Anda di halaman 1dari 19

VISI PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI BIDAN PRODI SARJANA TERAPAN

Menghasilkan Bidan Profesi Yang Responsif Gender Melalui Pengembangan Teknologi


dan Model Asuhan Kebidanan Berkesinambungan (CoMC) Pada Tahun 2028

MAKALAH EVALUASI PROGRAM PENGHAPUSAN


KETIMPANGAN GENDER DALAM
PELAYANAN KEBIDANAN

Dosen Tim Mata Kuliah:


1. Aticah, SST.MKeb
2. Dr. Indra Supradewi, MKM
3. Gita Nirmalasari, SST, M.keb, ph.D
4. Hetty Asri, SST.Mkeb

Disusun oleh Kelompok 7 :

1. Tiara Anafiah
2. Triwik Handayani
3. Veepti Triana Mutmainah
4. Windy Merischa
5. Yanti Sukmawati
6. Yeniar Susana
7. Yuanita Sari Sinambela

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN


PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI
BIDAN POLTEKKES KEMENKES
JAKARTA III
2021
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan syukur alhamdulillah atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada kami, sehingga dapat menyelesaikan
makalah Pelayanan Kebidanan Berbasis Gender yang berjudul Evaluasi Program
Penghapusan Ketimpangan Gender Dalam Pelayanan Kebidanan sebagai salah satu
tugas wajib dan bukti bahwa kami selaku penulis telah melaksanakan dan menyelesaikan
makalah ini.

Terima kasih kami ucapkan kepada para pengajar atas bimbingan dan pendidikan yang
diberikan sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik.

Penulis juga menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan oleh karena
itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak. Harapan
penulis semoga makalah yang sederhana ini mampu memberikan informasi kepada pembaca
tentang evaluasi program penghapusan ketimpangan gender terlebih bagi kita sebagai bidan.

Bekasi, 25 Agustus 2021

Penulis

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesetaraan gender merupakan sebuah konsep yang dikembangkan dengan


mengacu pada dua instrumen internasional yang memiliki peranan penting dalam
melindungi hak-hak dasar manusia dan hak-hak dasar perempuan yakni Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia dan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan (CEDAW). Indonesia telah meratifikasi CEDAW menjadi
Undang-Undang No. 7 tahun 1984.
Kelemahan dalam pengambilan keputusan dalam hal apapun salah satunya
tentang pemilihan dan penggunaan kontrasepsi. Perempuan belum bisa mengatur atau
mempunyai kekuatan untuk bernegosiasi dengan pasangannya terkait perencanaan
keluarga.
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa semua manusia
dilahirkan bebas dan sama. Dengan merujuk pada Deklarasi ini, CEDAW
mencantumkan istilah " hak yang sama untuk laki-laki dan perempuan " dan "
kesetaraan hak laki-laki dan perempuan.” CEDAW melanjutkan dengan
mengartikulasikan " hak yang sama" dan "kesempatan yang sama" yang harus tersedia
untuk semua perempuan dan laki-laki di berbagai bidang aktivitas manusia. Dengan
kata lain, konsep kesetaraan gender merujuk pada kesetaraan penuh laki-laki dan
perempuan untuk menikmati rangkaian lengkap hak-hak politik , ekonomi , sipil ,
sosial dan budaya.
Terdapat dua alasan utama untuk memberikan perhatian pada konsep
kesetaraan gender. Pertama, bahwa kesetaraan antara perempuan dan laki-laki
terutama kesetaraan terkait hak, kesempatan dan tanggung jawab adalah masalah hak
asasi manusia dan keadilan sosial. Kedua, kesetaraan antara perempuan dan laki-laki
juga merupakan prasyarat untuk pembangunan berkelanjutan yang berpusat pada
manusia. Persepsi, kepentingan, kebutuhan dan prioritas perempuan dan laki-laki dari
berbagai kelompok sosial yang berbeda harus dipertimbangkan tidak hanya sebagai
bagian penting dari keadilan sosial tetapi juga karena tiga hal tersebut diperlukan

3
untuk mewujudkan keberhasilan proses pembangunan berkelanjutan yang berpusat
pada manusia (UNDP 2013).
Keadilan gender mengacu pada situasi di mana semua orang, perempuan dan laki laki,
anak perempuan dan anak laki-laki, dinilai setara, memiliki posisi setara, dan dapat
berbagi secara setara dan adil dalam distribusi kekuasaan, pengetahuan dan sumber
daya. Dengan diwujudkannya keadilan gender, diharapkan setiap orang, baik
perempuan dan laki laki terbebas dari rangkaian sistem sosial-budaya-ekonomi-politik
berbasis gender yang di satu sisi mengistimewakan individu atau kelompok sosial
tertentu sementara di sisi lain melakukan represi serta menindas individu atau
kelompok sosial yang lain.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana evaluasi program penghapusan ketimpangan gender dalam pelayanan


kebidanan.

C. Tujuan

Untuk mengetahui bagaimana evaluasi program penghapusan ketimpangan gender


dalam pelayanan kebidanan.

4
BAB II
PEMBAHASAN

Kesetaraan dan keadilan gender yang merupakan salah satu tujuan


pembangunan manusia yang ditetapkan dalam RPJPN 2005-2025, dihadang
serangkaian masalah dan tantangan. Permasalahan besar yang dihadapi dalam
pembangunan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan yaitu masih
terdapatnya kesenjangan gender di berbagai bidang serta masih terus terjadinya
kekerasan terhadap perempuan. Terdapat rangkaian permasalahan "mendasar" dalam
pembangunan karena terkait erat dengan indikator-indikator pembangunan terkait
kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan begitu juga dengan pelayanan
kebidanan yang memiliki cakupan luas yakni pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan.
Bidan berperan penting dalam ketiga bidang tersebut karena lingkup asuhan kebidanan
dimulai sejak dilahirkan hingga masa klimakterium. Bidan dapat memainkan perannya
sebagai sahabat perempuan.

A. Program Penghapusan Ketimpangan Gender Dalam Pelayanan Kebidanan


Program penghapusan ketimpangan gender dalam pelayanan kebidanan ini
berkaitan erat dengan bidang bidang lain dimana perempuan ada didalamnya. Bidang
bidang tersebut antara lain:

1. Bidang Pendidikan
Dalam pembukaan UUD 1945 telah dinyatakan secara tegas bahwa
salah satu tujuan Negara Republik Indonesia adalah mencerdaskan
kehidupan bangsa. Salah satu cara untuk dapat mencapai tujuan tersebut
yaitu dengan pendidikan. Dimana pendidikan adalah hak asasi setiap warga
negara, yang sangat berperan penting bagi kesuksesan dan kesinambungan
pembangunan suatu bangsa. Adapun penjabaran lebih lanjut mengenai
pendidikan tersebut yaitu tercantum pada UUD 1945 pasal 31, ayat 1 yang
berbunyi “Setiap warga negara berhak mendapatkan Pendidikan”, ayat 2
yang berbunyi “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan
pemerintah wajib membiayainya”.

5
Keseriusan pemerintah ini dibuktikan dengan dicanangkannya program
wajib belajar 12 tahun atau yang lebih dikenal dengan nama Pendidikan
Menengah Universal (PMU) yang tercantum dalam Peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan No 80 tahun 2013.
Adapun tujuan program Wajib Belajar 12 Tahun ini yaitu untuk
memberikan kesempatan pendidikan seluas-luasnya kepada penduduk usia
16-18 tahun atau peserta didik pada tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA),
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah (MA) atau bentuk
lain yang sederajat. Dengan pemberian kesempatan pendidikan seluas-
luasnya, maka tentu nantinya peserta didik dapat lebih mudah mengenyam
pendidikan sehingga dapat mengurangi angka putus sekolah yang juga
merupakan menjadi salah satu tujuan program ini.

2. Bidang Ketenagakerjaan
Dalam bidang ketenagakerjaan pemerintah juga mengeluarkan Undang
Undang No 13 Tahun 2003 yang berisi bahwa perempuan pekerja harus
mendapatkan perlindungan berupa jaminan perlindungan fungsi reproduksi
perempuan yang meliputi pemberian istirahat pada saat hamil dan
melahirkan, pemberian kesempatan dan fasilitas untuk menyusui anaknya,
perlindungan hak haknya sebagai pekerja yaitu perlindungan keselamatan
dan Kesehatan kerja, serta perlindungan kesejahteraan dan jaminan sosial
tenaga kerja.
Hak hak pekerja perempuan yang tertuang dalam UU Ketenagakerjaan
No 13 Tahun 2003:
a. Hak Cuti Menstruasi
Pasal 81 (1) UU Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003
menyatakan “Pekerja/pekerja perempuan yang dalam masa haid
merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak
wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid.”
Di hari pertama masa menstruasi biasanya wanita mengalami
nyeri pada perut bagian bawah, hal ini lumrah mengingat proses
luruhnya dinding rahim yang dialami wanita rutin setiap bulan.
Intensitas nyeri yang dialami tentu berbeda-beda, beberapa
wanita masih bisa mengatasinya dan beraktivitas seperti biasa.

6
Namun beberapa lainnya merasakan nyeri yang lebih parah
sampai harus meringkuk seharian bahkan sampai 2-3 hari.

b. Hak Cuti Hamil dan Melahirkan


Pasal 82 (1) UU Ketenagakerjaan No.13 tahun 2003
menyatakan “Pekerja/pekerja perempuan berhak memperoleh
istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya
melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah
melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan”.

c. Hak Perlindungan Selama Hamil


Pasal 76 (2) UU Ketenagakerjaan No.13 tahun 2003
menyatakan “Pengusaha dilarang mempekerjakan perempuan
hamil yang bisa berbahaya bagi kandungannya dan dirinya
sendiri”.
Wanita yang sedang hamil lebih rentan dibanding pekerja
lainnya. Makanya perusahaan atau pemilik usaha wajib
menjamin perlindungan bagi pekerja tersebut. Misalnya tidak
memberi tugas keluar kota yang mengharuskan menggunakan
transportasi udara di trimester pertama kehamilan, atau
menghindari pekerjaan berat untuk pekerja pabrik.

d. Hak Biaya Persalinan


UU No.3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja
dan PP No.14 tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program
Jaminan Sosial Tenaga Kerja mengatur kewajiban perusahaan
yang memiliki lebih dari 10 tenaga kerja atau membayar upah
sedikitnya Rp1.000.000 untuk mengikutsertakan seluruh tenaga
kerjanya dalam program BPJS Kesehatan.
Dalam program BPJS kesehatan tersebut, termasuk juga
layanan kesehatan pemeriksaan kehamilan dan melahirkan. Jika
peserta belum terdaftar, perusahaan atau pemilik usaha tetap

7
wajib memberi bantuan dana dan fasilitas kesehatan sesuai
standar BPJS.

e. Hak Cuti Keguguran


Pasal 82 (2) UU Ketenagakerjaan No.13 tahun 2003
menyatakan “Apabila keguguran kandungan dialami karyawan
perempuan, karyawan tersebut berhak untuk beristirahat selama
1,5 bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter
kandungan/ bidan.”

f. Hak Menyusui atau Memerah ASI


Pasal 83 UU Ketenagakerjaan No.13 tahun 2003 menyatakan
“Pekerja/pekerja perempuan yang anaknya masih menyusu
harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya
jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja.”
Mengingat pentingnya pemberian ASI, pemerintah mengatur
dalam Pasal 128 (2) UU Kesehatan No.36 tahun 2009 yang
menyebutkan setiap bayi berhak mendapat ASI eksklusif sejak
dilahirkan selama 6 bulan kecuali atas indikasi medis. Ketentuan
ini berdasar pada rekomendasi Badan Kesehatan Dunia (WHO)
bahwa setelah 6 bulan pertama, bayi mendapat makanan
pendamping ASI dan menyusui dapat dilanjutkan hingga anak
berusia 2 tahun.

g. Larangan PHK karena menikah, hamil dan melahirkan


Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.Permen 03/Men/1989,
mengatur larangan PHK terhadap pekerja wanita dengan alasan
menikah, hamil, atau melahirkan. Hal senada juga dinyatakan
dalam konvensi ILO No.183 tahun 2000 pasal 8, “Sekembalinya
ke tempat kerja, perusahaan dilarang mendiskriminasi pekerja
wanita yang baru saja kembali setelah cuti melahirkan. Mereka
berhak menduduki kembali posisinya serta mendapatkan gaji
yang sama dengan gaji yang diterima sebelum cuti melahirkan.”
3. Bidang Kesehatan

8
Pada bidang Kesehatan, salah satu permasalahan utama yang masih
dihadapi adalah masih tingginya Angka Kematian Ibu (AKI), di mana AKI
berdasarkan SUPAS 2015 sebesar 305 per 100.000 kelahiran hidup, dimana
telah melampaui target Renstra 2019 (306 per 100.000 kelahiran hidup),
namun masih sangat jauh dari target MDGs 2015 (102 per 100.000
kelahiran hidup).
Faktor/Resiko Utama Penyumbang AKI terdiri dari empat faktor yakni :
a. Faktor langsung
Faktor langsung menurut data Kemenkes tahun 2013, 2014,
dan 2016 adalahanemia: 37,1% (2013), Kekurangan Energi Kronik
(KEK): 24,2% (2013), hipertensi pada kehamilan: 6,3% (2013);
lebih dari 25% (2014, 2016), dan perdarahan: 39% (2016). Data
Riskesdas (RKD) 2018 menunjukkan bahwa revalensi anemia pada
ibu hamil masih cukup tinggi, mencapai 48,9% di atas target
Renstra 2019 (28%), dan proporsi KEK pada Wanita Usia Subur
(WUS) hamil 17,3% < RKD 2013 (24,2%).

b. Faktor tidak langsung


 Perkawinan anak/usia dini (masih tingginya persentase
perempuan dengan perkawinan pertama di bawah usia 20
tahun): rentang usia yang masih muda saat ibu melahirkan,
dimana kondisi reproduksi ibu belum siap.
 Rendahnya tingkat pendidikan ibu dan status kesejahteraan
berdampak pada minimnya pengetahuan dan pemahaman
akan kesehatan reproduksi (Kespro), serta perilaku pencarian
pelayanan kesehatan ibu (kurang memprioritaskan
pemeriksaan kehamilan - Kunjungan Antenatal
Lengkap/KN4).
 Masih minimnya akses terhadap pelayanan kesehatan,
khususnya pelayanan kesehatan ibu (petugas penolong
persalinan, tempat/fasilitas persalinan, kualitas layanan),
terutama di wilayah timur Indonesia, daerah terpencil dan
terluar.
9
c. Faktor keterlambatan
Yakni terlambat mengambil keputusan untuk dirujuk
(termasuk terlambat mengenali tanda bahaya), terlambat sampai di
fasyankes pada saat darurat, dan terlambat memperoleh pelayanan
yang memadai dari petugas kesehatan (RKD 2010).

d. Faktor “empat terlalu” (4 T) yakni terlalu muda untuk hamil, terlalu


banyak jumlah kehamilannya, terlalu dekat jarak kehamilan, dan
terlalu tua usia Ibu hamil.

Masalah utama lain di bidang kesehatan adalah prevalensi HIV/AIDS,


ditunjukkan dengan meningkatnya jumlah kasus HIV/AIDS yang
dilaporkan. Laporan kinerja Kementrian Kesehatan tahun 2017
menunjukkan bahwa prevalensi HIV pada populasi dewasa 0,33%, dimana
jumlah kasus HIV yang dilaporkan terus mengalami peningkatan yang
signifikan sejak tahun 2005 - 2016.Persentase infeksi HIV yang dilaporkan
pada lakilaki (66,2%) lebih tinggi dibandingkan perempuan (33,8%).
Persentase AIDs yang dilaporkan pada laki-laki (56%) lebih tinggi
dibandingkan perempuan (32%). Jumlah persentase infeksi HIV.AIDs pada
laki-laki yang dilaporkan mengalami peningkatan sejak tahun 2011 - 2017.
Jumlah kasus AIDS tertinggi ditemukan pada ibu rumah tangga/IRT
mencapai 12.302 orang (Laporan Perkembangan HIV-AIDS PIMS Triwulan
I Tahun 2017, KPAN).

Meningkatnya jumlah kasus HIV/AIDs berkaitan dengan masih


rendahnya pengetahuan masyarakat tentang HIV/AIDs dan perilaku
pencegahan penularan HIV/AIDs. Rendahnya pemahaman tentang
HIV/AIDS berkaitan erat dengan belum optimalnya pemanfaatan sumber
informasi tentang HIV/AIDs.

B. Evaluasi Penghapusan Ketimpangan Gender Dalam Pelayanan Kebidanan

10
1. Bidang Pendidikan
Pada bidang Pendidikan program penghapusan ketimpangan gender
sudah dilaksanakan namun masih belum berjalan dengan baik. Hal ini
terlihat dengan adanya rangkaian permasalahan yang dihadapi. Adanya
ketimpangan gender yang dimulai dari tingkat PAUD hingga menengah,
partisipasi anak perempuan masih sangat rendah. Selain itu kesenjangan
akses dan taraf pendidikan antara perkotaan dan perdesaan masih tinggi di
semua jenjang pendidikan, khususnya jenjang menengah dan tinggi. Ini
berkaitan dengan kondisi ekonomi keluarga yang lemah, kelangkaan
sekolah yang dekat dengan permukiman (pilihan sekolah yang terbatas),
infrastruktur jalan dan sekolah yang kurang memadai.
Satu dari 3 sekolah di Indonesia tidak memiliki akses air. Satu dari
dua sekolah di Indonesia tidak memiliki jamban yang terpisah antara siswa
laki-laki dan siswa perempuan. Lemahnya infrastruktur sanitasi sekolah
menyulitkan anak perempuan dalam memelihara kesehatan reproduksinya,
khususnya ketika haid. Lokasi toilet yang sulit diakses dan gelap
merentankan anak perempuan untuk mengalami kekerasan dan pelecehan.
Masalah ini dapat menurunkan partisipasi anak perempuan dalam
bersekolah. Selain itu, tingginya perkawinan anak di beberapa daerah di
Indonesia turut menyebabkan rendahnya rata-rata lama sekolah anak
perempuan.
Faktor-faktor yang menyebabkan ketidaksetaraan gender khususnya
dibidang pendidikan yang terjadi di kalangan masyarakat kita saat ini
merupakan sebuah rahasia umum. Hal ini tidak dipungkiri lagi bahwa
pemahaman dan pemikiran di atas masih mewabah terutama di kalangan
masyarakat ortodoks yang masih sangat menjunjung tinggi budaya-budaya
yang mendekati kepercayaan leluhur lama. Masyarakat yang masih
menganut paham patriarki, di mana kaum perempuan adalah kaum yang
lemah yang harus manut dan turut apa kata suami. Kaum perempuan
tempatnya adalah dirumah serta tidak memerlukan pendidikan yang tinggi
demi kelangsungan hidup berumah tangga.
Kebudayaan dan kepercayaan tentang anak perempuan yang harus
mengalah dibandingkan anak laki-laki masih tertanam kuat di pemahaman

11
masyarakat kita bahwa ketimpangan gender disebabkan oleh adanya
konstruksi sosial dan budaya. Di tengah modernisasi yang semakin kuat,
masyarakat kita masih saja memegang teguh mitos-mitos lama yang
menyatakan kekuatan pria dan kelemahan wanita. Bahwa pekerjaan wanita
tidak sepatutnya dikerjakan oleh pria, begitu juga sebaliknya. Paham-paham
lama yang seperti inilah yang membuat ketidaksetaraan gender semakin
mengakar kuat di lingkungan masyarakat kita.
Pemahaman patriarki yang tertanam di kalangan masyarakat kita
bahwa wanita hanya bisa mengurus rumah saja menyebabkan keengganan
bagi kaum perempuan untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih
tinggi. Bahkan pernikahan dan masalah biaya menjadi sebuah alasan untuk
meninggalkan bangku sekolah. Hal ini banyak terjadi di daerah pedesaan
dan tempat-tempat terpencil. Sayangnya kesenjangan yang ada membuat
dampak yang buruk bagi perkembangan bangsa dan negara. Rendahnya
pendidikan kaum perempuan menjadikan mereka merasa tidak mampu
untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, serta demi meningkatkan
taraf kehidupan mereka. Yang terburuk adalah, adanya ketidaksetaraan
gender berarti lemahnya sebuah pemerintahan negara.

2. Bidang Ketenagakerjaan
Walau pemerintah telah mengatur hak pekerja perempuan dalam UU
namun fakta di lapangan masih banyak ditemukan ketimpangan gender. Hal
ini terbukti dengan minimnya perlindungan bagi tenaga kerja perempuan,
terutama kekerasan berbasis gender di tempat kerja dan hak atas kesehatan
reproduksi (kespro), yang terkait erat dengan prosedur yang sulit terkait cuti
menstruasi/haid, prosedur terbatas dalam cuti melahirkan dan perlindungan
maternitas, serta terbatasnya sarana dan prasarana terkait kesehatan
reproduksi di tempat kerja, seperti ruang laktasi, toilet khusus perempuan.
Secara komposisi, proporsi perempuan yang menjadi pejabat, manajer
dan tenaga profesional, pada periode 2010-2016 meningkat cukup pesat.
Pada tahun 2010, perempuan yang menjadi pimpinan dan tenaga profesional
masih berada pada posisi 44,02%, enam tahun kemudian sudah berada pada
posisi 47,59% (BPS & KPPPA, 2017). Artinya, secara komposisi jumlah
perempuan pada posisi ini semakin mengurangi porsi tenaga kerja laki-laki

12
pada posisi yang sama. Hal tersebut mengindikasikan bahwa daya saing
perempuan Indonesia sejatinya tidak kalah dari laki-laki.
Sejumlah faktor turut berpengaruh dalam membatasi keterlibatan
perempuan dalam jenis pekerjaaan tertentu. Banyak di antara jenis pekerjaan
perempuan dicirikan dengan karakteristik seperti paruh waktu (OECD, 2008),
kasual, tidak tetap dan tidak menentu (World Bank, 2011), musiman dan
bahkan pekerjaan rumahan (home-based jobs) (ILO, 2018 & Vanek, dkk,
2014) atau disebut sebagai pekerjaan informal. Mayoritas perempuan yang
memilih bekerja di sektor informal disebabkan karena pekerjaan tersebut
fleksibel dan tidak harus meninggalkan tugas-tugas rumah tangga (Maloney,
2004). Dengan demikian, tenaga kerja perempuan cenderung lebih banyak
yang tidak memiliki proteksi sosial ekonomi dalam pekerjaannya, dan dibayar
dengan upah lebih rendah dari laki-laki karena kebanyakan bekerja paruh
waktu (World Bank, 2011)

3. Bidang Kesehatan

Pada bidang Kesehatan program penghapusan ketimpangan gender


belum berjalan secara sempurna karena hal ini berkaitan erat dengan sosial
dan budaya. Perempuan masih belum bisa menentukan otonomi atas dirinya
sendiri. Hal ini tercermin pada ketidakmampuan perempuan dalam
mengambil keputusan (kapan hamil dan dimana akan melahirkan), sikap
dan perilaku keluarga yang cenderung mengutamakan laki-laki, dan
permasalahan keluarga berencana. 

Program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) Selama ini urusan kehamilan
dan melahirkan dianggap hanya urusan perempuan, sementara kedudukan
perempuan pada umumnya masih rendah dibandingkan laki laki, sehingga
perempuan sulit memutuskan apa yang menjadi kebutuhan dan haknya. Hal
ini berakibat pada AKI dan AKB.

Ketidaksetaraan dalam kesehatan reproduksi berhubungan dengan


ketimpangan ekonomi yang kemudian berkorelasi dengan ketidaksetaraan
dalam kesehatan seksual dan kesehatan reproduksi. Ketidaksetaraan
kesehatan reproduksi sangat dipengaruhi oleh kualitas dan jangkauan sistem

13
kesehatan serta oleh situasi ketidaksetaraan gender. Isu gender dalam
kesehatan reproduksi antara lain yaitu pada kesehatan ibu dan bayi dimana
angka kematian ibu dan bayi yang masih tinggi di Indonesia,
ketidakmampuan perempuan dalam mengambil keputusan (kapan hamil dan
dimana akan melahirkan), sikap dan perilaku keluarga yang cenderung
mengutamakan laki-laki dan permasalahan keluarga berencana seperti masih
tingginya unmet need KB.  Unmet need KB yang belum terpenuhi terjadi
pada perempuan dengan tingkat kesejahteraan terendah, pendidikan kurang,
dan tinggal di daerah pedesaan.  Hal ini akan berisiko tinggi
meningkatnya kehamilan yang tidak
diinginkan serta risiko terhadap kesehatan dan dampak ekonomi seumur
hidup bagi seorang perempuan dan anak-anaknya.

Dari berbagai bidang diatas bidan memiliki peran yang sangat penting dalam
penghapusan ketimpangan gender. Bidan dengan peran dan kewenangan yang dimiliki serta
filosofi profesi yang dimilikinya memainkan peranan kritis untuk pencapaian tujuan. Dalam
ruang lingkup asuhan kebidanan, bidan memberikan asuhan kebidanan kepada perempuan
sepanjang siklus kehidupan reproduksinya dan melibatkan perempuan itu sendiri serta
keluarganya sesuai kebutuhan.

Peran bidan dalam memberikan asuhan kebidanannya adalah sebagai pelaksana,


pengelola, pendidik dan peneliti. Bidan sebagai pengelola dan pelaksana memberikan asuhan
kebidanan pada perempuan sesuai dengan kewenangannya selama siklus reproduksi, dan
bidan sebagai pendidik mempunyai tugas untuk memberikan pendidikan kesehatan kepada
perempuan dan masyarakat agar pengetahuan, sikap dan perilaku yang tidak sehat bisa
berubah. Selain itu juga bidan harus mampu untuk memberikan bimbingan pada kader
sebagai mitra kerja.

Penguatan peran bidan harus didukung dari berbagai pihak, lintas sektor dan lintas
program dan peningkatan kapasitas bidan sendiri mulai dari pengetahuan yang baik sampai
kemampuan menjadi advocator. Bidan sebagai advocator adalah seseorang yang mampu
mempengaruhi dan memperbaiki sistem kesehatan dan kesejahteraan perempuan, pasangan

14
dan keluarganya termasuk dalam bidang ekonomi sampai akhirnya bidan mampu
berkontribusi pada tahap kebijakan dan strategi polit

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN

15
Realitas pelayanan kebidanan berbasis gander di Indonesia masih terus diperjuangkan
untuk mencapai harapan terbaiknya. Pemenuhan hak dasar manusia, terutama di bidang
pendidikan, kesehatan dan ekonomi masih terus menjadi prioritas utama. Kesenjangan
capaian pada perempuan dan laki-laki yang masih dijumpai menjadi landasan arah
pembangunan manusia ke depan. Tantangan pelayanan kebidanan untuk pembangunan
manusia di Indonesia masih dihadapkan pada persoalan struktural dan kultural. Secara
struktural, keberpihakan pada pembangunan yang berkesetaraan gender masih perlu diperkuat
melalui penguatan sistem, perspektif, dan analisis gender para pengambil kebijakan dan
pelaksana program. Secara kultural, konstruksi gender yang masih merugikan salah satu
kelompok jenis kelamin, terutama pada perempuan masih kuat mengakar.

Budaya patriarki masih terlihat dalam praktik kehidupan masyarakat yang berdampak
pada hasil-hasil pembangunan. Stereotip yang terus dikonstruksi berakibat pada posisi
perempuan yang secara budaya diposisikan lebih rendah sehingga pengambilan keputusan
masih belum sepenuhnya mempertimbangkan kebutuhan dan kepentingan terbaik perempuan.
Situasi ini berpengaruh pada proses pembangunan, dan pada akhirnya berdampak pada
capaian pembangunan manusia Indonesia.

Di bidang pendidikan, capaian pembangunan telah menunjukkan kesetaraan, terutama


pada pendidikan yang ditamatkan perempuan di tingkat dasar dan menengah. Hal ini terlihat
pada kepemilikan ijazah tertinggi, angka partisipasi kasar dan angka partisipasi murni antara
perempuan dan laki-laki yang sudah setara. Meskipun secara nasional sudah menunjukkan
hasil yang diharapkan, namun kesenjangan berdasarkan wilayah kota dan desa masih menjadi
persoalan pembangunan dalam bidang pendidikan di Indonesia. Sebagai contoh, jika dilihat
secara nasional, angka melek huruf antara perempuan dan laki-laki telah setara, terutama pada
penduduk usia 15-24 tahun, meskipun masih terjadi kesenjangan di wilayah perdesaan dan
baru 21 provinsi yang telah mencapai angka melek huruf lebih dari target RPJMN tahun 2019
atau di atas 96,1 persen (Kemen. PPPA, 2020a). Hal ini menunjukkan agenda pembangunan
manusia di bidang pendidikan belum selesai, terutama di wilayah perdesaan dan di provinsi
yang belum mencapai target RPJMN.

Pembangunan manusia di bidang kesehatan masih perlu diperjuangkan. Angka Kematian


Ibu (AKI) di Indonesia masih jauh dari harapan target SDG’s untuk sampai pada angka 70
kematian per 100.000 kelahiran hidup di tahun 2030. Meskipun persentase persalinan
perempuan yang telah ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih di tahun 2019 telah mencapai

16
94,71 persen, namun data BPS menunjukkan perkawinan pertama pada perempuan usia di
bawah 19 tahun masih sangat tinggi, yaitu usia 17-18 tahun sebesar 20,74 persen dan usia
kurang dari 16 tahun sebanyak 15,48 persen (Kemen. PPPA, 2020a). Kepedulian terhadap
kesehatan reproduksi perempuan masih sangat diperlukan karena kesenjangan antara laki-laki
dan perempuan yang sangat tinggi, hal ini ditunjukkan dengan banyaknya praktik perkawinan
usia anak pada perempuan, kehamilan yang tidak diinginkan, dan masih sangat rendahnya
jumlah pengguna alat kontrasepsi pada laki-laki. Pada ibu hamil dan anak usia dibawah usia
dua tahun, akses mendapatkan layanan kesehatan dasar juga sangat sulit, hal ini dapat
meningkatkan kerentanan resiko pertumbuhan janin/bayi stunting (Bappenas, 2018).

Di bidang ekonomi kesenjangan gender masih terjadi terutama pada partisipasi angkatan
kerja dan upah. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan masih sangat rendah
dibandingkan laki-laki dan Dalam sepuluh tahun terakhir, TPAK perempuan tidak mengalami
peningkatan yang signifikan. Di tahun 2019, TPAK perempuan hanya sebesar 51,89 persen,
jauh tertinggal dibandingkan laki-laki yang sudah mencapai 83,13 persen. Diskriminasi pada
upah pekerja perempuan masih terjadi. Perempuan yang bekerja masih menerima upah lebih
rendah dibandingkan laki-laki meskipun sama-sama dalam tingkat pendidikan yang setara.
Rasio rata-rata antara upah perempuan dan laki-laki yang bekerja di tahun 2019 hanya sebesar
77,39 persen (Kemen. PPPA, 2020a). Diskriminasi upah pada perempuan juga terjadi di dunia
global, dalam data UNDP, perempuan hanya mendapatkan 77 sen dari setiap dolar yang
diperoleh laki-laki dalam pekerjaan yang sama (www.undp.org, 2020b).

Berbagai persoalan ketimpangan gender terjadi bukan hanya karena pembangunan yang
belum sepenuhnya mempertimbangkan masalah gender, namun tantangan pembangunan di
Indonesia masih dihadapkan pada praktik budaya yang sebagian diantaranya belum berpihak
pada kesetaraan gender. Harapan sekolah pada perempuan yang cukup tinggi sulit dipenuhi
karena masih terdapat budaya di masyarakat yang menganggap anak perempuan tidak perlu
sekolah tinggi, mitos pendidikan menyebabkan perempuan menjadi perawan tua, tabunya
Pendidikan tentang seksualitas, dan bahkan karena kondisi ekonomi dan sosial menyebabkan
anak perempuan terpaksa harus menikah di usia sekolah. Kesehatan reproduksi perempuan
juga masih banyak bergantung pada proses pengambilan keputusan pihak lain, akibatnya
akses pada layanan kesehatan yang ada menjadi tidak bermakna, sementara tanggung jawab
kesehatan keluarga secara budaya masih dibebankan sepenuhnya kepada perempuan.

17
Kesadaran tentang pentingnya kesetaraan gender dalam pembangunan manusia telah
terlihat dalam berbagai kebijakan dan regulasi di Indonesia. Selain melakukan ratifikasi
terhadap sejumlah konvensi internasional seperti Konvensi Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Perempuan/Convention on the Elimination of All Forms of
Discrimination Against Women (CEDAW) dan Beijing Declaration and Platform for Action
(BDPA), pemerintah Indonesia juga telah mengesahkan sejumlah kebijakan dan undang-
undang untuk penghapusan berbagai diskriminasi gender dan pembangunan manusia berbasis
gender. Dokumen perencanaan pembangunan disusun dengan mempertimbangkan dan
memperhitungkan kesenjangan dan diskriminasi gender. Upaya ini menunjukkan komitmen
pemerintah Indonesia dalam rangka memastikan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya
yang setara dan adil gender.

B. SARAN

Dengan adanya makalah ini diharapkan bidan bidan yang membaca dapat
menambah kesadaran untuk mengutamakan kesetaraan gender dalam memberi
pelayanan kebidanan, dengan menghargai hak hak dan kewajiban antara perempuan
dan laki laki, tidak membeda bedakan baik dari latar belakang pendidikan, ekonomi
dan social budayanya dan Perubahan cara pandang yang mengedepankan kesetaraan
gender penting dilakukan dalam pelayanan kebidanan untuk pembangunan manusia
karena akan berpengaruh pada kualitas sumber daya manusia di masa mendatang

18
DAFTAR PUSTAKA

Siscawati, Mia dkk. 2020. Background Study RPJMN 2020-2024 Kesetaraan Gender dan
Pemberdayaan Perempuan. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Jakarta.

Handayani, Fatiah. 2017. Penguatan Peran Bidan Dalam Pemberdayaan Perempuan Untuk
Mendukung Program Sustainable Development Goal’s.  JURNAL ILMIAH BIDAN, VOL.II,
NO.2.

Tusianti, Ema. Abdurrahman. 2018. Ketimpangan Gender Dalam Penyerapan Tenaga Kerja
Formal Di Indonesia. Publikasi researchgate: 3-5.

Dini muzayanah k, fajriyah dkk 2020. Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2020.
Jakarta.kemen PPPA.

19

Anda mungkin juga menyukai