Anda di halaman 1dari 100

AZKIA

JURNAL AKTUALISASI PENDIDIKAN ISLAM


Vol. 5, No. 1. Juli 2010

Penanggung Jawab A. Samad


Ketua Koordinator 1 Rekonstruksi Konsep Pendidikan Menghadapi Era
Ketua Pengarah Pasar Bebas
Drs. Nurdin Manyak, M.Ag Abd. Wahid
Ketua Penyunting 1 7 Kontribusi STIT PTI. Al-Hilal dalam Meningkatkan
Drs. H.A. Hamid Mahmud Kualitas Pendidikan di Aceh
Sekretaris Penyunting Armia
Nufiar Syamsuddin, M.Ag 29 Kepemimpinan Kepala Sekolah dalam Implementasi
Dewan Penyunting Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah pada
MTSN Sigli Kabupaten Pidie
Prof. DR. Warul Walidin AK, MA
Jailani M. Yunus, M.Ag Masbur
Penyunting Ahli 45 Potret Pendidikan Islam Di Aceh dalam Lintasan
Prof. Dr. Jamaluddin Idris, M.Ed Sejarah
Drs. Rusdin Pohan, M.Pd
Ramli Abdullah
55 Implementasi Kemampuan Mengajar dalam Upaya
Tata Usaha Peningkatan Hasil Belajar
Drs. Chairuddin Abdullah
Sulaiman
Staf 66 Metodologi Pengajaran Menurut Perspektif Filosofis
Drs. Hasanuddin Konservatif dan Liberal
Drs. Armia Thalib Syahbuddin
83 ‫داب ا ُْ   اص وا ل
ا‬
Sirkulasi :  !‫ا‬
Drs. H.M. Juned Basyah, M.Pd #‫ وة ا‬%‫وا‬
Alamat Redaksi Yusri M. Daud
STIT PTI. Al-Hilal Sigli 91 Urgensi Pendidikan Islam dalam Pemberdayaan
Jl. Lingkar Keunire Kec. Pidie Sosial
Kab. Pidie, Telp. 0653-23467
 
REKONSTRUKSI KONSEP PENDIDIKAN
MENGHADAPI ERA PASAR BEBAS

A. Samad
STAI Al-Washliyah
Lam Ara, Rukoh Kota Banda Aceh
Email: abdulsamad@yahoo.com

ABSTRACT
This paper is intended to provide more complete description of why a
policy should be taken after considering various variables that are being
developed. Area of education policy is an important discourse of education in
a country. Education policy is crucial construction and direction of human
development in Indonesia. Education policy is not formulated in a single
process, but it is determined by a variety of important variables, especially if
education policy is to focus on efforts to anticipate the development
aspirations of the community. In the era of free markets currently, education
policy must reflect the demands of modernization and re-contextualization,
so that education policy is relevant to the aspirations of the community,
economic development, and growth or the demands of globalization

Kata Kunci: Rekonstruksi, Pendidikan, Ekonomi

Pendahuluan
Belakangan ini muncul perdebatan menarik tentang praktik pen-
didikan. Perdebatan itu mencakup pertanyaan-pertanyaan pokok dalam
penyelenggaraan pendidikan. Di antara pertanyaan itu adalah kemana arah
kebijakan pendidikan kita akan ditujukan? Dimanakah peran dan relevansi
pendidikan dengan pembangunan ekonomi? Apakah kebijakan pendidikan
yang selama ini diambil telah mempertimbangkan tuntutan perubahan yang
disebabkan oleh globalisasi ekonomi? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu
banyak menghantui masyarakat. Tulisan ini ingin memberikan gambaran
yang lebih utuh mengapa sebuah kebijakan harus diambil setelah
memperhatikan berbagai variabel yang sedang berkembang. Di antara
variabel penting untuk dicermati adalah perkembangan proses modernisasi
yang amat dinamis, seiring dengan itu juga munculnya hegemoni kapitalisme
global di dalam kehidupan masyarakat yang membawa konsekuensi inter-
koneksi kebijakan dengan beragam perkembangan aspirasi di dunia
internasional.
Ada kepentingan yang cukup besar untuk membangun suatu arah
kebijakan pendidikan ketika banyak variasi dan analisa kebijakan pendidikan
yang dilansir sebagai antisipasi kebutuhan yang berkembang di tengah

Jurnal Azkia Vol. 5, No. 1, Juli 2010 1


masyarakat. Urgensi ini menjadi krusial ketika para pembuat kebijakan
pendidikan lokal juga terlibat dalam proses penentuan kebijakan untuk
memenuhi kepentingan umum. Kepentingan membangun arah pendidikan
yang lebih terang menjadi semakin signifikan ketika tuntutan kontem-
porerisasi kebijakan pendidikan bertemu dengan perubahan situasi
internasional. Hal tersebut sebagai akibat dari proses modernisasi dan
globalisasi ekonomi. Apa yang terjadi di Barat atau Utara selalu menjadi
rujukan dan referensi pertimbangan politik pendidikan baik bagi para
penguasa di tingkat pusat maupun para otoritas pengambil kebijakan di
tingkat lokal. Pertanyaan yang dapat dikemukakan adalah apakah ada
penjelasan yang lebih mendasar tentang pola perubahan kehidupan
masyarakat, kondisi politik, dan ekonomi terhadap proses penyusunan
kebijakan pendidikan serta kebijakan sosial? Apakah ada penjelasan yang
lebih memadai tentang ideologi apa dan bagaimana solusi yang ditawarkan
dalam proses penentuan kebijakan pendidikan bagi masyarakat yang
berubah secara dinamis?
Masalah pokok kita kemudian adalah bagaimana merumuskan
kebijakan pendidikan yang memperhatikan tuntutan perubahan? Apakah
kebijakan pendidikan yang selama ini diambil telah mampu memoderni-
sasikan praktik penyelenggaraan pendidikan, sehingga pendidikan lebih
kontekstual dan mempunyai daya adaptasi yang memadai menghadapi
globalisasi? Pilihan-pilihan solusi apa saja yang tersedia dan dapat diambil
oleh aparat penentu kebijakan agar praktik pendidikan lebih kontekstual,
bergayut dengan aspirasi masyarakat?

Modernisasi dan Globalisasi Ekonomi


Di dalam diskursus modernisasi pendidikan belakangan ini, terdapat
pertanyaan penting yakni bagaimana globalisasi bisa menjelaskan peran
pendidikan nasional suatu negara di dalam mendorong perkembangan
ekonomi? Sementara globalisasi ekonomi meniscayakan perubahan-per-
ubahan pengaturan (regulasi) yang harus memenuhi ‘syarat-syarat’ per-
janjian internasional dan dorongan kuat untuk memenuhi kesejahteraan
sosial.
Kita dapat menyaksikan di beberapa negara seperti Kolumbia, Chili,
Portugal, Jepang, Thailand, di mana para pejabat pemerintahan negara atau
bahkan kekuatan yang berkuasa memiliki otoritas untuk memerintah telah
mengalami penurunan kemampuan untuk dapat mengendalikan atau
mengawasi aktivitas korporasi multinasional (MNC) yang selalu memelihara
pencapaian tujuan ekonomi mereka. Akibatnya, apa yang disebut oleh Brown
dan Lauder (1996) sebagai hilangnya ‘Keyneysian Capacity’, yakni sebuah
kemampuan untuk memperoleh dan kemampuan untuk menentukan
kebebasan dalam menyusun serta membuat kebijakan.
Namun demikian, yang terpenting bukanlah mitos hilangnya
kekuasaan dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial dan pendidikan,
akan tetapi bagaimana meningkatkan kapasitas proses penentuan kebijakan
pendidikan dan sosial yang dapat memberikan solusi pada perkembangan
kebutuhan masyarakat. Globalisasi sendiri memaksa setiap pemerintahan

2 A. Samad: Rekonstruksi Konsep Pendidikan Menghadapi Era Pasar Bebas


negara meningkatkan kapasitasnya masing-masing agar para pengambil
kebijakan politik negara dapat memahami apa yang sedang menjadi tuntutan
arus perubahan. Dalam proses globalisasi, kapasitas suatu negara berbeda-
beda. Apalagi jika kita memperhatikan dilema yang muncul dan dihadapi oleh
setiap negara. Sebagai konsekuensi logis dari kesepakatan regional dan
internasional yang kemudian memaksa perubahan status negara menjadi
‘mendunia’. Itulah sebabnya dalam banyak kasus kesepakatan untuk
merumuskan politik pendidikan mendorong terbentuknya persekutuan-
persekutuan baru berdasarkan pertimbangan kapasitas dan kemampuan
yang dimiliki oleh setiap negara.
Jika kita memperhatikan dengan seksama perkembangan ekonomi
Barat, terdapat perubahan-perubahan dalam ruang lingkup aktivitas
kehidupan nasional mereka. Yang paling nyata adalah telah berkembang
kebijakan deregulasi dan privatisasi sebagai alat proses modernisasi suatu
negara dalam bentuk pengaturan-pengaturan baru berbagai aktivitas kehi-
dupan sosial. Aturan semacam ini, sesungguhnya mendeskripsikan ikatan
kerjasama antara pemerintahan negara dengan para pengusaha dan para
pekerja. Salah satu kunci perubahan itu terletak dalam apa yang disebut oleh
Brown dan Lauder (1996) sebagai ‘Fordist’ yakni pengembangan fungsi
pemerintahan negara sebagai sebuah ‘pedagang strategis’, yang kemudian
membentuk pengembangan arah ekonomi nasional melalui investasi dalam
sektor ekonomi kunci dan investasi dalam pengembangan modal manusia.
Dalam konteks ini, kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat
(khususnya pekerja) sangat tergantung pada kemampuan dan keahlian
dalam melakukan perdagangan, apalagi ada tekanan-tekanan yang cukup
kuat dari globalisasi. Oleh karena itu, penyusunan aturan baru akan banyak
membantu mengubah produksi dari investasi sektor kunci dengan
memanfaatkan kebebasan melakukan produksi yang didasarkan pada penge-
tahuan.
Setidaknya ada tiga hal penting yang harus kita perhatikan untuk
mengembangkan fungsi pemerintahan negara sebagai sebuah ‘pedagang
strategis’. Pertama, bahwa apapun yang kita kembangkan dan kita produksi
atas dasar modal manusia atau ekonomi untuk bersaing di pasar global selalu
saja sistem Barat tidak berpihak kepada ‘ekspor’ dari negara di luar Barat.
Apalagi aturan main yang berhubungan dengan tenaga kerja tidak memberi
peluang yang luas untuk tenaga kerja luar Barat sebagai penggerak kegiatan
ekonomi. Keadaan ini mempermudah peluang munculnya korporasi
multinasional (MNC) yang menjadi instrumen penting dalam menyusun
kesepakatan-kesepakatan baru antar negara. Kedua, ketika Barat, dan
(pernah juga) negara-negara macan Asia mengalami perkembangan yang
pesat di bidang ekonomi timbul gagasan dan pikiran baru yang lebih fleksibel
dan bersifat sementara mengenai bangunan produksi yang didasarkan pada
peningkatan konten keahlian dan jenis pekerjaan yang penuh dengan
tekanan, terutama di sektor pelayanan publik. Akibatnya, muncul jenis-jenis
pekerjaan dan profesi baru yang mengharuskan keterlibatan gender dalam
dunia kerja. Dalam konteks hubungan pekerjaan misalnya, marak tuntutan
akan perlunya diatur sistem baru tentang perburuhan yang tidak hanya

Jurnal Azkia Vol. 5, No. 1, Juli 2010 3


menguntungkan para pengusaha, tetapi juga menguntungkan pihak pekerja.
Ketiga, peran pemerintahan negara sebagai ‘ pedagang strategis’ tidak akan
berarti tanpa adanya pengaturan yang lebih kuat, lebih rinci tentang berbagai
fungsi strategis negara di dalam kegiatan pendidikan, ekonomi, dan aktivitas
sosial.
Penulis melihat bahwa sekurang-kurangnya ada dua hal yang perlu
kita lakukan. Pertama, harus ada sesuatu yang berubah, tetapi perubahannya
bersifat fleksibel dan tidak mutlak. Perubahan akan selalu dilakukan seirama
dengan perkembangan dan tuntutan baru dari aktivitas kehidupan ekonomi
dan sosial masyarakat. Setiap kebijakan ekonomi dan kebijakan pendidikan
misalnya, dimungkinkan untuk dapat berubah jika perubahan itu sebagai
salah satu jalan mempercepat pencapaian target adaptasi yang dibutuhkan.
Kedua, ketika kita memutuskan untuk melakukan produksi kebijakan baru
maka secara otomatis akan menghasilkan atau menimbulkan dua masalah
baru sekaligus, yakni dibutuhkannya keahlian baru untuk menopang
produksi baru dari hasil kebijakan baru tersebut dan keharusan menyiapkan
berbagai instrumen antisipatif yang mungkin akan dihadapi berkaitan
dengan legitimasi politik dan kekuasaan dari kebijakan baru.
Kita menyadari bahwa tidak setiap orang mendapatkan kesempatan
untuk meraih tingkat kesuksesan dalam sistem pendidikan dan ekonomi.
Salah satu kunci yang harus diperhatikan adalah perimbangan dampak
kebijakan terhadap struktur ekonomi dan struktur masyarakat yang berada
di daerah peripheral. Globalisasi, di banyak kasus, sering memacu
ketidakpuasan masyarakat terhadap sistem pendidikan yang baru dilansir,
karena sistem pendidikan semacam itu banyak melayani kepentingan
reformasi pasar.
Reformasi pasar (ekonomi) tidak semata-mata berkait dengan hanya
aktivitas ekonomi masyarakat, tetapi reformasi seperti itu juga berdampak
langsung pada pengaturan pasar bebas dalam pendidikan. Perubahan
karakteristik kehidupan masyarakat global mempunyai kekuatan dalam
pembentukan kebijakan pendidikan, sehingga pembentukan sistem pendidi-
kan dan kebijakan publik harus sesuai dengan perubahan global.
Sistem global tidak dapat dipisahkan dari sistem kapitalisme dunia.
Hegemoninya tidak terbatas pada sektor kehidupan aktivitas ekonomi
masyarakat saja, tetapi juga merasuk kepada kehidupan sosial, budaya,
pendidikan, gaya hidup. Faktanya, hampir semua aktivitas sehari-hari dari
kehidupan umat manusia sangat dipengaruhi oleh sistem kapitalisme global.
Akibatnya, aktivitas sehari-hari kita merupakan aktivitas yang cepat berubah
dan bersifat sesaat. Dinamisme aktivitas seperti ini menciptakan komoditi
kegiatan yang mencari hasil yang cepat dan instan. Oleh karena itu, jika hasil
yang diperolehnya tidak memadai maka yang terjadi kemudian adalah
produksi terhadap komoditas aktivitas masyarakat itu berhenti atau stagnan.
Itulah sebabnya, banyak institusi yang ‘secara menakjubkan’ berhenti
berproduksi dan berhenti melayani publik secara tiba-tiba. Banyak institusi
masyarakat tidak terkecuali institusi pendidikan, yang tidak sanggup
menghadapi dinamisme perubahan secara cepat sehingga mereka lebih
‘memlih’ berhenti berproduksi atau menutup kegiatannya.

4 A. Samad: Rekonstruksi Konsep Pendidikan Menghadapi Era Pasar Bebas


Banyak faktor yang menyebabkan sebuah korporasi atau sebuah
institusi mengalami krisis. Salah satu penyebab yang lazim menyebabkan
krisis tersebut adalah perubahan perilaku masyarakat dan perubahan
tuntutan masyarakat pasca modernisasi. Modernisasi mengembangkan
‘teror’ yang tak henti-hentinya pada setiap korporasi atau institusi agar
mereka segera mengambil langkah-langkah yang signifikan untuk me-
mutakhirkan kegiatan produksinya. Tuntutan semacam ini dikehendaki
karena perubahan cepat pada perilaku masyarakat yang tidak dapat
diantisipasi oleh korporasi atau institusi. Implikasinya, banyak institusi dan
lembaga korporasi yang ketinggalan zaman dan tidak kompatibel meng-
hadapi perubahan.
Sistem kapitalisme global memaksa terbangunnya tolok ukur-tolok
ukur baru, sehingga sistem ini menjadi acuan di dalam kegiatan ekonomi dan
sosial masyarakat. Dengan kata lain, seandainya kita tidak menggunakan
sistem kapitalisme global semacam itu maka yang terjadi kemudian adalah
kita menyaksikan banyak institusi pendidikan, dan institusi ekonomi yang
mengalami kebangkrutan.
Salah satu bagian terpenting untuk mengantisipasi perubahan adalah
upaya pembentukan ‘politik baru’ yang bisa dijadikan instrumen untuk
mengembangkan aktivitas ekonomi, aktivitas pendidikan, dan aktivitas sosial
baru. Salah satu fokus yang harus diperhatikan adalah pembentukan kelas
menengah baru sebuah entitas masyarakat yang diperlukan untuk
memediasi interpretasi sistem kapitalisme global dalam aktivitas kehidupan
sehari-hari di masyarakat. Inilah yang kemudian kita sebut sebagai
‘kebutuhan pembentukan kelas menengah baru’. Kelas menengah baru
seperti inilah yang kemudian akan membangun gambaran masa depan dan
menjembatani ancaman ketidakteraturan sistem lama menuju ke perubahan
sistem baru. Pendidikan menjadi titik sentral karena dengan pendidikan,
pembentukan kelas menengah baru dapat difasilitasi sehingga pembentukan
kelas menengah baru semacam itu tidak menimbulkan bias menjadi oligarki
baru di tengah kehidupan masyarakat. Dengan kata lain, pendidikan
mempunyai ‘tugas’ melakukan transformasi agar oligarki masyarakat
mempunyai makna yang lebih fungsional.

Kebijakan Pendidikan
Jika kita mengamati dengan cermat berbagai perubahan yang disebab-
kan oleh proses globalisasi, terutama yang berkaitan dengan kebijakan sosial
dan kebijakan pendidikan akan banyak model solusi yang dapat dikembang-
kan oleh setiap pengambil atau perumus kebijakan di setiap negara
berdasarkan kepentingan serta kebutuhan mereka sendiri. Respon itu bisa
bermacam-macam, namun, sekurang-kurang dapat diidentifikasi dua tipe
atau model respon penting yang dianggap ideal. Pertama, adalah apa yang
dikatakan oleh Brown dan Lauder (1996) sebagai ‘neo-fordisme’, yakni
penciptaan fleksibilitas pasar yang lebih besar dengan cara membuat
program reduksi dalam pajak sosial, mereduksi kekuatan serikat pekerja, dan

Jurnal Azkia Vol. 5, No. 1, Juli 2010 5


privatisasi kebutuhan publik. Neo-fordisme semacam ini bertumpu pada
kompetisi yang bersifat individualistik. Kedua, mendorong berkembangnya
aktivitas pasca fordisme yang lebih menopang pada peran negara sebagai
sebuah ‘pedagang strategis’ sebagaimana telah diuraikan sebelumnya.
Pada praktiknya, aktivitas solusi di atas akan banyak bersentuhan
dengan perbedaan cara pandang untuk menyelesaikan persoalan yang terjadi
di tengah masyarakat. Perbedaan cara pandang ini akan semakin terlihat
ketika pemerintahan negara bertemu dengan ‘kekuatan’ otoritas partai-
partai politik. Apa yang dianggap solusi bagi suatu pemerintahan negara
belum tentu dipandang sama oleh partai politik. Dengan demikian, keputusan
alternatif solusi terkadang bersifat superfisial, di mana aspek skenario dalam
penyusunan kebijakan publik, kebijakan pendidikan, dan kebijakan ekonomi
sebagian besar cenderung berpihak atau mengarah pada praktik neo-liberal.
Implikasi muncul ketika kebijakan pendidikan harus ditentukan.
Tampak bahwa akan selalu terjadi dualisme kebijakan di mana di satu pihak
kebijakan pendidikan akan merepresentasikan hal-hal yang bersifat kontem-
porer yang mengikat individu bersama sesuai dengan aspirasi yang ber-
kembang di tengah kehidupan masyarakat. Kompatibel dengan pemangku
kepentingan pelanggan dalam dunia pendidikan tetapi di pihak lain terdapat
juga kecenderungan bahwa kebijakan pendidikan itu berhenti pada retorika-
retorika yang bertumpu pada kepentingan-kepentingan ekonomi nasional.
Dalam bahasa Carter dan O’Neill (1995) pembuatan kebijakan oleh
pemerintahan negara seringkali mengacu pada perspektif internasional dan
reformasi pendidikan, namun sebagian masih juga bertumpu pada ‘ortodoksi
baru’. Keadaan ini merupakan hasil tarik-menarik antara pemerintahan
negara, otoritas politik di tingkat parlemen, dan kepentingan pendidikan
masyarakat.
Menurut Carter dan O’Neill (1995) sekurang-kurangnya ada lima
elemen utama ortodoksi baru dalam kebijakan pendidikan, yakni (1)
bagaimana kebijakan pendidikan itu dapat meningkatkan ekonomi nasional
dengan memperkuat koneksi-keterhubungan antara pendidikan di sekolah
dengan pekerjaan, produktivitas masyarakat dengan praktik perdagangan;
(2) bagaimana kebijakan pendidikan dapat meningkatkan hasil belajar yang
dicapai oleh setiap pembelajar dalam bentuk meningkatnya kompetensi dan
kemampuan keterampilan sehingga ia dapat bergayut dengan dunia kerja;
(3) bagaimana kebijakan pendidikan dapat mengontrol langsung atas
perkiraan kemutakhiran keahlian dan kemutakhiran isi kurikulum yang
diberikan kepada setiap pembelajar di ruang-ruang kelas; (4) bagaimana
kebijakan pendidikan dapat mereduksi biaya-biaya yang harus dikeluarkan
oleh Pemerintah atau oleh penyelenggara pendidikan; dan (5) bagaimana
kebijakan pendidikan dapat meningkatkan partisipasi atau keterlibatan
langsung anggota komunitas dalam membuat keputusan-keputusan pen-
didikan sekaligus dalam menentukan pilihan-pilihan model pendidikan, isi
kurikulum, sarana-prasarana pendidikan sesuai dengan tuntutan pasar.
Tarik-menarik antara keinginan bahwa kebijakan pendidikan harus
memiliki perspektif internasional. Hal ini merupakan konsekuensi proses
globalisasi dengan praktik ortodoksi baru sehingga mendorong terbangun-

6 A. Samad: Rekonstruksi Konsep Pendidikan Menghadapi Era Pasar Bebas


nya ‘konsensus baru’ dalam kebijakan pendidikan. Konsensus baru ini sangat
berhubungan dengan beberapa pertimbangan, terutama yang terkait dengan
‘compulsory education’, atau wajib belajar, terkait dengan keinginan mem-
bangun masyarakat belajar dan terkait dengan berkembangnya praktik
ekonomi yang berbasis ilmu pengetahuan (knowledge economy). Konsensus
seperti itu sesungguhnya merupakan representasi dari tuntutan globalisasi
di mana mereka menghendaki adanya ‘keseragaman’ sebagai simbolisasi
kolonialisasi perumusan kebijakan pendidikan.
Kelima elemen ortodoksi baru tersebut sesungguhnya dapat
diidentifikasi secara mudah dalam praktik penyelenggaraan pendidikan.
Secara nyata, kelima elemen itu sangat mempengaruhi kebijakan pendidikan
walaupun kita masih sangat mengharapkan bahwa apa yang dijadikan dasar
pengambilan kebijakan politik pendidikan berorientasi pada kapitalisme
global. Minimal lebih membuka diri pada neo-liberalisme atau apa yang
sering kita nyatakan sebagai ideologi pasar (bebas). Ideologi pasar seringkali
memberi respon dalam penetapan kebijakan yang spontan. Bergerak dari
sesuatu yang tidak direncanakan sebelumnya pada respon-respon inovatif
sesuai dengan kehendak pasar seperti halnya perombakan birokrasi yang
tidak efisien ke arah birokrasi yang lebih fleksibel terhadap tuntutan pasar.
Dalam dunia pendidikan, gagasan solusi semacam itu merupakan
salah satu bukti kuat bahwa inisiatif-inisiatif pengelolaan pendidikan
bergeser dari pengelolaan kebijakan yang didasarkan pada ‘pandangan diri
sendiri’ (world view) terhadap bangunan masa depan bangsa dan negara
yang digantikan oleh pandangan yang didasarkan pada contoh pengelolaan
kebijakan di beberapa bagian dunia. Dalam konteks ini, perspektifnya
mengalami perubahan dari perspektif internal menuju ke perspektif
eksternal. Perspektif eksternalitas seperti inilah yang kemudian sangat
mendominasi ukuran-ukuran performatifitas dari suatu kebijakan politik
pendidikan.
Dalam pandangan Lyotard (1994) performatifitas diyakini sebagai
sebuah prinsip pengelolaan pemerintahan negara yang mendasari diri
hubungan fungsional secara ketat antara sebuah negara dengan lingkungan
luar dan dalamnya. Dengan kata lain, performatifitas merupakan sebuah
mekanisme kemudi kebijakan politik. Sebuah bentuk kemudi yang bersifat
tidak langsung atau kemudi yang berjarak yang dapat memindahkan
intervensi dan prekripsi dengan pengaturan target, akuntabilitas, dan
perbandingan.
Performatifitas memberikan sistem tanda yang merepresentasikan
kebijakan pendidikan dalam sebuah referensi diri dan bentuk kebijakan
politik yang dimaterikan kemudian disajikan untuk kepentingan konsumsi
(umum). Contoh nyata dari sebuah performatifitas semacam itu tampak pada
penggunaan terminologi-terminologi tertentu di dalam penyelenggaraan
pendidikan, misalnya pengelolaan sumber daya manusia dan pengelolaan
mutu terpadu. Semua ‘terminologi’ seperti itu sesungguhnya merupakan
hasil peminjaman dari pengaturan-pengaturan yang bersifat komersial.
Oleh karena itu, banyak kebijakan politik pendidikan terjebak dalam
performatifitas yang kemudian orang melihatnya diperlukan sebuah

Jurnal Azkia Vol. 5, No. 1, Juli 2010 7


pembaharuan pendidikan melalui apa yang disebut sebagai pengelolaan baru
(new managerialism) dalam dunia pendidikan. Pengelolaan baru dimaksud-
kan sebagai penyisipan teori-teori dan teknik-teknik manajemen bisnis dan
‘pemujaan’ keunggulan institusi publik pada proses perumusan dan penen-
tuan kebijakan pendidikan. Pengelolaan baru ini menekankan perhatian yang
sangat tinggi pada kualitas dan mendekatkan pengelolaan pendidikan pada
pelanggan dan nilai-nilai inovasi. Sekolah atau lembaga pendidikan dianggap
sebagai ‘kurir utama’ untuk membidani perbaikan manajemen pendidikan.
Perbaikan dilakukan dengan cara membongkar rezim organisasi professional
yang bersifat birokratis dengan meminjam istilah yang digunakan oleh
Newman dan Clarke, (1994) sebagai rezim entreupreunerial- market (pasar
kewirausahaan).
Dalam pandangan ‘pasar kewirausahaan’, kebijakan-kebijakan pen-
didikan dirumuskan dengan sangat mempertimbangkan terbangunnya
kebudayaan korporasi. Sebagai bentuk pembiasaan atau pembudayaan yang
menekankan kepada para pengelola pendidikan (manajer) untuk mencari
dan mengembangkan sendiri terhadap managerial skill dalam upaya
menormalisasikan dan menginstrumentalisasikan perilaku seseorang atau
sekelompok orang sehingga orang itu dapat menunjukkan komitmen dan
minatnya terhadap pencapaian prestasi. Dalam kebudayaan korporasi bukan
tugas yang didistribusikan tetapi tanggung jawab. Solusi ini merupakan salah
satu bentuk alternatif yang terbuka dalam penyusunan kebijakan pendidikan.

Interpretasi Kebijakan Pendidikan


Hasil kebijakan-kebijakan dapat dipandang sebagai sistem-sistem
nilai dan sistem-sistem simbolik. Dalam suatu kebijakan tergambar cara
perpresentasian, perhitungan-perhitungan, dan pelegitimasian putusan-
putusan politik. Kebijakan-kebijakan diaktualisasikan sebagai usaha untuk
mencapai efek material dan untuk menghasilkan dukungan bagi efek
tersebut. Oleh karena itu, setiap kebijakan yang telah ditentukan inheren
dalam bangunan kebijakan tersebut mengandung suatu bentuk magisme
yang dalam terminologi Stronach (1993) dinyatakan hampir mendekati
seperti efek ‘guna-guna’ dalam tradisi masyarakat masa lampau. Kebijakan
dalam masalah- masalah pendidikan setidak-tidaknya menyerupai efek
semacam itu. Jika terjadi suatu pembaharuan dalam pendidikan hampir
dapat dipastikan akan ‘menyihir’, atau memberi makna ‘magis’ kepada semua
pemangku kepentingan (stake holders).
Interpretasi atas kebijakan pendidikan mengaktualisasikan efek
semacam itu, misalnya kata-kata yang digunakan dalam kebijakan pen-
didikan seperti peningkatan standar layanan pendidikan, peningkatan mutu
hasil pendidikan, perluasan akses pendidikan, peningkatan daya saing
nasional, telah mencerminkan efek magis. Dalam kata-kata itu tersirat dan
(mungkin juga tersurat) daya tarik tertentu untuk mengatur kondisi-kondisi
yang dipandang sebagai tidak menentu. Stronach (1993) menyatakan bahwa
istilah-istilah dalam kebijakan pendidikan telah mencerminkan sirkularitas-
sirkularitas yang bersifat repetitif yang memperlihatkan logika daya sihir dan
struktur-struktur ritual dari kebijakan pendidikan tersebut.

8 A. Samad: Rekonstruksi Konsep Pendidikan Menghadapi Era Pasar Bebas


Ritualisme kebijakan pendidikan mengasosiasikan suatu kutub
kosmis yang melingkupi suasana sosial dan ekonomi para perumus kebijakan
pendidikan tersebut. Ada ‘roh’ yang termaktub dalam obyek material
kebijakan tersebut. Roh yang bisa membangkitkan keragaman interpretasi
terhadap apa yang dimaksudkan dalam keputusan politik pendidikan.
Pertanyaannya adalah apakah ‘roh’ yang menjadi daya tarik dalam suatu
kebijakan pendidikan itu akan memberi dukungan terhadap transformasi
masyarakat dalam skala besar? Jawabannya bisa saja benar atau bahkan
tidak. Jawaban benar, jika daya sihir dan magis dari roh kebijakan tersebut
mencerminkan aspirasi kebanyakan anggota masyarakat. Sebaliknya,
jawaban tidak benar, bila roh dan daya sihir dari kebijakan pendidikan itu
merupakan simpul dari kompromi politik elite atau permainan-permainan
politik antara pihak penguasa dan pihak oposisi. Itulah sebabnya, Hughes dan
Tight (1995) menyatakan bahwa konsep-konsep seperti ‘stakeholder’,
masyarakat belajar’ merupakan mitos-mitos yang digunakan untuk me-
wadahi visi-misi para pemegang otoritas untuk memberi gambaran tentang
masa depan melalui kebijakan pendidikan dan praktik penyelenggaraan
pendidikan.
Bagi para politisi, atau sebagian bagi para penentu kebijakan
pendidikan, mitos-mitos itu sengaja diungkapkan sebagai ‘tangan
pembaharuan’ atau dapat juga dikatakan sebagai sebuah intervensi non-
intervensionisme. Yakni sebuah daya upaya atau cara untuk meyakinkan para
pemangku pendidikan atau masyarakat agar mereka mempunyai keyakinan
tentang berbagai upaya pembaharuan dalam kebijakan politik pendidikan.
Cara seperti ini, pada dasarnya kurang relevan dengan sifat pembaharuan.
Pembaharuan menghendaki adanya rekonstektualisasi kebijakan pendidikan
dengan keperluan dan peningkatan aspirasi masyarakat atau aspirasi warga
bangsa. Mitos-mitos dengan sendirinya dapat menjauhkan pembaharuan dan
rekontekstualitas kebijakan dari maksud pembaharuan dan hasil-hasil
pembaharuan yang hendak dicapai. Akibatnya, kebijakan pendidikan yang
baru akan menyebabkan pereduksian makna kebijakan yang telah lahir
sebelumnya atau sebagai proses penghancuran kebijakan-kebijakan yang
terdahulu. Dalam banyak kasus situasi semacam ini dapat diamati pada
berkembangnya guru yang tidak memiliki kompetensi, sekolah yang gagal
dalam menjalankan misi utamanya, pemangku kepentingan yang kurang
memahami apa maksud ‘kehadiran’ mereka dalam lingkup lembaga pen-
didikan, dan fungsi mereka sebagai kelompok orang yang terlibat dalam
membantu penyelenggaraan pendidikan.
Modernisasi pendidikan dan rekontektualisasi pendidikan, se-
sungguhnya, membawa dua agenda besar. Pertama, meningkatkan ‘hubu-
ngan’ atau ‘keterkaitan’ pendidikan dengan kepentingan pembangunan
ekonomi nasional. Kedua, memberikan jarak yang lebih fleksibel pada dunia
pendidikan agar ia dapat bekerja lebih bebas, lebih terbuka, sehingga
pendidikan tidak menjadi ‘permainan kontrol’ pemerintahan negara secara
langsung. Dengan demikian, pendidikan bukan merupakan institusi yang
dapat setiap saat ‘diganggu’ oleh kepentingan politik partisan pemerintahan
suatu negara. Pendidikan dikatakan sebagai lembaga aspirasi yang

Jurnal Azkia Vol. 5, No. 1, Juli 2010 9


memberikan pelayanan kepada semua warga negara dengan nilai-nilai dan
prinsip-prinsip etis yang dimilikinya.
Agenda besar pertama tersebut menyadarkan kita pada suatu
artikulasi dan penegasan yang lebih terang bahwa pendidikan menjadi
kebutuhan mendasar dalam pembangunan ekonomi masyarakat. Agenda
besar kedua ingin menegaskan bahwa pendidikan sebagai suatu instrumen
yang dapat diandalkan untuk mempersiapkan anggota masyarakat bangsa
memasuki arena kompetisi. Dua agenda besar tersebut merupakan upaya
modernisasi dan rekonstektualisasi. Upaya dalam membangun pilihan-
pilihan kebijakan yang lebih bervariatif, seperti otonomi, pengelolaan
lembaga pendidikan dengan model dan cara-cara baru, performatifitas,
kompetisi institusional dan sebagainya selalu diperankan oleh para perumus
kebijakan pendidikan.
Diskursus rekontekstualisasi kebijakan pendidikan bukan semata-
mata sebagai kritik terhadap elitisme kebijakan politik, tetapi diskursus itu
ditujukan untuk mendekatkan kebijakan pada ‘keadilan sosial’. Penekanan
seperti ini sangat penting karena banyak kalangan melihat bahwa keadilan
sosial merupakan sebuah residu yang ditinggalkan oleh suatu pemerintahan
negara. Oleh sebab itu, rekontekstualisasi kebijakan pendidikan baru dapat
bermakna jika pemerintahan negara melakukan rekonstruksi sistem dan
target-target dalam penyelenggaraan pendidikan.
Rekontekstualisasi kebijakan diperlukan karena banyak kebijakan
pendidikan dirumuskan di atas dasar prinsip ‘menampung semua aspirasi’
yang pada praktiknya agak sulit untuk dihindari. Rekontekstualisasi ingin
mendudukkan sebuah proses perumusan kebijakan yang lebih teratur dan
berkelindan dengan kepentingan masa depan masyarakat. Kebijakan tidak
lagi dipandang sebagai ‘persalinan’ potongan gagasan-gagasan atau ide-ide
yang datang dari manapun, atau sebagai pengembangan atas pendekatan-
pendekatan yang ingin diuji cobakan, baik secara lokal maupun nasional.
Rekontektualisasi kebijakan pendidikan juga untuk menghindari peng-
kanibalan teori-teori dalam proses penyusunan kebijakan. Ia bukan juga
untuk mengukuhkan kecenderungan yang sedang bekerja pada saat ini.
Namun, rekontekstualisasi kebijakan pendidikan dimaksudkan sebagai usaha
untuk memahami hubungan-hubungan yang komplek, yang terdapat dalam
ide-ide atau antara ide-ide, teori-teori, sehingga setiap saat diskursus materi
kebijakan selalu bergerak. Pergerakan semacam itu harus dinyatakan melalui
tingkat relevansinya terhadap kepentingan kehidupan bersama dalam
masyarakat. Jika tidak, yang terjadi kemudian adalah tersedianya ruang bagi
berbagai ideologi yang membonceng globalisasi untuk mempengaruhinya.

Rekonstruksi Pendidikan dan Inovasi Kebijakan


Salah satu jalan penting untuk rekontekstualisasi pendidikan dapat
dilakukan melalui apa yang saya sebut sebagai rekonstruksi pendidikan.
Tujuannya adalah agar pendidikan semakin mempunyai relevansi nyata
dengan kualitas kehidupan masyarakat, meningkatkan kualitas sumberdaya
manusia, tanpa memandang apakah mereka datang dari stratifikasi dan
status sosial ekonomi yang berbeda-beda.

10 A. Samad: Rekonstruksi Konsep Pendidikan Menghadapi Era Pasar Bebas


Rekonstruksi pendidikan juga sangat penting untuk menghindari
kecenderungan bahwa penyelenggaraan pendidikan sekarang ini semakin
elitis dikuasai oleh ‘arus utama’ yang bersifat hegemonik. Biasanya mereka
datang dari Barat atau Utara yang dipandang sebagai ‘pewaris’ budaya luhur
yang telah mapan dan kemudian diletakkan sebagai referensi. Sesungguhnya,
sejak berakhirnya perang dingin, sistem pendidikan formal di dunia telah
mengalami transformasi dari sistem atau model pendidikan yang bersifat
klasik elitis kepada sistem atau model pendidikan yang bersifat massal
liberal. Ini terjadi karena arus modernisasi dan globalisasi kehidupan umat
manusia tidak dapat dihindari. Hal ini disebabkan oleh karena berkembang-
nya keinginan yang begitu kuat dari warga negara untuk menerapkan konsep
demokrasi dalam pendidikan. Konsep ini, kemudian menjelma menjadi
pendidikan untuk semua warga Negara dan pendidikan ditujukan untuk
menopang pembangunan nasional masing-masing negara.
Transformasi sistem pendidikan seperti di atas juga dimaksudkan
agar pendidikan memberikan kontribusi pada pemberantasan buta huruf,
kemiskinan, kesehatan masyarakat, dan dalam hal tertentu membatasi
tindakan-tindakan kekerasan di masyarakat. Hampir di semua negara,
tranformasi pendidikan dilakukan sebagai bagian penting dari usaha
peningkatan kapasitas masyarakat dalam sebuah konstruksi masyarakat
yang demokratis. Dengan kata lain, pendidikan diletakkan sebagai salah satu
elemen terpenting dalam penguatan peradaban umat manusia serta pe-
ningkatan kualitas kehidupannya.
Pertanyaan kemudian adalah apa yang menjadi tugas utama
pendidikan di dalam modernisasi masyarakat di era pasar bebas? Keadaan
masyarakat dunia sekarang ini sudah berkembang dengan cepat.
Perkembangan ini, lagi-lagi, dipicu oleh globalisasi serta penggunaan ilmu
dan teknologi komunikasi di dalam kehidupan sehari-hari. Globalisasi dan
teknologi komunikasi telah memaksa dunia pendidikan untuk melakukan
rekonstruksi ulang, dan merekonstruksi cara bekerjanya. Jika kemarin dunia
pendidikan kita bekerja dengan ‘cara-cara biasa’ maka kemudian cara-cara
biasa itu menjadi kurang relevan. Sebab modernisasi telah mendorong orang
membangun dan mengelola berbagai institusi dalam masyarakat. Masyarakat
madani telah berkembang. Seringkali masyarakat madani ini mengambil alih
fungsi-fungsi pemerintahan, sehingga banyak tugas pemerintahan yang
dianggap kurang cocok untuk mengelola pendidikan. Pemerintahan negara
akhirnya mengalami kegamangan dalam melihat bahwa pendidikan itu tidak
hanya sekedar untuk pemberantasan buta huruf tetapi juga pendidikan
diletakkan sebagai salah satu bentuk investasi. Dengan kata lain, pendidikan
berfungsi sebagai agen dari proses modernisasi masyarakat.
Salah satu tugas utama pendidikan adalah meningkatkan kapasitas
intelektual dan pemahaman orang terhadap peradaban yang melintasi batas-
batas dan sistem pemerintahan nasional negaranya. Pendidikan memberi
dan membangun tradisi pembelajaran terhadap kebijakan dan kebenaran
sehingga pendidikan memberi kontribusi signifikan pada usaha membangun
‘good communities’, masyarakat yang baik, tempat yang nyaman, dan
lingkungan ekologis yang menjamin keberlangsungan kehidupan di masa

Jurnal Azkia Vol. 5, No. 1, Juli 2010 11


depan. Dalam bahasa yang lebih sederhana dapat dinyatakan bahwa
pendidikan itu harus lebih kontekstual karena yang kita harapkan dari
pendidikan itu adalah usaha membangun manusia yang memiliki karakter
agar dapat hidup berdampingan di masyarakat yang harmonis, plural, dan
mutikultur.
Jika tugas utama pendidikan yang diharapkan oleh masyarakat seperti
yang digambarkan di atas, maka yang muncul kemudian adalah apa yang
menjadi fungsi pendidikan di masa depan? Apakah pendidikan sekarang yang
hampir menyerupai pelatihan (training), masih dipandang relevan? Mengapa
tidak ada perbedaan antara pendidikan dan pelatihan? Padahal, dalam
pandangan yang lebih bersifat idealistik, pendidikan itu diharapkan dapat
menjangkau dua target utama yakni pembangunan nasional masing-masing
negara dan pengembangan kebijaksanaan (wisdom), serta peradaban di
masyarakat.
Kita mengharapkan bahwa pendidikan dapat mengambil peran utama
dalam dua tugas besar itu. Oleh karena itu, pendidikan yang dimaksudkan
bukan pendidikan yang kita alami seperti sekarang ini. Kita harus melakukan
rekonstruksi pendidikan agar pendidikan itu kontekstual dengan perkem-
bangan masa depan. Rekonstruksi pendidikan yang dimaksudkan didasarkan
pada asumsi bahwa lembaga-lembaga pendidikan kita, sistem, dan proses
pelaksanaan pendidikan, sekarang ini masih terkesan berjalan sendiri-
sendiri. Antara sistem, proses, dan lembaga pendidikan tidak bekerja secara
terintegrasi, seolah-olah setiap komponen dalam pendidikan itu bergerak
dengan sendirinya. Penyelenggaraan pendidikan seolah-olah tidak terkait
dengan pembangunan bangsa, kesejahteraan masyarakat, kapitalisme global,
dan tidak berhubungan dengan peningkatan infrastruktur pembangunan.
Pendidikan seperti tampak tak memiliki keterkaitan dengan berbagai macam
problema kehidupan baru warga negara seperti inflasi, resesi, korupsi,
alienasi, eksploitasi, urbanisasi, polusi, pertambahan penduduk yang pesat,
kekerasan di masyarakat. Oleh karenanya, rekonstruksi pendidikan
diperlukan agar ia lebih kontekstual dan mampu memberikan solusi bagi
perbaikan kehidupan umat manusia.
Proses rekonstruksi pendidikan tidak bisa dikerjakan dalam periode
yang vacuum, atau tiba-tiba, atau sekali-kali. Rekonstruksi pendidikan harus
dilakukan secara berkesinambungan, terus-menerus, karena ia merupakan
sebuah proses yang berkelanjutan dalam rangka membangun sebuah
lingkungan atau ‘dunia’ yang lebih baik (a better world). Untuk membangun ‘
a better world’ seperti itu, menurut hemat penulis, diperlukan rekonstruksi
pendidikan di tiga bidang area pokok. Pertama, rekonstruksi di bidang sistem
administrasi pendidikan. Rekonstruksi ini dimaksudkan untuk memperbaiki
dan merencanakan ulang sebuah sistem administrasi pendidikan yang lebih
baik, yakni sebuah sistem administrasi pendidikan yang lebih efisien,
fleksibel, dan kompatibel dengan perkembangan modernisasi dan globalisasi.
Kedua, rekonstruksi kepemimpinan pendidikan. Rekonstruksi ini ditujukan
untuk membangun kembali prinsip-prinsip kepemimpinan pendidikan yang
lebih baik, yakni kepemimpinan yang dapat mengelola serta menghadapi
perubahan-perubahan yang terjadi begitu dinamis. Ketiga, rekonstruksi

12 A. Samad: Rekonstruksi Konsep Pendidikan Menghadapi Era Pasar Bebas


kurikulum sekolah dan lembaga pendidikan tinggi. Rekonstruksi ini
diperlukan untuk membangun kerja sama yang lebih baik dalam banyak
bidang kehidupan, terutama yang berkaitan dengan pengembangan ilmu
pengetahuan, teknologi dan ekonomi.
Rekonstruksi kurikulum misalnya, harus dapat menjawab pertanyaan
pokok yakni apakah pendidikan yang kita selenggarakan sekarang ini untuk
tujuan memenuhi harapan-harapan dunia kerja, industrialisasi, dan
kapitalisme? Apakah benar bahwa kita ingin membangun pendidikan itu
untuk tujuan-tujuan perdagangan (sole purposes)? Atau kita membangun
pendidikan ini untuk tujuan-tujuan yang melebihi dari sekedar melayani
industrialisasi, dunia kerja, dan bahkan kapitalisme. Kita justru ingin
membangun pendidikan itu untuk tujuan-tujuan yang bersifat kemanusiaan
dan pengembangan peradaban di mana setiap kita dapat hidup dan
berinteraksi dalam kultur, kebiasaan, sejarah, dan tradisi yang beragam. Kita
tidak menghendaki bahwa teknologi mengontrol kehidupan kita. Kita
menginginkan bahwa kitalah yang mengontrol teknologi. Kita ingin mendidik
seorang individu atau kelompok masyarakat yang dapat memahami makna
kemanusiaan, dan makna masyarakat terlebih dahulu. Baru kemudian,
pendidikan itu mengajarkan individu tentang ekonomi, bisnis, politik, dan
berbagai hal yang berkaitan dengan industri. Di antara area yang strategis
dari rekonstruksi kurikulum itu adalah pembelajaran dengan pemahaman
yang bermakna, pembelajaran keterampilan bekerja, pembelajaran penanga-
nan sistem ekologi dan krisis atau masalah yang dihadapi oleh masyarakat
dan pembelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi.
Begitu juga dengan rekonstruksi organisasi pendidikan, rekonstruksi
bidang ini harus diarahkan untuk membangun organisasi pendidikan seperti
sekolah dan universitas sebagai sebuah unit-unit lembaga peradaban.
Organisasi pendidikan harus dapat diisi oleh orang-orang yang berasal dari
berbagai latar belakang dengan beragam kepribadian, kepercayaan, nilai-
nilai, gagasan-gagasan, etika-etika, serta cita-cita. Organisasi perlu direkon-
struksi, sebab organisasi pendidikan bukan bersifat mekanistik dan
instrumental. Organisasi pendidikan semestinya dapat menjadi ‘komunitas
yang hidup’ yang mampu meningkatkan atau mendorong pencapaian tujuan-
tujuan yang telah ditetapkan. Di antara area strategis dari rekonstruksi
organisasi pendidikan itu berkaitan dengan penyatuan visi organisasi,
rekayasa sistem organisasi, kesadaran etika kerja, sistem pelayanan publik,
dan penelitian dan pengembangan.
Dalam hal rekonstruksi kepemimpinan pendidikan, yang diperlukan
adalah membangun kepemimpinan yang baik. Pemimpin yang baik adalah
mereka yang selalu memikirkan lebih dahulu kesejahteraan umum. Ia akan
selalu mempertimbangkan kesejahteraan para pegawainya yang bekerja di
dalam organisasi tersebut. Ia memberikan respek dan perhatian yang cukup
kepada para pekerja, karena pemimpin itu ingin memperoleh ‘keuntungan
maksimum’ dari orang yang berkarya dalam kapasitas maksimum. Sifat-sifak
kepemimpinan yang otokratis, koruptif, diskriminasi, operesif, sedapat
mungkin diminimalisir.

Jurnal Azkia Vol. 5, No. 1, Juli 2010 13


Kepemimpinan pendidikan yang baik adalah para inovator yang mem-
bawa gagasan-gagasan dan perubahan-perubahan baru dalam organisasi.
Mereka dapat menciptakan lingkungan kerja yang bersahabat, kondusif,
membawa kebanggaan mereka pada organisasi pendidikan. Mereka juga
memimpin inisiatif perilaku berkeadilan, beretika, dan jujur. Sangat terbuka
terhadap kritik dan komentar. Mampu mengembangkan kerja sama dan
komunikasi antara orang yang berkepentingan. Mereka juga dapat mem-
prakarsai berbagai program baru yang lebih menjanjikan dan selalu
menginginkan hal-hal yang lebih baik.
Dalam ketiga area rekonstruksi itulah terletak proses modernisasi dan
konstekstualisasi pendidikan yang dapat memberikan jawaban dan harapan
terhadap perubahan yang dibawa oleh globalisasi. Keberhasilan kita dalam
merekonstruksi pendidikan kita akan banyak menentukan masa depan
bangsa kita. Sebuah masa depan, yang kerap kali, masih menjadi misteri bagi
sebagian besar warga Indonesia

Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan dan disarankan bebe-
rapa hal sebabagi berikut: (1) modernisasi pendidikan dapat dilakukan
dengan lebih cepat melalui penentuan kebijakan yang sesuai dengan tuntutan
perubahan, (2) Globalisasi memaksa perumus kebijakan harus melakukan
adaptasi yang terus menerus dalam menetapkan kebijakannya agar selalu
antisipatif dengan perkembangan aspirasi masyarakat, (3) Agar kebijakan
pendidikan bergayut dengan aspirasi masyarakat, maka praktik pendidikan
harus dimodernisasikan melalui proses rekonstektualisasi pendidikan, serta
rekonstruksi pendidikan, (4) ada tiga area penting untuk dilakukan rekons-
truksi pendidikan, yakni rekonstruksi kurikulum pendidikan, rekonstruksi
organisasi pendidikan, dan rekonstruksi kepemimpinan pendidikan.

14 A. Samad: Rekonstruksi Konsep Pendidikan Menghadapi Era Pasar Bebas


DAFTAR KEPUSTAKAAN

Brown, P and Lauder, H., 1996. Education, Globalization and Economic


Development. Journal of Education Policy.

Carter, D.S.G and O’Neill, M.H., 1995. International Perspective on Education


Reform and Policy Implementation. Brighton. Falmer.

Hughes, C and Tight, M., 1995. ‘The Myth of Learning Society’. British Journal
of Educational Studies.

Lyotard, J.F., 1994. The Postmodern Condition, A Report on Knowledge.


Manchester. Manchester University Press.

Newman, J and Clarke, J., 1994. Going about Our Bisiness?, The
Managerialization of Public Services, In J. Clarke, A Cochrane and E
Mclaughin (Eds): Managing Social Policy. London. Sage.

Stronach, I., 1993. ‘Education, Vocasionalism and Economic Recovery: The


Case Againt Withcharft’. British Journal of Sociology of Education.

Jurnal Azkia Vol. 5, No. 1, Juli 2010 15


 

16 A. Samad: Rekonstruksi Konsep Pendidikan Menghadapi Era Pasar Bebas


KONTRIBUSI SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH
PTI. AL-HILAL SIGLI DALAM MENINGKATKAN MUTU
PENDIDIKAN DI ACEH

Abd. Wahid
Fakultas Ushuluddin IAIN Ar-Raniry
Jl. T. Nyak Arief No. 128 Kompleks Asrama Haji
Kota Banda Aceh
Email: wahidarsyad@yahoo.Com

ABSTRACT
College of Tarbiyah PTI. Al-Hilal is one institution that plays an
important role for the development of education in Aceh. Until now the
alumni of the College of Science Tarbiyah has spread to a variety of pen-
interpreter Aceh province, outside Aceh and even abroad. Existence of these
institutions, supported among others by the high interest of young people of
Aceh to become educators in various fields of expertise. Other things, the
maturity of this institution-old is mature enough to be rich in experience so
that it fixes from time to time continue to be made. Given the globalization of
the increasingly stringent, College of Tarbiyah PTI. Al-Hilal are required to
further increase the quality in a variety of its aspects, such as discipline
faculty, student services, employment services and enhance oak-tern
relationship to various agencies in Aceh, outside the region and even
internationally.

Kata Kunci: PTI. Al-Hilal, Pendidikan Islam, Aceh

Pendahuluan
Secara nasional mutu pendidikan di Aceh tergolong sangat rendah di-
bandingkan daerah-daerah lainnya di Indonesia. Padahal Provinsi Aceh me-
rupakan provinsi kaya dengan berbagai hasil alam maupun migas. Pada tata-
ran lain, jumlah pendidik yang ada di Aceh tidak terjadi kekurangan yang sig-
nifikan. Perguruan-Perguruan Tinggi yang paling diminati di Aceh adalah fa-
kultas yang mencetak para tenaga pengajar (guru), baik yang berada di ibu-
kota Provinsi maupun di Daerah-daerah Tingkat II. Sekolah Tinggi Ilmu Tar-
biyah merupakan salah satu Fakultas favorit pada lembaga PTI. Al-Hilal Sigli
Banda Aceh. Setiap tahun para calon mahasiswa berduyun-duyun mendaf-
tarkan diri untuk bersaing agar memperoleh kesempatan untuk menjadi ca-
lon pendidik di kemudian hari. Padahal daya tampung yang ada hanya mam-
pu menampung 50% dari calon peserta testing yang mendaftar.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa Daerah Aceh merupakan kawasan yang
selalu diliputi konflik, baik yang melibatkan bangsa Aceh dengan bangsa-
bangsa Eropa di masa kolonial, konflik sesama bangsa Aceh sendiri, maupun
konflik bangsa Aceh dengan pemerintah Pusat. Akibat konflik yang terus me-

Jurnal Azkia Vol. 5, No. 1, Juli 2010 17


nerus tersebut, provinsi Aceh mengalami kemerosotan dalam berbagai bi-
dang, baik bidang ekonomi, pendidikan maupun dalam berbagai segi lainnya.
Ketika perdamaian sudah terwujud, Aceh dituntut untuk memperbaiki semua
ketertinggalan tersebut sehingga taraf hidup masyarakatnya sejajar dengan
provinsi-provinsi lain di tanah air. Peluang-peluang untuk menata masa de-
pan pendidikan Aceh yang lebih baik dimiliki oleh Provinsi ini dalam bebera-
pa bentuk seperti undang-undang otonomi khusus, undang-undang Pemerin-
tahan Aceh dan Undang-Undang Pelaksanaan Syari'at Islam dan lain-lainnya.
Kesempatan ini tidak boleh tidak, harus mampu dimanfaatkan oleh masyara-
kat Aceh, sebelum kesempatan itu sendiri tidak lagi dimiliki.
Pada sisi lain, upaya peningkatan mutu pendidikan di Aceh didukung
oleh berbagai lembaga pendidikan yang tersedia cukup memadai. Selain
lembaga pemerintah daerah, Aceh memiliki beberapa Perguruan Tinggi baik
negeri maupun swasta yang bergerak dalam bidang pendidikan seperti Un-
iversitas Syiah Kuala maupun PTI. Al-Hilal Sigli. Apalagi akhir-akhir ini sema-
kin banyak berdirinya perguruan tinggi di beberapa daerah Tingkat II lain-
nya. Di samping itu, terdapat beberapa Universitas dan Perguruan Tinggi
Swasta yang telah dinegerikan. Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah PTI. Al-Hilal
merupakan salah satu di antara lembaga-lembaga yang ada di Aceh. Kontri-
busi Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah dalam meningkatkan dan memperbaiki
mutu pendidikan di Aceh patut diperjelas untuk melihat sisi-sisi yang harus
diperbaiki dan melihat peluang yang memungkinkan dilaksanakan pada ma-
sa-masa mendatang.

Sekilas tentang Perkembangan Pendidikan Agama Islam


Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah merupakan bahagian dari PTI. Al-Hilal
Sigli Banda Aceh. Visi dan misi yang diemban oleh Sekolah Tinggi Ilmu Tar-
biyah juga tidak terlepas dari visi dan misi yang diemban oleh PTI. Al-Hilal
Sigli itu sendiri. Secara umum pendirian lembaga PTI. Al-Hilal Sigli di Indone-
sia juga memiliki sejarah panjang dan berliku. Hadirnya PTI. Al-Hilal Sigli se-
bagai perguruan tinggi Islam tidak lepas dari keinginan umat untuk memiliki
perguruan tinggi agama. Ini mengingat setelah sekian lamanya bila kaum
muslimin hendak mengkaji Islam di bangku perguruan tinggi harus ke Timur
Tengah. Masa sebelum kemerdekaan sudah menjadi kelaziman bila seorang
pelajar yang ingin melanjutkan pendidikan tinggi dalam bidang agama ia ha-
rus ke Al-Azhar Mesir, Darul Ulum Mekkah atau Ma’had Ali di Lahore Pakis-
tan. Barulah pada 1940 keinginan itu terwujud dengan hadirnya Sekolah
Tinggi Islam (STI) yang diprakarsai Persatuan Guru Agama Islam di Padang.
Di Jakarta pun Dr. Satiman Wirjosandjojo mendirikan Pesantren Luhur. Pada
masa kemerdekaan tokoh-tokoh Muslim yang tergabung dalam yayasan Stu-
di Islam ikut mendirikan Sekolah Tinggi Islam (STI) di Jakarta. Yayasan itu
diketuai Drs Muhammad Hatta dan Muhammad Natsir selaku sekretaris.
Dengan berpindahnya ibukota RI ke Yogyakarta pada 1946, maka STI
pun ikut pindah. Pada 22 Maret 1948, STI berubah menjadi Universitas Islam
Indonesia (UII) dengan empat Fakultas, termasuk Fakultas Agama. Pada
1950, atas prakarsa pemerintah berdiri dua perguruan tinggi negeri, UGM
dan PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri). Cikal bakal Perguruan

18 Abd. Wahid: Kontribusi Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah PTI. Al-Hilal….


Tinggi Islam ini dikembangkan dari Fakultas Agama UII yang telah berdiri
sebelumnya. PTAIN berdiri dengan tujuan untuk memberikan pengajaran
tinggi agama Islam dan menjadi pusat kegiatan pengembangan Ilmu penge-
tahuan Islam.1
Cikal bakal berdirinya PTI seperti digambarkan di atas menjadi salah
satu cerminan bahwa pada dasarnya lembaga pendidikan berbasis agama
tersebut mempunyai tujuan mulia, yakni menciptakan sarjana-sarjana Islam
yang handal untuk menguatkan pembinaan ummat dalam sebuah negara
yang bercirikan kemajemukan. Seiring dengan perubahan waktu dan kom-
pleksnya problema yang terus dihadapi umat, maka lembaga PTI. Al-Hilal
Sigli juga dituntut untuk mampu melakukan perubahan dalam segala bidang-
nya, baik berupa peningkatan mutu lulusan, pemenuhan tenaga dosen yang
berimbang serta peningkatan keterlibatan lembaga ke dalam masyarakat.
Sebagai lembaga yang bertugas menjawab berbagai tuntutan masya-
rakat Islam maupun masyarakat Indonesia secara umum, PTI. Al-Hilal Sigli
harus mampu menyesuaikan perubahan yang terus terjadi dalam masyara-
kat. Penyesuaian diri ini, tidak hanya pada pembukaan jurusan-jurusan baru
sesuai tuntutan, bahkan perubahan status kepada UIN tetapi lebih penting
dilakukan pada pola akademis berupa penyesuaian kurrikulum dan strategi
pembelajaran yang lebih baik.
Perubahan-perubahan yang bersifat kreatif di PTI. Al-Hilal Sigli pada
dasarnya merupakan tuntutan sejarah, dan sejalan dengan ajaran Islam yang
senantiasa menuntut umatnya untuk berpikir, bekerja keras bagi kepenti-
ngan kemanusiaan sesuai dengan perkembangan zaman. Karena dengan cara
itulah Islam sebagai agama yang cocok untuk setiap zaman dan tempat (sali-
hun di kulli zaman wa makan) dapat diwujudkan. Tanpa adanya kreatifitas
dari ummatnya, maka Islam sebagai rahmatan lil ’alamin, tidak akan pernah
terwujud. Sejarah mencatat, banyak sekali lembaga-lembaga pendidikan yang
di masa lalu dibanggakan dan diminati masyarakat, kini hanya tinggal nama,
dan ditinggalkan masyarakat. Dan ada pula lembaga pendidikan yang di ma-
sa lalu tergolong maju dan diminati masyarakat, kini masih tetap eksis secara
fungsional dan tampil dalam keunggulannya. Penyebabnya adalah karena
yang satu tidak mau melakukan inovasi dan pembaharuan, sedangkan yang
lainnya mau melakukan inovasi dan pembaharuan.2
Perubahan ke arah yang lebih matang dalam berbagai aspeknya me-
rupakan tuntutan yang tidak pernah berhenti, karena perkembangan itu sen-
diri tidak pernah berhenti. Para akademisi dan pakar yang berbasis lembaga
PTI. Al-Hilal Sigli mempunyai tugas berat untuk menggerakkan perubahan
lembaga tersebut secara bersama-sama. Untuk itu, pemupukan nilai-nilai ke-
bersamaan dan persatuan para akademis itu sendiri merupakan suatu kenis-
cayaan. Tidak hanya itu, para akademisi juga harus dapat mendidik para
pendukung administratif agar mampu mengikuti segala tuntutan tugas yang
_____________________________
1 Tim Penulis, Proses Perubahan IAIN menjadi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, (Ja-

karta: UIN Jakarta Press, 2002) hal. 18


2Azyumardi Azra, “Membangun Integrasi Ilmu, Iman, Amal dan Akhlak”, dalam

Proses Perubahan IAIN Menjadi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, ed. Kusmana, (Jakarta: UIN
Press, 2002), hal. 181.

Jurnal Azkia Vol. 5, No. 1, Juli 2010 19


dibebankan kepada mereka. Di samping itu, persoalan-persoalan yang ber-
nuansa politis, etnis serta persaingan jabatan yang tidak sehat perlu dikikis
perlahan namun pasti. Kampus merupakan tempat berkaryanya para pakar
yang menjunjung tinggi nuansa keilmuan, sehingga nuansa politis merupakan
hal “sampingan” yang bukan tujuan tetapi sekedar sarana untuk mengontrol
berjalannya roda akademik secara baik dan memuaskan.
Nuansa keislaman yang berkembang di PTI. Al-Hilal Sigli adalah nuan-
sa “Islam Indonesia”. Bagaimana dan apa saja yang menjadi kewajiban PTI.
Al-Hilal Sigli harus tercermin pada berbagai unsur lembaga tersebut, terma-
suk bagaimana memformat dan melahirkan para cendekiawan muslim yang
mampu menyahuti dan menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi
masyarakat di mana para alumni akan mengaplikasikan ilmu yang telah di-
perolehnya ketika menjadi mahasiswa. Untuk itu, kurikulum yang dikehen-
daki bagi lembaga PTI. Al-Hilal Sigli adalah kurikulum yang berbasis Keisla-
man dan Keindonesiaan. Islam merupakan label yang mutlak yang dipupuk
sejak awal masuk hingga selesai, sedangkan nuansa keindonesiaan adalah
memahami konteks yang berlaku di berbagai tingkatan komunitas dan latar
belakang kehidupan masyarakat. Untuk itu, sejak dini format kurikulum juga
harus dihiasi pemahaman dan pengenalan berbagai persoalan (isu-isu) di se-
kitar kampus dan masyarakat secara umum.
Indonesia merupakan negara yang memberi tempat yang seluas-
luasnya bagi agama untuk tumbuh dan berkembang. Ini bukan berarti Indo-
nesia menjadi negara agama, tetapi bukan pula negara sekuler. Dalam kondisi
demikian, yang diperlukan adalah toleransi. Karena sesungguhnya Allah
menciptakan manusia dari seorang laki-laki dan perempuan, dan menjadi-
kannya berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya mereka saling menge-
nal. Dengan melihat latar belakang inilah kajian keislaman khas keindone-
siaan menjadi sangat penting.3
Pluralitas masyarakat Indonesia bukan hanya dilihat dari beraga-
manya agama yang hidup di Indonesia. Tetapi juga dilihat dari majemuknya
masyarakat Indonesia baik dilihat dari segi latar belakang budaya yang san-
gat varian, maupun dilihat dari aspek-aspek lainnya seperti aspek ekonomi,
antropologi, sosiologi, psikologi, politik serta latar belakang dan tingkatan
penddikan yang sangat beragam. Untuk itu, sejak dini para calon sarjana PTI.
Al-Hilal Sigli harus diperkenalkan baik secara langsung menerjunkan mereka
melalui program resmi (KKN/KPM), ataupun secara tidak langsung seperti
melihat kondisi sekitar tempat tinggal mereka serta melalui kegiatan-
kegiatan ekstrakurikuler seperti bakti sosial dan sebagainya.
Dalam tataran keacehan, PTI. Al-Hilal Sigli memiliki karakteristik yang
unik dibandingkan dengan PTI. lainnya di Indonesia. Aceh yang dikenal Se-
rambi Mekkah, memiliki lembaga-lembaga pendidikan agama yang berciri
khas aceh yaitu “Dayah”. Para alumni dayah ternyata mempunyai minat yang
cukup tinggi untuk melanjutkan studi mereka di PTI. Al-Hilal Sigli, sehingga
kemajemukan dalam lingkungan PTI. Al-Hilal Sigli semakin terlihat. Menyi-
kapi hal tersebut, lembaga PTI. Al-Hilal Sigli dituntut untuk mampu membe-
_____________________________
3 Presiden Republik Indonesia, sambutan Lustrum ke 8 IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 30 Juli 1997, www. Panjimas.co.id.

20 Abd. Wahid: Kontribusi Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah PTI. Al-Hilal….


rikan materi pembelajaran yang sesuai dan dibutuhkan oleh para alumni
dayah yang pada umumnya sudah menyandang prediket “teungku” setamat
dari dayah tempat mereka menimba ilmu. Lembaga PTI. Al-Hilal Sigli harus
mempersiapkan tenaga pengajar yang handal dan berwawasan luas di sam-
ping mampu memahami karakter mahasiswa yang berasal dari berbagai latar
belakang ilmu, termasuk dari dayah.
Nuansa lain, yang menjadi tantangan ke depan bagi PTI. Al-Hilal Sigli
adalah upaya islamisasi ilmu pengetahuan, melalui berbagai pendekatan dan
metode salah satunya adalah dengan membuka jurusan-jurusan eksakta di
lingkungan PTI. Al-Hilal Sigli dan berupaya memberikan konsep yang lebih
unik yakni dilandasi nilai-nilai keislaman (keagamaan). Menurut Quraish
Shihab, PTI. merupakan implementasi ide Islamisasi ilmu pengetahuan dan
teknologi yang marak diperbincangkan pada dekade belakangan ini. Namun
begitu, Quraish Shihab menolak memakai istilah Islamisasi. “Menurut saya,
istilahnya lebih tepat sebagai proses spiritualisasi atau pemberian muatan
nilai-nilai rohaniah pada upaya penggalian dan pengamalan ilmu pengeta-
huan,” katanya. Quraish mengakui, elemen-elemen Iptek yang berkembang
selama ini ada yang tidak sesuai dengan norma-norma agama. Barat yang
berpandangan sekuler alias meniadakan peran agama dalam penggalian dan
pengamalan Iptek.4
Pelaksanaan islamisasi atau spiritualisasi ilmu yang diemban oleh
PTI. Al-Hilal Sigli tidak harus menunggu berubahnya status PTI. Al-Hilal Sigli
itu sendiri menjadi Institut, karena proses itu memakan waktu yang cukup
panjang mengingat persyaratan yang harus dipenuhi pun cukup banyak. Na-
mun, demikian yang harus dilaksanakan sekarang ini adalah berusaha me-
nyempurnakan berbagai bidang, baik bidang akademik, administrasi maupun
kerja sama dengan pihak luar. Dalam tataran akademik, PTI. Al-Hilal Sigli di-
tuntut cerdas melakukan inovasi dan rekonstruksi berbagai kurikulum dalam
semua mata kuliah sehingga muatannya mengarah kepada upaya Islamisasi
atau spiritualisasi ilmu dan teknologi. Secara umum, ada 2 kategori materi
ajar di PTI. Al-Hilal Sigli yaitu materi yang bersifat umum (eksakta), dan ma-
teri bersifat khusus (keagamaan). Kedua komponen ini harus dipoles kembali
kepada arah pertemuan pada titik spiritualitas (keagamaan). Praktisnya,
berbagai mata kuliah pokok seperti Tafsir, Hadits, Fiqh, Filsafat, Akhlak dan
sebagainya harus menyentuh berbagai persoalan yang sedang berkembang
dalam masyarakat sehingga setiap persoalan yang timbul mampu dijawab
oleh lulusan PTI. Al-Hilal Sigli. Sebaliknya materi-materi yang bersifat dasar
umum seperti Bahasa Indonesia, Kewarganegaraan, Matematika, Filsafat dan
sebagainya harus diupayakan bersinergi dengan nilai-nilai keagamaan (Is-
lam), sehingga ilmu pengetahuan apapun dapat dikembalikan kepada sum-
bernya yaitu Allah SWT. sebagai pemilik segala ilmu pengetahuan.
Sebagai sebuah lembaga pendidikan berbasis Islam, dalam mengha-
dapi era globalisasi PTI. Al-Hilal Sigli harus mampu menciptakan distingsi
dengan lembaga-lembaga pendidikan lainnya yang ada di Aceh maupun di
_____________________________
4 M. Quraish Shihab, “Perlu Perjuangan Berat Ubah IAIN jadi Universitas” dalam

Proses Perubahan IAIN menjadi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, ed. Kusmana, (Jakarta: UIN
Jakarta Press, 2002), hal. 30.

Jurnal Azkia Vol. 5, No. 1, Juli 2010 21


Indonesia. Distingsi PTI. Al-Hilal Sigli dibandingkan lembaga lainnya adalah
terletak pada tugas yang diemban atau visinya untuk mengintegrasikan anta-
ra ilmu umum dan ilmu agama. Dengan cara demikian dikotomi ilmu agama
dengan ilmu umum tidak akan ada lagi. Atas dasar ini, maka mahasiswa yang
mengambil program studi umum wajib memahami dasar-dasar keislaman
secara utuh, komprehensif, aktual, kontekstual dan modern. Mereka harus
dapat membaca al-Qur'an/teks Arab, mengamalkan ibadah dengan benar,
memiliki aqidah yang kokoh dan berakhlak mulia. Sebaliknya mahasiswa
yang mengambil program studi agama, wajib mengetahui dasar-dasar pen-
getahuan umum seperti sosiologi, antropologi, psikologi dan sebagainya.5
Hal serupa juga berlaku bagi dosen umum dan dosen agama. Dosen
umum wajib memiliki wawasan agama yang memadai dan dosen agama wa-
jib memiliki wawasan pengetahuan umum yang memadai pula. PTI. Al-Hilal
Sigli harus membangun integrasi ilmu, iman, amal dan akhlak. Karena dengan
cara itulah kita dapat membangun manusia seutuhnya, yaitu manusia yang
memiliki rasa percaya diri dan dapat keahlian profesionalnya. Namun bersa-
maan dengan itu ia juga memiliki ketahanan mental melalui ketangguhan
iman dan akhlak mulia.
Integrasi Ilmu, iman, amal dan akhlak ini merupakan karakteristik aja-
ran Islam yang tidak mengenal pemisahan antara urusan dunia dan akhirat.
Hal tersebut merupakan kebutuhan fitrah manusia. Memenuhi kebutuhan
jasmani sama pentingnya dengan memenuhi kebutuhan akhirat. Islam ber-
beda dengan pandangan Barat yang menempatkan agama sebagai urusan
gereja, ilmu pengetahuan urusan universitas, dan politik urusan istana. Islam
memandang bahwa antara satu dan lainnya sebagai suatu kesatuan karena
sumbernya berasal dari Tuhan.6
Pandangan integralistik seperti itulah yang melandasi epistemologi
bangunan fakultas-fakultas yang ada di PTI. Al-Hilal Sigli. Secara epistemolo-
gi sains adalah generalisasi/ teoritisasi dari gejala-gejala alam fisik yang te-
rikat oleh hukum alam (natural law). Demikian juga dengan ilmu pengeta-
huan sosial seperti ilmu ekonomi, politik dan sebagainya adalah merupakan
teoritisasi dari gejala-gejala sosial yang terikat oleh hukum sosial (social
law). Selanjutnya ilmu agama Islam seperti Tafsir, fiqh, akhlaq dan seba-
gainya merupakan teoritisasi dari nash al-Qur'an dan hadis yang diproses
melalui ijtihad dengan menggunakan metode-metode tertentu. Dalam pan-
dangan Islam, hukum alam (natural law), hukum sosial (social law), dan nash
al-Qur'an adalah ayat-ayat Allah. Berbagai ilmu tersebut hanya dapat dibeda-
kan dari sebutannya saja, tetapi hakikatnya adalah anugerah Tuhan. Itulah
sebabnya ketika seorang saintis mampu merumuskan suatu teori, maka teori
tersebut sebenarnya merupakan temuannya dan bukan ciptaannya. Ia hanya
menemukan dan bukan menciptakan. Penciptanya adalah Allah. Demikian
juga ulama yang mengkaji nash al-Qur'an dan hadis kemudian mampu mela-
hirkan produk hukum, maka produk hukumnya itu merupakan temuannya,
bukan ciptaannya.

_____________________________
5 Azyumardi Azra, “Membangun Integrasi …, hal. 184
6 Azyumardi Azra, “Membangun Integrasi …, hal. 186.

22 Abd. Wahid: Kontribusi Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah PTI. Al-Hilal….


Selanjutnya PTI. Al-Hilal Sigli harus menjadi lembaga pendidikan ke-
banggaan umat Islam dalam skala regional (Pidie) maupun nasional. PTI. Al-
Hilal Sigli harus memiliki semua keunggulan dalam seluruh aspeknya, kita
harus hilangkan kesan lembaga pendidikan Islam yang kumuh, terbelakang,
tertutup, tidak punya percaya diri, tidak diperhitungkan orang lain dan seba-
gainya. Kita menginginkan PTI. Al-Hilal Sigli menjadi kampus yang bersih,
asri dan indah, modern dalam pengelolaannya, terbuka bagi siapa saja, memi-
liki rasa percaya diri dan disegani orang lain. Dalam tataran yang lebih khu-
sus, Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah sebagai bahagian yang tidak terpisahkan
dengan PTI. Al-Hilal Sigli memiliki visi yang lebih khusus pula, antara lain
mencetak calon pendidik yang handal dan islami dalam berbagai bidang
keilmuan.
Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah memiliki tugas dan tanggung jawab ter-
besar di antara berbagai Fakultas di lingkungan PTI. Al-Hilal Sigli, salah satu
sebabnya adalah karena di Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah terdapat dua juru-
san penting dan hingga sekarang menjadi jurusan bergengsi dan favorit bagi
calon-calon mahasiswa baru. Dua jurusan dimaksud adalah Bahasa Arab dan
Pendidikan Agama Islam. Bahasa Arab merupakan bahasa pengantar wajib
bagi siapa saja yang mengkaji ajaran dan ilmu-ilmu keislaman. Sedangkan
Pendidikan Pendidikan Agama Islam merupakan pencetak calon pendidik
untuk pelajaran Agama.
Untuk dapat mencapai level di mana sarjana PTI. Al-Hilal Sigli tidak
hanya bisa mengkaji dan memahami tradisi klasik tetapi juga dapat membe-
rikan tawaran pemikiran baru sesuai dengan tuntutan kekinian, maka kita
perlu memperhatikan soal kualitas calon-calon mahasiswa yang bakal masuk
ke PTI. Al-Hilal Sigli. Selama ini, mereka yang ditampung di PTI. Al-Hilal Sigli
umumnya adalah alumni Madrasah Aliyah Negeri (MAN), sebagian berasal
dari SMU dan sebagian berasal dari pesantren yang mengikuti ujian persa-
maan dengan MAN. Sudah menjadi rahasia umum bahwa rata-rata alumni
MAN, apalagi yang bukan dari jurusan agama, memiliki kelemahan yang cu-
kup mendasar, yaitu tidak menguasai bahasa Arab. Apakah kita bisa berharap
bahwa seorang yang tidak menguasai bahasa Arab kemudian bisa menawar-
kan pemikiran keislaman yang segar dan otoritatif (bisa diterima masyara-
kat)? Nampaknya jawabnya adalah negatif. Sebab bukan hanya di negara-
negara Islam, tapi di Baratpun, orang yang tidak menguasai bahasa Arab di-
anggap tidak layak untuk menjadi ahli pemikiran Islam. Karena itu, kita tidak
perlu heran kalau sebagian masyarakat kita lebih menghargai dan menguta-
makan tamatan pesantren yang pandai membaca kitab kuning ketimbang se-
bagian (kebanyakan?) alumni Perguruan Tinggi Islam yang sama sekali tidak
menguasai bahasa Arab.
Sebenarnya, masalah kelemahan bahasa Arab ini bukanlah ‘penyakit’
semua mahasiswa. Ada beberapa mahasiswa yang karena dulunya pernah
nyantri di pesantren atau berusaha belajar di luar jam sekolah, kemudian
menguasai bahasa Arab dengan baik. Sebagian dari mereka yang menguasai
bahasa Arab ini merupakan alumni MAPK (Madrasah Aliyah Program Khu-
sus) atau MAK (Madrasah Aliyah Keagamaan) yang memang telah didesain
dan diarahkan untuk menjadi kader-kader ahli keislaman. Namun sayang se-

Jurnal Azkia Vol. 5, No. 1, Juli 2010 23


kali, jumlah MAK tidak banyak dan belakangan konon bantuan pemerintah
untuk program inipun menipis sehingga jalannya mulai sempoyongan. Kea-
daan ini diperparah oleh kenyataan bahwa MAN tidak lagi membuka jurusan
agama, melainkan jurusan-jurusan seperti bahasa, IPS dan IPA yang kuriku-
lumnya sudah disesuaikan dengan SMU. Akibatnya, PTI. Al-Hilal Sigli pun ke-
kurangan bibit unggul yang berasal dari madrasah pemerintah. Yang menjadi
harapan tinggal mereka yang berasal dari pesantren yang ikut ujian persa-
maan dengan negeri. Sayangnya yang terakhir inipun, jumlahnya sangat mi-
nim.
Mengapa orang pesantren ‘malas’ masuk Perguruan Tinggi Islam?
Mungkin terdapat banyak alasan. Salah satunya adalah karena selama ini PTI
mensyaratkan agar calon mahasiswa memiliki ijazah negeri. Ini tentu saja
merepotkan bagi ‘kaum santri itu’. Karena itu, nampaknya kebijakan ini perlu
ditinjau kembali atau tegasnya dicabut saja.
Selain persoalan bahasa Arab, tentu bahasa Inggris juga amat diperlu-
kan bagi calon sarjana PTI. Al-Hilal Sigli. Lebih-lebih kajian keislaman seka-
rang ini telah berkembang berbarengan dengan perkembangan ilmu-ilmu
sosial dan humaniora di Barat. Untuk dapat mengakses sumber-sumber Ba-
rat, bahasa Inggris adalah modal utama. Apalagi, studi-studi Islam sekarang
tidak lagi hanya dikembangkan di Timur Tengah, melainkan juga di Barat
(Eropa dan Amerika, bahkan baru-baru ini di Australia).
Lalu, bagaimana PTI. Al-Hilal Sigli bisa memperoleh calon mahasiswa
yang pandai bahasa Inggris dan bahasa Arab sekaligus ? Tentu orang sema-
cam ini termasuk makhluk langka yang jumlahnya kadang hanya mencapai
hitungan jari. Karena itu, standar ideal ini bisa diturunkan sedikit, yaitu seku-
rang-kurangnya calon mahasiswa PTI. Al-Hilal Sigli adalah mereka yang
menguasai salah satu dari dua bahasa asing ini. Dengan demikian, jika ia ti-
dak menguasai bahasa Arab, maka meskipun dia tidak mungkin menjadi ahli
pemikiran Islam, dia tentu akan bisa mengembangkan ilmu-ilmu penunjang
dalam studi keislaman seperti sosiologi, antropologi, filsafat, Psikologi dan
lain-lain. Nampaknya tamatan MAN dan SMU masih dapat diharapkan seba-
gai calon mahasiswa yang cukup menguasai bahasa Inggris.

Realitas Kualitas Pendidikan di Aceh


Aceh dengan resmi telah memberlakukan syari'at Islam. Cakupan Sya-
ri'at bukan hanya dalam bidang hukum saja, tetapi mencakup semua aspek
kehidupan masyarakat. Hukum itu sendiri adalah salah satu aspek dari se-
mua sisi kehidupan. Hanya saja, kesan yang timbul dalam sebahagian kalan-
gan terutama kalangan yang anti syari'at Islam adalah syari'at Islam adalah
semata hukum Islam. Hal yang sangat disayangkan dalam konteks ini adalah
hembusan negatif yang mengidentikkan syari'at Islam dengan hukuman-
hukuman yang berlaku seperti hukum potong tangan, cambuk dan seba-
gainya.
Pendidikan merupakan salah satu aspek yang tidak terpisahkan dari
syari'at Islam. karakteristik pendidikan yang berlaku maupun undang-
undang yang dirumuskan terhadap pendidikan di Aceh tidak boleh berten-
tangan dengan Syari'at Islam serta memiliki karakter yang berbeda dengan

24 Abd. Wahid: Kontribusi Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah PTI. Al-Hilal….


undang-undang pendidikan di berbagai daerah lain maupun secara nasional.
Pendidikan di Aceh juga tidak boleh menyalahi undang-undang khu-
sus yang mengatur tentang pemerintahan Aceh. Dengan demikian, karakte-
ristik pendidikan di Aceh memiliki nuansa keislaman dan keacehan sekaligus.
Di antara hal penting yang ditetapkan berdasarkan undang-undang
Pemerintahan Aceh adalah dana otonomi khusus, yang memberi bagian ter-
sendiri bagi pengembangan pendidikan di Aceh. Dalam pasal 183 UUPA di-
nyatakan: "Dana Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud dalam pasal 179
ayat (2) huruf c merupakan penerimaan Pemerintah Aceh yang ditujukan un-
tuk membiayai pembangunan terutama pembangunan dan pemeliharaan in-
frastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, serta
pendanaan pendidikan, sosial dan kesehatan." Secara lebih detil dijelaskan
kembali dalam penjelasan tentang ayat 1 pasal 183, yang berisi: Pembiayaan
pendanaan pendidikan dalam ketentuan ini dapat digunakan seperti untuk
peningkatan kapasitas aparatur, tenaga pendidik, pemberian beasiswa baik
dalam maupun luar negeri dan kegiatan pendidikan lainnya sesuai dengan
skala prioritas".7
Penegasan tentang pembiayaan pendidikan dalam bentuk undang-
undang merupakan pegangan yang cukup kuat bagi pengembangan pendidi-
kan di Aceh dengan ciri khas yaitu bernuansa Keislaman dan Keacehan. Den-
gan adanya undang-undang tersebut, penyelenggara pendidikan di Aceh ti-
dak perlu ragu-ragu dalam mengembangkan berbagai kebijakan dalam kon-
teks pendidikan yang lebih bermartabat. Hal ini sangat memberikan kelelua-
saan bagi perkembangan pendidikan di Aceh di masa mendatang.
Keberadaan guru di sekolah dan di tengah-tengah masyarakat akhir-
akhir ini sering mendapat sorotan tajam. Hal ini dibuktikan dengan hasil
UAN tahun 2005 sangat menyedihkan, hampir 50% siswa (51,634 orang)
siswa di Aceh dinyatakan tidak lulus.8 Hal ini menunjukkan eksistensi dan
profesionalisme guru di sekolah dalam pembelajaran perlu dipertanyakan.
Dalam kaitan ini tepat apa yang dikatakan Ani M. Hasan, bahwa kemerosotan
pendidikan kita saat ini bukan disebabkan oleh perubahan kurikulum, tetapi
lebih disebabkan oleh kurangnya kemampuan profesionalisme guru dalam
proses pembelajaran.9
Kenyataan di atas merupakan sesuatu yang sangat memprihatinkan
dan sungguh sesuatu yang mencengangkan. Bagaimana tidak, angka ketidak
lulusan tersebut merupakan sinyalemen nyata, rendahnya kualitas pendidi-
kan kita saat ini. Keprihatinan yang terjadi berkenaan dengan kenyataan ter-
sebut, adalah bagaimana cara yang harus ditempuh oleh pemerintah untuk
merubah angka tersebut agar pendidikan di Aceh memiliki tingkatan yang
sama atau minimal tidak terpuruk pada angka-angka yang menyedihkan se-
perti yang terjadi pada tahun 2005 tersebut.

_____________________________
7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerinta-
han Aceh.
8 "Banyaknya para Siswa di Nanggroe Aceh Darussalam yang tidak Lewat UAN",

Harian Serambi Indonesia, Tanggal 3 Juli 2005.


9 Ani M. Hasan, Pengembangan Profesionalisme Guru di Abad Pengetahuan. www.

Suara Pembaharuan.com.

Jurnal Azkia Vol. 5, No. 1, Juli 2010 25


Sebagai daerah syari'at, pendidikan di Aceh cenderung lebih religious
dibandingkan daerah lain. Nilai-nilai religious tersebut dapat dilihat dari be-
berapa sudut, misalnya kurikulum yang diterapkan di Aceh cenderung men-
garah kepada pembinaan moral dan pemahaman keagamaan, di samping ti-
dak meninggalkan kurikulum yang telah ditetapkan secara nasional. Konsep
seperti ini berlaku di sekolah-sekolah umum di Aceh, sedangkan sekolah-
sekolah agama memang sejak awal memiliki kurikulum berdasarkan keteta-
pan dari Departemen Agama Republik Indonesia. Sisi lain yang berbeda da-
lam pendidikan di Aceh adalah, berlakunya pakaian muslim sebagai seragam
resmi.
Masyarakat Aceh, yang terkenal agamis lebih memilih sekolah yang
bernaung di bawah Departemen Agama karena mereka menginginkan anak-
anaknya menjadi cerdas dan tetap berpegang teguh pada ajaran agama. Ke-
nyataan ini dapat dilihat dari jumlah madrasah dan pesantren terpadu men-
jadi sekolah-sekolah favorit dan kualitasnya dapat bersaing dengan sekolah-
sekolah favorit yang berada langsung di bawah Departemen Pendidikan Na-
sional.

Kontribusi Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah untuk Aceh


Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah merupakan lembaga yang mencetak
para pendidik (guru) dalam berbagai bidang keilmuan. Dengan jurusan-
jurusan yang tersedia, kini Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah tidak hanya mence-
tak guru-guru dalam kategori ilmu-ilmu keagamaan saja, bahkan juga dalam
bidang-bidang keilmuan yang menjadi bidang-bidang materi pendidikan
yang diajarkan di semua level sekolah. Dengan kata lain juga, Sekolah Tinggi
Ilmu Tarbiyah tidak hanya mencetak para pendidik untuk sekolah-sekolah
agama saja (sekolah-sekolah di bawah naungan Departemen Agama), tetapi
juga di sekolah-sekolah umum (di bawah departemen Pendidikan Nasional)
dan sekolah-sekolah kejuruan lainnya.
Selain mencetak guru-guru yang tersebar di seluruh Pidie bahkan di
luar Pidie, Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah juga berperan sebagai lembaga yang
dipercayakan oleh pemerintah (Departemen Pendidikan Nasional) untuk me-
laksanakan program-program yang bertujuan meningkatkan mutu para pen-
didik.

Kesimpulan
Nuansa Pendidikan di Aceh memiliki karakteristik yang berbeda den-
gan yang dimiliki oleh daerah lain di Indonesia. Ada tiga hal yang membeda-
kan konsep pendidikan di Aceh, pertama, memiliki landasan syari'at Islam,
karena Aceh telah menetapkan pemberlakuan syari'at Islam. Kedua, landasan
keacehan, karena Aceh memiliki hak yang lebih khusus dalam pelaksanaan
pendidikan. Landasan kedua ini merupakan implementasi dari disahkannya
pemberlakuan Aceh sebagai daerah yang memiliki otonomi khusus, yang di-
bungkus dalam undang-undang Aceh. Ketiga, pengimplementasian undang-
undang Pemerintahan Aceh, sebagai wujud terjadinya perdamaian di Aceh.
Dalam undang-undang pemerintahan Aceh, diatur secara jelas pembagian

26 Abd. Wahid: Kontribusi Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah PTI. Al-Hilal….


hasil bumi Aceh, yang diperuntukkan untuk meningkatkan mutu pendidikan
di Aceh mencapai 20% dari keseluruhan anggaran.

Jurnal Azkia Vol. 5, No. 1, Juli 2010 27


DAFTAR PUSTAKA

Ani M. Hasan, Pengembangan Profesionalisme Guru di Abad Pengetahuan.


www. Suara Pembaharuan.com.

Azyumardi Azra, “Membangun Integrasi Ilmu, Iman, Amal dan Akhlak”, dalam
Proses Perubahan Instutut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Menjadi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, ed. Kusmana, Jakarta: UIN
Press, 2002.

Harian Serambi Indonesia, Tanggal 3 Juli 2005.

M. Quraish Shihab, “Perlu Perjuangan Berat Ubah Institut menjadi Universi-


tas” dalam Proses Perubahan Institut Agama Islam Negeri Syarif Hida-
tullah menjadi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, ed. Kusmana, Jakarta:
UIN Jakarta Press, 2002.

Presiden Republik Indonesia, sambutan Lustrum ke 8 Institut Agama Islam


Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 30 Juli 1997, www. Panjimas.co.id.

Tim Penulis, Proses Perubahan Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatul-
lah menjadi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta: UIN Jakarta Press,
2002.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerin-


tahan Aceh.

28 Abd. Wahid: Kontribusi Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah PTI. Al-Hilal….


KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DALAM IMPLEMENTASI
MANAJEMEN PENINGKATAN MUTU BERBASIS SEKOLAH
PADA MTsN SIGLI KABUPATEN PIDIE

Drs. Armia
Kepala Mtsn Beureunuen Kabupaten Pidie
Jl. Medan Banda Aceh, Beureunuen KM 125, Pidie Aceh
Email: armia.thaleb@yahoo.co.id

ABSTRACT
Quality of Improvement of School-Based Management (MPMBS) is
one of management form of school management that applied to improve the
quality of education at a school. Improving the quality of school education
would be realized if the potentials are given with greater authority and
flexibility to manage on their own through a participatory decision-making.
This writing aims to determine the principal efforts for the preparation of
programs, strategies and cooperation with the school committee in the
implementation of school-based management of quality improvement. The
researcher used descriptive method with qualitative approach. Techniques
of data collection were interviews, observation, and study documentation.
The subject of this research is the principal, board of teachers, principals,
administrators and school committees. The results showed that the efforts
made by the headmaster of Junior Islamic High School (MTsN), Sigli Pidie in
preparing the school program accordance with the school vision and mission
that is a compiled program can largely be implemented properly. Strategy
undertaken by the principal in the implementation MPMBS leads to the
formation model of effective school, which puts professionalism and
empowerment of all school personnel for the quality improvement program.
Based on the principal co-operation undertaken by the school committee in
the implementation, the implementation of MPMBS can be categorized good.
It is proved that the school committee involved in budgeting, program
implementation and evaluation of school programs.

Kata Kunci: Kepemimpinan dan Mutu Pendidikan

PENDAHULUAN
Mutu pendidikan merupakan pilar untuk menghasilkan sumber daya
manusia yang baik dan handal, sehingga usaha-usaha peningkatannya harus
selalu dilakukan secara terus-menerus agar mutu pendidikan semakin baik.
Oleh karena itu, perlu dilakukan kebijakan khusus untuk perbaikan. Salah
satunya adalah melakukan inovasi pengelolaan pendidikan melalui Manajemen
Berbasis Sekolah (School Based Management). Kebijakan ini dipandang seba-

Jurnal Azkia Vol. 5, No. 1, Juli 2010 29


gai upaya perbaikan mutu berkelanjutan yang diharapkan mampu mengatasi
masalah rendahnya mutu pendidikan.
Maju atau mundurnya suatu sekolah sangat tergantung pada
manajemen kepemimpinan kepala sekolah dan peran serta para stakeholder.
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dipaparkan oleh Supriadi, sebagai
berikut1:
(1) survey yang dilakukan di SD menunjukkan bahwa kebanyakan sekolah
yang berhasil disebabkan oleh kepemimpinan kepala sekolah yang berkuali-
tas; (2)survey di puluhan SMU menunjukkan bahwa sekolah-sekolah yang
berkualitas sangat ditentukan oleh kualitas kepemimpinan kepala sekolah
yang bersangkutan dan (3) kenyataan yang sama juga ditemukan pada pene-
litian yang dilakukan di beberapa negara maju yang menunjukkan dengan
sangat nyata adanya keterkaitan antara kepemimpinan kepala sekolah den-
gan peningkatan kualitas pembelajaran di sekolah.2
Kepala sekolah merupakan orang yang paling bertanggung jawab
terhadap pelaksanaan kegiatan pembelajaran, mulai dari input, proses sam-
pai dengan output sekolah yang dipimpinnya. Untuk dapat menjalankan tu-
gasnya dengan baik idealnya seorang kepala sekolah memahami, menguasai
dan mampu melaksanakan berbagai kegiatan yang berkenaan dengan fung-
sinya sebagai administrator dan manajer yang profesional serta memiliki ke-
terampilan yang baik.
Secara umum Wahjosumidjo menyatakan sebagai berikut:
Ada tiga macam keterampilan yang harus dimiliki oleh kepala sekolah
yaitu: keterampilan konseptual yaitu mampu menganalisis berbagai kejadian,
serta mampu memahami berbagai kecenderungan (conceptual skill), kete-
rampilan manusiawi yaitu kemampuan untuk memahami perilaku manusia
dan proses kerjasama (human skill), dan keterampilan teknis yaitu kemam-
puan menguasai pengetahuan tentang metode, proses, prosedur dan teknik
untuk melaksanakan kegiatan khusus (technical skill).3
Upaya mewujudkan pembelajaran yang bermutu, kepala sekolah harus
menyusun program yang efektif, mulai dari menciptakan iklim sekolah yang
kondusif, memotivasi, membimbing guru dan personil sekolah lainnya. Baik
buruknya proses pembelajaran di kelas dipengaruhi oleh banyak faktor, akan
tetapi salah satu yang sangat menentukan adalah kepemimpinan kepala se-
kolah. Tilaar menyatakan bahwa: “kepemimpinan kepala sekolah yang mene-
rapkan MBS merupakan salah satu faktor utama yang menentukan kualitas
pendidikan.”4
MBS menjadi isu yang sangat serius dibicarakan, karena MBS model
manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah, membe-
rikan fleksibilitas/keluwesan kepada sekolah, dan mendorong partisipasi se-
cara langsung warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan) dan

_____________________________
1
Dedi Supriadi, Mengangkat Citra dan Martabat Guru, (Yogyakarta: Adicita Karya
Nusa, 2005), hal. 364.
2
Dedi Supriadi, Mengangkat…, hal. 364
3
Wahjusumidjo, Kepemimpinan Kepala Sekolah, (Jakarta: Bina Rupa Aksara, 2008),
hal. 100.
4
Tilaar, (2004), hal. 23.

30 Drs. Armia: Kepemimpinan Kepala Sekolah dalam Implementasi…


masyarakat (orang tua siswa, tokoh masyarakat, ilmuwan, pengusaha) untuk
meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional ser-
ta peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis ingin melihat lang-
sung Kepemimpinan Kepala Sekolah di MTsN Sigli Kabupaten Pidie. Untuk itu
penulis memilih judul penelitian ini “Kepemimpinan Kepala Sekolah dalam
Implementasi Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) pa-
da MTsN Sigli Kabupaten Pidie.”

Profil Madrasah Tsanawiyah Negeri Sigli


Asal Usul Madrasah Tsanawiyah Negeri Sigli, berawal dari Sekolah
Pendidikan Guru Agama Negeri 6 Tahun (PGAN) kemudian dipecah menjadi
dua, yaitu Pendidikan Guru Agama Negeri 3 Tahun (PGAN) dan Madrasah
Tsanawiyah Negeri Sigli (MTsN). Pada tanggal 1 April 1979 MTsN Sigli di
Pimpin oleh Hasan Nurdin dari Tahun 1979 sampai dengan Tahun 1983.
Kemudian dilanjutkan oleh Hasan Ibrahim dengan tempat/ruang bela-
jarnya masih di Gedung PGAN 3 Tahun. Pada Tahun 1986 baru dibangun Ge-
dung MTsN baru di lokasi sekarang sebanyak 3 ruang belajar, beberapa ta-
hun kemudian dibangun lagi 3 ruang belajar dengan sumber dananya dari
Wali Murid, namun Ruangan Kantor/ Guru masih di Gedung PGAN.

Upaya Kepala Sekolah dalam Menyusun Program Sekolah pada MTsN


Sigli
Hasil penelitian menunjukkan bahwa upaya-upaya yang dilaksanakan
oleh kepala MTsN Sigli Kabupaten Pidie dalam penyusunan program sekolah
terdiri dari empat bagian yaitu:

Bidang Kurikulum
Dalam menyusun perencanaan kegiatan MTsN Sigli Kabupaten Pidie dila-
kukan pada setiap akhir tahun pelajaran yang meliputi kegiatan intra dan ek-
strakurikuler, perbaikan sarana dan prasarana sekolah, rencana kegiatan ke-
tatausahaan, penerimaan siswa baru, menyusun administrasi/perangkat
pembelajaran oleh guru dan lain-lain yang dianggap perlu, termasuk kebutuhan
dana yang diperlukan untuk menunjang kegiatan belajar mengajar serta pe-
rencanaan kesejahteraan guru dan pegawai sekolah.
Dalam wawancara peneliti dengan kepala sekolah mengatakan: “Dalam
rapat rutin dengan dewan guru dan pegawai telah direncanakan beberapa
agenda yang harus dibahas yaitu kegiatan belajar mengajar termasuk strate-
gi, metode dan evaluasi persiapan guru dalam mengajar, kegiatan ekstrakuri-
kuler siswa, renovasi sarana dan prasarana, program kerja tata usaha, pene-
rimaan siswa baru, kesejahteraan guru dan pegawai, upaya peningkatan mu-
tu sekolah, evaluasi kerja dan penyusunan anggaran biaya tahunan. Semua
masalah yang telah diagendakan dan dicari solusinya secara bersama dengan
jalan musyawarah dan mufakat. Kemudian hasil rapat dewan guru dan pe-
gawai tersebut kami bawa ke dalam rapat komite.”
Selanjutnya dalam wawancara peneliti dengan wakil kepala sekolah bi-
dang kurikulum beliau mengatakan bahwa: “Rapat penyusunan program se-

Jurnal Azkia Vol. 5, No. 1, Juli 2010 31


kolah selalu diadakan setiap akhir tahun pelajaran dengan agenda rapat me-
liputi kesiapan guru dalam mengajar, kesiapan perangkat pembelajaran dan
kesiapan buku paket yang digunakan dalam menunjang pelaksanaan proses
belajar mengajar baik yang bersifat intra maupun ekstra-kurikuler, renovasi
sarana sekolah, penyusunan perangkat mengajar serta evaluasi terhadap
program kegiatan yang telah dilaksanakan.”
Sehubungan dengan hasil rapat dewan guru dan pegawai tentang pro-
gram peningkatan mutu dan berbagai program pemeliharaan sarana dan
prasarana serta, mengenai anggaran dana yang dibutuhkan demi kelancaran
kegiatan belajar mengajar dan kesejahteraan guru dan pegawai. Dalam wa-
wancara peneliti dengan sekretaris komite sekolah mengatakan bahwa: “Ka-
mi melaksanakan rapat dengan wali siswa untuk menemukan solusi terha-
dap program pelaksanaan dan peningkatan mutu pendidikan terutama me-
nyangkut masalah anggaran yang dibutuhkan. Dalam hal ini kami beserta se-
genap wali siswa menanggapi dengan baik program yang diajukan oleh pe-
laksana pendidikan (sekolah) untuk memiliki sekolah yang benar-benar ber-
kualitas.”
Data di atas menjelaskan bahwa perencanaan peningkatan mutu sekolah
dimulai dengan rapat evaluasi dan program pada setiap akhir tahun pelaja-
ran yang dihadiri oleh kepala sekolah, dewan guru dan pegawai sekolah.
Seterusnya hasil rapat dilaporkan kepada komite sekolah dan komite sekolah
membuat rapat dengan wali siswa untuk mencari solusi tentang pelaksanaan
program sekolah.

Peningkatan Mutu Pengajaran


Sejak berdiri tahun 2003, MTsN Sigli Kabupaten Pidie telah menerapkan
sistem manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS) termasuk
dalam bidang kurikulum yang meliputi seluruh proses penyelenggaraan ke-
giatan proses pembelajaran. Kepala sekolah telah melakukan bimbingan dan
pengarahan cara pengembangan kurikulum dan silabus ke dalam program
kegiatan pembelajaran masing-masing mata pelajaran. Selanjutnya kepala
sekolah dan tim yang telah ditunjuk terdiri dari wakil kepala sekolah bidang
kurikulum, wakil kepala sekolah bidang kesiswaan melakukan supervisi,
pengawasan dan evaluasi terhadap pelaksanaannya. Kemudian guru men-
gembangkan isi kurikulum dan silabus secara rinci serta dituangkan ke da-
lam program tahunan, program semester, rincian Minggu efektif, rencana
pembelajaran hingga sampai penetapan Kriteria Ketuntasan Minimal. Penen-
tuan KKM dilihat dari tiga kriteria, yaitu tingkat kompleksitas mata pelajaran
bersangkutan, daya dukung, dan imtaq siswa pada suatu jenjang kelas.
Agar pelaksanaan tugas guru tersebut dapat berjalan dengan efektif, ma-
ka kepala sekolah melalui wakil kepala bidang kurikulum membuat roster
belajar sesuai kalender pendidikan yang diberikan oleh Kementerian Agama
Provinsi Aceh c/q Kantor Kementerian Agama Kabupaten Pidie, kemudian
roster itu dijadikan sebagai lampiran Surat Keputusan (SK) mengajar dan se-
terusnya disampaikan kepada masing-masing guru.
Wakil kepala sekolah bidang kurikulum dalam wawancara dengan peneli-
ti mengatakan bahwa: “Ada beberapa kendala yang selalu dan akan terus ter-

32 Drs. Armia: Kepemimpinan Kepala Sekolah dalam Implementasi…


jadi dalam menyusun roster pelajaran, di mana para guru selalu saja memin-
ta agar roster yang disusun harus sesuai dengan kehendak masing-masing
guru dengan berbagai alasan. Di sini pengajaran harus benar-benar jeli dan
bersikap profesional dalam menyusun roster sehingga semua guru merasa
diperlakukan secara adil dan bermartabat sehingga dapat menerima serta
melaksanakan proses pembelajaran sesuai roster yang telah disusun dengan
baik. Kendala lain terjadi apabila adanya perubahan/revisi kalender pendidi-
kan yang dilakukan oleh pihak Kementerian Agama. Karena dengan beru-
bahnya kalender pendidikan yang direvisi oleh dinas pendidikan berarti se-
mua sekolah di bawah Kementerian Agama harus menyesuaikan jadwal den-
gan kalender yang telah direvisi.”

Evaluasi Pengajaran dan Kinerja Guru


Proses evaluasi dilaksanakan terhadap pengajaran, kinerja guru dan pe-
gawai sebagai indikator kerja pada MTsN Sigli. Proses evaluasi ini biasanya
dilaksanakan pada rapat di akhir tahun pelajaran. Dalam hal ini kepala seko-
lah menjelaskan bahwa: “Rapat evaluasi dilaksanakan setiap akhir tahun pe-
lajaran. Rapat ini diikuti oleh kepala sekolah, wakil kepala sekolah bidang ke-
siswaan dan bidang kurikulum, dewan guru dan pegawai tata usaha.” Adapun
proses evaluasi yang dilakukan MTsN Sigli melalui beberapa kegiatan yaitu;
Evaluasi pengajaran yang terdiri dari Ulangan Harian (UH). Ujian Tengah
Semester (UTS), Ujian Semester (US), Ujian Akhir Sekolah (UAS) dan Ujian
Nasional (UN).
Menurut temuan peneliti melalui observasi, pelaksanaan evaluasi penga-
jaran dalam bentuk evaluasi ulangan harian, ulangan harian ini dilaksanakan
pada setiap selesai satu pokok bahasan atau satu Kompetensi Dasar (KD) un-
tuk mengetahui sejauhmana siswa menguasai materi yang telah diajarkan,
apabila ada siswa yang belum mampu mencapai kriteria ketuntasan minimal
(KKM) maka guru mengadakan remedial terhadap siswa tersebut tentang
materi yang belum tuntas. Untuk ujian tengah semester masih ada remedial
bagi siswa yang belum tuntas menguasai materi pelajaran, tetapi untuk ujian
semester tidak ada istilah remedial karena ini ujian yang sangat menentukan.
Ulangan harian ini sangat penting karena rata-rata hasil ulangan harian akan
dikali dua kemudian ditambah nilai ulangan tengah semester dan ditambah
nilai ujian semester dan dibagi empat maka nilai inilah yang menjadi nilai
murni yang diperoleh siswa dan kemudian dituangkan ke dalam raport.
Evaluasi kinerja secara umum dilakukan melalui rapat akhir semester,
rapat akhir tahun pelajaran atau rapat insidentil apabila diperlukan. Dalam
rapat inilah dilakukan evaluasi kinerja guru dalam mengajar, kinerja pegawai
dalam menjalankan tugas administrasi untuk mendukung tugas pengajaran
dan segala aktivitas siswa dalam kegiatan belajar mengajar. Dalam evaluasi
ini penilaian dilakukan terhadap daftar hadir, kemampuan melaksanakan tu-
gas sesuai bidan dan tanggung jawab terhadap efektivitas kerja. Hasil peni-
laian ini setiap akhir tahun dituangkan ke dalam Daftar Penilaian Pelaksa-
naan Pekerjaan (DP-3). Kemudian daftar penilaian pelaksanaan pekerjaan ini
diserahkan pada setiap guru (PNS) dan pegawai (PNS) setiap awal tahun dan
diberi waktu kira-kira sepuluh hari untuk menanggapi hasil yang diperoleh,

Jurnal Azkia Vol. 5, No. 1, Juli 2010 33


apabila ada keberatan maka guru atau pegawai dapat mengajukan keberatan
kepada kepala sekolah.

Pengembangan Ketenagaan
Guru merupakan perancang ulung yang mampu mengkondisikan sua-
sana belajar sesuai dengan materi, keadaan siswa dan waktu yang tersedia
sehingga pembelajaran dapat berlangsung dengan baik dan menyenangkan.
Hal ini hanya dapat dilakukan oleh guru yang profesional. Kepala MTsN Sigli
Kabupaten Pidie melaksanakan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Se-
kolah dalam bidang ketenagaan khususnya pengembangan mutu guru yaitu
dengan memberikan kesempatan pada guru untuk melanjutkan pendidikan
ke jenjang yang lebih tinggi guna meningkatkan kualitas sumber daya manu-
sia. Memberikan insentif kepada guru yang mengajar lebih dari 24 jam/
minggu yang dananya dianggarkan dari dana BOS.
Di samping itu kepala sekolah juga memberikan berbagai kemudahan
berupa dispensasi kepada guru yang mengikuti penataran, seminar, loka-
karya, workshop, Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) dan pelatihan
lainnya yang bertujuan meningkatkan kualitas guru tersebut serta memberi
kemudahan bagi guru yang akan naik pangkat sepanjang telah memenuhi
syarat dan kemudahan kepada guru yang akan mengusul gaji berkala.
Bagi guru dan tenaga kependidikan pada MTsN Sigli Kabupaten Pidie
ada beberapa jenis penataran yang sering diikuti mulai penataran/pelatihan
tingkat sekolah, tingkat kabupaten, provinsi dan nasional. Untuk semua jenis
pelatihan/penataran ini sangat didukung oleh kepala sekolah demi peningka-
tan sumber daya guru dan pegawai.
Hasil wawancara peneliti dengan guru matematika yang juga merupa-
kan ketua MGMP Al-Qur’an Hadits MTsN Sigli, beliau mengatakan bahwa:
“Dalam hal pengembangan SDM guru dan pegawai, kepala sekolah memberi-
kan kesempatan seluas-luasnya sepanjang tidak mengganggu jadwal menga-
jar dan tetap bertanggung jawab terhadap tugas yang diembannya. Setiap
guru yang akan mengikuti pelatihan/penataran akan diberi dana tambahan
berupa uang transport yang memang telah diprogramkan dalam RAPBS dana
BOS.” Tidak hanya penataran dan pelatihan, untuk meningkat-kan sumber
daya guru juga dilakukan dengan cara Musyawarah Guru Mata Pelajaran
(MGMP) dan kelompok kerja guru. Adapun kegiatan yang dilakukan di sini
adalah melakukan diskusi untuk mempelajari kurikulum dan mengembang-
kannya, mengembangkan metode mengajar yang sesuai dengan situasi dan
kondisi yang dihadapi yaitu meliputi waktu, materi dan lingkungan sekolah.
Seorang guru pendidikan agama mengatakan bahwa: “Di awal tahun pela-
jaran kami diundang oleh kepala sekolah selama 2 (dua) hari untuk melaku-
kan kegiatan rapat dan dilanjutkan dengan persiapan perangkat mengajar
melalui MGMP menurut rumpun mata pelajaran masing-masing yang telah
ditunjuk seorang instruktur untuk memberi pengarahan terhadap program
kerja yang akan disusun. Dalam hal ini kepala sekolah meng-alokasikan dana
untuk kehadiran guru-guru dan bagi guru yang telah menyerahkan admini-
strasi kelengkapan mengajarnya juga akan diberikan dana tambahan.”

34 Drs. Armia: Kepemimpinan Kepala Sekolah dalam Implementasi…


Berdasarkan deskripsi di atas jelaslah bahwa pelaksanaan MPMBS dalam
bidang ketenagaan dilakukan melalui kegiatan pelatihan dan penataran,
MGMP dan supervisi. Mengingat salah satu cara meningkatkan mutu sekolah
dengan pengembangan dan peningkatan mutu guru, maka kepala sekolah se-
lalu memberikan motivasi kepada guru-guru untuk melanjutkan pendidikan
ke jenjang Sl maupun S2 karena dengan demikian diyakini guru dapat me-
nambah wawasan, pengetahuan dan keterampilan dalam mengajar. Hal ini
mendapat respon yang positif dari guru-guru, walaupun saat ini hanya ada
satu orang yang sedang menyelesaikan jenjang studi pasca sarjana (S2).
Berdasarkan deskripsi data di atas dapat diungkapkan bahwa kepala
sekolah sangat merespon keinginan guru dan pegawai dalam melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, dalam upaya peningkatan SDM seko-
lah. Bahkan bukan saja memberi izin tetapi juga memotivasi mereka selama
mereka tetap konsisten dengan beban kerja yang telah menjadi tanggung ja-
wabnya. Fokus pelaksanaan supervisi di MTsN Sigli Kabupaten Pidie adalah
kesiapan guru dan pegawai mulai dari menyusun, melaksanakan dan menge-
valuasi program kerja mereka yang diharapkan memperoleh hasil secara
efektif dan efisien. Dalam hal ini supervisi yang dilakukan sangat berperan
membantu guru dan pegawai dalam memperbaiki kinerja masing-masing.
Bagi guru yang memahami manfaat supervisi, mereka sangatlah se-
nang apabila disupervisi, hal ini berarti membantunya untuk menjadi guru
yang profesional. Namun bagi guru yang kurang memahami manfaat supervi-
si, maka mereka akan takut dan resah sehingga kelihatan canggung ketika
disupervisi. Hal ini biasanya tidak berlangsung lama karena dengan bimbin-
gan dan pengarahan yang diberikan oleh supervisor, mereka segera mema-
hami dan senang apabila disupervisi.
Dalam program OSIS terdapat pelaksanaan studi tour yang dapat di-
kembangkan dan dikemas dalam bentuk study comparative atau studi band-
ing. Program ini biasanya dilakukan dalam rangka pelepasan siswa kelas IX
yang telah selesai masa pendidikannya selama 3 (tiga) tahun. Kesempatan ini
dilakukan dengan mengunjungi sekolah-sekolah yang memiliki sistem yang
sama atau berdekatan dengan sistem yang dimiliki oleh sekolah yang melak-
sanakan studi banding dengan harapan akan mendapatkan pengetahuan atau
pengalaman baru yang dapat diterapkan ketika kembali ke sekolah.
Manajemen pembinaan siswa merupakan hal yang mendukung penca-
paian hasil belajar, karena pembinaan kesiswaan berkaitan erat dengan pen-
gembangan keterampilan, watak, dan kepribadian siswa MTsN Sigli Kabupa-
ten Pidie. Hasil studi dokumentasi dan wawancara dan peneliti dengan wakil
kepala bidang kesiswaan beliau mengatakan bahwa: “Dalam peningkatan
pembinaan ekstra-kurikuler dan pengembangan diri pada setiap hari Jum'at
dan Sabtu serta Senin sampai Kamis sore dengan berbagai kegiatan waktu
les tambahan yang diberikan oleh guru khususnya mata pelajaran yang ter-
masuk ujian nasional. Pembinaan Kegiatan Kepramukaan, Keagamaan (Tajhis
mayat, Tilawatil Qur'an, dan Muhadharah), Seni drama dan tari, Olah Raga
(Volly Ball, Sepak bola, dan Tenis meja).” Seterusnya manajemen peningkatan

Jurnal Azkia Vol. 5, No. 1, Juli 2010 35


mutu berbasis sekolah dilakukan juga oleh kepala sekolah di bidang kesis-
waan yang berkaitan dengan:

Penerimaan Siswa Baru (PSB)


Kegiatan penerimaan siswa baru dikelola sedemikian rupa mulai dari
perencanaan daya tampung siswa yang akan diterima di MTsN Sigli Kabupa-
ten Pidie. Setiap akhir tahun pelajaran kira-kira pada April sekolah ini telah
mulai menerima siswa baru, tentunya dengan izin dari Kantor Kementerian
Agama. Panitia pelaksana penerimaan siswa baru ditunjuk oleh kepala Ma-
drasah berdasarkan rapat dewan guru.

Kegiatan Masa Orientasi Siswa (MOS)


Masa Orientasi Siswa (MOS) merupakan kegiatan pembuka yang ha-
rus diikuti oleh setiap siswa yang telah dinyatakan lulus seleksi masuk. Ke-
giatan ini dilakukan, sesuai jadwal dan materi serta petunjuk yang dikelua-
rkan oleh Kepala MTsN Sigli Kabupaten Pidie. Pada dasarnya kegiatan ini
bertujuan untuk memberi bekal dan pembinaan penyesuaian diri siswa sebe-
lum memasuki masa belajar. Selanjutnya pada kegiatan ini pengurus OSIS
dapat melihat bakat dan minat yang ditampilkan oleh siswa baru sehingga
memudahkan bagi guru untuk melakukan penempatan siswa pada kelas ter-
tentu dan memudahkan pula siswa berbakat saat-saat tertentu sehingga guru
dengan agak mudah dapat memilih siswa yang akan diikutsertakan dalam
kegiatan tertentu.

Penempatan Siswa pada Kelas Tertentu


Sebelum mengikuti proses belajar mengajar, wakil kepala sekolah bi-
dang kurikulum beserta pengajaran melakukan penempatan siswa menurut
rangking pada seleksi tes masuk. Hal ini diharapkan agar terjadi persaingan
belajar di antara siswa yang mempunyai kemampuan di atas rata-rata se-
hingga dapat memotivasi mereka dalam mengembangkan dasar ilmu yang
telah mereka miliki. Dengan sistem ini diharapkan adanya pembibitan siswa
agar selalu siap untuk dikirim sebagai wakil sekolah dalam berbagai perlom-
baan baik pada tingkat daerah, provinsi, dan maupun nasional.

Program OSIS dan Pembentukannya


Setiap awal tahun pelajaran pembina OSIS melaksanakan rapat den-
gan pengurus OSIS untuk melakukan pembubaran OSIS lama dan pembentu-
kan OSIS baru. Hal ini dilakukan dengan cara demokrasi dengan terlebih da-
hulu menentukan beberapa siswa sebagai kandidat untuk menjadi ketua
OSIS. Mereka diberi kesempatan untuk melakukan orasi (kampanye) dengan
memaparkan berbagai program yang akan dilaksanakannya apabila terpilih
sebagai ketua OSIS.

Kehadiran dan Pengendalian Disiplin Siswa


Masalah disiplin kehadiran siswa dikontrol melalui buku siswa ter-
lambat dan absensi yang telah dibagikan pada setiap kelas. Tugas ini didele-

36 Drs. Armia: Kepemimpinan Kepala Sekolah dalam Implementasi…


gasikan kepada setiap wali kelas. Buku siswa terlambat berupa buku tentang
data siswa yang hadir setelah pukul 7.45 WIB.
Bagi siswa yang datang terlambat tidak dibenarkan untuk mengikuti
upacara bendera, dan mereka dianjurkan untuk mengutip sampah yang ada
di lingkungan sekolah. Apabila hal ini terulang sampai 3 (tiga) kali dalam se-
bulan, maka untuk keterlambatan yang ke empat siswa tersebut disurati
orang tua atau wali untuk datang ke sekolah dengan tujuan menyampaikan
hal yang terjadi pada anaknya. Melalui kerja sama dengan guru bimbingan
dan konseling pihak sekolah menyurati wali yang siswanya melanggar kedi-
siplinan tentang kehadiran atau pelanggaran lainnya.

Program Supervisi bagi Siswa


Untuk menjaga keseimbangan sistem belajar siswa, pihak sekolah me-
lalui kerjasama antara wali kelas, pembina OSIS dan guru bimbingan konse-
ling selalu dan mendata siswa yang mengalami kelainan seperti sering mela-
mun, mengalami tidur ketika proses belajar mengajar berlangsung dan sering
marah-marah tanpa alasan yang jelas serta siswa putra usil yang berlebihan.
Hal ini bukan saja merugikan siswa tersebut akan tetapi juga dapat berpen-
garuh negatif kepada siswa lainnya sehingga prestasi belajar siswa bisa saja
turun drastis.

Evaluasi dan Laporan Kemajuan Siswa


Sekolah melakukan beberapa evaluasi dalam satu semester, dianta-
ranya ulangan harian, ulangan tengah semester dan pengambilan nilai prak-
tik dan latihan dari semua evaluasi tersebut dikalkulasikan sehingga setiap
guru mata pelajaran dapat mengetahui sampai dimana kemajuan belajar sis-
wa. Kemudian hasil tersebut dilaporkan kepada bidang pengajaran dan ke-
pada sekolah melalui buku absensi dan nilai.
Untuk setiap satu semesternya pelaksanaan evaluasi ini ditutup den-
gan penilaian/ujian semester yang meliputi beberapa ranah, penilaian yang
telah diatur dalam penilaian Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
menurut mata pelajaran masing-masing. Dari hasil wawancara peneliti den-
gan salah seorang guru mengatakan bahwa: “Setiap hari kami melakukan pe-
nilaian harian dan untuk setiap pertemuan kami melakukan postes dan
memberikan pekerjaan rumah atau latihan. Kemudian melalui instruksi dari
pengajaran kami melaksanakan Ujian Tengah Semester (UTS), dan untuk pe-
nilaian terakhir dilakukan ujian semester yang waktu pelaksanaannya telah
diatur sesuai kalender pendidikan sekolah. Setelah itu nilai ujian semester
dikalkulasikan dengan nilai ulangan harian dan UTS dengan rumus (2x UH +
UTS + US/4) dan nilai tersebut kami serahkan kepada pengajaran selanjutnya
pengajaran menyerahkan kepada wali kelas beserta leger penilaian.”

Strategi yang Dilakukan Kepala Sekolah dalam Implementasi MPMBS


pada MTsN Sigli
Kepala sekolah adalah orang yang sangat bertanggung jawab terha-
dap proses kependidikan yang berlangsung di sekolah. Terampil tidaknya

Jurnal Azkia Vol. 5, No. 1, Juli 2010 37


kepala sekolah dalam mengelola dan bekerja sama dengan personil sekolah
akan membawa dampak tersendiri bagi keberhasilan dan mutu sekolah yang
dipimpinnya. Standar keterampilan seorang kepala sekolah dapat dipandang
pada skill, kemampuan dan gaya kepemimpinannya. Dalam penelitian ini
upaya kepala MTsN Sigli Kabupaten Pidie dapat dibuktikan dari hasil pan-
tauan tentang proses pelaksanaan manajemen peningkatan mutu berbasis
sekolah nampak karakter tanggung jawab dalam menyusun perencanaan,
pengorganisasian, pembagian tugas dan pengevaluasian program sekolah
dan kerjasama yang baik dengan komite sekolah.
Strategi yang dilakukan kepala sekolah meliputi; perencanaan, pen-
gorganisasian, penyusunan kebijakan, pemecahan masalah dan pengemban-
gan program. Dari hasil wawancara peneliti dengan kepala sekolah diperoleh
data bahwa, upaya yang dilakukan oleh kepala sekolah adalah:

Merencanakan program sekolah


Dari hasil wawancara kepala sekolah mengatakan bahwa: “Beberapa aspek
yang direncanakan bersama dengan wakil kepala sekolah dewan guru dan
pegawai tata usaha yaitu merumuskan berbagai visi dan misi serta tujuan se-
kolah yang kemudian dilakukan musyawarah dalam menentukan visi dan mi-
si yang disepakati bersama. Kemudian untuk menentukan tujuan sekolah,
kepala sekolah beserta dewan guru menyesuaikan tujuan yang baru diru-
muskan dengan tujuan nasional sebagai pedoman untuk melaksanakan kuri-
kulum yang berlaku di seluruh Indonesia.”

Mengorganisasikan dan melaksanakan kegiatan sekolah


Melalui hasil wawancara kepala sekolah mengatakan bahwa: “Kami
menganalisis program sekolah dengan cara membuat analisis SWOT dan
memanggil staf inti yang terdiri dari wakil kepala sekolah bidang kurikulum
dan bidang kesiswaan, kepala pengajaran, kepala tata usaha dan pembina
OSIS kemudian melakukan musyawarah tentang analisis program sekolah,
membagi tugas mengajar guru sesuai menurut bidang studi masing-masing
sesuai dengan surat keputusan mengajar yang, dimiliki kecuali untuk mata
pelajaran muatan lokal ditugaskan kepada guru yang lebih menguasai, men-
gadakan supervisi kelas dengan menyusun jadwal terlebih dahulu setiap
semester, mengadakan pelatihan dan pemantapan metode mengajar bagi
guru setiap awal semester dengan membayar honor tutor untuk setiap rum-
pun mata pelajaran, melaksanakan evaluasi kerja guru dan personil lainnya
yang dituangkan dalam setiap rapat pertengahan dan akhir semester.”

Mengambil keputusan dalam kegiatan sekolah


Masih dengan proses wawancara kepala MTsN Sigli Kabupaten Pidie
mengatakan bahwa: “Dalam mengambil keputusan untuk setiap kegiatan di
sekolah biasanya saya melakukan musyawarah dengan dewan guru dan tata
usaha terutama dengan wakil kepala sekolah bidang kurikulum dan bidang
kesiswaan, kepala pengajaran, kepala tata usaha dan pembina OSIS bahkan
juga melibatkan komite sekolah, Namun demikian apabila ada suatu instruksi
dari Kantor Kementerian Agama Kabupaten Pidie yang bersifat mendadak (in-

38 Drs. Armia: Kepemimpinan Kepala Sekolah dalam Implementasi…


sidentil) terkadang saya memutuskan sendiri tentang kebijakan yang harus
diambil akan tetapi hal ini sangat jarang terjadi mengingat jalur komunikasi
begitu mudah untuk dilakukan dewasa ini.”

Upaya yang Dilakukan Kepala Sekolah Menjalin Hubungan Kerjasama dengan


Komite Sekolah
Berdasarkan keterangan dari kepala sekolah dan sekretaris komite
sekolah dapat diinformasikan bahwa “komite sekolah turut berperan dalam
penyelenggaraan program sekolah sehingga hal-hal yang dirasakan perlu un-
tuk pengembangan sekolah dapat diakomodasikan sehingga dapat diada-
kan evaluasi sejauhmana ketercapaian program yang telah direncanakan.”
Menurut kepala sekolah dan sekretaris komite bahwa pihak sekolah
dan komite selalu melakukan hubungan kerjasama dalam membuat perenca-
naan anggaran sekolah. Hal ini dilakukan selain untuk menanamkan tingkat
kepercayaan masyarakat juga sebagai suatu upaya agar laporan tentang ang-
garan pembiayaan sekolah lebih terbuka dan transparan. Dengan adanya ker-
jasama ini maka apabila terjadi kekurangan dana dalam perencanaan angga-
ran biaya adalah menjadi tanggung jawab bersama antara sekolah dengan
pihak komite sebagai partner untuk dapat mencari solusi terbaik demi ter-
laksananya program pendidikan sebagaimana yang diharapkan. Setelah me-
lakukan wawancara dengan kepala sekolah dan komite serta melalui studi
dokumentasi, maka penulis mendapat informasi bahwa komite sekolah MTsN
Sigli ikut proaktif dalam pelaksanaan program sekolah.
Hasil wawancara peneliti dengan kepala sekolah dan komite menun-
jukkan bahwa adanya kepentingan pihak sekolah untuk melakukan konsulta-
si dengan komite dan masyarakat lainnya dalam rangka meningkatkan mutu
sekolah dengan pertimbangan komite sekolah dan masyarakat sedikit ba-
nyaknya memahami akan potensi yang dimiliki daerahnya agar dapat dikem-
bangkan melalui program sekolah. Hal ini sangat relevan dengan program
MPMBS, di mana adanya unsur memanfaatkan sumber daya yang terdapat di
lingkungan sekolah untuk dapat dikembangkan dan diberdayakan.

Upaya Kepala Sekolah Menyusun Program MPMBS


Strategi manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah di sini lebih
didasari oleh kemampuan kepala sekolah sebagai faktor utama dalam me-
nyusun, menjalankan program di samping dukungan yang signifikan dari
dewan guru, pegawai tata usaha sekolah serta masyarakat di lingkungan se-
kolah.
Hal ini ditandai dengan adanya berbagai kegiatan yang melibatkan se-
genap stakeholders yang meliputi program peningkatan mutu pendidikan
melalui penambahan jam pelajaran, peningkatan mutu guru melalui Musya-
warah Guru Mata Pelajaran (MGMP), penataran, pelatihan, supervisi, dan
pendidikan lanjutan, pendidikan siswa melalui program pravokasional, prak-
tek ibadah, pramuka, latihan kepemimpinan, pembinaan bakat minat yang
difokuskan kepada empat bidang kegiatan yang meliputi; Bidang keagamaan,
ilmu pengetahuan dan teknologi, olah raga, serta bidang kesenian serta pro-

Jurnal Azkia Vol. 5, No. 1, Juli 2010 39


gram peningkatan pembiayaan melalui partisipasi komite, wali siswa, masya-
rakat, pengusaha, dan instansi yang mendukung pembiayaan program pe-
ningkatan mutu sekolah.
Dalam hal kebijakan kepala sekolah di sini melakukan perpaduan dua
kebijakan, yaitu kebijakan yang dimulai dari atas kepada bawah (top down)
dan kebijakan yang dimulai dari bawah ke atas (bottom up). Kebijakan yang
kedua tersebut lebih mengandalkan dukungan dari dewan guru, komite, dan
stakeholders lainnya.
Penyusunan dan penerapan MPMBS bersasaran untuk tercapainya
proses pembelajaran dengan optimal. Setiap penyusunan program diarah-
kan agar proses pembelajaran berjalan dengan baik, efektif, dan menyenang-
kan, dan berorientasi kepada pencapaian tujuan pembelajaran. Hal ini dapat
dilakukan dengan mendorong guru-guru untuk menerapkan strategi pembe-
lajaran sesuai yang telah direncanakan. Hal ini sebagaimana disarankan oleh
Umaedi bahwa: “Guru perlu didorong untuk terus menyempurnakan strategi
pembelajaran.”5
Upaya kepala sekolah dalam peningkatan manajemen berbasis seko-
lah yang juga sangat penting dilakukan adalah mengarahkan guru-guru agar
mampu dalam menyusun sendiri RPP, menyiapkan materi, dan media pem-
belajaran yang dapat mendukung proses pembelajaran yang akan dilaksana-
kan. Di samping itu, juga mampu memberikan motivasi kepada para guru.
Dalam kaitan ini Murniati menyatakan bahwa:
Persekolahan sebagai pendidikan yang dilembagakan, memerlukan
kepemimpinan yang handal dari seorang kepala sekolah. Dalam hal ini pe-
mimpin persekolahan yang biasa disebut dengan kepala sekolah, yaitu suatu
jabatan yang diberikan kepada seorang guru yang memiliki nilai lebih dari
rekan-rekan sejawatnya. Kelebihan yang dimiliki biasa dikarenakan se-
nioritasnya, kecerdasannya, bakatnya memimpin, kemampuannya berkomu-
nikasi, mampu menjembatani berbagai ide rekan sejawat, memahami dasar-
dasar kependidikan yang kuat, paham terhadap prinsip organisasi, mampu
bekerja sama, mampu menggerakkan sumber daya pendidikan, dan seba-
gainya.

Strategi Kepala Sekolah Mengimplementasikan MPMBS6


Strategi implementasi manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah
yang dilakoni oleh kepala MTsN Sigli Kabupaten Pidie ini lebih mengarah pa-
da pembentukan model sekolah efektif (effective school), di mana sekolah
menempatkan profesionalisme kerja dan pemberdayaan semua personil se-
kolah merupakan acuan utama bagi keberhasilan seluruh program peningka-
tan mutu sekolah. Hal ini tentunya menjadi sesuatu yang, lumrah mengingat
sekolah ini adalah sekolah favorit walaupun dalam pelaksanaannya sudah
pasti sangatlah berat dan kepemimpinan di dalam haruslah dijalankan oleh
orang-orang pilihan yang mempunyai kemampuan kerja serta tanggung ja-
wab yang tinggi.
_____________________________
5
Umaedi…, hal. 7
6
Murniati A.R. Manajemen Strategik Peran Kepala Sekolah dalam Pemberdayaan,
(Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2008), hal. 141

40 Drs. Armia: Kepemimpinan Kepala Sekolah dalam Implementasi…


Pemilihan strategi harus sesuai dengan kriteria sehingga tercapai tu-
juan pembelajaran dengan efektif dan efisien. Hal ini sebagaimana dipapar-
kan oleh Uno sebagai berikut:
Pemilihan strategi pembelajaran yang akan digunakan dalam proses
pembelajaran harus berorientasi pada tujuan yang akan dicapai. Selain
itu, juga harus disesuaikan dengan jenis materi, karakteristik peserta di-
dik, serta situasi atau kondisi di mana proses pembelajaran tersebut akan
berlangsung. Terdapat beberapa metode dan teknik pembelajaran yang
dapat digunakan oleh guru, tetapi tidak semuanya sama efektifnya dapat
mencapai tujuan pembelajaran. 7
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kepala MTsN Sigli
telah berupaya meningkatkan kemampuan kinerja guru dalam menyusun
program pengajaran sebagai bagian dari implementasi MPMBS. Hasilnya ada-
lah siapnya program pengajaran untuk memenuhi kelengkapan administrasi
guru. Upaya meningkatkan kinerja guru ini harus intensif dan sungguh-
sungguh baik dari kepala sekolah maupun dari guru itu sendiri, sehingga
guru benar-benar mampu menyusun program yang baik agar pembelajaran
dapat dilaksanakan secara efektif.

Upaya Kepala Sekolah Menjalin Kerjasama dengan Komite Sekolah


Kepemimpinan yang transparansi dan partisipatif yang diupayakan oleh
kepala MTsN Sigli Kabupaten Pidie dijalankan dengan kemampuan umum
kepala sekolah. Upaya tersebut diformulasikan melalui hubungan kerjasama
dengan guru, pegawai tata usaha, komite dan masyarakat setempat terutama
dalam meningkatkan mutu pendidikan dengan tujuan akhir dapat melahir-
kan lulusan yang berkualitas.
Dalam menjalankan roda kepemimpinan, tanggung jawab menjadi faktor
utama untuk mencapai keberhasilan. Penyebaran komitmen mutu dan tang-
gung jawab kepada masyarakat adalah satu bagian penting dalam peneri-
maan dan perwujudan strategi perubahan dalam pendidikan. Secara lebih
jelas, Uno memaparkan sebagai berikut:
Penyederhanaan konsep masyarakat dilakukan melalui “perwakilan”
fungsi stakeholder, dengan jalan membentuk Komite Sekolah (KS) pada
setiap sekolah dan Dewan Pendidikan (DP) di setiap kabupaten/kota. DP-
KS sedapat mungkin bisa mempresentasikan keragaman yang ada agar
benar-benar dapat mewakili masyarakat. Dengan demikian, interaksi an-
tara sekolah dan masyarakat dapat diwujudkan melalui mekanisme pen-
gambilan keputusan antara sekolah-sekolah dengan Komite Sekolah, dan
interaksi antara pejabat pendidikan di pemerintah kabupaten/kota den-
gan Dewan Pendidikan.8
Peran yang harus diemban oleh Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah
adalah: “sebagai advisory agency (pemberi pertimbangan), supporting agency
(pendukung kegiatan layanan pendidikan), controlling agency (pengontrol
_____________________________
7
Uno, Hamzah B., Profesi Kependidikan; Problema, Solusi, dan Reformasi Pendidikan di
Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hal. 7
8
Uno, Profesi…, hal. 86

Jurnal Azkia Vol. 5, No. 1, Juli 2010 41


kegiatan layanan pendidikan, dan mediator (penghubung atau pengait tali
komunikasi antara masyarakat dengan pemerintah.”9
Disadari bahwa untuk dapat memberdayakan dan meningkatkan peran
masyarakat, sekolah harus dapat membina kerjasama dengan orang tua dan
masyarakat, menciptakan suasana kondusif dan menyenangkan bagi peserta
didik dan warga sekolah. Itulah sebabnya paradigma MBS mengandung
makna sebagai manajemen partisipasif yang melibatkan peranserta
masyarakat sehingga semua kebijakan dan keputusan yang diambil adalah
kebijakan dan keputusan bersama, untuk mencapai keberhasilan bersama.
Dengan demikian prinsip kemandirian dalam MBS adalah kemandirian dalam
nuansa kebersamaan.
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa implementasi
MBS yang diupayakan oleh kepala sekolah dengan baik akan meningkatkan
mutu pendidikan. Dengan kata lain semakin tinggi kualitas pelaksana pendi-
dikan yang dimiliki oleh kepala sekolah, dewan guru, pegawai tata usaha,
komite dan masyarakat di MTsN Sigli Kabupaten Pidie, maka semakin baik
hasil yang dicapai dan terpenuhinya prinsip otonomi daerah, transparansi
dan akuntabilitas.

Kesimpulan
Upaya yang dilakukan kepala MTsN Sigli Kabupaten Pidie dalam me-
nyusun program sekolah sesuai dengan visi dan misi sekolah yang dijabarkan
dalam tujuan dan dapat dinyatakan sudah baik, yaitu program yang disusun
sebagian besar dapat dilaksanakan dengan baik.
Strategi yang dilakukan oleh kepala sekolah dalam implementasi MPMBS
mengarah pada pembentukan sekolah model efektif, yaitu menempatkan
profesionalisme dan pemberdayaan semua personil sekolah bagi program
peningkatan mutu. Untuk mewujudkan proses tersebut salah satu upaya ke-
pala sekolah adalah meningkatkan kinerja guru demi keefektifan proses
pembelajaran yang dilakukan.
Ditinjau dari sisi kerjasama yang dilakukan kepala sekolah dengan komite
sekolah dalam pelaksanaan MPMBS sudah dapat dikategorikan baik. Hal ini
terbukti bahwa adanya pelibatan komite sekolah dalam penyusunan angga-
ran, pelaksanaan program sekolah serta evaluasi program. Di samping itu,
seringnya kepala sekolah mengadakan rapat (musyawarah) dengan meli-
batkan komite sekolah dan masyarakat.

_____________________________
9
Uno, Profesi…, hal. 102

42 Drs. Armia: Kepemimpinan Kepala Sekolah dalam Implementasi…


DAFTAR KEPUSTAKAAN

Danim, Sudarman, Motivasi, Kepemimpinan dan Efektivitas Kelompok, Jakarta:


Rineka Cipta, 2006.

Depdiknas, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan


Nasional, Jakarta: Depdiknas, 2003.

------ Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Jakarta: Depdiknas,


2006.

Fattah, Nanang, Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan Dewan Seko-
lah. Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004.

Hermanti, Gaya Kepemimpinan, Jakarta: Universitas Terbuka, 2009.

Murniati A.R. Manajemen Strategik Peran Kepala Sekolah dalam Pember-


dayaan, Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2008.

Riyanto, Pemimpin dan Kepemimpinan di sekolah, Jakarta: Raja Grafindo,


2008.

Supriadi, Dedi, Mengangkat Citra dan Martabat Guru. Yogyakarta: Adicita


Karya Nusa, 2005.

Uno, Hamzah B., Profesi Kependidikan; Problema, Solusi, dan Reformasi Pendi-
dikan di Indonesia, Jakarta: Bumi Aksara, 2008.

Usman, Nasir, Manajemen Peningkatan Kinerja Guru, Bandung: Mutiara Ilmu,


2007.

Wahjusumidjo, Kepemimpinan Kepala Sekolah, Jakarta: Bina Rupa Aksara,


2008.

Jurnal Azkia Vol. 5, No. 1, Juli 2010 43


POTRET PENDIDIKAN ISLAM DI ACEH
DALAM LINTASAN SEJARAH

Masbur
STIT PTI. Al-Hilal
Jl. Lingkar Keunire, Pidie Aceh
Email: masbur@yahoo.com

ABSTRACT
Aceh province has shown its participation in education and one of
Aceh's privilege in the field of education. In several centuries ago, education
in Aceh, especially Islamic education has been implemented in a variety of
channels, types, and levels of education. Boarding Islam education (dayah) is
among the best choice in providing education in Aceh since earlier era till
now, although it is still within the national education system.

Kata Kunci: Pendidikan, Islam, dan Aceh.

Pendahuluan
Lembaga pendidikan berperan sebagai wahana strategis dalam mem-
persiapkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas bagi pembangunan
bangsa. Pendidikan di Aceh sudah berlangsung sejak berabad-abad yang lam-
pau, hal ini menunjukkan bahwa provinsi NAD memberi perhatian khusus da-
lam bidang pendidikan, baik pendidikan umum maupun pendidikan agama Is-
lam. Dengan demikian, tidak mengherankan jika dalam masyarakat Aceh ter-
dapat lembaga-lembaga pendidikan penting, mulai dari jenjang pendidikan da-
sar, jenjang pendidikan menengah, sampai jenjang pendidikan tinggi.
Lembaga pendidikan di Aceh mengikuti Sistem Pendidikan Nasional,
walaupun Aceh mempunyai landasan yuridis khusus tentang pendidikan yaitu:
Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2000 dengan pendidikan yang bernuansa
Islami yang dijabarkan dalam Qanun-qanun, namun tetap tidak terlepas dari
sistem pendidikan secara nasional, yaitu masih memakai Undang-Undang No-
mor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Pendidikan dalam masyarakat Aceh pada masa silam tidak mengenal
pemisahan antara pendidikan agama (agama Islam) dan pendidikan umum,
walaupun sepanjang sejarah masyarakat Aceh telah menjadikan agama Islam
sebagai pedoman dalam kehidupannya. Penghayatan dan pengamalan ajaran
Islam dalam rentang sejarah telah melahirkan suasana masyarakat dan budaya
Aceh yang Islami, budaya dan adat yang lahir dari ijtihad para ulama,
kemudian dipraktikkan, dikembangkan, dan dilestarikan oleh masyarakat.
Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui tentang Lembaga
Pendidikan Islam yang dilaksanakan di Aceh, walaupun mempunyai
kekhususan, namun tetap dalam kerangka Negara Kesatuan Republik

44 Masbur: Protret Pendidikan di Aceh dalam Lintasan Sejarah


Indonesia (NKRI), hal ini sebagaimana diatur dalam Rencana Strategis Aceh
2007-2012 (2007:39) bahwa “Sistem pendidikan yang dikembangkan di Aceh
adalah: “Sistem pendidikan nasional yang bersifat Islami, yaitu sistem
pendidikan yang berdasarkan pada Al-Qur’an dan Al-Hadits, nilai-nilai sosial
budaya masyarakat Aceh, filsafat hidup bangsa Indonesia. Nilai-nilai Islami
menjadi roh bagi sistem pendidikan nasional yang diterapkan di Aceh yang
menjiwai semua unsur”.

Dayah Sebagai Lembaga Pendidikan Tertua Di NAD


Sejak masa lalu hingga sekarang, Dayah merupakan lembaga
pendidikan paling penting di Aceh dan Dayah juga merupakan lembaga
pendidikan tertua di Aceh. Dayah adalah lembaga pendidikan Islam dengan
sistem pondok/rangkang yang dipimpin oleh ulama diselenggarakan oleh
yayasan, badan sosial, perorangan atau Pemerintah. Sebagian dayah di Aceh
masih mempertahankan sistem pendidikan lama.
Bentuk pendidikan dayah/pesantren di Aceh terdiri atas tiga macam,
yaitu:
1. Dayah Salafiyah yang tidak menyelenggarakan sistem program pendidikan
madrasah, dayah ini masih mempertahankan sistem salafiah, baik
kurikulum maupun sistem pengajarannya. Dayah ini mengajarkan ilmu-
ilmu agama Islam dari kitab-kitab kuning berdasarkan mazhab tertentu.
2. Dayah Terpadu yang menyelenggarakan sistem program pendidikan
madrasah dalam berbagai jenjang. Pembinaan pendidikan dayah/
pesantren di Aceh dilakukan secara terpadu oleh Kanwil Departemen
Agama, Dinas Syariat Islam dan Dinas Pendidikan yang dikoordinir oleh
Gubernur. Dayah ini memadukan kurikulum salafiah dan kurikulum umum.
3. Dayah Modern. Dayah modern ini menyelenggarakan pendidikan formal
dengan menerapkan kurikulum nasional, baik madrasah (MI, MTs, MA, dan
PT. Islam maupun sekolah umum (SD, SMP, SMA, dan PT Umum).
Peranan dayah berkaitan secara langsung dengan pengembangan
sumber daya manusia (SDM). Setiap program pendidikan dayah perlu
diorientasikan kepada pemantapan proses pengembangan sumber daya
manusia sebagai modal dasar pembangunan yang dilaksanakan oleh
pemerintah bersama masyarakat.
Dayah sebagai lembaga pendidikan Islam mempunyai peranan sebagai
motor penggerak untuk mewujudkan tujuan pendidikan Islam khususnya dan
pendidikan pada umumnya. Sehubungan dengan masalah pendidikan
(pengetahuan) ini, Allah Swt berfirman dalam Al-Quranulkarim (QS At-Taubah
ayat 122) yang artinya: “Tidak sepatutnya bagi orang Mukmin itu pergi semua
(ke medan perang), mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara
mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang
agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah
kembali padanya, supaya mereka itu dapat menjaga diri”.
Kegiatan belajar ala dayah terus-menerus berlangsung, hal ini
menunjukkan bahwa Aceh memberi perhatian khusus dalam bidang
pendidikan, lebih khusus dalam pendalaman ilmu-ilmu agama yang merupa-
kan bagian dari pelaksanaan perintah agama, karena dalam agama Islam

Jurnal Azkia Vol. 5, No. 1, Juli 2010 45


menuntut ilmu itu wajib hukumnya. Wajib menuntut ilmu ini didukung oleh
Hadits Nabi Besar Muhammad Saw, riwayat Ibnu Majah yang artinya
“Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap orang Islam”.
Dalam ketentuan umum Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Point
18 ditetapkan bahwa “Wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang
harus diikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah
dan Pemerintah Daerah”. Hal ini menunjukkan bahwa ada i’tikad baik dari
Pemerintah untuk menjalankan pendidikan yang merata bagi seluruh warga
negara Republik Indonesia.
Wajib belajar sembilan tahun sebagai program pendidikan yang
dicanangkan Pemerintah sejak tahun 1994 direncanakan tuntas pada tahun
2003/2004, dimaksudkan agar bangsa Indonesia lebih siap memasuki pasar
global, baik pasar bebas dalam Asian Free Trade Area (AFTA) tahun 2003 yang
lalu, maupun Asia Pasific Economic Cooperation (APEC) tahun 2010, walaupun
sampai tahun 2009 ini belum tuntas dilaksanakan, hal ini disebabkan oleh
banyak masalah yang dihadapi oleh bangsa Indonesia, seperti krisis moneter,
bencana alam, dan lain-lain.
Di ACEH, kehidupan masyarakat identik dengan Islam, oleh karenanya
segala sendi kehidupan bernuansa Islami, termasuk dalam menuntut ilmu,
walaupun tidak menutup kemungkinan masih ada juga warga Aceh yang
belum melaksanakan kewajiban ini. Peran Pemerintah sangat diperlukan
dalam masalah pendidikan ini.
Sehubungan dengan masalah ini, Thalhas (2007:13) mengemukakan
bahwa ”Dalam penyelenggaraan pendidikan di Aceh masa lalu, juga telah
dibagi dalam jenjang pendidikan, yaitu: Pendidikan tingkat meunasah,
pendidikan tingkat rangkang, pendidikan tingkat dayah, pendidikan tingkat
dayah teungku chik, dan pendidikan tingkat al jami’ah (universitas)”.
Adanya al jami’ah (universitas) sebagai pusat kegiatan ilmu pe-
ngetahuan, maka tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa Banda Aceh
Darussalam pada zaman keemasannya menjadi Kota Universitas yang handal
dan termasyhur. Pelaksanaan syari’at Islam di Aceh merupakan refleksi dan
kesinambungan proses pendidikan masa lalu.
Pada abad ke-17, Kerajaan Aceh termasuk salah satu negara yang kuat
dan maju diantara lima negara Islam di dunia, yaitu: Kerajaan Islam Aceh
Darussalam di Aceh, Kerajaan Turki Usmani di Turki, Kerajaan Mughal di India,
Kerajaan Safawi di Isfahan, dan Kerajaan Islam Maroko di Maroko. Indikator
kekuatan sebuah negara dapat dilihat dari kekuatan ekonomi, politik, dan
militernya, ketiga indikator tersebut dapat diperoleh melalui pendidikan.
Bayangkan, Aceh sejak abad ke-17 telah mengglobal, dimana masyarakat lain
baru masuk era globalisasi pada abad ke-20.
Di masa kesultanan, dayah menawarkan tiga tingkatan pengajaran,
yaitu: rangkang (tingkat dasar), bale (tingkat menengah), dan dayah manyang
(tingkat tinggi/universitas). Sebagaimana sekarang ini, kadang-kdang di suatu
dayah hanya ada tingkat dasar dan menengah, sedangkan di dayah lain ada
tingkat tinggi/universitas.
Pada tahun 1930-an, beberapa ulama di dayah-dayah dipengaruhi oleh
gagasan pembaharu, khususnya ide-ide tentang sistem pendidikan, ini dapat

46 Masbur: Protret Pendidikan di Aceh dalam Lintasan Sejarah


dilihat dari keputusan mereka mengganti nama dayah menjadi madrasah.
Beberapa madrasah yang dibangun pada masa itu diharapkan dapat mengatur
kurikulum dan metode mengajar untuk disesuaikan dengan perubahan
kebutuhan masyarakat khususnya dalam merespon ilmu pengetahuan modern
umumnya.
Pada awal kemerdekaan Republik Indonesia (1945-1948) para
pemimpin dan ulama Aceh ikut terlibat dalam inovasi pendidikan, mereka
sepakat bahwa seluruh madrasah diserahkan di bawah pengawasan negara
(umara), sedangkan dayah masih di bawah pengawasan ulama. Sehubungan
dengan masalah madrasah ini, Maksum (1999:79) menyebutkan bahwa
“Madrasah adalah salah satu bentuk kelembagaan Islam yang memiliki sejarah
sangat panjang”. Pendidikan Islam ini sendiri dalam pengertian umum dapat
dikatakan berkembang seiring dengan kemunculan Islam itu sendiri, yakni
berawal dari pendidikan yang bersifat informal berupa dakwah Islamiyah
untuk menyebarkan Islam, terutama dalam hal yang berkaitan dengan aqidah.
Pada masa itu berlangsungnya pendidikan Islam yang diselenggarakan
di rumah-rumah yang dikenal dengan Dar al-Arqam. Kemudian, seiring dengan
perkembangan Islam, pendidikan Islam diselenggarakan di mesjid-mesjid yang
dikenal dengan bentuk halaqah. Kebangkitan madrasah merupakan awal dari
bentuk perkembangan pendidikan Islam secara formal. Di lingkungan dunia
Islam, sebutan madrasah mengacu kepada suatu bentuk lembaga pendidikan
semi formal mungkin sudah mencuat sejak awal abad ke-11 dan ke-12 Masehi
(abad ke-5 dan ke-6 Hijriah), terutama sejak Madrasah Nizamiyah didirikan di
Bagdad oleh Nizam Al-Mulk seorang wazir dari Dinasti Muluk. Pendirian
madrasah ini tergolong monumental pada waktu itu, karena dia telah
memperkaya khazanah lembaga pendidikan di lingkungan masyarakat Islam
yang sebelumnya hanya mengenal pendidikan tradisional yang diselenggara-
kan di mesjid-mesjid. Aceh lebih cepat mengadopsi pendidikan madrasah ini.
Sejak Indonesia merdeka, telah terjadi tiga fase perkembangan
Madrasah di Indonesia termasuk di Aceh yaitu: (a) Fase antara tahun 1945-
1974; (b) Fase antara tahun 1975-1989; dan (c) Fase antara tahun 1990
sampai sekarang (Daulay 2007:56).

Fase antara tahun 1945-1974


Pada fase ini, madrasah lebih berkonsentrasi kepada pendidikan ilmu-
ilmu agama dan diajarkan pengetahuan umum sebagai pendamping untuk
memperluas cakrawala berfikir para pelajar. Pada waktu itu, untuk
melanjutkan studi ke Perguruan Tinggi Negeri agak sulit, kalaupun diterima
hanya di bidang-bidang sosial. Pengertian madrasah pada fase ini adalah
sesuai dengan peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
1945 dan Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Tahun 1950, yaitu:
“Madrasah adalah: (a) Tempat Pendidikan yang diatur sebagai sekolah
membuat pendidikan dan ilmu pengetahuan agama Islam menjadi Pokok
Pengetahuan; dan (b) Pondok dan pesantren memberi pendidikan setingkat
dengan madrasah”.

Fase antara tahun 1974-1989

Jurnal Azkia Vol. 5, No. 1, Juli 2010 47


Dalam fase ini diberlakukan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga
Menteri (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang Depdiknas), Menteri
Agama, dan Menteri Dalam Negeri). Inti dari SKB ini adalah diakuinya
kesetaraan antara madrasah dengan sekolah yaitu: Sekolah Dasar (SD) sama
dengan Madrasah Ibtidaiyah (MI), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP)
sama dengan Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas
(SLTA) sama dengan Madrasah Aliyah (MA). Pada fase ini, madrasah
didefinidikan adalah sebagai lembaga pendidikan yang menjadikan mata
pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar yang diberikan sekurang-
kurangnya 30% di samping mata pelajaran umum.

Fase antara tahun 1990-2000


Dalam fase ini mulai diberlakukan Undang-Undang Nomor 2 Tahun
1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional terkenal dengan sebutan UUSPN
diikuti dengan Peraturan Pelaksanaannya dalam Peraturan Pemerintah Nomor
28 dan 29 tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar dan Menengah. Madrasah
pada fase ini berciri khas agama Islam, maka program yang dikembangkan
adalah mata pelajaran yang persis sama dengan sekolah umum. Sebagai
sekolah yang berciri khas agama Islam diajarkan ilmu pengetahuan agama,
seperti: aqidah-akhlak, fiqih, qur’an-hadits, bahasa Arab, sejarah kebudayaan
islam, dan lain-lain.
Dalam fase ini mulai bergulir paradigma baru pemerintahan dalam
wilayah Republik Indonesia, dari era sentralisasi menjadi era desentralisasi,
paradigma baru ini berdampak terhadap penyelenggaraan pendidikan.
Bagaimana kedudukan madrasah dalam era baru ini, karena di satu pihak
Departemen Pendidikan berada dalam lingkup Otonomi Daerah, sementara
Departemen Agama tidak dalam lingkup Otonomi Daerah. Oleh karenanya ada
beberapa pendapat tentang masalah ini, yaitu :
1. Madrasah tetap berada di bawah naungan Departemen Agama. Semangat
ini didasari atas idealisme yang tinggi, selain itu Departemen Agama yang
tidak diotonomikan, maka termasuk juga di dalamnya pendidikan agama.
2. Madrasah dibawah naungan Departemen Pendidikan Nasional/Pemerintah
Daerah. Argumennya adalah karena masalah pendidikan telah diberi
otonomi, maka dikhawatirkan pendidikan di lingkungan madrasah yang
selama ini sudah tertinggal dibandingkan sekolah umum akan semakin
tertinggal. Oleh karena itu, madrasah sebaiknya berada dalam lingkungan
Dinas Pendidikan Nasional/Pemerintah Daerah sama seperti yang
diberlakukan Pemerintah Daerah terhadap sekolah.
3. Adanya pembagian wewenang antara Departemen Agama dengan
Pemerintah Daerah, teknis-teknis itu akan di atur tersendiri.
Berbicara tentang madrasah ini, ada beberapa cara pemberdayaan
madrasah yang harus dilakukan dalam rangka meningkatkan kualitas
pendidikan, baik secara regional maupun nasional yaitu : (1) Pemberdayaan
manajemen, meliputi : Pemberdayaan SDM (manusia/pengelola pendidikan,
kepala sekolah, guru, tenaga administrasi, pengawas, dan lain-lain) dan
memasuki era manajemen berbasis sekolah (MBS), (2) Pemberdayaan
sistemnya, dari sistem top down ke sistem bottom up, yaitu dari sistem

48 Masbur: Protret Pendidikan di Aceh dalam Lintasan Sejarah


sentralisasi ke sistem desentralisasi, (3) Pemberdayaan kebijakan dari
kebijakan yang memarjinalkan madrasah ke kebijakan yang membawa
madrasah ke center, (4) Pemberdayaan masyarakat, melibatkan unsur-unsur
masyarakat untuk ikut serta di dalam pemberdayaan madrasah dengan cara
meningkatkan peran serta steakholder dan akuntabilitas.

Pendidikan ACEH di Era Otonomi Daerah


Pada tahun 2000, Provinsi Aceh menetapkan Peraturan Daerah Nomor
6 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Pendidikan dengan penekanan pada
Pendidikan dengan kurikulum bernuansa Islami. Kemudian, pada tahun 2002
ditetapkan pula Qanun Nomor 23 tentang Penyelenggraan Pendidikan di
ACEH. Renstra Pendidikan NAD 2007-2012 (2007:39) menegaskan bahwa
”Sesuai dengan Qanun Nomor 23 Tahun 2002, sistem pendidikan yang
dikembangkan di ACEH ialah Sistem Pendidikan Nasional yang bersifat Islami,
yaitu Sistem Pendidikan yang berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits, nilai-nilai
sosial budaya masyarakat Aceh, dan filsafat hidup bangsa Indonesia.
Nilai-nilai Islam menjadi roh bagi Sistem Pendidikan Nasional yang
diterapkan di Aceh yang menjiwai semua unsur dan aspek pendidikan yang
berlangsung di semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Oleh karena itu,
salah satu prioritas kebijakan dalam Rencana Strategis Pendidikan Aceh
adalah memantapkan dan mengembangkan sistem pendidikan yang bersifat
Islami.
Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 23 Tahun 2002
tentang Penyelenggaraan Pendidikan, dalam pasal 10 ayat (10) disebutkan
bahwa “Sekolah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam disebut Madrasah,
kecuali sekolah yang diselenggarakan oleh yayasan/badan non-muslim.
Dengan demikian, di Aceh antara Sekolah dan Madrasah hampir tidak ada
perbedaan.
Setelah Indonesia merdeka, pendidikan di Aceh mengikuti pola
pendidikan yang dirancang oleh Republik Indonesia melalui perpanjangan
tangan Pemerintah dalam dua Departemen, yaitu: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan (sekarang Departemen Pendidikan Nasional) dan Departemen
Agama (walaupun Departemen lainnya juga ada yang menyelenggarakan
pendidikan), dengan tetap mengkhususkan daerah Aceh sebagai daerah
istimewa/khusus.
Sejak saat itu muncullah variatif (walau ada keinginan membuat satu
atap) dalam pendidikan di Aceh hingga sekarang, yaitu: (1) Lembaga-lembaga
pendidikan/sekolah dari jenjang pendidikan dasar (SD dan SMP), jenjang
Pendidikan Menengah(SMA/SMK), dan jenjang Pendidikan Tinggi (Uni-
versitas), baik negeri maupun swasta. (2) Lembaga-lembaga pendidikan
jenjang Pendidikan Dasar (MI dan MTs), Jenjang Pendidikan Menengah
(MA/MAK), dan Jenjang Pendidikan Tinggi (Universitas, AIN/STAIN/STIS).
(3) Lembaga-lembaga pendidikan yang dikelola oleh masyarakat, meunasah,
rangkang, dayah, dan pesantren. (4) Lembaga-lembaga pendidikan non formal
dalam bentuk majlis taklim Point 3 dan 4, ini dilaksanakan berdasarkan
dukungan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 pasal 34, yaitu: (1) Peran
serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan,

Jurnal Azkia Vol. 5, No. 1, Juli 2010 49


kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasya-
rakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pen-
didikan; (2) Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan
pengguna hasil pendidikan; dan (3) Ketentuan mengenai peran serta
masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Untuk melihat betapa eratnya kaitan antara pendidikan dan keislaman
di Aceh, terdapat beberapa landasan yuridis sebagai suatu kekuatan yang
sangat mendukung terselenggaranya pendidikan, antara lain: Undang-Undang
Repubblik Indonesia Nomor 44 Tahun 1999 (1999:10) tentang Penyeleng-
garaan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh (Provdista) dalam pasal
3 ayat (2) mengatur penyelenggaraan keistimewaan Aceh meliputi : (a)
Penyelenggaraan kehidupan beragama, (b) Penyelenggaraan kehidupan adat,
(c) Penyelenggaraan pendidikan, dan (d) Peran ulama dalam penetapan
kebijakan Daerah.
Dapat dilihat, satu dari empat keistimewaan Aceh adalah dalam
Penyelenggaraan Pendidikan. Melirik sejarah masa lalu, maka tepatlah
keistimewaan ini disandang oleh Aceh, walaupun dalam penyelenggaraan
pendidikan ini tetap sesuai dengan Sistem Pendidikan Nasional. Dalam
penyelenggaraan Pendidikan Daerah menambah muatan lokal sesuai dengan
syari’at Islam. Hal ini juga dituangkan secara yuridis dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 (2006: 215) tentang Pemerintahan
Aceh Pasal 215 bahwa: (1) Pendidikan yang diselenggarakan di Aceh
merupakan satu kesatuan dengan Sistem Pendidikan Nasional yang
disesuaikan dengan karakteristik, potensi, dan kebutuhan masyarakat
setempat; dan (2) Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan
semua komponen masyarakat termasuk komponen perempuan melalui peran
serta dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengendalian mutu layanan.
Pada tahun 2000, sebagai realisasi Undang-Undang Nomor 44 Tahun
1999 (1999:10), ditetap dalam sebuah Peraturan Daerah Provinsi Daerah
Istimewa Aceh Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2000 tentang
Penyelenggaraan Pendidikan dalam Point sembilan bahwa “Pendidikan daerah
adalah pendidikan yang dilaksanakan berdasarkan hak asal-usul daerah yang
bersifat istimewa dalam kaitan Sistem Pendidikan Nasional”.
Kurikulum pendidikan di Aceh diatur sebagai berikut: (1) Kurikulum
pada madrasah-madrasah di daerah disusun berdasarkan kurikulum nasional ;
(2) Kurikulum sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) adalah kurikulum
yang bernuansa Islami dan bersifat terpadu; dan (3) Kurikulum Madrasah di
daerah ditetapkan dengan keputusan Gubernur.
Penyelenggaraan pendidikan di Aceh dituangkan dalam Qanun Provinsi
NAD Nomor 23 Tahun 2002 (2002:4) tentang Penyelenggaraan Pendidikan
dituangkan dalam Point 12 bahwa “Sistem Pendidikan Aceh adalah pendidikan
yang diselenggarakan di Provinsi Aceh berdasarkan Sistem Pendidikan
Nasional yang disesuaikan dengan nilai-nilai sosial budaya daerah serta tidak
bertentangan dengan syari’at Islam.
Dasar, fungsi, tujuan, dan prinsip pendidikan di Aceh, diatur sebagai
berikut:

50 Masbur: Protret Pendidikan di Aceh dalam Lintasan Sejarah


1. Dasar : Pendidikan Aceh berdasarkan pada Al-Qur’an dan Al-Hadits,
falsafah Negara Pancasila, UUD 1945, dan Kebudayaan Aceh.
2. Fungsi : Pendidikan Aceh berfungsi untuk memantapkan iman dan takwa
kepada Allah Swt, mengembangkan kemampuan, ilmu, dan amal
saleh, dalam meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia sesuai
dengan tuntutan ajaran Islam, dan dalam rangka mewujudkan tujuan
pendidikan nasional.
3. Tujuan : Pendidikan Aceh bertujuan untuk membina pribadi Muslim
seutuhnya, sesuai dengan fitrahnya, yaitu pribadi yang beriman dan
bertaqwa kepada Allah Swt, berakhlakul karimah, demokratis, menjunjung
tinggi nilai-nilai kemanusian dan hak azasi manusia, berpengetahuan,
berketerampilan, sehat jasmani dan rohani, berkepribadian yang mantap
dan mandiri, mampu menghadapi berbagai tantangan global, dan memiliki
tanggung jawab kepada Allah Swt, masyarakat, dan negara.
4. Prinsip-prinsip: Pendidikan di Aceh dilaksanakan dengan prinsip-
prinsip sebagai berikut: (a) Pendidikan merupakan proses yang
berlangsung sepanjang hayat, (b) Pendidikan dilaksanakan secara Islami,
demokratis, adil, dan memperhatikan hak-hak azasi manusia, dan (c)
Pendidikan dilaksanakan secara menyeluruh terpadu, terbuka, dan terarah
pada pengembangan diri peserta didik semaksimal mungkin sesuai
minat, bakat, dan kemampuannya.

Pendidikan Islam di Aceh dalam Sistem Pendidikan Nasional dan


Stanpdar Nasional Pendidikan (SNP)
Kaitan Pendidikan di Aceh dengan Sistem Pendidikan Nasiona Sekolah-
sekolah yang berciri khas agama Islam secara struktural berada di bawah
naungan Departemen Agama, hal ini sebagaimana ditegaskan Daulay
(2006:72) dari segi anggaran untuk operasional pendidikan terdapat
perbedaan antara lembaga-lembaga pendidikan yang berada di bawah
naungan Departemen Agama dan Departemen Pendidikan Nasional.
Penyelenggaraan pendidikan di Aceh, walaupun diberi keistimewaan
oleh Pemerinrah Pusat, namun tetap mengikuti Sistem Pendidikan Nasional.
Dalam Sistem Pendidikan Nasional disusun delapan Standar Nasional
Pendidikan (SNP), salah satu diantaranya adalah Stantar Kompetensi Lulusan.
Pasal 25 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun
2005 (2005:24) menetapkan bahwa: (1) Standar kompetensi lulusan
digunakan sebagai pedoman penilaian dalam penentuan kelulusan peserta
didik dari satuan pendidikan; (2) Standar kompetensi lulusan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi untuk seluruh mata pelajaran atau kelompok
mata pelajaran dan mata kuliah atau kelompok mata kuliah; (3) Kompetensi
lulusan untuk mata pelajaran bahasa menekankan pada kemampuan membaca
dan menulis yang sesuai dengan jenjang pendidikan; dan (4) Kompetensi
lulusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) mencakup: sikap,
pengetahuan, dan keterampilan.
Pasal 26 menetapkan bahwa: (1) Standar kompetensi lulusan pada
jenjang pendidikan dasar bertujuan untuk meletakkan dasar kecerdasan,
pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup

Jurnal Azkia Vol. 5, No. 1, Juli 2010 51


mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut; (2) Standar pendidikan pada
satuan pendidikan menengah umum bertujuan untuk meningkatkan
kecerdasan, pengetahuan. Kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan
untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut; (3) Standar
kompetensi lulusan pada satuan pendidikan memengah kejuruan bertujuan
untuk meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia,
serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut
sesuai dengan kejuruannya; dan (4) Standar kompetensi lulusan pada jenjang
pendidikan tinggi bertujuan untuk mempersiapkan peserta didik menjadi
anggota masyarakat yang berakhlak mulia, memiliki pengetahuan,
keterampilan, kemadirian, san sikap untuk menentukan, mengembangkan
serta menerapkan ilmu, teknologi dan seni yang bermanfaat bagi
kemanusiaan.
Pendidikan nasional yang dapat menjadi perekat persatuan bangsa
bertitik tolak pada das sein (yang sebenarnya) menuju das sollen (yang
diharapkan). Penyelenggaraan pendidikan nasional yang menjadi perekat
persatuan bangsa meminta organisasi dan manajemen yang sesuai. Organisasi
dan maanjemen yang memberikan kesempatan bagi pemberdayaan masya-
rakat sendiri, bermula dari masyarakat lokal untuk menyelenggarakan
pendidikannya sendiri. Organisasi dan manajemen tanpa memberdayakan
tanggung jawab masyarakat lokal tidak akan berhasil mewujudkan persatuan
bangsa Indonesia dan terwujudnya kebudayaan Indonesia. Pendidikan
nasional merupakan perekat persatuan bangsa, oleh karenanya pendidikan
nasional tidak bisa diabaikan, walaupun pendidikan daerah perlu diperhati-
kan.

Kesimpulan
Pendidikan merupakan penyangga keistimewaan provinsi Aceh, Dayah
merupakan pendidikan tertua di Aceh. Walaupun Aceh mempunyai landasan
yuridis khusus tentang penyelenggaraan pendidikan dengan pendidikan yang
bernuansa Islami, namun masih tetap dalam bingkai NKRI, ini terbukti dengan
mengikuti Standar Nasional Pendidikan, baik kurikulum maupun standar
kompetensi lulusan.

52 Masbur: Protret Pendidikan di Aceh dalam Lintasan Sejarah


DAFTAR KEPUSTAKAAN

Al-Qur’anulkarim
Aziz, Syaikh Abdul Qadir, Keutamaan Ilmu dan Ahli Ilmu, Solo: Al- ’Alaq, 2006.
Daulay, Haidar Putra, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional,
Jakarta: Kencana Persada Media Group, 2006.
Gubernur Daerah Istimewa Aceh, Peraturan Daerah Istimewa Aceh Nomor 6
Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Pendidikan, Banda Aceh: Pemda
Provinsi Daerah Istimewa Aceh, 2000.
Maksum, Madrasah Sejarah dan Perkembangannya, Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1999.
Pemda NAD, Qanun Provinsi Nangroe Aceh Darussalam Nomor 23 Tahun 2003
tentang Penyelenggaraan Penididkan, Banda Aceh: Pemda, 2002.
Pemerintah Provinsi NAD Majelis Pendidikan Daerah, Rencana Strategis
(Renstra) Pendidikan Nanggroe Aceh Darussalam 2007-2012, Banda
Aceh: Pemda Aceh, 2007.
Presiden Republik Indonesia, Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh, Jakarta: CV.
Eko Jaya, 1999.
-----, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Na-
sional, Jakarta: Sinar Grafika, 2003.
-----, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan, Jakarta: CV. Eko Jaya, 2005.
-----, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh,
Jakarta: Yayasan Mata Uroe Nanggroe, 2006.
Thalhas, T. H. dan Choirul Fuad Yusuf (Editor), Pendidikan dan Syariat Islam di
Nanggroe Aceh Darussalam. Jakarta: Galura Pase, 2007.

Jurnal Azkia Vol. 5, No. 1, Juli 2010 53


IMPLEMENTASI KEMAMPUAN MENGAJAR
DALAM UPAYA PENINGKATAN HASIL BELAJAR

Ramli Abdullah
Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh
Kopelma Darussalam, Kota Banda Aceh
Email: ramliabdullah@yahoo.com

ABSTRACT
Teachers who have good qualifications and high quality as a subject teacher
will be able to carry out teaching and learning activities as well. The ability of
teachers to teach, which can be seen when teachers make lesson plans,
implement learning activities, and when it conducted an assessment of
student learning outcomes. Various capabilities of teachers in the teaching in
question, among others, is the ability of teachers in subject matter mastery,
the ability of teachers to manage teaching and learning, teacher capability in
managing the classroom, teachers' ability in using the media / methods of
teaching, the ability of teachers to manage teaching and learning interactions,
and the ability of teachers in assessing student learning outcomes. Teaching
and learning activities that teachers who have implemented and are able to
apply various teaching skills to effectively and efficiently will make the
students excited and love the subjects he taught, so students trying to learn
to really master the subject matter presented and in the end the students will
get the results higher learning as well.

Kata Kunci: Kemampuan Mengajar, Peningkatan Hasil Belajar

Pendahuluan
Kegiatan belajar mengajar yang dilaksanakan guru di hadapan siswa
bertujuan untuk tercapaian hasil belajar, baik dalam perencanaan belajar
mengajar, pelaksanaan belajar mengajar, maupun dalam pencapaian hasilnya
akan dipengaruhi oleh banyak faktor, di antaranya seperti yang dikemukakan
Suryabrata bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi hasil belajar, yaitu:
(1) faktor yang berasal dari luar diri siswa, seperti: (a) faktor sosial dan (b)
faktor non sosial, (2) faktor yang berasal dari dalam diri siswa, seperti: (a)
faktor fisiologis dan faktor psikologis.1 Sejalan dengan pendapat di atas,
Rooijakkers menjelaskan bahwa hasil belajar itu dipengaruhi oleh dua hal,
yaitu: (1) sesuatu yang berada dalam diri siswa (proses internal) dan (2)
sesuatu yang berasal dari luar siswa, dalam hal ini guru (proses eksternal).2
Oleh karena proses internal itu tidak langsung, maka seorang guru harus

_____________________________
1 Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Rajawali, 1990), hal. 249-254.
2 Ad. Rooijakkers, Mengajar dengan Sukses, (Jakarta: Gramedia, 1990), hhal. 15-22.

54 Ramli Abdullah: Implementasi Kemampuan Mengajar…


mampu mengarahkan proses eksternal sedemikian rupa sehingga dapat
mempengaruhi proses internal dalam diri siswanya.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan, bahwa berbagai faktor yang
mempengaruhi hasil belajar, yakni faktor internal, adalah faktor yang berasal
dari atau berada pada diri siswa; faktor eksternal, adalah faktor yang berasal
dari luar diri siswa itu sendiri.
Guru sebagai salah satu faktor eksternal yang mempengaruhi hasil
belajar siswa memiliki peranan yang cukup menentukan. Menurut pendapat
Wijaya bahwa mengajar di depan kelas merupakan perwujudan interaksi
dalam proses komunikasi. Guru sebagai pemegang kunci sangat menentukan
tercapainya hasil belajar siswanya.3 Dalam upaya agar terealisasinya tujuan
yang telah ditargetkan berkaitan sekali dengan kemampuan guru seperti
dikemukakan Syaodih bahwa pelaksanaan atau implementasi kurikulum
pelajaran hampir seluruhnya bergantung pada kemampuan, kreativitas,
kecakapan, kesanggupan dan ketekunan pada seseorang guru.4 Tugas dan
wewenang pada guru tersebut agar mampu melaksanakan dengan baik,
maka dalam itu perlu dianalisi pendapat dari Sallis menyatakan bahwa aspek
penting dari kepemimpinan sekolah adalah memberdayakan guru dan
memberi mareka wewenang yang luas untuk meningkatkan kualitas
pembelajaran para siswa.5
Pendapat ini dapat diperjelas dengan kata lain bahwa sebaik-baiknya
sebuah kurikulum, jika menyangkut tentang tujuan pengajaran yang ingin
dicapai sangatlah tergantung kepada kepada kemampuan guru yang
bermutu. Maka dengan demikian, begitu pentingnya peranan guru yang
berkualitas dalam proses belajar mengajar, karena guru yang mengusai
kemampuan mengajar ikut menentukan mutu keberhasilan siswa.

Hakikat Kemampuan Guru dalam Mengajar


Menurut Miarso kompetensi adalah kemampuan daya seseorang
untuk melaksanakan tugas, dan tugas itu diartikan sebagai kegiatan nyata
yang dilakukan sesuai dengan fungsi dalam kawasan / bidang yang
bersangkutan.6 Sedangkan Wijaya dan Rusyan menjelaskan bahwa
kemampuan (kompetensi) adalah hakiki kualitatif dari perilaku guru yang
tampak paling berarti. Kemampaun (kompetensi) juga berarti perilaku
rasional dalam rangka mencapai tujuan yang digariskan sesuai dengan
kondisi yang diinginkan.7 Maka dengan demikian bahwa yang dimaksud
dengan kompetensi adalah kemampuan atau kecakapan dalam melakukan

_____________________________
3 Cece Wijaya dan A. Tabrani Rusyan, Kemampuan Dasar Guru Dalam Proses Belajar
Mengajar, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992), hal. 5.
4 Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek,

(Bandung: Remaja Rosdakarya, 1997), hal. 200.


5 Edward Sallis, Total Quality Management in Education. Terjemahan Ahmad Ali

Riyadi Dkk (Yogyakarta: IRCiSod, 2006), hal. 174.


6 Yusufhadi Miarso, Menyamai Benih Teknologi Pendidikan, (Jakarta: Penada Media,

2004), hal. . 14.


7 Cece Wijaya dan A. Tabrani Rusyan, Kemampuan Dasar Guru dalam Proses Belajar

Mengajar , (Bandung : Ramaja Rosdakarya, 1992) hal. 8.

Jurnal Azkia Vol. 5, No. 1, Juli 2010 55


suatu yang didapatkan melalui pendidikan, sehingga mendapatkan
keahliannya.
Sependapat dengan para ahli di atas, Medley dalam Anderson
mengatakan bahwa kemampuan (kompetensi) adalah seperangkat pe-
ngetahuan dan kepercayaan yang dimiliki guru dan menerapkannya dalam
kegiatan belajar mengajar.8 Dari Munsyi dalam Uno menjelaskan bahwa
kemampuan (kompetensi) mengacu pada kemampuan melaksanakan
sesuatu yang diperoleh melalui pendidikan. Kompetensi juga menunjuk
kepada kinerja (kualitas kerja) dan perbuatan yang rasional untuk memenuhi
spesifikasi tertentu dalam melaksanakan tugas-tugas kependidikan
(pengajaran).9 Terkait dengan kompetensi (kemampuan), berikut ini
Anderson dalam Anwar menetapkan kemampuan (kompetensi) guru dalam
tiga bagian, yaitu: (1) kemampuan (kompetensi) profesional, meliputi: (a)
Penguasaan pelajaran yang terdiri atas penguasaan bahan yang harus
diajarkan, (b) Penguasaan dan penghayatan atas landasan kependidikan dan
keguruan, (c) Penguasaan proses-proses kependidikan, keguruan dan belajar
mengajar dengan siswa; (2) Kemampuan (kompetensi) sosial, meliputi
kemampuan menyesuaikan diri kepada tuntutan kerja dan lingkungan
sekitar pada waktu membawa tugasnya sebagai guru; (3) Kemampuan
(kompetensi) personal guru, meliputi: (a) Penampilan sikap yang positif
terhadap keseluruhan tugasnya sebagai guru, dan terhadap keseluruhan
situasi pendidikan beserta unsur-unsurnya, (b) Pemahaman, penghayatan
dan penampilan nilai-nilai yang seyogianya dianaut oleh seorang guru, (c)
kepribadian, nilai, sikap hidup penampilan dalam upaya untuk menjadikan
dirinya sebagai panutan dan teladan bagi siswanya.10 Sedangkan Sujana
menetapkan kemampuan (kompetensi) guru ke dalam empat bagian, yaitu:
(1) Memiliki pengetahuan tentang belajar dan tingkah laku manusia, (2)
Memiliki pengetahuan dan menguasai mata pelajaran yang diajarkannya, (3)
Memiliki sikap yang baik terhadap diri sendiri, dan (4) Memiliki kecakapan
teknik dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar.11 Sejalan dengan
pendapat di atas, Dill mejelaskan kemampaun guru dalam mengajar adalah
penguasaan dan pemilihan pengetahuan yang dibutuhkan guru, seperti
pengetahuan tentang isi materi mata pelajaran, pedagogik dan pengetahuan
dalam hal sosial budaya.12 Dari Glesser dalam Sujana menetapkan empat hal
yang harus dimiliki guru, yaitu: (1) Kemampuan guru dalam menguasai
bahan pelajaran, (2) Kemampuan guru dalam mendiagnosis perilaku siswa,
(3) Kemampuan guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar, dan (4)
Kemampuan guru dalam mengukur hasil belajar siswa.13
_____________________________
8 Lorin W. Anderson, The Efective Teacher, (Singapore: McGraw-Hill Book Company,
1989). hal. 18.
9 Hamzah B. Uno, Profesi Kependidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), hal. 60.
10 Mochal. Idochi Anwar, Administrasi Pendidikan dan Manajemen Biaya Pendidikan,

(Bandung: Alfabeta, 2003), hal. 52.


11 Sujana, Metode dan Teknik Pembelajaran Partisipatif, (Bandung: Falah Prosuction,

2001), hal. 55.


12 Nancy L. Dill, Nancy, A Theoretical Reformulation of the Concepts of Competence

and Performance in Teacher Education, (Chicago: Identifield, 1974), hal. 53.


13 Sujana, 2001, Ibid, hal. 18.

56 Ramli Abdullah: Implementasi Kemampuan Mengajar…


Secara mendetil Imron menetapkan sepuluh kemampuan guru
dalam mengajar, yaitu (1) Kemampuan guru dalam menguasai bahan
pelalajaran, (2) kompetensi guru dalam menguasai landasan pendidikan, (3)
Kemampuan guru dalam menyusun program pelalajaran, (4) Kemampuan
guru dalam melaksanakan program pelalajaran, (5) Kemampuan guru dalam
menilai proses dan hasil belajar siswa, (6) Kemampuan guru dalam me-
nyelenggarakan bimbingan dan penyuluhan, (7) Kemampuan guru dalam
menyelenggarakan administrasi sekolah, dan (8) Kemampuan guru dalam
mengembangkan kepribadian, (9) Kemampuan guru dalam berintegrasi
dengan teman sejawat dan masyarakat, dan (10) Kemampuan guru dalam
menyelenggarakan penilaian sederhana untuk kepentingan belajar
mengajar.14
Departemen Pendidikan Nasional menetapkan kemampuan kompe-
tensi dalam mengajar, yaitu: (1) Kemampuan guru dalam merancang dan
mengelola kegiatan belajar mengajar yang mendorong siswa untuk berperan
aktif dalam belajar, (2) Kemampuan guru dalam menggunakan alat bantu
dan sumber belajar yang beragam, (3) Kemampuan guru dalam memberikan
kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan keterampilan, (4)
Kemampuan guru mengajar dalam memberikan kesempatan kepada siswa
untuk mengungkapkan gagasannya sendiri secara lisan atau tulisan, (5)
Kemampuan guru mengajar dalam menyesuaikan bahan dan kegiatan belajar
dengan kemampuan siswa, (6) Kemampuan guru mengajar dalam
mengaitkan kegiatan belajar mengajar dengan pengalaman siswa sehari-hari,
dan (7) Kemampuan guru dalam menilai kegiatan belajar mengajar dan
kemajuan belajar siswa secara terus-menerus.15
Dari berbagai pendapat para ahli di atas tentang kemampuan guru
dalam mengajar, berikut ini kesimpulan yang ditetapkan Soedijarto, sebagai
berikut: (1) Kemampuan guru dalam menguasai sumber bahan pelajaran, (2)
Kemampuan guru dalam merencanakan program pelajaran, (3) Kemampuan
guru dalam mengelola proses belajar mengajar, (4) Kemampuan guru dalam
menggunakan metode mengajar, dan (5) Kemampuan guru dalam menilai
hasil belajar siswa.16

Hakikat Belajar dan Hasil Belajar


Berkenaan dengan pengertian belajar Gagne mengemukakan
bahwa belajar adalah perubahan kemampuan dan disposisi sesorang yang
dapat dipertahankan dalam suatu waktu tertentu dan bukan disebabkan oleh
proses pertumbuhan.17 Macam pertumbuhan yang dimaksud dalam belajar
adalah mencakup perubahan tingkah laku setelah seseorang mendapat
_____________________________
14 Ali Imron, Pembinaan Guru di Indonesia (Jakarta : Pustaka Jaya, 1995), hhal. 168-
169.
15 Departemen Pendidikan Nasional, Pelayanan Profesional Kurikulum 2004: Kegia-

tan Belajar-Mengajar yangEfektif, (Jakarta: Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas, 2004), hal.
46-47.
16 Soedijarto, Memantapkan Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta: Grasindo, 1993),

hal. 60-61.
17 Robert M. Gagne dan Merey Perkins Driscoll, Essential of Leaning for Instruction

(Englewod Cliff. N.J:Prentice Hall, 1988), hal. 4.

Jurnal Azkia Vol. 5, No. 1, Juli 2010 57


berbagai pengalaman dalam berbagai situasi belajar. Berdasarkan
pengalaman-pengalaman itu akan menyebabkan proses perubahan yang
terjadi dalam diri seseorang. Dari Gradler (1986), mengatakan bahwa belajar
adalah suatu proses seseorang dalam memperoleh berbagai kecakapan,
ketrampilan dan sikap.18 Maka dengan demikian belajar itu tidak datang
begitu saja, tetapi harus dilaksanakan dengan sengaja dalam waktu yang
tertentu pula.
Sedangkan Adisewojo dalam Sukardi dan Maramis menjelaskan
bahwa belajar adalah perubahan perilaku siswa secara bertahap, terarah
melalui suatu proses terencana dan bertahap, sehingga siswa pada akhir
proses belajar kelak mempunyai kemampuan atau keterampilan sesuai
dengan apa yang dituju oleh sistem belajar mengajar.19 Sejalan dengan
pendapat di atas, Sujana (1988), mengungkapkan bahwa belajar adalah
suatu proses yang ditandai dengan terdapat perubahan pada diri seseorang.
Perubahan merupakan hasil dari proses dapat ditunjukkan dalam berbagai
bentuk pada berubahan pengetahuan pemahaman, sikap dan tingkah laku.
Keterampilan, kecakapan, kebiasaan, serta pemahaman aspek lain yang
terdapat pada seseorang dalam belajar, dan perubahan itu bersifat relatif
menetap.20
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa belajar pada
dasarnya ditandai oleh: (1) perubahan terhadap perilaku, (2) diperolehnya
lewat pengalaman, (3) hasilnya relatif menetap, (4) perubahannya berkaitan
aspek fisik dan mental. Penyebab perubahan perilaku ini tidak diakibatkan
oleh proses pertumbuhan yang sifatnya fisiologis. Jadi yang dimaksud belajar
adalah proses perubahan tingkah laku seseorang yang berlangsung dalam
waktu tertentu, seperti pengetahuan, pemahaman, keterampilan, nilai dan
sikap dari pengalaman yang diterimanya di lingkungan dimana adanya
situasi belajar itu sendiri.
Selanjutnya berkaitan dengan hasil belajar, Brigg mengemukakan
bahwa hasil belajar adalah seluruh kecakapan dan hasilnya yang diraih
melalui proses belajar mengajar di lembaga pendidikan/sekolah yang
ditetapkan dengan angka-angka yang diukur berdasarkan tes hasil belajar.21
Senada dengan hal di atas, Tirta dalam Sukardi dan Maramis menjelaskan
bahwa mengukur adalah menerapkan alat ukur terhadap objek tertentu.
Besaran-besaran angka yang diperoleh, barulah memperoleh makna apabila
dibandingkan hasil pengukuran dengan suatu patokan tertentu.22 Menurut
Syamsudin menyatakan bahwa perbuatan dan hasil belajar ditentukan
dalam bentuk, yaitu: (1) Pertambahan materi pengetahuan yang berupa
fakta, (2) Penguasaan bentuk psikomotorik, dan (3) Perbekalan dalam
_____________________________
18 Margareth E. Mell Gredler, Leaning and Instruction: Theory Into Practice, (New

York: Maemillan, 1986), hal. 2.


19 E. Sukardi Dan W. F. Maramis, Penilaian Keberhasilan Belajar, (Surabaya: Airlang-

ga University Press, 1996), hal. 91.


20 Nana Sujana, Cara Belajar Siswa Aktif dalam Proses Belajar Mengajar (Bandung:

Sinar Baru, 1988) , hal. 6.


21 Lislie J. Brigg, Instructional Design and Applications (Englewood, NJ: Educational

Technology Publication, Inc, 1979), hal. 150.


22 Ibid,, hal. 69

58 Ramli Abdullah: Implementasi Kemampuan Mengajar…


kaitannya dengan kepribadian.23 Sedangkan menurut Bloom dalam Winkel
mengklasifikasikan hasil belajar di sekolah berdasarkan konsep Taksonomi
Bloom yang meliputi tiga ranah, yaitu: (1) Kognitif, adalah yang berhubungan
dengan kemampuan berfikir, (2) Afektif, adalah yang berkenaan dengan
minat, sikap dan perasaan, dan (3) Psikomotorik, adalah yang berkaitan
dengan kemampuan gerak.24
Berdasarkan pendapat penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa
prinsip Taksonomi Bloom jika dikaitkan dengan hasil belajar adalah suatu
tujuan yang dicapai setelah mengalami kegiatan belajar mengajar, dan bila
dikaitkan dengan perencanaan pelajaran adalah usaha merancang tujuan
khusus pelajaran dan ini merupakan menifestasi dari hasil belajar yang
diperoleh di sekolah (satuan pendidikan).

Hakikat Implementasi Kemampuan Mengajar dalam Upaya


Peningkatan Hasil Belajar
Bahwa pembahasan berikut ini yang terkait dengan penguasaan dan
penerapan berbagai kemampuan guru dalam mengajar akan dapat
meningkatkan hasil belajar yang diraih siswa. Berikut ini ada bebera hasil
penelitian yang relevan dengan tulisan ini dapat dikemukakan sebagai
berikut. Sebuah hasil penelitian yang berhubungan dengan kemampuan guru
dalam mengajar seperti yang diungkapkan Simon dan Alexander dalam
Mulyasa bahwa jumlah jam efektif yang digunakan guru dalam mengajar,
dan kualitas kemampuannya berpengaruh besar terhadap peningkatan
prestasi belajar siswa.25 Hal senada juga disampaikan Doyle dalam Dunne
dan Wragg yang mengungkapkan hasil penelitiannya bahwa supaya
keefektifitas professional guru diakui oleh siswa dan pejabat yang
berkompeten untuk itu, kemampuan pembelajaran harus dipraktikkan
dengan berulang–ulang dan sesering mungkin agar memanifestasikan
kemampuannya secara konsisten, karena terdapat hubungan yang konsisten
antara kemampuan mengajar dengan efektifitas pembelajaran dan akan
membawa dampaknya pada hasil belajar yang lebih baik yang akan diraih
siswa.26
Dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar guru memiliki dan
menguasai berbagai kemampuan mengajar yakni merencanakan pelajaran
melaksanakan pengajaran, mengevaluasi pengajaran dengan baik, dapat
merespon dengan positif tingkah laku siswa dan dapat memberikan stimulus
serta mampu memberikan penjelasan dalam rangka meningkatkan kualitas
penalaran siswa. Guru yang memiliki dan menguasai berbagai kemampuan
dan dapat menerapkannya dalam proses belajar mengajar dengan baik akan
dinilai oleh siswa sebagai guru yang cakap dalam mengajar yang tentunya

_____________________________
23 Abin Syamsuddin, Pedoman Studi Psikologi Kepribadian, (Bandung : IKIP Bandung,
1990), hal. 9.
24 W.S. Winkel, Psikologi Pembelajaran (Jakarta: Grasindo, 1998), hal. 245.
25 E. Muyasa, 2005., Ibid., hal. 13.
26 Richard Dunne dan Ted Wragg, Pembelajaran Efektif, Alih bahasa oleh Anwar

Jasin, (Jakarta: Grasindo, 1996), hal. 11-13.

Jurnal Azkia Vol. 5, No. 1, Juli 2010 59


siswa akan menyanangi dan akan memotivasi siswa untuk belajar dengan
sebaik-baiknya yang pada akhirnya dapat meningkatkan hasil belajarnya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat
hubungan positif antara kemampuan guru dalam mengajar dengan hasil
belajar suatu mata pelajaran yang diikuti siswa.
Kemudian guru yang memiliki kualifikasi baik sebagai guru sebuah
mata pelajaran akan dapat melaksanakan proses kegiatan belajar mengajar
dengan baik. Kemampuan tersebut di atas di antaranya dapat dilihat pada
perencanaan pengajaran, pelaksanaan pengajaran dan mampu mengadakan
evaluasi pengajaran. Berikut ini secara lebih rinci tentang penguasaan
kemampuan guru dalam mengajar beserta uraian dari berbagai kemampuan
guru dalam mengajar tersebut yang selalu diterapkan guru dalam
melaksanakan belajar mengajar, yaitu: (1) Kemampuan guru mengajar
dalam penguasaan materi pelajaran adalah kemampuan tentang penguasaan
materi apa yang dikontakkan dan sekaligus bahan-bahan apa yang dapat
mendukung jalannya proses belajar mengajar yang kemudian guru dapat
menyampaikannya materi pelajaran secara sistematis, (2) Kemampuan guru
mengajar guru dalam mengelola proses belajar mengajar adalah kemampuan
guru dalam menerapkan dan mewujudkan secara nyata rencana pengajaran
yang telah ditetapkan untuk tercapainya tujuan seperti direncanakan semula,
(3) Kemampuan guru mengajar guru dalam mengelola kelas adalah
kemampuan dalam penciptaan suatu kondisi yang memungkinkan terjadinya
belajar yang optimal. Dalam hal ini ada dua jenis kemampuan mengelola
kelas yaitu kemampuan yang berhubungan dengan penciptaan belajar yang
optimal, dan kemampuan yang berhubungan dengan pengembalian kondisi
belajar yang optimal pula, (4) Kemampuan guru mengajar guru dalam
menggunakan media pembelajaran adalah kemampuan dalam menciptakan
kondisi belajar yang meransang agar proses belajar mengajar dapat ber-
langsung secara efektif dan efisien, (5) Kemampuan guru mengajar guru
dalam mengelola interaksi belajar mengajar adalah kemampuan dalam
menciptakan hubungan timbal balik antara pendidik dengan anak didik
dalam rangka transfer ilmu pengetahuan dan nilai-nilai dan akan senantiasa
menuntun komponen yang ada dalam interaksi belajar mengajar agar saling
menyesuaikan diri dalam rangka mendukung pencapaian tujuan belajar
peserta didik, dan (6) Kemampuan guru mengajar guru dalam menilai hasil
belajar peserta didik adalah kemampuan dalam mengukur/menilai
perubahan tingkah laku peserta didik dalam proses belajar mengajar dan
mampu untuk mengukur kemahiran dirinya dalam mengajar dan dalam
membuat program pembelajaran.
Dari uraian di atas dapat disimpulakan bahwa kegiatan belajar
mengajar yang dilaksanakan guru yang memiliki dan menguasai serta
mampu menerapkan kemampuan dengan berkualitas tinggi, tentu akan
membuat siswa menyukai guru tersebut, juga akan menyukai pula mata
pelajaran yang diajarkannya, sehingga siswa berusaha mempelajari dengan
sebaik-baiknya, yang pada akhirnya akan mendapatkan hasil belajar yang
tinggi pula.

60 Ramli Abdullah: Implementasi Kemampuan Mengajar…


Bila hal tersebut di atas dimiliki dan diterapkan oleh seseorang guru
dalam mengajar maka siswa akan senang belajar dengan guru yang memiliki
dan menerapkan kemampuan mengajarnya dengan baik dalam kegiatan
belajar mengajar sehingga dengan sendirinya akan dapat membangkitkan
semangat siswa untuk belajar dengan sungguh-sungguh dan selanjutnya
akan dapat menghasilkan hasil belajar yang tinggi bagi siswa.
Berdasarkan uraian di atas, menunjukkan bahwa antara kemampuan
guru dalam mengajar dengan hasil belajar terdapat hubungan yang positif,
karena kemampuan guru dalam mengajar memberi kontribusi yang nyata
terhadap hasil belajar yang diraih siswa. Hal ini sebagai bukti bahwa hasil
belajar yang dicapai siswa dapat diprediksikan sesuai dengan sejauhmana
guru menguasai dengan baik berbagai kemampuan mengajar dan dapat
menerapkan dengan efektif dan efisien berbagai kemampuan guru dalam
mengajar tersebut dalam kegiatan belajar mengajar. Dengan kata lain bahwa
kemampuan guru dalam mengajar merupakan faktor eksternal siswa yang
penting dan perlu mendapatkan perhatian dalam upaya meningkatkan hasil
belajar siswa.
Bahwa kemampuan guru dalam mengajar dapat direalisasikan dalam
wujud suatu tindakan yang merupakan salah satu faktor untuk meningkatkan
hasil belajar siswa. Hasil belajar yang diraih siswa dapat meningkat jika
siswa dapat merasakan dampak baik terhadap kemampuan gurunya dalam
mengajar, demikian pula sebaliknya hasil belajar siswa dapat menurun jika
siswa merasakan dampaknya kurang baik terhadap kemampuan gurunya
dalam mengajar. Maka dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
kemampuan guru dalam mengajar mempunyai hubungan positif dengan
hasil belajar suatu mata pelajaran yang diikuti siswa. Hal ini menunjukkan
bahwa upaya meningkatkan hasil belajar siswa akan lebih optimal bila
dilakukan dengan meningkatkan kemampuan guru dalam mengajar suatu
mata pelajaran.

Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan tersebut di atas, ternyata terdapat
hubungan positif antara kemampuan guru dalam pembelajaran dengan hasil
belajar siswa. Artinya setiap peningkatan kemampuan guru dalam mengajar
mengakibatkan kenaikan hasil belajar yang diraih siswa. Dengan adanya
hubungan positif antara kemampuan guru dalam pembelajaran dengan hasil
belajar yang diraih siswa, maka ini menunjukkan bahwa kemampuan guru
dalam mengajar baik, sehingga hasil belajar yang diraih siswa akan
meningkat pula. Sebaliknya kemampuan guru dalam mengajar kurang baik,
maka hasil belajar yang akan diraih siswa juga kurang baik. Maka dengan
demikian menunjukkan bahwa hasil belajar yang diraih siswa ditentukan
oleh sejauhmana guru menguasai dan menerapkan dengan baik berbagai
kemampuan mengajarnya dalam kegiatan belajar mengajar. Untuk itu dapat
disimpulkan bahwa hasil belajar siswa dalam suatu mata pelajaran dapat
ditingkatkan melalui peningkatan berbagai kemampuan guru dalam
mengajar.

Jurnal Azkia Vol. 5, No. 1, Juli 2010 61


Bahwa peningkatan terhadap kemampuan guru dalam mengajar akan
berimplikasi kepada peningkatan hasil belajar yang diraih siswa. Jadi
tingginya hasil belajar yang diraih siswa diakibatkan tingginya penguasaan
dan efektifnya penerapan berbagai kemampuan mengajar dalam kegiatan
belajar mengajar.
Berbagai kemampuan guru dalam mengajar yang dimaksud, meliputi:
(1) kemampuan guru dalam penguasaan materi pelajaran, (2) kemampuan
guru dalam mengelola proses belajar mengajar, (3) kemampuan guru dalam
mengelola kelas, (4) kemampuan guru dalam menggunakan media pelajaran,
(5) kemampuan guru dalam mengelola interaksi belajar mengajar, (6)
kemampuan guru dalam menilai hasil belajar siswa.
Bahwa kegiatan belajar mengajar yang dilaksanakan guru yang
memiliki dan menguasai serta mampu menerapkan berbagai kemampuan
dengan baik, tentu akan membuat siswa senang belajar dengan guru
tersebut, juga akan mudah pula belajar mata pelajaran yang diajarkannya,
sehingga siswa berusaha mempelajari dengan sebaik-baiknya materi
pelajaran yang disampaikan gurunya sehingga pada akhirnya akan men-
dapatkan hasil belajar yang baik pula.

62 Ramli Abdullah: Implementasi Kemampuan Mengajar…


DAFTAR PUSTAKA

Ad. Rooijakkers, Ad., Mengajar dengan Sukses,. Jakarta: Gramedia, 1990.


Anderson, Lorin W., The Efective Teacher, Singapore: McGraw-Hill Book
Company, 1989.
Anwar, Moch. Idochi, Administrasi Pendidikan dan Manajemen Biaya pendidi-
kan, Bandung: Alfabeta, 2003.
Brigg, Lislie J., Instructional Design and Applications, Englewood, NJ: Educa-
tional Technology Publication, Inc, 1979.
Departemen Pendidikan Nasional, Pelayanan Profesional Kurikulum 2004:
Kegiatan Belajar-Mengajar yang Efektif, Jakarta: Pusat Kurikulum Ba-
litbang Depdiknas, 2004.
Dill, Nancy L., A Theoretical Reformulation of the Concepts of Competence and
Performance in Teacher Education, Chicago: Identifield, 1974.
Dunne Richard, dan Ted Wragg, Pembelajaran Efektif. Alih bahasa oleh Anwar
Jasin, Jakarta: Grasindo, 1996.
Gagne, Robert M. dan Merey Perkins Driscoll, Essential of Leaning for Instruc-
tion, Englewod Cliff. N.J: Prentice Hall, 1988.
Gredler, Margareth E. Mell, Leaning and Instruction: Theory Into Practice. New
York: Macmillan, 1986.
Imron, Ali, Pembinaan Guru di Indonesia, Jakarta: Pustaka Jaya, 1995.
Miarso, Yusufhadi, Menyamai Benih Teknologi Pendidikan, Jakarta: Penada
Media, 2004.
Sallis, Edward, Total Quality Management in Education. Terjemahan Ahmad
Ali Riyadi, Yogyakarta: IRCiSod, 2006.
Soedijarto, Memantapkan Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: Grasindo,
1993.
Sujana, Metode dan Teknik Pembelajaran Partisipatif, Bandung: Falah
Prosuction, 2001.
Sujana, Nana, Cara Belajar Siswa Aktif dalam Proses Belajar Mengajar, Ban-
dung: Sinar Baru, 1988.
Sujana, Nana, Cara Belajar Siswa Aktif dalam Proses Belajar Mengajar,
Bandung: Sinar Baru, 1988.
Sukardi, E., dan W. F. Maramis, Penilaian Keberhasilan Belajar, Surabaya: Air-
langga University Press, 1996.
Sukmadinata, Nana Syaodih, Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek,
Bandung: Remaja Rosdakarya, 1997.
Suryabrata, Sumadi, Psikologi Pendidikan, Jakarta: Rajawali, 1990.

Jurnal Azkia Vol. 5, No. 1, Juli 2010 63


Syamsuddin, Abin, Pedoman Studi Psikologi Kepribadian, Bandung: IKIP Ban-
dung, 1990.
Uno, Hamzah B., Profesi Kependidikan, Jakarta: Bumi Aksara, 2007.
Wijaya, Cece dan A. Tabrani Rusyan, Kemampuan Dasar Guru Dalam Proses
Belajar Mengajar, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992.
Winkel, W.S, Psikologi Pembelajaran, Jakarta: Grasindo, 1998.

64 Ramli Abdullah: Implementasi Kemampuan Mengajar…


METODOLOGI PENGAJARAN
MENURUT PERSPEKTIF FILOSOFIS
KONSERVATIF DAN LIBERAL

Sulaiman
STIT PTI. Al-Hilal Sigli
Jl. Lingkar Keuniree, Sigli Pidie
Email: sulaiman@yahoo.com

ABSTRACT
Education is part of the human need for survival. Human needs are
always changing and never satisfied with what he had. Along with the times
and modern life, the need was increasing, and competition becomes more
intense. The development and modern life automatically leads education to
be modernized in order to provide service the students and community and
social needs. Education is basically based upon the philosophy and human
needs. In the philosophy of education, we find the patterns and models of
conservative and liberal education. Both of these educational models have
their respective characteristics and fundamental difference. The fundamental
difference lies in the methodology (basic theory, thinking, curriculum and
other elements associated with it). By his conservative philosophy that is
multicultural, the education tends to preserve the cultural values in order to
improve the cultural side. While liberalism is free-style education and this
philosophy is based on the pragmatism sides. This type of education that
should not be against the norms and values that make certain undemocratic
education. Whatever the thinking model of education (conservative and
liberal) should refer to the fulfillment of needs.

Kata kunci: Pendidikan, kurikulum, konservatif, liberal

Pendahuluan
Keberhasilan dalam pembelajaran bukanlah karena kaya dan banyak-
nya materi yang diberikan kepada anak didik. Keberhasilan dalam pembela-
jaran merupakan hasil internalisasi beberapa unsur yang saling mengikat
dan berjalan dengan beriringan serta bersama-sama sehingga keberhasilan
tersebut tercapai.
Kemahiran guru dalam mengelola pengajaran merupakan modal ke-
berhasilan dalam proses pengajaran. Pengelolaan tersebut dimulai dari men-
desain bahan materi pengajaran, pendekatan yang digunakan dalam menga-
jar serta mengatur strategi dan trik-trik yang digunakan dalam mengajar.
Disamping keberhasilan dalam dunia pendidikan tidak sedikit dijum-
pai yang mengalami kegagalan. Kegagalan tersebut juga disebabkan oleh ba-
nyak faktor, seperti guru tidak mampu menggunakan metode-metode yang

Jurnal Azkia Vol. 5, No. 1, Juli 2010 65


bervariasi dalam mengajar sehingga dengan mengandalkan satu metode saja
tidak cukup untuk mengajar.
Keahlian guru dalam mengatur strategi mengajar sangat penting, hal
ini disebabkan anak didik akan mengalami kebosanan dan kejenuhan dalam
belajar jika guru tidak menguasai banyak metode. Maka kegagalan tersebut
bisa jadi bukan karena hal-hal yang lain akan tetapi disebabkan oleh metode
yang tidak cocok dan tidak sesuai dengan materi pembelajaran.
Dalam pembelajaran salah satu unsur yang urgen adalah metode, dis-
amping unsur-unsur lain. Penggunaan metode yang tepat dan benar akan
membantu mempercepat anak didik dalam menguasai materi pelajaran yang
disampaikan oleh guru. Pada dasar guru boleh menggunakan berbagai ma-
cam metode dan metode tersebut harus membawa anak didik untuk berpikir.
Salah seorang tokoh filsafat klasik Socrates (470-399 SM) mengatakan
metode pengajaran, yaitu metode dialektis dan dialogis yang ditujukan untuk
mendorong seseorang agar belajar berpikir secara cermat, menguji coba diri
sendiri, serta memperbaiki pengetahuannya.1 Maka dari itu, dalam tulisan
singkat ini penulis berusaha menemukan dan mengangkat metodologi penga-
jaran yang termuat dalam filsafat konservatif dan liberal.

Pengertian
Metode pendidikan Islam adalah prosedur umum dalam penyampaian
materi untuk mencapai tujuan pendidikan didasarkan atas asumsi tertentu
tentang hakikat Islam sebagai supra sistem. Sedangkan teknik pendidikan
Islam adalah langkah-langkah konkret pada waktu seorang pendidik melak-
sanakan tugas pengajaran di kelas. Muhammad Athiyah Al-Abrasyi mengarti-
kan metode sebagai jalan yang dilalui untuk memperoleh pemahaman pada
peserta didik. Abd Aziz mengartikan metode dengan cara-cara memperoleh
informasi, pengetahuan, pandangan, kebiasaan berpikir, serta cinta pada il-
mu, guru dan sekolah.2
Metodologi pengajaran (metodik) membicarakan tentang cara-cara
mengajar bidang studi tertentu dimana prinsip-prinsip umum tersebut ber-
laku di dalamnya. Jadi metodik bergerak dalam lingkaran atau dalam suatu
kondisi kegiatan belajar mengajar pada umumnya. Sedangkan metodologi
pengajaran (metodik) bergerak dalam strategi dan teknik yang akan ditem-
puh dalam kegiatan belajar mengajar tersebut. Sehingga dikatakan antara
Didaktik dan metodologi pengajaran tersebut terdapat hubungan yang erat,
terutama dalam kesiapan guru pada saat berlangsung kegiatan belajar men-
gajar.3
Dalam penggunaan metode pendidikan yang perlu diamati adalah ba-
gaimana seorang pendidik dapat memahami hakikat metode dan relevan-
sinya dengan tujuan utama pendidikan. Disamping itu, tujuan diadakan me-

_____________________________
1
Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam dengan Pendekatan Multidisipliner: Normatif
Perenialis, Sejarah, Filsafat, Psikologi, Sosiologi, Manajemen, Teknologi, Informasi, Kebu-
dayaan, Politik Dan Hukum, Cet I (Jakarta: Rajawali Press, 2009), hal. 125
2
Abdul Mujib dkk Ilmu Pendidikan Islam, cet. I., (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 165
3
M. Basyiruddun Usman, Metodologi Pembelajaran Agama Islam, Cet. III., (Jakarta:
Ciputat Press, 2002), hal. 6

66 Sulaiman: Metodologi Pengajaran menurut Perspektif Filosofis…


tode adalah menjadikan proses dan hasil belajar mengajar lebih berdaya gu-
na berhasil guna dan menimbulkan kesadaran peserta didik untuk menga-
malkannya. Uraian ini menunjukkan bahwa fungsi metode adalah mengarah-
kan keberhasilan belajar, memberi kemudahan kepada peserta didik untuk
belajar berdasarkan minat, serta dorongan usaha kerja sama dalam kegiatan
belajar mengajar antara pendidik dan peserta didik.
Pembelajaran merupakan suatu proses penyampaian ilmu pengetahuan
kepada anak didik. Penyampaian pengetahuan dilaksanakan dengan meng-
gunakan metode.4 Penyampaian pengajaran harus disertai dengan metode
yang tepat dan sesuai dengan materi pelajaran yang sedang berlangsung.

Metodologi Pengajaran Filsafat Konservatif


Filsafat konservatif (Al-Muhafidz) dalam persoalan pendidikan cende-
rung bersikap murni keagamaan. Mereka memaknai ilmu dengan pengertian
sempit, yakni hanya cakupan-cakupan ilmu yang dibutuhkan saat sekarang
(hidup di dunia) yang jelas-jelas akan membawa manfaat kelak di akhirat.
Penuntut ilmu harus mengawali belajarnya dengan Kitabullah Al-
Qur’an dengan metode menghafal dan mampu menafsirkannya.5 Tokoh-
tokoh filsafat konservatif dalam pendidikan Islam; Ghazali, Nasiruddin al-
Thusi, Ibnu Jama’ah, Sahnun, Ibnu Hajar al-Haitami dan al-Qabisi.
Menurut penulis, Aliran-aliran filsafat pendidikan umum yang termasuk
dalam kelompok konservatif ialah idealisme, perenialisme, esensialisme dan
materialisme dimana metode pengajaran yang digunakan dalam aliran-aliran
filsafat ini masih bersifat tradisional atau konvensional.

Idealisme
Idealisme termasuk dalam kelompok filsafat tertua. Tokoh aliran ini
adalah Plato (427-347) yang secara umum dipandang sebagai bapak idea-
lisme di Barat yang hidup kira-kira 2500 tahun yang lalu. Aliran filsafat ini
menurut Poedjawitna memandang dan menganggap yang nyata hanya ide.
Ide tersebut selalu tetap atau tidak mengalami perubahan atau penggeseran.
Aliran filsafat idealisme menekankan pada moral dan realita spiritual sebagai
sumber-sumber utama di alam ini.
Prinsip idealisme bahwa realitas tersusun di atas subtansi sebagai
mana gagasan-gagasan atau ide-ide (spiritual). Menurut penganut idealisme,
dunia beserta bagian-bagiannya suatu sistem yang masing-masing unsurnya
saling berhubungan. Dunia adalah suatu totalitas, suatu kesatuan yang logis
dan bersifat spiritual. Realita atau kenyataan yang tampak di alam ini bukan-
lah kebenaran yang hakiki, melainkan gambaran atau ekspresi dari ide-ide
yang ada dalam jiwa manusia.

Implementasi idealisme dalam pendidikan


_____________________________
4
Oemar Hamalik Kurikulum dan Pembelajaran, Cet. X., (Jakarta: Bumi Aksara, 2010),
hal. 55.
5
Mahmud Arif, Terj., Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam, Cet. I, (Yogyakarta:
Tiara Wacana Yogya, 2002), hal. 75.

Jurnal Azkia Vol. 5, No. 1, Juli 2010 67


Pendidikan bukan hanya mengembangkan atau menumbuhkan, tetapi
juga harus digerakkan ke seluruh tujuan, yaitu terhadap tujuan dimana nilai
telah direalisasikan ke dalam bentuk yang kekal tak terbatas. Belajar adalah
proses “self development of mind as spiritual substance” yang menempatkan
jiwa bersifat kreatif. Pendidikan adalah proses melatih daya-daya jiwa seper-
ti pikiran, ingatan, perasaan, baik bentuk memahami realita, nilai-nilai dan
kebenaran, maupun sebagai warisan sosial.
Tujuan pendidikan bersifat mutlak untuk itu, kurikulum seyogyanya
bersifat tetap dan tidak menerima perkembangan. Bertitik tolak atas dasar
tersebut, maka tatkala para ilmuan telah mencapai ke tingkat ilmu yang ting-
gi, maka ia berusaha pula mentransfernya dari satu generasi ke generasi yang
berikutnya. Dalam konteks ini agama, akhlak dan ilmu humaniora dipandang
sebagai core kurikulum.

Metode pengajaran
Aliran filsafat idealisme lebih mengutamakan metode dialektika, tetapi
metode lain yang efektif dapat juga dimanfaatkan.6 Menurut aliran filsafat ini
metode yang tepat digunakan untuk mendidik adalah metode dialektika dis-
amping juga bisa digunakan metode lain yang dianggap sesuai.

Perenialisme
Perenialisme berasal dari kata diartikan continuing through the whole
year, atau lasting for every long time abadi atau kekal dan baqa berarti pula
tiada akhir. Dengan demikian esensi kepercayaan filsafat perenialisme adalah
berpegang pada nilai-nilai norma-norma yang bersifat abadi. Perennialis se-
suai dengan namanya yang berarti segala sesuatu yang ada sepanjang sejarah
ini akan dianggap sebagai suatu aliran yang ingin kembali kepada nilai-nilai
asasi manusia masa silam untuk menghadapi problematika kehidupan manu-
sia masa sekarang dan bahkan sampai kapanpun dan di manapun.7
Menariknya lagi istilah filsafat perennial ini populer sekali di kalangan
banyak intelektual terutama yang peduli terhadap studi agama-agama dan
filsafat. Sehingga banyak kontribusi pemikiran para ahli tentang filsafat pe-
renialisme ini.
Perenialisme memandang bahwa keadaan sekarang bagaikan zaman
yang mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh kekacauan, kebingungan
dan kesimpang-siuran. Berhubung dengan itu dinilai sebagai zaman yang
membutuhkan usaha untuk mengamankan lapangan moral, intelektual dan
lingkungan sosial kultural yang lain. Ibarat kapal yang akan berlayar, zaman
memerlukan pangkalan dan arah tujuan yang jelas. Perenialisme berpenda-
pat bahwa mencari dan menemukan pangkalan yang demikian itu merupa-
kan tugas yang pertama-tama dari filsafat dan filsafat perenialisme.
Perenialisme mengambil jalan regresif, karena mempunyai pandangan
bahwa tidak ada jalan lain kembali kepada prinsip umum yang telah menjadi
_____________________________
6
Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, Cet. I., (Bandung: Alfabeta, 2009), hal.
103.
7
Ramayulis dkk., Filsafat Pendidikan Islam, Cet. III., (Jakarta: Kalam Mulia, 2011), hal.
21.

68 Sulaiman: Metodologi Pengajaran menurut Perspektif Filosofis…


dasar tingkah laku dan perbuatan zaman kuno dan abad pertengahan. Yang
dimaksud dengan ini adalah kepercayaan-kepercayaan aksiomatris mengenai
pengetahuan, realita dan nilai dari zaman-zaman tersebut. Semua ini telah
dianggap sebagai dasar sivilisasi dari abad ke abad.8 Pengambilan cara regre-
sif bukanlah rindu nilai-nilai lama sebagai nostalgia belaka akan tetapi nilai-
nilai tersebut mempunyai kedudukan yang vital bagi pembangunan kebu-
dayaan abad kedua puluh.
Tokoh-tokoh filsafat perenialisme antaranya; Plato, Aristoteles dan
Thomas Aquinas mereka memiliki pendirian dan pandangan-pandangan
yang masih mempunyai arti bagi abad keduapuluh ini. Disamping itu pendi-
rian dan pandangan-pandangan itu masih dapat pula dipertimbangkan seba-
gai dasar dan pedoman kebudayaan abad keduapuluh.

Implementasi perenialisme dalam pendidikan


Perkembangan konsep perenialisme banyak dipengaruhi oleh tokoh-
tokoh yang berpengaruh seperti Plato, Aristoteles dan Thomas Aguino. Me-
nurut Plato ilmu pengetahuan dan nilai sebagai manifestasi dan hukum uni-
versal yang abadi dan ideal sehingga ketertiban sosial hanya akan mungkin
dicapai bila ide itu menjadi tolak ukur yang memiliki asas normatif dalam
semua aspek kehidupan.
Menurut Aristoteles, orientasi pendidikan ditujukan kebahagiaan, me-
lalui pengembangan kemampuan-kemampuan kerohanian seperti emosi,
kognisi serta jasmaniah manusia. Menurut Thomas Aguino bahwa tujuan
pendidikan sebagai usaha untuk merealisasikan kapasitas dalam setiap indi-
vidu manusia sehingga menjadi aktualitas. Out-put yang diharapkan menurut
perenialisme adalah manusia mampu mengenal dan mengembangkan karya-
karya yang menjadi landasan pengembangan mental.

Metode pengajaran
Latihan mental dalam bentuk diskusi, analisis buku melalui pemba-
caan buku-buku yang tergolong karya-karya besar tentang peradaban barat.9
Pengkajian bahan dan materi pelajaran dengan cara membaca serta didisku-
sikan secara bersama untuk memperdalam.
Metode diskusi ialah suatu cara mempelajari materi pelajaran dengan
memperdebatkan masalah yang timbul dan saling mengadu argumentasi se-
cara rasional dan objektif.10 Cara seperti ini menimbulkan perhatian anak
dan perubahan tingkah laku anak didik dalam belajar. Metode diskusi juga
dimaksudkan untuk dapat merangsang anak didik dalam belajar dan berpikir
secara kritis dan mengeluarkan pendapatnya secara rasional dan objektif.

_____________________________
8
Imam Barnadib Filsafat Pendidikan, Cet. V., (Yogyakarta: Andi Offset, 1988), hal. 59.
9
Redja Mudyahardjo Pengantar Pendidikan, Cet. IV., (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2008), hal. 167.
10
M. Basyiruddun Usman, Metodologi…, hal. 36.

Jurnal Azkia Vol. 5, No. 1, Juli 2010 69


Prinsip-prinsip metode diskusi; Pertama, melibatkan anak didik seca-
ra aktif dalam diskusi. Kedua, diperlukan keterlibatan dan keteraturan dalam
mengemukakan pendapat secara bergilir dipimpin seorang ketua atau mod-
erator. Ketiga, masalah yang didiskusikan disesuaikan dengan perkemban-
gan anak didik. Keempat, guru terus mendorong siswanya yang kurang aktif
untuk mengeluarkan sesuatu pendapatnya. Kelima, anak didik dibiasakan
menghargai pendapat orang lain dalam menyetujui atau menentang penda-
pat. Keenam, aturan dan jalannya diskusi hendaknya dijelaskan kepada siswa
yang masih belum mengenal tatacara berdiskusi agar mereka dapat secara
lancar mengikutinya.
Tugas pendidik adalah memberikan pengetahuan tentang kebenaran
yang pasti, dan abadi. Kurikulum diorganisasikan dan ditentukan lebih dahu-
lu oleh orang dewasa, dan ditujukan untuk melatih aktivitas akal, untuk men-
gembangkan akal. Anak harus diberikan pelajaran yang pasti, yang akan
memperkenalkannya dengan keabadian dunia. Anak tidak boleh dipaksa un-
tuk mempelajari pelajaran yang tampaknya penting untuk suatu saat saja.
Begitu juga kepada anak jangan memberikan pelajaran yang hanya menarik
pada saat-saat tertentu yang khusus. Yang dipentingkan dalam kurikulum
adalah mata pelajaran ‘general education’, yang meliputi bahasa, sejarah, ma-
tematika, IPA, filsafat dan seni, dan 3R’s (membaca, menulis dan berhitung).
Mata-mata pelajaran tersebut merupakan esensi dari general education.

Esensialisme
Essensialisme muncul pada zaman renaisans, dengan ciri-ciri utama
yang berbeda dengan Progresivisme. Perbedaan ini terutama dalam membe-
rikan dasar berpijak mengenai pendidikan yang penuh fleksibilitas, di mana
serba terbuka untuk perubahan, toleran dan tidak ada keterikatan dengan
doktrin tertentu. Bagi Essensialisme, pendidikan yang berpijak pada dasar
pandangan itu mudah goyah dan mudah terarah. Karena itu Essensialisme
memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki
kejelasan dan tahan lama, sehingga memberi kestabilan dan arah yang jelas.11
Essensialisme didasari atas pandangan humanisme yang merupakan
reaksi terhadap hidup yang mengarah pada keduniawian, serba ilmiah dan
materialistik. Selain itu juga diwarnai oleh pandangan-pandangan dari pa-
ham pengikut aliran idealisme dan realisme. Tokoh utama yang berperan da-
lam penyebaran Essensialisme, adalah; Desiderrius Erasmus, humanis Belan-
da yang hidup pada akhir abad 15 dan permulaan abad 16. Johann Amos
Comenius (1592-1670), Jhon Locke (1632-1704), Johann Henrich Pestalozzi
(1746-1827), Johann Friederich Frobel (1782-1852), Johann Friederich Her-
bert (1776-1841), William T. Harris tokoh dari Amerika Serikat hidup pada
tahun (1835-1909).
Dalam rangka mempertahankan pahamnya, khususnya dari persain-
gan dengan paham Progresivisme, tokoh-tokoh Essensialis mendirikan satu
organisasi yang bernama “Essentialist committee for the Advancement of
Education” pada tahun 1930. Melalui organisasi ini pandangan Essensialisme
_____________________________
11
Zuhairini, dkk., Filsafat Pendidikan Islam, Cet. IV., (Jakarta: Bumi Aksara, 2008),
hal. 25.

70 Sulaiman: Metodologi Pengajaran menurut Perspektif Filosofis…


dikembangkan dalam dunia pendidikan sebagaimana telah disinggung di atas
bahwa Essensialisme mempunyai pandangan yang dipengaruhi oleh paham
idealisme dan realisme, maka konsep-konsepnya tentang pendidikan sedikit
banyaknya ikut diwarnai oleh konsep-konsep idealisme dan realisme.
Konsep pendidikan Essensialisme adalah back to basics, gerakan ini
mulai di pertengahan tahun 1970-an merupakan dorongan skala besar yang
mutakhir untuk menerapkan program-program Essensialis di sekolah-
sekolah. Menurut kaum Essensialis sekolah harus melatih dan mendidik
anak-anak berkomunikasi dengan jelas dan logis. Keterampilan-keterampilan
inti dalam kurikulum haruslah berupa membaca, menulis, berbicara dan ber-
hitung serta sekolah memiliki tanggungjawab untuk memperhatikan apakah
siswa menguasai keterampilan-keterampilan tersebut.12

Implimentasi esensialisme dalam pendidikan


Tujuan pendidikan, transmisi kebudayaan untuk menentukan solidaritas
dan kesejahteraan. Kurikulum di pendidikan dasar berupa membaca, menulis
dan berhitung. Keterampilan berkomunikasi adalah esensial untuk mencapai
prestasi scholastic dan hidup sosial yang layak. Kurikulum sekolah berisikan
apa yang harus diajarkan. Kedudukan siswa, sekolah bertanggung jawab atas
pemberian pengajaran yang logis atau dapat dipercaya. Sekolah berkuasa un-
tuk menentukan hasil belajar, bukan mengatur pelajaran. Peran guru, guru
harus terdidik, secara moral guru merupakan orang yang dapat dipercaya,
dan secara teknis harus memiliki kemahiran dalam mengarahkan proses be-
lajar.
Metode pengajaran
1. Berpusat pada guru (teacher centered).
2. Umumnya diyakini bahwa pelajar tidak betul-betul mengetahui apa
yang diinginkan, dan mereka harus dipaksa belajar. Oleh karena itu
pedagogi yang bersifat lembah lembut harus dijauhi, dan memu-
satkan diri pada penggunaan metode-metode latihan dan tradisional
yang tepat.
3. Metode utama adalah latihan mental misalnya melalui diskusi dan
pemberian tugas; dan penguasaan pengetahuan, misalnya melalui
penyampaian informasi dan membaca.13

Materialisme
Materialisme berpandangan bahwa hakikat realisme adalah materi,
bukan rohani, bukan spiritual dan supernatural. Demokritos (460-360 SM),
merupakan pelopor pandangan materialisme klasik, yang disebut juga ‘ato-
misme’ Demokritos beserta pengikutnya beranggapan bahwa segala sesuatu
terdiri dari bagian-bagian kecil yang tidak dapat dibagi-bagi lagi (yang dis-
ebut atom-atom). Atom-atom merupakan bagian terkecil dari yang begitu ke-
cil sehingga mata kita tidak bisa melihatnya. Atom-atom bergerak sehingga
membentuk realitas pada mata kita.

_____________________________
12
Uyoh Sadulloh Pengantar Filsafat Pendidikan…, hal. 160)
13
Redja Mudyahardjo Pengantar…, hal. 163

Jurnal Azkia Vol. 5, No. 1, Juli 2010 71


Materialisme dan positivisme pada dasarnya tidak menyusun konsep
pendidikan secara eksplisit. Bahkan menurut Henderson, materialisme be-
lum pernah menjadi penting dalam menentukan sumber teori pendidikan.
Menurut behaviorisme, apa yang disebut dengan kegiatan mental kenyataan-
nya tergantung pada kegiatan fisik, yang merupakan berbagai kombinasi dan
materi dalam gerak. Gerak fisik yang terjadi dalam otak, kita sebut berpikir,
dihasilkan oleh dunia lain dalam materi, baik materi yang ada dalam tubuh
manusia maupun materi yang ada di luar tubuh manusia. Behaviorisme yang
berakar pada positivisme dan materialisme telah populer dalam menyusun
teori pendidikan, terutama dalam teori belajar yaitu apa yang disebut dengan
“conditioning theory”, yang dikembangkan oleh E.L. Thorndike dan B.F.
Skenmer.14
Pendidikan, dalam hal ini proses belajar merupakan proses kondisio-
nisasi lingkungan, misalnya dengan mengadakan percobaan terhadap anak
yang tidak pernah takut terhadap kucing, akhirnya ia menjadi takut pada
kucing. Percobaan biasa dilakukan dengan membunyikan suara keras (misal-
nya bunyi gong, bunyian-bunyian yang keras mengagetkan anak, atau dengan
jalan menakut-nakutinya) setiap kali anak memegang atau mendekati kucing
kesayangannya. Dengan percobaan ini pengikut behaviorisme ingin menun-
jukkan bahwa manusia dapat dibentuk (men are built, not born).

Implimentasi materialisme dalam pendidikan


Manusia yang baik dan efisien dihasilkan dengan proses pendidikan
terkontrol secara ilmiah dan seksama. Tujuan pendidikan, perubahan perila-
ku, mempersiapkan manusia sesuai dengan kapasitasnya, untuk tanggung
jawab hidup sosial dan pribadi yang komplek. Kurikulum, isi pendidikan
mencakup pengetahuan yang dapat dipercaya dan handal, dan diorganisasi-
kan selalu berhubungan dengan sasaran perilaku. Kedudukan siswa, tidak
ada kebebasan. Perilaku ditentukan oleh kekuatan dari luar. Pelajar sudah
dirancang. Siswa dipersiapkan untuk hidup, mereka dituntut untuk belajar.
Peran guru, guru memiliki kekuasaan untuk merancang dan mengontrol
proses pendidikan. Guru dapat mengukur kualitas dan karakter hasil belajar
siswa.

Metode pengajaran
Semua pelajaran dihasilkan dengan kondisionisasi (SR conditioning), pe-
ran conditioning, reinforcement, pelajaran berprogram dan kompetensi.15

Metodologi Pengajaran Filsafat Liberalisme


Liberalisme merupakan filsafat pendidikan yang bersifat demokratis
dalam pendidikan. Pendidikan menurut liberalisme tidak boleh diikat oleh
keinginan tertentu akan tetapi pendidikan bergerak dengan lebih luas tanpa
diikat oleh kemauan suatu golongan. Pendidikan liberalisme menitik-

_____________________________
14
Uyoh Sadulloh Pengantar Filsafat Pendidikan…, hal. 116
15
Uyoh Sadulloh Pengantar Filsafat Pendidikan…, hal. 118

72 Sulaiman: Metodologi Pengajaran menurut Perspektif Filosofis…


beratkan pada kebebasan, belajar tidak terpaku pada buku teks dan guru
akan tetapi belajar berdasarkan pengalaman.16 Pendidikan liberalisme juga
identik dengan corak pendidikan progresif. Oleh karena demikian pendeka-
tan dan metode yang digunakan dalam pengajaran juga bersifat demokratis.
Dalam pemikiran pendidikan Islam, aliran pragmatis (Al-Dzarai’iy) yang di-
kembangkan oleh Ibnu Khaldun, merupakan wacana baru dalam pemikiran
pendidikan Islam. Bila kalangan konservatif mempersempit lingkup “sekuler”
di hadapan rasionalitas Islam dan mengaitkannya secara kaku dengan pemi-
kiran atau warisan salaf, sedangkan kaum rasionalis dalam sistem pendidi-
kan (program kurikuler) berpikiran idealistik sehingga memasukkan semua
disiplin keilmuan yang dianggap substantif dan bernilai, maka Ibnu Khaldun
mengakomodir ragam keilmuan yang nyata terkait dengan kebutuhan lang-
sung manusia, baik kebutuhan spiritual-rohaniah maupun kebutuhan ma-
terial.17
Menurut hemat penulis, aliran-aliran filsafat pendidikan yang tergo-
long dalam filsafat liberalisme adalah realisme, pragmatisme, Progresivisme,
eksistensialisme dan rekonstruksionalisme. Untuk lebih jelas berikut baha-
sannya tentang metode pengajaran menurut masing-masing aliran filsafat
tersebut:
Realisme
Realisme berasal dari kata real yang berarti aktual atau ada. Realisme
adalah aliran yang patuh kepada yang ada (fakta), realisme termasuk dalam
pemikiran klasik. Aliran ini berpijak atas dasar percaya akan hakikat-hakikat
yang kekal dan tidak mengalami perubahan dalam situasi dan kondisi apa-
pun. Kaum realisme memandang dunia ini dari sudut materi. Menurut mere-
ka, realita di dunia ini adalah alam. Segala sesuatu berasal dari alam dan yang
menjadi subjek adalah hukum alam (dunia nyata alam, dan benda).18

Implementasi realisme dalam pendidikan


Tujuan pendidikan adalah transmisi dari; Pertama, kebenaran univer-
sal yang terpisah dari pikiran, pendapat dan pernyataan intelektual. Kedua,
pengetahuan Tuhan, pengetahuan manusia dan masalah alamiah hanya ada
jika ada Tuhan. Ketiga, nilai atau keunggulan kultural pendidikan seharusnya
menjadi seorang sadar terhadap dunia nyata, termasuk nilai dan potensi ke-
hidupan.
Perhatian pendidikan realisme tertuju pada pemenuhan akal para
murid dengan peraturan-peraturan dan hakikat yang terlihat dalam alam.
Seorang guru realisme mesti ahli dalam bidang studinya (kompetensi profe-
sional). Sebab, tugas seorang guru terpusat dalam usaha memindahkan apa
yang ia lihat benar kepada murid secara terus menerus.

Metode pengajaran

_____________________________
16
Hani’ah. Terj., Experienci & Education Pendidikan Berbasis Pengalaman, Cet. I.,
(Jakarta: Teraju PT. Mizan Publika, 2004), hal. 4.
17
Mahmud Arif. Terj., Tiga Aliran…, hal. 109
18
Ramayulis dkk., Filsafat…, hal. 18.

Jurnal Azkia Vol. 5, No. 1, Juli 2010 73


Metode pengajaran dalam pendidikan realisme tunduk pada prinsip
“mempengaruhi dan menerima”, dimana realisme menentukan tujuan pendi-
dikannya dengan ‘mempengaruhi’ dan memandang kenyataan atau realita
materi pendidikan yang utama. Pendidikan realisme mengutamakan pendi-
dikan akal (rasio) atas dasar bahwa pendidikan adalah tujuan dan sasaran
untuk mendapatkan segala sesuatu yang diperoleh melalui proses berpikir
yang didapat melalui metode latihan yang benar. Karena hal itu merupakan
perhatian terhadap studi-studi dasar yang punya hubungan dengan segi-segi
akhlak, rasio dan logika kemanusiaan, maka kewajiban guru adalah berupaya
menciptakan model-model dalam pengajaran dengan pendekatan pada ke-
nyataan inderawi, kemudian pindah pada hal-hal/ materi abstrak.19
Belajar tergantung pada pengalaman, baik langsung atau tidak lang-
sung. Metode penyampaian harus logis dan psikologis. Metode conditioning
(SR) merupakan metode utama bagi realisme sebagai pengikut behavi-
orisme.20

Fragmatisme
Pragmatisme berasal dari kata ‘pragma’ (bahasa Yunani) berarti tin-
dakan, perbuatan. Pragmatisme adalah aliran dalam filsafat yang berpandan-
gan bahwa kriteria kebenaran sesuatu ialah apakah sesuatu memiliki kegu-
naan bagi kehidupannya.
Pragmatisme berpandangan bahwa subtansi kebenaran adalah jika
segala sesuatu memiliki fungsi dan manfaat bagi kehidupan. Misalnya, bera-
gama sebagai kebenaran, jika agama memberikan kebahagiaan; menjadi do-
sen adalah kebenaran jika memperoleh kenikmatan intelektual, mendapat
gaji atau apapun yang bernilai kuantitatif dan kualitatif. Sebaliknya jika
memberi kemudharatan, tindakan yang dimaksud bukan kebenaran, misal-
nya memperistri wanita yang sakit jiwa adalah perbuatan yang membahaya-
kan dan tidak dapat dikategorikan sebagai serasa dengan tujuan pernikahan-
nya dalam rangka mencapai keluarga sakinah, mawaddah warahmah.21 To-
kohnya William James (1842-1910 M) dan Jhon Dewey (1859 M).
Pragmatisme melihat, pendidikan bukanlah merupakan suatu proses
pembentukan dari luar dan bukan pula merupakan suatu pemerkahan kekua-
tan-kekuatan laten dengan sendirinya (unfolding). Pendidikan menurut
pragmatisme, merupakan suatu proses reorganisasi dan rekonstruksi dari
pengalaman-pengalaman individu. Dalam hal ini dapat dikatakan, anak dan
orang dewasa selalu belajar dari pengalamannya.

Implementasi pragmatisme dalam pendidikan


Tujuan pendidikan, memberi pengalaman untuk penemuan hal-hal baru
dalam menentukan sosial dan pribadi. Kedudukan siswa, suatu organisme
_____________________________
19
Ramayulis dkk., Filsafat…, hal. 20
20
Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan…, hal. 113
21
Atang Abdul Hakim dkk., Filsafat Umum, Cet. I., (Bandung: Pustaka Setia, 2008),
hal. 319.

74 Sulaiman: Metodologi Pengajaran menurut Perspektif Filosofis…


yang teruji yang dapat diubah. Minat dan kebutuhan siswa yang dibawa ke
sekolah dapat menentukan kurikulum. Menghilangkan perbedaan antara
pendidikan liberal dengan pendidikan praktis atau pendidikan jabatan. Peran
guru, mengawasi dan membimbing pengalaman belajar siswa, tanpa meng-
ganggu minat dan kebutuhannya.

Metode pengajaran
Metode pengajaran pragmatisme adalah metode aktif, yaitu learning
by doing (belajar sambil bekerja).22 Metode yang digunakan dalam pengaja-
ran bersifat aplikatif. Kemudian Dewey menerangkan metode pengajaran da-
lam pendidikan sebaiknya digunakan metode disiplin, bukan dengan kekua-
saan. Kekuasaan tidak dapat dijadikan metode dalam pendidikan karena me-
rupakan suatu kekuatan yang datang dari luar, dan didasari oleh suatu asum-
si bahwa ada tujuan yang baik dan benar secara objektif, dan si anak dipaksa
untuk mencapai tujuan tersebut. Kekuasaan tidak sesuai dengan kemauan
dan minat anak, serta gurulah yang menentukan segala-galanya. Guru me-
maksakan bahan pelajaran kepada anak, dan guru pulalah yang berpikir un-
tuk anak. Dengan cara demikian tidak mungkin anak akan mempunyai perha-
tian yang spontan atau minat langsung terhadap bahan pelajaran.23
Aliran pragmatisme tidak memisahkan antara materi pengajaran den-
gan metode pengajaran. Variasi metode yang digunakan berpijak pada de-
mokrasi. Guru tidak boleh menghilangkan keaktifan anak didiknya. Seorang
guru tidak boleh membatasi kegiatan murid dan hanya menerima pikiran
guru. Aliran ini menuntut agar peserta didik diikutsertakan secara demokra-
tis dan dinamis, baik dalam berpikir dan membahas. Dengan demikian anak
didik akan mampu menemukan hakikat kebenaran dengan sendirinya.24

Progresivisme
Aliran progresivisme adalah suatu aliran filsafat pendidikan yang san-
gat berpengaruh dalam abad ke-20 ini. Pengaruh itu terasa di seluruh dunia
terutama di Amerika Serikat. Usaha pembaharuan di dalam lapangan pendi-
dikan pada umumnya terdorong oleh aliran Progresivisme ini.
Biasanya aliran progresivisme ini di hubungkan dengan pandangan
hidup liberal “The liberal road to culture”. Yang di maksudkan dengan ini
adalah pandangan hidup yang mempunyai sifat-sifat sebagai berikut: fleksi-
bel (tidak kaku, tidak menolak perubahan, tidak terikat oleh suatu doktrin
tertentu), curios (ingin mengetahui, ingin menyelidiki), toleran dan open-
minded (mempunyai hati terbuka).
Sifat-sifat umum aliran progressivisme dapat diklasifikasikan ke da-
lam dua kelompok: (a) sifat-sifat negatif, dan (b) sifat-sifat positif. Sifat itu
dikatakan negative dalam arti bahwa, progressivisme menolak otoritarisme
dan absolutisme dalam segala bentuk, seperti misalnya terdapat dalam aga-
ma, politik, etika dan epistemologi. Sedangkan positif dalam arti, bahwa pro-
gressivisme menaruh kepercayaan terhadap kekuatan alamiah dari manusia,
_____________________________
22
Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan…, hal. 133.
23
Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan…, hal. 131
24
Ramayulis dkk., Filsafat…, hal. 35.

Jurnal Azkia Vol. 5, No. 1, Juli 2010 75


kekuatan-kekuatan yang di warisi oleh manusia dari alam sejak ia lahir-man’s
natural powers. Terutama yang dimaksud adalah kekuatan-kekuatan manusia
untuk terus menerus melawan dan mengatasi kekuatan-kekuatan, takhayul-
takhayul dan kegawatan-kegawatan yang timbul dari lingkungan hidup yang
selamanya mengancam.25
Progressivisme yakin bahwa manusia mempunyai kesanggupan-
kesanggupan untuk mengendalikan hubungannya dengan alam, sanggup me-
resapi rahasia-rahasia alam, sanggup menguasai alam. Akan tetapi di samp-
ing keyakinan ini ada juga kesangsian-kesangsian. Dapatkah manusia meng-
gunakan kecakapannya dalam Ilmu-ilmu pengetahuan alam, juga dalam ilmu
pengetahuan social? Dalam masyarakat? Dalam hubungannya sesama manu-
sia? Pragmatisme (dan progressivisme ) yakin bahwa manusia mempunyai
kesanggupan itu, akan tetapi apakah manusia dapat belajar bagaimana mem-
pergunakan kesanggupan itu dalam hal ini, di sini timbul sedikit kesangsian.
Tetapi, meski demikian progressivisme tetap optimis, tetap percaya bahwa
manusia dapat, menguasai seluruh lingkungannya, lingkungan alam dan ling-
kungan social.

Implikasi progresivisme dalam pendidikan


Progresivisme kurang menyetujui adanya pendidikan yang bercorak
otoriter, baik yang timbul pada zaman dahulu maupun sekarang. Pendidikan
yang otoriter dapat diperkirakan mempunyai kesulitan untuk mencapai tu-
juan yang baik, karena kurang menghargai dan memberikan tempat semes-
tinya kepada kemampuan peserta didik dalam proses pendidikan.
Progresivisme sangat menghargai kemampuan berpikir yang dapat menum-
buh kemajuan berpikir menjadi inti perhatian progresivisme karena ia me-
rupakan bagian utama dari kebudayaan. Progresivisme tidak mengakui ke-
mutlakan kehidupan, menolak absolutisme dan otoritarisme dalam segala
bentuk, nilai-nilai yang dianut bersifat dinamis dan selalu mengalami peru-
bahan, pendidikan progresivisme menolak pendidikan yang bercorak teacher
centered.

Metode pengajaran
a. Metode belajar aktif. Metode pendidikan progresif lebih berupaya
menyediakan lingkungan dan fasilitas yang memungkinkan berlang-
sungnya proses belajar secara bebas pada setiap anak untuk men-
gembangkan bakat dan minatnya.
b. Metode memonitor kegiatan belajar. Mengikuti proses kegiatan-
kegiatan anak belajar sendiri, sambil memberikan bantuan-bantuan
tertentu bila diperlukan yang sifatnya memperlancar proses berlang-
sungnya kegiatan-kegiatan belajar tersebut. Bantuan yang diberikan
sebagai campur tangan dari luar diusahakan sedikit mungkin.
c. Metode penelitian ilmiah. Pendidikan progresif merintis digunakan-
nya metode penelitian ilmiah yang tertuju pada penyusunan konsep,

_____________________________
25
Zuhairini, dkk., Filsafat…, hal. 21

76 Sulaiman: Metodologi Pengajaran menurut Perspektif Filosofis…


sedangkan metode pemecahan masalah lebih tertuju pada pemecahan
masalah-masalah kritis.
d. Chill centered (pendidikan berpusat pada anak). Pendidikan progresif
menganut prinsip pendidikan yang berpusat pada anak. Anak meru-
pakan pusat dari keseluruhan kegiatan-kegiatan pendidikan.26

Eksistensialisme
Eksistensialisme berasal dari kata “eksistensi” dari kata “existency”
yaitu “exist” adalah bahasa latin yang berarti “ex” keluar dan “sistare” artinya
berdiri. Jadi, eksistensi adalah berdiri dengan keluar dari diri sendiri. Dalam
membuat definisi eksistensialisme, kaum eksistensialis tidak sama. Namun
demikian ada suatu yang dapat disepakati oleh mereka, yaitu sama-sama
menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral.27
Eksistensialisme sebagai filsafat, sangat menekankan individualitas
dan pemenuhan diri secara pribadi. Setiap individu dipandang sebagai mak-
hluk yang unik, dan secara unik pula ia bertanggungjawab terhadap dirinya.
Dalam hubungan dengan pendidikan, Sikun Pribadi mengemukakan bahwa
eksistensialisme berhubungan erat sekali dengan pendidikan, karena kedua-
nya bersinggungan satu dengan yang lainnya pada masalah-masalah yang
sama, yaitu manusia hidup, hubungan antara manusia, hakikat kepribadian
dan kebebasan. Pusat pembicaraan eksistensialisme adalah ‘keberadaan’
manusia, sedangkan pendidikan hanya dilakukan oleh manusia.

Implikasi eksistensialisme dalam pendidikan


Aliran ini tidak mementingkan metafisika (Tuhan). Aliran eksistensia-
lisme memandang bahwa manusia tidak diarahkan. Manusia yang mencipta-
kan kehidupannya sendiri dan oleh sebab itu manusia bertanggung jawab
sepenuhnya atas pilihan-pilihan yang dibuat. Aliran ini memberi paham ke-
pada individual, kebebasan dan bertanggung jawab.
Kebenaran lebih bersifat eksistensial dari pada proporsional atau fak-
tual. Seperti halnya dalam pragmatisme, kebenaran itu diciptakan-tidak di-
temukan, hidup-tidak dipikirkan bersifat kontekstual dan relatif tidak uni-
versal atau absolut, subjektif dan parsial tidak objektif general, namun penge-
tahuan juga tidak bersifat instrumental atau praktis. Pengetahuan lebih me-
rupakan suatu keadaan dan kecenderungan seseorang. Karena manusia tidak
tunduk terhadap apa yang ada di luar dirinya, maka nilai-nilai tidak dicari
dalam diri manusia itu sendiri. Hal ini disebabkan karena nilai itu hidup da-
lam dirinya. Oleh karena itu, apa yang disebut baik atau buruk tergantung
atas keyakinan pribadi.
Kurikulum, yang diutamakan adalah liberal. Kurikulum liberal meru-
pakan landasan kebebasan bagi manusia. Kebebasan memiliki aturan-aturan.
Oleh karena itu di sekolah diajarkan pendidikan sosial, untuk mengajar ‘res-
pek’ (rasa hormat) terhadap kebebasan untuk semua. Respek kebebasan bagi
yang lain adalah esensial.
_____________________________
26
Redja Mudyahardjo, Pengantar Pendidikan, hal. 145
27
Atang Abdul Hakim dkk Filsafat Umum, Cet. I., (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hal.
333.

Jurnal Azkia Vol. 5, No. 1, Juli 2010 77


Metode pengajaran
Metode pengajaran tidak ada metode khusus akan tetapi metode apa-
pun yang digunakan harus merujuk pada cara untuk mencapai kebahagiaan
dan karakter yang baik.28 Oleh karena demikian metode pendidikan yang di-
gunakan untuk pengajaran menurut aliran ini disesuaikan dengan materi pe-
lajaran.

Rekonstruksionisme
Sebagaimana yang dinyatakan Caroline (1984), seorang rekonstruk-
sionisme yang berpengaruh periode itu: “nilai terbesar suatu sekolah harus
menghasilkan manusia-manusia yang dapat berpikir secara efektif dan be-
kerja secara konstruktif, yang saat bersamaan dapat membuat dunia lebih
baik dibandingkan dengan sekarang ini untuk hidup di dalamnya”. Sekolah
tidak hanya harus mentrasmisikan pengetahuan mengenai tatanan sosial
yang ada, melainkan juga harus berusaha merekonstruksinya.
George S. Count sebagai pelopor rekonstruksianisme mengatakan
lembaga pendidikan dan sekolah akan betul-betul berperan jika bila sekolah
menjadi pusat pembangunan masyarakat baru secara keseluruhan, mem-
basmi kemudharatan, kemelaratan, peperangan dan kesukuan (rasialisme).
Masyarakat yang menderita kesulitan ekonomi dan masalah-masalah sosial
yang besar merupakan tantangan bagi pendidik untuk menjalankannya pe-
ran sebagai agen pembaharu dan rekonstruksi sosial, dari pada pendidikan
hanya mempertahankan status quo.
Rekonstruksionalisme dipelopori oleh Jhon Dewey, yang memandang
pendidikan sebagai restruksi pengalaman-pengalaman yang berlangsung te-
rus dalam hidup. Sekolah menjadi tempat utama berlangsungnya pendidikan
haruslah merupakan gambaran kecil dari kehidupan sosial di masyarakat.
Perkembangan lebih lanjut dari rekonstruksionalisme Dewey adalah Rekon-
struksionalisme Radikal, yang memandang pendidikan sebagai alat untuk
membangun masyarakat ke depan.29
Tujuan pendidikan menumbuhkan kesadaran terdidik yang berkaitan
dengan masalah-masalah sosial, ekonomi dan politik yang dihadapi manusia
dalam skala global, dan memberi keterampilan kepada mereka agar memiliki
kemampuan dalam memecahkan masalah. Kurikulum merupakan subject
matter yang berikan masalah-masalah sosial, ekonomi dan politik yang bera-
gam, yang dihadapi manusia termasuk masalah sosial pribadi si terdidik itu
sendiri. Kurikulum tersebut berguna dalam penyusunan disiplin “sains so-
sial”.

Implikasi rekonstruksionalisme dalam pendidikan


Pendidikan merupakan usaha sosial. Misi sekolah adalah untuk me-
ningkatkan rekonstruksi sosial. Kurikulum, kurikulum sekolah tidak boleh

_____________________________
28
Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, hal. 141.
29
Redja Mudyahardjo, Pengantar Pendidikan, hal. 151

78 Sulaiman: Metodologi Pengajaran menurut Perspektif Filosofis…


didominasi oleh budaya mayoritas maupun oleh budaya tertentu. Semua bu-
daya dan nilai-nilai yang berhubungan berhak untuk mendapatkan tempat
dalam kurikulum. Kedudukan siswa, nilai-nilai budaya siswa yang dibawa ke
sekolah merupakan hal yang berharga. Keluhuran pribadi dan tanggung ja-
wab sosial ditingkatkan, manakala rasa hormat diterima semua latar bela-
kang budaya. Peran guru, guru harus menunjukkan ras hormat yang sejati
(ikhlas) terhadap semua budaya, baik dalam memberi pelajaran maupun da-
lam hal lainnya. Pelajaran sekolah harus mewakili budaya masyarakat.
Metode pengajaran
Analisis kritis terhadap kerusakan-kerusakan masyarakat dan kebu-
tuhan-kebutuhan pragmatik untuk perbaikan. Dengan demikian mengguna-
kan metode pemecahan masalah, analisis kebutuhan dan penyusunan pro-
gram aksi perbaikan masyarakat.30
Selanjutnya dikarenakan aliran filsafat ini lanjutan dari aliran filsafat
Progresivisme dam memiliki sisi-sisi kesamaan, metode pengajaran yang di-
gunakan adalah metode learning by doing.31 Selain metode tersebut aliran
filsafat ini juga menggunakan metode inkuiri, hal ini bisa dilihat pada ciri-ciri
khas aliran filsafat ini dimana lebih menitik beratkan pada pembangunan
masyarakat dengan menemukan solusi-solusi sebagai alternatif dari perma-
salahan yang terjadi dalam masyarakat.

Kesimpulan
Metode pengajaran merupakan salah satu unsur terpenting dalam
pendidikan. Oleh karena itu peserta didik/ guru dituntut mampu mengguna-
kan metode yang bervariatif, serta disesuaikan dengan kondisi rill di lapan-
gan. Kemahiran guru dalam menciptakan strategi dan metode pengajaran
akan mempengaruhi terhadap proses belajar anak didik.
Metode pengajaran filsafat konservatif; idealisme, perenialisme, esen-
sialisme dan materialisme. Aliran-aliran filsafat pendidikan ini lebih bersifat
otoriter, pembelajaran yang berpusat pada guru. Model pembelajaran tradi-
sional, seperti mengkaji bahan dan buku-buku teks yang lama. Serta masih
dominan menggunakan metode hafalan dalam pendidikan.
Sementara metode pengajaran liberalisme, sebagaimana ciri khasnya
yaitu model pendidikan yang bebas tidak berdasarkan dogmatis tertentu. Hal
ini sebagaimana tertuang dalam aliran filsafat; realisme, pragmatisme, pro-
gresivisme, eksistensialisme dan rekonstruksionalisme.
Metode pengajaran filsafat liberalisme, learning by doing dimana anak
didik dituntut mampu melakukannya seiring dengan proses belajar, intinya
dari metode ini anak didik bisa bekerja, praktek sambil belajar. selain ini, me-
tode inkuiri juga termasuk dalam metode pengajaran liberalisme. Metode in-
kuri ini mengajarkan anak didik mencari solusi dan alternatif sehingga bisa
keluar dari masalah.

_____________________________
30
Redja Mudyahardjo, Pengantar Pendidikan, hal. 156
31
Uyoh Sadulloh Pengantar Filsafat Pendidikanl…, hal. 171

Jurnal Azkia Vol. 5, No. 1, Juli 2010 79


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Mujib dkk Ilmu Pendidikan Islam, cet. I., Jakarta: Kencana, 2006.
Abuddin Nata Ilmu Pendidikan Islam dengan Pendekatan Multidisipliner:
Normatif Perenialis, Sejarah, Filsafat, Psikologi, Sosiologi, Manaje-
men, Teknologi, Informasi, Kebudayaan, Politik Dan Hukum, Cet. I,
Jakarta: Rajawali Press, 2009.
Atang Abdul Hakim dkk Filsafat Umum, Cet. I., Bandung: Pustaka Setia, 2008.
Hani’ah. Terj, Experienci & Education Pendidikan Berbasis Pengalaman, Cet. I.,
Jakarta: Teraju PT. Mizan Publika, 2004.
Imam Barnadib Filsafat Pendidikan, Cet. V., Yogyakarta: Andi Offset, 1988.
M. Basyiruddun Usman Metodologi Pembelajaran Agama Islam, Cet. III., Jakar-
ta: Ciputat Press, 2002.
Mahmud Arif. Terj, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam, Cet. I., Yogya-
karta: Tiara Wacana Yogya, 2002.
Oemar Hamalik Kurikulum dan Pembelajaran, Cet. X., Jakarta: Bumi Aksara,
2010.
Ramayulis dkk Filsafat Pendidikan Islam, Cet. III., Jakarta: Kalam Mulia, 2011.
Redja Mudyahardjo, Pengantar Pendidikan, Cet. IV., Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2008.
Uyoh Sadulloh Pengantar Filsafat Pendidikan, Cet. I., Bandung: Alfabeta, 2009.
Zuhairini, dkk Filsafat Pendidikan Islam, Cet. IV., Jakarta: Bumi Aksara, 2008.

80 Sulaiman: Metodologi Pengajaran menurut Perspektif Filosofis…


: ‫داب ا ُْ
ا‬
‫ ا"! ص وا ل  ا   واوة ا‬#$ %

‫ 'دى‬#(‫)ب ا‬
(Syabuddin Gade)
Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry
Kopelma Darussalam, Kota Banda Aceh
Email: syahbudin@yahoo.com

ABSTRAK
Tulisan ini membahas tiga unsur adab (kode etik) guru, yaitu; keikhlasan (al-
ikhlash), keadilan (al-‘adl fi al-mu’amalah) dan keteladanan (al-qudwah al-
shalihah). Ketiga unsur adab ini sejatinya perlu diaktualkan oleh setiap pen-
didik dalam kegiatan proses pendidikan, karena ketiganya bukan hanya men-
jadikan proses pendidikan bernilai di mata manusia, tetapi juga bermakna
dalam pandangan Allah. Keikhlasan dan keadilan merupakan kunci utama
bagi guru untuk memperoleh rida, keberkatan atas segala aktivitas dan kede-
katan (taqqarub) kepada Allah. Begitu juga, keteladanan guru sebagai kompe-
tensi moral akan menjadi contoh bagi para muridnya. Semua itu akan mem-
beri implikasi bagi kesuksesan dan kejayaan proses pembelajaran sesuai
dengan tuntunan pendidikan Islam.

Kata Kunci: adab, ikhlas, adil dan teladan



 ‫ ا" 
ذي ا رة وال وا ا   وال اي‬. ‫  ا
ا  ا‬
)'( %'* + ‫ ا‬,‫ ا‬-. ‫'  ا‬/‫ و‬%& 0  ‫ار‬1‫ ا) ا‬#‫ وها‬%& '(
‫ اآ‬+ % ,34 56‫ل ا
ا‬1 ‫ق اي‬.‫ ا‬859‫ه ا(اق ا‬:‫<; ا  ا‬
%#‫ا‬0.‫ و(') ا‬%5 %&= 8‫ و<' واز‬%'(
‫ (@ ?') ا‬A'. )' B#‫ وا‬6"‫ا‬
.5‫م ا‬05 )‫  دا;  ا ا ا‬/‫ ا‬E'(‫ و‬%'( '<‫ و‬% -‫ر و‬.‫ ا‬%& "?‫ و‬% 1‫وا‬
‫"ل‬#‫ ا‬F (‫ و‬،<H‫ق ا‬.I‫ ا‬JFE- ‫ر ا '  أن‬5 ‫ي‬6*‫*ر ا‬6‫=و ا‬M ( N&#  
O ‫ ا‬O‫هه‬P +O&‫ ا‬O##‫ ء ا‬O<I‫ ا‬O BO‫ ذ‬OM‫ و‬O3‫ ا‬5‫ وا‬O5"‫ < ا‬+1.I‫ا‬
%O/0- 0O‫ ه‬O6*‫=و ا‬O‫ا ا‬O‫ وهف ه‬.. '5‫ع اذ‬09 ً,,< ‫ ا=و‬B‫ وآن ذ‬،‫ ااب‬E3 ‫و‬
.V' ‫ و‬%5‫'" د‬W  E*XP05 ‫ و‬،%-13  *& 5  )& ،%*5 ‫ و‬VY5  )‫ب إ‬,9‫ا‬
\
[ O‫ آ‬،O6 ‫ ا‬O( +OE‫ وف وا‬O I‫ ا‬+ [+( ٌ^/‫\  ٍد  ' ٍ وا‬ X ‫و ه آن (') آ‬
` &O ‫ا ا‬O‫ ه‬O O<H‫ ا‬OI‫ ا‬O O.I‫ ا‬O6 ُ5 )O& %&(:&O<‫^ ا‬O ‫ و‬%O' ( ‫ن‬6 +
.'5‫ أول اذ‬+ bF,4&5 ‫دة ا اي‬1 )‫ وإ‬0X '‫*` إ) ا‬-& b E‫< وارك ا‬d‫ا‬
<H‫ ا‬I ‫ض‬0E‫ ( ا&  وا‬+ fg- E ‫ن‬065 ‫ أن‬6 5 +&‫دوار ا‬I‫و ا‬
 % @(‫  ر< و أ‬Ej‫   أ‬.. ‫ء‬,#I‫ ا‬i5‫ ور‬0‫ اي ه‬X' ‫ دور ا‬0‫ة ه‬h& ‫ا‬
E )F'"&5 ‫ أن‬F  ‫داب‬l E ‫م‬0 5  ِ‫ و‬
F ‫ت إ‬,‫ ٍ ?ت أو آ‬E ‫\ أو‬ ٍ (   %#‫دور! وإ‬
‫ أن‬5‫) ار‬#‫ وإ‬،‫ل‬0:5 X'ُ ْ ‫داب ا‬l ( i5"‫ آ  ('  أن ا‬.‫ء‬o‫  ا‬-‫) إ(اد ا\ و‬
‫داب‬l ) -‫ و‬X'ُ ْ ‫ ا‬E )F'"&5 ‫ أن‬+,5 +&‫داب ا‬d‫  ا‬V‫اد‬5‫ورة إ‬q ‫أث  أرى‬

Jurnal Azkia Vol. 5, No. 1, Juli 2010 81


‫إ‪ (1)  5‬وإ‪   )#‬ا*‪ ( J‬ه‪ V‬ا‪d‬داب ا&‪ +‬ه‪  +‬ا *&ض أن ‪ E )F'"&5‬ا ْ ُ'‪X‬‬
‫ن ذ‪065 B‬ن  ب ‪ %,j‬ا &"\‪،‬‬ ‫ا  ‪  )#v ،+X‬اُ‪g %,3‬ن ‪ `  )F'"&5‬ا‪d‬داب ؛ ‪F v‬‬
‫
‪ A'.‬اس ‪ +*'&4‬ا‪,:‬ع وا‪ /=I‬وا‪ ^<I‬وا رات وه‪6‬ا‪ ،‬و‪W&1 B‬ت ه‬
‫ "‪l ( h‬داب ا ' ا‪. A'&5  E b   /H‬ص وال ) ا ' وا وة‬
‫ا‪."W‬‬

‫ا‪,‬د  ه*‬


‫و‪ &5 1‬ءل ( ا ْ ُ'‪ X‬اى ('‪ %‬أن ‪ B'& )'"&5‬ا‪d‬داب ) ها ا‪ . i",‬ه\ ه‪X'ُ 0‬‬
‫ن ا ‪0W‬د ‪VM‬؟ ا‪ \,1 ,‬أن ا "‪l ( i‬داب ا ' ا‪ "5  /H‬‬ ‫ا'‪0‬م ا‪(9‬؟‪ ..‬أو أ ‪F‬‬
‫ ) أن أ‪j‬ح ‪ X'ُ  A'&5  '1‬ا ‪0W‬د ‪ ) %‬ها ا‪ .i",‬ا ‪0W‬د  ' ه ه‪ 0‬اى‬
‫ي ' ٍ  ا\ ا&' ‪ ،\ 5‬وآ*  آن ‪0#‬ع ا&' اي‬ ‫أ‪  5‬آن ‪ ،%10‬و‪ +‬أ ‪X‬‬
‫\  ‪FW&5‬ى  ' ا&'‬ ‫‪ 5‬ر<‪ ،%‬و‪0#‬ع ا&‪ }W4‬اي ‪0 5‬م &ر‪ +5 1 \ ،% 5‬آ ‪F‬‬
‫ ‪0W‬ر ٍة ‪ٍ j,‬ة أو ‪j, M‬ة‪I ،‬ب ُ‪ ،%& + ٌ'X‬وا‪ ^:4‬وإم ا  ُ‪+ ٌ'X‬‬
‫\  ~‪0‬ل ‪ 6 5‬أن ‪065‬ن ُ‪  ِ ً 'X‬ه‬ ‫ ‪ ،V‬وا ‪ 5‬وا '‪0 X‬ن آ\ٌ ‪ +‬دا;‪ ،%-‬وآا آ ‪Y‬‬
‫ع  ا&' ‪ ^<&5‬و‪ %&E‬و‪%&#6‬؛ ‪*ُ5 E#I‬ون  ‪ %-,.‬و‪،%-E/0-‬‬ ‫‪ٍ 0 %&0~  J"-‬‬
‫و ُ  <َ &‪ ،%‬و‪ /‬ل ‪ ،%'-‬و‪0/‬دة إدار‪ ،%-‬ود‪ %*5W- F1‬و&‪0 %‬ر‪ ،‬إ) ‪M‬‬
‫ذ‪  B‬أ‪0#‬اع ا&' ‪ ..‬و‪/ 1‬ء ‪ +‬ا"‪ i5‬ا@ ا ‪ ),‬وا )‪» :‬آ'‪ 6Y‬راع و ~‪0‬ل‬
‫( ر(&‪%‬؛ ‪ I‬اي (') اس راع وه‪0~  0‬ل ( ر(&‪ ،%‬وا‪ \/‬راع (') أه\‬
‫ &‪ %‬وه‪0~  0‬ل (‪ ،E‬وا أة را( (') ‪ E' J‬ووه وه‪ ،E( 0~  +‬وا‪,‬‬
‫ ‪ E‬‬ ‫راع (') ل <‪ V‬وه‪0~  0‬ل (‪ ،%‬أ ‪ 6'6‬راع وآ'‪0~  6‬ل ( ر(&‪F 6 . «%‬‬
‫ا ْ ُ'‪ X‬ا ر<‪ %#I َP&- +‬ا‪ }49‬ا ‪&4‬ر  ' ا&' ا ‪ ،E‬وا&‪@ُ Eِ Y َ5 +‬‬
‫ي  ٍد  أاد ا & `  ‪ F‬أ‪  ً(0# )F '- %#‬ا&'‪ ،‬و ‪F‬‬‫اس‪ ،‬إن  ‪ \ #‬آ'‪Y g ،EF‬‬
‫\ ‪ %WYW4- +‬و‪ %X‬اي‬ ‫ ' ٍ  ا'‪F4&- X'ُ ْ  ،%‬ج  ‪(:1 %.‬ت ا & `‪ ،‬آ [‬
‫ا‪&.‬ر‪ V‬أو ا‪.% ِ&.‬‬
‫و‪06-  ً,M‬ن ( ' ا&' ‪0-‬ار‪  ًf‬ا ْ ُ'‪ X‬وا &'‪ X'&ُ  ،X‬ا‪0‬م <‪06‬ن ُ'‪ X‬ا‪،O‬‬
‫آ  أن ُ'‪ X‬ا‪0‬م آن ُ&‪ ،…I ً 'X‬وه‪O6‬ا ‪0& O' ( +OE‬ار‪ OE'( ^O1&5 ،Of‬آ‪O ٌOh‬‬
‫اس‪ .‬وا ْ ُ'‪ – X‬أ‪ – ً5‬ه‪  ٌ'Xُ 0‬و‪ %ٍ /‬وُ‪ O X'&O‬و‪0O 5 iO ،O.l %ٍ O/‬م &=آ‪%O *# O‬‬
‫و(' ‪ %‬و‪E‬را‪ VOE %O-‬ا‪O‬ا‪ ،+-‬إ‪ Oq‬إ‪ )O‬و‪0O/‬د ‪O9ُ5 O‬ف ('‪ %O‬و‪ %O &ُ5‬و‪ُ1 +OX 5‬را‪%O-‬‬
‫و‪E‬را‪ ،%OO-‬و‪XO ُ5‬د ‪ 0OO"# VOO:ُ.‬ا‪OO:‬ق ا&' ‪ OO‬ا‪ OO )OO'( ""OOW‬ه‪OO 0OO‬وف ‪ +OO‬ا‪OO3ُI‬‬
‫ا‪H‬دار‪ + 5‬وزارات ا&' وا&' ا‪' + +‬ان ا‪E .‬ا ُ‪ g ٌ'X‬إ) و‪ O*P‬ا&'‪O‬‬
‫^ '&‪ ^OY 6‬وار‪=O-‬اق‪ ،‬و‪ 0O‬آ‪O‬ن ‪O 5‬ر ('‪)O‬‬ ‫ ُ ا&‪E‬ن؛ ‪ O@5‬إ‪ )O'( OE‬أ‪FO OEF#‬د <‪ٍ ,O‬‬
‫ا&‪E‬ن و‪ *P‬أ‪.‬ى ‪M‬ه ‪ ^<6 % AX "ُ-‬أآ‪ ,‬أو ‪ E'h‬دون ‪9 \ "-‬ق ا&'  ‪W‬ه‪،‬‬
‫‪= ِ `5? 0E‬ان ا † وا‪O 4‬رة ا د‪ O5‬وا"‪0O‬ا= وا‪0‬ا;‪ OE \O  5 ،AO‬دون ‪ O@#‬إ‪)O‬‬
‫ر< ا&' وأها‪ E‬ا ‪ Eِ \*"5  0E ،‬و ‪ +O `O -‬دا;‪O‬ة اه& ‪O  .. %O-‬ذا ‪O@&ُ5‬‬
‫ ُ'‪ X‬ا‪/I‬ل وه‪ V‬ا@ة  ‪:‬ة ('‪ %'(  - %‬ارآ‪ %‬وه ‪%0‬؟!‬

‫‪ #‬داب ا ا(‪-‬‬


‫و  ا‪d‬داب ا&‪ +‬ه‪  +‬ا *&ض ا‪ ) /H‬أن ‪ E )F'"&5‬ا ْ ُ'‪ X‬ا  ‪ ) +X‬ها ا‪i",‬‬

‫_____________‬
‫"  ارو‪ ،o5‬ا رس و‪E‬رات ا&‪ .%/0‬ص‪43‬‬ ‫‪1‬‬

‫‪82‬‬ ‫‪j‬ب ا‪M 5‬دى ‪l :‬داب ا ْ ُ'‪ X‬ا‪ /H‬‬


‫ه)  ‪. A'&5‬ص وال ) ا ' وا وة ا‪ E#, ."W‬آ  ‪:)'5‬‬
‫‪ -1‬ا"! ص‬
‫\ ‪0f )َ/ُ5 ٍ 1‬ا ‪ ( E‬ا
‪ ،‬و‪ O‬ذ‪ BO‬ا‪ Y'&O‬وا&'‪ ،O‬و‪g&5‬آ‪O‬‬ ‫ا ا‪ +  0': ""W‬آ ‪X‬‬
‫ذ‪0O'( + B‬م ا‪O9‬ع وا‪O&"- O‬ج إ‪ )O‬ه‪ٍ O‬ة ‪ E'OW"- +O‬وا<&‪ ،E "OW‬وإ‪ )O‬ا‪O‬‬
‫أ‪q‬اده و* ا‪ ،E-‬وا ه‪0,1 ^,< +‬ل و‪ A0-‬و‪0W‬ل آ‪ ٍ O‬و‪ .5O -‬وا
‪OF'6- )O-‬‬
‫ َ ُ‪%‬‬
‫‪َ ِW'ِ4‬‬
‫( ا‪.H‬ص ‪5l +‬ت آ‪h‬ة‪  ،‬أ زه ‪َ ) :)- %01‬وَ ُأ ُِوا ِإ‪ُ,ُ ْ َ ِ F‬وا ا‪ْ ُ %َ 'F‬‬
‫( ]ا‪ [5 :,‬و‪ 1‬ا&‪ †&O‬ا‪OH‬م ا‪O4,‬ري و ‪ ‹O‬ا‪» i5O" E-O*FŒ O ;I‬إ‪ O #‬ا‪O (I‬ل‬ ‫ا‪َ 5X‬‬
‫)‪(2‬‬
‫ ت‪ ،«...‬وه‪ \.- +‬آ  ‪1‬ل ا‪OH‬م ا‪ O Oً  ,O< +O +O9‬أ ‪0O‬اب ا* ‪ ، %O‬وا‪O‬د‬
‫'&‪ 5"&'  h6‬وا<& ‪W‬ء‪ )' .‬ا ْ ُ'‪ X‬أن ‪F"&5‬ى ' ‪ %‬و‪ %O '-‬و‪ %O/‬ا
‪ )O-‬وا‪O‬ار‬
‫ا‪.d‬ة‪,  ،‬هة ا' ‪O‬ء أو  ‪O‬راة ا ‪E*O‬ء أو ‪O‬راة ا‪OMI‬ء أو اه‪ O‬ا‪OI‬اء ‪ ..‬و‪+O‬‬
‫ا"‪» :i5‬أو‪F‬ل  ‪ OE FO ُ-‬ا‪O‬ر ‪O :O*# Off‬ذل ' ‪O‬ل‪ ،‬و‪ ،O'' ^O3‬و‪O.‬رج ' &‪O‬ل«‪،‬‬
‫ و‪ V0OO/‬ا‪OO‬س و‪ ،E;OOf‬و‪ OO1‬و‪OO/‬وا ‪OOW1 OO‬وا إ‪EOO" ،%OO‬‬ ‫‪OOW 5 OO EOO6‬وا ‪ EOO (g‬إ ‪F‬‬
‫ا ‪0,‬ل وا‪0h‬اب‪.‬‬
‫و ا ا‪0- 'W. W4‬ا‪  g3‬أ‪ 8'<  8F‬ا‪ + I‬أدب ا ' (') ا‪O?0‬ة ‪.OE‬‬
‫‪1‬ل ا" ا  ‪ + ( /‬آ& ‪- %‬آة ا ` ‪ ":‬ا‪I‬ول أن ‪ E '& W 5‬و‪ E,5E-‬و‪ %/‬ا

‫‪ ،)-‬و‪ O9#‬ا'‪ ،O‬ودوام ‪0OEP‬ر ا"‪ AO‬و‪0O .‬ل ا‪ ،\O3,‬ودوام ‪ O.‬ا‪Oh6 OI‬ة (' ;‪،OE‬‬
‫وا‪&M‬م ‪0f‬ا ‪ ،E‬و‪0f \W"-‬اب  ‪ +E&5‬إ‪ . 3 "% '( %‬و‪O1‬ل ا‪OH‬م ا‪0O‬وي‪":‬و‪)O'( ^O5‬‬
‫ا ' أن ‪ % '& W 5‬و‪ %/‬ا
  <‪ ،A,‬وأ ‪ %'5‬و<' إ‪OM )O‬ض د‪0O#‬ي‪O"&  ،‬‬
‫ا ' ‪ +‬ذه‪ %‬آ‪0‬ن ا&' ‪l‬آ ا‪,‬دات‪06 ،‬ن ذ‪ †"W- )'( % f B‬ا‪ ،‬و"‪% ً q‬‬
‫‪4‬‬
‫(') ?‪6  %&#‬را‪ %-‬و ‪6‬وه‪0 4 ،%-‬ات ها ا*‪ \O‬ا@‪ O‬وا‪ O4‬ا ‪.O‬‬
‫و ‪ †'W5‬ا رس ‪ ،%&#‬و‪0"&5 %&503 ^:5‬ل ( '‪ %‬إ) (‪,‬دة
و‪ ،V‬و‪%,OW# % ^&65‬‬
‫و‪ VE/‬وآ\  ‪O  %O15‬ت (‪ O‬ا
‪ ~O' ،‬آ‪O‬ن ا‪Oh5 \O/‬ب ‪ +-gO5 O‬زو‪ ،%O&/‬أو ‪O‬‬
‫‪& `5‬ع ا‪ )'( \/‬دا &‪ ،%‬أو  ‪ ( %#  865‬ا \ وا ل‪ ،‬أ ‪Oh5‬ب ‪O5 O‬ر ('‪)O‬‬
‫أ ء ا‪ I‬و‪ \ "5‬ه ‪E‬؟ وا‪.H‬ص ‪ %( N&5‬أن ‪ % `& &5  \6 `& &-‬ا‪.d‬ون ‪ +O‬ا‪#O‬‬
‫ =ا‪ 5‬د‪ ،5‬وإ‪/‬زات‪ ....‬و‪ + E'( 5=-‬ا‪ #‬أ‪&- B#‬وق ( '‪ ،B‬و‪E,"& B&E A9-‬‬
‫و‪ ،E'( \, -‬وأن ‪ ` /‬ا (ت ا&‪ E - +‬آ‪0O5 \O‬م ‪ +O‬ر<‪ +O \O ،B&O‬ذه ‪ BO‬وإ‪BO 5‬‬
‫‪.O‬ة ‪ O( BO‬ا
(‪ =O‬و‪ .\O/‬أ‪ O‬ا‪O‬ار ا‪O.d‬ة ‪ +OE‬ا ‪0OW‬د ا‪ O@(I‬وا ‪ ^O':‬ا‪،) O<I‬‬
‫‪E‬ك أي ‪0f‬اب <‪ %‬ا ‪0W'4‬ن‪ ،‬وأي أ‪E ^&6< /‬؟ ه‪ V‬أ‪0‬ر  ‪O-‬رآ‪ E‬أ‪ JO#‬و أ‪،O#‬‬
‫إ‪ ( E '(  #‬ا
]وا
‪95   8(5‬ء[ )ا‪ ,‬ة‪.(261:‬‬
‫ن ا‪+O9‬ء آ ‪Oُ5 \Oِ1 O‬ف‬
‫و‪ †F&-‬أه  ا‪.H‬ص أآ‪ O( % M  + h‬ا & ‪F I `O‬‬
‫\ ا‪O5‬ء وا&‪ \O<6‬وا‪H‬ه ‪O‬ل‪ ،‬و ‪O‬ب‬‫ ‪ ،VX‬و ‪X‬ه ‪ =F &-‬ا‪jI‬ء‪, ،‬ب ا‪O.H‬ص ‪Y O"5‬‬
‫ا‪.H‬ص ‪ ^5‬ا ‪ ،‬و ب ا  ( ا  ‪4- +X‬ج ‪ M ~j#‬وا(‪،O* h OM O‬‬
‫‪ )'( ً~,( \X69ُ-‬ا‪ FI‬ا‪ <H‬ا&‪E  E*65 +‬؛   رُز;‪ J‬ا‪E I‬م ‪  '-1‬أ(‪O‬ا;‪E‬‬
‫و أه'‪ E‬آ‪ B‬وا
ا ‪&O‬ن ‪ ..‬وآ‪ \O‬ذ‪OM +O BO‬ب ا‪O.H‬ص
‪O )O-‬ى ا‪O Oh6‬‬
‫ن ا ْ ُ'‪ 5E# + X‬ا‪ .g< E9‬اا‪0< ^-‬اء أ‪
}'.‬أم ‪+OE }O'45 O‬‬‫ا  ‪ <  ،‬أ ‪F‬‬
‫‪ ? +  ?1  q‬م ا&  وا&'‪ 5g ،‬ا‪O.H‬ص؟ وأ‪ O5‬ا
و‪0O -‬ا‪V‬؟ وأ‪ O5‬ا‪ O‬؟‬
‫ه\ ‪ُ-‬آ‪ J‬آ'‪1 J"- E‬م ها ا  ‪ +X‬اي ‪ `F,&&5‬ه‪ V‬ا@‪ 5‬ا&‪  +‬أ‪=#‬ل ا
‪:'<  E‬ن‬
‫_____________‬
‫ا‪ @#‬ا  ر‪ ^/‬ا"‪ `/ ،+',‬ا'‪0‬م وا"‪ ،6‬ص‪.11 :‬‬ ‫‪2‬‬

‫‪ 3‬ا  ‪- ،( /‬آة ا ` وا &‪ + '6‬أدب ا وا &' ‪ ،‬ص ‪47‬‬
‫‪ 4‬ام ا‪0‬وى ‪ ،‬ا  ‪0‬ع ‪j‬ح ا ‪E‬ب ‪ ،‬ج ‪،1‬ص ‪30‬‬

‫‪Jurnal Azkia Vol. 5, No. 1, Juli 2010‬‬ ‫‪83‬‬


‫ت‬
‫‪ ..‬و‪0 #  "#‬ل ‪0/0‬د ه‪ V‬ا@‪ O 5‬ا ْ ُ'‪O( \6O9 O X‬م‪ \O ،‬ه‪0O/0 +O‬دة ‪O‬ى ~‪ٍ O‬‬
‫‪ ` 6 ،''1‬ذ‪ ^5 B‬ا&‪Y:‬ق إ‪ E‬و ‪ E/( F f‬أو ا ‪ +O‬إ‪ )O‬ذ‪ )O'( BO‬ا‪)O' .\O1I‬‬
‫\ ‪0OO 5‬م ‪0OO6 ،%OO‬ن (‪ OO‬ا
‪OO‬‬
‫\ ( ‪ٍ O‬‬
‫ا ْ ُ‪ OO'X‬أن ‪XO"ُ5‬ر ا‪ ،OO‬و‪ OOW 5‬و‪ %OO/‬ا
‪ +OO )OO-‬آ ‪X O‬‬
‫ا ‪ ،0,‬و  ‪  V-‬ا "‪  0,‬وا Œ‪ .5f‬وا ا‪ `O OW4‬آ‪0Oj OE#0‬رًا دا‪ًO'.‬‬
‫ ‪0'O< b,5 ً E‬ك ا ‪O‬رس‪ ،‬و‪O*5‬ض ('‪ %O‬ر‪ O 1‬دا‪O'.‬؛ ‪  &O‬ا ‪\O‬‬ ‫إ أ‪ً ( \h - E#‬‬
‫و‪ )(5‬ا‪.#I‬‬

‫‪ -2‬ا ل ‪ /‬ا  ‬
‫اا ‪ +‬ذا‪  E#I  0': E-‬أ‪O1‬ب ا  ‪O‬ت إ‪ )O‬ا
‪)O-‬؛  ‪ O‬أ‪ O‬ا
‪O  ،OE‬ل‬
‫‪+‬‬
‫"‪ِ Oَ9‬ء وَا ْ ُ ْ‪ ِ Oَ6‬وَا ْ َ‪ِ Oْ,‬‬
‫ ا ْ َ* ْ‬
‫ن َوإِ‪ِ َ&5‬ء ذِي ا ْ ُْ َ) َو َ‪ِ Oَ( )َEْ 5‬‬
‫ َ ِ‬
‫ل وَا ْ ِ‪ْ v‬‬
‫ن ا‪ِ َْ ْ ِ ُ ُ ْg5َ %َ 'F‬‬
‫‪ِ :)-‬إ ‪F‬‬
‫\‬
‫‪X O6 A‬‬ ‫ن ]ا"‪ )O' .[90 :\O‬ا ‪ ŒO‬أن ‪O 5‬وم ا‪ ،\O3,‬وأن ‪ OW5‬ا"‪F O‬‬ ‫@‪F َ Oَ- ْOُ6'Fَ َ ْOُ6‬آُو َ‬ ‫َ‪ُ ِ 5‬‬
‫‪  h A‬آن ‪ ..‬و… ‪ +‬ا‪<H‬م ‪6ُ5  ، ,3‬م ا‪V +‬‬ ‫} و‪ ، f‬وأن ‪ X5Œ5‬ا" ‪F‬‬ ‫‪ٍ 4-‬‬
‫)‪(5‬‬
‫‪ +‬إ‪  #‬ه ر(‪ ،‬وا ~‪0‬ل ا‪I‬ول (‪OE‬‬ ‫\ درا< “‬ ‫ي ‪ٍ W‬‬ ‫ل ا*  * ‪ . V‬وا‪:‬ب ‪ +‬أ ‪X‬‬ ‫و ُ‪Y َ 5‬‬
‫ "‪ i5‬ر<‪0‬ل ا
‪» :‬آ'‪ 6‬راع وآ'‪0~  6‬ل ( ر(&‪.«...%‬‬ ‫ه‪ 0‬ا ْ ُ'‪ً ( X‬‬
‫واا ‪ +‬ا '  ‪ ; '( ( ^- 6-‬ا‪I‬وا;‪0& ،\O‬ار‪0Of‬ا إ‪OW5‬ء ا ْ ُ'‪O OX‬ل‪،‬‬
‫و‪O1 .. %.  V5"-‬ل ا‪OH‬م ا‪0O‬وي‪ :‬و‪ +O,5‬أن ‪XO 5‬م ‪ E O'- +O‬إذا ازد ‪0O‬ا ا‪A,O<I‬‬
‫‪ ،A,<I‬و ‪ + %X 5‬أآ‪O6 Oh‬ن درس إ ‪ Oq‬ا‪ .(6)1O,‬و‪O1‬ل ا ‪ O‬ا ‪ O‬ا‪0‬ز‪ :O5‬إ ‪F‬‬
‫ن‬
‫ا‪ ^:‬ا &' إذا <‪ VM ،A,‬إ) ا‪  ”9‬أ ('‪ 5  %‬م ر<‪ OM O‬أن ‪0O65‬ن آ‪EO \O‬‬
‫‪ 5‬أ درس‪ .‬و(  ا ‪0"O< O‬ن  ً‪ +O O‬ذ‪O/ O» BO‬ء ‪ +O‬ا‪O‬ل ‪ O‬ا‪,OW‬ن«‪ ،‬وأورد ‪%O‬‬
‫ ‪<v‬د‪ ( V‬ا"  ‪1‬ل‪ :‬إذا ‪ `301‬ا ْ ُ'‪ )'( X‬ا‪/I‬ة ' ‪5‬ل ‪ – EO‬أي ا‪,OW‬ن – آُ&‪^O‬‬
‫ ا@' )‪ .(7‬و‪1‬ل ‪ :.l `q0 +‬و'‪0  E‬اء ‪ +‬ا&'‪ ،‬ا‪ 85O9‬وا‪ ،`Oq0‬وإ‬
‫ن ‪ BO'-‬ا&‪OE/0‬ت وا‪ O1 5O?0‬ذآه‪ O‬أ?‪\,O< )O'( E "O‬‬ ‫‪ O( +‬ا‪O,‬ن أ ‪F‬‬
‫آن ‪ .ً;.‬و‪[ M‬‬
‫\ و‪ ،JO1‬وإن ا‪0O? JO*'&.‬ر‪ V‬و‪ٍ OW( O %O- ,:-‬‬ ‫ا ‪h‬ل‪ ،‬ل ?‪0O " *O‬دة ‪ O 0':‬آ‪X O‬‬
‫‪.(8).d‬‬
‫‬
‫و‪,-‬و (ا ا ْ ُ'‪ X‬آ‪ g:4' %& + B‬دا‪ \.‬ا*‪5  \W‬ا‪ AX "5 V‬ا ‪ ،"'OW‬وأ ‪F‬‬
‫ن‬
‫‪ +‬إ‪ OO #‬ه‪ OO.l 0OO‬ا‪OO‬واء  أو‪ .%OOF‬و‪ّ0O W&# OO‬ر أ ‪F‬‬
‫‪OO3 \F.OO&5‬فٌ ‪OO1 ٌiO f‬ر ا‪OO6H‬ن‪ ،‬وا‪ّ O 6‬‬
‫‪ ،OOE( B‬و ‪ +OO OO?4‬ه‪OO‬ا ا‪0OO  ،JOO10‬ف‬ ‫ا ‪0OOW‬ر وا‪ ٌ *OO? gOO:4‬ز‪Y O*5 OO F'1 ^OO:' ٌ O‬‬
‫‪&#‬وز آ‪ًh‬ا  ا‪:.I‬ء‪ ،‬أو ‪ E  + E#‬ا‪ )'( +,:‬ا‪ .. \1I‬و أ(@ أن ‪0&"5‬ي‬
‫ا ْ ُ'‪ g:. X‬ا‪@ ^:‬ة أو ه  أو *& ‪j, M‬ة‪ ،‬أو ‪O. i5O‬ص ‪O.‬رج ا*‪.(9)\OW‬‬
‫و‪,-‬و (ا ا ْ ُ'‪ X‬آ‪ ` %-1( + B‬ز;‪ %‬ا ْ ُ'‪  X‬و(‪ `O %O-1‬إدارة ا ر<‪ ،O‬و‪`O‬‬
‫\ ا'  ر<  إدار ‪ 5X‬و‪ *FP0‬و(ُ ل‪.‬‬ ‫آ‪X‬‬
‫وآ‪ )'(   B‬ا ْ ُ'‪ X‬أن ‪ \ُ5‬ا‪ ^O:‬آ‪ Og‬أ ;‪ %O'( }5O ،%O‬و('‪،%', &O  )O‬‬
‫_____________‬
‫‪ 5‬ا‪ +'( :@#‬اا‪ W4j ،j‬ا ْ ُ'‪ X‬وأداء‪ ،V‬ص ‪.26-25‬‬
‫‪ 6‬ام ا‪0‬وى ‪ ،‬ا  ‪0‬ع ‪j‬ح ا ‪E‬ب‪ ،‬ج‪ ،1‬ص‪.33‬‬
‫‪  " 7‬ا  <"‪0‬ن ‪ ،‬أدب ا ْ ُ'‪ ،  X‬ص‪.11‬‬
‫‪  " 8‬ارو‪ ،o5‬ا رس و‪E‬رات ا&‪ ،%/0‬ص‪W& ،55‬ف‪.‬‬
‫‪ 9‬ا ‪ `/‬ا  ‪ ،A‬ص‪.57-56‬‬
‫‪84‬‬ ‫‪j‬ب ا‪M 5‬دى ‪l :‬داب ا ْ ُ'‪ X‬ا‪ /H‬‬
‫و‪E‬ا ‪ ،) " %&' +,5‬وإ‪EP‬ر ا  وا‪  *9‬وا&'‪ ،%&' + 8Y:‬وإ‪EOj‬ر ا‪Oh‬ء‬
‫('‪ %OO‬إن أ ‪OO* ،OO‬دًا أو ‪OO .. OO( / +OO‬س ‪ OO ' E 0OO'1 †&OO*ُ-‬وا& ‪ †OO‬وا'‪،OO‬‬
‫و‪*5‬ون ‪  E;,:‬ا*@‪ P‬وا‪ #094‬وا‪ .. 8‬و ه آن ‪01‬ل ا
‪O,-‬رك و‪: )O-‬‬
‫‪l] B‬ل ( ان‪.[159 :‬‬ ‫‪َ ِْ0‬‬
‫^ َ ْ‪0Y*َ #‬ا ِْ َ‬
‫ ا ْ َ ْ' ِ‬
‫‪َ ِ'M‬‬
‫‪َ @َ J‬‬
‫َوَ‪ُ ْ0‬آ ْ َ‬
‫ ا
‪OE /‬‬ ‫أي ‪ 0‬آ‪ ›< J‬ا‪6‬م‪ +<1 ،‬ا '‪0OY*# EO'( ^O‬ا (‪ BO‬و‪-‬آ‪0O‬ك‪ ،‬و‪F O6‬‬
‫('‪ ،B‬وأن ‪1 .(10)E 0'  ً*g- E B,#/‬ل ا ‪ :O( / O‬أن ‪ ^O"ُ5‬ا ْ ُ'‪Y O"5 O %O,: OX‬‬
‫^‬
‫‪+‬‬
‫* ‪ %O‬آ ‪O/ O‬ء ‪ +O‬ا"‪ ،i5O‬و‪O1 .%O * VO65 O %O VO65‬ل ا ‪O,( O‬س‪ :‬أآ‪O‬م ا‪O‬س ('‪ّ O‬‬
‫ ‪ ` 5‬ا ب ('‪..J'* %‬‬ ‫‪ + '/‬اي ‪ )F:4&5‬ر‪1‬ب اس إ‪ 0 ،َ+‬ا<&‪ J:‬أ ‪F‬‬
‫ن ا ب  ` ('‪Œ %‬ذ‪ .(11)«+5‬و‪0 5‬ل ا  ‪ ( /‬أ‪ :ً5‬وآ‪+,5 B‬‬ ‫و‪ +‬روا‪» :5‬إ ‪F‬‬
‫أن ‪ ,': ^5‬إذا  ‪ ،E‬و( إ‪ ،%'( E,1‬و‪ E6ُ5‬إذا ‪0 '/‬ا إ‪ ،%‬و‪Œ E #Œ5‬ا‪( %‬‬
‫أ‪0OO‬ا‪ E‬وأ‪0OO‬ال ‪ OO OOE AOO'F&5 OO‬ر ‪X‬د <‪ ،EOO‬و‪ OO1: E'OO‬ا‪ %OO/0‬و‪0OOEP‬ر ا‪OO9,‬‬
‫ن ذ‪ B‬أ‪j‬ح ‪W‬ر‪ V‬وأ‪ %OE/0 AO'3‬وأ ‪bO‬‬ ‫وُ  ا ‪0‬دة وإ(م ا "‪ ,‬وإ‪ q‬ر ا‪ *9‬؛ ‪F I‬‬
‫ Œا‪ ،%‬و‪ +O 5=5‬ذ‪ ،%O )O/ُ5 O  BO‬و‪ .(12)%O? OE@5‬و‪0O 5‬ل ا‪0O‬وي ر ‪ %O‬ا
‪:‬‬
‫و‪ - % +,5‬ا ْ ُ'‪ – X‬أن ‪ ،%'( 0"5‬و‪ %"W +&5‬آ(&;‪ % *# †W %‬وو‪ ،V‬و‪%55‬‬
‫ن ا‪ #H‬ن‬ ‫ى و‪ + V‬ا‪ %'(  *9‬واه& م ‪ %"W‬وا‪ %;*/ )'( ,W‬و<‪0‬ء أد ‪F v ،%‬‬
‫‪F‬ض ' ;})‪.(13‬‬
‫‪ A‬ا&‪ 10‬وا&ام وا "‪=O/   ،,‬اء‬ ‫  ‪0‬ا; ها ا‪ A'ُ4‬أن ‪ *"5‬ا‪F  % X'ُ  ^:‬‬
‫ن ‪E/0-‬ت ا ْ ُ'‪ X‬و‪O `O - %";W#‬‬‫ا‪ H‬ن إ ا‪ H‬ن‪ ،‬وا‪ #H‬ن (‪ ,‬ا‪ H‬ن‪ .‬و‪ E‬أ ‪F‬‬
‫ن ا ‪ *O< '&O‬آ‪ًOh‬ا ‪ O‬ا‪O‬روس‬
‫ا &'‪ `10 O X‬ا‪ )O<I‬وا "‪ \O‬ا‪ .) O<I‬و‪ OE‬أ‪ Oً5‬أ ‪F‬‬
‫…‬
‫وا رات وا&‪*'6‬ت ا&‪ \,ِ1  %-g5 +‬ها ا ْ ُ'‪ ،X‬و< ‪0‬م ‪0‬ا‪0"# %,/‬ه ‪O1 O.‬م‪ٍ *O ،‬‬
‫‪ ،9‬و(‪? ٍ *3‬د‪ ،1‬و"‪ ٍ ,‬دا‪.‬‬

‫‪ -3‬اوة ا‬
‫‪ ,&ُ-‬ا وة ا‪ + "W‬ا&  وا&'  أ‪ †#‬ا‪ \;O<0‬ا ‪XfŒO‬ة ‪ +O‬إ(‪O‬اد ا ‪Oً 'ُ. 'X&O‬‬
‫ن ا ْ ُ‪ OO'X‬ه‪ 0OO‬ا ‪ \OOh‬ا‪ OO@# +OO )OO'(I‬ا ‪ ،X'&OO‬وا‪0OO<I‬ة‬
‫و‪ ًO *# %OO506-‬وا‪ ،OOً ( &/‬ذ‪F I BOO‬‬
‫ا‪0'O< VX' 5ُ ،%( + "W‬آً و‪"ُ5‬آ‪ O95 iO O Oً 'ُ. %O‬أو  ‪+O `O,:- \O ،O95‬‬
‫‪ % *#‬وإ <‪0? %‬ر‪ %-‬ا ‪ 0‬وا*' وا"  وا ‪5  i  50‬ري أو ‪5‬ري‪.‬‬
‫ آ‪ً,‬ا ‪? +‬ح ا &' أو  د‪vO ،V‬ن آ‪O‬ن ا  ‪O? +OX‬د‪ً1‬‬ ‫و ه آ‪ J#‬ا و ُة ( ً‬
‫أً آ‪ A'ُ4O O F&5 Oً**( ً(Oj Oً 5‬ا‪†OW‬؛ ‪ gO9#‬ا ‪ )O'( X'&O‬ا‪OW‬ق وا‪ O#I‬وا‪AO'ُ4‬‬
‫ ‪ً4‬؛ ‪ gO9#‬ا ‪X'&O‬‬
‫ ‪ً # ً#,/‬‬
‫وا‪6‬م وا‪ (9‬وا* ‪ ..‬وإن آن ا  ‪ +X‬آذ ً ‪ً 'X"& ً;.‬‬
‫(') ا‪6‬ب وا‪ #4‬وا&"'‪ \Y‬واُ‪ ,‬واا وا‪.\4,‬‬
‫و ‪ iOO OO‬ا
ر<‪ %0OO‬ا‪0OO6 5OO6‬ن ' ‪ )OO'(  'OO‬ا&‪OO‬اد ‪OO-‬ر‪ E45‬ا ‪OO‬وة ا‪،"OOW‬‬
‫ن ا‪E‬دي ا‪ 9,‬وا اج ا ‪ ،‬و‪ AX "ُ5‬ا ‪ NEO‬ا& ‪0O‬ي‬ ‫ن و‪ٍ 6‬‬
‫\ ز ٍ‬ ‫و‪065‬ن '‪ + 59,‬آ ‪X‬‬

‫_____________‬
‫‪ 10‬ا  آ‪  *- ،h‬ا ‪l‬ن ا@‪ ،‬ج‪ 1‬ص‪.453‬‬
‫‪ 11‬ا  ‪- ،( /‬آة ا ` وا &‪ ،'6‬ص‪.49‬‬
‫‪ 12‬ا ‪ `/‬ا  ‪ ،A‬ص‪.64‬‬
‫‪ 13‬ام ا‪0‬وى ‪ ،‬ا  ‪0‬ع ‪j‬ح ا ‪E‬ب‪ ،‬ج‪ 1‬ص‪.30‬‬
‫‪Jurnal Azkia Vol. 5, No. 1, Juli 2010‬‬ ‫‪85‬‬
‫ َ‪ٌ َ O‬‬
‫ل ا'‪ُ %ِ OF‬أ<ْ‪0َ O‬ةٌ َ‬ ‫ا‪ ً<0 " ً  "- +<H‬وا‪1 .(14) ً1‬ل ‪ َْ َ} :)-‬آَ َ‬
‫ن َ‪َ +Oِ ُْ6‬ر<ُ‪ِ 0O‬‬
‫‪َ َ .‬و َذ َآ َ ا‪َ %َ 'F‬آ‪ًِh‬ا{ ]ا‪=I‬اب‪.[21 :‬‬
‫ن َ‪ 0ُ/ْ5‬ا‪ %َ 'F‬وَا ْ َ‪َ ْ0‬م ا ْ َœ ِ‬
‫ِ َ ْ آَ َ‬
‫‪ VE‬ا‪ 5d‬أ?\ آ‪ + ,‬ا&‪0< +X<g‬ل ا
‪ +‬أ‪01‬ا‪ %‬وأ‪ %‬وأ‪0‬ا‪ %‬آ'‪ .(15)EX‬و‪ 8OW5‬ا

‫(@ِ‪] ٍ O‬ا '‪.[4 :O‬‬
‫‪َ A‬‬
‫‪ٍ Oُ'.‬‬
‫‪ُ )O'ََ B‬‬
‫‪,-‬رك و‪ A'ُ. )-‬ا<‪0‬ل ا‪0  I‬ل ( ‪َ :\O;1 O =F‬وِإ‪َ OF#‬‬
‫<‪ J'~OO‬أم ا ‪ OO9;( ŒOO‬ر‪ +OOq‬ا
(‪ AOO'. OO( OOE‬ا<‪0OO‬ل ‪» :JOO1‬آ‪OO‬ن ‪%OO '.‬‬ ‫و(‪ُ OO‬‬
‫ا ‪l‬ن«‪.‬‬
‫ ُ‪O& 5‬ى و‪0 #‬ذ‪Oً/‬‬ ‫ن أ( ا &'‪0   X‬دة ‪4F&5 ،%‬و‪ً h %#‬‬ ‫ م ا ْ ُ'‪:. Y / X‬؛ إذ أ ‪F‬‬
‫\ ُ'‪OX‬‬ ‫\ \ ‪W5‬ر (‪ O@' ،ً""? %‬آ‪Y O‬‬ ‫ل ‪45‬ج ‪0? %‬ا ً‪ ،‬وآ ‪F‬‬ ‫\ ‪ٍ 01‬‬ ‫‪&"ُ5‬ى‪ ،‬و‪َ5‬ون آ ‪F‬‬
‫‪FO %O ً OF‬د ا‪O6‬م‬ ‫آ ‪  †'W5‬اس وآ ‪  '& ! *5‬وة أ(@‪ًfgO- O‬ا وأ‪0O1‬ى ُ‬
‫وا‪OO,‬ن‪ 8OO6 ،‬إذا آ‪OO‬ن ا*‪ 8OO4ُ5 \OO‬ا ‪0OO‬ل وا ‪0'OO‬ك ‪OOW5‬دم ا&‪%OO/0‬؟!‪ ..‬و‪ )OO# OO1‬ا ‪lOO‬ن‬
‫ن‬‫ن َأ ْ‪َ ْ6ُ Oَ *ُ #‬وَأ‪َ 0Oُ'&ْ -َ ْ&ُ Oْ#‬‬
‫س ِ‪َ X ,ِ ْ O‬و َ‪َ ْ0Oَ ْ -‬‬
‫ن ا‪َ OF‬‬
‫ا‪ +O )'( 56‬إ<‪O‬ا;\ آ ‪َ :%O01 +O O‬أ‪ُُ ْgOَ-‬و َ‬
‫" َ ِر‬‫\ ا ْ ِ‬‫" ِ 'ُ‪0‬هَ َآ َ َ‪ِ h‬‬ ‫ ‪0ُ' X‬ا ا ‪ْ0&F‬رَا َة ُ‪ْ 5َ َْ F f‬‬
‫ ُ‬ ‫\ ا‪َ 5ِF‬‬ ‫ن ]ا‪ ,‬ة‪ .[44 :‬و‪ُ hَ َ :%01‬‬ ‫ب َأ َ'َ َ‪َ 0ُ'ِ ْ -‬‬
‫ا ْ ِ‪َ َ&6‬‬
‫\ ا ْ َ‪ِ ْ0O‬م‪] ...‬ا ‪ [5 :OO‬ا‪ .OO5d‬وأ‪ )OO'( OO6#‬ا ‪ ŒOO‬أن ‪06'OO 5‬ا ه‪OO‬ا‬ ‫… َ َ‪ُ Oh‬‬
‫<‪َ*O‬رًا ِ ‪َ ~ْ O‬‬‫\ َأ ْ‬ ‫" ِ ‪ُ O‬‬
‫َ‪ْ 5‬‬
‫(ْ‪ َ O‬ا'‪َ %ِ OF‬أنْ َ‪0Oُ0ُ -‬ا َ‪Oَ O‬‬ ‫ن * َآ‪ِ Oً&ْ َ َ Oُ,‬‬ ‫ن َ َ َ‪َ 0Oُ'َ *ْ -‬‬ ‫ َ‪0َُ l‬ا ِ َ َ‪َ 0ُ0ُ -‬‬
‫ا ‪  \,‬ل‪َ َ5 :‬أ ‪ َE5Y‬ا‪َ 5ِF‬‬
‫ن ]ا‪ .[3 ،2 :8W‬و( أ<  ز‪ 5‬أ‪ ` < %#‬ر<‪0‬ل ا
‪0 5‬ل‪ُ5» :‬ء ‪0O5 \O/‬م‬ ‫َ‪َ 0ُ'َ *ْ -‬‬
‫ا  ُ' ) ‪ +‬ار &‪ A‬أ‪ +O % &1‬ا‪O‬ر‪O ،‬ور آ ‪O5 O‬ور ا" ‪O‬ر ‪ `O & ،VO‬أه‪\O‬‬
‫ار ('‪00  ،%‬ن‪ :‬أي ن‪B#gj  ،‬؟ أ… آ‪ O #g- J‬وف و‪ O( O#E-‬ا ‪O6‬؟!‬
‫‪1‬ل‪ :‬آ‪l J‬آ  وف و ‪ ،%-l‬وأ‪E#‬آ ( ا ‪ 6‬و‪.«%-l‬‬
‫ ِ' ‪XO6ُ5 O ،%O‬ب ‪%O' %O01‬؛‬
‫ن ا‪ *P0‬ا‪ :X'ُ ' h‬أن ‪065‬ن ( ً‬‫و‪5‬ى ا=ا‪ +‬أ ‪F‬‬
‫ن ا' ‪ُ5‬رَك ‪ ،;W,‬وا \ ‪ُ5‬رَك ‪W I‬ر‪ ،‬وأر ب ا‪W I‬ر أآ‪vO ،h‬ذا ‪ 8O.‬ا'‪O‬‬ ‫‪FI‬‬
‫\  ‪-‬ول ‪ ً~j‬و‪1‬ل 'س  ‪&-‬و‪Bِ'E [ < %#v V0‬؛ <‪ 4‬اس ‪،%‬‬ ‫ا \ ُ` ا‪ ،j‬وآ ‪Y‬‬
‫وا‪ ،V0 E-‬وزاد ?‪0Eُ#  )'( E‬ا (‪00  ،%‬ن‪ 0 :‬أ‪ %O#‬أ‪ ^O3‬ا‪OjI‬ء وأ‪YO‬ه َ ‪ O‬آ‪O‬ن‬
‫‪.(16)!% fg& 5‬‬
‫وا &'‪ + X‬ا ر<  ‪1  % F‬و ٍة ‪5‬اه ‪ ،%O F'&5 O Oً  `O&  %O X'ُ +O‬و‪O‬ى‬
‫ن  ‪  % ^':ُ5‬ا '‪0‬ك ا ‪ +h‬ه‪ 0‬أ وا‪ 6  +1‬ا&‪0  ،A,:‬م "آة ا ْ ُ'‪X‬‬ ‫أ‪F‬‬ ‫ ً‬
‫و‪ V' -‬وا‪&1‬اء ‪01g %‬ا‪ %‬وأ‪" 0"# E 95  ٍ *. ٍ ,M ً(0 ،%‬آة ‪^O5 O‬‬
‫ ‪ E + %‬ا"‪ i5‬وأ<'‪0‬ب ا"آ وا ' وُ@ (دات ا '‪0‬ك‪.‬‬
‫ ِ‪ OO‬أه‪ OO‬ا‪I‬دوار ا&‪0OO 5 +OO‬م ‪ OOE‬ا ْ ُ‪ OO'X‬دور‪OO +OO V‬ء ‪OOW4j‬ت ‪ ،VOO-‬أو~‪ BOO‬ا‪5OO‬‬
‫‪OO@5‬ون إ‪ )OO'( %OO‬أ‪ E'hOO %OO#‬ا‪ X'ُ ْ OO .(17))OO'(I‬ا‪OO‬ي ‪FO "&5‬ث ‪ OO( %OO :‬أه ‪ OO‬ا‪OOW‬ة‬
‫‪i‬‬
‫وا "@‪ ،OOE'( OO‬و‪0'OOW5 OO‬ن ‪ +OO‬ا ر<‪5 OO‬و‪ OO.l +OO %OO#‬ا‪0*OOW‬ف!‪ ..‬أو ا‪OO‬ي ‪Y O"5‬‬
‫‪ )OO'( %OO 3‬ا&‪=OO‬ام  ‪0‬ا(‪ OO‬وأه ‪ OO‬ا‪OO0‬ء ‪ OO"5 OOf ،OOE‬إ‪ )OO‬درو<‪ً.gOO& %OO‬ا؛ ‪0OO" 5‬‬
‫ &‪YW‬ف وا (‪9‬ات ا‪01I‬ال ا&‪l + EY,Wَ5 +‬ذا‪.E#‬‬

‫!‪1‬‬
‫_____________‬
‫‪ )'( 14‬اا‪ W4j ،j‬ا ْ ُ'‪ X‬وأداء‪ ،V‬ص‪.22 -21‬‬
‫‪ 15‬ا  آ‪  *- ،h‬ا ‪l‬ن ا@‪ ،‬ج‪ 3‬ص‪.552‬‬
‫‪ 16‬ام ا=ا)‪ ،‬إء ('‪0‬م ا‪ ،5‬ج‪ 1‬ص‪.97‬‬
‫‪ +'(17‬اا‪ W4j ،j‬ا ْ ُ'‪ X‬وأدا;‪ %‬ص‪.23‬‬
‫‪86‬‬ ‫‪j‬ب ا‪M 5‬دى ‪l :‬داب ا ْ ُ'‪ X‬ا‪ /H‬‬
‫ورة‬OOq ‫ أرى‬OO OO‫ث ه‬OO‫) أ‬OO#‫ وإ‬،‫ل‬0OO:5 OO'Xُ ْ ‫داب ا‬l OO( i5OO"‫ أن ا‬OO '( OO ‫آ‬
+O&‫داب ا‬d‫ ا‬O ‫ و‬.O 5‫داب إ‬l ) O -‫ و‬OX'ُ ْ ‫ ا‬E )F'"&5 ‫ أن‬+,5 +&‫داب ا‬d‫  ا‬V‫اد‬5‫إ‬
‫وة‬O ‫ وا‬O' ‫) ا‬O ‫ل‬O‫ص وا‬O.‫) ا‬O‫ ه‬+OX  ‫ ا‬X'ُ ْ ‫ ا‬E )F'"&5 ‫  ا *&ض أن‬+‫ه‬
‫ك‬0'O< b,5 ً E  ً ( \h - E#‫'ً إ أ‬.‫رًا دا‬0j E#0‫ ` آ‬W4‫ ا ا‬g ."W‫ا‬
OOE-‫ ذا‬+OO OO‫ و اا‬.OO#I‫) ا‬OO(5‫\ و‬OO ‫&  ا‬OO ‫؛‬OO'.‫ دا‬OO 1‫ ر‬%OO'( ‫ض‬OO*5‫ و‬،‫رس‬OO ‫ا‬
OO( ^OO- OO6- OO OO' ‫ ا‬+OO OO‫ واا‬. )OO-
‫) ا‬OO‫ت إ‬OO  ‫ب ا‬OO1‫ أ‬OO OOE#I OO 0':
+OO ‫م‬X O 5 ‫ أن‬+OO,5‫و‬. %OO. OO V5OO"-‫ و‬،‫ل‬OO OO'Xُ ْ ‫ء ا‬OOW5‫ا إ‬0OOf‫ار‬0& ،\OO;‫وا‬I‫ ا‬OO; '(
. 1OO,‫ ا‬OOq ‫ن درس إ‬OO6 OOh‫ أآ‬+OO %OOX 5 ‫ و‬،A,OO<I A,OO<I‫ا ا‬0OO ‫ إذا ازد‬E OO'-

F ‫ وأ‬،"'OOW ‫ ا‬AOOX "5 V‫ا‬OO5 OO \OOW*‫\ ا‬OO.‫ دا‬gO:4' %OO& +OO BOO‫ آ‬OO'Xُ ْ ‫ ا‬OO‫و (ا‬O,-‫و‬
X'ُ ْ ‫   (') ا‬B‫ وآ‬. %F‫ اواء  أو‬.l 0‫  ه‬#‫ إ‬+ ّ 6‫ وا‬،‫ن‬6H‫ر ا‬1 ٌif ٌ‫ف‬3 \F.&5
،)O " %O&' +O,5 ‫ا‬OE‫ و‬،%', &O  )'(‫ و‬%'( }5 ،%; ‫ أ‬g‫^ آ‬:‫ُ\ ا‬5 ‫أن‬
+O ‫دًا أو‬O* ،O ‫ إن أ‬%O'( ‫ء‬h‫ر ا‬Ej‫ وإ‬،%&' + 8Y:'&‫*  وا‬9‫ر ا  وا‬EP‫وإ‬
†O#‫ أ‬O %O ‫دا‬g O'&‫ ا‬O' ( + ' ‫" <  آ‬W‫دب  وة ا‬g&5  ‫و أ‬. ( /
\Oh ‫ ا‬0O‫ ه‬OX'ُ ْ ‫ن ا‬F I BO‫ ذ‬،Oً( &/‫* ً وا‬# %506-‫ُ' ً و‬. X'& ‫ إ(اد ا‬+ ‫ة‬XfŒ ‫<;\ ا‬0‫ا‬
iO O Oً 'ُ. %O‫ُ"آ‬5‫آً و‬0'O< VOX' 5ُ ،%O( +O "W‫ة ا‬0<I‫ وا‬،X'& ‫@ ا‬# + )'(I‫ا‬
O50 ‫ وا‬O "‫ وا*' وا‬0 ‫ ا‬%-‫ر‬0? %< ‫ وإ‬% *# + `,:- \ ،95  ‫ أو‬95
،V‫د‬O  ‫&' أو‬O ‫ح ا‬O? +O ‫ًا‬,‫ آ‬ ً ( ‫ ا و ُة‬J#‫ و ه آ‬.‫ري‬5 ‫ري أو‬5  i 
)OO'( X'&O ‫ ا‬gOO9# ‫†؛‬OW‫ ا‬A'ُ4OO O F&5 Oً**( ً(OOj Oً 5‫ آ‬OOً ‫ً أ‬1‫د‬O? +OOX  ‫ن ا‬O‫ن آ‬vO
ً#,/  ً 'X"& ً;. ً ‫ آذ‬+X  ‫ وإن آن ا‬.. *‫( وا‬9‫م وا‬6‫ وا‬A'ُ4‫ وا‬#I‫ق وا‬W‫ا‬
'(‫ وا
ا‬.\4,‫ واا وا‬,ُ‫\ وا‬Y'"&‫ وا‬#4‫ب وا‬6‫ (') ا‬X'& ‫ ا‬g9# ‫ً؛‬4  ً #

Jurnal Azkia Vol. 5, No. 1, Juli 2010 87


‫ا‪3‬ا‪2‬‬
‫"  ارو‪ ،o5‬ا رس و‪E‬رات ا&‪.%/0‬‬
‫ا  آ‪  *- ،h‬ا ‪l‬ن ا@‬
‫ا  ‪- ،( /‬آة ا ` وا &‪'6‬‬
‫ام ا‪0‬وى ‪ ،‬ا  ‪0‬ع ‪j‬ح ا ‪E‬ب‬
‫(') اا‪ W4j ،j‬ا ْ ُ'‪ X‬وأداء‪.V‬‬
‫ا  آ‪  *- ،h‬ا ‪l‬ن ا@‪.،‬‬
‫ام ا=ا)‪ ،‬إء ('‪0‬م ا‪5‬‬
‫('‪ +‬اا‪ W4j ،j‬ا ْ ُ'‪ X‬وأدا;‪%‬‬

‫‪88‬‬ ‫‪j‬ب ا‪M 5‬دى ‪l :‬داب ا ْ ُ'‪ X‬ا‪ /H‬‬


URGENSI PENDIDIKAN ISLAM
DALAM PEMBERDAYAAN SOSIAL

Yusri M Daud
Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry
Kopelma Darussalam, Kota Banda Aceh
Email: yusridaud@yahoo.com

ABSTRACT
The criticisms were expressed by various parties about the out put of
Islamic education that have not been able to demonstrate the success in the
midst of society. As Islam is not just the responsibility of education
institutions, but also the responsibility of the Muslim community, then it
becomes a necessity that the society should contribute to promote Islamic
education itself. Empowering potential of community is appropriate. Based
on students come and society needs, the policy direction of the curriculum
must also be oriented to the public interest in all educational activities. So the
education must be clearly and firmly goal of education. In fact, the learning is
not for school but the learning is for life, so the education will be more
meaningful.

Kata kunci: Pemberdayaan Masyarakat, Pendidikan Islam

Pendahuluan
Pemberdayaan masyarakat merupakan suatu proses yang berusaha
meningkatkan kualitas hidup individu atau sekelompok masyarakat untuk
beranjak dari kualitas kehidupan sebelumnya menuju pada kualitas hudup
selanjutnya. Oleh karena itu pemaknaan pemberdayaan masyarakat mem-
punyai cakupan yang luas seperti aspek pendidikan, ekonomi, politik, mau-
pun sosial kebudayaan. Dalam hubungannya dengan tema di atas, maka seca-
ra kuat dipahami bahwa proses pemberdayaan masyarakat dalam hal ini di-
fokuskan pada aspek pendidikan terutama Pendidikan Islam. Pendidikan me-
rupakan perkembangan yang terorganisir dan kelengkapan dari semua po-
tensi manusia, moral, intelektual maupun jasmani, oleh dan untuk kepriba-
dian individual dan kegunanan masayarakat yang diarahkan untuk meng-
himpun semua aktivitas tersebut.1. Jika sudah demikian, maka turut kema-
juan suatu institusi pendidikan akan sangat terkait erat dengan potensi ma-
syarakat.
Pendidikan Islam merupakan sub sistem Pendidikan Nasional Indone-
sia. Perjalanan Pendidikan Islam tidak terlepas dari pasang surutnya sistem
_____________________________
1Muhammad Tholhah Hasan, Islam Dalam Perspektif Sosio Cultural, (Jakarta: Lanta-
bora Press, 2005), hal. 95

Jurnal Azkia Vol. 5, No. 1, Juli 2010 89


Pendidikan Nasional itu sendiri, sebagaimana tidak terlepasnya umat Islam
ketika kita membicarakan nasib bangsa ini, dan bahkan Pendidikan Islam
mempunyai sejarah panjang di Indonesia yang telah ikut mewarnai kehidu-
pan bangsa ini baik masa sebelum penjajahan bahkan setelah Indonesia mer-
deka.2
Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Yang nota bane
mayoritas masyarakatnya memeluk Agama Islam, seharusnya Pendidikan
Islam mendasari pendidikan-pendidikan lainnya, serta menjadi primadona
bagi peserta didik, orang tua, maupun masyarakat. Demikian juga halnya da-
lam upaya peningkatan mutu pendidikan seharusnya Pendidikan Islam dija-
dikan tolok ukur dalam membentuk watak dan pribadi peserta didik, serta
membangun moral bangsa (Nation Character Building).3 Menurut hemat pe-
nulis baik upaya-upaya yang dilakukan pemerintah, maupun para pakar pen-
didikan untuk peningkatan mutu pendidikan tak terkecuali Pendidikan Islam
sudah sejak lama namun hasil yang dicapai belumlah maksimal. Saat ini ter-
dapat ketidakseimbangan antara idealita dengan realita yang ada. Upaya pe-
ningkatan mutu pendidikan masih bersifat parsial, terkotak-kotak dan tidak
komprehensif. Sehingga wajar apabila out-put peserta didik yang nota bane
Pendidikan Islam kurang memberikan hasil yang maksimal baik terhadap pe-
serta didik, orang tua, maupun masyarakat. Kita merasakan dan mengetahui
bahwa Pendidikan Islam di Indonesia dewasa ini, dinilai hanya mampu me-
menuhi aspek normatif semata dan “tidak atau belum sanggup” mewujudkan
apa yang selama ini diharapkan. Dengan kata lain, pendidikan Islam juga
memiliki kelemahan-kelemahan prinsipil untuk bisa berperan secara pasti
dalam memberdayakan komunitas muslim di negeri ini.
Untuk saat ini seharusnya lembaga Pendidikan Islam memerlukan
adanya perencanaan strategis, dengan menyusun visi, misi, tujuan, sasaran,
metode, program dan kegiatan. Hal ini dimaksudkan sebagai perencanaan
jangka panjang untuk menjawab tantangan eksternal yang semakin dinamis
dan kompleks. Di sinilah diperlukan analisis kekuatan, kelemahan (faktor in-
ternal), peluang serta ancaman (faktor eksternal). Akhirnya akan diketahui
dimana posisi sekolah, mau ke mana sekolah dan apa masalah krusial yang
dihadapi, lalu dibuat perencanaan strategis menjangkau masa depan yang
lebih baik.4
Proses seperti ini perlu melibatkan sejumlah orang yang tak kalah
pentingnya dalam ikut menyukseskan Pendidikan Islam. Upaya mengikut-
sertakan masyarakat dalam meningkatkan mutu pendidikan dengan membe-
rikan pertimbangan, arahan, dukungan, tenaga, sarana dan prasarana serta
pengawasan pendidikan, inilah yang dimaksud penulis dengan istilah mem-
berdayakan masyarakat. Sehingga keberhasilan pendidikan bukan saja men-
jadi tugas dan tanggung jawab institusi pendidikan saja tetapi yang lebih
penting adalah bagaimana masyarakat dapat memberikan respon positif ter-
_____________________________
2 Untuk lebih jelasnya, lihat Abdul Majid, Pendidikan Agama Islam Berbasisi Kompe-

tensi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), hal. 161


3Syafaruddin, Manajemen Lembaga Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2005),

hal. 131
4 S. Nasution, Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, Cet. Ke-3, 2004), hal. 153

90 Yusri Daud: Urgensi Pendidikan Islam dalam Pemberdayaan Sosial


hadap perkembangan pendidikan yang ada saat ini, karena out-put pendidi-
kan pada akhirnya akan bermuara pada satu titik yaitu masyarakat.
Dengan latar belakang permasalahan di atas, penulis ingin mengkaji
dimanakah letak esensial dan relevansinya perbincangan yang menuju pada
suatu tindakan, dan mencari pemecahan mengenai kekurangan yang masih
kita miliki dalam upaya memberdayakan komunitas muslim.

Mengapa Pemberdayaan Masyarakat


Dalam sejarah bangsa Indonesia yang harus digaris-bawahi terlebih
dahulu adalah, pertama, komunitas muslim merupakan kelompok masyara-
kat yang jumlahnya sangat besar, bahkan terbesar di dunia yang terkonsen-
trasikan dalam satu negara, dan dengan demikian mempunyai masalah-
masalah yang sekaligus sebagai hambatan dalam melaksanakan pember-
dayaan masyarakat diskursus Pendidikan Islam. Kedua, ajaran Islam menya-
takan bahwa manusia, disamping harus berilmu pengetahuan juga harus be-
riman dan bertaqwa. Ini pula yang menjadi salah satu aspek yang utama agar
masyarakat bangsa ini dapat terjamin dan mempertahankan diri dalam wi-
layah sosialistis religius. 5
Untuk memahami aspek pertama, maka dengan jelas dapat dimengerti
bahwa jumlahnya yang besar (komunitas muslim), telah melahirkan berbagai
potensi dalam langkah optimalisasi pemberdayaan masyarakat umat Islam di
negeri ini. Sebab, jika dunia pendidikan Islam mampu menggali dan memenej
sumber daya manusia (SDM) yang ada pada komunitas muslim dalam pe-
ningkatan mutu pendidikan sungguh akan memberikan nilai maksimal yang
dicapai oleh institus Pendidikan Islam. Adapun pemberdayaan masyarakat
pada komunitas muslim ada pada: komite sekolah atau majlis sekolah, kon-
sultan sekolah, cendekiawan muslim, tokoh-tokoh agama yang mempunyai
komitmen pada ajaran Islam, tokoh masyarakat yang tertarik dan peduli ter-
hadap peningkatan mutu pendidikan, dan lain-lain. Sedangkan yang kedua
adalah, menjadi dasar pemikiran penting selanjutnya, tentang masih per-
lunya pemikiran proses pemberdayaan masyarakat yang terencana, matang,
oleh umat Islam terhadap umat Islam sendiri. Sebab Pendidikan Islam pada
umumnya belum bisa dinilai telah ikut serta secara memadai dalam mena-
namkan atau memberdayakan masyarakat dengan nilai-nilai moral agama.
Ini tampak menjadi sebuah kegelisahan sosial, karena proses yang berlang-
sung sangat didominasi oleh proses pemberdayaan secara intelektual. Insti-
tusi pendidikan yang banyak menggunakan masyarakat sebagai sumber pela-
jaran memberi kesempatan yang luas untuk mengenal kehidupan masyarakat
yang sebenarnya.6 Karena pada hakekatnya peserta didik itu datang dan
kembali kepada masyarakat disinilah tuntutan yang harus dilakukan oleh pa-
ra pemerhati pendidikan tak terkecuali Pendidikan Islam untuk memikirkan

_____________________________
5Djohar, Pendidikan Strategi Alternatif Untuk Masa Depan, (Yogyakarta: Lesfi, 2003),

hal. 139
6 Abdul Majid, Op. Cit, hal. 162, Ibid., hal. 134-135

Jurnal Azkia Vol. 5, No. 1, Juli 2010 91


proses pemberdayaan komunitasnya.
Selama ini muncul beberapa pendapat yang mengkritisi Pendidikan Is-
lam di sekolah di antaranya :
1. Hasil belajar PAI belum sesuai dengan tujuan-tujuan Pendidikan Islam
itu sendiri.
2. Pendidikan Nasional belum sepenuhnya mampu mengembangkan
manusia Indonesia yang religius, berakhlak, berwatak kesatria dan
patriotic.
3. Kegagalan Pendidikan Islam disebabkan pembelajarannya lebih meni-
tikberatkan pada hal-hal yang bersifat formal dan hafalan, bukan pada
pemaknaannya.
4. Pendidikan Islam lebih menekankan pada kemampuan verbalisme
dan kemampuan numerik (menghitung), sementara kemampuan
mengendalikan diri dan penanaman keimanan diabaikan.
5. penyampaian materi akhlak di sekolah sebatas teori, padahal yang
diperlukan adalah suasana keagamaan.
6. Permasalahan Pendidikan Islam di sekolah saat ini mengalami masa-
lah metodologi.7
Terhadap realitas demikian, ada beberapa faktor yang perlu dianali-
sis dan segera mendapat perhatian dari semua pihak. Menurut penulis bahwa
keberhasilan Pendidikan Islam sangat memiliki ketergantungan yang sangat
tinggi, yang dipengaruhi oleh adanya proses kerjasama yang erat antara in-
stitusi Pendidikan dengan masyarakat.

Arah Pemberdayaan Potensi Masyarakat


Masyarakat pada dasarnya memiliki potensi untuk berkembang apa-
bila kita berdayakan. Seperti dijelaskan oleh Piaget dalam bukunya Sund
(1976), kemampuan operasi berpikir manusia ditentukan oleh kemampuan
manusia itu untuk mengasimilasi atau mengadaptasikan lingkungan dalam
pikirannya. Dalam terminologi lain, maka kemampuan berpikir manusia di-
tentukan oleh dua komponen pertama, kemampuannya menangkap gejala,
kedua, kemampuannya untuk mengkonsepsikan gejala itu menjadi suatu
pengertian umum.8 Namun potensi itu tidak berkembang apabila orang tidak
memanfaatkan kesempatan itu.
Dalam upaya pemberdayaan potensi masyarakat dapat diklasifikasi-
kan pada tiga arah :
1. Upaya pemberdayaan potensi masyarakat harus dimulai dari pem-
berdayaan pendidikan keluarga. Konsep “Brain development” menje-
laskan bahwa sistem penserabutan otak manusia sangat ditentukan
oleh kontak manusia pada tiga tahun pertama kehidupannya di bumi.
Semakin banyak gejala alam yang dapat ditangkap anak pada tiga ta-
hun pertama usia mereka, maka akan merangsang pertumbuhan sis-
tem serabut-serabut otak, yang berarti akan berdampak tingginya ke-
cerdasan anak di masa mendatang. Oleh karena itu pemberdayaan po-

_____________________________
7
Abdul Majid, Op. Cit., hal. 165
8Djohar, Pendidikan…, hal. 133-134

92 Yusri Daud: Urgensi Pendidikan Islam dalam Pemberdayaan Sosial


tensi ummat harus dilakukan sejak awal kelahiran. Selain itu, orang
tua harus bertanggungjawab terhadap perilaku gizi yang proporsio-
nal, dan juga mengkondisikan agar anak mengalami proses perkem-
bangan secara proporsional.
2. Institusi pendidikan merupakan arah pemberdayaan potensi Masya-
rakat yang selanjutnya setelah keluarga. Menjadi tanggungjawab pi-
hak sekolah dalam hal pertumbuhan anak selanjutnya baik fisik, ke-
cerdasan intelektual, kreativitas dan perkembangan kecerdasan emo-
sional, bahkan tumbuhnya kecerdasan spiritual secara optimal. Pa-
dahal pendidikan kita belum mampu melaksanakan tugas ini. Untuk
itulah sudah saatnya institusi Pendidikan melakukan berbagai upaya
inovasi dengan landasan bahwa pemberdayaan potensi masyarakat
perlu memperkecil peran tumbuhnya cara berpikir linier (yang masih
menjadi tekanan pendidikan sekarang), mengapa demikian karena se-
sungguhnya bumi dan seisinya selalu mengalami perubahan-peru-
bahan yang begitu cepat yang selalu tidak linier, begitu juga seharus-
nya konsep pendidikan Islam. Berarti untuk pemberdayaan potensi
masyarakat harus selalu diarahkan kepada berkembangnya kreativi-
tas masyarakat. Agar maksud ini bisa dicapai maka kemampuan ke-
trampilan dan seni harus menjadi bagian integral dari kurikulum pen-
didikan. Menurut penulis institusi Pendidikan Islam sudah saatnya
melakukan upaya-upaya inovasi dalam bidang pendidikan, bukan se-
cara tambal sulam melainkan secara menyeluruh dan mendasar. Kita
membutuhkan satu revolusi di bidang pendidikan, dan menggeser ser-
ta mengubah paradigma yang keliru. Paradigma yang keliru dan men-
dasar sekali adalah selama ini bahwa “belajar untuk sekolah bukan un-
tuk hidup”, harus dirubah dengan “belajar bukan untuk sekolah (non
scholae) tetapi belajar untuk hidup (sed vitae discimus)”.Kurikulum di
sekolah harus mempunyai hubungan yang erat dengan kehidupan di
masyarakat dengan demikian peserta didik akan lebih memahami
kondisi masyarakat. Sekolah janganlah terisolasi dari masyarakat, apa
yang dipelajari hendaknya berguna bagi kehidupan peserta didik da-
lam masyarakat dan didasarkan atas masalah masyarakat. Dengan
demikian peserta didik akan lebih serasi dipersiapkan sebagai warga
masyarakat.
3. Arah pemberdayaan selanjutnya adalah di masyarakat dengan cara
meningkatkan rasa tanggungjawab terhadap terwujudnya bangsa
yang memiliki peradaban dan moral tinggi. Hubungannya dengan
proses pendidikan selama ini sikap masyarakat belum atau tidak kritis
terhadap kebijakan-kebijakan yang ditentukan oleh pihak sekolah.
Masyarakat mengikuti apa saja yang ditentukan sekolah, tanpa mem-
pertanyakan secara kritis apa manfaat dari semuanya itu, ditinjau dari
pencapaian tujuan pendidikan. Sekolah menentukan kurikulum dan
silabus, sekolah menentukan metode pembelajaran, sekolah menen-
tukan ulangan, ujian, kelulusan sampai dengan pakaian bahkan sepatu
seragam sekolah, ini adalah beberapa contoh yang seharusnya masya-
rakat ikut andil dan bertanggungjawab terhadap keberhasilan penca-

Jurnal Azkia Vol. 5, No. 1, Juli 2010 93


paian tujuan pendidikan. Disinilah sebenarnya letak pemberdayaan
masing-masing potensi masyarakat (keluarga, sekolah, dan masyara-
kat) untuk bersama-sama mengkompromikan bagaimana seharusnya
sistem pendidikan yang akan diterapkan.
Dalam penanganan proses pemberdayaan potensi masyarakat ini pi-
hak sekolah harus membutuhkan strategi yang tepat, dan memerlukan jarin-
gan yang luas, melibatkan banyak pihak baik kalangan birokrat, kalangan
usahawan, kalangan pemuka agama, dan tentunya kalangan pendidikan serta
organisasi-organisasi kemasyarakatan.

Upaya-Upaya Pemberdayaan Potensi Masyarakat dalam Pendidikan Is-


lam
Keberhasilan pendidikan merupakan tanggungjawab bersama-sama
antara pemerintah, keluarga, dan masyarakat. Hal ini ditegaskan dalam Un-
dang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 (pasal 5-11)
tentang hak dan kewajiban warga negara, orang tua, masyarakat, dan peme-
rintah dalam pendidikan.
Menanggapi berbagai kritikan Pendidikan Islam yang antara lain su-
dah disebutkan terdahulu, maka penulis mencoba menyajikan sebuah sistem
pembelajaran yang disebut dengan keterpaduan pembelajaran pendidikan
Islam. Yaitu berbagai inovasi sistem pembelajaran yang melibatkan berbagai
pihak dengan memanfaatkan pemberdayaan potensi yang ada di masyarakat,
karena sudah saatnya Pendidikan Islam bukan hanya milik institusi pendidi-
kan tetapi juga milik seluruh ummat Islam. 9
Untuk lebih jelasnya berkenaan dengan pemberdayaan potensi ma-
syarakat akan penulis uraikan dalam bentuk kerjasama dalam penerapan
pembelajaran Pendidikan Islam sebagai berikut:
1. Orang tua peserta didik selama ini kurang memperhatikan perkem-
bangan sekolah karena pihak sekolah selalu memberikan aturan yang
membatasi gerak mereka. Sudah saatnya orang tua peserta didik men-
jadi salah satu bagian dari aktivitas pemberdayaan potensi masyara-
kat yang harus dibina, dengan usaha-usaha melibatkan orang tua se-
cara intens dengan kegiatan-kegiatan sekolah. Mereka diberikan ke-
sempatan seluas-luasnya untuk mengenali sekolah, bukan saja bentuk
fisiknya tetapi juga program sekolah.
2. Kurikulum Pendidikan Islam selama ini hanya milik sekolah, sudah
seharusnya dirumuskan dengan melibatkan berbagai pihak (sekolah,
guru, siswa, orang tua, masyarakat, dan unsur lain yang dianggap per-
lu) sehingga belajar bukan untuk sekolah tetapi belajar untuk hidup.
Sifat kurikulum tidak baku tetapi selalu mengalami pembauran sesuai
dengan apa yang menjadi kebutuhan pendidikan saat ini. Disinilah pe-
ran orang tua, sekolah, dan masyarakat menjadi sesuatu yang sangat
diharapkan.
3. Jika kurikulum sudah terbentuk, maka masyarakat melakukan kegia-
tan yang dapat dikontrol benar salahnya, baik dan tidaknya, dalam

_____________________________
9 Nasution, Sosiologi…,, hal. 154

94 Yusri Daud: Urgensi Pendidikan Islam dalam Pemberdayaan Sosial


bentuk kerjasama informal individual, proses kerjasama ini lebih di-
dasarkan pada faktor rasa kepedulian masyarakat terhadap kebutu-
han akan pentingnya keberhasilan pendidikan. Aspek orang tua yang
menjadi sasaran penting dalam hal ini, karena keberhasilan pendidi-
kan merupakan keberhasilan bagi anaknya dan juga bagi orang tua
tersebut.
4. Usaha institusi pendidikan dalam menumbuhkembangkan potensi
masyarakat dalam bentuk formal organisatoris, dalam bentuk perte-
muan rutin yang dilakukan secara berkala. tujuan yang hendak dicapai
diantaranya, pertama, bagaimana masyarakat menyikapi proses pen-
didikan dengan kejadian-kejadian dan kebutuhan yang terjadi di ma-
syarakat. Kedua, sebagai tindakan evaluasi terhadap program penera-
pan kurikulum yang telah disusun secara terpadu.
5. Membangun iklim sekolah yang efektif. Iklim sekolah dapat dibina dan
dikembangkan menuju kepada situasi yang kondusif dalam upaya
mencapai sekolah efektif Khusus dalam penerapan Pendidikan Islam
harus ada pola kerjasama (antara guru agama dengan guru mata pela-
jaran lainnya) dalam pembinaan pendidikan agama Islam pada seko-
lah tersebut. Pada bagian ini menjadi tugas manajer sekolah untuk
menerapkan sistem pembelajaran agama yang integral, dalam artian
seluruh tenaga pengajar harus mendukung dan menerapkan sistem
pembelajaran yang agamis. Dengan pemberdayaan seperti inilah Pen-
didikan Islam akan semakin bercahaya di tengah-tengah masyarakat.
Adapun manfaat dari adanya pemberdayaan potensi masyarakat da-
lam bidang pendidikan adalah :
1. Untuk memberikan pengetahuan dan mengembangkan pemahaman
terhadap masyarakat tentang maksud-maksud dan sasaran-sasaran
yang akan dicapai oleh sekolah.
2. Untuk menilai program sekolah apakah sesuai dengan apa yang diha-
rapkan dan dibutuhkan oleh masyarakat.
3. Untuk mempersatukan orang tua murid dan pihak sekolah dalam
rangka memenuhi kebutuhan peserta didik.

4. Untuk membangun kesadaran kepada semua pihak akan pentingnya


pendidikan.
5. Untuk membangun dan memelihara kepercayaan yang diberikan ma-
syarakat terhadap sekolah.
6. Agar masyarakat mengetahui dan memahami betapa beratnya tugas
institusi pendidikan, dan ini menjadi tanggungjawab bersama.
7. Untuk mengerahkan bantuan dan dukungan dalam pemeliharaan dan
peningkatan program sekolah.
Sehingga dengan adanya usaha pemberdayaan potensi masyarakat
melalui mekanisme yang sudah disepakati dapat meningkatkan rasa tang-
gungjawab masyarakat terhadap terwujudnya pendidikan yang member-
dayakan masyarakat untuk menyikapi dan menyelesaikan masalah-masalah
pendidikan secara kreatif dan inovatif.

Jurnal Azkia Vol. 5, No. 1, Juli 2010 95


Kesimpulan
Banyak terutama kalangan masyarakat mengkritisi bahwa Pendidikan
Islam tidak atau belum menunjukkan keberhasilan di tengah-tengah masya-
rakat yang masih sangat membutuhkan peranannya. Untuk itu dalam tulisan
ini penulis ingin menjawab bahwa :
1. Pendidikan Islam bukan saja milik suatu lembaga institusi pendidikan
saja, akan tetapi Pendidikan Islam adalah milik semua komunitas
muslim yang ada di dunia ini.
2. Oleh karena Pendidikan Islam menjadi milik semua komunitas mus-
lim, maka Pendidikan Islam menjadi tanggungjawab masyarakat yang
harus dibuktikan dengan usaha-usaha yang dapat menunjang keber-
hasilan pendidikan dan menjawab keluhan-keluhan yang banyak di-
kritisi baik peserta didik, orang tua, maupun masyarakat.
3. Selama ini menurut hemat penulis, hubungan antara institusi pendidi-
kan dengan masyarakat masih sangat minim dan masyarakat tidak di-
fungsikan sebagai sumber pelajaran. Oleh karena itu paradigma pem-
belajaran harus dirubah “belajar bukan untuk sekolah akan tetapi be-
lajar untuk hidup” karena pada hakekatnya peserta didik datang dan
akan bermuara juga pada masyarakat.
4. Dengan pemberdayaan potensi masyarakat melalui mekanisme tepat
guna yang dikoordinir pihak sekolah akan menjawab semua kekuran-
gan, kelemahan yang ada.
5. Kurikulum sebagai arah pendidikan akan sangat menentukan keber-
hasilan pendidikan, maka menurut penulis kurikulum harus diru-
muskan melalui pemberdayaan potensi masyarakat dengan berda-
sarkan pada kebutuhan masyarakat, oleh karena itu sifat kurikulum
tidaklah baku, akan tetapi selalu mengalami perubahan seiring dengan
kebutuhan masyarakat.

96 Yusri Daud: Urgensi Pendidikan Islam dalam Pemberdayaan Sosial


DAFTAR PUSTAKA

Djohar, Pendidikan Strategi Alternatif untuk Masa Depan, Yogyakarta: Lesfi,


2003
Hasan, Fuad, Dasar-Dasar Kependidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 2003
-------, Islam Dan Masalah Sumber Daya Manusia, Jakarta: Lantabora Press,
2005
Hasan, Tholhah, Muhammad, Islam dalam Perspektif Sosio Kultural, Jakarta:
Lantabora Press, 2005
Majid, Abdul, (dkk), Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi Konsep dan
Implementasi Kurikulum 2004, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005
Mukhtar, Desain Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Misaka Gali-
za, 2003
Nasution, S. Sosiologi Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara, 2004
Syafaruddin, Manajemen Lembaga Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Press,
2005

Jurnal Azkia Vol. 5, No. 1, Juli 2010 97


Indeks Pengarang

Pedoman Penulisan
Tema Tulisan
Judul bebas, namun harus berkaitan dengan Ilmu Pendidikan Islam.
Jumlah Halaman
Berkisar 12 S/D 15 Halaman Kuarto, Spasi 1,5 Dengan Program Microsoft
Word dengan File doc. atau rtf. Sertakan Naskah Print Out dan Compact Disk
(CD).
Pengutipan Ayat dan Hadits
1. Kutipan ayat al-Qur'an harus menuliskan ayat dan terjemahnya serta
mencantumkan nomor surat dan ayat.
2. Hadits ditulis secara lengkap teks dan terjemahnya serta sumbernya.
Referensi
1. Menggunakan referensi lengkap dengan model footnote bukan endnote.
Contoh:
1
M. Nasir Budiman, Pendidikan Islam, (Semarang: Asy-Syifa’, 1990),
hal. 14.
2. Kutipan dari referensi yang sama, tanpa diselingi dengan referensi lain,
cukup ditulis dengan Ibid. dan menuliskan halaman referensinya, apabila
halaman yang dikutip berbeda. Contoh, Ibid., hal. 17
3. Kutipan dari referensi yang sama, namun diselingi dengan referensi lain,
maka cukup ditulis: nama penulis dan sebagian judul bukunya serta
halamannya saja. Contoh: M. Nasir Budiman, Pendidikan…, hal. 20.
Abstrak dan Kata Kunci
Abstrak dalam bahasa Inggeris, kecuali untuk tulisan yang menggunakan bahasa
asing, abstrak dibuat dengan bahasa Indonesia. Kata kunci harus mewakili
pesan utama tulisan, yang terdiri dari 3 kata.
Identitas Penulis
Identitas penulis harus menyebutkan lembaga yang beralamat (terjangkau Pos),
dan harus disertai alamat email. Contoh:
Khairuddin, Fakultas Syari'ah IAIN Ar-Raniry, Kopelma Darussalam Kota
Banda Aceh, 23111. Email: khairuddin@yahoo.com.

98

Anda mungkin juga menyukai