Anda di halaman 1dari 110

MODUL ETIKA PROFESI DAN ILMU PERILAKU

KUMPULAN ADAT DAN KEBIASAAN SUKU

MAHASISWA TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIK KELAS III.A

OLEH :

TINGKAT III.A

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES KENDARI

D-III TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIK

2019

i
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga
kami dapat menyelesaikan modul ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya
tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan modul ini dengan baik.

Kami mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-
Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga kami mampu untuk
menyelesaikan pembuatan modul sebagai tugas dari mata kuliah Etika Profesi dan
Ilmu Perilaku.

Kami tentu menyadari bahwa modul ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, kami
mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk modul ini, supaya modul ini
nantinya dapat menjadi modul yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat
banyak kesalahan pada makalah ini kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada
dosen Etika Profesi dan Ilmu Perilaku kami yang telah membimbing dalam
menyusun modul ini.

Demikian, semoga modul ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Kendari, Oktober 2019

Penyusun (Kelas III.A)

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i

KATA PENGANTAR .............................................................................................. ii

DAFTAR ISI ............................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ........................................................................................ 1

B. Rumusan Masalah ................................................................................... 2

C. Tujuan ...................................................................................................... 3

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Moral, Etika, Etiket, Perilaku dan Karakter .......................... 5

B. Pengertian Suku dan Budaya ................................................................... 8

C. Hubungan Kebudayaan Suku Tolaki dengan Kesehatan .........................

D. Hubungan Kebudayaan Suku Bugis dengan Kesehatan .........................

E. Hubungan Kebudayaan Suku Muna dengan Kesehatan .........................

F. Hubungan Kebudayaan Suku Buton dengan Kesehatan .........................

G. Hubungan Kebudayaan Suku Toraja dengan Kesehatan .........................

H. Hubungan Kebudayaan Suku Moronene dengan Kesehatan ..................

I. Hubungan Kebudayaan Suku Jawa dengan Kesehatan ...........................

J. Hubungan Kebudayaan Suku Gorontalo dengan Kesehatan ...................

iii
K. Hubungan Kebudayaan Suku Wawonii dengan Kesehatan ....................

L. Hubungan Kebudayaan Suku Bali dengan Kesehatan ............................

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ..............................................................................................

B. Saran ........................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA

iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak keragaman dari budaya,


suku bangsa, agama, hingga aliran-aliran kepercayaan. Semua keragaman tersebut
tumbuh di dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang akhirnya membentuk
masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang plural. Masyarakat Indonesia yang
majemuk terdiri dari berbagai budaya, karena adanya kegiatan dan pranata khusus.
Perbedaan ini justru berfungsi mempertahankan dasar identitas diri dan integrasi
sosial masyarakat tersebut.

Keragaman budaya di Indonesia adalah sesuatu yang tidak dapat dipungkiri


keberadaannya. Konteks pemahaman masyarakat majemuk, selain kebudayaan
kelompok suku bangsa, masyarakat Indonesia juga terdiri dari berbagai kebudayaan
daerah bersifat kewilayahan yang merupakan pertemuan dari berbagai kebudayaan
kelompok suku bangsa yang ada di daerah tersebut. Jumlah penduduk lebih dari 200
juta orang dimana mereka tinggal tersebar di pulau-pulau di Indonesia. Mereka juga
mendiami wilayah dengan kondisi geografis yang bervariasi, mulai dari pegunungan,
tepian hutan, pesisir, dataran rendah, pedesaan, hingga perkotaan. Mengenai hal ini
juga berkaitan dengan tingkat peradaban kelompok-kelompok suku bangsa dan
masyarakat di Indonesia yang berbeda.

Wilayah Indonesia sangat luas. Banyak sekali suku bangsa yang mendiami
wilayah yang luas ini. Mereka menetap di daerah yang beraneka ragam. Ada yang
tinggal di daerah pegunungan, di pantai, di daerah perkotaan, dan ada yang tinggal di
daerah pedalaman. Keberagaman suku bangsa yang kita miliki merupakan kekayaan
bangsa yang tak ternilai. Keragaman yang kita miliki merupakan suatu kekuatan yang
membangun bangsa.

1
Selain keragaman suku bangsa, masyarakat Indonesia terdiri dari keragaman
kebudayaan. Kebudayaan adalah hasil cita, rasa, dan karya manusia dalam suatu
masyarakat dan diteruskan dari generasi ke generasi lain melalui belajar. Kebudayaan
terdiri dari adat kebiasaan, uacara adat, bahasa, alat-alat, mata pencaharian, ilmu
pengetahuan, dan teknologi. Tiap daerah memiliki corak dan budaya masing-masing
yang memperlihatkan ciri khasnya.

Kebudayaan daerah adalah kebudayaan yang tumbuh dan berkembang dalam


masyarakat suatu daerah. Pada umumnya, budaya daerah merupakan budaya asli dan
telah lama ada serta diwariskan turun-temurun kepada generasi berikutnya. Budaya
daerah harus tetap dijaga dan dilestarikan oleh daerahnya masing-masing agar tidak
punah dan tercampur oleh budaya lain yang dapat merusak budaya tersebut.

Kebudayaan masing-masing suku yang beragam ini tidak lepas juga dari
dampaknya terhadap kesehatan. Jika ditinjau kembali, para nenek moyang yang
menciptakan kebudayaan di suku masing-masing masih memegang erat nilai-nilai
mistis sehingga dampak terhadap kesehatan tidak terlalu diperhitungkan. Namun jika
ditinjau pada era sekarang, dimana sudah ada beberapa perubahan budaya menjadi
lebih modern, ada juga beberapa budaya lama yang sudah tidak cocok dilaksanakan
pada masa ini dikarenakan dampaknya yang begitu besar terhadap kesehatan. Oleh
karena itu, penyusun tertarik untuk menyusun modul ini dengan judul “Keberagaman
Suku dan Budaya di Indonesia serta Hubungannya dengan Kesehatan”.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan moral, etika, etiket, perilaku dan karakter?

2. Apa yang dimaksud dengan suku dan budaya?

3. Bagaimana hubungan kebudayaan suku Tolaki dengan kesehatan?

4. Bagaimana hubungan kebudayaan suku Bugis dengan kesehatan?

2
5. Bagaimana hubungan kebudayaan suku Muna dengan kesehatan?

6. Bagaimana hubungan kebudayaan suku Buton dengan kesehatan?

7. Bagaimana hubungan kebudayaan suku Toraja dengan kesehatan?

8. Bagaimana hubungan kebudayaan suku Moronene dengan kesehatan?

9. Bagaimana hubungan kebudayaan suku Jawa dengan kesehatan?

10. Bagaimana hubungan kebudayaan suku Gorontalo dengan kesehatan?

11. Bagaimana hubungan kebudayaan suku Wawonii dengan kesehatan?

12. Bagaimana hubungan kebudayaan suku Bali dengan kesehatan?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui apa itu moral, etika, etiket, perilaku dan karakter.

2. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan suku dan budaya.

3. Untuk memahami hubungan kebudayaan suku Tolaki dengan kesehatan.

4. Untuk memahami hubungan kebudayaan suku Bugis dengan kesehatan.

5. Untuk memahami hubungan kebudayaan suku Muna dengan kesehatan.

6. Untuk memahami hubungan kebudayaan suku Buton dengan kesehatan.

7. Untuk memahami hubungan kebudayaan suku Toraja dengan kesehatan.

8. Untuk memahami hubungan kebudayaan suku Moronene dengan


kesehatan.

9. Untuk memahami hubungan kebudayaan suku Jawa dengan kesehatan.

3
10. Untuk memahami hubungan kebudayaan suku Gorontalo dengan
kesehatan.

11. Untuk memahami hubungan kebudayaan suku Wawonii dengan kesehatan.

12. Untuk memahami hubungan kebudayaan suku Bali dengan kesehatan.

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Moral, Etika, Etiket, Perilaku dan Karakter

Pengertian moral secara umum adalah suatu hukum tingkah laku yang di
terapkan kepada setiap individu untuk dapat bersosialiasi dengan benar agar terjalin
rasa hormat dan menghormati. Kata moral selalu mengacu pada baik dan buruknya
perbuatan manusia (akhlak). Jadi, moral dapat diartikan sebagai tindakan seseorang
untuk menilai benar dalam cara hidup seseorang mengenai apa yang baik dan apa
yang buruk. Yaitu pengetahuan dan wawasan yang menyangkut budi pekerti manusia
yang beradab.

Pengertian moral menurut para ahli

 Menurut Merriam-webster

Moral adalah mengenai atau berhubungan dengan apa yang benar dan salah
dalam perilaku manusia, dianggap benar dan baik oleh kebanyakan orang
sesuai dengan standar perilaku yang tepat pada kelompok atau masyarakat
tersebut.

 Menurut Maria Assumpta

Moral adalah aturan-aturan (rule) mengenai sikap (attitude) dan perilaku


manusia (human behavior) sebagai manusia.

 Menurut Elizabeth B. Hurlock

Moral adalah suatu kebiasaan, tata cara, dan adat dari suatu peraturan
perilaku yang telah menjadi kebiasaan bagi anggota suatu budaya dalam
masyarakat.

5
 Menurut Sonny Keraf

Moral adalah sesuatu yang dapat dipakai sebagai dasar untuk menentukan
tindakan seseorang yang dianggap baik atau buruk di dalam suatu
masyarakat.

 Menurut Zainuddin Saifullah Nainggolan

Moral adalah suatu tendensi rohani untuk melakukan seperangkat standar


dan norma yang mengatur perilaku seseorang dan masyarakat.

Etika (dalam bahasa Yunani Kuno: “ethikos”, berarti “timbul dari kebiasaan”)
adalah sebuah sesuatu di mana dan bagaimana cabang utama filsafat yang
mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai standar dan penilaian
moral. Etika mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik,
buruk, dan tanggung jawab. Etika dimulai bila manusia merefleksikan unsur-unsur
etis dalam pendapat-pendapat spontan kita. Kebutuhan akan refleksi itu akan kita
rasakan, antara lain karena pendapat etis kita tidak jarang berbeda dengan pendapat
orang lain. Untuk itulah diperlukan etika, yaitu untuk mencari tahu apa yang
seharusnya dilakukan oleh manusia.

Pengertian moral menurut para ahli

 Menurut Aristoteles

Ia mendefinisikan arti etika menjadi 2 pengertian yaitu: Terminius


Technicus dan Manner and Cutom. Terminius Technicus ialah sebuah etika
yang dipelajari sebagai suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari suatu
problema tindakan manusia. Sedangkan Manner and Cutom adalah sebuah
pembahasan etika yang berhubungan dengan tata cara dan adat kebiasaan
yang melekat dalam diri manusia. Sangat terkait dengan “baik &
buruknya” suatu perilaku, tingkah, atau perbuatan manusia.

6
 Menurut K. Bertens

Etika adalah nilai dan norma moral yang menjadi suatu acuan bagi umat
manusia secara baik secara individual atau kelompok dalam mengatur
semua tingkah lakunya.

 Menurut Drs. H. Burhanudin Salam

Etika adalah sebuah cabang ilmu filsafat yang membicarakan perihal suatu
nilai-nilai serta norma yang dapat menentukan suatu perilaku manusia ke
dalam kehidupannya.

Istilah etiket berasal dari kata Prancis “etiquette”, yang berarti kartu undangan,
yang lazim dipakai oleh raja-raja Prancis apabila mengadakan pesta. Dalam
perkembangan selanjutnya, istilah etiket berubah bukan lagi berarti kartu undangan
yang dipakai raja-raja dalam mengadakan pesta. Dewasa ini istilah etiket lebih
menitikberatkan pada cara-cara berbicara yang sopan, cara berpakaian, cara
menerima tamu dirumah maupun di kantor dan sopan santun lainnya. Jadi, etiket
adalah aturan sopan santun dalam pergaulan.

Dalam pergaulan hidup, etiket merupakan tata cara dan tata krama yang baik
dalam menggunakan bahasa maupun dalam tingkah laku. Etiket merupakan
sekumpulan peraturan-peraturan kesopanan yang tidak tertulis, namun sangat penting
untuk diketahui oleh setiap orang yang ingin mencapai sukses dalam perjuangan
hidup yang penuh dengan persaingan. Etiket juga merupakan aturan-aturan
konvensional melalui tingkah laku individual dalam masyarakat beradab, merupakan
tata cara formal atau tata krama lahiriah untuk mengatur relasi antarpribadi, sesuai
dengan status sosial masing-masing individu.

Perilaku adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang
mempunyai bentangan arti yang sangat luas antara lain: berjalan, berbicara,
menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan sebagainya. Dari uraian

7
tersebut bisa disimpulkan bahwa perilaku manusia adalah semua kegiatan atau
aktivitas manusia, baik yang diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh
pihak luar (Notoatmodjo, 2003). Sedangkan dalam pengertian umum perilaku adalah
segala perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh makhluk hidup.

Karakter adalah watak, sifat, akhlak ataupun kepribadian yang membedakan


seorang individu dengan individu lainnya. Atau karakter dapat dikatakan juga sebagai
keadaan yang sebenarnya dari dalam diri seorang individu, yang membedakan antara
dirinya dengan individu lain. Menurut Alwisol, karakter merupakan penggambaran
tingkah laku yang dilaksanakan dengan menonjolkan nilai (benar-salah, baik-buruk)
secara implisit atau pun ekspilisit. Karakter berbeda dengan kepribadian yang sama
sekali tidak menyangkut nilai-nilai.

B. Pengertian Suku dan Budaya

Suku merupakan kelompok golongan sosial yang terdapat di kalangan


masyarakat yang digunakan untuk membedakan suatu golongan yang satu dengan
golongan lainnya. Biasanya tiap-tiap suku ini memiliki ciri khas tersendiri. Suku juga
dapat diartikan suatu golongan manusia yang mengidentifikasikan dirinya dengan
sesamanya berdasarkan garis keturunan yang dianggap sama, dengan merujuk kepada
ciri khas seperti budaya, bahasa, agama dan perilaku. Suku bangsa terikat akan
identitas dan kesatuan kebudayaan serta hal-hal mendasar seperti asal-usul dan yang
lainnya.

Budaya adalah suatu cara hidup yang terdapat pada sekelompok manusia, yang
berkembang dan diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi
berikutnya. Secara bahasa, kata “budaya” berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu
Buddhaya yang merupakan bentuk jamak dari kata Buddhi dimana artinya adalah
segala hal yang berhubungan dengan budi dan akal manusia. Dalam hal ini, budaya
sangat berkaitan dengan bahasa atau cara berkomunikasi, kebiasaan di suatu daerah
atau adat istiadat.

8
C. Hubungan Kebudayaan Suku Tolaki dengan Kesehatan

1. Suku Tolaki

Suku Tolaki adalah etnis terbesar yang berada di provinsi Sulawesi Tenggara.
Suku Tolaki merupakan etnis yang berdiam di jazirah tenggara pulau Sulawesi. Suku
Tolaki merupakan suku asli daerah Kota Kendari dan Kabupaten Kolaka. Suku Tolaki
tersebar di 7 kabupaten/kota di provinsi Sulawesi Tenggara yang meliputi Kota
Kendari, Kabupaten Konawe, Konawe Selatan, Konawe Utara, Kolaka, Kolaka Utara
dan Kolaka Timur. Masyarakat Tolaki sejak zaman prasejarah telah memiliki jejak
peradaban, hal ini dibuktikan dengan ditemukannya peninggalan arkeologi di
beberapa gua atau kumapo di Konawe bagian utara maupun beberapa gua yang ada di
daerah ini. Lokasi situs gua-gua di daerah ini umumnya terletak di Konawe bagian
Utara seperti Asera, Lasolo, Wiwirano, Langgikima, Lamonae, diantaranya gua
Tanggalasi, gua Tengkorak I, gua Tengkorak II, gua Anawai Ngguluri, gua
Wawosabano, gua Tenggere dan gua Kelelawar serta masih banyak situs gua
prasejarah yang belum teridentifikasi. Keadaan Geografis Dan Demografi Secara
geografis suku Tolaki mendiami wilayah daratan Sulawesi bagian Tenggara, yang
mendiami beberapa daerah kabupaten yaitu Kabupaten Konawe, Kota Kendari,
Konawe Selatan, Konawe Utara, Kolaka, Kolaka Utara, dan Kolaka Timur. Beberapa
daerah kabupaten tersebut berada di daerah daratan Sulawesi bagian Tenggara. Secara
geografis suku Tolaki mendiami wilayah daratan Sulawesi bagian Tenggara,
mendiami beberapa daerah yaitu Kabupaten Konawe, Kota Kendari, Konawe Selatan,
Konawe Utara, Kolaka, Kolaka Utara, dan Kolaka Timur. Beberapa daerah kabupaten
tersebut berada di daerah daratan kepulauan Sulawesi bagian Tenggara.

2. Adat Meramu Owikoro

Meramu owikoro adalah kebiasaan dari suku tolaki yang artinya mencari
atau mengumpulkan bahan pangan makanan dari ubi hutan. meramu uwikoro
biasa akan dilakukan oleh masyarakat suku tolaki apabila sedang kekurangan

9
bahan pangan seperti misalnya terjadi gagal panen maka meramu uwikoro
akan dilakukan.
Orang Tolaki mengolah sejenis ubi hutan yang disebut uwikoro
(gadung). Ubi gadung ini tidak ditanam tetapi tumbuh sendiri di hutan.
Pengolahan ubi gadung ini melalui fase-fase tertentu pula. Mula- mula ubinya
digali dengan menggunakan sepotong kayu yang diruncing.Ubi yang sudah
digali kemudian dikumpulkan untuk dikupas kulitnya. Dengan menggunakan
keranjang. kumpulan ubi yang sudah dikupas kemudian dipikul dan dibawa ke
suatu tempat di pinggir sungai untuk diiris-iris dan selanjutnya dimasukkan
kedalam suatu wadah penampungan yang khusus dibuat untuk itu, yaitu
wadah yang disebut o lile.
Penampungan ubi bersama air dan cairan berbusa asal dari kulit kayu
yang disebut wilalo, dimaksudkan agar racun yang ada pada ubi itu menjadi
tawar. Setelah dua atau tiga hari ubi itu berada dalam penampungan barulah
diangkat dan dimasukkan kedalam keranjang bambu untuk mengeluarkan
getahnya yang beracun. Apabila semua getah beracun dan cairan berbusa telah
meneteske luar dan tampaknya sudah kering barulah ubi itu dikeluarkan dari
keranjang bambu dan dipindahkan kedalam beberapa keranjang asal dari daun
enau, yang disebut sawera, untuk merendam ubi itu kedalam sungai. Dengan
maksud agar ubi itu menjadi bersih dari racun dan cairan berbusa. Fase
terakhir dari proses pengolahan ubi gadung ini adalah menjemur di sinar
matahari agar baun ya menjadi hilang, dan dalam keadaan demikian, ubi ini
sudah dapat dikukus untuk dimakan.
Kaitannya dengan kesehatan adalah kebersihan air sungai yang dipakai
untuk mencuci dan merendam ubi tersebut masih belum terjamin telah bebas
dari segala macam bakteri penyebab penyakit. Dan juga ubi tersebut belum
terjamin bebas dari racun yang terkandung di dalamnya.
Adapun pemeriksaan bakteriologi yang dapat dilakukan oleh teknisi
laboratorium adalah Identifikasi bakteri pada ubi tersebut dengan metode MPN dan
ALT.

10
3. Adat Mesosombakai
Mantra mesosambakai salah satu bentuk mantra yang digunakan untuk
mewujudkan regenerasi ketika seorang anak dilahirkan. Mantra
mesosambakai merupakan bentuk mantra yang mengharapkan seorang
anak tumbuh sehat, jauh dari marabahaya, dan kelak menjadi pengganti
atau pelanjut keturunan yang berbudi pekerti luhur dan bertanggung jawab
dalam keluarganya.
Mantra mesosambakai ini merupakan salah satu jenis mantra yang
digunakan oleh masyarakat yang baru saja dikaruniai keturunan. Hal ini
sudah menjadi kebiasaan masyarakat setempat ketika menyambut kelahiran
anak pertama. Dengan harapan anak tersebut dapat tumbuh sehat dan jauh
dari mara bahaya serta kelak bisa menjadi pengganti atau pelanjut
keturunan yang berbudi pekerti yang luhur dan bertanggung jawab dalam
keluarganya. Keberadaan mantra mesosambakai kini semakin kurang
dikalangan masyarakat Matabubu Jaya..
kebiasaan masyarakat setempat ketika menyambut kelahiran
anakpertama.Dengan harapan anak tersebut dapat tumbuh sehat dan jauh
dari mara bahaya serta kelak bisa menjadi pengganti atau pelanjut
keturunan yang berbudi pekerti yang luhur dan bertanggung jawab dalam
keluarganya
Mantra mesosambakai ini merupakan salah satu jenis mantra yang
digunakan oleh masyarakat yang baru saja dikaruniai keturunan Pada acara
mesosambakai anak bayi niowai/tiup-tiup atau dibacarkan mantra pada
anak
Dampak kesehatan dari mesosambakai ini apabila yang membacai
mantra pada anak ini trekena TBC maka akan menular ke anak dengan
melalui udara dan yang berkaitan dari TLM adalah dengan melakukan
pemeriksaan BTA
4. Adat Mbu’wai
mbu’uwai adalah Seorang dukun yang mengobati suatu penyakit
menggunakan air yang ditiup dan di bacakan doa doa atau sering juga

11
menggunakan sejumlah tanaman obat, mereka meramu bahan obat-
obatan tersebut, lalu diminum atau digosokkan kebadan untuk
menyembuhkan berbagai penyakit.
Menurut konsep pengobatan tradisional orang Tolaki, bahwa suatu
penyakit timbul bukan disebabkan sesuatu basil atau virus atau lainnya
melainkan semata-mata karena gangguan setan atau karena disebabkan
oleh bikinan orang yangiri hati, benci melalui apa yang disebut odoti
nilalaeami (ilmu hitam, racun melalui makanan dan minuman dan dengan
cara apapun).
Orang Tolaki apabila sakit lebih banyak menggunakan mbu’uwai dari
pada pengobatan dokter.Seorang dukun dalam mengobati suatu penyakit
menggunakan air yang ditiup dan di bacakan doa doa atau sering juga
menggunakan sejumlah tanaman obat, mereka meramu bahan obat-obatan
tersebut, lalu diminum atau digosokkan kebadan untuk menyembuhkan
berbagai penyakit (Tarimana, 1993).
Hingga saat ini masyarakat suku tolaki khususnya di perkampungan
masih mempercayai mbu’uwai dalam mewoai (berobat).
Kaitannya dengan kesehatan yaitu, dengan hanya mempercayai
mbu’uwai sebagai penyembuhan dari suatu penyakit saja tanpa
mengetahui penyakit yang sebanarnya yang dapat dilihat secara medis
dapat membahanyakan si penderita. Dan bahkan mungkin malah akan
menambah penyakit dari si pasien tersebut, seperti si pasien mungkin
akan terkena berbagai macam penyakit yang disebapkan dari
pengobatan mbu’uwai yang diminum atau digosokkan kebadan untuk
menyembuhkan berbagai penyakit. Adapun pemerikasaan yang dapat
dilakukan untuk tanaman atau air yang digunakan mbu’uwai adalah
pemeriksaan bakteriologi yaitu MPN dan ALT.
5. Adat Mosonggi
Mosonggi atau Sinonggi merupakan makanan khas dari Kota Kendari,
Sulawesi Tenggara. Makanan ini berbahan dasar sagu yang diolah dengan
seduhan air panas, dan juga mirip dengan Kapurung. Perbedaan kedua

12
makanan khas ini terletak pada cara penyajiannya. Pada Kapurung, sagu
yang sudah matang dibuat bulat lalu dicampur bersama kuah dengan bahan
pelengkap lainnya seperti sayur kangkung dan ikan sarden atau udang.
Sementara itu, Sinonggi disajikan dengan cara sagu yang sudah dimasak
ditempatkan secara terpisah.
Sagu tersebut baru dibuat bulat pada saat akan disantap lalu disiram
dengan kuah sayur-sayuran ditambah dengan kuah ikan putih atau ikan
kerapu. Adapun isi sayuran pada Sinonggi adalah sayur bayam, kangkung,
kacang panjang, dan terong kecil.
Sinonggi pada hakekatnya merupakan makanan sehari-hari suku
Tolaki yang sebagian besar mendiami wilayah Kabupaten Kendari dan
Konawe. Kata Sinonggi diambil dari bahasa suku tersebut yakni posonggi.
Posonggi adalah sebuah alat yang menyerupai sumpit dan terbuat dari
bambu dengan ukuran panjang sekitar 20 cm.
Alat ini digunakan untuk menyantap Sinonggi dengan cara
menggulung tepung sagu yang sudah matang. Seiring perkembangan
zaman, sumpit tidak lagi digunakan untuk menyantap makanan ini,
melainkan menggunakan tangan langsung atau memakai sendok.Hingga
saat ini, Sinonggi telah merambah ke hotel-hotel sebagai menu istimewa
dan menjadi salah satu menu dalam perjamuan tamu-tamu pemerintah
setempat. Di Kota Kendari sendiri, sudah ada puluhan warung makan yang
menyajikan makanan khas Tolaki ini.
Sinonggi juga memiliki kandungan yang sangat bermanfaat bagi
kesehatan.Sinonggi termasuk makanan yang menyegarkan dan sehat.
Selain sayuran dan lauknya dimasak dengan bumbu yang tidak terlalu
banyak (masak bening), menurut penelitian litbang deptan Sagu sebagai
bahan baku utama dikenal memiliki kandungan karbohidrat sekitar 85,6%,
serat 5% dan untuk 100 gr sagu kering setara dengan 355 kalori. Selain
mengandung karbohidrat juga mengandung polimer alami yaitu semacam
zat yang sangat bermanfaat bagi tubuh manusia seperti memperlambat

13
peningkatan kadar glukosa dalam darah sehingga aman dikonsumsi oleh
penderita diabetes melitus. Selain itu, serat pada sagu juga mengandung zat
yang berfungsi sebagai probiotik, meningkatkan kekebalan tubuh, serta
mengurangi resiko terkena kanker usus dan paru-paru.
6. Adat Tari Modotambe
Mengenakan busana tradisional berwarna kuning menyala, dilengkapi
selendang biru, dan ikat kepala merah, serta aksesoris kalung etnik. Para
penari wanita muda dan cantik ini berlenggak-lenggok atraktif dan kadang
gemulai mengikuti irama musik. Tarian itu kerap disuguhkan di berbagai
acara khusus untuk menerima atau menjemput tamu kehormatan.
Soal seni budaya, Kota Kendari pun tak kalah dengan daerah lain.
Kalau Aceh identik dengan Tari Seudati, Jakarta tersohor dengan Tari
Topeng Betawi, maka Kota Kendari pun memiliki beberapa tarian
tradisional yang khas dan pantas dibanggakan, seperti Tari Monotambe.
tarian ini merupakan bentuk penghomatan dan penghargaan kepada
para tamu dan juga Tari Mondotambe atau disebut tari penjemputan
merupakan tari untuk menjemput para tamu-tamu yang hadir, atau
berkunjung di Kabupaten Kolaka-Bumi Mekongga. sebagai tanda rasa
kesyukuran kepada Tuhan Yang Maha Esa, semoga para tamu yang
berkunjung ke daerah mendapatkan rahmat dan kesemalatan apabila
kembali ke tempat tugasnya. Tarian Mondotambe di bawakan oleh gadis-
gadis remaja sebagai tanda penerimaan yang tulus, ikhlas dan merasa
gembira kepada para tamu. Jumlah penari terdiri dari 6, 8, bahkan
jumlahnya bisa mencapai 12 orang , yang terpenting jumlah penari genap.
Variasi tarian terdiri dari 13 gerakan yang diakhiri dengan tabur bunga atau
beras dalah bahas Tolaki disebut (mekaliako owoha).
Hubungan perilaku yaitu bagaimana perilaku warga suku tolaki
menjamu tamu yang datang berkunjung ketempat mereka dengan
diadakannya tari mondotambe (tari penjemputan).

14
Karakter yaitu sebagai penanda ciri khas dari warga suku tolaki ketika
hendak menjamu tamu yang datang berkunjung di daerah kabupaten kolaka
khususnya diBumi Mekongga.
Hubungan nya dengan kesehatan yaitu menyebabkan nyeri otot bisa di
gambarkan dengan rasa kaku, kram, tertarik, berat, atau lemah pada otot
karena gerakan yang salah.
Tidak ada pemeriksaan laboratorium karena nyeri otot biasanya tidak
memerlukan penangan medis, biasanya hanya mengkonsumsi obat pereda
nyeri, atau memijat dan melakukan perengangan dibagian otot yang terasa
nyeri.
7. Adat Mesosawonggako
Mesosambakai adalah pengobatan suku tolaki yang dilakukan suatu
etnis tertentu dengan media yang di gunakan itu bisa berbagai macam ,
dalam hal ini dilakukan untuk proses pengobatan. Dan proses yang
dilakukan itu memiliki tahapan tertentu dalam pelaksaannya di karenakan
prosesnya itu sedikit memakan waktu proses itu di namakan “
MESOSAWONGGAKO”.
Media dan alat yang digunakan itu ialah:
 Uang koin putih
 Uang koin kuning
 Mangkuk kaca
 Air putih

Karakter dalam pemeriksaan ini Seseorang akan di obati menggunakan


media uang koin didalam mangkuk kaca dan di dalamnya itu ada air
putih. Dan pengobatan ini di lakukan menurut kepercayaan suku tolaki
sebelum seseorang minum obat di haruskan dulu diobati dengan cara
mesosawongako arti agar seorang lebih cepat sembuh dan di beri
kesehatan secepatnya.

Seseoarang akan ditiup-tiup sambil membaca doa-doa atau


kepercayaan dari nenek moyang dengan menggunakan media tertentu.
Metode pemeriksaan yang akan di lakukan itu ialah pemeriksaan kadar
hemoglobin

15
larangan dalam pengobatan ini yaitu dilarang mandi semasa masih
sakit dilarang menggoreng didalam rumah ketika seseorang sedang sakit
(mosalaki)
8. Adat Mowule (Makan Daun Sirih)
Sirih merupakan tanaman asli Indonesia yang tumbuh merambat atau
bersandar pada batang pohon lain. Sebagai budaya daun dan buahnya biasa
dimakan dengan cara mengunyah bersama gambir, pinang dan kapur.
daun sirih adalah tanaman yang mengandung banyak air. Sekitar 85-90%
daun sirih terdiri dari air sehingga daun sirih rendah lemak dan kalori.
Selain itu, daun sirih juga memiliki kemampuan membunuh bakteri dan
jamur serta memiliki peran sebagai antioksidan. Manfaat daun sirih yang
sudah sejak lama digunakan adalah sebagai antiseptik untuk pengobatan
luka bakar.
Hal penting lain yang harus diketahui adalah meski manfaat daun sirih
sering digunakan sebagai antiseptik, hindari penggunaan rebusan daun sirih
untuk membersihkan mata. Apalagi jika dalam pemrosesannya tidak terjaga
kebersihannya, di mana hal ini justru bisa meningkatkan risiko terjadinya
infeksi mata. Pada dasarnya, mata tidak memerlukan pemberian cairan
antiseptik dari luar karena mata telah dilapisi oleh air mata yang
mengandung globulin, lysozym, albumin, imunoglobulin IgA, IgG, dan IgE
yang dapat berfungsi untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme,
memberi nutrisi pada kornea dan melindungi epitel konjungtiva dan korena
dari benda-benda asing.
Minyak atsiri dari daun sirih mengandung minyak terbang
(betIephenol), seskuiterpen, pati,diatase, gula dan zat samak dan kavikol
yang memiliki daya mematikan kuman, antioksidasi dan fungisida, anti
jamur. Sirih berkhasiat menghilangkan bau badan yang ditimbulkan
bakteridan cendawan. Daun sirih juga bersifat menahan perdarahan,
menyembuhkan luka padakulit, dangangguan saluran pencernaan. Selain
itu juga bersifat mengerutkan, mengeluarkan dahak,meluruhkan ludah,

16
hemostatik, dan menghentikan perdarahan. Biasanya untuk obat hidung
berdarah,dipakai 2 lembar daun segar Piper betle, dicuci,digulung
kemudian dimasukkan ke dalam lubang hidung. Selain itu, kandungan
bahan aktif fenol dankavikol daun sirih hutan juga dapat dimanfaatkan
sebagai pestisida nabati untuk mengendalikan hama penghisap
Perlu diingat bahwa air sirih dan kunyit tersebut tidak boleh Anda
minum setiap hari secara terus menerus.Minumlah hanya ketika datang haid
saja. Karenakeduanya mengandung antibiotik dan antiseptik yangkeras,
sehingga jika Anda meminumnya secara terusmenerus akan mengganggu
sistem pencernaan Anda.Begitu juga air rebusan daun sirih tidak boleh
Andapakai untuk mencuci miss V tiap hari karena bias mengakinatkan
iritasi. Efek lainnya adalah air daun sirihakan membunuh semua bakteri
dalam vagina.

9. Adat Motasu

motasu atau menanam padi adalah salah satu kegiatan masyakat tolaki
pada zaman dulu dan sampai sekarang masih dilakukan dengan cara
menanam benih padi terlebih dahulu hinggan tumbuh menjadi tunas-tunas
kurang lebih sepanjang 30 cm, lalu menanam nya di wilayah petakan
sawah yang luas, menggunakan tangan.

Motasu Hubungannya dengan kesehatan ini dilakukan tanpa


menggunakan alas tangan maupun alas kaki, sehingga mikroorganisme lain
seperti bakteri atau parasit dapat dengan mudah menembuh pori pori kulit.
Parasit (telur cacing) yang masuk ke dalam tubuh dapat menyebabkan
kecacingan. Pemeriksaan yang dapat dilakukan yaitu:

Pemerikaan telur cacing

1. Metode flotasi

17
2. Metode sedimentasi
3. Metode kato
4. Metode harada mori

10. Adat Mewundo

Dalam suku daerah tolaki dikenal istilah Mewundo . Mewundo atau


lebih dikenal dengan (mandi air hangat) adalah salah satu tradisi yang
sering dilakukan oleh orang tolaki setelah melahirkan. dalam kepercayaan
orang tolaki Air hangat lebih di anjurkan untuk mandi setelah melahirkan
karena manfaatnya yang sangat bagus untuk kesehatan terutama pada organ
vital. Hubungan Mewundo dengan kesehatan antara lain :

 Memperlancar sirkulasi darah pada ibu setelah melahirkan


 Memberikan sensaisi rileks untuk tubuh
 Menghilangkan ketegangan otot-otot yang kaku
 Hormone oksitosin dalam tubuh yang berfungsi meredakan
ketegangan akan meningkat saat mandi menggunakan air hangat.

Perilaku masyarakat dalam adat Mewundo dapat diketahui dengan


menggunakan adat Mewundo. proses melahirkan dapat membuat seorang
wanita kehabisan energy maka diperlukan aktivitas yang akan
mempercepat pemulihan, salah satunya adalah adat Mewundo (Mandi Air
Hangat)yang dipercaya oleh masyarakat suku tolaki . Kebiasaan Di
Daerah Suku Tolaki Seteah Wanita Melahirkan Lebih Disarankan Untuk
Berendam menggunkan air hangat atau disebut mewundo Setelah
Perdarahan Berhenti, Umumnya 6 Minggu Setelah Melahirkan untuk
mempercepat sirkulasi darah pada ibu setelah melahirkan dan kebiasaan
ini dilakukan dengan terus menerus .

11. Adat Loka Elok

18
Loka elok atau lambat bicara adalah pengobatan tradisional yang
dilakukan oleh masyarakat suku tolaki dimana apabila ada suatu anak
kecil lambat pertumbuhannya dilakukan dengan meminum air yang
dibacabacakan oleh dukun untuk mempercepat pertumbuhan anak kecil
itu agar bisa bicara. Dimana tradisi ini masih dilakukan di era sekarang.
Pada loka elo ini cara pengobatannya dengan ambil segelas air lalu dukun
tersebut mebacakan doa-doa lalu ditiupkan pada air tersebut kemudian
diminum.

Loka elo ini menurut kesehatan bisa saja pada air tersebut bisa
mengandung banyak bakteri yang kita tidak ketahui seperti salah satu
contoh Mycobacterium tuberculosis , E.coli dll. Pada pemeriksaan
ini bisa dilakukan dengan Pewarnaan Basil Tahan Asam ,
Coliform dll.

12. Adat Budaya Kalosara

Secara harfiah, kalosara terdiri atas dua kata, yaitu: kalo berarti
seutas rotan dengan tiga lilitan yang melingkar; dan sara berarti adat,
aturan, simbol hukum. Sebagai benda lingkaran, kalo dibuat dari rotan,
dan ada juga yang terbuat dari bahan lainnya, seperti emas, besi, perak,
benang, kain putih, akar, daun pandan, bambu dan sebagainya (Tarimana,
1993).

Kalosara terdiri atas 3 bagian, yaitu: Pertama, kalo, berupa


lingkaran yang berbahan rotan kecil yang bulat berwarna krem tua yang
dipilin, kedua ujung rotan disatukan dalam satu simpul ikatan. Lingkaran
memiliki makna sebagai pencerminan jiwa persatuan dan kesatuan dari 3
unsur dalam sebuah kerajaan atau pemerintahan, yaitu: (a) Unsur
pimpinan (mokole/raja/penguasa), (b) Unsur pelaksana atau
penyelenggara kekuasaan raja/penguasa (pejabat, pemangku adat,

19
perangkat lembaga adat), (c) Unsur kedaulatan rakyat, yang merupakan
refleksi dari jiwa falsafah demokrasi Masyarakat Tolaki yang berjiwa
Ketuhanan.

Kedua, kain putih sebagai pengalas kalosara, memiliki makna


sebagai symbol kejujuran, kesucian, keadilan, da kebenaran.
Ketiga, siwoleuwa, yaitu wadah yang berbentuk segi empat
yang terbuat dari anyaman daun onaha (palem rawa) atau daun sorume
(angrek hutan), memiliki symbol sebagai pencerminan dari jiwa
kerakyatan, keadilan social, dan kesejahteraan umum bagi seluruh warga
Masyarakat Tolaki (Suud, 2011).
Ketiga wadah ini jika berdiri sendiri tidak memiliki arti dan
fungsi adat, kecuali ketiganya menyatu dalam suatu tatanan dengan
struktur sebagai wadah pengalas paling bawah berupa simoleuwa,
kemudian dilapisi di atasnya dengan kain putih, dan di atas kedua wadah
ini diletakkan kalo.
Kalosara terdiri atas dua jensi, yaitu: (1) Kalosara Sapu Ulu,
yaitu Kalosara dengan besar lingkarannya seukuran kepala orang dewasa
atau sekitar 40 cm, Kalosara jenis ini digunakan untuk golongan
masyarakat menengah ke bawah atau sekarang setingkat camat ke bawah
atau sering pula disebut Meula Nebose, (2) Kalosara Sapu Bose, yaitu
Kalosara dengan besar lingkarannya seukuran bahu orang dewasa atau
sekitar 45 cm, Kalosara jenis ini digunakan untuk golongan masyarakat
tertentu, seperti: Raja/Pejabat, orang penting, tokoh adat, dan tokoh
masyarakat atau sekarang setingkat Bupati ke atas atau sering pula
disebut Tehau Bose (Tamburaka, 2015).
Hubungan nya dengan kesehatan yaitu biasanya kalosara sering
digunakan untuk makanan yang biasa disebut sayur umbut rotan,yang
dimana rotan yang dimakan adalah rotan muda yang bisa diolah menjadi

20
makan oleh masyarakat tolaki dan biasa di temukan di dalam hutan.
Sayur ini dapat mengobat diare, malaria, radang tenggorokan.
13. Adat Ritual Manggilo
Ritual Manggilo adalah ritual pengislaman pada masyarakat
Tolaki, ritual ini dilakukan oleh anak-anak laki-laki maupun perempuan
yang memasuki usia 6-9 tahun, sebagai salah satu ritual yang
dilaksanakan oleh masyarakat suku tolaki beragama islam. Ritual
Manggilo menunjukkan bahwa ajaran-ajaran Islam dalam sebuah ritual
yang diimplementasi dari ajaran, kepercayaan dan keyakinan kepada
Allah sebagai pencipta dan sunnah Nabi Muhammad yang terlihat pada
tuntunan untuk membaca dua kalimat syahadat berserta terjemahannya,
bershalawat, bacaan ayat-ayat Al-qur an. Proses Manggilo, dimulai
dengan pemandian anak-anak. Anak-anak yang akan dimanggilo wajib
mengenakan sarung untuk menutupi tubuh sampai dada serta
menggunakan penutup kepala, pada anak perempuan menggunakan
selendang, sedangkan laki-laki menggunakan peci. Setelah anak telah
selesai di mandikan, anak tersebut dipikul oleh laki-laki dewasa untuk
dibawa ketempat acara. Akhir dari ritual Manggilo yaitu anak disuapi
atau memakan sajian yang telah disediakan oleh orang tua anak-anak
tersebut yang menandakan bahwa mereka telah selesai melakukan ritual
Manggilo. Dalam prosesi intinya, anak-anak diberi tanda oleh Sando
sebagai bukti bahwa anak itu telah dimanggilo / diislamkan seperti
dilukai hingga meneteskan darah, adapula hingga memar pada bagian
alat kelamin/ kemaluan(aurat). Dalam sebuah ritual, pasti menggunakan
banyak peralatan atau perlengkapan dalam pelaksanaannya. Pada ritual
Manggilo adapun alat-alat yang digunakan seperti pisau dan ayam.
Ayam betina untuk anak perempuan, sedangkan peserta laki-laki ada
menggunakan ayam jantan. Setelah itu jengger ayam dipotong atau
hingga mengeluarkan darah, setelah jengger ayam dipotong Sando

21
membacakan tuturan-tuturan tertentu, kemudian anak-anak tersebut
dituntun mengucapkan dua kalimat syahadat berserta terjemahannya,
bershalawat, bacaan ayat-ayat Al-qur an oleh Sando. Bahan-bahan
lainnya yang tak kalah pentingnya juga adalah bahan yang diyakini
memiliki makna tersendiri yang harus dipenuhi persyaratannya yaitu
Kaluku (kelapa), Paedai Momea (beras merah), Paedai Mowila (beras
ketan putih) dan Manu Kambo (ayam kampung).
Dalam ritual manggilo pada prosesi intinya, anak-anak diberi
tanda oleh Sando sebagai bukti bahwa anak itu telah dimanggilo /
diislamkan seperti dilukai hingga meneteskan darah, adapula hingga
memar pada bagian alat kelamin/ kemaluan(aurat). Pengobatan yang
biasa dilakukan setelah ritual manggilo
 Untuk mengobati luka sayatan cukup di bersihkan luka tersebut
dan di tutup agar tidak terjadi infeksi dan menghindari masuknya
berbagai jenis virus maupun bakteri pada luka tersebut
 Untuk mengobati luka memar di kompres dengan es sesegera
mungkin pada pembuluh darah di sekitar daerah memar, maka
darah yang keluar ke jaringan sekitar akan sedikit. Kemudian
setelah mengobati memar dengan kompres es, hari berikutnya
perlu mengompres dengan air hangat untuk melancarkan
sirkulasi darah pada area memar, membantu membersihkan
darah yang tersendat dan mepercepat proses penyembuhan
14. Adat Mondau
secara tradisional yakni, mondau. Tradisi lisan mondau sebagai salah
satu bentuk tradisi lisan dan sastra lisan yang belum memiliki
dokumentasi secara tertulis. Masalah yang dibahas dalam penelitian ini
adalah ? Bagaimana tradisi ritual mondau masih menjalankan fungsinya,
ketika mantra tidak lagi dilibatkan dalam masyarakat Tolaki. Penelitian
ini bertujuan mengungkapkan perubahan fungsi dan makna yang

22
terkandung dalam mantra mondau pada proses pelaksanaan bercocok
tanam padi ladang masyarakat Tolaki secara umum. Manfaat dari
penelitian ini adalah memberi sumbangsi kepada generasi muda saat ini
agar mereka lebih banyak mengetahui tentang betapa pentingnya
mempertahankan suatu budaya dan tradisi yang sudah sejak dulu di
lakukan oleh nenek moyang kita. Serta memberi sumbangsi pemikiran
kepada pemerintah daerah khususnya di lingkup Departemen
pendidikan dan kebudayaan. Dalam rangka pengembangan sastra lisan
khususnya tentang tradisi lisan yang berada di Konawe yang mulai
punah, penulis menggunakan metode etnografi, agar penulis dapat
mengungkapkan tradisi lisan yang berada di masyarakat lokal Konawe
yang berhubungan dengan perubahan fungsi mantra tradisi mondau,
perubahan pelaksanaan ritual, dan perubahan pewarisan mantra mondau
dengan menggunakan katakata atau tulis. Kemudian dalam penelitian ini
penulis menggunakan beberapa konsep dan Sejak jaman dahulu
masyrakat hukum adat suku atolaki, dikenal sebagai masyarakat yang
terbiasa dengan kehidupan bercocok tanam (Mondauu). Dalam
mondauu dilakukan penebangan pohon dan pembakaran ranting atau
dahan yang sudah kering. Para petani Suku Tolaki pada saat melakukan
pembakaran ranting mereka akan terpapar asap dari pembakaran
tersebut.

Kaitannya dengan kesehatan apa petani tersebut


terpapar dengan asap bisa menyebabkan keracunan karbon monoksida.
Keracunan karbon monoksida adalah komisi dimana seseorang mengalami
keracunan akibat terlalu banyak menghirup karbon monoksida, dan akan
menyebabkan kekurangan oksigen. Adapun pemeriksaan teknisi
Laboratorium medik adalah pemeriksaan COHb dengan alat
spektrofotometri.

23
Atas kebiasaan tersebut masyarakat hukum adat Suku Tolaki
memiliki hubungan yang sangat erat dengan tanah, dalam bidang
bercocok tanam masyarakat hukum adat Suku Tolaki dikenal memiliki
kebiasaan shifting cultivation (bercocok tanam secara berpindah-pindah),
di samping kebiasaan mengembala ternak di area tanah yang disediakan
secara khusus untuk itu, di samping itu terdapat fungsi dan peran tanah
bagi bagi masyarakat hukum adat Suku Tolaki, yakni:18

1. Titi’ano obeli, Menurut pandangan masyarakat hukum adat Suku


Tolaki, tanah menjadi penting karena tanah merupakan tempat
mereka dilahirkan, tumbuh dan berkembang, sejak masa kecil hingga
dewasa.

2. Tano Opa, Terdapat kebiasaan masyarakat Hukum Adat Suku


Tolaki, yaitu memakamkan para leluhur mereka di tanah yang
dikuasainya.

3. Peotoro’a, Tanah berfungsi sebagai tempat berladang


(mondu’u),berkebun tanaman palawija (mepombahora), bercocok
tanah padi di sawah (megalu), dan berfungsi sebagai tempat bercocok
tanam tanaman jangka panjang seperti jati, coklat/kakau, kelapa,
jambu mente dan lain-lain.

4. Pelaika’a, Tanah menurut fungsi ini, berfungsi sebagai tempat


membangun keluarga dan kehidupan bersama, sehingga tidak hanya
berfungsi sebagai tempat berteduh dan berlindung. Fungsi tanah ini
bagi masyarakat hukum adat Suku Tolaki, berfungsi pula sebagai
tempat medulu, yakni tempat hidup bersama, baik dengan keluarga
satu garis nenek moyang atau dengan kelompok lain.

5. Pu’uno Toroaha, Tanah menurut masyarakat hukum adat Suku


Tolaki, juga berfungsi sebagi modal atau aset yang berguna untuk
mengembangkan kualitas hidup, baik melalui bercocok tanam,
berternak dan untuk diwariskan kepada anak cucuknya.

Berdasarkan sejarah, masyarakat hukum adat Suku Tolaki pada masa


tertentu mengenal sistem pemerintahan dalam bentuk kerajaan. Suku

24
Tolaki juga mengenal beberapa jenis tanah yakni meliputi, tanah milik
raja (wutano wonua), tanah ulayat kampung (wutano onapo/wutano
toono dadio) dan tanah milik perorangan (wu laa ombuno).

Perilaku mondau suku orang tolaki dalam bercocok tanam


bisa di lakukan setiap hari maupun di saat mereka melakukan aktivitas
bertani, bagi mereka yang mau melakukannya seperti petani.

Mondau suku orang tolaki dalam karakternya sangat pekerja


keras dalam bercocok tanam mereka bercocok tanam dengan segala
apa yang di sediakan di alam, mereka kelolah dengan baik, sehingga
menghasilkan sumber daya alam yang bermanfaat bagi masyarakat
dan lingkungan mereka sendiri. Mereka bercocok tanam karena
wilayah yang mereka tinggali kebanyakan wilayah agraris atau
wilayah pertanian yang rata-rata pekerjaan mereka itu petani dalam
menghidupi lahan mereka .

15. Adat Lulo Ngganda & Mosehe Wonua


Mosehe artinya membersihkan diri. Mosehe wonua dilakukan sejak
abad ke-13 saat kerajaan Mekongga masih Berjaya dikawasan Sulawesi
Tenggara. Sejak Mosehe Wonua dilakukan pertama kali, tradisi ini jadi
rutin dilakukan untuk menolak bala dan marabahaya. Setiap atahun, ritual
ini dilakukan. Mosehe wonua bertujuan untuk membersihkan diri yang
dilakukan dengan menggunakan telur, beras ketan, serta minuman
tradisional yang disebut pongasi. Bahan-bahan tersebut dimasukkan ke
dalam bamboo dan dicampur lalu dibacakan doa dan mantra oleh para
pemangku adat. Kemudian bahan-bahan yang telah dibacakan mantra
tersebut dibagikan kepada masyarakat untuk dikonsumsi.setelah ritual
mosehe wonua selesai, dilakukan Lulo Ngganda. Lulo Ngganda ini n
merupakan pesta rakyat tradisi adat yang dilakukan setiap tahunnya
setelah panen padi sawah, juga sebagai bentuk rasa syukur kapada Tuhan
atas hasil panen yang diberikan agar diberikan panen yang lebih baik lagi
ditahun berikutnya.

25
Karakter dari adat ini yaitu bahan bahan seperti telur, beras ketan,
dan pongasi dicampur ke dalam bamboo kemudian dibacakan mantra dan
doa lalu dibagikan kepada masyarakat untuk dikonsumsi, hubungannya
dengan kesehatan yaitu bahan-bahan yang digunakan yaitu telur mentah
dapat mengandung bakteri Salmonella thypi sehingga dapat
menyebabkan diare dan demam thypoid, pemeriksaan yang dapat
dilakukan yaitu kultur pada media untuk melihat adanya bakteri tersebut.
Kemudian bahan minuman tradisional mengandung alcohol yang
diperoleh dari proses peragian (fermentasi) bahan berkarbohidrat seperti
beras. Minuman tersebut dapat menimbulkan efek mabuk dan jika
dikonsumsi secara berlebihan dan terus-menerus dapat menyebabkan
hepatitis alcoholic. Pemeriksaan yang dapat dilakukan yaitu pemeriksaan
SGPT/SGOT..
16. Adat Tari Dinggu
Menurut sejarahnya, tarian ini berawal dari kebiasaan masyarakat
Tolaki saat panen raya, terutama masa panen padi. Mereka melakukan
aktivitas panen tersebut secara bergotong-royong atau bersama-sama,
mulai dari memetik padi, mengangkat padi, dan lain-lain. Setelah padi
terkumpul semua maka diadakan Modinggu, yaitu semacam menumbuk
padi secara masal yang dilakukan oleh para muda-mudi. Seperti yang
dikatakan sebelumnya, Tari Dinggu merupakan tarian yang
menggambarkan aktivitas dan kebiasaan masyarakat Tolaki saat panen
raya. Selain itu tarian ini juga menggambarkan semangat kebersamaan
dan gotong royong masyarakat dalam melakukan sesuatu, salah satunya
saat musim panen yang mereka lakukan secara bersama-sama. Hal ini
menunjukkan bahwa semangat kebersamaan dan gotong-royong
merupakan sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dengan masyarkat Tolaki
di Sulawesi Tenggara.

Hubungan nya dengan kesehatan yaitu dapat menyebabkan radang


sendi (Arthritis) dan asam urat. Pemeriksaan nya yaitu analisis cairan
sendi dan pemeriksaan asam urat.

17. Pakuli Ngisi

26
Pakuli ngisi yang berarti obat gigi, adalah suatu pengobatan
yang dilakukan oleh orangtua dahulu saat seseorang mengalami sakit
gigi. Pada adat ini yang dilakukan yaitu meniup-niup air yang
dibacakan mantra dan doa, kemudia diminumkan pada orang yang
sakit gigi tersebut. Air yang digunakan yaitu air biasa dan setelah
dibacakan mantra dan doa, pada saat akan diminum, bagian bawah
gelasnya tidak boleh dipegang.

Karakter dari adat ini yaitu pembacaan mantra atau doa pada
air yang akan digunakan untuk menyembuhkan sakit gigi dan air
tersebut ditiup-tiup.

Hubungan nya dengan kesehatan yaitu air tersebut dapat


mengandung berbagai bakteri yang ditularkan melalui droplet atau
cipratan air liur salah satunya yaitu bakteri TBC (Mycobacterium
tuberculosis). Pemeriksaan yang dapat dilakukan yaitu pemeriksaan
Basil Tahan Asam (BTA).

1. Adathdhayu

27
2. bsbst

D. Hubungan Kebudayaan Suku Bugis dengan Kesehatan

1. Suku Bugis

Suku Bugis dengan adat istiadat adalah simbol kebudayaan yang unik
dan selalu memancing keingintahuan kita tentang suku. Adat istiadat adalah
sesuatu yang menarik untuk dipelajari dan untuk diapresiasi. Adat memiliki
makna yang sangat dalam, merupakan sebuah falsfah kehidupan.

Demikian pula dengan adat istiadat suku bugis yang telah menjadi
kekayaan budaya indonesia yang penuh dengan nilai tradisi yang bisa kita
pelajari dan ambil hikmanya. Ada pepatah mengatakan bahwa tak kenal maka
tak sayang. Semakin kita mengenali sebuah adat dan budaya, maka kita bisa
semakin menyayanginya. Begitulah kiranya jika dikaitakan dengan adat dan
budaya.

Sulawesi selatan adalah tempat dan asal dari suku bugis yang dapat
dilihat dari bahasa dan adat istiadat. Hal ini bermula sejak abad ke 1 5 yang
mana banyak perantau dari melayu dan minangkabau yang datang ke gowa dan
mengalami akalturasi budaya. Mereka inilah yang kemudian disebut sebagai
suku bugis.

2. Adat Tarian Mpa’a Lanca

Di indonesia, ada banyak skali bahkan tak mampu dihitung jari. Hampir
setiap daerah dipelosok negeri mempunyai budaya sendiri dan berbeda dengan
daerah lain. Ini yang menjadikan Indonesia sebgai salah satu negara dengan
keanekaragaman yang sangat kaya tetapi ada beberapa budaya dan tradisi
masing-masing. Tradisi tersebut terrus tumbuh dilingkungan mereka berdasarka
nilai kearifan lokal masyarakat yang diwarriskan secara turun temurun oleh

28
nenek moyang. Beberapa tradisi masyarakat ada yang unik hingga ada pula
yang ekstrim .

Keunikan tradisi di Indonesia kadang menjadi icon dan menajdi pembeda


deengan daerah lain, lewat tradisi tersebut daaerah mereka dikenal oleh
masyrakt luas. Seperrti budaya kesenian yang ada dimasyaratak kabupaten
boine ada banyak skali kesenian yanng muncul dari masyarakat, terutama
dibidang tarian.

Salah satu tari kesenian khususnya di Bone ini yaitu tarian Mpa’alaca atau
biasa disebut dengan adu betis. Tarian ini pada umumnya hanya dilakukan oleh
kalangan lelaki dewasa yang sudah cukup umur dan tidak di anjurkan pada anak
anak kecil karena pada peragaanya, mereka akan saling menguji atau ada
kekuatan otot betis.

Tarian ini dilakukan pada saat acara-acara besar seperti pernikahan. Para
lelaki dewasa yang akan memperagakannya, terdiri dari 2 tim, masing-masing
tim terdapat dua orang. Dua orang dalam satu tim tersebut akan mengambil
posisi bertahan atau memasang posisi kuda-kuda sebelumnya dua orang lainnya
menendang dengan keras dari arah belakang.

a. Kebiasaan Tarian Mpa’a Lanca

Tarian Mpa’a Lanca ini biasanya di lakukan pada saat acara


pernikahan dan pengntin d arak keliling Kampung.

b. Perilaku Tarian Mpa’a Lanca

Tarian Mpa’a Lanca ini yaitu mempersatukaN mereka dan juga


membangun kebersamaan dalam kegiatan Go. Dampak dari Tarian Mpa’a
Lanca ini dalam hubungan kesehatan yaitu dapat mengakibatkan tong
royong.

29
c. Hubungan Masalah kesehatan pada Tarian Mpa’a Lanca

Betis memerah hingga berdarah akibat pukulan adu betis. Kita


sebagai TLM dapat melakukan Pemeriksaan darah Lengkap penting di
lakukan untuk mengetahui kesehatan secara keseluruhan terutama
masalah pembekuan Darah.

3. Adat Padduppa Bosara

Tari Padduppa Bosara adalah tarian yang mengambarkan bahwa


penyambutan orang Bugis-Makassar jika kedatangan tamu senantiasa
menghidangkan bosara, sebagai tanda kesyukuran dan kehormatan. Pada zaman
dahulu tarian ini sering ditarikan untuk menjamu raja, menyambut tamu agung,
pesta adat, dan pesta perkawinan. Gerakan tarian ini sangat luwes sehingga
enak untuk dilihat. Bosara sendiri merupakan piring khas suku bugis-Makassar
di Sulawesi Selatan. Bahan dasar bosara berasal dari besi dan dilengkapi
dengan penutup khas seperti kobokan besar, yang dibalut kain berwarna terang,
seperti warna merah, biru, hijau atau kuning, yang diberi ornamen kembang
keemasan di sekelilingnya. Bosara biasanya diletakkan di meja dalam rangkaian
acara tertentu, khususnya acara yang bersifat tradisional dan sarat dengan nilai-
nilai budaya. Selain digunakan sebagai salah satu alat yang digunakan para
penari tarian daerah, bosara juga biasanya menjadi tempat sajian aneka kue
tradisional yang diletakkan di meja pada acara resmi pemerintahan sebagai
simbol adat Sulsel, khususnya pada acara-acara sakral seperti pesta pernikahan
adat.

Bosara yang digunakan sebagai wadah kue tradisional maupun lauk,


dijejer rapih di atas meja berkaki pendek, biasanya disebut meja Oshin. Untuk
melengkapi sajian dalam wadah bosara itu, diletakkan baki kecil yang di
atasnya dilapisi kain yang berwarna mirip dengan warna bosara dan meja. Di
atas baki kecil tersebut, diletakkan alas dan piring ceper berukuran kecil yang

30
digunakan untuk meletakkan kue tradisional yang diambil dari bosara,
kemudian cangkir untuk minuman teh serta tutupnya, ditambah gelas untuk air
putih. Oleh karena itu, tidak heran jika setiap pesta pernikahan adat bugis-
Makassar sangat lekat dengan bosara, bahkan ini mentradisi hingga
sekarang.sehingga tradisi tersebut tidak dapat punah dan acara tari paduppa
akan selalu di kenang oleh generasi penerus bangsa , cara yang baik yaitu
mengenalkan anak sejak dini tentang apa itu baju adat bodo dan bagaimana cara
memakainya.

Tari Paduppa Bosara sering ditarikan pada setiap acara penting untuk
menyambut raja dengan suguhan kue-kue sebanyak dua kasera. Tarian ini juga
sering ditarikan saat menyambut tamu agung, pesta adat dan pesta perkawinan.
Ini menggambarkan bahwa suku Bugis jika kedatangan tamu akan senantiasa
menghidangkan bosara sebagai tanda syukur dan penghormatan. Budaya
Bosara merupakan peninggalan budaya khas Sulawesi Selatan dari jaman
kerajaan dulu, khusunya kerajaan Gowa dan kerajaan Bone. Kata bosara tidak
terlepas dari kue-kue tradisional sebagai hal yang saling melengkapi. Bosara
merupakan piring khas suku Bugis-Makasar di Sulawesi Selatan. Biasanya
Bosara diletakan ditengah meja dalam acara tertentu, terutama dalam acara
tradisional yang sarat dengan nilai-nilai budaya. Bosara terbuat dari besi dengan
tutupan seperti kobokan besar, yang dibalut kain berwarna terang, yang diberi
ornamen kembang keemasan di sekelilingnya.

a. Perilaku masyarakat suku bugis Makassar

Suku Bugis Makassar dikenal penaik darah, suka mengamuk,


membunuh dan mau mati untuk sesuatu perkara, meski hanya masalah
sepele saja. Apa sebab sehingga demikian? Ada apa dengan jiwa karakter
suku bangsa ini?Tidak diketahui apa sebab orang Bugis Makassar
terpaksa membunuh atau melakukan pertumpahan darah, biarpun hanAya

31
perkara kecil. Jika ditanyakan kepada mereka apa sebabnya terjadi hal
demikian, jarang bahkan tak satupun yang dapat menjawab dengan pasti –
sehingga dapat dimengerti dengan jelas- apa penyebab ia menumpahkan
darah orang lain atau ia mau mati untuk seseorang. Ahli sejarah dan
budaya menyarankan untuk mengenal jiwa kedua suku bangsa ini lebih
dekat lagi dengan cara mempelajari dalil-dalil, pepatah-pepatah, sejarah,
adat istiadat dan kesimpulan-kesimpulan kata mereka yang dilukiskan
dengan indah dalam syair-syair atau pantun-pantunnya. Laksana garis
cahaya di gelap malam, apabila kita selidiki lebih mendalam, tampaklah
bahwa kebanyakan terjadinya pembunuhan itu ialah lantaran soal malu
dan dipermalukan. Soal malu dan dipermalukan banyak diwarnai oleh
kejadian-kejadian yang dilatari adat yang sangat kuat. Sebut saja satu,
silariang (kawin lari) misalnya, atau dalam bahasa Belanda: Schaking.
Apabila seorang pemuda ditolak pinangannya, maka ia merasa malu. Lalu
ia berdaya upaya agar sang gadis pujaan hati Erangkale (si gadis datang
membawa dirinya kepada pemuda), atau si pemuda itu berusaha agar
gadis yang dipinangnya dapat dilarikannya (silariang). Apabila hal ini
terjadi, maka dengan sendirinya pihak orang tua (keluarga) gadis itu juga
merasa mendapat "Malu Besar" (Mate Siri’). Mengetahui anak gadisnya
silariang, segera digencarkan pencarian untuk satu tujuan: membunuh
pemuda dan gadis itu! Cara ini sama sekali tidak dianggap sebagai
tindakan yang kejam, bahkan sebaliknya, ini tindakan terhormat atas
perbuatan mereka yang memalukan. Oleh orang Bugis Makassar
menganggap telah menunaikan dan menyempurnakan salah satu tuntutan
tata hidup dari masyarakatnya yang disebut adat. Selain itu, kedua suku
Bugis Makassar tersohor sebagai kaum pelaut yang berani sejak
dahulukala hingga sekarang. Sebagai pelaut yang kerap ‘bergaul’ dan
akrab dengan angin dan gelombang lautan, maka sifat-sifat dinamis dari
gelombang yang selalu bergerak tidak mau tenang itu, mempengaruhi

32
jiwa dan karakter orang Bugis Makassar. Ini lalu tercermin dalam
pepatah, syair atau pantun yang berhubungan dengan keadaan laut, yang
kemudian memantulkan bayangan betapa watak atau sifat kedua suku
bangsa itu. Contoh salah satu pantun: Takunjunga’ bangung turu’
Nakugunciri’ gulingku Kualleangna talaanga natolia Artinya: "saya tidak
begitu saja mengikuti arah angin, dan tidak begitu saja memutar kemudi
saya. Saya lebih suka tenggelam dari pada kembali." Maksudnya, kalau
langkah sudah terayun, berpantang surut –lebih suka tenggelam- daripada
kembali dengan tangan hampa. Jadi kedua suku bangsa ini memiliki hati
yang begitu keras. Tapi, benarkah begitu? Justru sebaliknya, orang Bugis
Makassar memiliki hati yang halus dan lembut. Dari penjelasan di atas
nampaklah bahwa kedua suku bangsa ini lebih banyak mempergunakan
perasaannya daripada pikirannya. Ia lebih cepat merasa. Begitu halus
perasaannya sampai-sampai hanya persoalan kecil saja dalam cara
mengeluarkan kata-kata di saat bercakap-cakap, bisa menyebabkan kesan
yang lain pada perasaannya, yang dapat menyebabkan kesalahpahaman.
Tapi, kalau kita telah mengenal jiwa dan wataknya atau adat istiadatnya,
maka kita tengah berhadapan dengan suku bangsa yang peramah, sopan
santun, bahkan kalau perlu ia rela mengeluarkan segala isi hatinya –
bahkan jiwanya sekalipun- kepada kita. (maksudnya: Alangkah baiknya
orang itu atau alangkah baik hati si Baso), maka itu cukup menjadi suatu
tanda, bahwa apabila ada kesukaran yang akan menimpa si Baso, maka ia
rela turut merasakannya. Ia rela berkorban untuk kepentingan si Baso.
Apabila ada seseorang yang hendak mencelakai atau menghadang si Baso
di tengah jalan, jika didengarnya kabar itu, maka ia rela maju lebih awal
menghadapi lawan itu, meski tidak dimintai bantuannya. Ia mau mati
untuk seseorang, dikarenakan orang itu telah dipandangnya sebagai orang
baik. Olehnya, orang Bugis Makassar dikenal sebagai orang yang setia,

33
solider dan kuat pendirian. Meski tak jarang yang memplesetkan kata
Makassar sebagai "Manusia Kasar".

b. Apa dampak kesehatan yang akan disebabkan dari pelaksanaan adat


“Tari paddupa bossara”

Dampak kesehatan yang dapat dialami dari kegiatan penari


”padduppa bossara” ini adalah meningkatnya kolestrol sehingga
pemeriksaan yang berhubungan dengan Teknologi Laboratorium Medik
(TLM) adalah pemeriksaan kolesterol dalam darah.

4. Adat Pemmali

“Tidak boleh tidur siang pada ibu hamil karena berpengaruh pada bayi
akan jadi pemalas”.

a. Hubungan dengan kesehatan

Tidur berkepanjangan memang mengundang proses recovery yang


lebih lambat. “Makin lama berbaring makin besar pula peluang terjadi
tromboemboli atau pengendapan elemen-elemen garam”. Lalu bila si ibu
bangun/berdiri mendadak, endapan elemen tersebut dikhawatirkan lepas
dari perlekatannya di dinding pembuluh darah. Padahal akibatnya bisa
fatal. Endapan-endapan tadi bisa masuk ke dalam pembuluh darah lalu
ikut aliran darah ke jantung, otak dan organ-organ penting lain yang akan
memunculkan stroke

b. Pemeriksaan Tes Darah

 Pemeriksaan Darah Lengkap

 Tes Waktu PT/PTT

34
 Tes Kolesterol/Lipid

 Tes AST/SGOT

c. Karakter

Karakter dari suku bugis makassar ini yaitu dimana suku bugis masih
percaya pada prilaku atau kebiasaan yang telah di lakukan leluhur secara
turun-temurun yang di kenal dengan “pemmali”.

d. Perilaku

Fungsi utama melaksanakan “pemmali” adalah sebagai pegangan


untuk membentuk pribadi luhur. Dalam masyarakat bugis sangat banyak
pemmali yang harus di patuhi oleh masyarakat bugis itu
sendiri.Masyarakat bugis meyakini bahwa pelanggran terhadap
“pemmali” akan mengakibatkan ganjaran atau kutukan.

e. Kebiasaan

Suku bugis sangat menekan prilaku atau kebiasaan dalam


bertuturkata atau perrbuata yang di sebut “pemmali” yang bermakna
larangan kepada seseorang untuk melakukan perbuatan atau perkataan.
Pemmali dalam masyarakat bugis dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu
pemmali dalam bentuk perkataan dan pemmali dalam bentuk perbuatan

“Tidak boleh tidur siang pada ibu hamil karena berpengaruh pada
bayi akan jadi pemalas”

5. Adat Ibu Hamil Suku Bugis

a. Adat istiadat, Perilaku, Kebiasaan Karakter Pada Masyarakat Suku


Bugis yang berhubungan dengan kesehatan.

35
Etika dalam perkembangannya sangat mempengaruhi kehidupan
manusia. Etika member manusia orientasi bagaiamana menjalin hidupnya
melalui rangkaian tindakan sehari-hari. Dalam hal ini dapat dikatakan
bahwa etika membantu manusia mengmbil sikap dan berindak secara
tepat dalam menjalani hidup ini. Etika pada akhirnya membantu kita
untuk mengambil keputusan tentnag tindakan apa yang perlu kita lakukan
dan yang perlu kita pahami bahwa etika dapat diterapkan dalam segala
aspek atau sisi kehidupan kita.

Suku bugis dalam adat istiadat yang berhubungan dengan kesehatan


Sejarah praktek kesehatan dikeluarga bugis sampai saat ini masih sangat
dipengaruhi ajaran agama Islam dan kebudayaan dari kerajaan-kerajaan
awal bugis. Dominasi ajaran Islam sangat kental dalam praktik
keperawatan. Sampai saat ini anggota keluarga bugis mempercayai orang-
orang pintar dalam menolong anggota keluarga yang sakit. Biasanya
mereka baru membawa anggota keluarganya yang sakit ke Puskesmas
untuk diobati penyakitnya jika sudah beberapa kali anggota keluarga yang
sakit dibawa ke orang pintar yang tidak sembuh-sembuh juga.

Selain itu masyarakat bugis juga terkadang pergi keorang pintar yang
sudah tua, yang dianggap punya kelebihan dan pandai dalam ajaran
agama dan dianggap mampu mengobati penyakit. Dukun yang biasanya
disebut sebagai orang pintar atau orang mempunyai kelebihan dianggap
mampu mengobati berbagai penyakit dengan doa-doa. Doa-doa tersebut
diambil dari bahasa Al-quran. Dukun juga dianggap ahli dalam menolon
persalinan dan juga dapat mengurut dan mengurus anak-anak.

Praktik dukung tersebut dapat digolongkan dalam dua golongan yang


baik dan yang jahat :

36
 Praktik golongan yang jahat dianggap memiliki kemampuan atau
ilmu jahat yang mampu membuat orang sakit sampai meninggal
dunia, melakukan guna-guna untuk mereka yang tidak disukai
atau mencari jodohnya.

 Sedangkan praktik dukun yang dianggap baik memiliki


kemampuan menyembuhkan orang sakit menolong persalinan
dan mengurut.

Dalam praktik perdukunan keluarga bugis menggunakan air dan


obat-obat tradisional yang mirip dedaunan kering yang diolah dari
tanaman-tanaman. Pada umumnya keluarga bugis beranggapan bahwa
suatu penyakit tidak dapat disembuhkan oleh petugas kesehatan. Mereka
masih mempercayai orang-orang pintar. Biasanya orang-awam masih
membiarkan penyakitnya dan masih manggangap bahwa penyakitnya
akan sembuh dengan beristirahat dirumah saja dan menyebuhkan
penyakitnya dengan menggunakan oabt-obat tradisional. Lain halnya
dengan masyarakat menengah keatas mereka sudah mempercayai obat-
obat medis yang mampu meyeambuhkan penyakitnya.

b. Adat Istiadat Perilaku Suku Bugis Upacara Masa Kehamilan Yang


Berhubungan Dengan Kesehatan Bayi Semasa Dalam Kandungan

Berikut ini adalah perilaku adat istiadat Suku Bugis selama masa
kehamilan sampai melahirkan, diantaranya adalah sebagai berikut :

1) Makkatenni sanro (menghubungi dukun).

Upacara penyampaian kepada dukun yang telah dipilih


berdasarkan musyawarah kedua keluarga, atau nasehat dari
masyarakat dan orang tua. Jika pemilihan dukun disetujui maka

37
dukun tersebut akan diberikan kepercayaan untuk merawat ibu dan
anaknya nanti.

2) Mappanre to-mangideng (menyuapi ibu hamil).

Adalah upacara yang dilakukan pada bulan pertama masa


kehamilan, atau dalam suku bugis disebut mangngideng atau ngidam.
Biasanya dilalui dengan berbagai macam acara. Selain itu diberikan
pantangan untuk makan makanan tertentu dan melakukan perbuatan
tertentu, baik untuk calon ibu maupun calon ayah.

3) Upacara tujuh bulan kehamilan

Dalam bahasa Bugis disebut Mappassili, yang artinya


memandikan. Makna upacara ini adalah untuk tolak bala atau
menghindari dari malapetaka atau bencana, menjauhkan dari roh-roh
jahat sehingga segala kesialan hilang dan lenyap. Berikut ini
merupakan tahapan dari upacara tujuh bulan kehamilan:

Calon ibu yang hamil tujuh bulan dari pasangan muda ini harus
melewati sebuah anyaman bambu yang disebut Sapana yang terdiri
dari tujuh anak tangga, memberi makna agar rezeki anak yang
dilahirkan bisa naik terus seperti langkah kaki menaiki tangga.

4) Iring-iringan pasangan muda (suami-istri),

Dalam pakaian adat Bugis menuju sebuah rumah-rumahan


yang terbuat dari bambu dengan hiasan bunga dan pelaminan yang
meriah oleh warna-warna yang mencolok. Sebelumnya, Upacara
Mappassilidiawali dengan membacakan doa-doa yang diakhiri oleh
surat Al-Fatihah oleh seorang ustadzah. Bunyi tabuh-tabuhan dari

38
kuningan yang dipegang oleh seorang bocah laki-laki mengiringi
terus upacara ini.

Kemudian upacara ini dipimpin oleh seorang dukun. Ia


mengambil tempat pembakaran dupa dan diputar-putarkan di atas
kepala sang ibu. Asap dupa yang keluar, diusap-usapkan di rambut
calon ibu tersebut. Perbuatan ini memberi makna untuk mengusir
roh-roh jahat yang bisa mengganggu kelahiran bayi. Menurut
kepercayaan mereka, roh jahat itu terbang bersama asap dupa.

Calon ibu di perciki air dengan menggunakan beberapa helai


daun ke bagian tubuh tertentu, mulai dari atas kepala, bahu, lalu turun
ke perut. Bahu menyimbolkan agar anak punya tanggung jawab yang
besar dalam kehidupannya. Demikian pula tata cara percikan air dari
atas kepala turun ke perut, tak lain agar anaknya nanti bisa meluncur
seperti air, mudah dilahirkan dan kehidupannya lancar bagai air.
Calon ibu mengenakan pakaian adat Bone yang berwarna merah,

5) Dilanjutkan dengan upacara makarawa babua yang berarti


memegang atau mengelus perut. Pernik-pernik pelengkap
upacara ini lebih meriah lagi ditambah lagi dengan beraneka
macam panganan yang masing-masing memiliki simbol
tertentu.

6) Calon ibu yang telah berganti pakaian adat Bone berwarna


merah ditidurkan di tempat pelaminan. Sang dukun akan
mengelus perut calon ibu tersebut dan membacakan doa.
Selanjutnya daun sirih yang ditaburi beras diletakkan di kaki,
perut, kening kepala calon ibu dimaksudkan agar pikiran ibu
tetap tenang, tidak stress. Diletakkan di bagian kaki sebagai
harapan agar anak melangkahkan kakinya yang benar.

39
Sementara beras sebagai perlambang agar anak tak kekurangan
pangan. Seekor ayam jago sengaja diletakkan di bawah kaki
calon ibu. Bila ternyata ayam tersebut malas mematuk beras,
menurut mereka ini pertanda anak yang akan lahir perempuan.

7) Tahap akhir upacara tujuh bulan Bugis Bone ini adalah suap-
suapan yang dilakukan oleh dukun, pasangan tersebut (sebagai
calon bapak dan ibu) dan orang tua keduanya. Acara ditutup
dengan rebutan hiasan anyaman berbentuk ikan dan berisi telur
bagi ibu-ibu yang memiliki anak gadis atau yang sudah
menikah. Ini sebagai perlambang agar anak-anaknya segera
mendapat jodoh yang baik, dan nantinya melahirkan dengan
mudah.

8) Upacara Masa Kelahiran Bayi

Setelah masa kehamilan mencapai 9 bulan dan menanti masa-


masa melahirkan (Mattajeng Esso: menunggu hari kelahiran). Pada
saat kelahiran biasanya dihadiri keluarga untuk menunggu proses
kelahiran. Proses kelahiran di bantu oleh dukun yang telah dipilih.

9) Upacara Masa Kanak-kanak

Pada saat usia bayi sudah dapat duduk antara 10-11 bulan,
disaat itu di pakaikan gelang dan jempang bagi anak wanita. Jempang
adalah semacam penutup kelamin bagi anakperempuan yang
berbentuk segitiga demikian juga kerawi yang merupakan perisai
berbentuk bundar yang di kenakan pada dada yang menggunakan tali
sebagai pengikat.Pemakaian jempang biasanya disesuiakan dengan
stratifikasi social orang tuanya. Upacara-upacara yang dilakukan
setelah itu adalah:

40
10) Upacara rippakalleja ri tana atau upacara turun tanah untuk
pertama kalinya yang dilakukan oleh sanro (dukun)

11) Upacara mappattengeng atau upacara mengajari ana belajar


berjalan dengan menggunakan tongkat bamboo yang di isi
beras ketan yang dibakar (pewong)

12) Upacara malleja ri tana dilakukan jika anak mulai berjalan

Berikut Makanan Pantangan Bagi Ibu Hamil Menurut Masyarakat Bugis


yang behubungan dengan kesehatan bayi semasa dalam kandungan :

Kepercayaan berpantang makan ini didasarkan atas hubungan asosiatif


antara bahan makanan tersebut menurut bentuk atau sifatnya dengan akibat
buruk yang akan ditimbulkan bagi ibu dan bayi yang akan dilahirkan.

Makanan pantang adalah bahan makanan yang tidak boleh dimakan oleh
ibu hamil dalam masyarakat karena alasan-alasan yang bersifat budaya. Ibu
berpantang makan karena sedang mengalami keadaan khusus yaitu kehamilan
dan karena dalam kebudayaan setempat terdapat suatu kepercayaan tertentu
terhadap bahan makanan tersebut. Kepercayaan ini diajarkan secara turun
temurun dan cenderung ditaati walaupun individu yang menjalankannya
mungkin tidak terlalu paham atau yakin akan rasional dari alasan-alasan
memantang makanan yang bersangkutan dan sekedar mematuhi tradisi
setempat. Ragam makanan yang menurut masyarakat Sulawesi adalah
pantangan bagi ibu hamil.

 Makanan Golongan Hewani

 Cumi-cumi, sebab cumi-cumi berjalan maju mundur


diasosiasikan dengan proses melahirkan yang sulit di pintu

41
lahir, bayi akan menyulitkan persalinan dengan maju mundur
pada saat proses kelahiran.

 Gurita, sebab bersifat lembek diasosiasikan dengan bayi yang


juga akan lemah fisiknya seperti gurita

 Kepiting, karena dikhawatirkan anak akan nakal dan suka


menggigit jika besar.

 Daging, karena dikhawatirkan ibu akan kesulitan melahirkan


jika bayinya terlalu sehat.

 Kepiting dan udang yang baru ganti kulit, sebab memiliki


tekstur yang lembek tidak bertulang diasosiasikan dengan anak
yang juga akan lemah tak bertulang jika lahir.

 Ikan pari, karena memiliki tulang lembut dipercayai akan


menyebabkan bayi memiliki bertulang lembut pula.

 Ikan yang tidak memiliki lidah,

 Ikan yang memiliki banyak duri (terundungan), karena akan


menyebabkan perasaan ibu hamil tidak enak dan menimbulkan
rasa panas selama kehamilan

 Telur bebek, karena dipercaya akan menyulitkan persalinan.

 Makanan Golongan Nabati

 Mangga macan, durian, nenas, nangka. Karena makanan ini


dianggap bersifat panas dikaitkan dengan keyakinan dikotomi
panas dingin. Ibu hamil dianggap dalam kondisi dingin
sehingga tidak boleh makan makanan yang sifatnya panas

42
sebab dapat menyebabkan keguguran kandungan pada umur
kehamilan muda.

 Sayur rebung, karena dikhawatirkan akan menyebabkan anak


memiliki banyak bulu/rambut jika lahir

 Pisang kembar, karena di anggap nanak juga akan kembar jika


lahir

 Daun kelor, karena mengandung getah yang pedas yang akan


menyebabkan rasa sakit dalam proses kelahiran dikenal dengan
sebutan “getah kelor”, juga karena daun kelor yang berakar
diasosiasikan dengan ari-ari bayi yang juga akan beraka

 Nangka muda, karena nangka muda juga memiliki getah yang


akan menyebabkan rasa sakit dalam proses kelahiran

 Kelapa muda, karena dapat mengakibatkan keguguran.

 Pepaya muda, karena dapat menyebabkan gatal-gatal pada ibu


hamil dan bayi yang ada didalam kandungan.

 Terong, karena juga dapat mengakibatkan gatal-gatal pada ibu


dan bayinya

 Tebu, karena akan menyebabkan rasa sakit karena ibu akan


mengeluarkan banyak air mendahului proses kelahiran
diasosiasikan dengan tebu yang juga mengandung banyak air.

c. Perilaku-perilaku Pantangan Bagi Ibu Hamil Menurut Masyarakat


Suku Bugis :

43
 Berpantang makan dipiring besar juga disertai tidak boleh
makan dengan beberapa piring.

 Makan dipiring besar diasosiasikan dengan bayi yang juga akan


memiliki ari-ari yang besar dan dapat menyulitkan persalinan.

 Makan di piring terpisah diyakini akan mengakibatkan proses


melahirkan akan tersendat-sendat.

 Makan sembunyi-sembunyi saat hamil di yakini akan


menyulitkan persalinan dengan keluarnya feses pada saat
melahirkan.

 Makan diwaktu magrib dipantang sebab waktu magrib


diasosiasikan dengan waktu keluarnya makhluk halus yang
dapat membahayakan kehamilan.

E. Hubungan Kebudayaan Suku Muna dengan Kesehatan

1. Suku Muna

Pulau muna terletak pada Provinsi Sulawesi Tenggara. Pada awalnya


pulau Muna hanya terdiri atas Kabupaten Muna dengan ibu kota Raha. Namun
seiring dengan berjalannya waktu pada tahun 2014 pertengahan Kabupaten
Muna mengalami pemekaran menjadi Kabupaten Muna dan Kabupaten Muna
barat. Dimana Kabupaten Muna beribu kotakan Raha, sedangkan Kabupaten
Muna Barat beribukotakan Laworo.

Suku Muna atau Wuna adalah suku yang mendiami Pulau Muna,
Sulawesi Tenggara. Dari bentuk tubuh, tengkorak, warna kulit (coklat
tua/hitam), dan rambut (keriting/ikal) terlihat bahwa orang Muna asli lebih
dekat ke suku-suku Polynesia dan Melanesia di Pasifik dan Australia ketimbang
ke Melayu. Hal ini diperkuat dengan kedekatannya dengan tipikal manusianya

44
dan kebudayaan suku-suku di Nusa Tenggara Timur dan Pulau Timor dan
Flores umumnya. Motif sarung tenunan di NTT dan motif sarung Muna sangat
mirip yaitu garis-garis horisontal dengan warna-warna dasar seperti kuning,
hijau, merah, dan hitam. Bentuk ikat kepala juga memiliki kemiripan satu sama
lain. Orang Muna juga memiliki kemiripan fisik dengan suku Aborigin di
Australia. Sejak dahulu hingga sekarang nelayan-nelayan Muna sering mencari
ikan atau teripang hingga ke perairan Darwin. Telah beberapa kali Nelayan
Muna ditangkap di perairan ini oleh pemerintah Australia. Kebiasaan ini boleh
jadi menunjukkan adanya hubungan tradisional antara orang Muna dengan suku
asli Australia: Aborigin.

Adat suku Muna sangatlah banyak dan beragam, namun pada modul ini
yang akan dibahas hanyalah adat Kariya, adat Katoba, adat Kasambu dan adat
Powele (Ewa Wuna).

2. Adat Kariya

Karia atau dalam bahasa indonesia pingitan adalah upacara adat bagi
gadis Muna yang pertama diadakan pada masa pemerintahan Raja La Ode
Husein yang bergelar Omputo Sangia terhadap putrinya yang bernama Wa Ode
Kamomono Kamba sebagai proses pembersihan diri dengan harapan bahwa
anak perempuan yang menjelang dewasa telah disiapkan dari sejak dini sebagai
tempat persemaian rahasia (benih-benih keturunan) dari laki-laki untuk
mendapatkan keturunan yang saleh dan salehah.

Dikatakan proses pembersihan yang dimaksud yaitu pembersihan secara


psikologis berupa kebiasaan, etika, moral yang buruk. Hal ini dapat teramati
dalam proses upacara karia bahwa pelaksanaannya bukan hanya sekedar
upacara ritual, tetapi merupakan proses pembinaan mental, moral agama, dan
perilaku agar kelak memperoleh benih-benih keturunan yang berakhlak mulia.

45
Karia berarti penyucian dan penyadaran akan hakikat seorang perempuan
serta menghapus sifat-sifat buruk yang ada pada diri anak. Kamar pingitan (suo)
adalah ruang gelap yang menggambarkan rahim seorang ibu. Karia seperti
memasukkan kembali seorang anak di dalam rahim. Hal ini bertujuan agar anak
mengetahui asal usulnya dan tempat hidup awalnya di dalam rahim. Selama
proses pingitan, peserta karia diberi makan hanya dengan segenggam nasi dan
sebutir telur. Hal tersebut dimaksudkan agar anak perempuan kelak menjadi
istri yang sabar dan tidak serakah ketika berumah tangga dan menerima dengan
ikhlas nafkah yang diberikan suaminya banyak maupun sedikit/melatih
kesabaran dalam berumah tangga.

Pesta ini hanya dilakukan untuk anak-anak perempuan menjelang dewasa,


yaitu umur 15 atau 16 tahun, namun biasanya pesta ini diadakan dekat sekali
sebelum pernikahan. Para gadis yang akan dikaria, dipingit di dalam kamar
gelap secara total selama empat hari empat malam (dahulu 44 hari), dan tidak
diperkenankan keluar. Apabila si gadis melanggar dan keluar, maka ini berarti
sial bagi diri sendiri dan keturunannya (Couvreur, 162: 2001).

a. Kebiasaan

Kebiasaan pesta ini hanya dilakukan untuk anak-anak perempuan


menjelang dewasa, yaitu umur 15 atau 16 tahun, namun biasanya pesta ini
diadakan dekat sekali sebelum pernikahan sebagai proses pembersihan
diri seorang perempuan menjelang dewasa atau peralihan dari remaja ke
dewasa pada ruangan tanpa cahaya selama 4 hari 4 malam tidak boleh
keluar.

b. Perilaku

Karia (pingitan) sebagai proses pembersihan diri anak perempuan


yang menjelang dewasa, dalam hal ini pembersihan secara psikologis

46
meliputi proses pemberian nasehat, pendidikan rumah tangga, moral,
etika, kewajiban. Dimana kariya ini mempunyai aturan makan hanya
segenggam nasi dan satu biji telur, tidak boleh buang air besar dan
meninggalkan ruangan pingitan yang tidak ada penerangan selama empat
hari empat malam (terkecuali saat mandi hanya pada saat magrib dan
subuh, dalam hal ini tidak boleh terkena cahaya matahari). Hal ini sudah
kurang sesuai dengan kondisi zaman sekarang, dikarenakan faktor
kesehatan dan aktivitas pekerjaan manusia zaman sekarang. Namun, pada
zaman sekarang pingitan dapat dilakukan satu hari satu malam saja
sehingga meminimalisir buang air besar, malnutrisi, factor kesehatan dan
kesibukan aktivitas.

c. Karakter

Upacara karia pelaksanaannya bukan hanya sekedar upacara ritual,


tetapi merupakan proses penasehatan bagi kalambe (gadis), pembinaan
mental, moral agama, dan perilaku agar kelak memperoleh benih-benih
keturunan yang berakhlak mulia. Dengan adanya Karia dapat menjadikan
suatu media untuk meningkatkan hubungan silaturahim antara sesama
keluarga maupun orang lain.

Perempuan yang sudah melewati proses karia diharapkan dan


seharusnya telah penuh pemahamannya terhadap materi yang
disampaikan oleh pemangku adat atau tokoh agama, dalam menentukan
sikap, etika, mental, moral agama, dan perilaku agar kelak memperoleh
benih-benih keturunan yang berakhlak mulia khususnya yang berkaitan
dengan seluk beluk kehidupan berumah tangga, tentang kewajibannya,
etika, dan hakikat sebagai perempuan dewasa.

d. Masalah Kesehatan

47
Pada upacara ritual Karia di lakukan 4 hari 4 malam sehingga para
gadis-yang pingit mereka akan mengalami letih dan kelelahan serta
pegal-pegal karena prosesi tahapan adat yang dilakukan selama 4 hari,
bahkasn segala sesuatu gerak gerik harus diatur seperti makan, minum
yang jumlahnya sangat sedikit, bahkan pada prosesi karia ini para gadis
ditutut untuk tidak buang air besar.

e. Solusi Dampak Kesehatan

Dampak kesehatan dari Karia ini adalah para gadis akan mengalami
Anemia karena kurang istirahat pemeriksaan sebagi ATLM adalah dengan
melakukan pemeriksaan Hb (Hemoglobin).

Selain itu, mengenai asupan gizi yang sedikit dapat menyebabkan


gadis mengalami malnutrisi dan kekurangan cairan (dehidrasi) dilakukan
pemeriksaan kimia darah pada dehidrasi dan malnutrisi untuk mengetahui
jumlah garam atau elektrolit dan grukosa serta indicator fungsi ginjal.
Selain itu gadis dituntut untuk tidak buang air besar dapat memicu
terjadinya gangguan pencernaan seperti infeksi bakteri, maka dilakukan
pemeriksaan feses.

3. Adat Katoba

Katoba adalah upacara adat yang dilakukan masyarakat Muna di Sulawesi


Tenggara terhadap anak-anak yang usianya menjelang akil balik (6 sampai 12
tahun), yaitu dengan memberikan sejumlah petuah yang dilakukan oleh seorang
imam. Biasanya, upacara ini dilakukan sehari setelah anak tersebut dikhitan.

Kata Katoba sendiri sesungguhnya berasal dari kata toba. Kata toba ini
sendiri dapat dipastikan dari bahasa Arab yakni taubah yang artinya menyesal.
Secara harfiah taubah dapat berarti menyesali semua perbuatan buruk yang
pernah dilakukan dan berjanji untuk tidak mengulanginya kembali. Dalam

48
bahasa Indonesia, kata taubah diserap menjadi kata taubat. Orang yang sudah
bertaubat artinya akan kembali ke ajaran Islam dengan melaksanakan semua
perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Kata toba dalam masyarakat
Muna dapat berarti suci, artinya mengembalikan sesuatu ke keadaan yang suci
atau membuat sesuatu menjadi suci.

Secara historis, munculnya istilah Katoba bermula dari datangnya seorang


ulama Arab yang bernama Sayid Raba ke Buton dan Muna. Ulama tersebut
datang ke Buton pada masa pemerintahan Sultan Buton ke-19 La Ngkariri yang
bergelar Sakiuddin Darul Alam yang memerintah tahun 1712-1750 M,
sedangkan ke Muna pada masa pemerintahan Sangia La Tugho yang
memerintah pada tahun 1671-1716 M. Kedatangan Sayid Raba ke Buton dan
Muna bertujuan untuk meningkatkan keimanan masyarakat terhadap agama
islam. Dia meningkatkan kapasitas lembaga-lembaga pendidikan yang telah ada
dengan memasukan fiqih Islam dalam materi pendidikan norma, terutama setiap
dia selesai melakukan khitanan atau mongkilo/kangkilo atau menyucikan diri.
Dari sinilah akhirnya ritual katoba tersebut menjadi sebuah tradisi dalam
kehidupan masyarakat suku Muna.

a. Kebiasaan

Kebiasaan adat ini umumnya dilakukan disaat anak yang


bersangkutan sudah menjelang baligh/dewasa (peralihan dari remaja ke
dewasa) yaitu berumur 16-17 tahun. Upacara adat ini dilakukan sebagai
sarana untuk mengislamkan seorang anak dengan memberikan nasehat-
nasehat untuk dipatuhi sang anak sehingga sang anak akan dapat
membedakan mana yang baik dan mana yang buruk dimana ini menjadi
tujuan dari upacara Katoba ini.

b. Perilaku

49
Pada upacara ini, anak laki-laki maupun perempuan mengenakan
pakaian tradisional dan riasan, lalu dipikul di atas bahu oleh anggota-
anggota keluarganya atau berjalan kaki ke rumah pemuka agama. Di sana,
pemuka agama tersebut memberikan sejumlah nasihat agar anak-anak
tersebut menjalankan perintah Allah dan dilarang berdosa kepada Allah,
Nabi, dan sesama manusia. Setelah itu sang anak akan mengajukan
“kalimat tobat” yang dibimbing oleh sang imam. Setelah itu akan
diadakan sesi makan bersama dengan para tamu dengan keluarga. Dengan
ini sang anak akan menjadi lebih patuh kepada orang tua dan senantiasa
akan menjadi anak dengan iman yang kuat dengan menjalankan perintah
Tuhan dan menjauhi larangan-Nya.

c. Karakter

Pelaksanaan upacara adat Katoba ini dapat menjadi tumpuan bagi


sang anak menjelang usia dewasanya, dimana pada upacara inilah pikiran
sang anak dijernihkan dengan nasehat-nasehat dari sang imam yang
diharapkan nasehat-nasehat tersebut dapat menjadi bekal dalam perilaku
sang anak di masa yang akan mendatang

d. Masalah Kesehatan

Upacara adat Katoba ini tidak langsung menimbulkan efek terhadap


kesehatan fisik, namun upacara Katoba ini lebih mengarah ke kesehatan
psikologis. Dalam upacara ini, kita dibuat untuk mensugesti diri sendiri
untuk menaati sumpah/toba yang telah kita ucapkan. Secara harfiah
sugesti merupakan sebuah kata serapan yang berasal dari Bahasa Inggris
suggestion. Kata ini mengacu pada arti harafiah “memberi saran” kepada
orang lain melalui pikiran. Secara umum, sugesti dapat didefinisikan
sebagai pengaruh psikis yang datang kepada seorang individu. Sugesti

50
tersebut bisa datang dari diri sendiri maupun dari orang lain tanpa adanya
daya kritik dari individu tersebut.

Sugesti juga dapat disampaikan oleh seseorang kepada orang lain.


Supaya sebuah sugesti dapat masuk ke pikiran bawah sadar seorang
individu, maka sugesti akan lebih baik jika diberikan oleh figur yang
memiliki dominasi lebih tinggi daripada orang yang diberi sugesti. Maka
dari itu pada upacara Katoba ini dipimpin oleh seorang imam besar yang
memiliki dominasi tinggi dalam bidang keagamaan. Supaya sugesti dapat
masuk ke pikiran sadar maupun pikiran bawah sadar seorang individu,
maka si imam besar (pemberi sugesti) membuat sang anak untuk fokus
dan konsentrasi saat mengucap sumpah agar sugesti yang diberikan
benar-benar masuk ke alam bawah sadar sang anak. Karena jika sumpah
yang diucapkan telah tertanam pada alam bawah sadar sang anak, maka
otomatis akan terbentuk mindset atau pola pikir untuk menaati sumpah
tersebut.

Katoba ini dilakukan pada anak-anak menjelang usia baligh atau


menjelang kedewasaan. Ini dikarenakan pada rentang umur tersebut,
pikiran sang anak masih labil. Labil adalah kondisi disaat seseorang
mudah berubah keadaan perasaan dan kejiwaannya. Jadi dengan
dilakukannya adat Katoba ini, diharapkan sumpah/toba yang diucapkan
akan mendasari pola pikir sang anak sehingga akan tercipta mindset yang
positif. Dengan ini, sang anak akan lebih memahami antara mana yang
baik dan mana yang buruk sebagaimana tujuan utama dari Katoba ini
yaitu mengislamkan atau mendewasakan sang anak.

e. Peran Ahli Teknologi Laboratorium Medik (ATLM)

Peran Ahli Teknologi Laboratorium Medik (ATLM) yang dapat


dilakukan pada upacara adat ini adalah pemeriksaan Hb (hemoglobin)

51
sebelum memulai upacara sebab sang anak harus dipastikan dalam
kondisi prima karena upacara ini dapat terbilang cukup untuk menguras
tenaga. Selain itu dapat juga dilakukan pemeriksaan kolesterol
dikarenakan makanan yang disajikan pada upacara ini kebanyakan
mengandung lemak dan kolesterol.

4. Adat Kasambu

Kasambu adalah salah satu ritual daur hidup yang wajib dilaksanakan
oleh masyarakat muna. bagi masyarakat umum, ‘kasambu’ dikenal dengan
penyebutan ‘tujuh bulanan’. Memang, acara kasambu adalah ritual yang
dilakukan terhadap seorang perempuan yang kandungannya telah berusia tujuh
bulan.

Ritual kasambu dilakukan, diawali dengan ‘kakadiu’ yakni memandikan


si ibu yang mengandung bersama suami. pertama-tama, keluarga istri dan/atau
suami akan mengupas dua buah kelapa. satu kelapa akan diparut untuk diambil
santannya untuk digunakan sebagai shampoo bagi istri dan suami. sedangkan
kelapa yang lain akan dibelah dua di atas kepala suami dan istri ketika duduk
bersama di atas lesung setelah dimandikan. suami istri -masing-masing hanya
memakai sarung muna akan duduk berdampingan di atas lesung menghadap ke
barat sementara imam yang dibantu bhisa, ibu perempuan/pelaku tradisi yang
dipercaya akan membagi tugas dalam memantrai air dan santan. imam akan
memantrai air mandi dan bhisa akan memantrai santan. kemudian sepasang
laki-laki dan perempuan yang orang tuanya masih lengkap bukan yatim/piatu
atau keduanya yatim piatu akan bergantian melakukan ‘kunde’ [mencuci rambut
dengan santan] secara bergantian kepada suami istri objek kasambu. perempuan
akan meng-kunde istri dan laki-laki akan meng-kunde suami. selanjutnya imam
akan menyiram air di kepala suami sebagai tanda dimulainya kakadiu. imam
menyiram kepala suami dan suami disyaratkan menepuk air tersebut sebanyak

52
tiga kali dengan tangan kanan. selanjutnya imam menyiram istri untuk
melakukan hal yang sama yakni menepuk air tiga kali. lalu imam akan
menyiram suami dan istri secara bergantian sampai selesai. setelah itu suami
istri masih duduk di atas lesung akan menghadap ke timur, imam akan
menyiram suami dan istri secara bergantian tentu saja diawali dari suami
selanjutnya istri secara bergantian yang syaratnya menepuk air sebagaimana
halnya yang dilakukan sebelumnya.

Setelah mandi, imam akan membelah kelapa dengan parang di atas kepala
suami istri. air kelapa tadi akan disiram lagi di atas kepala suami istri sampai
habis. kemudian kelapa akan diberikan pada bhisa. oleh bhisa, kelapa tersebut
ditepuk kemudian dijatuhkan ke lantai. kelapa tersebut diusahakan untuk
tengadah karena akan dipungut oleh sepasang laki-laki dan perempuan tadi
dengan menggunakan mulut secara bergantian. acara mandi selesai, bhisa akan
mencungkil pantat suami-istri secara bergantian dimulai dari suami dengan
menggunakan parang yang dipakai membelah kelapa. suami-istri kemudian
berpakaian untuk melaksanakan prosesi puncak kasambu.

Prosesi kasambu akan dilakukan dalam ruangan terluas pada bagian


rumah yang mengadakan kasambu. biasanya di ruang tamu. para ibu yang
datang membantu, akan menyiapkan haroa kasambu. sebagaimana haroa pada
umumnya dalam ritual di kabupaten muna.

Dalam kehidupan masyarakat etnis muna, haroa berisi lapa-lapa, ketupat,


ayam goreng, ayam gulai, telur, pisang, cucur, wajik, sirkaya, dan lain-lain.
haroa akan dikumpulkan pada talang besar berkaki untuk dibaca-baca oleh
imam sebelum dimakan. ketika dibaca-baca, haroa akan ditutup dengan
kerudung atau kain putih. setelah haroa-nya siap, maka akan diangkat dan
dibawa di tempat pelaksanaan puncak kasambu.

53
Kali ini, suami-istri duduk di atas bantal ketika prosesi baca-baca.
selanjutnya imam akan memimpin pembacaan doa dan diikuti oleh semua yang
hadir. pembacaan doa selesai, maka kasambu akan dilakukan oleh bhisa. bhisa
mengambil lauk telur atau ayam lalu akan menyuap suami. suami diwajibkan
menggigit telur ayam ayam sedikit saja lalu dibuang ke belakangnya sebelah
kiri. hal ini dilakukan sebanyak tiga kali, lalu kemudian suami akan memakan
telur atau ayam tersebut. setelah itu, bhisa akan mengambil lapa-lapa atau
ketupat untuk di-sambu-kan kepada suami. kali ini tidak ada yang dibuang.

Setelah itu, giliran istri, sama halnya yang dilakukan kepada suami, bhisa
menyuap istri dengan telur atau ayam dan membuangnya tiga kali ke belakang
sebelah kiri sebelum dimakan, selanjutnya istri disuapi lapa-lapa atau ketupat.

Setelah bhisa, kini giliran ibu-ibu lain, biasanya orang tua istri atau
suami yang melakukan sambu kepada suami dan istri. ibu akan memilih salah
satu isi haroa. tidak seperti yang dilakukan oleh bhisa, kali ini suami dan istri
akan langsung menelan makanan yang diberikan. demikian kasambu dilakukan
sampai dua atau tiga orang ibu yang datang di tempat diadakannya kasambu.
kasambu selesai diakhiri dengan bhisa yang kembali mencungkil pantat suami-
istri dengan parang yang dipakai sebelumnya lalu dilakukanlah makan bersama.

a. Karakter adat kasambu kakadiu ( mandi )

 Mengikuti tradisi/ kebiasaan nenek moyang

 Menghargai yang lebih tua

 Dimandikan pada orang tua (imam)

 Mandi memakai santan kelapa sebagai pengganti sampo

 Anak yang membantu imam mengkunde akan mengigit kelapa

54
b. Kebiasaan adat kasambu kakadiu ( mandi )

 Pada saat tentangga berdatangan akan menyuapi kedua belah


pihak yaitu suami istri yang sedangkan melaksankan proses
kasambu

 Diberi hadiah berupa uang dan benda

 Melakuakan masak-masak untuk para tamu

c. Dampak kesehatan kasambu

Dapat kita ketauhhi bahwa kebiasaan juga dapat menimbulkan


dampak kesehatan yang tidak steri mungkin orang-orang awam tidak
akan mengetauhinya tanpa mereka ketauhi bahwa kasambu ini bisa
mendapatkan/ menimbulkan diare di karnakan dari kebiasaannya yaitu
dapat menimbulkan diare apabila yang berdatangan menyupai kedua
pihak yang melakukan kasambu. perlu kita ketauhi bahwa banyak
penyakit diare bahkan bukan cuma anak kecil saja bahkan orang dewasa
juga . dengan ini pemeriksaan juga bisa di lakukan

d. Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan feses dengan metode sedimentasi atau direct/langsung.

5. Adat Powele (Ewa Wuna)

Berbagai macam kesenian kesenian berkembang di kabupaten muna


diantaranya yaitu powele (Ewa Wuna) dan masih banyak lagi kesenian-
kesenian tradisional lainnya. Salah satu bentuk dari kesenian tradisional saat ini
menjadi ciri khas jati diri daerah yang ada di Kabupatem Muna yaitu silat
tradisional powele (Ewa Wuna) di Kecamatan Bone. Silat tradisional daerah
merupakan suatu perwujudan kebudayaan yang memiliki nilai-nilai luhur yang

55
patut dijunjung tinggi keberadaanya. Kesenian daerah berproses terus menuju
puncaknya yaitu Silat tradisional yang mengandung serta memancarkan nilai-
nilai luhur kepribadian bangsa indonesia, yang dalam hal ini merupakan nilai
yang kita banggakan yang sekaligus dikagumi dan dihormati oleh bangsa-
bangsa lain. Silat tradisional dapat diartikan sebagai hasil karya manusia yang
mengandung keindahan dan dapat diekpresikan melalui gerakan ataupun
ekspresi lainnya.

Silat tradisional daerah yang tumbuh dan berkembang di Kabupaten


Muna yaitu Silat tradisional powele (Ewa Wuna) yang dijadikan jati diri
Kabupaten Muna. Silat tradisional tersebut mempunyai daya tarik yang tinggi
dan bisa berfungsi sebagai media pendidikan tanpa menghilangkan nilai-nilai
budaya yang terkandung didalamnya. Dalam silat tradisional powele (Ewa
Wuna) sebenarnya memahami tentang berbagai nilai-nilai sosial budaya
setempat seperti nilai-nilai tentang kesetiakawanan, kesabaran, pandangan
hidup yang semua dapat dibentuk manusia yang tangguh dan mampu
melindungi yang lemah serta dapat menuntun masyakat sekitar dalam
kedamaian.

a. Kebiasaan

Kebiasaan masyarakat muna pada tradisi Powele (Ewa Wuna) di


lakukan pada upacra-upacara adat tertentu misalnya pernikahan, kasariga
dan untuk sebagai penghormata menyambut tamu-tamu penting.

b. Perilaku

Tradisional powele memahami tentang berbagai nilai-nilai sosial


budaya setempat seperti nilai-nilai tentang kesetiakawanan, kesabaran,
pandangan hidup yang semua dapat dibentuk manusia yang tangguh dan

56
mampu melindungi yang lemah serta dapat menuntun masyakat sekitar
dalam kedamaian.

c. Karakter

Baik, saling menghargai,menghormati menjaga perdamaian dan


melindungi yang lemah.

d. Masalah kesehatan

Pada adat tradisional powele (ewa wuna) proses belajarny atau


latihannya selama 7 minggu dan Di laksanakan pada setiap malam
berturut-turut sehingga para pesertanya letih dan kelelahan dan tidur
malamnya tidak cukup.

e. Dampak kesehatan

Dampak kesehatan pada peserta yang latihan atau belajar powele


(ewa wuna) akan mengalami anemia karen kurang istrahat dan setiap
malam tidak ceapt tidurdan yang berkaitan dengan TLM adalah dengan
melakukan pemeriksaan HB (hemoglobin).

F. Hubungan Kebudayaan Suku Buton dengan Kesehatan

1. Suku Buton

Suku Buton adalah suku bangsa yang menempati wilayah Sulawesi


Tenggara tepatnya di Kepulauan Buton. Suku Buton juga dapat di temui dengan
Jumlah yang Signifikan di Luar Sulawesi Tenggara Seperti di Maluku Utara,
Kalimantan Timur, Maluku, dan Papua. Seperti suku-suku di Sulawesi
kebanyakan, suku Buton juga merupakan suku pelaut. Orang-orang Buton sejak
lama merantau ke seluruh pelosok Nusantara dengan menggunakan perahu
berukuran kecil yang hanya dapat menampung lima orang, hingga perahu besar

57
yang dapat memuat barang sekitar 150 ton. Secara umum, orang Buton adalah
masyarakat yang mendiami wilayah kekuasaan Kesultanan Buton. Daerah-
daerah itu kini telah menjadi beberapa kabupaten dan kota di Sulawesi
Tenggara diantaranya Kota Baubau, Kabupaten Buton, Kabupaten Buton
Selatan, Kabupaten Buton Tengah, Kabupaten Buton Utara, Kabupaten
Wakatobi, Kabupaten Bombana, Kabupaten Muna, dan Kabupaten Muna Barat.
Selain merupakan masyarakat pelaut, masyarakat Buton juga sejak zaman dulu
sudah mengenal pertanian. Komoditas yang ditanam antara lain padi ladang,
jagung, singkong, ubi jalar, kapas, kelapa, sirih, nanas, pisang, dan segala
kebutuhan hidup mereka sehari-hari.

Orang Buton terkenal pula dengan peradabannya yang tinggi dan hingga
saat ini peninggalannya masih dapat dilihat di wilayah-wilayah Kesultanan
Buton, diantaranya Benteng Keraton Buton yang merupakan benteng terbesar di
dunia, Istana Malige yang merupakan rumah adat tradisional Buton yang berdiri
kokoh setinggi empat tingkat tanpa menggunakan sebatang paku pun, mata
uang Kesultanan Buton yang bernama Kampua, dan banyak lagi. Jika melihat
dari Sejarah Suku Buton dan asal usulnya dapat diketahui dengan
mengungkapkan lebih dahulu sejarah kedatangan Sipanjonga dan kawan-
kawannya, yang dikenal dalam sejarah wolio dengan nama Kesatuannya “Mia
Pata Mianan” yang artinya “empat orang” lebih jelasnya dimaksudkan dengan
empat pemuka yaitu Sipanjonga, Simalui, Sijawangkati dan Siuamanajo. Dan
dengan berpegang pada buku silsilah dari Raja-raja di Wolio, keempat orang
tersebut konon menurut riwayat berasal dari tanah Semenanjung Johor
(Malaysia) pulau Liya Melayu, di mana tibanya di Buton dapat diperkirakan
berkisar akhir abad ke 13 atau setidaknya pada awal abad ke 14. Perkiraan
tibanya Sipanjonga dan kawan-kawannya.

58
Adat suku Buton sangatlah banyak dan beragam, namun adat yang akan
dijelaskan dalam modul ini hanya 4 (empat) adat yaitu adat Poriwangaa, adat
upacara perkawinan (Kawi’a), adat Ritual Alo dan adat Ma’acia

2. Adat Poriwangaa

Poriwangaa merupakan adat yang dilakukan oleh masyarakat Buton


Utara. Poriwangaa dilakukan setiap tiga tahun sekali tepatnya 15 Bulan di
langit. Poriwangaa merupakan adat yang dijadikan sebagai salah satu ajang
pengharapan kepada pencipta. Begtu banyak makna dari adat ini diantaranya,
sebagai bentuk pengharapan agar kampung atau tempat tinggal masyarakat
dapat terhindar dari mara bahaya, selain itu agar msyarakat setempat dapat
selalu di beri kesehatan, rejeki, dan lain sebagainya. Selain itu, Poriwangaa
merupakan salah satu kegiatan adat istiadat yang mampu menyatukan
masyarakat untuk memperkuat silaturohim diantara masyarakat.
a. Kebiasaan
Pada pelaksanaan adat Poriwangaa biasanya pada pagi hari ibu-ibu
akan mulai mempersiapkan dulang/talang yang berisi makanan. Dulang
atau talang tersebut nantinya akan dibawah kesumur tua untuk dilakukan
acara do’a bersama. Ketika sore hari tiba, maka masyarakat akan
berkumpul di area sumur tua untuk melaksanakan ataupun menyaksikan
rangkaian kegiatan adat Poriwangaa. Biasanya pada sore hari sebelum
acara doa bersama dilaksanakan terlebih dahulu para orang tua baik laki-
laki ataupun perempuan akan melakukankegiatan seolah-olah saling
menyerang dengan menggunakan kris atau parang. Namun sebelumnya,
seorang laki-laki yang memegang parang dan tamengnya akan
mengelilingi sumur tua. Sambil kegiatan seolah saling menyerang
tersebut berlangsung, ibu-ibu akan berbondong-bondong membawah
dulang/talang yang berisi makanan di dekat sumur tua. Setelah kegiatan
seolah saling menyerang tersebut selesai maka akan dilanjutkan dengan

59
acara Haroa atau baca-baca di dekat sumur tua oleh tertua adat. Setelah
itu makanan-makanan tersebut akan di makan bersama didekata sumur
tua dan juga akan dibagi-bagikan kepada masyarakat yang telah dating
menghadiri kegiatan adat tersebut.
Pada Malam hari akan dilanjutkan dengan kegiatan tarian adat seperti
tari ngibi, tari lense dan juga manca. Setelah itu dilanjutkan dengan acara
malam seperti lulo. Selain itu pada malam hari ada 2 orang ibu-ibu yang
akan tidur didekat sumur untuk menjaga dulang/talang berisi sesajian
didekat sumur hingga pagi hari.
b. Perilaku
Pada kegiatan adat Poriwanga ini tentunya dapat memunculkan
perilaku baik dan buruk. Pada pelaksanaannya, biasanya setelah
masyarakat melakukan kegiatan adat seperti tarian ngibi, lense dan juga
manca msyarakat masih melanjutkan dengan acara hiburan malam seperti
molulu. Tentu kegiatan ini merupakan salah satu kebiasaanyang
seharusnya sudah tidak perlu dilaksanakan lagi karena kebiasaan ini dapat
memunculkan perilaku buruk seperti dapat mengakibatkan jatuhnya
korban jiwa, aktivitas minum-minuman beralkohol bahkan dapat
menimbulkan perkelahian dan lain sebagainya. Selain itu, kebiasaan ibu-
ibu menjaga dulang berisi sesajian di dekat sumur tua kemudian ibu-ibu
menjaga dulang tersebut hanya beralaskan tikar dan dibuatkan tenda-
tenda untuk tempat ibu-ibu menjaga dulang tersebut hal ini tentunya dapat
menimbulkan berbagai masalah khususnya lagi masalah kesehatan seperti
masuk angin, kelelahan, dan mungkin saja dapat menyebabkan anemia,
selain itu kegiatan ini tentunya salah satu kegiatan yang bertentangan
dengan agama.
c. Karakter
Dalam pelaksanaan kegiatan adat Poriwangaa dapat mempererat tali
silaturohim dan terjalinnya keakraban ditenga-tengah masyarakat.
d. Masalah Kesehatan

60
Masalah kesehatan yang dapat muncul dari pelaksanaan keiatan adat
ini yaitu dapat memicu terjadinya kelelahan karena banyaknya rangkaian
kegiatan fisik yang dilakukan oleh msyarakat, masuk angin dan
menurunnya kadar Hb oleh ibu-ibu yang menjaga dulang berisi sesajian
didekat sumur yang hanya berlaskan tikar dan dipasangkan tenda hingga
pagi hari. Selain itu dapat memicu peningkatan kolesterol karena aktivitas
makan-makan pada sore hari ketika dilakukan acara doa bersama.
e. Peran Ahli Teknologi Laboratorium Medik (ATLM)
Adapun peran ATLM pada kegiatan adat Poriwangaa ini yaitu ATLM
dapat melakukan pemeriksaan kolesterol untuk memantau kadar
kolesterol bagi ibu-ibu dan bapak-bapak yang mengikuti pelaksanaan
kegiatan adat Poriwangaa.

3. Adat Upacara Perkawinan (Kawi’a)

Kabupaten Buton Utara sampai saat ini masih masih mempertahankan


adat istiadatnya termaksud adatistiadat dalam perkawinan. Perkawinan di Buton
Utara memiliki tahapan tertentu yang harus dilalui dalam setiap tahapan
terhadap makna simbolik salah satu perilaku yang menarik dan unik dalam
sistem perkawinan di Buton Utara adalah Kebiasaan atau Adat yang
mengharuskan seseorang calon mempelai laki-laki untuk duduk semalam
(mompapoi’a) dirumah calon mempelai wanita sebelum dilaksanakannya
upacara perkawinan pada keesokan harinya.
Sementara sahnya perkawinan menurut adat perkawinan masyarakat
Buton Utara di samping harus memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan dalam
adat termaksud mahar perkawinan, juga harus berdasarkan hokum dalam agama
islam, karena aturan agama merupakan aturan yang paling hakiki yang harus di
laksanakan. Kondisi inilah yang menjadi dasar untuk mengkaji makna-makna
yang terkandung dalam symbol ritual perkawinan adat masyarakat Buton Utara.
Ada beberapa tahap perkawinan di Buton Utara antara lain :
1. Lumanci (Mengintip)
2. Mowawa Katangka

61
3. Lumako mo ia (pergi tinggal) Maksud dari kata pergi tinggal ini
adalah pengantin laki-laki yang akan tinggal di rumah pengantin
perempuan. Setelah calon peengantin laki-laki tiba dirumah calon
pengantin perempuan maka dia akan duduk bersila di atas tikar
berlapiskan kain putih. Tempat duduk calon pengantin laki-laki
disebut dengan totorokano ana. Totorokano ana ini dibentangkan
mengarah atau berhadapan langsung dengan kamar calon pengantin
perempuan. Di atas tikar tersebut itulah calon pengantin laki-laki
duduk bersila dari malam sejak dia memasuki rumah calon pengantin
wanita sampai pada pagi sekitar jam 2-3 subuh. Selama calon
pengantin laki-laki duduk dia tetap ditemani atau di dampingi oleh
seorang tokoh adat. Dihadapan calon pengantin laki-laki dimana dia
duduk, dinyalakan lampu kecil yang disebut dengan badamara yang
berbahan bakar minyak kelapa bersama dengan tempat sirih pinang
yang disebut dengan pempangana dan tempat rokok. Lampu
padamara yang dinyalakan ini tidak boleh padam hingga pada pagi
hari. Minyak kelapa yang digunakan pada lampu kecil, menurut ritual
adat di daerah ini bahwa sebelum adanya peralatan medis moderen
seperti sekarang ini,kelapa dianggap sebagai teman manusia dimana
pada saat lahir ari-ari yang di potong dibungkuskan sabut kelapa
secarah utuh yang disebut towuni. Ini mengandung makna bahwa kita
tidak boleh bersikap mengganggu, tetapi harus ulet dan terampil
mempertahankan kehidupan. Dipihak calon pengantin perempuan,
juga berlaku hal yang sama dimana calon pengantin perempuan juga
duduk bersila di atas tikar dengan peralatan yang sama dan yang ada
di hadapan calon pengantin laki-laki. Perbedaanya adalah calon
pengantin perempuan duduk di dalam kamar sedangkan calon
pengantin laki-laki duduknya di luar kamar. Makna dari calon
pengantin perempuan duduk bersila dikamarnya adalah bahwa dia

62
akan menunggu dan siap dijemput oleh calon suaminya. Adapun
makna duduk bersila secara berhadapan selama semalam itu adalah
untuk menguji kesabaran, ketaqwaan, keimanan, dan keuletan kedua
calon pengantin. Ujian ini dimaksudkan agar dalam menjalani
kehidupan mereka kelak, akan memiliki kesabaran, ketaqwan,
keimanan,serta keuletan yang cukup dalam menghadapi berbagai
tantangan dalam kehidupan. Duduk bersila sampai siang dengan keris
dipegang calon pengantin laki-laki bermakna bahwa dia siap
menghadapi segala kemungkinan atau bahaya dan siap untuk
membela calon istrinya. Duduk menghadap kekamar calon istrinya
bermakna agar ia bisa melihat dan mengetahui langsung semua gejala
dan kemungkinan gangguan yang dapat menimpa istrinya
dikemudian hari. Lampu kecil yang tidak boleh padam membawa arti
bahwa ada yang menerangi pengawasannya serta mendukung
keamanan dan ketertiban penjagaanya.semua situasi ini memberi
makna dan peringatan kepada kedua calon pengantin bahwa dideepan
mereka terletak sesuatu beban dimana mereka tidak bleh lengah dan
harus bertanggung jawab terutama calon pengantin laki-laki untuk
keselamatan jiwa kehidupan istri dan keturunannya. Dan pada saat
lumako moia ini di selenggarakan juga acara malam untuk kerabat-
kerabat atau tetangga yang datang seperti lulo, joget dan malaya.
4. Mebaho
5. Metanda
6. Moato
7. Membaso
8. Totoro kumawi
9. Toba dan pakawi

a. Kebiasaan
Disini kebiasaan baiknya adalah semua keluarga, kerabatan dan
tetangga akan berkumpul saling berbincang-bincang, dan molulo bersama

63
Dan kebiasaan buruknya adalah pada saat calon mempelai pria dan
wanita harus duduk bersilah dan tidak di perbolehkan berdiri dan tidur
sampai jam 2-3 subuh.
b. Perilaku
Di masa sekarang, Kawi’a (Perkawinan) adalah juga tradisi
mempererat tali silaturahmi antar keluarga, tetangga dan masyarakat. Juga
hubungan social agama
c. Karakter
Baik, menghargai lebih tua, membantu dan menjaga tali siraturahmi
d. Masalah Kesehatan
Pada upacara Kawi’a (Lumako Mo ia) calon mempelai laki-laki dan
perempuan tidak tidur dari jam 8 malam sampai subuh jam 2-3 sehingga
pempelai laki-laki dan perempuan akan mengalami letih dan kurang
istrahat.
e. Pemeriksaan TLM
Yang berkaitan dengan pemriksaan TLM adalah dengan melakukan
pemeriksaan Hb (Hemoglobin) karena kurang istrahat

4. Adat Ritual Alo

Menurut pandangan beberapa ahli antropologi, ritual merupakan salah


satu bentuk drama sosial yang menampilkan peran-peran simbolik. Melalui
drama sosial itu, berbagai segi kehidupan masyarakat dipertunjukkan untuk
ditanggapi bersama (Turner, 1987: 32-33). Secara spesifik di dalam ritual
peralihan atau the rites of passages terjadi proses pengolahan batin yang
menyebabkan manusia mampu keluar dari berbagai konflik akibat adanya
perubahan-perubahan yang dihadapi manusia dalam hidupnya (Turner, 1982:
94). Turner membagi proses itu dalam tiga tahapan, yakni tahap pemisahan atau
separation, tahap liminalitas, dan tahap pengintegrasian kembali
(reaggregation) (Turner, 1982: 94). Melalui ketiga tahapan itu terjadi proses
pembentukan diri atau formatif secara psikologis sehingga si subyek ritual
diteguhkan dan memiliki orientasi hidup yang baru.

64
Proses ketiga tahapan tersebut berlangsung sejak peristiwa kematian
hingga diselenggarakannya ritual alo, yaitu dimulai dari hari ketiga sesudah
kematian (tolu alono), hari ketujuh (picu alono), hari keempat puluh (pato
puluno) dan berakhir pada hari yang keseratus (ahacu alono) sebagai ritual
pelepasan atau penghabisan (polapasia atau kapolapasia).

1. Kebiasaan
Kebiasaan dalam pelaksanaan dalam kegiatan ritual alo ini
masyarakat di desa ini selalu mencari nafkah untuk pemenuhan kebutuhan
hidup sehari-hari seperti melaut, membuka lahan perkebunan, berburu,
pergi merantau dan sebagainya, selama masa perkabungan tidak
diperbolehkan karena mengandung ancaman-ancaman gaib.
Dalam masa perkabungan ini para kerabat melaksanakan beberapa
kegiatan, di antaranya mengkhatamkan al Quran (membacakan al Quran
30 juz) beberapa kali untuk melapangkan jalan (kabhembasano lala) bagi
roh tersebut menuju tempatnya yang abadi (surga). Mereka yang hadir
dalam kegiatan ini umumnya lancar dalam membaca al Quran, sebab
kesalahan dalam membaca diyakini berpengaruh terhadap perjalanan roh
tersebut. Dengan mengkhatamkan al Quran diharapkan roh anggota
keluarga mereka tersebut memperoleh kemudahan dalam perjalanannya
ke surga, berupa terhindar dari siksa kubur, diberatkan timbangan
amalnya, dan selamat ketika melewati “shirat“ (jembatan menuju surga).
2. Perilaku
Dalam pelaksanaan kegiatan ritual alo ini dapat menimbulkan
gangguan seperti teriakan, tawa, makian, dan tangisan
3. Karakter
Dalam pelaksanaan kegiatan Ritual Alo ini dapat menimbulkan rasa
kepedulian terhadap sesama, saling bekerja sama dan saling membantu
terhadap sesama , dan dapat menambah tali silaturrahim pada masyarakat
burangasi.
4. Masalah Kesehatan

65
Masalah kesehatan yang yang dapat muncul dari pelaksanaan
kegiatan ritual alo ini yaitu dapat memicu terjadinya karena banyak yang
rangakaina kegiatan fisik yang mereka laksanakan. Selain itu dapat
memicu penigkatan kolesterol karena aktifitas makan-makan pada
pelaksanaan ritual alo tersebut.
5. Peran Ahli Teknologi Laboratorium Medik (ATLM)
Adapun peran ATLM pada kegiatan ritual alo ini yaitu dapat
melakukan pemeriksaan kolesterol untuk memantau kadar kolesterol pada
masyarakat yang telah melaksanakan kegiatan tersebut.

5. Adat Ma’acia

Pesta adat Ma’acia ( pesta kampung) adalah salah satu momen untuk
mempererat tali silaturahmi antara sesama warga. Pesta adat ini juga untuk
menguatkan dan memperkenalkan budaya lokal Burangasi kepada generasi
muda sehingga memahami budaya leluhur. Pesta kampung Ma’Acia ini sudah
digelar puluhan tahun sejak adanya kampung Burangasi. Tujuannya adalah,
dalam pesta adat ini untuk memperkokoh kesatuan dan persatuan, mewujudkan
bentuk rasa bersukur kepada tuhan yang maha kuasa.
Dalam bahasa setempat, Ma’Acia ini berarti acara makan. Arti
meluasnya, nilainya membagi hasil panen, nilai mensyukuri rizki tuhan yang
maha esa. Untuk masuk musim tanam di tahun berikutnya, karena masuk
musim hujan merka berdoa, mensyukuri masa panen tahun ini.Meskipun
perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan semakin maju, namun adat
budaya Ma’acia ini akan tetap dipertahankan masyarakat Burangasi. Karena itu,
seluruh kegiatan budaya, seni dipekenalkan sejak dini kepada generasi muda
Burangasi. Hingga saat ini acara tradisi Ma’Acia telah menjadi acara wajib
yang selalu diadakan setiap tahunnya.
a. Kebiasaan
Pada acara Ma’acia para tokoh adat seperti Moji, Parabela, dan waci
mereka ini akan melakukan batanda (nyayian) selama satuh minggu

66
sebelum di lakukan pesta Ma’acia. Setelah itu para tokoh adat akan
berziarah dikubur memberikan makanan (sesajen) untuk para leluhur dan
para tokoh adat kembali dibaruga (rumah adat burangasi) untuk duduk
di tempat khusus yang di sediakan para tokoh adat itu sendiri. Setelah itu
talang (nampan/wadah makanan) yang telah diisi oleh beragam makanan
mulai dari hopa, ubi kayu, nasi, ikan, dan lauk pauk lainnya hingga buah-
buahan akan di berikan ke pada Moji untuk menceritakan sejarah ma’acia.
Kemudian moji akan memberikan makanan seperti hopa, ubi kayu kepada
kolaki begitupun parabela akan memberikan makan kepada kolaki.
Setelah itu moji akan membacakan doa adat dan melakukan batanda
(nyayian) disitu para tamu akan melakukan symbol kacucundua (kita
sudah sampai di burangasi ) Dan para tokoh adat akan melakukan tarian
adat yang dinamakan cungka dan tarian mangaru para tokoh ada ini akan
mengakiri acara di baruga ( rumah adat burangasi ) dan para tokoh untuk
turun di kampung untuk melaksanakan shalat zuhur setelah selesai
mereka ngibi ,tarian mangaru dari jam 02.00-03.00 di lanjutkan dengan
silat dari jam 04.00-06.00. kemudian acara ma’acia di katakana selesai.
b. Perilaku
Dalam kegiatan adat ini tentunya akan menimbulkan salah satu
perilaku yang seharusnya untuk tidak dilaksanakan lagi yaitu berziarah
dikubur memberikan makanan (sesajen) untuk para leluhur dan para
tokoh adat kembali dibaruga (rumah adat burangasi) untuk duduk di
tempat khusus yang di sediakan para tokoh adat itu sendiri. Kegiatan ini
merupakan salah satu kegiatan yang seharusnya untuk tidak dilaksanakan
karna bertentangan dengan agama
c. Karakter
Baik, saling menghargai dan menjaga tali siraturahmi
d. Masalah Kesehatan
Pada upacara Ma’acia di laksanakan para tokoh adat dan selama satu
minggu sehingga akan mengalami letih dan kelelahan serta pegal-pegal
karena seharian mengikuti acara tarian, serta anemia

67
e. Peran Ahli Teknologi Laboratorium Medik (ATLM)
Adapun peran ATLM pada kegiatan ma’acia yaitu dapat melakukan
pemeriksaan Hemoglobin (Hb) untuk memantau kadar Hb pada tokoh
adat yang telah melaksanakan kegiatan tersebut.

G. Hubungan Kebudayaan Suku Toraja dengan Kesehatan

1. Suku Toraja

Nama Toraja berasal dari bahasa Bugis, yaitu “to riaja” yang mempunyai
arti orang yang berdiam di negeri atas. Pada saat Indonesia dikuasai oleh
Belanda yaitu di tahun 1909, Kolonial Belanda menyebut suku ini Suku Toraja.
Suku ini terkenal dengan ritual pemakamannya, selain itu suku ini juga terkenal
dengan ukiran kayunya dan rumah adatnya yaitu tongkonan.

Sebelum abad ke 20, suku ini sama sekali belum tersentuh oleh dunia luar
dan masih menganut keyakinan animisme. Saat itu suku ini masih tinggal di
desa-desa otonom.Kedatangan Belanda di awal tahun 1900-an memiliki tujuan
untuk menyebarkan agama Kristen.Seiring berjalannya waktu suku ini semakin
terbuka terhadap dunia luar yaitu pada tahun 1970-an. Setelah itu Tana Toraja
menjadi lambang pariwisata Indonesia.Sejak tahun 1990-an masyarakat Toraja
mengalami transformasi budaya. Masyarakat Toraja yang tadinya menganut
keyakinan animisme sekarang sudah berganti menjadi masyarakat beragama
Kristen.

Masyarakat Toraja masih banyak yang menganut kepercayaan adat yang


disebut Aluk Todolo. Istilah tersebut berasal dari kata aluk yang berarti agama/
aturan dan todolo yang berarti nenek moyang. Jadi Aluk Todolo berarti
agama/aturan dari leluhur. Menurut penganutnya, agama tersebut diturunkan
oleh Puang Matua atau Sang Pencipta kepada leluhur pertama, yaitu Datu La
Ukku’. Kemudian, ajaran tersebut diturunkan kepada anak cucunya. Oleh

68
karena itu, manusia harus menyembah, memuja, dan memuliakan Puang Matua
atau Sang Pencipta. Wujudnya dapat dilihat dalam bentuk sikap hidup dan
ungkapan ritual, seperti sajian, persembahan, maupun upacara-upacara. Setelah
Puang Matua menurunkan Aluk kepada Datu La Ukku sebagai manusia
pertama, penjagaan dan pemeliharaan terhadap manusia diserahkan kepada para
Deata atau Dewa. Karena tugasnya tersebut, Deata disebut pula sebagai
Pemelihara.

Suku Toraja memiliki banyak sekali adat yang beragam, namun pada
modul ini yang akan dibahas hanya 5 (lima) adat yaitu adat Rambu Solo, adat
Ma’badong, adat Ma’nene, adat Sisemba, adat Pa’piong.

2. Adat Rambu Solo

Ini merupakan upacara adat kematian yang bertujuan untuk menghormati


dan menghantarkan arwah orang yang meninggal dunia. Di antar menuju alam
roh dimaknai dengan kembalinya ruh pada keabadian bersama para leluhur di
sebuah tempat peristirahatan. Upacara Rambu Solo terdiri dari beberapa
rangkaian ritual, diantaranya proses pembungkusan jenazah, pembubuhan
ornamen dari benang emas dan perak pada peti jenazah, penurunan jenazah
pada lumbung persemayaman serta proses pengusungan jenazah ketempat
peristirahatan terakhir. Adapun puncak acara biasanya di laksanakan di
lapangan khusus dengan diramaikan oleh beragam atraksi budaya diantaranya
adalah adu kerbau (Mapasilaga Tedong) yang nantinya akan disembelih untuk
kurban. Penyembelihan kerbau pun terbilang unik yakni leher kerbau ditebas
hanya dengan sekali tebasan. Kerbau yang disembelih adalah kerbau Bule
Tedong Bonga yang harga perekornya berkisar 10-50 juta.

 Hubungan dengan kesehatan

69
Dalam suku mamasa ada salah satu tradisi yang sudah turun-temurun
dilakukan dalam upacara pemakaman yaitu Rambu Solo. Rambu Solo Ini
merupakan upacara adat kematian yang bertujuan untuk menghormati dan
menghantarkan arwah orang yang meninggal dunia. Di antar menuju alam roh
dimaknai dengan kembalinya ruh pada keabadian bersama para leluhur di
sebuah tempat peristirahatan. Upacara Rambu Solo terdiri dari beberapa
rangkaian ritual, diantaranya proses pembungkusan jenazah, pembubuhan
ornamen dari benang emas dan perak pada peti jenazah, penurunan jenazah
pada lumbung persemayaman serta proses pengusungan jenazah ketempat
peristirahatan terakhir. Dalam rangkaian ritual yang telah dilakukan salah satu
yang berhubungan dengan kesehatan yaitu ritual pengusungan yang dimana
masyarakat berbondong-bondong untuk mengusung peti mayat yang akan
dikuburkan. Hal ini dapat memicu rasa sakit dan pegal-pegal pada seluruh
tubuh masyarakat yang mengusung terutama pada bagian bahu, tangan dan
kaki. Pada saat setelah dilakukan pengusungan maka di lanjutkan dengan
makan-makan daging kerbau dan babi. Untuk pemeriksaan TLM yang dapat
dilakukan yaitu pemeriksaan kolesterol.

3. Adat Ma’badong

Ma’badong satu tarian upacara asal dari Tana Toraja, Sulawesi Selatan.
Tarian Ma’badong ini diadakan pada upacara kematian yang dilakukan secara
berkelompok. Para penari (pa'badong) membentuk lingkaran dan saling
berpegangan tangan saling mengaitkan jari-jari kelingking dan umumnya
mereka berpakaian hitam-hitam. Ma'badong bukan hanya sekadar tarian,
melainkan sebuah kegiatan melagukan badong dengan gerak khas. Syair yang
dilagukan disebut kadong-badong. Isi dari syair tersebut tidak lain adalah
pengagungan terhadap si mati. Di dalamnya diceritakan asal-usul dari langit,
masa kanak-kanaknya, amal dan kebaikannya, serta semua hal menyangkut
dirinya yang dianggap terpuji. Selain itu, di dalamnya juga mengandung

70
harapan bahwa orang mati tersebut dengan segala kebaikannya akan
memberkati orang-orang yang masih hidup. Tarian Ma'badong ini kadang
menelan waktu berjam-jam, malah berlangsung sampai tiga hari tiga malam
sambung-menyambung di pelataran tempat upacara berduka. Selama proses
ma’badong, pa’badong terus menerus minum tuak (ballo), merokok dan minum
kopi.

 Kebiasaan : Tarian ini merupakan tarian pengagungan kepada si-mati.

 Karakter : Selalu menjaga silahturahmi anatarmasyarakat.

 Perilaku : ada yang baik ada pula yang buruk. Baik karena dengan adanya
adat ini, maka akan memperkuat silahturahmi dan rasa persaudaraan.
Buruk karena dalam adat ini, masyarakat (penari) akan membuang-buang
waktu dan dapat mengganggu kesehatan.

 Hubungannya dengan kesehatan :

a) Tarian dilakukan terlalu lama, pa’badong biasanya begadang dan itu


dapat menyebabkan gangguan kesehatan seperti badan pegal serta
kurang darah. Pemeriksaan yang dapat dilakukan TLM yaitu
pemeriksaan Hb.

b) Tarian dilakukan sambil minum tuak, ini dapat menyebabkan


pa’badong mabuk (hilang kesadaran) dan dapat menyebabkan
gangguan fungsi hati. Pemeriksaan dasar yang dapat dilakukan TLM
yaitu pemeriksaan SGOT dan SGPT.

c) Tarian dilakukan sambil merokok, yang dapat menyebabkan


gangguan pernapasan dan kekurangan hemoglobin. Pemeriksaan
yang dapat dilakukan oleh TLM yaitu pemeriksaan ASTO dan juga
pemeriksaan Hb.

71
4. Adat Ma’nene

Upacara penggantian baju jenazah pada suku toraja sendiri sering disebut
dengan Ma’Nene yang merupakan sebuah ritual atau kebiasaan dalam prosesi
pemakaman yang cukup unik dan terasa menyeramkan. Jadi, mayat yang telah
disemayamkan selama bertahun-tahun di sebuah tebing tinggi, kuburan batu,
maupun kuburan pantai akan diupacarakan kembali dengan menggantikan
semua pakaian dan juga mendandaninya seperti orang yang hidup.

Untuk tradisi ini pada zaman sekarang masih bisa dilihat di toraja dan
sudah tidak lagi adanya mayat berjalan seperti yang terjadi pada zaman
dahulu.Untuk yang sekarang tradisi tersebut hanya sebatas menggantikan baju
jenazah lalu menggerakkannya seperti orang yang sedang berjalan.

 Hubungan dengan Kesehatan

Ada begitu banyak adat yang ada di suku Toraja, dan salah satu adat dari
suku toraja yang berhubungan dengan kesehatan adalah Ma’Nene atau upacara
mengganti baju jenazah yang sudah lama dalam peti kubur. Tidak hanya
mengganti baju jenazah, orang toraja juga melakukan upacara ini untuk
berbicara kepada jenazah, yang mengartikan bahwa masyarakat toraja masih
menggangap bahwa jenazah masih hidup. Acara ini merupakan salah satu
bagian dari Rambu Solo yang pelaksanaannya dilakukan ketika satu wilayah
atau kampung menyetujui akan melaksanakan upacara tersebut. Ketika orang
toraja meninggal akan disuntikkan pengawet dalam hal ini formalin yang
bertujuan untuk mengawetkan jenazah. Ketika orang tojara meninggal, tidak
langsung akan dilakukan upacara Rambu Solo akan tetapi akan menunggu
keluarga siap dalam hal materi karena upacara Rambu Solo ini membutuhkan
dana yang banyak. Hubungan upacara ini dengan kesehatan yaitu ketika peti
kubur dibuka maka orang yang mengganti baju jenazah akan menghirup bau
dari formalin dan juga akan menghirup bakteri atau mikroorganisme lain yang

72
menempel paba baju dan badan dari jenazah tersebut sehingga akan
menyebabkan penyakit ISPA atau infeksi pada saluran pernapasan dan juga
dapat menyebabkan alergi. Untuk pemeriksaan di laboratorium yang dapat
dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan dahak, bahkan
digunakan X-ray atau CT scan untuk menilai kondisi paru-paru.

5. Adat Sisemba

Tradisi sisemba atau tradisi adu kaki dalam perayaan pesta panen bukan
hanya sekedar permainan adu kaki atau sebagai hiburan semata, tapi juga
diyakini dapat mengantisipasi gagal panen serta dapat meningkatkan hasil
pertanian pada tahun berikutnya. Tradisi adu kaki biasanya dimulai oleh
pertarungan antar kelompok yang terdiri dari anak-anak usia 10 hingga 15
tahun. Setelah mereka selesai dan menyingkir, para petarung remaja dan orang
dewasa mulai berkumpul dan mengambil alih arena permainan.

Peserta adu kaki ini selalu membludak karena memang dilakukan secara
massal namun hanya dilakukan oleh kaum pria. Permainannya pun lumayan
keras dan terlihat brutal sehingga resiko mengalami cedera cukup tinggi. Meski
demikian, kecelakaan yang serius jarang terjadi dalam permainan ini. Tentu
setiap orang yang ikut dalam permainan ini bisa saja mengalami cidera. Dari
yang sekedar terluka, patah tulang, hingga meninggal dunia.

 Hubungan dengan Kesehatan

a) Tentu setiap orang yang ikut dalam permainan ini bisa saja
mengalami cidera.Dari yang sekedar terluka, patah tulang, hingga
meninggal dunia. Bila hal tersebut menimpa seorang petarung, maka
dapat dilakukan pemeriksaan CT Scan.

b) Tradisi ini juga dapat menyebabkan petarung terinfeksi cacingan


dikarenakan daerah tempat pelaksaan tradisi ini berada di daerah

73
persawahan dan tanah berlumpur. Sehingga pemeriksaan yang tepat
untuk dilakukan yaitu identifikasi telur cacing dan sampel yang
digunakan yaitu feses.

6. Adat Pa’piong

Keragaman jenis makanan tradisional ini berhubungan erat dengan bahan


lokal, teknologi pengolahan bahan dan proses persiapan bahan maupun proses
memasak masakan tradisional. Salah satu jenis masakan tradisional adalah
Pa'piong. Masakan ini adalah masakan khas suku Toraja, salah satu suku di
Sulawesi tepatnya yang mendiami dataran tinggi di Sulawesi Selatan. Masakan
ini selalu disajikan dalam setiap upacara adat masyarakat Toraja. Pa’piong
berbahan dasar daging, sayur dan bumbu-bumbu yang dimasukkan kedalam
bumbung bambu dan kemudian dibakar. Sebagai salah satu kekayaan kuliner
Nusantara, Pa’piong haruslah dikenalkan seluas-luasnya, salah satu caranya
adalah dengan menambahkan menu ini di daftar menu rumah makan/restaurant
yang menyajikan masakan Nusantara, khas Sulawesi ataupun nantinya rumah
makan dengan masakan khas Toraja. Pada penelitian sebelumnya, didapati
bahwa pada proses memasak Pa’piong harus dilakukan oleh lebih dari 1 orang.
Semua proses memasak masih menggunakan cara konvensional dan
menggunakan kayu bakar sebagai bahan bakar.

 Hubungannya dengan Kesehatan

Asap dari proses pembakaran menimbulkan polusi udara dan iritasi mata
bagi user. Dalam pengamatan awal, didapati bahwa dalam proses memasak,
juru masak mengalami keletihan dan nyeri di bagian punggung. Proses
pengolahan dan pembakaran pa’piong termasuk dalam masakan dengan teknik
masak slow cooking yaitu membutuhkan waktu yang cukup lama (3-4 jam),
sehingga tidak jarang menimbulkan keletihan, apalagi jika akan disajikan di
rumah makan yang diolah setiap hari. Salah satu penyebabnya karena posisi

74
memasak pa’piong ini dilakukan dengan cara duduk jongkok. Menurut Gempur
(2013) posisi kerja tidak ergonomis dapat menimbulkan kelelahan, nyeri, dan
gangguan kesehatan lainnya. Dengan alasan kesehatan, duduk jongkok tidak
disarankan dalam melakukan pekerjaan, karena dapat mengakibatkan gangguan
kesehatan seperti nyeri otot, Low Back Pain (LBP), bahkan jika dilakukan
dalam waktu lama dapat menyebabkan kebungkukan (Wahyu, 2012). Sebagai
petugas Ahli Teknologi Laboratorium Medik (TLM) dapat dilakukan
pemeriksaan Hb (hemoglobin).

H. Hubungan Kebudayaan Suku Moronene dengan Kesehatan

1. Suku Moronene

Kabaena adalah satu pulau yang terletak dibagian selatan dari jazirah
Sulawesi Tenggara dengan luas lebih kurang 990 km 2. Pulau kabaena tersebut
terbagi menjadi 6 (enam) Kecamatan yakni, Kecamatan Kabaena, Kabaena
Timur, Kabaena Barat, Kabaena Utara, Kabaena Tengah dan Kabaena Selatan.
Pulau kabaena termasuk wilayah kabupaten bombana provinsi Sulawesi
Tenggara. Menurut legenda suku bangsa (sub-etnis) Moronene, penduduk asli
pulau tersebut, nama asli pulau kabaena adalah Pu’uvonua artinya pusat awal
permukiman suku moronene.

Suku Moronene adalah salah satu dari empat suku besar (suku Tolaki,
Buton, Muna) di Sulawesi Tenggara.

Menurut antropolog Universitas Haluoleo, Kendari, Sarlan Adi Jaya,


Moronene adalah suku asli pertama yang mendiami wilayah itu. Namun,
pamornya kalah dibanding suku Tolaki karena pada abad ke-18 kerajaan suku
Moronene-luas wilayahnya hampir 3.400 kilometer persegi-kalah dari kerajaan
suku Tolaki.

75
Kata "moro" dalam bahasa setempat berarti serupa, sedangkan "nene"
artinya pohon resam, sejenis paku yang biasanya hidup mengelompok. Kulit
batangnya bisa dijadikan tali, sedangkan daunnya adalah pembungkus kue
lemper. Resam hidup subur di daerah lembah atau pinggiran sungai yang
mengandung banyak air. Sebagai petani, peramu, dan pemburu, suku Moronene
memang hidup di kawasan sumber air. Mereka tergolong suku bangsa dari
rumpun Melayu Tua yang datang dari Hindia Belakang pada zaman prasejarah
atau zaman batu muda, kira-kira 2.000 tahun sebelum Masehi. sejarah tua
moronene kemudian terbentuk pemerintah Bombana yang kemudian memecah
menjadi tiga protektorat pemerintah; Kabaena, Poleang, Rumbia. Tidak
diketahui kapan tepatnya suku Moronene mulai menghuni kawasan Taman
Nasional Rawa Aopa Watumohai. Tetapi sebuah peta yang dibuat pemerintah
Belanda pada tahun 1820 sudah mencantumkan nama Kampung Hukaea, yakni
kampung terbesar orang Moronene, yang sekarang masuk dalam areal taman
nasional itu. Permukiman mereka tersebar di tujuh kecamatan, enam di
Kabupaten Buton dan satu di Kabupaten Kolaka. Di luar komunitas itu, orang
Moronene menyebar pula di beberapa tempat seperti Kabupaten Kendari karena
terjadinya migrasi akibat gangguan keamanan dari Darul Islam sekitar tahun
1952-1953.

Kampung Hukaea, Laea, dan Lampopala biasa disebut orang Moronene


sebagai Tobu Waworaha atau perkampungan tua bekas tempat tinggal para
leluhur. Orang-orang Moronene masih sering mengunjungi tobu untuk
membersihkan kuburan leluhur mereka ketika hari raya Idul Adha tiba-sebagian
warga Moronene beragama Islam. Belakangan, setelah beberapa kuburan digali
dan dipindahkan oleh orang tak dikenal, orang-orang Moronene bermukim
kembali di Hukaea-Laea. Di zaman administrasi pemerintah Belanda, Hukaea
termasuk distrik Rumbia, yang dipimpin seorang mokole (kepala distrik).
Rumbia membawahkan 11 tobu, tujuh di antaranya masuk dalam wilayah taman

76
nasional. Menurut Abdi, dari LSM Suluh Indonesia, jumlah orang Moronene di
Sulawesi Tenggara saat ini diperkirakan sekitar 50.000an, 0,5 persen di
antaranya tinggal dalam kawasan taman nasional.

2. Adat Me’antani

Me’antani adalah tradisi makan sirih masyarakat. Kabaena yang


merupakan warisan budaya tempo dulu. Konon budaya me’antani atau makan
sirih ini sudah ada lebih dari 3000 tahun yang lampau atau dizaman neolitik,
dan budaya me’antani dianut oleh berbagai Negara.

Tradisi ini tidak diketahui secara pasti dari mana berasal. Dari crita-cerita
sastra,dikatakan tradisi ini berasal dari india. Tetapi jika ditelusuri berdasarkan
bukti linguistic, kemungkinan besar tradisi makan sirih berasal dari Indonesia.
Pelaut terkenal Marco Polo menulis dalam catatannya diabad ke-13, bahwa
orang india suka mengunyah segumpal tembakau.sementara itu penjajah
terdahulu seperti Ibnu Batutah dan Vasco de Gama menyatakan bahwa
masyarakat timur memiliki kebiasaan me’antani.

Pada masyarakat kabaena pada abad ke 14, sirih pada mulanya bukan
untuk dimakan, tetapi sebagai persembahan kepada leluhur sewaktu mengobati
orang sakit. Beberapa helai daun sirih dan daun tembakau dihidangkan bersama
gambir dan pinang lalu dibacakan mantra-mantra agar pasien yang sedang sakit
dapat disembuhkan. Secara tradisionala, bila dilihat dari komposisi bahannya,
sirih berguna untuk membunuh kuman, antioksidan, dan anti jamur. Tak heran
banyak yang menganggap menyirih berguna untuk mencegah gigi rusak atau
keropos. Gambir berguna untuk mencegah bau mulut dan mencegah sariawan.
Sedangkan biji pinang digunakan dalam ramuan untuk mengobati sakit disentri,
diare berdarah, dan kudisan. Biji ini juga dimanfaatkan sebagai penghasil zat
pewarna merah dan bahan penyamak.

77
Pada abad ke 19 hingga awal abad 20 sudah menjadi kelaziman di
Kabaena sebelum pernikahan ada perlengkapan sirih dan pinang merupakan
suatu kewajiban dan harus ada bagi para tamu dan undangan yang hadir. Ini
merupakan waktu-waktu yang special untuk me’antani secara bersama-sama.
Begitu juga pada saat pernikahan tiba hal tersebut merupakan waktu-waktu
yang special untuk me’antani secara bersama-sama. Begitu juga pada saat
pernikahan tiba hal tersebut merupakan makanan wajb yang harus ada
disiapkan untuk para tamu. Sedangkan pada saat ini me’antani tidak begitu
dikenal dikalangan masyarakat muda kabaena, hanya orang-orang tualah yang
masih me’antani. Padahal selain dimakan atau disusur oleh rakyat kebanyakan ,
sirih juga dikenal sebagai symbol budaya dan menjadi bagian yang tak
terpisahkan dalam adat istiadat kabaena saat meminang seorang wanita, yang
disebut “Modio Ninyapi”.

Kebiasaan dari ini masyarakat dulu setiap selesai makan mereka akan
melakukan proses me’antani. Namun perilaku masyarakat dulu pada saat
melakukan proses me’antani ini adalah mereka akan membuang bekas
me’antani disembarang tempat sehingga akan berserakan dimana mana.

a. Manfaat adat Me’antani

Menyirih dipercaya baik untuk menjaga kesehatan gigi dan sistem


pencernaan. Ini karena mengunyah daun sirih dan biji pinang bisa
memicu produksi air liur. Air liur mengandung beragam jenis protein dan
mineral yang baik untuk menjaga kekuatan gigi serta mencegah penyakit
gusi. Selain itu, air liur juga senantiasa membersihkan gusi dan gusi dari
sisa-sisa makanan atau kotoran yang menempel. Bagi sistem pencernaan
Anda, air liur berfungsi untuk mengikat dan melembutkan makanan.
Dengan begitu, Anda bisa menelan dan mengirimkan makanan menuju
kerongkongan, usus, dan lambung dengan lancar. Hal ini tentu membantu

78
memudahkan kerja sistem pencernaan Anda.Selain itu, menyirih juga
diyakini sebagai sumber energi. Pasalnya, biji pinang mengandung zat
psikoaktif yang sangat mirip dengan nikotin, alkohol, dan kafein Tubuh
akan memproduksi hormon adrenalin. Anda pun jadi merasa lebih segar,
waspada, dan berenergi.

b. Bahaya adat Me’antani

Meskipun tradisi menyirih bisa memberikan manfaat, para ahli


kesehatan masyarakat mulai menyuarakan kekhawatiran terkait bahaya
menyirih. Dari laporan-laporan para peneliti, diketahui bahwa menyirih
ternyata berisiko menyebabkan berbagai penyakit yang tidak bisa
disepelekan, misalnya kanker. Berikut adalah penjelasan bahaya menyirih
bagi kesehatan.

 Kanker mulut

Dilansir dari situs resmi Badan Kesehatan Dunia (WHO), menyirih


berisiko tinggi menyebabkan kanker, terutama di daerah mulut.
Kesimpulan ini diperoleh berdasarkan penelitian yang dilakukan
International Agency for Research on Cancer di Asia Selatan dan Asia
Tenggara. Ternyata campuran daun sirih, biji pinang, kapur, dan tembakau
bersifat karsinogenik (memicu kanker). Jika dikonsumsi terlalu sering
dalam jangka waktu yang panjang, Anda rentan mengalami kanker mulut,
kanker esofagus (kerongkongan), kanker tenggorokan, kanker laring, dan
kanker pipi.

 Luka di rongga mulut

Mengunyah sirih pinang meningkatkan risiko Anda mengalami lesi


mukosa mulut, yaitu munculnya luka (lesi) di dalam rongga mulut. Luka
atau iritasi terbentuk karena campuran bahan-bahan menyirih sifatnya

79
sangat keras bagi mulut. Apalagi kalau menyirih sudah jadi kebiasaan
yang tidak bisa dihentikan. Efek buruknya pun jadi makin cepat timbul
dan sulit ditangani. Jika sudah cukup parah, kondisi ini menyebabkan
mulut terasa kaku dan pada akhirnya rahang Anda akan sulit digerakkan.
Hingga saat ini belum ada obat yang bisa menyembuhkan lesi mukosa
mulut. Pengobatan yang ditawarkan hanya mampu meringankan gejala
yang muncul.

 Gangguan pada janin

Belum banyak diketahui bahwa ibu hamil harus waspada terhadap


bahaya menyirih. Menyirih saat hamil berisiko menyebabkan perubahan
genetik pada DNA janin. Perubahan genetik akibat menyirih ini
membahayakan kandungan, seperti halnya merokok bisa mengakibatkan
kecacatan janin. Ibu hamil yang menyirih juga berisiko melahirkan bayi
dengan berat badan di bawah normal Oleh sebab itu, WHO dan para ahli
kesehatan masyarakat menghimbau agar ibu hamil tidak menyirih.

c. Pemeriksaan ATLM

Pemeriksaan yang dilakukan oleh seorang TLM adalah melakukan


pemeriksaan swab pada gigi karena daun sirih dan beberapa campuran di
dalamnya tidak higenis atau tidak dicuci terlebih dahulu sehingga ada
kemungkinan kontaminasi bakteri pada daun sirih dan bahan bahan
didalamnya yang menempel di gigi.

3. Adat Takabere & Merereaki

Merereaki & takabere adalah penomena dan pemandangan alam desa,


pada umumnya terdiri dari barisan bukit, gunung yang menjulang, hamparan
sawah bak permadani, aliran sungai dengan air yang jernih serta aktivitas pada
petani desa yang sibuk dengan mengelolah tanah mereka.

80
Fenomena seperti Kabaena merupakan bukti nyata yang menggambarkan
alam hunian yang menyenagkan. Dengan letak jauh dengan kota pemandangan
di kabaena ini memiliki udara yang sejuk dan tampak dingin. Pemandangan
alam yang menjadi daya tarikutama dan mendapat julukan “kampo da moico
hawano”.

Sisi lain kabaena di mana nenek moyangku, semua anak harus ke rumah
guru ngaji yang di sebut “juru” untuk belajar mengaji. Malu orang tua atau
pamanya kalau anak nya sudah besar tidak pandai mengaji.

Dalam tradisi merereaki & takabere ini yaitu semacam adat yang
menyelamatkan jantung ayam dan di lanjutkan pemandian yang dilaksanakan
oleh guru ngaji, dan di lanjutkan dengan khatam Al-Qur’an yang di sebut
dengan “takabere”.

a. Hubungan merereaki & takabere dengan kesehatan

Budaya merereaki & takabere ialah tradisi turun temurun suku


moronene/Kabaena. Adapun kaitanya dengan kesehatan yaitu warga
setempat mempercayai tradisi menelan hati ayam dapat meningkatkan
daya ingat dan hafalan Al-Qur’an bagi murid mengaji.

Sementara itu, hati ayam menyediakan kandungan Vitamin B12 yang


dapat meningkatkan kinerja otak dan membantu proses pembentukan
DNA dan sel darah merah. Vitamin B 12 dari hati ayam ini dapat
meningkatkan sistem kekebalan tubuh Anda untuk meminimalisir adanya
risiko penyakit alzheimer yang membuat penderitanya nampak seperti
amnesia.

b. Budaya memereaki & takabere

81
Budaya merereaki & takabere adalah turun temurun suku
moronene/Kabaena , tiap kampung di kabaena banyak musholah atau
semacam surau tempat belajar anak-anak mengaji. Di Kabaena sendiri
ada tokoh yang sangat di kagumi, Beliau KH Daud beliaulah pembawa
dan menyebarkan islam di kabaena. Dan kampung di daratan kabaena
terdiri rurau-surau tempat anak-anak belajar mengaji.

Mushollah atau di rumah juru anak anak akan memulai belajar


mengaji dan melaksanakan “merereaiki” biasanya yang melakukan
mereraiki ini hanyalah anak-anak yang masih mengaji di Iqra dan Tajwid.
Pelaksanaan merereaki ada beberapa tahap yang di mana tahap pertama
yaitu guru mengaji akan menyiram para muritnya di sungai ataupun air
sumur dan di sertai doa doa, tahap ke dua yaitu tahap yang di nanti nanti
yaitu lomba menelan hati ayam setelah selesai akan di lanjutkan dengan
Khotam al-Quran bagi murid yang akan menyelesaikan mengajinya yang
di sebut “Takabere” sebagai tahap terakhir.

4. Adat Monahu Mina

Monahu Mina atau masak minyak adalalah kegiatan membuat minyak


dari bahan baku daging kelapa. Di Kabaena, kegiatan ini merupakan rutinitas
masyarakat disana.

Cara pembuatan minyak kelapa yang baik dapat meningkatkan dan


menjaga kualitas dan kuantitas minyak yang dihasilkan. Minyak kelapa dapat
diekstrak dari daging buah kelapa. Mengekstrak minyak dari daging buah
kelapa merupakan teknik pembuatan tradisional yang masih sering
dipergunakan karena mudah dilakukan serta tidak memerlukan banyak biaya.
Namun masih terdapat kelemahan pada tekhnik tersebut yaitu rendahnya
rendaman yang dihasilkan.

82
Proses pembuatan minyak ini terdiri dari beberapa tahap yaitu pertama
daging kelapa yang masih utuh diparut kemudian kelapa yang telah diparut
tersebut ditambahkan air sedikit dan dikucak menggunakan tangan. Kemudian
tahap selanjutnya adalah Mololisa. Pada tahap ini kelapa yang telah
ditambahkan air tadi dikumpul kemudian ditutupi menggunakan kain bersih
yang kemudian dijepit menggunakan alat yang dibuat dari kayu yang disebut
lolisa. Pada tahap ini memerlukan beberapa orang untuk menduduki kayu
(lolisa) tersebut agar santan hasil perasannya banyak. Setelah itu, semua santan
tadi dimasukkan kedalam tempat atau kuali besar untuk selanjutnya dimasak
hingga menjadi minyak.

Pembuatan minyak kelapa yang dilakukan masyarakat kabaena masih


tergolong sangat sederhana dan kurang efisien, sehingga hasil minyak yang
diperoleh menjadi tidak maksimal. Kondisi buah kelapa yang digunakan dan
teknik pembuatan minyak kelapa yang dipakai sangat menentukan rendaman
minyak kelapa yang dihasilkan.

a. Kebiasaan

Masyarakat kabaena selalu melakukan kegiatan ini sebagai mata


pencaharian mereka. Kelapa yang telah diproses menjadi minyak tersebut
kemudian dijual dipasar.

b. Perilaku

Hubungan kekerabatan pada suku moronene terlihat sangat kuat.


Dimana ketika ada salah satu masyarakat yang melakukan kegiatan ini
maka masyarakat lain turut membantu dan saling menolong.

c. Karakter

83
Baik, saling menghargai satu sama lain, membantu dan menjaga tali
silaturahmi.

d. Masalah kesehatan

Pada kegiatan ini biasanya dilakukan dari pagi hingga sore hari,
tergantung banyaknya kelapa yang akan dijadikan minyak. Kegiatan ini
membutuhkan proses yang lama karna harus melalui beberapa tahap dan
menggunakan alat tradisional yang terbuat dari kayu yang telah dirancang
sedemkian rupa. Mulai dari pemilihan kelapa, mengupas kelapa, memarut
kelapa, proses pembuatan nya hingga menjadi minyak siap pakai.
Dampak kesehatan yang ditimbulkan dari proses kegiatan ini adalah
masyarakat akan merasa kelelahan, nyeri pinggang serta pegal-pegal
akibat terlalu lama duduk diatas alat yang digunakan tersebut. Apabila
rasa sakit yang dirasakan masih tergolong ringan, penangananya bisa
dilakukan dengan cara beristirahat yang cukup. Namun, jika keluhan
badan pegal dan nyeri otot yang dirasakan tidak hilang meski sudah
istrahat yang cukup, maka dianjurkan untuk segera melakukan
pemeriksaan kedokter agar mendapatkan penanganan yang tepat. Dan
untuk pemeriksaan yang dilakukan TLM yaitu pemeriksaan Hb.

5. Adat Montunu Peahua

Montunu peahua adalah membakar rokok dilakukan dengan cara, setelah


meminta izin untuk dipertemukan antara laki-laki dan perempuan, maka tina
ntolea (juru bicara adat perempuan) akan keluar dari kamar calon mempelai
perempuan dengan membawa sebungkus rokok dan korek dalam sebuah piring
putih dengan membimbing mempelai perempuan menemui calon mempelai
laki-laki.

84
Dalam penuturannya, Ketua Adat Kabaena Bapak Abdul Madjid Ege
mengatakan:

“Montunu peahua itu sebenarnya tidak ada. Pada zaman dahulu yang ada
moantani, moantani itu artinya menyambut kehadiran calon mempelai lakilaki,
umpanya saya hadir dengan rombongan dirumahnya perempuan yang saya mau
nikahi bersama dengan tolea datang duduk kemudian calon isteri saya dengan
satu perempuan tua ini dia antar untuk datang kasih saya makan sirih. Tetapi
karena sekarang sudah tidak ada lagi orang yang makan sirih maka diganti
dengan rokok sebenarnya zaman dulu itu moantani namanya, moantani sampora
artinya dia sambut/sambutan adat.”

Maksud dari penuturan diatas bahwasanya pada zaman dahulu apabila


seorang calon mempelai laki-laki bersama rombongan tiba di rumah calon
mempelai perempuan maka, calon mempelai perempuan bersama tina ntolea
(perempuan tua) menyambut kedatangan calon mempelai laki-laki yang dalam
bahasa suku moronene yaitu moantani. Calon mempelai perempuan memberi
makan sirih calon mempelai laki-laki. Akan tetapi di zaman sekarang sudah
tidak ada lagi orang yang makan sirih sehingga dalam musyawarah adat diganti
dengan rokok, dengan ini disebut montunu peahua (membakar rokok). Calon
mempelai perempuan menyuguhkan rokok kepada calon mempelai laki-laki.

a. Perilaku Mengenai Adat perkawinan Montunu Peahua

Tiba dihadapan calon mempelai kali-laki, lalu calon mempelai


perempuan mengambil sebatang rokok dan memberikan kepada calon
mempelai laki-laki untuk diisap setelah itu mempelai perempuan
menyulutkan api untuk rokok tersebut. Jika rokoknya sudah dihisap,
maka laki-laki akan gantian memberikan sesuatu kepada perempuan
sebagai imbalan dari laki-laki kepada calon mempelai perempuan
(pesanto’a).

85
b. Karakter Mengenai Adat Perkawinan Montunu Peahua

Secara filosofis, membakar rokok berarti pertemuan antara


perempuan dan laki-laki untuk pertama kalinya. Hal ini dilakukan karena
pada zaman dahulu, ketika seorang laki-laki menginginkan perempuan,
seorang laki-laki tidak diperkenankan bertemu dengan perempuan
tersebut. Adalah sebuah aib jika perempuan dan laki-laki bertemu apa lagi
berduaan. Hal ini adalah sebuah pelanggaran adat. Setelah calon
mempelai perempuan menyuguhkan rokok kepada calon mempelai laki-
laki, selanjutnya tina ntolea (juru bicara adat perempuan) juga akan
menyerahkan inantani kepada tolea sebagai ucapan terima kasih kepada
tolea yang mau berusaha pahityah mengantarkan calon mempelai laki-laki
dan rombongan ke rumah calonu mempelai perempuan.

Jika acara membakar rokok telah selesai, selanjutnya tolea meminta


izin kepada syara dan tuan rumah serta seluruh hadirin agar calon
mempelai laki-laki diperkenankan pindah tempat duduk karena acara
penyerahan benda adat akan segera dimulai. Disetiap perbuatan yang
hendak dilakukan tolea senantiasa di awali dengan izin tuan rumah dan
pemuka adat serta undangan lainnya yang ia sampaikan melalui perantara
potulu/moderator.

c. Hubungan Adat Perkawinan Montunu Peahua dengan Kesehatan

Setiap batang rokok yang dinyalakan akan mengeluarkan lebih 4000


bahan kimia beracun dan boleh membawa maut. Dengan ini setiap
sedutan itu menyerupai satu sedutan maut. Diantara kandungan asap
rokok termasuklah bahan radioaktif (apolonium–201) dan bahan-bahan
yang digunakan didalam cat (acetone), pencuci lantai (ammonia), ubat
gegat (naphthalene) racun serangga (DDT) racun anai-anai (arsenic), gas
beracun (hydrogen cyanide) yang digunakan dikamar gas maut bagi

86
pesalah yang menjalani hukuman mati, dan banyak lagi. Bagaimanapun,
racun paling penting adalah tar, nikotin dan karbon monoksida.

Apabila racun itu memasuki tubuh manusia atau hewan, kiranya akan
membawa kerusakan pada setiap organ disepanjang laluannya, yaitu
bermula dari hidung, mulut, tekak, saluran pernafasan, paru-paru saluran
penghazaman, saluran darah, jantung, organ pembiakan,sehinggalah ke
saluran kencing dan pundi kencing, yaitu apabila sebahagian dari racun-
racun itu dikeluarkan dari badan.

Penyakit akibat merokok menurut antara lain : Penyakit jantung dan


stroke Kanker paru Kanker mulut (maksudnya kerusakan gigi dan
penyakit gusi), Osteoporosis Katarak Psortasis (yaitu proses inflamasi
kulit tidak menular yang terasa gatal dan meninggalkan garutan merah
pada seluruh tubuh), Kerontokan rambut (disebabkan lupus erimatosus).

I. Hubungan Kebudayaan Suku Jawa dengan Kesehatan

1. Suku Jawa

Suku Jawa (Jawa ngoko: wong Jowo, krama: tiyang Jawi) merupakan
suku bangsa terbesar di Indonesia yang berasal dari Jawa Tengah, Jawa Timur,
dan Yogyakarta. Setidaknya 41,7% penduduk Indonesia merupakan etnis Jawa.
Selain di ketiga propinsi tersebut, suku Jawa banyak bermukim di Lampung,
Banten, Jakarta, dan Sumatera Utara. Di Jawa Barat mereka banyak ditemukan
di Kabupaten Indramayu dan Cirebon. Suku Jawa juga memiliki sub-suku,
seperti Osing dan Tengger.

Kebudayaan dan adat istiadat Suku Jawa di Jawa Timur bagian barat
menerima banyak pengaruh dari Jawa Tengahan, sehingga kawasan ini dikenal
sebagai Mataraman; menunjukkan bahwa kawasan tersebut dulunya merupakan
daerah kekuasaan Kesultanan Mataram. Daerah tersebut meliputi eks-

87
Karesidenan Madiun (Madiun, Ngawi, Magetan, Ponorogo, Pacitan), eks-
Karesidenan Kediri (Kediri, Tulungagung, Blitar, Trenggalek, Nganjuk), dan
sebagian Bojonegoro. Seperti halnya di Jawa Tengah, wayang kulit, dan
ketoprak cukup populer di kawasan ini.

Kawasan pesisir barat Jawa Timur banyak dipengaruhi oleh kebudayaan


Islam. Kawasan ini mencakup wilayah Tuban, Lamongan, dan Gresik. Dahulu
pesisir utara Jawa Timur merupakan daerah masuknya, dan pusat
perkembangan agama Islam. Lima dari sembilan anggota walisongo
dimakamkan di kawasan ini.Di kawasan eks-Karesidenan Surabaya (termasuk
Sidoarjo, Mojokerto, dan Jombang), dan eks-Karesidenan Malang, memiliki
sedikit pengaruh budaya Mataraman, mengingat kawasan ini merupakan
kawasan arek (sebutan untuk keturunan Kenarok) terutama di daerah Malang
yang membuat daerah ini sulit terpengaruhi oleh budaya Mataraman.

Kesenian : Reog, Kuda Lumping, Ludruk, Tari Remo, Parikan, Tari


Bedhaya, Tari Srimpi, Tari Pethilan, Tari Golek, Tari Bondan, Tari Topeng, Tari
Dolalak, Patolan atau Prisenanbarongan, Kuda kepang, Wayang krucil,
Kuntulan, Lengger calung, dan Tari.

2. Adat Seni Reog Ponorogo

Reog adalah salah satu kesenian budaya yang berasal dari Jawa Timur
bagian barat-laut dan Ponorogo dianggap sebagai kota asal Reog yang
sebenarnya. Gerbang kota Ponorogo dihiasi oleh sosok warok dan gemblak, dua
sosok yang ikut tampil pada saat reog dipertunjukkan. Reog adalah salah satu
budaya daerah di Indonesia yang masih sangat kental dengan hal-hal yang
berbau mistik dan ilmu kebatinan yang kuat.

Dalam pertunjukan Reog ditampilkan topeng berbentuk kepala singa yang


dikenal sebagai "Singa barong", raja hutan, yang menjadi simbol untuk

88
Kertabhumi, dan diatasnya ditancapkan bulu-bulu merak hingga menyerupai
kipas raksasa yang menyimbolkan pengaruh kuat para rekan Cinanya yang
mengatur dari atas segala gerak-geriknya. Jatilan, yang diperankan oleh
kelompok penari gemblak yang menunggangi kuda-kudaan menjadi simbol
kekuatan pasukan Kerajaan Majapahit yang menjadi perbandingan kontras
dengan kekuatan warok, yang berada dibalik topeng badut merah yang menjadi
simbol untuk Ki Ageng Kutu, sendirian dan menopang berat topeng
singabarong yang mencapai lebih dari 50 kg hanya dengan menggunakan
giginya. Kepopuleran Reog Ki Ageng Kutu akhirnya menyebabkan Bhre
Kertabhumi mengambil tindakan dan menyerang perguruannya, pemberontakan
oleh warok dengan cepat diatasi, dan perguruan dilarang untuk melanjutkan
pengajaran akan warok. Namun murid-murid Ki Ageng kutu tetap
melanjutkannya secara diam-diam. Walaupun begitu, kesenian Reognya sendiri
masih diperbolehkan untuk dipentaskan karena sudah menjadi pertunjukan
populer di antara masyarakat, namun jalan ceritanya memiliki alur baru di mana
ditambahkan karakter-karakter dari cerita rakyat Ponorogo yaitu Kelono
Sewandono, Dewi Songgolangit, dan Sri Genthayu.

a. Kebiasaan

Seni Reog Ponorogo terdiridari beberapa rangkaian 2 sampai 3 tarian


pembukaan. Tarian pertama biasanyadibawakan oleh 6-8 pria gagah
berani dengan pakaian serba hitam, dengan mukadipoles warna merah.
Para penari ini menggambarkan sosok singa yang pemberani. Berikutnya
adalah tarian yang dibawakan oleh 6-8 gadis yang menaikikuda.
Berikutnya adalah tarian yang dibawakan oleh 6-8 gadis yang
menaikikuda:

b. Perilaku

89
Pada reog tradisional, penari ini biasanya diperankan oleh penari
laki-lakiyang berpakaian wanita.Tarian ini dinamakan tari jaran
kepangatau jathilan,yang harus dibedakan dengan seni tari lain yaitu
tarikuda lumping.Tarian pembukaan lainnya jika ada biasanya berupa
tarian oleh anak kecil yangmembawakan adegan lucu yang disebut
Bujang Ganong atau Ganongan.

c. Karakter

Dalam pelaksaan Reog Ponorogo dapat mempererat tali silaturohim


dan terjalinnya keakraban ditengah-tengah masyarakat.

d. Masalah Kesehatan

Masalah kesehatan yang dapat muncul dari pelaksanaan keigatan adat


ini yaitu dapat memicu terjadinya kelelahan, luka robekan, memar dan
lebam, dan masuk angin. Sedangkan kepala harimau (caplokan), terbuat
dari kerangka kayu, bambu, rotan ditutup dengan kulit harimau gembong
sebagai topeng diduga pemain bergantian dalam pemakaian topeng
sehingah dapat dilakukan penularan berupa virus dan bakteri dengan
udarah yang sangat terbatas dapat menyebabkan kekurangan hb dan
pernafasan sesak

e. Peran Ahli Teknologi Laboratorium Medik (ATLM)

Adapun peran ATLM pada pemain Reog Ponorogo adalah


pemeriksaan Hb, Bakteri, Parasit Dan Hematologi

3. Adat Seni Kuda Lumping

Kuda Lumping adalah seni tari yang dimainkan dengan menaiki kuda
tiruan yang terbuat dari anyaman bambu (kepang). Dalam memainkan seni ini
biasanya juga diiringi dengan musik khusus yang sederhana karena hanya

90
permainan rakyat, yaitu dengan gong, kenong, kendang dan slompret (alat
musik tradisional).

Selain sebagai media perlawanan, seni Kuda Lumping juga dipakai oleh
para ulama sebagai media dakwah, karena kesenian Kuda Lumping merupakan
suatu kesenian yang murah dan cukup digemari oleh semua kalangan
masyarakat, seperti halnya Sunan Kalijogo yang menyebarkan Islam atau
dakwahnya lewat kesenian Wayang Kulit dan Dandang Gulo, beliau dan para
ulama jawa juga menyebarkan dakwahnya melalui kesenian-kesenian lain yang
salah satunya adalah seni kuda lumping.

Bukti bahwa kesenian ini adalah kesenian yang mempunyai sifat dakwah
adalah dapat dilihat dari isi cerita yang ditunjukan oleh karakter para tokoh
yang ada dalam tarian Kuda Lumping, tokoh-tokoh itu antara lain para prajurit
berkuda, Barongan dan Celengan. Dalam kisahnya para tokoh tersebut masing-
masing mempunyai sifat dan karakter yang berbeda, simbul Kuda
menggambarkan suatu sifat keperkasaan yang penuh semangat, pantang
menyerah, berani dan selalu siap dalam kondisi serta keadaan apapun, simbol
kuda disini dibuat dari anyaman bambu, anyaman bambu ini memiliki makna,
dalam kehidupan manusia ada kalannya sedih, susah dan senang, seperti halnya
dengan anyaman bambu kadang diselipkan ke atas kadang diselipkan ke bawah,
kadang ke kanan juga ke kiri, semua sudah ditakdirkan oleh Yang Kuasa,
tinggal manusia mampu atau tidak menjalani takdir kehidupan yang telah
digariskanNya, Barongan dengan raut muka yang menyeramkan, matanya
membelalak bengis dan buas, hidungnya besar, gigi besar bertaring serta gaya
gerakan tari yang seolah-olah menggambarkan bahwa dia adalah sosok yang
sangat berkuasa dan mempunyai sifat adigang, adigung, adiguno yaitu sifat
semaunnya sendiri, tidak kenal sopan santun dan angkuh, simbul Celengan atau
Babi hutan dengan gayanya yang sludar-sludur lari kesana kemari dan
memakan dengan rakus apa saja yang ada dihadapanya tanpa peduli bahwa

91
makanan itu milik atau hak siapa, yang penting ia kenyang dan merasa puas,
seniman kuda lumping mengisyaratkan bahwa orang yang rakus diibaratkan
seperti Celeng atau Babi hutan.

a. Kebiasaan

Pada pelaksaan seni kuda lumping biasanya para pemain dan anggota
dari kuda lumping akan melakukan persiapan dari pembuatan tenda,
bahan yang akan digunakan dan sampai persiapan pada saat pementasan
yang lakukan secara gotong royong bersama para anggota sanggarnya.
Biasanya persiapan dilakukan dimulai dari H – 1. Dan kebiasaan lainya
adalah semua anggota sanggar sebelum penampilan di mulai mereka akan
berdoa terlebih dahulu agar semua proses perjalan penampilan berjalan
secara lancar.

b. Perilaku

Pada pelaksaan seni kuda lumping biasanya terdapat perilaku yang


baik dan buruk pada saat penampilan seni kuda lumping. Prilaku baik
yang di tumbulkan pada saat seni kuda lumping yaitu akan semakin
baiknya tali persaudaraan atau silahtuhrahmi antara para pemain dan
anggota sanggar lainnya dan semakin antara masyarakat dengan para
anggota sanggar tari seni kuda lumping juga. Sedangkan prilaku buruk
yang di timbulkan pada seni kuda lumping ini yaitu munculnya asumsi
yang tidak terhadap para anggota seni kuda lumping, yang biasa
munculnya itu asumsi masyarakat yaitu anggapan bahwa para anggota
seni kuda lumping yang memuja roh atau arwah untuk setiap penampilan
seni kuda lumping. Dan dampak buruknya lagi para anggota sanggar seni
kuda lumping pasti akan merasakan kelelahan, masuk angin, memar –
memar pada bagian tubuh yang terkena cambuk pada saat penampilan dan
luka robekan pada bagian tubuhnya.

92
c. Karakter

Dalam pelaksaan seni kuda Lumping dapat mempererat tali


silaturohim dan terjalinnya keakraban ditenga-tengah masyarakat dan
para anggota seni kuda lumping.

d. Masalah Kesehatan

Masalah kesehatan yang dapat muncul dari pelaksanaan keigatan adat


ini yaitu dapat memicu terjadinya kelelahan, luka robekan, memar dan
lebam, dan masuk angin dan menurunnya kadar Hb oleh para pemain
seni kuda lumping itu. Selain itu dapat membuat diare karna para pemain
seni kuda lumping memakan sesajian yang di sediakan.

e. Peran Ahli Teknologi Laboratorium Medik (ATLM)

Adapun peran ATLM pada kegiatan seni kuda lumping ini yaitu
ATLM dapat melakukan pemeriksaan Hb, Bakteri dan Parasit pada para
pemain seni kuda lumping.

J. Hubungan Kebudayaan Suku Gorontalo dengan Kesehatan

1. Suku Gorontalo

Gorontalo merupakan penghuni asli bagian Utara Pulau Sulawesi,


tepatnya di Provinsi Gorontalo, provinsi ke-32 Indonesia, yang pada tahun 2000
memekarkan diri dari Provinsi Sulawesi Utara. Jumlah etnis masyarakat
Gorontalo diperkirakan lebih dari 1 juta jiwa atau merupakan penduduk
mayoritas (90%) di tanah Gorontalo. Sementara, sejumlah etnis lainnya yang
merupakan minoritas adalah Suku Suwawa, Suku Bone, Suku Atingola, dan
Suku Mongondow. Beberapa anggapan berkembang mengenai etimologi kata
Gorontalo. Masyarakat Gorontalo berbicara dalam bahasa Gorontalo. Selain
bahasa Gorontalo, terdapat juga beberapa bahasa lain, yang sering dianggap

93
sebagai dialek bahasa Gorontalo, yakni bahasa Suwawa dan bahasa Atinggola.
Bahasa Gorontalo sendiri sekarang banyak mengalami asimilasi dengan bahasa
Manado (Melayu Manado) yang juga banyak diadopsi dalam keseharian
masyarakat Gorontalo. Kota Gorontalo dan wilayah sekitarnya dihuni oleh
beragam suku, yaitu Suku Gorontalo, Suku Bugis, Suku Polahi, Suku Jawa,
Suku Makassar, Suku Bali, Suku Mongondow, Suku Minahasa, dan Tionghoa.
Perkembangan kehidupan masyarakat secara umum juga membawa dampak
yang cukup besar dalam masyarakat Gorontalo. Ada beberapa gaya hidup yang
berubah kearah lebih modern. Kemajuan jaman ternyata tidak membuat
Gorontalo melupakan adat istiadat yang diwariskan oleh para leluhur. Banyak
masyarakat Gorontalo yang masih mempertahankan adat istiadat dan
kebudayaan tersebut.

2. Adat Dayango

Dayango adalah salah satu bentuk diantara beberapa ragam budaya


animisme di Gorontalo. Ritual ini, sejenis upacara memanggil roh-roh arwah
nenek moyang untuk dijadikan mediator penyembuhan dan kesejahteraan alam
semesta yang dilakukan dengan gerakan-gerakan dan teriakan, dipercaya
sebagai ritual yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu, sebelum pengaruh islam
dan kristen masuk di Gorontalo. Berdasarkan penelitian tradisi kuno masyarakat
gorontalo semakin terpinggirkan seiring dengan perkembangan zaman. Pelaku
dan prosesi dayango saat ini hanya bisa dijumpai di desa-desan pinggiran yang
berada di kabupaten Gorontalo.

a. Kebiasaan dan Karakter

Pelaksanaan ritual budaya dayango meliputi persiapan yaitu


menyiapkan alat dan bahan seperti beling dan bara api, benda-benda
tajam yang akan ritual terdiri dari, pemimpin dayango menyalakan dupa

94
dan mengucapkan mantra-mantra. Dengan menggunakan pucuk pinang
sang dukun bangkit dengan gerakan-gerakan :

1) Menggetarkan seluruh badan (posisi penari mengelilingi pasien)

2) Menggetarkan seluruh persendian tubuh (posisi penari tidak


beraturan)

3) Gerakan melompat-lompat dengan ujung kaki

4) Para dukun kemudian kemudian memasuki arena bara api,


sebagian dukun memamerkan kemahiran bermain dan
berdemonstrass dengan benda-benda tajam diatas bara api
kurang lebih satu jam kemudian acara ditutup dengan serentak
menghentikan gerakan tari.

b. Masalah Kesehatan

Karena pada tradisi ini pelaku dayango diharuskan untuk menari-nari


yang berhebihan dalam waktu yang tidak sebentar maka bisa jadi akan
berakibat pada tulang dan persendian, pelaku dayango juga melakukan
gerakan berjalan diatas bara api yang dapat mengakibatkan luka bakar
dan infeksi.

c. Solusi Masalah kesehatan

Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk tulang dan persendian yang


paling umum dilakukan Dual Energy X-ray Absorptiometry (DEXA)
menggunakan mesin pemindai sinar x khusus yang bisa mengukur
kepadatan tulang dan untuk pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk luka
bakar yaitu pemeriksaan Hb, leukosit, hematokrit dan elektrolit.

K. Hubungan Kebudayaan Suku Wawonii dengan Kesehatan

95
1. Suku Wawonii

Suku Wawonii merupakan salah satu kelompok social suku bangsa yang
berdiam di wilayah Kabupatek Konawe Kepulauan, Provinsi Sulawesi
Tenggara. Wawonii dalam bahasa Wawonii terdiri dari dua suku kata “wawo”
artinya atas atau tempat yang dianggap tinggi. Dan “nii” yang artinya kelapa.
Jadi Wawonii artinya adalah “atas kelapa”

Beberapa pendapat menyatakan bahwa suku Wawonii merupakan


pecahan dari orang-orang suku Tolaki, sedangkan para ahli bahasa menyatakan
bahwa mereka memiliki bahasa tersendiri yang juga disebut dengan nama
bahasa Wawonii atau bahasa Kalisusu, tetapi sumber lain mengemukakan
bahwa bahasa tersebut merupakan salah satu dialek dari bahasa Tolaki.

Suku Wawonii disebutkan berasaln dari dataran Sulawesi Tenggara


atau lebih tepatnya berada di Kampung Lasolo dan Soropia (Torete) serta
dataran Buton Utara yang berada di Kampung Kalisusu. Tidak banyak sumber
yang menyebutkan sejak kapan masyarakat suku Wawonii mulai menempati
pulau tersebut. Yang jelas, mereka merupakan penduduk asli di Pulau Wawonii
dan merupakan salah satu suku bangsa tersendiri, yang memiliki adat istiadat
serta kebudayaan yang berbeda dari suku-suku bangsa lainnya yang ada di
Nusantara.

2. Adat Mepupuri

Suku Wawonii memiliki adat-istiadat, kebudayaan, perilaku serta


kebiasaan diantaranya kolungko, mebasa-basa, mepupuri, merarangi, mewola,
mepihi, metewi dan masih banyak lagi. Dalam tulisan kali ini akan membahas
tentang mepupuri.

Mepupuri adalah kebiasaan yang dilakukan masyarakat Wawonii.


Kebiasaan ini dilakukan ketika terdapat adan yang sedang sakit, dilakukan

96
dengan cara ditiup-tiup sambil dibacakan mantra dan diberi minum air mentah
yang dibacakan doa-doa. Sampai sekarang ini kebiasaan ini dipercaya dapat
memberikan kesembuhan terhadap anak yang sakit tersebut. Namun ketika kita
melihat dari sisi kesehatan, kebiasan ini tidak dapat lagi dilakukan karena
meminum air mentah bisa saja dapat menimbulkan diare, bagi analis kesehatan
dapat memeriksanakan feses anak tersebut maupun memeriksa air yang
diminum anak tersebut. Masalah kesehatan lainnya yaitu, misalnya orang yang
meniup-niup anak tersebut memiliki penyakit Tuberkulosis (TBC), anak yang
awalnya tidak menderita TBC tetapi kemudian tertular karena penyakit TBC
sangat mudah menyebar lewat udara.

L. Hubungan Kebudayaan Suku Bali dengan Kesehatan

1. Adat Ogoh-ogoh

Ogoh-ogoh memiliki arti bagi masyarakat Hindu salah satunya sebagai


manifestasi simbol-simbol kejahatan bagi umat Hindu. Simbol manifestasinya
berupa bhuta dan kala yaitu setan, jin roh jahat dan sebangsanya dibuat
menyerupai boneka raksasa sesuai tatwa kanda empat, sangat inpresif dan
menakjubkan dalam paduan panca warna : merah, putih, hitam, kuning dan
poleng. “Ogoh-ogoh” dibakar (pralina) agar unsur-unsur panca maha bhuta
(api, air, tanah, udara dan cahaya) kembali ke asalnya. Secara simbolik upacara
itu menggambarkan dunia kembali berada dalam keseimbangan sinergi hidup
dan kehidupan di alam semesta. Ini menarik bagi peneliti, “ogoh-ogoh” banyak
memunculkan makna atas simbol-simbol yang tertuang dari kearifan lokal
Upacara adat “ogoh-ogoh” menjalang Hari Raya Nyepi. “Ogoh-ogoh” pada
awalnya dikenal pada upacara pitra yadnya, sebagai simbolisasi sang kalika
yang mengantar roh ke asalnya dengan membawa persembahan berupa babi
guling, lalu marak digunakan untuk menyambut hari raya Nyepi. Penyucian
dalam Upacara Adat “Ogoh-ogoh” ini bertujuan agar para bhuta kala agar bisa

97
menyatu dengan sang hyang tunggal (Sang Hyang Widhi Wasa) . Masyarakat
propinsi Bali yang mayoritas memeluk agama Hindu mengenal tiga kerangka
dasar falsafah hidup, yaitu tatwa (filsafat), etika (susila), dan upakara (ritual).
Tatwa adalah ajaran agama yang berisi filsafat menurut pandangan agama
Hindu. Etika (susila) adalah aturan-aturan atau kewajiban-kewajiban yang patut
dilaksanakan dalam interaksi manusia dengan lingkungannya, sosial, maupun
dengan penciptanya (Tuhan Yang Maha Esa), sedangkan upakara (ritual) adalah
wujud nyata dalam bentuk pengalaman dari pelaksanaan Tatwa dan Etika.
Ketiga hal tersebut dalam pelaksanaannya haruslah saling berkaitan dan tidak
boleh dipisah-pisahkan.

Ogoh-ogoh di buktikan sebuah penciptaan budaya seni dengan makna


penghapusan hal-hal negatif dengan simbol bhutakala berkembang menjadi
bagian dari prosesi ritual keagaman hari besar Saka yang berlambangkan suci
atau kembali kepada kesucian dari hal-hal yang negatif. Bahkan di kalangan
masyarakat hindu “ogoh-ogoh” memiliki makna tersendiri bagi individu satu
sama lain. Saat ini siklus makna tersebut berubah mengedepankan kreativias
seni para pemuda dan pemudi banjar, namun tetap menjadi bagian hari besar
Saka

a. Kebiasaan Acara Ogoh-ogoh

Acara pengerupukan ogoh-ogoh biasanya dilakukan sehari sebelum


hari raya nyepi, dengan kebiasaan membawa ogoh-ogoh mengelilingi
desa dengan tujuan perputaran waktu menuju ke pergantian tahun baru
caka.

b. Perilaku

Ritual pengerupukan ini dilakukan untuk mempererat hubungan


antara desa satu dengan desa yang lainnya.

98
c. Hubungan Masalah Kesehatan Pada Upacara Ogoh-ogoh

Pada tradisi ini ada adegan sembur-sembur api yang dapat


menyebabkan luka bakar pada orang yang melakukan adengan itu. Solusi
pemeriksaan yang di lakukan oleh TLM di laboratorium yaitu
pemeriksaan Hb, hematokrit dan elektrolit.

99
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kebudayaan Indonesia adalah kebudayaan bersama yang dimiliki oleh


bangsaIndonesia yang merupakan puncak tertinggi dari kebudayaan-kebudayaan
daerah. Kebudayaan nasional sendiri memiliki banyak bentuk karena pada daasarnya
berasal dari jenis dan corak yang beraneka ragam, namun hal itu bukanlah menjadi
masalah karena dengan hal itulah bangsa kita memiliki karakteristik tersendiri. Untuk
memelihara dan menjaga eksisitensi kebudayaan bangsa kita, kita bisa melakukan
banyak hal seperti mengadakan lomba-lomba dan seminar-seminar yang bernafaskan
kebudayaan nasional sehigga akan terjagalah kebudayaan kita dari keterpurukan
karenapersaingan dengan budaya luar. Dan dalam menyikapi keberagaman yang ada
kita harus bisa bercermin pada inti kebudayaan kita yang beragam itu karena pada
dasarnya segalanya bertolak pada ideologi pancasila. Untuk menghadapi dampak
negatif keberagaman budaya tentu perlu dikembangkan berbagai sikap dan paham
yang dapat menikis kesalahpahaman dan membangun benteng saling pengertian.

Sebagai seorang petugas kesehatan, lebih tepatnya Ahli Teknologi


Laboratorium Medik (ATLM), selain dari melestarikan adat dan budaya yang ada,
kita juga harus terampil dalam melihat dampak budaya atau adat tersebut terhadap
kesehatan kita, baik itu dampak positif maupun dampak negatif. Dalam mengikuti era
globalisasi ini, telah banyak pemeriksaan-pemeriksaan yang sudah dikembangkan
untuk menilai apakah adat atau budaya yang kita lestarikan ini masih cocok kita
selenggarakan di masa ini atau tidak.

100
B. Saran

Diharapkan kepada pembaca ataupun rekan sejawat Ahli Teknologi


Laboratorium Medik (ATLM) agar lebih mengerti mengenai hubungan dari adat atau
budaya dari berbagai macam suku di Kendari dengan kesehatan tubuh kita dan juga
semoga modul ini dapat menjadi referensi untuk penelitian selanjutnya.

101
DAFTAR PUSTAKA

Alo Liliweri, M.S. 2003. Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta:


Pustaka Pelajar.

Anonim. 2018. 13 Alasan Bawah Sadar Menentukan Kesuksesan Seseorang.


https://dosenpsikologi.com/alasan-bawah-sadar-menentukan-kesuksesan. Diak-
ses pada 17 September 2019.

Anwar D. Etika Kebidanan dan Hukum Kesehatan. Jakarta: Buku Kedokteran

Arianto, Bakri. 2011. Makalah Budaya Toraja. https://www.academia.edu/5349904/


MAKALAH BUDAYA TORAJA.

Ash-Shidiq, Hasbi. 1971. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam.


Jakarta: Bulan Bintang.

Asram Muzharath, K. 2002. Sejarah Kerajaan Makassar. Makassar: Bulan Bintang.

Batoa, La dkk. 1991. Sejarah Kerajaan Muna. Raha: Astri.

Bauto, La Ode Monto. 2014. Analisis Nilai-Nilai Pendidikan Sosial Budaya dan
Religi dalam Tradisi Budaya Katoba sebagai Pengembangan Bahan
Pembelajaran IPS-SD. [Disertasi]. Bandung: UPI.

Bigalke, Terance. 2005. Tana Toraja: A Social History of an Indonesian People.


Singapore: KITLV Press. ISBN 9971-69-318-6.

Bungin, Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan


Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana.

Couveur, J. 2001. Sejarah Dan Kebudayaan Kerajaan Muna. Artha Wacana Pres.

Couvreur. 2001. Sejarah dan Kebudayaan Masyarakat Muna. Kupang : Artha


Wacana Press.

102
Dalimaan, A. 2012. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.

Dinas Kebudayaan. Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kabupaten Bombana. Risalah


Adat Perkawinan Suku Moronene Tokotua.

H. Ahmad Sihabudin. 2011. Komunikasi Antarbudaya. Jakarta: PT Bumi Aksara:

Havilland,William A. 1985. Antropologi Jilid 2 (Editor: Herman Sinaga Terjemahan


oleh: R. G. Soekadijo). Jakarta: Erlangga.

Hadikusuma, Hilman. 1990. Hukum Perkawinan Indonesia, Menurut Perundangan,


Hukum Adat, Hukum Agama. Bandung: Mandar Maju.

Hananto. Akhyari. 2015. Suku Mamasa, Kerabat Toraja.


https://www.goodnewsfromindonesia.id/2015/07/29/suku-mamasa-kerabat-
toraja/. Diakses tanggal 17 September 2019.

Rahman, Abdul. 1978. Kedudukan Hukum Adat Dalam Rangka Pembangunan


Nasional. Bandung: Alimi.

Ibranur, Aspiar. 2001. Kebudayaan Kerajaan Muna. Yogyakarta: Indie Book Corner.

Ichan, Ahmad et.al. 1986. Hukum Perkawinan Bagi yang Beragama Islam, Suatu
Tinjauan dari Ulasan Secara Sosiologi Hukum. Jakarta: Pradya Paramitha.
Jakarta.

Kamri, Ahmad. 1997 Budaya Siri’ Bugis-Makassar Pembunuhan dan Pencemaran


Nama Baik Orang Lain. Masters thesis, PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS DIPONEGORO

Koentjaraningrat. 1980. Sejarah Teori Antropologi. Jakarta: UI Press Jilid I.

103
Koentjaraningrat. 1993. Kebudayaan dan Agama (cetakan kedua). Yogyakarta:
Kanisius.

Koentjraningrat. 1999. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Jambatan


Artono.

Magara, Irma. 2010. Nilai-Nilai Pendidikan dalam Tuturan Katoba pada Masyarakat
Mawasangka. [Skripsi]. Kendari: FKIP UHO.

Mustafa Abdullah. 1985. Struktur Bahasa Cia-Cia. Proyek Penelitian Bahasa dan
Sastra Indonesia dan Daerah Sulawesi Selatan. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.

Nanang. 2012. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Ngelow, Zakaria J. (Summer 2004). Traditional Culture, Christianity and


Globalization in Indonesia: The Case of Torajan Christians (PDF). Inter-
Religio.

Niampe, La. 2008. Tuturan Tentang Katoba dalam Tradisi Lisan Muna. Deskripsi
Nilai dan Fungsi [Makalah]. Disajikan dalam Seminar Internasional Lisan VI
Wakatobi. Kendari: UHO.

Rahman A, Bakri, et.al. 1987. Hukum Perkawinan Menurut Islam Undang- Undang
Perkawinan dan Hukum Perdata (BW) Jakarta.

Rambe. 1996. Adat Perkawinan Moronene dalam Upaya Melestarikan Kebudayaan


Suku Moronene. Kendari.

Rotua Tresna Nurhayati Manurung. 2009. Upacara Kematian di Tana Toraja: Rambu
Solo. Universitas Sumatera Utara.

Rukyah, Wainulu. 2016. Makna Interaksi Simbolik pada Proses Upacara Adat Buton
di Samarinda. Skripsi Universitas Mulawarman. Fakultas Ilmu Komunikasi

104
Said, Abdul Azis. 2004. Simbolisme Unsur Visual Rumah Tradisional Toraja Dan
Perubahan Aplikasinya Pada Desain Modern. Yogyakarta: Ombak.

Sarmadan. 2014. Upacara Katoba pada Masyarakat Muna (Analisis Struktural,


Nilai-Nilai Kultural, dan Pemanfaatannya dalam Pembelajaran Apresiasi
Sastra Lama di Sekolah Menengah Atas. [Tesis]. Bandung: UPI.

Silahi, Ulber. 2012. Antropologi Budaya. Yogyakarta: Ombak.

Spradley, James. 1997. Metode Etnografi Cetakan I. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana.

Suriara. 2013. Analisis Nilai-Nilai Budaya Karia dan Implikasinya dalam Layanan
Bimbingan dan Konseling. Makassar: UNM

Sutton, R. Anderson. 1995. Performing Arts and Cultural Politics in South Sulawesi.
Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. 151 (4): 672–699.

Turner, Victor. 1967. The Forest of Symbols Aspecs of Ndembu Ritual. London:
Cornell Paperback. Cornell University Press.

Turner, Victor. 1982. The Forest of Symbols, Aspects of Ndembu Ritual. Ithaca and
London. Sixth Printing: Cornell University Press.

Undang-undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan


Kompilasi Hukum Islam, Cetakan Ke-1. Grahamedia Press 2014.

Volkman, Toby Alice. 1990. Visions and Revisions: Toraja Culture and the Tourist
Gaze. American Ethnologist. 17 (1): 91–110.
doi:10.1525/ae.1990.17.1.02a00060

Volkman, Toby Alice. 1984. Great Performances: Toraja Cultural Identity in the
1970. American Ethnologist. 11 (1): 152. doi:10.1525/ae.1984.11.1.02a00090.
Diakses tanggal 17 September 2019.

105
Wignjodipoero, Soerojo. 1984. Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat. Jakarta:
Gunung Agung, Cetakan Ke-VII.

Winangun, Wartaya. 1990. Masyarakat Bebas Struktur, Liminalitas dan Komunitas


Menurut Turner. Yogyakarta: Kanisius

Yang, Heriyanto. 2005. The History and Legal Position of Confucianism in


Postindependence Indonesia (PDF). Marburg Journal of Religion.

Yunus, Abdul Rahim. 1995. Posisi Tasawuf dalam Sistem Kesultanan Buton pada
Abad ke-19. Jakarta: INIS.

106

Anda mungkin juga menyukai