‘Aisyiyah dalam mencegah masalah kesehatan perlu dilakukan secara terus menerus dan diimplementasikan dari tingkat wilayah hingga ranting. Sewa dkk (2019) menunjukkan bahwa Terdapat pengaruh promosi kesehatan yang signifikan terhadap pengetahuan dan sikap dengan tindakan pencegahan stunting oleh kader posyandu pada kelompok eksperimen a (penyuluhan) dan kelompok eksperimen b (penyuluhan dan leaflet) dengan p-value < 0.05. Selanjutnya, tidak terdapat pengaruh yang signifikan sikap dan tindakan pencegahan stunting pada kelompok kontrol dengan nilai p > 0.05. Stewart et al (2013) menunjukkan bahwa Pemberian makanan pendamping yang memadai adalah salah satu pilar utama yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan yang sehat, namun masih banyak pekerjaan yang diperlukan untuk membangun bukti yang mendokumentasikan apa yang berhasil, dalam konteks mana, dan mengapa program berhasil atau berjuang. Untuk alasan ini, kami mengusulkan kerangka kerja konseptual ini untuk membantu memandu perencanaan dan evaluasi kebijakan dan program di arena IYCF. Ini tidak dimaksudkan untuk menggantikan kerangka kerja konseptual UNICEF yang telah digunakan secara luas dan teruji waktu. Sebaliknya, ini dimaksudkan untuk memfokuskan dan menyoroti pertimbangan unik, masalah dan faktor kontekstual yang penting untuk mendorong pertumbuhan yang sehat melalui pemberian makanan pendamping yang memadai. Tinjauan yang mendukung kerangka ini menunjukkan mengapa tindakan transdisipliner yang dipertimbangkan dengan baik diperlukan. Irma afifa (2019) menunjukkan bahwa pengetahuan dan kinerja kader terbukti berbeda signifikan, sedangkan lama menjadi kader dan motivasi kader tidak berbeda signifikan di kedua wilayah Puskesmas. Berdasarkan hasil analisis jalur pengetahuan dan motivasi kader tidak terbukti menjadi variabel mediasi lama menjadi kader terhadap kinerja kader serta lama menjadi kader tidak berpengaruh terhadap kinerja kader di kedua wilayah. Meskipun demikian, motivasi kader berpengaruh dominan terhadap kinerja kader di kedua wilayah Puskesmas. Aye et al (2019) Hasil penelitian menunjukkan Tiga opsi kebijakan baru diidentifikasi. Kelayakan operasional untuk ketiga opsi berkisar dari sedang hingga tinggi. Dibandingkan dengan situasi saat ini, keduanya sama-sama hemat biaya, dengan tambahan USD 598 dan USD 667 per kasus terhambatnya stunting. Opsi ketiga jauh lebih hemat biaya, dengan tambahan USD 27.741 per kasus yang dihindari. Namun, jika lembaga donor memperluas dukungan mereka dalam opsi tiga ke seluruh negara, prevalensi 22,5 persen akan dicapai pada tahun 2025 dengan tambahan USD 667 per kasus yang dihindari. Kodish et al (2015) menunjukkan bahwa Anggota masyarakat merasa bahwa penyakit yang berhubungan dengan gizi kurang menonjol dan lebih mengancam daripada penyakit lainnya, dan kualitas makanan kurang penting daripada kuantitas makanan. Alokasi makanan rumah tangga terjadi dalam pola yang dapat diprediksi dan bervariasi berdasarkan jenis anggota rumah tangga dan musim. Dianggap sebagai makanan yang memberi energi, SQ-LNS diterima, tetapi pendidikan kesehatan dan komunikasi yang disesuaikan dengan pemahaman lokal tentang nutrisi dan kesehatan diperlukan untuk memastikan pemanfaatannya yang tepat. Mbuya & Humpherey (2016) menunjukkan bahwa Pada tahun 2011, satu dari setiap empat (26%) anak di bawah usia 5 tahun di seluruh dunia terhambat. Kesadaran bahwa kebanyakan pengerdilan tidak dapat dijelaskan dengan pola makan yang buruk atau diare, atau sepenuhnya dibalikkan dengan pola makan yang optimal dan pengurangan diare telah mengarah pada hipotesis bahwa penyebab utama pengerdilan adalah penyakit usus subklinis. Pada dasarnya, mikroba yang tertelan menggerakkan dua jalur yang tumpang tindih dan berinteraksi yang menghasilkan gangguan pertumbuhan linier. Pertama, atrofi vili parsial menghasilkan berkurangnya luas permukaan serap dan hilangnya enzim pencernaan. Hal ini pada gilirannya menghasilkan gangguan pencernaan dan malabsorpsi nutrisi yang sangat dibutuhkan. Kedua, mikroba dan produknya membuat usus bocor, memungkinkan konten luminal untuk mentranslokasi ke dalam sirkulasi sistemik. Hal ini menciptakan kondisi aktivasi kekebalan kronis, yang (i) mengalihkan sumber nutrisi ke bisnis metabolisme yang mahal melawan infeksi daripada pertumbuhan; (ii) menekan poros hormon IGF pertumbuhan dan menghambat pertumbuhan tulang, yang menyebabkan gangguan pertumbuhan; dan (iii) menyebabkan kerusakan lebih lanjut pada mukosa usus sehingga memperburuk masalah. Dengan demikian, lingkungan yang tidak higienis tempat bayi dan anak kecil hidup dan tumbuh harus berkontribusi, jika tidak menjadi penyebab utama, disfungsi enterik lingkungan ini. Kami menyarankan bahwa paket intervensi mencuci bayi (perbaikan sanitasi dan air, mencuci tangan dengan sabun, memastikan permainan yang bersih dan lingkungan pemberian makanan bayi dan kebersihan makanan) yang mengganggu jalur tertentu di mana penularan melalui mulut terjadi pada dua tahun pertama kehidupan seorang anak. mungkin menjadi pusat dari upaya pengurangan stunting global. Michaelsen (2013) menunjukkan bahwa Menambahkan protein susu meningkatkan kualitas protein, yang memungkinkan untuk mengurangi kandungan protein total, yang kemungkinan memiliki kelebihan metabolisme. Dengan mengurangi ketergantungan pada kedelai dan sereal, produk susu juga mengurangi efek antinutritional (mis., Dari phytate) serta meningkatkan rasa. Namun, menambahkan protein susu meningkatkan harga jauh dan membatasi jumlah penerima manfaat potensial. Harga produk susu yang relevan telah berfluktuasi selama beberapa tahun terakhir, dengan tren yang meningkat. Dengan tingginya biaya produk susu dan tingginya jumlah anak yang menderita MAM dan terhambat, penting untuk menilai jumlah susu minimum yang dapat membuat perbedaan. Langlois et al (2020) menunjukkan bahwa Berbagi adalah umum di semua kelompok, dengan yang tertinggi dilaporkan dalam SC + (73%) dan tertinggi diamati dalam CSWB dengan minyak (36%). Beberapa melaporkan memberikan jatah jauh (tertinggi di SC + di 17%) atau menggunakannya untuk tujuan lain (tertinggi di CSWB dengan minyak di 17%). Anak penerima diamati mengkonsumsi ransum di 49% rumah tangga rata-rata (38-60% dengan lengan dalam CSB + w / minyak dan RUSF, masing-masing). Laporan kualitatif tentang kepahitan dan pembusukan muncul di CSWB bersama kelompok minyak. Sebagian besar rumah tangga yang diamati (tidak termasuk RUSF) tidak menyiapkan bubur setiap hari seperti yang diperintahkan (35-46% dengan lengan). Sampel air rumah tangga menunjukkan kontaminasi berisiko tinggi atau tidak aman dengan Escherichia coli (72-78% dengan lengan). Persentase rendah diamati cuci tangan (baik anak-anak dan server) sebelum mengkonsumsi bubur. Berdasarkan uraian diatas maka peneliti mencoba mendapatkan gambaran yang lebih mendalam mengenai permasalahan dan kebutuhan kader dalam pencegahan stunting dengan menggunakan desain penelitian deskriptif eksploratif. Belum ada penelitian serupa di luar negeri maupun di indonesia. Sehingga penting untuk menggali bagaimana permasalahan dan kebutuhan di masyarakat berdasarkan penjelasan tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian analisis permasalahan dan kebutuhan terkait pencegahan stunting di wilayah kerja Puskesmas Situ Kabupaten Sumedang dan di wilayah kerja puskesmas linggar Kabupaten Bandung. Stunting atau kerdil adalah kondisi dimana balita memiliki panjang atau tinggi badan yang kurang jika dibandingkan dengan umur. Kondisi ini diukur dengan panjang atau tinggi badan yang lebih dari minus dua standar deviasi median standar pertumbuhan anak dari WHO. Balita stunting termasuk masalah gizi kronik yang disebabkan oleh banyak faktor seperti kondisi sosial ekonomi, gizi ibu saat hamil, kesakitan pada bayi, dan kurangnya asupan gizi pada bayi. Balita stunting di masa yang akan datang akan mengalami kesulitan dalam mencapai perkembangan fisik dan kognitif yang optimal (Pusdatin Kemenkes RI, 2018). World Health Organization (WHO) menempatkan Indonesia sebagai negara ketiga dengan angka prevalensi stunting tertinggi di Asia pada 2017. Menurut Data Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) pada tahun 2018 stunting mencapai 36,4 persen namun, pada tahun yang sama angkanya menurun hingga 23,6 persen. Stunting pada balita di Indonesia pun turun menjadi 30,8 persen. Adapun pada Riskesdas 2013, stunting balita mencapai 37,2 persen. Anak dikatakan stunting ketika pertumbuhan tinggi badannya tak sesuai grafik pertumbuhan standar dunia. Penurunan angka stunting di Indonesia bila merujuk pada standar WHO, batas maksimalnya adalah 20 persen atau seperlima dari jumlah total anak balita. Prevalensi stunting bayi berusia di bawah lima tahun (balita) Indonesia pada 2015 sebesar 36,4%. Prevalensi stunting / kerdil balita Indonesia ini terbesar kedua di kawasan Asia Tenggara di bawah Laos yang mencapai 43,8%. Tim Nasional Percepatan Penanggulanan Kemiskinan (TNP2K) menerapkan 160 kabupaten prioritas penurunan stunting. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, terdapat 15 kabupaten / kota dengan prevalensi stunting di atas 50%. Indonesia masuk kedalam tertinggi kedua di ASEAN pada tahun 2015 dengan prevalensi bayi berusia di bawah lima tahun (balita) sebesar 36,4%. Artinya lebih dari sepertiga atau sekitar 8,8 juta balita mengalami masalah gizi di mana tinggi badannya di bawah standar sesuai usianya. Stunting tersebut berada di atas ambang yang ditetapkan WHO sebesar 20%. Prevalensi stunting / kerdil balita Indonesia ini terbesar kedua di kawasan Asia Tenggara di bawah Laos yang mencapai 43,8%. Berdasarkan Pantauan Status Gizi (PSG) 2017, balita yang mengalami stunting tercatat sebesar 26,6%. Angka tersebut terdiri dari 9,8% masuk kategori sangat pendek dan 19,8% kategori pendek. Dalam 1.000 hari pertama sebenarnya merupakan usia emas bayi tetapi kenyataannya masih banyak balita usia 0-59 bulan pertama justru mengalami masalah gizi. (UNICEF, 2017). Provinsi Jawa Barat memiliki prevalensi mencapai 29,2% atau 2,7 juta balita termasuk di kabupaten atau kota yang memiliki prevalensi stunting masih tinggi (BAPPEDA JABAR, 2018). Dinkes Jabar melakukan pemantauan status gizi (PSG) di 14 kabupaten dengan tingkat prevalensi stunting yang tinggi. Yaitu di Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, Cianjur, Kabupaten Bandung, Garut, Kabupaten Tasikmalaya, Kuningan, Kabupaten Cirebon, Sumedang, Indramayu, Subang, Karawang, Kabupaten Bandung Barat, dan Majalengka (Kabid Dinkes Jabar). Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung mengungkapkan sebanyak 10 desa di 8 kecamatan akan diprioritaskan mendapatkan program pencegahan stunting. Hal itu berdasarkan data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) terkait masalah stunting di Kabupaten Bandung. Berdasarkan hasil riset kesehatan dasar tahun 2013, prevalensi stunting di kabupaten Bandung sebesar 40,7% dan data ini digunakan oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) sebagai dasar penentuan 100 kabupaten kota untuk intervensi standing stunting. Kabupaten Sumedang adalah salah satu Kabupaten yang termasuk 14 kabupaten dengan tingkat stunting tertinggi yang menjadi fokus pemerintah dengan 10 desa termasuk dalam fokus program intervensi Stunting. Desa-desa tersebut merupakan yang memiliki penghasilan perkapita rendah, yang merupakan salah satu faktor penting penyebab tingginya angka Stunting di Indonesia. Dari data tahun 2018, angka Stunting di Sumedang masih 32%. Sementara di Jawa Barat sendiri, tercatat ada 29.9% atau 2.7 juta balita stunting. Angka 32% tersebut menunjukkan bahwa dari 100 bayi di Sumedang, ada 32 orang mengalami stunting. 10 desa di delapan kecamatan di Kabupaten Sumedang menjadi fokus intervensi untuk menekan angka stunting Salah satunya yaitu Desa Margamukti (Kabupaten Sumedang Utara). (Pemerintah Daerah Kabupaten Sumedang, 2018). Data yang diperoleh dari dinas kesehatan kabupaten bandung tahun 2019 didapatkan bahwa kabupaten bandung memiliki 62 puskesmas dan terdata puskesmas linggar kecamatan rancaekek dengan prevalensi stunting 31,85%. Sedangkan data yang diperoleh dari dinas kesehatan kabupaten sumedang tahun 2019 didapatkan bahwa kabupaten sumedang memiliki 32 puskesmas dan terdata puskesmas situ kecamatan sumedang utara dengan prevalensi 30,9% tingkat stunting cukup tinggi dibandingkan dengan puskesmas lain.
1.2 Pernyataan Masalah
Berasarkan latar belakang diatas, peneliti ingin mengungkapkan secara mendalam identifikasi permasalahan dan kebutuhan kader terkait pencegahan stunting di wilayah kerja puskesmas Situ kecamatan Sumedang Utara dan wilayah kerja puskesmas Linggar kecamatan Rancaekek. Maka peneliti, tertarik untuk meneliti “Bagaimanakah menganalisis permasalahan dan kebutuhan kader terkait pencegahan stunting di wilayah Kab. Sumedang dan Kab. Bandung.”.
1.3 Tujuan penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalsis permasalahan dan kebutuhan kader terkait pencegahan stunting di wilayah kerja Puskesmas Situ Kec. Sumedang Utara dan wilayah kerja Puskesmas Linggar Kec. Rancaekek.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai data dasar bagi perawat dalam memberikan asuhan keperawatan yang akan memberikan pelayanan keperawatan bagi peningkatan kualitas pelayanan pencegahan stunting. Serta manfaat bagi partisipan adalah dengan adanya penelitian ini akan terungkap pengalaman partisipan saat menemukan permasalahan dan kebutuhan di lapangan.
1.5 Penjelasan Istilah
1.5.1 Permasalahan Masalah yakni merupakan suatu kesenjangan antara apa yang seharusnya terjadi dengan apa yang sudah terjadi tentang suatu hal atau kesenjangan antara kenyataan yang terjadi dengan yang seharusnya terjadi serta harapan dan kenyataannya dari masalah tersebut (Notoadmojo, 2002). 1.5.2 Kebutuhan Kebutuhan adalah sebuah konstruk yang menunjukkan “sebuah dorongan dalam wilayah otak” yang mana mengatur berbagai proses seperti pikiran, persepsi dan beberapa tindakan lainnya. Tindakan yang dimaksud adalah tindakan yang ditujukan untuk mengubah kondisi yang ada. Jika digambarkan, kebutuhan disertai dengan perasaan tertentu dan juga memiliki cara khusus dalam mengekspresikan diri untuk mencapai resolusi (Murray). 1.5.3 Pencegahan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007), pencegahan adalah proses, cara, tindakan mencegah atau tindakan menahan agar sesuatu tidak terjadi. Dengan demikian, pencegahan merupakan tindakan. Pencegahan identik dengan perilaku. 1.5.4 Stunting Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita (bayi dibawah lima tahun) akibat dari kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk usianya. Kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal setelah bayi lahir akan tetapi, kondisi stunting baru nampak setelah bayi berusia 2 tahun. Balita pendek (stunted) dan sangat pendek (severely stunted) adalah balita dengan panjang badan (PB/U) atau tinggi badan (TB/U) menurut umurnya dibandingkan dengan standar baku WHO-MGRS (Multicentre Growth Reference Study) 2006.