Anda di halaman 1dari 9

BAB II

PEMBAHASA
N

A. Pengertian Syirkah

Kata syirkah dalam bahasa Arab berasal dari kata syarika (fi’il mâdhi), yasyraku (fi’il
mudhâri‘), syarikan/syirkatan/syarikatan (mashdar/kata dasar); artinya menjadi sekutu atau
serikat (Kamus Al-Munawwir, hlm. 765). Kata dasarnya boleh dibaca syirkah, boleh juga
dibaca syarikah. Akan tetapi, menurut Al-Jaziri dalam Al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba‘ah,
3/58, dibaca syirkah lebih fasih (afshah). Secara Etimologi Syirkah dapat diartikan
percampuran. Yakni, mencampurkan dua bagian atau lebih sedemikian rupa sehingga tidak
dapat lagi dibedakan satu bagian dengan bagian lainnya (An-Nabhani, 1990: 146). Sedangkan
menurut istilah (terminologi) para Fuqaha’, Syirkah adalah kerja sama untuk mendaya
gunakan (tassaruf) harta yang dimiliki dua orang secara bersama-sama oleh keduanya, yakni
keduanya saling mengizinkan kepada salah satunya untuk mendayagunakan harta milik
keduanya, namun masing-masing memilik hak untuk bertasarruf

. Adapun menurut makna syariat, syirkah adalah suatu akad antara dua pihak atau lebih, yang
bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan (An-
Nabhani, 1990: 146).
Ada beberapa definisi Syirkah yang di kemukakan oleh para ulama’ fiqh . Menurut Mazhab
Maliki, “ suatuu izin untuk bertindak secara hokum bagi dua orang yang berkerja sama
terhadap harta mereka”. Menurut Mazhab Syafi’I dan Hambali “Hak bertindak hukum bagi
dua orang atau lebih pada sesuatu yang mereka sepakati”. Menuru Mazhab Hanafi, akad yang
dilakukan oleh orang-orang yang bekerja sama dalam modal dan keuntunngan.”.

B. Dasar Hukum

Syirkah hukumnya jâ’iz (mubah), berdasarkan dalil Hadis Nabi saw. berupa taqrîr
(pengakuan) beliau terhadap syirkah. Pada saat beliau diutus sebagai nabi, orang-orang pada
saat itu telah bermuamalah dengan cara ber-syirkah dan Nabi saw. membenarkannya. Nabi
saw. bersabda, sebagaimana dituturkan Abu Hurairah ra.:
Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman: Aku adalah pihak ketiga dari dua pihak yang ber-
syirkah selama salah satunya tidak mengkhianati yang lainnya. Kalau salah satunya
berkhianat, Aku keluar dari keduanya. (HR Abu Dawud, al-Baihaqi, dan ad-Daruquthni).
Ulama’ Fiqih menyatakan bahwa dibolehkannya akad Syirkah didasarkan pada firman Allah
SWT dalam surat An-Nisa’ (4 ) ayat 12:
˚ْ ‫ َر ا‬Gَ‫ َْ ˚كث‬Gَ‫˚ن ا‬ ‫لُث ى ُء َف ُه ذ‬Gُّ‫ الث‬... ‫ النساء‬: ٢١
‫˚م ش ِلك‬
: ‫َكاُنو َف ِا ˚ن‬
‫َرﻜﺂ‬
‫ م‬Artinya
... Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersama-sama dalam
bagian sepertiga itu ... (Q.S. An-Nisa’ /4 : 12)

Rasulullah SAW bersabda :

‫ تعلى َيقُ ˚ولوهلال‬: ‫ بينهما من خرجت خانه فاذا صاحبه هما احد يخن مالم الشريﻜين ثالث أنا‬. ‫ابوداود رواه‬

Artinya :
Allah taala berfirman, “Aku pihak ke tiga dari dua orang yang berserikat selagi masing-
masing dari keduanya tidak menghianati yang lain. Jika salah seorang dari keduanya
menghianati yang lain, aku keluar dari keduanya.” (H.R. Abu Daud dari Abu Hurairah :
2936)

C. Macam –macam Syirkah

Kerja sama terbagi atas dua macam, yaitu Syirkah milk dan Syirkah uqud :
a. Syirkah Milk
Syirkah Milk adalah kerja sam adua orang atau lebih yang memiliki barang tanpa adanya
akad syirkah . kerja sama ini meliputi dua macam, yaitu syirkah milk ikhtiyar dan
syirkah milk al-jabr.
1) Syirkah milk ikhtiyar
Syirkah milk ikhtiyar adalah kerja sama yang muncul karena adanya kontrak antara dua
orang yang bersekutu .
2) Syirkah milk al-jabr
Syirkah milk al-jabr adalah kerja sama yang di tetapkan kepada dua oranng atau lebih yang
bukan didsarkan atas perbuatan kedunya (secara paksa).
b. Syirkah ‘Uqud
Syirkah Uqud merupakan bentuk transaksi yang terjadi antara dua orang atau lebih
bersekutu dalam harta dan keuntungannya. Syirkah Uqud mempunyai lima bentuk, yaitu :
(1) syirkah inân;
(2) syirkah abdan;
(3) Syirkah Mudharabah
(4) syirkah wujûh; dan
(5) syirkah mufâwadhah )

 Syirkah Inân
Syirkah inân adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing memberi
konstribusi kerja (‘amal) dan modal (mâl). Syirkah ini hukumnya boleh berdasarkan dalil as-
Sunnah dan Ijma Sahabat (An-Nabhani, 1990: 148).
Contoh syirkah inân: A dan B insinyur teknik sipil. A dan B sepakat menjalankan bisnis
properti dengan membangun dan menjualbelikan rumah. Masing-masing memberikan
konstribusi modal sebesar Rp 500 juta dan keduanya sama-sama bekerja dalam syirkah
tersebut.
Dalam syirkah ini, disyaratkan modalnya harus berupa uang (nuqûd); sedangkan barang
(‘urûdh), misalnya rumah atau mobil, tidak boleh dijadikan modal syirkah, kecuali jika
barang itu dihitung nilainya (qîmah al-‘urûdh) pada saat akad.
Keuntungan didasarkan pada kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-
masing mitra usaha (syarîk) berdasarkan porsi modal. Jika, misalnya, masing-masing
modalnya 50%, maka masing-masing menanggung kerugian sebesar 50%. Diriwayatkan
oleh Abdur Razaq dalam kitab Al-Jâmi’, bahwa Ali bin Abi Thalib ra. pernah berkata,
“Kerugian didasarkan atas besarnya modal, sedangkan keuntungan didasarkan atas
kesepakatan mereka (pihak-pihak yang bersyirkah).” (An-Nabhani, 1990: 151).
 Syirkah ‘Abdan
Syirkah ‘abdan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing hanya
memberikan konstribusi kerja (‘amal), tanpa konstribusi modal (mâl). Konstribusi kerja itu
dapat berupa kerja pikiran (seperti pekerjaan arsitek atau penulis) ataupun kerja fisik (seperti
pekerjaan tukang kayu, tukang batu, sopir, pemburu, nelayan, dan sebagainya) (An-Nabhani,
1990: 150). Syirkah ini disebut juga syirkah ‘amal (Al-Jaziri, 1996: 67; Al-Khayyath, 1982:
35). Contohnya: A dan B. keduanya adalah nelayan, bersepakat melaut bersama untuk
mencari ikan. Mereka sepakat pula, jika memperoleh ikan dan dijual, hasilnya akan
dibagi dengan ketentuan: A mendapatkan sebesar 60% dan B sebesar 40%.
Dalam syirkah ini tidak disyaratkan kesamaan profesi atau keahlian, tetapi boleh berbeda
profesi. Jadi, boleh saja syirkah ‘abdan terdiri dari beberapa tukang kayu dan tukang batu.
Namun, disyaratkan bahwa pekerjaan yang dilakukan merupakan pekerjaan halal. (An-
Nabhani, 1990: 150); tidak boleh berupa pekerjaan haram, misalnya, beberapa pemburu
sepakat berburu babi hutan (celeng).
Keuntungan yang diperoleh dibagi berdasarkan kesepakatan; nisbahnya boleh sama dan
boleh juga tidak sama di antara mitra-mitra usaha (syarîk).
Syirkah ‘abdan hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah (An-Nabhani, 1990: 151). Ibnu
Mas’ud ra. pernah berkata, “Aku pernah berserikat dengan Ammar bin Yasir dan Sa’ad bin
Abi Waqash mengenai harta rampasan perang pada Perang Badar. Sa’ad membawa dua orang
tawanan, sementara aku dan Ammar tidak membawa apa pun.” [HR. Abu Dawud dan al-
Atsram].
Hal itu diketahui Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam dan beliau membenarkannya dengan
taqrîr beliau (An-Nabhani, 1990: 151).
 Syirkah Mudhârabah
Syirkah mudhârabah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih dengan ketentuan, satu
pihak memberikan konstribusi kerja (‘amal), sedangkan pihak lain memberikan konstribusi
modal (mâl) (An-Nabhani, 1990: 152). Istilah mudhârabah dipakai oleh ulama Irak,
sedangkan ulama Hijaz menyebutnya qirâdh (Al-Jaziri, 1996: 42; Az-Zuhaili, 1984: 836).
Contoh: A sebagai pemodal (shâhib al-mâl/rabb al-mâl) memberikan modalnya sebesar Rp
10 juta kepada B yang bertindak sebagai pengelola modal (‘âmil/mudhârib) dalam usaha
perdagangan umum (misal, usaha toko kelontong).
Ada dua bentuk lain sebagai variasi syirkah mudhârabah. Pertama, dua pihak (misalnya, A
dan B) sama-sama memberikan konstribusi modal, sementara pihak ketiga (katakanlah C)
memberikan konstribusi kerja saja. Kedua, pihak pertama (misalnya A) memberikan
konstribusi modal dan kerja sekaligus, sedangkan pihak kedua (misalnya B) hanya
memberikan konstribusi modal, tanpa konstribusi kerja. Kedua bentuk syirkah ini masih
tergolong syirkah mudhârabah (An-Nabhani, 1990: 152).
Hukum syirkah mudhârabah adalah jâ’iz (boleh) berdasarkan dalil as-Sunnah (taqrîr Nabi
Shalallahu alaihi wasalam) dan Ijma Sahabat (An-Nabhani, 1990: 153). Dalam syirkah ini,
kewenangan melakukan tasharruf hanyalah menjadi hak pengelola (mudhârib/‘âmil).
Pemodal tidak berhak turut campur dalam tasharruf. Namun demikian, pengelola terikat
dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal.
Jika ada keuntungan, ia dibagi sesuai kesepakatan di antara pemodal dan pengelola modal,
sedangkan kerugian ditanggung hanya oleh pemodal. Sebab, dalam mudhârabah berlaku
hukum wakalah (perwakilan), sementara seorang wakil tidak menanggung kerusakan harta
atau kerugian dana yang diwakilkan kepadanya (An-Nabhani, 1990: 152). Namun demikian,
pengelola turut menanggung kerugian, jika kerugian itu terjadi karena kesengajaannya atau
karena melanggar syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal (Al-Khayyath, Asy-Syarîkât fî
asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, 2/66).
 Syirkah Wujûh
Syirkah wujûh disebut juga syirkah ‘ala adz-dzimam (Al-Khayyath, Asy-Syarîkât fî asy-
Syarî‘ah al-Islâmiyyah, 2/49). Disebut syirkah wujûh karena didasarkan pada kedudukan,
ketokohan, atau keahlian (wujûh) seseorang di tengah masyarakat. Syirkah wujûh adalah
syirkah antara dua pihak (misal A dan B) yang sama-sama memberikan konstribusi kerja
(‘amal), dengan pihak ketiga (misalnya C) yang memberikan konstribusi modal (mâl). Dalam
hal ini, pihak A dan B adalah tokoh masyarakat. Syirkah semacam ini hakikatnya termasuk
dalam syirkah mudhârabah sehingga berlaku ketentuan-ketentuan syirkah mudhârabah
padanya (An-Nabhani, 1990: 154).
Bentuk kedua syirkah wujûh adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang ber-syirkah
dalam barang yang mereka beli secara kredit, atas dasar kepercayaan pedagang kepada
keduanya, tanpa konstribusi modal dari masing-masing pihak (An-Nabhani, 1990: 154).
Misal: A dan B adalah tokoh yang dipercaya pedagang. Lalu A dan B ber-syirkah wujûh,
dengan cara membeli barang dari seorang pedagang (misalnya C) secara kredit. A dan B
bersepakat, masing-masing memiliki 50% dari barang yang dibeli. Lalu keduanya menjual
barang tersebut dan keuntungannya dibagi dua, sedangkan harga pokoknya dikembalikan
kepada C (pedagang).
Dalam syirkah wujûh kedua ini, keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan, bukan
berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki; sedangkan kerugian ditanggung
oleh masing-masing mitra usaha berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki,
bukan berdasarkan kesepakatan. Syirkah wujûh kedua ini hakikatnya termasuk dalam
syirkah ‘abdan (An-Nabhani, 1990: 154).
Hukum kedua bentuk syirkah di atas adalah boleh, karena bentuk pertama sebenarnya
termasuk syirkah mudhârabah, sedangkan bentuk kedua termasuk syirkah ‘abdan.
Syirkah
mudhârabah dan syirkah ‘abdan sendiri telah jelas kebolehannya dalam syariat Islam (An-
Nabhani, 1990: 154).
Namun demikian, An-Nabhani mengingatkan bahwa ketokohan (wujûh) yang dimaksud
dalam syirkah wujûh adalah kepercayaan finansial (tsiqah mâliyah), bukan semata-semata
ketokohan di masyarakat. Maka dari itu, tidak sah syirkah yang dilakukan seorang tokoh
(katakanlah seorang menteri atau pedagang besar), yang dikenal tidak jujur, atau suka
menyalahi janji dalam urusan keuangan. Sebaliknya, sah syirkah wujûh yang dilakukan oleh
seorang biasa-biasa saja, tetapi oleh para pedagang dia dianggap memiliki kepercayaan
finansial (tsiqah mâliyah) yang tinggi, misalnya dikenal jujur dan tepat janji dalam urusan
keuangan (An-Nabhani, 1990: 155-156).
 Syirkah Mufâwadhah
Syirkah mufâwadhah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang menggabungkan
semua jenis syirkah di atas (syirkah inân, ‘abdan, mudhârabah, dan wujûh) (An-Nabhani,
1990: 156; Al-Khayyath, 1982: 25). Syirkah mufâwadhah dalam pengertian ini, menurut An-
Nabhani adalah boleh. Sebab, setiap jenis syirkah yang sah ketika berdiri sendiri, maka sah
pula ketika digabungkan dengan jenis syirkah lainnya (An-Nabhani, 1990: 156).
Keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian
ditanggung sesuai dengan jenis syirkah-nya; yaitu ditanggung oleh para pemodal sesuai porsi
modal (jika berupa syirkah inân), atau ditanggung pemodal saja (jika berupa syirkah
mudhârabah), atau ditanggung mitra-mitra usaha berdasarkan persentase barang dagangan
yang dimiliki (jika berupa syirkah wujûh).
Contoh: A adalah pemodal, berkonstribusi modal kepada B dan C, dua insinyur teknik sipil,
yang sebelumnya sepakat, bahwa masing-masing berkonstribusi kerja. Kemudian B dan C
juga sepakat untuk berkonstribusi modal, untuk membeli barang secara kredit atas dasar
kepercayaan pedagang kepada B dan C.
Dalam hal ini, pada awalnya yang ada adalah syirkah ‘abdan, yaitu ketika B dan C sepakat
masing-masing ber-syirkah dengan memberikan konstribusi kerja saja. Lalu, ketika A
memberikan modal kepada B dan C, berarti di antara mereka bertiga terwujud syirkah
mudhârabah. Di sini A sebagai pemodal, sedangkan B dan C sebagai pengelola. Ketika B dan
C sepakat bahwa masing-masing memberikan konstribusi modal, di samping konstribusi
kerja, berarti terwujud syirkah inân di antara B dan C. Ketika B dan C membeli barang
secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, berarti terwujud syirkah
wujûh antara B dan C. Dengan demikian, bentuk syirkah seperti ini telah menggabungkan
semua
jenis syirkah yang ada, yang disebut syirkah mufâwadhah.

D. Syarat dan Rukun Syirkah

Syarat – syarat yang berhubunagn dengan Syirkah menurut Hanafiyah dibagi menjadi empat
bagian sebagi berikut.
a. sesuatu yang bertalian dengan semua bentuk syirkah, baik dengan harta maupun
dengan yang lain. Dalam hal ini, terdapat dua syarat, yaitu :
1) yang berkenaan benda yang diakadkan adalah harus dapat diterima sebagai perwalian;
2) yang berkenaan dengan keuntungan, yaitu pembagian keuntungan harus jelas dan
dapat diketahui dua pihak, misalnya setengah dan sepertiga.
b. sesuatu yang bertalian dengan syirkah mal (harta) terdapat duaperkarayang harus
dipenuhi, yaitu :
1) modal yang dijadikan objek akad syirkah adalah uang (alat pembayaran);
2) yang dijadikan modal (harta pokok) ada ketika akad syirkah dilakukan, baik
jumlahnya sama maupun berbeda.
c. sesuatu yang bertalian dengan syirkah mufawadah, disyaratkan :
1) modal (pokok harta) harus sama;
2) bagi yang ber-syirkah ahli untuk kafalah (jaminan)
3) bagi yang dijadikan objek akad di syariatkan syirkah umum, yakni pada semua macam
jual beliatau perdagangan.
d. syarat yang bertalian dengan syirkah ‘inan sama dengan syarat-syarat syirkah
mufawadah. Rukun syirkah menurut jumhur ulama’yang pokok ada 3 (tiga) yaitu:
• Akad (ijab-kabul), disebut juga shighat;
• Dua pihak yang berakad (‘âqidâni), syaratnya harus memiliki kecakapan
(ahliyah) melakukan tasharruf (pengelolaan harta);
• Obyek akad (mahal), disebut juga ma’qûd ‘alayhi, yang mencakup pekerjaan (amal)
dan/atau modal (mâl) (Al-Jaziri, 1996: 69; Al-Khayyath, 1982: 76; 1989: 13).
Sedangkan menurut ulama’ Mazhab Hanafi rukun syirkah hanya ada dua, yaitu ijab dan
qabul. Sedangkan orang yang berakad dan objeknya bukan termasuk rukun, tetapi
syarat.

E. Mengakhiri Syirkah
1. Salah satu pihak membatalkannya meskipun tanpa persetujuan pihak yang lain.
2. Salah satu pihak kehilangan kecakapan untuk mengolah harta.
3. Salah satu pihak meninggal dunia.
4. Modal para anggota syirkah lenyap sebelum dibelanjakan atas nama syirkah.
F. Hikmah Syirkah
Hikmah yang diperoleh dari praktik syirkah adalah.
a. menggalang kerja sama untuk saling menguntungkan antara pihak-pihak yang ber-syirkah;
b. membantu meluaskan ruang rezeki karena tidak merugikan secara ekonomi.
G. praktik Syirkah
A datang ke B dan menyera kan modal uang sebesar Rp.1000.000,00 untuk dijadikan modal
kerja kepada seseorang (untuk berdagang). Seandainya pengelola uang tersebut memperoleh
keuntungan dari usaha tadi maka keuntungan itu dibagi sesuai dengan kesepakatan antara
kedua belah pihak, misalnya 40% keuntungan untuk pemodal dan 60% untuk pengelola atau
dibagi secara sama, yang penting ada kesepakatan antara kedua belah pihak dengan tidak
saling merugikan, melainkan saling menguntungkan.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pengertian-pengertian diatas dapat di tarik kesimpulan, bahwa syirkah adalah
persekutuan dalam urusan harta oleh dua orang atau lebih yang melakukan akad untuk urusan
harta, yang modalnya bisa dibagi dua atau berdasarkan keputusan bersama. Biasanya syirkah
dilakukan di perusahaan, yang mana dari mereka ada yang mempunyai saham dan ada yang
menjalankan saham. Syirkah akan berlaku jika masing-masing pihak berakad untuk
melakukan syikrah itu. Syarat-syarat syirkah pun harus terpenuhi dengan jelas, agar syirkah
tersebut sah.
B. Daftar Pustaka
 http://hitsuke.blogspot.com/2009/05/syirkah-makalah.html
 http://images.google.co.id/imglanding?q=syirkah&imgurl=http://i42.tinypic.com/
33c1xcn_th. gif&imgrefurl=http://www.seruan-global.com/iqtishadiyah/hukum-hukum-
syirkah.html&usg= bf3omWCLbNGAnmTpWco9gj6Ngz0=&h=136&w=160&sz=19&hl=i
d&um=1&itbs=1&tbnid=j4MZpRT3VRDWwM:&tbnh=83&tbnw=98&prev=/images%3Fq
%3Dsyirkah%26um%3D1%26hl%3Did%26client%3Dfirefox- a%26sa%3DN
%26rls%3Dorg.mozilla:en- US:official%26channel%3Ds%26tbs
%3Disch:1&um=1&client=firefox- a&sa=N&rls=org.mozilla:en-
US:official&channel=s&tbs=isch:1&start=3#tbnid=j4MZpRT3VRDWwM&start=7
 http://jacksite.wordpress.com/2007/06/19/hukum-syirkah/
 direktorat pembinaan pendidikan agama islam pada sekolah umum departemen agama.
1994.
 Pendidikan agama islam untuk SMU atau SMK kelas 3. bandung. Lubuk agung bandung
 Pengamalan Fiqih. Qosim M. Rizal. 2009. Solo. Tiga Serangkai.
Semoga bermanfaat !!

Anda mungkin juga menyukai