Anda di halaman 1dari 164

Universitas Negeri Surabaya

UNIVERSITY PRESS ISBN 978-979-028-745-7

Kampus Unesa Ketintang Surabaya


Gedung C-15
Telp. 031-8288598; 8280009 ext. 109
Fax. 031-8288598
Email. unipressunesa@yahoo.com 978- 979- 028- 745- 7

Universitas Negeri Surabaya


UNIVERSITY PRESS ISBN 978-979-028-745-7

Kampus Unesa Ketintang Surabaya


Gedung C-15
Telp. 031-8288598; 8280009 ext. 109
Fax. 031-8288598
Email. unipressunesa@yahoo.com 978- 979- 028- 745- 7
Identitas Kultural dan
Karakter Siswa-Siswa
di Indonesia dalam
Perspektif Perubahan Global

©2014 Pada Masing-masing Penulis

Desain Grafis : Fariz R Wijaya

Diterbitkan Oleh
UNESA UNIVERSITY PRESS
Anggota IKAPI
Kampus Unesa Ketintang Surabaya
Gedung C-15
Telp. 031-8288598; 8280009 ext. 109
Fax. 031-8293462

Cetakan I, Maret 2015


157 halaman, 15 x 21 cm
ISBN: 978-979-028-745-7
KATA PENGANTAR

Awal sekali perlu saya sampaikan puji syukur ke hadirat Allah


SWT., karena atas perkenanNya juga pada akhirnya buku ini selesai
disusun. Semoga kita sekalian tergolong hambaNya yang pandai
bersyukur.
Mengamati berbagai fenomena dan gejolak sosial yang terutama
terjadi di kalangan remaja dan generasi muda, sejak tahun 2010 para
pemangku kepentingan dalam dunia pendidikan menyadari perlunya
melaksanakan revitalisasi pendidikan karakter bagi anak bangsa, sejak
di SD sampai ke perguruan tinggi. Sejak saat itu, berbagai publikasi
tentang pendidikan karakter diterbitkan oleh berbagai institusi,
termasuk oleh Universitas Negeri Surabaya.
Merupakan suatu kehormatan, tatkala Universitas Negeri
Surabaya dipercaya oleh Badan Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk melaksanakan
penelitian berskala nasional yang berjudul “Peta Profil Variabel-
Variabel Karakter Bangsa Siswa-Siswa pada Pendidikan Dasar dan
Menengah. Penelitian yang melibatkan lebih dari 100 tenaga akademik
dari tujuh fakultas di Universitas negeri Surabaya tersebut diketuai oleh
Dr. Yuni Sri Rahayu di bawah pengawasan dan kendali Rektor
Universitas Surabaya pada waktu itu, Prof.Dr. Muchlas Samani. Laporan
resmi sebagai temuan penelitian tersebut telah diserahkan kepada
Badan Penelitain dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan. Kepada seluruh pihak yang terlibat dalam penelitian
tersebut, saya sampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-
tingginya.
Melihat besarnya cakupan temuan penelitian, Tim Peneliti

iii
memutuskan untuk menerbitkan 3 (tiga) buah buku pendamping dan
pelengkap laporan penelitian tersebut. Buku pendamping yang pertama
berjudul Jejak Budaya dalam Karakter Siswa Indonesia telah selesai
disusun dan diterbitkan pada tahun 2012 yang lalu. Buku ini adalah buku
pendamping yang kedua, aksentuasinya adalah identifikasi identitas
kultural dan karakter siswa-siswa di setiap daerah atau kelompok etnis
yang diteliti, disertai perspektif perubahan karakter dalam era
globalisasi dan peranan nilai karakter dalam Kurikulum 2013. Nilai
karakter dalam Kurikulum 2013 dimaksudkan untuk dikembangkan
dalam diri setiap peserta didik di Indonesia dalam konteks menghadapi
perubahan global. Buku ini diberi judul Identitas Kultural dan Karakter
Siswa-Siswa di Indonesia dalam Perspektif Perubahan Global.
Terakhir saya berharap banyak manfaat yang dapat dipetik dari
penerbitan buku ini, serta kehadirannya mampu memperkaya khasanah
ilmu kependidikan di negara tercita Republik Indonesia ini. Semoga.

Surabaya, Desember 2014


Rektor Universitas Negeri Surabaya

Prof.Dr. Warsono, M.S.

iv
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR iii


DAFTAR ISI v

BAB I: PENDAHULUAN 1
A. Dimensi penting karakter dalam persaingan global 2
B. Karakter siswa yang relevan dengan perkembangan global 4

BAB II: GLOBALISASI DAN IDENTITAS KULTURAL 6


BANGSA INDONESIA
A. Globalisasi dan berbagai dampaknya 6
B. Globalisasi dan identitas kultural 9
C. Pendidikan karakter sebagai antisipasi perubahan global 13

BAB III: IDENTITAS KULTURAL DAN KARAKTER 22


SISWA-SISWA DI INDONESIA
A. Identitas kultural dan karakter siswa-siswa di Sumatra 23
B. Identitas kultural dan karakter siswa-siswa di Kalimantan 32
C. Identitas kultural dan karakter siswa-siswa di Jawa 43
D. Identitas kultural dan karakter siswa-siswa di Bali 88
E. Identitas kultural dan karakter siswa-siswa sasak- Lombok 97
F. Identitas kultural dan karakter siswa-siswa Sulawesi 102
G. Identitas kultural dan karakter siswa-siswa Rote Ndao 116
(NTT)

v
BAB IV: REORIENTASI PENDIDIKAN KARAKTER 121
A. Urgensi pendidikan karakter di sekolah 121
B. Strategi implementasi pendidikan karakter di sekolah 123
C. Pentingnya peranan keluarga dalam pendidikan karakter 127
D. Peran kurikulum dalam membangun karakter siswa 132
E. Relevansi dan implikasi penerapan pendididkan karakter bagi 141
pendidikan di masa depan

BAB V : PENUTUP 151


DAFTAR PUSTAKA 154

vi
01
BAB I
PENDAHULUAN

S
ejak tahun 2010, melihat berbagai gejolak dan fenomena sosial
yang menjangkiti anak bangsa, pentingnya pendidikan karakter
menjadi wacana nasional yang semarak dibicarakan di mana-
mana. Pelan tapi pasti, sejak itu, dilaksanakan implementasi
pendidikan karakter di sekolah-sekolah, sejak dari Sekolah Dasar (SD)
sampai ke perguruan tinggi. Sejumlah pertanyaan yang kemudian
muncul antara lain adalah, sejauh manakah implementasi pendidikan
karakter di Indonesia saat ini? Adakah implementasi pendidikan
karakter itu pada lajur yang benar (in the right track) ?. Cukup efektifkah
pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah? Dalam hubungan ini,
Universitas Negeri Surabaya yang bekerja sama dengan Badan
Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan mengadakan penelitian yang berjudul “Peta Profil
Variabel-variabel Karakter Bangsa Siswa-siswi pada Pendidikan Dasar
dan Menengah”. Populasi penelitian adalah seluruh siswa di Indonesia,
mulai dari Aceh sampai Papua, dengan sampel sejumlah SD, SMP,
SMA/SMK di sejumlah kota besar di seluruh wilayah Indonesia.

Laporan resmi tentang temuan hasil penelitian sudah disusun


dan diserahkan kepada Badan Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2012 yang lalu.
Selanjutnya, sebagai implikasi positif, ada tiga buah buku pendamping
dan pelengkap laporan tersebut. Buku ini adalah buku kedua yang
mengiringi laporan resmi tersebut. Buku pertama telah diterbitkan pada
tahun 2012 lalu dengan judul, Jejak Budaya dalam Karakter Siswa
Indonesia. Aksentuasi bahasan dalam buku kedua ini adalah tentang
Pendahuluan

sejauh mana globalisasi berpengaruh kepada karakter siswa anak


bangsa berdasarkan identitas kultural masing-masing. Sehubungan
dengan itu, kita juga perlu melihat seberapa besar peranan pendidikan
karakter dalam mempersiapkan para siswa untuk menghadapi
perubahan global. Sehubungan dengan maksud tersebut maka buku
kedua ini diberi judul, Identitas Kultural dan Karakter Siswa Indonesia
dalam Perspektif Perubahan Global.

A. Dimensi Penting Karakter dalam Persaingan Global

Pada saat Indonesia sedang sibuk memikirkan cara untuk keluar


dari krisis multidimensi, negara-negara lain justru sedang
berkonsentrasi untuk menghadapi era persaingan bebas. Persaingan
global yang amat kompetitif itu genderangnya sudah ditabuh dengan
berlakunya AFTA China sejak awal tahun 2010 dan Masyarakat
Ekonomi ASEAN (MEA) pada tahun 2015. Laju kompetisi ini akan
semakin meningkat dengan berlakunya global free trade pada tahun
2020 nanti. Pada umumnya negara-negara maju sepanjang dasawarsa
ini berpikir tentang peningkatkan daya saing bangsa sesuai dengan
trend masa depan. Oleh karena itu dapat dipahami bahwa kualitas
sumber daya manusia menempati posisi strategis dan menjadi dimensi
penting.

Berbicara tentang kualitas sumber daya manusia berarti


berbincang tentang karakter manusia. Thomas Lickona (dalam
Megawangi, 2004) menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara
aspek moral dengan kemajuan sebuah bangsa. Artinya semakin rendah
derajat moralitas suatu bangsa, akan semakin rendah pula tingkat
kemajuannya. Aspek moral yang diteliti oleh Lickona ini berkaitan
dengan sejumlah indikasi berupa meningkatnya kekerasan di kalangan
remaja, penggunaan bahasa dan kata-kata yang kurang senonoh,
pengaruh peer group yang kuat dalam tindak kekerasan, meningkatnya
perilaku merusak diri seperti penggunaan narkoba, alkohol dan seks
bebas, semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk, menurunnya

2
Pendahuluan

etos kerja, rendahnya rasa hormat kepada orangtua dan guru, rendahnya
rasa tanggung jawab individu dan warga negara, maraknya
ketidakjujuran, dan hadirnya rasa saling curiga serta kebencian di antara
sesama.

Sementara itu Dasgupta dan Sarageldin (1999) mengkaji


hubungan antara kadar modal sosial dengan tingkat capaian
pembangunan sebuah bangsa. Semakin tinggi kadar modal sosial
sebuah bangsa, akan semakin tinggi pula kemajuan bangsa tersebut.
Modal sosial merupakan satu perangkat norma yang mengikat dan
mempererat kerjasama dalam masyarakat, yang ditandai rasa
kebersamaan yang tinggi, meningkatnya rasa saling percaya, dan
rendahnya tingkat konflik. Bila dicermati, nilai-nilai tersebut
merupakan nilai universal yang menjadi perhatian pendidikan
karakter. Oleh sebab itu, upaya untuk membangun karakter menjadi
sesuatu yang mutlak dilakukan lewat lembaga pendidikan, baik melalui
pendidikan formal, informal, maupun nonformal.

Daniel Goleman dalam Megawangi (2004) menyatakan bahwa


ada 13 faktor yang menunjang keberhasilan seseorang dalam dunia
kerja. Dari 13 faktor tersebut, 10 di antaranya terkait dengan kualitas
karakter seseorang. Sepuluh karakter tersebut adalah: (1) jujur dan
dapat diandalkan; (2) bisa dipercaya dan tepat waktu; (3) bisa
menyesuaikan diri dengan orang lain; (4) bisa bekerja sama dengan
atasan; (5) bisa menerima dan menjalankan kewajiban; (6) mempunyai
motivasi kuat untuk terus belajar dan meningkatkan kualitas diri; (7)
berpikir bahwa dirinya berharga; (8) bisa berkomunikasi dan
mendengarkan secara efektif; (9) bisa bekerja mandiri dengan supervisi
minimum; dan (10) dapat menyelesaikan masalah pribadi dan
profesinya. Sedangkan ketiga faktor lainnya adalah hal yang berkaitan
dengan faktor intelligence quotient, IQ. Terlihat jelas bahwa karakter
yang unggul harus menjadi bagian yang integral dalam pembentukan
manusia seutuhnya, agar tercipta manusia dengan daya saing yang
tinggi.

3
Pendahuluan

B. Karakter Siswa yang Relevan dengan Perkembangan Global

Setelah dipahami pentingnya karakter yang kuat dan tangguh


bagi para siswa di Indonesia untuk menghadapi perubahan global,
pertanyaan yang kemudian bergulir mengikutinya adalah karakter apa
saja yang harus ditanamkan, dipupuk, dan dikembangkan dalam diri
mereka agar sanggup bertahan dalam persaingan global yang makin
ketat?. Pertanyaan krusial yang harus menjadi kepedulian para pendidik
anak bangsa. Para pendidik dan pemerhati pendidikan di Indonesia
pada umumnya sepakat, bahwa apapun pendekatan yang dipilih guru
dalam pembelajaran, apa pun bahan ajar yang sedang digeluti para guru
bersama para siswa, tugas guru yang mulia dalam pengembangan
pendidikan karakter adalah bagaimana mengembangkan dan
menyeimbangkan olah hati, olah pikir, olah raga, serta olah rasa dan
karsa.

Karakter yang bersumber dari olah hati antara lain, beriman dan
bertakwa, jujur, amanah, adil, tertib, taat aturan, bertanggung jawab,
berempati, berani mengambil risiko, pantang menyerah, rela berkorban,
dan patriotik. Karakter yang bersumber dari olah pikir antara lain adalah
cerdas, kritis, kreatif, inovatif, kuriositas, produktif, analisis, dan
reflektif. Karakter yang dikembangkan dari olah raga antara lain, bersih
dan sehat, sportif, tangguh, andal, berdaya tahan, kooperatif,
determinatif, kompetitif, ceria, dan gigih. Karakter yang ingin
dikembangkan dari olah rasa dan karsa adalah kemanusiaan, saling
menghargai, gotong royong, kebersamaan, ramah, hormat, toleran,
peduli, cinta tanah air, dinamis, kerja keras, dan beretos kerja. Dalam
hubungan ini ada semacam keyakinan dari para pengambil kebijakan
dan pemerhati pendidikan di Indonesia, bila keempat dimensi olah hati,
olah pikir, olah raga, olah rasa dan karsa tersebut mampu dikembangkan
dengan baik melalui institusi pendidikan, seluruh anak bangsa, peserta
didik yang bergelut dan berkecimpung dalam wahana pendidikan di
Indonesia akan mampu dengan yakin dan teguh menghadapi semua
tantangan global.

4
Pendahuluan

Ada hal lain yang menjadi perhatian atau bahasan buku ini, hal
tersebut adalah keinginan untuk memahami sejauh mana Kurikulum
2013 mampu menyiapkan para tunas bangsa menjadi sosok yang unggul
dan mampu bertahan dalam riuh rendah persaingan global.
Demikianlah, sebagai temuan dari suatu penelitian, buku ini mencoba
untuk mengungkapkan apakah pendidikan karakter dengan segala
dimensi dan variasinya mampu membangun jati diri para peserta didik
mulai dari SD, SMP, sampai SMA/SMK, baik dalam hal kemuliaan
dirinya pribadi, maupun membangun jati diri sebagai bangsa, yang
niscaya merupakan modal esensial dalam menghadapi persaingan
global.

5
06
BAB II
GLOBALISASI DAN IDENTITAS
KULTURAL BANGSA

A. Globalisasi dan Berbagai Dampaknya

G
lobalisasi menurut Stanford Encyclopedia of Philosophy
makna sederhananya adalah perubahan fundamental dalam
kontur ruang dan waktu. Joko Siswanto (2009) menyatakan
bahwa globalisasi adalah semua bentuk dan proses yang merujuk pada
penyatuan seluruh warga dunia menjadi sebuah kelompok global, dan
lebih jauh merupakan bentuk keterhubungan masyarakat dunia yang
meliputi bidang politik, ekonomi, budaya, dan sosial. Dalam hubungan
ini, sebelumnya Sastrapratedja (1995) menegaskan bahwa globalisasi
harus dipahami lebih dari sekadar proses internasionalisasi, yaitu
hubungan timbal balik antar negara; tetapi sebagai suatu bentuk baru,
dimana dunia disatukan dan menghasilkan kebudayaan global yang
disebut kebudayaan “ketiga” yang melampaui batas negara.

Dunia memang berubah dan globalisasi adalah dunia yang


terhubung (connected world), seolah tanpa batas atau meminjam istilah
yang dipakai oleh McLuhan sebagai global village (Fakih, 2006;
McLuhan, 1994). Salah satu pemaknaan terhadap globalisasi
menyatakan bahwa globalisasi merupakan “both a journey and
destination: it signifies a historical process of becoming, as well as an
economic and cultural result; that is arrival at the globalized state”
(suatu perjalanan sekaligus juga tujuan: menandai proses sejarah proses
untuk menjadi, juga merupakan hasil ekonomi dan budaya; yaitu
ketibaan pada kondisi global (Ferguson, 2002: 239). Globalisasi pada
hakikatnya telah membawa nuansa budaya dan nilai yang untuk
Globalisasi dan Identitas Kultural Bangsa

memengaruhi selera dan gaya hidup masyarakat. Melalui media yang


kian terbuka dan terjangkau, masyarakat menerima berbagai informasi
tentang peradaban baru yang datang dari seluruh penjuru dunia.

Lebih lanjut Joko Siswanto (2009) menyatakan bahwa globalisasi


adalah sebuah fenomena yang tidak bisa dihindari ataupun ditolak
kehadirannya. Globalisasi sekurang-kurangnya membawa enam ciri
penting. Pertama, modernisasi terjadi pada semua segi kehidupan
manusia yang serba kritis serta hilangnya narasi-narasi besar (grand
narative). Kedua, berkembangnya ekonomi kapitalis dan ekonomi pasar
bebas. Pasar bebas diyakini sebagai bentuk perekonomian yang adil dan
mampu mewujudkan demokrasi, mengurangi kemiskinan, dan
membuat pesat pertumbuhan ekonomi. Ketiga, muncul paradigma baru
tentang saling ketergantungan ekonomi antar bangsa. Keempat,
muncul konsep global village yang terjadi karena teknologi komunikasi
yang luar biasa. Kelima, paralelisasi antara ide-ide globalisasi dengan
pemikiran akan munculnya eksistensi masyarakat internasional.
Keenam, kemiripan politik globalisasi dengan ide liberalisme (Joko
Siswanto, 2009).

Selain itu, juga dapat diidentifikasi beberapa ciri yang menonjol,


yaitu: pertama, tentang perubahan konsep ruang dan waktu akibat
kemajuan teknologi informasi dan komunikasi; kedua, ketergantungan
antar negara dalam perdagangan dunia; ketiga, peningkatan interaksi
kultural melalui media masa yang melewati batas budaya dan batas
ruang; keempat, meningkatnya masalah dan isu bersama, misalnya
tentang lingkungan, krisis multidimensional, inflasi regional, dan
sebagainya.

Namun sesungguhnya, aspek lain yang menonjol dan menyertai


globalisasi adalah moral universal yang ditawarkan. Moral universal
pada satu sisi menawarkan sebuah konsep baru, tetapi pada kesempatan
lain menawarkan konsep moralitas lokal untuk menunjukkan
determinasi dalam perjumpaan nilai antar bangsa. Persoalan moralitas
ini terkait erat dengan etika. Etika adalah satu cabang filsafat yang

7
Globalisasi dan Identitas Kultural Bangsa

membicarakan standar-standar moral yang seharusnya dimiliki oleh


manusia agar mendapatkan identitasnya sebagai manusia.

Dalam hubungan ini, sejumlah ahli telah membuat daftar baik


dampak positif dan dampak negatif globalisasi. Arjun Kulkarni (2012)
menyatakan bahwa dampak positif globalisasi antara lain (1)
meningkatnya kompetisi dalam pengertian positif, seperti perlombaan
dalam meningkatkan mutu, seperti peningkatan mutu pelayanan
pelanggan dan lain-lain. (2) Penyediaan lapangan kerja yang lebih luas.
Banyak industri yang berasal dari negara maju menanamkan modalnya
di negara sedang berkembang, sehingga terjadi penyediaan dan
penyerapan lapangan kerja. (3) Perdagangan luar negeri yang semakin
berkembang sebagai hasil usaha yang saling menguntungkan. (4)
Penyebarluasan keterampilan teknis (technical know-how) dari negara
maju ke negara sedang berkembang. (5) Penyebaran budaya dalam
artian positif karena mengambil nilai-nilai yang baik dari budaya lain
yang masuk ke negara tertentu. (6) Penyebarluasan pendidikan,
sekarang lebih mudah mencari institusi pendidikan yang bermutu di
Luar negeri

Sedangkan Prabakhar Pillai (2011) mengidentifikasikan sejumlah


dampak negatif dari globalisasi, antara lain (1) untuk memangkas biaya,
banyak perusahaan melakukan kegiatan luar daya (outsourcing)
terutama dari negara maju ke India dan China, di mana tenaga kerja
amat murah. (2) Banyak aliran filsafat berpendapat bahwa globalisasi
bertanggungjawab atas meningkatnya perbudakan, trafficking, dan
penggunaan tenaga kerja anak-anak. (3) Globalisasi tanpa disadari telah
membantu penyebaran terorisme dan kejahatan. (4) Di negara maju
banyak keluhan bahwa globalisasi menyebabkan sampah bertumpuk,
sampah industri menimbun, dan level pencemaran yang meroket tajam.
(5) Rantai penjualan makanan siap saji seperti McDonalds dan KFC
menyebar luas dengan cepat sehingga ada istilah McDonaldisasi bahkan
juga istilah Cocacolonisasi untuk minuman cepat saji. (6) Yang kaya
bertambah kaya, yang miskin semakin miskin, dan harus berjuang hidup

8
Globalisasi dan Identitas Kultural Bangsa

habis-habisan agar mendapatkan makanan.

Pada esensinya globalisasi telah menyebabkan dunia mengerut,


meng erucut dan dengan cepat berubah. Perubahan tersebut terutama
dirasakan di kota-kota besar dunia, di mana sajian budaya melalui film-
film dan televisi satelit dengan mudah diakses.

Sebagai suatu simpulan sementara, berikut ini sejumlah ciri yang


menandai fenomena globalisasi.

1. Perubahan dalam konsep ruang dan waktu. Perkembangan


perangkat (gadget) seperti telepon genggam, laptop/notebook,
televisi satelit, dan internet menunjukkan bahwa komunikasi global
telah terjadi sedemikian cepat. Dengan makin mudahnya akses
transportasi, pergerakan massa seperti turisme memungkinkan
manusia berjumpa dengan banyak hal dan budaya yang berbagai
macam.

2. Semakin besarnya ketergantungan pasar pada produksi komoditas


ekonomi di banyak negara sebagai akibat pertumbuhan perdagangan
internasional. Makin besarnya dominasi organisasi semacam World
Trade Organization (WTO) maupun International Monetary Fund
(IMF).

3. Peningkatan interaksi budaya melalui glorifikasi media massa,


terutama melalui televisi, film, pertunjukan musik, dan siaran berita
maupun olahraga internasional.

4. Meningkatnya masalah bersama seperti pemanasan global akibat efek


rumah kaca, hujan asam, kabut asap lintas negara, krisis
multinasional dan lain-lain.

B. Globalisasi dan Identitas Kultural

Pembicaraan tentang globalisasi dan pengaruhnya, tampaknya


tidak dapat dihindarkan dalam berwacana tentang pengembangan
karakter bangsa Indonesia, khususnya karakter siswa-siswa di

9
Globalisasi dan Identitas Kultural Bangsa

Indonesia. Pembicaraan ini dapat dicermati di antaranya dari teori yang


diungkapkan oleh seorang ahli antropologi, Edward T. Hall, yang dalam
bukunya Beyond Culture (1976) membagi kultur bangsa-bangsa
menjadi dua kelompok besar.

Pertama, apa yang disebutnya dengan high context culture, dan


kedua, low context culture. Menurut Hall, konteks (context)
didefinisikan sebagai suatu informasi di sekeliling sesuatu kejadian dan
terkait erat dengan kejadian tersebut. Namun juga ditegaskan bahwa
konteks hanya sebuah ukuran relatif dari budaya. Ada kisaran atau
spektrum dari high and low context culture.

Copeland dan Griggs (1986) menggolongkan bangsa Indonesia


sebagai high context culture. Jennifer E. Beer (2003) menyarikan ciri-
ciri high context culture antara lain sebagai berikut; (1) Komunikasi
verbal jarang eksplisit, tidak terlalu memerlukan aturan tertulis,(2)
Telah terjadi pemahaman yang mendalam tentang apa-apa yang
dikomunikasikan, (3) Saling berhubungan dalam waktu yang lama, (4)
Lingkungan yang kuat yang dinyatakan sebagai kepemilikan dan
berbeda nyata dengan milik mereka yang tergolong orang luar
(outsider), (5) Pengetahuan bersifat situasional dan relasional, (6)
Keputusan dan kegiatan berpusat pada hubungan muka dengan muka
antar personal, sering berpusat pada sosok sentral yang berkuasa.
Hubungan (relationship) lebih penting daripada tugas. Dalam
hubungan ini, agaknya walau orang Indonesia tergolong high context
culture, ada kisaran kepemilikan high context culture. Misalnya orang
Yogyakarta dipersepsikan lebih high context daripada orang Surabaya.

Sementara itu low context culture terkait dengan kelompok


masyarakat yang cenderung memiliki koneksi yang banyak dengan
berbagai kelompok masyarakat yang lain, namun dalam waktu yang
relatif lebih singkat. Dalam masyarakat seperti ini perilaku budaya dan
kepercayaan memerlukan pengungkapan secara eksplisit agar dapat
dimengerti bersama. Contoh low context culture adalah orang yang
berkerumun di bandara udara, di supermarket, di kafetaria, dan tempat

10
Globalisasi dan Identitas Kultural Bangsa

layanan umum (public space) lainnya.

Bangsa yang tergolong low context culture adalah orang Amerika,


orang Jerman, dan orang Inggris. Beer menyatakan bahwa ciri-ciri
umum masyarakat low context culture antara lain adalah, (a)
Berorientasi pada aturan, hubungan antara manusia diatur oleh aturan
eksternal, (b) Umumnya pengetahuan dikodifikasikan, diumumkan,
ekternal dan mudah diakses oleh semua pihak, (c) Terbentuk oleh
banyak hubungan antar personal dalam waktu singkat, (d) Pengetahuan
sering mudah ditransfer antar pribadi, (e) Berorientasi kepada tugas,
tugas lebih penting daripada hubungan. Keputusan dan kegiatan
berpusat kepada apa yang diperlukan agar tugas-tugas dapat
diselesaikan, terjadi pembagian tanggungjawab yang jelas.

Contohnya orang Australia menempati low context culture


tertinggi, terendah adalah orang Amerika Serikat. Orang Kanada-
Inggris lebih low context daripada orang Inggris sendiri. Sementara itu
orang Afrika menduduki high context culture tertinggi, terendah adalah
orang Vietnam. Orang Indonesia kurang high context daripada orang
Filipina tetapi lebih high context daripada orang Thailand.

Dalam hubungannya dengan waktu dan kegiatan, bangsa-bangsa


dengan high context culture cenderung polikronik (berwaktu ganda),
yang maknanya mengerjakan berbagai kegiatan dalam waktu yang
sama. Sedangkan low context culture memiliki waktu M-Time, waktu
monokronik, yang maknanya hanya mengerjakan satu kegiatan pada
suatu waktu. Berdasarkan kajian dari Edward T. Hall dalam
publikasinya The Dance of Life, The Other Dimension of Time (1983)
secara ringkas dapat dipaparkan konsep waktu-kegiatan kedua budaya
tersebut sebagai berikut,

11
Globalisasi dan Identitas Kultural Bangsa

Tabel 2.1 Beda Antara Kegiatan Monokronik dengan Polikronik

No Faktor Kegiatan Monokronik Kegiatan Polikronik


1. Kegiatan Mengerjakan satu Mengerjakan banyak hal
kegiatan pada satu waktu pada satu waktu
2. Fokus Berkonsentrasi pada tugas Mudah terpecah untuk
yang ditangani kegiatan lain
3. Perhatian Berpikir tentang kapan Berpikir tentang apa saja
terhadap waktu sesuatu tugas harus yang dapat dicapai
dibereskan
4. Prioritas Meletakkan tugas sebagai Hubungan antar pribadi
sasaran utama sebagai sasaran utama
5. Penghargaan Jarang meminjam atau Sering dan mudah
terhadap menyewa sesuatu meminjam atau menyewa
kepemilikan
6. Penjadwalan Menekankan kepada Ketepatan waktu
waktu kesegeraaan dan bergantung kepada
ketepatan waktu faktor hubungan
7 Dimensi Perubahan berlangsung Perubahan berlangsung
perubahan cepat, seseorang dengan lambat. Segala sesuatu
cepat berubah dan berakar pada masa
melihat segera hasilnya lampau, lamban berubah
dan stabil

Sumber: Hall (1983)

Sebenarnya teori Edwars T. Hall ini bukan teori yang tiba-tiba muncul
sendiri. Jika dilacak, teori ini sebenarnya berakar dari teori kebutuhan
(need theory) yang telah dikembangkan oleh Henry Murray, seorang ahli
psikologi, pada tahun 1938. Murray menyatakan ada tiga kebutuhan
dasar manusia yang disebutnya sebagai kebutuhan untuk berprestasi
(need for achievement), kebutuhan untuk berkuasa (need for power),
serta kebutuhan untuk berafiliasi (need for affiliation). Teori Murray ini
menemui bentuknya dan lebih berkembang lagi karena penelitian David
C. McClelland yang kemudian dipublikasiklan dalam bukunya yang
fenomenal, The Achieving Society ( 1961).

Berdasarkan teori McClelland tersebut masyarakat yang


memiliki kebutuhan berprestasi (N-Ach, need for achievement) tinggi
antara lain memiliki ciri berkeinginan kuat untuk bertindak efektif dan
menyukai tantangan, bersandar kepada kekuatan intrapersonal ( dari
dalam diri sendiri), dan cakap dalam menetapkan tujuan hidup.
Sebaliknya, masyarakat yang memiliki kebutuhan untuk berafiliasi (N-
Affil, need for affiliation) tinggi, antara lain bercirikan bersandar kepada
hubungan antar personal (interpersonal relationship) dan cenderung

12
Globalisasi dan Identitas Kultural Bangsa

memiliki waktu yang bersifat polikronik, karena waktu selalu


didefinisikan sebagai waktu untuk bersama orang lain dan waktu untuk
diri sendiri. Ringkasnya, terlihat bahwa masyarakat yang beridentitas
kultural low context culture identik dengan masyarakat yang memiliki N-
Ach tinggi, sedangkan masyarakat dengan high context culture setara
atau identik dengan masyarakat yang memiliki N-Affil tinggi, misalnya
masyarakat Indonesia.

C. Pendidikan Karakter sebagai Antisipasi Perubahan Global

1. Konsep Karakter

Sebelum berbincang tentang implementasi pendidikan karakter


di Indonesia, perlu kita samakan persepsi dahulu tentang pengertian
karakter. Riyan dan Bohlin (2001) secara etimologis menerangkan
bahwa karakter berasal dari bahasa Yunani charassin yang berarti
menuliskan pada permukaan lempengan batu atau logam. Berangkat dari
akar kata tersebut, berkembang pengertian bahwa karakter adalah
sebuah tanda atau ciri yang sangat khas. Karakter juga dipahami sebagai
kerangka perilaku seseorang yang dipertimbangkan dari suatu sudut
moral. William (2002) menyatakan bahwa karakter adalah susunan ciri
psikologis yang mempengaruhi kecenderungan dengan kemampuan
seseorang untuk bertindak secara bermoral. Karakter tersusun atas
unsur-unsur yang dapat membimbing seseorang untuk melakukan
tindakan yang benar. Setiap individu memiliki karakter, cara berperilaku
yang secara relatif dapat diramalkan, pola bertindak yang dengan mudah
dapat dirasakan oleh orang di sekitarnya.

Sumber lain menegaskan bahwa karakter adalah sifat-sifat


kejiwaan, akhlak dan budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang
lain (KUBI, 2008). Sementara itu, Samani dan Hariyanto (2011)
memaknai karakter sebagai nilai dasar yang membangun pribadi
seseorang, yang terbentuk baik karena pengaruh hereditas (bawaan,
nature) maupun lingkungan (nurture), yang membedakan seseorang
dengan yang lain, dan diwujudkan dalam sikap dan perilaku kehidupan

13
Globalisasi dan Identitas Kultural Bangsa

sehari-hari. Dalam hubungan ini Pemerintah Republik Indonesia


(2010), dalam buku Pembangunan Karakter Bangsa 2010-2025 yang
merupakan bagian dari Desain Induk Pembangunan Karakter Bangsa
menjelaskan bahwa karakter adalah nilai-nilai yang unik-baik (tahu nilai
kebaikan, mau berbuat baik, dan nyata berkehidupan baik) yang
terpateri dalam diri dan terejawantahkan dalam perilaku. Karakter
secara koheren memancar dari hasil olah pikir, olah hati, olah rasa dan
karsa, serta olahraga seseorang atau sekelompok orang.

Aristoteles memandang bahwa orang yang memiliki karakter


baik, hidupnya senantiasa dipenuhi dengan melakukan kebaikan
terhadap orang lain dan diri sendiri. Dia mengembangkan keutamaan
hidup yang mengarah baik kepada diri sendiri maupun orang lain.
Keutamaan yang mengarah kepada diri sendiri misalnya adalah
pengendalian diri sendiri. Keutamaan yang mengarah kepada orang lain
adalah murah hati dan bela rasa. Dua jenis keutamaan tersebut saling
berhubungan satu sama lain. Keduanya harus dikembangkan agar tidak
hanya berbuat baik kepada diri sendiri atau hanya kepada orang lain
saja, melainkan keduanya. Karakter merupakan gabungan semua
keutamaan yang hidup dalam tradisi keagamaan, kisah-kisah dalam
buku sastra, cerita kepahlawanan, dan tokoh-tokoh dalam sejarah.

Lebih lanjut dikatakan bahwa karakter didefinisikan secara


berbeda-beda oleh berbagai pihak. Sebagian menyebutkan karakter
sebagai penilaian subjektif terhadap kualitas moral dan mental,
sementara lainnya menyebutkan karakter sebagai penilaian subjektif
terhadap kualitas mental saja, sehingga upaya merubah atau
membentuk karakter hanya berkaitan dengan stimulasi terhadap
intelektual seseorang. Dennis Coon (1983) mendefinisikan karakter
sebagai suatu penilaian subjektif terhadap kepribadian seseorang yang
berkaitan dengan atribut kepribadian yang dapat atau tidak dapat
diterima oleh masyarakat. Berkowitz dan Bier (2004) menyebutkan
bahwa karakter adalah sekumpulan karakteristik psikologi kompleks
yang memungkinkan individu untuk berperilaku sebagai agen moral.
Davis (2003) menyatakan sifat karakter, yakni suatu watak bersifat

14
Globalisasi dan Identitas Kultural Bangsa

tetap. Sekali terbentuk, karakter akan bertahan lama. Karakter dapat


diartikan dalam berbagai makna dan aspek. Tujuh aspek psikologis
dalam karakter ialah aksi moral, nilai moral, kepribadian moral, moral
emosi, alasan moral, identitas moral, dan karakter dasar (Berkowitz
1997).

Sementara itu, Megawangi (2003) menyatakan bahwa kualitas


karakter meliputi sembilan pilar, yaitu: (1) cinta Tuhan dan segenap
ciptaan-Nya; (2) tanggung jawab, disiplin dan mandiri; (3)
jujur/amanah dan arif; (4) hormat dan santun; (5) dermawan, suka
menolong, dan gotong yoyong; (6) percaya diri, kreatif dan pekerja
keras; (7) kepemimpinan dan adil; (8) baik dan rendah hati; (9) toleran,
cinta damai dan kesatuan. Dengan demikian, orang yang memiliki
karakter baik adalah orang yang memiliki dan mampu
mengaksentuasikan kesembilan pilar karakter tersebut. Diharapkan
dengan membekali diri dengan kesembilan pilar karakter tersebut,
segenap peserta didik di Inbdonesia akan lebih mampu menghadapi
perubahan global.

Dalam kaitan ini perlu dibedakan antara pengertian karakter


dengan karakter bangsa. Jika pengertian karakter lebih berorientasi
subjektif bagi seseorang atau sekelompok orang, maka dalam pengertian
yang lebih holistik dan mencerminkan perilaku kolektif, ada istilah
karakter bangsa. Karakter bangsa adalah kualitas perilaku kolektif
kebangsaan yang unik-baik yang tercermin dalam kesadaran,
pemahaman, rasa, karsa, dan perilaku berbangsa dan bernegara dari
hasil olah pikir, olah hati, olah rasa dan karsa, serta olahraga seseorang
atau sekelompok orang. Karakter bangsa Indonesia akan menentukan
perilaku kolektif kebangsaan Indonesia yang unik-baik yang tercermin
dalam kesadaran, pemahaman, rasa, karsa, dan perilaku berbangsa dan
bernegara Indonesia yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila, norma
UUD 1945, keberagaman dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika, dan
komitmen terhadap NKRI. Sejalan dengan pengertian ini karena
penelitian ini lebih mengarah kepada pemahaman terhadap karakter

15
Globalisasi dan Identitas Kultural Bangsa

kolektif siswa-siswa dan bukan karakter individual setiap siswa, maka


dalam penyebutan istilah karakter siswa, dimaksudkan sebagai karakter
bangsa, siswa sebagai manifestasi dari perilaku bangsa. Pemaknaan ini
secara konsisten akan dipergunakan bagi landasan analitis karakter
siswa secara kolektif mewakili daerah penelitian atau asal kelompok
siswa masing-masing.

Pembangunan karakter bangsa yang salah satunya diwujudkan


melalui implementasi pendidikan karakter di sekolah merupakan upaya
kolektif-sistemik suatu negara kebangsaan untuk mewujudkan
kehidupan bangsa dan negaranya sesuai dengan dasar ideologi
konstitusi, haluan negara, serta potensi kolektifnya dalam konteks
kehidupan nasional, regional, dan global yang berkeadaban. Semuanya
itu untuk membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak
mulia, bermoral, berbudi luhur, bertoleran, bergotong royong, berjiwa
patriotik, berkembang dinamis, berorientasi ipteks yang semuanya
dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Mahaesa berdasarkan
Pancasila (Pemerintah RI, 2010:7).

Secara filosofis, pembangunan karakter bangsa merupakan


sebuah kebutuhan asasi dalam proses berbangsa karena hanya bangsa
yang memiliki karakter dan jati diri yang kuat yang akan eksis dalam
persaingan global yang semakin ketat. Pembangunan karakter bangsa
merupakan gagasan besar yang dicetuskan para pendidik bangsa karena
sebagai bangsa yang terdiri atas berbagai suku bangsa dengan nuansa
kedaerahan yang kental, bangsa Indonesia membutuhkan kesamaan
pandangan tentang budaya dan karakter holistik sebagai bangsa. Hal itu
sangat penting karena menyangkut kesamaan pemahaman, pandangan,
dan gerak langkah untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran
seluruh rakyat Indonesia. Pembangunan karakter bangsa memiliki
urgensi yang sangat luas dan bersifat multidimensi. Sangat luas karena
terkait dengan pengembangan multiaspek potensi-potensi keunggulan
bangsa dan bersifat multidimensi karena mencakup dimensi-dimensi
kebangsaan yang hingga saat ini sedang dalam proses menjadi
(becoming).

16
Globalisasi dan Identitas Kultural Bangsa

2. Pendidikan Karakter

Ada berbagai varian definisi tentang pendidikan karakter. Dari


beragam definisi tentang pendidikan karakter, di antaranya
menyebutkan, pendidikan karakter adalah sebuah usaha untuk
mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan
mempratikkannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat
memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungannya
(Megawangi, 2004). Membangun karakter adalah membangun
kepribadian yang di dalamnya menyangkut nilai-nilai yang sifatnya
universal seperti budi pekerti, akhlak, tenggang rasa dan lain-lain
(Elfindri dan Rasmita, 2006).

Pendidikan karakter mengajarkan kebiasaan cara berpikir dan


perilaku yang membantu individu untuk hidup dan bekerja bersama
keluarga, masyarakat, dan bernegara dan membantu mereka untuk
membuat keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan. Lickona
(1998) dalam Davis (2003) menyebutkan, “nilai-nilai bukanlah sekadar
pemikiran, tetapi harus dikembangkan dengan melaksanakan
perbuatan yang berbudi luhur”. Berdasarkan prinsip ini, pendidik
karakter mencoba membantu siswa untuk melaksanakan perilaku yang
baik, santun dan disiplin secara terus menerus, sehingga hal-hal tersebut
secara relatif menjadi mudah untuk dilakukan oleh siswa serta secara
relatif siswa menjadi merasa tidak biasa untuk melakukan hal-hal
sebaliknya.

Dalam hubungan ini, menurut Lickona (1992) pendidikan


karakter menekankan pentingya tiga komponen karakter yang baik
(components of good character) yaitu moral knowing atau pengetahuan
tentang moral, moral feeling atau perasaan tentang moral dan moral
action atau perbuatan bermoral. Hal ini diperlukan agar siswa didik
mampu memahami, merasakan dan mengerjakan sekaligus nilai-nilai
kebajikan.

Pertama, Moral Knowing. Secara umum terdapat enam hal yang


menjadi tujuan dari diajarkannya moral knowing, yaitu: 1) moral

17
Globalisasi dan Identitas Kultural Bangsa

awereness, 2) knowing moral values, 3) persperctive taking, 4) moral


reasoning, 5) decision making dan 6) self-knowledge.

Kedua, Moral Feeling. Terdapat 6 hal yang merupakan aspek dari


emosi yang harus mampu dirasakan oleh seseorang untuk menjadi
manusia berkarakter, yakni: 1) conscience, 2) self-esteem, 3) empathy,
4) loving the good, 5) self-control dan 6) humility.

Ketiga, Moral Action. Perbuatan/tindakan moral ini merupakan


hasil (outcome) dari dua komponen karakter lainnya. Untuk memahami
apa yang mendorong seseorang dalam perbuatan yang baik (act
morally) maka harus dilihat tiga aspek lain dari karakter, yaitu: 1)
kompetensi (competence), 2) keinginan (will) dan 3) kebiasaan (habit).

Menurut Crisiana (2005), karakter yang menjadi acuan dalam


pendidikan karakter seperti yang terdapat dalam “The Six Pillars Of
Character” yang dikeluarkan oleh Character Counts Coalition (a project
of the Joseph Institute of Ethics). Enam jenis karakter yang dimaksud
adalah sebagai berikut:

1) Trustworthiness, bentuk karakter yang membuat seseorang menjadi


berintegritas, jujur dan loyal

2) Fairness, bentuk karakter yang membuat seseorang memiliki


pemikiran terbuka serta tidak suka memanfaatkan orang lain.

3) Caring, bentuk karakter yang membuat seseorang memiliki sikap


peduli dan perhatian kepada orang lain maupun kondisi sosial
lingkungan sekitar.

4) Respect, bentuk karakter yang membuat seseorang selalu


menghargai dan menghormati orang lain.

5) Citizenship, bentuk karakter yang membuat seseorang sadar hukum


dan peraturan serta peduli terhadap lingkungan alam.

6) Responsibility, bentuk karakter yang membuat seseorang


bertanggung jawab, disiplin, dan selalu melakukan sesuatu dengan
sebaik mungkin.

18
Globalisasi dan Identitas Kultural Bangsa

Tujuan utama dari pendidikan karakter adalah adanya


pengembangan karakter dari dalam diri seseorang (Berkowitz dan Bier,
2004). Karakter, seperti juga kualitas diri yang lainnya, tidak
berkembang dengan sendirinya. Perkembangan karakter pada setiap
individu dipengaruhi oleh faktor bawaan (nature) dan faktor lingkungan
(nurture). Menurut para ahli psikologi perkembangan, setiap manusia
memiliki potensi bawaan yang akan termanisfestasi setelah dia
dilahirkan, termasuk potensi yang terkait dengan karakter atau nilai-
nilai kebajikan. Dalam hal ini, Confusius seorang filsuf terkenal Cina
menyatakan bahwa manusia pada dasarnya memiliki potensi mencintai
kebajikan, namun bila potensi ini tidak diikuti dengan pendidikan dan
sosialisasi setelah manusia dilahirkan, maka manusia dapat berubah
menjadi binatang, bahkan lebih buruk lagi (Megawangi, 2003). Oleh
karena itu, sosialisasi dan pendidikan anak yang berkaitan dengan nilai-
nilai kebajikan, baik di keluarga, sekolah, maupun lingkungan yang lebih
luas sangat penting dalam pembentukan karakter seorang anak.

3. Perkembangan Karakter

Ada beberapa perspektif terkait faktor yang mempengaruhi


perkembangan karakter seseorang. Pengikut aliran nurture berpendapat
bahwa karakter terbentuk karena faktor lingkungan sehingga
perkembangannya dimulai sejak dia lahir dan dipengaruhi oleh faktor
lingkungan. Aliran nature berpendapat lain. Para pengikut aliran ini
mengatakan bahwa karakter lebih dipengaruhi faktor genetic sehingga
perkembangan karakter sudah dimulai sejak prenatal karena faktor
genetic orang tuanya. Aliran interaksionis muncul sebagai penengah di
antara aliran nurture dan nature. Aliran ini mengatakan bahwa, selain
dipengaruhi oleh genetic karakter juga dipengaruhi oleh lingkungan
sehingga dapat dikatakan bahwa karakter berkembang saat individu
dibentuk dalam kandungan dan akan terus berkembang karena faktor
lingkungan.

Karakter yang mulai berkembang di masa bayi di antaranya: rasa

19
Globalisasi dan Identitas Kultural Bangsa

empati, konsep tentang manusia, dan kelekatan dengan orang lain.


Karakter-karakter tersebut terus berkembang hingga mulai muncul
karakter yang lebih matang seperti kontrol diri, perasaan benar atau
salah, perspective-taking (anak bertindak dengan mempertimbangkan
cara-cara pihak lain juga akan bertindak). Pada umumnya,
perkembangan karakter di masa remaja merupakan lanjutan dari
karakter yang sudah mulai muncul dari masa bayi dan anak-anak.
Perkembangan karakter yang menonjol di masa remaja adalah moral
reasoning dan pembentukan moral identity. Mahasiswa berada pada
tahap remaja akhir dan dewasa awal sehingga perkembangan karakter
yang menonjol adalah moral reasoning dan terbentuknya moral
identity.

Moral reasoning adalah perkembangan dari kapasitas kognitif


untuk menilai sesuatu benar atau salah dan membuat keputusan dengan
pertimbangan moral yang matang. Lebih lanjut, moral reasoning
berkaitan dengan perilaku bermoral dan tidak bermoral seperti
menolong, curang, nakal, dan tindakan berisiko (seperti misalnya seks
bebas dan penggunaan narkoba). Berbeda dengan perkembangan pada
masa anak-anak yang baru dapat mempertimbangkan konsekuensi
konkret, pada masa remaja, seseorang sudah dapat mempertimbangkan
konsekuensi abstrak.

4. Pembentukan Karakter

Karakter seseorang dapat dibentuk melalui keluarga, sekolah,


teman sebaya, dan masyarakat. Sumber utama pembentuk karakter
adalah keluarga, terutama kedua orang tua. Proses tersebut berlangsung
melalui interaksi antara orang tua dan anak. Damon (2002) melaporkan
hasil dari beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa karakter
seseorang sangat dipengaruhi oleh pola asuh orang tua. Orang tua yang
memberikan perawatan dengan baik, tumbuh dalam keluarga yang
demokratis, terbuka, memberikan pujian daripada celaan, disiplin dan
penuh cinta cenderung membentuk anak yang mudah taat, memiliki

20
Globalisasi dan Identitas Kultural Bangsa

orientasi sosial, memiliki kematangan empati, memiliki harga diri yang


positif, memiliki ketajaman penalaran moral, kepekaan suara hati, dan
altruis.

Pembentukan karakter yang terjadi di keluarga kemudian akan


diperluas oleh pengalaman di sekolah/universitas. Peran
sekolah/universitas dalam membentuk karakter anak didik selalu
bersifat sekunder, meskipun sepertiga waktu dihabiskan di sekolah atau
universitas. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa (1) pada tahun-tahun
pertama kehidupan anak memiliki ikatan emosi yang sangat kuat dengan
orang tua; (2) sebelum masuk sekolah/kuliah anak sudah memiliki
bentukan dasar-dasar karakter baik dari keluarga atau sekolah di tingkat
bawahnya.

Namun demikian, meskipun bersifat sekunder, peran


sekolah/universitas dalam membentuk karakter tetap sangat penting.
Sekolah/universitas berperan besar dalam membangun konsep diri,
keterampilan sosial, nilai-nilai, kematangan penalaran moral, perilaku
prososial, dan pengetahuan mengenai moralitas/suara hati. Proses
pembentukan karakter di sekolah/universitas diwarnai dengan interaksi
antar teman sebaya. Pengaruh teman sebaya sangat besar dalam
pembentukan karakter dan perlu diingat bahwa puncak pengaruh teman
sebaya berlangsung pada masa remaja. Selama berinteraksi dengan
teman sebaya para siswa dapat belajar memecahkan masalah,
membangun persahabatan, melatih kejujuran, menanamkan rasa setia
kawan, mengasah ketajaman suara hati, dan sebagainya.

Sumber pembentuk karakter mahasiswa yang lain adalah


masyarakat. Pengaruh masyarakat dalam pembentukan karakter
berlangsung melalui media massa, nilai-nilai kultural, dan suasana
hidup secara umum. Berita atau informasi atau hiburan yang
tersampaikan melalui media massa baik cetak maupun elektronik sangat
mempengaruhi perasaan, pikiran, dan nilai-nilai yang dikembangkan
oleh remaja.

21
22
BAB III
IDENTITAS KULTURAL DAN
KARAKTER SISWA-SISWA
DI INDONESIA

A
sumsi yang dijadikan landasan penulisan buku ini adalah,
karena faktor nature sudah given, merupakan sifat kolektif dari
siswa-siswa yang diturunkan oleh orangtua di wilayah
hidupnya masing-masing, maka sebelum membahas karakter siswa
sebagai hasil temuan penelitian, akan dibahas dahulu hasil interaksi
manusia dengan lingkungan tempat bersemainya karakter tersebut atau
nurture, dengan titik berat kondisi lingkungan alam. Sebelumnya perlu
ditegaskan bahwa sesuai dengan teori Edward T. Hall, identitas kultural
secara umum siswasiswa di Indonesia termasuk ke dalam high context
culture. Pengertian identitas kultural di sini agak berbeda dari klasifikasi
Hall tersebut, demikian pula pada pembahasan selanjutnya. Dalam hal
ini identitas kultural dimaknai sebagai identitas yang terbentuk dari
kondisi lingkungan, setting geografis, termasuk topografi, ketinggian
dari muka laut, kondisi iklim dan lain-lain serta hasil interaksi antara
manusia setempat dengan lingkungannya yang mencipta budaya yang
khas bagi daerah masing-masing.

Sementrara itu perlu diutarakan, karena buku ini merupakan


buku kedua, karakter para siswa di Indonesia yang sudah dipaparkan di
buku pertama, yang berjudul Jejak Budaya dalam Karakter Siswa
Indonesia, sudah tidak dibahas lagi di sini. Bahasan dalam buku kedua,
yang diberi judul Identitas Kultural dan Karakter Siswa-Siswa
Indonesia dalam Perspektif Perubahan Global ini meliputi paparan
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

tentang karakter sebagian siswa di pulau Sumatra, pulau Kalimantan,


pulau Jawa, Bali, Sulawesi, NTB, dan NTT. Sementara itu karakter
siswa-siswa di Maluku dan Papua sudah dipaparkan pada buku bagian
pertama. Pemaparannya dilandasi oleh identitas etnis di setiap pulau,
dimulai dari pemaparan identitas kultural dan diikuti oleh temuan
tentang karakter-karakter yang menonjol dari para siswa di sekolah
sampel yang umumnya merupakan sekolah unggul mulai dari tingkat
SD, SMP, dan SMA/SMK. Penunjukan sekolah sampel dilakukan oleh
Kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaann setempat.

A. Identitas Kultural dan Karakter Siswa-Siswa di Sumatra

1. Etnis Melayu Jambi

a. Identitas Kultural

Provinsi Jambi terletak di daerah khatulistiwa antara 0.45° garis


Lintang Utara, 2.45° garis Lintang Selatan dan 101.10° sampai 104.55°
Bujur Timur. Provinsi Jambi yang beribukota di kota Jambi ini memiliki
luas 53.435,72 km2. Populasinya berdasarkan sensus penduduk 2010
adalah 3.092.265 juta atau memiliki kepadatan penduduk 58
orang/km2. Kondisi geografis yang cukup strategis di antara kota-kota
lain di provinsi sekitarnya membuat peran provinsi ini cukup penting,
terlebih lagi karena memiliki dukungan sumber daya alam melimpah.
Dengan suhu udara berkisar antara 23oC – 31oC, serta sekitar 60%
lahan merupakan kawasan perkebunan dan kehutanan menjadikan
kawasan ini merupakan salah satu penghasil produk perkebunan dan
kehutanan utama di wilayah Sumatera. Primadona tanaman
perkebunannya adalah kelapa sawit dan karet. Potensi kekayaan
alamnya adalah minyak bumi, gas bumi, batubara, dan timah putih.
Provinsi Jambi termasuk dalam kawasan segitiga pertumbuhan
Indonesia-Malaysia-Singapura (IMS-GT).

Masyarakat Jambi merupakan masyarakat heterogen yang terdiri


dari masyarakat asli Jambi, yakni suku Melayu Jambi yang menjadi

23
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

mayoritas, disusul kemudian suku Jawa, suku Kerinci, Minangkabau


dan lain-lain. Suku Kerinci dan suku Minangkabau memiliki kemiripan
kultur. Dalam sejumlah hal kultur masyarakat Jambi juga mirip dengan
masyarakat Minangkabau. Di provinsi Jambi juga ada suku-suku asli
pedalaman yang masih primitif, yaitu suku Kubu dan suku Anak Dalam.
Setiap orang Melayu Jambi pada umumnya ramah terhadap orang yang
sudah dikenal, tetapi mereka selalu bersikap hati-hati kepada orang-
orang yang belum dikenalnya. Sebagian besar penduduk, yaitu sekitar
96,5% menganut agama Islam, sisanya Kristen, Buddha, dan Hindhu.
Kultur masyarakat Jambi sudah terbentuk sejak keberadaan Kerajaan
Jambi atau Kerajaan Melayu yang telah ada antara abad ke-4 sampai
abad ke-13. Bahasa utama yang dipergunakan adalah bahasa Melayu
Jambi yang termasuk dalam dialek ”o” seperti halnya Melayu Palembang
dan Melayu Bengkulu.

Masyarakat Jambi sangat menjunjung tinggi adat. Hal ini


diwujudkan dengan adanya ungkapan ”adat nan dak lokang dek panas
dak lapuk dek ujan, titian toras bertanggo batu, jalan berambah nan
diturut, baju bejait nan dipakai, sumur tergenang nan disauk”. Arti
ungkapan itu adalah, adat yang tidak lekang oleh panas tidak lapuk oleh
hujan, titian teras bertangga batu, jalan bertingkat yang diturut, baju
berjahit yang dipakai, sumur tergenang yang disauk. Titian teras
bertangga batu melambangkan ketentuan yang keras dan memiliki
sanksi tegas yang harus dipatuhi semua orang. Jalan bertambah yang
diturut artinya tidak boleh menyimpang dari ketentuan yang berlaku.
Perhatikan dialek o pada kata lokang untuk lekang dan toras untuk teras.
Bahwa ada kemiripan antara budaya Jambi dengan budaya
Minangkabu, terlihat dari peribahasa yang hampir sama di
Minangkabau ini, ”adat nan tak lakang dek paneh, nan tak lapuk dek
hujan”.

b. Karakter Siswa

Sekolah yang diambil sebagai sampel penelitian, sesuai arahan

24
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jambi adalah sekolah-


sekolah unggulan SD, SMP, SMA, dan SMK di kota Jambi. Karakter
kejujuran dikembangkan di sekolah berdasarkan pembiasaan.
Bimbingan dari guru tentang nilai jujur, sering diberikan dalam bentuk
nasihat dan saran di dalam kelas sehingga siswa dapat menerapkan nilai
jujur di sekolah kepada sesama teman atau kepada guru. Nasihat
tersebut merupakan penguatan positif, sedangkan penguatan negatif
diberikan berupa teguran. Praktik kejujuran dibuktikan dengan contoh
saat siswa menemukan barang bukan miliknya, siswa tersebut akan
menyerahkan barang temuan kepada guru untuk dilanjutkan ke siswa
lain yang merasa kehilangan. Disediakan kotak barang temuan.
Beberapa unsur yang dikembangkan dalam pengembangan nilai
kejujuran di antaranya; ketulusan hati, siswa dibiasakan untuk
menghargai guru tanpa memandang latar belakang gelar yang mereka
miliki serta diajari untuk menghormati orang yang lebih tua dengan
santun. Kecuali itu juga dikembangkan nilai keimanan dan ketakwaan,
sehingga mereka umumnya memiliki religiusitas yang tinggi.
Pertanggungjawaban, dikembangkan dengan cara menunjuk siswa
mengikuti lomba untuk mewakili sekolahnya. Menghargai diri sendiri
dan perlunya sikap egaliter dimanifestasikan dengan cara semua siswa
di sekolah memakai pakaian seragam yang rapi. Implementasi amanah
diwujudkan jika menemukan uang di lingkungan sekolah mereka harus
menyerahkannya kepada petugas. Sportivitas diwujudkan, di saat guru
mengajukan pertanyaan, siswa-siswa di sekolah cukup memberikan
kesempatan pada temannya untuk menjawab. Siswa tidak memonopoli
jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh guru.

Terkait dengan nilai cerdas, di sekolah dikembangkan kegiatan


diskusi informal atau percakapan antar teman untuk saling menambah
pengetahuan, ada pengelolaan perpustakaan yang intensif dan
mendayagunakan internet sebagai sarana belajar, juga ada les belajar di
luar sekolah. Sekolah menerapkan program pembinaan rutin,
pemberian tugas belajar, dan pembiasaan berdialog dalam
menumbuhkan nilai cerdas. Contoh konkretnya, guru memberikan

25
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

Pekerjaan Rumah (PR), diskusi di kelas, tanya jawab dengan siswa, dan
mengikutsertakan siswa dalam lomba olimpiade bidang studi, terutama
matematika dan sains. Berikut ini adalah unsur-unsur yang terdapat
dalam pengembangan nilai cerdas di antaranya adalah,

Pertama, analitis, diwujudkan dalam tindakan jika merasa


bersalah, siswa akan sesegera mungkin melakukan introspeksi untuk
mencari penyebab suatu masalah dan digunakan sebagai pijakan untuk
melakukan perbaikan dan pemecahan masalah. Dalam menyelesaikan
masalah siswa melakukannya secara bersama-sama dalam satu tim,
karena dianggap memudahkan dan membutuhkan waktu yang lebih
singkat, sebab penyelesaian masalah dipikirkan bersama-sama. Hal ini
juga berakar dari budaya setempat, seperti ternyata dalam ungkapan,
”elok cakap tengah berumbuk, buruk cakap serambi berumbuk” (elok
bicara tengah berembuk, buruk bicara serambi berembuk). Maknanya
melalui musyawarah berbagai kekurangan dapat disempurnakan.
Kecuali itu dalam musyawarah harus disertai sikap bijaksana dan hati-
hati, jika ada perselisihan harus diselesaikan dengan bijaksana sehingga
kedua belah pihak tidak merasa dikalahkan, ada win-win solution,
sesuai prinsip ”macam narik bonang dalam topung, bonang dak putus
topung dak terserak ” (seperti menarik benang dalam tepung, benang
tidak putus, tepung tidak berserak).

Kedua, kuriositas, ditunjukkan melalui rasa keingintahuan yang


tinggi, sehingga dalam proses belajar mengajar banyak bertanya kepada
guru; ditunjukkan dalam mengerjakan tugas-tugas mata pelajaran
maupun kegiatan ekstra kurikuler.

Ketiga, kritis, ditunjukkan dengan sering bertanya jika ada hal


yang kurang dimengerti atau kurang sepaham, juga dikembangkan
melalui perdebatan dalam diskusi kelas, hal ini berakibat siswa merasa
jenuh dan bosan saat guru menyampaikan materi pelajaran hanya
dalam bentuk ceramah. Sifat kritis ini berkembang karena tradisi
mengharuskan setiap siswa untuk gigih mencari ilmu sesuai peribahasa
”bagurou ku nu pandei, ngambaik tuah ku nu manna, ngambaik

26
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

cuntauh ku nu sudeih” ( berguru pada yang pandai, mengambil tuah


kepada yang menang, mengambil contoh pada yang sudah).

Keempat, kemandirian, terkait dengan memupuk jiwa


kemandirian, siswa di sekolah dibiasakan untuk mengerjakan tugas
secara mandiri namun tetap tidak bersikap acuh tak acuh jika ada teman
yang membutuhkan bantuan.

Kelima, visioner, anak-anak sekolah umumnya memiliki cita-


cita yang tinggi dan selalu berusaha untuk meraihnya. Sifat ini dipupuk
untuk mewujudkan cita-cita ”urang kayo betabur urai, urang mulio
betabur budi” (orang kaya bertabur emas, orang mulia bertabur budi).
Menjadi orang mulia yang bermanfaat bagi masyarakat di sekelilingnya
merupakan cita-cita sebagian besar siswa-siswa Jambi.

Terkait dengan nilai peduli diwujudkan di sekolah dalam bentuk


nyata seperti (1) bila ada teman yang sakit kawan lain segera menjenguk
dan meringankan bebannya, (2) teman yang lemah belajar dibantu
teman lain melalui kerja kelompok di rumah, (3) jika ada keluarga teman
lain kesusahan, siswa mengadakan iuran untuk dibantukan dengan
koordinasi guru, dan (4) siswa sangat kompak saat mendukung
pertandingan temannya dengan sekolah lain. Akar budaya dan tradisi
Jambi mempengaruhi nilai peduli siswa. Hal tersebut ditunjukkan
melalui perilaku menghormati orang tua, anak yang sedang naik sepeda
jika melewati kerumunan orang tua akan berhenti minta izin lewat, saat
istirahat, siswa membagi jajanan kepada kawan lain. Bentuk
implementasi di sekolah dalam penerapan nilai peduli disampaikan
guru kepada siswa di dalam kelas, tiap hari siswa membersihkan kelas
baik saat akan masuk maupun saat akan pulang, menegur kawan lain
jika kawan lain itu tidak memasukkan baju seragam ke celananya,
melerai kawan lain yang sedang bertengkar, merawat dan menjaga
tanaman, memungut sampah, menjalankan piket umum dan khusus,
dan siswa akan melapor ke guru jika terdapat kejadian yang tidak dapat
diatasinya. Sifat peduli ini berakar dari peribahasa ”lambai sekepeh
entak sedegam” (lambai sekipas hentak sebunyi), maknanya seia sekata

27
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

dalam melaksanakan pekerjaan.

Terkait nilai tangguh siswa memiliki kebiasaan mudah


dinasihati guru, tidak nudah menyerah jika menyelesaikan suatu tugas,
ingin sekolah sampai perguruan tinggi, dan berangkat ke sekolah dengan
jalan kaki atau naik sepeda, namun tetap berupaya tepat waktu, tidak
terlambat sampai di sekolah. Nilai tangguh tersebut berakar dari budaya
dan adat pada sebagian masyarakat Jambi yang mampu bertahan hidup
dengan penghasilan pas-pasan. Masyarakat tangguh dalam mencari
nafkah dengan prinsip kerja apapun jadi asalkan halal. Nilai tangguh
ditanamkan dalam pembelajaran di kelas dengan cara penguatan cita-
cita siswa, pembiasaan, pemberian motivasi, pemberian nasihat, dan
pemberian contoh alumni yang berhasil kepada siswa.

Untuk bersifat tangguh diperlukan sifat tegas. Sifat tegas ini


sesuai dengan kultur masyarakat Jambi yang berpedoman ”kalau dak
tembilang patah tanaman tekalik” (kalau tembilang patah, tanaman
tercabut). Maknanya, jika diperlukan orang harus berani melakukan
perbuatan dengan tegas, karena sikap tegas ini diperlukan untuk
menyelamatkan berbagai pihak yang sedang mengalami berbagai
masalah. Nilai tangguh berakar dari budaya masyarakat yang menyadari
betapa sulitnya bekerja untuk mencari nafkah, seperti pepatah ”betelur
nyamuk di punggung” (bertelur nyamuk di punggung), saking asyiknya
bekerja berat menanam padi sampai tidak menyadari nyamuk bertelur
di punggungnya.

2. Etnis Melayu Riau

a. Identitas Kultural

Kata Riau berasal dari bahasa Portugis rio, yang artinya sungai.
Hal ini menandai banyaknya sungai-sungai besar di provinsi Riau.
Diketahui ada sungai Siak, Kampar, Rokan, dan Inderagiri. Semula etnik
Riau hanya berada di satu provinsi, yaitu provinsi Riau, namun dengan
adanya pemekaran maka sekarang berada di dua provinsi, yaitu di

28
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

provinsi Riau dan provinsi Kepulauan Riau. Walau demikian ciri etnis
dan kulturalnya tetap sama. Berkenaan dengan itu penelitian ini hanya
mengambil sampel di provinsi Riau, tepatnya di kota Pekanbaru.

Luas total provinsi Riau adalah 87.023,65 km2. Jumlah


penduduknya adalah 5.538.367 jiwa dengan kepadatan penduduk
64/km2. Populasinya didominasi oleh suku Melayu Riau, kemudian
Jawa, Minangkabau, Batak, Banjar dan lain-lain. Agama yang dianut
sebagian besar penduduk adalah Islam, Protestan, Buddha, Katholik dan
lainnya.

Bahasa pergaulan sehari-hari adalah bahasa Melayu Riau, bahasa


Minangkabau dan bahasa Indonesia. Bahasa Melayu Riau dicirikan
dengan dialek ”o” dan sering hilangnya huruf r dalam pengucapan.
Orang Riau amat menjunjung tinggi adat, hal ini terbukti dari
pemaknaan terhadap peribahasa ,”untuk apo memasang pelito, untuk
menjadi sulou ke jamban, untuk apo membilang ceito, untuk menjadi
contoh teladan” (untuk apa memasang pelita, untuk menjadi suluh ke
jamban, untuk apa membilang cerita, untuk menjadi contoh teladan.
Perhatikan adanya dialek ”o” dan hilangnya huruf r dalam kata cerita.

b. Karakter Siswa

Sampel penelitian adalah sekolah unggulan yang ada di kota


Pekanbaru, meliputi, SD, SMP, SMA dan SMK. Dalam hubungan ini,
nilai kejujuran dimaknai sebagai sikap yang berasal dari dalam diri
seseorang agar orang lain mempercayai perkataan, tindakan dan
pekerjaan seseorang. Sikap jujur selalu dilaksanakan setiap waktu dalam
situasi dan kondisi bagaimanapun. Di sekolah juga dikembangkan nilai-
nilai kejujuran dengan disediakan kotak kejujuran di sekolah dan di
setiap kelas serta adanya kantin kejujuran. Akan tetapi terdapat
hambatan dalam menerapkan nilai kejujuran yakni apabila terdapat
pertengkaran antar siswa setiap siswa selalu mempertahankan dirinya
agar tidak disalahkan, jika perlu terpaksa berbohong. Contoh yang lain

29
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

adalah pada saat ulangan ada sebagian siswa yang suka mencontek, dan
guru tidak dapat mengawasi karena jumlah siswa terlalu banyak. Wajib
untuk jujur sebenarnya telah menjadi adat tradisi budaya setempat,
seperti ungkapan, “popat di lue popat di dalam, becakap tidak
mengulum lidah, bekato tidak bemuko duo” (pepat di dalam pepat di
luar, bercakap tidak mengulum lidah, berkata tidak bermuka dua). Nilai
kejujuran biasanya setara dengan keadilan. Bahwa orang Riau harus
adil, kerap dinyatakan dalam ungkapan, ”menimang samo boatnyo,
menyukat samo takenyo, meukou samo panjangnyo” (menimbang
sama beratnya, menyukat sama takarnya, mengukur sama panjangnya).

Nilai kecerdasan adalah suatu kompetensi intelektual yang


dimiliki oleh seseorang. Nilai ini juga di kembangkan pada sekolah-
sekolah yang ada, contoh dari kecerdasan yang dikembangkan di sekolah
adalah adanya pembinaan siswa berprestasi, belajar aktif, pembinaan
olahraga dan seni. Dalam proses pengembangan nilai kecerdasan
terdapat hambatan yang ditemukan yakni pada saat pembinaan
olimpiade ada guru yang kurang menguasai materi yang diajarkan, dan
siswa tidak membuat tugas yang telah diberikan oleh guru. Akan tetapi
prestasi yang ditorehkan oleh siswa cukup baik karena siswa sering
mendapatkan juara olimpiade, lomba paduan suara, dan musik. Nilai
kecerdasan juga dikembangkan melalui diskusi kecil atau diskusi kelas.
Dalam diskusi dipraktikkan demokrasi atau musyawarah. Hal ini sejalan
dengan ungkapan, “adat tumbou ate mupakat, adat bealei ate sepakat”
(adat tumbuh atas mufakat, adat beralih atas sepakat). Bagi orang Riau,
kecerdasan harus diimbangi dengan kerendahan hati, tidak boleh
menyombongklan diri, “semakin tinggi lomu di dado, semakin ondah
pulak atinyo, semakin banyak lomu dituntut, semakin teaso
kekurangan awak“ (semakin tinggi ilmu di dada, semakin rendah pula
hatinya, semakin tinggi ilmu dituntut, semakin terasa kekurangannya).

Nilai kepedulian adalah segala sesuatu yang harus dan perlu


diperhatikan, baik itu menyangkut orang atau kejadian. Di sekolah
diajarkan nilai kepedulian yaitu peduli terhadap lingkungan yang
diwujudkan dengan sikap hemat air, hemat listrik, peduli diri sendiri,

30
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

dan peduli sosial. Peduli sosial diwujudkan dengan dibinanya sikap


gotong-royong serta kepedulian untuk membantu bila ada orang lain
terkena musibah. Akan tetapi untuk mencapai nilai kepedulian terdapat
hambatan yang dijumpai, salah satunya yakni dalam nilai peduli
terhadap lingkungan. Untuk membenahi lingkungan dibutuhkan biaya
yang tidak sedikit, sehingga karena keterbatasan dana, tidak
membuahkan hasil yang maksimal. Masyarakat juga mendukung
program peduli terhadap lingkungan karena nilai ini ternyata memang
berakar dari budaya dan tradisi yang telah ada sejak zaman dahulu,
berupa kebiasaan untuk menjaga lingkungan. Sikap kepedulian juga
ditunjukkan dengan kemauan membantu orang lain jika memang
memiliki kemampuan, sesuai ungkapan, ”ending daun tompat
bertodou, bose batang tompat belindung, kuat ake tompat besilo”
(rindang daun tempat berteduh, besar batang tempat berlindung, kuat
akar tempat bersila).

Penanaman nilai ketangguhan di sekolah dilakukan sebagai


usaha untuk mempertahankan kompetensi yang telah dimiliki. Contoh
nilai ketangguhan yang terdapat di sekolah adalah dalam bidang
kesenian, olimpiade, dan mewujudkan sekolah Adiwiyata. Proses
menumbuhkan nilai ketangguhan ini diimplementasikan dalam kelas
dengan cara belajar tuntas, belajar keras, dan disiplin belajar. Nilai
ketangguhan ini seiring dengan ungkapan, ”tunggang mati takkan
mati, pukal beniagoi takkan ugi” (berani mati takkan mati, sungguh-
sungguh berniaga takkan rugi). Nilai ketangguhan ini ditanamkan sejak
anak-anak masih kecil dengan cara memotivasi anak untuk mandiri,
kuat berdiri dengan kaki sendiri. Dikatakan, ”jojakkan anak ke tanah,
supayo nan tontu tompat bepijak, supayo kuat kaki bedii” (jejakkan
anak ke tanah, supaya tahu tempat berpijak, supaya kuat kaki berdiri).
Orang Riau juga dibiasakan untuk kerja baik, yakni kerja keras, kerja
ikhlas, kerja cerdas, dan kerja tuntas. Hal ini seirama dengan
ungkapan,”namo baik jadi sobutan, budi baik jadi ikutan, kojo baik jadi
teladan” (nama baik jadi sebutan, budi baik jadi ikutan, kerja baik jadi
teladan).

31
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

B. Identiars Kultural dan Karakter Siswa-Siswa di


Kalimantan

1. Etnis Melayu Sambas

a. Identitas Kultural

Kabupaten Sambas adalah salah satu kabupaten di provinsi


Kalimantan Barat, membujur sebagai wilayah paling utara pada bagian
pantai barat Kalimantan Barat. Terletak di antara 1’23” LU dan 108’39”
BT serta berbatasan langsung dengan negara tetangga Malaysia di
Serawak, Malaysia Timur. Sebab itu dapat dipahami bila secara historis
berhubungan dengan kesultanan Brunei Darussalam. Sultan Sambas
adalah keturunan dari Sri Paduka Sultan Muhammad dari Kerajaan
Brunei Darussalam.

Suku dominan yang mendiami Kabupaten Sambas adalah suku


Sambas atau disebut Suku Melayu Sambas Penduduknya mayoritas
Melayu, dan berbahasa Melayu. Sebagian besar bahasa yang digunakan
adalah sama, namun seiring perkembangan zaman, bahasa suku ini
banyak menyerap bahasa dari bahasa Indonesia. Keunikan lain dari
bahasa Melayu Sambas adalah pengucapan huruf ganda seperti dalam
Bahasa [Melayu] Berau di Kalimantan Timur, seperti pada kata 'bassar'
(artinya besar dalam bahasa indonesia).

Istilah Melayu Sambas baru muncul dalam sensus tahun 2000


dan merupakan 12% penduduk Kalimantan Barat, sebelumnya suku
Sambas dikelompokkan dalam suku Melayu pada umumnya.
Sehubungan dengan hal tersebut ada kemungkinan dialek Melayu
Sambas meningkat statusnya dari sebuah dialek menjadi bahasa
kesukuan tersendiri, yaitu bahasa suku Sambas.

Orang Sambas menjunjung tinggi kejujuran dan tidak suka


kemunafikan. Hal ini tergambar dalam peribahasa yang berbunyi
”perahu lantai abe’ dah tau betanya agek” (perahu lantai bambu, sudah
tahu bertanya lagi). Maknanya jangan suka pura-pura tidak tahu. Orang
Sambas juga menjunjung tinggi kecerdasan. Seseorang jangan sampai

32
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

terlihat seperti ”uwa’-uwa’ nagorkan tae’nya” (uwa-uwa/siamang


menegur tahinya), yang maknanya jangan sampai membicarakan
kekurangan dari orang lain padahal dirinya sendiri memiliki
kekurangan tersebut.

Urang Sambas (orang Sambas) pada umumnya tangguh, suka


bekerja. Hal ini terbukti dari adanya peribahasa ”begarak siko’ baru
begarak jua jago’ ” (bergerak siku baru bergerak juga dagu), yang
maknanya, hanya orang yang bekerjalah yang bisa makan dan tidak
kelaparan. Bergerak dagu maknanya mengunyah makanan, dan itu hasil
dari bekerja (bergerak sikunya).

b. Karakter Siswa

Nilai kejujuran yang dikembangkan di kalangan siswa Sambas


memilliki beberapa unsur di antaranya adalah, (1) Ketulusan hati,
diwujudkan dengan sikap menghargai setiap guru tanpa membedakan
latar belakang pendidikan guru mereka, (2) Keimanan dan ketakwaan,
yang diwujudkan dengan adanya rasa kasih sayang dan peduli terhadap
lingkungan yang mendasari siswa senantiasa menghargai dan
menghormati semua ciptaan Tuhan, (3) Pertanggungjawaban,
diwujudkan dengan sikap dan tindakan yang mendorong diri siswa
untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat dan
lingkungan, (4) Menghargai diri sendiri, dapat tercermin dalam
penampilan ketika bersekolah selalu berseragam dan penampilan yang
selalu rapi, (5) Amanah, terwujud dari perilaku yang didasarkan pada
upaya menjadikan diri siswa dapat dipercaya dalam tindakan, perbuatan
dan perkataan yang terwujud ketika siswa menemukan sesuatu yang
bukan miliknya selalu diserahkan kepada petugas, (6) Sportivitas,
diwujudkan saat berkompetisi yang sehat dalam belajar. Sportif,
mengakui prestasi temannya, memberikan kesempatan kepada
temannya untuk berprestasi.

Nilai cerdas yang dikembangkan memiliki beberapa unsur di

33
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

antaranya, (1) Analitis, sikap berorientasi ke depan untuk memajukan


sekolah, (2) Pemecahan masalah, dilakukan secara bersama membuat
semuanya menjadi mudah, (3) Kuriositas, sikap dan tindakan yang
selalu ingin tahu, sehingga pada proses belajar mengajar banyak
bertanya kepada guru, (4) Kreativitas, adanya dorongan dalam diri siswa
untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, sehingga
siswa rajin mengikuti kegiatan ekstrakurikuler, (5)_ Kritis, sering
bertanya kepada guru bila kurang mengerti atau kurang sepaham,
mudah bosan dan merasa jenuh bila melihat sesuatu yang kurang
menarik, (6) Kemandirian, bertanggung jawab untuk menyelesaikan
tugas secara mandiri namun tetap memunyai rasa peduli terhadap
teman yang membutuhkan bantuan, (7) Disiplin diri diwujudkan
dengan tidak terlambat datang ke sekolah, selalu berseragam, (8)
Menghargai perbedaan. penampilan siswa hampir tak dapat dibedakan
antara siswa dari golongan ekonomi mampu maupun dari golongan
ekonomi lemah, (9) Visioner, kesungguhan dalam mencapai cita-cita
yang ditunjukkan dengan kesungguhan dalam belajar.

Nilai peduli yang dikembangkan memenuhi unsur-unsur di


antaranya adalah sebagai berikut, (1) Suka membantu, diwujudkan
dengan sikap dan tindakan siswa yang selalu ingin memberi bantuan
pada orang lain yang memerlukan, (2) Kewarganegaraan , diwujudkan
dengan adanya rasa keadilan yang menempatkan setiap orang
memunyai hak yang sama di depan hukum dan pemerintahan, (3)
Toleransi, yang diwujudkan dalam bentuk menghargai perbedaan suku
dan agama, (4)

Suka menghargai, merupakan sikap selalu bersedia


mendengarkan dan didengarkan baik dengan orang yang lebih tua atau
yang lebih muda, (5)

Demokratis, diwujudkan dengan siswa terbiasa menyelesaikan


masalah-masalah di kelasnya, yang dilakukan secara musyawarah, (6)
Kebanggaan, diwujudkan dengan cara membersihkan lingkungan
sekolah sebagai wujud dari rasa kebanggaan terhadap sekolah.

34
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

Nilai tangguh diwujudkan dengan adanya unsur-unsur


sebagai berikut, (1) Ketegasan, diwujudkan dalam menjaga aturan, dan
tidak memerbolehkan teman lain mencontek pekerjaan rumahnya, (2)
Keberanian, diwujudkan dengan menolak sesuatu yang dianggap tidak
baik dan berani mengatakan tidak jika ada perintah guru yang
dipandang kurang baik, (3) Kehati-hatian, diwujudkan dalam bentuk
mengerjakan tugas yang diberikan guru, (4) Suka berkompetisi,
diwujudkan dengan sikap suka kompetisi dalam rangka meraih prestasi.
Memiliki semangat, motivasi, dan jiwa kompetisi untuk memperoleh
nilai yang baik, (5) Dinamis, yang diwujudkan dengan sikap selalu
berusaha mencari sumber bahan ajar yang dianjurkan guru, (6)
Antisipatif, yang dilakukan dengan merencanakan sesuatu sebelum
mengambil tindakan serta, (7) Kerajinan, yang merupakan bentuk
disiplin dan taat aturan, serta rajin yang dibuktikan dengan kehadiran di
sekolah 15 menit sebelum jam pelajaran dimulai.

Karakter jujur, cerdas, peduli dan tangguh yang tergambar dalam


hasil pemetaan karakter di atas adalah cocok dengan karakter yang
berkembang di daerah Sambas karena pada dasarnya pembelajaran
yang berlangsung di sejumlah sekolah tersebut juga memasukkan
pendidikan karakter dalam kurikulum. Pendidikan karakter tersebut
sesuai dengan karakter budaya masyarakat setempat, seperti jujur,
tergambar dalam nilai-nilai adat dan tradisi, keimanan dan
kepercayaan, kejujuran dan kebajikan, pembangunan moral, akhlak dan
kepribadian. Nilai nilai tersebut tergambar dari ungkapan-ungkapan
dalam bahasa asli Sambas, yang antara lain “adat besendikan syara’,
syara’ besendikan kitabullah dan sunah Rosul”, yang maknanya Adat
istiadat tidak boleh bertentangan dengan agama. ”Telunjuk lurus,
kelingking bekaik”, yang maknanya adalah bahwa segala perbuatan
yang kita lakukan tidak boleh berpura-pura, tetapi harus jujur. ”cepat
kaki, ringan tangan”, artinya suka menolong orang lain.

Karakter cerdas, tergambar dalam nilai-nilai pendidikan dan


ilmu pengetahuan serta strategi mengatasi kesulitan hidup yang

35
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

tercermin dalam peribahasa asli masyarakat Sambas, seperti “unduk-


unduk buah padi”, semakin berilmu semakin merendah dan tidak
sombong. “sial madu rajing” meski nasib yang tidak menguntungkan
tetapi bila diikuti dengan kerajinan pada akhirnya akan berhasil juga.

Karakter peduli, tergambar dalam nilai-nilai yang berkembang di


masyarakat Sambas, seperti nilai-nilai tentang musyawarah, hubungan
orang tua anak, tutur kata dan budi bahasa, hubungan kekeluargaan dan
gotong royong, yang antara lain: ”seperau sitimba’ ruang”, selalu dalam
kebersamaan, “tattak aek nda’an putus”, hubungan kekeluargaan dan
persahabatan yang tidak dapat dipisahkan, “bulat ae’ karne buloh, bulat
kate karne immpakat”, mengutamakan musyawarah untuk mufakat.
Kecuali itu dalam masyarakat Sambas ada tradisi “belalle’ “, yang
maknanya kebersamaan dan kegotong royongan. Peribahasa lain,
”macam aor dengan tabbing” yang artinya persahabatan yang tidak
bisa dipisahkan, seia sekata.

Karakter tangguh, tergambar dari nilai-nilai seperti hati-hati


dan mawas diri, sikap menghadapi kehidupan, dan etos kerja dan
perjuangan hidup, yang antara lain, ”ngukur baju di badan” artinya
adalah orang yang tahu diri dan bisa menempatkan diri sendiri, “ibarat
makan berulam” artinya puas atas hasil pekerjaan sendiri, bukan dari
orang lain.

2. Etnis Dayak Palangka Raya

a. Identitas Kultural

Kota Palangka Raya atau terkadang ditulis Palangkaraya adalah


sebuah kota yang sekaligus merupakan ibu kota Provinsi Kalimantan
Tengah. Kota ini memiliki luas wilayah 2.678,51 km² Secara garis besar
Kota Palangka Raya merupakan dataran dan perbukitan yang tidak lebih
dari 40% dan dibelah oleh sebuah sungai besar yaitu Sungai Kahayan.
Selain itu juga terdapat 3 buah sungai buatan yaitu Sungai Pangaringan
I, Sungai Pangaringan II, sungai Pangaringan III. Berpenduduk

36
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

sebanyak 220.223 jiwa dengan kepadatan penduduk rata-rata 62,89


jiwa tiap km² (hasil Sensus Penduduk Indonesia 2010). Sebelum
otonomi daerah pada tahun 2001, Kota Palangka Raya hanya memiliki 2
kecamatan, yaitu: Pahandut dan Bukit Batu. Kini secara administratif,
Kota Palangka Raya terdiri atas 5 kecamatan, yakni: Pahandut, Jekan
Raya, Bukit Batu, Sebangau, dan Rakumpit. Kota Palangka Raya
mayoritas penduduknya memeluk agama Kristen dan Islam.

Kondisi sosial masyarakat kota Palangka Raya dicirikan oleh


keadaan sosial yang sangat santun, jujur dan bersahabat serta terbuka
dalam hal menerima pendatang. Secara garis besar masyarakat
Palangkaraya memiliki mata pencaharian pada bidang pertanian :
10,25%, pertambangan dan penggalian : 1,55%, industri : 3,89%,
konstruksi : 10,95%, perdagangan : 30,37%, jasa : 32,81% dan lain-lain.

Suku bangsa dominan yang berdiam di kota Palangka Raya


adalah suku Dayak yang termasuk dalam rumpun suku Dayak Hilir,
Terutama adalah Dayak Ngaju dan Dayak Bakumpai, Kecuali itu juga
terdapat orang Banjar (Melayu), auku Jawa dan Bugis. Bahasa dominan
yang dipergunakan dalam percakapan sehari-hari adalah bahasa
Melayu, bahasa Banjar dan bahasa Ngaju. Berbagai agama dianut oleh
pemeluk-pemeluknya. Di antaranya adalah Islam, Kristen Protestan,
Katholik, dan Hindhu Kaharingan.

b. Karakter Siswa

Nilai karakter yang dikembangkan di masyarakat Palangka Raya


juga meliputi nilai jujur, cerdas, peduli dan tangguh. Karakter jujur yang
dikembangkan di sekolah dapat terlihat dari tidak mencuri barang orang
lain, mengembalikan barang temuan, tidak mencontek, dan tidak
berbohong. Nilai kejujuran yang terdapat pada siswa memang dari
budaya dan tradisi daerah setempat sehingga tidak sulit untuk
menanamkan nilai kejujuran kepada siswa. Program-program yang
dilakukan oleh sekolah untuk mendukung adanya penanaman nilai

37
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

kejujuran yakni program tertulis berkelanjutan, kotak kejujuran, dan


slogan-slogan tentang kejujuran. Penanaman nilai kejujuran ini bukan
hanya di implementasikan pada pembelajaran di kelas saja akan tetapi
juga diimplementasikan pada kegiatan ekstrakulikuler seperti PMR,
drum band, bina musik, seni tari, dan bidang olah raga. Akan tetapi
dalam menerapkan nilai kejujuran terdapat hambatan yang ditemui
yakni terkadang masih ada siswa yang bersikap belum jujur dalam
berbuat dan terkadang ada orangtua yang tidak peduli bila anaknya tidak
jujur. Masyarakat pada umumnya sangat mendukung adanya penerapan
nilai kejujuran di sekolah dengan cara ikut serta dalam memberikan
informasi kalau ada perbuatan siswa yang kurang jujur dan memberikan
teguran-teguran terhadap siswa yang melakukan perbuatan kurang
jujur. Hal ini sesuai dengan peribahasa dalam bahasa Dayak Ngaju yang
menyatakan “nyama ewau madu, para mimbit puntut” (mulut bau
madu, pantat bawa sengat), maknanya orang harus baik dan jujur luar
dalam, tidak manis di mulut tetapi jahat di hati.

Nilai kecerdasan diwujudkan berupa mampu mengerjakan tugas


yang diberikan guru dengan baik dan benar. Nilai kecerdasan yang telah
dikembangkan di sekolah antara lain adalah mengikuti seleksi olimpiade
MIPA, bahasa Inggris, bahasa Indonesia, kesenian, olahraga. Nilai
kecerdasan ini sudah berakar dari tradisi dan budaya setempat. Dalam
mengembangkan nilai kecerdasan terdapat hambatan yang ditemui
yakni keterampilan guru yang masih kurang maksimal dalam
membimbing siswa dan ada sebagian orang tua yang kurang mendukung
kegiatan tersebut, mengeluh menerima pelajaran dari guru, dan
mengeluh dalam mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh guru.
Kecerdasan maupun bersahabat dengan orang cerdas menjadi
keniscayaan, sehingga ada peribahasa dalam bahasa Dayak Ngaju, “bara
bakawal dengan oloh humung, keleh bakawal dengan oloh harati”
(daripada berteman dengan orang bodoh, lebih baik berseteru dengan
orang berakal).

Nilai kepedulian adalah sikap peduli terhadap lingkungan

38
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

sekitar maupun dengan makhluk hidup. Nilai kepedulian ini telah


ditanamkan di lingkungan sekolah salah satu contoh nilai kepedulian
yang diterapkan di sekolah adalah memberikan sumbangan sukarela
kepada warga sekolah yang sedang berduka dan mendapatkan musibah.
Program-program yang dilakukan oleh sekolah adalah program pilah
memilah sampah, pengelolaan sampah, POCIL (polisi cilik), dan Jumat
bersih. Nilai kepedulian ini memang berakar dari budaya dan tradsisi
daerah setempat. Contoh tradisi yang telah melekat sejak dahulu adalah
gotong royong handep hapakat (tradisi orang Dayak), menunggal
(menanam padi), dalam membangun rumah juga melibatkan warga.
Dalam menerapkan nilai kepedulian ini terdapat hambatan yakni
terkadang sebagian warga sekolah yang tidak memberikan sumbangan
sukarela tatkala terdapat seseorang yang mengalami musibah dan
kebiasaan yang kurang tanggap terhadap suatu kejadian. Sikap
ketidakpedulian yang sering muncul adalah dalam bentuk kurang peka
terhadap kebersihan lingkungan sekolah (sebagian kecil dari warga
sekolah).

Nilai ketangguhan yakni tidak mudah menyerah, ulet dalam


segala hal, percaya diri, rajin belajar, tidak mudah terpengaruh oleh
orang lain. Di dalam lingkungan sekolah telah diterapkan nilai
ketangguhan yakni gigih, ulet, percaya diri, rajin belajar, tidak mudah
terpengaruh, tidak mudah putus asa, maju terus pantang mundur
(dalam bahasa Dayak: isen mulang) seperti semboyan provinsi
Kalimantan Tengah. Contoh kegiatan yang diadakan oleh sekolah untuk
menumbuhkan nilai ketangguhan adalah dengan mengikutkan peserta
didik dalam berbagai kegiatan yang sifatnya melatih percaya diri baik di
lingkungan sekolah maupun di masyarakat. Di dalam kelas pun juga di
tanamkan nilai ketangguhan yakni pada semua pelajaran. Kegiatan
ektrakulikuler pun juga di tanamkan nilai ketangguhan yakni dengan
mengikutsertakan siswa dalam lomba drum band, lomba seni budaya.
Nilai-nilai ketangguhan ini memang berasal dari budaya dan tradisi
daerah setempat salah satunya adalah tekat kuat atau pantang mundur
sebelum berhasil dalam melakukan sesuatu yang positif. Dalam

39
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

menerapkan nilai ketangguhan terdapat hambatan yang ditemui yakni


kurang berani atau kurang memiliki rasa percaya diri yang besar, dan
tumbuhnya sifat malas.

3. Etnis Tidung Tarakan

a. Identitas Kultural

Kota Tarakan, yang secara geografis terletak pada 3°14'23" -


3°26'37" Lintang Utara dan 117°30'50" - 117°40'12" Bujur Timur, terdiri
dari 2 (dua) pulau, yaitu Pulau Tarakan dan Pulau Sadau dengan luas
wilayah mencapai 657,33 km². Kota Tarakan merupakan kota terbesar
ketiga di provinsi Kalimantan Timur, dan juga merupakan kota terkaya
ke-17 di Indonesia. Kota ini memiliki luas wilayah 657,33 km². Kota
Tarakan berpenduduk sebanyak 193.069 jiwa (sensus 2010). Tarakan
atau juga dikenal sebagai Bumi Paguntaka, berada pada sebuah pulau
kecil yang terletak di utara Kalimantan Timur.

Penduduk asli pulau Tarakan adalah suku Tidung (Tidong) yang


secara tradisional hidup sebagai nelayan. Kota Tarakan, yang didiami
oleh suku asli Tidung, dalam perkembangannya sebagaimana daerah
lain dihuni pula oleh suku-suku lain seperti, Suku Dayak, Banjar, Jawa,
Bugis, Batak, Toraja, Tionghoa, dan lain-lain. Pemeluk agama terbesar
di Tarakan adalah Islam, di samping Kristen, Hindhu dan Budha.

Suku Tidung merupakan suku yang tanah asalnya berada di


bagian utara Kalimantan Timur. Suku ini juga terdapat di Sabah bagian
dari Malaysia. Dapat dipahami jika bahasa dominan di Tarakan adalah
bahasa Tidung. Ada kemungkinan suku Tidung masih berkerabat
dengan suku Dayak rumpun Murut, yang berdiam di Sabah, Malaysia.
Karena suku Tidung beragama Islam dan mengembangkan peradaban
Islam sering dianggap bukan suku Dayak namun dikategorikan suku
yang berbudaya Melayu.

Secara etiomologi kata Tarakan berasal dari bahasa Tidung, tarak

40
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

(bertemu) dan ngakan (makan) yang secara harfiah dapat dikatakan


sebagai tempat para nelayan untuk beristirahat, bertemu makan,
kemudian melakukan barter hasil tangkapan ikan serta kebutuhan
sehari-hari lainnya.

b. Karakter Siswa

Secara umum sekolah di Tarakan telah mengembangkan nilai-


nilai karakter seperti nilai kejujuran, cerdas, peduli, dan tangguh.
Pengembangan nilai kejujuran diintegrasikan ke dalam mata pelajaran
di sekolah, seperti PMP-Kn, agama, olahraga, kegiatan ekstrakurikuler,
dan terdapat kantin kejujuran. Nilai kejujuran yang dikembangkan di
sekolah ini antara lain, (a) Ketulusan hati, ditunjukkan dengan
mengembangkan sikap menghargai guru tanpa memandang tinggi atau
rendahnya tingkat pendidikan guru serta kebiasaan saling
meringankan beban teman-temannya tanpa mengharapkan imbalan,
(b) Keimanan dan ketakwaan, sifat dan sikap yang melekat dalam
budaya, karena termasuk dalam rumpun Melayu maka memiliki
religiusitas yang tinggi, (c) Pertanggungjawaban, ditunjukkan dengan
mengikuti lomba untuk mewakili sekolahnya, akan berusaha
semaksimal mungkin sebagai bentuk loyalitas yang dipersembahkan
dirinya terhadap sekolahnya, (d) Menghargai diri sendiri, bentuk
penghargaan diri yaitu semua siswa di sekolah ini memakai pakaian
seragam yang rapi, (e) Amanah, implementasi amanah di sekolah yaitu
jika menemukan uang, mereka akan menyerahkannya kepada petugas
serta senantiasa bersikap selaras antara ucapan dan tindakan, baik
dengan teman, guru, orangtua, maupun masyarakat, (f) Sportivitas, di
saat guru mengajukan pertanyaan, siswa-siswa di sekolah ini cukup
memberikan kesempatan pada temannya untuk bertanya.

Sekolah-sekolah di Tarakan mengembangkan nilai kecerdasan


melalui kegiatan kurikuler dan kegiatan ekstrakulikuler. Dalam kegiatan
kurikuler, nilai kecerdasan diintegrasi ke dalam semua mata pelajaran
yang diajarkan di sekolah itu. Sekolah mewajibkan memasukkan nilai

41
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

kecerdasan ke dalam mata pelajaran yang dibina. Guru memulai dengan


menyusun perencaaan pembelajaran dengan menyusun silabus dan
rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) dengan memasukkan nilai
kecerdasan. Kemudian guru melaksanakan kegiatan pembelajaran
sesuai dengan perencanaan yang telah disusunnya. Selain itu, nilai
kecerdasan juga diintegrasikan ke dalam kegiatan-kegiatan
ekstrakurikuler.

Upaya peningkatan kecerdasan ini juga dilakukan dengan


pengembangan kompetensi SDM sekolah (guru-guru) melalui
pemberian beasiswa untuk menempuh pendidikan strata dua
(magister). Beasiswa tersebut diperoleh dari pemerintah kota maupun
provinsi. Tujuannya, dengan pendidikan guru yang lebih meningkat
dapat meningkatkan pula kualitas pembelajaran yang diberikan kepada
siswa, sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan prestasi dan
kecerdasan siswa.

Nilai kepedulian telah ditanamkan di lingkungan sekolah.


Salah satu contoh nilai kepedulian yang diterapkan di sekolah adalah
memberi sumbangan sukarela kepada warga sekolah yang sedang
berduka dan mendapatkan musibah, maupun yang kurang mampu.
Program-program yang dilakukan oleh sekolah adalah program pilah
memilah sampah, pengelolaan sampah, dan Jumat bersih. Nilai
kepedulian ini memang berakar dari budaya dan tradsisi daerah
setempat. Dalam menerapkan nilai kepedulian ini terdapat hambatan
yakni terkadang ada sebagian warga sekolah yang tidak memberikan
sumbangan sukarela tatkala ada seseorang yang mengalami musibah,
dan kebiasaan yang kurang tanggap terhadap suatu kejadian. Sikap
ketidakpedulian yang sering muncul adalah dalam bentuk kurang peka
terhadap kebersihan lingkungan sekolah.

Sekolah-sekolah di Tarakan menanamkan nilai tangguh


melalui kegiatan kurikuler dan kegiatan ekstrakurikuler. Nilai tangguh
yang ditanamkan kepada siswa di sekolah ini antara lain kerja keras
(rajin belajar), tanggung jawab mengerjakan tugas, jiwa berkompetisi,

42
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

dan mempunyai kemampuan mengambil keputusan. Untuk


mewujudkan agar siswa menjadi individu yang tangguh, sekolah
menyusun program sekolah antara lain meningkatkan kualitas kegiatan
pembelajaran, mengirim siswa mengikuti kegiatan pendidikan dan
pelatihan, dan mengirim siswa mengikuti berbagai kejuaraan dan lomba
di bidang akademik maupun non akademik.

Implementasi penanaman nilai tangguh dalam kegiatan


pembelajaran di kelas dilakukan oleh semua guru mata pelajaran.
Semua guru mata pelajaran memberikan tugas kepada siswa dan guru
mata pelajaran mendorong agar siswa juga memunyai kemampuan
mengakses berbagai sumber belajar seperti buku dan internet. Nilai
tangguh juga diimplementasikan melalui kegiatan ekstrakurikuler
seperti kegiatan pramuka, kegiatan PMR, kegiatan olahraga, dan sispala
(siswa pecinta alam).

Pengembangan karakter nilai jujur, cerdas, peduli dan tangguh


sangat cocok untuk dikembangkan di sekolah-sekolah di kota Tarakan
karena tokoh masyarakat dan pihak sekolah sama-sama memahami
perlunya berbagai upaya yang dilakukan untuk mengembangkan
karakter anak.

C. Identitas Kultural dan Karakter Siswa-Siswa di Jawa

1. Etnis Sunda, Banten, dan Betawi

Wilayah Jawa Barat terbagi ke dalam tiga provinsi, yaitu DKI


Jakarta, Banten, dan Jawa Barat. Beberapa suku yang berbeda berdiam
di wilayah ini, di antaranya suku Sunda (di Provinsi Jabar), suku Banten
(di Provinsi Banten), dan suku Betawi (di Provinsi DKI Jakarta). Namun
karena proses urbanisasi, di provinsi Banten pun dapat ditemui orang-
orang dari suku Sunda; demikian pula, di DKI Jakarta ada suku Banten
dan Sunda, dan di kota-kota di Jawa Barat dan Banten ada juga orang-
orang Betawi.

43
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

Secara umum anak-anak di Jawa Barat, apakah dia dari suku


Sunda, Banten, atau Betawi, dikenal memiliki sikap santun. Hanya anak-
anak Betawi agak berbeda, karena mereka tinggal di kota Metropolitan,
ibu kota negara Indonesia, yang sangat modern dengan laju
pembangunan yang amat pesat. Dinamika wilayah DKI Jakarta sebagai
ibu kota negara dan pusat kegiatan bisnis, sedikit mempengaruhi
perilaku anak-anak Betawi. Pertarungan hidup yang keras membuat
anak Betawi harus mampu mandiri, yang kadang membuatnya bersikap
‘loe loe, gua gua” (individualistis).

Hal yang menarik, karena suku-suku bangsa ini tidak dapat


dibatasi secara tegas kedudukan geografisnya, tentu agak sulit
menggambarkan karakter anak berdasarkan lokasi/kedudukannya. Di
kota Bekasi, salah satu kota di Provinsi Jawa Barat yang dulunya bagian
dari DKI Jakarta, misalnya, anak-anak dari suku-suku Sunda, Banten,
Betawi, membaur dengan membawa tradisi, budaya, dan bahasa
masing-masing. Oleh sebab itu, paparan di bab ini didasarkan pada
penggolongan suku bangsa, bukan wilayah geografis.

a. Etnis Sunda

1) Identitas Kultural

Mayoritas Suku Sunda tinggal di wilayah provinsi Jawa Barat


dengan ibu kota Bandung, meskipun tidak sedikit pula yang tinggal di
DKI Jakarta dan Banten. Nilai-nilai luhur budaya Sunda bersandar pada
nilai-nilai agamis/keislaman, dan dilandasi sikap “silih asih, silih asah,
dan silih asuh”. Artinya, orang harus saling mengasihi, saling
mengasah/mengajari, dan saling mengasuh, sehingga tercipta suasana
kehidupan masyarakat yang diwarnai keakraban, kerukunan,
kedamaian, ketentraman dan kekeluargaan.

Ini terungkap dalam banyak peribahasa, seperti; “kawas gula


jeung peueut”, seperti gula dengan nira yang matang (hidup rukun
sayang menyayangi, tidak pernah berselisih); “ulah kawas seuneu jeung

44
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

ijuk”, jangan seperti api dengan ijuk (jangan mudah berselisih, pandai
mengendalikan nafsu-nafsu negatif yang merusak hubungan dengan
orang lain); “ulah nyieun pucuk ti girang”, jangan merusak tunas dari
hulu (jangan mencari bibit permusuhan).

Hampir semua sendi kehidupan di masyarakat Sunda


disimbolkan lewat peribahasa-peribahasa. Peribahasa yang
menganjurkan agar orang menghindari perselisihan sangat banyak.
Misalnya: “ulah neundeun piheuleut ulah nunda picela”, jangan
menyimpan jarak jangan menyimpan cela (jangan mengajak orang lain
melakukan kejelekan dan permusuhan);

“bisi aya ti geusan mandi”, kalau-kalau ada dari tempat mandi


(segala sesuatu harus dipertimbangkan agar pihak lain tidak
tersinggung).

Sebaliknya, anjuran untuk berteman juga banyak diungkapkan


dalam peribahasa, seperti; “henteu asa jeung jiga”, tidak ragu (sudah
merasa seperti saudara, bersahabat). Selain itu, sikap dan perilaku khas
yang mencerminkan ketinggian budi pekerti dan tata krama seperti
ramah tamah, gotong royong, sauyunan (seia sekata), sopan santun,
someah (ramah), menghormati tamu, rengkuh (sikap sopan
menghadapi orang yang lebih tua), handap asor (rendah hati), juga
banyak sekali dianjurkan.

Besar kemungkinan sikap dasar ramah tamah, rendah hati, sopan


santun, suka mengalah (berdamai) yang dimiliki Suku Sunda adalah
pengaruh dari wilayah geografisnya yang bergunung-gunung,
perkebunan teh, lahan pertanian (sawah). Karena kondisi wilayah yang
agraris seperti ini, rakyat terbiasa hidup gotong royong, saling
membantu.

Rata-rata anak Sunda memiliki kecerdasan yang baik. Bila kita


ingat sejarah bangsa Indonesia, tidak sedikit tokoh-tokoh pemimpin
bangsa berasal dari suku Sunda, sepertin Otto Iskandardinata, Dewi
Sartika, Umar Wirahadikusumah, Mochtar Kusumaatmadja, Marty

45
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

Natalegawa, Hasan Wirayuda, Ginanjar Kartasasmita, dan lain-lain.

Di masyarakat Sunda, pendidikan dipandang sebagai salah satu


cara untuk meningkatkan status sosial dan kekayaan. Ilmu pengetahuan
dianggap sebagai faktor penting, yang harus terus dikejar dengan sabar
dan tuntas sampai tua. Bagi mereka, belajar tidak dibatasi usia dan tidak
hanya di lingkup formal.

2) Karakter Siswa

Di zaman sekarang ini amat sulit menemukan kejujuran yang


murni. Agar nilai karakter jujur dapat terus tertanam pada anak-anak,
beberapa responden menilai perlu diciptakan iklim yang mendorong
dan menguji kejujuran anak. Tidak kalah pentingnya adalah perlunya
suri tauladan dari berbagai pihak (orangtua, guru, tokoh masyarakat)
baik berupa niatan, ucapan, maupun tindakan/perilaku yang baik.

Upaya orang tua-tua, tokoh masyarakat dan tokoh adat, serta


lembaga pendidikan (sekolah dan para gurunya) untuk menanamkan
karakter jujur pada siswa di Sunda boleh dikata berhasil. Di tengah gaya
hidup dan desakan untuk berlaku tidak jujur demi
kepentingan/keselamatan diri, anak-anak Sunda masih percaya pada
hal-hal ini: jujur mujur (yang jujur akan beruntung), hade ku basa
goreng ku basa (baik buruk sampaikan dengan ucapan), teu sumput
salindung (blak-blakan, terbuka), sakunang ananing geni, sadom
ananing baraya (walaupun sebesar kunang-kunang adalah api,
walaupun seujung jarum adalah senjata sekecil apapun milik negara itu
harus tetap dipertanggung jawabkan). Keterbukaan atau kejujuran
dianggap penting. Khususnya peribahasa terakhir, ini dapat mencegah
dan menyelamatkan anak-anak Sunda dari perilaku korupsi yang
semakin menular di Indonesia.

Di antara sekian karakter jujur, ada nilai kejujuran yang mulai


tampak ditinggalkan, seperti jujur dina ujian (jujur dalam ujian).
Mungkin tidak hanya di kalangan anak Sunda, anak-anak sekolah

46
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

sekarang sulit menerapkan pepatah ini. Di mana-mana dilaporkan


pelanggaran kejujuran saat ujian sekolah. Ironisnya, pelanggaran
kejujuran itu didukung oleh para guru, orangtua, lembaga bimbingan
belajar, para aparatur pemerintah yang haus pujian, dan sistem yang
tidak teruji. Pepatah “sekali lancung ke ujian seumur hidup tak akan
terpercaya” sudah tidak memiliki kekuatan lagi, tidak bermakna.
Ditengarai banyak faktor eksternal yang menghambat pembangunan
karakter jujur dan bajik. Sebagian guru mengatakan, saat di sekolah
karakter anak baik, begitu keluar sekolah anak berubah. Dibutuhkan
sarana dan prasarana yang memadai serta kerjasama antar berbagai
pihak untuk menumbuhkan karakter jujur dan bajik

Ada beberapa nilai karakter yang berkaitan dengan kecerdasan


yang masih banyak dianut oleh masyarakat Sunda, terutama di kalangan
siswa. Di antaranya adalah: “elmu tungtut dunya siar” (semangat
mencari ilmu dan kehidupan), “cikaracak ninggang batu laun laun jadi
legok” (sikap sabar menuntut ilmu), “picontoeun” (menjadi
contoh/teladan).

Meskipun demikian, ada juga beberapa nilai karakter cerdas yang


mulai luntur, tidak dijalankan lagi. Anak-anak dari suku Sunda sekarang
dipandang tak lagi binekas (kreatif), rancage (rajin, aktif), apik (teliti,
cermat). Mereka bahkan tak lagi tekun dan lebih sering memilih jalan
pintas.

Beberapa alasan terjadinya penurunan penerapan nilai-nilai


kecerdasan tersebut di atas adalah a) pengaruh budaya asing yang
menggeser budaya lokal, b) kurangnya pembiasaan dalam keluarga dan
sekolah agar anak menjadi aktif, kreatif, tekun dan berani mengambil
resiko, dan c) pengaruh kemajuan teknologi informasi dan komunikasi
yang membuat segalanya serba instan (pola hidup konsumtif).

Mungkin tidak ada suku bangsa di Indonesia yang dapat


mengungguli suku Sunda dalam hal kasih sayang dan kepedulian. Itu
sebabnya, banyak ajaran tetua yang tersurat dalam pepatah Sunda,
mengandung unsur perlunya sifat saling asah, asih, asuh. Masyarakat

47
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

Sunda percaya bahwa manusia di muka bumi sesuai dengan ajaran


agama diwajibkan menjalankan tugas dan tanggungjawabnya, saling
menghormati, seia-sekata, sama-sama susah dan senang.

Memang dalam konsep masyarakat modern yang semakin


individualistis, memberi perhatian sebagai wujud kepedulian dapat
dianggap ikut campur urusan orang. Karena itu, tidak mengherankan
bila beberapa nilai karakter kepedulian yang baik menjadi tergerus atau
luntur. Misalnya sifat silih talingakeun (saling mengingatkan) dan silih
geuing, silih elingan (saling mengingatkan dan memberi tahu). Orang
tidak lagi berani mengkritisi, memberi tahu pada hal-hal yang baik dan
benar. Orang semakin kurang peduli pada sesamanya.

Di sekolah-sekolah di tanah Pasundan (istilah wilayah yang


dihuni suku Sunda), para guru giat mengintegrasikan nilai-nilai peduli
tersebut dalam proses pembelajaran maupun yang dirancang dalam
berbagai kegiatan ekstra kurikuler (kegiatan donor darah, peduli
bencana, peduli lingkungan dan lain-lain).

Orang Sunda memiliki sikap dan perjuangan hidup dilandasi


kebersamaan, saling menghormati dan memberi, penuh kesabaran
namun penuh keberanian. Nilai karakter tangguh yang masih
dipertahankan adalah “itikurih” (sabar berusaha dari yang kecil menjadi
besar/sampai berhasil). Sebetulnya orang Sunda memiliki pedoman
hampang birit (sikap cekatan) dan motekar (berusaha maksimal).
Sayang, karakter ini sudah mulai luntur di kalangan siswa. Lagi-lagi yang
dianggap menjadi faktor berpengaruh adalah pengaruh budaya asing
dan kemajuan teknologi. Ada juga faktor kurangnya pembiasaan dalam
keluarga: orangtua yang terlalu memanjakan anak sehingga anak tidak
mandiri, tidak cekatan, tidak mau berusaha.

Sifat–sifat ketangguhan yang sudah lama dimiliki oleh orang


Sunda agar berhasil dalam hidupnya adalah rajin (rejeun), tekun
(leukeun), bersemangat (morogol rogol), berpribadi pahlawan (purusa
ning sa), berani berkurban (hapitan).

48
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

b. Etnis Banten

1) Identitas Kultural

Provinsi Banten termasuk daerah yang subur, sangat cocok untuk


pertanian. Ibukota Provinsi adalah kota Serang, yang berbatasan dengan
Kabupaten Lebak dan Pendeglang (di sebelah selatan), Kabupaten
Tangerang (di sebelah utara), Cilegon (di sebelah barat), dan dengan
Tangerang Selatan (di sebelah timur). Selain dikenal subur tanahnya
untuk pertanian dan perkebunan, wilayah ini juga mengalami
perkembangan industri dan pertambangan yang sangat pesat. Suku
yang dominan adalah suku Sunda, dengan bahasa daerah yang
digunakan adalah bahasa Sunda. Meskipun demikian, di ibukota Banten
(kota Serang) banyak pendatang dari daerah-daerah lain, seperti
Bandung, Tasikmalaya, Cirebon, Tangerang, bahkan dari daerah-daerah
di luar Jawa Barat. Identitas kultural menjadi kabur, terjadi pembauran
antara berbagai adat tradisi masyarakatnya.

2) Karakter Siswa

Siswa-siswi di Serang yang diamati sebagai sampel, pada


umumnya telah mengimplementasikan nilai-nilai kejujuran (dalam
teori pendidikan karakter, sudah pada tahapan “acting”). Dalam
mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru, misalnya, mereka berlaku
jujur. Menurut penuturan guru yang diwawancarai tim peneliti,
kejujuran siswa dibiasakan melalui kegiatan keseharian di kelas atau
sekolah, baik yang berkaitan dengan proses belajar mengajar maupun di
luar itu. Ketika siswa menemukan barang milik temannya di sekolah,
seperti uang atau dompet, misalnya, mereka melaporkannya kepada
guru atau kepala sekolah.

Nilai kecerdasan anak-anak di kota Serang dikembangkan


melalui kegiatan belajar-mengajar, seperti pembiasaan menghafal atau
membaca perkalian secara bersama-sama. Pada umumnya siswa lekas
mengerti apa yang disampaikan guru. Nilai karakter cerdas di sekolah ini

49
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

juga diimplementasikan melalui kegiatan ekstrakulikuler seperti


Pramuka.

Siswa-siswi di sekolah yang diamati telah menunjukkan sikap


dan perilaku peduli kepada temannya. Mereka akan mendoakan secara
bersama-sama ketika ada teman yang sakit, dan juga menjenguknya.
Menurut penuturan guru dan kepala sekolah, anak-anak juga
menunjukkan kepeduliannya dalam bentuk gotong-royong, kerja bakti
membersihkan sekolah, meminjamkan barang yang diperlukan teman,
dan lain-lain. Sikap peduli pada lingkungan ditunjukkan dengan
membuang sampah pada tempatnya. Bahkan di sekolah terdapat
program LISA (LIhat Sampah, Ambil).

Terkait karakter tangguh, tampak anak-anak telah memiliki


nilai ketangguhan yang tertanam dengan baik. Sebagai satu ilustrasi,
walaupun di sekolah mereka sarana prasarana kurang memadai, tetapi
para siswa tetap menunjukkan semangat belajar yang tinggi. Nilai
ketangguhan ini juga berakar dari budaya masyarakat setempat, yakni
bahwa para orangtua bersemangat menyekolahkan anaknya walaupun
dalam keadaan ekonomi serba kekurangan.

c. Etnis Betawi

1) Identitas Kultural

Suku Betawi berasal dari wilayah yang dulu disebut Sunda


Kelapa, Jayakarta, kemudian Jakarta. Dalam perkembangannya, kota
Jakarta kemudian menjadi ibukota negara, kemudian menjadi provinsi
yang terdiri dari lima kota: Jakarta Utara, Jakarta Selatan, Jakarta
Timur, Jakarta Barat, dan Jakarta Pusat. Di luar wilayah DKI Jakarta
terdapat beberapa kota yang berkembang pesat, seperti Bekasi, Depok,
Bogor (ketiganya masuk Provinsi Jawa Barat) dan Tangerang (masuk
Provinsi Banten). Sejalan dengan pembangunan wilayah pusat DKI
Jakarta, mayoritas penduduknya (suku Betawi) bergeser ke kota-kota
pinggiran tersebut.

50
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

Meskipun secara administratif kota Bekasi termasuk ke dalam


Provinsi Jawa Barat, namun secara geografis daerah ini lebih dekat ke
Jakarta (sebagai bagian dari wilayah yang dikenal sebagai Jabodetabek
(Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi). Oleh karena itu tata
kehidupan dan kebiasaan masyarakat Bekasi lebih mirip/dominan
dengan masyarakat Jakarta, di mana adat istiadat Sunda/Betawi sudah
sulit ditemukan. Sebagai daerah industri kota Bekasi merupakan
kawasan urban, yang dicirikan penduduknya yang multi etnis. Oleh
karena itu penduduknya terdiri dari berbagai suku bangsa di Indonesia.
Demikian juga dengan adat dan tradisi yang ada tidak lagi didominasi
oleh salah satu suku. Budaya yang ada merupakan akulturasi dari
berbagai suku yang ada di wilayah Bekasi, akan tetapi yang dominan
adalah budaya Sunda, Jawa, dan Betawi.

2) Karakter Siswa

Para siswa yang diamati oleh Tim Peneliti di sekolah di kota


Bekasi, pada umumnya telah mengimplementasikan nilai-nilai
kejujuran, di antaranya jujur dalam mengerjakan tugas, dalam belajar
dan kegiatan kerja kelompok. Siswa juga terlatih untuk jujur melapor
ketika menemukan barang-barang milik temannya di sekolah, seperti
uang atau dompet. Dalam hal pinjam meminjam barang, mereka juga
dibiasakan untuk mengembalikan barang yang dipinjam tepat waktu.
Lebih jauh lagi, para siswa dididik untuk merasa malu jika mencontek
dalam ujian.

Nilai kecerdasan anak Betawi cukup baik, ditunjukkan dengan


kenyataan bahwa pada umumnya siswa mengerti apa yang disampaikan
guru di dalam kelas. Memang diakui, kadang ada hambatan dalam
proses belajar mengajar karena ada beberapa siswa yang masih belum
paham. Untuk mengatasi persoalan tersebut, guru melakukan kegiatan
remedial dan penambahan jam belajar, sehingga tidak ada ‘gap’yang
mencolok antara si anak pintar dan kurang pintar. Semangat belajar
para siswa ditengarai cukup tinggi, Di sekolah yang diteliti, nilai-nilai

51
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

kecerdasan tidak hanya dibangun di ruang kelas, tetapi juga melalui


kegiatan ekstra kulikuler seperti Pramuka. Bahkan untuk membangun
budaya cerdas, sekolah mengadakan kegiatan menghafal atau membaca
perkalian secara bersama-sama, yang menjadi kebiasaan yang
menyenangkan bagi para siswa.

Sikap “loe loe, gue gue” yang dikabarkan menjadi karakter anak
Betawi pada umumnya, tidak ditemukan di sekolah yang diamati.
Kemungkinan besar, sikap “loe – gue” yang mencerminkan gaya hidup
individulistis itu hanya menjangkiti anak-anak muda yang tinggal di
kota metropolitan Jakarta (DKI Jakarta). Sedangkan di kota-kota
pinggiran seperti Bekasi, Depok, Tangerang, anak-anak Betawi tidak
terpengaruh gaya hidup modern itu. Mereka masih menjaga adat
orangtua yang saling peduli pada sesamanya.

Kepedulian para siswa tampak dalam perilaku menjenguk teman


yang sakit, bergotong-royong kerja bakti membersihkan sekolah, saling
meminjamkan barang yang diperlukan teman (tidak pelit atau egois).
Anak-anak juga tampak peduli pada lingkungan, dengan membuang
sampah pada tempatnya. Iklim kepedulian ini diciptakan oleh sekolah
dengan pemasangan tulisan-tulisan seperti “Kebersihan adalah
sebagian dari iman” di sudut-sudut sekolah.

Di sekolah yang diamati di kota Bekasi, nilai ketangguhan juga


tampak tertanam dengan baik. Anak-anak terbiasa untuk berusaha bisa
menyelesaikan tugasnya, tidak mudah menyerah atau cepat putus asa.
Anak-anak juga dibiasakan memecahkan masalahnya sendiri atau
bersama teman-temannya, tidak selalu tergantung pada guru atau
orangtua. Gambaran di beberapa sinetron Indonesia bahwa anak-anak
dari suku Betawi malas, tidak mau sekolah, tidak sesuai kenyataan di
lapangan. Anak-anak rajin bersekolah, tangguh menghadapi berbagai
hambatan.

Untuk diketahui, kota Bekasi adalah kota industri, yang jelas


tidak nyaman untuk belajar. Juga, rute tempuh dari rumah ke sekolah
seringkali dilalui dengan bertarung di jalanan menembus lalu lintas yang

52
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

padat, bahkan berganti-ganti angkutan kota. Dalam kondisi seperti ini,


para siswa jarang bolos sekolah, dan selalu tiba di sekolah tepat waktu.

2. Etnis Jawa-Yogyakarta

a. Identitas Kultural

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) terletak di bagian tengah-


selatan Pulau Jawa, secara geografis terletak pada 7o3’-8o12’ Lintang
Selatan dan 110o00’-110o50’ Bujur Timur. Berdasarkan bentang alam,
wilayah DIY dapat dikelompokkan menjadi empat satuan fisiografi,
yaitu satuan fisiografi Gunungapi Merapi, satuan fisiografi Pegunungan
Selatan atau Pegunungan Seribu, satuan fisiografi Pegunungan Kulon
Progo, dan satuan fisiografi Dataran Rendah.

Satuan fisiografi Gunung Merapi, yang terbentang mulai dari


kerucut gunung api hingga dataran fluvial gunung api termasuk juga
bentang lahan vulkanik, meliputi Sleman, Kota Yogyakarta dan sebagian
Bantul. Daerah kerucut dan lereng gunung api merupakan daerah hutan
lindung sebagai kawasan resapan air daerah bawahan. Satuan bentang
alam ini terletak di Sleman bagian utara. Gunung Merapi yang
merupakan gunung api aktif dengan karakteristik khusus, mempunyai
daya tarik sebagai objek penelitian, pendidikan, dan pariwisata.

Yogyakarta menjadi pusat kebudayaan Jawa, di mana dalam


interaksi sosialnya dibungkus dalam tatanan Etika Jawa. Frans Magnis
Suseno menjelaskan bahwa orang Jawa tidak mengenal baik dan jahat,
melainkan orang yang bertindak karena ketidaktahuan. Jadi, apabila
orang bertindak merugikan orang lain, itu dianggap sebagai orang yang
belum mengerti mana yang baik dan mana yang tidak baik. Etika Jawa
menekankan keharmonisan, keselarasan pada setiap dimensi
kehidupan, salah satunya dengan alam. Orang Jawa yang ideal adalah
mereka yang melakukan kewajibannya terlebih dahulu daripada
menuntut haknya. Kerukunan pada orang Jawa mendahulukan
kerukunan sosial daripada kerukunan pribadi, artinya semakin besar

53
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

lingkup komunitasnya, semakin mengecil kepentingan kelompok kecil


yang ada di dalamnya.

Etika Jawa menekankan sikap hormat terhadap apa saja karena


segala yang ada di dunia adalah percikan zat ilahi. Sikap hormat semacam
ini melampaui sikap hormat yang didasarkan pada hirarki jabatan dalam
institusi-insitusi. Oleh karena itu, penghormatan kepada seorang raja
pun sesungguhnya didasarkan pada keyakinan bahwa seorang raja
merupakan wakil Tuhan untuk melangsungkan tatanan dunia sesuai
kehendak ilahi, dan apabila seorang raja gagal melaksanakan mandat
menyejahterakan rakyat karena lebih senang memenuhi nafsu-nafsu
pribadi, maka ia akan kehilangan legitimasi kekuasaan dari rakyat. Lalu,
apa yang menjadi sumber nilai karakter etika Jawa?

Etika Jawa tertuang dalam berbagai bentuk karya peninggalan


orang Jawa seperti epos Mahabarata, Ramayana, atau karya-karya
mitologis lainnya. Selain itu beberapa bentuk karya lain yang merupakan
sumber ajaran etika Jawa, yaitu: (1) tembang; (2) cerita rakyat/dongeng;
(3) peribahasa; (4) slogan-slogan tertentu hingga petuah-petuah
sederhana yang sering diucapkan masyarakat dalam hidup sehari-hari.
Selain itu, sumber etika yang lazim didapati dalam hidup keseharian
dapat digali dari ritus-ritus slametan yang sarat dengan simbol-simbol
penuh makna sebagai panduan hidup. Simbol-simbol nilai karakter ini
secara mendalam dapat dicermati dari buku berjudul Etika Wayang.

Terdapat dua tradisi mitologi wayang terbesar yang hidup dalam


masyarakat Jawa, yaitu epos Mahabarata dan Ramayana. I Gede Samba,
seorang penafsir cerita Mahabarata dan Ramayana mengatakan bahwa
kedua epos tersebut harus dilihat sebagai mitologis, bukan kisah sejarah.
Narasi-narasi kisah, karakter setiap tokoh dalam epos Mahabarata dan
Ramayana, termasuk perang-perang yang ada di dalamnya harus dilihat
sebagai kisah yang terjadi dalam setiap manusia, dalam diri manusia,
bukan kisah antar-individu. Setiap peristiwa, perang misalnya, adalah
perang yang pertama-tama terjadi dalam diri seseorang, bukan perang
antar-manusia. Perang antara Kurawa dan Pandawa misalnya, adalah

54
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

perang antara sifat buruk dan sifat baik yang ada dalam diri seseorang,
sehingga perang yang paling pantas dilakukan adalah perang terhadap
watak buruk dalam diri sendiri, bukan memerangi pihak (orang) lain yang
perlu dimusnahkan.

Dalam masyarakat Yogyakarta, Wayang merupakan salah satu


media pendidikan watak bagi orang Jawa. Wayang tidak mengajarkan
etika secara indoktrinasi (harus begini atau begitu), melainkan memberi
keleluasaan penonton untuk menafsirkan setiap kisah dengan terbuka.
Wayang tidak mengajarkan nilai-nilai secara teoritis, melainkan konkret
dalam cerita atau lakon-lakon tertentu. Melalui adegan-adegan yang
sifatnya lucu, mengharukan, membuat hati panas dan geram, serta
membuat orang tersentuh hatinya menjadikan wayang sebagai media
pendidikan watak yang total namun dipandang non-formal. Nilai-nilai
etis dalam wayang tidak dapat dipisahkan dari filsafat, agama, bahkan
estetika, karena nilai-nilai etis di dalamnya memang erat dengan nilai-
nilai tersebut.

Dalam perkembangannya, Yogyakarta tumbuh bukan hanya


sebagai kota budaya, dan wisata, namun juga kota pendidikan. Terkait
dengan penyebaran sekolah untuk jenjang SD/MI sampai Sekolah
Menengah Pertama maupun Sekolah Menengah Atas, telah merata dan
menjangkau seluruh wilayah sampai ke pelosok desa. Jumlah SD/MI
yang ada di Provinsi DIY pada tahun 2008 adalah sejumlah 2.035;
SMP/MTs/SMP Terbuka sejumlah 529; dan SMA/MA/SMK sejumlah
381 yang terdiri atas sekolah negeri maupun swasta. Pendidikan karakter
di sekolah telah diimplementasikan sejak kurikulum KTSP Tahun 2006,
yaitu melalui pembelajaran intrakurikuler, ekstrakurikuler, budaya
sekolah dan peran serta masyarakat. Nilai-nilai yang diinternalisasikan
dalam pendidikan ini sesungguhnya merupakan perpaduan antara nilai-
nilai lokal dengan nilai-nilai universal. Misalnya empat nilai inti yaitu
jujur, cerdas, peduli dan tangguh. Keempat nilai ini sesungguhnya
merupakan nilai global, namun memiliki sinergi dengan nilai karakter
lokal yang tertuang dalam peribahasa (paribasan). Secara rinci dapat
dicermati dalam Tabel berikut ini.

55
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

Tabel 3. 1. Sinergi Karakter Global dengan Identitas Kultural

Klasifikasi Kelompok
Peribahasa Arti Makna
Nilai Inti Indikator Nilai
Jujur Adat dan Saben desa Setiap daerah Semakna dengan
Tradisi mawa caro memiliki peribahasa, di
kebiasaan mana bumi dipijak
berbeda di situ langit
dijunjung
-Keimanan dan Gusti ora Tuhan/Gusti Keyakinan bahwa
Kepercayaan sare mengerti setiap Allah akan
-Kejujuran dan perbuatan membalas
kebijakan makhlukNya perbuatan
(kebaikan maupun
keburukan) kita
Pembangunan Becik ketitik, Perbuatan baik Perbuatan baik
Moral, Akhlak ala ketara dan buruk pasti dan buruk suatu
dan akan diketahui saat pasti akan
Kepribadian diketahui orang
lain
Cerdas Pendidikan dan Ajining dhiri Harga diri Kepribadian dan
Ilmu dumunung seseorang harga diri kita
Pengetahuan ing lati, tergantung pada tercermin dari apa
ajining raga caranya yang dikatakan
saka busana berbicara dan dan kepantasan
apa yang busana yang kita
dibicarakan, pakai
derajat kita
bergantung
kepada cara kita
berpakaian,
mematut diri
Strategi Ajo Jangan berharap Segala sesuatu
mengatasi njagakake sesuatu yang yang belum ada di
Kesulitan endhoge sing belum pasti tangan jangan
Hidup blorok dihitung
Peduli Tugas dan Dudu sanak Walaupun Memiliki rasa
Tanggung dudu kadang, bukan saudara solidaritas yang
Jawab yen mati tapi ikut kuat
Kemanusiaan melu merasakan
Hukum dan kelangan musibah/pende
Keadilan ritaannya
Kepemimpinan Ing ngarso Orang yang Merasa
dan manajemen sung tuladha, bijak dalam bertanggung
ing madya menempatkan jawab ketika

56
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

Kepemimpinan Ing ngarso Orang yang Merasa


dan manajemen sung tuladha, bijak dalam bertanggung
ing madya menempatkan jawab ketika
mbangun posisinya, di memimpin bisa
kerso, tut depan menjadi contoh, di
wuri memberikan tengah-tengah
handayani contoh, di masyarakat bisa
tengah memberikan saran
memberikan dan gagasan, dan
gagasan , di ketika di belakang
belakang bisa menghormati
memberikan pemimpinnya
motivasi dan
menjaga
kehormatan
Musyawarah Ano rembug Jika ada Menyelesaikan
dan Demokrasi padha persoalan masalah dengan
dirembug, diselesaikan musyawarah dan
yen bersama dengan kepala
rembugan dengan kepala dingin
kanthi sareh dingin
Hubungan Rukun agawe Persatuan dan Bersatu kita teguh
kekerabatan dan santosa, crah perdamaian bercerai kita
Gotong royong agawe bubrah akan membuat runtuh
kita kuat,
perceraian dan
pertengkaran
akan membuat
kita tercerai-
berai dan lemah
Hubungan Mikul Menggotong/ Memulyakan
orang tua dhuwur mengangkat orang tua
dengan anak mendem jero tinggi-tinggi,
menanam
dalam-dalam
Anak polah bapa Anak bertingkah, Perbuatan anak yang
kepradah bapak yang terkena tidak baik, maka
musibah orang tua ikut
menanggunag
resikonya

57
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

Tangguh Hati-hati dan Ngilowa Bercerminlah pada Hati-hati dalam


mawas diri githokmu dhewe tengkukmu sendiri perbuatan dan
perkataan, mawas
diri/introspeksi diri
Sikap menghadapi Rawe-rawe Rawe (sejenis Menggunakan segala
kehidupan rantas, malan- semak yang kekuatan untuk
malang putung berduri) akan mencapai cita-
terserak, yang cita/tujuan
merintangi akan
tumbang
Sepi ing pamrih Sepi dari keinginan Mengerjakan sesuatu
rame ing gawe giat dalam bekerja tidak punya pamrih
apa-apa

b. Karakter Siswa

Bagaimana implementasi keempat nilai karakter jujur, cerdas,


peduli dan tangguh dalam budaya sekolah di daerah Yogyakarta,
secara lengkap terdiskripsi dalam uraian berikut ini.

Nilai jujur dikembangkan di sekolah melalui pembiasaan dan


nasihat-nasihat yang selalu diberikan oleh guru dalam berbagai
kesempatan. Pada tahun 2012, belum ada program sekolah yang
berkaian langsung dengan penamaman nilai kejujuran. Nilai kejujuran
ditanamkan melalui pembiasaan dan teladan, baik di dalam maupun di
luar kelas. Misalnya di saat siswa menemukan barang bukan miliknya,
siswa tersebut akan menyerahkan barang temuan kepada petugas piket.
Lalu, sekolah mengumumkannya kepada seluruh siswa dan bila ada
siswa yang merasa kehilangan, dipersilahkan mengambil dengan tanda
bukti. Dalam konteks ini kejujuran menjadi dimensi penting. Nilai
kejujuran juga dibiasakan ketika siswa menjalani ujian, untuk tidak
boleh mencontek pekerjaan temannya. Namun sayangnya, di kota ini
nilai jujur belum dapat diinternalisasikan secara bagus dalam diri siswa.
Misalnya masih ditemukan anak yang mencontek pekerjaan temannya,
dan untuk siswa SD masih ada orang tua yang mengerjakan pekerjaan
rumah putra putrinya.

Nilai jujur sebenarnya nilai yang bersifat dominan. Ada beberapa


nilai yang diturunkan dai nilai jujur, yaitu: (1) ketulusan hati; (2)
keimanan dan ketakwaan; (3) pertanggungjawaban; (4) menghargai diri

58
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

sendiri; (5) amanah; dan (6) sportivitas.

Pertama, ketulusan hati. Ada beberapa contoh pembiasaan nilai


ketulusan hati. Misalnya, siswa-siswa sekolah sampel menghargai
semua guru tanpa memandang latar belakang gelar yang mereka miliki.
Dalam diri siswa juga ditanamkan kebiasaan saling meringankan beban
di antara temannya dengan cara saling membagi makanan. Jika
dicermati secara mendalam maka kesetiakawanan siswa di sekolah ini
sangat erat, kompak, dan selalu berbagi.

Kedua, keimanan dan ketakwaan. Sekolah-sekolah yang ada di


Yogyakarta selalu menanamkan nilai keimanan dan ketakwaan, melalui
kegiatan keagamaan. Implementasi kegiatan ini baik di sekolah, rumah,
maupun di masyarakat. Misalnya, siswa melakukan kebiasaan merawat
tanaman sebagai bentuk penghormatan kepada Tuhan yang telah
menciptakan alam semesta ini. Sekolah menyediakan fasilitas mushola
yang cukup rapi dan luas sebagai tempat beribadah.

Ketiga, pertanggungjawaban. Pembiasaan penanaman nilai


pertanggungjawaban siswa dilakukan melalui berbagai cara. Misalnya,
penugasan materi pelajaran yang diberikan kepada siswa yakni ketika
mendapatkan tugas akan dikerjakan sebaik-baiknya, dengan penuh
semangat, misalnya tugas mengikuti lomba, mengerjakan pekerjaan
rumah. Siswa-siswa di kota ini akan berusaha semaksimal mungkin
untuk menunjukkan prestasi, baik untuk dirinya maupun untuk sekolah
dan dirinya. Penanaman pertanggungjawaban ini juga dilakukan
melalui pembiasaan agar siswa-siswa di sekolah ini tidak protes atas
hukuman yang diberikan oleh guru atau pihak sekolah atas kelalaian dari
mengerjakan tugas yang diberikan, sehingga siswa-siswa sekolah ini
memiliki kesadaran tanggung jawab yang tinggi. Pertanggungjawaban
ini juga dilatih secara pribadi, misalnya terkait dengan pembentukan
petugas Piket Kelas (PK). Dalam melaksanakan tugas ini siswa
dibiasakan menjalankan tugas masing-masing, mulai membersihkan
ruangan kelas, menghapus papan tulis dan membersihkannya kembali
setelah pelajaran usai. Pertanggungjawaban juga terpupuk dalam diri

57
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

siswa untuk selalu berusaha mencapai nilai yang terbaik.

Keempat, menghargai diri sendiri. Nilai karakter ini selalu


dipertahankan siswa melalui pemakaian seragam lengkap yang telah
diseterika dan berpenampilan rapi.

Kelima, amanah. Nilai karakter ini secara awam bisa diartikan


melakukan sesuatu karena segalanya adalah titipan Allah. Nilai karakter
ini antara lain diwujudkan dengan tindakan selalu melakukan
sinkronisasi antara ucapan dan tindakan, baik dengan teman, guru,
orangtua, maupun masyarakat; siswa-siswa di sekolah ini memiliki
kebiasaan tidak membicarakan orang lain; memiliki ketegasan dalam
bersikap, yang ditunjukkan dengan tetap melakukan tindakan yang
benar meski ada bisikan dari kawan dekat untuk bersikap sebaliknya,
yaitu menyimpang; pada umumnya siswa di sekolah ini menganggap
penting mengembalikan barang yang telah dipinjam dari teman sekolah
tepat pada waktunya. Siswa-siswa di sekolah ini tidak berpandangan
“ingkar janji pada teman adalah hal yang biasa”.

Keenam, sportivitas. Pada umumnya siswa di sekolah ini


menjunjung tinggi nilai sportivitas, yang diwujudkan dengan mengakui
prestasi temannya, yang pada gilirannya digunakan sebagai dasar dalam
membangun semangat dirinya untuk belajar lebih baik. Sportivitas juga
ditunjukkan dengan membiasakan siswa untuk tidak melakukan segala
cara (termasuk cara tidak jujur) untuk memperjuangkan agar tim
sekolahnya menjadi juara dalam pertandingan.

Nilai cerdas selalu ditanamkan di berbagai sekolah dan jenjang


pendidikan. Ada berbagai langkah yang dikembangkan untuk
menanamkan kecerdasan, misalnya penyediaan sumber belajar di
perpustakaan, les belajar di luar sekolah, dan penambahan jam tatap
muka. Namun sayangnya dalam mengembangkan nilai cerdas masih
mengalami hambatan, misalnya masih ada siswa yang memiliki minat
belajar rendah. Terkait dengan peningkatan nilai cerdas ini, sekolah
menerapkan program pembinaan rutin, pemberian tugas belajar, dan
pembiasaan berdialog dengan guru dan siswa. Misalnya, guru

60
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

memberikan Pekerjaan Rumah (PR), diskusi di kelas, penerapan


pembelajaran kooperatif, tugas penyusunan laporan hasil kegiatan
pembelajaran pada setiap mata pelajaran. Penanaman nilai cerdas juga
tidak hanya berlangsung di kelas, namun hingga di rumah. Orang tua
selalu memacu anak-anaknya untuk menjadi yang terbaik.

Terkait dengan nilai cerdas ini, ada beberapa nilai turunan yang
akan dikupas, yaitu: (1) analitis; (2) pemecahan masalah; (3) kuriositas;
(4) kreativitas; (5) kritis; (6) kemandirian; (7) disiplin diri; dan (8)
visoner.

Pertama, analitis. Penerapan nilai ini antara lain dilakukan


dengan cara sesegera mungkin melakukan introspeksi untuk mencari
penyebab suatu masalah dan digunakan sebagai pijakan untuk
melalukan perbaikan. Namun sayangnya siswa-siswi di sekolah ini
tidak terbiasa membuat perencanaan kegiatan harian, mingguan dan
berusaha menaatinya yang digunakan sebagai dasar membuat analisis.
Terkait dengan mengerjakan tugas-tugas mata pelajaran, siswa-siswi di
sekolah ini tidak terbiasa mengoreksi kembali tugas tersebut sebelum
diserahkan kepada guru.

Kedua, pemecah masalah. Siswa-siswi di kota ini beranggapan


bahwa kemampuan memecahkan masalah itu penting. Kemampuan ini
diasah melalui kemampuan menyelesaikan masalah bersama-sama
dalam satu tim. Semboyan mereka, dengan dipikirkan bersama-sama
maka pemecahan masalah akan lebih mudah ditemukan.

Ketiga, kuriositas. Nilai ini selalu ditanamkan untuk seluruh


siswa sehingga pada gilirannya mampu memiliki rasa keingintahuan
yang tinggi. Implementasi dari nilai karakter ini dalam pembelajaran,
yaitu siswa selalu diupayakan agar mampu menyusun pertanyaan dan
bersikap mampu menghargai dan mendengarkan pertanyaan temannya
dengan baik.

Keempat, kreativitas. Pada umumnya siswa di sekolah ini


memiliki kreativitas tinggi, yang ditunjukkan dalam mengerjakan

61
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

tugas-tugas mata pelajaran, seperti menjawab Lembar Kegiatan Siswa


(LKS), ide-ide baru dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial
maupun kegiatan ekstra kurikuler.

Kelima, kritis. Sikap ini ditunjukkan oleh siswa-siswi di sekolah


ini yang mudah merasa jenuh dan merasa bosan saat guru
menyampaikan materi pelajaran dalam bentuk ceramah saja, tanpa
variasi metode yang lain.

Keenam, kemandirian. Dalam memupuk jiwa kemandirian,


pada umumnya siswa di sekolah mengerjakan tugas-tugas secara
mandiri. Pada umumnya siswa-siswi di sekolah ini merasa tidak nyaman
jika berada di tengah-tengah siswa dari sekolah lain. Dalam menghadapi
persoalan sehari-hari, siswa-siswi di sekolah ini tidak mudah menyerah,
dan memiliki kemampuan menyelesaikan masalah dengan baik.
Kemandirian juga ditunjukkan anak-anak di sekolah ini yang tidak
mudah merasa puas atas prestasi yang diraihnya.

Ketujuh, disiplin diri. Nilai karakter disiplin diri ditunjukkan


dengan siswa datang tepat waktu, yaitu ditentukan lima menit
sebelum jam pelajaran dimulai siswa sudah hadir di sekolah.
Penerapan disiplin juga terejawantah dalam peraturan tata tertib
sekolah.

Kedelapan, visioner. Siswa-siswa di kota ini dalam membangun


nilai visioner selalu dibiasakan untuk memiliki cita-cita yang tinggi dan
diupayakan berusaha untuk meraihnya.

Nilai peduli dalam konteks ini adalah respon yang ditunjukkan


oleh siswa atas berbagi hal yang terjadi dengan temannya. Nilai peduli
ini terejawantah dalam berbagai hal, misalnya: (1) sikap saling
membantu jika ada teman lain sakit; (2) ketika ada musibah siswa secara
sukarela akan memberikan bantuan; (3) jika ada keluarga teman lain
yang mengalami kesusahan, sesegera mungkin siswa mengadakan iuran
yang dikoordinasikan oleh guru, dan (4) siswa memberikan dukungan,
saat pertandingan teman lainnya dengan sekolah lain.

62
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

Sementara itu bentuk implementasi di sekolah dalam penerapan


nilai peduli, yaitu pada implementasi kebersihan lingkungan kelasnya.
Setiap hari siswa membersihkan kelas baik saat akan masuk maupun
saat akan pulang, saling memberikan koreksi atas pelanggaran tata
tertib dengan teman-temannya, misalnya jika ada teman yang tidak
mengenakan baju seragam sesuai ketentuan, berusaha mendamaikan
saat temannya berselisih, merawat dan menjaga tanaman, memungut
sampah, menjalankan piket umum dan khusus. Namun sayangnya, nilai
peduli ini tidak berjalan secara mulus. Terbukti sebagian di antara
mereka bersikap cuek terhadap urusan pribadi. Hal ini menunjukkan
sikap individualisme telah berpengaruh terhadap siswa-siswa.

Ada beberapa nilai turunan dari nilai peduli, yang akan


dipaparkan satu per satu, yaitu: (1) suka membantu; (2)
kewarganegaraan; (3) komitmen; (4) kesetaraan; (5) suka memberi
maaf; (6) toleransi; (7) kepekaan; (8) suka menghargai; (9) keadaban;
(10) patriotisme; (11) demokratis; (12) ketepatan waktu; (13)
kelembutan hati; (14) rasa humor kebersamaan; (15) kebersamaan; (16)
kebanggaan.

Pertama, suka membantu. Ada berbagai implementasi terhadap


nilai ini. Jika ada temannya yang sakit di rumah sakit, maka sesegera
mungkin mengumpulkan dana bantuan dan sesegera mungkin akan
menjenguknya. Dalam kehidupan keseharian, aktivitas siswa juga
menunjukkan sikap peduli terhadap sesama, suka membantu
masyarakat yang terkena musibah/bencana.

Kedua, kewarganegaraan. Nilai karakter ini ditunjukkan bahwa


anak-anak di sekolah ini memiliki anggapan bahwa setiap orang punya
hak yang sama di depan hukum dan pemerintahan.

Ketiga, komitmen. Anak-anak di sekolah ini selalu diajarkan


memiliki komitmen yang tinggi. Anak-anak di sekolah ini selalu
melaksanakan segala perintah guru.

Keempat, kesetaraan. Nilai ini terimplementasi dengan jelas,

63
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

bahwa dalam membangun pertemanan di antara mereka, siswa tidak


membeda-bedakan satu dengan yang lainnya, baik jenis kelamin, ras,
maupun status sosial. Mereka terlihat bermain bersama, bercanda gurau
bersama tanpa perbedaan. Penampilan siswa hampir tidak dapat
dibedakan antara siswa dari golongan ekonomi mampu dan dari
golongan ekonomi lemah. Hal tersebut terjadi karena seragam sekolah
dan kebersamaan dalam bermain. Mereka tidak terbiasa
memperlakukan orang yang dipandang miskin dengan cara kurang
ramah.

Kelima, suka memberi maaf. Jika terjadi pertengkaran, siswa


mudah untuk bisa rukun kembali. Menurut guru, setiap ada siswa yang
bertengkar, mereka didamaikan, bersalaman, saling meminta maaf, dan
selanjutnya berkawan kembali.

Keenam, toleransi. Nilai ini selalu ditanamkan dan dibiasakan


dalam berbagai aktivitas. Siswa memiliki kebiasaan memberikan ucapan
selamat pada temannya yang merayakan hari besar keagamaan, hingga
aktivitas pinjam-meminjam catatan kepada rekan lain yang tidak
seagama. Sekarang tidak dijumpai pertengkaran yang menyinggung
harga diri keluarga pada siswa-siswa.

Ketujuh, kepekaan. Siswa di sekolah ini telah melatih


kepekaannya melalui pembiasaan menghargai kesulitan yang dihadapi
temannya, meskipun secara rinci tidak terkait masalah pelajaran di
sekolah maupun di keluarganya, pada umumnya siswa tidak
mengungkapkan kesulitan yang dihadapinya terkait masalah keluarga.

Kedelapan, suka menghargai. Implementasi nilai ini terlihat jelas


ketika, misalnya jika ada orang lain yang berbicara, maka siswa selalu
mendengarkan dengan baik tanpa ada upaya untuk menyelanya.

Kesembilan, sikap berhemat. Ada beberapa impementasi


terhadap nilai karakter ini. Misalnya, siswa tidak hanya selalu
menyenangkan diri sendiri, bersifat boros, dan memandang tidak
penting untuk memberi bantuan kepada teman lain, namun juga dalam

64
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

diri siswa juga terdapat kebiasaan gemar menabung.

Kesepuluh, keadaban. Dalam berkomunikasi siswa-siswi di


sekolah ini tidak bersifat egaliter, karena membedakan antara
komunikasi dengan guru atau sesama temannya. Ketika berbicara
dengan guru, siswa sangat sopan. Namun, ketika siswa berbicara dengan
sesamanya, mereka bicara biasa saja bahkan dengan olok-olok.

Kesebelas, patriotisme. Siswa memiliki jiwa patriotisme yang


tinggi, yang diwujudkan dengan hafal lagu-lagu daerah dan lagu-lagu
nasional. Menurut guru, sebelum masuk kelas, siswa berbaris di
halaman dan bersama-sama menyanyikan lagu wajib nasional. Dengan
begitu, siswa sangat hafal lagu-lagu tersebut. Kemudian,. Di kelas, siswa
diajari lagu-lagu daerah di Indonesia. Dalam kehidupan keseharian,
mereka menggunakan bahasa Jawa.

Keduabelas, demokratis. Penanaman nilai ini dilakukan dengan


membiasakan siswa menyelesaikan masalah-masalah di kelasnya, yang
dilakukan secara musyawarah. Guru selalu menanamkan hal tersebut,
masalah yang timbul di kelas, dipahami sebagai masalah bersama.

Ketigabelas, ketepatan waktu. Ada berbagai contoh penanaman


nilai tepat waktu ini, misalnya siswa selalu datang tepat waktu dalam
mengikuti upacara bendera.

Keempatbelas, kelembutan hati. Pembiasaan nilai karakter ini


dilakukan melalui teladan, yaitu jika berpapasan dengan orang yang
baru dikenal, siswa selalu tersenyum. Mereka menganggap bahwa
mereka adalah satu kelas yang harus dijalin secara akrab.

Kelimabelas, rasa humor Kebersamaan. Pada umumnya siswa ini


memiliki selera humor yang bagus, dilihat dari perilaku dan ucapan yang
ditunjukkan di hadapan teman-temannya, maupun dalam
mengapresiasi guyonan-guyonan yang ada di televisi. Hal tersebut
tampak saat mereka bermain di jam istirahat atau pulang, berbicara
dengan sesamanya. Siswa suka bercanda dan bermain dengan pola
permainan yang sesuai dengan usianya. Permainan tersebut berupa

65
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

kelereng, berkejaran, bola, permainan anak-anak lainya misalnya tepuk


pundak. Mereka tidak memiliki kebiasaan memanggil kawan dengan
nama panggilan yang kurang disenanginya. Juga jarang kejadian siswa
berkelahi gara-gara Julukan yang dirasakan tidak diterima siswa yang
menyangkut nama orang tua mereka yang diucapkan tanpa kata bapak
atau ibu, yakni langsung ke nama.

Keenambelas, kebersamaan. Karakter ini dilakukan oleh siswa


yang ditunjukkan dengan sikap merasa puas bila mampu memberikan
semangat pada teman sekelas untuk belajar sebaik-baiknya. Mereka
mempunyai dorongan untuk belajar dari teman-temannya dan
menganggapnya sebagai sesuatu yang memuaskan. Siswa di sekolah ini
menyadari bahwa dalam suatu tim sifat egoisme harus dikalahkan oleh
sikap mengutamakan kebersamaan. Paham akan buruknya egoisme
sehingga tidak perlu dilakukan dan harus melakukan kebersamaan
sesama teman.

Ketujuhbelas, kebanggaan. Siswa mempunyai kebanggaan jika


dapat membersihkan kelas masing-masing. Mereka selalu
membersihkan lingkungan sekolah sebagai wujud kebanggaan dirinya
terhadap sekolah. Berdasarkan pengamatan, beberapa siswa terlihat
menyapu ruang kelas. Mereka menenteng sapu dari ruang kantor untuk
dibawa ke kelas.

Siswa-siswa di kota ini selalu dipupuk untuk bersikap tangguh.


Nilai tangguh dapat dijumpai ketika diberikan tugas-tugas, sehingga
siswa akan menyelesaikan tugas tersebut tepat waktu, sering bertanya
di kelas, ingin sekolah sampai perguruan tinggi. Nilai tangguh tersebut
berakar dari budaya dan adat di masyarakat Yogyakarta, masyarakat
kota ini beranggapan bahwa diperlukan ketangguhan dalam mencari
nafkah dengan prinsip kerja keras untuk mencukupi kebutuhan hidup.

Nilai tangguh ditanamkan dalam pembelajaran di kelas dengan


cara penguatan cita-cita siswa, pembiasaan ucapan kata jangan
terlambat ke sekolah, pemberian motivasi, pemberian nasihat, dan
pemberian contoh alumni yang berhasil kepada siswa.

66
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

Ketidaktangguhan siswa yang sering muncul adalah sikap jenuh di kelas


karena guru terlalu menggunakan metode ceramah, pengaruh orang tua
yang tidak mendukung cita-cita siswa, dan protes orang tua terhadap
nilai pelajaran siswa yang dilihat langsung oleh anaknya. Dengan
demikian, siswa terganggu dalam melaksanakan nilai tangguh dalam
dirinya.

Implementasi nilai tangguh ini dapat diwujudkan dengan


berbagai hal, yaitu: (1) ketegasan; (2) keberanian; (3) kehati-hatian; (4)
daya upaya; (5) suka berkompetisi; (6) diinamis; (7) beretos kerja; (8)
bersifat yakin; (9) antisipatif; (10) kerajinan. Hal itu diuraikan sebagai
berikut ini.

Pertama, ketegasan. Nilai ini selalu ditanamkan di sekolah,


misalnya guru selalu meminta kepada siswa-siswanya agar pekerjaan
rumahnya tidak dicontek oleh temannya.

Kedua, keberanian. Nilai karakter ini dibiasakan dengan cara


berani mengatakan tidak atas perintah guru yang dipandangnya tidak
baik.

Ketiga, kehati-hatian. Nilai karakter ini ditumbuhkan melalui


kebiasaan agar dalam melakukan tindakan tertentu selalu dipikirkan
terlebih dahulu. Misalnya, biasanya siswa yang memiliki kelas lebih
rendah, akan merasa takut dan akan melapor ke gurunya tentang
perbuatan kakak kelasnya; siswa di sekolah ini juga selalu berhati-hati
dalam mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh guru.

Keempat, daya upaya. Penanaman karakter ini juga ditunjukkan


dengan sikap bekerja keras dalam menyelesaikan tugas-tugas yang
diberikan guru. Hal tersebut ditegaskan oleh pernyataan guru bahwa
siswa ketika diberi tugas oleh guru, mereka melaksanakan dengan
sungguh-sungguh.

Kelima, suka berkompetisi. Nilai karakter ini ditanamkan dengan


cara siswa suka berkompetisi dengan memiliki semangat, motivasi, dan
untuk memperebutkan nilai yang tinggi dalam setiap mata pelajaran.

67
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

Mereka dengan tekun belajar dan mengerjakan tugas sekolah dengan


semangat dan sungguh-sungguh. Misalnya ditunjukkan dengan sikap
bahwa di halaman sekolah, terlihat bahwa siswa laki-laki bermain
kelereng dan sekelompok lainnya adu tiup stik es krim untuk berlomba
meraih kemenangan.

Keenam, dinamis. Implementasi nilai dilakukan dengan selalu


berusaha mencari sumber-sumber bahan ajar di perpustakaan sesuai
yang dianjurkan guru.

Ketujuh, beretos kerja. Siswa di sekolah ini memiliki kebiasaan


mempelajari sesuatu sampai dipandang mampu, tanpa mengenal lelah.
Kebiasaan kerja keras siswa ini ditunjukkan dari siswa masuk kelas
hingga sampai jam terakhir menjelang pulang.

Kedelapan, sifat yakin. Sinergi dengan etos kerja ini, siswa selalu
ditanamkan sikap yakin bahwa setiap kerja keras pasti akan
mendatangkan sesuatu yang bermanfaat. Dalam konteks ini guru selalu
memberikan nasihat bahwa kerja keras, akan mendapatkan nilai
pelajaran yang lebih baik.

Kesembilan, antisipatif. Karakter ini dibiasakan dengan pola


berpikir bahwa siswa telah terbiasa memiliki alasan sebelum
mengambil keputusan, sehingga tidak mudah dipengaruhi orang lain.

Kesepuluh, kerajinan. Karakter ini selalu ditanamkan dalam


berbagai kesempatan, melalui tuturan lisan, melalui slogan-slogan yang
terpasang di dalam kelas. Misalnya, rajin pangkal pandai, hemat pangkal
kaya. Beberapa contoh implementasi nilai rajin ini, yaitu siswa-siswa
sekolah ini selalu datang sekitar 10 menit sebelum jam pelajaran
dimulai, meski diakui karena berbagai alasan ada sebagian siswa yang
datang terlambat.

68
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

3. Etnis Jawa – Semarang

a. Identitas Kultural

Posisi geografi Kota Semarang terletak di pantai Utara Jawa


Tengah, tepatnya pada garis 6º, 5' - 7º, 10' Lintang Selatan dan 110º, 35'
Bujur Timur. Sedang luas wilayahnya mencapai 37.366.838 Ha atau
373,7 Km2. Letak geografi Kota Semarang ini dalam koridor
pembangunan Jawa Tengah dan merupakan simpul empat pintu
gerbang, yakni koridor pantai Utara, koridor Selatan ke arah kota-kota
dinamis seperti Kabupaten Magelang, Surakarta yang dikenal dengan
koridor Merapi-Merbabu, koridor Timur ke arah Kabupaten
Demak/Grobogan dan Barat menuju Kabupaten Kendal. Mayoritas
agama yang dianut penduduk adalah Islam, Kristen, Khatolik, Budha,
Hindhu dan Konghuchu yang menempati posisi terendah. Suku
mayoritas yang menghuni Kota Semarang adalah suku Jawa.

Akhir-akhir ini ada anggapan Wong Jawa ilang jawane. Oleh


karena itu, dalam rangka melestarikan budaya Jawa tersebut, Gubernur
Jawa Tengah menetapkan mata pelajaran muatan local (mulok) yang
bersifat wajib di Jawa Tengah adalah Bahasa Jawa. Dengan
penggunaan bahasa Jawa otomatis akan mengembangkan karakter
sopan santun. Dengan demikian, nilai karakter Jawa Tengah seperti
sopan santun, unggah ungguh sebagai lambang dalam . menghargai
orang yang lebih tua dan sesama tidak luntur. Dengan menggunakan
bahasa jawa sebagai muatan lokal diharapkan dapat mengembangkan
nilai karakter yang lain. Misal adalah nilai kepemimpinan.

Di Jawa Tengah (Semarang) terdapat 5 tahap penanaman nilai


karakter yaitu: menerima, merespon, menilai, mengorganisasikan, dan
menjiwai. Diharapkan setiap ucapan dan tindak tanduk akan selalu
diwarnai oleh nilai karakter Jawa. Misalnya nilai gotong royong, kental
sekali bagi masyarakat Jawa. Oleh karena itu ada himbauan, mari kita
sungguh-sungguh melaksanakan nilai karakter, tidak hanya “memberi
contoh” tetapi melalui “menjadi contoh”. Hal ini terjadi karena anak
didik membutuhkan keteladanan sehingga dapat dikatakan bahwa

69
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

warna kelas adalah warna guru.

Adat yang diyakini sampai sekarang masih berlaku di masyarakat


Semarang di antaranya adalah sungkeman pada hari raya Idul Fitri,
gertak semarangan, peran serta siswa pada acara dugderan menjelang
puasa. Sementara adat yang sudah mulai ditinggalkan adalah nyadran
dan ngruwat karena biayanya cukup besar. Kegiatan mendongeng
sebelum tidur juga sudah mulai banyak ditinggalkan karena dianggap
TV lebih popular, padahal mendongeng baik untuk mengakrabkan orang
tua dan anak, serta dapat memberikan petuah. Adat lain yang juga
ditinggalkan adalah pepatah “Ojo mangan ono ing tengah lawang”
(dilarang makan di tengah pintu), “pepatah petitih” dari guru (banyak
guru yang sudah jarang memberikan nasihat). Termasuk juga
permainan anak tradisional yang banyak ditinggalkan seperti jamuran,
benthik, dakon, engklek, gobaksodor, dan lain-lain. Permainan ini kalah
dengan permainan modern

Etika yang masih berlaku di kalangan masyarakat Semarang


adalah izin/pamit pada guru/orang tua, dan memberi salam kepada
orang tua atau sesama yang dikenal. Sementara itu untuk etika yang
sudah mulai ditinggalkan adalah unggah-ungguh bahasa jawa (krama
inggil) untuk pemuda mulai luntur. Hal ini karena mereka takut
membuat kesalahan dalam berbahasa. Banyak juga anak muda yang
sudah tidak mengenal kosa kata bahasa jawa, tetapi memakainya dalam
percakapan keseharian. (misal: gondhes, dll). Siswa juga menganggap
status orang tua dan dirinya sama sehingga dalam bergaul seringkali
tidak mempertimbangkan “unggah ungguh” pemakaian kata/istilah.
Termasuk juga mulai terkikisnya sifat menghargai/mendengarkan
orang lain yang berbicara, kecenderungan kurangnya kesadaran dalam
menyimak juga mewarnai masyarakat. Banyak fenomena siswa tidak
menghormati guru. Misalnya memanggil guru bukan dengan nama
tetapi dengan ciri fisik, atau sebutan-sebutan lain yang merupakan
ledekan atau cemoohan, dan lain-lain.

70
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

b. Karakter Siswa

Kejujuran oleh responden diartikan sebagai apa adanya, tidak


bohong, Contoh nilai kejujuran yang ada di sekolah adalah bila
menemukan barang diserahkan ke guru atau dimasukkan di kotak
penemuan barang, larangan mencontek, laporan keuangan secara
transparan di papan masjid ataupun di rapat sekolah. Contoh lainnya,
peserta didik akan mengaku jika tidak mengerjakan tugas, dan beralasan
apa adanya jika terlambat sekolah. Nilai kejujuran ini dianggap berakar
dari budaya Jawa “jujur mujur”, artinya orang yang bertindak jujur maka
kehidupannya akan selamat di dunia dan akhirat. Hal ini diberi
penguatan misalnya jika ada siswa yang mencontek temannya akan
dimarahi oleh guru. Ketidakjujuran sering muncul misalnya ada anak
yang mengambil barang di kantin kejujuran tanpa membayar, ada juga
yang tidak mengambil barangnya tapi mengambil uangnya. Contoh lain
ketika diberi undangan untuk disampaikan ke orang tuanya tapi tidak
disampaikan.

Nilai kecerdasan dipahami oleh siswa di Semarang sebagai


kepandaian, mampu berpikir dan mampu mengatasi masalah. Nilai ini
dikembangkan di sekolah meliputi kecerdasan inteligensi, kecerdasan
emosi, kecerdasan spiritual dan kecerdasan seni. Hambatan dalam
mengembangkan nilai kecerdasan ini adalah kurang adanya dukungan
orang tua, terutama pada anak yang mengalami masalah keluarga.
Program yang dapat dilakukan untuk menumbuhkan nilai-nilai
kecerdasan misalnya mengembangkan kegiatan ekstrakurikuler, dan
pembinaan mata pelajaran.

Nilai kepedulian dipahami sebagai sikap atau perilaku


memperhatikan lingkungan dan orang lain (sosial). Nilai kepedulian ini
dianggap berakar dari budaya dan tradisi daerah Semarang. Misalnya
peduli pada teman yang sakit, keluarga teman yang meninggal, dan
peduli pada lingkungan. Namun ada nilai ketidakpedulian yang sering
muncul dalam bentuk masih ada anak didik yang membuang sampah
sembarangan.

71
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

Nilai ketangguhan dipahami sebagai kuat menghadapi masalah


atau rintangan. Ketangguhan yang ada di sekolah misalnya jika ada anak
yang menghadapi masalah tidak menangis. Contoh lain misalnya
menghadapi lomba berpikir “menang tidak menang harus berusaha”.
Hambatan ketika menerapkan nilai ketangguhan ini adalah kadang-
kadang “nglokro” belum apa-apa sudah pasrah, ada orang tua yang tidak
respek, anak sering terlambat dan beralasan rumahnya jauh. Nilai-nilai
ketangguhan ini dianggap berakar dari budaya dan tradisi setempat.
Diimplementasikan melalui budaya sekolah dengan cara berupaya anak
didik tidak terlambat datang ke sekolah. Dalam kegiatan pembiasaan
keseharian dengan cara menyuruh siswa mengerjakan tugas dari guru
baik di kelas maupun mengerjakan PR.

4. Etnis Madura

a. Identitas Kultural

Madura adalah nama pulau yang terletak di sebelah timur laut


Jawa Timur, merupakan bagian dari provinsi Jawa Timur. Pulau
Madura besarnya kurang lebih 5.168 km2 (lebih kecil daripada pulau
Bali), dengan penduduk hampir 4 juta jiwa. Kondisi geografis pulau
Madura dengan topografi yang relatif datar di bagian selatan dan tidak
terjadi perbedaan elevasi ketinggian yang begitu mencolok semakin ke
arah utara, walau umumnya lebih tinggi daripada wilayah bagian
selatan. Selain itu sebagian kecil wilayah juga merupakan dataran tinggi
tanpa gunung berapi dan tanah pertanian lahan kering.

Suku asli pulau Madura adalah suku Madura. Orang Madura pada
dasarnya adalah orang yang suka merantau karena keadaan wilayahnya
yang tidak baik untuk bertani, orang Madura seperti halnya orang
Minangkabau bersifat kosmopolit. Mereka berdiam di mana-mana.
Orang Madura juga senang berdagang, berdagang apa saja termasuk
besi tua dan barang-barang bekas lainnya. Selain itu banyak yang
bekerja menjadi nelayan dan buruh, serta beberapa ada yang berhasil

72
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

menjadi teknokrat, birokrat, gubernur, menteri atau jabatan tinggi di


dunia militer.

b. Karakter Siswa

Nilai kejujuran menurut warga sekitar berarti selalu berkata


dan berbuat sesuai fakta yang nyata dan kondisi yang ada dan tidak
dibuat-buat. Di sekolah nilai kejujuran selalu dikembangkan berupa
pembiasaan dan keteladanan dari guru dan semua warga . contoh nilai-
nilai kejujuran yang terdapat di sekolah dengan adanya kantin kejujuran
siswa, transparasi keuangan sekolah, menyediakan kotak saran, guru
pun juga selalu memberikan contoh dengan cara selalu menepati janji
kepada siswa. Namun nilai tersebut tidak seutuhnya berjalan dengan
lancar ada hambatan meskipun tidak terlalu berat yakni waktu tatap
muka yang pendek dengan siswa sehingga menyebabkan siswa kembali
pada sifat semula. Masyarakat sangat mendukung mengenai penerapan
nilai kejujuran ini, hal ini dapat dilihat dari laporan orang tua pernah
mengirimkan surat kepada sekolah karena putranya ditemukan berbuat
kurang jujur. Budaya jujur telah berakar dari budaya dan tradisi Madura
namun harus dipupuk terus menerus agar tidak terkikis dan tergerus
oleh lingkungan dan pergaulan yang buruk.

Nilai kecerdasan adalah mampu berpikir kritis, eksploratif,


komunikatif dan mandiri. Di sekolah telah diterapkan nilai kecerdasan
dan dapat dilihat dari proses pembelajaran yang telah berlangsung
sehingga siswa dapat mengikuti perlombaan matematika, sains,
kegiatan ekstrakurikuler, tartil Al Quran dan samroh. Akan tetapi dalam
melaksanakan nilai kecerdasan ini tidak selalu berjalan dengan mulus
karena anggaran yang dibutuhkan melebihi kuota, dan waktu yang
dimiliki sangat terbatas sehingga menimbulkan kesulitan dalam
melaksanakan secara maksimal. Dukungan dari masyarakat pun
tumbuh sehingga untuk persiapan mengikuti lomba dan lainnya
menjadi lancar dan membuahkan hasil yang memuaskan yakni
menjuarai berbagai lomba matematika, drum band, tenis lapangan, baca

73
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

berita bahasa Inggris dan lain-lain. Hal yang paling disayangkan adalah
nilai kecerdasan ini tidak muncul secara maksimal dalam bentuk
mengerjakan tugas yang telah diberikan oleh guru.

Nilai kepedulian memiliki arti merespon secara spontan


terhadap apa yang dilihat dan dihadapi dalam situasi apapun. Di sekolah
juga telah di ajarkan nilai kepedulian kepada anak didik. Contoh nilai
kepedulian yang terdapat di sekolah misalnya terbiasa membuang
sampah pada tempatnya, akhir pelajaran siswa membersihkan ruang
kelas dan memungut sampah yang berserakan, peduli sosial dengan cara
mengunjungi kawan yang sedang sakit, bertakziah bila terdapat
teman/keluarga yang meninggal, dan mengumpulkan dana setiap hari
Jumat untuk kepentingan sosial. Nilai kepedulian ini memang sudah
berakar dari budaya dan tradisi yang sudah ada yakni budaya saling
tolong menolong, yang masih kuat terutama bila ada warga yang
mendapat kesusahan. Akan tetapi terdapat hambatan dalam
menerapkan nilai kepedulian ini yakni terdapat siswa yang lupa akan
tugasnya untuk membersihkan kelas dan kebiasaan mencoret-coret
bangku dengan tipe x sehingga mengakibatkan bangku kotor.

Nilai ketangguhan dimaknai sebagai pantang menyerah, tidak


putus asa selalu optimis menghadapi kegiatan yang positif dan bersifat
menantang. Di sekolah juga telah diajarkan nilai ketangguhan, salah
satu contohnya adalah dari perjuangan yang dihasilkan bersama anak-
anak dari status sekolah konvensional menjadi sekolah Rintisan Sekolah
Bertaraf Internasional (RSBI), yang merupakan perjuangan yang
sangat berat, ini merupakan perwujudan dari ketangguhan anak-anak
dan seluruh komponen sekolah. Akan tetapi terdapat hambatan-
hambatan yang dijumpai dalam menanamkan nilai ketangguhan ini
yakni ada beberapa guru yang memang tidak merespon kegiatan yang
menantang, waktu yang tersedia sempit. Nilai ketangguhan ini memang
berasal dari budaya daerah Madura, seperti beberapa semboyan yang
ada yakni ‘abental ombek, asapok angen’ (berbantal ombak, berselimut
angin/hidup perlu perjuangan). Akan tetapi dalam mengerjakan tugas

74
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

siswa kurang tangguh dalam menyelesaikannya. Sehingga nilai yang


diperoleh kurang maksimal.

5. Etnis Using Banyuwangi

a. Identitas Kultural

Banyuwangi adalah kabupaten terluas di Jawa Timur, bahkan di


Pulau Jawa. Luasnya 5.782,50 km2. Wilayahnya cukup beragam, dari
dataran rendah hingga pegunungan. Di kawasan perbatasan dengan
Kabupaten Bondowoso, terdapat rangkaian Dataran Tinggi Ijen dengan
puncaknya Gunung Raung (3.282 m) dan Gunung Merapi (2.800 m)
terdapat Kawah Ijen, keduanya adalah gunung api aktif. Suku asli
Banyuwangi adalah Using/Osing, tetapi di sana juga tinggal suku Jawa
(Mataraman), Sunda, Madura, Bali. Keberagaman juga tampak dalam
hal religiusitas. Agama Islam merupakan agama mayoritas yang dianut
oleh masyarakat dan menjadi akar nilai-nilai kehidupan sehari-hari.
Agama lain yang dianut oleh masyarakat adalah Hindhu/Budha dan
Kristen. Mata pencaharian utama di daerah Banyuwangi adalah bertani,
akan tetapi ada juga masyarakat Banyuwangi yang memilih pekerjaan
sebagai pedagang, pegawai pemerintahan, guru dan karyawan.

Karakter khas masyarakat Banyuwangi adalah jujur, ceplas-


ceplos (= apa adanya), ceria, dan energik. Nilai-nilai karakter khas
daerah ini diambil dari nilai karakter yang dimiliki oleh suku asli yang
disebut Using/Osing. Banyuwangi juga disebut sebagai miniatur
keberagaman Indonesia. Jadi, masyarakat Banyuwangi adalah
masyarakat yang pluralistik yang terdiri atas suku Jawa (Mataraman),
Sunda, dan Madura dengan berbagai budayanya serta berbagai agama
yang dianut. Nilai-nilai karakter masyarakat Banyuwangi terutama
diambil dari ajaran agama Islam yang dianut oleh mayoritas asyarakat.

Nilai-nilai karakter yang tertuang dalam bentuk kebudayaan


terutama berupa kesenian, yaitu seni tari, seni suara berupa lagu-lagu
daerah, pakaian daerah (batik Gajah Oling), bahasa Using, etika,

75
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

kehidupan sosial, dan berbagai bentuk upacara ritual. Lagu-lagu


Banyuwangi seolah-olah dianggap berupa ungkapan cinta saja, tetapi
sebenarnya mengandung filosofi yang kuat yaitu pengungkapan hati dan
perasaan yang dimiliki oleh setiap manusia tanpa memandang usia. Ini
sama dengan usia Banyuwangi yang meski sudah tua tetapi masih
relevan dengan perasaan dan semangat cinta kasih yang ada pada setiap
manusia.

Musik dan tarian Banyuwangi sigrak (= energik) yang


menggambarkan sifat masyarakat yang bersemangat, energik, ceplas-
ceplos, ceria dalam menjalani kehidupan. Mereka bukan masyarakat
yang lemah, loyo, mudah patah semangat dalam menghadapi
kehidupan. Hal ini didukung dengan banyaknya instrumen musik dan
tari khas Banyuwangi yang berjumlah lebih banyak dibandingkan
dengan instrumen khas dari daerah lain.

Berbagai upacara ritual dilaksanakan untuk menandai setiap


tahap kehidupan manusia yang meliputi: kelahiran, pernikahan, dan
kematian. Upacara kelahiran berupa penanaman ari-ari bayi dan
pemberian nama bayi, saat turun tanah, dan saat sunat/khitanan.
Upacara pernikahan diawali dengan adanya budaya mlayoake
(melarikan calon pengantin perempuan oleh calon pengantin laki-laki),
dan dilanjutkan dengan acara lamaran serta pertemuan di pelaminan
yang disaksikan oleh keluarga dari kedua pihak dan masyarakat. Setiap
bentuk upacara ritual tidak lepas dari sesajian (bentuk budaya, tidak ada
dalam ajaran Islam) dan mantra (doa yang diambil dari ajaran Islam).

Dapat disimpulkan bahwa kehidupan masyarakat Banyuwangi


terutama suku Using ini menggambarkan sinkretisme antara nilai
keagamaan dan kebudayaan yang sudah menyatu tanpa ada pemisahan.
Nilai-nilai kejujuran, kecerdasan, kepedulian, dan ketangguhan
ditanamkan para orang tua kepada anak-anaknya melalui penanaman
ajaran agama Islam (bagi yang beragama Islam). Dengan kata lain,
agama dan budaya/adat berjalan beriringan sebagaimana terpancar
dalam kehidupan sehari-hari. Di bawah ini contoh-contoh bentuk nilai

76
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

karakter di daerah Banyuwangi.

Masyarakat Using menanamkan nilai kejujuran terutama dalam


bentuk penggunaan bahasa sehari-hari. Sebagaimana diketahui, bahasa
Using(= basa Osing) tidak mengenal tingkatan kata, egaliter Masyarakat
menggunakan bahasa tanpa memperhatikan lawan bicara dan tanpa
memperhatikan pilihan kata, seperti bahasa krama dalam bahasa Jawa.
Hal ini dilakukan untuk menanamkan kejujuran tanpa ada sesuatu yang
dipendam dalam hati. Antara orang tua dan anak tidak perlu ada
perbedaan bahasa agar terjalin kedekatan dan kejujuran (tidak takut).
Namun, dalam berbahasa, anak muda harus tetap menjaga sikap yakni
tetap hormat kepada orang tua. Bagi masyarakat lain di pulau Jawa, hal
ini terkesan tidak sopan, terlalu kasar, tetapi sebenarnya mereka sangat
terbuka untuk menerima segala kekurangan. Mereka tidak akan sakit
hati jika kritik atas kekurangan mereka dilontarkan oleh siapa pun,
termasuk oleh mereka yang lebih muda. Bagi mereka yang penting
adalah kejujuran.

Bentuk lain penanaman kejujuran adalah adanya budaya


mlayokake. Sudah menjadi kebiasaan, apabila ada sepasang muda-mudi
yang saling mencintai tetapi pihak perempuan tidak menyetujui maka
akan terjadi budaya mlayokake. Artinya, anak laki-laki akan melarikan
gadisnya sampai orang tua gadis itu menyetujui hubungan mereka.
Namun, dalam istilah ini, pihak laki-laki setelah berhasil melarikan
gadisnya, dia melalui keluarganya harus memberi tahu kepada pihak
keluarga gadis yang sesudahnya akan menyiapkan upacara kepulangan
dan perkawinan mereka. Dengan demikian, meski terkesan kurang baik
bagi masyarakat luar, budaya ini sebenarnya berusaha menanamkan
nilai kejujuran dari pihak laki-laki, jika benar-benar dia mencintai
gadisnya maka dengan jujur dia akan mengambilnya, dan dengan jujur
pula dia akan memberi tahu keberadaannya kepada keluarga.

Masyarakat Banyuwangi sangat menjunjung tinggi ajaran


pentingnya mencari ilmu bagi siapa pun. Budaya ini berakar dari ajaran
Islam yang sangat menganjurkan umatnya berilmu. Contoh ajaran Islam

77
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

yang terkait dengan ini adalah: Uthlubil ’Ilma walau bi tsini (Carilah
ilmu walaupun sampai ke negeri Cina), Mencari Ilmu itu wajib bagi
Muslimin dan Muslimat, Carilah ilmu mulai dalam ayunan sampai ke
liang lahat. Pentingnya berilmu diekspresikan masyarakat dalam
bentuk penghargaan yang tinggi pada orang-orang yang memiliki ilmu,
baik ilmu agama maupun yang bersifat umum. Masyarakat Banyuwangi
sangat hormat dan meletakkan orang yang baik dan berilmu pada
kedudukan tertinggi di strata sosial walaupun mereka berasal dari luar
daerah atau bukan penduduk asli. Kenyataan masyarakat sangat
menghormati kyai dan guru dan menjadikan anutan dalam berperilaku
dan mengatasi berbagai masalah kehidupan sehari-hari.

Bentuk lain penanaman karakter kecerdasan adalah adanya


pemberian izin dari orang tua kepada anaknya yang hendak mencari
ilmu ke daerah lain. Biasanya orang tua mengirimkan anak-anak ke
pesantren-pesantren yang ada di kota santri di Jawa Timur atau Jawa
Tengah. Dan saat ini, masyarakat tidak lagi membedakan anak laki-laki
dan perempuan dalam hal menuntut ilmu. Pada zaman dulu yang boleh
menuntut ilmu sampai tinggi hanyalah anak laki-laki.

Masyarakat Banyuwangi sangat memiliki sifat kepedulian


terhadap sesama dan terhadap lingkungan. Sebagaimana dikatakan
sebelumnya, meskipun mayoritas masyarakat beragama Islam, tetapi
pemeluk agama lain dapat hidup dengan damai. Mereka dapat hidup
berdampingan tanpa ada konflik yang berarti. Sebagai contoh, ketika
masyarakat Islam hendak melaksanakan perayaan hari-hari besar
keagamaan misalnya Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha, maka
masyarakat yang beragama Hindhu/Budha dan Kristen pun ikut sibuk
mempersiapkan pelaksanaan perayaan. Begitu pula pemeluk Islam akan
membantu mempersiapkan pelaksanaan upacara pemeluk agama lain
jika akan mengadakan upacara keagamaan.

Bentuk lain kepedulian masyarakat adalah ketika ada tetangga


yang hendak pindah rumah atau punya hajatan (misalnya melaksanakan
khitanan atau perkawinan) maka tanpa dikomando, tetangga akan

78
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

membantu. Tetangga yang laki-laki membantu memasang terop, meja


kursi, dan alat-alat lain yang dibutuhkan, sedangkan yang perempuan
akan datang dengan membawa makanan ataupun bahan makanan
sesuai kemampuan. Biasanya bahan makanan berupa beras dan hasil
bumi lainnya yang dibawa di atas kepala (= disunggi). Para perempuan
ini juga membantu memasak dan mempersiapkan makanan untuk para
tamu dengan suka rela.

Masyarakat Banyuwangi terkenal sebagai masyarakat yang


tangguh dalam menghadapi masalah-masalah kehidupan termasuk
bertahan hidup. Masyarakat dikenal bertipe kurang perhitungan,
artinya mereka menanamkan prinsip berani dahulu walaupun nantinya
mereka harus menerima kekurangan. Dengan kata lain, dalam
kehidupan ini mereka harus berani mengambil risiko. Yang penting
adalah tidak lari dari masalah. Dalam menanamkan nilai ketangguhan
ini masyarakat berkaca pada peristiwa bersejarah yaitu perang Puputan.
Pada saat itu, setiap terjadi peperangan akan dihabiskan semua
peninggalan sehingga tidak bersisa. Tujuan sebenarnya adalah untuk
menghilangkan ketakutan akan masih adanya sisa-sisa (termasuk
keturunan) musuh. Semua itu dilakukan untuk mempertahankan diri
dan menjaga keutuhan kedudukan dan keselamatan masyarakat sendiri.

Masyarakat Using juga terkenal sebagai pekerja keras. Sifat ini


diekspresikan dalam bentuk kebiasaan masyarakat yang mayoritas
petani tulen dan sangat ulet. Mereka setiap hari berangkat ke sawah
setelah salat Shubuh dan pulang setelah Isya. Mereka melaksanakan
ibadah salat Dhuhur, Ashar, dan Magrib di persawahan.

Dari hasil diskusi terpandu disimpulkan bahwa Banyuwangi


merupakan tolok ukur Jawa Timur sebagaimana Jawa Timur
merupakan tolok ukur untuk Indonesia. Artinya, keberhasilan ataupun
kegagalan setiap program kebiijakan pemerintah di Banyuwangi
merupakan tolok ukur keberhasilan ataupun kegagalan di Jawa Timur.
Dengan kata lain, Banyuwangi merupakan wilayah penting yang harus
mendapat perhatian khusus dari pemerintah jika pemerintah

79
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

menginginkan keberhasilan program-programnya.

b. Karakter Siswa

Pada dasarnya karakter inti jujur di sekolah bermula dari adat


dan budaya yang ditanamkan keluarga. Sekolah menguatkan dengan
melaksanakan program akademis dan non-akademis dalam kegiatan
pembelajaran setiap hari. Penanaman karakter di sekolah melalui
pembiasaan dan teladan dari guru dan segenap warga sekolah. Terkait
dengan nilai karakter jujur, sekolah telah menjalin kerja sama dengan
komite sekolah dalam bentuk penulisan berbagai slogan yang tepat.
Slogan-slogan itu ditulis dalam berbagai bentuk antara lain spanduk dan
berbagai media lainnya. Contoh slogan atau tulisan untuk melaksanakan
program penanaman kejujuran adalah:

Mencontek Hukumnya Haram,

Malu Datang Terlambat ke Sekolah,

Raih Prestasi Junjung Tinggi Budi Pekerti,

Be Smart, Be Syar’i, Be the Best

No one is too old to learn

Selain slogan yang diletakkan di area sekolah, di setiap kelas juga


disediakan tempat penemuan barang. Tempat atau wadah temuan
barang ini dibuat secara kreatif dalam bentuk yang beragam, tiap kelas
berbeda bentuk dan ukurannya. Karakter inti jujur di sekolah juga
dilaksanakan melalui program akademis dan non-akademis. Program
akademis dilaksanakan pada pembelajaran di kelas melalui berbagai
mata pelajaran dengan pokok bahasan (standar kompetensi) yang
sesuai. Program non-akademis penanaman karakter inti jujur
dilakasanakan melalui kegiatan ekstrakurikuler. Berbagai kegiatan
ekstrakurikuler adalah Pramuka, kesenian, dan olah raga. Penanaman
karakter di sekolah melalui pembiasaan dan teladan dari guru dan
segenap civitas.

80
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

Selain itu, kejujuran juga tampak pada bentuk perilaku selalu


melakukan yang terbaik bagi dirinya sendiri maupun sekolah. Sebagai
contoh, ketika mengikuti berbagai lomba, yang menjadi motivasi utama
bukanlah materi atau dana melainkan prestasi demi nama baik sekolah.
Sebaliknya, jika ada yang melakukan kesalahan sehingga mereka
dihukum maka mereka akan menerima dengan lapang dada tanpa
protes. Begitu juga jika ada siswa yang tidak sengaja mengingkari janji
maka mereka dengan lapang dada akan meminta maaf.

Bentuk lain nilai kejujuran adalah tidak adanya permintaan


bantuan dari sekolah kepada para siswa atau orang tua. Hal ini terkait
dengan adanya Program Sekolah Gratis yang dicanangkan oleh
Pemerintah Daerah pada kurun waktu dulu. Dengan adanya program
itu, orang tua tidak mau memberikan dana dalam bentuk apa pun dan
untuk kepentingan apa pun. Dengan demikian, terdapat beberapa
program pemberian dukungan dana kepada siswa yang tidak mampu
tidak dapat dilaksanakan lagi.

Nilai kejujuran masih terpelihara dalam bentuk lain, yaitu apabila


barang temuan maka barang tersebut akan dikembalikan kepada
pemiliknya. Hal ini dibuktikan dengan seringnya ditemukan HP, uang,
kunci kontak, dan barang-barang lain yang diserahkan siswa kepada
guru dan yang selanjutnya akan memberikan pengumuman kepada
seluruh siswa.

Sekolah ini mendapatkan nama baik dan memperoleh tanggapan


yang positif dari masyarakat. Dengan demikian, untuk memperoleh raw
input yang baik tidak sulit. Karena SDM bagus, maka program sekolah
untuk meningkatkan kualitas belajar dan mengoptimalkan karakter inti
cerdas dirasakan lebih mudah. Apalagi ditunjang oleh sarana dan
prasarana yang memadai, maka tidak heran sekolah ini telah banyak
melahirkan anak-anak berprestasi. Bagi masyarakat, alumni sekolah ini
dapat dipercaya kualitasnya untuk dapat diterima di jenjang yang lebih
tinggi yang bermutu.

Penanaman karakter cerdas melalui kegiatan kurikuler dan

81
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

ekstrakurikuler. Kegiatan kurikuler dilaksanakan di kelas dalam bentuk


pembelajaran sehari-hari sesuai dengan kurikulum. Kegiatan
ekstrakurikuler untuk menambahkan pengetahuan siswa berupa
pemberian tambahan belajar di luar jam sekolah oleh guru-guru sendiri
terutama untuk mata pelajaran yang termasuk Ujian Nasional. Kegiatan
ekstrakurikuler berupa tambahan keterampilan kepada siswa dalam
bidang kesenian, agama, dan olah raga. Tambahan jam belajar dilakukan
pada siswa yang akan dipersiapkan mengikuti kompetisi keilmuan atau
kompetisi olahraga dan seni tradisi dan religi. Selain dalam bentuk
kegiatan kurikuler dan ekstrakurikuler, penanaman karakter cerdas juga
dilakukan melalui penulisan berbagai slogan. Contoh kata-kata atau
slogan terkait antara lain:

Aku rela memberi ilmu demi masa depan anak bangsa,

Buku adalah gudang ilmu,

Ilmu tak diamalkan bagai pohon tak berbuah.

Be Smart, Be Syar’i, Be the Best

No one is too old to learn

Bentuk karakter inti cerdas di sekolah ini tampak pada saat para
siswa diberi tugas oleh guru maka mereka selalu mengerjakan dengan
baik dan tanggung jawab yang tinggi, baik tugas yang bersifat kurikuler
maupun yang ekstrakurikuler. Dari LKS dapat dilihat bahwa jawaban
mereka selalu variatif sehingga dapat disimpulkan mereka memang
mengerjakan sendiri-sendiri. Pada umumnya siswa memang memiliki
inisiatif yang tinggi, hal ini didukung oleh adanya motovasi untuk
menjadi yang terbaik. Motivasi terbesar untuk menjadi yang terbaik
adalah adanya kegiatan yang diadakan setiap setahun sekali yaitu Pentas
Tahunan Teater maupun Story Telling Contest. Untuk melaksanakan
kegiatan tersebut, para guru tidak pernah ikut campur baik dalam hal

82
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

kelancaran acara maupun dana yang dibutuhkan. Para siswa dengan


dimotori oleh Ketua dan Pengurus OSIS merancang berbagai kegiatan
yang diikuti oleh para siswa yang merupakan perwakilan kelas ataupun
atas nama pribadi. Biasanya mereka mendapatkan ide-ide kreatif dari
lingkungan sekitar. Begitu pula dalam hal dana, para Pengurus OSIS
sendiri yang berusaha mencari sponsor dari berbagai pihak. Selama ini
kegiatan berjalan dengan lancar.

Selain itu, pada saat pemilihan Ketua OSIS para guru hanya
bertindak sebagai pembimbing, itu pun jika siswa memintanya. Para
siswa sendiri yang mengatur segalanya. Melalui orasi dari para calon
pada akhirnya mereka mendapatkan suara dari teman-temannya dan
yang mendapatkan suara terbanyak adalah yang terpilih. Dalam hal ini
mereka selalu mengutamakan musyawarah jika terjadi perbedaan
pendapat. Sejauh ini berjalan dengan lancar dan aman.

Sekolah mengembangkan karakter inti peduli melalui kegiatan


akademis dan non akademis. Kegiatan akademis berupa penanaman
karakter peduli yang implisit dalam mata pelajaran. Artinya, melalui
pokok bahasan tertentu sesuai dengan mata pelajaran yang diampunya,
guru wajib memasukkan nilai-nilai kepedulian kepada siswa. Dengan
kata lain, seluruh guru bertanggung jawab akan pelaksanaan
penanaman karakter peduli kepada siswa melalui mata pelajarannya.
Penanaman karakter peduli melalui kegiatan nonakademis berupa
kegiatan sosial yang bertujuan menanamkan sifat peduli siswa kepada
sesama. Sebagai contoh, apabila ada temannya yang tertimpa musibah
(sakit ataupun meninggal), maka siswa lain akan melaksanakan
kegiatan menjenguk ke rumah atau ke rumah sakit dan takziah ke
keluarganya. Bentuk lain sifat kepedulian adalah membudayakan peduli
lingkungan terutama di wilayah sekolah. Selain menyediakan tempat
sampah, penanaman dan pemeliharaan tanaman, sekolah juga
membuat tulisan dalam bentuk slogan ataupun poster. Contoh kalimat
yang termasuk penanaman karakter peduli adalah:

Panggonan kang rijig nggawe ati tentrem, Rijig iku apik,

83
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

Rijig lan apike papan panggonan rika, kaca pribadi rika,

Ayo padha gugur gunung tetandur lan ngresiki lingkungan


sekolah

Di samping itu, sekolah juga membudayakan beramal melalui


kotak amal baik berupa uang maupun barang. Khusus hari Jumat
diprogramkan kegiatan memasukkan uang pada kotak amal untuk
pemeliharaan dan pembangunan masjid sekolah. Kebetulan ketika itu
masjid sekolah (Mushalla) dalam keadaan rusak berat karena baru saja
disambar petir. Dalam hal ini Komite Sekolah juga sudah merencanakan
renovasi Mushalla dengan cara penggalangan dana dari orang tua dan
masyarakat.

Bentuk lain sifat kepedulian adalah membudayakan peduli


lingkungan terutama di wilayah sekolah. Kebetulan sekolah sampel
memiliki lahan yang sangat luas dan memadai untuk menanamkan sikap
peduli lingkungan pada siswa. Sekolah memiliki Program Kawasan
Hijau dan Bersih. Untuk mewujudkan program ini, sekolah
mendapatkan dukungan penuh dari para orang tua yang tergabung
dalam bentuk Komite Sekolah. Komite telah mempersiapkan tempat
sampah yang disebarkan di berbagai sudut halaman dan tiap kelas.
Sekolah juga melaksanakan penanaman pohon yang dananya dari
masyarakat terutama komite, sedangkan untuk pemeliharaan tanaman
itu maka sekolah menggaji seorang tukang kebun. Untuk
mempermudah tugasnya, tukang kebun dan keluarganya diberi rumah
dinas yang dibangun di dalam sekolah.

Kepedulian siswa terhadap sesama teman masih dibina dengan


baik, saling tolong menolong masih tampak dalam berbagai kegiatan
yang sudah diprogramkan oleh sekolah (guru). Dengan berbagai cara
sekolah menanamkan kebiasaan untuk tidak mencari-cari kesalahan
atau kekurangan orang lain, agar tidak terjadi perpecahan. Selain itu,
ditanamkan juga agar menghargai hak setiap orang, dan tidak

84
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

mengganggu hak-hak orang lain. Selama ini nilai-nilai ini ditanamkan


berdasarkan ajaran agama.

Bentuk kepadulian di sekolah dapat dilihat yakni dalam adanya


pemberian bantuan atau tambahan belajar bagi siswa yang kurang
kemampuannya. Tambahan jam pelajaran tidak hanya diberikan oleh
guru tetapi oleh sesama siswa yang disebut dengan program teman
sejawat. Bentuk lain adalah ketika ada teman yang berulang tahun dan
mereka berasal dari keluarga mampu maka yang berulang tahun itu akan
memberikan traktiran berupa makan bersama. Bentuk lain adalah
adanya kunjungan kepada teman yang sakit atau orang tua yang
meninggal. Mereka dengan suka rela memberikan dana yang
diharapkan dapat sedikit meringankan beban keluarga yang sakit.

Pada saat pemilihan Ketua OSIS mereka lebih mengutamakan


gotong royong yang tinggi. Mereka bekerja sama untuk menyukseskan
pemilihan dan memilih secara demokratis serta menerima calon dengan
lapang dada, tidak peduli dari kelas mana pun. Nilai-nilai karakter ini
didasari oleh adanya rasa kebersamaan, rasa kesatuan sebagai warga
sekolah. Dengan demikian, yang diutamakan dalam setiap kegiatan
adalah rasa kekeluargaan.

Bentuk lain kepedulian juga ditanamkan pada siswa adalah


adanya peringatan secara keras bagi siswa yang mengendarai motor.
Bagi mereka diharuskan memiliki SIM, dan jika ketahuan tidak punya
maka besoknya mereka dilarang membawa motor ke sekolah. Itu
sebabnya, di sekolah ini kendaraan didominasi oleh sepeda angin. Selain
itu, adanya ketentuan ke sekolah dengan berseragam juga ditujukan
untuk penanaman nilai kepedulian, yakni peduli terhadap hasil batik
kota Banyuwangi yaitu Batik Gajah Oling yang harus dipakai pada hari-
hari tertentu. Di samping itu, pelajaran Bahasa Using juga masih
diberikan, dan digunakan pada saat di luar kelas dan dalam kegiatan
sehari-hari baik di sekolah maupun di keluarga dan masyarakat.

Kepedulian juga diwujudkan dengan adanya Program 3 S, yaitu:


Senyum, Sapa, Salam. Bentuk-bentuk perilaku saling menghormati

85
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

dicontohkan oleh guru ketika mereka bersikap terhadap sesama guru.


Dengan demikian, para siswa dapat meneladani sikap hormat tersebut.
Para siswa selalu menghormati guru tanpa ada perbedaan antara satu
guru dengan yang lain. Dalam kegiatan sehari-hari bentuk
penghormatan ini antara lain jika bertemu guru mereka memberikan
salam. Bentuk penghormatan ini dilatari oleh nilai-nilai agama yang
dianut, yaitu di mata Tuhan tidak ada manusia yang istimewa, kecuali
yang beriman.

Sekolah ini mengembangkan karakter inti tangguh melalui


kegiatan akademis dan non akademis. Kegiatan akademis berupa
penanaman karakter tangguh yang implisit dalam mata pelajaran.
Artinya, melalui Pokok Bahasan tertentu sesuai dengan mata pelajaran
yang diampunya, guru wajib memasukkan nilai-nilai kepedulian kepada
siswa. Dengan kata lain, seluruh guru bertanggung jawab akan
pelaksanaan penanaman karakter peduli kepada siswa melalui mata
pelajarannya. Sekolah berperan memberikan motivasi belajar kepada
siswa baik ketika dalam pelajaran maupun dalam kegiatan
ekstrakurikuler. Bentuk-bentuk penanaman ketangguhan di kelas
(akademis) antara lain, guru selalui mengecek tugas-tugas yang
diberikan kepada siswa. Diharapkan siswa mengerjakan tugas-tugas
dengan baik dan tepat waktu.

Penanaman karakter tangguh melalui kegiatan nonakademis


berupa kegiatan ekstrakurikuler yaitu Pramuka, UKS, Polisi Sekolah
(PS), dan kesenian terutama seni tari, bernyanyi lagu-lagu daerah, dan
seni menghafal Al-quran serta Qosidah. Melalui kegiatan
ekstrakurikuler itu siswa dapat berlatih sedikit demi sedikit untuk
mendapatkan keterampilan yang diinginkan. Dengan demikian, siswa
terlatih untuk tangguh, tidak mudah putus ada demi meraih prestasi.

Penanaman karakter ketangguhan juga diwujudkan dalam


bentuk tulisan-tulisan dalam slogan di poster ataupun di media lain.
Poster berupa slogan ini ditempelkan di berbagai sudut sekolah dan di
kelas-kelas. Berbagai bentuk slogan ketangguhan di sekolah ini adalah:

86
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

Kesabaran kunci keberhasilan

Raih prestasi junjung tinggi budi pekerti

Prayer is the pilar of religion

Keselamatan manusia terletak pada lisannya

Wujudkan pelayana prima: Salam-Senyum-Sapa-Sopan-


Silaturrahim

Karakter tangguh juga sudah ditanamkan di sekolah ini. Hal ini


dapat dibuktikan pada saat mereka diberi tugas oleh guru, baik dari
kegiatan kurikuler maupun ekstrakurikuler. Setiap ada tugas mereka
selalu mengerjakan dengan baik, tanpa ada usaha mencontek dari hasil
pekerjaan temannya. Pada mereka ditanamkan bahwa mencontek
adalah perbuatan yang tidak jujur yang berarti juga tidak mempunyai
ketangguhan hati. Ada kalanya mereka membantah tugas atau perintah
guru, tetapi selalu disertai alasan. Dan apabila menurut penilaian guru
alasan mereka logis, maka mereka boleh tidak mengerjakan perintah
tersebut. Namun, jika mereka merasa bahwa tugas atau perintah guru
tersebut logis maka mereka akan mengerjakan dengan baik.

Khusus untuk Ketua dan Pengurus OSIS, mereka memiliki jiwa


yang tangguh. Mereka dapat melaksanakan berbagai agenda atau
program sekolah dengan tidak terlalu mengikutkan peran guru kecuali
jika dianggap sangat perlu. Mereka juga tidak menutup diri terhadap
kritik atau masukan dari civitas sekolah terhadap kekurangan ataupun
kesalahan. Hal inilah yang membuat program-program sekolah selama
ini dapat berjalan dengan baik.

Para siswa melalui berbagai kegiatan yang pada awalnya mungkin


dianggap baru, tetapi pada akhirnya mereka dapat melaksanakan
kegiatan tersebut dengan baik dan sukses. Hal ini terbukti adanya
kegiatan pentas yang dilaksanakan setahun sekali selalu berjalan dengan
lancar. Mereka memiliki rasa percaya diri yang kuat dan ditunjang oleh

87
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

rasa tanggung jawab yang tinggi selaku warga sekolah yang akhirnya
memicu terciptanya kompetisi yang sehat antarsiswa untuk mencapai
yang terbaik dei nama baik sekolah. Semua itu dapat dicapai tentu
dengan disiplin yang tiggi dari mereka secara pribadi maupun bersama-
sama.

Terkait dengan inti karakter tangguh, sekolah ini memiliki slogan


yang dituliskan di dinding luar kelas atau koridor, yang berbunyi:

Jangan takut membuat kesalahan,

Namun pastikan tidak melakukan yang sama untuk kedua


kalinya

Great man is simple in talks but awful in action

(Orang yang luar biasa itu sederhana dalam ucapan tetapi


hebat dalam perbuatan )

D. Identitas Kultural dan Karakter Siswa-Siswa Bali

1. Identitas Kultural

Secara geografis Provinsi Bali terletak pada 8°3'40" - 8°50'48"


Lintang Selatan dan 114°25'53" - 115°42'40" Bujur Timur. Relief dan
topografi Pulau Bali di tengah-tengah terbentang pegunungan yang
memanjang dari barat ke timur. Provinsi Bali terletak di antara Pulau
Jawa dan Pulau Lombok. Batas fisiknya adalah sebagai berikut: Utara :
Laut Bali, Timur : Selat Lombok (Provinsi Nusa Tenggara Barat), Selatan
: Samudera India, Barat :Selat Bali (Provinsi Jawa Timur). Secara
administrasi, Provinsi Bali terbagi menjadi delapan kabupaten dan satu
kota, yaitu Kabupaten Jembrana, Tabanan, Badung, Gianyar,
Karangasem, Klungkung, Bangli, Buleleng, dan Kota Denpasar yang juga
merupakan ibukota provinsi. Selain Pulau Bali Provinsi Bali juga terdiri
dari pulau-pulau kecil lainnya, yaitu Pulau Nusa Penida, Nusa
Lembongan, dan Nusa Ceningan di wilayah Kabupaten Klungkung,
Pulau Serangan di wilayah Kota Denpasar, dan Pulau Menjangan di

88
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

Kabupaten Buleleng. Luas total wilayah Provinsi Bali adalah 5.634,40 ha


dengan panjang pantai mencapai 529 km.

Di Bali dikenal satu bait sastra yang intinya digunakan sebagai


slogan lambang negara Indonesia, yaitu: Bhineka Tunggal Ika Tan Hana
Dharma Manggrua, yang bermakna 'Kendati berbeda namun tetap satu
jua, tiada duanya (Tuhan - Kebenaran) itu'. Bisa dipahami jika
masyarakat Bali dapat hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain
seperti Islam, Kristen, Budha, dan lainnya. Pandangan ini merupakan
bantahan terhadap penilaian sementara orang bahwa Agama Hindhu
memuja banyak Tuhan. Kendati masyarakat Hindhu di Bali menyebut
Tuhan dengan berbagai nama namun yang dituju tetaplah satu, Tuhan
Yang Maha Esa atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Dewa Brahma, Wisnu, dan Siwa, yang disebut Tri Murti, kendati
terpilah tiga, namun terkait satu jua sebagai proses lahir-hidup-mati
atau utpeti-stiti-pralina. Dewata Nawa Sanga sebagai sembilan Dewata
yang menempati delapan arah mata angin dan satu di tengah kendati
terpilah sembilan lalu menjadi sebelas tatkala terpadu dengan lapis
ruang ke arah vertikal bawah-atas-tengah atau bhur-bwah-swah, adalah
satu jua sebagai kekuatan Tuhan dalam menjaga keseimbangan alam
semesta. Demikian pula halnya dengan nama dan sebutan lain yang
dimaksudkan secara khusus memberikan gelar atas ke-Mahakuasa-an
Tuhan.

Keyakinan umat Hindhu terhadap keberadaan Tuhan/Hyang


Widhi yang Wyapi Wyapaka atau ada di mana-mana juga di dalam diri
sendiri - merupakan tuntunan yang selalu mengingatkan keterkaitan
antara karma atau perbuatan dan pahala atau akibat, yang menuntun
perilaku manusia ke arah Tri Kaya Parisudha sebagai terpadunya
manacika, wacika, dan kayika atau penyatuan pikiran, perkataan, dan
perbuatan yang baik.

Umat Hindhu percaya bahwa alam semesta beserta segala isinya


adalah ciptaan Tuhan sekaligus menjadi karunia Tuhan kepada umat
manusia untuk dimanfaatkan guna kelangsungan hidup mereka. Karena

89
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

itu tuntunan sastra agama Hindhu mengajarkan agar alam semesta


senantiasa dijaga kelestarian dan keharmonisannya yang dalam
pemahamannya diterjemahkan dalam filosofi Tri Hita Karana sebagai
tiga jalan menuju kesempurnaan hidup, yaitu,

Hubungan manusia dengan Tuhan; sebagai atma atau jiwa


dituangkan dalam bentuk ajaran agama yang menata pola komunikasi
spiritual lewat berbagai upacara persembahan kepada Tuhan. Karena itu
dalam satu komunitas masyarakat Bali yang disebut Desa Adat dapat
dipastikan terdapat sarana Parhyangan atau Pura, disebut sebagai
Kahyangan Tiga, sebagai media dalam mewujudkan hubungan manusia
dengan Ida Sang Hyang Widhi.

Hubungan manusia dengan alam lingkungannya; sebagai angga


atau badan tergambar jelas pada tatanan wilayah hunian dan wilayah
pendukungnya (pertanian) yang dalam satu wilayah Desa Adat disebut
sebagai Desa Pakraman.

Hubungan manusia dengan sesama manusia; sebagai khaya atau


tenaga yang dalam satu wilayah Desa Adat disebut sebagai Krama Desa
atau warga masyarakat, adalah tenaga penggerak untuk memadukan
atma dan angga. Pelaksanaan berbagai bentuk upacara persembahan
dan pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa oleh umat Hindhu
disebut Yadnya atau pengorbanan/korban suci dalam berbagai bentuk
atas dasar nurani yang tulus. Pelaksanaan Yadnya ini pada hakikatnya
tidak terlepas dari Tri Hita Karana dengan unsur-unsur Tuhan, alam
semesta, dan manusia.

2. Karakter Siswa

Di bali nilai kejujuran yang dikembangkan di kalangan siswa


menbbgandung sejumnlah nilai turunan, di antaranya adalah, (1)
Ketulusan hati, diwujudkan dengan sikap menghargai setiap guru tanpa
membedakan latar belakang pendidikan guru, atau status ekonomi
mereka, karena semua adalah manusia ciptaan Tuhan, (2) Keimanan

90
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

dan ketakwaan, yang diwujudkan dengan keyakinan yang variatif akan


keberadaan Tuhan serta adanya rasa kasih sayang dan peduli terhadap
lingkungan yang mendasari siswa senantiasa menghargai dan
menghormati semua ciptaan Tuhan, (3) Pertanggungjawaban,
diwujudkan dengan sikap dan tindakan yang mendorong diri siswa
untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat dan
lingkungan, sehingga jikamereka ditunjuk untuk mewakikli sekolah
dalam suatu lomba akan mempersiapkan diri sebaik mungkin, (4)
Menghargai diri sendiri, dapat tercermin dalam penampilan ketika
bersekolah selalu berseragam dan penampilan yang selalu rapi, (5)
Amanah, terwujud dari perilaku yang didasarkan pada upaya
menjadikan diri siswa dapat dipercaya dalam tindakan, perbuatan dan
perkataan yang terwujud ketika siswa menemukan sesuatu yang bukan
miliknya selalu diserahkan kepada petugas, (6) Sportivitas, diwujudkan
saat berkompetisi yang sehat dalam belajar. Sportif, mengakui prestasi
temannya, memberikan kesempatan kepada temannya untuk
berprestasi.

Nilai cerdas yang dikembangkan mengandung sejumlah nilai


turunan, di antaranya, (1) Analitis, sikap berorientasi ke depan untuk
memajukan sekolah, (2) Pemecahan masalah, namun mereka lebih suka
memecahkan masalahnya sendiri karena menganggap pemecahan
masalah dalam satu tim justru rumit dan memerluklan waktu yang lama
(3) Kuriositas, sikap dan tindakan yang selalu ingin tahu, sehingga pada
proses belajar mengajar banyak bertanya kepada guru, (4) Kreativitas,
adanya dorongan dalam diri siswa untuk menghasilkan sesuatu yang
berguna bagi masyarakat, sehingga siswa rajin mengikuti kegiatan
ekstrakurikuler, rajin mnengerjakan tugas-tugas PR, (5)_ Kritis, sering
bertanya kepada guru bila kurang mengerti atau kurang sepaham,
mudah bosan dan merasa jenuh bila melihat sesuatu yang kurang
menarik, misalnya guru mengajar hanya dengan metode ceramah saja,
(6) Kemandirian, bertanggung jawab untuk menyelesaikan tugas secara
mandiri namun tetap memunyai rasa peduli terhadap teman yang
membutuhkan bantuan, (7) Disiplin diri diwujudkan dengan tidak

91
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

terlambat datang ke sekolah, selalu berseragam, (8) Menghargai


perbedaan. penampilan siswa hampir tak dapat dibedakan antara siswa
dari golongan ekonomi mampu maupun dari golongan ekonomi lemah,
(9) Visioner, kesungguhan dalam mencapai cita-cita yang ditunjukkan
dengan kesungguhan dalam belajar.

Nilai peduli yang dikembangkan memenuhi unsur-unsur di


antaranya adalah sebagai berikut, (1) Suka membantu, diwujudkan
dengan sikap dan tindakan siswa yang selalu ingin memberi bantuan
pada orang lain yang memerlukan, (2) Kewarganegaraan , diwujudkan
dengan adanya rasa keadilan yang menempatkan setiap orang
memunyai hak yang sama di depan hukum dan pemerintahan, (3)
Toleransi, yang diwujudkan dalam bentuk menghargai perbedaan suku
dan agama, (4)

Suka menghargai, merupakan sikap selalu bersedia


mendengarkan dan didengarkan baik dengan orang yang lebih tua atau
yang lebih muda, (5) Demokratis, diwujudkan dengan siswa terbiasa
menyelesaikan masalah-masalah di kelasnya, yang dilakukan secara
musyawarah, (6) Kebanggaan, diwujudkan dengan cara membersihkan
lingkungan sekolah sebagai wujud dari rasa kebanggaan terhadap
sekolah.

Nilai tangguh diwujudkan dengan adanya unsur-unsur sebagai


berikut, (1) Ketegasan, diwujudkan dalam menjaga aturan, dan tidak
memerbolehkan teman lain mencontek pekerjaan rumahnya, (2)
Keberanian, diwujudkan dengan menolak sesuatu yang dianggap tidak
baik dan berani mengatakan tidak jika ada perintah guru yang
dipandang kurang baik, (3) Kehati-hatian, diwujudkan dalam bentuk
mengerjakan tugas yang diberikan guru, (4) Suka berkompetisi,
diwujudkan dengan sikap suka kompetisi dalam rangka meraih prestasi.
Memiliki semangat, motivasi, dan jiwa kompetisi untuk memperoleh
nilai yang baik, (5) Dinamis, yang diwujudkan dengan sikap selalu
berusaha mencari sumber bahan ajar yang dianjurkan guru, (6)
Antisipatif, yang dilakukan dengan merencanakan sesuatu sebelum

92
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

mengambil tindakan serta, (7) Kerajinan, yang merupakan bentuk


disiplin dan taat aturan, serta rajin yang dibuktikan dengan kehadiran di
sekolah 15 menit sebelum jam pelajaran dimulai.

Karakter jujur, cerdas, peduli dan tangguh yang tergambar dalam


hasil pemetaan karakter di atas adalah cocok dengan karakter yang
berkembang di Bali karena pada dasarnya pembelajaran yang
berlangsung di sejumlah sekolah tersebut juga memasukkan
pendidikan karakter dalam kurikulum. Pendidikan karakter tersebut
sesuai dengan karakter budaya masyarakat setempat, seperti jujur,
tergambar dalam nilai-nilai adat dan tradisi, keimanan dan
kepercayaan, kejujuran dan kebajikan, pembangunan moral, akhlak dan
kepribadian. Nilai nilai tersebut tergambar dari ungkapan-ungkapan
dalam bahasa Bali, yang antara lain “pancingina aji pipis, pejangga
duur mejane lantas kalahina”, yang maknanya.dicoba kejujurannya
dengan uang yang ditaruh di meja lalu ditinggalkan. Berbuat baik itu
wajib, walau lebih sulit dilaksanakan, seperti ungkapan ”melahe sulit
ngelalah, jelene enggal ngelimbak”, maknanya, kebaikan sulit ditiru,
namun kejahatan cepat berkembang. Oarng Bali suka mengalah, yang
bukan berarti kalah, ungkapannya ”kalahane regane sing ja lemete lakar
elung”, maknanya, kalahkan diri sendiri, yang lentur tak akan patah.

Karakter cerdas, tergambar dalam nilai-nilai pendidikan dan


ilmu pengetahuan serta strategi mengatasi kesulitan hidup yang
tercermin dalam peribahasa asli masyarakat Bali, seperti “puntul-
puntulan besi, yen sangih dadi mangan”, maknanya, setumpul-
tumpulnya besi, jika diasah akan menjadi tajam pula. Mengasah di sini
adalah simbol perlunya pendidikan bagi generasi muda. Pentingnya
berpikir atau bersikap cerdas ini tergambar dalam peribahasa, ”yen
paningale tusing makanti sinah tusing sida tawangane liatin”,
maknanya, jika mata tidak dibantu pikiran, tentu tidak dapat
mengetahui apa yang dipandang. Orang Bali harus rendah hati, seperti
ungkapan, ”milu matempung aji kabisan atepung makeber”, maknanya,
turut mengambil bagian dengan kepandaian sebutir tepung terbang

93
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

kepandaian atau sumbangan pikiran yang disumbangkannya kepada


masyarakat hanya diumpamakan sebagai sebutir tepung terbang.

Karakter peduli, tergambar dalam nilai-nilai yang berkembang di


masyarakat Bali, seperti nilai-nilai tentang musyawarah, hubungan
orang tua anak, tutur kata dan budi bahasa, hubungan kekeluargaan dan
gotong royong, yang antara lain: diwujudkan dengan cara tidak mau
menang sendiri seperti ungkapan ”eda nagih ngungkulin timpal dogen,
apang bisa masih ngalap kasor”, maknanya, jangan hanya mau di atas
kawan saja, harus tahu juga mengalah.

Karakter tangguh, tergambar dari nilai-nilai seperti hati-hati dan


mawas diri, sikap berani menghadapi kehidupan, dan etos kerja dan
perjuangan hidup, yang antara lain, tergambar dalam ungkapan, ”apang
bisa cara siap nyiksik bulu”, maknannya, supaya bisa seperti ayam,
mencari dengan teliti dalam bulunya, mawas diri. Keberanian
tergambarkan dalam ucapan, ”limane aneh ngisiang tumpul, ane anehe
ngisi pedang”, maknannya, tangan satunya berpegang pada tiang,
tangan yang satu lagi memegang pedang . Dalam hal etos kerja
masyarakat masih menjunjung tinggi kerja keras dan disiplin dalam
segala hal sehingga dapat menghasilkan sesuatu yang maksimal. Hal ini
selaras dengan ungkapan, “cenik-cenikan kedis belatuke, nyidayang
ngesongin kayu” (kecil-kecil burung pelatuk dapat melubangi kayu).
Dengan semangat tinggi, kerja keras tidak kenal lelah akan dicapai
sukses. Dalam hidup setiap manusia memiliki masalah, strategi yang
dilakukan untuk mengatasi permasalahan hidup antara lain
pertimbangan matang, jangan malas, berani dan tegas dalam setiap
mengambil suatu tindakan.

Pengembangan nilai kejujuran dikaitkan dengan etika dan tata


krama. Dalam beretika dan tata krama siswa-siswi Bali masih
memberlakukan dan menjunjung tinggi norma agama, norma
kesusilaan, norma kesopanan dan norma kemasyarakatan. Hal ini dapat
ditunjukkan sebagai umat beragama mereka wajib meyakini adanya
Tuhan YME, Ida Sang Hyang Widhi Wasa, yang telah menciptakan

94
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

seluruh jagat raya ini sehingga harus berbuat baik dalam setiap
tindakan, berperilaku sopan santun dalam bergaul, dapat dipercaya, dan
selalu menghargai setiap pendapat yang dimiliki oleh orang lain.

Kejujuran dalam berbuat menjadi kewajiban, karena mereka


masih percaya dengan satya, karmaphala dan tri kaya, dari hasil
perbuatan, berbicara, dan berpikir yang telah mereka lakukan.
Masyarakat Bali tidak suka bohong, mereka tidak suka janji-janji melulu
tanpa bukti, tidak seperti ungkapan, “liunan krebek kuangan ujan”
(kebanyakan kilat kurang hujan).

Keimanan dan kepercayaan yang masih dianut yakni panca


sradha percaya adanya Tuhan yang menciptakan seluruh alam semesta
berdasarkan ajaran agama Hindhu. Pembangunan moral, akhlak dan
kepribadian masih dilakukan oleh masyarakat karena sangat sesuai
dengan tuntunan agama yang menuntut memiliki akhlak serta
kepribadian, sehingga terbentuk manusia yang bermoral, berakhlak
mulia dan berkepribadian baik. Dalam melaksanakan tugas dan
tanggung jawab kemanusiaan perlu mengembangkan potensi diri yang
dimiliki oleh setiap orang, bertanggung jawab mengangkat harkat dan
martabat manusia dan empati karena sesuai tuntutan harus
mengembangkan potensi diri yang dimiliki. Hal ini harus didukung
dengan tutur kata dan budi bahasa yang santun, selaras antara ucapan
dan perbuatan karena jika berbuat sebaliknya, dapat mengakibatkan
masalah dalam kehidupan.

Dalam mengembangkan karakter cerdas, pendidikan dan ilmu


pengetahuan masih menjadi prioritas utama dalam masyarakat karena
di era globalisasi ini pendidikan sangat diperlukan untuk dapat bersaing
dengan negara-negara lain, sehingga tidak mudah untuk dikelabui dan
menjadi pecundang. Melalui pendidikan dan pembelajaran, maka
karakter kuriositas, kritis, analitis, mandiri, cermat dan hati-hati, serta
mampu melakukan eksplorasi alam dengan baik dan seimbang menjadi
tuintuitan. Karena Bali merupakan daerah wisata, maka di samping
pengembangan sains, maka penguasaan bahasa Inggris secara aktif, dan

95
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

bahasa asing lain menjadi tuntutan untuk dikuasai peserta didik.

Siswa-siswi dari daerah Bali memiliki adat dan tradisi yang masih
dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari, dalam kaitan
pengembangan karakter peduli, yaitu gotong royong (manyema
braya) masih dibutuhkan dan berlaku sampai saat ini karena dapat
meningkatkan sifat kekeluargaan dan kesatuan. tenggang rasa masih
terjalin dalam hubungan antar warga masyarakat sekitar. Kepedulian
terhadap seni dan budaya merupakan warisan leluhur yang selalu
dijaga keutuhannya, hal ini ditunjukkan dengan selalu berlatih dan
mengembangkan seni budaya yang ada sehingga dapat menarik minat
bagi bangsa lain untuk lebih mengenal seni budaya Bali.

Hubungan sosial, kekerabatan dan gotong royong juga masih


berlaku di daerah ini misalnya mesuka duka dan mesanti sampai saat
ini masih dilaksanakan dalam suatu kegiatan tertentu misalnya upacara
sebagai wujud rasa hormat kepada Tuhan YME. Hubungan orang tua
dan anak masih memberlakukan norma-norma yang ada yakni hormat
dan berbakti kepada orang tua, menyantuni orang tua, dan
mengupacarai orang tua karena itu merupakan suatu kewajiban yang
harus dilakukan.

Siswa-siswi Bali harus pandai-pandai menghargai orang lain, hal


ini sesuai ungkapan, “pengit-pengitan serane gede gunane” (bau busuk
seperti terasi besar manfaatnya). Orang harus mampu menghargai
orang lain, walau dia miskin, jika baik budi bahasanya serta bersikap
baik terhadap masyarakat, patut dihormati dan dihargai.

Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab kemanusiaan


perlu melakukan mengembangkan potensi diri yang dimiliki oleh setiap
orang, bertanggung jawab mengangkat harkat dan martabat manusia
yang dilandasi empati karena sesuai tuntutan harus mengembangkan
potensi diri yang dimiliki. Hal ini didukung dengan tutur kata dan budi
bahasa yang santun, selaras antara ucapan dan perbuatan karena dapat
mengakibatkan masalah dalam kehidupan. Berani bertanggung jawab
ini sesuai dengan ungkapan, “bani mabak jepun, masak takut kena

96
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

getahne” (berani menguliti pohon kemboja, masakan takut kena


getahnya). Berani berbuat berani bertanggung jawab.

Hukum dan keadilan yang masih berlaku di daerah ini hukum


adat dan sanksinya, tanggota kelompok masyarakat harus tetap terjaga.
Masyarakat masih melakukan musyawarah dan menjunjung tinggi
demokrasi dalam melakukan penetapan hasil rapat sehingga semua
masyarakat menerima segala keputusan hasil rapat dan demokrasi
tetap berjalan dengan baik.

Dalam mengembangkan karakter tangguh, masyarakat Bali


selalu memiliki sikap bekerja keras dan selalu bersyukur karena mereka
percaya bahwa setiap keberhasilan diperoleh dengan kerja dan hasil
yang didapat akan selalu disyukuri. Berhati-hati dan mawas diri dalam
bertindak karena dalam setiap tindakan yang diambil harus dipikirkan
matang-matang terlebih dahulu, sehingga tidak menimbulkan masalah
di kemudian hari.

E. Identitas Kultural dan Karakter Siswa-Siswa Suku Sasak-


Lombok

1. Identitas Kultural

Lombok adalah sebuah pulau di kepulauan Sunda Kecil atau Nusa


Tenggara yang terpisahkan oleh Selat Lombok dari Bali di sebelah barat
dan Selat Alas di sebelah timur dari Sumbawa. Pulau ini kurang lebih
bulat bentuknya dengan semacam “ekor” di sisi barat daya yang
panjangnya kurang lebih 70 km. Pulau ini luasnya adalah 4.725 km²
(sedikit lebih kecil daripada Bali). Kota utama di pulau ini adalah Kota
Mataram. Kota Mataram menjadi ibu kota provinsi Nusa Tenggara
Barat (NTB).

Selat Lombok menandai jalan masuk dari pemisah biogeografis


antara fauna di wilayah Indomalay dengan Australasia. Hal ini dikenal
dengan Wallace line, diambil dari nama penemunya Alfred Russel

97
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

Wallace. Ada perbedaan yang sangat jelas antara fauna Indomalay


dengan fauna Australasia.

Pemetaan pulau Lombok didominasi oleh stratovolcano Gunung


Rinjani, yang mencapai tinggi 3.726 m (12.224 kaki), yang membuat
Gunung Rinjani menjadi gunung tertinggi ketiga di Indonesia. Di
lembah Gunung Rinjani, akan ditemukan hutan hijau yang rimbun,
sawah dan air terjun yang indah.

Pusat keramaian yang paling berkembang di sebelah barat adalah


Senggigi, tersebar 30 kilometer sepanjang jalan pantai di sebelah utara
Mataram, Sementara para divers biasanya berkumpul bersama di Gili,
yang berada di pantai barat.

Bagian selatan dari pulau Lombok adalah tanah yang subur di


mana jagung, kopi, tembakau dan kapas tumbuh. Salah satu tujuan
wisata yang populer adalah Kuta (bukan Kuta Bali), terkenal dengan
pantai yang belum tersentuh, dan beberapa orang menganggap pantai
ini adalah salah satu tempat berselancar terbaik di dunia.

Dalam total area sebesar 4.752 km2 (1.825 sq mil) terdapat


2.950.105 orang (2005), 85% adalah suku Sasak, yang awalnya
diperkirakan berpindah dari Jawa pada awal abad sebelum Masehi.
Sejak populasi suku Sasak mempelajari Islam, pemandangan di pulau
Lombok mulai banyak dipenuhi dengan masjid-masjid dan menaranya,
dan di desa tradisional suku Sasak, bisa ditemukan kehidupan pedesaan
dengan budayanya yang unik. Penduduk lain termasuk 10-15% orang
Bali, dengan selebihnya adalah orang Cina, Arab, Jawa, dan Sumbawa.

Pulau Lombok disebut juga sebagai Selaparang atau Gumi Sasak


adalah sebuah pulau yang terletak di Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Kondisi wilayah Lombok berupa dataran, perbukitan dan bergunung.
Wilayah tertinggi adalah Gunung Rinjani dengan danau Segara Anak
sebagai sumber mata air penduduk di sekitarnya. Gunung ini dikelilingi
oleh hutan yang tersebar pada masing-masing kabupaten. Bagian
selatan pulau memiliki tanah yang subur yang dapat dimanfaatkan

98
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

untuk pertanian, dengan variasi tanaman seperti jagung, padi,


tembakau, kapas dan kopi. Sebagian besar penduduk pulau Lombok
adalah suku Sasak. Etnis lain seperti Bali, Jawa, Arab, Cina dan
Sumbawa merupakan masyarakat pendatang. Mata pencaharian
penduduk berasal dari lahan pertanian, peternakan dan sebagian
menjadi nelayan.

Dalam tradisi lisan warga setempat kata sasak diyakini berasal


dari kata “sa’-saq” yang berarti satu. Sedangkan arti kata Lombok sendiri
adalah lurus. Jika digabungkan maka akan memiliki arti sesuatu yang
lurus. Sebagian besar suku Sasak menganut agama islam. Namun pada
kenyataannya, pengaruh islam masih tercampur dengan kepercayaan
adat sehingga melahirkan aliran tertentu. Beberapa di antara mereka
ada juga yang masih menganut kepercayaan pra-islam yang disebut
Sasak Boda. Agama kedua terbesar di pulau ini adalah Hindhu yang
banyak dianut masyarakat keturunan Bali. Penganut Kristen yang
banyak diyakini oleh keturunan Cina, juga Buddha dan agama lain masih
bisa dijumpai di pulau ini walaupun jumlahnya tidak terlalu banyak.

Terdapat tiga pengaruh luar yang besar dalam kehidupan


masyarakat Sasak. Di antaranya adalah pengaruh kebudayaan Jawa dan
Bali yang dapat dilihat dari aksara dan tulisan Sasak yang oleh sebagian
penduduk disebut Jejawan. Pengaruh besar Jawa lainnya adalah
pengislaman penduduk Sasak yang dibuktikan dengan pernyataan
dalam Babad Lombok. Sampai sekarang, naskah-naskah Jawi Kuna
yang memuat sejarah panjang Lombok dan kaitannya dengan Islam
masih tetap dijaga oleh para pelestari lontar.

Banyak pertunjukan seni tradisional di Lombok yang merupakan


percampuran Sasak dan Bali. Bahasa utama yang digunakan di Lombok
dalam percakapan sehari-hari adalah bahasa Sasak yang memiliki dialek
dan kosakata yang beragam dari daerah yang satu dengan daerah
lainnya. Namun, di beberapa tempat seperti di Lombok Barat dan Kota
Mataram terdapat banyak perkampungan yang menggunakan bahasa
Bali dalam pergaulan sehari-hari. Suku Sasak sendiri di samping

99
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

berdiam di pulau Lombok juga ada yang menghuni pulau Sumbawa.

Berdasarkan hasil diskusi terpandu dijumpai sejumlah


peribahasa yang menggambarkan peri kehidupan masyarakat Sasak. Di
antaranya:

Terkait adat tradisi, ada peribahasa, “meop on ate, muah on usif”


artinya bekerja seperti babu, makan seperti raja yang maknanya orang
yang bekerja keras, akan menikmati hasilnya tanpa dilarang oleh
siapapun. Ini melambangkan ketangguhan etnis Sasak.

Terkait etika dan tata karma, dijumpai peribahasa, “mu baunom


neo atonim nasi” yang artinya jadilah seperti padi yang berisi yang
maknanya jadi anak tidak boleh menyombongkan diri, makin
menunduk makin berisi.

Terkait hubungan sosial, kekerabatan dan gotong royong, ada


peribahasa, “akleon na naekat al-alkit”. Arti dalam bahasa Indonesia,
besar sama dipikul ringan sama dijinjing. Maknanya pekerjaan yang
berat maupun ringan sama-sama dikerjakan akan lebih baik daripada
dikerjakan seorang diri.

2. Karakter Siswa

Sampel penelitian adalah sekolah unggulan yang ada di kota


Mataram, meliputi, SD, SMP, SMA dan SMK. Nilai inti yang diamati
meliputi karakter jujur, cerdas, peduli, dan tangguh. Sikap jujur selalu
diupayakan untuk dilaksanakan setiap waktu dalam situasi dan kondisi
bagaimanapun. Di sekolah dikembangkan nilai-nilai kejujuran dengan
adanya kantin kejujuran. Akan tetapi terdapat hambatan dalam
menerapkan nilai kejujuran yakni apabila terdapat pertengkaran antar
siswa setiap siswa selalu mempertahankan kebenaran dirinya agar tidak
disalahkan, jika perlu dengan berbohong. Contoh yang lain adalah pada
saat ulangan ada sebagian siswa yang suka mencontek. Bersiukap jujur
berarti harus adil, jangan mudah iri hati dan buruk sangka, seperti

100
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

ungkapan, “talon ate, menang perasaq” (jangan iri hati dan buruk
sangka).

Nilai kecerdasan juga dikembangkan di sekolah sampel, contoh


dari kecerdasan yang dikembangkan di sekolah adalah adanya
pembinaan siswa berprestasi, belajar aktif, pembinaan olahraga dan
seni. Dalam proses pengembangan nilai kecerdasan terdapat hambatan
yang ditemukan yakni ada beberapa siswa yang tidak membuat tugas
yang telah diberikan oleh guru. Nilai kecerdasan juga dikembangkan
melalui diskusi kecil atau diskusi kelas. Dalam diskusi dipraktikkan
demokrasi atau musyawarah. Namun demikian siswa-siswa di Lombok
tidak boleh sombong, ada ungkapan yang mengatakan, “ma baunom neo
atonim nasi”, maknanya, jadilah seperti padi yang berisi, makin
menunduk tidakmenyombongkan diri.

Nilai kepedulian diajarkan berupa peduli terhadap lingkungan


yang diwujudkan dengan sikap hemat air, hemat listrik, peduli diri
sendiri, dan peduli sosial. Peduli sosial diwujudkan dengan dibinanya
sikap gotong-royong serta kepedulian untuk membantu bila ada orang
lain terkena musibah. Masyarakat juga mendukung program peduli
terhadap lingkungan karena nilai ini ternyata memang berakar dari
budaya dan tradisi yang telah ada sejak zaman dahulu, berupa
kebiasaan untuk menjaga lingkungan. Sikap kepedulian juga
ditunjukkan dengan kemauan membantu orang lain jika memang
memiliki kemampuan. Sikap kepedulian ini sesuai dengan ungkapan,
“tao-tao ite pade saling peringet” (usahakan untuk saling
mengingatkan). Sikap saling mengingatkan ini sebagai bentuk
kepedulian sosial agar tidak terjadi hal-hal yang buruk bagi semua
warga.

Penanaman nilai ketangguhan di sekolah dilakukan sebagai


usaha untuk mempertahankan kompetensi yang telah dimiliki. Contoh
nilai ketangguhan yang terdapat di sekolah adalah dalam bidang
olahraga, kesenian, olimpiade sains , dan mewujudkan sekolah
Adiw iyata. Prose s me numbuhkan nilai ke tang g uhan ini

101
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

diimplementasikan dalam kelas dengan cara belajar tuntas, belajar keras


dan disiplin belajar.. Nilai ketangguhan ini ditanamkan sejak anak-anak
masih kecil dengan cara memotivasi anak untuk mandiri, kuat berdiri
dengan kaki sendiri. Etos kerja masyarakat Sasak tinggi, ini sesuai
dengan ungkapan, “meop on ate, muah on usif”, maknanya, bekerja
seperti babu, makan seperti raja, kerja keras dulu, baru kemudian
dinikmati hasilnya. Masyarakat Sasak berjiwa berani, seperti
ungkap[an, “wani maperang, wani ngarepan baye”, berani berperang,
berani menghadapi bahaya.

F. Identitas Kultural dan Karakter Siswa-Siswa Sulawesi

1. Etnis Kaili-Palu

a. Identitas Kultural

Palu merupakan ibu kota Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng).


Awalnya, Palu ialah kota kecil yang menjadi pusat Kerajaan Palu. Setelah
penjajahan Belanda, kerajaan tersebut merupakan bagian dari wilayah
kekuasaan Onder Afdeling Palu. Onder Afdeling Palu membawahkan
tiga landschap. Ketiganya, antara lain, Landschap Palu dengan wilayah
distrik Palu Timur, Palu Tengah, dan Palu Barat; Landschap Kulawi; dan
Landschap Sigi Dolo.

Ketika pecah Perang Dunia II sekitar tahun 1942, Kota Donggala


sebagai ibu kota Afdeling Donggala dihancurkan oleh pasukan Sekutu
maupun Jepang. Akibatnya, pusat pemerintahan dialihkan ke Palu pada
tahun 1950, yang berdasarkan Undang-Undang Nomor 44/1950
menjadi wilayah daerah Sulawesi Tengah dan berkedudukan di Poso.
Sementara Kota Palu hanya merupakan tempat kedudukan kepala
pemerintahan negeri (KPN) setingkat wedana. Kemudian, Kota Palu
berkembang setelah dibentuknya residen koordinator Sulawesi Tengah
pada 1957 yang membuat status Kota Palu menjadi ibu kota karesidenan.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13/1964, terbentuknya

102
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

Provinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah memberikan peran yang


lebih baik bagi Palu yang menjadi ibu kota Sulawesi Tengah. Karena
perannya dalam bidang pemerintahan dan pembangunan semakin
besar, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 18/1978, Kota Palu
ditetapkan menjadi kota administratif. Selanjutnya, berdasarkan
Undang-Undang Nomor 4/1994 dibentuk Kotamadya Daerah Tingkat II
Palu yang wilayahnya meliputi Kota Administratif Palu, sebagian
wilayah Kecamatan Tavaili.

Secara administratif, Palu dibagi dalam empat kecamatan. Yaitu,


Palu Utara (89,69 km2), Palu Timur (186,55 km2), Palu Barat (57,47
km2), dan Palu Selatan (61,35 km2). Ada 43 kelurahan dengan wilayah
seluas 395,06 km2. Di utara, Kota Palu berbatasan dengan Kecamatan
Tawaeli, Kabupaten Donggala. Di selatan, Kota Palu berbatasan dengan
Kecamatan Marawola dan Kecamatan Sigi Biromaru, Kabupaten
Donggala. Di barat dengan Kecamatan Banawa dan Kecamatan
Marawola. Di timur, Palu berbatasan dengan Kecamatan Tawaeli,
Kabupaten Donggala, dan Kecamatan Parigi, Kabupaten Parigi-
Moutong.

Sektor perkebunan merupakan salah satu potensi besar yang


dimiliki Kota Palu. Komoditasnya berupa kelapa, jambu mete, dan
kakao. Kegiatan perekonomian utama di kota ini adalah sektor tersier
yang merupakan jasa usaha, pembinaan terhadap sektor tersier yang
meliputi perdagangan, angkutan, keuangan, dan jasa. Hal ini menjadi
perhatian utama Pemda Kota Palu. Sementara potensi industri yang
berbasis ekonomi kerakyatan adalah industri kerajinan kayu hitam
(ebony), tenun ikat, dan pengolahan hasil pertanian.

Pengembangan industri kecil menjadi prioritas utama karena


secara riil telah memberikan konstribusi terhadap pemasukan daerah.
Kelancaran akses transportasi dan komunikasi ke luar daerah secara
tidak langsung juga berpengaruh positif kepada perkembangan potensi
daerah. Infrastruktur yang memadai mempermudah arus barang dan
jasa sehingga mempercepat perwujudan Kota Palu sebagai kawasan

103
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

industri.

Di sektor pariwisata, terdapat Gunung Gawalise, Taman Nasional


Lore Lindu, dan hutan wisata Danau Lindu yang berpotensi sebagai
objek wisata alam dan budaya yang menarik. Salah satu yang menjadi
unggulan ialah Pulau Togean. Keunikannya terletak pada
keanekaragaman biota laut dan terumbu karangnya. Yang menarik, di
bawah laut ada pesawat tempur dari perang dunia yang jatuh di sana.

Kota Palu juga telah memiliki berbagai sarana dan prasarana


pendukung. Misalnya, Bandara Mutiara dan Pelabuhan Pantolan.
Terdapat pula dukungan sarana pembangkit tenaga listrik, air bersih,
gas, dan jaringan telekomunikasi.

Kota Palu secara geografis terletak di 0°36’-0°56’ Lintang Selatan


dan 119°45’-121°1’ Bujur Timur, tepat berada di bawah garis Katulistiwa
dengan ketinggian 0-700 meter dari permukaan laut. Secara umum,
penduduk asli Sulawesi Tengah terdiri atas 15 kelompok etnis. Salah
satunya adalah suku Kaili yang berdiam di Kabupaten Donggala dan
Kota Palu. Suku Kaili juga secara turun-temurun mendiami seluruh
daerah di lembah antara Gunung Gawalise, Gunung Nokilalaki, Kulawi,
dan Gunung Raranggonau. Mereka juga menghuni wilayah pantai timur
Sulawesi Tengah yang meliputi Kabupaten Parigi-Moutong, Kabupaten
Tojo-Una-Una, dan Kabupaten Poso.

Masyarakat suku tersebut mendiami desa di Teluk Tomini, yaitu


Tinombo, Moutong, Parigi, Sausu, Ampana, Tojo, dan Una Una. Di
Kabupaten Poso, mereka mendiami kawasan Mapane, Uekuli, dan
pesisir Pantai Poso. Untuk menyatakan ”orang Kaili”, dalam bahasa Kaili
digunakan prefiks ”To”, yaitu To Kaili. Ada beberapa pendapat yang
mengemukakan etimologi kata Kaili. Salah satunya menyatakan, kata
tersebut berasal dari nama pohon dan buah kaili yang umumnya tumbuh
di hutan-hutan di kawasan daerah itu, terutama di tepi Sungai Palu dan
Teluk Palu.

Pada zaman dulu, tepi pantai Teluk Palu terletak menjorok lebih

104
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

kurang 34 kilometer dari letak pantai sekarang, yaitu di Kampung


Bangga. Sebagai buktinya, di daerah Bobo sampai ke Bangga banyak
ditemukan karang dan rerumputan pantai. Bahkan, di sana terdapat
sebuah sumur yang airnya pasang ketika air di laut sedang pasang dan
akan surut tatkala air laut surut.

Menurut cerita (tutura), dahulu kala di tepi pantai dekat


Kampung Bangga tumbuh sebatang pohon kaili yang menjulang tinggi.
Pohon ini menjadi arah atau panduan bagi pelaut atau nelayan yang
memasuki Teluk Palu untuk menuju pelabuhan ketika itu.

Untuk komunikasi, Suku Kaili mengenal lebih dari 20 bahasa


yang masih dipergunakan dalam percakapan sehari-hari. Uniknya, di
antara kampung yang hanya berjarak 2 kilometer, kita bisa menemukan
bahasa yang berbeda antara satu dan lainnya. Meskipun demikian, Suku
Kaili memiliki lingua franca yang dikenal sebagai bahasa Ledo. Kata
tersebut berarti ”tidak”. Bahasa Ledo dapat digunakan untuk
berkomunikasi dengan bahasa-bahasa Kaili lainnya.

Bahasa Ledo yang asli (belum dipengaruhi bahasa para


pendatang) masih ditemukan di sekitar Raranggonau dan Tompu.
Sementara bahasa Ledo yang dipakai di daerah Kota Palu, Biromaru, dan
sekitarnya sudah terasimilasi dengan beberapa bahasa para pendatang,
terutama bahasa Bugis dan Melayu.

Kondisi geografis juga turut memengaruhi karakter penduduk


Palu. Karena banyak suku lainnya yang bisa dijumpai di Palu seperti
Bugis, Makassar, Jawa, dan Toraja, masyarakat Palu terkenal sederhana,
partisipatif, ramah, dan suka menolong. Mereka juga suka tinggal secara
berkelompok.

Pakaian tradisional suku Kaili sangat bercorak yang menandakan


bahwa mereka adalah orang yang sangat atraktif. Ada sebagian
penduduk asli yang masih bermukim di daerah pegunungan. Mereka
disebut orang ”Tolare”. Masyarakat unik ini masih menjaga cara hidup
tradisional mereka.

105
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

Penduduk di Palu memiliki satu filosofi hidup yang selalu mereka


jaga dalam menjalankan kegiatan sehari-hari. Filosofi itu adalah
nosarara nosabatutu yang berarti bersama kita satu. Itulah gambaran
kebersamaan untuk mencapai tujuan keberhasilan.

b. Karakter Siswa

Salah satu nilai yang menjadi perhatian penting dalam


penanaman pendidikan karakter adalah kejujuran. Nilai kejujuran
dikembangkan di sekolah dengan pembiasaan dan keteladanan mulai
dari lingkungan sekolah hingga masyarakat. Contohnya, tidak
mencontek ketika ujian dan tidak membolos sekolah. Memang aspek
kejujuran ini belum sepenuhnya disadari oleh sebagian siswa. Beberapa
hambatan masih terjadi. Misalnya saja, terjadi kasus kehilangan topi
dan buku pelajaran.

Namun, sebenarnya nilai-nilai kejujuran sudah berakar kuat dari


budaya dan tradisi di daerah Palu. Karena itu, masyarakat amat
mendukung penerapan nilai kejujuran di sekolah. Hal yang sederhana
adalah pesan orang tua kepada anak agar selamat dalam kehidupan.
Untuk itu, dalam nasihat tersebut selalu disisipi pesan akan pentingnya
kejujuran. Dalam tindakan nyata di kelas, aspek ini juga dilakukan.
Misalnya, siswa mengembalikan buku teman yang dipinjam dan
mengembalikan uang teman yang ditemukan.

Untuk menumbuhkan nilai-nilai kejujuran, sekolah memiliki


program khusus, yaitu kantin kejujuran. Di sini siswa melayani diri
sendiri ketika hendak membeli sesuatu di kantin kejujuran tersebut.

Dalam pembelajaran di kelas, bentuk nilai-nilai kejujuran


dimplementasikan pada ulangan harian dan pemberian tugas individu.
Pada saat ujian, contohnya, para siswa dilatih untuk menyelesaikan soal
sendiri tanpa bantuan orang lain.

Kegiatan ekstrakurikuler juga tidak ketinggalan menanamkan

106
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

nilai ini. Hal itu diwujudkan dalam kegiatan keagamaan atau tindakan
meminta maaf kepada guru dan teman apabila melakukan kesalahan.

Nilai kejujuran juga dimplementasikan melalui budaya sekolah.


Contohnya ialah penanaman budaya malu dan budaya tertib. Jika
kebersihan kelas tidak terjaga dengan baik atau melanggar aturan
sekolah, siswa merasa malu sehingga hal itu tidak terulang kembali.

Dalam aktivitas keseharian, implementasi nilai kejujuran


diwujudkan dalam tindakan mengakui apabila terlambat dan mengakui
kalau tidak membuat tugas. Memang masih ada saja siswa yang berbuat
tidak jujur di lingkungan sekolah meski jumlahnya sedikit. Contohnya,
ketika tidak masuk sekolah, alasannya adalah sakit, padahal tidak
demikian. Namun, secara umum, karakter jujur sangat melekat pada diri
para siswa di Palu. Tentu saja hal ini salah satunya disebabkan oleh nilai-
nilai budaya yang kuat dan menekankan kejujuran dalam kehidupan
sehari-hari.

Nilai kecerdasan juga dikembangkan di sekolah-sekolah yang


berada di Kota Palu. Misalnya, siswa diikutkan lomba cerdas cermat
antarkelas. Bentuknya, mereka dilatih menjawab soal-soal dalam lomba
tersebut. Kendati demikian, memang ada beberapa hambatan seperti
belum maksimalnya dukungan dari orang tua. Masih ada wali murid
yang kurang memberikan perhatian terhadap kewajiban-kewajiban
anak dalam meningkatkan dan melancarkan proses kegiatan belajar
mengajar.

Namun, secara umum masyarakat mendukung program sekolah


dalam penerapan nilai kecerdasan. Ini terjadi karena aspek kecerdasan
itu sendiri sebenarnya telah menjadi tradisi setempat. Di tingkat sekolah
dasar, misalnya, minat siswa semakin bertambah untuk masuk di SDN
model, yang menjadi favorit siswa.

Untuk menumbuhkan karakter cerdas, sekolah menerapkan


program pembelajaran yang aktif dan menyenangkan (paikem),
membagikan lembar kerja siswa (LKS), menyiapkan alat peraga, serta

107
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

menyiapkan slogan-slogan yang berhubungan dengan pendidikan. Di


kelas di semua jenjang sekolah, implementasi karakter cerdas ini
diwujudkan dalam pembelajaran aktif yang melibatkan seluruh siswa.

Untuk menumbuhkan kecerdasan siswa di luar sekolah, guru


menginstruksikan agar siswa rajin melakukan belajar kelompok.
Tujuannya, terjadi diskusi untuk mengembangkan kemampuan siswa
dalam memecahkan permasalahan, terutama yang berkaitan dengan
pelajaran.

Masyarakat Palu dikenal memiliki kepedulian sosial yang


tinggi. Karena itu, karakter peduli juga ditanamkan di semua jenjang
sekolah, mulai SD hingga SMA. Misalnya, siswa dibiasakan untuk
bekerja sama, tolong-menolong, gotong royong (sintuvu) , serta peduli
terhadap lingkungan.

Hambatan yang muncul ialah pembiasaan di sekolah belum


berkembang secara spiritual saat siswa berada di rumah atau di
lingkungannya karena faktor ekonomi yang berbeda. Namun, secara
umum dukungan orang tua atau masyarakat terhadap penanaman nilai
karakter peduli ini sangat tinggi. Misalnya, mereka mengikutsertakan
anak dalam kegiatan kebudayaan daerah seperti pertunjukan tari
Pamonte.

Kepedulian terhadap sesama diwujudkan dalam kegiatan


penyaluran bantuan untuk korban bencana dan panti asuhan yatim
piatu. Toleransi beragama juga dijaga sehingga para siswa terbiasa
untuk saling menghormati perbedaan yang ada. Untuk menjaga kearifan
lokal atau budaya setempat, sekolah biasanya mengikutsertakan siswa
dalam lomba cerita rakyat daerah Kaili.

Nilai ketangguhan secara umum menjadi salah satu ciri khas


masyarakat Palu. Contoh nyata adalah sikap tidak mudah menyerah.
Karena itu, tidak mengherankan jika karakter tangguh juga ditanamkan
di lingkungan sekolah. Biasanya, sekolah-sekolah di Palu mengikutkan
para siswanya dalam lomba sampai tingkat nasional. Hal ini tentu saja

108
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

bertujuan untuk meningkatkan kepercayaan diri siswa yang akan


berimplikasi pada ketangguhannya.

Hambatan yang biasanya dihadapi ialah masih ada siswa yang


belum disiplin. Selain itu, tantangan lainnya adalah dukungan orang tua
yang belum maksimal. Di sisi lain, masih ada pelajar yang terlambat
karena faktor jarak tempuh dari rumah ke sekolah.

Program yang dihelat sekolah-sekolah untuk menumbuhkan


nilai-nilai ketangguhan ialah penerapan tata tertib siswa, kegiatan
latihan di luar jam belajar, dan apel pagi. Guru juga memberikan
dorongan moral supaya siswa lebih giat belajar dan menyelesaikan
tugas-tugasnya tepat waktu.

Di kegiatan ekstrakurikuler, karakter tangguh ini diaplikasikan


dalam kegiatan pramuka dan olahraga. Hal ini bisa melatih kedisiplinan
siswa. Intinya, nilai-nilai ketangguhan telah ditanamkan sejak dini di
sekolah, baik di dalam kelas maupun kegiatan di luar jam belajar.

2. Etnis Toraja

a. Identitas Kultural

Tanah Sulawesi bisa diibaratkan surga karena keindahan


alamnya yang sangat kaya. Selain banyak objek wisata, budaya setempat
yang kuat menjadi magnet untuk menyedot minat para turis. Toraja
menjadi salah satu daya tarik wisata paling populer di Provinsi Sulawesi
Selatan.

Kebudayaan khas suku Toraja yang mendiami daerah


pegunungan dengan budaya khas Austronesia asli bisa dinikmati.
Nuansa lain kebudayaan yang unik dan berbeda adalah rumah adat
tongkonan, upacara pemakaman Rambu Solo, Pekuburan Gua Londa,
Pekuburan Batu Lemo, atau Pekuburan Bayi Kambira.

Menurut mitos yang diceritakan dari generasi ke generasi, nenek


moyang asli orang Toraja turun langsung dari surga dengan cara

109
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

menggunakan tangga. Tangga ini berfungsi sebagai media komunikasi


dengan Puang Matua (satu-satunya Tuhan).

Nama Toraja kali pertama diberikan oleh suku Bugis Sidenreng


yang menyebut penduduk yang tinggal di daerah ini sebagai ”Riaja” yang
artinya orang yang mendiami daerah pegunungan. Sementara rakyat
Luwu menyebut mereka ”Riajang” atau orang-orang yang mendiami
daerah barat. Versi lain menyebutkan bahwa Toraja berasal dari kata
Toraya (Tau berarti orang dan raya atau maraya memiliki makna
besar). Gabungan dua kata ini memberi arti orang-orang hebat atau
manusia mulia. Pemerintahan kolonial Belanda menamai suku tersebut
Toraja pada tahun 1909. Istilah yang sering dipakai adalah Toraja. Kata
"tana" sendiri berarti daerah. Penduduk dan wilayah Toraja pun
akhirnya dikenal dengan Tana Toraja.

Kabupaten Tana Toraja merupakan salah satu di antara 23


kabupaten di Sulawesi Selatan. Tana Toraja terletak di antara 2º20’-
3º30’ Lintang Selatan dan 119º30’ sampai 120º10’ Bujur Timur. Ibu kota
Tana Toraja adalah Rantepao, yakni kota kecil yang dingin dan nyaman.
Kota ini dibelah oleh sungai terbesar di Sulawesi Selatan, yakni Sungai
Sa’dan. Sungai tersebut memberikan tenaga pembangkit listrik untuk
menyalakan listrik seluruh Makassar.

Kabupaten Tana Toraja berbatasan dengan Kabupaten Luwu,


Kabupaten Mamuju, dan Kabupaten Mamasa di sebelah utara. Di timur,
Toraja berbatasan dengan Kabupaten Luwu. Di selatan, Toraja
berbatasan dengan Kabupaten Enrekang dan Kabupaten Pinrang.
Sementara di barat berbatasan dengan Kabupaten Polmas. Tanah
Toraja saat ini terbagi dalam dua wilayah Kabupaten, yaitu Tana Toraja
dengan ibu kota Makale dan Toraja Utara dengan ibu kota Rantepao.

Luas wilayah Tana Toraja tercatat 3.205,77 km2 atau sekitar 5%


dari luas Provinsi Sulawesi Selatan yang meliputi 15 kecamatan. Jumlah
penduduk pada 2001 berjumlah 404.689 jiwa. Rinciannya, 209.900 jiwa
laki-laki dan 199.789 jiwa perempuan dengan kepadatan rata-rata
penduduk 126 jiwa/km² dan laju pertumbuhan penduduk rata-rata

110
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

berkisar 2,68% per tahun.

Secara kultural, masyarakat Toraja menganut "aluk" atau adat


yang merupakan kepercayaan, aturan, dan ritual tradisional ketat yang
ditentukan oleh nenek moyangnya. Meskipun saat ini mayoritas
masyarakat Toraja memeluk agama Protestan atau Katolik, tradisi-
tradisi leluhur dan upacara ritual masih terus dipraktikkan.

Warga setempat membuat pemisahan yang jelas antara upacara


dan ritual yang terkait dengan kehidupan dan kematian. Sebab, ritual-
ritual itu berterkaitan dengan musim tanam dan panen. Masyarakat
Toraja mengolah sawahnya dengan menanami padi jenis gogo yang
tinggi batangnya. Di sepanjang jalan akan ditemui padi dijemur yang
batangnya diikat dan ditumpuk ke atas. Padi dengan tangkainya tersebut
disimpan di lumbung khusus yang dihiasi dengan tanduk kerbau pada
bagian depan serta rahang kerbau di bagian sampingnya.

Tana Toraja memiliki dua jenis upacara adat yang populer, yaitu
Rambu Solo dan Rambu Tuka. Rambu Solo adalah upacara
pemakaman, sedangkan Rambu Tuka adalah upacara atas rumah adat
yang baru direnovasi.

Khusus Rambu Solo, masyarakat Toraja percaya bahwa tanpa


upacara penguburan ini arwah orang yang meninggal tersebut akan
memberikan kemalangan kepada orang-orang yang ditinggalkannya.
Orang yang meninggal hanya dianggap seperti orang sakit sehingga
masih harus dirawat dan diperlakukan seperti masih hidup dengan
menyediakan makanan, minuman, rokok, sirih, atau beragam sesajian
lainnya.

Upacara pemakaman Rambu Solo adalah rangkaian kegiatan


yang rumit ikatan adat serta membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Persiapannya dilakukan selama berbulan-bulan. Sementara menunggu
upacara siap, tubuh orang yang meninggal dibungkus kain dan disimpan
di rumah leluhur atau tongkonan. Puncak upacara Rambu Solo biasanya
berlangsung pada bulan Juli dan Agustus. Saat itu orang Toraja yang

111
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

merantau di seluruh Indonesia akan pulang kampung untuk ikut serta


dalam rangkaian acara ini. Kedatangan orang Toraja tersebut diikuti
pula dengan kunjungan wisatawan mancanegara.

Dalam kepercayaan masyarakat Tana Toraja (Aluk To Dolo) ada


prinsip bahwa semakin tinggi tempat jenazah diletakkan, semakin cepat
rohnya sampai ke nirwana. Bagi kalangan dari bangsawan yang
meninggal, mereka memotong kerbau yang jumlahnya 24 hingga 100
ekor sebagai kurban (ma’tinggoro tedong). Satu di antaranya bahkan
kerbau belang yang harganya terkenal mahal. Upacara pemotongan ini
merupakan salah satu atraksi yang khas Tana Toraja dengan menebas
leher kerbau tersebut menggunakan sebilah parang dalam sekali ayunan
lalu kerbau pun langsung terkapar bermandikan darah beberapa saat
kemudian.

Masyarakat Toraja hidup dalam komunitas kecil. Anak-anak yang


sudah menikah meninggalkan orang tua mereka dan memulai hidup
baru di tempat lain. Meski anak mengikuti garis keturunan ayah dan
ibunya, mereka semua merupakan satu keluarga besar yang tinggal di
satu rumah leluhur (tongkonan). Tongkonan merupakan pusat
kehidupan sosial suku Toraja. Ritual yang berhubungan dengan
tongkonan sangat penting dalam kehidupan spiritual suku Toraja.
Karena itu, semua anggota keluarga diharuskan ikut serta sebagai
lambang hubungan mereka dengan leluhur.

b. Karakter Siswa

Kendati penyelanggaraan pembangunan meningkat dan kian


maju, nilai-nilai karakter di Tana Toraja tidak bisa dilepaskan dari
budaya tradisional setempat. Salah satunya bersumber dari tongkonan.
Hal inilah yang kemudian tetap dilestarikan sebagai bentuk
implementasi pendidikan karakter di Tana Toraja. Pola kehidupan sosial
yang mengedapankan sikap menghargai sesama dan tolong-menolong
merupakan nilai yang tetap dilestarikan, termasuk di sekolah.

112
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

Bagi masyarakat setempat, terdapat satu falsafat yang bersumber


pada tongkonan dan disebut “tongkonan dipoada’ ada’na, dipoaluk
alukna”. Maknanya, masyarakat adat Toraja harus memperhatikan
semua tindakan, tata kelakuan, pola hubungan sosial, norma, dan aturan
kehidupan yang dilandasi nilai keagamaan. Yang termasuk dalam
filosofi ini adalah karakter kejujuran.

Dalam penelitian yang dilakukan di lapangan didapatkan data


bahwa nilai kejujuran telah mengakar kuat di kalangan penduduk
Toraja. Aspek ini ditanamkan sejak kecil. Maka, sekolah tidaklah sulit
mengaplikasikan karakter jujur kepada siswa.

Contoh paling sederhana ialah tidak mencontek ketika ujian.


Apabila menemukan uang di lingkungan sekolah, siswa
menginformasikan hal itu ke pihak sekolah untuk diinformasikan
kepada yang lain. Beberapa hambatan yang ditemui, antara lain, masih
ada siswa yang tidak mengembalikan barang yang dipinjamnya dan ada
pula yang belum bisa menjaga rahasia informasi dari temannya.

Kendati demikian, sebenarnya nilai inti jujur sudah ditanamkan


begitu kuat di lingkungan keluarga dan sosial masyarakat Toraja. Prinsip
hidup ini menjadikan siswa telah terbiasa berbuat jujur untuk menjaga
adat istiadat yang berlaku.

Untuk membangun karakter cerdas, sekolah-sekolah


melakukan beberapa upaya. Misalnya, mengikutsertakan siswa dalam
perlombaan tingkat daerah hingga nasional. Dalam kegiatan belajar
mengajar, aspek kreativitas juga ditanamkan. Guru yang dianggap
sebagai sumber ilmu dianggap tempat terbaik untuk menjawab rasa
ingin tahu siswa.

Di luar pelajaran, siswa mengikuti kegiatan ekstrakurikuler


olahraga seperti sepak bola, basket, dan voli. Aktivitas olahraga ini selain
menyehatkan, juga melatih siswa untuk bertindak sportif dan mampu
menerapkan strategi yang baik guna memenangi pertandingan.

Untuk membangun karakter cerdas, budaya membaca juga

113
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

ditingkatkan. Hanya, hambatannya terletak pada keterbatasan bahan


bacaan. Tentu partisipasi pemerintah daerah amat dibutuhkan dalam
mengatasi masalah ini.

Di dalam kehidupan adat istiadat di Toraja, sudah menjadi tradisi


untuk saling meringankan beban. Hal ini terlihat pada acara adat
Rambu Solo, yaitu pesta kematian. Jika ada seorang teman yang akan
mengadakan acara pesta adat Rambu Solo, seluruh siswa dan tidak
hanya teman sekelasnya memberikan sumbangan secara sukarela dan
mengumpulkannya melalui OSIS yang menyerahkan sumbangan.
Inilah salah satu bentuk karakter peduli yang masih mengakar kuat.

Falsafah lain yang masih dipegang dengan baik adalah “misa’


kada dipotuo pantan kada dipomate, sangkutu’ banne sangboke
amboran”. Ungkapan tersebut bermakna bahwa keberhasilan
pembangunan hanya dapat diraih jika semua komponen yang ada
menjalin hubungan yang kuat sehingga tercipta persatuan dan kesatuan
dalam kebhinekaan. Ini juga menjadi bentuk kepedulian sosial.

Selain itu, terdapat falsafah Tallu Lolona yang mencakup


hubungan timbal balik antara makhluk ciptaan Tuhan, yaitu manusia,
tanaman, dan hewan yang harus terpelihara secara serasi dan seimbang.
Hal ini memungkinkan terciptanya kelestarian lingkungan dan
terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan.

Kesadaran kosmologis juga ditanamakan di sekolah-sekolah.


Sebab, manusia adalah bagian integral dari alam semesta sehingga harus
senantiasa menjaga interkoneksitas harmonis dengan alam semesta
berdasarkan kepercayaan dan kecintaan kepada Sang Pencipta.

Tindakan nyata terkait karakter peduli ini ialah tolong-


menolong kepada sesama yang merupakan salah satu sifat orang Toraja.
Biasanya, bencana alam yang ada di Toraja kebanyakan adalah tanah
longsor. Ketika terjadi bencana itu, siswa secara bersama-sama
mengumpulkan uang dan menyerahkannya melalui OSIS kepada
korban bencana.

114
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

Rasa kebersamaan dalam jiwa orang Tana Toraja menanamkan


bahwa semua teman adalah sama. Karena itu, di sekolah para siswa
sangat rukun seperti pula dalam kehidupan beragamanya yang begitu
rukun dan saling menghormati antara satu dan lainnya. Mereka
membaur antarteman tanpa perbedaan.

Kepedulian dalam hal budaya juga ditunjukkan oleh para siswa di


sekolah. Contohnya, menyanyikan lagu-lagu daerah Toraja ketika
upacara. Di kelas, terkadang guru memakai bahasa Toraja untuk
melestarikan kearifan lokal. Tidak heran jika dalam hal berkomunikasi
dengan sesama kawannya, siswa cenderung memakai bahasa Toraja.

Di sekolah ketua kelas biasanya bersama-sama dengan siswa


sekelas mengadakan rapat untuk menyelesaikan masalah yang ada. Jika
masalah tetap tidak dapat terselesaikan, mereka meminta bantuan guru
untuk bisa mengatasi permasalahan tersebut. Secara umum, karakter
peduli berjalan cukup baik di kalangan siswa-siswa Toraja yang salah
satunya disebabkan budaya peduli yang masih mengakar di lingkungan
setempat.

Karakter tangguh merupakan salah satu nilai tongkonan yang


dikombinasikan dengan cara pandang secara global di kalangan
masayarakat Toraja. Misalnya, Karapasan. Nilai ini bersumber dari
falsafah Tongkonan, yaitu usaha mempertahankan dan memelihara
kedamaian serta kerukunan dengan sesama warga. Tujuannya adalah
menciptakan kehidupan yang harmonis. Ungkapan terkenal untuk
menggambarkan hal ini adalah unnali melo (membeli kebaikan) atau
“la’biran tallan tu barang apa kela sisarak mira tu rara buku” (orang
rela mengorbankan harta bendanya daripada mengorbankan
persaudaraan).

Falsafah lain yang terkait dengan karakter tangguh ialah tallu


bakaa mencakup “kinaa/manarang, sugi’, barani.
kinaan/manarang” berarti bijaksana, mempunyai komitmen moralitas
yang tinggi, berkepribadian, rasa kesetiakawanan sosial yang tinggi,
menjunjung tinggi supremasi hukum, dan memiliki kualitas intelektual.

115
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

Sugi’ artinya kaya secara luas, yaitu kaya dalam pengetahuan, kaya
dalam moralitas dan keimanan, serta kaya dalam materi. Barani artinya
berani mengambil keputusan, berani bertanggung jawab, terbuka, jujur,
dan sportif.

Karena itu, nilai ketangguhan sebenarnya sudah menjadi aspek


penting dalam kehidupan sehari-hari dan falsafah hidup masyarakat
Toraja. Dalam kegiatan di sekolah, karakter tangguh menjadi modal
penting. Siswa didorong untuk terbiasa bekerja keras dan punya upaya
tinggi untuk mencapai hasil yang diinginkan.

Sikap tidak mudah menyerah juga ditananamkan di sekolah.


Misalnya, berusaha menggapai cita-cita. Namun, hambatannya
biasanya datang dari dukungan orang tua. Secara umum, aspek
ketangguhan telah ditanamkan di sekolah di semua jenjang.

G. Identitas Kultural dan Karakter Siswa-Siswa Rote Ndao


(NTT)

1. Identitas Kultural

Kabupaten Rote Ndao merupakan daerah pemekaran dari


Kabupaten Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur yang dibentuk
berdasarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2002. Kabupaten ini
mempunyai luas wilayah 1280,10 km2 yang terdiri dari 96 pulau. Ada
6(enam) pulau berpenghuni (P. Rote, P. Usu, P. Nuse, P. Ndao, P. Landu
dan P. Do'o }. Secara geografis Kabupaten Rote Ndao terletak antara 10o
25' – 11 0 LS, dan 121 0 49 - 123 0 26 BT. Wilayah kabupaten Rote Ndao
secara klimatologi sama halnya dengan iklim di daerah lainnya di NTT
yaitu iklim kering yang dipengaruhi angin muson, temperatur berkisar
antara 23,6 0 C- 27 0 C.

Kabupaten Rote Ndao mayoritas penduduknya memeluk agam


Kristen Protestan. Kabupaten ini didominasi oleh suku asli Rote dan
minoritasnya adalah para pendatang yang berasal dari Sulawesi, NTB,

116
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

dan Jawa yang mayoritas muslim. Kondisi sosial masyarakat kabupaten


Rote Ndao memiliki keadaan sosial yang sangat santun, jujur dan
bersahabat serta terbuka dalam hal menerima pendatang. Aktivitas
ekonomi jelas terlihat pada bidang pertanian, kelautan, perkebunan dan
jasa.

Kabupaten Rote Ndao memiliki ragam budaya, dimulai dari


budaya kehidupan bermasyarakat yang dicirikan dengan hadirnya sosok
To’o yang dianggap sakral dikehidupan bermasyarakat. To’o merupakan
nama lain dari Paman, kedudukan To’o dalam hukum adat Rote Ndao
sangat penting perannya. Dalam masyarakat Rote dikenal kelompok
marga yang disebut Leo dan kepala marganya disebut mane leo. Di
samping marga tersebut ada keluarga batih, uma leo ( seasal dan lahir
dari satu kandungan) = uma isi, yang artinya seisi rumah.

Filosofi kehidupan orang Rote tercermin dalam ungkapan “maa


tua do lefe bafi” yang artinya kehidupan dapat bersumber cukup dari
mengiris tuak dan memelihara babi. Orang-orang Rote memulai
perkampungan melalui pengelompokan keluarga dari pekerjaan
mengiris tuak dan menempati suatu kawasan yang banyak ditanami
pohon lontar.

2. Karakter Siswa

Nilai karakter yang dikembangkan di masyarakat Rotendao


adalah nilai jujur, cerdas peduli dan tangguh. Karakter jujur yang
dikembangkan di sekolah dapat terlihat dari sikap mereka yang
menghormati dan menghargai guru, sikap ini sudah tertanam dari
keluarga mereka yang terbiasa untuk saling menghormati orang yang
lebih tua. Sikap saling menghormati tersebut tergambar dari sikap sopan
santun mereka saat bertemu ataupun berbicara dengan orang yang lebih
tua, hal ini sesuai dengan prinsip mereka “ki pedai li ngado kepai donga
watua edo-edo” (jika berbicara dengan orang tua baiklah dengan rendah
hati).

117
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

Sementara itu, sikap peduli yang dibiasakan di sekolah adalah


sikap saling menolong apabila terdapat teman yang mengalami
kesusahan hal ini didasarkan pada sikap solidaritas yang mereka miliki
sehingga mereka memiliki kepekaan dalam merasakan penderitaan
yang dimiliki oleh orang lain. Rasa solidaritas yang mereka miliki juga
mendasari sikap saling berbagi antar sesama teman, merawat tanaman
sekolah bersama, serta saling menghargai teman yang beribadah sesuai
kepercayaan yang dianut. Sikap solidaritas yang ditanamkan ini
membuat rasa kebersamaan dan persaudaraan di antara mereka sangat
erat, sesuai dengan ungkapan “ie lowe wini dome mude para lai”
(banyak saudara gampang dalam semua hal). Sikap peduli memiliki arti
penting dalam kehidupan masyarakat Rotendao, selain mendasari sikap
solidaritas kepedulian yang ditanamkan juga berpengaruh dalam sikap
loyalitas siswa di di sekolah hal ini ditunjukan dengan kesediaan siswa
mewakili sekolah dalam perlombaan olah raga ataupun yang bersifat
akademik dengan melakukan kompetisi tersebut dengan jujur.

Karakter nilai cerdas ditunjukan dengan adanya kegiatan OSIS, di


lingkungan sekolah OSIS merupakan organisasi yang menampung
semua kreativitas siswa. Dalam memilih ketua ataupun anggotanya,
siswa dituntut cerdas dalam melihat visi dan misi masing-masing calon
sehingga mampu memajukan sekolah dan dapat mengolah semua
kreativitas siswa dengan baik. Dengan nilai cerdas yang dimiliki oleh
siswa maka mereka tidak hanya dapat menyampaikan kritik saja
melainkan juga menyampaikan saran dan intropeksi untuk
memperbaiki kegiatan yang dirasakan masih kurang. Karakter nilai
cerdas juga dapat dilihat dari suasana pembelajaran di kelas, hal ini
ditunjukan dengan kebiasaan siswa merencanakan kegiatan yang akan
dilakukan serta mengoreksi kembali tugas yang diberikan oleh guru.
Mereka juga terbiasa dalam menyelesaikan masalah dengan cara
mencari jalan keluar bersama-sama.

Karekter nilai peduli yang dikembangkan erat kaitannya dengan


rasa kebersamaan dan persaudaraan yang di pegang teguh oleh siswa.

118
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

Rasa kebersamaan dan persaudaraan telah tertanam dalam diri siswa,


sesuai dengan ungkapan “kedii na helau do me jedi ngaole” yang artinya,
(bangun bersama-sama pasti duduk dengan indah). Dengan adanya
rasa kebersamaan ini akan membuat siswa memiliki perasaan senang
ketika mereka membantu sesama terutama jika ada teman yang
mengalami kesusahan seperti menjenguk saat teman sakit serta
memberikan bantuan kepada teman yang tertimpa kesusahan atau
bencana. Rasa persaudaraan yang kuat membuat siswa tidak saling
membeda-bedakan satu dengan yang lainnya, baik jenis kelamin,ras
maupun status sosial. Saat terjadi pertengkaran akan diselesaikan
dengan musyawarah sehingga antar siswa akan cepat rukun kembali.
Selain rasa kepedulian dalam hubungan sosial, rasa kepedulian siswa
terhadap daerahnya juga ditunjukkan dengan banyak di antara mereka
yang hafal dengan lagu-lagu daerah bahkan lagu nasional, dalam
keseharian, siswa menggunakan bahasa daerah dalam berkomunikasi.

Sementara itu, sikap peduli yang dibiasakan di sekolah adalah


sikap saling menolong apabila terdapat teman yang mengalami
kesusahan hal ini didasarkan pada sikap solidaritas yang mereka miliki
sehingga mereka memiliki kepekaan dalam merasakan penderitaan
yang dimiliki oleh orang lain. Rasa solidaritas yang mereka miliki juga
mendasari sikap saling berbagi antar sesama teman, merawat tanaman
sekolah bersama, serta saling menghargai teman yang beribadah sesuai
kepercayaan yang dianut. Sikap solidaritas yang ditanamkan ini
membuat rasa kebersamaan dan persaudaraan di antara mereka sangat
erat, sesuai dengan ungkapan “ie lowe wini dome mude para lai”
(banyak saudara gampang dalam semua hal). Sikap peduli memiliki arti
penting dalam kehidupan masyarakat Rotendao, selain mendasari sikap
solidaritas kepedulian yang ditanamkan juga berpengaruh dalam sikap
loyalitas siswa di di sekolah hal ini ditunjukan dengan kesediaan siswa
mewakili sekolah dalam perlombaan olah raga ataupun yang bersifat
akademik dengan melakukan kompetisi tersebut.

Karakter yang dikembangkan selanjutnya adalah karakter

119
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia

tangguh. Karakter tangguh yang dikembangkan di sekolah adalah


siswa senantiasa bekerja keras dalam menyelesaikan tugas yang
diberikan oleh guru. Siswa senantiasa berhati-hati dalam mengerjakan
tugas yang diberikan oleh guru dengan bekerja keras dan bertanggung
jawab serta berusaha mencari sumber bahan ajar yang dianjurkan oleh
guru. Tindakan ini didasari pula dengan rasa keingintahuan siswa dan
semangat, motivasi dan jiwa kompetisi untuk memperoleh nilai
tertinggi. Salah satu sikap tannguh yang diperlihatkan oleh siswa adalah,
siswa senantiasa menjaga agar pekerjaan rumah yang telah mereka
kerjakan tidak dicontek oleh temannya. Sikap tangguh ini akan
mendorong rasa keberanian siswa untuk mempertahankan apa yang
dinilai benar oleh mereka seperti, berani mengatakan tidak atas perintah
guru yang dipandangnya tidak baik dan berani menegur kakak kelas jika
dipandang mereka melakukan tindakan yang salah. Dengan demikian,
siswa akan terbiasa memiliki alasan sebelum mengambil keputusan,
sehingga tidak mudah dipengaruhi orang lain. Adanya sikap tangguh ini
juga akan melatih siswa untuk bekerja keras dan memiliki prinsip bahwa
setiap kerja keras akan mendatangkan sesuatu yang bermanfaat.

120
121
BAB IV
REVITALISASI PENDIDIKAN KARAKTER

D
alam sejarah pendidikan di Indonesia diketahui bahwa dahulu
sempat dilaksanakan pendidikan budi pekerti, di samping
diajarkan pula etika dan tata karma, yang esensinya adalah
pendidikan karakter. Sebagai bagian dari pendidikan agama juga telah
diajarkan akhlak. Dengan karut marutnya moralitas sebagian remaja
dan generasi muda dewasa ini, ditanbah lagi dengan semakin beratnya
tantangan global, disepakati untuk menghidupkan kembali, atau
memberikan jiwa kembali kepada pendidikan karakter di sekolah.
Diharapkan dengan revitalisasi pendidikan karakter ini, yang
memanfaatkan potensi setiap siswa yang telah dibekali dengan nilai-
nilai lokal sesuai dengan identitas kulturalnya masing-masing akan
terlahir peserta didik, agen pembaharuan yang siap bertarung dalam
persaingan global.

A. Urgensi Pendidikan Karakter di Sekolah

Institusi sekolah memiliki beban tugas yang penting, tidak


sebatas membangun dan meningkatkan penguasaan informasi dan
teknologi dari anak didik, tetapi juga bertugas dalam pembentukan
kapasitas bertanggung jawab siswa dan kapasitas pengambilan
keputusan yang bijak dalam kehidupan. Hal ini sesuai dengan yang
diungkapkan oleh Horace Mann (1837),: “the highest and noblest office
of education pertains to our moral nature. The common school should
teach virtue before knowledge, for.. knowledge without virtue poses its
own dangers “ Selanjutnya menurut Mann (1796-1859) sekolah
haruslah menjadi penggerak utama dalam pendikan yang bebas (free
Revitalisasi Pendidikan Karakter

public education), dimana pendidikan sebaiknya bersifat universal,


tidak memihak (non sectarian), dan bebas. Dengan demikian menurut
Mann sejalan dengan John Dewey, seorang filsuf pendidikan, tujuan
utama pendidikan adalah sebagai penggerak efisiensi sosial, pembentuk
kebijakan berkewarganegaraan (civic virtue) dan penciptaan manusia
berkarakter, jadi bukan untuk kepentingan salah satu pihak tertentu
(sectarian ends).

Sejalan dengan pendapat Mann di atas, Brooks dan Goble


membuat rumusan paradigma baru pembelajaran dalam bukunya The
Case for Character Education agar sistem pendidikan moral tidak lagi
memikirkan tentang nilai-nilai siapa yang akan diajarkan pada siswa di
sekolah, akan tetapi perlu dipikirkan nilai-nilai apa yang akan diajarkan
pada siswa (what values should we teach?). Dia juga menekankan
bahwa agama-agama besar di Amerika telah memiliki kesamaan dalam
hal pendidikan karakter dan mempunyai nilai-nilai luhur yang dapat
ditemukan dalam masing-masing ajaran agamanya:

Menurut W.Bennett (1991) sekolah mempunyai peran yang amat


penting dalam pendidikan karakter anak, terutama jika anak-anak tidak
mendapatkan pendidikan karakter di rumah. Argumennya didasarkan
kenyataan bahwa anak-anak Amerika menghabiskan cukup banyak
waktu di sekolah, dan apa yang terekam dalam memori anak-anak di
sekolah akan mempengaruhi kepribadian anak ketika dewasa kelak.

Di Indonesia yang kaya dengan nilai-nilai kearifan lokal, agama di


ajarkan di sekolah-sekolah, namun kelihatannya pendidikan moral
masih belum berhasil dengan baik, dilihat dari parameter kejahatan dan
demoralisasi masyarakat yang tampak meningkat dewasa ini. Dilihat
dari esensinya seperti yang terlihat dari kurikulum pendidikan agama
tampaknya agama lebih mengajarkan pada dasar-dasar agama,
sementara akhlak atau kandungan nilai-nilai kebaikan belum
sepenuhnya disampaikan. Dilihat dari metode pembelajaran pun
tampaknya masih terjadi kelemahan karena metode pembelajaran yang
disampaikan dikonsentrasikan atau terpusat pada pendekatan otak

122
Revitalisasi Pendidikan Karakter

kiri/kognitif, yaitu hanya mewajibkan siswa didik untuk mengetahui dan


menghafal (memorization) konsep dan kebenaran tanpa menyentuh
perasaan, emosi, dan nuraninya. Selain itu tidak dilakukan praktik
perilaku dan penerapan nilai kebaikan dan akhlak mulia dalam
kehidupan di sekolah. Ini merupakan kesalahan metodologis yang
mendasar dalam pengajaran moral bagi manusia. Karena itu tidaklah
aneh jika kemudian banyak sekali dijumpai inkonsistensi antara apa
yang diajarkan di sekolah dengan apa yang diterapkan anak di
masyarakat. Dengan demikian peran orangtua dalam pendidikan agama
untuk membentuk karakter anak (baca: akhlak) menjadi amat mutlak,
karena melalui orangtua pulalah anak memperoleh kesinambungan
nilai-nilai kebaikan yang telah diketahuinya di sekolah. Tanpa
keterlibatan orangtua dan keluarga maka sebaik apapun nilai-nilai yang
diajarkan di sekolah akan menjadi sia-sia, sebab pendidikan karakter
(akhlak, moral dan etika) harus mengandung unsur afeksi, perasaan,
sentuhan nurani, dan praktiknya sekaligus dalam bentuk amalan
kehidupan sehari-hari.

B. Strategi Implementasi Pendidikan Karakter di Sekolah

Membangun karakter melalui pintu pendidikan harus dilakukan


secara komprehensif-integral, dan berkelanjutan tidak hanya melalui
pendidikan formal, namun juga melalui pendidikan informal dan non
formal. Selama ini, ada kecenderungan pendidikan formal, informal dan
non formal, berjalan terpisah satu dengan yang lainnya. Akibatnya,
pendidikan karakter seolah hanya menjadi tanggung jawab sekolah
secara parsial.

Banyak hal yang membuat miris ketika mengamati sistem


pendidikan kita. Di depan mata, nilai-nilai kejujuran telah diinjak-injak.
Mencontek, menjiplak karya orang lain, melakukan sabotase, adalah hal
yang sering terjadi dan dianggap biasa. Pendidikan kita selama ini,
sepertinya lebih banyak menghasilkan generasi yang pandai mengeluh,
kurang tangguh, kurang peduli, dan suka mengambil jalan pintas.

123
Revitalisasi Pendidikan Karakter

Untuk menanamkan nilai kejujuran misalnya, sekolah ramai-


ramai membuat kantin kejujuran. Anak diajak untuk jujur dalam
membeli dan membayar barang yang dibeli tanpa ada yang
mengontrolnya. Namun sayang, gagasan yang bagus dalam
mengembangkan nilai kejujuran ini mengabaikan prinsip dasar
pedagogi pendidikan berupa kedisiplinan sosial yang mampu
mengarahkan dan membentuk pribadi anak didik. Akibatnmya justru
terjadi kecurangan, banyak anak yang mengambil sesuatu di kantin
kejujuran tanpa membayar.

Sementrara itu, di rumah, PR yang harusnya dikerjakan oleh anak


justru dikerjakan oleh orangtua atau kakaknya, mereka bukan
mendampingi dan menuntun anak untuk menyelesaikan PR tersebut.
Di sekolah, sering kali ditemukan anak-anak yang mencontek ketika
ujian, karena mengejar target kelulusan dengan nilai tinggi. Demikian
juga perilaku masyarakat banyak yang memberi contoh kurang
mendidik seperti perilaku kurang sopan, mencuri, kebiasaan melanggar
aturan lalu-lintas, menyerobot ketika antre, dan lainnya.

Belajar dari pengalaman selama ini idealnya secara institusional,


Pemerintah hendaknya memasukkan pendidikan budaya dan karakter
bangsa menjadi ‘ruh’ dari burikulum, sebagai bagian dari penguatan
sistem pendidikan nasional bukan sekadar diintegrasikan, mulai dari
tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Hal ini penting dilakukan
agar nilai-nilai budaya dan karakter bangsa itu tetap melekat pada diri
anak sehingga tidak terjadi lost generation dalam hal budaya dan
karakter bangsa. Keluaran (output) pendidikan harus direorientasi
pada keseimbangan tiga unsur pendidikan berupa karakter diri,
pengetahuan, dan soft skill. Jadi bukan hanya berhasil mewujudkan
anak didik yang cerdas pikir, tetapi juga cerdas hati, cerdas rasa dan
karsa , dan cerdas raga.

Beberapa catatan awal ini sebenarnya masih sangat sederhana


dan tidak akan menjawab rumitnya pembangunan karakter di negeri
tercinta ini. Ringkasnya, pendidikan karakter hanya bisa berhasil jika

124
Revitalisasi Pendidikan Karakter

dimulai dari hal-hal yang mendasar, keseharian, dan yang terkadang


kelihatannya sepele, bukan dengan retorika dan slogan-slogan yang
fantastis. Masih teringat kalimat Bung Karno sebagi inti nation and
character building, “Satukan kata dan perbuatan!”. Konsekuen,
istiqamah!

Menurut Brooks dan Gooble dalam menjalankan pendidikan


karakter terdapat tiga elemen yang penting untuk diperhatikan yaitu
prinsip, proses, dan praktiknya dalam pengajaran. Dalam menjalankan
prinsip itu maka nilai-nilai yang diajarkan harus termanifestasikan
dalam kurikulum sehingga semua siswa dalam sekolah paham benar
tentang nilai-nilai tersebut dan mampu menerjemahkannya dalam
perilaku nyata. Untuk itu maka diperlukan pendekatan optimal untuk
mengajarkan karakter secara efektif yang menurut Brooks dan Goble
harus diterapkan di seluruh sekolah (school-wide approach).

Pendekatan yang sebaiknya dilaksanakan adalah meliputi,

(1) sekolah harus dipandang sebagai suatu lingkungan yang


diibaratkan seperti pulau dengan bahasa dan budayanya sendiri. Namun
sekolah juga harus memperluas pendidikan karakter bukan saja kepada
guru, staf dan siswa didik, tetapi juga kepada keluarga/rumah dan
masyarakat sekitarnya. (2) dalam menjalankan kurikulum pendidikan
karakter, sebaiknya: a) pengajaran tentang nilai-nilai berhubungan
dengan sistem sekolah secara keseluruhan; b) diajarkan sebagai subjek
yang berdiri sendiri (separate-stand alone subject) namun tetap
diintegrasikan dalam kurikulum sekolah keseluruhan; c) seluruh staf
menyadari dan mendukung tema nilai yang diajarkan, (3) penekanan
dilakukan untuk mendorong siswa menerjemahkan prinsip nilai ke
dalam bentuk perilaku pro-sosial. Hal ini penting dilakukan agar nilai-
nilai budaya dan karakter itu tetap melekat pada diri anak sehingga tidak
terjadi lost generation dalam hal budaya dan karakter bangsa. Keluaran
(output) pendidikan harus direorientasi pada keseimbangan tiga unsur
pendidikan berupa karakter diri, pengetahuan, dan soft skill. Jadi bukan
hanya berhasil mewujudkan anak didik yang cerdas otak, tetapi juga

125
Revitalisasi Pendidikan Karakter

cerdas hati, dan cerdas raga.

Dalam kaitan ini, Lickona (2007) menyatakan: terdapat 11 prinsip


agar pendidikan karakter dapat berjalan efektif: (1) kembangkan nilai-
nilai etika inti dan nilai-nilai kinerja pendukungnya sebagai fondasi, (2)
definisikan “karakter” secara komprehensif yang mencakup pikiran,
perasaan, dan perilaku, (3) gunakan pendekatan yang komprehensif,
disengaja, dan proaktif, (4) ciptakan komunitas sekolah yang penuh
perhatian, (5) beri siswa kesempatan untuk melakukan tindakan moral,
(6) buat kurikulum akademik yang bermakna dan menantang yang
menghormati semua peserta didik, mengembangkan karakter, dan
membantu siswa untuk berhasil, (7) usahakan mendorong motivasi diri
siswa, (8) libatkan staf sekolah sebagai komunitas pembelajaran dan
moral, (9) tumbuhkan kebersamaan dalam kepemimpinan moral, (10)
libatkan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra, dan (11)
evaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai pendidik karakter,
dan sejauh mana siswa memanifestasikan karakter yang baik.

Agar dapat berjalan efektif, pendidikan karakter sebaiknya


dilakukan melalui tiga desain, yakni; (1) Desain berbasis kelas, yang
berbasis pada relasi guru sebagai pendidik dan siswa sebagai pebelajar,
(2) Desain berbasis kultur sekolah, yang berusaha membangun kultur
sekolah yang mampu membentuk karakter anak didik dengan bantuan
pranata sosial sekolah agar nilai tertentu terbentuk dan terbatinkan
dalam diri siswa, dan (3) Desain berbasis komunitas. Dalam mendidik,
komunitas sekolah tidak berjuang sendirian. Masyarakat di luar
lembaga pendidikan, seperti keluarga, masyarakat umum, media, dan
negara, juga memiliki tanggung jawab moral untuk mengintegrasikan
pembentukan karakter dalam konteks kehidupan mereka.

Dengan desain demikian, pendidikan karakter akan senantiasa


hidup dan sinergi dalam setiap rongga pendidikan. Sejak anak lahir atau
bahkan masih dalam kandungan, ketika berada di lingkungan sekolah,
kembali ke rumah, dan bergaul dalam lingkungan sosial masyarakatnya,
akan selalu menjadi tempat bagi anak-anak untuk belajar, mencontoh,

126
Revitalisasi Pendidikan Karakter

dan mengaktualisasikan nilai-nilainya yang dipelajari dan dilihatnya itu.

C. Pentingnya Peranan Keluarga dalam Pendidikan Karakter

Keluarga merupakan pilar pertama dalam membangun


pendidikan karakter seseorang. Anak-anak akan tumbuh menjadi
pribadi yang berkarakter apabila dapat tumbuh pada lingkungan yang
berkarakter, sehingga fitrah setiap anak yang dilahirkan suci dapat
berkembang segara optimal. Mengingat lingkungan anak bukan saja
lingkungan keluarga yang sifatnya mikro, maka semua pihak - keluarga,
sekolah, media massa, komunitas bisnis, dan sebagainya-turut andil
dalam perkembangan karakter anak. Mengembangkan generasi penerus
bangsa yang berkarakter baik adalah tanggung jawab semua pihak.

Keluarga memiliki peran penting dalam menentukan kemajuan


suatu bangsa, sehingga ada teori yang menyatakan bahwa keluarga
adalah unit yang penting sekali dalam masyarakat, sehingga jika
keluarga yang merupakan fondasi masyarakat lemah, maka masyarakat
pun akan lemah. Oleh karena itu, para sosiolog meyakini bahwa berbagai
masalah masyarakat - seperti kejahatan seksual dan kekerasan yang
merajalela, serta segala macam kebobrokan di masyarakat - merupakan
akibat dari lemahnya institusi keluarga.

Bagi seorang anak, keluarga merupakan tempat pertama dan


utama bagi pertumbuhan dan perkembangannya. Keluarga berfungsi
sebagai sarana mendidik, mengasuh, dan menanamkan jiwa pro-sosial
anak, mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar dapat
menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik, serta memberikan
kepuasan dan lingkungan yang sehat guna tercapainya keluarga,
sejahtera”. Kegagalan dalam mendidik dan membina anak di keluarga,
akan berakibat sulit sekali bagi institusi lain untuk memperbaiki
kegagalan-kegagalannya.

Oleh karena itu keluarga merupakan wahana pertama dan utama


bagi pendidikan karakter anak. Apabila keluarga gagal melakukan

127
Revitalisasi Pendidikan Karakter

pendidikan karakter pada anak-anaknya, maka akan sulit bagi institusi


lain di luar keluarga, (termasuk sekolah) untuk memperbaikinya.
Kegagalan keluarga dalam membentuk karakter anak akan berakibat
pada tumbuhnya masyarakatyang tidak berkarakter, atau berkarakter
anti-sosial. Oleh karena itu, setiap keluarga harus memiliki kesadaran
bahwa karakter bangsa sangat tergantung pada pendidikan karakter
anak di rumah.

Keberhasilan keluarga dalam menanamkan nilai-nilai kebajikan


(karakter) pada anak sangat tergantung kepada jenis pola asuh yang
diterapkan orang tua pada anaknya. Pola asuh dapat didefinisikan
sebagai pola interaksi antara anak dengan orangtua yang meliputi
pemenuhan kebutuhan fisik (seperti makan, minum dan lain-lain) dan
kebutuhan psikologis (seperti rasa aman, kasih sayang dan lain-lain),
serta sosialisasi norma-norma yang berlaku di masyarakat dan agama
agar anak dapat hidup selaras dengan lingkungannya. Dengan kata lain,
pola asuh juga meliputi pola interaksi orangtua dengan anak dalam
rangka pendidikan karakter anak.

Secara umum, Hurlock mengkategorikan pola asuh menjadi tiga


jenis, yaitu : (1) Pola asuh otoriter, (2) Pola asuh demokratis, dan (3) Pola
asuh permisif. Pola asuh otoriter mempunyai ciri orangtua membuat
semua keputusan, anak harus tunduk, patuh, dan tidak boleh bertanya.
Pola asuh demokratis mempunyai ciri orangtua mendorong anak untuk
membicarakan apa yang ia inginkan. Pola asuh permisif mempunyai ciri
orangtua memberikan kebebasan penuh pada anak untuk berbuat. Kita
dapat mengetahui pola asuh apa yang diterapkan oleh orang tua dari ciri-
ciri masing-masing pola asuh tersebut, yaitu sebagai berikut :

Pola asuh otoriter mempunyai ciri : 1) Kekuasaan orangtua


dominan; 2) Anak tidak diakui sebagai pribadi; 3) Kontrol terhadap
tingkah laku anak sangat ketat; 4) Orangtua menghukum anak- jika anak
tidak patuh. Sementara pola asuh demokratis mempunyai ciri :1) Ada
kerjasama antara orangtua – anak.; 2) Anak diakui sebagai pribadi; 3)
Ada bimbingan dan pengarahan dari orangtua; 4) Ada kontrol dari

128
Revitalisasi Pendidikan Karakter

orangtua yang tidak kaku. Selanjutnya pola asuh permisif mempunyai


ciri :1) Dominasi pada anak; 2) Sikap longgar atau kebebasan dari
orangtua; 3) Tidak ada bimbingan dan pengarahan dari orangtua; 4)
Kontrol dan perhatian orangtua sangat kurang.

Melalui pola asuh yang dilakukan oleh orang tua, anak belajar
tentang banyak hal, termasuk karakter. Tentu saja pola asuh otoriter
(yang cenderung menuntut anak untuk patuh terhadap segala keputusan
orang tua) dan pola asuh permisif (yang cenderung memberikan
kebebasan penuh pada anak untuk berbuat) sangat berbeda dampaknya
dengan pola asuh demokratis (yang cenderung mendorong anak untuk
terbuka, namun bertanggung jawab dan mandiri) terhadap hasil
pendidikan karakter anak. Artinya, jenis pola asuh yang diterapkan oleh
orang tua terhadap anaknya menentukan keberhasilan pendidikan
karakter anak oleh keluarga.

Pola asuh otoriter cenderung membatasi perilaku kasih sayang,


sentuhan, dan kelekatan emosi orangtua - anak sehingga antara orang
tua dan anak seakan memiliki dinding pembatas yang memisahkan “si
otoriter” (orang tua) dengan “si patuh” (anak). Studi yang dilakukan oleh
Fagan (dalam Badingah, 1993) menunjukan bahwa ada keterkaitan
antara faktor keluarga dan tingkat kenakalan keluarga, di mana keluarga
yang broken home, kurangnya kebersamaan dan interaksi antar
keluarga, dan orang tua yang otoriter cenderung menghasilkan remaja
yang bermasalah. Pada akhirnya, hal ini akan berpengaruh terhadap
kualitas karakter anak.

Pola asuh permisif yang cenderung memberi kebebesan terhadap


anak untuk berbuat apa saja sangat tidak kondusif bagi pembentukan
karakter anak. Bagaimana pun anak tetap memerlukan arahan dari
orang tua untuk mengenal mana yang baik dan mana yang salah. Dengan
memberi kebebasan yang berlebihan, apalagi terkesan membiarkan,
akan membuat anak bingung dan berpotensi salah arah.

Pola asuh demokratis tampaknya lebih kondusif dalam


pendidikan karakter anak. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian yang

129
Revitalisasi Pendidikan Karakter

dilakukan oleh Baumrind yang menunjukkan bahwa orangtua yang


demokratis lebih mendukung perkembangan anak terutama dalam
kemandirian dan tanggungjawab. Sementara, orangtua yang otoriter
merugikan, karena anak tidak mandiri, kurang tanggungjawab serta
agresif, sedangkan orangtua yang permisif mengakibatkan anak kurang
mampu dalam menyesuaikan diri di luar rumah. Menurut Arkoff (dalam
Badingah, 1993), anak yang dididik dengan cara demokratis umumnya
cenderung mengungkapkan agresivitasnya dalam tindakan-tindakan
yang konstruktif atau dalam bentuk kebencian yang sifatnya sementara
saja. Di sisi lain, anak yang dididik secara otoriter atau ditolak memiliki
kecenderungan untuk mengungkapkan agresivitasnya dalam bentuk
tindakan-tindakan merugikan. Sementara itu, anak yang dididik secara
permisif cenderung mengembangkan tingkah laku agresif secara
terbuka atau terang-terangan.

Menurut Middlebrook (1993), hukuman fisik yang umum


diterapkan dalam pola asuh otoriter kurang efektif untuk membentuk
tingkah laku anak karena : (a) menyebabkan marah dan frustasi (dan ini
tidak cocok untuk belajar); (b) adanya perasaan-perasaan menyakitkan
yang mendorong tingkah laku agresif; (c) akibat-akibat hukuman itu
dapat meluas sasarannya, misalnya anak menahan diri untuk memukul
atau merusak pada waktu ada orangtua tetapi segera melakukannya
setelah orangtua tidak ada; (d) tingkah laku agresif orangtua menjadi
model bagi anak.

Hasil penelitian Rohner (2003) menunjukkan bahwa


pengalaman masa kecil seseorang sangat mempengaruhi perkembangan
kepribadiannya (karakter atau kecerdasanemosinya). Penelitian
tersebut - yang menggunakan teori PAR (Parental Acceptance-Rejection
Theory)- menunjukkan bahwa pola asuh orang tua, baik yang menerima
(acceptance) atau yang menolak (rejection) anaknya, akan
mempengaruhi perkembangan emosi, perilaku, sosial-kognitif, dan
kesehatan fungsi psikologisnya ketika dewasa kelak.

Dalam hal ini, yang dimaksud dengan anak yang diterima adalah

130
Revitalisasi Pendidikan Karakter

anak yang diberikan dengan kasih sayang, baik secara verbal (diberikan
kata-kata cinta dan kasih sayang, kata-kata yang membesarkan hati,
dorongan, dan pujian), maupun secara fisik (diberi ciuman, elusan di
kepala, pelukan, dan kontak mata yang mesra). Sementara, anak yang
ditolak adalah anak yang mendapat perilaku agresif orang tua, baik
secara verbal (kata-kata kasar, sindiran negatif, bentakan, dan kata-kata
lainnya yang dapat mengecilkan hati), ataupun secara fisik (memukul,
mencubit, atau menampar). Sifat penolakan orang tua dapat juga
bersifat indiference atau neglect, yaitu sifat yang tidak mempedulikan
kebutuhan anak baik fisik maupun batin, atau bersifat undifferentiated
rejection, yaitu sifat penolakan yang tidak terlalu tegas terlihat, tetapi
anak merasa tidak dicintai dan diterima oleh orang tua, walaupun orang
tua tidak merasa demikian.

Penelitian menunjukkan bahwa pola asuh orang tua yang


menerima membuat anak merasa disayang, dilindungi, dianggap
berharga, dan diberi dukungan oleh orang tuanya. Pola asuh ini sangat
kondusif mendukung pembentukan kepribadian yang pro-sosial,
percaya diri, dan mandiri namun sangat peduli dengan lingkungannya.
Sementara itu, pola asuh yang menolak dapat membuat anak merasa
tidak diterima, tidak disayang, dikucilkan, bahkan dibenci oleh orang
tuanya. Anak-anak yang mengalami penolakan dari orang tuanya akan
menjadi pribadi yang tidak mandiri, atau kelihatan mandiri tetapi tidak
mempedulikan orang lain. Selain itu anak ini akan cepat tersinggung,
dan berpandangan negatif terhadap orang lain dan terhadap
kehidupannya, bersikap sangat agresif kepada orang lain, atau merasa
minder dan tidak merasa dirinya berharga.

Menurut Megawangi (2003) ada beberapa kesalahan orang tua


dalam mendidik anak yang dapat mempengaruhi perkembangan
kecerdasan emosi anak sehingga berakibat pada pembentukan
karakternya, yaitu, (1) Kurang menunjukkan ekspresi kasih sayang baik
secara verbal maupun fisik. (2) Kurang meluangkan waktu yang cukup
untuk anaknya. (3) Bersikap kasar secara verbal, misainya menyindir,

131
Revitalisasi Pendidikan Karakter

mengecilkan anak, dan berkata-kata kasar, (4) Bersikap kasar secara


fisik, misalnya memukul, mencubit, dan memberikan hukuman badan
lainnya. (5) Terlalu memaksa anak untuk menguasai kemampuan
kognitif secara dini. (6) Tidak menanamkan “good character’ kepada
anak. Dampak yang ditimbulkan dari salah asuh seperti di atas, akan
menghasilkan anak-anak yang mempunyai kepribadian bermasalah
atau mempunyai kecerdasan emosi rendah. (7) Anak menjadi acuh tak
acuh, tidak butuh orang lain, dan tidak dapat menerima persahabatan.
Karena sejak kecil mengalami kemarahan, rasa tidak percaya, dan
gangguan emosi negatif lainnya. Ketika dewasa ia akan menolak
dukungan, simpati, cinta dan respons positif lainnya dari orang di
sekitarnya. la kelihatan sangat mandiri, tetapi tidak hangat dan tidak
disenangi oleh orang lain, (8) Secara emosional tidak responsif, dimana
anak yang ditolak akan tidak mampu memberikan cinta kepada orang
lain, (9) Berperilaku agresif, yaitu selalu ingin menyakiti orang baik
secara verbal maupun fisik, (10) Menjadi minder, merasa diri tidak
berharga dan berguna., (11) Selalu berpandangan negatif pada
lingkungan sekitarnya, seperti rasa tidak aman, khawatir, minder, curiga
dengan orang lain, dan merasa orang lain sedang mengkritiknya, (12)
Ketidakstabilan emosional, yaitu tidak toleran atau tidak tahan terhadap
stres, mudah tersinggung, mudah marah, dan sifat yang tidak dapat
dipreaiksi oleh orang lain, (13) Ketakseimbangan antara perkembangan
emosional dan intelektual. Dampak negatif lainnya dapat berupa mogok
belajar, dan bahkan dapat memicu kenakalan remaja, tawuran, dan
lainnya, (14) Orang tua yang tidak memberikan rasa aman dan terlalu
menekan anak, akan membuat anak merasa tidak dekat, dan tidak
menjadikan orangtuanya sebagai ”role model” Anak akan lebih percaya
kepada ”peer group”nya sehingga mudah terpengaruh dengan
pergaulan negatif.

D. Peran Kurikulum dalam Membangun Karakter Siswa

Nucci (2008:392) mengutip Bennett dan lainnya (1996)

132
Revitalisasi Pendidikan Karakter

menyatakan: Attending to the social experience of the students can


contribute much to their social and moral development. Schools can
extend their impact upon moral and social development through the
academic curriculum. This can occur in several ways. First, the
academic curriculum contains many instances in the context of literacy
and social studies of stories or events that replicate or reinforce social
and moral values that students may addressing in their direct everyday
experiences. Using literature to promote moral values has a long
history.Within traditional character education literature has been used
to promote moral or social values………Second , the formal curriculum
moves the students knowledge base beyond their own historical or
cultural framework, and has the potential to motivate students to
project themselves as members of a global community with
responsibilities for the social welfare of persons beyond their
immediate experience.

Berdasar pendapat Nucci di atas, yang diungkapkannya dalam


bukunya yang terkenal, Handbook of Moral and Character Education
(2008) dapat disimpulkan bahwa kurikulum, termasuk Kurikulum 2013
dapat mempengaruhi karakter siswa dengan dua cara. Pertama, secara
formal kurikulum memperkaya anak dengan nilai-nilai sosial dan moral
melalui literatur/bacaan yang banyak mengandung contoh-contoh dan
fakta sehari-hari yang mengedepankan perlunya berkarakter baik dan
santun, yang kedua melalui kurikulum para siswa diarahkan untuk
memahami nilai-nilai positif-baik yang terkandung dalam latar sejarah
dan budayanya. Agaknya melalui cara yang kedua inilah kurikulum
nasional Indonesia, terakhir melalui penerapan Kurikulum 2013, dapat
mempengaruhi pembentukan nilai-nilai positif-baik setiap siswa di
Indonesia.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, sebagai referensi dapat


kita acu bagaimana cara mengembangkan pendidikan karakter di
Filipina, negera tetangga Indonesia. Diprakarsai oleh Philliphines
Normal University, PNU, (sejenis IKIPnya Filipina) dalam programnya

133
Revitalisasi Pendidikan Karakter

yang bertajuk PNU-ACES (PNU-Affective-Cognitive Experience for Self


Direction) dikembangkan berbagai alternatif pendekatan dan strategi
pokok pengembangan nilai-nilai dalam pendidikan karakter (major
values development approach and strategies).

Keenam pendekatan dan strategi tersebut antara lain adalah,

1. Inkulkasi (inculcation), pendekatan ini bertujuan untuk


menginternalisasikan nilai-nilai (to instill or internalize) tertentu
kepada para siswa, untuk mengubah nilai-nilai siswa sedemikian
rupa sehingga mereka lebih siap merefleksikan nilai-nilai tertentu
yang diinginkan. Contoh strateginya memberikan model atau
teladan penguatan positif melalui pujian atau penguatan negatif
melalui terguran yang berkelanjutan.

2. Pengembangan moral (moral development), pendekatan ini


bertujuan untuk membantu siswa mengembangkan pola penalaran
moralnya yang lebih kompleks berlandaskan seperangkat nilai yang
lebih tinggi, mendorong siswa untuk mendiskusikan alasan mengapa
memilih nilai tertentu. Contoh strateginya diskusi kelompok kecil,
dan studi kasus. Teori dasarnya adalah konsep perkembangan moral
dari Lawrence Kohlberg.

3. Klarifikasi (clarification), tujuannya untuk membantu siswa


menyadari dan mengenali nilai-nilainya sendiri, maupun nilai-nilai
milik orang lain. membantu siswa untuk menggunakan dan
mengomunikasikan secara lebih terbuka dan jujur nilai-nilai yang
dipergunakannya untuk saling berbagi. Contoh strateginya, bermain
peran, simulasi, latihan analisis pribadi mendalam (in-depth self-
analysis).

4. Analisis, pendekatan ini bertujuan untuk membantu siswa dalam


mengunakan pemikiran logis dan prosedur saintifik dalam upaya
menyelidiki isu-isu sosial yang sedang berkembang. Contoh
strateginya menguji prinsip-prinsip, menganalisis kasus-kasus
analog.

134
Revitalisasi Pendidikan Karakter

5. Pembelajaran tindakan yang dilandasi pemikiran dan perasaan


(action learning-goes beyond thinking and feeling), tujuan
pendekatan ini adalah untuk memberikan kesempatan kepada siswa
ubntuk menemukan sesuatu dan bertindak berlandaskan nilai-
nilainya. Contoh strateginya adalah seluruh strategi yang diterapkan
pada pendekatan klarifikasi dan analisis nilai, serta projek aksi yang
melibatkan sekolah dan masyarakat sekitar.

6. Pendekatan transpersonal, tujuan pendekatan ini untuk


mengembangkan kesadaran yang lebih tinggi serta pencerahan
spiritual di antara para siswa. Contoh strateginya melalui meditasi,
istirahat dan relaksasi, fantasi singkat dan imajinasi. Landasan
teorinya adalah psikologi transpersonal yang berkembang akhir-
akhir ini.

Dengan demikian kehadiran Kurikulum 2013 niscaya dapat


mempengaruhi nilai-nilai karakter siswa melalui salah satu cara
tersebut di atas. Berdasarkan pengamatan praktik pendidikan karakter
di Indonesia, pendekatan yang sering digunakan dalam penanaman nilai
adalah inkulkasi melalui berbagai nasihat dan teguran yang terus-
menerus tiada jemu-jemunya, serta pendekatan transpersonal. Walau
relatif baru berkembang di masyarakat Barat, karena nuansa religious
yang kental di masyarakat Indonesia, penerapan pendekatan
transpersonal sudah dilakukan melalui praktik-praktik pembelajaran
secara formal maupun pendidikan informal.

Untuk memperkuat hal ini para guru pun harus menyadari peran
dan fungsinya terkait pendidikan karakter. Ada dua peran guru terkait
implementasi pendidikan karakter menurut PNU, yaitu, guru sebagai
fasilitator dalam pembelajaran afektif dan kognitif, serta guru sebagai
pengarah nilai (values director). Esensi guru sebagai fasilitator adalah
memfasilitasi agar dalam kondisi pembelajaran formal pengajaran
bahan ajar para ssiswa dapat membuat keputusan berdasarkan nilai-
nilai yang dianutnya serta mampu memanifestasikan orientasi nilainya.
Dengan demikian selama pembelajaran, kegiatan pembelajaran

135
Revitalisasi Pendidikan Karakter

distrukturkan sedemikian rupa sehingga para siswa mampu


menemukan nilai-nilainya sendiri, menjelaskan nilai-nilainya,
mendengarkan pandangan orang lain dan pada akhirnya membuat
sebuah keputusan yang bernilai. Guru sebagai pengarah nilai
seyogyanya mampu memproses pembelajaran sehingga para siswa
mampu menghayati penemuan nilainya sendiri, mengaitkannya dengan
nilai-nilai yang diketemukan kelompok belajarnya aehingga tercipta
keputusan kelompok terkait nilai.

Sesuai dengan pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003


tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan nasional berdasarkan
Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.sedangkan pasal 3 menegaskan bahwa pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beiman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Sehubungan dengan keinginan untuk mewujudkan tujuan


pendidikan nasional tersebut di atas Kurikulum 2013 disusun dengan
landasan filosofis tertentu. Landasan Filosofis dalam pengembangan
kurikulum menentukan kualitas peserta didik yang akan dicapai
kurikulum, sumber dan isi dari kurikulum, proses pembelajaran, posisi
peserta didik, penilaian hasil belajar, hubungan peserta didik dengan
masyarakat dan lingkungan alam di sekitarnya.

Kurikulum 2013 dikembangkan dengan landasan folosofis yang


memberikan dasar bagi pengembangan seluruh potensi peserta didik
menjadi manusia Indonesia berkualitas yang tercantum dalam tujuan
pendidikan nasional. Pada dasarnya tidak ada satupun filosofis
pendidikan yang dapat digunakan secara spesifik untuk pengembangan
kurikulum yang dapat menghasilkan manusia yang berkualitas.
Berdasarkan hal tersebut, Kurikulum 2013 dikembangkan

136
Revitalisasi Pendidikan Karakter

menggunakan filosofi sebagai berikut.

1. Pendidikan berakar pada budaya bangsa untuk membangun


kehidupan bangsa masa kini dan masa datang. Pandangan ini
menjadikan kurikulum 2013 dikembangkan berdasarkan budaya
bangsa Indonesia yang beragam, diarahkan untuk membangun
kehidupan masa kini, dan untuk membangun dasar bagi kehidupan
bangsa yang lebih baik di masa depan. Mempersiapkan peserta didik
untuk kehidupan masa depan selalu menjadi kepedulian kurikulum,
hal ini mengandung makna bahwa kurikulum adalah rancangan
bangsa. Dengan demikian, tugas mempersiapkan generasi muda
bangsa menjadi tugas utama suatu kurikulum. Untuk
mempersiapkan kehidupan masa kini dan masa depan peserta didik,
Kurikulum 2013 mengembangkan pengalaman belajar yang
memberikan kesempatan luas bagi peserta didik untuk menguasai
kompetensi yang diperlukan bagi kehidupan di masa kini dan masa
depan, dan pada waktu bersamaan tetap mengembangkan
kemampuan mereka sebagai pewaris budaya bangsa dan orang yang
peduli terhadap permasalahan masyarakat dan bangsa masa kini.

2. Peserta didik adalah pewaris budaya bangsa yang kreatif. Menurut


pandangan filosofi ini, prestasi bangsa di berbagai bidang kehidupan
di masa lampau adalah sesuatu yang harus termuat dalam isi
kurikulum untuk dipelajari peserta didik. Proses pendidikan adalah
suatu proses yang memberikan kesempatan kepada peserta didik
untuk mengembangkan potensi dirinya menjadi kemampuan
berpikir rasional dan kecemerlangan akademik dengan memberikan
makna terhadap apa yang dilihat, didengar, dibaca, dipelajari dari
warisan budaya berdasarkan makna yang ditentukan oleh lensa
budayanya dan sesuai dengan tingkat kematangan psikologis serta
kematangan fisik peserta didik. Selain mengembangkan kemampuan
berpikir rasional dan cemerlang dalam akademik, Kurikulum 2013
memposisikan keunggulan budaya tersebut dipelajari untuk
menimbulkan rasa bangga, diaplikasikan dan dimanisfestasikan

137
Revitalisasi Pendidikan Karakter

dalam kehidupan pribadi, dalam interaksi sosial di masyarakat


sekitarnya, dan dalam kehidupan berbangsa masa kini

3. Pendidikan ditujukan tuntuk mengembangkan kecerdasan


intelektual dan kecemerlangan akademik melalui pendidikan
disiplin ilmu. Filosofi ini menentukan bahwa isi kurikulum adalah
displin ilmu dan pembelajaran adalah pembelajaran displin ilmu
(essentialism). Filosofi ini mewajibkan kurikulum memiliki nama
mata pelajaran yang sama dengan nama disiplin ilmu, selalu
bertujuan untuk mengembangkan kemampuan intelektual dan
kecemerlangan akademik.

4. Pendidikan untuk membangun kehidupan masa kini dan masa depan


yang lebih baik dari masa lalu dengan berbagai kemampuan
intektual, kemampuan berkomunikasi, sikap sosial, kepedulian, dan
berpartisipasi untuk membangun kehidupan masyarakat dan bangsa
yang lebih baik (experimentalism and social reconstructivism).
Dengan filosofi ini, kurikulum 2013 bermaksud untuk
mengembangkan potensi peserta didik menjadi kemampuan dalam
berpikir reflektif bagi penyelesaian masalah sosial di masyarakat,
dan untuk membangun kehidupan masyarakat demokratis yang
lebih baik.

Sepanjang yang dapat kita ketahui nilai-nilai karakter yang


diharapkan terbentuk melalui paparan Kurikulum 2013 secara umum
tergambarkan dalam Standar Kompetensi Lulusan (SKL) dan
Kompetensi Inti (KI) setiap bidang studi. Sebenarnya dalam Kompetensi
Dasar (KD) pun dapat tergambar nilai karakter yang diharapkan
terbentuk pada diri siswa, namun terlalu bervarisi untuk setiap satuan
pendidikan, untuk setiap kelas dan peminatan siswa, sehingga sulit
ditentukan tolok ukurnya. Dengan demikian cukup dengan memahami
Standar Kompetensi Lulusan dan Kompetensi Inti, secara umum dapat
diketahui ke mana Kurikulum 2013 akan membawa anak, sesuai latar
belakang kultural dan historis yang dimilikinya.

Berdasarkan Standar Kompetensi Lulusan dan Kompetensi Inti

138
Revitalisasi Pendidikan Karakter

tersebut. Terlihat bahwa sampai lulus sekolah dasar nilai-nilai karakter


yang ingin dikembangkan menurut Kurikulum 2013 adalah nilai-nilai:
iman dan takwa, jujur, disiplin, tanggung jawab, santun, peduli, percaya
diri, komunikatif, kuriositas, kritis, ramah lingkungan, berpikir logis,
analitis, berjiwa estetis, menjaga kesehatan, dan berakhlak mulia.
Setelah lulus SMP nilai-nilai karakter yang diharapkan dimiliki oleh
peserta didik adalah nilai-nilai: iman dan takwa, jujur, disiplin,
tanggung jawab, santun, toleran, berjiwa gotong royong, percaya diri,
komunikatif, mengembangkan kuriositas, kritis, ramah lingkungan,
peduli sosial, berpikir logis, analitis, berjiwa estetis, berakhlak mulia.
Selanjutnya peserta didik lulusan SMA/SMK tatkala memasuki
perguruan tinggi dan atau dunia kerja diharapkan sudah memiliki dan
mengembangkan nilai-nilai karakter: iman dan takwa, jujur, disiplin,
tanggung jawab, toleran, santun, ramah lingkungan, gotong royong,
kerja sama, cinta damai, responsif, proaktif, pemecah masalah,
komunikatif, berwawasan global, kemanusiaan, kebangsaan/ dan
kenegaraan, keadaban, mengembangkan kuriositas, kritis, berpikir
logis, analitis, mandiri, kreatif dan inovatif.

Apapun visi pembelajaran yang dirumuskan tidak mungkin


secara efektif membentuk dan mengembangkan nilai-nilai karakter
peserta didik bila proses pembelajarannya tidak sesuai dan relevan.
Terkait dengan visi Kurikulum 2013 tersebut, proses pembelajaran pada
satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif,
menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk
berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa,
kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan
perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Untuk itu setiap
satuan pendidikan melakukan perencanaan pembelajaran, pelaksanaan
proses pembelajaran serta penilaian proses pembelajaran untuk
meningkatkan efisiensi dan efektifitas ketercapaian kompetensi lulusan.

Sesuai dengan standar kompetensi lulusan dan standar isi maka


prinsip pembelajaran yang digunakan:

139
Revitalisasi Pendidikan Karakter

1. Dari peserta didik diberi tahu menuju peserta didik mencari tahu

2. Dari guru sebagai satu-satunya sumber belajar menjadi belajar


berbasis aneka sumber belajar

3. Dari pendekatan tekstual menuju proses sebagai penguatan


penggunaan pendekatan ilmiah

4. Dari pembelajaran berbasis konten menuju pembelajaran berbasis


kompetensi

5. Dari pembelajaran parsial menuju pembelajaran terpadu

6. Dari pembelajaran yang menekankan jawaban tunggal menuju


pembelajaran dengan jawaban yang kebenarannya multi dimensi

7. Dari pembelajaran verbalisme menuju keterampilan aplikatif

8. Peningkat dan keseimbangan antara keterampilan fisikal


(hardskills) dan keterampilan mental (softskills)

9. Pembelajaran yang mengutamakan pembudayaan dan


pemberdayaan peserta didik sebagai pembelajar sepanjang hayat

10. Pembelajaran yang menerapkan nilai-nilai dengan memberikan


keteladanan (ing ngarso sung tulodo), membangun kemauan (ing
madyo mangun karso), dan mengembangkan kreatifitas peserta
didik dalam proses pembelajaran (tut wuri handayani)

11. Pembelajaran yang berlangsung di rumah, di sekolah dan di


masyarakat

12. Pembelajaran yang menerapkan prinsip bahwa siapa saja adalah


guru, siapa saja adalah siswa dan dimana saja adalah kelas

13. Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikas untuk


meningkatkan efiensi dan efektifitas pembelajaran, dan

14. Pengakuan atas perbedaan individual dan latar belakang budaya


peserta didik

Selanjutnya mengacu kepada SKL maupun Kurikulum Inti di atas

140
Revitalisasi Pendidikan Karakter

serta mengacu kepada empat nilai inti yang dikembangkan di dalam


diskusi terbatas di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta hasil
identifikasi Samani dan Hariyanto (2012) nilai-nilai turunan yang akan
dikembangkan dalam Kurikulum 2013 adalah sesuai Tabel berikut ini,

Tabel 4.1. Nilai-nilai yang Akan Dikembangkan dalam Kurikulum 2013

No Nilai-nilai Nilai-Nilai Turunan


Inti
Spriritual
1 Jujur Iman dan takwa, akhlak mulia, tanggungjawab, ketulusan
hati, amanah
2 Cerdas Analitis, berpikir logis, kuriositas, kreativitas, kritis,
inovatif, inisiatif, suka memecahkan masalah, percaya diri,
disiplin, mandiri, berwawasan global/visioner
Sosial
3 Peduli Kewarganegaraan, ke adaban, komitmen,
kegotongroyongan, kesantunan, demokratis, disiplin,
kesetaraan, kedermawanan, pandai berterima kasih, pandai
bersyukur, suka membantu, kemanusiaan, keterbukaan,
patriotism, kebersamaan, toleransi, ramah lingklungan,
cinta damai
4 Tangguh Antisipatif, kesediaan/responsif, keberanian, s uka
berkompetisi, kerajinan, berdaya upaya, ketabahan, beretos
kerja

E. Relevansi dan Implikasi Penerapan Pendidikan Karakter


bagi Pendidikan di Masa Depan

Relevansi dalam hubungan ini dimaknai sebagai kesesuaian


hasil riset dengan Kurikulum 2013 yang memungkinkan ada relevansi
atau sebaliknya. Implikasi dimaknai sebagai pemaknaan baru yang
memberikan prediksi arah pendidikan ke depan. Namun sebelum
berbicara tentang relevansi dan implikasi perlu kita pahami dulu tentang
peranan pendidikan dalam pembudayaan karakter.

141
Revitalisasi Pendidikan Karakter

Pendidikan merupakan proses pembudayaan, dan pendidikan


juga dipandang sebagai alat untuk perubahan budaya. Proses
pembelajaran di sekolah merupakan proses pembudayaan yang formal
atau proses akulturasi. Proses akulturasi bukan semata-mata transmisi
budaya dan adopsi budaya, tetapi juga perubahan budaya. Sebagaimana
diketahui, pendidikan menyebabkan terjadinya beragam perubahan
dalam bidang sosial budaya, ekonomi, politik, dan agama. Namun, pada
saat bersamaan, pendidikan juga merupakan alat untuk konservasi
budaya, transmisi, adopsi, dan pelestarian budaya.

Proses pembudayaan terjadi dalam bentuk pewarisan tradisi


budaya dari satu generasi kepada generasi berikutnya, dan adopsi tradisi
budaya oleh orang yang belum mengetahui budaya tersebut
sebelumnya. Pewarisan tradisi budaya dikenal sebagai proses
enkulturasi (enculturation), sedangkan adopsi tradisi budaya dikenal
sebagai proses akulturasi (aculturation). Kedua proses tersebut
berujung pada pembentukan budaya dalam suatu komunitas.

Proses pembudayaan enkulturasi biasanya terjadi secara


informal dalam keluarga, komunitas budaya suatu suku, atau komunitas
budaya suatu wilayah. Proses pembudayaan enkulturasi dilakukan oleh
orang tua, atau orang yang dianggap senior terhadap anak-anak, atau
terhadap orang yang dianggap lebih muda. Tata krama, adat istiadat,
keterampilan suatu suku/keluarga biasanya diturunkan kepada
generasi berikutnya melalui proses enkulturasi.

Sementara itu, proses akulturasi biasanya terjadi secara formal


melalui pendidikan di sekolahg. Seseorang yang tidak tahu, diberitahu
dan disadarkan akan keberadaan suatu budaya, kemudian orang
tersebut mengadopsi budaya tersebut. Misalnya, seseorang yang pindah
ke suatu tempat baru, kemudian mempelajari bahasa, budaya, kebiasaan
dari masyarakat di tempat baru tersebut, lalu orang itu akan berbahasa
dan berbudaya, serta melakukan kebiasaan sebagaimana masyarakat di
tempat itu.

Dalam konteks enkulturasi dan akulturasi ini, pada mulanya

142
Revitalisasi Pendidikan Karakter

pendidikan karakter bagi generasi penerus dilakukan melalui proses


regenerasi, dilakukan secara turun-temurun di masyarakat. Dalam
implementasinya pendidikan karakter dilakukan secara tidak sadar
melalui berbagai petuah-petuah dan suri teladan yang ditunjukkan oleh
orang tua kepada generasi muda. Seperti yang diuraiakan di atas, petuah
dan suri teladan tersebut bersumber dari nilai karakter yang diambil dari
adat dan tradisi budaya seperti kisah dalam pewayangan, maupun dari
peribahasa-peribahasa yang telah ada sejak dahulu kala, sehingga tidak
dapat lagi dilacak siapa yang mencetuskannya. Dalam konteks ini, etnis
akan mempengaruhi karakter, dan karakter akan memperkuat etnis
tersebut. Misalnya, orang Jawa akan berbicara secara halus dan
menyampaikan segala sesuatu yang seharusnya dismpaikan, hal ini
dilakukan untuk menjaga keseimbangan dan harmonisasi dalam
masyarakat. Berbeda halnya dengan masyarakat Batak, mereka
berbicara dengan keras dan akan mengatakan segala sesuatu apa
adanya. Dapat dipahami karena di daerah asalnya, orang Batak tinggal
berjauhan, sehingga jika berbicara secara berbisik atau pelan-pelan
tidak akan terdengar. Dalam contoh lain, karena tinggal di lingkungan
yang menghijau, berbukit-bukit dan bergununbg-gunung, lagu-lagu dari
daerah Batak dan Pasundan (Priangan) terkenal lembut mendayu-dayu
dan menyentuh hati. Dalam hubungan ini lingkungan membentuk
karakter. Tentu saja, masih banyak karakter yang khas dan menonjol
dari berbagai etnis yang ada di Indonesia.

Namun sayangnya seiring pertumbuhan masyarakat di era


globalisasi, terjadi perubahan yang signifikan. Perubahan yang terjadi
ini bersifat menyeluruh, kolektif, dan mempengaruhi banyak orang
(lintas wilayah-lintas negara) yang mempengaruhi gaya hidup dan
lingkungan kita. Globalisasi ternyata telah membawa nuansa budaya
dan nilai yang mempengaruhi selera dan gaya hidup masyarakat.
Melalui media yang kian terbuka dan terjangkau, masyarakat menerima
berbagai informasi tentang peradaban baru yang datang dari seluruh
penjuru dunia. Oleh karena itu pemerintah memandang penting untuk
penanaman nilai karakter, member jiwa kembali pendidikan karakter,

143
Revitalisasi Pendidikan Karakter

tidak hanya dilakukan melalui proses regenerasi lewat masyarakat,


namun secara eksplisit, diinternalisasikan melalui pembelajaran.

Pemerintah melalui Kurikulum 2013 secara ekplisit


menuangkan kebijakan Pendidikan Karakter harus dilakukan melalui
pembelajaran. Setiap proses belajar mengajar harus
menginternalisasikan karakter yang tertuang dalam Kompetensi Inti,
yaitu Kompetensi Inti Satu (KI 1) Aspek Religius, dan Kompetensi Inti
dua (KI 2) Aspek Sosial. Sedangkan masing-masing karakter yang ada
dalam kompetensi inti tersebut, secara konseptual telah dirumuskan
secara apik yang tertata menjadi delapan belas nilai karakter. Jika nilai
karakter ini ditanamkan dengan baik dalam pembelajaran, apa yang
terjadi dengan nilai karakter warga masyarakat kita ke depan? Ada
beberapa interpretasi yang muncul atas jawaban dari pertanyaan ini,
yaitu:

Pertama, jika guru dalam pembiasaan karakter tidak mencermati


luasan dan cakupan konsep dari masing-masing karakter, maka akan
terjadi bahwa karakter yang dibiasakan di sekolah adalah karakter yang
juga dibiasakan orang tuanya, sehingga ada kesamaan antara karakter di
masyarakat dan di sekolah sehingga internalisasi pendidikan karakter di
pembelajaran hanya memperkuat yang di masyarakat, sehingga ke
depan tidak memiliki kekuatan untuk melakukan rekonstruksi nilai.

Kedua, jika guru dalam pembiasaan karakter mencermati luasan


dan cakupan konsep dari masing-masing karakter yang telah
ditentukan, maka guru secara perlahan-lahan akan membiasakan
karakter yang mungkin ‘berbeda’ dengan yang ada di masyarakat. Jika
hal ini terjadi maka lambat laun, siswa tersebut pada gilirannya akan
mampu melakukan rekonstruksi nilai yang ada di masyarakat. Misalnya,
terkait dengan etos kerja.

Sebenarnya bergantung cara kita memandang ada spektrum etos


kerja yang berlaku di masyarakat. Misalnya ,jika kita mencermati
pepatah Jawa “ono dino ono opo” (ada hari maka akan ada makanan),
maka dapat dikatakan bahwa etos kerja masyarakat ini rendah. Namun

144
Revitalisasi Pendidikan Karakter

juga ada slogan dan pemeo yang lain, yakni “ora obah ora mamah” (jika
tidak bergerak, bekerja, tidak akan ada nasi yang dimakan) Ini jelas
menggambarkan etos kerja yang tinggi. Maka etos kerja yang dibiasakan
di sekolah haruslah etos kerja yang tinggi, sehingga lambat laun siswa
tersebut akan menjadi agen perubahan, sehingga pada gilirannya akan
melakukan rekonstruksi terhadap nilai etos kerja tersebut.

Lalu, bagaimana relevansinya dengan nilai karakter masyarakat


Indonesia ke depan? Jika guru dalam pembelajaran memberikan
penguatan pendidikan karakter sesuai dengan Kompetensi Inti dari
aspek religius dan aspek sosial secara benar sesuai dengan jabaran
konsep yang telah ditetapkan, maka lambat laun akan dihasilkan
karakter ‘homogen’ dari setiap etnis yang ada di masyarakat, sehingga
yang ada adalah karakter manusia Indonesia, bukan karakter orang
Jawa, karakter orang Madura, karakter orang Sunda, dan sebagainya.

Pendidikan merupakan proses pembudayaan, dan pendidikan


juga dipandang sebagai alat untuk perubahan budaya. Proses
pembelajaran di sekolah merupakan proses pembudayaan yang formal
atau proses akulturasi. Proses akulturasi bukan semata-mata transmisi
budaya dan adopsi budaya, tetapi juga perubahan budaya. Sebagaimana
diketahui, pendidikan menyebabkan terjadinya beragam perubahan
dalam bidang sosial budaya, ekonomi, politik, dan agama. Namun, pada
saat bersamaan, pendidikan juga merupakan alat untuk konservasi
budaya, transmisi, adopsi, dan pelestarian budaya.

Proses pembudayaan terjadi dalam bentuk pewarisan tradisi


budaya dari satu generasi kepada generasi berikutnya, dan adopsi tradisi
budaya oleh orang yang belum mengetahui budaya tersebut
sebelumnya. Pewarisan tradisi budaya dikenal sebagai proses
enkulturasi (enculturation), sedangkan adopsi tradisi budaya dikenal
sebagai proses akulturasi (aculturation). Kedua proses tersebut
berujung pada pembentukan budaya dalam suatu komunitas.

Proses pembudayaan enkulturasi biasanya terjadi secara


informal dalam keluarga, komunitas budaya suatu suku, atau komunitas

145
Revitalisasi Pendidikan Karakter

budaya suatu wilayah. Proses pembudayaan enkulturasi dilakukan oleh


orang tua, atau orang yang dianggap senior terhadap anak-anak, atau
terhadap orang yang dianggap lebih muda. Tata krama, adat istiadat,
keterampilan suatu suku/keluarga biasanya diturunkan kepada
generasi berikutnya melalui proses enkulturasi.

Sementara itu, proses akulturasi biasanya terjadi secara formal


melalui pendidikan. Seseorang yang tidak tahu, diberitahu dan
disadarkan akan keberadaan suatu budaya, kemudian orang tersebut
mengadopsi budaya tersebut. Misalnya, seseorang yang pindah ke suatu
tempat baru, kemudian mempelajari bahasa, budaya, kebiasaan dari
masyarakat di tempat baru tersebut, lalu orang itu akan berbahasa dan
berbudaya, serta melakukan kebiasaan sebagaimana masyarakat di
tempat itu.

Dengan demikian terlihat minimal tiga aspek yang perlu


dicermati untuk dapat melihat secara seksama apakah terjadi perubahan
pada karakter siswa sebagai dampak globalisasi yang semakin nyata, dan
jika berubah sampai sejauh mana perubahan tersebut? Ketiga aspek
tersebut adalah, pertama, berlandaskan identitas kultural dari Edward
T. Hall, siswa-siswa di Indonesia tergolong high context culture. Kedua,
konten nilai karakter dalam Kurikulum 2013, dan yang ketiga, yang
bergantung kepada pendekatan dan metode guru, apakah guru cukup
mencermati nilai-nilai bawaan para siswa dari keluarga/rumah atau
tidak.

Jika melihat teori Edward T. Hall , pada umumnya orang


Indonesia termasuk ke dalam ciri masyarakat yang high context culture,
dengan demikian walaupun ada globalisasi secara umum masyarakat
Indonesia tidak mudah berubah. Hal ini selaras dengan teori David C.
McClelland yang mengindikasikan orang Indonesia sebagai kelompok
masyarakat yang N-affilnya tinggi dan virus N-Achnya rendah. Dengan
demikian diperkirakan, seandainya ada perubahan dalam karakter
bangsa, perubahan tersebut bercirikan sebagai berikut,

146
Revitalisasi Pendidikan Karakter

(1) Karena kepadatan penduduk serta infra struktur yang lebih lengkap
akan terjadi perubahan yang lebih cepat di Jawa dari pada di luar
Jawa

(2) Perubahan lebih tcepat terjadi di wilayah barat, makin ke arah timur
wilayah Indonesia perubahan akan makin lambat

(3) Perubahan sebagai akibat globalisasi di kota-kota besar akan lebih


cepat, diikuti wilayah-wilayah suburban yang mengelilinginya.

Selanjutnya karena nilai-nilai yang terkandung dalam Kurikulum


2013 sudah given, maka kini bergantung kepada bagaimana cara guru
mengimplementasikan pendidikan karakter di sekolah. Jika guru
melihat juga nilai-nilai karakter yang telah dibawa siswa dari
keluarganya, maka mereka dapat melakukan penguatan positif atau
sebaliknya akan melakukan perubahan melalui pembiasaan dan
pembudayaan di sekolah, yang menguatkan nilai positif yang berbeda
dan bertentangan dengan nilai bawaan para siswa dari rumah.

Agar penguatan positif itu lebih mungkin dan cepat terjadi,


pendidikan karakter yang secara konvensional di Indonesia hanya
dilaksanakan melalui dua cara, yaitu cara inkulkasi dan pendekatan
transpersonal, sebaiknya juga melalui cara-cara yang lain seperti
klarifikasi nilai, analisis nilai, perkembangan moral, dan pembelajaran
tindakan. Keseluruhan metode pendekatan pendidikan karakter
tersebut dilkukan secara sinergi melalui enkulturasi maupun akulturasi,
jadi dilaksanakan di rumah, di masyarakat, maupun di sekolah.
Sementara itu di sekolah, para guru juga harus mencermati nilai-nilai
apa yang telah dibawa para siswa dari rumah, jika negatif harus
dieliminasi melalui pembiasaan dan pembudayaan, jika positif justru
diberikan penguatan. Terlebih lagi jangan lupa peran guru sebagai
teladan (role model) dan fasilitator. Apabila semua hal ini dilaksanakan
dengan baik, diharapkan dalam situasi global ini perubahan karakter
siswa-siswa di Indonesia justru memberikan penguatan positif terhadap
identitas kulturalnya masing-masing.

147
Revitalisasi Pendidikan Karakter

Dengan pijakan analisis bahwa nilai karakter yang diteliti adalah


nilai-nilai inti jujur, cerdas, peduli, dan tangguh, dengan segenap nilai
turunannya, secara umum di seluruh Indonesia, dapat dilihat gambaran
karakter siswa sesuai dengan temuan penelitian sebagai berikut,

Tabel 4.2 Hasil Temuan Penelitian tentang Karakter Siswa-Siswa di Indonesia

No Nilai Inti Nilai Turunan yang Diteliti Temuan Positif Temuan Negatif
1 Jujur Tulus hati, iman dan takwa, Tulus hati, iman dan Kurang
tanggung jawab, takwa, tanggung amanah, karena
menghargai diri sendiri, jawab, menghargai suka
amanah, sportivitas diri sendiri membicarakan
orang lain,
sebagian kurang
sportif,
memakai segala
cara untuk
menang dan
berhasil
2 Cerdas Analitis, pemecahan Analitis, pemecahan Ada sebagian
masalah,kuriositas, kritis, masalah,kuriositas, kecil yang lebih
mandiri, disiplin kritis, mandiri, suka
disiplin memecahkan
masalah sendiri,
tidak suka
dalam tim
3 Peduli Suka membantu, Suka membantu, Ada sebagian
kewarganegaraan, kewarganegaraan, kecil yang sukar
berkomitmen, menghargai berkomitmen, memberikan
kesetaraan, suka memberi menghargai maaf dan
maaf,toleran, peka, hemat, kesetaraan, suka kurang
keadaban, patriotik, memberi maaf, menghargai
demokratis, menghargai toleran, peka, hemat, waktu/suka
waktu, lembut hati,rasa keadaban, terlambat
humor, kebanggaan, patriotik,demokratis,
kebersamaan menghargai waktu,
lembut hati,rasa
humor, kebanggaan,
kebersamaan
4 Tangguh Tegas, berani,hati-hati, Tegas, berani,hati- Sebagian kecil
berdaya upaya, suka hati, berdaya upaya, kurang hati-
berkompetisi, dinamis, suka berkompetisi, hati, kurang
beretos kerja, bersikap dinamis, beretos bersikap yakin,
yakin, antisipatif, rajin kerja, bersikap dan tidak
yakin, antisipatif, antisipatif
rajin

148
Revitalisasi Pendidikan Karakter

Temuan di atas diperoleh sebagai hasil penelitian sebelum Kurikulum


2013 diluncurkan. Sekarang, kemungkinan apa yang dapat terjadi
setelah peluncuran Kurikulum 2013. Jika kita cermati ada sejumlah
besar nilai karakter yang sama antara materi penelitian dengan
Kurikulum 2013 terkait nilai-nilai karakter yang akan dikembangkan
kepada para siswa. Hal itu dapat dicermati sebagai berikut,

Tabel 4.3 Komparasi Nilai Karakter yang Diteliti dengan


Nilai Karakter yang Dikembangkan dalam Kurikulum 2013

No Nilai Inti Nilai Turunan yang Diteliti Nilai yang Dikembangkan


dalam Kurikulum 2013

1 Jujur Tulus hati, iman dan takwa, Iman dan takwa, akhlak mulia,
tanggung jawab, menghargai
tanggung jawab , ketulusan hati,
diri sendiri, amanah,
sportivitas amanah
2 Cerdas Analitis, pemecahan masalah, Analitis, berpikir logis, kuriositas,
kuriositas, kritis, mandiri,
kreativitas, kritis, inovatif,
disiplin
inisiatif, suka memecahkan
masalah, percaya diri, disiplin,
mandiri, berwawasan
global/visioner
3 Peduli Suka membantu/gotong Kewarganegaraan, keadaban,
royong, kewarganegaraan,
komitmen, kegotongroyongan,
berkomitmen, menghargai
kesetaraan, suka memberi kesantunan, demokratis, disiplin,
maaf, toleran, peka, hemat,
kesetaraan, kedermawanan,
keadaban, patriotik,
demokratis, menghargai pandai berterima kasih, pandai
waktu, lembut hati, rasa
bersyukur, suka membantu ,
humor, kebanggaan,
kebersamaan kemanusiaan, keterbukaan,
patriotisme, kebersamaan,
toleransi, ramah lingkungan,
cinta damai
4 Tangguh Tegas, berani, hati-hati, Antisipatif, kesediaan/responsif,
berdaya upaya, suka
keberanian, suka berkompetisi,
berkompetisi, dinamis,
beretos kerja, bersikap yakin, kerajinan, berdaya upaya,
antisipatif, rajin
ketabahan, beretos kerja

149
Revitalisasi Pendidikan Karakter

Bila kita cermati, nilai karakter yang dikembangkan dalam kolom


Kurikulum 2013 yang dicetak miring adalah juga merupakan nilai
turunan dari nilai inti yang diteliti. Jadi sebagian besar nilai karakter
yang akan dikembangkan dalam Kurikulum 2013 sudah diteliti
implementasinya. Dengan demikian, sekali lagi, tinggal memberikan
penguatan positif terhadap penanaman dan pengembangan nilai
karakter yang diperlukan oleh para siswa untuk menghadapi perubahan

150
151
BAB IV
PENUTUP

J
ika kita mencermati keseluruhan hasil temuan tentang karakter
siswa-siswa di Indonesia, terlihat bahwa mayoritas temuan
bersifat positif. Artinya, nilai karakter siswa-siswa Indonesia yang
dibangun sebagai interaksi antara faktor genetik (nature) dengan faktor
asuhan dan bimbingan di lingkungannya masing-masing (nurture)
bernilai positif untuk menghadapi pergumulan di era globalisasi.
Masalah pokoknya adalah apakah sampel yang diteliti cukup
representatif, mengingat hampir semua sekolah sampel mulai dari SD,
SMP, SMA/SMK dari Aceh sampai Papua, merupakan sekolah unggul,
yang notabene memang memiliki SDM yang unggul. Jadi memang
selayaknya jika karakter para siswanya adalah karakter yang positif,
yang unggul.

Hal tersebut memang sulit dihindari karena sekolah yang diambil


sebagai sekolah sampel dipilihkan oleh Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan setempat. Walau demikian, paling tidak temuan ini dapat
dipakai sebagai acuan untuk memprediksi seberapa jauh nilai-nilai
karakter yang positif dipegang dan dimiliki oleh para siswa di seluruh
Indonesia. Mengingat, minimal identitas kultural setiap siswa per
wilayah adalah sama. Jika kita ingin melihat gambaran keseluruhan dari
seluruh lapisan sosial siswa di Indonesia, memang diperlukan penelitian
lebih lanjut. Sampelnya bisa ditetapkan sekolah-sekolah yang hasil
akreditasinya di tengah-tengah maupun di bawah. Jadi, sasaran
penelitian selanjutnya adalah sekolah-sekolah yang terakreditasi B atau
C di seluruh Indonesia.

151
Penutup

Berdasarkan temuan penelitian terlihat bahwa sebagian besar


siswa yang diteliti telah menggenggam erat nilai karakter yang
diperlukan untuk menghadapi perubahan global. Nilai karakter yang
masih patut dikembangklan adalah nilai amanah, penghargaan
terhadap waktu, kehati-hatian, antisipatif, dan kebiasaan memecahkan
masalah dalam suatu tim.

Terlepas dari semua itu, sebagai bangsa Indonesia kita patut


bersyukur, karena ternyata dalam kebhinekaan kita, di setiap daerah,
pada berbagai suku bangsa, terdapat kebijakan lokal (local wisdom).
Nilai-nilai lokal, ini cukup untuk menjadi bekal bagi generasi muda
dalam menghadapi perubahan, termasuk perubahan global yang
semakin cepat saat ini. Tinggal kini terpulang pada kesadaran dan
keikhlasan para pemegang kepentingan (stakeholders) dalam bidang
pendidikan, bagaimana merumuskan strategi, membentuk sistem
pendidikan agar nilai-nilai karakter positif di setiap daerah itu
berkembang dengan baik, dan relevan dengan kebutuhan generasi muda
dalam menghadapi persaingan global.

Hal yang menarik, walau penelitian ini dilaksanakan sebelum


Kurikulum 2013 diluncurkan, sebagian besar nilai karakter yang akan
dikembangkan menurut Kurikulum 2013 sudah menjadi objek
penelitian. Kira-kira sekitar 80% nilai karakter yang terkandung dalam
Kurikulum 2013 sudah diteliti, dengan hasil positif. Dengan demikian,
para pendidik dan pemerhati pendidikan tinggal memberikan
penguatan positif terhadap penanaman dan pengembangan nilai
karakter yang diperlukan oleh para siswa untuk menghadapi perubahan
global yang semakin nyata.

Ada suatu catatan penting yang perlu disampaikan di sini.


Karena kendala teknis, ada dua kelompok etnis besar di Indonesia yang
belum sempat diteliti, yaitu etnis Mandar di Sulawesi Barat, serta etnis
Ternate di Maluku Utara. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
yang sekarang terpecah menjadi dua kementerian, yaitu Kementerian
Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi dan Kementerian Kebudayaan,

152
Penutup

Pendidikan Dasar dan Menengah , siapapun instansi yang berwenang,


perlu melengkapinya dengan melakukan riset pada dua kelompok etnis
tersebut di atas. Instrumen penelitaiian yang telah dipersiapakan untuk
penelitian sebelumnya, mengingat kemampuannya memperoleh
temuan yang cukup komprehensif, masih bisa dipergunakan. Dengan
demikian kita akan mendapatkan gambaran yang utuh dan bulat tentang
karakter siswa-siswa di Indonesia, termasuk identitas kulturalnya
masing-masing yang diperlukan bagi menghadapi perubahan global.

Penelitian lanjutan dengan objek sekolah-sekolah yang bukan


merupakan sekolah unggulan menjadi penting jika kita melihat berbagai
indikasi yang mencitrakan karakter negatif yang telah menjangkiti anak
bangsa. Masih banyak tawuran antar remaja di Jakarta dan kota-kota
suburban yang mengelilinginya, terutama di wilayah Jabodetabek
(Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi). Gang motor yang
brutal bermunculan di wilayah Jabodetabek, Bandung, dan Makassar.
Baru saja terjadi di Kasongan Kalimantan Tengah, siswa SD kelas I harus
buta sebelah matanya karena dirundung (dibully) oleh kakak kelasnya
dari Kelas IV dan Kelas V. Dengan demikian seolah-olah hasil penelitian
ini tidak relevan dengan kondisi faktual di lapangan.

Dalam hubungan ini, telah berpengalaman Philliphine Normal


University (PNU) dalam mengembangkan pendidikan karakter, dan
telah go international dengan bekerja sama dengan berbagai lembaga
pengembangan pendidikan karakter di seluruh dunia. Disarankan agar
institusi yang terkait dengan pengembangan pendidikan karakter, entah
itu Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, atau institusi
dalam lingkungannya seperti Universitas Negeri Surabaya, menjalin
hubungan dengan PNU untuk berbagi pengalaman dalam
mengembangkan pendidikan karakter.

153
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2013. Budaya Bangsa: Tinjauan Filafati Cerita Mahabharata


dan Ramayana. Bandung: Yayasan Dajan Rurung Indonesia.

---------- 2010. Pembangunan Karakter Bangsa Tahun 2010-2025,


Pemerintah Republik Indonesia

Badingah, Siti, 1993. Agresivitas Remaja Kaitannya dengan Pola Asuh,


Tingkah Laku Agresif Orang Tua dan Kegemaran Menonton
Film Keras. Program Studi Psikologi – Pascasarjana, UI. Depok.

Bennet,W.J. 1991. Moral Literacy and the Formation of Character. In:


J.S.Bennigna (ed). Moral Character, and Civic Education in the
Elementary School. Teachers College Press, New York.

Brooks,B.D. and F.G.Goble.1998. The Case for Character Education:


The Role of the School in Teaching Values and Virtues. Studios 4
Productions.

Darmiyati Zuhdi, (ed.) 2011. Pendidikan Karakter dalam Perspektif


Teori dan Praktik, Yogyakarta : UNY Press.

Fakih, Mansour. 2006.Runtuhnya Teori Pembangunan dan


Globalisasi. Cet. 4. Yogyakarta: Insist Press dan Pustaka Pelajar.

Ferguson, Marjorie., 2002.The Mythology About Globalization, in:


Denis McQuail (ed.) McQuail’s Reader in Mass Communication
Theory. London: Sage Publication.

Goble, Frank g., and David Brooks, 1983. Case for Character Education,
Ottawa: Jameson Books, Inc.

154
Daftar Pustaka

Hall, Edward T., 1976. Beyond Culture, New York : Doubleday.

----------, 1983. The Dance of Life : The Other Dimension of Time, New
York: Doubleday.

Hazim Amir., 1991. Nilai-Nilai Etis dalam Wayang, Jakarta:


PustakaSinarHarapan.

Iman Budhi Santoso, 2008. Budi Pekerti Bangsa, Yogyakarta : Arti Bumi
Intaran.

Joko Siswanto, 2009. Wajah Globalisasi, Yogyakarta: Kepel Press.

Kilpatrick,William. 1992. Why Johny Can’t Tell Right From Wrong.


Simon & Schuster, Inc. New York.

Kluver, Randy, 2000. Globalization, Informatization, and Intercultural


Communication, in American Journal of Communication, June
2000.

Kulkarni, Arjun, 2012. Positive Effects of Globalization, dalam Buzzle,


a c c e s s e d 9 / 6 / 2 0 1 2 d a r i
http://www.buzzle.com/articles/positive-effects-of-
globalization-html

Lickona, Thomas. 1992. Educating for Character, How Our Schools Can
Teach Respect and Responsibility. Bantam Books, New York.

Livermore, David,.2010, Leading with Cultutal Intelligence, New York :


Amazon.

Marte, Benjamin I.G., and M.C. Marte, 2005., The PNU Affective-
Cognitive Experience for Self-Direction (ACES) Teaching
Approaches to Values Education, accessed at 07/21/2014 in
http://www.valueseducation.net/apprchs-pnu

McClelland, David C., 1961, The Achieving Siciety, New York: Free Press.

Megawangi,Ratna. 1999. Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru


tentang Relasi Gender. Pustaka Mizan, Bandung.

155
Daftar Pustaka

----------2003. Pendidikan Karakter untuk Membangun Masyarakat


Madani. IPPK Indonesia Heritage Foundation

Neuman,E. 1990. The Child. Shambala Publications,Inc.,


Massachusetts.

Nuccci, Larry P, and Darcia Navarez, (ed.) 2008 , Handbook of Moral


And Character Education, New York : Routledge.

Nurul Zuriah, 2008. Pendidikan Moral & Budi Pekerti dalam Perspektif
Perubahan, Jakarta: Bumi Aksara.

Pillai, Prabakhar, 2011. Negative Effects of Globalization, dalam Buzzle,


a c c e s s e d 1 2 / 2 3 / 2 0 1 1 d a r i
http://www.buzzle.com/articles/negative-effects-of-
globalization-html

Rich,D. 1997. Mega Skills, Building Children’s Achievement for the


Information Age. Houghton Mifflin Company, New York.

Rohner,R. 1986. The Warmth Dimension of Parenting: Parental


Acceptance-Rejection Theory. Califoirnia: Sage Publications.

Saksono, Ignas G., dan Djoko Dwiyanto.2011, Terbelahnya Kepribadian


Orang Jawa, Yogyakarta: Keluarga Besar Marhaenis DIY.

Samani, Muchlas dan Hariyanto, 2011. Konsep dan Model Pndidikan


Karakter, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Sastrapratedja, M. 1995. Modernitas, Globalisasi, dan Dampaknya,


dalam Slamet Sutrisno dkk (ed.) Globalisasi, Kebudayaan dan
Ketahanan Ideologi, Yogyakarta: Aditya Media- Forum Diskusi
Filsafat UGM.

Scheuerman, William, 2010, Globalizatio, Stanford Encyclopedia of


Philosophy.

Schikendanz,J. 1995. Family Socialization and Academic Achievement.


Boston University Press.

156
Daftar Pustaka

Schwartz, Merle, 2008. Effective Character Education, New York :


McGraw-Hill Higher Education.

Suseno. Frans Magnis, 1984. Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafit


entang Kebijaksanaan Hidup Jawa, Jakarta: Penerbit PT
Gramedia.

----------.,1991. Wayang dan Panggilan Manusia, Jakarta: PT.


Gramedia Pustaka Utama.

Suseno, Frans Magnis, dan S. Reksosusilo.1983, Etika Jawa dalam


Tantangan. Yogyakarta: Kanisius.

Wilson,J.Q., 1993. The Moral Sense. New YorK :Simon & Schuster Inc.

Wiwien Widyawati, 2012. Etika Jawa: Menggali Kebijaksanaan dan


Keutamaan demi Ketentraman Hidup Lahir-Batin, Yogyakarta:
Shaida.

Wynne,E.A. 1991. Character and Academics in the Elementary School.


In J.S. Benigna (ed). Moral Character, and Civic Education in the
Elementary School. Teachers College Press, New York.

Yuni Sri Rahayu, Sarmini, Suyatno, Martadi, Muji Prastiwi, FX Sri


Sudewo, Anwar Holil, Hariyanto, 2012. Jejak Budaya dalam
Karakter Siswa Indonesia, Surabaya: Un iversitas Negeri
Surabaya.

157

Anda mungkin juga menyukai