Anda di halaman 1dari 30

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Kawista

Nama lain dari kawista adalah Feroniaele phantum Correa, Feronia

limonia (L.) Swingle, Schinus limonia L. English : Wood Apple, Elephant Apple,

Monkey Fruit or Curd Fruit, Hindi: Kaitha, Kath Bel or Kabeet, Oriya: Kaitha.

Sanskrit: Kapittha or Dadhistha, Telugu: Vellaga Pandu, Tamil: Vilam Palam,

Malayalam: Vilam Kai, Bengali: Koth Bel, Gujarati: Kothu, Malaysia: Belinga,

Indonesia : Kawista, Bima: Kawi, Aceh : Buah Batok (Rahmah, 2018).

Kawista (Limonia acidissima L.) merupakan tanaman berupa pohon

dengan tinggi 12 m yang tergolong dalam famili Rutaceae. Kulit batangnya kasar

dengan cabang dan ranting yang ramping, serta memiliki kebiasaan meluruhkan

daunnya. Cabang pohon kawista biasanya ditumbuhi duri yang tajam dan lurus.

Daunnya majemuk berukuran panjang hingga 12 cm, dan anak daunnya

berhadapan, dua sampai tiga pasang. Bunga kawista biasanya bergerombol dengan

warna putih atau hijau dan kemerahan. Bunga keluar dari ketiak daun atau terletak

di ujung ranting. Buah kawista berbentuk bulat, berkulit keras dan bersisik, dan

berwarna coklat putih. Daging buahnya berbau harum berwarna coklat kehitaman.

Buah kawista yang telah cukup masak akan jatuh dengan sendirinya, karena kulit

buahnya yang keras, meskipun jatuh buah ini tidak akan rusak (Pandavadra &

Sumitra, 2014).

10
11

Kulit batang

Gambar 2.1 Tumbuhan Kawista Limonia acidissima L

Klasifikasi tanaman kawista (SITH ITB, 2020)

Kingdom : Plantae

Super divisi : Spermatophyta

Divisi : Magnoliophyta

Class : Magnoliospida (Dicots)

Subclass : Rosidae

Ordo : Sapindales F

Famili : Rutaceae

Genus : Limonia L.

Species : Limonia acidissima L.

Sinonim : Feronia elephantum Correa

Feronia Limonia (L.) Swingle

Nama Umum : Wood Apple, elephant apple (Inggris), kawista

(Indonesia)

2.1.1 Khasiat Tanaman Kawista

Kawista adalah tanaman obat yang penting dengan berbagai penggunaan

bagian untuk mengobati penyakit yang berbeda. Seperti pada batang yang dapat
12

menyembuhkan luka, aktivitas antianalgesik, aktivitas antidiabetes, antimikroba,

dan sitotoksi (Ilango, 2009). Kulit batang pohon kawista dipercaya juga dapat

menjadi campuran jamu untuk mengatasi haid yang berlebihan, gangguan hati,

mengatasi mual-mual, bahkan untuk mengobati luka akibat gigitan serangga

(Fikayuniar, 2017). Kulit kayu dan daun kawista menunjukkan aktivitas sebagai

antimikroba, antitumor, antilarvasida dan antifungi (Jain et al., 2010).

2.1.2 Kandungan kimia

Berdasarkan penelitian uji fitokimia yang dilakukan oleh Fikayuniar, 2017

menyatakan bahwa kulit batang kawista mengandung senyawa flavonoid, saponin,

pilifenolat, monoterpenoid, dan seskuiterpenoid. Selain itu, daun dan kulit batang

kawista mengandung kumarin, steroid (Husna, 2013), alkaloid, flavonoid,

saponin, asam amino dan vitamin (Gupta, 2011 dalam Husna, 2013), Kulit kayu

mengandung karbohidrat, protein, dan asam amino (Rahman, 2002).

2.2 Pelarut

Pelarut adalah benda cair atau gas yang melarutkan benda padat, cair atau

gas yang menghasilkan sebuah larutan. Pelarut paling umum digunakan dalam

kehidupan sehari-hari adalah air (Selva, 1979). Pelarut lain yang juga umum

digunakan adalah bahan kimia organik (mengandung karbon) yang juga disebut

pelarut organik. Pelarut biasanya memiliki titik didih rendah dan lebih mudah

menguap, meninggalkan substansi terlarut yang didapatkan. Untuk membedakan

antara pelarut dengan zat yang dilarutkan, pelarut biasanya terdapat dalam jumlah

yang lebih besar.


13

Pemilihan jenis pelarut didasarkan pada jenis bahan yang diekstrak dan

pertimbangan harga pelarut tersebut. Dalam pemilihan jenis pelarut, faktor yang

diperhatikan antara lain adalah selektivitas, koefisien, densitas, tegangan

permukaan, kemudahan pengambilan kembali pelarut dan keaktifan secara kimia.

Dalam penelitian ini pelarut yang digunakan adalah etanol 70%, etil asetat dan

aquadest.

2.2.1 Etanol 70%

Etanol disebut juga etil alkohol, alkohol murni, alkohol absolut atau

alkohol saja. Etanol sejenis cairan yang mudah menguap, mudah terbakar, tidak

berwarna, berbau spesifik dan merupakan alkohol yang paling sering digunakan

dalam kehidupan sehari-hari. Secara garis besar penggunaan etanol adalah sebagai

pelarut zat organik maupun anorganik, selain itu etanol juga digunakan untuk

campuan minuman serta digunakan sebagai bahan bakar kendaraan bermotor

pengganti minyak bumi (Biopremium) (Utami, 2009). Etanol merupakan pelarut

polar yang banyak digunakan untuk mengekstrak komponen polar suatu bahan

alam dan di kenal dengan pelarut universal.

Aktivitas antibakteri yang lebih tinggi dari ekstrak etanol dibandingkan

ekstrak air dapat dikaitkan dengan adanya jumlah polifenol yang lebih tinggi pada

ekstrak etanol dibandingkan dengan ekstrak air. Konsentrasi yang lebih tinggi dari

senyawa flavonoid terdeteksi dengan etanol 70% karena polaritas yang lebih

tinggi dari pada etanol murni. Etanol lebih mudah untuk menembus membran sel

untuk mengekstrak bahan intraseluler dari bahan tumbuhan (Tiwari, et al., 2010).
14

Gambar 2.2 Struktur Kimia Etanol

Etanol dapat melarutkan alkaloid, minyak atsiri, glikosida, kurkumin,

kumarin, antrakuinon, flavonoid, steroid, dammar dan klorofil (Kementrian

pertanian, 2017). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Rizkia, (2014)

pelarut etanol 70% dapat mengekstraksi senyawa flavonoid yang terdapat pada

umbi tanaman binahong (Anredera cordifilia (Ten) Steenis). Senyawa alkaloid,

flavonoid, tanin, dan saponin dapat di ekstrak dengan pelarut etanol 70% pada

tanaman surian (Toona sinensis) (Tharesia, dkk, 2016). Berdasarkan hasil

penelitian Hapsari, dkk (2017), hasil fitokimia yang menggunakan pelarut etanol

70% pada ekstrak daun pegagan (Centella asiatica (L.) Urb) mengandung

senyawa tanin, saponin dan steroid.

2.2.2 Etil Asetat

Etil asetat merupakan pelarut dengan karakteristik semi polar. Etil asetat

secara selektif akan menarik senyawa yang bersifat semi polar seperti fenol dan

terpenoid (Tiwari, et al., 2011).

Gambar 2.3 Struktur Kimia Etil Asetat


15

Berdasarkan penelitian yang terdahulu, etil asetat digunakan sebagai

pelarut dalam mengekstraksi suatu bahan alam seperti pada kulit batang juwet

(Syzygium cumini) yang menghasilkan senyawa flavonoid, fenolik, dan tanin.

Hasil penelitian Chunaifi dan Tukiran (2014), hasil uji fitokimia yang

menggunakan pelarut etil asetat pada ekstrak kulit batang tumbuhan nyiri batu

(Xylocarpus moluccencis) mengandung senyawa golongan triterpenoid, fenolik,

flavonoid dan tanin.

2.2.3 Aquadest

Air adalah pelarut universal, biasanya digunakan untuk mengekstraksi

produk tumbuhan dengan aktivitas antimikroba. Meskipun pengobatan secara

tradisional menggunakan air sebagai pelarut, tetapi ekstrak tumbuhan dari pelarut

organik telah ditemukan untuk memberikan aktivitas antimikroba lebih konsisten

dibandingkan dengan ekstrak air (Tiwari, et al., 2011). Air juga melarutkan

senyawa fenolik yang memiliki aktivitas penting sebagai antioksidan (Tiwari, et

al., 2011).

Gambar 2.4 Struktur Kimia Air

Berdasarkan hasil penelitian Arisma (2019), hasil fitokimia yang

menggunakan pelarut aquadest ekstrak daun kopi robusta (Coffea cabephora L.)

mengandung senyawa flavonoid dan tanin. Penelitian Rizqatuddini (2019)


16

menggunakan pelarut aquadest ekstrak daun pacar kuku (Lawsonia inermis L.)

mengandung senyawa alkaloid.

2.3 Ekstraksi

Ekstraksi adalah proses pemisahan suatu campuran dengan cara

melarutkan suatu zat ke dalam campuran pelarut yang sesuai (Vitaningrum, 2015).

Ekstraksi akan lebih cepat dilakukan pada suhu tinggi, tetapi hal ini dapat

mengakibatkan beberapa komponen mengalami kerusakan. Metode ekstrak yang

digunakan dalam penelitian ini adalah maserasi karena metode tersebut

merupakan salah satu metode umum dalam proses ekstraksi bahan alam, selain itu

metode maserasi lebih sederhana dan mudah.

Ekstraksi dengan menggunakan pelarut terbagi menjadi dua macam yaitu

cara dingin dan panas.

2.3.1 Ekstraksi Secara Dingin

a. Maserasi

Maserasi berasal dari kata “macerace” yang artinya melunakkan. Maserasi

adalah suatu proses pembuatan ekstrak yang menggunakan pelarut dengan cara

beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan.

Prinsip dari maserasi tersebut yaitu merendam simpilisia dengan pelarut

tertentu pada temperatur ruangan dan terlindungi dari cahaya. Metode ini tidak

memerlukan pemanasan yang dapat merusak zat aktif dalam simpilia. Remaserasi

adalah pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat

dan seterusnya.
17

b. Perlokasi

Perlokasi berasal dari kata “perlocare” yang artinya penetesan. Perlokasi

adalah proses pembuatan ekstrak yang selalu menggunakan pelarut baru hingga

sempurna, yang pada umumnya dilakukan pada temperatur ruangan yang sama

(Vitaningrum, 2015).

2.3.2 Ekstraksi Secara Panas

a. Soxhlet

Soxlet yaitu suatu proses pembuatan ekstrak yang menggunakan pelarut

yang selalu baru yang pada umumnya dilakukan dengan cara menggunakan alat

soklet sehingga menjadi ekstrak yang kontinyu dalam jumlah pelarut relatif

konstan dengan adanya pendinginan balik.

b. Refluks

Refluks yaitu suatu proses pembutan ekstrak yang menggunakan pelarut

pada temperatur titik didih yang dalam waktu tertentu dalan jumlah pelarut yang

terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendinginan balik.

c. Digesti

Digesti yaitu suatu proses pembuatan ekstrak meserasi kinetik yang

mengggunakan pengadukan kontinyu dengan temperatur yang lebih tinggi dari

temperatur ruangan yang umumnya pada temperatur 40-50°C.

d. Infusa

Eksrtraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana infuse

tercelup dalam penangas air mendidih), temperatur terukur (96-98oC) selama

waktu tertentu 15-20 menit.


18

e. Dekok

Infusa yang dilakukan dengan cara perebusan dengan air pada waktu yang

lebih lama dan temperatur sampai titik didih air, metode ini untuk ekstraksi bahan

larut air dan stabil terhadap panas.

2.4 Maserasi

Ekstraksi adalah proses pemisahan suatu campuran dengan cara

melarutkan suatu zat ke dalam campuran pelarut yang sesuai (Vitaningrum, 2015).

Ekstraksi akan lebih cepat dilakukan pada suhu tinggi, tetapi hal ini dapat

mengakibatkan beberapa komponen mengalami kerusakan. Metode ekstraksi yang

digunakan dalam penelitian ini adalah maserasi. Maserasi adalah salah satu jenis

metode ekstraksi tanpa pemanasan atau dikenal dengan istilah ekstraksi dingin,

jadi pada metode ini pelarut dan sampel tidak mengalami pemanasan sama sekali.

Sehingga maserasi merupakan teknik ekstraksi yang dapat digunakan untuk

senyawa yang tidak tahan panas atau tahan panas. Namun biasanya maserasi

digunakan untuk mengekstrak senyawa yang tidak tahan panas (termolabil) atau

senyawa yang belum diketaui sifatnya. Metode ini membutuhkan pelarut yang

banyak dan waktu yang lama (Kementrian Pertanian, 2017).

Menurut Koirewoa, dkk (2012), proses ini sangat menguntungkan dalam

isolasi senyawa bahan alam karena selain murah dan mudah dilakukan, dengan

perendaman sampel tumbuhan akan terjadi pemecahan dinding dan membran sel

akibat perbedaan tekanan antara di dalam dan di luar sel, sehingga metabolik-

metabolik sekunder yang ada dalam pelarut organik dan ekstraksi senyawa akan
19

sempurna karena dapat diatur lama perendaman yang dilakukan. Pelarut yang

mengalir ke dalam sel dapat menyebabkan protoplasma membengkak dan bahan

kandungan sel akan larut sesuai dengan kelarutannya.

2.5 Rotary Evaporator

Rotary Evaporator adalah alat laboratorium yang digunakan untuk

melakukan ekstraksi, penguapan pelarut yang efisien. Komponen utamanya

adalah pipa vakum pengontrol, labu evaporasi, kondensator dan labu penampung

hasil kondensasi (Rahayu, 2009). Prinsip kerja Rotary evaporator yaitu proses

pemisahan ekstrak dari cairan penyarinya dengan pemanasan yang dipercepat oleh

putaran dari labu, cairan penyaring dapat menguap 5-10oC di bawah titik didih

pelarutnya disebabkan oleh karena adanya penurunan tekanan.

Dengan adanya pompa vakum, larutan penyaring akan menguap naik ke

kondensor dan mengalami kondensasi menjadi molekul-molekul cairan pelatur

murni yang ditampung dalam penampung. Prinsip ini membuat pelarut dapat

dipisahkan dari zat terlarut di dalamnya tanpa pemanasan yang tinggi. Penguapan

dapat terjadi karena adanya pemanasan yang dipercepat oleh putaran dari labu alas

bulat dibantu dengan penurunan tekanan (Ahyari, 2009).

2.6 Freeze Dryer

Freeze Dryer merupakan suatu alat pengeringan yang termasuk kedalam

Conduction Dryer/ Indirect Dryer karena proses perpindahan terjadi tidak

langsung yaitu antara bahan yang akan dikeringkan (bahan basah) dan media
20

pemanas terdapat dinding pembatas sehingga air dalam bahan basah/ lembab yang

menguap tidak terbawa bersama media pemanas. Hal ini menunjukkan bahwa

perpindahan panas terjadi secara hantaran (konduksi), sehingga disebut juga

Conduction Dryer/ Indirect Dryer. Pengeringan beku (Freeze drying) adalah salah

satu metode pengeringan yang mempunyai keunggulan dalam mempertahankan

mutu hasil pengeringan, khususnya untuk produk-produk yang sensitif terhadap

panas. Adapun prinsip kerja Freeze dryer meliputi pembekuan larutan,

mengranulasi larutan yang beku tersebut, mengkondisikannya pada vakum utra-

high dengan pemanasan pada kondisi sedang, sehingga mengakibatkan air dalam

bahan pangan tersebut akan menyublim dan akan menghasilkan produk padat.

2.7 Fitokimia

Fitokimia merupakan suatu ilmu yang mempelajari berbagai senyawa

organik yang ada pada tumbuhan baik tentang struktur kimia, perubahan dan

metabolisme, biosintesis, fungsi biologis dari senyawa organik dan penyebaran

secara alami. Fitokimia atau disebut dengan fitonutrien, adalah segala jenis zat

kimia atau nutrient yang diturunkan dari tumbuhan, buah-buahan dan sayuran.

Fitokimia terdapat pada senyawa yang ditemukan pada tumbuhan yang tidak

dibutuhkan untuk fungsi normal tubuh dan memiliki efek bagi kesehatan dan

memiliki peran aktif bagi pencegahan penyakit. Analisa fitokimia merupakan

analisis pada aneka ragam senyawa organik yang dibentuk dan ditimbun oleh

makhluk hidup, yaitu mengenai struktur kimianya, biosintasisnya, perubahan serta

metabolismenya, penyebarannya secara alamiah dan fungsi biologisnya


21

(Harborne, 1987; Kasminah, 2016). Metode skrining fitokimia dilakukan dengan

cara melihat reaksi pengujian warna dengan menggunakan suatu pereaksi warna

(Kristianti, dkk, 2008).

Senyawa fenolik merupakan senyawa yang memiliki satu atau lebih grup

hidroksil yang terikat secara langsung pada sebuah cincin aromatik fenol dalam

cincin karbon (Wijayanti, 2012).

Gambar 2.5 Struktur fenol

Fenol meliputi berbagai senyawa yang berasal dari tumbuhan dan

mempunyai ciri sama yaitu cincin aromatic yang mengandung satu atau dua gugus

hidroksil. Senyawa fenolik adalah kelompok molekul yang besar dan beragam,

terdiri dari kelompok yang berbeda dari metabolik sekunder aromatik pada

tumbuhan. Fenolik adalah metabolik sekunder yang terbesar dalam tumbuhan dan

dapat diklasifikasikan ke dalam senyawa tidak larut misalnya kondensasi tanin,

lignin, asam hidroksinamat yang terikat ke dinding sel dan senyawa terlarut

misalnya asam fenolat, fenilpropanoid, flavonoid dan quinon (Rispail et al, 2005).

2.7.1 Flavonoid

Flavonoid merupakan golongan terbesar dari senyawa fenol. Beberapa

golongan bahan polimer penting dalam tumbuhan seperti lignin, melanin, dan

tanin adalah senyawa polifenol dan kadang-kadang satuan fenolik dijumpai pada

protein, alkaloid dan diantara terpenoid (Djamal, 2010). Senyawa flavonoid


22

memiliki struktur C6-C3-C6, dimana gugus C6 merupakan cincin benzene.

Perbedaan yang terjadi dalam status oksidasi gugus C3, akan menentukan sifat-

sifat flavonoid serta menjadi dasar penggolongan klasifikasi flavonoid. Senyawa

yang termasuk kedalam flavonoid antara lain catechin, anthosianin, flavon,

flavonol, isoflavon. Flavonoid umumnya terdapat pada setiap bagian dari tanaman

seperti biji, buah, benang sari, akar dan sebagainya (Winarno dan

Kartawidjajaputra, 2007).

Gambar 2.6 Struktur Flavonoid

2.7.2 Alkaloid

Alkaloid adalah senyawa organik yang mempunyai nilai N heterosiklis

yang bersifat basa yang tidak larut dalam air namun larut dalam pelarut organik.

Secara sederhana alkaloid dalam tumbuhan memiliki rasa pahit dilidah (Djamal,

2010). Alkaloid merupkan senyawa metabolit sekunder yang terdapat di dalam

tanaman. Biasanya dijumpai pada bagian daun, ranting, biji, dan kulit batang.

Alkaloid memiliki efek yang baik untuk kesehatan diantaranya pemicu sistem

saraf. Menaikan tekanan darah, mengurangi rasa sakit, antimikroba, obat

penenang dan obat penyakit jantung (Simbala & Herny E.I., 2009).
23

Gambar 2.7 Struktur Alkaloid

2.7.3 Tanin

Tanin merupakan senyawa aktif metabolit sekunder yang diketahui

mempunyai beberapa khasiat yaitu sebagai astrigen, antidiare, antibakteri, dan

antioksidan. Tanin merupakan komponen zat organik yang sangat kompleks,

terdiri dari senyawa fenolik yang sukar dipisahkan dan sukar mengkristal,

mengendapkan protein dari larutannya dan bersenyawa dengan protein tersebut

(Desmiaty, Dkk, 2008). Tanin memiliki peranan biologis yang kompleks mulai

dari pengendapan protein hingga pengkhelat logam. Tanin juga dapat berfungsi

sebagai antioksidan biologis (Hagerman, 2002).

Gambar 2.8 Struktur Inti Tanin


2.7.4 Saponin

Mekanisme kerja saponin sebagai antibakteri adalah menurunkan tegangan

permukaan sehingga mengakibatkan naiknya permeabilitas atau kebocoran sel dan

mengakibatkan senyawa intraselulaer akan keluar (Nuria dkk, 2009). Selain itu,
24

menurut Cannell (1998) senyawa saponin dapat melakukan mekanisme

penghambatan dengan cara membentuk senyawa kompleks dengan membran sel

melalui ikatan hidrogen, sehingga dapat menghancurkan sifat permeabilitas

dinding sel dan akhirnya dapat menimbulkan kematian sel.

Gambar 2.9 Struktur Saponin

2.7.5 Terpenoid

Terpenoid adalah suatu senyawa dari komponen-komponen tumbuhan

yang memiliki ciri berbau dan dapat diekstraksi dari bahan-bahan nabati dengan

proses penyulingan (Lenny, 2006).

Gambar 2.10 Struktur Terpenoid


2.7.6 Steroid

Steroid merupakan salah satu golongan senyawa metabolit sekunder.

Golongan senyawa tersebut diketahui mempunyai aktvitas bioinsektisida,

antibakteri, antifungi, dan antidiabetes.


25

Gambar 2.11 Struktur Steroid

2.8 Antioksidan

Antioksidan adalah suatu zat yang diperlukan tubuh untuk menetralisir

radikal bebas dan mencegah kerusakan yang ditimbulkan oleh radikal bebas

terhadap sel normal (Mailandari, 2012). Radikal merupakan molekul yang tidak

berpasangan dan sangan reaktif. Radikal terbentuk dalam semua makhluk hidup

selama terjadi reaksi oksidasi, hal ini merupakan metabolisme yang normal.

Namun dalam keadaan tertentu seperti adanya tekanan lingkungan, penyakit, dan

serangan patogen. Konsentrasi radikal bebas akan meningkat di luar tingkat

normal. Radikal akan melakukan kerusakan terhadap organisme terutama DNA

dan membran (lipid dan protein), selain itu akan terjadi kerusakan berantai. Reaksi

berantai terjadi ketika radikal bereaksi dengan molekul lain, sehingga

menciptakan sebuah radikal yang baru (Vermerris & Ralph, 2006).

Antioksidan berfungsi untuk menetralisasi radikal bebas, sehingga atom

dan elektron yang tidak berpasangan mendapatkan pasangan elektron dan menjadi

stabil. Antioksidan dapat melindungi tubuh dari serangan radikal bebas dan

dampak negatifnya. Konsumsi antioksidan dapat menurunkan kejadian penyakit

degenerative, seperti kardiovaskuler, kanker, aterosklerosis, osteoporosis, dan

lain-lain (Winarsi,2007).
26

Produksi antioksidan di dalam tubuh manusia terjadi secara alami untuk

mengimbangi produksi radikal bebas. Antioksidan tersebut kemudian berfungsi

sebagai sistem pertahanan terhadap radikal bebas, namun peningkatan produksi

radikal bebas yang terbentuk akibat faktor stress, radiasi UV, polusi udara dan

lingkungan mengakibatkan sistem pertahanan tersebut kurang memadai, sehingga

diperlukan antioksidan dari luar. Antioksidan di luar tubuh dapat diperoleh dalam

bentuk sintetis dan alami. Antioksidan sintetis seperti buthylated hydroxytoluene

(BHT), buthylated hidroksianisol (BHA) dan ters-butylhydroquinone (TBHQ)

secara efektif dapat menghambat oksidasi. Namun, penggunaan antioksidan

sintetik dibatasi oleh aturan pemerintah karena jika penggunaannya melebihi batas

justru dapat dapat menyebabkan racun dalam tubuh dan bersifat karsinogenik,

sehingga dibutuhkan antioksidan alami yang aman. Senyawa antioksidan alami

tumbuhan umumnya adalah senyawa fenolik atau polifenolik yang dapat berupa

golongan flavonoid, kumarin, dan tokoferon. Golongan flavonoid yang memiliki

aktvitas antioksidan meliputi flavon, flavonol, isoflavon, katekin, dan kalkon

(Windono, dkk, 2001).

Antioksidan berdasarkan mekanisme reaksinya dibagi menjadi tiga

macam, yaitu antioksidan primer, antioksidan sekunder dan antioksidan tersier.

a. Antioksidan Primer

Antioksidan primer merupakan zat atau senyawa yang dapat menghentikan

reaksi berantai pembentukan radikal bebas yang melepaskan hidrogen.

Antioksidan primer dapat berasal dari alam atau sintetis. Contoh antioksidan

primer adalah BHT.


27

Reaksi antioksidan primer terjadi pemutusan rantai radikal bebas yang

sangat reaktif, kemudian diubah menjadi senyawa stabil atau tidak reaktif.

Antioksidan ini dapat berperan sebagai donor hidrogen CB-D (Chain Breaking

Donor) dan dapat berperan sebagai akseptor elektron atau CB-A (Chain Breaking

Aceptor).

b. Antioksidan Sekunder

Antioksidan sekunder disebut juga antioksidan eksogeneus atau non

enzimatis. Antioksidan ini menghambat pembentukan senyawa oksigen reatif

dengan cara pengelatan matal, atau dirusak pembentuknya. Antioksidan sekunder

di antaranya adalah vitamin E, vitamin C, beta karoten, flavonoid, asam lipoat,

asam urat, bilirubin, melatonin dan sebagainya.

c. Antioksidan Tersier

Kelompok antioksidan tersier meliputi sistem enzim DNA Repair dan

metionin sulfoksida reduktase. Enzim-enzim ini berperan dalam perbaikan

biomolekuler yang rusak akibat reaktivitas radikal bebas. Kerusakan DNA yang

terinduksi senyawa radikal bebas dicirikan oleh rusaknya Single and Double

strand baik gugus non-basa maupun basa.

2.9 Uji Aktivitas Antioksidan

Antioksidan dapat menghambat atau memperlambat oksidasi melalui dua

jalur yaitu penangkapan radikal bebas (free radical scavenging), antioksidan jenis

ini disebut dengan antioksidan primer termasuk dalam jenis-jenis senyawa-

senyawa fenolik seperti vitamin E dan flavonoid. Kemudian yang kedua yaitu
28

tanpa melibatkan penangkapan radikal bebas, antioksidan ini disebut dengan

antioksidan sekunder yang mekanisme melalui pengikatan logam, menangkap

oksigen merubah hidroperoksida menjadi spesies non radikal menyerap sinar

ultraviolet dan mendeaktivasi oksigen singlet. Uji aktivitas antioksidan dapat

dilakukan secara in vivo dan in vitro. Beberapa metode uji untuk menentukan

aktivitas antioksidan antara lain :

1. Uji DPPH (2,2-difenil-1-pikrilhidrazil)

DPPH merupakan radikal bebas yang stabil pada suhu kamar dan sering

digunakan untuk menilai aktivitas antioksidan beberapa senyawa atau ekstrak

bahan alami. Interaksi antioksidan dengan DPPH baik secara transfer elektron

atau radikal hidrogen pada DPPH akan menetralkan karakter radikal bebas dari

DPPH.

Penggunaan DPPH untuk metode penangkapan radikal mempunyai

keuntungan yaitu mudah digunakan, mempunyai tingkat sensitivitas yang tinggi

dan dapat menganalisis sejumlah besar sampel dalam jangka waktu singkat.

Prosedur dengan DPPH dilakukan dengan membuat larutan DPPH dalam

metanol dengan konsentrasi 2 x 10-4 M. Dibuat serangkaian larutan sampel dari

ketiga fraksi ekstrak dengan variasi konsentrasi menggunakan pelarut metanol.

Dari masing-masing larutan ditambahkan 2 ml larutan DPPH sehingga diperoleh

serangkaian larutan dengan konsentrasi sampel yang berbeda. Diamkan selama 30

menit setelah penambahan larutan DPPH, kemudian diukur absorbansinya pada

panjang gelombang 571 nm. Data absorbansi yang diperoleh digunakan untuk
29

menentukan % inhibisi. Dari kurva % inhibisi versus konsentrasi sampel, dapat

diperoleh nilai IC50 ekstrak dengan analisis statistik menggunakan regresi linear.

Jika semua elektron pada radikal bebas DPPH menjadi berpasangan,

larutan akan berubah warna dari ungu tua menjadi kuning terang dan absorbansi

pada panjang gelombang 517 nm akan hilang. Perubahan ini dapat diukur dengan

stoikiometri sesuai dengan jumlah elektron atau atom hidrogen yang ditangkap

oleh molekul DPPH akibat adanya zat antioksidan. Struktur molekul senyawa

radikal bebas DPPH sebelum dan sesudah berikatan dengan elektron lain dapat

dilihat pada gambar di bawah ini:

DPPH (radikal) DPPH (non radikal)


Gambar 2.12 Struktur Kimia Senyawa DPPH Radikal Dan Non Radikal

Adapun reaksi peredaman DPPH dengan senyawa antiradikal bebas dapat

dilihat pada contoh sebagai berikut:

Difenil Pikrilhidrazil (ungu) Difenil pikrilhidrazin (kuning)


Gambar 2.13 Reduksi DPPH Dari Senyawa Peredam Radikal Bebas
30

2. Uji ABTS

Asam 2,2-Azinobis (3-etilbenzatiozolin-6-sulfonat) atau ABTS merupakan

substrat dari peroksidase. Prinsip uji ABTS adalah penghilangan warna kation

ABTS untuk mengukur kapasitas antioksidan yang berlangsung bereaksi dengan

radikal kation ABTS. ABTS adalah suatu radikal dengan pusat nitrogen yang

mempunyai karakteristik warna biru-hijau, yang bila tereduksi oleh antioksidan

akan berubah menjadi bentuk nonradikal, dari berwarna menjadi tidak berwarna.

Hasilnya dibandingkan dengan standar yaitu senyawa trolox (Yu, 2008).

3. Uji Penghambatan Radikal Superoksida

Uji ini mengukur kemampuan antioksidan menggunakan medan molekular

nitroblue tetrazolium (NBT) dalam meredam radikal superoksida yang dihasilkan

sistem enzimatik hipoxantin-xantin oksidase (HPX-XOD). NBT memiliki warna

kuning yang melalui reduksi oleh radikal superoksida membentuk formazan yang

berwarna biru dan terukur pada panjang gelombang 560 nm dengan

spektrofotometer. Kemampuan ekstrak untuk penghambatan warna hingga 50%

diukur dalam EC50.

4. Uji Kapasitas Serapan Radikal Oksigen (ORAC)

Uji ini dilakukan dengan menggunakan trolox (analog vitamin E) sebagai

standar untuk menentukan trolox ekuivalen (TE), nilai ORAC kemudian dihitung

dari TE dan dinyatakan sebagai satuan atau nilai ORAC. Semakin tinggi nilai

pembentukan radikal bebas menggunakan AAPH (2,2-azobis-2-amido propane

dihydrochloride) dan pengukuran dari fluoresensi dengan adanya penghambat

radikal. Penelitian terbaru telah melapornkan assay ORAC dengan otomatisasi.


31

Pada uji ini β-phycoerythrin (β-PE) digunakan sebagai target radikal bebas,

AAPH sebagai penghasil radikal peroksil dan trolox sebagai kontrol standar.

Setelah penambahan AAPH ke larutan uji, flouresensi direkam dan aktivitas

antioksidan dinyatakan sebagai trolox ekuivalen (TE) (Bank & Lenoble, 2002).

5. Uji Kapasitas Penghambatan Radikal Hidroksil atau Hydroxyl Radical

Scavenging Capacity (HOSC).

Pada metode HOSC (Hydroxyl Radical Scavenging Capacity), radikal

hidroksi yang terbantuk oleh oksidasi dibuat bereaksi dengan dimetil sulfoksida

(DMSO) untuk menghasilkan formaldehid. Formaldehid membentuk warna

kuning intensif dengan pereaksi nash (ammonium asetat 2 M). Intensitas dari

warna kuning yang terbentuk diukur pada panjang gelombang 421 nm dengan

spektrofotometer. Trolox dijadikan sebagai standar dimana hasil dinyatakan

sebagai ekuivalen mikromol trolox per unit sampel (Yu, 2008).

2.10 Inflamasi

Inflamasi adalah reaksi tubuh terhadap adanya infeksi, iritasi atau zat

asing, sebagai upaya mekanisme pertahan tubuh. Pada reaksi inflamasi akan

terjadi perlepasan histamine, bradikinin, prostalandin, ekstravasasi cairan, migrasi

sel, kerusakan jaringan dan perbaikan yang ditunjukan sebagai upaya pertahanan

tubuh dan biasanya respon ini terjadi pada beberapa kondisi penyakit yang serius,

seperti penyakit kardiovaskular, gangguan inflamasi dan autoimun, kondisi

neurodegeneratif, infeksi dan kanker (Chippada, dkk., 2011).


32

Inflamasi dimulai saat sel mast berdegranulasi dan melepaskan bahan-

bahan kimianya seperti histami, serotonin dan bahan kimia lainnya. Histamin

yang merupakan mediator kimia utama inflamasi juga dilepaskan oleh basofil dan

trombosit. Akibat pelepasan histamin ini vasodilatasi pembuluh darah sehingga

terjadi peningkatan aliran darah dan terjadinya peningkatan permeabilitas kapiler

pada saat awal inflamasi (Corwin, 2008).

2.10.1 Tanda-Tanda Inflamasi

Tanda-tanda klasik umum yang terjadi pada saat inflamasi ada lima

macam yaitu:

a. Rubor (kemerahan)

Terjadi pada pertama dari proses inflamasi yang terjadi karena terkumpul

di daerah jaringan yang cedera akibat dari pelepasan mediator kimia tubuh (kinin,

prostaglandin dan histamin). Ketika reaksi radang timbul maka pembuluh darah

melebar (vasodilatasi Pembuluh darah) sehingga lebih banyak darah yang

mengalir ke dalam jaringan yag cedera.

b. Kalor (panas)

Berjalan sejajar dengan kemerahan kerena disebabkan oleh bertambahnya

penggumpalan darah (banyaknya darah yang disalurkan) atau mungkin karena

pirogen yang mengganggu pusat pengatur panas pada hipotalamus.

c. Dolor (rasa nyeri)

Disebabkan banyak cara, perubahan local ion-ion tertunda dapat

merangsang ujung saraf, timbulnya keadaan hiperalgesia akibat pengeluaran zat

kimia tertentu seperti histamin atau zat kimia bioaktif lainnya yang dapat
33

merangsang saraf, pembengkakan jaringan yang merandang mengakibatkan

peningkatan tekanan lokal juga dapat merangsang saraf.

d. Tumor (Pembengkakan)

Gejala yang paling menyolok dari perandangan akut adalah tumor atau

pembengkakan yang ditandai oleh adanya aliran plasma ke daerah jaringan yang

cedera.

e. Function Laesa (gangguan fungsi)

Kenyataan adanya perubahan, gangguan, kegagalan fungsi telah diketahui,

pada daerah yang bengkak dan sakit disertai dengan adanya sirkulasi yang

abnormal akibat penumpukan dan aliran darah yang meningkat juga menghasilkan

lingkungan lokal yang abnormal sehingga tertentu saja jaringan yang terinflamasi

tersebut tidak berfungsi secara normal (Price & Wilson, 2005).

2.10.2 Mekanisme Inflamasi

Proses inflamasi dimulai dari stimulus yang akan mengakibatkan

kerusakan sel, sebagai reaksi terhadap kerusakan sel maka sel tersebut akan

mengaktifkan enzim fosfolipase untuk mengubah fosfolipid menjadi asam

arakidonat. Setelah asam arakinodat tersebut bebas maka akan diaktifkan oleh

beberapa enzim, diantaranya sikloosigenase dan lipooksigenase. Enzim tersebut

merubah asam arakidonat kedalam bentuk yang tidak stabil (hidroperoksid dan

endoperoksi) yang selanjutnya di metabolise menjadi prostaglandin, prostasiklin,

tromboksan dan leukotriene. Bagian prostaglandin dan leukotriene bertanggung

jawab terhadap gejala dari perangan dan nyeri (Katzung, 2002).


34

2.11 Antiinflamasi

Obat-obat antiinflamasi non-steroid atau NSAID (Nonsteroidal

antiinflammatory drugs) merupakan obat-obat yang menghambat sintesa

prostaglandin, mempunyai efek analgesik dan antipiretik yang berbeda tetapi

terutama dipakai sebagai agen antiinflamasi untuk meredakan inflamasi dan nyeri

(Kee & Hayes, 1994). Sampai beberapa tahun yang lalu, ada dua jenis jalan yang

mengurangi peradangan secara farmakologi. Pendekatan yang pertama adalah

ssteroid dan yang kedua adalah penggunaan obat anti inflamsi non steroid (AINA)

(Olson, 2003).

a. Obat Antiinflamasi Non-streoid

Obat antiinflamasi non-stroid (AISN), merupakan suatu grup obat yang

secara kimiawi tidak sama dan berbeda aktivitas antiinflamasinya. Obat-obat ini

bekerja dengan menghambat enzim siklooksigenase tetapi tidak menghambat

enzim lipooksigenase (Mycek, dkk.2001). Obat yang termasuk dalam golongan

ini adalah obat golongan ibuprofen, indometasin, natrium diklofenak, fenilbutazo

dan piroxikam (Gunawan, 2008).

b. Obat antiinflamasi steroid

Efek anti radang antiinflamasi steroid berhubungan dengan

kemampuannya untuk merangsang biosintesis protein lipomodum yang dapat

menghambat kerja dari enzimatik fosfolipase sehingga mencegah pelepasan

mediator nyeri yaitu asam arakidonat dan metabolitnya, seperti prostaglandin,

leukotriene, tromboksan dan prostasiklin. Obat ini dapat memblok jalur

siklooksigenase dan lipooksigenase sedangkan antiinflamsi non steroid (AINS).


35

Oleh karena itu efeknya lebih baik dibandingkan AINS, namun efek sampingnya

lebih berbahaya pada dosis tunggal dan penggunaan lama (Tjay & Rahardja,

2007).

2.12 Uji Antiinflamasi Metode HRBC

Berbagai metode dapat digunakan untuk menguji aktivitas antiinflamasi

dari suatu obat, kandungan kimia, maupun herbal. Metode yang dapat dilakukan

secara in vivo antara lain pembentukan edema buatan, eritema, iritasi dengan

panas, pembentukan kantung granuloma, iritasi pleura dan penumpukan kristal

sinovitis. Selain itu, metode in vitro juga dapat dilakukan untuk menguji aktivitas

antiinflamasi, antara lain pelepasan fosforilasi oksidatif (ATP), menghambat

denaturasi protein, stabilitas membran eritrosit, stabilitas membran lisosomal,

pengujian fibrinolitik, dan agregasi platelet (Oyedapo et al, 2010).

Sel darah merah manusia (eritrosit) telah digunakan sebagai suatu model

untuk mempelajari interaksi antara obat dan membran. Obat-obatan seperti

anastesi transquiliser dan obat antiinflamasi non steroid dapat menstabilkan

eritrosit untuk melawan terjadinya hemolisis hipotonik pada konsentrasi rendah.

Ketika sel darah merah mengalami stress hipotonik, pelepasan hemoglobin (Hb)

dari sel darah merah dapat dicegah oleh agen antiinflamasi (Askandari, 2015).

Membran sel darah merah merupakan analog dari membran lisosomal.

Enzim lisosomal yang dilepaskan selama inflamsi menyebabkan berbagai

gangguan pada jaringan, kerusakan makromolekuler, dan peroksidasi lipid yang

dianggap dapat bertanggung jawab pada kondisi patologis tertentu seperti jaringan
36

jantung, stok septik, Rheumatoid artritis, dan lain-lain. Aktivitas ekstraseluler dari

enzim ini dianggap berhubungan pada inflamasi akut dan kronik.

Stabilisasi dari membran lisosomal merupakan hal yang sangat penting

pada respon inflamasi dengan menghambat pelepasan konstituen lisosomal dari

aktivitasi neutrofil seperti enzim bakterisidal dan protease yanng dapat

menyebabkan peradangan pada jaringan dan kerusakan selam extra celluer

release.

Kerusakan pada membran lisosomal biasanya memicu pelepasan

fosfolipase A2 yang menyebabkan hidrolisa fosfolipid untuk memproduksi

mediator inflamasi. Stabilisasi pada membran sel ini menghambat lisis dan

pelepasan isi dari sitoplasma yang ikut membatasi kerusakan jaringan dan

eksaserbasi dari respon imun inflamasi. Oleh karena itu, diharapkan dapat

memberikan perlindungan secara signifikan pada membran sel dalam melawan

pelepasan zat-zat penyebab luka (Karunanithi, 2012).

2.13 Spektrofotometer

Spektrofotometer yang sesuai untuk pengukuran di daerah spektrum

ultraviolet dan sinar tampak terdiri atas suatu sistem optik dengan kemampuan

menghasilkan sinar monokromatis dalam jangkauan panjang gelombang 200-800

nm. Gandjar dan Rohman (2012) mengatakan komponen-komponen

spektrofotometer meliputi :
37

a. Sumber Sinar

Pada komponen sinar tampak terdapat lampu tungsen yang terbuat dari

logam tungsen, lampu tungsen mengemisikan sinar pada panjang gelombang 350-

2000 nm, karenanya cocok untuk kolorimetri. Untuk senyawa-senyawa yang

menyerap di spektrum daerah ultraviolet digunakan lampu deuterium yaitu salah

satu isotop hidrogen yang mempunyai satu neutron lebih banyak dibanding

hidrogen biasa dalam inti atomnya. Suatu lampu deuterium merupakan sumber

energi tinggi yang mengemisikan sinar pada panjang gelombang 200-370 nm dan

digunakan untuk semua spektroskopi dalam daerah spektrum ultraviolet.

b. Monokromator

Pada kebanyakan pengukuran kuantitatif sinar harus bersifat

monokromarik yakni sinar dengan satu panjang gelombang tertentu. Hal ini

dicapai dengan melewatkan sinar polikromatik (sinar dengan beberapa panjang

gelombang) melalui suatu monokromator. Terdapat 2 jenis monokromator dalam

spektrofotometer modern yaitu prisma dan kisi difraksi.

Prisma merupakan suatu lempeng kuarsa yang membiaskan sinar yang

melaluinya. Banyaknya pembiasan tergantung pada panjang gelombang sinar,

dengan demikian sinar putih dapat terpecah kedalam warna penyusun-

penyusunnya melalui suatu prisma. Prisma selanjutkan berputar untuk memilih

panjang gelombang tertentu yang diperlukan untuk pengujian.

Kisi difraksi merupakan kepingan kecil gelas bercermin yang didalamnya

terdapat sejumlah garis yang berjarak sama yang terpotong-potong, jarak antar

potongan kurang lebih sama dengan panjang gelombang sinar sehingga berkas
38

sinar monokromatik akan terpisah kedalam komponen-komponen panjang

gelombangnya oleh suatu kisi. Kisi selanjutnya diputar untuk memilih panjang

gelombang yang diinginkan dalam pengujian.

c. Detektor

Setelah sinar melalui sampel, maka penurunan intensitas apapun yang

disebabkan oleh absorbsi diukur dengan suatu detektor. Detektor biasanya

merupakan kepingan elektronik yang disebut dengan tabung pengganda foton

yang bereaksi untuk mengubah intensitas berkas sinar ke dalam sinyal elektrik

yang dapat diukur dengan mudah dan juga bereaksi sebagai suatu pengganda

(amflifier) untuk meningkatkan kekuatan sinyal. Sinar masuk ke tabung dan

mengenai katoda, hal ini akan melepaskan elektron yang akan tertarik pada suatu

anoda. Ketika elektron mengenai anoda ini maka akan melepaskan beberapa

elektron yang tentunya akan tertarik pada anoda diatas. Proses ini akan terulang.

Dalam cara ini suatu aliran elektro dihasilkan dan sinyal dikuatkan.

Begitu sinyal elektrik meningkatkan tabung pengganda foton, maka sinyal

elektrik tersebut akan menuju perekam untuk menampilkan spektrum serapannya.

Kebanyakan spektrofotometer modern saat ini dihubungkan dengan komputer

sehingga dimungkinkan penyimpanan sejumlah data.

2.14 Spektrofotometri

Spektrofotometri merupakan suatu metode analisa yang didasarkan pada

pengukuran serapan sinar monokromatis oleh suatu lajur larutan berwarna pada

panjang gelombang spesifik dengan menggunakan monokromator prisma atau kisi


39

difraksi dengan detektor fototur. Dalam analisi spektrofotometri terdapat tiga

daerah panjang gelombang elektromagnetik yang digunakan yaitu daerah UV

(200-380 nm), daerah Visible (380-700 nm), dan daerah Infrared (700-3000 nm).

Warna yang diserap oleh suatu senyawa merupakan warna komplemeter dari

warna yang teramati.

Tabel 2.1 Hubungan Antara Warna dengan Panjang Gelombang Sinar

Panjang Gelombang
Warna yang Diserap Warna Komplementer
(nm)

400 – 435 Ungu (lembayung) Hijau kekuningan


435 – 480 Biru Kuning
480 – 490 Biru kehijauan Jingga
490 – 500 Hijau kebiruan Merah
500 – 560 Hijau Merah anggur
560 – 580 Hijau kekuningan Ungu (lembanyung)
580 – 595 Kuning Biru
595 – 610 Jingga Biru kekuningan
610 – 750 Merah Hijau kebiruan

Prinsip kerja Spektrofotometri berdasarkan hukum Lambert-Beer, bila

cahaya monokromatik, melalui suatu media (larutan), maka sebagian cahaya

tersebut diserap, sebagian dipantulkan dan sebagian lagi dipancarkan. Transmitan

adalah perbandingan intensitas cahaya yang ditransmisikan ketika melewati

sampel. Persyaratan hukum Lambert-Beer antara lain: radiasi yang digunakan

harus monokromatik, energi radiasi yang diabsorbsi harus homongen, tidak terjadi

flouresensi atau phosphoresensi dan indeks refraksi tidak berpengaruh terhadap

konsentrasi, jadi larutan harus pekat (tidak encer) (Nuraini, 2016).

Anda mungkin juga menyukai