Anda di halaman 1dari 35

1

ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA KOMBINASI OBAT


DISPEPSIA PADA PASIEN RAWAT JALAN DI PUSKESMAS
WINDUAJI TAHUN 2020

PROPOSAL SKRIPSI

Oleh:

IZZATUL HIDAYAH

42117052

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS PERADABAN 2021


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dispepsia merupakan ketidaknyamanan yang berasal dari perut bagian

atas. Gejala ketidaknyamanan berupa satu atau lebih gejala berikut, yaitu :

sakit perut bagian atas, perut bagian atas terbakar, rasa kenyang setelah

makan, cepat kenyang, saluran cerna bagian atas kembung, mual, muntah,

dan sendawa (Marcellus Simadibrata K, Dadang Makmun, Murdani

Abdullah, Ari Fahrial Syam, Achmad Fauzi, Kaka Renaldi, Hasan

Maulahela, 2014).

Dispepsia merupakan penyakit tidak menular yang biasanya terjadi

tidak hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Kasus gangguan

pencernaan mencapai 13-40% dari total populasi setiap tahun. WHO

memperkirakan pada tahun 2020 proporsi kematian akibat penyakit tidak

menular di dunia akan meningkat menjadi 73%, dan angka kesakitan akan

meningkat menjadi 60%, sedangkan negara-negara SEARO (South East

Asian Regional Office) pada tahun 2020 diprediksi bahwa angka kematian

dan kesakitan karena penyakit tidak menular akan meningkat menjadi 50%

dan 42% (Octaviana, 2018).

Menurut data status kesehatan Indonesia tahun 2011, dispepsia

menduduki peringkat keenam dari sepuluh besar kategori penyakit rawat

inap di rumah sakit Indonesia tahun 2010, dengan total 33.580 pasien, dan

dispepsia menempati peringkat ketujuh dari sepuluh kategori penyakit


2

rawat jalan di Indonesia pada tahun 2010 sebanyak 201.083 pasien

(Hidayah, 2020).

Penyakit dispepsia bukan penyakit yang dapat sembuh sendiri,

sehingga diperlukan upaya pengobatan untuk mengurangi frekuensi dan

intensitas serangan gangguan pencernaan akut (Agus Triyono, PR Widhi

Astama, n.d.).

Pemerintah mengendalikan risiko penyakit tidak menular (PMT)

melalui posko pembinaan komprehensif (posbindu), termasuk menegaskan

perilaku hidup bersih dan sehat melalui perilaku cerdik, dan pemeriksaan

sehat rutin, serta mengupayakan berhenti merokok. Aktvitas fisik, pola

makan yang seimbang dan sehat, istirahat yang cukup, mengurangi stress

serta dukungan keluarga dan lingkungan untuk mendorong penurunan

kejadian gangguan pencernaan (Maresa, 2019)

Dispepsia terbagi menjadi dua jenis yaitu, dispepsia organik

(struktural) dan dispepsia fungsional (non organik). Ada akar penyebab

dispepsia organik, seperti tukak lambung (penyakit ulkus peptikum),

GERD (penyakit gastroesophageal reflux), kanker, alkohol kronis atau

pengguna obat. Gambaran non organik (fungsional) ditandai dengan nyeri

atau ketidanyamanan kronis atau kekambuhan dari perut bagian atas,

pemeriksaan fisik dan endoskopi normal (Purnamasari, 2017).

Membedakan dispepsia orgnik dan dispepsia fungsional memerlukan

anamnesis dan pemerksaan fisik yang akurat. Pemeriksaan penunjang


3

seperti, tes darah, endoskopi, radiologi diperlukan pada kasus tertentu

(Purnamasari, 2017).

Pola makan yang tidak teratur (seperti jarang sarapan pagi) beresiko

mengalami gangguan pencernaan. Faktor-faktor yang mempengaruhi

gangguan pencernaan antara lain makan tidak teratur, tingkat stress,

aktivitas sehari-hari, pengetahuan, pekerjaan, dan riwayat kesehatan

seperti gastritis dan tukak lambung (Nurul Laili, S.Kep.Ns., 2013).

Dalam kasus lain, jika dispepsia menyebabkan nyeri yang parah, bias

dikonsul tasikan dengan dokter. Obat yang akan diberikan oleh dokter bias

berupa antacid atau stimulant, yang bias membantu pengosongan lambung,

H-2 receptor antagonist (H2RAs) yang dapat menurukan produksi asam

lambung, Proton Pump Inhibitors (PPI) yang dapat menurunkan produksi

asam lambung, menggunakan antibiotic dan antidepresan yang dapat

meredakan ketidaknyamanan pada gangguan pencernaan (Ummi Kultsum,

2020).

Salah satu metode analisis pada kajian farmakoekonomi adalah Cost

Effective Analysis (CEA) atau Analisis Efektif Biaya (AEB). CEA

merupakan bentuk analisis ekonomi yang komprehensif, dilakukan dengan

mendefinisikan, menilai, membandingkan sumber daya yang digunakan

(input) dengan konsekuensi pelayanan (output) antara dua atau lebih

alternatif. CEA mengukur outcome dalam unit natural. Kajian

farmakoekonomi yang mempertimbangkan faktor klinis (efektivitas)

sekaligus faktor ekonomi (biaya) dapat membantu para pengambil


4

kebijakan mendapatkan jawaban obyektif terhadap bagaimana

efektivitasnya jika dibandingkan dengan obat (teknologi kesehatan) yang

telah digunakan. Dengan demikian, ilmu farmakoekonomi dapat

membantu pemilihan obat yang rasional, yang memberikan tingkat

kemanfaatan paling tinggi (KEMENKES RI, 2013).

Mengingat banyaknya pasien yang terkena dispepsia dan biaya

pengobatannya, maka diperlukan suatu penelitian untuk mengetahui

efektivitas pembiayaan pengobatan dispepsia. Oleh karena itu, perlu

dilakukan analisis biaya pengobatan dispepsia untuk mengetahui

efektifitas pengobatan dari aspek farmakologi dan ekonomi sehingga dapat

diketahui pengobatan dispepsia yang lebih cost effectiveness (Oktarini,

2019).

Puskemas Winduaji adalah salah satu pusat kesehatan masyarakat yang

terdapat di wilayah kecamatan Paguyangan. Berdasarkan data rekam

medis Puskesmas Winduaji dari tahun 2017 hingga 2019 prevalensi

penderita dispepsia meningkat hinga 2.185 pasien dan menduduki

peringkat kedelapan dari sepuluh besar daftar penyakit yang paling banyak

didiagnosa. Namun pada tahun 2020 terjadi penurunan jumlah pasien

dispepsia karena dampak dari pandemi Covid-19 dan terjadi pembatasan

jumlah pasien yang berobat dipoli rawat jalan sehingga pasien yang

seharusnya terdiagnosa dispepsia secara klinis tidak meningkat jumlahnya.


5

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang maka diambil rumusan masalah sebagai

berikut :

1. Berapa besar persentase efektivitas terapi dari penggunaan obat

dispepsia oral pada pasien jalan Puskesmas Winduaji tahun 2020?

2. Berapa nilai Average Cost-Effectiveness ratio (ACER) dan

Incremental Cost-Effectiveness ratio (ICER) dispepsia oral pada

pasien rawat jalan Puskesmas Winduaji tahun 2020?

3. Terapi dispepsia oral apakah yang paling efektif secara biaya pada

pasien rawat jalan di Puskesmas Winduaji tahun 2020?

C. Tujuan Penelitian
Berdasakan rumusan masalah yang ada maka tujuan penelitian ini

adalah sebagai berikut :

1. Mengetahui persentase efektivitas terapi dari penggunaan obat

dispepsia oral pada pasien rawat jalan di Puskesmas Winduaji tahun

2020.

2. Mengetahui nilai Average Cost-Effectiveness Ratio (ACER) dan

Incremental Cost-Effectiveness Ratio (ICER) penggunaan obat

dispepsia oral pada pasien rawat jalan di Puskesmas Winduaji tahun

2020.

3. Mengetahui obat dispepsia oral yang paling efektif secara biaya pada

pasien rawat jalan Puskesmas Winduaji tahun 2020.


6

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat bagi pemerintah

Memberikan informasi mengenai gambaran jelas terkait biaya

pengobatan Dispepsia .

2. Manfaat bagi Puskesmas

Membantu mengambil keputusan klinis pengobatan yang rasional,

karena penggunaan obat yang rasional tidak hanya tentang khasiat,

tetapi juga mempertimbangkan ekonominya.

3. Manfaat bagi pasien

Mengetahui komponen dan besarnya biaya yang akan dikeluarkan

untuk pengobatan Dispepsia, dan memberikan informasi terkait deteksi

dini dan pencegahan terhadap Dispepsia.

4. Manfaat bagi institusi

Sebagai informasi tambahan untu penelitian yang sejenis.

5. Manfaat bagi peneliti

Menambah wawasan penelitian dan bias menerapkan ilmu yang

sudah didapatkan oleh peneliti selama masa perkuliahan di jurusan

Farmasi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Peradaban.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Farmakoekonomi

1. Definisi

Farmakoekonomi adalah gambaran dan analisis biaya pengobatan

penggunaan obat untuk menjaga kesehatan dan fungsi social.

Penelitian farmakoekonomi adalah proses menentukan, mengukur, dan

membandingkan harga (yang dikeluarkan oleh konsumen) dengan

konsekuensi (klinik, ekonomi, humanistic) dari produk dan pelayanan

kefarmasian (Indrayathi, P.A & Noviyanti, 2016).

Farmakoekonomi telah berkembang menjadi mata pelajaran

penting dibidang ekonomi kesehatan. Farmakoekonomi diartikan

sebagai gambaran dan analisis biaya pengobatan obat dalam system

medis dan masyarakat (Tjandrawinata, 2016).

Tujuan farmakoekonomi adalah sebagai identifikasi, pengukuran,

evaluasi, dan perbandingan biaya pengobatan atau hasil perawatan

harus dipertimbangkan (Indrayathi, P.A & Noviyanti, 2016).

2. Metode Kajian Farmakoekonomi

Pada kajian farmakoekonomi dikenal empat metode analisis.

Empat metode analisis ini bukan hanya mempertimbangkan

efektivitas, keamanan, dan kualitas obat yang dibandingkan, tetapi

juga aspek ekonominya. Karena aspek ekonomi atau unit moneter

menjadi prinsip dasar kajian farmakoekonomi, hasil kajian yang


8

dilakukan diharapkan dapat memberikan masukan untuk menetapkan

penggunaan yang paling efisien dari sumber daya kesehatan yang

terbatas jumlahnya (Kemenkes RI, 2013).

Tabel 2.1 metode analisis dalam kajian farmakoekonomi

Metode analisis Karakteristik analisis


Analisis minimalisasi biaya Efek dua intervensi sama (atau
(AMiB) setara). Valuasi biaya dalam
rupiah
Analisis efektivitas biaya Efek dari satu intervensi lebih
(AEB) tinggi, hasil pengobatan diukur
dalam unit alamiah/indikator
kesehatan valuasi/biaya dalam
rupiah
Analisis utilitas-biaya (AUB) Efek dari satu intervensi lebih
tinggi, hasil pengobatan dalam
quality-adjusted life year (QALY),
valuasi/biaya dalam rupiah
Analisis manfaat-biaya (AMB) Efek dari satu intervensi lebih
tinggi, hasil pengobatan
dinyatakan dalam rupiah,
valuasi/biaya dalam rupiah
Diadaptasi dari Newby and hill, 2003.

Di antara keempat metode tersebut, analisis minimalisasi biaya

(AMiB) adalah yang paling sederhana. AMiB digunakan untuk

membandingkan dua intervensi kesehatan dengan efek yang sama,

serupa atau setara. Jika dua terapi atau dua (tipe, merek) obat secara

klinis setara, hanya biaya intervensi yang harus dibandingkan. Menurut

prinsip efisiensi ekonomi, jenis atau merek obat yang dapat mencapai

nilai tertinggi adalah obat yang harganya paling murah selama setiap

periode pengobatan untuk mencapai efek yang diinginkan (Kemenkes

RI, 2003).
9

3. Macam-macam metode analisis farmakoekonomi

Empat jenis utama metode analisis adalah: costminimization

analysis, CEA, CUA dan CBA. Keempat jenis ini dalam penerapannya

berbeda datam outcome yang diestimasi, begitu juga rekomendasi

untuk pengambilan keputusan yang dihasilkan (Indrayathi, P.A &

Noviyanti, 2016).

a. Cost Minimization Analysis (CMA)

Saat menggunakan jenis analisis ekonomi ini, harus dipahami

dengan jelas bahwa dua prosedur atau teknik yang dibandingkan

akan menghasilkan hasil kesehatan yang sama atau setara,

keduanya memiliki kekuatan klinis dan statistik yang sama, dan

biayanya berbeda. Hal yang perlu diperhatikan dalam analisis ini

adalah menentukan kesetaraan dari obat yang akan diteliti.

penggunaan AMiB agak terbatas, misalnya untuk membandingkan

obat standar dengan obat baru yang memiliki efek setara.

b. Cost Effectiveness Analysis (CEA)

Dalam CEA, efektivitas hasil perbandingan diukur dengan satu

hasil. Bandingkan biaya sumber daya tambahan yang diperlukan

untuk memperoleh kinerja unit tambahan. Analisis ini merupakan

analisis yang digunakan untuk mengevaluasi program yang

memiliki tujuan yang sama. Misalnya membandingkan dua obat

atau lebih dari kategori terapi yang sama tetapi memberikan hasil
10

pengobatan yang berbeda, seperti dua obat dispepsia dengan

kemampuan berbeda.

Hasil analisis CEA diaplikasikan dalam bentuk rasio, yaitu

dalam bentuk rasio efisiensi biaya rata-rata (ACER) atau dalam

bentuk rasio 9 rasio manfaat biaya tambahan (ICER). ACER

adalah gambaran total biaya rencana atau obat dibagi dengan hasil.

Pada saat yang sama, ICER digunakan untuk mengklasifikasikan

biaya tambahan dan meningkatkan efektivitas pengobatan

dibandingkan pengobatan terbaik.

ACER= Biaya perawatan kesehatan ($)

Efektivitas ($)

ICER= Biaya A ($) – Biaya B ($)

Efek A (%) - Efek B (%)

Perbedaan biaya [+]

Kuadran IV Kuadran I

DIDOMINASI TUKARAN
Empat Kuadran
Kuadran III AEB Kuadran II

TUKARAN DOMINAN

Gambar 2.1 diagram efektivitas biaya


11

c. Cost Utility Analysis (CUA)

Jenis analisis ini mirip dengan CEA, tetapi perbedaannya

adalah hasil diwakili oleh utilitas terkait dengan peningkatan

kualitas yang disebabkan oleh intervensi kesehatan yang dilakukan.

Dalam analisis ini peningkatan kualitas diukur dalam bentuk

QALY (Quality Adjusted Life Year). QALY adalah hasil yang

diharapkan dari intervensi kesehatan yang berkaitan dengan

kualitas hidup. Kenaikan umur (dalam tahun) akibat intervensi

disesuaikan dengan nilai kehidupan yang diperoleh.

d. Cost Benefit Analysis (CBA)

Ini adalah jenis analisis yang digunakan untuk menghitung

rasio antara biaya obat dan manfaat yang diperoleh, sedangkan

output diukur dalam mata uang (rupiah). Keuntungan CBA adalah

dapat digunakan untuk membandingkan program dengan hasil

yang berbeda. Keuntungan kedua dari CBA adalah bahwa ini

adalah satu-satunya jenis analisis yang digunakan untuk

membandingkan program dari perspektif internal.Jika manfaat

program positif, maka program tersebut harus dipilih.

e. Cost Analysis (CA)

Analisis biaya adalah teknik dalam analisis farmakoekonomi

yang digunakan untuk menghitung biaya medis dalam unit

moneter. Komponen dari teknologi ini adalah biaya langsung dan

biaya tidak langsung untuk tujuan tertentu. Biaya langsung adalah


12

biaya yang berkaitan dengan biaya pengobatan dan biaya non

medis. Pada saat yang sama, biaya tidak langsung adalah biaya

yang terkait dengan penurunan produktivitas pasien. Termasuk

biaya tidak langsung yaitu biaya transportasi dan biaya

pendamping pasien.

B. Kategori Biaya

Dalam penelitian farmakoekonomi, karena keterbatasan sumber daya

(terutama dana), biaya selalu menjadi pertimbangan penting. Dalam

penelitian yang berkaitan dengan ilmu ekonomi, biaya (atau opportunity

cost) diartikan sebagai nilai peluang yang hilang akibat penggunaan sumber

daya dalam suatu kegiatan. Perlu dicatat bahwa biaya tidak selalu

melibatkan pertukaran mata uang. Ahli farmakologi percaya bahwa biaya

pengobatan tidak hanya menutupi biaya pelayanan medik, tetapi juga biaya

pelayanan lain dan biaya yang dibutuhkan oleh pasien sendiri

(Kemenkes, 2013).

Secara umum, biaya yang terkait dengan perawatan kesehatan dapat

dibedakan sebagai berikut :

a. Biaya langsung

Biaya langsung adalah pengeluaran yang berhubungan langsung

dengan pelayanan kesehatan, termasuk obat-obatan (dan perbekalan

kesehatan), biaya konsultasi dokter, biaya pelayanan keperawatan,

penggunaan fasilitas rumah sakit (ruang rawat inap, peralatan),

pemeriksaan laboratorium, biaya pelayanan informal dan biaya


13

pengobatan lainnya Dalam biaya langsung , selain biaya pengobatan,

biaya non-medis biasanya juga dipertimbangkan, seperti biaya

ambulans dan biaya transportasi pasien lainnya.

b. Biaya tidak langsung

Biaya tidak langsung adalah banyaknya biaya yang terkait dengan

penurunan produktivitas akibat sakit, antara lain biaya transportasi,

biaya produktivitas berkurang, dan biaya pendamping (anggota

keluarga yang mendampingi pasien).

c. Biaya nirwujud (intangible cost)

Biaya tak berwujud adalah biaya yang sulit diukur dalam satuan

moneter, tetapi biasanya diukur dari segi kualitas hidup, seperti rasa

sakit dan kecemasan yang diderita pasien dan / atau anggota

keluarganya.

d. Biaya terhindarkan (averted cost, avoided cost)

Biaya terhindarkan adalah potensi pengeluaran yang dapat

dihindarkan karena penggunaan suatu intervensi kesehatan.

C. Dispepsia

1. Definisi Dispepsia

Dispepsia merupakan keluhan yang umum ditemui dalam praktik

sehari-hari dan telah dikenal sejak lama dengan definisi yang terus

berkembang, mulai dari semua gejala yang berasal dari saluran cerna

bagian atas, sampai dieksklusinya gejala refluks (Marcellus Simadibrata


14

K, Dadang Makmun, Murdani Abdullah, Ari Fahrial Syam, Achmad

Fauzi, Kaka Renaldi, Hasan Maulahela, 2014).

Dispepsia didefinisikan dengan rasa tidak nyaman yang berasal dari

daerah abdomen bagian atas. Rasa tidak nyaman tersebut dapat berupa

salah satu atau beberapa gejala berikut yaitu: nyeri epigastrium, rasa

terbakar diepigastrium, rasa penuh setelah makan, cepat kenyang, rasa

kembung pada saluran cerna atas, mual, muntah, dansendawa. Untuk

dispepsia fungsional, keluhan tersebut diatas harus berlangsung

setidaknya selama tiga bulan terakhir dengan gejala 6 bulan sebelum

diagnosis ditegakkan (Marcellus Simadibrata K, Dadang Makmun,

Murdani Abdullah, Ari Fahrial Syam, Achmad Fauzi, Kaka Renaldi,

Hasan Maulahela, 2014).

Kriteria diagnostik dispepsia yang digunakan di Indonesia mengacu

pada "Konsensus Nasional 2014 tentang Penatalaksanaan Dispepsia

Pencernaan dan Infeksi Helicobacter Pylori" yang ditetapkan oleh

Rome II, yang telah diverifikasi di Indonesia. Kriteria diagnostiknya

antara lain: mual, muntah, sakit perut, sakit perut, mudah lapar dan rasa

kenyang setelah makan (Nurhasima, 2019).


15

2. Klasifikasi Dispepsia

Gambar 2.2 Klasifikasi Dispepsia

Dispepsia diklasifikasikan menjadi dua kategori, yaitu dispepsia

organik (struktural) dan fungsional (non organik). Pada dispepsia

organik terdapat akar penyebabnya, seperti penyakit tukak lambung

(Peptic Ulcer Disease atau PUD), GERD (penyakit gastroesophageal

reflux), kanker, dll. Gambaran non-organik (fungsional) adalah nyeri

atau ketidaknyamanan perut bagian atas yang kronis atau berulang, dan

tidak ada kelainan pada pemeriksaan fisik dan endoskopi. Dispepsia

fungsional terbagi menjadi tiga bagian yaitu total disc distress

syndrome (PDS), epigastric pain syndrome (EPS) dan kombinasi

keduanya (PDS-EPS) (Permana, 2020).

3. Faktor Resiko

Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan penyakit dispepsia,

diantaranya yaitu : (Permana, 2020).

a. Faktor psiko-sosial
16

Dispepsia sangat berhubungan erat dengan faktor psikis.

Besarnya peranan stres dalam memicu berbagai penyakit sering

tidak disadari oleh penderita bahkan oleh tenaga medis sendiri. Hal

ini sekaligus menjelaskan mengapa sebagian penyakit bisa

menemukan progesifitas penyembuhan yang baik setelah faktor

stres ini ditangani.

b. Penggunaan obat-obatan

Sejumlah obat dapat mempengarui gangguan epigastrium, mual,

muntah dan nyeri idi ulu hati. Misalnya golongan NSAIDs, seperti

aspirin, ibuprofen, dan naproxen, steroid, teofilin, digitalis, dan

antibiotik.

c. Pola makan tidak teratur

Pola makan yang itidak teratur terutama bila jarang isarapan di

pagi hari, termasuk yang beresiko dispepsia. Di pagi ihari

kebutuhan kalori seseorang cukup banyak, sehingga bila tidak

sarapan, maka lambung akan lebih banyak memproduksi asam.

d. Gaya hidup tidak sehat

a.) Menghisap rokok, Asap dalam rokok melemahkan katup

sfingter esofagus bagian bawah (LES), yang merupakan

katup antara hidung dan tenggorokan, menyebabkan gas

naik ke tenggorokan.

b.) Minum alkohol, alkohol dapat membongkokkan katup LES

dan menyebabkan refluks asam atau menuangkan asam


17

kekerongkongan. Alkohol juga meningkatkan produksi asam

lambung.

c.) Minum kopi, teh atau minuman lain yang mengandung

kafein. Kafein dapat mengendurkan LES, katup antara

lambung dan tenggorokan, sehingga menyebabkan gas

dilambung naik hingga kerongkongan.

d.) Terlalu sering mengkonsumsi makanan yang berminyak dan

berlemak.Makanan tersebut cenderung lambat dicerna,

membuat makanan tinggal lebih lama di lambung, yang

pada akhirnya akan meningkatkan tekanan terjadinya

perlemahan LES. Jika LES melemah, asam lambung akan

naik ke kerongkongan.

4. Epidemiologi

Prevalensi penderita dispepsia di pelayanan kesehatan meliputi 30%

pelayanan dokter umum dan 50% pelayanan spesialis gastroenterologi.

Sebagian besar pasien dispepsia Asia yang belum diteliti dan tidak

menunjukkan tanda peringatan adalah dispepsia fungsional.

Berdasarkan hasil penelitian di negara-negara Asia (China, Hongkong,

Indonesia, Korea Selatan, Malaysia, Singapura, Taiwan, Thailand dan

Vietnam) ditemukan bahwa 43% sampai 79,5% penderita dispepsia

merupakan dispepsia fungsional. Dari Januari 2003 sampai April 2004,

550 pasien dispepsia diperiksa endoskopi di beberapa pusat di


18

Indonesia, ditemukan 44,7% kasus abnormal gastritis dan duodenitis

yang terkecil; 6,5% kasus tukak lambung; dan 8,2% normal.

Di Indonesia, kejadian infeksi Hp pada penderita ulkus peptikum

(tanpa riwayat penggunaan obat anti inflamasi non steroid / NSAID)

berkisar antara 90% sampai 100%, sedangkan kejadian penderita

dispepsia fungsional setinggi 20%. -40% Persentase dari berbagai

metode diagnostik (pemeriksaan serologis, kultur dan histopatologi).

Di antara pasien dispepsia yang menjalani endoskopi di berbagai

rumah sakit pendidikan kedokteran di Indonesia (2003-2004),

prevalensi infeksi Hp sebesar 10,2%. Makassar (55%) pada tahun 2011,

Solo pada tahun 2008 (51,8%), Yogyakarta (30,6%) dan Surabaya

(2013,23,5%) memiliki prevalensi tertinggi, sedangkan Jakarta (8%)

memiliki prevalensi tertinggi (Marcellus Simadibrata K, Dadang

Makmun, Murdani Abdullah, Ari Fahrial Syam, Achmad Fauzi, Kaka

Renaldi, Hasan Maulahela, 2014).

5. Patofisiologi

Patofisiologi tukak lambung akibat Hp dan obat anti inflamasi non

steroid (NSAID) telah banyak diketahui. Dispepsia fungsional

disebabkan oleh beberapa faktor utama seperti gangguan motilitas

gastroduodenal, infeksi Hp, asam lambung, hipersensitivitas viseral dan

faktor psikologis . Faktor lain yang mungkin berperan adalah faktor

genetik, gaya hidup, lingkungan, pola makan dan riwayat infeksi

saluran cerna sebelumnya (Syam et al., 2017).


19

6. Manifestasi Klinik

Gejala dispepsia : (Permana, 2020)

a. Epigastric pain

Sensasi yang tidak menyenangkan; beberapa pasieni merasa

terjadi kerusakan jaringan.

b. Postprandial fullness

Perasaan yang tidak nyaman seperti makanan

berkepanjangan diperut.

c. Early satiation

Perasaan bahwa perut sudah terlalu penuh segera setelah

mulai makan, tidak sesuai dengan ukuran makanan yang

dimakan, sehingga makan tidak dapat diselesaikan.

Sebelumnya, kata “cepat kenyang” digunakan, tapi

kekenyangan adalah istilah yang benar untuk hilangnya sensasi

nafsu makan selama proses menelan makanan,

d. Epigastric burning

Terbakar adalah perasaan subjektif yang tidak

menyenangkan dari panas.

7. Diagnosis dispepsia

Dispepsia yang diteliti meliputi dispepsia organik dan fungsional.

Dispepsia organik meliputi tukak lambung, tukak duodenum, gastritis

erosif, gastritis, duodenitis, dan proses ganas. Dispepsia fungsional

mengacu pada standar Roma III, standar Roma III belum diverifikasi di
20

Indonesia. The "Asia Pacific Consensus" (2012) memutuskan untuk

mengikuti konsep kriteria diagnostik Rome III dan meningkatkan gejala

berupa distensi abdomen bagian atas, yang biasanya merupakan gejala

dispepsia fungsional (Marcellus Simadibrata K, Dadang Makmun,

Murdani Abdullah, Ari Fahrial Syam, Achmad Fauzi, Kaka Renaldi,

Hasan Maulahela, 2014).

Dispepsia menurut Kriteria Roma III adalah suatu penyakit dengan

satu atau lebih gejala yang berhubungan dengan gangguan di

gastroduedenal :

a. Nyeri epigastrium

b. Rasa terbakar diepigastrium

c. Rasa penuh atau tidak nyaman setelah makan

d. Rasa cepat kenyang

Kriteria Roma III membagi dispepsia fungsional menjadi 2 subgrup,

yakni epigastric pain syndrome dan postprandial distress syndrome.

Akan tetapi bukti terkini menunjukan bahwa terdapat tumpang tindih

diagnosis dalam dua pertiga pasien dyspepsia (Marcellus Simadibrata

K, Dadang Makmun, Murdani Abdullah, Ari Fahrial Syam, Achmad

Fauzi, Kaka Renaldi, Hasan Maulahela, 2014).


21

Gambar 2.3 alur diagnosis dispepsia belum diinvestigasi

Dyspepsia belum diinvestigasi

Pemeriksaan penunjang (sesuai


indikasi):

- Laboratorium darah
- Endoskopi
- Urea Breath Test
USG Abdomen

- Dispepsia organik Dispepsia fungsional


- Ulkus peptikum
- Gastritis erosif
- Gastritis sedang-berat
Sindroma stress Sindroma nyeri
- Kanker lambung
setelah makan epigastrium

8. Penatalaksanaan Dispepsia

Penanganan dispepsia dini termasuk meninjau riwayat penyakit

untuk mengetahui semua gejala dispepsia, sangat penting untuk

memahami masalah utama yang dialami pasien (Derry Permana, 2020).

Pasien dengan tanda-tanda dispepsia yang berbahaya tidak

mendapatkan pengobatan empiris, tetapi mereka harus menjalani

endoskopi dengan atau tanpa pemeriksaan histopatologi terlebih dahulu

sebelum dianggap sebagai dispepsia fungsional (Marcellus Simadibrata

K, Dadang Makmun, Murdani Abdullah, Ari Fahrial Syam, Achmad

Fauzi, Kaka Renaldi, Hasan Maulahela, 2014).


22

Jika ditemukan kerusakan mukosa berdasarkan hasil endoskopi,

pengobatan dilakukan berdasarkan kelainan yang ditemukan. Penyakit

yang tergolong dispepsia organik antara lain gastritis, gastritis

hemoragik, duodenitis, tukak lambung, tukak duodenum atau proses

ganas. Untuk tukak lambung (tukak lambung dan / atau tukak

duodenum), obat yang diberikan antara lain kombinasi PPI, seperti

rabeprazole 2x20 mg / lansoprazole 2x30 mg dan zat pelindung

mukosa, seperti rebamipide 3x100 mg (Marcellus Simadibrata K,

Dadang Makmun, Murdani Abdullah, Ari Fahrial Syam, Achmad

Fauzi, Kaka Renaldi, Hasan Maulahela, 2014).

penatalaksanaan dispepsia bertujuan untuk mengendalikan gejala

daripada pengobatan permanen penyakitnya (Derry Permana, 2020).

Gambar 2.4 tatalaksana dyspepsia diberbagai tingkat layanan kesehatan


Dispepsia belum
diinvestigasi selama tiga
bulan atau lebih

PF, anamnesis, singkirkan


penyebab dispepsia organik,
mis. obat-obatan

tidak Terapi
Tanda
empiris
bahay

Ya Rujuk

Rujuk Respons Ya Lanjutkan


Endoskopi terapi
setelah2
SCBA Tidak Ya
minggu
23

Temuan
menjelask
an gejala
Apabila ada indikasi: parasit
dan darahsamar tinja, kimia
darah, dan/atau pencitraan
abdomen

Dispepsia Hasil
organik Dispepsia
pemeriksaan
fungsional
menjelaskan
gejala
,

PPK-1
PPK 2-3

a. Evaluasi tanda bahaya harus selalu menjadi bagian dari evaluasi


pasien‐pasien yang dating dengan keluhan dispepsia (Pardiansyah,
2016).
b. Tanda bahaya : penurunan berat badan, disfagia progesif, muntah
rekuren/persisten, perdarahan saluran cerna, anemia, demam, massa
daerah abdomen bagian atas, riwayat keluarga kanker lambung,
dispepsia awitan baru pada pasien >45 tahun.
c. PF: pemeriksaan fisik, SCBA: saluran cerna bagian atas, PPK-1:
Pemberi Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama, PPK-2-3: Pemberi
Pelayanan Kesehatan Tingkat Kedua dan Ketiga.
24

Gambar 2.5 tatalaksana dispepsia fungsional


Dispepsia
fungsional

Modifikasi diet

Gejala
predominan

Nyeri/rasa terbakar Rasa penuh setelah makan,


pada epigastrium cepat kenyang,kembung, mual,
muntah, bersendawa

PPI dengan atau tanpa


Prokinetik
prokinetik Sitoprotektor
dengan atau
PPI-down regulation
tanpa PPI

Coba antidepresan
Respons Respons
atau ansiolitik
setelah 4 setelah 4 atau
atau 8 Coba terapi herbal 8 minggu

Rujuk ke
spesialis

Coba hentikan atau


terapisesuai
kebutuhan
25

9. Terapi dispepsia

Ada dua terapi pada penyakit dispepsia, yaitu : (Permana, 2020)

a. Terapi farmakologi

1) Obat analgetik

2) Obat golongan sitoproteksi (sukralfat, rebamipid)

3) Antibiotik : infeksi helicobacter pylori (amoksisilin,

claritromisin, dan metronidazol

b. Terapi non-farmakologi

Non farmakologi tindakan-tindakan keperawatan dalam

perawatan pasien dengan gangguan nyeri abdomen yaitu dengan

mengatur posisi pasien, hipnoterapi, terapi relaksasi, contohnya

sebagai berikut :

1) Relaksasi menggunakan aroma terapi lemon

2) Pengaruh terapi kompres hangat

3) Terapi guided imageri dengan menggunakan irama music untuk

menurunkantingkat skala nyeri.

Gambar 2.6 terapi pengobatan dyspepsia

Sindroma dispepsia

Nyeri uluh hati

Pelaksanaan non-
Pelaksanaan farmakologi : farmakologi :

 Obat analgetik  Relaksasi


guided
imagery
 Distraksi
 Herbal
 Kompres
26

D. Obat-obat Dispepsia

1. Antagonis reseptor H2

Obat golongan H2 yang tersedia di fasilitas layanan primer adalah

ranitidine (Nurhasima, 2019). Cimetidine, ranitidine, famotidine dan

nizatidine adalah antagonis reseptor H2 yang dapat secara selektif dan

reversibel menghambat reseptor H2 yang memediasi sekresi ion

hidrogen dalam sel parietal lambung (Sanglah & Fakultas, 2017).

a. Farmakodinamik

Reseptor H2 memiliki potensi yang lebih rendah dibandingkan

PPI, tetapi tetap menekan 70% sekresi asam lambung dalam 24

jam. H2 bekerja dengan menghambat produksi asam dengan

berkompetensisecara reversible dengan histamine untuk berikatan

ke H2 receptors di membranbasorateral sel parietal.

b. Farmakinetik

Masa paruhnya kira - kira 1.7 – 3 jam, dan memanjang pada

orang tua dan pada pasien gagal ginjal serta penyakit hati. Kadar

puncak dicapai dalam 1- 3 jam dan hanya 15% yang terikat protein

plasma. Ranitidin mengalami metabolisme lintas pertama di hati

sehingga bioavailabilitasnya berkurang menjadi 50%.Ranitidin

diekskresikan terutama melalui ginjal dan sisanya melalui tinja.


27

2. Proton pump inhibitor (PPI)

PPI merupakan penghambat asam lambung yang paling poten. Obat

golongan PPI yang ada di fasilitas layanan kesehatan di Indonesia

adalah omeprazol (Nurhasima, 2019).

a. Farmakodinamik

PPI adalah prodrug yang membutuhkan suasana asam untuk

aktivasi. Setelah diabsorbsi di usus dan masuk ke sirkulasi

sistemik, PPI masuk ke kompartemen kanalikuli sekretoar sel

parietal dan mengalami aktivasi menjadi sulfonamid tetrasiklik.

Bentuk aktif ini berikatan dengan sulfihidril enzim HKATPase

(proton pump) secara irreversibel yang berada di membran apikal

sel parietal. Ikatan ini menghambat kerja enzim dan menghentikan

produksi asam lambung sampai 80-95%.

b. Farmakokinetik

PPI diberikan dalam bentuk salut enterik untuk mencegah

degradasi zat aktif dalam suasana asam. Tablet yang pecah

dilambung mengalami aktifitas lalu terikat pada berbagai sulfihidril

mucus dan makanan. Bioavailabitasnya akan menurun sampai

dengan 50% karena pengaruh makanan. Oleh sebab itu sebaiknya

diberikan saat lambung kosong, 30 menit – 1 jam sebelum makan.


28

Obat ini dimetabolisme di hati oleh sitokrom P450e (CYP)

terutama CYP2C19 dan CYP3A4.

E. Kerangka Pikir

Pasien rawat jalan

Pasien dispepsia

Mendapatkan kombinasi obat


dispepsia oral

Analisis efektivitas biaya obat


dispepsia pasien rawat jalan

Efektif Tidak efektif

Gambar 2.7 bagan kerangka pikir


BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian analitik dengan rancanga

nobservasional dan pengambilan data secara retrospektif yang bertujuan

untukmengetahui efektivitas biaya pengobatan dispepsia yang

menggunakan obat oral pada pasien rawat jalan dengan menggunakan

pendekatan cross-sectional.Cross-sectional adalah jenis penelitian dengan

penekanan pada data variabel independen dan dependen dalam satu waktu.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April-Juni 2020 di Instalasi

Rawat Jalan Puskesmas Winduaji

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah seluruh himpunan elemen dengan banyak

karakteristik umum (Goto et al., 2015). Populasi penelitian ini adalah

data rekam medis pasien dispepsia rawat jalan Puskesmas Winduaji

periode Oktober-Desember 2020 sejumlah 114 pasien.

2. Sampel

Merupakan suatu sub kelompok dari populasi yang dipilih untuk

digunakandalam penelitian (Goto et al., 2015). Penentuan jumlah

sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik sampling jenuh.

Sampling jenuh adalah pengambilan sampel yang sama dengan jumlah


30

anggota populasi. Merujuk pada pendapat tersebut maka total sampel

pada penelitian ini sebanyak 114 pasien.

D. Variabel Penelitian

1. Variabel Independen

adalah variabel yang menjadi sebab perubahannya atau variabel

yang mempengaruhi, sehingga mengakibatkan timbulnya variabel

dependen (terikat). Variabel bebas ini sering disebut sebagai variabel

stimulus, prediktor, antecedent (Aulia & Yulianti, 2017). Variabel

independen pada penelitian ini adalah terapi dispepsia dan efektivitas

terapi.

2. Variabel Dependen

adalah variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi sebab akibat

karena adanya variabel bebas. Variabel dependen sering disebut

sebagai variabel output, kriteria, dan konsekuen (Aulia & Yulianti,

2017). Variabel dependen pada penelitian ini adalah efektivitas biaya.

E. Teknik Pengambilan Data

Pengambilan data dilakukan dengan mengikuti data dari

perkembangan pasien melalui rekam medis. Data yang diperoleh dalam

instrument penelitian merupakan data sekunder. Data primer diperoleh

ketika konfirmasi data sekunder kepada petugas di Instalasi Rawat Jalan

Puskesmas Winduaji.
31

F. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah formulir

pengambilan data yang dirancang sesuai kebutuhan peneliti dan rekam

medik pasien rawat jalan Puskesmas Winduaji 2020. Data yang dicatat

pada lembar pengumpul data meliputi nomor rekam medik, identitas

pasien (nama, usia, alamat pasien, dan jenis kelamin), diagnosis, obat yang

diberikan (jenis, waktu pemberian, cara pemberian, dosis dan frekuensi

pemberian obat), dan data keuangan yang meliputi biaya dispepsia.

G. Teknik Analisis Data

Tahap ini merupakan tahap pengolahan data. Data yang terkumpul

dianalisis dengan mengelompokkan berdasarkan jenis kelamin, umur,

diagnosis, jenis obat dispepsia oral, dan total biaya yang digunakan. Data

yang diperoleh dianalisis efektivitas terapi dan biayanya. Analisis

efektivitas terapi menggunakan rumus persentase efektifitas dan hasilnya

dimasukkan dalam analisis efektifitas biaya. Analisis efektivitas biaya

menggunakan rumus Average Cost-Effectiveness Ratio (ACER) dan untuk

mengukur selisih biaya dari kedua kombinasi terapi menggunakan rumus

Incremental Cost-Effectiveness Ratio (ICER).


32

H. Alur Penelitian

Data rekam medis dan kwitansi harga obat

Kriteria inklusi

Kwitasni pasien

Pengumpulan data

Lembar pengumpulan
data

Analisis data
Biaya dispepsia

hasil

Kesimpulan

Gambar 3.1 bagan alur penelitian


33

DAFTAR PUSTAKA

Agus Triyono, PR Widhi Astama, S. P. T. . (n.d.). Observasi Klinik Efek


FormulaJamu Dispepsia Terhadap Fungsi Hati. 3(11), 246–250.
Aulia, A., & Yulianti, A. (2017). Pengaruh City Branding “a Land of Harmony”
Terhadap Minat Berkunjung Dan Keputusan Berkunjung Ke Puncak,
Kabupaten Bogor. Jurnal Ilmiah MEA (Manajemen, Ekonomi, & Akuntansi)
1,2, 3(3), 70. https://doi.org/10.31955/mea.vol4.iss1.pp67
Goto, T., Saiki, H., & Onishi, H. (2015). Studies on wood gluing - XIII:
Gluability and scanning electron microscopic study of wood-polypropylene
bonding. Wood Science and Technology, 16(4), 293–303.
https://doi.org/10.1007/BF00353157
Hidayah, A. N. (2020). Perbedaan Tingkat Stres, Keteraturan Makan Dan
Kejadian Sindrom Dispepsia Pada Siswa Asrama Dan Non Asrama Di Smk
Kesehatan Samarinda. Verdure: Health Science Journal, 2(1), 1–12.
Indrayathi, P.A & Noviyanti, R. (2016). Cost of Illness (Beban Ekonomi Penyakit
Dalam Pembangunan Kesehatan). Universitas Udayana, 2(-), 1–60.
http://dinus.ac.id/repository/docs/ajar/5._Konsep_Dasar_Penghitungan_Pem
biayaan_Kesehatan_di_Indonesia_.pptx
KEMENKES RI. (n.d.). Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi.
Marcellus Simadibrata K, Dadang Makmun, Murdani Abdullah, Ari Fahrial
Syam, Achmad Fauzi, Kaka Renaldi, Hasan Maulahela, A. P. U. (2014).
Konsensus nasional penatalaksanaan dispepsia dan infeksi Helicobacter
pylori. In Konsensus Nasional Penatalaksanaan Dispepsia dan Infeksi
Helicobacter pylori.
http://pbpgi.or.id/wp-content/uploads/2015/10/Konsensus-Dispepsia-dan-
Helicobater-Pylori-2014.pdf
Maresa, T. (2019). Hubungan Tingkat Stres dan Keteraturan Pola Makan Dengan
Terjadinya Dispepsia Pada Usia Produktif di Puskesmas Depok III Sleman
Yogyakarta.
Nurhasima. (2019). Pola Peresepan Dan Ketepapatan Pemberian Antasida, PPI
(Proton Pump Inhibitor), Dan AH2 (Antagonis Reseptor Histamin Tipe 2)
Pada Pasien Rawat Jalan Di Puskesmas Rengas Kota Tangerang Selatan
Periode Januari-April 2019. 2, 10. http://repository.unair.ac.id/10222/3/3.
BAB I PENDAHULUAN.pdf
Nurul Laili, S.Kep.Ns., M. K. (2013). Faktor Faktor Yang Mempengaruhi
Dispepsia Pada Pasien Dengan Keluhan Nyeri Abdomen di RS Amelia Pare
Kabupaten Kediri. Integration of Climate Protection and Cultural Heritage:
Aspects in Policy and Development Plans. Free and Hanseatic City of
Hamburg, 26(4), 1–37.
34

Octaviana, E. S. L. (2018). Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Upaya


Keluarga Dalam Pencegahan Penyakit Dispepsia di Wilayah Kerja
Puskesmas Mangkatip Kabupaten Barito Selatan. Jurnal Langsat Volume 5
No. 1, 5(1), 14.
Oktarini, ega soraya. (n.d.). Analisis Efektivutas Biaya Kombinasi Obat
Antihipertensi Pada Pasien Rawat Inap Rsu Siti Aminah Bumiayu. 1.
Pardiansyah, R. dkk. (2016). Upaya Pengelolaan Dispepsia dengan Pendekatan
Pelayanan Dokter Keluarga Dyspepsia Treatment By Using Family
Physician Practice Approach. J Medula Unila, 5(Nomor 2), 1–2.
http://repository.lppm.unila.ac.id/2378/
Permana, D. (2020). Penatalaksanaan Nyeri Non Farmakologi Pada Sindroma
Dispepsia. 21(1), 1–9.
Purnamasari, L. (2017). Faktor Risiko , Klasifikasi , dan Terapi Sindrom
Dispepsia. Continuing Medical Education, 44(12), 870–873.
Sanglah, R., & Fakultas, D. (2017). Bagian / Smf Anestesi Dan Terapi Intensif
Universitas Udayana.
Syam, A. F., Simadibrata, M., Makmun, D., Abdullah, M., Fauzi, A., Renaldi, K.,
Maulahela, H., & Utari, A. P. (2017). National Consensus on Management of
Dyspepsia and Helicobacter pylori Infection. Acta Medica Indonesiana,
49(3), 279–287.
Tjandrawinata, R. R. (2016). Peranan Farmakoekonomi dalam Penentuan
Kebijakan yang Berkaitan dengan Obat-Obatan. In Working Paper of Dexa
Medica Group (Issue January 2016).
Ummi Kultsum. (2020). Laporan Ilmiah Ketrampilan Menulis. 21(1), 1–9.

Anda mungkin juga menyukai