DAFTAR ISI 1
PENDAHULUAN 2
LAPORAN 3
Definisi 3
Anamnesis 6
Pemeriksaan Fisik 6
Pemeriksaan Penunjang 7
Akut 8
Kronis 9
Pencegahan 10
KESIMPULAN 12
E-POSTER 13
REFERENSI 14
1
PENDAHULUAN
2
LAPORAN
A. Definisi
Chromium (Cr) atau Kromium adalah elemen kimia logam berat berwarna
putih keabu-abuan yang relatif tidak stabil dan mudah teroksidasi. [3,4]
Kromium merupakan elemen kimia ke-6 yang paling melimpah di kerak bumi
yaitu dalam bentuk bijih kromit (kombinasi kromium dengan besi dan
oksigen).[4] Elemen logam berat ini memiliki 7 bentuk hasil oksidasi (0-VI),
kromium trivalent (Cr(III)) dan kromium hexavalent (Cr(VI)) adalah bentuk
oksidasi kromium yang paling sering ditemukan pada lingkungan dan paling
sering digunakan dalam bidang industri. Kromium trivalent secara alami
terdapat pada batu dan tanah yang mudah diserap oleh tanaman, sehingga
kromium trivalent secara alami juga dikonsimsi oleh manusia. [1] Pada bidang
industri kromium digunakan untuk memproduksi benda-benda stainless-steel,
peralatan medis gigi, pigmen cat, perawatan kayu, dan lain-lain, dimana
proses penggunaan kromium pada bidang industri ini akan menyebabkan
pelepasan bentuk oksidasi kromium yaitu hexavalent ke udara. Tetapi kondisi
lingkungan dapat menyebabkan oksidasi alami yang mengubah kromium
trivalent menjadi hexavalent misalnya, jika pH tanah sangat basa.[1,4]
3
kandungan kromium trivalent dapat mengatasi diabetes, menurunkan berat
badan, dan lain-lain, tetapi dalam beberapa penelitian menunjukkan bahwa
asupan kromium trivalent yang berlebihan juga bersifat karsinogenik.[1,3]
4
Gambar 2. Mekanisme intoksikasi logam berat pada manusia[5]
Kromium hexavalent yang dilepaskan ke lingkungan sebagian besar dalam
bentuk kromat oksianion (CrO4) yang secara struktural sangat mirip dengan
oksianoin sulfat (SO4) sehingga untuk masuk ke dalam sel, CrO4
menggunakan general sulfate or phosphate transporters pada permukaan sel
(Active Transport). Setelah berada di dalam sel, Cr(VI) memberikan efek
toksiknya, mengikuti reduksi dengan askorbat dan glutation pada lapisan
epitel paru-paru atau residu asam amino sistein. Metabolisme reduksi Cr(VI)
oleh glutation menghasilkan Cr(V) reaktif dan akhirnya diubah menjadi
Cr(III), dimana proses reduksi oleh glutation ini dapat menghasilkan hidrogen
peroksida dan radikal bebas lainnya yang nantinya akan mengakibatkan stress
oksidatif tingkat tinggi, sehingga menyebabkan kerusakan pada lipid seluler,
protein, dan DNA. Tidak seperti penyerapan Cr(IV), bentuk asli Cr(III) atau
Cr(III) yang terbentuk dari hasil reduksi Cr(IV), terikat dengan ligan dan
masuk ke dalam sel melalui mekanisme fagositosis atau melalui mekanisme
difusi non-spesifik. Selanjutnya, kromium akan menyebar di dalam tubuh ke
berbagai jaringan seperti, paru-paru, kelenjar getah bening, limpa, ginjal, hati,
dan lain-lain. Diperkirakan bahwa difusi Cr(III) adalah sekitar 1% dengan
sebagian besar kromium yang tertelan diekskresikan dalam tinja dan urin
serta diekskresi dalam jumlah yang lebih kecil pada rambut, kuku, dan
keringat.[1,6,7]
Chromium (III): Breathing chromium (III) does not irritate the nose or mouth in
most people. There is not enough data to know if chromium (III) causes cancer.
Eating small amounts of chromium (III) is healthy but eating too much is harmful.
The recommended daily dose of chromium (III) is 50 -200 μg. There is not enough
data to know if eating large amounts of chromium (III) causes cancer. Long term
exposure to high levels is linked to lung cancer. Breathing low levels of chromium
(VI) for a short period does not cause health problems for most people. Eating small
amounts of chromium (VI) is not harmful. However, eating or drinking large
amounts in food or water can cause an upset stomach, ulcers, convulsions, and
5
damage the kidneys and liver. This type of exposure can be fatal. There is not
enough data to know if eating or drinking chromium (VI) causes cancer
6
Pemeriksaan fisik yang perlu dilakukan untuk mengidentifikasi
kemungkinan adanya paparan kromium pada pasien mencakup
evaluasi status general. Pada keracunan kromium akut, saat inspeksi
mata dapat ditemukan konjungtivitis, kerusakan kornea hingga
kebutaan. Pada inspeksi nasal dapat ditemukan adanya inflamasi
mukosa, pemeriksaan abdomen dapat ditemukan hepatomegali. Pada
inspeksi kulit dapat ditemukan adanya dermatitis kontak iritan,
dermatitis kontak alergi dengan gejala berupa dryness, eritema,
pembengkakan, dan papul. Pada keracunan kromium kronis, saat
inspeksi mata tampak Radang konjungtiva, lakrimasi dan warna merah
gelap disekitar kornea. Pada inspeksi nasal dapat ditemukan ulkus,
bahkan perforasi septum. Pada inspeksi dan palpasi leher dapat
ditemukan pembengkakan KGB. Pada inspeksi kulit dapat ditemukan
adanya dermatitis kontak iritan, dermatitis kontak alergi berupa ulkus
kulit tanpa nyeri (Chrom Holes) dengan tepi yang keras dan menonjol.
[3,4]
3. Pemeriksaan Penunjang
Darah lengkap
7
Konsentrasi kromium alami dalam darah adalah antara 2,0g/100mL
hingga 3,0g/100mL. Terdapat penurunan Hb dan Hmt, serta
peningkatan kadar leukosit.
Tes Fungsi Hati (AST, SGOT, SGPT, dan bilirubin)
Urinalisis
Konsentrasi kromium alami dalam urin adalah < 10g/L dalam 24
jam. Dapat ditemukan kadar ß2-microglobulin dan kreatinin
meningkat sebagai indicator kerusakan tubular ginjal.
Spirometri
Terdapat penurunan rasio FEV1 : FVC setelah adanya paparan
inhalasi kromium akut.
Skin patch testing
Untuk menunjukkan adanya alergi pada kulit.
Rontgen thoraks
Menunjukkan adanya lesi pada paru-paru sebagai indikator adanya
kanker paru-paru.[4]
8
o Kemudian berikan garam kalsium disodium EDTA
c) Mengenai mata
o Segera cuci/ bilas dengan air yang banyak atau lautan
garam normal, dengan sekali-kali mengedipkan mata
sampai dipastikan tidak ada bahan kimia yang
tertinggal. Tutup dengan verban steril dan segera
dirujuk.
d) Tertelan
o Diberikan makanan atau susu untuk mengurangi
penyerapan dari cromium.
o Tidak boleh diberikan antasida atau bikarbonat karena
membuat pH tinggi yang mengakibatkan penyerapan
cromium meningkat.
o Segera berikan asam askorbat (Vitamin C) untuk
mengurangi penyerapan cromium. (25-75 mg/hari)
o Tidak boleh dilakukan perangsangan muntah karena
dikhawatirkan terjadi iritasi atau luka bakar pada
esofagus.
o Bila terjadi muntah jaga agar kepala lebih rendah dari
pada panggul untuk mencegah aspirasi. Jika penderita
tidak sadar miringkan kepala ke samping.
o Jika terjadi hemolisis dilakukan alkalinisasi urin dengan
pemberian Sodium Bicarbonate intravena.
2. Kronis
Ulserasi nasal dan kulit diobati dengan salep yang mengandung
10% CaNa2 EDTA (Calcium disodium EDTA) atau natrium kalsium
EDETAT dan ditutup dengan kassa steril.
a) Stabilisasi
o Bebaskan jalan nafas untuk menjamin pertukaran udara,
oksigen, brokodilator bila diperlukan. -> Oksigen
awal : masker dengan reservoir 15L/menit -> stabil
dikurangi hingga target saturasinya 94-98%
9
o Perhatikan keseimbangan cairan dan elektrolit
b) Dekontaminasi
Dekontaminasi merupakan terapi intervensi dengan tujuan
untuk menurunkan pemaparan terhadap racun, mencegah
kerusakan dan mengurangi absorbsi.
o Dekontaminasi mata
- Posisi pasien duduk atau berbaring dengan kepala
tengadah dan miring ke sisi mata yang terkena atau
terburuk kondisinya.
- Secara perlahan bukalah kelopak mata yang terkena
dan sejumlah air bersih dingin atau larutan NaCl
0,9% perlahan selama 15-20 menit.
- Hindari bekas air cucian mengenai wajah atau mata
lainnya.
- Jika masih belum yakin bersih, cuci kembali selama
10 menit.
- Jangan biarkan pasien menggosok matanya.
- Tutuplah mata dengan kain kassa steril dan segera
kirim/konsul ke dokter mata.
o Dekontaminasi kulit
- Bawa segera pasien ke air pancuran terdekat.
- Cuci segera bagian kulit yang terkena dengan air
dingin atau hangat yang mengalir dan sabun minimal
10 menit.
- Jika tidak ada air, sekalah kulit dan rambut pasien
dengan kain atau kertas secara lembut. Jangan
digosok.
- Lepaskan pakaian, arloji dan sepatu yang
trkontaminasi atau muntahannya dan buanglah dalam
wadah/plastik tertutup.
10
- Penolong perlu dilindungi dari percikan, misalnya
dengan menggunakan sarung tangan, masker hidung
dan apron. Hati-hati untuk tidak menghirupnya.
- Keringkan dengan handuk yang kering dan lembut.
o Dekontaminasi gastrointestinal
- Pertimbangan untuk bilas lambung. Bilas lambung
efektif dilakukan 1-4 jam pertama dan dengan teknik
yang baik. Tindakan ini hanya boleh dilakukan di
rumah sakit oleh petugas yang berpengalaman dan
pasien yang kooperatif.[3]
3. Pencegahan
Edukasi yang dapat diberikan adalah meminta agar pasien berhenti
merokok, menghindari atau meminimalkan paparan karsinogen,
menerapkan hidup sehat, menggunakan APD (masker khusus, baju
panjang, sepatu boot, google, dan lain-lain) saat bekerja, mandi dan
mengganti pakaian setelah selesai bekerja, cuci tangan sebelum makan dan
minum, dan lain-lain.[4]
11
Protection Agency (EPA) menetapkan tingkat total kontaminan maksimum
kromium di air minum adalah sebesar 100 g/L atau 0.1 ppm. Food and Drug
Administration (FDA) menetapkan tingkat total kontaminan maksimum
kromium di air minum dan makanan adalah 1 ppm (part per million).[4,5]
KESIMPULAN
12
E-POSTER
13
REFERENSI
14
1. T.L. DesMarais, M. Costa. Mechanisms of Chromium-Induced Toxicity. HHS
Public Access: Curr Opin Toxicol. 2019; 14: 1–7.
2. Pavesi T, Moreira JC. Mechanisms and individuality in chromium toxicity in
humans. J Appl Toxicol. 2020;1–15. https://doi.org/10.1002/jat.3965
3. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia: Direktorat Bina Kesehatan Kerja
Dan Olahraga, Penyakit Akibat Kerja Karena Pajanan Logam Berat, 18-23.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia: 2012.
4. Agency for Toxic Substances and Disease Registry (ATSDR). Case Studies in
Environmental Medicine (CSEM) Chromium Toxicity. 2008;1-67.
5. Engwa AE, Ferdinand PU, Nwalo FN, Unachukwu MN. Mechanism and
Health Effects of Heavy Metal Toxicity in Humans. IntechOpen: Chapter.
2019;1-23.
6. Achmad RT, Budiawan, Auerkari EI. Effects of Chromium on Human Body.
Annual Research & Review in Biology (ARRB). 2017; 13(2): 1-8.
7. Rahayu M, Solihat MF. Bahan Ajar Teknologi Laboratorium Medik (TLM)
Toksikologi Klinik. Kemenkes RI. 2018.
15