1
Pendapat tersebut dinyatakan oleh Burkhardt Krems, seorang Profesor Ilmu
Perundang-undangan yang berasal dari Jerman. Burkhardt Krems juga membagi
ilmu Perundang-undangan menjadi 2 (dua) cabang yang lebih terspesialisasi: 1).
Teori Perundang-undangan, 2). Ilmu Perundang-undangan.
2
Maria Farida Indrat Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan,Yogyakarta:
Kanisius, 2007, hal 1-6.
sedangkan yang dimaksud dengan peraturan perundangan adalah peraturan
mengenai tata cara pembuatan peraturan negara.3
Di sisi lain, Perundang-undangan sering diartikan sebagai wetgeving,
yaitu pengertian membentuk undang-undang dan keseluruhan daripada
undang-undang negara.4 Dalam Juridisch woordenboek, wetgeving diartikan
sebagai: pertama, proses pembentukan atau proses membentuk peraturan
negara, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah; kedua, segala
peraturan negara yang merupakan hasil pembentukan peraturan, baik di
tingkat pusat maupun di tingkat daerah. 5 Definisi ini juga diperkuat oleh H.
Soehino yang menyatakan bahwa peraturan Perundang-undangan memiliki
makna sebagai: pertama, proses atau tata cara pembentukan peraturan
Perundang-undangan negara dari jenis dan tingkat tertinggi yaitu undang-
undang sampai yang terendah, yang dihasilkan secara atribusi atau delegasi
dari kekuasaan Perundang-undangan; kedua, keseluruhan produk peraturan-
peraturan perundangan tersebut. Namun sebenarnya, Soehino lebih sering
menggunakan istilah ‘Peraturan Perundangan’. 6 Bersamaan dengan Soehino,
Amiroeddin Syarief juga menggunakan istilah yang sama dengan alasan
bahwa istilah itu lebih pendek dan oleh karenanya sangat ekonomis. 7 Istilah
tersebut pernah digunakan dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966
sebagaimana tercantum pada judul ketetapan tersebut yaitu Sumber Tertib
Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan
Republik Indonesia. Selain itu, beberapa Ketetapan MPR RI yang
menggunakan istilah ‘Peraturan Perundang-undangan’ adalah sebagai
berikut:8
1. Ketetapan MPR RI Nomor II/MPR/1993 tentang Garis Besar Haluan
Negara (GBHN) dalam program pembangunan hukum menyebutkan
3
Solly Lubis, Landasan dan Teknik Perundang-undangan, Bandung: Penerbit
Mandar Maju, 1989, hal. 1-2.
4
S. Wojowasito, Kamus Umum Belanda-Indonesia, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van
Hoeve, 1985), hal 802.
5
S.J. Fockema Andreae, Rechtsgeleerd Handwoordenboek, Groningen/Batavia:
J.B. Wolters, 1948.
6
Soehino, Hukum Tata Negara: Teknik Perundang-undangan, Yogyakarta:
Penerbit Liberty, 1981, hal 1.
7
Amiroeddin Syarief, Perundang-undangan: Dasar, Jenis, dan Teknis
Membuatnya, Jakarta: Penerbit Bina Aksara , 1987, hal 4-5.
8
Pipin Syarifin dan Dedah Jubaedah, Ilmu Perundang-undangan, Bandung:
Pustaka Setia, 2012, hal. 21.
“upaya penggantian peraturan Perundang-undangan yang bersumber
pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945”
2. Reformasi MPR-RI No. X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi
Pembangunan dalam rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan
Nasional sebagai Hukum Negara, pada huruf C Bidang Hukum yang
menyebutkan, “Pembangunan hukum khusus yang menyangkut
peraturan Perundang-undangan organik tentang pembatasan kekuasaan
Presiden belum memadai. Oleh karena itu, perlu pengkajian terhadap
fungsi lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
3. Ketetapan MPR-RI No IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan
Negara Tahun 1999-2004, antara lain:
a. Pasal 3 menyebutkan, “dengan adanya ketetapan ini, materi yang
belum tertampung dalam dan tidak bertentangan dengan Garis-Garis
Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004 ini, dapat diatur dalam
peraturan Perundang-undangan.”
b. Dalam arah kebijakan bidang hukum, Pasal 7 menyebutkan,
“mengembangkan peraturan Perundang-undangan yang
mendukung kegiatan perekonomian dalam menghadapi era
perdagangan bebas tanpa merugikan kepentingan nasional.
9
Ibid.
Istilah tersebut juga pernah digunakan dalam Konstitusi RIS 1949
sebagaimana dimuat dalam Pasal 51 ayat (3) dengan rumusan ‘Perundang-
undangan federal’ dan dalam UUD Sementara 1950 sebagaimana dimuat
dalam Bagian II dengan judul ‘Perundang-undangan’ dan dalam Pasal 89
yang menyebut ‘kekuasaan Perundang-undangan’.10
10
H. Rosjidi Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indoneisa,
Bandung: PT. Mandar Maju, 1998, hal. 17.
11
Ibid.
12
Bagir Manan, “Ketentuan-Ketentuan tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan dalam Pembangunan Hukum Nasional” (makalah disampaikan pada
Sehubungan dengan definisi tersebut, Bagir Manan juga menyatakan
bahwa peraturan Perundang-undangan memiliki peranan yang makin besar
dari hari ke hari, khususnya di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh hal-hal
berikut:
1. Peraturan Perundang-undangan merupakan kaidah hukum yang mudah
dikenal (diidentifikasi), mudah diketemukan kembali, dan mudah
ditelusuri. Sebagai kaidah hukum tertulis, bentuk, jenis, dan tempatnya
jelas. Begitu pula pembuatnya.
2. Peraturan Perundang-undangan memberikan kepastian hukum yang lebih
nyata karena kaidah-kaidahnya mudah diidentifikasi dan mudah
diketemukan kembali.
3. Struktur dan sistematika peraturan Perundang-undangan lebih jelas
sehingga memungkinkan untuk diperiksa kembali dan diuji baik segi-
segi formal maupun materi muatannya.
4. Pembentukan dan pengembanan peraturan Perundang-undangan dapat
direncanakan. Faktor ini sangat penting bagi negara-negara yang sedang
membangun termasuk membangun sistem hukum baru yang sesuai
dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat. 13
16
A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Disertasi, Fakultas Hukum
Pascasarjana Universitas Indonesia, 1990, hal. 61.
17
Amiroeddin Syarief, Op. Cit., hal 32-33.
3. Peraturan Perundang-undangan tersebut berisi aturan pola tingkah laku.
Jadi, peraturan Perundang-undangan bersifat mengatur (regulerend),
tidak bersifat sekali jalan (einmahlig).
4. Peraturan Perundang-undangan mengikat secara umum karena memang
ditujukan pada umum, artinya tidak ditujukan kepada seseorang atau
individu tertentu (tidak bersifat individual).
18
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, diolah kembali oleh
Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Jakarta: PN Balai Pustaka, 1982, hal. 990.
19
Bagir Manan, Peranan Peraturan Perundang-undangan Dalam Pembinaan
Hukum Nasional, Bandung: Armico, 1987, hal. 65.
20
Ibid.
“Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah pembuatan Peraturan Perundang-undangan
yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, atau penetapan,
dan pengundangan.”
“Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang
mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau Pejabat yang
berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.”
Terhadap pengertian tersebut, Maria Farida memiliki kritik yang juga diajukan terhadap pengertian
yang diberikan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, yaitu undang-undang yang berlaku sebelum Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 muncul.
Istilah pengesahan dalam Pasal 1 angka 1 undang-undang yang bersangkutan, tidaklah tepat. Istilah
‘pengesahan’ berakibat yang dimaksud peraturan Perundang-undangan hanyalah undang-undang, oleh
karena peraturan Perundang-undangan lain tidak memerlukan pengesahan, tetapi cukup suatu
penetapan.21
Demikian pula dengan definisi peraturan Perundang-undangan pada angka 2. Terhadap Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2004 yang masih relevan untuk diajukan kepada definisi dalam undang-
undang yang baru. Pada angka 2, dinyatakan bahwa peraturan Perundang-undangan tersebut ‘mengikat
secara umum’ tanpa memberikan keterangan lebih lanjut tentang bagaimana keberlakuan peraturan
Perundang-undangan yang dimaksud. Peraturan tersebut benar dapat berlaku secara umum, abstrak, dan
terus menerus, tetapi dapat juga peraturan tersebut merupakan peraturan kebijakan di bidang
pemerintahan. Selain itu, pengertian dalam angka 2 juga tidak memberikan keterangan yang lebih
mendetail tentang ‘lembaga negara atau pejabat berwenang’. Apakah yang dimaksud adalah pejabat dan
lembaga yang memang secara hakikat memiliki kewenangan Perundang-undangan atau pejabat dan
lembaga yang untuk melaksanakan tugasnya, mereka diberikan kewenangan untuk membuat suatu
peraturan, pertanyaan ini tidak terjawab dalam definisi yang bersangkutan.
21
Maria Farida Indrati, Op. Cit., hal 12.