Anda di halaman 1dari 11

Zakat dan Pemberdayaan Masyarakat

Oleh: Prof. Dr. H. Zainal Abidin, M.Ag. *)


OPINI
Oleh Radar Sulteng Pada Rabu, 20 Mei 2020  2,583 0

Pendahuluan

Islam adalah agama yang memiliki kepedulian yang sangat tinggi terhadap pengentasan
kemiskinan. Islam sangat pro dengan orang miskin tetapi pada waktu yang sama bersikap anti
kemiskinan. Apakah ini sebuah paradoks? Tidak. Karena dalam Al-Quran tidak ada perintah agar
orang menerima zakat, infaq dan shadaqah. Justru yang diperintahkan adalah agar orang
mengeluarkan zakat, infaq dan shadaqah. Artinya orang miskin haruslah bersifat sementara,
mereka tidak boleh dan tidak layak berlama-lama berkubang dalam kemiskinan, kelemahan, dan
hidup dibawah belas kasihan orang lain.

Oleh sebab itu kemiskinan haruslah dihalau sampai ke batas-batas yang jauh, sehingga manusia
meraih kemerdekaan dan martabat sejati sesuai dengan posisinya sebagai khalifah Allah dimuka
bumi.  Namun sepanjang sejarah umat manusia, kemiskinan adalah suatu realitas, maka masalah
zakat, infaq dan shadaqah akan tetap relevan untuk dikaji, agar lebih berdaya guna, sebagaimana
yang akan kita telusuri lebih jauh.

Zakat merupakan salah satu sendi pokok ajaran Islam, ia adalah rukun ketiga dari lima rukun
Islam. Perintah zakat merupakan salah satu perintah yang paling sering disebut di dalam al-
Qur’an. Biasanya perintah zakat itu selalu digandeng dengan perintah shalat, “…aqiimush
sholaata wa-aatuz zakaata…” (… dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat…).

Pelaksanaan salat melambangkan hubungan baik seseorang dengan Tuhan, sedangkan zakat
adalah lambang harmonisnya hubungannya dengan sesama manusia.
Zakat—Secara bahasa—dapat diartikan sebagai thaharah (kesucian), shadaqah (empati), nabaat
(tumbuhan), numuwwah atau ziyadah (kesuburan, pertumbuhan, perkembangan atau
pertambahan), dan thayyibaat (kebaikan-kebaikan). Sedangkan dalam rumus fiqih, zakat berarti
sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah untuk diserahkan kepada orang-orang yang
berhak menerimanya dengan syarat-syarat tertentu.
Di dalam pembahasan fiqih di kitab-kitab klasik, zakat dibahas begitu panjang lebar, baik syarat-
syaratnya, kategorisasinya, subyek yang berzakat serta pihak-pihak yang dizakati (mustahiqqiin).
Ia menempati prioritas bahasan yang lumayan serius. Karena begitulah yang juga tertulis di
dalam al-Qur’an, bahwa zakat merupakan realitas kebajikan sosial sekaligus kesalehan
individual. Saya tidak sebutkan dalil-dalil al-Qur’an dan al-Hadits yang panjang dan banyak itu
tentang perintah dan kewajiban zakat.

Kategorisasi zakat yang sedemikian ketat bagi orang Islam yang mukallaf (subyek hukum penuh)
hampir sama dengan kewajiban pajak dalam sebuah negara. Jika ada istilah PTKP (Pendapatan
Tidak Kena Pajak) pada kewajiban pajak dalam sebuah Negara, maka di dalam zakat ada istilah
nishab (batas minimal harta yang kena zakat). Bahkan ada batas minimal waktu kepemilikan
harta yang terkena zakat, yakni haul (satu tahun penyimpanan). Begitu teknis managemen
pemungutan zakat itu sehingga dapat disimpulkan bahwa zakat merupakan realitas dari prinsip-
prinsip keislaman yang dapat membentuk jiwa sosialis. Karenanya, nilai aqidah seseorang dapat
diukur dari caranya mengapresiasi perintah zakat ini.

Selain itu, komitmen keislaman dan keimanan seseorang dapat dikatakan sia-sia atau gugur
dengan sendirinya tanpa diiringi dengan praktek berzakat. Bahkan sayyidina Umar ra. pernah
memerintahkan untuk membakar rumah orang Islam yang menolak perintah zakat. Begitu
seriusnya perintah zakat itu diperhatikan sehingga ia menjadi syarat keislaman dan keimanan
seseorang. Dari situ dapat disimpulkan bahwa beraqidah Islam sama dengan berkomitmen pada
zakat. Menolak berzakat atau bersiasat supaya terhindar dari zakat berarti menolak aqidah Islam.

Landasan Teologis Kewajiban Zakat

Di dalam Al-Quran, zakat, infaq dan shadaqah masing-masing terdapat sebanyak 32, 76 dan 14
kali. Kewajiban shalat dan zakat yang disebutkan dalam satu tarikan nafas, baik dalam bentuk
perintah maupun dalam kalimat afirmatif, terdapat pada 26 ayat. Shadaqah dalam makna zakat
kita jumpai dalam ayat:60, 103 dan 104, semuanya dalam surat At-Taubah. Dengan demikian,
perintah zakat, infaq dan shadaqah punya landasan yang sangat kuat dalam Al-Qur’an, belum
lagi dalam sunnah nabi yang jumlahnya banyak sekali.
Ancaman yang dramatis ditujukan kepada siapa saja yang tidak mau berinfaq dijalan Allah.
Dalam Q.S. al-Taubat: 35 ditegaskan:

… dan orang–orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak mengeluarkan infaq di jalan
Allah, maka beritakanlah kepada mereka akan azab yang pedih. [Yaitu] pada hari yang
dipanggang [harta-harta] itu atas neraka jahannam, lalu dengan itu disetrika dahi, lambung dan
punggung mereka [seraya dikatakan] kepada mereka: itulah harta bendamu yang kamu timbun
untuk dirimu sendiri; oleh karena itu, rasakan [akibat] dari apa yang kamu timbun itu”.

Memang ancaman ini amat keras, tetapi jangan mengakibatkan kita takut menjadi kaya, sebab
kekayaan itu menurut Al-Quran adalah karunia Allah (min fadhli Allah) yang harus kita cari.
“apabila shalat [jum’at] telah dirampungkan, maka bertebaranklah kamu dimuka bumi, dan
carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung.” Mengingat
Allah disini agar kita tidak lupa daratan, tidak lupa lautan, harta yang dicari sebagai sarana untuk
meraih kualitas hidup yang lebih bermakna. Ada dimensi transenden disini dengan prinsip ini,
diharapkan seorang beriman tidak akan pernah kehilangan kompas dalam perjalanan hidupnya.

Perintah zakat, infaq dan shaqah mengisyaratkan agar umat Islam menjadi manusia kaya dalam
sebuah ekuilibrium yang proporsional. Kita jangan sampai tenggelam dalam bianglala kehidupan
yang penuh pesona. Hidup yang sekali ini tidak boleh gagal.

Dalam realitas kehidupan umat Islam, kewajiban zakat kurang mendapat perhatian, atau
setidaknya banyak yang bersiasat agar dirinya terhindar dari zakat. Hitung-hitungan jumlah harta
yang terkena zakat menjadi sering dipermainkan, baik secara nishab maupun haul. Hal itu karena
pendekatan yang digunakan dalam melihat persoalan zakat lebih dominan pendekatan fiqh dan
kurang menyelami makna filosofis dibalik kewajiban zakat tersebut. Fungsi sosial harta masih
kurang sekali dihiraukan oleh umat Islam sepanjang masa. Maka tidaklah mengherankan ada
diantara mereka berpaling kepada maxisme sebagai solusi untuk mempersempit jurang sosial-
ekonomi yang menganga. Teori–teori radikal tentang keadilan dan kemiskinan tidak begitu
berkembang dikalangan pemikir muslim, padahal al-Quran telah menyediakan landasan teologis
yang banyak. Dalam surat Al-Taubah: 103.
“Ambillah zakat (shadaqah) dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka,
dan berdoalah [hai Muhammad] untuk mereka. Sesungguhnya do’amu itu memberi kenyamanan
bagi mereka. Dan Allah maha Mendengar, maha Mengetahui.”

Perintah “ambillah” (khudz) dalam ayat ini mengisyaratkan pemerintah dapat saja memaksa
orang yang sudah wajib berzakat untuk mengeluarkan zakatnya, sesuai dengan ketentuan agama.
Melalui ayat itu, Allah memerintahkan seseorang untuk “mengambil” sebagian harta dalam
rangka membersihkan dan menyucikan (tuthahhir dan tuzakki).

Makna zakat itu bukan sekedar mengeluarkan harta belaka, tetapi mengandung makna untuk
sebuah “penyucian”. Ada dua hal penting terkait tujuan pemungutan zakat ini, yakni tuthahhir
(pembersihan) dan tuzakki (penyucian). Apa yang dimaksud dengan pembersihan (tuthahhir) dan
penyucian (tuzakki) ?

Setiap perbuatan memberi akan menimbulkan kesan-kesan tertentu dalam jiwa kita. Kesan itu
bukan diarahkan kepada siapa perbuatan memberi itu ditujukan tetapi atas alasan apa. Jadi,
sesuatu yang tumbuh dalam perbuatan memberi adalah titik sasaran yang dibangun dalam zakat.
Sesuatu yang tumbuh itu adalah kecintaan kepada Tuhan. Seperti pucuk pohon yang dipotong
oleh petani agar si pohon menumbuhkan tunas atau cabang baru yang lebih banyak, sehingga
akan menghasilkan buah yang lebih banyak pula. Alasan inilah yang membuat jiwa seseorang
berada dalam kesuciannya. Kesucian itu tumbuh hingga ia benar-benar merasakan kerinduan
kepada Tuhan.

Filosofi Zakat

Menurut Prof. Dr. Quraisy Shihab, ada tiga alasan yang bisa dijadikan landasan filosofis
mengapa Allah SWT. mensyari’atkan kewajiban zakat, tiga alasan tersebut antara lain:

1. Istikhlaf (penugasan sebagai khalifat di bumi)

Allah SWT adalah pemilik seluruh isi dunia ini. Secara otomatis Allah juga lah penguasa harta-
harta manusia. Dengan demikian. Seseorang yang beruntung mendapatkan sejumlah harta pada
hakikatnya hanya menerima titipan sebagai amanat untuk disalurkan sesuai dengan kehendak
pemiliknya dalam hal ini Allat SWT. Manusia yang dititipi itu berkewajiban memenuhi
ketetapan-ketetapan  yang digariskan oleh sang pemilik, baik dalam pengembangan harta
maupun dalam penggunaannya. 

Manusia yang beriman kepada Allah dan menyadari bahwa pemilik yang sebenarnya dari seluruh
harta benda yang disimpan di langit dan di bumi adalah Allah, tentu ia akan mau membelanjakan
harta bendanya menurut arahan yang diberikan oleh Allah dan menyerahkan soal untung rugi
kepada-Nya semata-mata.

Konsekuensi dan pemilikan mutlak terhadap harta benda adalah bahwa manusia yang kepadanya
dititipkan harta tersebut harus memenuhi ketetapan-ketetapan Tuhan dalan hal ini yang berkaitan
dengan harta tersebut baik dalam pengembangan maupun dalam penggunaannya yakni, antara
lain kewajiban untuk mengeluarkan zakat demi kepentingan masyarakat bahkan sedekah dan
infak di samping zakat bila hal tersebut dibutuhkan.

Tugas kekhalifahan/istikhlaf manusia secara umum adalah tugas mewujudkan kemakmuran dan
kesejahteraan dalam hidup dan kehidupan (Q.S. Al-An’am:165) serta tugas pengabdian atau
ibadah dalam arti luas (Q.S. Adz-Dzariyat:56). Untuk menunaikan tugas tersebut, Allah
memberikan manusia anugrah sistem kehidupan dan sarana kehidupan (Q.S .Luqman:20).

Harta sebagai sebuah sarana bagi manusia, dalam pandangan Islam merupakan hak mutlak milik
Allah SWT. Kepemilikan manusia hanya bersifat relatif, sebatas untuk melaksanakan amanah
mengelola dan memanfaatkan sesuai dengan ketentuannya (Q.S. Al-Hadid: 7 dan Q.S. An-
Nur:.33). Harta yang dianggap sebagai perhiasan hidup yang memungkinkan manusia bisa
menikmatinya dan sebagai bekal ibadah dapat pula sebagai bekal keimanan.

Adanya ujian merupakan satu bentuk penilaian terhadap kesadaran kepatuhan dan pengakuan
bahwa apa yang dimilikinya benar-benar merupakan karunia dan kepercayaan dari Allah bagi
yang menerimanya. Untuk itu wajib zakat merupakan suatu yang alamiah bagi kehidupan
manusia, karena zakat yang dikeluarkan atau diberikan oleh seseorang dari harta yang diperoleh,
pada hakikatnya dikembalikan pada pemilik utamanya yaitu Allah SWT.
Allah SWT menjadikan harta benda sebagai alat dan sarana kehidupan untuk seluruh umat
manusia sehinggga penggunaannya harus diarahkan kepada kepentingan mereka bersama, dan
karena itu Allah melarang untuk memberikan harta benda kepada orang-orang yang diduga keras
akan menyia-nyiakannya (walaupun harta tersebut atas namanya).

“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta
(mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijakan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah
mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang
baik (Q.S. An-Nisa: 5)

Atas dasar inilah Allah SWT menetapkan bagian-bagian tertentu dalan harta benda (antara lain
dengan nama zakat) untuk diserahkan guna kepentingan masyarakat banyak atau anggota-
anggota masyarakat yang membutuhkannya. Sejak semula Tuhan telah menetapkan bahwa harta
tersebut dijadikannya untuk kepentingan bersama, bahkan agaknya tidak terlebih jika dikatakan
bahwa mulanya masyarakatlah yang berwenang menggunakan harta tersebut secara keseluruhan
kemudian Allah menganugrahkan sebagian dari padanya kepada pribadi-pribadi yang
mengusahakannya sesuai kebutuhan masimg-masing.

Allah memberikan kebebasan kepada manusia untuk menggunakan apa yang diperoleh dari
karunia-Nya. Namun ditegaskan bahwa karena dia bukanlah satu-satunya khalifah tetapi jutaan
manusia lain yang mempunyai kedudukan yang sama sebagai khalifah, maka mereka pun
mempunyai hak yang sama. Untuk itu dalam proses pendayagunaan karunia Allah, perlu
dilakukan dengan cara yang efesien dan adil agar “saudara” yang lainnya mendapatkan
kemakmuran sebagaimana yang diperolehnya. Pada dataran ini, maka adanya solidaritas sosial
(al-ta’awun al-ijtima’i) merupakan bagian lain dari dasar adanya kewajiban zakat.

Pengabaian kewajiban seseorang terhadap sesamanya dipandang sebagai kegagalan yang serius
dalam memenuhi kewajibannya terhadap Tuhan. Oleh karenanya menurut Al-Qur’an
pembayaran zakat oleh muzakki bukan merupakan bentuk pemihakan terhadap si miskin, karena
si kaya bukanlah pemilik riil kekayaan itu (Al-Hadid:7). Begitu pula sebaliknya,
mustahik/penerima zakat tidak boleh memandang penerimaan zakat sebagai perlakuan tidak baik
karena apa yang mereka terima sebenarnya adalah hak mereka yang telah dibentuk oleh Allah
dalam kekayaan orang-orang kaya (QS Adz-Dzariyat:91 dan Al-ma’arij:25).

Dengan demikian penolakan terhadap adanya kewajiban zakat merupakan sikap yang
bertentangan dengan sunnatullah, bahwa manusia sebagai khalifah dan kekayaan adalah amanah
Tuhan. Mereka yang melanggar sunnatullah dianggap termasuk orang yang tidak mensyukuri
karunia-Nya (Ali-Imran:180).

2. Solidaritas sosial

Manusia adalah makhluk sosial, kebersamaaan sekian banyak individu dalam satu wilayah
membentuk masyarakat yang sifatnya berbeda dengan individu-individu tersebut. Manusia tidak
bisa hidup tanpa bantuan masyarakatnya, bahkan sekian banyak pengetahuan yang diperolehnya
melalui masyarakat, seperti bahasa, adat istiadat, etika sopan santun dan lain-lain.

Demikian juga dalam bidang material (ekonomi) betapapun seseorang mempunyai kepandaian,
namun hasil-hasil material yang diperolehnya adalah berkat bantuan pihak-pihak lain baik secara
langsung dan disadari maupun tidak. Seseorang petani berhasil di dalam pertaniannya karena
adanya irigasi, alat-alat (walaupun sederhana), makanan, pakaian, stabilitas keamanan yang
kesemuanya tidak dapat ia diwujudkan kecuali oleh kebersamaan pribadi-pribadi tersebut atau
dengan kata lain masyarakat.
Demikian pula bagi seorang pedagang, siapakah yang menjual atau membeli dari dan
kepadanya? Dari segi lain, harus disadari bahwa produksi apapun bentuknya, pada hakikatnya
merupakan pemanfaatan materi-materi yang diciptakan dan dimiliki Tuhan. Dalam berproduksi,
manusia hanya mengadakan perubahan, penyesuaian, perakitan satu bahan dengan bahan lain
yang telah diciptakan Allah SWT. Demikian itu yang terlihat dalam bidang pertanian,
perindustrian, jasa dan sebagainya.

Manusia mengelola, tetapi Tuhan yang menciptakan dan memilikinya. Dengan  demikian wajar
jika Allah memerintahkan  untuk  mengeluarkan sebagian kecil dari harta yang diamanatkannya
kepada seseorang itu demi kepentingan orang lain.

3. Persaudaraan
Manusia  berasal dari satu keturunan,  antara seorang  dengan  lainnya terdapat pertalian darah,
dekat atau jauh. Pertalian darah tersebut akan menjadi lebih kokoh dengan adanya persamaan-
persamaan  lain, yaitu agama, kebangsaan, lokasi, domisili, dan sebagainya. Hubungan
persaudaraan bukan sekedar menuntut hubungan take and give (memberi dan menerima) atau
pertukaran manfaat tetapi melebihi itu semua, yakni memberi tanpa menanti imbalan atau
membantu walaupun yang dibantu tidak membutuhkan, lebih-lebih lagi jika mereka bersama,
hidup dalam satu lingkungan.

Zakat adalah alat yang sempurna untuk menterjemahkan prinsip Islam tentang persaudaraan dan
rasa kemanusiaan kedalam kehidupan yang nyata. Allah dengan sangat jelas menginginkan agar
zakat ditujukan sebagai suatu bentuk ‘kontribusi’ oleh setiap Muslim, lelaki dan perempuan,
terhadap kemajuan dan kesejahteraan masyarakat.

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka adalah menjadi
‘penolong’ bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh yang ma’ruf dan mencegah yang
mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya.
Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah, sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana”. (At-Taubah: 71).

Jadi kebersamaan dan persaudaraan inilah yang mengantar kepada kewajiban menyisihkan
sebagian harta benda dalam bentuk zakat(sadaqah).

Pengelolaan Zakat dan Pemberdayaan Masyarakat

Ada pertanyaan yang sering kali muncul di tengah masyarakat tentang penyaluran zakat. mana
yang lebih utama: 1) Zakat disalurkan langsung oleh muzakki kepada mustahik, atau 2) Zakat
disalurkan oleh lembaga amil zakat. Berpijak pada Q.S. al-Taubah: 3 sebagaimana telah
dikemukakan, maka selayaknya zakat itu ditangani amil. Prasa “Khudz min amwalihim”
(ambillah dari harta mereka) mengisyaratkan adanya seseorang atau lembaga yang bertugas
untuk mengumpulkan zakat. Menurut Syafi’i, semua ashnaf tidak boleh satu pun tertinggal.
Dengan kata lain, dikarenakan dalam ashnaf terdapat amilin, zakat mesti dihimpun dan diurus
oleh amilin sehingga bagian amilin menjadi tersalurkan.
Di samping itu, jika zakat langsung disalurkan dari muzakki ke mustahik, sering terjadi
kesamaran, yaitu apakah seorang yang menerima itu merupakan orang yang berhak? kebanyakan
orang menyalurkan kepada kerabatnya sendiri yang di nilainya sebagai mustahik, padahal di
sekeliling tempat tinggalnya masih banyak orang yang berhak menerimanya sebab lebih fakir,
lebih miskin, dan lebih menderita dibandingkan kerabatnya tersebut. Di samping itu, penyaluran
langsung berpotensi melahirkan ketidak adilan, bisa jadi ada seseorang mustahik menerima zakat
dari sejumlah muzakki, sementara yang lain tidak menerima apa pun. Tergantung dari
kemampuan mustahik membangun relasi dengan muzakki. Tentu saja hal ini harus diluruskan
agar sesuatu yang sudah dijalankan sesuai dengan aturan yang telah ditentukan Rasulullah SAW.
Rasulullah SAW selalu mengutus petugas zakat untuk memungut zakat-zakat dari orang kaya di
daerah itu untuk diserahkan kepada fakir miskin. Misalnya, beliau mengutus sahabat Muadz bin
Jabal untuk pergi ke Yaman.

Dengan demikian, jika ditanya mana yang lebih utama? maka jawabannya adalah zakat itu
diserahkan kepada lembaga amil zakat yang amanah dan profesional. Karena paling tidak dengan
menyalurkan kepada lembaga amil zakat ada lima keunggulan, yaitu:

– Sesuai dengan petunjuk Alquran dan Assunna


– Untuk menjamin kepastian dan disiplin pembayar zakat.
– Untuk menjaga perasaan rendah diri para mustahik apabila berhadapan langsung untuk
menerima zakat dari Muzakki.
– Untuk mencapai efisiansi dan efektivitas serta sasaran dalam pendayagunaan zakat pada suatu
tempat.
– Untuk memperlihatkan syiar islam dalam semangat pemerintahan yang Islami.

Diantara esensi pengelolaan zakat melalui institusi amil adalah bagaimana mengefektifkan
program penyaluran zakat yang memiliki dampak positif terhadap kesejahteraan mustahik
(kelompok penerima zakat). Sejumlah studi membuktikan bahwa penyaluran zakat secara
langsung dari muzakki (wajib zakat) kepada mustahik memiliki dampak yang kurang signifikan
dibandingkan dengan apabila penyaluran zakat tersebut dilakukan dengan melibatkan peran amil
zakat dalam mengintermediasi muzakki dan mustahik.
Di Indonesia, kita mengenal Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) yang dibentuk oleh negara.
Tugas pokok BAZNAS adalah merealisasikan misi BAZNAS yaitu :

1. Meningkatkan kesadaran umat untuk berzakat.

2. Mengarahkan masyarakat mencapai kesejahteraan baik fisik maupun non fisik melalui
pendayagunaan zakat

3. Meningkatkan status mustahik menjadi muzakki melalui pemulihan, peningkatan kualitas


SDM, dan pengembangan ekonomi masyarakat.

4. Mengembangkan budaya “memberi lebih baik dari menerima” di kalangan mustahik.

5. Mengembangkan manajemen yang amanah, profesional dan transparan dalam mengelola


zakat.

6. Menjangkau muzakki dan mustahik seluas-luasnya.

7. Memperkuat jaringan antar organisasi pengelola zakat. Sebagai Badan Amil Zakat, kegiatan
pokok BAZNAS adalah menghimpun ZIS dari muzakki dan menyalurkan ZIS kepada mustahik
yang berhak menerima sesuai ketentuan agama.

Pengelolaan zakat dalam artian mengusahakan agar dana zakat yang berhasil dihimpunnya bisa
disalurkan kepada post-post (ashnaf) yang sesuai dengan yang dianjurkan dan ditetapkan oleh
syari’at Islam. Usaha pendistribusian zakat ini terdapat dalam program pendayagunaan zakat.

Program pendayagunaan berarti program yang di dalam pendistribusiannya itu tidak hanya
memastikan dana zakat sampai kepada mustahik, melainkan juga bernilai produktif dan mampu
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sehingga status mustahik dapat ditingkatkan menjadi
muzakki.

Kondisi ibadah perzakatan yang belum banyak disadari oleh para Muslimin Indonesia, di
samping lebih banyaknya jumlah kemiskinan dibanding yang kaya, mengakibatkan dana zakat
yang terhimpun tidak sebanding dengan kebutuhan atau jumlah mustahik yang membutuhkan
pertologan zakat. Dalam kondisi seperti ini tentu hal yang mesti diusahakan oleh para amilin
adalah mengelola agar sumberdaya yang penuh keterbatasan itu dapat menghasilkan output yang
optimal.

Kesadaran dan usaha seperti ini akan terwujud hanya dengan apabila zakat disalurkan lewat
lembaga sehingga dalam permasalahan inilah penyaluran zakat lewat lembaga akan mendapat
nilai lebih ketimbang menyalurkannya secara langsung oleh muzakki.

Salah satu faktor yang terkadang menghambat pengelolaan zakat secara profesional adalah masih
kurangnya pemahaman masyarakat terhadap pentingnya fungsi amil zakat. Oleh karena itu, salah
satu misi utama BAZNAS adalah memberikan pemahaman dan mensosialisasikan kepada
masyarakat tentang pentingnya peran amil. Dan untuk menjamin kepercayaan masyarakat
terhadap pengelolaan zakat yang mereka bayarkan, BAZNAS secara berkala memberikan
laporan bulanan secara terbuka yang dapat diakses pada website resminya:
http://pusat.baznas.go.id/laporan-bulanan/. Hal ini dilakukan sebagai wujud akuntabilas publik
dan transparansi pengelolaan zakat.

Penutup

Dengan kesediaan mengeluarkan zakat, memberikan infaq dan shadaqah menurut ukurannya,
semotga kita tidak akan hilang dalam cakrawala. Harta yang dimiliki semoga akan memudahkan
perjalanan kita menuju Allah SWT. Selamat menjalankan ibadah puasa dalam upaya spiritual
untuk meraih posisi taqwa. Amin.

*) Penulis adalah Ketua MUI Kota Palu yang juga Ketua FKUB Provinsi Sulawesi Tengah.

Anda mungkin juga menyukai