SKRIPSI
Agama Katolik
Oleh
ii
iii
PERNYATAAN ORISINALITAS
iv
KATA PENGANTAR
Parrhesia adalah salah satu isu kunci Michel Foucault yang berbicara
tentang aktivitas untuk mengungkapkan segala sesuatu yang ada dalam pikiran
seseorang. Parrhesia dengan itu juga mengandung kemerdekaan dan kebebasan
menggunakan bahasa. Dan karena itu, parrhesia berarti kemerdekaan berbicara,
keterbukaan mengungkapkan sesuatu, berbicara dengan penuh keyakinan,
berbicara secara terbuka dan polos.
v
Penulis juga menyampaikan limpah terima kasih kepada Pater Yohanes
Orong, S. Fil., M. Pd. Yang dalam kesibukannya masih meluangkan waktu untuk
membimbing penulis dengan tekun dan teliti dalam menggarap skripsi ini. Tanpa
bantuan dan bimbingan beliau, skripsi ini tidak mungkin terselesaikan. Terima
kasih pula penulis sampaikan kepada Pater Ferdinandus Sebho, S. Fil., Lic yang
telah bersedia menjadi penguji. Tanpa pertanyaan-pertanyaan kritis dari pater
penguji, skripsi ini hanya akan menjadi tulisan biasa. Penulis menyampaikan
terima kasih pula kepada kedua orangtua yang dengan doa-doanya senantiasa
menguatkan penulis. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada para
sahabat yang telah mendukung penulis dengan penuh kasih dalam menyelesaikan
skripsi ini.
Penulis mengharapkan agar skripsi ini dapat berguna bagi siapa saja yang
membacanya. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu, kritik dan saran dari berbagai pihak sangat dibutuhkan untuk
menyempurnakan tulisan ini.
Penulis
vi
ABSTRAK
Selsus Juliano Neu Bay. Proses Pembentukan Subjek Parrhesiast Tokoh dan
Penokohan Jacques Pangemanann dalam Roman RumahKaca Karya
Pramoedya Ananta Toer. Skripsi. Program Studi Ilmu Teologi-Filsafat Agama
Katolik. Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, 2020.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan proses pembentukan
subjek parrhesiast tokoh dan penokohan Jacques Pangemanann dalam roman
RumahKaca.
Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif.
Objek yang diteliti adalah pembentukan subjek parrhesiasttokoh dan penokohan
Jacques Pangemanann dalam roman Rumah Kaca karya Pramoedya Ananta Toer.
Wujud data dalam penelitian ini berupa kalimat yang terdapat dalam roman
Rumah Kaca. Sumber data utama penelitian ini adalah roman Rumah Kaca karya
Pramoedya Ananta Toer. Sumber data sekunder diperoleh dari buku-buku Michel
Foucault tentang parrhesia dan dari kajian terhadap penelitian-penelitian
terdahulu, khususnya penelitian sastra dengan tinjauan parrhesia. Teknik
pengumpulan data yang digunakan adalah teknik non interaktif, yang meliputi
analisis isi terhadap dokumen dan arsip. Langkah yang digunakan dalam teknik
analisis isi ditempuh dengan pertama, membaca berulang-ulang roman Rumah
Kaca. Kedua, mengumpulkan dan mempelajari beberapa teori yang relevan
dengan tema penelitian. Ketiga, Mencatat dan menganalisis semua data, berupa
kutipan penting yang sesuai dengan permasalahan. Adapaun teknik analisis data
yang digunakan adalah analisis model mengalir. Teknik analisis data dengan
model mengalir dimulai dari pengumpulan data, reduksi data, display data dan
penarikan kesimpulan. Teknik validasi data yang digunakan adalah teknik
triangulasi. Secara khusus triangulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah
triangulasi data. Triangulasi data dilakukan dengan menggunakan data dari
sumber utama, yakni roman Rumah Kaca dan didukung oleh beberapa pendapat
yang tertulis pada berbagai macam teks yang berkaitan dengan kajian mengenai
pembentukan subjek parrhesiast dan buku-buku Michel Foucault.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa tokoh dan
penokohan Jacques Pangemanann dalam roman Rumah Kaca karya Pramoedya
Ananta Toer memiliki kesesuaian dengan konsep Michel Foucault tentang
parrhesia. Jacques Pangemanann adalah pribadi yang menjawabi pertanyaan
pertama, siapa yang mengatakan kebenaran. Karena Pangemanann adalah tokoh
utama dalam roman ini. Semua penceritaan roman berpusat pada diri
Pangemanann. Pola hidupnya, relasinya, pergulatan batinnya dan kebiasaan-
kebiasaannya dinarasikan dalam sebagian besar roman. Kebiasaannya untuk
berpikir dituangkannya dalam bentuk tulisan. Hal ini menjawabi pertanyaan
bagaimana mengatakan kebenaran. Sebagai seorang intelektual yang memiliki
latar belakang pendidikan yang baik, Pangemanann menggunakan tulisan sebagai
penyaluran kebenaran. Pangemanann selalu mengalami pergulatan dengan
batinnya. Ia menyukai hidup berdampingan bersama manusia, berada bersama
vii
manusia, dan bekerja bersama demi kemanusiaan itu sendiri. Pangemanann
sebagai seorang terpelajar pribumi juga menghormati dan menghargai Minke,
target kolonial nomor satu yang harus dibekukan pergerakannya. Hal ini
menjawabi pertanyaan mengapa mengatakan kebenaran. Namun, statusnya
sebagai seorang pejabat kolonial membuatnya bertentangan dengan nuraninya. Ia
tidak lagi bekerja demi kemanusiaan, tetapi demi karier dan demi tidur nyenyak
Gubermen. Pertentangannya dengan nuraninya ini mengantar Pangemanann pada
pemeriksaan batin yang dalam. Dalam pemeriksaan batinnya ini, Pangemanann
mempersalahkan dirinya yang tidak mendengarkan nuraninya. Pada akhirnya,
Pangemanann menyadari dan mengakui kesalahannya.
viii
DAFTAR ISI
ix
4.1.1 Seorang Parrhesiast SeharusnyaMemiliki Status Kewarganegaraan
yang Jelas ................................................................................................. 46
4.1.2 Seorang Parrhesiast Seharusnya Memiliki Kemerdekaan Batin ............. 47
4.1.3 Seorang Parrhesiast Seharusnya Seorang yang Baik yang Memiliki
Kualifikasi Moraldan Sosial .................................................................... 51
4.1.4 Seorang Parrhesiast Seharusnya juga Memiliki Suatu Kesadaran atas
Tugas dan Tanggung Jawab .................................................................... 52
4.1.5 Seorang Parrhesiast Harus Memiliki Keberanian ................................... 54
4.1.6 Seorang Parrhesiast Harus Memiliki Relasi dengan Dirinya Sendiri ..... 55
4.2 Jacques Pangemanann sebagai Subjek Parrhesiast .................................... 56
4.2.1 Pemeriksaan Batin Secara Pribadi ........................................................... 57
4.2.2 Diagnosis Diri .......................................................................................... 58
4.2.3 Testing Diri .............................................................................................. 59
x
BAB I
PENDAHULUAN
Postmodernisme telah menjadi salah satu tema diskusi filsafat masa kini.
Dari persperktif filosofis, postmodernisme boleh dilihat sebagai sebuah aliran
berpikir, seperti aliran-aliran berpikir lain yang pernah ada dalam rentang panjang
sejarah filsafat. Meskipun menjadi tema yang banyak kali dibicarakan,
pemahaman yang memadai dan komprehensif tentang postmodernisme tetap saja
sulit dicapai. Hal yang sama juga terjadi dengan sejumlah istilah serupa lainnya
yang sama-sama berasal dari bentuk dasar “postmodern.” Memang popularitas
penggunaan istilah-istilah seperti postmodern, postmodernisme dan
postmodernitas tidak dengan sendirinya menunjukkan kejelasan arti dan makna.1
1
Willy Gaut, Filsafat Postmodernisme (Maumere: Penerbit Ledalero, 2011), hlm. 1.
1
kronologis mengikuti zaman modern.2
2
Ibid., hlm. 2.
3
Ibid.
4
Dr. Konrad Kebung Beoang, Michel Foucault Parrhesia dan Persoalan Mengenai Etika (Jakarta:
Penerbit Obor, 1997), hlm. 7.
2
sesuatu dan dalam segala epok sejarah. Martin Heidegger melihat kebenaran
sebagai suatu aletheia (keterbukaan Being) yang didasarkan pada keterbukaan
Dasein terhadap cahaya Being (Heidegger mengerti ‘eksistens’ sebagai
memandang kepada atau keterarahan kepada kebenaran Being). Karena itu lewat
ontologinya Heidegger melihat keterbukaan primordial Dasein terhadap
kebenaran Being ini sebagai dasar terdalam dari segala pengertian tentang
kebenaran yang pernah ditemukan atau dicapai.5
Parrhesia, yang telah dijelaskan sebelumnya adalah salah satu isu kunci
yang diangkat Michel Foucault.8 Parrhesia dalam artian yang sebenarnya adalah
aktivitas untuk mengungkapkan segala sesuatu yang ada dalam pikiran seseorang
(action de tout declarer, tout exprimer). Parrhesia dengan itu juga mengandung
kemerdekaan dan kebebasan menggunakan bahasa. Dan karena itu, parrhesia
berarti kemerdekaan berbicara, keterbukaan mengungkapkan sesuatu, berbicara
dengan penuh keyakinan, berbicara secara terbuka dan polos.9 Foucault tidak
berbicara tentang problem kebenaran. Foucault memusatkan perhatiannya pada
5
Ibid.
6
Ibid.
7
Ibid.
8
Ibid., hlm. 10.
9
Ibid., hlm. 11.
3
problematisasi parrhesia. Problematisasi parrhesia adalah suatu istilah yang
umumnya dikenal sebagai “berbicara secara jujur dan terbuka”, “bebas”, dan
“berbicara dan bercerita yang benar”. Problematisasi parrhesia ini juga
mengandaikan bahwa seseorang harus memperhitungkan adanya fenomena
kebenaran. Istilah parrhesia ini selalu mengandaikan suatu subjek yang
mempraktikkannya. Karena dalam relasi-relasi kebenaran, pertanyaan utama yang
muncul adalah siapa yang mengatakan kebenaran, bagaimana mengatakannya,
dan mengapa kebenaran itu dikatakan? Subjek ini disebut parrhesiast. Dengan
kata lain, parrhesia membutuhkan seseorang untuk menanganinya dan
menjadikannya berarti. Oleh karena itu, semua diskusi Foucault selalu terarah
kepada subjek yang dikenal sebagai parrhesiast, subjek manusiawi yang dapat
menerima dirinya dan orang lain.
4
terjadi dalam dua tahap, yaitu meramu gagasan dalam situasi imajinasi yang
abstrak dan tercipta dalam penulisan karya sastra yang bersifat konkret.
Ada tiga cara yang dapat dilakukan untuk memahami hubungan antara
psikologi dan sastra.13 Pertama, memahami unsur-unsur kejiwaan pengarang
sebagai penulis. Kedua, memahami unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiktif
dalam karya sastra. Ketiga, memahami unsur-unsur kejiwaan pembaca.
13
Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, S. U, op. cit., hlm. 343.
14
Ibid., hlm. 344.
5
Minke dijatuhkan kepadanya. Ia selalu berseberangan dengan kata hatinya dan
mengalami keterpecahan diri. Kemalangannya bertambah ketika istrinya
memutuskan untuk meninggalkannya. Ia semakin terperosok dalam lumpur
kolonialisme yang dibanggakannya. Keseluruhan konflik roman Pramoedya
Ananta Toer berjudul Rumah Kaca ini berkutat dalam diri Jacques Pangemanann
dan pergulatan nuraninya.
Studi terdahulu tentang parrhesia ini pernah dibuat oleh Maria Matildis
Banda dengan judul penelitian “Wacana Kekuasaan dan Kebenaran dalam Puisi
Lisan Sa Ngaza”.15 Menurut penelitian ini puisi lisan perlu dikaji demi
keberlangsungan tradisi, keberakaran, dan pembentukan karakter. Teori yang
digunakan dalam kajian ini adalah teori kekuasaan dan kebenaran Michel
Foucault. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif analitik. Kajian ini
menjelaskan bahwa wacana kekuasaan dan kebenaran dalam puisi lisan sebagai
parrhesia dan parrhesiast memerlukan sejumlah modal. Modal dapat mendukung
Sa Ngaza agar memiliki pengaruh dan dominasi demi keberlanjutan tradisi dalam
era postmodern. Hubungan antara parrhesia dan parrhesiast tidak dapat dipisahkan
dari pengetahuan, kekuasaan, dan kebenaran asal-usul sub-etnis pemilik Sa
Ngaza.
15
Maria Matildis Banda, “Wacana Kekuasaan dan Kebenaran dalam Puisi Lisan Sa Ngaza”
https://e-journal.unair.ac.id/MOZAIK/article/view/6595, diakses pada 14 Februari 2020.
6
Maria Matildis Banda juga pernah membuat penelitian berjudul “The
Power of Truth of Parrhesia and Parrhesiasist in the Poetry Collection of Arakian
Ballad”. Penyair memiliki tanggung jawab dalam mengungkapkan kebenaran
melalui karya-karya mereka. Oleh karena itu, hubungan pribadi antara penyair dan
karya-karyanya adalah hal yang mutlak dan dapat dilihat dari sudut pandang
pribadi dan budaya. Penelitian ini dibuat dengan menggunakan pendekatan
ekspresif untuk menjawab isu di atas. Teori yang digunakan adalah teori
kekuasaan dan kebenaran dengan menekankan parrhesia dan parrhesiast. Metode
yang digunakan adalah tinjauan literatur dan wawancara tertulis kepada penyair.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kekuatan dan kebenaran yang dimiliki oleh
Yapi dalam implementasi parrhesia dalam koleksi puisinya, Ballada Arakian,
mengungkapkan tema umum tentang humanisme, agama, dan refleksi berdasarkan
parrhesia: yaitu hubungan pribadi penyair adalah kebenaran, risiko yang dihadapi
dalam menyampaikan kebenaran, dan respon penyair sebagai parrhesiast.16
Studi terdahulu tentang roman Rumah Kaca juga pernah dibuat oleh Alan
Kurniawan Poku dengan judul penelitian “Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Novel
Rumah Kaca Karya Pramoedya Ananta Toer: Perspektif Galtung”.17 Penelitian ini
bertujuan untuk (1) Mendeskripsikan struktur pembangun cerita yang mencakup
alur, tokoh, penokohan, dan latar dalam novel Rumah Kaca, dan (2)
Mendeskripsikan bentuk-bentuk kekerasan yang terdapat dalam novel Rumah
Kaca. Studi ini menggunakan paradigma Wellek dan Warren yang membagi
penelitian sastra atas dua pendekatan, yaitu pendekatan intrinsik dan pendekatan
ekstrinsik. Pendekatan intrinsik digunakan untuk menganalisis struktur cerita
dalam novel Rumah Kaca. Teori yang digunakan adalah teori struktural.
Pendekatan intrinsik digunakan untuk menganalisis bentuk-bentuk kekerasan
menurut perspektif Galtung. Teori yang digunakan adalah teori sosiologi sastra
dengan memanfaatkan teori kekerasan Galtung. Dalam penelitian ini, peneliti
menggunakan metode analisis data menggunakan deskriptif kualitatif dan teknik
16
Maria Matildis Banda, “The Power of Truth of Parrhesia and Parrhesiasist in the Poetry
Collection of Arakian Ballad” https://www.e-
journal.usd.ac.id/index.php/IJHS/article/download/2080/1603, diakses pada 14 Februari 2020.
17
Alan Kurniawan Poku, “Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Novel Rumah Kaca Karya Pramoedya
Ananta Toer: Perspektif Galtung” https://repository.usd.ac.id, diakses pada 4 April 2020.
7
pengumpulan data menggunakan teknik simak catat dan teknik studi pustaka.
Hasil analisis struktur pembangun cerita yang mencakupi, alur, tokoh, penokohan,
dan latar dalam novel Rumah Kaca sebagai berikut. Alur dalam novel adalah alur
maju. Tokoh utama dalam novel adalah Jacques Pangemanann dan R.M. Minke.
Tokoh tambahan, yaitu Jendral Idenburg, Donlad Nicolson, Robert Suurhof,
Prinses Kasiruta, Piah, Paulette, Rientje de Roo, Nyi Juju, Nyi Romlah, Frits
Doertier, Hadji Samadi, Wardi, D. Douwager, Tjiptomangun, Ayah Soendari,
Bernhard Meyersohn, Pemuda. Latar waktu dalam novel, yaitu (1) tahun 1912, (2)
tahun 1914, (3) tahun 1911, (4) tahun 1919, (4) awal tahun 1913. Latar tempat
dalam novel adalah Hindia. Latar sosial-budaya yang terdapat dalam novel adalah
sosial budaya Eropa-Belanda. Hasil dari penelitian bentuk-bentuk kekerasan
dalam penelitian ini sebagai berikut. Hasil penelitian kekerasan struktural, yaitu
(1) kekerasan struktural terhadap pemimpin organisasi, (2) kekerasan struktural
pelajar Pribumi, dan (3) kekerasan struktural perempuan. Hasil penelitian
kekerasan personal, yakni (1) kekerasan personal gerombolan Pitung, (2)
kekerasan personal kaum Tionghoa, (3) kekerasan personal gerombola Suurhof,
(4) kekerasan personal wanita, (5) kekerasan personal Bernhard Meyersohn. Hasil
penelitian kekerasan simbolis, yakni (1) kekerasan simbolis berupa bahasa, (2)
kekerasan simbolis berupa Ideologi, (3) kekerasan simbolis ilmu pengetahuan,
dan (4) kekerasan simbolis berupa psikis.
Nadia Anastasia Putri Pratama juga pernah membuat studi tentang roman
Rumah Kaca dengan judul “Perlawanan Pribumi Terhadap Kolonial dalam Novel
Rumah Kaca Karya Pramoedya Ananta Toer”.18 Dalam kajian ini peneliti
mendeskripsikan peristiwa kolonialisme dan perjuangan rakyat untuk terbebas
dari penjajahan yang terjadi di Indonesia yang diceritakan dalam novel Rumah
Kaca. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif yang
diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subjek atau objek
penelitian berdasarkan fakta dalam karya sastra. Penelitian ini berfokus pada
analisis kajian teori pendekatan sosiologi sastra yang bertujuan untuk
18
Nadia Anastasia Putri Pratama, “Perlawanan Pribumi Terhadap Kolonial dalam Novel Rumah
Kaca Karya Pramoedya Ananta Toer” http://research-report.umm.ac.id/index.php/SENSABASA,
diakses pada 15 April 2020.
8
mendeskripsikan perlawanan tokoh pribumi pada masa kolonial dalam
memperjuangkan haknya. Hasil penelitian perlawanan pribumi terhadap kolonial
adalah sebagai berikut (1) bentuk perlawanan tokoh pribumi terhadap kolonial
yang berupa perlawanan langsung dan tidak langsung (2) dampak perlawanan
yang dilakukan yang ada dalam novel.
19
Lexy Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdkarya, 2005), hlm. 6.
9
melalui usaha mengidentifikasi karakteristik khusus dalam sebuah teks secara
objektif dan sistematis.20
Hal ini sesuai dengan rumusan format inventarisasi data menurut Muhardi
dan Hasanuddin.22 Data yang telah dikumpulkan, dianalisis dengan beberapa
langkah yang harus dilakukan antara lain, (1) mendeskripsikan data berdasarkan
konsep parrhesia, (2) mengklasifikasikan data melalui satuan-satuan peristiwa di
dalam novel tersebut, (3) menginterpretasikan data, (4) membuat kesimpulan dari
20
Ibid., hlm. 220.
21
Ibid., hlm. 338.
22
Muhardi dan Hasanuddin, Prosedur Analisis Fiksi (Padang: IKIP Padang Press), hlm. 65.
10
hasil penelitian, (5) menulis laporan.23
23
Ibid.
11
BAB II
Pada bab ini, diuraikan secara singkat biografi Michel Foucault dan garis
besar pemikirannya. Pemikiran Foucault yang menjadi sorotan utama adalah
proses pembentukan subjek parrhesiast. Dalam proses pembentukan subjek ini,
dijelaskan kebajikan-kebajikan utama yang harus dimiliki oleh seorang parrhesiast
dan praktik-praktik pendalaman diri secara pribadi untuk mencapai manusia
sebagai subjek etis.
Julie Faith O’Callaghan, The Sexual Experience: Michel Foucault and The History of Sexuality
24
(Murdoch: Murdoch University, 2013), hlm. 1-5. Bdk. https://m.merdeka.com, diakses pada 3
April 2020.
12
jejak keluarga yaitu menjadi seorang ahli bedah, tetapi Foucault memilih jurusan
sastra dan sejarah di Ecole Normale Superieure pada tahun 1943.
Selain aktif menulis, Foucault juga aktif dalam aksi-aksi politik. Ia juga
kerap diundang ke banyak negara seperti Polandia, Tunisia, Jerman, dan Amerika
13
Serikat untuk memberikan orasi ilmiah. Meskipun karir akademisnya semakin
menanjak, kepribadiannya sebagai seorang yang ‘menyimpang’ tidak pernah
memudar. Foucault dikenal sebagai pemabuk, homoseksual, pecandu obat-obat
terlarang, opium, ganja, kokain, da LSD. Kematiannya pada tanggal 25 Juni 1984
disebaban oleh penyakit AIDS. Foucault adalah tokoh publik pertama di Perancis
yang meninggal akibat AIDS. Pasca kematian Foucault, istrinya Daniel Defert,
mendirikan sebuah yayasan amal untuk membantu penderita AIDS dalam rangka
mengenang Foucault.
25
Hubert L. Dreyfus and Paul Rabinow, Michel Foucault: Beyond Structuralism and Hermeneutics
(Chicago: The University of Chicago Press, 1982), hlm. 208.
26
Todd May, The Philosophy of Foucault (Chesham: Acumen Publishing Limited, 2006), hlm. 67
14
sebagai reason dan unreason, thought dan unthought yang berisikan pertentangan
antara yang normal dan tidak normal. Foucault mau menunjukkan bahwa keadaan
objektif orang sakit atau orang tidak normal dapat memengaruhi perhatian dan
pandangan orang-orang normal yang sebelumnya memandang mereka sebagai
objek, berubah menjadi subjek dengan cara memberikan pertolongan. Keberadaan
orang-orang tidak normal di tengah masyarakat menunjukkan bahwa orang-orang
normal juga dapat mengalami pengalaman-pengalaman tidak normal seperti itu.
Jadi, situasi hidup bersama yang harmonis adalah sebuah pemestian. Rumah Sakit
dibangun untuk orang sakit, penjara dibangun untuk pelaku kriminal, dan Rumah
Sakit Jiwa bagi orang yang mengalami gangguan kejiwaan.27
27
Michel Foucault, Madness and Civilization, Penerj. Richard Howard (Naw York: Vintage Books,
1988), hlm 65.
28
Michel Foucault, The Archeology of Knowledge and The Discourse on Language, penerj. A. M.
Sheridan Smith (New York: Pantheon Books, 1972), hlm. 138-139.
15
dalam latihan berbicara? Dan bagaimana meditasi dan latihan rohani yang
dilakukannya secara pribadi dapat membantunya untuk menjadi seorang
parrhesiast?29 Dalam kaitan dengan meditasi, latihan rohani dan praktik diri,
Foucault memperlihatkan cara-cara menghilangkan rasa marah dan dendam
menurut pandangan klasik. Semua latihan ini adalah sebuah diskursus kuasa
dengan subjek sendiri.
Secara etimologis istilah parrhesia berasal dari kata bahasa Yunani pan
yang berarti semua dan rhesis atau rhema yang berarti ekspresi, sesuatu yang
dikatakan, pidato dan perkataan. Istilah parrhesia dalam arti yang sebenarnya
merupakan aktivitas untuk mengungkapkan segala sesuatu yang ada dalam pikiran
seseorang. Ada tiga macam bentuk dari kata ini. Kata benda (noun), parrhesia,
kata kerja (verb), parrhesiazomai dan orang yang mengatakan parrhesia disebut
parrhesiastes. Namun, kata parrhesiastes tidak begitu sering dipakai dan tidak
dapat ditemukan dalam naskah klasik, sehingga bentuk yang digunakan dalam
tulisan ini adalah parrhesiast.30 Oleh karena itu, parrhesia sesungguhnya berarti
keterampilan berbicara, kemerdekaan berbicara, keterbukaan mengungkapkan
sesuatu, berbicara dengan penuh keyakinan, dan berbicara secara terbuka dan
29
Michel Foucault, “Discourse and Truth: The Problematization of Parrhesia” (Seminar, University
of California, Berkeley, Oktober-November 1983), hlm. 66-67. Bdk.
http://foucault.inf/downloads/discourseandtruth.doc, diakses pada 15 Mei 2020.
30
Michel Foucault, Parrhesia Berani Berkata Benar, ed. Joseph Pearson, penerj. Haryanto Cahyadi
(Tangerang Selatan: Marjin Kiri, 2018), hlm.1-2.
16
polos.31
31
Ibid., hlm. 2.
32
Dr. Konrad Kebung Beoang, op.cit. hlm. 90-93.
33
Ibid., hlm. 84.
17
Dalam masyarakat Yunani, menjadi warga negara dalam arti tertentu berarti
memiliki tanggung jawab tertentu dalam polis. Parrhesiast juga harus memiliki
suatu identitas jelas sebagai warga negara.34 Ini tidak berarti harus memiliki suatu
kartu identitas yang dikeluarkan oleh polis. Poin pentingnya adalah seorang
parrhesiast bukanlah orang asing di Athena. Seseorang harus dilahirkan di Yunani
dari orangtua yang juga adalah warga asli Yunani. Namun, dilahirkan dari
pasangan Yunani tidak menjamin seseorang untuk menjadi parrhesiast Yunani.
Dia harus datang dari keturunan terhormat di Yunani.
34
Ibid., hlm. 90.
35
Ibid., hlm. 91.
36
Ibid.
37
Ibid.
18
persahabatan dan bahkan hidup sendiri. Perasaan bahwa hal ini merupakan tugas
dan kewajiban harus selalu bersamaan dengan kesadaran akan risiko dan bahaya
ini. Keberanian untuk menanggung risiko demi kepentingan polis sungguh
merupakan suatu tugas mulia dan karena itu merupakan tugas terpuji.38
Namun hal ini tidak berarti hukum, peraturan dan norma tidak lagi
dibutuhkan. Yang dimaksudkan Foucault adalah segala macam hukum harus
diterima sebagai wacana yang memiliki determinasi tertentu terhadap hidup dan
pengalaman seseorang. Semua elemen harus ditemukan dalam diri subjek dan
subjek harus mampu mengarahkan dirinya tanpa perasaan tertekan atau terpaksa.
Dengan kata lain, Foucault tidak hanya menginginkan subjeknya untuk menyadari
dirinya sebagai subjek dari hukum-hukum moral. Namun lebih dari itu, subjek
harus sadar akan dirinya sebagai persona yang bebas. Inilah momen krusial
pembentukan manusia sebagai subjek etis. Akhir dari suatu usaha untuk menjadi
subjek moral adalah afirmasi dan pengakuan yang tegas akan kebebasan pribadi
38
Ibid., hlm. 92.
39
Michel Foucault, op. cit., hlm. 65.
19
individu dan karakter estetik dari pengalaman pribadi seseorang.40
40
Hubert L. Dreyfus and Paul Rabinow, op. cit., hlm. 212.
41
Michel Foucault, op. cit., hlm. 55-64.
42
Dr. Konrad Kebung Beoang, loc. cit.
43
Seneca, Moral and Political Essays, penerj. John M. Cooper dan J. F. Procope (USA: Cambridge
University Press, 1993), hlm. 46-47.
20
dikenalinya, yang tampak atau yang belum tampak di dalam dirinya. Melalui
diagnosis diri ini, Serenus lalu mengakui bahwa ada beberapa sikap buruknya
yang belum ia ketahui dan belum ia temukan. Ada yang masih tersembunyi, ada
yang tidak selalu tampak tetapi kadangkala muncul dengan sendirinya. Hal ini
sangat mengganggunya. Serenus mengakui bahwa ia sungguh belum merasa
bebas dari hal-hal yang ia takuti dan yang tidak disukainya. Tetapi juga ia tidak
merasa terbelenggu oleh semuanya itu. Dapat dikatakan bahwa ia tidak sakit tetapi
juga tidak sehat.
Epictetus, Discourse of Epictetus, penerj. George Long (New York: D. Appleton and Company,
45
21
meneruskannya kepada orang lain. Foucault lebih lanjut menambahkan bahwa
kebenaran diri itu melingkupi: pertama, suatu rangkaian prinsip rasional yang
didasarkan pada: pernyataan-pernyataan umum tentang dunia, hidup manusia,
kebahagiaan, dan kebebasan. Kedua, ia juga melingkupi hukum-hukum praktis
dalam tingkah laku dan perbuatan.46 Praktik-praktik seperti yang telah dipaparkan
sebelumnya juga membantu seseorang untuk mengendalikan cinta diri yang
berlebihan, tipu diri yang kronis, dan keinginan untuk membual, yang menjadi
bahaya atau halangan-halangan serius dalam tugas pewartaan kebenaran.
46
Michel Foucault, op. cit., hlm. 42.
47
Michel Foucault, op. cit., hlm. 33.
22
seseorang. Setiap orang harus menjadi guru bagi dirinya sendiri. Penekanannya
terletak pada pola hidup alamiah, dengan menghapus segala macam
kebergantungan yang diperkenalkan kebudayaan. Kebenaran yang terungkap
dalam cara hidup seseorang ini harus diketahui dan diikuti oleh orang lain,
sehingga pola hidup ini harus bersifat provokatif serta menarik bagi orang lain.48
48
Dr. Konrad Kebung, op. cit., hlm. 130.
49
Ibid., hlm. 31.
23
BAB III
Pada bab ini, roman Rumah Kaca diuraikan menjadi dua unsur yang
sangat penting, yaitu unsur ekstrinsik dan unsur intrinsik. Unsur ekstrinsik adalah
segala sesuatu yang yang berada di luar karya sastra, namun secara tidak langsung
mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra,50 sedangkan unsur
intrinsik adalah segala sesuatu yang membangun karya sastra dari dalam.51
Sebelum membedah kedua unsur ini, dijelaskan biografi Pramoedya Ananta Toer
sebagai penulis roman ini.
Pramoedya Ananta Toer lahir pada tanggal 6 Februari 1925 di Blora, Jawa
Tengah, sebagai anak pertama dari sembilan bersaudara. Ia lahir di tengah
keluarga Islam dan nasionalis. Ayahnya, Pak Mastoer, adalah seorang guru HIS
(Holandsch Islandsch School- setingkat SD sekarang) sebelum kemudian pindah
dan mengajar di sekolah partikelir IBO (Institut Boedi Oetomo). Ketika krisis
ekonomi melanda dan adanya pelarangan atas sekolah-sekolah liar, Pak Mastoer
50
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi (Yogyakarta: Gema Media, 2013), hlm. 30.
51
R. D. Pradopo, Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya (Yogyakarta: Pustaka
Belajar, 2003), hlm. 4.
52
Koesalah Soebagyo Toer, Pramoedya dari Dekat Sekali (Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia, 2006), hlm. 271-273.
24
akhirnya kembali menjadi guru HIS dengan hanya berstatus sebagai guru
pembantu.
25
impian dan cita-cita dalam kepalanya. Pada sekolahnya yang baru ia mendapat
nilai yang cukup bagus, meskipun sekolah radio yang diambilnya itu lalu
dirasakan menjadi tidak sepenting yang diharapkan. Namun ia tertarik pada
teknologi Jepang dan berharap mendapat beasiswa untuk melanjutkan studi ke
Jepang. Ujian akhir untuk menjadi markonis terjadi pada Desember 1941
bersamaan dengan mulai gencarnya berita kemenangan Jepang atas sekutu. Pada
Maret 1942 Jepang berinvasi ke Pulau Jawa. Bersamaan dengan itu sebuah
kegemparan besar terjadi dan kegemparan itu mengisyaratkan akan datangnya
sebuah revolusi yang tak lama lagi.
26
perekonomian dan sosial-budaya di Indonesia. Akibat penentagannya terhadap PP
10/60 itu, Pramoedya segera ditahan, bukunya dilarang beredar dan tanpa proses
yang wajar ia akhirnya mendekam di Rumah Tahanan Militer sebelum akhirnya
dipindahkan ke penjara Cipinang.
27
(1988), The Fund for Free Expression Award (1990), Magsaysay (1995), dan
penghargaan yang lain.
28
otak di balik penyerangan tersebut.
29
puncak ketegangan antara pribumi dan penjajah. Sebagai pemimpin organisasi
dan redaksi koran, keberadaan Minke, yang amat berpihak kepada rakyat pribumi
dan terus menerus menularkan semangat nasionalisme, menggelisahkan
pemerintahan Hindia Belanda. Tak ada jalan lain selain keputusan untuk
mengasingkannya. Setelah Jacques Pangemanann berhasil mengasingkan Minke
ke Ambon, ia mendapatkan promosi jabatan dari gubermen. Pangemanann
dipindahkan ke kantor Algemeene Secretarie di Buitenzorg (Wonokromo) dan
menempati rumah yang telah disediakan. Pangemanann mendapatkan gaji sebesar
dua ratus gulden. Jabatan Algemeene Secretarie merupakan kategori posisi yang
mendekati posisi Gubemur Jenderal. Rumah tempat tinggal yang disediakan
ternyata bekas kediaman Minke. Tugas Jacques Pangemanann mengamati situasi
sosial politik dan membuat laporan terutama mengenai gerakan politik pribumi.
Hasil kerjanya akan jadi bahan pertimbangan gubernur jendral dalam membuat
kebijakan.
30
merupakan ahli hukum Medan harus keluar dari Hindia Belanda. Selain
mengurusi masalah Minke, Pangemanann juga mengamati Syarikat Islam (SI),
Boedi Moelyo dan Indische Partij.
Setelah Minke dibuang ketua SI dipegang oleh Mas Tjokro yang tinggal di
Surabaya. Pusat SI juga dipindahkan dari Sala ke Surabaya. Bahkan, untuk
mendiskreditkan SI Pangemanann merancang huru-hara anti Cina dengan
memakai tokoh preman Cor Oosterhof. Huru-hara akibat adu domba antara Islam
versus Cina terjadi di Sukabumi, Gresik, Kuningan, Madiun, Caruban, Weleri,
Grobogan. Namun, hal itu tidak mempengaruhi perkembangan SI di daerah Sala.
SI mengeluarkan koran Peroetoesan yang menggunakan bahasa Melayu. Koran
ini mengalami kemajuan yang sangat pesat. Selain itu, banyak pula koran yang
mulai bermunculan seperti De Expres yang dikeluarkan oleh Indische Partij
menggunakan bahasa Belanda, serta ada pula Sin Po bagi orang Cina. Organisasi-
organisasi yang berdiri ini pada dasarnya sama-sama anti terhadap Gubermen.
Namun, hal itu tidak ditunjukkan secara terang-terangan. Indische Partij bersikap
anti orang Eropa asli dan memihak kepada orang Indo. Hal ini menimbulkan
kecurigaan atasan Pangemanann yakni Tuan R. Semakin lama banyak tumbuh
organisasi pribumi. Tumbuhnya rasa nasionalisme inilah yang membuat
Pangemanann harus menjaga agar Boedi Moelyo, SI, Kuo Min Tang (pemimpin
organisasi Cina), dan Indische Partij tetap jangan sampai bersatu.
31
Pangemanann mendapat tugas mengawasi penangkapan tersebut. Alasan
dilakukan penangkapan itu ternyata berkaitan dengan kegiatan jurnalistik mereka.
Ketiga pendiri Indische Partij ini diasingkan ke Belanda. Sementara itu, Minke
akhirnya mendapatkan kebebasannya kembali. Meskipun gubernur jenderal telah
membebaskannya, namun tekanan yang ditunjukkan kepadanya tak kunjung reda.
Minke bahkan tak sempat bertemu dengan isterinya. Sebelum Minke tiba di Jawa,
Prinses dipaksa kembali ke Ambon. Rumah dan asset yang dimiliki oleh Minke
semuanya disita. Bahkan, semua teman Minke mendapat tekanan untuk tidak
menerima kembali kehadiran Minke. Dalam keadaan yang seperti itu ia terus
mengembara dari pasar ke pasar. Tetapi kemudian ia diterima oleh salah seorang
sahabatnya yang lama, Goenawan, yang telah dikucilkan oleh Syarikat Islam
setelah kekuasaan Mas Tjokro. Dalam keadaan sakit Minke dibawa kembali oleh
Goenawan pulang kerumahnya. Akhimya, Minke meninggal karena penyakit yang
dideritanya. Minke tidak mendapatkan penanganan yang baik dari para dokter
yang ada di rumah sakit.
32
menghalalkan segala cara demi memuluskan karirnya, justru direndahkan bahkan
dikhianati oleh nasib. Ia yang merasa telah banyak berjasa bagi pemerintah, tetapi
pada akhirnya dicampakkan ketika tugasnya selesai. Tak seorangpun
mengenangnya, bahkan keluarganya sendiri meninggalkannya.
Unsur ekstrinsik adalah unsur yang berada di luar teks sastra itu sendiri,
tetapi, secara tidak langsung mempengaruhi bangun atau oraganisme teks sastra.53
Unsur ekstrinsik secara tidak langsung membangun kesatuan sebuah karya sastra.
Unsur ini juga mempengaruhi penciptaan suatu karya sastra.
53
Burhan Nurgiyantoro, loc. cit.
54
A. A. Teeuw, Sastra Baru Indonesia (Ende: Nusa Indah, 2000), hlm. 230-231.
33
pengembangan karakter-karakter manusia Hindia Belanda pada masanya. Mereka
terdiri dari orang Belanda, Indo, aktivis dari Cina, seniman Pcrancis, pelacur
Jepang, orang buangan dari Maluku dan tokoh-tokoh pribumi yang begitu kaya
warna. Semuanya berjuang di tempat yang sama, memperebutkan tempat yang
sama tetapi atas dasar kepentingannya masing-masing. Hal ini terlihat dari
kacamata tokoh protagonis Minke. Si Minke adalah pemuda priyayi lugu yang
berkembang menjadi seorang intelektual. Pada tahap selanjutnya ia berkembang
menjadi seorang nasionalis yang amat ditakuti pemerintah kolonial. Seorang
pejuang yang berusaha membebaskan bangsanya dari penderitaan di bawah
tindihan penjajah dan kungkungan budaya feodal. Minke sendiri seakan jadi
penggambaran bangsanya yang benjuang meninggalkan kepolosannya menuju
pendewasaan diri sebagai bangsa yang bebas dan berdaulat.
Unsur intrinsik adalah salah satu unsur yang membangun karya sastra.55
Unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra. Unsur
intrinsik sebuah karya sastra memiliki ciri yang konkret. Ciri-ciri tersebut meliputi
jenis sastra, pikiran, perasaan, gaya bahasa, gaya penceritaan, dan struktur karya
sastra. Selanjutnya analisis tentang unsur intrinsik disebut sebagai pendekatan
struktural atau strukturalisme. Strukturalisme adalah suatu disiplin yang
memandang karya sastra sebagai suatu struktur yang saling berkaitan antara satu
55
R. D. Pradopo, loc. cit.
34
dengan yang lainnya.56 Cara kerja teori struktural adalah dengan menguraikan
unsur-unsur intrinsik. Unsur-unsur intrinsik tersebut adalah sebagai berikut.
3.4.1 Tema
Tema adalah dasar cerita atau gagasan dasar umum sebuah karya novel. Ia
menjadi salah satu unsur rekaan kekuatan dan sekaligus sebagai unsur pemersatu
semua fakta dan sarana cerita yang mengungkapkan permasalahan kehidupan.
Tema dapat ditemukan dengan cara menyimpulkan keseluruhan cerita. Tema juga
tersembunyi di balik cerita yang mendukungnya, namun tidak berarti bahwa tema
itu sengaja “disembunyikan” sebab hal inilah yang justru ditawarkan kepada
pembaca.57
Tema utama dalam roman Rumah Kaca ini adalah manusia dan
penderitaan yang ditanggungnya sebagai konsekuensi logis pilihan hidupnya.
Pengalaman penderitaan Jacques Pangemanann dalam roman ini adalah akibat
pilihannya untuk bertahan hidup. Kejatuhan pedalaman dan gugatan nurani yang
mendesak adalah akibat dari pilihannya untuk mengabdi pada kolonialisme.
Roman ini memperlihatkan bagaimana kegiatan arsip menjadi salah satu kegiatan
politik paling menakutkan bagi aktivis pergerakan kemerdekaan yang tergabung
dalam pelbagai organisasi. Hal ini kemudian berpengaruh terhadap kondisi fisik,
sosial dan psikologinya. Hati nuraninya selalu menggugat setiap tindakannya, dan
ia mengabaikannya.
56
Sabgidu, Penelitian Sastra: Pendekatan, Teori, Metode, Teknik dan Kiat (Yogyakarta: Penerbit
Sastra Asia Barat, 2004), hlm. 16.
57
Sugiharstuti Suharto, Kritik Sastra Feminis Teori dan Aplikasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2002), hlm. 45-46.
35
3.4.2 Alur dan Pengaluran
Alur adalah cerita yang berisi urutan peristiwa yang dihubungkan secara
kasual. Peristiwa terjadi karena adanya aksi atau aktivitas yang dilakukan oleh
tokoh cerita, baik verbal maupun non verbal, baik fisik maupun batin. Alur juga
merupakan cerminan atau bahkan berupa perjalanan tingkah laku para tokoh
dalam bertindak, berpikir, berasa, dan bersikap dalam menghadapi berbagai
maslah kehidupan.58
Roman ini unik karena ada peralihan pusat penceritaan. Jika ketiga buku
sebelumnya penceritaan berpusat pada Minke, maka buku keempat ini,
penceritaan beralih pada seorang arkhivaris atau juru arsip bernama Jacques
Pangemanan dengan dua n. Peralihan ini juga simbolisasi dari usaha Hindia
melumpuhkan sepak terjang pena Minke yang tulisannya membuat banyak orang,
58
Ibid., 46.
59
Ibid., 47.
60
Pramoedya Ananta Toer, Rumah Kaca (Jakarta: Lentera Dipantara, 2015), hlm. ix.
61
Ibid.
36
dalam istilah anak bawang Minke, Marco, “moentah darah”.62
Kisah roman ini dibuka dengan alur maju, penjelasan tentang pekerjaan
baru yang dimandatkan kepada Jacques Pangemanann. Pekerjaan yang dinilai
baru sama sekali di Hindia, yaitu mengamati pergerakan terpelajar pribumi
bernama Minke. Minke yang menjadi representasi pembangkangan anak terpelajar
pribumi yang menjadi target nomor satu untuk ditangkap dan ditahan. Setelah
penahanan dan pembuangan Minke ke Ambon, cerita berputar ke masa lalu
tentang sepak terjang Jacques Pangemanann semasa menjabat sebagai komisaris
polisi dalam memberantas kericuhan akibat ulah pribumi yang mengganggu para
tuan tanah dan cerita tentang peristiwa sejarah yang berhubungan dan narasi-
narasi dengan beberapa tokoh penentu konflik. Ini adalah awal kejatuhan
pedalaman Jacques Pangemanann, yang dapat disebut sebagai awal konflik.
62
Ibid.
37
3.4.3 Latar
Latar atau setting bertumpu pada tempat atau waktu. Latar tempat merujuk
pada suatu kawasan secara geografik, konkret dan setting waktu merujuk pada
suatu waktu tertentu.63 Latar sering disebut sebagai atmosfer karya sastra yang
mendukung masalah, tema, alur, dan penokohan. Latar juga meliputi
penggambaran lokasi geografis, termasuk topografi, pemandangan, sampai pada
perlengkapan ruangan; pekerjaan atau kesibukan sehari-hari para tokoh; waktu
berlakunya kejadian, masa sejarahnya, musim terjadinya; lingkungan agama,
moral intelektual, sosial, dan emosional para tokoh. Fungsi latar adalah
memberikan informasi tentang situasi sebagaimana adanya, baik proyeksi batin
para tokoh, pendeskripsian peristiwa-peristiwa, maupun konflik yang dihadapi
tokoh cerita.64
Roman ini mengambil latar kebangunan dan cikal bakal nasion bernama
Indonesia di awal abad ke-20. Roman ini juga mengambil beberapa latar seperti
Betawi, Surabaya, Sala, Ambon, kantor Algemeene Secretarie, rumah dan
perkuburan. Kota-kota yang disebut adalah tempat pergerakan beberapa organisasi
terpelajar pribumi, tempat pembuangan Minke dan merupakan tempat pemusatan
peta kekuatan, tempat kerja Jacques Pangemanann dalam mengamati pergerakan
pribumi terpelajar khususnya Minke, rumah keluarga Jacques Pangemanann dan
tempat pembaringan terakhir Raden Mas Minke.
63
Korrie Layun Rampan, Dasar-Dasar Penulisan Cerita Pendek (Ende: Nusa Indah, 1995), hlm.
42.
64
Sugihastuti Suharto, op. cit., hlm. 54-55.
38
gambaran tentang seseorang yang ditampilkan sebagai tokoh cerita.65
Ada beberapa tokoh yang diangkat Pram dalam romannya Rumah Kaca.
Tokoh-tokoh tersebut adalah Minke, Pangemanan dengan dua n, Gubernur
Jenderal Van Heutsz, Gubernur Jenderal Idenburg, Gubernur Jenderal Van
Limburg Stirum, Robert Suurhof, Rientje de Roo, Tuan L., Tuan R., Sarimin,
Prinses Kasiruta, Paulette, anak-anak Pangemanann, dan Sarimin. Masing-masing
tokoh memiliki karakternya sendiri. Berikut ini akan ditampilkan beberapa tokoh
yang menjadi sorotan utama Pram dalam roman ini.
65
Ibid., hlm. 50.
66
Ibid., hlm. 50-51.
39
Tipe kepribadian lainnya yang ditunjukkan oleh Pangemanann adalah
komitmen hidupnya yang keras. Beberapa narasi dalam roman ini menunjukkan
sifat aslinya ini yaitu keinginan besarnya untuk menjadi pribumi dengan jabatan
yang tinggi. Meskipun nampak sangat negatif, hal positif yang dapat diperoleh
adalah keengganannya untuk meninggalkan tugas dan tanggung jawabnya yang
sudah menjadi komitmennya.
Kedua, Minke. Minke adalah tokoh utama yang digambarkan Pram dalam
tiga serial awal tetralogi pulau Buru ini. Telah dijelaskan pada bagian sebelumnya
bahwa peralihan penceritaan sudut pandang tokoh ini adalah salah satu keunikan
dari roman Rumah Kaca ini. Minke adalah seorang pemberani. Hal ini dibuktikan
melalui perjuangannya melawan kekuasaan kolonial dengan Surat Kabar Medan
dan Syarikat Dagang Islam yang dipimpinnya. Berkesempatan untuk mendapat
pendidikan Eropa membuat Minke berpengetahuan dan berpandangan luas. Hal
ini sangat membantunya dalam menjalankan organisasi yang dipimpinnya. Karena
ia adalah seorang pribumi yang mempelajari cara-cara Eropa maka sudah pasti ia
memiliki kemauan yang kuat dalam hal belajar. Belajar melawan semua
keterbatasan dan ketidakmungkinan adalah juga bukti keberaniannya. Setelah
kembali dari pembuangannya pun Minke masih berusaha untuk membikin
perlakuan Gubermen atas dirinya menjadi perkara.
Tipe kepribadian lain yang dimiliki oleh Minke adalah sikap pasrah.
Minke menunjukkan kepasrahan total ketika dihukum dengan pembuangan ke
Ambon. Beberapa orang melihat hal itu adalah suatu kewajaran yang harus
ditanggung seorang pemimpin. Padahal, pembuangan itu tidak layak diterimanya.
Ia mendapat hukuman besar atas kesalahan kecil yang dibuatnya. Apalagi
kesalahan itu bukanlah perbuatannya.
40
BAB 1V
41
kenaikan pangkat karena prestasinya. Di bawah ini adalah salah satu narasi
tentang prestasinya.
...
67
Pramoedya Ananta Toer, op. cit., hlm. 73.
68
Ibid., hlm. 78.
42
operasi ini. Pada akhirnya, operasi ini membuahkan hasil yang gemilang.
Pangemanann sukses menertibkan gerombolan pengusik ini. Keberhasilannya ini
mendapat pujian dari atasannya. Nama besar kepolisian terangkat dan diakui
kehebatannya. Pujian demi pujian diarahkan kepada pihak kepolisian, khususnya
Pangemanann. Namun, satu hal yang tidak diketahui umum adalah pergumulan
batin Pangemanann.
Kehidupan yang semakin mapan dan layak ini memperjelas status Jacques
Pangemanann. Pangemanan hidup bersama seorang istri bernama Paulete dan
memiliki empat orang anak. Sebuah keluarga yang dibangun dengan
kesederhanan dan rasa saling menyayangi. Salah satu narasi dalam roman
dijelaskan sebagai berikut.
69
Ibid., hlm. 93.
43
yang dibangun keluarga ini membuat Pangemanann bekerja keras demi
menghidupi istri dan keempat anaknya. Keluarga Pangemanann harmonis dan
sempurna untuk seorang pribumi pada masa itu.
70
Europeesche Lagere School
71
Ibid., hlm. 78.
44
usaha kaumnya, kaum pribumi dalam memperjuangkan kebebasan. Pangemanann
sadar bahwa kelakuan gerombolan pembuat onar itu adalah sebuah aksi protes dan
sikap tidak suka atas keberadaan dan kuasa yang dimiliki oleh para tuan tanah.
Pangemanann tidak menghiraukannya demi tugas. Hal inilah yang membuat
dirinya mulai menjauh dari nuraninya.
Namun, laporan operasi yang dibuat secara tertulis itu, tidak dapat
dijadikan ukuran dalam menilai kedalaman berpikir seseorang. Karena,
kemungkinan yang dapat terjadi adalah laporan itu dibuat oleh orang lain dan
mengatasnamakan Pangemanann. Hal ini bisa terjadi, tetapi tidak dinarasikan
dalam roman. Di bawah ini akan dilampirkan salah satu narasi yang mengafirmasi
Jacques Pangemananann menggunakan media tulisan untuk menjalin relasi
dengan kebenaran.
Itu tidak boleh. Maka aku putuskan membikin tulisan ini, agar
kalian tahu, istriku, agar kalian lebih mengenal lebih baik siapa
sesungguhnya aku ini. Dia samasekali tidak sebaik penilaian kalian,
mungkin juga kebalikannya secara total. Dan kalian, anak-anakku,
jangan sampai mencontoh ayahmu, seorang budak penghidupan yang
kehilangan prinsip. Sedang kalian tahu, bukan menurut ukuran
peradaban Eropa, seorang tanpa prinsip adalah sehina-hina orang,
manusia setengik-tengiknya. Jangan contoh aku. Anggaplah ayahmu
sebagai pribadi yang punah, pribadi yang kalah, budak. Jadilah orang-
orang yang berhati murni, berprinsip, berpribadi, sebagaimana dicita-
citakan peradaban Eropa Jadilah manusia bebas dari pretensi dan
72
Ibid., hlm. 83.
45
ambisi. Jadilah manusia peradaban yang wajar. Ampuni ayahmu ini,
karena dia tidak mampu memberikan contoh sebaik-baiknya
sebagaimana ia sendiri kehendaki.
Aku memulai tulisan ini pada umurku yang ke lima puluh. Aku
anggap usia tengah abad sudah cukup mantap untuk dapat menilai
segala yang telah dilewati, dilihat dan dialami. Orang terpelajar, sudah
sepatutnya pada umur sedemikian membuat penilaian tentang
kebajikan dan kejahatan, kebenaran dan kekeliruannya.
73
Ibid., hlm. 99-101.
46
Pangemanann mengakui kebobrokan dirinya secara sadar. Dirinya yang
semakin berjarak dengan nuraninya, dirinya yang semakin kehilangan prinsip dan
semakin giat bekerja. Pangemanann juga menyebutkan inti pekerjaan yang sedang
dijalaninya, yaitu menumpas pergerakan nasionalisme pribumi, bangsanya sendiri.
Oleh karena itu, Pangemanann meminta anak-anaknya untuk memaafkan
kesalahannya ini. Dia juga berharap agar anak-anaknya tidak mencontohi dirinya.
Semua hal tersebut Pangemanann tuangkan dalam tulisan yang disebutnya sebagai
Rumah Kaca. Jadi, jelaslah bahwa Pangemanann menggunakan media tulisan
sebagai jalan menuju kedalaman dirinya.
Pada satu sisi, Pangemanann sadar bahwa penolakan tugas adalah sebuah
pembangkangan. Pembangkangan bisa membuat dirinya kehilangan jabatan.
Kehilangan jabatan akan membuat dirinya kewalahan dalam menafkahi
74
Ibid., hlm. 13.
47
keluarganya. Di sisi lain, pelaksanaan tugas berati persetujuannya akan
keberadaan kolonialisme di atas bumi. Sebab tugas yang diberikan kepadanya
adalah tugas pemberantasan dan penggagalan kaum pribumi dalam merebut
kebebasannya. Pangemanann telah berada pada pihak kolonial, memasukinya dan
semakin lama semakin tenggelam dalam pekatnya lumpur kolonial. Jadi,
Pangemanann memutuskan tetap melaksanakan tugas, sehingga sebagian besar isi
roman ini adalah situasi dilematis dan situasi pergulatan batin yang dialami
Pangemanann.
48
mendapat pendidikan yang layak oleh pamannya, adik ayahnya. Setelah
menempuh pendidikan di Manado, Pangemanann melanjutkan pendidikannya di
Perancis. Jadi, Pangemanann memiliki status kewarganegaraan yang jelas.
49
Tepat tiga hari kemudian aku datang lagi.
Pelatarannya yang membujur jauh ke dalam, dengan lapangan rumput
di samping kiri dan kanan jalan masuk, dan gedung besarnya yang
dicat serba merah kelihatan seperti istana-istana tuan-tanah di
pedalaman Prancis. Kata orang, tiga Gubernur Jenderal pernah
bertempat di sini, entah De Eerens, entah Van Hogendorp atau
Rochussen. Aku tak tahu setepatnya. Jalan masuk itu diapit oleh
barisan cemara. Kabarnya ditanam setelah tidak menjadi istana lagi.
Tuan L. menyambut aku di pendopo, yang dahulu menjadi tempat
resepsi dan berdansa dalam buaian lagulagu wals. Tetapi sekarang
sunyi, yang ada hanya seorang penjaga merangkap penerima tamu dan
Tuan L.
Aku dibawa langsung ke dalam gedung, ke dalam sebuah kamai besar
yang lebih sunyi lagi, lembab dan lebih sejuk.
“Nah, ini meja Tuan.” Ia pergi dan sebentar kemudian mengantarkan
seorang pesuruh yang membawa setumpuk kertas. “Segala kebutuhan
Tuan barangkali akan Tuan dapatkan di dalamnya. Kalau ada
keperluan apa-apa, perintahkan saja pada Tuan De Man ini,” dan
sambil menengok pada pesuruh itu,"‘Tuan De Man, ini Tuan
Pangemanann. Harap Tuan layani sepatutnya. Selamat bekerja Tuan
Pangemanann.”75
75
Ibid., hlm. 103-104.
50
“Cuma sayang, Jacques, baju seragam itu takkan kau
pergunakan lagi. Aku tak bisa bayangkan bagaimana suamiku tak lagi
dengan seragam. Kau mulai kariermu dengan seragam itu. Sejak di
Vlaardingen sampai s’Hertogenbosch, sampai Betawi sini.”
“Tidak salah kau membacanya, sayang?”
“Setiap patah kata aku mengerti.”
“Senangkah kau, sayang?”
“Siapa pun akan senang, Jacques, kalau suaminya dinaikkan ke
kantor Algemeene Secretarie ....”
Aku melompat dari ranjang. Aku rebut surat itu, membacanya
sendiri. Tak ada satu patah kata pun istriku salah mengartikan: aku
dipindahkan ke kantor Algemeene Secretarie dengan tambahan gaji
dua ratus gulden dan diharuskan pindah ke Buitenzorg, dengan rumah
yang telah disediakan.
Algeemene Secretarie! Satu dua langkah lagi dari Gubernur
Jenderal!
Aku jatuh berlutut di atas lantai dan membikin salib syukur.
Gubermen tidak melupakan Pangemanann.76
51
kolonial yang harus dimuliakan di antara bawahan dan atasan. Dia
juga membalas dengan senyum, dan kurasai mengandung pengejekan:
ah kau cuma kerja merumuskan alasan penangkapan dan pembuangan
saja kok banyak tingkah. Dan senyumku semakin mengganda: ah kau
cuma menggunakan pikiranku saja kok belagak mahal. Kalau kau cuti,
bukankah kau harus kerjakan sendiri pekerjaanku, dan gunakan
sendiri otakmu?77
Pada titik ini, tergambar jelas relasi Pangemanann dengan tubuh kolonial
seringkali tidak berjalan baik. Proses mendekati Gubermen dan mengambil hati
Gubermen tidak menjamin kemulusan jalannya itu. Sebelum masuk dan terlibat
dalam bagian kolonial, yaitu pada masa 40 tahun awal hidupnya, sewaktu masih
menjabat sebagai seorang komisaris polisi tingkat I, Pangemanann selalu
mengikuti kata hatinya. Pekerjaan dan kehidupan yang dijalaninya selalu berada
dalam radar nuraninya. Segala sesuatu yang dinilai bertentangan dengan
nuraninya, ia jauhi. Narasinya dalam roman adalah sebagai berikut.
52
orang semacam Rientje de Roo. Tetapi hatiku tetap kosong, lenggang,
sama halnya dengan rumah ini.79
Seorang parrhesiast harus memiliki rasa hormat dan reputasi yang baik.
Hormat dan reputasi baik ini sangat perlu sebagai syarat untuk memegang tampuk
dan kuasa publik. Jacques Pangemanann mendapat kenaikan pangkat. Dari
seorang komisaris polisi tingkat I, ia dipensiunkan dan dipindahkan ke kantor
Algeemene Secretarie. Keberadaannya sebagai salah satu bagian dari kantor itu
sudah merupakan sebuah kehormatan di bumi kolonial. Apalagi, Pangemanann
adalah seorang pribumi. Jabatannya yang tinggi ini berbanding lurus dengan
hormat dan kuasa yang dimilikinya. Dalam salah satu bagian roman, dinarasikan
bahwa:
79
Ibid.
53
Syarikat harus padam. Harus timbul kesan, Syarikat tidak punya
sesuatu arti bagi Hindia. Syarikat tidak perlu lagi mengharap-harap
kekuatan-kekuatan luar negeri, mengimpi tentang intervensi di Hindia.
Kau tahu artinya intervensi?”
Cor menggeleng dan aku menerangkan. Dalam pada itu yang
muncul dalam bayanganku adalah pemuda-pemuda Turki dari
Istambul yang mengaku utusan gerakan Pan Islamisme.
“Tak boleh ada kesan di Hindia ada kebangkitan burjuasi
Pribumi.” Aku tak tahu apakah Cor dapat mengikuti kata-kataku.
“Sasaran kedua, kesetiaan penduduk golongan Tionghoa pada
Gubermen harus dikembalikan. Harus lebih berhasil dari I740. Adu
kedua-duanya. Jangan ragu-ragu. Pergunakan kecerdikkan. Jangan
sampai meninggalkan berkas-berkas yang bisa menyebabkan
terjadinya penuntutan umum.”80
80
Ibid., hlm. 218.
54
Pangemanann pernah membantu perkumpulan orang Menado dalam
berorganisasi. Ini adalah salah satu contoh sikap Pangemanann kepada sesama.
Nama? Nama yang paling tepat! Aku memutar otak. Betapa sulitnya
mencari nama. Ah, mengapa tidak mengikuti yang sudah ada saja?
“Syarikat Menado.”
“Sudah aku duga,” katanya. “Tetapi kami bukan orang-orang Islam.
Rasa-rasanya tak perlu menggunakan kata Arab Syarikat itu. Kata
Mendo terdengar tidak terlalu dekat dengan hati. Bukankah sebaiknya
dipergunakan nama Minahasa?”
God! Bahkan soal yang sekecil itu saja aku tidak pernah
memikirkannya. Jadi apakah artinya aku ini bagi bangsa Menado
sendiri, sekalipun mereka bangga karena aku pernah menjabat pangkat
tinggi dalam kepolisian? Memalukan. Dan pekerjaanku justru
mengurus organisasi-organisasi Pribumi. Tidak untuk ikut
membangun; tapi menghancurkan mereka, membukakan jalan yang
tidak mereka pilih sendiri, tetapi yang aku pilihkan. Kalau organisasi
bangsaku sendiri kelak juga berdiri, apakah begitu juga aku harus
perlakukan? Memalukan.
“Bagairnana kiranya kalau namanya Rukun Minahasa? Adakah Paman
menyetujui?” tanyanya langsung tanpa ragu-ragu, dan rupa-rupanya
sudah dipersiapkannya.
“Bagus sekali, Rukun Minahasa,” jawabku kontan. “Itu lebih
berwatak Pribumi Menado.”
Mendengar itu semua mengangkat pandang padaku.
“Bukan maksudku sebagai penghinaan. Sebutan Pribumi bukan
penghinaan,” kataku buru-buru. “Kalian menolak kata syarikat karena
dia kata Arab. Sejauh yang kuketahui kata rukun bukan kata asing,
tapi kata umum Pribumi Hindia. Bukankah karena mengutamakan
kepribadian kalian tidak menggunakan kata-kata Belanda atau kata
asing lainnya?” Sekarang ganti aku yang buka mulut! Aku terangkan
pada mereka tentang adanya gerakan anti-kosmopolitanisme pada
negara-negara di luar Jerman, Prancis dan Inggris di Eropa, yang
merasa telah muak dengan pengaruh tiga negara itu, kehilangan
kepribadian nasionalnya karena terlalu banyak menelan pengaruh dari
mereka. Mereka menganjurkan agar lebih mengutamakan
pertumbuhan nasional sampai-sampai dalam" penggunaan bahasa.
Kalau sesuatu bangsa tetap tinggal kosmopolit karena dalam dominasi
asing, seperti Hindia ini, juga bahasanya menjadi kosmopolit, jadi
tidak karuan dan acak-acakan, seperti bahasa Inggris pada satu periode
sejarah tertentu. Kesadaran nasional Inggris mengakibatkan juga
penerbitan dalam bahasanya. “Jadi,” kataku lagi, “mengutamakan
kepribumian dalam memberikan nama sama artinya dengan
menunjukkan watak nasionalnya. Aku setuju.”81
55
Pangemanann selalu bergulat dengan nuraninya. Nuraninya membenarkan
perbuatan Minke dan organisasinya, yaitu membangun nasionalisme dalam diri
pribumi, sedangkan tugas yang dimandatkan kepadanya adalah menghambat laju
pergerakan nasionalisme pribumi atau bahkan menghilangkannya. Hampir
keseluruhan narasi roman adalah tentang pergulatan batin Pangemanann.
Misalnya, “Dan aku, nurani yang babak belur ini, tetap saja terus menjalankan
segala perintah atasan.”82
82
Ibid., hlm. 327.
83
Ibid., hlm. 311.
56
menguntungkan pihak kolonial, yaitu Gubermen. Yang pergi meninggalkan
Pangemanann adalah keluarganya, hidupnya yang baik, dan hati nuraninya,
sedangkan yang didapatkan Pangemanann adalah jabatan pegawai negeri yang
tinggi.
Yang menjadi fokus dari poin ini adalah menyangkal diri (subjek).
Seorang parrhesiast adalah orang yang bukan hanya melihat kelemahan orang
lain, tetapi juga mampu melihat ke dalam diri sendiri dengan segala kelemahan
dan kelebihan. Seorang parrhesiast tidak hanya menyalahkan orang lain, tetapi
juga dengan berani dapat mempersalahkan diri mereka sendiri.
57
dan kuberikan kesetiaanku pada kolonialisme Belanda di Hindia. Aku
tak ingin menyebutkan semuanya. Keingkaran-keingkaran yang
takkan tertebus dengan perbuatan dalam sisa hidupku. Dan belum
sebagian kecil dari semua ini kuucapkan dalam pengakuan dosaku.84
84
Ibid., hlm. 629.
85
Ibid., hlm. 647.
58
moral kepada kaitan antara pembicaraan tentang kebenaran dengan sikap atau
corak hidup seseorang. Foucault juga beranggapan bahwa praktik-praktik
parrhesia selalu terfokus antara kebenaran dengan diri sendiri. Atau, parrhesia
dilihat sebagai suatu aktivitas dalam konteks relasi individual dan personal. Untuk
dapat memperoleh suatu relasi tertentu dengan kebenaran, dibutuhkan praktik.
Praktik-praktik itu adalah pemeriksaan batin secara pribadi, diagnosis diri, dan
membuat tes tentang diri.
Malam itu aku kukuhkan niat untuk mengebaskan diri dari Suurhof.
86
Ibid., hlm. 560.
59
Jalannya? Segala jalan dibenarkan kalau cuma untuk melenyapkan
seorang bandit yang bikin susah semua orang. Mesin kekuasaan biasa
melakukannya dan apalah arti seorang Suurhof? Semoga diberkati.87
87
Ibid., hlm. 46.
60
semakin jijik pada diriku sendiri.88
Inilah salah satu contoh sifat manusia yang kadang tidak disadari oleh
Pangemanann sendiri. Hal ini tidak tampak dengan jelas karena hanya muncul
sesekali, yaitu ketika mendapat larangan dari atasan. Larangan bagi bawahan ini
berakibat pada larangan pada bawahannya lagi dan berlanjut sampai lapisan
paling dasar, yaitu babu. Karena babu adalah lapisan terendah dalam masyarakat.
Pangemanann pun mengakui ketika dirinya melarang bawahannya, dia menikmati
hal itu.
88
Ibid., hlm. 574.
89
Ibid., hlm. 322.
61
Keseluruhan teks roman Rumah Kaca ini adalah salah satu bentuk testing
diri yang dilakukan oleh Pangemanann terhadap dirinya. Pangemanann telah
mengatakan bahwa dirinya akan bekerja bersama bersama manusia, di tengah-
tengah manusia dan demi kemanusiaan itu sendiri. Kemudian, keinginannya ini
diingkarinya sendiri dengan menghamba pada kolonial. Pangemanann juga
menghormati dan mengagungkan Minke sebagai guru dan teladannya. Tetapi hal
ini diingkarinya lagi dengan membuat laporan pergerakan nasionalisme pribumi
yang berujung pada pembuangan Minke ke Ambon. Pangemanann juga berjanji
setia pada negaranya demi kemajuan bangsanya. Hal ini dilanggarnya juga dengan
menjadi hamba Gubermen.
90
Ibid., hlm. 629.
62
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
63
seseorang untuk menanganinya dan menjadikannya berarti. Oleh karena itu,
semua diskusi Foucault selalu terarah kepada subjek yang dikenal sebagai
parrhesiast, subjek manusiawi yang dapat menerima dirinya dan orang lain.
Untuk dapat memahami penelitian tentang kebenaran dalam diri dan untuk
dapat menyampaikan kebenaran itu kepada orang lain, Foucault juga menegaskan
perlu adanya latihan dan praktik yang terus-menerus. Praktik-praktik ini harus
mengandnng relasi dengan kebenaran. Foucault menamakan praktik-praktik ini
sebagai “usaha pemeriksaan batin” (examination of conscience). Praktik ini
memperlihatkan perbedaan antara cara-cara latihan, bagaimana latihan-latihan
yang berbeda ini mencerminkan aspek-aspek akal, perasaan, dan tingkah-laku.
Namun semuanya mengmdung hubungan antara kebenaran dengan diri sendiri,
64
dan kelak memampukan seseorang menjadi penutur kebenaran yang handal.
Praktik-praktik itu antara lain pemeriksaan diri secara pribadi, diagnosa diri dan
testing diri.
Banyak narasi dalam roman Rumah Kaca ini yang mengisahkan usaha
Jacques Pangemanann dalam memeriksa batinnya secara rutin. Kebiasaan ini
dilakukannya ketika sedang sendiri, sedang beristirahat atau ketika hendak tidur.
Pada salah satu bagian roman, diceritakan bahwa Pangemanann menyadari
kesalahan dan dosanya yang besar kepada diri Minke dan kepada pertumbuhan
nasionalisme pribumi. Dalam keadaan sakit yang sekarat, dirinya memutuskan
untuk menuangkan pengakuannya dalam bentuk tulisan. Tulisan ini kemudian
dibukukan dan menjadi roman Rumah Kaca ini. Pada bagian akhir tulisannya, ia
mengakui bhawa dirinyalah yang menyebabkan kematian Minke secara tidak
langsung kepada Sanikem, ibu angkat Minke. Pengakuan ini menutup roman ini
dalam nada sedih.
5.2 Saran
Para pendidik, khususnya para pendidik Bahasa dan Sastra disarankan agar
65
dapat menjadikan karya sastra sebagai sumber pengajaran, baik di tingkat dasar,
maupun di tingkat menengah, khususnya karya sastra yang mempunyai hubungan
dengan filsafat. Para pembaca juga diharapkan dapat meningkatkan apresiasi
terhadap karya sastra karena penelitian yang dilakukan dengan berobjek karya
sastra dapat bermanfaat bagi para pembaca. Selain itu, dengan hadirnya penelitian
ini, peneliti-peneliti lain dapat terinspirasi untuk meneliti roman Rumah Kaca
karya Pramoedya Ananta Toer dengan menggunakan pendekatan yang berbeda.
66
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Epictetus. Discourse of Epictetus, Terj. George Long. New York: D. Appleton and
Company, 1904.
Jassin, H. B. Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei II. Jakarta:
Gramedia, 1985.
67
Kurniawan, Eka. Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis.
Yogyakarta: Yayasan Aksara Indonesia,1999.
Muhardi dan Hasanuddin. Prosedur Analisis Fiksi. Padang: IKIP Padang Press.
O’Callaghan, Julie Faith The Sexual Experience: Michel Foucault and The
History of Sexuality. Murdoch: Murdoch University, 2013.
Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2012.
Seneca. Moral and Political Essays, Terj. John M. Cooper dan J. F. Procope.
USA: Cambridge University Press, 1993.
ARTIKEL
Banda, Maria Matildis. “Wacana Kekuasaan dan Kebenaran dalam Puisi Lisan Sa
Ngaza.” https://e-journal.unair.ac.id/MOZAIK/article/view/6595, diakses
68
pada 14 Februari 2020.
Banda, Maria Matildis. “The Power of Truth of Parrhesia and Parrhesiasist in the
Poetry Collection of Arakian Ballad.” https://www.e-
journal.usd.ac.id/index.php/IJHS/article/download/2080/1603, diakses
pada 14 Februari 2020.
69