Anda di halaman 1dari 5

ANALISIS PUTUSAN NO. 226/Pid.

Sus/2019/PN Kla
HUKUMAN MATI NARKOTIKA
ISRA MIRANTI / H1A119046
KELAS A HUKUM PENINTENSIER

A. KASUS OPOSISI
Bahwa pada kasus denganPutusan No. 226/Pid.Sus/2019/PN Kla, ats nama
terdakwa M. Nasir Alias ARI yang berekutu atau bekerja sama dengan saksi
Septiyanto Murdani Alias Jawa, saksi Bayu Primadi dan saksi Adi fakih Usman
alias Dodo, yang bermula pada tanggal 20 Februari 2019 Epul (DPO) yang
merupakan orang kepercayaan Dalom (DPO) menghubungi terdakwa untuk
membicarakan guna mengambil narkotika Golongan I jenis sabu di Kota Medan
kemudian keesokan harinya Epul kembali menghubungi terdakwa dan
menanyakan apakah terdakwa berani atau tidak, Kemudian terdakwa memanggil
saksi Bayu untuk ke kosan miliknya, kemduian terdakawa menghubungi saksi
Septiyanto untuk menawarkan pekerjan untuk mengambil narkotika dikota
medan. Kemudian saksi Septiyanto tiba di kos terdakwa dnsudah menemui saksi
Bayu dan mereka membicarakan mengenai upah kepada terdakwa dan terdakwa
menjanjikan akan memberikan upah Rp. 250.000.000 serta uang jalan 6 juta
rupiah. Kemudian terdakwa memerintahkan mereka untuk bertemu seseorng dan
di berikannya 1 buah tas jinjing berisikan narkotika jenis shabu-shabu. Dan
kembali ke Lampung. Kemudian terdakwa menawarkan pekerjaan kembali
kepada Septiyanto untuk membawa narkota tersebut ke tangerang yang kemudian
di setujui, lalu saksi Septiyanto berangkat ke tangerang dengan menaiki bus dan
menyimpan 1 buah koper di belakang bus yang berisikan narkotika jenis sabu-
sabu, kemudian pada saat pemeriksaan rutin oleh sat res Narkoba Polres Lampung
dan memeriksa isi bagasi bus, dan menemukan 1 buah koper yang setelah di
periksa ternyata berisi 17 bungkus plastik bening berisikan Narkotika Golongan I
Jenis Sabu-Sabu yang ditotal mencapai 16 Kilogram. Bahwa seteah di periksa
mereka telah menerima uang sebesar 250 juta dan 25 juta, bahwa penggunaan
sabu tersebut bukan tuntuk kepentingan ilmu pengetahuan dan kesehatan .
Perbuatan terdakwa di jatuhkan vonis oleh majelis Hakim yakni hukuman mati.
Hal in sesuai dengan 114 ayat (2) jo. Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotik.

B. Pertimbangan Hakim Pada Putusan No. 226/Pid.Sus/2019/PN Kla


Dalam Putusan No. 226/Pid.Sus/2019/PN Kla yang mulia Majelis Hakim
menjatuhkan vonis Pidana mati hal ini didasarkan dengan kebenaran atau
terbuktinya unsure-unsur yang ada dan di dasarkan dengan bukti-bukti serta fakta
persidangan yang ada, bahwa berdasarkan unsure tanpa hak majelis hakim
berpendapat bahwa terdakwa tidak memiliki hak dan secara melawan hukum
memiliki barang narkotika jenis sabu-sabu, Kemduian mengenai unsure
menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam
jual beli, menukar atau menyerahkan Narkotika Golongan I dalam bentuk
tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon
dan dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 (lima) gram; Majelis Hakim
berpendapat, terdakwa dan saksi Septiyanto, bayu, Adi Fakih merupakan orang
telah bekerja sama dalam suatu system sesuai dengan perannya masing-masing
dan telah menerima dan atau menyerahkan narkotika Golongan satu sebanyak 17
bungkus yang di toal mencapai 16 Kilogram yang mengandung metamfetamina
dan terdaftar dalam Golongan I nomor urut 61 Lampiran Undang-Undang Nomor
35 tahun 2009 tentang Narkotika; Yang dibawa dari Medan dengan tujuan untuk
diantarkan ke Tangerang. Dengan demikian telah terbukti bahwa Terdakwa telah
melakukan tindakan menerima dan/atau menyerahkan Narkotika Golongan I
dalam bentuk tanaman dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima)
gram;
Kemudian dari fakta-fakta persidangan bahwa dengan dibawanya
narkotika ke Medan kemudian ke tangerang maka unsure “Menawarkan untuk
dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar
atau menyerahkan” menurut Majelis Hakim telah terpenuhi. Majelis Hakim juga
berpendapat bahwa pada saat mempertimbangkan unsur ke-2 (unsur “tanpa hak
atau melawan hukum”) telah diperoleh fakta bahwa Narkotika Golongan I yang
diterima oleh Terdakwa adalah 17 (tujuh belas) buah plastik bening berisikan
Narkotika jenis sabu dengan berat 16 (enam belas) kilogram yang mengandung
metamfetamina dan terdaftar dalam Golongan I nomor urut 61 Lampiran Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Dengan
demikian unsur ”Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman beratnya melebihi
1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon dan dalam bentuk bukan
tanaman beratnya 5 (lima) gram” telah terpenuhi; Kemudian berdasarkan unsure
permufakatan jahat pada Pasal 114 Majeis Hakim berpendapat Menimbang,
bahwa dengan adanya keterkaitan satu sama lain yang berhubungan dengan
peredaran Narkotika, dalam hal ini, penerimaan dan/atau penyerahan 17 (tujuh
belas) buah plastik bening berisikan Narkotika jenis sabu dengan berat 16 (enam
belas) kilogram. Maka telah terbukti dari pertimbangan hakim ini lah yang
menjadi dasar Majelis hakim menjatuhkan vonis hukuman Mati kepada terdakwa.
Yang mana amar Putusan dari Majelis hakim adalah :
1. Menyatakan Terdakwa M. NASIR alias ARI Bin HARUN tersebut di atas
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
”Permufakatan jahat dalam menerima dan/atau menyerahkan Narkotika
Golongan I dalam bentuk bukan tanaman yang beratnya melebihi 5 (lima)
gram” sebagaimana dalam Dakwaan Kesatu;
2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana mati;
3. Menetapkan Terdakwa tetap ditahan;
4. Membebankan biaya perkara kepada negara;

C. Analisi Putusan .No. 226/Pid.Sus/2019/PN Kla


Mengingat dampak negatif yang sangat besar oleh tindak pidana narkotika,
maka pidana mati sebagai ganjaran nampaknya memang sangat diperlukan.
Pertimbangan untuk menjatuhkan pidana mati ini lebih diarahkan kepada adanya
keadilan dalam masyarakat. Namun di sisi lain, pidana mati juga dianggap sebagai
pelanggaran terhadap hak asasi manusia, yaitu hak untuk hidup. Dua kutub
pemikiran ini, yaitu kaum retensionist dan kaum abolisionist, terus bergulir seakan
tiada henti. Walaupun demikian, penjatuhan pidana mati masih dirasakan urgen
terhadap pelaku tindak pidana narkotika.
Dan Berdasarkan pertimbangan hakim, kronologi kasus pada Putusan
dengan No. . 226/Pid.Sus/2019/PN Kla penulis berpendapat bahwa sudah sangat
tepat vonis yang dijatuhkan atau dikenakan bagi terdakwa oleh majelis hakim hal
ini membuat efek jera bagi masyarakat, mengingat perbuatan terdakwa yang
menyuruh dan melakukan permufakatan jahat untuk menyelundupkan 16
kilogram sabu-sabu dan bukan hanya dilakukan sekali namun beberapa kali,
mengingat tidak adanya hal-hal yang meringankan membuat putusan hakim sudah
sangat tepat dalam menjatuhkan vonis pidana mati bagi terdakwa.
Akan tetapi menurut penulis di era ini Penerapan sanksi pidana mati bagi
pelaku tindak pidana narkotika tersebut nampaknya belum sepenuhnya memberi
efek jera. Buktinya setiap tahun selalu ada peningkatkan jumlah kasus
penyalahgunaan narkotika. Data tahun 2011 tercatat 36.589 tersangka, tahun 2012
tercatat 35.453 tersangka, dan tahun 2013 tercatat 43.767 tersangka. Adapun jenis
narkotika yang paling banyak disalahgunakan adalah ganja, shabu, dan ektasi.
Kurang lebih 40-50 pengguna meninggal setiap hari karena narkoba. Kerugian
negara baik dalam bentuk peerekonomian maupun sosial ditengarai mencapai
Rp.63 Trilyun per tahun.
Pada hakekatnya pidana mati merupakan pidana menghilangkan nyawa
terpidana, maka dengan menghilangkan nyawa pelaku tindak pidana, berarti
menghentikan pelaku untuk melakukan kejahatan. Ini berarti dengan adanya
pidana mati, masyarakat merasa aman dan terlindungi dari gangguan jahat pelaku.
Dilihat dari unsur perlindungan masyarakat yang demikian, kebijakan tentang
pidana mati terhadap kejahatan narkokotika dapat dikatakan memenuhi atau
sesuai dengan aspek perlindungan masyarakat.
Bahwa bicara tentang efek pidana mati atau pemidanaan lainnya dengan
mengesampingkan efek pembalasan dan efek jera, ibaratnya hidup dalam dunia
maya, karena hal itu pasti tak terhindarkan dalam perspektif korban atau pelaku,
sehingga sifatnya selalu subjektif. Khusus tentang pidana mati dalam
Undangundang Narkotika, tentu diharapkan akan menimbulkan efek jera dalam
masyarakat, sungguh tak terbayangkan jika pidana mati dihapuskan dari
Undangundang Narkotika. Bahwa antara pidana mati dan filosofi pemasyarakatan
tidak ada hubungan, karena filosofi pemasyarakatan kaitannya adalah dengan
pidana penjara.
Sehingga penulis berpendapat dengan dikenakannya pidana mati dapat
membuat jera bagi para pelaku tindak pidana narkotika, mengingat masih
tingginya tingkat narkotika di Indonesia dan menurut penulis ini tidak
bertentangan dengan HAM mengingat narkotika dapat merusak generasi penerus
khususnya anak muda.

Anda mungkin juga menyukai