Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

HUKUM SYIRKAH
Dosen Pengampu :
NURUL RAHMAWATI, M.hi

Disusun oleh :
Ratnawati Ayu Ningrum_12207072
Martalia_12207061

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM


PRODI PERBANKAN SYARIAH
INSTITUT AGAMA NEGERI ISLAM PONTIANAK

2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Tiada yang pantas terucap selain puji syukur ke hadirat Allah SWT. Karena
limpahan rahmat dan hidayah-Nya penyusun dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“SYIRKAH”dengan lancar dan tanpa kendala yang berarti. Shalawat berangkai salam
senantiasa kami haturkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, sebagai seorang
Revolusioner Islam yang telah membuka jalan ilmu pengetahuan sehingga kita dijadikan
orang yang beradab,berbudaya,dan berpengetahuan.Selesainya makalah ini tentunya tidak
terlepas dari dukungan dar berbagai pihak, baik secara moril maupun materil. Oleh
karena itu, penyusu mengucapkan terimakasih yang sebesar besarnya kepada:
1.Orang tua yang telah memberikan berbagai dukungan.

Adapun tujuan penyusunan makalah ini selain untuk memenuhi tugas mata
pelajaran Fiqih, juga diharapkan dapat bermanfaat bagi ummat islam khususny penyusun
dan pembaca dalam praktek Sirkah yang diterapkan dalam kehidupan sehari hari.
Tentunya makalah ini tidakterlepa dari ketidak sempurnaan dan kekurangan. Untukitu,
kritik dan saran yang bersifa membangun selalu kami harapkan, sehingga kedepannya
kami dapat memperbaiki diri demi peningkatan kualitas makalah selanjutnya.

Wassalamu’alaikumWr.Wb

Pontianak 24 Februari 2023


DAFTAR ISI

Kata pengantar ……………………………………………………….... 1


Daftar isi ………………………………………………………………. .2

BAB I
Pendahuluan ……………………………………………………………. 3
A. Latar belakang masalah ……………………………………….…….. 3
B. Tujuan penyusunan …………………………………………..……… 4

BAB II
Pembahasan …………………………………………………………….. 5
A. Pengertian Syirkah …………………………………………...……… 5
B. Dasar Hukum Syirkah ………………………………………………... 6
C. Macam-macam Syirkah ………………………………...........……..... 7
D. Syarat dan Hukum Syirkah …………………..…………………….... 12
E. Mengakhiri syirkah ……………………………..…………………… 13
F. Hikmah Syirkah ………………………………………...……………. 14
G. Pratktek ………………………………………………………………. 14

BAB III
Penutup ……………………………………….…………………………. 15
A. Kesimpulan …….. …………………………………………………… 15
B. Daftar pustaka ………………………………………………………… 15
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Dalam upaya memenuhi kebutuhan kehidupan sehari-hari, manusia tidak akan
terlepas dari hubungan terhadap sesama manusia. Tanpa hubungan dengan orang lain,
tidak mungkin berbagai kebutuhan hidup dapat terpenuhi.
Terkait dengan hal ini maka perlu diciptakan suasana yang baik terhadap sesama
manusia. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengadakan akad syirkah danagn pihak
lain. Di sini dipaparkan berbagai macam definisi dan teori-teori tentang Syirkah.
Kata syirkah dalam bahasa Arab berasal dari kata syarika (fi’il madhi), yasyraku (fi’il
mudhari’), syarikan/syirkatan/syarikatan (mashdar/kata dasar); artinya menjadi sekutu
atau serikat (Kamus Al-Munawwir, hlm. 765). 1Kata dasarnya boleh dibaca syirkah,
boleh juga dibaca syarikah. Akan tetapi, menurut Al-Jaziri dalam Al-Fiqh ‘alâ al-
Madzâhib al-Arba’ah, 3/58, dibaca syirkah lebih fasih (afshah).
Menurut arti asli bahasa Arab (makna etimologis), syirkah berarti mencampurkan
dua bagian atau lebih sedemikian rupa sehingga tidak dapat lagi dibedakan satu bagian
dengan bagian lainnya (An-Nabhani, 1990: 146). Adapun menurut makna syariat, syirkah
adalah suatu akad antara dua pihak atau lebih, yang bersepakat untuk melakukan suatu
usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan (An-Nabhani, 1990: 146).2
Menurut istilah para fuqaha’, syirkah adalah kerja sama untuk mendayagunakan
(tassaruf) harta yang dimiliki dua orang secara bersama-sama oleh keduanya , yakni
saling mengizinkan kepada salah satunya untuk mendaya gunakan harta milik keduanya,
namun masing-masing memiliki hak untuk bertassaruf. (M. Rizal Qosim, 2009: 112)3
Syirkah hukumnya ja’iz (mubah), berdasarkan dalil Hadis Nabi Shalallahu alaihi
wasalam berupa taqrîr (pengakuan) beliau terhadap syirkah. Pada saat beliau diutus
sebagai nabi, orang-orang pada saat itu telah bermuamalah dengan cara ber-syirkah dan
Nabi Shalallahu alaihi wasalam membenarkannya. Nabi Shalallahu alaihi wasalam
bersabda, sebagaimana dituturkan Abu Hurairah ra : Allah ‘Azza wa Jalla telah

1
Kamus Al-Munawwir, hlm. 765
2
An-Nabhani, 1990: 146).?
3
. (M. Rizal Qosim, 2009: 112)?
berfirman: Aku adalah pihak ketiga dari dua pihak yang ber-syirkah selama salah satunya
tidak mengkhianati yang lainnya. Kalau salah satunya berkhianat, Aku keluar dari
keduanya. [HR. Abu Dawud, al-Baihaqi, dan ad-Daruquthni].
Berdasarkan uraian diatas dan melihat pentingnya pembelajaran tentang Syirkah,
maka penyusun menyusun sebuah makalah yang berjudul “Syirkah”.
B. Tujuan penyusunan
Adapun tujuan penyusunan makalah ini adalah :
1. Ingin mengetahui Definisi, Dasar Hukum, Macam-macam Syirkah.
2. Ingin mengetahui Syarat –syarat dan Hikmah Syirkah
3. Untuk memenuhi tugas mata kuliyah Fiqih.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Syirkah
Kata syirkah dalam bahasa Arab berasal dari kata syarika (fi’il mâdhi), yasyraku
(fi’il mudhâri‘), syarikan/syirkatan/syarikatan (mashdar/kata dasar); artinya menjadi
sekutu atau serikat (Kamus Al-Munawwir, hlm. 765). 4Kata dasarnya boleh dibaca
syirkah, boleh juga dibaca syarikah. Akan tetapi, menurut Al-Jaziri dalam Al-Fiqh ‘alâ
al-Madzâhib al-Arba‘ah, 3/58, dibaca syirkah lebih fasih (afshah). Secara Etimologi
Syirkah dapat diartikan percampuran. Yakni, mencampurkan dua bagian atau lebih
sedemikian rupa sehingga tidak dapat lagi dibedakan satu bagian dengan bagian lainnya
(An-Nabhani, 1990: 146).
Sedangkan menurut istilah (terminologi) para Fuqaha’, Syirkah adalah kerja sama
untuk mendaya gunakan (tassaruf) harta yang dimiliki dua orang secara bersama-sama
oleh keduanya, yakni keduanya saling mengizinkan kepada salah satunya untuk
mendayagunakan harta milik keduanya, namun masing-masing memilik hak untuk
bertasarruf . Adapun menurut makna syariat, syirkah adalah suatu akad antara dua pihak
atau lebih, yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh
keuntungan (An-Nabhani, 1990: 146).
Ada beberapa definisi Syirkah yang di kemukakan oleh para ulama’ fiqh .
Menurut Mazhab Maliki, “ suatu izin untuk bertindak secara hukum bagi dua orang yang
berkerja sama terhadap harta mereka”. Menurut Mazhab Syafi’I dan Hambali “Hak
bertindak hukum bagi dua orang atau lebih pada sesuatu yang mereka sepakati”. Menuru
Mazhab Hanafi, akad yang dilakukan oleh orang-orang yang bekerja sama dalam
modaldankeuntunngan.

B. Dasar Hukum
Syirkah hukumnya jâ’iz (mubah), berdasarkan dalil Hadis Nabi saw. berupa taqrîr
(pengakuan) beliau terhadap syirkah. Pada saat beliau diutus sebagai nabi, orang-orang
pada saat itu telah bermuamalah dengan cara ber-syirkah dan Nabi saw.

4
Kamus Al-Munawwir, hlm. 765).
membenarkannya. Nabi saw. bersabda, sebagaimana dituturkan Abu Hurairah ra.:
Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman: Aku adalah pihak ketiga dari dua pihak yang ber-
syirkah selama salah satunya tidak mengkhianati yang lainnya. Kalau salah satunya
berkhianat, Aku keluar dari keduanya. (HR Abu Dawud, al-Baihaqi, dan ad-Daruquthni).
5
Ulama’ Fiqih menyatakan bahwa dibolehkannya akad Syirkah

C. Macam –macam Syirkah


Kerja sama terbagi atas dua macam, yaitu Syirkah milk dan Syirkah uqud :
a. Syirkah Milk
Syirkah Milk adalah kerja sama dua orang atau lebih yang memiliki barang
tanpa adanya akad syirkah . kerja sama ini meliputi dua macam, yaitu syirkah milk
ikhtiyardansyirkahmilkal-jabr.
1 .Syirkah milk ikhtiyar adalah kerja sama yang muncul karena adanya kontrak
antara dua orang yang bersekutu .
2) Syirkah milk al-jabr adalah kerja sama yang di tetapkan kepada dua oranng
atau lebih yang bukan didsarkan atas perbuatan kedunya (secara paksa).

b. Syirkah ‘Uqud
Syirkah Uqud merupakan bentuk transaksi yang terjadi antara dua orang atau
lebih
bersekutu dalam harta dan keuntungannya. Syirkah Uqud mempunyai lima bentuk,
yaitu :
(1) syirkah inan;
(2) syirkah abdan;
(3) Syirkah Mudharabah
(4) syirkah wujûh; dan
(5) syirkah mufâwadhah

c. Syirkah Inan

5
HR Abu Dawud, al-Baihaqi, dan ad-Daruquthni).
Syirkah inân adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing
memberi konstribusi kerja (‘amal) dan modal (mâl). Syirkah ini hukumnya boleh
berdasarkan dalil as-Sunnah dan Ijma Sahabat (An-Nabhani, 1990: 148).
Contoh syirkah inan: A dan B insinyur teknik sipil. A dan B sepakat menjalankan
bisnis properti dengan membangun dan menjualbelikan rumah. Masing-masing
memberikan konstribusi modal sebesar Rp 500 juta dan keduanya sama-sama bekerja
dalam syirkah tersebut.
Dalam syirkah ini, disyaratkan modalnya harus berupa uang (nuqûd); sedangkan
barang (urudh), misalnya rumah atau mobil, tidak boleh dijadikan modal syirkah, kecuali
jika barang itu dihitung nilainya (qîmah al-‘urudh) pada saat akad.
Keuntungan didasarkan pada kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung oleh
masing-masing mitra usaha (syarîk) berdasarkan porsi modal. Jika, misalnya, masing-
masing modalnya 50%, maka masing-masing menanggung kerugian sebesar 50%.
Diriwayatkan oleh Abdur Razaq dalam kitab Al-Jâmi’, bahwa Ali bin Abi Thalib ra.
pernah berkata, “Kerugian didasarkan atas besarnya modal, sedangkan keuntungan
didasarkan atas kesepakatan mereka (pihak-pihak yang bersyirkah).” (An-Nabhani, 1990:
151).
d. Syirkah ‘Abdan
Syirkah ‘abdan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing
hanya memberikan konstribusi kerja (‘amal), tanpa konstribusi modal (mâl). Konstribusi
kerja itu dapat berupa kerja pikiran (seperti pekerjaan arsitek atau penulis) ataupun kerja
fisik (seperti pekerjaan tukang kayu, tukang batu, sopir, pemburu, nelayan, dan
sebagainya) (An-Nabhani, 1990: 150). Syirkah ini disebut juga syirkah ‘amal (Al-Jaziri,
1996: 67; Al-Khayyath, 1982: 35). 67
Contohnya: A dan B. keduanya adalah nelayan, bersepakat melaut bersama untuk
mencari ikan. Mereka sepakat pula, jika memperoleh ikan dan dijual, hasilnya akan
dibagi dengan ketentuan: A mendapatkan sebesar 60% dan B sebesar 40%.
Dalam syirkah ini tidak disyaratkan kesamaan profesi atau keahlian, tetapi boleh berbeda
profesi. Jadi, boleh saja syirkah ‘abdan terdiri dari beberapa tukang kayu dan tukang batu.
6
).” (An-Nabhani, 1990: 151).
7
amal (Al-Jaziri, 1996: 67; Al-Khayyath, 1982: 35). ??
Namun, disyaratkan bahwa pekerjaan yang dilakukan merupakan pekerjaan halal. (An-
Nabhani, 1990: 150); tidak boleh berupa pekerjaan haram, misalnya, beberapa pemburu
sepakat berburu babi hutan (celeng).
Keuntungan yang diperoleh dibagi berdasarkan kesepakatan; nisbahnya boleh
sama dan boleh juga tidak sama di antara mitra-mitra usaha (syarîk).
Syirkah ‘abdan hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah (An-Nabhani, 1990: 151).
Ibnu Mas’ud ra. pernah berkata, “Aku pernah berserikat dengan Ammar bin Yasir dan
Sa’ad bin Abi Waqash mengenai harta rampasan perang pada Perang Badar. Sa’ad
membawa dua orang tawanan, sementara aku dan Ammar tidak membawa apa pun.”
[HR. Abu Dawud dan al-Atsram].
Hal itu diketahui Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam dan beliau membenarkannya
dengan taqrîr beliau (An-Nabhani, 1990: 151).

e. Syirkah Mudharabah
Syirkah mudhârabah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih dengan ketentuan,
satu pihak memberikan konstribusi kerja (‘amal), sedangkan pihak lain memberikan
konstribusi modal (mâl) (An-Nabhani, 1990: 152). Istilah mudhârabah dipakai oleh
ulama Irak, sedangkan ulama Hijaz menyebutnya qirâdh (Al-Jaziri, 1996: 42; Az-Zuhaili,
1984: 836). 8
Contoh: A sebagai pemodal (shâhib al-mâl/rabb al-mâl) memberikan modalnya
sebesar Rp 10 juta kepada B yang bertindak sebagai pengelola modal (‘âmil/mudhârib)
dalam usaha perdagangan umum (misal, usaha toko kelontong).
Ada dua bentuk lain sebagai variasi syirkah mudhârabah. Pertama, dua pihak
(misalnya, A dan B) sama-sama memberikan konstribusi modal, sementara pihak ketiga
(katakanlah C) memberikan konstribusi kerja saja.
Kedua, pihak pertama (misalnya A) memberikan konstribusi modal dan kerja
sekaligus, sedangkan pihak kedua (misalnya B) hanya memberikan konstribusi modal,
tanpa konstribusi kerja. Kedua bentuk syirkah ini masih tergolong syirkah mudhârabah
(An-Nabhani, 1990: 152).

8
(Al-Jaziri, 1996: 42; Az-Zuhaili, 1984: 836). ?
Hukum syirkah mudhârabah adalah jâ’iz (boleh) berdasarkan dalil as-Sunnah
(taqrîr Nabi Shalallahu alaihi wasalam) dan Ijma Sahabat (An-Nabhani, 1990: 153).
Dalam syirkah ini, kewenangan melakukan tasharruf hanyalah menjadi hak pengelola
(mudhârib/‘âmil). Pemodal tidak berhak turut campur dalam tasharruf. Namun demikian,
pengelola terikat dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal.
Jika ada keuntungan, ia dibagi sesuai kesepakatan di antara pemodal dan
pengelola modal, sedangkan kerugian ditanggung hanya oleh pemodal. Sebab, dalam
mudhârabah berlaku hukum wakalah (perwakilan), sementara seorang wakil tidak
menanggung kerusakan harta atau kerugian dana yang diwakilkan kepadanya (An-
Nabhani, 1990: 152). Namun demikian, pengelola turut menanggung kerugian, jika
kerugian itu terjadi karena kesengajaannya atau karena melanggar syarat-syarat yang
ditetapkan oleh pemodal (Al-Khayyath, Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah,
2/66).
f. Syirkah Wujuh
Syirkah wujuh disebut juga syirkah ‘ala adz-dzimam (Al-Khayyath, Asy-Syarîkât fî asy-
Syarî‘ah al-Islâmiyyah, 2/49). Disebut syirkah wujûh karena didasarkan pada kedudukan,
ketokohan, atau keahlian (wujûh) seseorang di tengah masyarakat. Syirkah wujûh adalah
syirkah antara dua pihak (misal A dan B) yang sama-sama memberikan konstribusi kerja
(‘amal), dengan pihak ketiga (misalnya C) yang memberikan konstribusi modal (mâl).
Dalam hal ini, pihak A dan B adalah tokoh masyarakat. Syirkah semacam ini hakikatnya
termasuk dalam syirkah mudhârabah sehingga berlaku ketentuan-ketentuan syirkah
mudhârabah padanya (An-Nabhani, 1990: 154).
Bentuk kedua syirkah wujûh adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang ber-
syirkah dalam barang yang mereka beli secara kredit, atas dasar kepercayaan pedagang
kepada keduanya, tanpa konstribusi modal dari masing-masing pihak (An-Nabhani, 1990:
154).
Misal: A dan B adalah tokoh yang dipercaya pedagang. Lalu A dan B ber-syirkah
wujûh, dengan cara membeli barang dari seorang pedagang (misalnya C) secara kredit. A
dan B bersepakat, masing-masing memiliki 50% dari barang yang dibeli. Lalu keduanya
menjual barang tersebut dan keuntungannya dibagi dua, sedangkan harga pokoknya
dikembalikan kepada C (pedagang).
Dalam syirkah wujûh kedua ini, keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan,
bukan berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki; sedangkan kerugian
ditanggung oleh masing-masing mitra usaha berdasarkan prosentase barang dagangan
yang dimiliki, bukan berdasarkan kesepakatan. Syirkah wujûh kedua ini hakikatnya
termasuk dalam syirkah ‘abdan (An-Nabhani, 1990: 154).
Hukum kedua bentuk syirkah di atas adalah boleh, karena bentuk pertama
sebenarnya termasuk syirkah mudhârabah, sedangkan bentuk kedua termasuk syirkah
‘abdan. Syirkah mudhârabah dan syirkah ‘abdan sendiri telah jelas kebolehannya dalam
syariat Islam (An-Nabhani, 1990: 154).
Namun demikian, An-Nabhani mengingatkan bahwa ketokohan (wujûh) yang
dimaksud dalam syirkah wujûh adalah kepercayaan finansial (tsiqah mâliyah), bukan
semata-semata ketokohan di masyarakat. Maka dari itu, tidak sah syirkah yang dilakukan
seorang tokoh (katakanlah seorang menteri atau pedagang besar), yang dikenal tidak
jujur, atau suka menyalahi janji dalam urusan keuangan. Sebaliknya, sah syirkah wujûh
yang dilakukan oleh seorang biasa-biasa saja, tetapi oleh para pedagang dia dianggap
memiliki kepercayaan finansial (tsiqah mâliyah) yang tinggi, misalnya dikenal jujur dan
tepat janji dalam urusan keuangan (An-Nabhani, 1990: 155-156).

g. Syirkah Mufawadhah
Syirkah mufâwadhah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang
menggabungkan semua jenis syirkah di atas (syirkah inân, ‘abdan, mudhârabah, dan
wujûh) (An-Nabhani, 1990: 156; Al-Khayyath, 1982: 25). Syirkah mufâwadhah dalam
pengertian ini, menurut An-Nabhani adalah boleh. Sebab, setiap jenis syirkah yang sah
ketika berdiri sendiri, maka sah pula ketika digabungkan dengan jenis syirkah lainnya
(An-Nabhani, 1990: 156).
Keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan
kerugian ditanggung sesuai dengan jenis syirkah-nya; yaitu ditanggung oleh para
pemodal sesuai porsi modal (jika berupa syirkah inân), atau ditanggung pemodal saja
(jika berupa syirkah mudhârabah), atau ditanggung mitra-mitra usaha berdasarkan
persentase barang dagangan yang dimiliki (jika berupa syirkah wujuh).
Contoh: A adalah pemodal, berkonstribusi modal kepada B dan C, dua insinyur teknik
sipil, yang sebelumnya sepakat, bahwa masing-masing berkonstribusi kerja. Kemudian B
dan C juga sepakat untuk berkonstribusi modal, untuk membeli barang secara kredit atas
dasar kepercayaan pedagang kepada B dan C.
Dalam hal ini, pada awalnya yang ada adalah syirkah ‘abdan, yaitu ketika B dan C
sepakat masing-masing ber-syirkah dengan memberikan konstribusi kerja saja. Lalu,
ketika A memberikan modal kepada B dan C, berarti di antara mereka bertiga terwujud
syirkah mudhârabah. Di sini A sebagai pemodal, sedangkan B dan C sebagai pengelola.
Ketika B dan C sepakat bahwa masing-masing memberikan konstribusi modal, di
samping konstribusi kerja, berarti terwujud syirkah inân di antara B dan C. Ketika B dan
C membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya,
berarti terwujud syirkah wujûh antara B dan C. Dengan demikian, bentuk syirkah seperti
ini telah menggabungkan semua jenis syirkah yang ada, yang disebut syirkah
mufawadhah.

D.SyaratdanRukunSyirkah
Syarat – syarat yang berhubunagn dengan Syirkah menurut Hanafiyah dibagi
menjadi empat bagian sebagi berikut.
a. sesuatu yang bertalian dengan semua bentuk syirkah, baik dengan harta maupun
dengan yang lain. Dalam hal ini, terdapat dua syarat, yaitu :
1). yang berkenaan benda yang diakadkan adalah harus dapat diterima sebagai
perwalian;
2. yang berkenaan dengan keuntungan, yaitu pembagian keuntungan harus jelas dan
dapat diketahui dua pihak, misalnya setengah dan sepertiga.
b. sesuatu yang bertalian dengan syirkah mal (harta) terdapat duaperkarayang harus
dipenuhi, yaitu :
1). modal yang dijadikan objek akad syirkah adalah uang (alat pembayaran);
2). yang dijadikan modal (harta pokok) ada ketika akad syirkah dilakukan, baik
jumlahnya sama maupun berbeda.
c. sesuatu yang bertalian dengan syirkah mufawadah, disyaratkan :
1) modal (pokok harta) harus sama;
2) bagi yang ber-syirkah ahli untuk kafalah (jaminan)
3) bagi yang dijadikan objek akad di syariatkan syirkah umum, yakni pada semua
macam jual beliatau perdagangan.
d. syarat yang bertalian dengan syirkah ‘inan sama dengan syarat-syarat syirkah
mufawadah.

Rukun syirkah menurut jumhur ulama’yang pokok ada 3 (tiga) yaitu:


• Akad (ijab-kabul), disebut juga shighat;
• Dua pihak yang berakad (‘âqidâni), syaratnya harus memiliki kecakapan (ahliyah)
melakukan tasharruf (pengelolaan harta);
• Obyek akad (mahal), disebut juga ma’qûd ‘alayhi, yang mencakup pekerjaan (amal)
dan/atau modal (mâl) (Al-Jaziri, 1996: 69; Al-Khayyath, 1982: 76; 1989: 13).
Sedangkan menurut ulama’ Mazhab Hanafi rukun syirkah hanya ada dua, yaitu ijab
dan qabul. Sedangkan orang yang berakad dan objeknya bukan termasuk rukun, tetapi
syarat.

E. Mengakhiri Syirkah
1. Salah satu pihak membatalkannya meskipun tanpa persetujuan pihak yang lain.
2. Salah satu pihak kehilangan kecakapan untuk mengolah harta.
3. Salah satu pihak meninggal dunia.
4. Modal para anggota syirkah lenyap sebelum dibelanjakan atas nama syirkah.

F. Hikmah Syirkah
Hikmah yang diperoleh dari praktik syirkah adalah.
a. menggalang kerja sama untuk saling menguntungkan antara pihak-pihak yang ber-
syirkah;
b. membantu meluaskan ruang rezeki karena tidak merugikan secara ekonomi.

G. praktik Syirkah
A datang ke B dan menyera kan modal uang sebesar Rp.1000.000,00 untuk
dijadikan modal kerja kepada seseorang (untuk berdagang). Seandainya pengelola uang
tersebut memperoleh keuntungan dari usaha tadi maka keuntungan itu dibagi sesuai
dengan kesepakatan antara kedua belah pihak, misalnya 40% keuntungan untuk pemodal
dan 60% untuk pengelola atau dibagi secara sama, yang penting ada kesepakatan antara
kedua belah pihak dengan tidak saling merugikan, melainkan saling menguntungkan.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pengertian-pengertian diatas dapat di tarik kesimpulan, bahwa syirkah adalah
persekutuan dalam urusan harta oleh dua orang atau lebih yang melakukan akad untuk
urusan harta, yang modalnya bisa dibagi dua atau berdasarkan keputusan bersama.
Biasanya syirkah dilakukan di perusahaan, yang mana dari mereka ada yang mempunyai
saham dan ada yang menjalankan saham. Syirkah akan berlaku jika masing-masing pihak
berakad untuk melakukan syikrah itu. Syarat-syarat syirkah pun harus terpenuhi dengan
jelas, agar syirkah tersebut sah.

B. Daftar Pustaka
direktorat pembinaan pendidikan agama islam pada sekolah umum departemen
agama. 1994.
Pendidikan agama islam untuk SMU atau SMK kelas 3. bandung. Lubuk agung
bandung
Pengamalan Fiqih. Qosim M. Rizal. 2009. Solo. Tiga Serangkai.
 Muhamad Asro, Muhamad Kholid, Fiqh Perbankan, (Bnadung: CV. Pustaka Setia,
2011), 90.

Trimulato, “Analisis Potensi Produk Musyarakah Terhadap Pembiayaan Sektor Riil


UMKM”, Jurnal Ekonomi & Studi Pembangunan, 1 (April 2017), 47.

Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer, (Bogor: Ghalia Indonesia,


2012), 151.Ropi Marlina, Yola Yunisa Pratami, “Koperasi Syariah Sebagai Solusi
Penerapan Akad Syirkah Yang Sah”, Amwaluna, 2 (Juli 2017),

Anda mungkin juga menyukai