Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pinang (Areca catechu L.)


Pinang (areca catechu) merupakan tanaman yang sekeluarga dengan
kelapa. Salah satu jenis tumbuhan monokotil ini tergolong palem-paleman
(Sihombing, 2000).

Gambar 2.1 Biji Pinang (Anonim, 2010)


2.1.1 Nama Tanaman
Pinang memiliki nama daerah seperti pineng, pineung (Aceh),
pinang (Gayo), batang mayang (Karo), pining (Toba), batang pinang
(Minangkabau), dan jambe (Sunda, Jawa) (Depkes RI, 1989).
2.1.2 Klasifikasi
Divisi : Plantae
Kelas : Monokotil
Ordo : Arecales
Famili : Araceae atau palmae (palem-paleman); Genus : Areca
Species : Areca catheu
(Sihombing, 2000).

2.1.3 Morfologi
Areca catechu L. (pinang) merupakan tanaman famili Arecaceae
yang dapat mencapai tinggi 15-20 m dengan batang tegak lurus bergaris
tengah 15 cm. Buahnya berkecambah setelah 1,5 bulan da 4 bulan
kemudian mempunyai jambul daun-daun kecil yang belum terbuka.
Pembentukan batang baru terjadi setelah 2 tahun dan berbuah pada
umur 5-8 tahun tergantung keadaan tanah. Tanaman ini berbunga pada
awal dan akhir musim hujan dan memiliki masa hidup 25-30 tahun. Biji
buah berwarna kecoklatan sampai coklat kemerahan, agak berlekuk-
lekuk dengan warna yang lebih muda. Pada bidang irisan biji tampak
perisperm berwarna coklat tua dengan lipatan tidak beraturan
menembus endosperm yang berwarna agak keputihan (Depkes RI,
1989).
2.1.4 Kandungan Kimia
Biji buah pinang mengandung alkaloid, seperti arekolin (C8 H13
NO2), arekolidine, arekain, guvakolin, guvasine dan isoguvasine, tanin
terkondensasi, tannin terhidrolisis, flavan, senyawa fenolik, asam galat,
getah, lignin, minyak menguap dan tidak menguap, serta garam (Wang
et al., 1996). Nonaka (1989) menyebutkan bahwa biji buah pinang
mengandung proantosianidin, yaitu suatu tannin terkondensasi yang
termasuk dalam golongan flavonoid. Proantosianidin mempunyai efek
antibakteri, antivirus, antikarsinogenik, anti-inflamasi, anti-alergi, dan
vasodilatasi (Fine, 2000).
2.1.5 Khasiat
Menurut Marshall dalam Sullivan (2000) Buah Pinang banyak
digunakan manusia sebagai penenang dan ada diurutan ke empat setelah
nikotin, ethanol dan kafein dan buah pinang banyak dimakan oleh
berjuta-juta orang antara pantai timur benua afrika dan pasifik barat. Di
indonesia buah pinang digunakan juga dalam dunia pengobatan yaitu
mengobati penyakit seperti cacingan, perut kembung, luka, batuk
berdahak, diare, kudis, koreng, terlambat haid, keputihan, beri-beri,
malaria, difteri, tidak nafsu makan, sembelit, sakit pinggang, gigi dan
gusi (Arisandi, 2008).
Penggunaan paling populer adalah kegiatan menyirih yaitu dengan
bahan campuran buah pinang, daun sirih dan kapur. Pinang atau jambe
adalah salah satu kelengkapan dalam menyirih dikalangan orang-orang
tua. Selain itu, masyarakat Indonesia memanfaatkan tanaman ini
sebagai obat alami untuk menguatkan gusi, gigi dan mengobati
penyakit cacingan (Anonim, 2010). Sebelum dikonsumsi, pinang di
proses terlebih dahulu dengan dibakar, dijemur dan dipanaskan. Pinang
diduga menghasilkan rasa senang, rasa lebih baik, sensasi hangat di
tubuh, keringat, menambah stamina kerja dan menahan rasa lapar
(Gandhi, 2005).

2.2 Flavonoid
Flavonoid menurut strukturnya merupakan turunan senyawa induk
flavon yang terdapat berupa tepung putih pada tumbuhan primula dan
semuanya mempunyai sejumlah sifat yang sama. Dikenal sekitar sepuluh
kelas flavonoid. Flavonoid terutama berupa senyawa yang larut dalam air.
Mereka dapat diekstraksi denganetanol 70 % dan tetap ada dalam lapisan air
setelah ekstrak ini dikocok dengan eter minyak bumi. Flavonoid berupa
senyawa fenol, karena itu warnanya berubah biladitambah basa atau amonia,
jadi mereka mudah dideteksi pada kromatogram ataudalam larutan (J.B
Harborne, 1996).

Flavanoid mempunyai kerangka dasar karbon yang terdiri dari 15 atom


karbon, dimana dua cincin benzene (C6) terikat pada suatu rantai propane
(C3) sehingga membentuk suatu susunan C6-C3-C6.Flavonoid merupakan
golongan filifenol sehingga memiliki sifat kimia senyawa fenol, yaitu
1. Bersifat asam sehingga dapat larut dalam basa.
2. Merupakan senyawa polar karena memiliki sejumlah gugus hidroksil.
3. Sebagai antibakteri karena flavonoid sebagai derivat dari fenol dapat
menyebabkan rusaknya susunan dan perubahan mekanisme permeabilitas
dari dinding sel bakteri.
4. Sebagai antioksidan yaitu kemampuan flavonoid untuk menjalankan
fungsi antioksidan, bergantung pada struktur molekkulnya, posisi gugus
hidroksil memiliki peranan dalam fungsi antioksidan dan aktivitas
menyingkirkan radikal bebas.
2.3 Katekin
Catechin adalah senyawa adalah senyawa metabolit sekunder yang
secara alami dihasilkan oleh tumbuhan dan termasuk golongan flavonoid.
Senyawa ini memiliki anti oksidan berkat gugus fenol yang di milikinya
struktur molekul catechin memiliki dua gugus fenol (cincin A dan B) dan satu
gugus hidropiran (cincin C) di karenakan memiliki lebih dari satu gugus fenol
maka senyawa catechin sering di sebut senyawa polifenol. Catechin pada daun
the memiliki senyawa yang sangat kompleks, tersusun sebagai senyawa
catechin (C), Epicatechin (EC), Epicatechin galat (EPC), Epigalocatechin
(EGC), Epigalocatechin galat (EGCG) dan galocatechin (GC) (Juniaty
Tawoha, Balitteri 2013).
Katekin adalah senyawa dominan dari pilifenol yang merupakan
senyawa yang larut dalam air, tidak berwarna dan tidak memberikan rasa
pahit. Katekin merupakan kerabat tanin terkondensasi yang juga sering di
sebut polifenol karena banyakanya gugus fungsi hidroksil yang dimilikinya.
Katekin bersifat asam lemak (pKa1=7,72 dan pKa2=10,22). Sikar larut dalam
air dan sangant tidak stabil di udara terbuka.sangat mudah teroksidasi pada ph
yang mendekati netral (pH 6,9). Katekin juga mudah teruai cahaya dengan
laju rekasi lebih besar pada pH rendah (3,45) dibanding dengan pH 4,6. Sifat
fitokimianya menjadi tantangan tersendiri dalam formula katekin sebagai
bahan alam. Katekin biasa di sebut sebagai asam catechoat dengan rumus
kimia C15H14O6 tidak berwarna dan dalam keadaan murni sedikit tidak larut
dalam air dingin tetapi larut dengan air panas, larut dengan alkohol dan etil
asetat, hampir tidak larut dalam klorofom benzen dan eter selain itu katekin
berbentuk kristal halu seperti jarum. Katekin dalam larutan asam asetat akan
membentuk larutan bening tetapi jika di reksikan dengan besi klorida akan
membentuk cairan wrna hijau. Katekin merupakan senyawa fenolik yang
kompleks (polifenol) (Heroniaty 2012)
Gambar 2.2 struktur Kimia Senyawa Katekin
Katekin memiliki dua atom karbon yang simestris yang membuatnya
memiliki empat osomer yaitu (+) katekin, (-) katekin, (+) epikatekin dan (-)
epikatekin. (+) katekin dan (-) epikatekin paling banyak di temukan di alam.
Katekin dan epikatekin memiliki 3 jenis trunan. Katekin galat, galokatekin,
galokatekin galat epikatekin galat dan epigalokatekin galat. (Heroniaty 2012)
Pada pola kromatografi lapis tipis katekin diperoleh nilai rf 0,60
menggunakan fese gerak yaitu Etil assetat P-air (100:13,5:10) dan fase diam
menggunakan menggunakan silika gel 60 F254 kemudian untuk penampak
bercak digunakan senyawa Besi (III) klorida 1% LP. Nilai rf ini digunakan
sebagi nilai pembanding untuk senyawa katekin.

2.4 Standarisasi
Standarisasi simplisia mempunyai pengertian bahwa simplisia yang
akan digunakan untuk obat sebagai bahan baku harus memenuhi persyaratan
yang tercantum dalam monografi terbitan resmi pemerintah sebagai pihak
pembina dan pengawasan (Materia Medika Indonesia) yang meliputi
makroskopis, mikroskopis (irisan dan serbuk) serta kimia (Depkes RI, 1989).

2.4.1 Pemeriksaan mutu


Pemeriksaan mutu simplisia sebaiknya dilakukan secara periodik, selain
juga harus diperhatikan untuk pertama kali dilakukan yaitu pada saat
bahan simplisia diterima dari pengepul atau pedagang Iainnya. Buku
pedoman yang digunakan sebagai pegangan adalah Materia Medika
Indonesia atau Farmakope Indonesia. Agar diperoleh simplisia yang
tepat, sebaiknya dilakukan arsipasi simplisia sebagai standar intern atau
pembanding. Mengenai pemeriksaan mutu, dalam benak kami
menginginkan adanya Iaboratorium pemeriksaan mutu simplisia atau
obat tradisional yang terakreditasi serta dapat melayani kebutuhan
pemeriksaan mutu dari produsen obat tradisional. Setelah pemeriksaan
mutu dan ternyata sesuai standar obat herbal maka obat herbal dapat
digunakan untuk kesehatan.
2.4.2 Parameter Simplisia dan Ekstraksi
Dalam memperoleh simplisia dan ekstraksi yang baik harus
diperhatikan parameter-parameter sebagai berikut:

1. Parameter Nonspesifik
a. Parameter susut pengeringan
Adalah pengukuran sisa zat setelah pengeringan pada
temperature 105oC selama 30 menit atau sampai berat konstan,
yang dinyatakan sebagai nila prosen. Dalam hal khusus (jika
bahan tidak mengandung minyak menguap/atsiri dan sisa
pelarut organic menguap) identik dengan kadar air, yaitu
kandungan air karena berada di atmosfer/lingkungan udara
terbuka.Tujuannya adalah untuk memberikan batasan
maksimal (rentang) tentang besarnya senyawa yang hilang
pada proses pengeringan. Nilai atau rentang yang
diperbolehkan terkait dengan kemurnian dan kontaminasi.
b. Parameter bobot jenis
Adalah masa per satuan volume pada suhu kamar tertenru
(25oC) yang ditentukan dengan alat khusus piknometer atau
alat lainnya. Tujuannya untuk memberikan batasan tentang
besarnya masa per satuan volume yang merupakan parameter
khusus ekstrak cair sampai ekstrak pekat (kental) yang masih
dapat dituang. Nilai atau rentang yang diperbolehkan terkait
dengan kemurnian dan kontaminasi.
c. Kadar air
Pengukuran kandungan air yang berada didalam bahan,
dilakukan dengan cara yang tepat diantara cara titrasi, destilasi
atau gravimetric. Tujuannya untuk memberikan batasan
minimal atau rentang tentang besarnya kandungan air
didalam bahan. Nilai atau rentang yang diperbolehkan terkait
dengan kemurnian dan kontaminasi.
d. Kadar abu
Bahan dipanaskan pada temperature dimana senyawa organic
dan turunannya terdestruksi dan menguap, sehingga
menyisakan unsure mineral dan anorganik.Tujuannya adalah
untuk memberikan gambaran kandungan mineral internal dan
eksternal yang berasal dari proses awal sampai terbantuk
ekstrak. Nilai atau rentang yang diperbolehkan terkait dengan
kemurnian dan kontaminasi.
e. Sisa pelarut
Menentukan kandungan sisa pelarut tertentu (yang memang
ditambahkan) yang secara umum dengan kromatografi gas.
Untuk ekstrak cair berarti kandungan pelarutnya, misalnya
kadar alcohol. Tujuannya adalah memberikan jaminan bahwa
selama proses tidak meninggalkan sisa pelarut yang memang
seharusnya tidak boleh ada. Sedangkan untuk ekstrak cair
menunjukkan jumlah pelarut (alcohol) sesuai dengan yang
ditetapkan. Nilai atau rentang yang diperbolehkan terkait
dengan kemurnian dan kontaminasi.
f. Residu pestisida
Menentukan kandungan sisa pestisida yang mungkin saja
pernah ditambahkan atau mengkontaminasi pada bahan
simplisia pembuat ekstrak. Tujuannya untuk memberukan
jaminan bahwa ekstrak tidak mengandung pestisida melebihi
nilai yang ditetapkan karena berbahaya bagi kesehatan. Nilai
atau rentang yang diperbolehkan terkait dengan kemurnian dan
kontaminasi.
g. Cemaran logam berat
Menentukan kandungan logam berat secara spektroskopi
serapan atom atau lainnya yang lebih valid. Tujuannya untuk
memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak mengandung
logam berat tertentu (Hg, Pb, Cd, dll) melebihi nilai yang
ditetapkan karena berbahaya bagi kesehatan. Nilai atau rentang
yang diperbolehkan terkait dengan kemurnian dan
kontaminasi.
h. Cemaran mikroba
Menentukan adanya mikroba yang pathogen secara analisis
mikrobiologis. Tujuannya untuk memberikan jaminan bahwa
ektrak tidak boleh mengandung mikroba pathogen dan tidak
mengandung mikroba non pathogen melabihi batas yang
ditetapkan karena berpengaruh pada stabilitas ekstrak dan
berbahaya bagi kesehatan. Nilai atau rentang yang
diperbolehkan terkait dengan kemurnian dan kontaminasi.
2. Parameter Spesifik
a. Identitas
Meliputi deskripsi tata nama (nama ekstrak, nama latin
tumbuhan, bagian tumbuhan yang digunakan, nama tumbuhan
indonesia) dan dapat mempunyai senyawa identitas. Tujuannya
untuk memberikan identitas objektif dari nama dan spesifik
dari senyawa identitas.
b. Organoleptik
Meliputi penggunaan panca indra untuk mendeskripsikan
bentuk (padat, serbuk-kering, kental, cair, dll), warna (kuning,
coklat, dll), bau (aromatic, tidak berbau, dll), rasa (pahit,
manis, kelat, dll). Dengan tujuan untuk pengenalan awal yang
sederhana.
c. Senyawa terlarut dalam pelarut tertentu
Melarutkan pelarut ekstrak dengan pelarut (alcohol atau air)
untuk ditetapkan jumlah solute yang identik dengan jumlah
senyawa kandungan secara gravimetric. Dalam hal tertentu
dapat diukur senyawa terlarut dalam palarut lain misalnya
heksana, diklormetan, metanol. Tujuannya untuk memberikan
gambaran awal jumlah senyawa kandungan.
2.5 Ekstraksi
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut
sehingga terpisah dari bahan yang tidak larut dengan pelarut cair. Senyawa
aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan kedalam
golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid, dan lain-lain. Dengan
diketahuinya senyawa aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah
pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat (Ditjen POM, 2000).
Cairan penyari yang baik harus memenuhi kriteria antara lain murah
dan mudah diperoleh, netral, tidak mudah menguap, tidak mudah terbakar, dan
tidak mempengaruhi zat berkhasiat. Untuk penyarian ini, Farmakope
Indonesia menetapkan bahwa sebagai cairan penyari adalah air, etanol, dan
eter.
Penelitian yang dilakukan Markku Keinanen dari Universitas Joensuu
tentang metode ekstraksi flavonoid dari daun birch dengan pelarut metanol
cair murni dan 80% (v/v), etanol dan aseton. Dari penelitian tersebut metode
ekstraksi yang digunakan yaitu homogenisasi, Sampel diekstraksi dua kali
dengan 25 mL pelarut menggunakan homogenizer Ultra-Turrax selama 3
menit, metode kedua yaitu refluksi dengan 25 mL pelarut selama 30 menit.
Dan metode ketiga yaitu sokletasi selama 18 jam, pelarut (3 X 70 mL) diubah
setelah 3 dan 6 jam. Dari data penelitian tersebut randemen mengandung
katekin paling banyak yaitu pada metode refluk rendamen untuk senyawa
katekin murni yaitu sebesar 4% dengan menggunakan pelarut etanol 80%.
Penelitian yang dilakukan oleh Ali dkk dari Universitas Rajshahi
Bangladesh tentang isolasi katekin pada kayu pinang. Metode ekstraksi yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu infusa, 1 kg kayu pinang ditambahkan 10
liter air sehingga simplisia benar-benar tenggelam di bawah air, direbus di atas
api terbuka selama 4 jam dan didiamkan selama 24 jam. Hasil randemen
adalah 18%.
Pada jurnal Chanchai Sardsaengjun dan Aranya Jutiviboonsuk
dilakukan metode ekstraksi akasia sebagai berikut yaitu. 100 gram serbuk biji
pinang diekstraksi dalam 1000 ml air dengan metode refluks. Kemudaian
dilakukan pengaduk magnet dengan pemanasan digunakan untuk
mengendalikan kondisi ekstraksi. Ekstraksi dilakukan pada tiga suhu yang
berbeda beda yaitu 60,80 dan 100 dan dengan empat durasi yang berbeda 15,
30, 45 dan 60 menit dengan pengadukan yang continue. Kemudian Setiap
ekstrak disaring setelah itu dilakuakan pemisahan ektraksi cair- cair
menggunakan diklorometana dengan perbandingan 1: 1. Setelah itu fase air
dikumpulkan dan kotoran yang terkait dengan diklorometana dibuang.
Pemisahan dengan diklorometana dilakukan sebanyak 3 kali. Setelah itu fase
air dilakukan pemisahan dengan etil asetat dengan perbandingan 1: 1 diulang
sebanyak 3 kali. Fase dari Etil asetat dikumpulkan dan diuapkan sampai
kering dengan vacuum rotary evaporator. Dari proses isolasi ini dapat
disimpulkan bahwa kondisi optimal berada pada suhu 100oC dalam waktu 45
menit dengan nilai rendamen ekstrak yaitu 9,65 ± 0,35 dengan total
polyphenol yaitu 2.11 ± 0.11.
Berdasarkan penelitian (Pooja Bhardwaj, 2017) metode yang digunakan
untuk mengekstraksi catechin ialah metode maserasi menggunakan pelarut
methanol, diketahui bahwa hasil rendemen (crude extract) yang diperoleh
ialah 36,8 %. Hasil tersebut terbilang besar dibandingan dengan metode
lainnya. Namun penggunaan pelarut etanol tidak dianjurkan, karena methanol
sangat toksik.
Melihat hasil dari beberapa jurnal untuk mengisolasi senyawa katekin
maka dipilih metode refluk dengan pelarut etanol 70% karena metode ini
cukup efektif karena mampu menarik katekin dari simplisia biji pinang relatif
banyak dan digunakan etanol 70% karena etanol 70% mengandung air yang
mampu melunakkan biji pinang sehingga senyawa mudah tertarik.
2.6 Fraksinasi
Fraksinasi merupakan prosedur pemisahan yang bertujuan untuk
memisahkan golongan utama kandungan yang satu dari kandungan yang lain.
Senyawa yang bersifat polar akan masuk ke pelarut polar dan senyawa non
polar akan masuk ke pelarut non polar. (Hostettmann dkk, 1995
Metode fraksinasi yang digunakan ialah Ekstraksi Cair-Cair (ECC)
dengan merujuk pada salah satu jurnal penelitian (Afsar, Tayyaba. 2018),
dimana crude extract yang diperoleh selanjutnya di ECC dengan
menggunakan pelarut n-hexane, etil asetat, kloroform, n-butanol dan air secara
berturut-turut berdasarkan tingkat kepolarannya dari non-polar, semi polar
hingga polar. Kemudian dari hasil ECC tersebut dipilih fraksi etil asetat.
Selanjutnya dilakukan pemisahan kembali menggunakan metode kromatografi
cair vakum (kcv) dengan menggunakan eluen diklormetan : methanol dengan
12 perbandingan. Masing-masing perbandingan ini selanjutnya dianalisis
menggunakan KLT, hasilnya diperoleh 2 fraksi dari 12 fraksi sebelumnya
yang memiliki hasil yang mendekati dengan KLT pada ekstrak. Selanjutnya
dari kedua fraksi tersebut dengan konsentrasi diklormetan dan methanol
masing-masing 7:3 dan 5:5 dicampurkan kemudian dilakukan pemisahan
kembali dengan metode KCV. Hasilnya kembali dianalisis. Jika pada jurnal
penelitian ini dimurnikan dengan flash chromatography dan diidentifikasi
dengan 1H NMR sehingga diperoleh katekin murni. Namun pada penelitian
yang akan kami lakukan setelah kedua fraksi dicampurkan dan di KCV, hasil
fraksi kemudian kembali di analisis dengan KLT untuk memastikan bahwa zat
katekin terkandung di dalamnya. Selanjutnya dimurnikan dengan KLT
preparatif menggunakan eluen yang memberikan pemisahan terbaik saat KLT
analisis (Robinson, 1995)
Adapun dalam identifikasi senyawa katekin menggunakan pereaksi
geser, sebagaimana yang tersebut oleh (Markam, K.R. 1988) dalam bukunya
mengenai cara identifikasi flavonoid, yaitu dengan menambahkan NaOH pada
campuran isolate katekin yang diperoleh dari KLT preparative dan telah
dilarutkan dengan methanol. Penggunaan etanol ini bertujuan untuk melihat
gugus OH di posisi C7 yang berada di pita 2. Kemudian ditambahkan dengan
pereaksi AlCl3, dimana AlCl3 berfungsi untuk melihat gugus OH di posisi
C5. Penggunaan Natrium asetat untuk mendeteksi adanya gugus 7-hidroksil
bebas
Dengan penambahan Natrium Asetat / H3BO3 dapat teridentifikasi
adanya gugus diOH secara orto di cincin B. hal ini menunjukkan bahwa
senyawa tersebut merupakan golongan flavonol.

2.7 Isolasi
Isolasi adalah proses pengambilan atau pemisahan senyawa bahan alam
dengan menggunakan pelarut yang sesuai (Djamal, 2008). Sejak abad ke 17
orang telah dapat memisahkan berbagai jenis senyawa dari sumber-sumber
organik. Senyawa-senyawa tersebut dapat berupa senyawa metabolit primer
dan senyawa metabolit sekunder (Lenny, 2006)
Kromatografi adalah cara pemisahan campuran yang didasarkan atas
perbedaan distribusi dari komponen campuran tersebut diantara dua fase, yaitu
fase diam (stationary) dan fasa bergerak (mobile). Fasa diam dapat berupa zat
padat atau zat cair, sedangkan fasa bergerak dapat berupa zat cair atau gas
(Yazid, 2005).
Pada kromatografi lapis tipis preparatif, cuplikan yang akan dipisahkan
ditotolkan berupa garis pada salah satu sisi pelat lapisan besar dan
dikembangkan secara tegak lurus pada garis cuplikan sehingga campuran akan
terpisah menjadi beberapa pita. Pita ditampakkan dengan cara yang tidak
merusak jika senyawa itu tanwarna, dan penyerap yang mengandung senyawa
pita dikerok dari pelat kaca. Kemudian cuplikan dielusi dari penyerap dengan
pelarut polar. Cara ini berguna untuk memisahkan campuran reaksi sehingga
diperoleh senyawa murni untuk telaah pendahuluan, untuk menyiapkan
cuplikan analisis, untuk meneliti bahan alam yang lazimnya berjumlah kecil
dan campurannya rumit dan untuk memperoleh cuplikan yang murni untuk
mengkalibrasi kromatografi lapis tipis kuantitatif (Gritter, 1991).
Pengembangan plat KLTP biasanya dilakukan dalam bejana kaca yang
dapat menampung beberapa plat. Keefisienan pemisahan dapat ditingkatkan
dengan cara pengembangan berulang. Harus diperhatikan bahwa semakin
lama senyawa berkontak dengan penyerap maka semakin besar kemungkinan
penguraian (Hostettman, 1995).
Kromatografi partisi, yaitu kromatografi kertas. Prinsip kromatografi
partisi dapat dijelaskan dengan hukum partisi yang dapat diterapkan pada
sistem multi komponen. Dalam kromatografi partisi, ekstraksi terjadi berulang
dalam satu kali proses. Dalam percobaan, zat terlarut didistribusikan antara
fasa stationer dan fasa mobil. Fasa stationer dalam banyak kasus pelarut
diadsorbsi pada adsorben dan fasa mobil adalah molekul pelarut yang mengisi
ruang antar partikel yang teradsorbsi. Sampel yang akan dianalisis ditotolkan
ke ujung kertas yang kemudian dimasukkan dalam botol kromatografi.
Kemudian dasar kertas kromatografi Whatman dicelupkan kedalam pelarut
yang mengisi dasar wadah. Fasa mobil (pelarut) dapat saja beragam (Rizki,
2010).

DAFTAR PUSTAKA

Afsar, Tayyaba. 2018. “Antioxidant activity of polyphenoliccompounds isolated


from ethyl-acetate fraction of Acacia hydaspica R. Parker”. Dalam
Chemistry Central Journal (2018) 12:5
Ali dkk.2009.Isolation of (+)-Catechin from Acacia Catechu (Cutch Tree) by a
Convenient Method. Department of Chemistry Rajshahi University.
Bangladesh.
Anonim, 2010. Buah Pinang Untuk Kesehatan.
http://Health.kompas.com/read/14285728
Arisandi Y dan Andriani Y, 2008. Khasiat Berbagai Tanaman Untuk Pengobatan.
Eska Media, Jakarta
Depkes RI, 1989, Materia Medika Indonesia, Jilid V, p. 55-58.
Djamal, Rusdi.(2008).Prinsip-prinsip Dasar Isolasi dan Identifikasi.Padang:
Universitas Baiturrahmah
Fine, A.M., 2000, Oligomeric Proanthocyanidin Complexes: History, Structure,
and Phytopharmaceutical Applications, Altern Med Rev, 5(2):144-151.
Gritter J.R, dkk., 1991., Pengantar Kromatografi., Penerbit ITB, Bandung.
Heroniaty. 2012. Sintesis Senyawa Diamer Katekin Dari Ekstrak Teh Hijau
Dengan Menggunakan Katalis Enzim Peroksidase Dari Kulit Bawang
Bombay (Allium Cepa L.). Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan
Alam Program Pasca Sarjana. Prodi Ilmu Kimia Depok.
Hostettmann, M. Hostettmann, A. Marston. 1995. Cara Kromatografi Preparatif.
Penerbit ITB. Bandung.
JB. Harbourne. 1996. Metode Kimia.Bandung: ITB Press.
Lenny, S., 2006, Senyawa flavonoida, fenilpropanoida dan alkaloida [makalah],
Medan, Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, Universitas Sumatera Utara.
Markku Keinhen. 1993.Leaves (Betula pendula Roth.) Carried Out Using High-
PerformanceLiquid Chromatography Department of Biology University
of Joensuu. Finland
Nonaka, G., 1989, Isolation and structure elucidation of tannins, Pure & Appl.
Chem, 61 (3): 357-360.
Pooja Bhardwaj, dkk. 2017. “Development and Validation of UV
Spectrophotometric Method for Estimation of Catechin in Acacia catechu
Methanolic Extract against Marker Compound” Dalam Journal of
Pharmaceutical, Chemical and Biological Sciences
Rizki. 2010. Kromatografi. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan tinggi, hal 191. Bandung :
ITB Press.
Sihombing, T. 2000. Pinang : Budidaya dan Prospek Bisnis. Jakarta : Penebar
Swadaya.
Sullivan, R.J, Allen S.J, Otto, C, Tiobech, J dan Nero, K, 2000. Effects of chewing
betel nut (Areca catechu) on the symptoms of people with schizophrenia
in Palau, Micronesia. http://bjp.rcpsych.org/content/177/2/174#BIBL.
Wang, C.K., a nd Lee, W.H., 1996, Separation, Characteristics, and Biological
Activities of Phenolics in Areca Fruit, J. Agric. Food Chem., 44(8):2014
-2019.

Anda mungkin juga menyukai