Anda di halaman 1dari 4

Material Aluvium di Pesisir Amurang Diduga

Menjadi Penyebab Abrasi


Material aluvium tak kuat menahan beban

Abrasi pesisir Amurang, Minahasa Selatan pada Rabu (15/6/2022) meruntuhkan sebagian rumah warga.
IDNTimes/Ungke Pepotoh/bt

Share to Facebook Share to Twitter

Manado, IDN Times – Sudah hampir satu minggu berlalu sejak abrasi pesisir Amurang,
Minahasa Selatan (Minsel), Sulawesi Utara (Sulut) terjadi. Hingga kini, baik Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) maupun Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)
belum secara resmi mengungkapkan penyebab dari abrasi tersebut.

Dosen Geologi Universitas Prisma Manado, Agus Santoso Budiharso, menyebut bahwa
pesisir Amurang memang wilayah yang rawan bencana. Pesisir Amurang dari Sungai
Ranoyapo merupakan wilayah yang tersusun dari material aluvium.

“Asal muasal material aluvium tersebut dari Gunung Soputan yang berada di Timur Laut
Minsel. Material erupsi gunung terbawa oleh Sungai Ranoyapo dan sungai-sungai lain di
sekitar Amurang hingga mengendap di pesisir Amurang,” jelas Agus, Selasa (21/6/2022).

1. Material aluvium tidak kuat menahan beban


Dosen Geologi
Universitas Prisma Manado sekaligus Ahli Geospasial Sulut, Agus Santoso Budiharso. IDNTimes/Istimewa

Material aluvium sendiri bukan merupakan material yang kuat seperti batuan karena masih
berbentuk pasir. Hal tersebut menyebabkan material aluvium mudah terurai ketika terkena
air.

“Ditambah lagi, secara topografi pesisir Amurang memiliki kedalaman 30-50 meter, lalu tiba-
tiba langsung tubir yang kedalamannya bisa sampai 500 meter. Tubir itu materialnya masih
pengaruh dari material aluvium,” tambah Agus.

Kemudian arus air di pesisir Amurang sangat kuat karena berbentuk teluk. Akibat dari
tekanan dan arus laut yang kuat, material penyangga pesisir Amurang kemungkinan besar
jadi berongga. Material yang berongga tersebut tidak mampu menahan beban bangunan di
atasnya.

2. Pesisir Amurang juga rawan likuefaksi


Warga
mengevakuasi barang-barang pasca abrasi pesisir Amurang, Minahasa Selatan, Kamis (16/6/2022). IDNTimes/Ungke
Pepotoh/bt

Agus mengatakan, berdasarkan penelitian dari Direktorat Jenderal Biologi Tata Lingkungan
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), sepanjang pesisir Amurang
termasuk daerah rawan likuefaksi yang tinggi. Meski begitu, kejadian minggu lalu bukan
likuefaksi.

“Faktor lainnya, Sungai Ranoyapo sendiri merupakan jalur sesar aktif sehingga Teluk
Amurang rawan bencana abrasi dan likuifaksi,” ujar Agus.

Untuk itu, rencana tata ruang dan tata wilayah (RTRW) daerah harus memperhatikan potensi
bencana yang ada. Masyarakat yang tinggal di daerah rawan, sebaiknya direlokasi untuk
menghindari potensi bencana di kemudian hari.

3. Relokasi harus perhatikan akses masyarakat


Situasi posko tanggap darurat di Kantor Kelurahan Lewet, Amurang, Minsel, Jumat (17/6/2022). IDNTimes/Savi

Sebagai mitigasi bencana, Agus menyebut masyarakat harus meningkatkan kewaspadaan.


“Kalau ada yang melihat hal-hal mencurigakan misalnya ada reruntuhan material, harus
segera dilaporkan ke warga lain agar bisa didiskusikan,” sambung Agus.

Kedepannya, pemerintah juga perlu menetapkan batas wilayah yang tidak boleh dihuni.
Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, sempadan pantai minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi
ke arah pantai.

“Yang diperbolehkan di sempadan pantai itu misalnya pelabuhan, tapi kalau pemukiman
sebaiknya tidak di sempadan pantai,” ucap Agus.

Jika pemerintah hendak merelokasi warga, sebaiknya tetap mempertimbangkan akses karena
sebagian besar masyarakat pesisir Amurang berprofesi sebagai pedagang. Kemudian, daerah
yang tidak boleh dihuni bisa dimanfaatkan untuk ruang terbuka hijau sebagai daerah
penyangga.

https://sulsel.idntimes.com/news/indonesia/savi/material-aluvium-di-pesisir-amurang-diduga-menjadi-
penyebab-abrasi?page=all

Anda mungkin juga menyukai