Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH TENTANG HUBUNGAN BUDAYA SUKU KARO

DENGAN KESEHATAN

Dosen pembimbing : HENI TRIANA, SKM., M.kes

Disusun oleh :

MUHAMMAD ALI SEMBIRING

Nim : 2114401005

1
KATA PENGANTAR

Kami panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat taufik serta
hidayah-Nya kami dapat menyusun makalah yang berjudul ”Kebiasaan Menyirih
Masyarakat Suku Karo”. Makalah ini kami buat dalam rangka pemenuhan tugas mata
kuliah Sosio-Antropologi Kesehatan Mahasiswa Semester I jurusan Kesehatan Masyarakat
Universitas Airlangga 2012.

Penulis menyadari dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan
oleh karena itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan demi
kesempurnaan dalam penulisan selanjutnya.

Sebagai penulis, tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang
telah membantu terutama kepada dosen pembimbing yang sudah memberikan doa dan
restunya kepada kami baik berupa moril maupun materiil hingga terselesaikan karya tulis ini.

Akhirnya, penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis pada
khususnya dan masyarakat pada umumnya.

Medan, 28 April 2022

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.......................................................................................................................1
Daftar Isi................................................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................................3
1.1 Latar Belakang Masalah.........................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah...................................................................................................4
1.3 Tujuan Masalah......................................................................................................4
1.4 Manfaat...................................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................................6
2.1 Gambaran Kebiasaan Menyirih Masyarakat Suku Karo di Indonesia...................6
2.2 Kandungan Ramuan Menyirih Masyarakat Suku Karo di Indonesia.....................8
2.3 Dampak Negatif dari Kebiasaan Menyirih Masyarakat Suku Karo di Indonesia. .
BAB III PENUTUP...............................................................................................................
3.1 Kesimpulan.............................................................................................................
3.2 Saran.......................................................................................................................
Lampiran................................................................................................................................
Daftar Pustaka........................................................................................................................

3
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Menyirih merupakan suatu kebiasaan yang populer di Asia, terutama di India, Sri Lanka,
Asia Tenggara, Kepulauan Pasifik dan China. Menurut catatan sejarah, nenek moyang di Asia
Pasifik, Asia Selatan, dan Asia Tenggara menyirih secara sosial diterima di seluruh lapisan
masyarakat termasuk wanita dan sebagian anak-anak. Kebiasaan menyirih ini telah diketahui dan
dilaporkan dari beberapa negara seperti Bangladesh, Thailand, Kamboja, Sri Lanka, Pakistan,
Malaysia, Indonesia, Cina, Papua Nugini, beberapa pulau di Pasifik, dan populasi yang bermigrasi
ke tempat-tempat seperti Afrika Selatan, Afrika Timur, Eropa, Amerika Utara dan Australia
(dalam makalah Universitas Sumatera Utara hal 13).
Kebiasaan menyirih juga menjadi salah satu perilaku yang berakar pada sosial budaya dan
berhubungan dengan kesehatan di Indonesia. Tradisi mengunyah sirih merupakan warisan budaya
silam, lebih dari 3.000 tahun yang lampau  pada zaman neolitik. Tradisi ini memberikan suatu
masukan bagi perkembangan taraf derajat kesehatan masyarakat di Indonesia khususnya berkaitan
dengan persoalan kesehatan gigi dan mulut.
Diperkirakan sekitar 200 juta orang di dunia mengkonsumsi sirih dan kebiasaan ini sekarang
tersebar luas di Asia Tenggara dan Asia Selatan (Natamiharja, 2002 dalam http://ruang-
tanpabatasekat.blogspot.com/2012/06/antropologi-dan-kesehatan.html). Studi ini meneliti
mengenai perilaku menyirih di wilayah Sumatera Utara yaitu pada Suku Karo. Perilaku menyirih
sangat sulit untuk dihilangkan karena dahulu perilaku ini berhubungan dengan adat-istiadat yaitu
pada acara pertunangan dan pernikahan. Perilaku menyirih juga sangat erat hubungannya dengan
kepercayaan Suku Karo. Perilaku menyirih pada masyarakat Karo sudah ada sejak zaman dahulu.
Seiring dengan berjalannya waktu, budaya ini menjadi kebiasaan yang dilakukan pada saat
mereka dalam keadaan santai. Kebiasaan menyirih ini banyak dilakukan kaum wanita dari pada
kaum pria karena rata-rata pria lebih cenderung melakukan aktivitas merokok di sela-sela
kinerjanya.

Kepercayaan bahwa mengunyah sirih dapat menghindari penyakit mulut seperti mengobati
gigi yang sakit dan nafas yang tak sedap kemungkinan telah mendarah daging di antara para
penggunanya. Padahal efek negatif menyirih dapat mengakibatkan penyakit periodontal, adanya

4
lesi-lesi pada mukosa mulut, seperti sub mucous fibrosis, oral premalignant, bahkan dapat
mengakibatkan kanker mulut. Dan penelitian-penelitian lain yang dilakukan para ahli kedokteran
gigi dan ahli kesehatan masyarakat di Sumatera Utara juga banyak menghasilkan hasil yang tidak
bertolak belakang. Rata-rata mereka menyebutkan bahwa kebiasaan menyirih ini apabila terus-
menerus dilakukan dapat berdampak buruk bagi kesehatan mulut dan gigi. Pernyataan ini
dibuktikan dengan banyaknya pasien yang mengeluhkan kesehatan gigi dan mulut mereka di
suatu pusat layanan kesehatan daerah. Dan berdasarkan studi kasus, rata-rata pasien yang datang
memiliki rutinitas tinggi terhadap kebiasaan menyirih dan mereka benar-benar bangga akan
budaya yang telah mereka yakini itu. Maka dari itu, kami mengangkat fenomena ini dalam
sebuah makalah yang akan kami sajikan dalam presentasi Sosio-Antropologi Kesehatan di
kalangan mahasiswa jurusan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga angkatan
2012.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, kita dapat merumuskan beberapa permasalahan sebagai
berikut:
1. Bagaimana gambaran kebiasaan menyirih masyarakat Suku Karo di Indonesia?
2. Apa bahan yang digunakan dan dampak negatif dari kebiasaan menyirih masyarakat Suku
Karo di Indonesia terhadap kesehatan gigi dan mulut?
1.3 Tujuan
Tujuan dari pembahasan karya tulis ini adalah:
1. Mengetahui gambaran kebiasaan menyirih masyarakat Suku Karo di Indonesia
2. Mengkritisi bahan yang digunakan dan dampak negatif dari kebiasaan menyirih masyarakat
Suku Karo terhadap kesehatan gigi dan mulut.
1.4 Manfaat
Manfaat dari pembahasan karya tulis ini adalah:
1. Menambah pengetahuan bagi penulis dan pembaca.
2. Menciptaan kepekaan kita akan budaya yang sudah mengakar pada masyarakat Suku Karo di
Indonesia dan kaitannya terhadap derajat kesehatan masyarakat Indonesia.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Gambaran Kebiasaan Menyirih Masyarakat Suku Karo di Indonesia

5
Setiap wilayah pasti memiliki adat-istiadat ataupun budaya yang berbeda-beda.
Seperti kata pepatah lain ladang lain belalang, lain lubuk lain pula ikannya, hal ini
bukanlah bualan semata, apalagi jika dihadapkan dengan kondisi masyarakat Indonesia
yang serba heterogen dari Sabang sampai Merauke. Begitu pula masyarakat di daerah
Tapanuli, Sumatra Utara, tepatnya di desa Biru-biru kabupaten Deli, Serdang yang lazim
bisa kita kenal dengan sebutan Suku Karo. Suku ini mendiami desa Biru-biru dan masih
memegang tinggi budayanya. Mereka dikatakan memegang tinggi budaya karena adat
kebiasaan “menyirih” atau bisa juga disebut dengan “menginang” kerap kali ditemukan di
daerah tersebut, khususnya khalayak wanita tua yang tidak memiliki rutinitas tersendiri.
Mereka cenderung melakukan kebiasaan menyirih ini untuk mengisi waktu senggang.
Budaya menyirih ini sebenarnya tidak hanya bisa kita temui di daerah Indonesia, budaya
ini juga populer di Asia, terutama di India, Sri Lanka, Asia Tenggara, Kepulauan Pasifik
dan China. Menurut catatan sejarah, nenek moyang di Asia Pasifik, Asia Selatan, dan
Asia Tenggara menyirih secara sosial diterima di seluruh lapisan masyarakat termasuk
wanita dan sebagian anak-anak. Kebiasaan menyirih ini telah diketahui dan dilaporkan
dari beberapa negara seperti Bangladesh, Thailand, Kamboja, Sri Lanka, Pakistan,
Malaysia, Indonesia, Cina, Papua Nugini, beberapa pulau di Pasifik, dan populasi yang
bermigrasi ke tempat-tempat seperti Afrika Selatan, Afrika Timur, Eropa, Amerika Utara
dan Australia (dalam pendahuluan makalah Universitas Sumatera Utara hal 13 seputar
tradisi menyirih). Namun, penerapan adat kebiasaan ini yang paling dominan sekarang
terdapat di daerah Sumutera Utara ini, tepatnya masyarakat Suku Karo.
Kebiasaan menyirih juga terdapat di Indonesia dan telah lama diketahui serta telah
dilakukan beberapa penelitian mengenai kebiasaan menyirih di Indonesia. Suku Karo
salah satunya yang masih kental mempertahankan tradisi ini. Pada mulanya menyirih
digunakan sebagai suguhan kehormatan untuk orang-orang/ tamu-tamu yang dihormati,
pada suatu acara pertemuan atau pesta perkawinan. Dalam perkembangannya budaya
menyirih menjadi kebiasaan untuk dinikmati di saat santai. Selain itu terdapat anggapan
bahwa menyirih dapat menguatkan gigi geligi serta adanya khasiat di dalam bahan-bahan
campuran menyirih yang menyehatkan. Kepercayaan bahwa mengunyah sirih dapat
menghindari penyakit mulut seperti mengobati gigi yang sakit dan nafas yang tak sedap
kemungkinan telah mendarah daging di antara para penggunanya.

6
Tradisi menyirih ini sudah ada sejak abad ke 9 dan 10 Masehi. Makan sirih
dilakukan dengan mencampurkan semua bahan-bahan yang dibuat untuk menyirih.
Bahan-bahan yang digunakan dalam menyirih ini diantaranya adalah sirih, gambir, kapur
sirih dan juga pinang. Sirih adalah tanaman tropis yang tumbuh di Madagaskar, Timur
Afrika, dan Hindia Barat. Jenis sirih yang terdapat di Semenanjung Malaysia ada empat
jenis, yaitu sirih Melayu, sirih Cina, sirih Keling, dan sirih Udang. Sementara pinang
berasal dari tanah Malaya (Malaysia). Selain itu terdapat tembakau yang menjadi
pelengkap dalam tradisi menyirih ini.
Sedikit kapur dioleskan di atas daun sirih, di atasnya diletakkan sedikit gambir,
daun dilipat, kemudian dimasukkan ke mulut dan mulai dikunyah. Kejadian yang pasti
terjadi yaitu makin lama dikunyah warna di mulut mulai berubah menjadi merah
menyala. Ketika ludah dikeluarkan, berwarna merah terang disebabkan oleh sisa-sisa
serat dari buah pinang. Beberapa saat kemudian, akan disambung dengan gumpalan
tembakau yang sudah dirajang untuk membersihkan gigi dan bibir, serta dihisap-hisap.
Tembakau ini yang menyebabkan kecanduan karena dapat memberikan sensasi
kesenangan. Pecandu memamah sirih pinang mempunyai sensasi tersendiri setelah makan
sirih pinang. Memamah sirih pinang tidak mengenal waktu, kegiatan tersebut dapat
dilakukan pagi, siang, sore bahkan pada malam hari. Sama halnya dengan pecandu rokok
yang tidak mengenal waktu untuk menikmati rokok.
Untuk pecandu berat tradisi menyirih ini, biasanya cara membawa perlengkapan
diletakkan dalam suatu tempat yang terbuat dari anyaman rotan, kaleng, tas pinggang, dan
lain-lain. Semua perlengkapan dimasukkan kedalam wadah tersebut berupa daun sirih,
pinang yang sebagian sudah di belah, kapur, daun atau getah gambir, tembakau. Hal
tersebut yang menjadi kebiasaan yang berkembang di masyarakat Suku Karo.
Sebenarnya kebiasaan menyirih sama halnya dengan kebiasaan minum kopi, teh
atau mengisap rokok. Pada mulanya setiap orang yang menyirih (makan sirih dan pinang)
tidak lain untuk penyedap mulut. Kebiasaan ini kemudian berlanjut menjadi kesenangan
dan terasa nikmat sehingga sulit untuk dilepaskan. Fungsi menyirih yang lain yaitu
menyangkut tata pergaulan dan tata nilai kemasyarakatan. Hal ini tercermin dari
kebiasaan menyirih, hidangan penghormatan untuk tamu, sarana penghantar bicara,
sebagai mahar perkawinan, alat pengikat dalam pertunangan sebelum nikah, untuk
menguji ilmu seseorang, pada acara merdang, pada upacara berkeramas, untuk prosesi
pengusiran roh, upacara ngukruk emas (mengambil emas), upacara muat kertah
(mengambil kertah) dan sebagai pengobatan tradisional. Tamu biasanya disuguhi sirih
pinang dulu dalam bertamu. Hal tersebut merupakaan suatu kehormatan dan tamu wajib

7
untuk mencobanya. Barulah kopi, teh atau makanan lain yang disuguhkan setelah makan
sirih pinang.
Kebiasaan buruk di desa-desa adalah meludah sembarangan. Dengan warna air
liur yang semacam itu (berwarna merah), kebiasaan itu tentu saja akan meninggalkan
noda berupa bercak merah di mana-mana. Sebenarnya masyarakat di Indonesia seperti di
Jawa mempunyai wadah khusus untuk meludah, berupa kaleng kecil yang disebut
tempolong. Masalah lingkungan akan teratasi jika saja semua orang yang menyirih punya
wadah semacam itu.
Di dalam penelitian yang ditulis oleh Jul Asdar Putra Samura dalam pemenuhan
tugas tesisnya di Universitas Sumatera Utara tahun 2009, menyatakan bahwa pasien yang
sering mengeluh tentang sakit gigi dan mulut di rumah sakit di Sumatera Utara rata-rata
adalah masyarakat dari Suku Karo yang masih kental menjalankan tradisi menyirih ini.
Ini membuktikan bahwa menyirih mempunyai dampak buruk bagi kesehatan gigi dan
mulut.

2.2 Bahan Ramuan Menyirih Masyarakat Suku Karo di Indonesia dan Dampak
Negatifnya terhadap Kesehatan Gigi dan Mulut
- Daun sirih
Daun sirih mengandung zat antiseptik yang biasa digunakan untuk menyembuhkan
luka atau mimisan. Selain itu, terdapat minyak atsiri dari daun sirih yang mengandung
minyak terbang (betIephenol), seskuiterpen, pati, diatase, gula dan zat samak dan
kavikol yang memiliki daya mematikan kuman, antioksidasi dan fungisida, anti
jamur.
- Pinang
Bahan kimia yang terkandung dalam tanaman pinang adalah alkaloid arekolin. Bahan
ini mengandung racun dan penenang sehingga tidak dianjurkan untuk pemakaian
dalam jumlah besar
- Gambir
Kandungan yang utama dan juga yang banyak dikandung oleh gambir adalah
flavonoid, katekin (15%), zat penyamak (22-50%), dan sejumlah alkaloid. Gambir
dijadikan obat-obatan modern yang diproduksi negara Jerman dan juga sebagai
pewarna cat pakaian.

8
- Kapur
(Nicotiana spp) Nikotin merupakan komponen penting dalam sirih karena sifatnya
yang menimbulkan ketagihan atau adiksi
- Tembakau
Penggunaan kapur sirih dapat mengakibatkan panyakit periodontal. Penyebab
terbentuknya penyakit periodontal adalah karang gigi akibat stagnasi saliva
pengunyah sirih karena adanya kapur Ca(OH)2.

9
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat kita ambil kesimpulan diantaranya:
1. Tradisi menyirih menjadi kebiasaan yang dilakukan masyarakat Suku Karo,
khususnya kaum wanita tua yang sudah tidak lagi menjalankan rutinitas kerja tertentu
dan hal ini mereka lakukan di sela-sela waktu senggangnya.
2. Bahan yang digunakan dalam tradisi menyirih ini diantaranya daun sirih, gambir,
pinang dan tembakau.
3. Kebiasaan menyirih ini menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan, terutama bagi
kesehatan gigi dan mulut. Diantara dampak/ penyakit yang ditimbulkan antara lain
rusaknya lesi mukosa dalam mulut penyirih, preleukoplakia, leukoplakia tipe
homogen, oral submukus fibrosis, kanker rongga mulut dan lain-lain.
3.2 Saran
Ketika kita membicarakan suatu budaya yang telah mengakar dan mendarah daging
pada suatu masyarakat tertentu, kita tidak boleh secara sepihak mengatakan bahwa tradisi
tersebut salah. Sebagai seorang yang lebih mengetahui akan dampak yang ditimbulkan
dari adanya budaya tersebut, kita perlu mengkritisi dan mengantisipasi dengan
pendekatan-pendekatan multidisipliner sehingga dalam penyampaian promosi kesehatan
terhadap suatu masyarakat tertentu dilakukan dengan sopan dan modifikasi khusus yang
akhirnya sedikit demi sedikit kita bisa meminimalisir dampak negatif yang ditimbulkan
akibat kebiasaan menyirih.

10
DAFTAR PUSTAKA

Notoatmojo, Soekidjo. 2011. KESEHATAN MASYARAKAT Ilmu & Seni. Edisi Revisi.
Jakarta: Rineka Cipta

http://ruang-tanpabatasekat.blogspot.com/2012/06/antropologi-dan-kesehatan.html diakses
tanggal 10 Desember 2012 pukul 12.36 WIB

11

Anda mungkin juga menyukai