Anda di halaman 1dari 4

Menghadapi Realitas Pendidikan dan SDM Papua Dalam Era Globalisasi

Eng Go
Kepala Pusat Leadership Management & Sciene Papua – Yayasan Alirena

Tanah Papua, pulau indah dengan potensi sumber daya alam yang melimpah serta permasalahan yang
mengikutinya, telah menjadikannya sebagai wilayah yang memiliki banyak ironi. Ironi terjadi saat
Tanah Papua hingga hari ini tidak berhasil memaksimalkan potensi wilayahnya untuk meningkatkan
kesejahteraan yang merata untuk masyarakatnya. Kesejahteraan adalah tujuan akhir dari adanya
program dan kehadiran pemerintan di Tanah Papua. Tetapi melihat kenyataan yang terjadi sekarang
ini, sangat jauh dikatakan bahwa Tanah Papua telah berhasil dan berkembang dalam jalur
pembangunannya yang tepat.

Kolaborasi 5 Modal Pembangunan

Salah satu teori pembangunan daerah adalah tentang investasi 5 modal, yaitu: modal alam, SDM,
sosial, finansial, dan infrastruktur atau fisik. Pengembangan 5 modal itu harus terintegrasi dan berakar
pada adat budaya pemilik wilayah daerah tersebut. Tidak ada masyarakat modern yang vakum
budaya. Korea Selatan, Singapura, Taiwan, China dan negara modern lainnya, memiliki teknologi yang
menyejahterakan masyarakatnya sesuai konteks budaya yang ada; dan perlu menjadi catatan bahwa
umumnya mereka homogen dalam aspek budaya, kecuali Singapura dengan 3 macam budaya
(Melayu, Chinese, India).

Gambar 1. 5 modal pembangunan daerah

Bagaimana dengan Papua? Di dalam Papua sendiri banyak keragaman, dalam bentuk yang sederhana
misalnya antara penduduk pesisir dan pegunungan, kemudian dalam bentuk kesukuan dan bahkan
sampai bentuk klanisme. Bagaimana orang asli Papua (OAP) bisa menjadi pemilik (owner) dan penata-
guna (steward) investasi 5 modal tersebut? Suatu tantangan yang sangat besar, mengingat kapasitas
beride dan berimajinasi terhadap 5 modal tersebut dalam konteks globalisasi belum dimiliki.
Sementara itu mengharapkan 100% ownership dan stewardship dari Pemerintah Pusat menciptakan
suatu realitas pembangunan yang terasa asing oleh OAP.

Pendidikan adalah salah satu titik pemecahan tantangan SDM OAP untuk mampu mengembangkan 5
modal tersebut. Namun sejauh ini kualitas SDM Papua, menurut berbagai macam laporan dan
indikator, ada dalam ranking yang cukup rendah. Artinya model pendidikan dan praksis pendidikan
yang terjadi di Papua belum mampu menghasilkan SDM OAP berkualitas global. Melanjutkan proses
pendidikan seperti apa adanya, “business as usual”, adalah sia-sia, dan yang harus menjadi
keprihatinan lebih besar adalah hilangnya 1 generasi OAP.

Realitas Pendidikan di Papua

Apakah SDM OAP akan maksimal siap menjadi pemeran globalisasi (bukan sekedar angka raport atau
ijazah menjadi lebih baik), apabila guru, kepala sekolah, dan personil sekolah lainnya memiliki dedikasi
sebagai pendidik, disiplin dalam waktu dan persiapan mengajar, bahkan proaktif untuk memperkaya
materi belajar yang dipakai? Apabila dinas pendidikan dari tingkat kabupaten sampai provinsi
dijalankan oleh personil yang menguasai pendidikan, yang inovatif, profesional, disiplin? Apabila
efisiensi pemakaian anggaran 90% atau lebih dan tepat guna? Apabila fasilitas infrastruktur dan
logistik (listrik, signal, air bersih) terpenuhi? Apabila rasa aman di kampung-kampung bisa terciptakan?
Bukan lagi realitas yang “mengagetkan” banyak sekolah di Papua yang berjalan setiap hari tanpa guru
yang lengkap, bahkan guru seringkali ada di kota lain, termasuk di pulau lain.

Berdasarkan data pendidikan yang kami proses, dari aspek sikap (attitude) hati, guru dan pendidik
yang punya hati untuk mendidik anak-anak OAP sekitar 3%, dan 60% bisa masuk kategori tidak layak
menjadi pendidik; 70% jumlah guru bidang mata pelajaran pokok, yaitu Bahasa Indonesia,
Matematika, IPA, Ilmu Sosial, yang mana sangat baik, namun penguasaan konten banyak yang di
bawah KKM standar nasional; 12% jumlah guru dalam bidang komputer, fisika, kimia, biologi dan
Bahasa Inggris, yaitu bidang-bidang yang penting untuk pengembangan teknologi dan
entrepreneurship. Sebagai catatan kami, banyak sekolah lebih mengutamakan pelajaran tentang
informasi dibanding pelajaran tentang komputer. Data-data sederhana itu bisa dikorelasikan langsung
dengan berapa banyaknya anggaran yang bisa lebih dimaksimalkan, dan juga sumber daya lainnya,
demi untuk masa depan generasi OAP.

Opsi Solusi Pendidikan Pusat

Sumber Daya Manusia (SDM) menjadi bagian penting untuk mewujudkan transformasi pembangunan.
Mewujudkan SDM yang memiliki kompetensi selaras dengan potensi wilayah yang dimiliki Tanah
Papua merupakan hal mendesak yang harus segera dilakukan. Kebutuhan dan tantangan pendidikan
serta kesiapan SDM Papua dalam era globalisasi harus dilihat secara lebih cermat akurat dan detil.
Tidak cukup dilihat dari high level bentuk atau formatnya saja. Saat ini kita mengukur kualitas
pendidikan Papua sesuai dengan format (sistem, personil, proses, dll.) yang ditentukan oleh pusat.
Padahal pusat belum tentu merancang sistem pendidikannya sesuai dengan realitas dan kebutuhan
Papua (3T lainnya). Kita harus berani untuk mengatakan bahwa sistem one size fits all itu keliru untuk
masyarakat seluas nusantara, karena tidak mungkin kita memisahkan pendidikan dari budaya asli
masyarakat lokal. Budaya harus menjadi bagian dari filosofis dasar pendidikan, tidak bisa hanya
sekedar mulok (muata lokal) dalam bentuk ekstrakuriluer.

Merdeka belajar yang dicanangkan pusat, menurut hemat saya, suatu langkah Pusat untuk
mengkalibrasi kebijakannya, namun masih belum jelas apa itu. Pemerintah pusat “memberikan
kebebasan” kepada setiap sekolah untuk mengisi merdeka belajar. Suatu langkah yang sangat berani
dan sangat luar biasa. Namun apakah setiap sekolah mampu berinovasi untuk mengisi merdeka
belajar dengan suatu kurikulum dan silabus yang sesuai dengan karakteristik local; atau berapa persen
sekolah akan mampu kreatif dan berinovasi mengisi merdeka belajar, project based learning, dengan
program pembelajaran yang memaksimalkan SDM nya terhadap asetnya dalam konteks globalisasi?
Dengan realitas SDM yang ada di Papua, dan ritme bersekolah yang tidak sesuai spesifikasi standar
sekolah normatif, merdeka belajar akan menjadi tantangan besar. Kemungkinan besar sekolah, dalam
hal ini kepala sekolah dan guru, akan tetap memakai Kurtilas-2013 atau bahkan KTSP sebagai
kurikulumnya.

Tidak mudah dan tidak murah untuk membangun pendidikan nusantara yang sangat lebar spektrum
keragaman budayanya. Dilematis sekali secara nasional. Perlu ada strategi yang khusus untuk
mengatasi tantangan nasional ini. Pusat perlu membentuk tim khusus untuk hal ini, mungkin bisa
melibatkan Lembaga seperti BRIN sebagai salah satu opsi.

Berbasis budaya Dengan Language-Math-Science

Keluar dari revolusi budaya di tahun 1978, negara China jauh dari negara China hari ini, bahkan dalam
banyak hal mereka ada di belakang Indonesia. Di bawah kepemimpinan Deng Xiaoping, ada 2 hal yang
dilakukan yang sangat mustahil, namun sangat inovatif. China mengirim SDM mudanya untuk belajar
di universitas-universitas di Barat, dan semua dalam bidang teknik (engineering) dan untuk tingkatan
S2; dalam waktu yang bersamaan, China memanggil pembisnis-pembisnis sukses yang ada di luar
negeri untuk pulang dan membangun ecosystem ekonomi, kapitalisme dalam sistem politik
komunisme. Dua inisiatif penting dan mustahil itu yang menjadikan China hari ini. Memang SDM China
sudah dibekali dengan mindset hidup produktif, disiplin, kemauan untuk bekerja keras demi
menghasilkan kehidupan yang lebih baik.

Pendidikan di Papua perlu membawa anak didik mengenal dan mempu mengembangkan aset yang
mereka miliki, aset itu adalah dirinya sebagai manusia ciptaan Allah, adat budayanya, dan alam
lingkungannya. Ketiga aset itu harus menjadi sangat relevan dalam globalisasi. Dalam realitas yang
ada hari ini, dus pendidikan harus tentang pengkajian tentang budaya Papua dan pengkajian apa itu
modernisasi dari kacamata OAP. Filosofis pendidikan tradisional Papua, di suku manapun di Papua,
adalah tentang pembentukan skill. Anak dididik untuk menguasai suatu skill yg berguna melanjutkan
kehidupan dalam suatu komunitas, dengan demikian adat budaya bisa berkelanjutan. Pendidikan
membuat manusianya cinta dan bangga akan kehidupan yang ada.

Realitas itu adalah utuh dan tuntas untuk dijadikan materi belajar dan materi pengkajian budaya
Papua dan modernisasi. Semua teori dan ilmu pengetahuan menjadi relevan dan dibutuhkan untuk
memperkuat materi belajar itu, pemetaan kurikulum dan silabus menjadi suatu strategi dan program
pendidikan yang akan mampu mempersiapkan SDM OAP relevan siap bersaing dalam globalisasi.
Anak-anak Papua akan mampu menguasai matematika dari konsep linear masuk ke non-linear.
Gambar 2 sepertinya adalah realitas mata pelajaran matematika hari ini untuk kebanyakan anak OAP.

Gambar 2. Building blocks pembelajaran matematika di banyak tempat di Papua


Padahal building blocks matematika, kalau bisa dibuat secara garis besar seperti di gambar 3.

Gambar 3. Building blocks matematika secara sederhana dari SD-SMA.

Pengkajian Budaya Papua dan Modernisasi, PBPM, adalah program pendidikan dengan model skill
based memakai materi-materi yang dikenal oleh masyarakat local (aset), dimana anak-anak dan orang
tua belajar mengenal konsep modern, membangun hidup yang produktif, sampai mampu untuk
relevan dan bersaing dalam globalisasi.

Papua harus mentransformasi kualitas operasional sistem pendidikannya. Harus ada kesadaran kritis
yang terbangun dari berbagai stakeholder yang terlibat di dalamnya, yaitu mereka yang saat ini terlibat
langsung dalam sistem pendidikan di Tanah Papua, dan juga mereka yang ada di provinsi, pusat,
bahkan sector swasta.

Yayasan Alirena
ceritamasadepanpapua@sai-edu.org
@CeritaMasaDepanPapua

Anda mungkin juga menyukai