Anda di halaman 1dari 6

PENUGASAN BIOETIK BLOK 4.

3
“IMPARSIALITAS SAKSI AHLI”
A. ETIOLOGI (sumber 2)
1. Menyampaikan kebenaran suatu perkara
Saksi ahli berkewajiban untuk menyampaikan berita yang benar dan menyakinkan
serta disampaikan dengan sejujur-jujurnya untuk memberikan sebuah kebenaran di
hadapan pengadilan sehingga seorang saksi ahli haruslah mempunyai pengetahuan
yang sangat luas tentang suatu perkara tersebut.
2. Membantu hakim dalam mendudukan dan memutuskan perkara
Apabila saksi memberikan kesaksiannya secara jujur, tidak dusta dan tidak palsu
maka hakim dengan segera dapat memperoleh gambaran mengenai duduk perkara
yang sebenarnya, yang pada gilirannya ia pun akan dapat memutuskan perkara
tersebut dengan mudah. Sebaliknya jika saksi memberikan kesaksian yang palsu atau
tidak mempunyai keahlian khusus dalam suatu perkara tersebut maka hakim tidak
mempunyai gambaran tentang perkara itu, sehingga fungsi saksi ahli yang dijalankan
sebagaimana mestinya memberikan pengaruh positif bagi hakim untuk mendudukan
perkara dan memutuskan dengan adil dan benar. Sebaliknya, jika saksi dalam
memberikan kesaksian berbelit-belit dan tidak jujur dapat pula lebih menyulitkan
hakim dalam mendudukan suatu perkara tersebut, bahkan lebih jauh hakim dapat
menghakimi orang dengan keputusan yang salah.
3. Mendorong terwujudnya sikap jujur
Dengan memberikan keterangan palsu berarti telah turut berbuat kekacauan,
menghilangkan hak orang lain, menipu orang lain dan bahkan menipu terhadap hati
nuraninya sendiri, serta menyebabkan timbulnya permusuhan dan kebencian di antara
sesama manusia.

B. DILEMA ETIK dari sisi SOSIOEKONOMI KULTURAL


Pada beberapa kasus pidana di Indonesia, objektifitas dan independensi
(imparsialitas saksi ahli) dapat diintervensi oleh suatu pihak (ex. Pengacara, dan penegak
hukum lainnya) karena memang pengajuan seseorang untuk menjadi saksi ahli dapat
dilakukan oleh para penegak hukum dengan persetujuan hakim. Tentunya dengan
diintervensinya imparsialitas saksi ahli ini akan memicu terjadinya keterangan palsuoleh
saksi ahli yang mungkin akan menguntungkan salah satu pihak padahal sebenarnya pihak
tersebut bersalah, hal ini tentunya melanggar kode etik saksi ahli.
Sehingga solusinya adalah dengan tetap mematuhi kode etik saksi ahli yang ada
yaitu tidak diperberbolehkannya intervensi dalam bentuk apapun pada keterangan saksi
ahli dan diperlukan juga kejelian dan ketelitian hakim dalam menilai keterangan saksi
ahli agar tetap sesuai dengan kode etik.

C. DILEMA ETIK dari perspektif ISLAM


Sama hal nya dengan hukum yang diterapkan di Indonesia, Hukum Islam dalam
menyelesaikan suatu perkara harus berdasarkan pembuktian atau penyerahan alat-alat
bukti yang ada sesuai dengan ketentuan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Beberapa ulama
tentunya memiliki perbedaan dalam menggolongkan berbagai macam alat bukti,
sedangakan keterangan saksi ahli sebagai salah satu bentuk alat bukti yang sah dalam
Hukum yang ada di Indonesia tidak dijelaskan dan tidak di bahas secara spesifik dalam
Hukum Islam. *sehingga untuk permasalahan dilema etik terkait imparsialitas saksi ahli tidak banyak dibahas, tetapi
lebih membahas bagaimana kedudukan keterangan saksi ahli dalam hukum islam*
Salah satu bentuk alat bukti yang masih menjadi perdebatan apakah di anggap sah
dalam Hukum Islam, karena tidak ada satu dalil pun yang menunjukkan alat bukti ini
sebagai bagian dari bukti-bukti syar’I dan juga di pandang sebagai alat bukti yang sangat
Gharib (asing) sebab tidak dikenal oleh ulama mazhab yaitu Qarinah (petunjuk/sangkaan
yang mengarah pada sesuatu yang meyakinkan). Dalam hal ini dapat diketahui bahwa
kedudukan saksi ahli dapat dikategorikan sebagai alat bukti Qarinah karena
kedudukannya yang sah dalam Hukum Islam namun tidak dijelaskan secara spesifik dan
alat bukti ini digunakan apabila ada perkara yang memang membutuhkan peranan saksi
ahli untuk mengungkap sebuah kebenaran. Mengingat dengan semakin canggihnya
zaman tidak mungkin hakim menguasai seluruh bidang ilmu sehingga hakim
membutuhkan adanya saksi ahli untuk memudahkan hakim dalam menyelesaian suatu
perkara. Sama hal nya dengan Hukum di Indonesia seseorang yang diminta untuk
menjadi saksi atau memberikan keterangan yang sebenarnya berdasarkan
sepengetahuannya mengenai suatu perkara hukumnya fardu’ain.
Yang mungkin dapat dikaitkan dengan imparsialitas saksi ahli adalah terkait
dengan saksi ahli yang dilarang untuk memberikan keterangan yang salah (palsu) untuk
membela salah satu pihak apalagi jika pihak yang dibela sesungguhnya bersalah tetapi
sebagai saksi ahli berusaha untuk menutupi kesalahan tersebut. Sesuai dengan Q.S Al-
Maidah ayat 8 dan An-Nisa ayat 135 :
Dapat diambil kesimpulan bahwa sebagai manusia (ex. Saksi ahli) harus selalu
menegakkan kebenaran, keadilan dan menjadi saksi karena Allah terhadap diri sendiri,
orang tua, serta kerabat. Jangan mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari
kebenaran atau tidak berbuat adil karena kebencian terhadap pihak tertentu.
Sesungguhnya Allah mengetahui atas segala tindakan kita dan nantinya akan ada balasan
atas setiap bentuk tindakan kita.
D. DILEMA ETIK BIDANG KEDOKTERAN (sumber 4)
Menjadi suatu dilema atau pertarungan batin bagi seorang dokter jika dihadapkan
dengan satu pilihan yaitu untuk menyimpan rahasia kedokteran yang menjadi kewajiban
berdasarkan sumpah yang sudah diucapkannya atau membuka rahasia tersebut karena
kewajibannya untuk memberi bantuan hukum dalam proses persidangan suatu perkara
dimana kedua kewajiban tersebut sama-sama telah diatur dalam perundang-undangan dan
KODEKI dan sama-sama memberikan sanksi hukum jika dilanggar maupun jika tidak
dipenuhi.
Hubungan antara pasien dan dokter atau transaksi terapeutik adalah perjanjian
antara dokter dengan pasien yang dilandasi oleh rasa kepercayaan dan kerahasiaan,
sehingga secara hukum akan melahirkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak.
Menurut hukum objek dari perjanjian ini berupa upaya atau terapi yang paling tepat
untuk kesembuhan pasien bukan terkait kesembuhan pasien.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1966 tentang wajib simpan
rahasia kedokteran, yang dimaksud dengan rahasia kedokteran ialah segala sesuatu yang
diketahui oleh orang-orang tersebut dalam Pasal 3 pada waktu atau selama melakukan
pekerjaannya dalam lapangan kedokteran. Sementara dalam Pasal 3 disebutkan bahwa
yang diwajibkan menyimpan rahasia tersebut adalah tenaga medis yaitu meliputi dokter,
perawat, apoteker, tenaga gizi, perekam medis, dll serta pihak lainnya yaitu mahasiswa
kedokteran, dokter muda,dll. Serta menurut Pasal 51c UU Pradok menyatakan bahwa
dokter dan dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteranya mempunyai kewajiban-
kewajiban: merahasiakan segala sesuatu yang telah diketahuinya tentang si pasien,
bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia. Kerahasiaan hasil pemeriksaan
kesehatan juga diperkuat pada Pasal 27 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
menyatakan bahwa setiap orang berhak merahasiakan konsidi Kesehatan pribadinya yang
telah dikemukakan kepada penyelenggara pelayanan;. Serta dalam UU ini juga dijelaskan
mengenai segala hal yang berkaitan dengan hak-hak atas rahasia kondisi kesehatan
pribadi tidak berlaku bila: Perintah UU, perintah pengadilan, izin yang bersangkutan,
kepentingan masyarakat, atau kepentingan orang tersebut. Hal ini juga didukung
berdasarkan Pasal 48 UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran menegaskan
bahwa “…;Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan pasien,
memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum,
permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan perundangan-undangan.”
Sanksi bagi Dokter yang telah Membuka Rahasia Kedokteran
Seorang dokter yang dengan sengaja membuka rahasia yang diketahuinya tentang
seorang pasien dapat dikatakan telah melanggar sumpah dan juga melakukan pelanggaran
hukum (pelanggaran etikolegal). Sanksi yang dapat dijatuhkan pada dokter tersebut bisa
berupa sanksi disipliner, sanksi pidana, sanksi perdata, sanksi administrative dan juga
sanksi dari masyarakat.
Pendapat penulis : Apakah rahasia kedokeran itu boleh dibuka ? yang jika dikatkan dengan
imparsialitas saksi ahli kedokteran,….
Terkait hal ini terdapat 2 pendapat yang bertentangan yaitu pendirian absolut dan
pendirian nisbi. Bagi mereka yang menganut pendirian absolut maka rahasia kedokteran
ini akan disimpan dan dirahasiakan selamanya tanpa pengecualian. Menurut penulis
penganut pendirian absolut sangat kaku dan tidak memahami bahwa tujuan rahasia
kedokteran itu adalah untuk menyehatkan masyarakat sehingga dengan alas an-alasan
tertentu boleh dibuka. Bebeda dengan penganut nisbi yang akan selalu
mempertimbangkan kepentingan umum daripada kepentingan pasien, namun harus diakui
bahwa dokter yang menganut pendirian nisbi akan mengalami kesulitan dan pertentangan
batin jika mengambil keputusan untuk membuka atau menyimpan rahasia kedokteran
yang menimbulkan dilema ini.
Penulis menganut pendirian nisbi, sehingga mereka berpendapat bahwa wajib
simpan rahasia kedokteran tidak bersifat absolut, ada beberapa keadaan yang dapat
dijadikan alas an rahasia kedokteran tersebut dibuka. Beberapa ahli menggolongkan
beberapa keadaan dimana dokter dapat membuka rahasia kedokteran menjadi 2
golongan :
1. Dengan kerelaan atau izin pasien -> pasien telah menyatakan secara tidak langsung
bahwa rahasia kedokteran bukan lagi menjadi rahasia sehingga tidak wajib
dirahasiakan lagi.
2. Tanpa izin pasien -> dokter terpaksa membuka rahasia kedokteran karena adanya
dasar penghapusan pidana yg diatur dalam Pasal 48, 50, dan 51 KUHP yang telah
disampaikan sebelumnya.
Sehingga dapat diketahui dari penjelasan diatas bahwa alasan yang dapat
dipergunakan oleh dokter untuk dapat membuka rahasia kedokteran adalah :
1. Adanya izin dari pasien -> rahasia kedokteran hak dan milik pasien sehingga pasien
berhak memutuskan apakah orang lain dapat mengetahui kondisinya atau tidak atau
adanya syarat keterbatasan para pihak yang relevan saja contoh : suami/istri,
pengadilan, pihak yg mungkin akan tertular penyakit tersebut,dll. Serta keterbatasan
informasi dan persyaratan yakni hanya dinuka sejauh yg diperlukan -> menerapkan
etik otonom
2. Adanya peraturan UU -> secara formil justifikasinya karena terdapat peruddang-
undangan dan secara materiil telah dipertimbangkan oleh uu bahwa ada kepentingan
yang lebih besar. (ex. Visum et repertum)
3. Adanya kepentingan umum -> rahasia kedokteran terpaksa dibuka karena ada
kepentingan yang lebih diutamakan yaitu kepentingan masyarakat umum serta pada
kondisi2 darurat seperti terjadinya wabah dimana dokter wajib melaporkannya dan
contoh lainnya (ex. Dokter melaporkan pasiennya seorang penjahat yang mendapat
luka-luka)
4. Adanya perintah jabatan
5. Adanya pengaruh daya paksa -> daya paksa bersifat relative yang terjadinya karena
keadaan darurat.
Kewajiban Hukum sebagai saksi ahli
Seorang dokter bisa diminta bantuannya oleh penegak hukum terkait dengan
perkara yang menyangkut tubuh atau nyawa manusia. Pendapat dokter dibutuhkan
dalam rangka membantu menemukan kebenaran materiil karena hakim tidak
memiliki ilmu terkait dengan anatomi tubuh manusia.
Pada tahap penyelidikan polisi dapat meminta bantuan dokter sesuai dengan surat
permintaan visum et repertum, maka hasil pemeriksaan adalah sebagai alat bukti,
bukan kerahasian kedokteran. Keadaan pemeriksaan dilakukan tanpa surat
permintaan visum et repertum, maka hasil pemeriksaan adalah rahasia kedokteran
yang harus dicatat dengan teliti dan dicantumkan dalam rekam medis dapat dijadikan
alat bukti dengan merangkumnya dalam surat keterangan dokter atau surat
keterangan ahli.
Kewajiban dokter untuk memberikan kesaksian diatur dalam Pasal 224 KUHP
“apabila setiap orang secara sah dipanggil saksi, ahli,… dan dengan sengaja tidak
memenuhi suatu kewajiban yang menurut UU, maka diancam dengan perkara pidana
penjara 6-9 bulan”
Solusi
Dalam litelatur ini dijelaskan terkait perbedaan dokter sebagai saksi dan saksi ahli
sehingga menjadi solusi untuk mengatasi dilema ini. Seseorang atau siapapun yang
diminta keterangannya sebagai ahli akan memberikan keterangan yang tidak bersifat
faktual melainkan berdasarkan keahliannya, berbeda dengan bila diminta
keterangannya sebagai saksi yang mana keterangan yang diberikan berdasarkan fakta
yang dilihat, didengar atau dialaminya. Jadi tidak mungkin seorang dokter yang
diminta keterangan sebagai ahli akan memberikan penjelasan yang bersifat faktual
mengenai penyakit atau keadaan seseorang yang sakit. Mengenai penyakit atau
keadaan seseorang yang sakit merupakan suatu hal yang bersifat faktual yang harus
dirahasiakan dokter. Sedangkan keterangan sebagai ahli yang diberikan dokter
bukanlah rahasia, karena substansinya ialah menyangkut ilmu pengetahuan, bukan
objek yang harus dirahasiakan. Berbeda dengan apabila dokter diminta
keterangannya sebagai saksi, hal ini akan menjadi dilema bagi dokter tersebut antara
harus menyimpan rahasia kedokteran atau kewajiban memberikan keterangan
sebagai saksi, yang mana dokter harus memilih untuk melaksanakan satu kewajiban,
yaitu memberi keterangan sebagai saksi dengan tetap memperhatikan ketentuan-
ketentuan rahasia kedokteran boleh untuk dibuka seperti yang tertera di berbagai
macam peraturan perundang-undangan dan KODEKI.
Sebagai dokter hendaknya memahami dan mentaati peraturan hukum
kedokteran/peraturan lain bidang hukum sehingga terhindar dari pelanggaran etika
kedokteran maupun pelanggaran hukum, khususnya pelanggaran wajib simpan
rahasia kedokteran, dan jika seorang dokter terpaksa membuka rahasia kedokteran itu
semata-mata demi memenuhi kewajiban hukum serta mengutamakan kepentingan
umum.

Anda mungkin juga menyukai