Anda di halaman 1dari 15

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Hakikat Tata Usaha

Bagian tata usaha baik di sekolah , kantor, atau instansi lainya merupakan

salah satu bagian yang penting serta cukup sibuk dan paling sering dikunjungi.

Mulai dari pendaftaran calon mahasiswa, pengurusan berkas pegawai baru,

penerbitan SK, pengurusan ijazah, pengurusan berkas kenaikan jabatan, hingga

legalisir ijazah. Bisa dikatakan urusan tulis-menulis dan pencatatan data anggota

instansi, keuangan, dan data-data lainya menjadi tanggungjawab bagian tata

usaha.

Meskipun tidak terlihat secara signifikan namun bagian tata usaha sangat

diperlukan dalam setiap instansi untuk menyediakan data dan keterangan yang

dibutuhkan dalam pengambilan keputusan yang penting oleh pimpinan isntansi.

Kekurangan atau kesalahan data tentu dapat berakibat pada kelirunya keputusan

yang diambil.

Menurut Liang Gie, tata usaha adalah serangkaian aktivitas

penghimpunan, pencatatan, pengiriman, pengolahan, penggandaan, dan

penyimpanan berbagai macam keterangan yang dibutuhkan dalam setiap

organisasi. Tata usaha merupakan bagian di dalam sebuah instansi yang memiliki

tugas dalam pengolahan data sampai pada penyimpanannya. Hal ini diperlukan

karena untuk memudahkan kita untuk mencari kembali data apabila kita ingin

menggunakanya kembali.

1
2

Nawawi dan Martini berpendapat, tata usaha adalah kegiatan

menghimpun, menggandakan, mencatat, menyimpan serta mengirim berbagai data

dan informasi yang berguna untuk mewujudkan tugas pokok organisasi. Tidak

jauh berbeda dengan pendapat yang dipaparkan oleh Liang Gie, bahwa kegiatan

tata usaha memang tidak terlepas dari pengolahan data baik data pegawai, data

mahasiswa dan data-data yang tentunya masih berhubungan dengan administrasi

sehingga tata usaha menjadi sangat penting di dalam sebuah sekolah, atau

instansi-instansi tertentu.

Secara umum, pengertian tata usaha adalah bagian dari administrasi yang

khusus mengurus data mulai dari pengumpulan atau penghimpunan, pencatatan,

pengiriman, penggandaan, hingga penyimpanan data. Tata usaha

bertanggungjawab mengumpulkan data atau keterangan dari yang belum ada

menjadi ada atau dari yang berserakan hingga terkumpul sehingga dapat

digunakan ketika dibutuhkan.

B. Hakikat Strategi

1. Definisi Strategi

Pada awalnya strategi digunakan untuk kepentingan militer saja tetapi

kemudian berkembang keberbagai bidang yang berbeda seperti strategi bisnis,

olahraga, perdagangan, manajemen strategik, dan lain sebagainya. Sejalan

dengan perkembangan konsep manajemen srategik (strategic management),

strategi tidak didefinisikan semata-mata sebagai cara untuk mencapai tujuan

karena strategi dalam konsep manajemen strategik mencakup juga penetapan


3

berbagai tujuan itu sendiri, yang diharapkan akan menjamin terpeliharanya

keunggulan kompetitif organisasi.

Menurut Gerry Johnson dan Kevin Scholes, strategi adalah the direction

and scope of an organization over the long term; which achieves advantage for

the organization through its configuration of reseources within a changing

environment, to meet the needs of markets and to fulfil stakholder expextations.1

Hamel dan Prahalad mendefiniskan strategi adalah tindakan yang bersifat

senantiasa meningkat/ incremental dan terus menerus, serta dilakukan

berdasarkan sudut pandang tenang apa yang diharapkan oleh para pelanggan di

masa yang akan datang.2

Sementara itu Alferd Chandler mendefinisikan strategi adalah,”the

determination of long term goals of an enterprise and the adoption of courses of

action and the allocation of resources necessary for carrying out these goals”.

Sedangkan Kenneth Andrews merumuskan bahwa strategi sebagai: “ the pattern

of objectives, purposes or goals, and the major policies and plans for achieving

these goals stated in such a way as to define what bussines the company is in or

should be in and the kond of company it is or should be”.3

Adapun yang dimaksud dengan keputusan strategis (strategic desicion)

merupakan keputusan-keputusan yang akan mempengaruhi keberlangsungan

organisasi atau lembaga dalam jangka panjang. Melihat strategi hanya satu

bagian dari rencana (plan) ternyata tidak dapat memberikan penjelasan yang

1
Thomas Sumarsan, Sistem Pengendalian Manajemen: Konsep, Aplikasi, dan
Pengukuran Kinerja (Cet. 1; Jakarta Barat: Indeks, 2013), h. 61.
2
Ibid., h. 61.
3
Ismail Solihin, Pengantar Manajemen (Cet. 1; Jakarta: Erlangga, 2009), h. 70.
4

memuaskan terhadap berbagai fenomena strategi dalam dunia organisasi. Oleh

sebab itu Mintzeberg memperluas konsep strategi dan mendefinisikan strategi

dengan memperhatikan berbagai dimensi dari konsep strategi. Mintzeberg

menamakanya “5 P’s of strategy”, yaitu:4 (manajemen strategic)

a. Strategy as a Plan

Dalam hal ini terdapat dua karakteristik strategi yang sangat penting yakni

pertama, strategi direncanakan terlebih dahulu secara sadar dan sengaja

mendahului berbagai tindakan yang akan dilakukan berdasarkan strategi yang

dibuat tersebut. Kedua, strategi kemudian dikembangkan dan dimplementasikan

agar mencapai tujuan.

b. Strategy as a Ploy

Dalam hal ini strategi merupakan suatu manuver yang spesifik untuk

memberi isyarat mengancam kepada pesaing organisasi.

c. Strategy as a Pattern

Strategi sebagai sebuah pola menunjukan adanya serangkaian tindakan

yang dilakukan oleh manajemen dalam mengejar sebuah tujuan. Dalam hal ini

Mintzberg membagi strategi sebagai sebuah pola ke dalam 5 kategori strategi,

yaitu: intended strategy, deliberate strategy, unrealized strategy, emerging

strategy, dan realized strategy. Berdasarkan pengamatan yang dilakukannya,

Mintzberg menemukan fenomena bahwa strategi yang direncanakan

perusahaan/organisasi melalui proses perencanaan (intended strategy) yang

diterjemahkan ke dalam suatu tindakan strategi yang disengaja (deliberate

strategy) sering kali berubah menjadi strategi yang tidak dapat direalisasikan
4
Ismail Solihin, Manajemen Srtategik (Cet. 1; Jakarta: Erlangga, 2012), h. 25.
5

(unrealized strategy) akibat terjadinya perubahan lingkungan organisasi.

Sebaliknya strategi yang tidak dimaksudkan sebelumnya dapat muncul sebagai

alternatif strategi (emerging strategy) yang apabila diimplementasikan organisasi

dapat menjadi strategi yang dapat direalisasikan (realized strategy).

d. Strategi as Position

Dalam hal ini strategi menunjukan berbagai keputusan yang dipilih

orgnaisasi untuk memposisikan organisasi di dalam lingkunganya.

e. Strategy as a Prespektive

Dalam hal ini strategi menunjukan prespektif dari pada strategist (pembuat

keputusan strategis) di dalam memandang dunianya. Strategi merupakan

pemikxiran yang hidup di dalam benak para pembuat keputusan strategis dan

seperti halnya ideologi atau budaya kemudian beruasaha dijadikan nilai bersama

(share value) di dalam organisasi.

2. Tingkat -Tingkat Strategi

Walaupun demikian ada beberapa ciri tertentu yang dapat menjadi

indikator terhadap efektifitas dari suatu strategi. Menurut Rumelt dalam Heene

dkk, ciri-ciri tersebut dapat dirinci menjadi empat kriteria menyeluruh,

menyangkut :

a. Konsistensi. Suatu strategi tidak diperkenankan sedikit pun untuk

merumuskan berbagai perencanaan sasaran maupun langkah-langkah

operasional yang serba inkonsisten;


6

b. Penyesuaian diri. Suatu strategi harus senantiasa memberikan respons

adaptif atas munculnya kendala-kendala dari lingkungan internal maupun

eksternal organisasi;

c. Penciptaan nilai. Suatu strategi harus senantiasa meracik jalan keluar

konseptual positif yang mendorong upaya penciptaan nilai yang seoptimal

mungkin;

d. Potensi diri. Suatu strategi harus senantiasa tidak diperkenankan menilai

secara berlebihan terhadap sarana-sarana yang tersedia ataupun

merekayasa kreasi-kreasi baru yang justru sulit ditangani.

C. Komitmen

Setiap organisasi berusaha mencapai tujuan dengan menggunakan segenap

sumber daya manusia yang dimiliki. Oleh karenanya tujuan setiap sumber daya

manusia dalam organisasi harus dijaga agar selaras dengan tujuan organisasi.

Disamping itu, sumber daya manusia dalam organisasi diharapkan

memiliki kompetensi, kemampuan dan keterampilan yang diperlukan untuk

melaksanakan tugasnya. Organisasi juga memerlukan sumber daya manusia yang

memiliki motivasi berprestasi dan etos kerja keras, dan tidak kalah pentingnya

adalah memiliki komitmen kuat pada organisasinya. Dengan demikian,

diharapkan sumber daya manusia organisasi dapat mendapatkan kontribusi

terbaiknya pada organisasi.


7

1. Definisi Komitmen

Pandangan para pakar tentang pengertian komitmen dapat sangat

bervariasi. Ada yang menyatakan komitmen saja, namun adapula yang

menyatakan sebagai komitmen organisasional. Pada dasarnya, komitmen bersifat

individual, merupakan sifat atau perilaku yang dimiliki setiap individu.

Sedangkan komitmen individu terhadap organisasi di mana dia bekerja dapat

dikatakan sebagai komitmen organisasional.

Ivancevich, Konopaske, dan Matteson menyatakan bahwa komitmen

adalah perasaan identifikasi, pelibatan, dan loyalitas dinyatakan oleh pekerja

terhadap perusahaan.5 Dengan demikian, komitmen menyangkut tiga sifat: (a)

perasaan identifikasi dengan tujuan organisasi, (b) perasaan terlibat dalam

organisasi, dan (c) perasaan loyal pada organisasi.

Konsep tentang komitmen karyawan terhadap organisasi ini (disebut pula

dengan komitmen kerja), yang mendapat perhatian dari manajer maupun ahli

perilaku organisasi, berkembang dari studi awal mengenai loyalitas karyawan

yang diharapkan ada pada setiap karyawan. Komitmen kerja atau komitmen

organisasi merupakan suatu kondisi yang dirasakan oleh karyawan yang dapat

menimbulkan perilaku positif yang kuat terhadap organisasi kerja yang

dimilikinya.

Menurut Steers dan Porter, suatu bentuk komitmen kerja yang muncul

bukan hanya bersifat loyalitas yang pasif, tetapi juga melibatkan hubungan yang

5
Wibowo, Manajemen Kinerja (Cet. 4; Jakarta: Rajawali Pers, 2014), h. 427.
8

aktif dengan organisasi kerja yang memiliki tujuan memberikan segala usaha

demi keberhasilan organisasi kerja yang bersangkutan.6

Mowday mendefinisikan komitmen kerja sebagai kekuatan relatif dari

identifikasi individu dan keterlibatannya dengan organisasi kerja.7 Sementara

Mitchell memandang komitmen kerja sebagai suatu orientasi nilai terhadap kerja

yang menunjukkan bahwa individu sangat memikirkan pekerjaannya, pekerjaan

memberikan kepuasan hidup, dan pekerjaan memberikan status bagi individu.8

Selanjutnya Steers dan Porter mengemukakan adanya tiga karakteristik yang

bisa digunakan sebagai pedoman telah komitmen kerja,9 yaitu :

a. Adanya keyakinan yang kuat dan penerimaan tujuan serta nilai-nilai yang

dimiliki organisasi kerja.

b. Terdapatnya keinginan untuk mempertahankan diri agar tetap dapat

menjadi anggota organisasi tersebut.

c. Adanya kemauan untuk berusaha keras sebagai bagian dari organisasi

kerja.

Sementara itu Oliver mendefinisikan komitmen sebagai kekuatan relatif

yang dimiliki seseorangdalam mengindentisifikasi dirinya dengan dan terlibat

dalam organisasi khususnya yang ditandai dengan adanya kepercayaan terhadap

sasaran dan nilai dari organisasi, kemauan untuk menunjukkan usaha dengan

6
S. Pantja Djati, “Kajian Terhadap Kepuasan Kompensasi, Komitmen Organisasi, Dan
Prestasi Kerja.” Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan 5, no 1 (Maret 2003): h. 31.

7
Ibid., h. 31.
8
Ibid., h. 31.
9
Ibid., h. 31.
9

mengatasnamakan organisasi dan keinginan yang kuat untuk tetap tinggal dalam

organisasi.10

2. Dimensi Pemikiran

Schermerhon, Hunt, Osborn, dan Uhl-Bien mengenalkan adanya dua tipe

komitmen organisasional, yaitu Rational Comitmen dan Emotional Comitmen.

Rational Comitmen mencerminkan perasaan bahwa pekerjaan memenuhi

kepentingan finansialnya, pengembangan, dan profesionalnya. Sedangkan

Emotional Comitmen mencerminkan perasaan bahwa apa yang dilakukan adalah

penting, berharga dan memberi manfaat pada orang lain.

Sementara itu Kreitner dan Knicki mengambarkan ada tiga komponen

komitmen organisasional, bersumber dari pendapat John Meyer dan Natalie

Allen, yaitu: komitmen afektif (affective commitment), komitmen berkelanjutan

(continuence commitment), dan komitmen normatif (normative commitment).

Komitmen afektif (affective commitment) mengacu pada hubungan

emosional anggota terhadap organisasi. Orang-orang ingin terus bekerja untuk

organisasi tersebut karena mereka sependapat dengan tujuan dan nilai dalam

organisasi tersebut. Orang-orang dengan tingkat komitmen afektif yang tinggi

memiliki keinginan untuk tetap berada di organisasi karena mereka mendukung

tujuan dari organisasi tersebut dan bersedia membantu untuk mencapai tujuan

tersebut. Komitmen ini menyebabkan karyawan bertahan pada suatu pekerjaan

10
Djoko Kristianto, “Peningkatan Kinerja Berbasis Pada Komitmen Organisasi Dengan
Strategi dan Inovasi,”Ekonomi dan Kewirausahaan 7, no. 1(April 2007): h. 23.
10

karena mereka menginginkannya, atau dengan kata lain “stay because you want

to”.

Komitmen berkelanjutan (continuence commitment) mengacu pada

keinginan karyawan untuk tetap tinggal di organisasi tersebut karena adanya

perhitungan atau ana lisis tentang untung dan rugi. Nilai ekonomi menyebabkan

karyawan bertahan dalam suatu organisasi dibandingkan dengan meninggalkan

organisasi tersebut. Semakin lama karyawan tinggal dengan organi-sasi mere-

ka, semakin mereka takut kehilangan apa yang telah mereka investasikan di

dalam organisasi selama ini. Artinya, komitmen kerja dianggap sebagai persepsi

harga yang harus dibayar jika karyawan meninggalkan pekerjaannya, misalnya

akan kehilangan senioritas atas promosi atau benefit. Komitmen ini

menyebabkan karyawan bertahan pada suatu pekerjaan karena mereka

membutuhkannya atau dengan kata lain “stay because you need to”

Komitmen normatif (normative commitment) mengacu pada perasaan

karyawan yang mewajibkan mereka untuk tetap berada di organisasinya karena

tekanan dari yang lain. Karyawan yang memiliki tingkat komitmen normatif

yang tinggi akan sangat memperhatikan apa yang dikatakan orang lain tentang

mereka jika mereka meninggalkan organisasi. Mereka tidak ingin

mengecewakan atasan mereka dan khawatir jika rekan kerja mereka berpikir

buruk terhadap mereka karena pengunduran diri tersebut. Komitmen ini

menyebabkan karyawan bertahan pada suatu pekerjaan karena mereka merasa

wajib untuk melakukannya serta didasari keyakinan tentang apa yang benar dan

berkaitan dengan moral atau dengan kata lain “stay because you ought to”.
11

3. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Komitmen

Seperti dikemukakan di atas bahwa komitmen organisasi terdiri dari

komponen affective commitment, continuance commitment dan normative

commitment. Masing – masing komponen dipengaruhi oleh faktor yang berbeda.

McShane dan Von Glinow, memandang komitmen organisasional sebagai

loyalitas organisasional. Cara untuk membngun komitmen organisasi adalah

sebagai berikut:

a. Justice and support (keadilan dan dukungan). Affective commitment lebih

tinggi pada organisasi yang memenuhi kewajibanya pada pekerja dan tinggal

dengan nila i- nilai humanitarian seperti kejujuran, kehormatan, kemauan

memafkan, dan integritas moral.

b. Share values (nilai bersama). Affective commitment menunjukan identitas

orang pada organisasi, dan identifikasi mencapi tingkat tertinggi ketika pekerja

yakin nilai- nilai mereka sesuai dengan nilai-nilai dominan organisasi.

c. Trust (kepercayaan). Kepercayaan menunjukan harapan positif satu orang

terhadap orang lain dalam situasi yang melibatkan resiko. Kepercayaan berarti

menempatkan nasib pada orang lain atau kelompok. Untuk menerima

kepercayaan, maka kita harus menunjukan kepercayaan.

d. Organizational Comprehension (pemahaman organisasioal). Pemahaman

organisasional menunjukan seberapa baik pekerja memahami oraganisasi,

termasuk arah strategis, dinamika sosial, dan tata ruang fisik.


12

e. Employee involvement (pelibatan pekerja). Pelibatan pekerjaa meningkatkan

affective commitment dengan memperkuat identitas sosial pekerja dengan

organisasi. Pekerja merasa bahwa mereka menjadi bagian dari organisasi apabila

mereka berpartisipasi dalam keputusan mengarahkan masa depan organisasi.

Pekerja yang memiliki komitmen organisasional biasanya akan

mempunyai catatan kehadiran baik, menunjukan kesetian pada kebijakan

organisasi, dan mempunnyai turnover rate lebih rendah. Newstrom berpendapat

Komitmen dapat menurun atau meningkat karena faktor-faktor sebagai berikut:

a. Inhibiting factors, (faktor penghambat): menyalahkan secara berlebihan,

mengucapkan terimakasih tidak tulus, kegagalan menerus, ketidakkonsistenan

dan ketidaksesuaian, meningkatnya ego dann gangguan.

b. Stimulating factors, (faktor perangsang): kejelasan aturan dan kebijakan,

investasi pada pekerja berupa peltihan, penghargaan dan apresiasi atas usaha,

partisipasi dan otonomi pekerja, membuat pekerja merasa dihargai, pengingat

investasi atas pekerja, mengusahakan dukungan bagi pekerja, membuat peluang

bagi pekerja untuk menyatakan kepedulian pada orang lain.

4. Mengukur Komitmen

Orang memberikan perhatian pada prestasi kerja ketika mereka

mempunyai komitmen untuk melakukan tindakan. Deteksi kan adanya

kekurangan komitmen apabila dilakukan lebih dini dan akan lebih udah untuk

menghindari masalah di kemudian hari. Seseorang yang tertekan dalam

menerima kesepakatan tidak mungkin benar-benar memiliki komitmen.


13

Untuk melakukan pengukuran seberapa besar komitmen pegawai adalah

penting apabila dilakukan observasi terhadap tingkat antusiasme yang

ditunjukkan pekerja terhadap kesepakatan sasaran dan tingkat kinerja. Terdapat

sejumlah tanda yang menunjukkan bahwa pekerja/pegawai mempunyai

komitmen pada tugas. Sebagai contoh adalah, mereka mengkolaborasi rencana

untuk mencapai sasaran atau mulai mengajukan pertanyan tentang implementasi

dan siapa yang harus diberi tahu tentang sasaran. Ini merupakan tanda komitemn

positif.

Langdon dan Osborne menjelaskan sebagai tanda komitmen positif:

pekerja menunjukan antusiasme, menyelsaikan masalah, melaporkan kemajuan,

dan menunjukan inisitif. Sedangkan sebagai tanda dari buruknya komitmen

adalah: mengajukan pengunduran diri, mengabaikan masalah, bersikap diam dan

kurangnya inisiatif.

5. Perilaku Penarikan Diri

Kinerja organisasi sangat ditentukan oleh sumber daya manusianya, baik

dilihat dari segi kompetensinya maupun komitmenya. Keluarnya seorang pekerja

berbakat akan memperburuk situasi. Keadaan akan menjadi semakin buruk

apabila ditambah terdapatnya kejadian kerja yang negatif.

Colquitt, LePine dan Wesson menjelaskan Apabila menghadapi keadaan

kerja negatif, maka terdapat empt alternatif respons yang dapat dilakukan, yaitu

Exit, Voice, Loyality, atau Neglect.


14

a. Exit (keluar). Apabila keadaan kerja negatif, maka kita dapat menggeser

dari situasi tersebut dengan lebih sering tidak hadir ditempat kerja atau

secara sukarela meninggalkan pekerjaan. Exit didefinisikan sebagai reson

aktif, desdruktif di mana individu mengakhiri tau membatasi keanggotaan

dalam organisasi.

b. Voice (mengeluarkan suara). Berusaha mengubah situasi dengan

menemukan anggota tim baru berusaha mengatasi situasi. Voice

didefinisikan sebagai respons aktif, konstruktif di mana individu berusaha

memperbaiki situasi.

c. Loyality (loyalitas). Di sini, individu memelihara tingkat usaha terlepas

dari ketidaksenangannya. Loyality didefinisikan sebagai respons pasif,

konstruktif yang memelihara dukungan publik atas situasi sambil individu

secara pribadi mengharapkan perbaikan.

d. Neglect (mengabikan). Di sini individu hanya sekedar bergerak,

membiarkan kinerja pelan-pelan memburuj karena meninggalkan secara

mental. Neglect didefinisikan sebagai respons pasif, desdruktif di mana

minat dan usaha di dalam pekerjaan menurun. Kadang-kadang neglect

bahkan dapat lebih mahal daripada exit karena tidak diperhatikan. Pekerja

mungkin mengabaikan tugasnya berbulann-bulan sebelum atasan

menangkap perilaku buruk mereka.

Komitmen organisasional harus menurunkan kemungkinan bahwa

individual akan merespons keadaan kerja negatif dengan exit atau neglect. Pada
15

saat yang sama, komitmen organisasional harus meningkatkan kemungkinan

bahwa kondisi kerja negatif akan menyebabkan voice atau loyality.

6. High Commitment High Performance Organization]

Strategi Meningkatkan Komitmen

Anda mungkin juga menyukai