Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

“HUBUNGAN POLA MAKAN DENGAN KASUS


MALOKLUSI”

KELOMPOK 9
Tutor : Prof. Dr. drg. Susilowati, SU

1. KHAERUNNISA BAKRI J011171026


2. RIFQIYANTI ISMI J011171027
3. AULIA ANINDITA AINAYYAH J011171028
4. NILAM CAHYANI ILHAM J011171334
5. NI’MATULLAH JAYA J011171335
6. EVAYANTI AKE J011171336
7. NURUL AULIA AZTI AZIS J011171533
8. ANDI MUHAMMAD FARHAN J011171534
9. BEATRIZ TRESNA J011171535
10. ANDI BESSE REZKY AULIA J011171536
11. IRNA INDRIANA SYAHRIR J111 16 511

BLOK STOMATOGNATIK DAN MALOKLUSI


FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2020
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah tentang “Hubungan Pola Makan dengan Kasus
Maloklusi” dan kami ucapkan terima kasih kepada tutor yang telang membimbing
“Prof. Dr. drg. Susilowati, SU”.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk
itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini. Terlepas dari semua itu, kami
menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan
kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, dengan tangan terbuka kami
menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki
makalah ilmiah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah tentang “Hubungan Pola Makan
dengan Kasus Maloklusi” ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi
terhadap pembaca.

Makassar, 13 Februari 2020

Tim Penyusun

ii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ........................................................................................... i
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan ............................................................................. 2
1.4 Manfaat Penulisan ........................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 3
2.1 Definisi Pola Makan ........................................................................ 3
2.2 Pola Makan Ideal............................................................................. 3
BAB III PEMBAHASAN ..................................................................................... 6
3.1 Hubungan Pola Makan dengan Sistem Stomatognatik ................... 6
3.2 Hubungan Pola Makan dengan Kasus Maloklusi ........................... 6
3.3 Dampak Pola Makan terhadap Kasus Maloklusi ............................ 8
BAB IV PENUTUP .............................................................................................. 10
4.1 Kesimpulan .................................................................................... 10
4.2 Saran .............................................................................................. 10
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 11

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Menurut Depkes RI, Pengertian pola makan adalah suatu cara atau
usaha dalam pengaturan jumlah dan jenis makanan dengan gambaran
informasi meliputi mempertahankan kesehatan, status nutrisi, mencegah
atau membantu kesembuhan penyakit. Fungsi utama gigi geligi selain fungsi
bicara dan fungsi estetik adalah fungsi mastikasi atau fungsi kunyah. Tahap
awal asupan makanan melalui rongga mulut tempat proses pencernaan
dimulai, makanan dikunyah menjadi ukuran yang lebih kecil dan halus,
yang kemudian dibasahi dengan saliva untuk ditelan. Hal ini bertujuan
mencegah distorsi jaringan lunak faring dan osefagus saat menelan, juga
memperluas permukaan untuk aksi enzimatis.1
Maloklusi didefinisikan sebagai suatu ketidaksesuaian hubungan gigi
atau rahang yang menyimpang dari normal. Posisi abnormal gigi atau gigi
yang tidak teratur akan sulit dibersihkan dengan menyikat gigi dan
memudahkan retensi plak sehingga memengaruhi kebersihan gigi dan mulut
yang memicu terjadinya karies.2
Pola makan juga menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya
maloklusi. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa faktor lingkungan dan
perubahan pola hidup sangat berpengaruh terhadap perkembangan oklusi.
Globalisasi saat ini, membawa perubahan terhadap pola hidup masyarakat
khususnya masyarakat perkotaan termasuk perubahan dalam hal pola
makan. Pengaruh pola makan di perkotaan yang cenderung lebih banyak
mengkonsumsi jenis makanan lunak olahan seperti makanan siap saji yang
memungkinkan terjadinya maloklusi gigi geligi, sebab kurang menggunakan
fungsi dan kurang rangsangan pengunyahan pada tulang rahang sehingga
terjadi kekurangan ruang untuk pertumbuhan gigi. Pada abad ke-19 dan 20
makanan diproses agar lebih praktis, tidak memerlukan pengunyahan yang
kuat sehingga tekanan dan kekuatan pengunyahan pada proses pertumbuhan
gigi anak menurun. Sedangkan pada masyarakat pegunungan yang belum

1
terlalu mengenal makanan siap saji karena kurangnya teknologi dan
informasi yang diperoleh sehingga masyarakat lebih banyak mengkonsumsi
makanan yang sedikit keras karena pengetahuan mengenao pengolahan
bahan makanan masih kurang.3

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Bagaimana hubungan pola makan dengan sistem stomatognatik ?
1.2.2 Bagaimana hubungan pola makan dengan kasus maloklusi ?
1.2.3 Bagaimana dampak pola makan terhadap kasus maloklusi ?

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1 Menjelaskan hubungan pola makan dengan sistem stomatognatik.
1.3.2 Menjelaskan hubungan pola makan dengan kasus maloklusi.
1.3.3 Menjelaskan dampak pola makan terhadap kasus maloklusi.

1.4 Manfaat Penulisan


Penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan sumbangsi
kepada mahasiswa dan masyarakat mengenai pengaruh pola makan terhadap
terjadinya maloklusi. Selain itu penulisan ini diharapkan mampu
memberikan pengetahuan dan wawasan kepada masyarakat terhadap
pentingnya menjaga pola makan yang ideal untuk menjaga kesehatan.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Pola Makan


Kebiasaan adalah pola perilaku yang diperoleh dari pola peraktik yang
terjadi Kebiasaan makan yaitu suatu pola kebiasaan komsumsi yang
diperoleh karena terjadi berulang-ulang. Kebiasaan makan adalah tindakan
manusia, dan perasaan apa yang dirasakan mengenai persepsi tentang hal
itu. Kebiasaan makan adalah cara individu dan kelompok dalam
mengonsumsi dan menggunakan makanan yang tersedia yang didasarkan
kepada faktor - faktor sosial dan budaya dimana mereka hidup. Kebiasaan
makan adalah berupa apa, oleh siapa, untuk siapa, kapan dan bagaimana
makanan siap diatas meja untuk disantap. Oleh karena itu, kebiasaan makan
dapat dipelajari dan di ukur menurut prinsip-prinsip ilmu gizi melalui
pendidikan, latihan dan penyuluhan sejak manusia mulai mengenal makan
untuk kelangsungan hidupnya.4
Badan Kesehatan Dunia (WHO) secara umum menganjurkan konsumsi
sayuran dan buah-buahan untuk hidup sehat sejumlah 400g perorang
perhari, yang terdiri dari 250g sayur (setara dengan 2 ½ porsi atau 2 ½ gelas
sayur setelah dimasak dan ditiriskan) dan 150g buah, (setara dengan 3 buah
pisang ambon ukuran sedang atau 1 ½ potong pepaya ukuran sedang atau 3
buah jeruk ukuran sedang). Bagi orang Indonesia dianjurkan konsumsi
sayuran dan buahbuahan 300-400g perorang perhari bagi anak balita dan
anak usia sekolah, dan 400-600g perorang perhari bagi remaja dan orang
dewasa. Sekitar dua-pertiga dari jumlah anjuran konsumsi sayuran dan
buah-buahan tersebut adalah porsi sayur.5

2.2 Pola Makan Ideal


Nutrisi memiliki peran yang penting pada etiologi berbagai penyakit
sehingga pemahaman akan fungsi dan peran nutrisi dapat menjadi
pendukung dalam perawatan klinis yang diberikan dokter gigi. Adanya
keterbatasan pada desain intervensi nutrisi yang efektif pada praktek dokter

3
gigi menyebabkan nutrisi belum menjadi bagian integral pada perawatan
pasien. Dokter gigi perlu memahami peran nasehat nutrisi pada pasien untuk
diterapkan dalam praktek untuk mendukung pasien menjalankan pola makan
yang lebih sehat. Pemahaman tentang pola makan dapat menjadi dasar
penetapan tujuan perawatan, prioritas dan penjadwalan nasehat nutrisi yang
perlu diberikan pada pasien. Nasehat nutrisi untuk pasien perlu diberikan
dengan mempertimbangkan pula kondisi kesehatan sistemik pasien sehingga
tidak menimbulkan dampak yang kontradiktif. Penilaian pola makan dapat
juga menunjukkan perilaku pasien yang berpotensi mempengaruhi
kesehatan gigi dan mulut, yang selanjutnya dapat menjadi pertimbangan
dalam membuat keputusan klinis yang dibuat dalam praktek dokter gigi.6
Nutrisi merupakan salah satu komponen penting terhadap kesehatan
gigi-mulut, dan beberapa jenis nutrient telah diketahui berperan lebih
terhadap kesehatan gigimulut. Kalsium, fluor, fosfor dan vitamin D
merupakan komponen penting dalam pembentukan struktur dan menjaga
kesehatan gigi. Selain itu, vitamin C dan beberapa jenis vitamin lainnya juga
dapat menjaga kesehatan mukosa mulut melalui perannya dalam
pembentukan kolagen. Kekurangan makronutrien, mikronutrien, maupun
berbagai jenis vitamin tertentu dapat berdampak pada terganggunya
kesehatan gigi-mulut.7
Nasehat gizi yang memadai perlu diberikan pada pasien pasca bedah
mulut supaya sembuh lebih cepat dan memberikan perasaan akan kondisi
fisik dan emosional yang sehat. Pada kondisi ini pasien biasanya merasakan
stres dan memiliki kesulitan mengunyah sehingga diperlukan nasehat gizi
yang tepat. Keseimbangan nutrisi yang tepat dipilih berdasarkan kandungan
gizi yang berperan pada penyembuhan luka dan ketahanan terhadap infeksi.
Makanan yang diperlukan dalam proses penyembuhan pasien, diantaranya
adalah protein, karbohidrat, lemak, vitamin, mineral, dan air. Fungsi protein
adalah penyedia asam amino untuk pembentukan dan pemeliharaan
jaringan. Kecukupan protein menjamin adanya kecukupan jumlah sel dan
volume darah, enzim, antibodi dan antigen untuk metabolisme dan fungsi
tubuh yang diperlukan oleh pasien bedah karena rata-rata pemenuhan

4
kebutuhan harian pasien pasca bedah adalah dua kali rata-rata kebutuhan
normal. Pada kondisi ini, protein dari hewani lebih diutamakan daripada
nabati.6

5
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Hubungan Pola Makan dengan Sistem Stomatognatik8


Sistem stomatognatik terdiri dari struktur statis dan dinamis. Fungsi
harmonisnya bergantung pada hubungan seimbang antara struktur-struktur.
Sistem stomatognatik terdiri dari fungsi-fungsi berikut: hisap, menelan,
pengunyahan, pernapasan, dan bicara, yang ditingkatkan sejak lahir.
Tingkat perkembangan otot pengunyahan juga merupakan respons
seluler terhadap diet. Hipertrofi otot pengunyahan tidak jarang pada
populasi yang tinggal di lingkungan di mana pengunyahan yang kuat
diperlukan untuk memproses makanan berserat dan keras. Bersamaan
dengan ini, kekuatan pengunyahan yang kuat yang bekerja pada gigi juga
menstimulasi pertumbuhan tulang alveolar. Oleh karena itu, meskipun
susunan genetik individu mendasari arah perkembangan umum, dapat
dikatakan bahwa kekuatan lingkungan yang bertindak sepanjang hidup
mengubah fenotip genetik yang sesuai.
Dalam sistem stomatognatik yang sehat, keseimbangan yang baik
dipertahankan dalam hubungan dinamis antara faktor-faktor risiko
(misalnya pola makan yang buruk dan kebersihan mulut yang buruk, karies
gigi) dan faktor lokal (misalnya perlindungan dari air liur dan biofilm oral).
Sementara biofilm adalah penghalang fisik terhadap asam, biofilm juga
bertindak sebagai reservoir ion kalsium, fosfat, dan fluoride yang diperlukan
untuk remineralisasi (perbaikan) struktur gigi yang didemineralisasi. Di
permukaan email gigi, ada interaksi demineralisasi / remineralisasi yang
konstan, dengan keseimbangan yang sehat mendukung remineralisasi.
Mengunyah menstimulasi aliran saliva dan peningkatan kapasitas buffering.

3.2 Hubungan Pola Makan dengan Kasus Maloklusi


Maloklusi dapat disebabkan oleh faktor herediter, faktor lingkungan
ataupun faktor lokal. Beberapa contoh faktor lingkungan yang
mempengaruhi maloklusi adalah pola makan, kekuatan pengunyahan, dan

6
nutrisi. Pada beberapa penelitian telah ditemukan bahwa status nutrisi
mungkin berhubungan dengan terjadinya maloklusi.9
Pola makan dapat mempengaruhi konsumsi nutrisi dan energi. Masalah
gizi di kalangan remaja dapat timbul dari hasil kekurangan makanan,
terutama dari pilihan makanan yang buruk, yang mungkin terkait dengan
faktor fisiologis, sosial ekonomi dan psikologis.10 Kurangnya persediaan
pangan, kemiskinan, sanitasi, pengetahuan masyarakat tentang gizi, menu
seimbang dan kesehatan dapat mengakibatkan gizi kurang. Sebaliknya,
kemajuan ekonomi pada lapisan masyarakat tertentu disertai dengan
kurangnya pengetahuan tentang gizi, menu seimbang dan kesehatan
berakibat pada peralihan pola kehidupan masyarakat dari pola tradisional
kepada modern yang banyak mengandung protein, gula dan lemak tetapi
kurang serat. Hal mengakibatkan sebagian masyarakat mengalami kesulitan
dalam penyesuaian diri berkaitan dengan pola makanan yang tinggi kalori,
serba cepat dan praktis, sehingga pola hidup sehat menjadi terabaikan.
Dampaknya perubahan status gizi baik menjadi status gizi salah.11,12
Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Thomaz
dan Valenca yang menunjukkan adanya hubungan antara berat badan
terhadap umur dan peningkatan prevalensi gigi berjejal pada anak-anak usia
3 sampai 5 tahun. Menurut para peneliti, malnutrisi merupakan keadaan gizi
yang kekurangan, kelebihan atau ketidakseimbangan energi dan protein
yang berpengaruh terhadap perkembangan hormon salah satunya growth
hormone (GH) yaitu hormon pertumbuhan yang mempunyai peran dalam
pertumbuhan perkembangan tulang, termasuk tulang rahang.13
Eksperimen hewan dengan makanan lunak dibanding makanan keras
menunjukkan bahwa perubahan morfologis dapat terjadi dalam satu generasi
ketika konsistensi makanan diubah. Ketika seekor babi, misalnya,
dibesarkan dengan pola makan yang lunak daripada yang normal, ada
perubahan morfologi rahang, dalam orientasi rahang ke seluruh kerangka
wajah, dan dalam dimensi lengkung gigi. Pada manusia, jika konsistensi diet
mempengaruhi ukuran lengkung gigi dan jumlah ruang untuk gigi, maka
sebagai individu berkembang harus melakukannya di awal kehidupan

7
karena dimensi lengkung gigi ditetapkan lebih awal.14 Oleh karena itu,
perbedaan dari ukuran lengkung rahang dan lengkung gigi ini menyebabkan
terjadinya maloklusi, seperti gigi berjejal, diastema, dan lainnya.15

3.3 Dampak Pola Makan terhadap Kasus Maloklusi


Pengaruh pola makan terhadap pertumbuhan dan perkembangan
seseorang dimulai sejak dalam kandungan. Status nutrisi selama kehamilan
periode anak sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan gigi
geligi. Kondisi prenatal termasuk diet berpengaruh terhadap pertumbuhan
dan perkembangan gigi geligi. Kuantitas dan kualitas nutrisi ibu yang tepat
dibutuhkan selama kehamilan dan setelah kelahiran untuk mendukung
pembelahan sel, diferensiasi dan replikasi sel selama masa pertumbuhan.
Protein diperlukan dalam tahap progresif kehamilan untuk mencapai
pertumbuhan dan perkembangan optimal anak termasuk gigi. Nutrisi
tersebut tetap dibutuhkan oleh anak setelah kelahiran dalam jumlah yang
cukup untuk tercapainya pertumbuhan dan perkembangan optimal.
Kekurangan bahan-bahan tersebut pada masa pertumbuhan akan
memperlambat pertumbuhan. Protein merupakan bahan utama pembentuk
gigi. Komposisi nutrisi dalam makanan dapat mempengaruhi pertumbuhan
dan perkembangan jaringan gigi melalui 2 periode yaitu tahap praerupsi dan
pasca erupsi. Jika terjadi kegagalan, maka akan berpengaruh terhadap
struktur dan komposisi kimiawi juga waktu erupsi gigi. Pada
perkembangannya gigi mengalami proses mineralisasi sampai terjadi
kematangan gigi. Proses pembentukan hidroksi apatit pada gigi diatur oleh
interaksi antara matriks gigi dan mineral. Pada ikatan itu beberapa molekul
dapat mengatur ukuran dan bentuk kristal mineral, menentukan tempat awal
dan tipe deposisi kristal. Fungsi jaringan kolagen, yaitu merupakan salah
satu bentuk protein yang berfungsi untuk tempat deposisi hidroksi apatit
sengan vesikel matriks ekstraseluler berfungi mempertahankan lingkungan
untuk deposisi kristal. Kekurangan protein dapat menyebabkan hambatan
proses mineralisasi gigi, hambatan reaksi sintesis protein dan akan

8
menyebabkan modifikasi proses alami mineralisasi matriks organik jaringan
gigi.16
Pola makan yang baik akan mempengaruhi status gizi seseorang.
Penentuan status gizi sangat dipengaruhi oleh asupan makanan yang
seimbang dan akan memiliki kesehatan umum yang baik, karena zat-zat gizi
yang diperlukan seperti karbohidrat, protein, kalsium, fosfor, magnesium
dapat tercukupi.17 Status gizi yang baik terjadi jika tubuh mendapatkan
cukup nutrisi yang digunakan secara efisien, sehingga pada pertumbuhan
fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara umum
dapat meningkat.18 Nutrisi juga penting untuk kesehatan gigi dan mulut,
tahap awal proses pertumbuhan gigi dipengaruhi oleh sejumlah faktor dan
beberapa mineral seperti Ca, P, Fe dan vitamin yang terdapat dalam
makanan.19 Namun, kekurangan gizi dapat menyebabkan keterlambatan
dalam proses erupsi gigi. Umumnya erupsi gigi permanen molar pertama
pada usia 6-7 tahun. Gigi permanen molar pertama sangat penting untuk
anak terutama untuk merangsang pertumbuhan rahang.18 Waktu erupsi
penting dalam proses perencanaan perawatan gigi terutama dalam
orotodontik. Keterkaitan status gizi terhadap erupsi gigi juga dijelaskan oleh
UAB Health System, bahwa kekurangan asupan kalsium dapat
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan gigi. Kekurangan kalsium
akan mengahambat proses kalsifikasi gigi dan memperlambat kematangan
gigi. Kekurangan fosfor, vitamin C dan vitamin D juga dapat menghambat
pertumbuhan dan perkembangan gigi serta memperlambat waktu erupsi
gigi.20
Pengaruh pertumbuhan kraniofasial juga dipengaruhi oleh tekstur
makanan dan mastikasi. Hal tersebut diatur oleh mekanoreseptor periodontal
dan juga di mediasi oleh penyesuaian diri yang disengaja. Reseptor
periodontal dapat bereaksi dari karakteristik yang berbeda dari bolus
makanan dan kemudian mengirim sinyal ke pusat saraf untuk memotivasi
pola mengunyah yang sesuai, hal tersebut terkait dengan perubahan kinerja
otot pengunyahan yang diatur oleh umpan balik aferen, karena itu
mempengaruhi perkembangan kraniofasial dalam jangka panjang.21

9
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Maloklusi dapat disebabkan oleh faktor herediter, faktor lingkungan
ataupun faktor lokal. Beberapa contoh faktor lingkungan yang
mempengaruhi maloklusi adalah pola makan, kekuatan pengunyahan, dan
nutrisi. Pada beberapa penelitian telah ditemukan bahwa status nutrisi
mungkin berhubungan dengan terjadinya maloklusi. Pola makan yang baik
akan mempengaruhi status gizi seseorang. Penentuan status gizi sangat
dipengaruhi oleh asupan makanan yang seimbang dan akan memiliki
kesehatan umum yang baik, karena zat-zat gizi yang diperlukan seperti
karbohidrat, protein, kalsium, fosfor, magnesium dapat tercukupi. Nutrisi
juga penting untuk kesehatan gigi dan mulut, tahap awal proses
pertumbuhan gigi dipengaruhi oleh sejumlah faktor dan beberapa mineral
seperti Ca, P, Fe dan vitamin yang terdapat dalam makanan. Namun,
kekurangan gizi dapat menyebabkan keterlambatan dalam proses erupsi
gigi.

4.2 Saran
Status gizi merupakan salah satu penyebab dari maloklusi. Oleh karena
itu, menjaga pola makan saat dini sangat penting untuk mengurangi risiko
akan terjadinya maloklusi.

10
DAFTAR PUSTAKA

1. Thalib B. Analisis hubungan status gigi dengan pola makan dan asupan
nutrisi pada manula suku Bugis dan suku Mandar. Dentofasial 2008; 7(1):
126-37
2. Putri RD, dkk. Hubungan tingkat keparahan maloklusi dengan status karies
pada remaja di SMP Negeri 1 Kota Cimahi. Padjadjaran J Dent Res Student
2019; 3(1): 43-9.
3. Pawinru A, Ikbal M. The use of splint in school-age children prevents the
occurence of temporo mandibular joint disorders. Makassar Dent J 2019;
8(1): 9-11.
4. Kadir A. Kebiasaan makan dan gangguan pola makan serta pengaruhnya
terhadap status gigi remaja. Jurnal Publikasi 2016; 6(1): 50.
5. Kemenkes. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 41 tahun
2014 tentang Pedoman Gizi Seimbang.
6. Rosa A. Manajemen nasehat nutrisi dalam praktek kedokteran gigi.
Dentofasial 2011; 10(1): 55-7.
7. Aryono H. Nutrisi dan kesehatan gigi mulut pada anak. Sari Pediatric 2015;
17(1): 72.
8. Kaidonis JA, Ranjitkar S, Townsend GC, Koh KSB, Toh VKL, Brook AH.
The mature stomatognathic system is a complex adaptive system. WIT
Transactions on State of the Art in Science and Engineerin 2017; 98.
9. Jasim ES, Garma NMH, Nahidh M. The association between malocclusion
and nutritional status among 9-11 years old children. Iraqi Orthod J 2016;
12(1): 13.
10. Otuneye AT, Ahmed PA, Abdulkarim AA, Aluko OO, Shatima DR.
Relationship between dietary habits and nutritional status among adolescents
in Abuja municipal area council of Nigeria. Niger J Paediatr 2017; 44(3):
129.
11. Dermawan CHA, Fitriana A, Alioes Y. Hubungan status gizi terhadap
kesejajaran gigi anterior mandibula berdasarkan pengukuran little’s

11
irregularity index pada siswa SMPN 5 Padang. Cakradonya Dent J 2016;
9(1): 53.
12. Hadi SM, Sulistyowati E, Mifbakhuddin. Hubungana pendapatan perkapita,
pengetahuan gizi ibu, dan aktivitas fisik. J Kesehatan Masyarakat Indonesia
2005; 2(1): 7-12.
13. Thomas EBAF, Valenca AMG. Relationship between childhood underweight
and dental crowding in deciduous teething. J Pediactr 2009: 85.
14. Proffit WR, Fields HW, Sarver DM. Contemporary orthodontics. 5th Ed. St.
Louis: Mosby Elsevier; 2012. p.135.
15. Ardani IGAW, Kannayyah D, Triwardhani A. Correlation of maxillary and
mandibular arch form and tooth size ratio in ethnic javanese malocclusion
patient. J of Int Oral Health 2019; 11(2): 75.
16. Pudyani PS. Pengaruh kekurangan protein pre dan postnatal terhadap
mineralisasi gigi. JKGUI 2001; 8(2): 54-9
17. Hamrun N, Rathi M. Perbandingan status gizi dan karies gigi pada murid SD
islam athirah dan SD II bangkala makassar. Dentofacial; 8: 27-34.
18. Alhamda S. Nutrision status correlated to the first permanent mandibular
molar teeth of elementary school children in litau bou. Indonesian Journal of
Biomedical Sciences 2012; 6: 66-70.
19. Asmawati, Pasolon fa. Analisis hubungan karies gigi dan status ggizi anak
usia 10-11 tahun di SD athirah, SD 1 bawakaraeng dan SD 3 bangkala.
Dentofacial 2007; 6: 78-84.
20. Anatomy and development of the mouth and teeth. The university of albama
at birningham UAB system. 2004.
21. Zhiyi S, Min G, Yanqi Y. The association between mastication,
malocclussion and craniofacial morphology. Int J Dentistry Oral Science
2018; 1(2): 26-11.

12

Anda mungkin juga menyukai