LEMBAR PENGESAHAN
Disusun Oleh :
G1A220030
PEMBIMBING
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
atas segala limpahan kasih dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan
telaah jurnal Case Report Session ini dengan judul “Wound Dehiscence Post Op
Miom ec Infeksi Sekunder”. Laporan ini merupakan bagian dari tugas Kepaniteraan
Klinik Senior di Bagian Obstetri dan Ginekologi RSUD Raden Mattaher Jambi.
Terwujudnya laporan ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan dan dorongan
dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih
kepada dr. Fitri Yulianti, Sp.OG selaku pembimbing yang telah memberikan arahan
sehingga laporan ini dapat terselesaikan dengan baik dan kepada semua pihak yang
telah membantu dalam penyelesaian laporan ini.
Penulis menyadari laporan ini masih banyak kekurangannya, untuk itu saran
dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan oleh penulis. Sebagai
penutup semoga kiranya laporan ini dapat bermanfaat bagi kita khususnya dan bagi
dunia kesehatan pada umumnya.
iii
DAFTAR ISI
iv
DAFTAR GAMBAR
v
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
LAPORAN KASUS
Identitas Suami
Nama : Tn. P
Umur : 28 Tahun
Suku/Bangsa : Melayu/Indonesia
Agama : Islam
Pendidikan : S1
Pekerjaan : PNS
Alamat : Jl. Pajajaran No.37 RT.17 Kota Jambi
2.2 Anamnesis
Keluhan Utama :
Pasien datang dengan keluhan luka bekas operasi mengeluarkan nanah sejak
± 2 minggu SMRS.
2
3
operasi, luka pada bekas operasi pasien mengeluarkan nanah dan bolong, dan pasien
segera keklinik dokter dan dianjurkan dokter untuk melakukan perawatan mandiri
dirumah selama seminggu, selang seminggu setelah melakukan perawatan mandiri
dirumah pasien mengeluhkan perut terasa kencang, nyeri, demam, mual dan muntah
sehingga pasien sulit untuk makan, sehingga pasien dibawa ke RS Bhayangkara dan
dirujuk dokter ke RSUD Raden Mattaher pada 2 hari SMRS untuk dilakukan
rehecting pada bekas operasi pasien. Pasien mengatakan jarang mengkonsumsi
makanan yang tinggi protein seperti putih telur dan daging. Pasien juga mengatakan
pasien sempat hamil 8 minggu dan mengalami keguguran dan dilakukan kuret 4
bulan SMRS, dan pasien juga mengatakan tidak pernah menstruasi setelah kuret,
lemas (+), sakit kepala (-), BAB dan BAK normal.
b. Riwayat Perkawinan
- Status pernikahan : Kawin
- Jumlah :1
- Lama pernikahan : 8 bulan
- Usia saat menikah : 28 tahun
1 - - - - - - - -
d. Riwayat KB
- Pernah mendengar tentang KB : Pernah
- Pernah menjadi akseptor KB : Belum pernah
- Alat kontrasepsi yang pernah dipakai : Tidak ada
5
a. Status Generalis
Kulit
• Warna : Sawo matang
• Efloresensi :-
• Jaringan Parut :-
• Turgor : Kembali cepat
• Lainnya : Petekie (-), Purpura (-)
6
Kepala
• Bentuk Kepala : Normocephal
• Rambut : Hitam, Tidak mudah dicabut
• Ekspresi : Tampak lemas
• Simetris Muka : Simetris
Mata
• Konjungtiva : Anemis (+/+)
• Sklera : Sklera ikterik (-/-)
• Pupil : Isokor
• Lensa : Normal
• Gerakan : Normal
• Lapangan Pandang : Normal
Hidung
• Bentuk : Simetris
• Sekret : (-)
• Septum : Deviasi (-)
• Selaput Lendir : (-)
• Sumbatan : (-)
• Pendarahan : (-)
Mulut
• Bibir : Pucat (-), Kering (-), Sianosis (-)
• Lidah : Atrofi papila lidah (-)
• Gusi : Anemis (-), Perdarahan (-)
Telinga
• Bentuk : Simetris
• Sekret : (-)
• Pendengaran : Normal
7
Leher
• JVP : Tidak ada
• Kelenjar Tiroid : Tidak ada pembesaran
• Kelenjar Limfonodi : Tidak ada pembesaran
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V linea midclavicula sinistra ± 2 cm
Perkusi : Batas Atas : ICS II Linea parasternal sinistra
Batas Kiri : ICS IV-V Linea midclavicula sinistra
Batas Kanan : ICS II Linea parasternal dextra
Batas Bawah : ICS III-IV Linea parasternal dextra
Auskultasi : BJ I/II Reguler, Murmur (-), Gallop (-)
Pulmo
Inspeksi : Simetris kiri dan kanan, Spider nevi (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), Fremitus taktil kanan = kiri
Perkusi : Sonor kanan dan kiri
Auskultasi : Vesikuler kanan dan kiri, Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
Abdomen
Inspeksi : Datar, Simetris, Bekas operasi (+)
Palpasi : Nyeri tekan (+) pada bekas operasi
Perkusi : Tidak dilakukan
Auskultasi : Bising usus (+)
Ekstremitas
Superior : Akral hangat, CRT < 2 detik, Edema (-), Pitting edema (-), Eritem
(-), Turgor kembali cepat, Petekie (-), Purpura (-)
Inferior : Akral hangat, CRT < 2 detik, Pitting edema (-), Edema (-), Eritem
(-), Turgor kembali cepat, Petekie (-), Purpura (-)
b. Pemeriksaan Genitalia
- Pemeriksaan Inspekulo : Tidak Dilakukan
8
PEMERIKSAAN LOKALIS
Inspeksi
Abdomen : Simetris, Soepel (+), Striae gravidarum (-), Linea nigra (-), Sikatrik
(-), Massa (-), Bekas luka operasi (+) ± 20 cm, Nanah pada bekas
operasi (+), Darah (-)
Palpasi
Abdomen : Nyeri tekan (+) pada bekas operasi, Tidak ada pembesaran hepar
dan tidak ada pembesaran ginjal, pemeriksaan pembesaran lien
tidak dilakukan
Perkusi
Abdomen : Tidak dilakukan
Auskultasi
Abdomen : Bising usus (+)
Elektrolit (14/06/2022)
2.7 Diagnosis
Diagnosa Pre Op : Wound Dehiscence Post Op Miom ec Infeksi Sekunder +
Anemia + Low Intake Nutrisi
Diagnosa Post Op : Post Explorasi Toilet Dehiscence + Rehecting a/i Wound
Dehiscence ec Infeksi Sekunder
2.8 Penatalaksanaan
Medikamentosa
- IVFD D5% 15 tpm + NaCl 0,9% 15 tpm
- Inj. Ceftriaxone 3x1 g
- Inj. Metronidazole 3x500 mg
- Inj. Ranitidine 3x1 g
- Inj. Gentamicin 3x80 mg
- Inj. Ketorolac 3x30 mg
- PO Vit Albumin 3x1
11
Non Medikamentosa
- Observasi KU
- Observasi TTV
LAPORAN OPERASI
Nama Pasien : Ny. L
Umur : 28 tahun
Operator : dr. Rudy, Sp.OG
Diagnosa Pre Op : Wound Dehiscence Post Op Miom ec Infeksi Sekunder +
Anemia + Low Intake Nutrisi
Diagnosa Post Op : Post Explorasi Toilet Dehiscence + Rehecting a/i Wound
Dehiscence ec Infeksi Sekunder
Nama Operasi : Explorasi Toilet Dehiscence + Rehecting
Tanggal Operasi : 15/06/2022
Jam Operasi : 12.30 – 13.20 WIB
Tindakan :
1) Tampak luka terbuka pada insisi lama operasi perabdominal
2) Dilakukan Excici lagi melintas pada luka
3) Dilakukan pencucian dengan gentamicin, tampak luka terbuka sampai dengan
fascia
4) Luka dibilas dengan RL + Gentamicin kekulit
5) Dilakukan jahitan jelujur dengan ukuran benang 2.0 pada jaringan
6) Dilakukan jahitan satu-satu dengan silk 2.0 panjang melintasi sampai kekulit
7) Luka pasca operasi ditutup dengan kassa steril
8) Operasi selesai
12
Terapi Post Op :
- IVFD D5% RL 3 : 1 30 tpm
- Inj. Ceftriaxone 3x1 g
- Inj. Metronidazole 3x500 mg
- Inj. Ranitidine 3x1 g
- Inj. Gentamicin 3x80 mg
- Inj. Ketorolac 3x30 mg
- Diet malam hari TKTP
- Mobilisasi dini pasca operasi bertahap
2.9 Prognosis
Quo ad Vitam : Dubia ad Bonam
Quo ad Functionam : Dubia ad Bonam
Quo ad Sanactionam : Dubia ad Bonam
2.10 Follow Up
Tanggal S O A P
BANGSAL
15/06/2022 - Nyeri pada Keadaan Wound - IVFD D5% 15
luka bekas umum : Dehiscence tpm + NaCl 0,9%
operasi Tampak sakit Post Op 15 tpm
- Demam (-) sedang Miom ec - Inj. Ceftriaxone
Kesadaran : Infeksi 3x1 g
Compos Sekunder + - Inj.
mentis, GCS Anemia + Metronidazole
: 15 Low Intake 3x500 mg
(E4V5M6) Nutrisi - Inj. Ranitidine
TD : 108/69 3x1 g
mmHg - Inj. Gentamicin
N : 80 x/i 3x80 mg
RR : 20 x/i - Inj. Ketorolac
T : 36˚C 3x30 mg
13
HB : 11,4
g/dL Post
Transfusi 2
Kolf
17/06/2022 - Nyeri pada Keadaan Post - IVFD D5% 15
luka bekas umum : Explorasi tpm + NaCl 0,9%
operasi Tampak sakit Toilet 15 tpm
- Demam (-) sedang Dehiscence + - Inj. Ceftriaxone
Kesadaran : Rehecting 3x1 g
Compos HR II a/i - Inj.
mentis, GCS Wound Metronidazole
: 15 Dehiscence 3x500 mg
(E4V5M6) ec Infeksi - Inj. Ranitidine
TD : 120/80 Sekunder 3x1 g
mmHg - Inj. Gentamicin
N : 80 x/i 3x80 mg
RR : 22 x/i - Inj. Ketorolac
T : 36˚C 3x30 mg
SpO2 : 99%
BB : 48 kg
TB : 155 cm
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Dehisensi luka adalah keadaan dimana terbukanya kembali sebagian atau
seluruhnya luka operasi. Keadaan ini sebagai akibat kegagalan proses
penyembuhan luka operasi.1
Dehiscence merupakan komplikasi bedah dimana tepi luka tidak lagi
bertemu. Hal ini juga dikenal sebagai "Pemisahan luka". Penyembuhan luka harus
baik didekati, yang berarti bahwa tepi memenuhi rapi dan dipegang bersama oleh
jahitan, staples atau metode lain penutupan. Sebagai menyembuhkan sayatan, luka
mengisi dengan jaringan baru, yang disebut "Granulasi" atau "Jaringan granulasi".
Jaringan baru ini tidak sekuat kulit normal, seperti baru dan tidak memiliki waktu
untuk memperkuat.
Wound dehiscence adalah salah satu komplikasi luka operasi yang
terinfeksi. Komplikasi lain penyembuhan luka dipindah yang lambat, morbiditas
dan mortalitas yang meningkat, serta lama rawat yang berkepanjangan.4
3.2 Epidemiologi
Pada tahun 2012 di Indonesia, tindakan operasi mencapai 1,2 juta jiwa dan
diperkirakan 32% diantaranya merupakan tindakan bedah laparatomi.5 Laparatomi
merupakan jenis operasi bedah mayor yang dilakukan didaerah abdomen.6
Dari kasus tersebut pada pasien dengan pasca operasi laparatomi, pemilihan
balutan luka dapat bervariasi. Meskipun memiliki tahap-tahap yang dapat
diidentifikasi, pada kenyataannya penyembuhan luka merupakan proses yang
kompleks dan terus menerus, proses penyembuhan luka juga tidak selalu berjalan
dengan lancar.7
Wound dehiscence merupakan salah satu komplikasi luka post operasi yang
paling serius. Beberapa penelitian memperlihatkan tingkat mortalitas dan
morbiditas yang tinggi yaitu 3-35%,8 dengan insiden wound dehiscence didunia
sekitar 0,4%-3,5% setelah pembedahan mayor abdomen dan dihubungkan dengan
15
16
3.3 Etiologi
1) Faktor mekanik yaitu adanya tekanan dapat menyebabkan jahitan jaringan
semakin meregang dan mempengaruhi penyembuhan luka operasi. Faktor
mekanik tersebut antara lain batuk-batuk yang berlebihan, ileus obstruktif dan
hematom serta teknik operasi yang kurang.
2) Faktor metabolik yaitu hipoalbuminemia, diabetes mellitus, anemia, gangguan
keseimbangan elektrolit serta defisiensi vitamin dapat mempengaruhi proses
penyembuhan luka.
3) Faktor infeksi yaitu secara klinis biasanya terjadi pada hari ke 6-9 pasca operasi
dengan gejala suhu badan yang meningkat disertai tanda peradangan disekitar
luka.1
Luka dehiscence dapat disebabkan oleh teknik bedah yang buruk seperti
penjahitan yang tidak benar, jahitan lebih diperketat atau jenis yang tidak pantas
dari jahitan. Luka dehiscence juga dapat disebabkan oleh meningkatnya stres
kedaerah luka sebagai akibat dari latihan berat, angkat berat, batuk, tertawa, bersin,
muntah atau bantalan turun terlalu keras dengan gerakan usus. Dalam beberapa
kasus, dehiscence luka bisa menjadi sekunder untuk luka infeksi atau penyembuhan
yang buruk seperti yang terlihat pada pasien dengan penyakit kronis, kurang gizi
17
atau sistem kekebalan tubuh yang lemah. Luka dehiscence sekunder dapat terjadi
pada pasien dengan AIDS, penyakit ginjal, diabetes mellitus dan mereka yang
menjalani kemoterapi atau radioterapi.13
3.4 Klasifikasi
1) Dehisensi luka operasi dini yaitu terjadi kurang dari 3 hari pasca operasi yang
biasanya disebabkan oleh teknik atau cara penutupan dinding perut yang tidak
baik.
2) Dehisensi luka operasi lambat yaitu terjadi kurang lebih antara 7 hari sampai 12
hari pasca operasi. Pada keadaan ini biasanya dihubungkan dengan usia, adanya
infeksi, status gizi dan faktor lainnya.2
3.6 Patofisiologi
Kata lain dari dehiscence adalah kegagalan mekanik penyembuhan luka
insisi. Insisi pada operasi menstimulasi proses penyembuhan yang melalui empat
fase berbeda dan berkesinambungan yaitu hemostasis, inflamasi, proliferasi, dan
maturasi. Selama hemostasis, trombosit beragregasi, zat pembeku darah mengalami
aktivasi dan degranulasi. Bekuan darah didegradasi, pembuluh kapiler melebar,
cairan memasuki sisi luka, dan aktivasi kaskade komplemen. Makrofag, sel yang
lisis dan neutrofil merupakan sediaan sitokin dan faktor pertumbuhan yang
essensial untuk penyembuhan luka. Pada fase proliferasi terjadi pembentukan
jaringan granulasi yang dimulai pada hari ketiga pasca operasi dan berakhir
beberapa minggu. Terpenting pada fase tersebut fibroblast bergerak kearah luka dan
merespon sintesis kolagen. Fase maturasi dimulai pada hari ketujuh pasca operasi
18
sampai pada lapisan epidermis, dermis dan fascia tetapi tidak mengenai
otot. Luka timbul secara klinis sebagai suatu lubang yang dalam dengan
atau tanpa merusak jaringan sekitarnya.
d) Stadium IV : Luka “Full Thickness” yang telah mencapai lapisan otot,
tendon dan tulang dengan adanya destruksi/kerusakan yang luas.2,3
1) Fase Inflamasi
Fase inflamasi berlangsung sejak terjadinya luka sampai kira-kira
hari kelima, pembuluh darah yang terputus pada luka akan menyebabkan
perdarahan dan tubuh akan berusaha menghentikannya dengan vasokonstriksi,
pengerutan ujung pembuluh yang putus (Retraksi), dan reaksi hemostasis.
21
Hemostasis terjadi karena trombosit yang keluar dari pembuluh darah saling
melengket, dan bersama dengan jala fibrin yang terbentuk membekukan darah
yang keluar dari pembuluh darah. Sementara itu terjadi reaksi inflamasi.
Sel mast dalam jaringan ikat menghasilkan serotonin dan histamine
yang meningkatkan permeabilitas kapiler sehingga terjadi eksudasi cairan,
penyebukan sel radang, disertai vasodilatasi setempat yang menyebabkan udem
dan pembengkakan. Tanda dan gejala klinik reaksi radang menjadi jelas berupa
warna kemerahan karena kapiler melebar (Rubor), suhu hangat (Kalor), rasa
nyeri (Dolor), dan pembengkakan (Tumor).
Aktifitas seluler yang terjadi adalah pergerakan leukosit menembus
dinding pembuluh darah (Diapedesis) menuju luka karena daya kemotaksis.
Leukosit mengeluarkan enzim hidrolitik yang membantu mencerna bakteri
dan kotoran luka. Limfosit dan monosit yang kemudian muncul ikut
menghancurkan dan memakan kotoran luka dan bakteri (Fagositosis). Fase ini
disebut juga fase lamban karena reaksi pembentukan kolagen baru sedikit dan
luka hanya dipertautkan oleh fibrin yang amat lemah.
2) Fase Proliferasi
Fase proliferasi disebut juga fase fibroplasia karena yang menonjol
adalah proses proliferasi fibroblast. Fase ini berlangsung dari akhir fase
inflamasi sampai kira-kira akhir minggu ketiga. Fibroblast berasal dari sel
mesenkim yang belum berdiferensiasi, menghasilkan mukopolisakarida, asam
22
aminoglisin, dan prolin yang merupakan bahan dasar kolagen serat yang akan
mempertautkan tepi luka.
Pada fase ini serat dibentuk dan dihancurkan kembali untuk
penyesuaian diri dengan tegangan pada luka yang cenderung mengerut. Sifat
ini, bersama dengan sifat kontraktil miofibroblast, menyebabkan tarikan pada
tepi luka. Pada akhir fase ini kekuatan regangan luka mencapai 25% jaringan
normal. Nantinya, dalam proses penyudahan kekuatan serat kolagen bertambah
karena ikatan intramolekul dan antar molekul.
Pada fase fibroplasia ini, luka dipenuhi sel radang, fibroblast, dan
kolagen, membentuk jaringan berwarna kemerahan dengan permukaan yang
berbenjol halus yang disebut jaringan granulasi. Epitel tepi luka yang terdiri dari
sel basal terlepas dari dasarnya dan berpindah mengisi permukaan luka.
Tempatnya kemudian diisi oleh sel baru yang terbentuk dari proses mitosis.
Proses migrasi hanya bisa terjadi kearah yang lebih rendah atau datar, sebab
epitel tidak dapat bermigrasi kearah yang lebih tinggi. Proses ini baru berhenti
setelah epitel saling menyentuh dan menutup seluruh permukaan luka. Dengan
tertutupnya permukaan luka, proses fibroplasia dengan pembentukan jaringan
granulasi juga akan berhenti dan mulailah proses pematangan dalam fase
penyudahan.
Penyembuhan luka kulit tanpa pertolongan dari luar, seperti yang telah
diterangkan tadi, berjalan secara alami. Luka akan terisi jaringan granulasi dan
kemudian ditutup jaringan epitel. Penyembuhan ini disebut penyembuhan sekunder
atau sanatio persecundam intentionem (Latin : sanatio = penyembuhan, per =
melalui, secundus = kedua, intendere = cara menuju kepada). Cara ini biasanya
24
makan waktu cukup lama dan meninggalkan parut yang kurang baik, terutama kalau
lukanya menganga lebar.
Jenis penyembuhan yang lain adalah penyembuhan primer atau sanatio
perprimam intentionem, yang terjadi bila luka segera diusahakan bertaut, biasanya
dengan bantuan jahitan. Parutan yang terjadi biasanya lebih halus dan kecil.
Namun, penjahitan luka tidak dapat langsung dilakukan pada luka yang
terkontaminasi berat dan/atau tidak berbatas tegas. Luka yang compang-camping
atau luka tembak, misalnya, sering meninggalkan jaringan yang tidak dapat hidup
yang pada pemeriksaan pertama sukar dikenal. Keadaan ini diperkirakan akan
menyebabkan infeksi bila luka langsung dijahit. Luka yang demikian akan
dibersihkan dan dieksisi (Debridement) dahulu dan kemudian dibiarkan selama 4-
7 hari. Baru selanjutnya dijahit dan dibiarkan sembuh secara primer. Cara ini
umumnya disebut penyembuhan primer tertunda. Jika, setelah dilakukan
debridement, luka langsung dijahit, dapat diharapkan penyembuhan primer.14
2) Nutrisi
Penyembuhan menempatkan penambahan pemakaian pada tubuh. Pasien
memerlukan diet kaya protein, karbohidrat, lemak, vitamin C dan A, dan
mineral seperti Fe, Zn. Pasien kurang nutrisi memerlukan waktu untuk
memperbaiki status nutrisi mereka setelah pembedahan jika mungkin. Pasien
yang gemuk meningkatkan risiko infeksi luka dan penyembuhan lama karena
supply darah jaringan adipose tidak adekuat.
3) Infeksi
Infeksi luka menghambat penyembuhan. Bakteri sumber penyebab infeksi.
25
5) Hematoma
Hematoma merupakan bekuan darah. Seringkali darah pada luka secara
bertahap diabsorbsi oleh tubuh masuk kedalam sirkulasi. Tetapi jika terdapat
bekuan yang besar, hal tersebut memerlukan waktu untuk dapat diabsorbsi
tubuh, sehingga menghambat proses penyembuhan luka.
6) Benda asing
Benda asing seperti pasir atau mikroorganisme akan menyebabkan
terbentuknya suatu abses sebelum benda tersebut diangkat. Abses ini timbul
dari serum, fibrin, jaringan sel mati dan leukosit (Sel darah putih), yang
membentuk suatu cairan yang kental yang disebut dengan nanah (Pus).
7) Iskemia
Iskemia merupakan suatu keadaan dimana terdapat penurunan suplai darah
pada bagian tubuh akibat dari obstruksi dari aliran darah. Hal ini dapat
terjadi akibat dari balutan pada luka terlalu ketat. Dapat juga terjadi akibat
faktor internal yaitu adanya obstruksi pada pembuluh darah itu sendiri.
8) Diabetes
Hambatan terhadap sekresi insulin akan mengakibatkan peningkatan gula
darah, nutrisi tidak dapat masuk kedalam sel. Akibat hal tersebut juga akan
terjadi penurunan protein kalori tubuh.
26
9) Keadaan Luka
Keadaan khusus dari luka mempengaruhi kecepatan dan efektifitas
penyembuhan luka. Beberapa luka dapat gagal untuk menyatu.
10) Obat
Obat anti inflamasi (Seperti steroid dan aspirin), heparin dan anti neoplasmik
mempengaruhi penyembuhan luka. Penggunaan antibiotik yang lama dapat
membuat seseorang rentan terhadap infeksi luka.
a. Steroid akan menurunkan mekanisme peradangan normal tubuh terhadap
cedera.
b. Antikoagulan dapat mengakibatkan perdarahan
c. Antibiotik efektif diberikan segera sebelum pembedahan untuk bakteri
penyebab kontaminasi yang spesifik. Jika diberikan setelah luka
pembedahan tertutup, tidak akan efektif akibat koagulasi intravaskular.3
3.10 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dehisensi luka dibedakan menjadi penatalaksanaan non
operatif atau konservatif dan penatalaksanaan operatif.
b. Penanganan Operatif
Penanganan operatif dilakukan pada sebagian besar penderita
dehisensi. Ada beberapa jenis operasi yang dilakukan pada dehisensi luka yang
dilakukan antara lain rehecting atau penjahitan ulang luka operasi yang terbuka,
mesh repair, vacuum pack, abdominal packing, dan Bogotabag repair.
27
operasi yang terbuka kembali. Plastik ini dijahit kekulit atau fascia pada dinding
abdomen anterior.1,2,3
BAB IV
ANALISIS KASUS
1) Anamnesis
29
30
2) Pemeriksaan Fisik
3) Pemeriksaan Penunjang
4) Tatalaksana
Kasus Teori
Non-Operatif : Penatalaksanaan :
- IVFD D5% 15 tpm + NaCl 0,9% 15 tpm - Penanganan Non-Operatif/
- Inj. Ceftriaxone 3x1 g konservatif seperti perawatan luka
- Inj. Metronidazole 3x500 mg yang baik, nutrisi adekuat dan
- Inj. Ranitidine 3x1 g pemberian antibiotik
- Inj. Gentamicin 3x80 mg - Penanganan operatif
- Inj. Ketorolac 3x30 mg Rehecting, mesh repair, vacuum
- PO Vit Albumin 3x1 pack, abdominal packing, dan
- R/ Transfusi PRC II Kolf Bogota bag repair
Operatif :
- Re-hecting atau penjahitan ulang luka
operasi
BAB V
KESIMPULAN
32
33
DAFTAR PUSTAKA
1. Lisa Y. Hasibuan, Hardisiswo Soedjana, Bisono, Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi
3, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarata, 2010; Luka, hal 95-98.
2. Daniel Sampepajung, Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarata, 2010; Masa Pulih, hal 358-363.
3. Bisono, David S., Perdanakusuma, E. Mujianto Halimun (alm), Theddeus
O>H> PrasetonoBuku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3, Penerbit Buku Kedokteran
EGC, Jakarata, 2010; Kulit, hal 395-396.
4. http://surgery.about.com/od/aftersurgery/ss/DehiscenceEvisc.htm Khan MA.
Dehiscence of laparatomy wounds in children. JPMI 2009; 23:318-21.
5. Kemenkes RI. (2013). Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit. Jakarta :
Kemenkes.
6. Khorgami, Z., Shoar, B., Laghaie, B., Aminian, A., Araghi, N.H., & Soroush,
A. (2012). Prophylactic retention suture in midline laparotomy in high risk for
wound dehiscence : a randomized controlled trial. Journal of Surgical Research,
xxx, E1-E6.
7. Smeltzer, S.C., & Bare, B.G. (2010). Post operative nursing wound
management. In Brunner & Suddart's Textbook of medical- surgical nursing
(12th ed.). Philadelphia : J.B. Lippincott Company.
8. Khorgami, Z., Shoar, B., Laghaie, B., Aminian, A., Araghi, N.H., & Soroush,
A. (2012). Prophylactic retention suture in midline laparotomy in high risk for
wound dehiscence : a randomized controlled trial. Journal of Surgical Research,
xxx, E1-E6.
9. Ramshorst, G. H., Nieuwenhuizen., Hop, W.C.J., Arends, P., Boom, J., Jeekel,
J., & Lange, J.F. (2010). Abdominal Wound Dehiscence in Adults :
Development and Validation of a Risk Model. World Journal Surgical, 34, 20–
27. Doi : 10.1007/s00268- 009-0277-y.
10. Schurtz, e., differding, j., jacobson, e., maki, c., & ahmeti, m. (2018). Evaluation
of negative pressure wound therapy to closed laparotomy incisions in acute care
34