Anda di halaman 1dari 79

PROSES PEMBENTUKAN SUBJEK PARRHESIAST TOKOH

DAN PENOKOHAN JACQUES PANGEMANANN

DALAM ROMAN RUMAHKACA

KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER

SKRIPSI

Diajukan kepada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero

untuk Memenuhi Sebagian dariSyarat-syarat

guna Memperoleh Gelar Sarjana Filsafat

Program Studi Ilmu Teologi-Filsafat

Agama Katolik

Oleh

SELSUS JULIANO NEU BAY


NPM: 15.75.5750

SEKOLAH TINGGI FILSAFAT KATOLIK LEDALERO


2020
LEMBARAN PENERIMAAN JUDUL

ii
iii
PERNYATAAN ORISINALITAS

iv
KATA PENGANTAR

Parrhesia adalah salah satu isu kunci Michel Foucault yang berbicara
tentang aktivitas untuk mengungkapkan segala sesuatu yang ada dalam pikiran
seseorang. Parrhesia dengan itu juga mengandung kemerdekaan dan kebebasan
menggunakan bahasa. Dan karena itu, parrhesia berarti kemerdekaan berbicara,
keterbukaan mengungkapkan sesuatu, berbicara dengan penuh keyakinan,
berbicara secara terbuka dan polos.

Ada tiga pertanyaan utama yang muncul dalam relasi-relasi kebenaran.


Pertama, siapa yang mengatakan kebenaran. Kedua, bagaimana mengatakannya.
Ketiga, mengapa kebenaran itu dikatakan. Subjek ini disebut parrhesiast. Dengan
kata lain, parrhesia membutuhkan seseorang untuk menanganinya dan
menjadikannya berarti. Oleh karena itu, semua diskusi Foucault selalu terarah
kepada subjek yang dikenal sebagai parrhesiast, subjek manusiawi yang dapat
menerima dirinya dan orang lain.

Tokoh Jacques Pangemanann dalam roman Rumah Kaca karya Pramoedya


Ananta Toer merupakan tokoh yang mengalami pergulatan batin. Pergulatan batin
ini terjadi akibat pilihannya untuk menjadi bagian di dalam tubuh kolonial.
Pilihannya ini menghantarnya kepada pemeriksaan batin secara pribadi yang
mendalam. Pemeriksaan batin Jacques Pangemanann ini berkaitan dengan
pemahaman Michel Foucault tentang proses pembentukan Subjek Parrhesiast.

Atas pertimbangan ini, penulis mencoba menganalisis konsep pemikiran


Michel Foucault tentang Proses Pembentukan Subjek Parrhesiast dalam
kaitannya dengan tokoh dan penokohan Jacques Pangemanann dalam roman
berjudul Rumah Kaca karya Pramoedya Ananta Toer. Oleh karena itu, pada
tempat yang pertama penulis menghaturkan puji dan syukur berlimpah kepada
Tuhan Yang Mahakuasa atas rahmat dan penyelenggaraanNya sehingga tulisan ini
dapat selesai pada waktunya. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada
semua pihak yang telah mendukung penulis dengan caranya masing-masing
sehingga skripsi ini terselesaikan.

v
Penulis juga menyampaikan limpah terima kasih kepada Pater Yohanes
Orong, S. Fil., M. Pd. Yang dalam kesibukannya masih meluangkan waktu untuk
membimbing penulis dengan tekun dan teliti dalam menggarap skripsi ini. Tanpa
bantuan dan bimbingan beliau, skripsi ini tidak mungkin terselesaikan. Terima
kasih pula penulis sampaikan kepada Pater Ferdinandus Sebho, S. Fil., Lic yang
telah bersedia menjadi penguji. Tanpa pertanyaan-pertanyaan kritis dari pater
penguji, skripsi ini hanya akan menjadi tulisan biasa. Penulis menyampaikan
terima kasih pula kepada kedua orangtua yang dengan doa-doanya senantiasa
menguatkan penulis. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada para
sahabat yang telah mendukung penulis dengan penuh kasih dalam menyelesaikan
skripsi ini.

Penulis mengharapkan agar skripsi ini dapat berguna bagi siapa saja yang
membacanya. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu, kritik dan saran dari berbagai pihak sangat dibutuhkan untuk
menyempurnakan tulisan ini.

Ledalero, 30 Mei 2020

Penulis

vi
ABSTRAK

Selsus Juliano Neu Bay. Proses Pembentukan Subjek Parrhesiast Tokoh dan
Penokohan Jacques Pangemanann dalam Roman RumahKaca Karya
Pramoedya Ananta Toer. Skripsi. Program Studi Ilmu Teologi-Filsafat Agama
Katolik. Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, 2020.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan proses pembentukan
subjek parrhesiast tokoh dan penokohan Jacques Pangemanann dalam roman
RumahKaca.
Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif.
Objek yang diteliti adalah pembentukan subjek parrhesiasttokoh dan penokohan
Jacques Pangemanann dalam roman Rumah Kaca karya Pramoedya Ananta Toer.
Wujud data dalam penelitian ini berupa kalimat yang terdapat dalam roman
Rumah Kaca. Sumber data utama penelitian ini adalah roman Rumah Kaca karya
Pramoedya Ananta Toer. Sumber data sekunder diperoleh dari buku-buku Michel
Foucault tentang parrhesia dan dari kajian terhadap penelitian-penelitian
terdahulu, khususnya penelitian sastra dengan tinjauan parrhesia. Teknik
pengumpulan data yang digunakan adalah teknik non interaktif, yang meliputi
analisis isi terhadap dokumen dan arsip. Langkah yang digunakan dalam teknik
analisis isi ditempuh dengan pertama, membaca berulang-ulang roman Rumah
Kaca. Kedua, mengumpulkan dan mempelajari beberapa teori yang relevan
dengan tema penelitian. Ketiga, Mencatat dan menganalisis semua data, berupa
kutipan penting yang sesuai dengan permasalahan. Adapaun teknik analisis data
yang digunakan adalah analisis model mengalir. Teknik analisis data dengan
model mengalir dimulai dari pengumpulan data, reduksi data, display data dan
penarikan kesimpulan. Teknik validasi data yang digunakan adalah teknik
triangulasi. Secara khusus triangulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah
triangulasi data. Triangulasi data dilakukan dengan menggunakan data dari
sumber utama, yakni roman Rumah Kaca dan didukung oleh beberapa pendapat
yang tertulis pada berbagai macam teks yang berkaitan dengan kajian mengenai
pembentukan subjek parrhesiast dan buku-buku Michel Foucault.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa tokoh dan
penokohan Jacques Pangemanann dalam roman Rumah Kaca karya Pramoedya
Ananta Toer memiliki kesesuaian dengan konsep Michel Foucault tentang
parrhesia. Jacques Pangemanann adalah pribadi yang menjawabi pertanyaan
pertama, siapa yang mengatakan kebenaran. Karena Pangemanann adalah tokoh
utama dalam roman ini. Semua penceritaan roman berpusat pada diri
Pangemanann. Pola hidupnya, relasinya, pergulatan batinnya dan kebiasaan-
kebiasaannya dinarasikan dalam sebagian besar roman. Kebiasaannya untuk
berpikir dituangkannya dalam bentuk tulisan. Hal ini menjawabi pertanyaan
bagaimana mengatakan kebenaran. Sebagai seorang intelektual yang memiliki
latar belakang pendidikan yang baik, Pangemanann menggunakan tulisan sebagai
penyaluran kebenaran. Pangemanann selalu mengalami pergulatan dengan
batinnya. Ia menyukai hidup berdampingan bersama manusia, berada bersama

vii
manusia, dan bekerja bersama demi kemanusiaan itu sendiri. Pangemanann
sebagai seorang terpelajar pribumi juga menghormati dan menghargai Minke,
target kolonial nomor satu yang harus dibekukan pergerakannya. Hal ini
menjawabi pertanyaan mengapa mengatakan kebenaran. Namun, statusnya
sebagai seorang pejabat kolonial membuatnya bertentangan dengan nuraninya. Ia
tidak lagi bekerja demi kemanusiaan, tetapi demi karier dan demi tidur nyenyak
Gubermen. Pertentangannya dengan nuraninya ini mengantar Pangemanann pada
pemeriksaan batin yang dalam. Dalam pemeriksaan batinnya ini, Pangemanann
mempersalahkan dirinya yang tidak mendengarkan nuraninya. Pada akhirnya,
Pangemanann menyadari dan mengakui kesalahannya.

Kata kunci: subjek, parrhesia, parrhesiast, roman, sastra, dan filsafat

viii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i


HALAMAN PENERIMAAN JUDUL ............................................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN ..........................................................................iii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ........................................... iv
KATA PENGANTAR ....................................................................................... v
ABSTRAK ....................................................................................................... vii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... ix

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1


1.1 Latar Belakang Penulisan .............................................................................. 1
1.2 Kajian yang Relevan ..................................................................................... 6
1.3 Rumusan Masalah ......................................................................................... 9
1.4 Tujuan Penulisan ........................................................................................... 9
1.5 Metode Penelitian.......................................................................................... 9
1.6 Sistematika Penulisan ................................................................................. 11

BAB II PROSES PEMBENTUKAN SUBJEK PARRHESIAST


MENURUT MICHEL FOUCAULT ............................................................. 12
2.1 Biografi Michel Foucault ............................................................................ 12
2.2 Ikhtisar Pemikiran Michel Foucault ............................................................ 14
2.3 Proses Pembentukan Subjek Parrhesiast .................................................... 16
2.3.1 Siapakah Parrhesiast ............................................................................... 16
2.3.2 Pembentukan Subjek Parrhesiast ............................................................ 19
2.3.2.1 Pemeriksaan Batin Secara Pribadi ........................................................ 20
2.3.2.2 Diagnosis Diri ....................................................................................... 20
2.3.2.3 Testing Diri ........................................................................................... 21
2.4 Praktik Parrhesiast ..................................................................................... 22
2.4.1 Mengajar dan Berkotbah .......................................................................... 22
2.4.2 Dialog Provokatif ..................................................................................... 22
2.4.3 Teladan Hidup .......................................................................................... 23

BAB III UNSUR EKSTRINSIK DAN UNSUR INTRINSIK ROMAN


RUMAH KACA KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER....................... 22
3.1 Biografi Pramoedya Ananta Toer ............................................................... 22
3.2 Sinopsis Roman Rumah Kaca ..................................................................... 26
3.3 Unsur Ekstrinsik .......................................................................................... 31
3.4 Unsur-Unsur Intrinsik ................................................................................. 32
3.4.1 Tema......................................................................................................... 33
3.4.2 Alur dan Pengaluran................................................................................. 34
3.4.3 Latar ......................................................................................................... 36
3.4.4 Tokoh dan Penokohan .............................................................................. 36

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................ 39


4.1 Jacques Pangemanann danParrhesiast ....................................................... 39

ix
4.1.1 Seorang Parrhesiast SeharusnyaMemiliki Status Kewarganegaraan
yang Jelas ................................................................................................. 46
4.1.2 Seorang Parrhesiast Seharusnya Memiliki Kemerdekaan Batin ............. 47
4.1.3 Seorang Parrhesiast Seharusnya Seorang yang Baik yang Memiliki
Kualifikasi Moraldan Sosial .................................................................... 51
4.1.4 Seorang Parrhesiast Seharusnya juga Memiliki Suatu Kesadaran atas
Tugas dan Tanggung Jawab .................................................................... 52
4.1.5 Seorang Parrhesiast Harus Memiliki Keberanian ................................... 54
4.1.6 Seorang Parrhesiast Harus Memiliki Relasi dengan Dirinya Sendiri ..... 55
4.2 Jacques Pangemanann sebagai Subjek Parrhesiast .................................... 56
4.2.1 Pemeriksaan Batin Secara Pribadi ........................................................... 57
4.2.2 Diagnosis Diri .......................................................................................... 58
4.2.3 Testing Diri .............................................................................................. 59

BAB V PENUTUP ........................................................................................... 61


5.1 Kesimpulan ................................................................................................. 61
5.2 Saran ............................................................................................................ 63

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 65

x
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penulisan

Postmodernisme telah menjadi salah satu tema diskusi filsafat masa kini.
Dari persperktif filosofis, postmodernisme boleh dilihat sebagai sebuah aliran
berpikir, seperti aliran-aliran berpikir lain yang pernah ada dalam rentang panjang
sejarah filsafat. Meskipun menjadi tema yang banyak kali dibicarakan,
pemahaman yang memadai dan komprehensif tentang postmodernisme tetap saja
sulit dicapai. Hal yang sama juga terjadi dengan sejumlah istilah serupa lainnya
yang sama-sama berasal dari bentuk dasar “postmodern.” Memang popularitas
penggunaan istilah-istilah seperti postmodern, postmodernisme dan
postmodernitas tidak dengan sendirinya menunjukkan kejelasan arti dan makna.1

Ada banyak penyebab kontroversi dan problematika sekitar pemahaman


akan istilah-istilah tersebut, misalnya keanekaragaman dan keluasan cakupan
kajian serta kenyataan bahwa dalam suatu bidang kajian khusus, filsafat misalnya,
pengertian dan wacana serta gerakan berhaluan postmodern tidak merujuk pada
aliran atau gerakan tunggal. Namun, secara umum dapatlah dikatakan arah dasar
pemahaman tentang istilah-istilah sekitar postmodern mengacu pada gambaran
situasi dunia kehidupan, dalam beraneka ragam bidang, pada era yang secara

1
Willy Gaut, Filsafat Postmodernisme (Maumere: Penerbit Ledalero, 2011), hlm. 1.

1
kronologis mengikuti zaman modern.2

Dalam bidang filsafat, wacana filsafat postmodern (postmodernisme) akan


segera dipahami dalam bingkai perkembangan aliran-aliran filsafat yang kerap
mengikuti alur gerak yang bersifat dialektis. Kemunculan aliran yang satu setelah
yang lain menunjukkan perkembangan dan perubahan ide atau pemikiran yang
berbeda dari, bahkan merevisi aliran filsafat sebelumnya. Dengan demikian,
filsafat postmodern (postmodernisme) tampil sebagai perkembangan lanjutan
sekaligus revisi atas filsafat modern (modernisme).3

Salah satu persoalan filsafat yang paling banyak didiskusikan dalam


sejarah adalah persoalan mengenai kebenaran. Persoalan ini telah didekati dengan
banyak pola berpikir dan fllsafat. Setiap era filsafat, sambil membawa serta suatu
sistem berpikir tertentu, memiliki suatu konsep tersendiri tentang kebenaran. Apa
itu kebenaran, bagaimana kebenaran ini diperoleh, kapan suatu pernyataan atau
proposisi dikatakan benar atau salah merupakan pertanyaan-pertanyaan yang
sangat mendasar.4

Para filsuf pra-Sokrates mengasosiasikan kebenaran dengan ‘Being’ atau


sesuatu yang bersifat ilahi. Sokrates, sambil tidak menolak asosiasi kebenaran
dengan ‘Being’ ini, melihat kebenaran sebagai sesuatu yang harus diperlihatkan
dalam kehidupan etis seseorang (praktik hidup yang baik). Plato, sang filsuf
idealis, melihat kebenaran sebagai sesuatu yang berada dalam lingkup forma yang
terpisah dari dunia indrawi.

Kebenaran juga didefinisikan sebagai “adequatio intellectus et rei”,


kesesuaian antara intelek dengan benda atau sesuatu yang berada di luar subjek.
Descartes, sambil mendasarkan diri pada maksimnya “cogito ergo sum”,
mengatakan yang paling benar dan yang paling pasti ialah “Aku” sendiri. Hegel
mengatakan kebenaran adalah segala-galanya, yang utuh dan absolut yang
senantiasa sadar akan dirinya melalui kehadiran dan representasinya dalam segala

2
Ibid., hlm. 2.
3
Ibid.
4
Dr. Konrad Kebung Beoang, Michel Foucault Parrhesia dan Persoalan Mengenai Etika (Jakarta:
Penerbit Obor, 1997), hlm. 7.

2
sesuatu dan dalam segala epok sejarah. Martin Heidegger melihat kebenaran
sebagai suatu aletheia (keterbukaan Being) yang didasarkan pada keterbukaan
Dasein terhadap cahaya Being (Heidegger mengerti ‘eksistens’ sebagai
memandang kepada atau keterarahan kepada kebenaran Being). Karena itu lewat
ontologinya Heidegger melihat keterbukaan primordial Dasein terhadap
kebenaran Being ini sebagai dasar terdalam dari segala pengertian tentang
kebenaran yang pernah ditemukan atau dicapai.5

Dalam kata penutup seminarnya tentang parrhesia Michel Foucault secara


eksplisit menegaskan dirinya tidak berurusan dengan problematisasi kebenaran
sebagaimana diterima oleh umum. Sebaliknya dirinya berurusan dengan
problematisasi parrhesia atau parrhesiast.6 Ini tidak berarti bahwa Foucault tidak
menyentuh kebenaran atau bahkan tidak mengakui adanya kebenaran. Foucault
bahkan mengakui ada kira-kira dua cara berkata-kata tentang kebenaran.
Seseorang bisa masuk ke dalam problematisasi kebenaran melalui proses menalar
dan argumentasi untuk mencapai suatu keputusan atau kesimpulan. Cara membuat
analisis tentang kebenaran seperti ini dalam filsafat barat disebut “analisis
kebenaran” (analytics of truth), sebagaimana Foucault sendiri mengatakan:
“Menyangkut bagian yang berkenaan dengan cara menentukan entah suatu
pemyataan itu benar, kita memiliki akar-akar tradisi besar dalam filsafat barat
yang lebih suka saya sebut analisis kebenaran.”7

Parrhesia, yang telah dijelaskan sebelumnya adalah salah satu isu kunci
yang diangkat Michel Foucault.8 Parrhesia dalam artian yang sebenarnya adalah
aktivitas untuk mengungkapkan segala sesuatu yang ada dalam pikiran seseorang
(action de tout declarer, tout exprimer). Parrhesia dengan itu juga mengandung
kemerdekaan dan kebebasan menggunakan bahasa. Dan karena itu, parrhesia
berarti kemerdekaan berbicara, keterbukaan mengungkapkan sesuatu, berbicara
dengan penuh keyakinan, berbicara secara terbuka dan polos.9 Foucault tidak
berbicara tentang problem kebenaran. Foucault memusatkan perhatiannya pada

5
Ibid.
6
Ibid.
7
Ibid.
8
Ibid., hlm. 10.
9
Ibid., hlm. 11.

3
problematisasi parrhesia. Problematisasi parrhesia adalah suatu istilah yang
umumnya dikenal sebagai “berbicara secara jujur dan terbuka”, “bebas”, dan
“berbicara dan bercerita yang benar”. Problematisasi parrhesia ini juga
mengandaikan bahwa seseorang harus memperhitungkan adanya fenomena
kebenaran. Istilah parrhesia ini selalu mengandaikan suatu subjek yang
mempraktikkannya. Karena dalam relasi-relasi kebenaran, pertanyaan utama yang
muncul adalah siapa yang mengatakan kebenaran, bagaimana mengatakannya,
dan mengapa kebenaran itu dikatakan? Subjek ini disebut parrhesiast. Dengan
kata lain, parrhesia membutuhkan seseorang untuk menanganinya dan
menjadikannya berarti. Oleh karena itu, semua diskusi Foucault selalu terarah
kepada subjek yang dikenal sebagai parrhesiast, subjek manusiawi yang dapat
menerima dirinya dan orang lain.

Isu kunci Michel Foucault tentang Parrhesia ini berkaitan dengan


psikologi sastra, karena psikoanalisis, pengalaman psikoanalisis, bahasa
psikoanalisis selalu merangsang minat akan sastra dan akan tiba situasi ketika
tidak hanya semua ilmu humaniora yang mengalami psikologisasi, bahkan sastra
dan kritik sastra pun pada akhirnya mengalami itu.10

Psikologi sastra menempatkan karya sastra sebagai gejala yang dinamis.


Dalam kaitan dengan ini, karya sastralah yang menentukan teori, dan bukan
sebaliknya. Psikologi sastra memberikan prioritas pada sastra. Tujuannya adalah
memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung dalam karya sastra.11

Endraswara, dalam bukunya Metode Penelitian Psikologi Sastra


mengemukakan tiga alasan penting psikologi sastra.12 Pertama, karya sastra
merupakan produk dari suatu keadaan jiwa dan pemikiran pengarang yang berada
dalam situasi setengah sadar (subconsicious). Setelah mendapat bentuk yang jelas,
karya tersebut dituangkan ke dalam bentuk tertentu secara sadar (conscious)
dalam penciptaan karya sastra. Hal ini berarti proses penciptaan karya sastra
10
Michel Foucault, Pengetahuan dan Metode: Karya-karya Penting Michel Foucault, penerj. Arief
(Yogyakarta: Jalasutra, 2002), hlm. 38.
11
Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, S. U, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 344.
12
Suwardi Endraswara, Metode Penelitian Psikologi Sastra (Yogyakarta: FBS Universitas Negeri
Yokyakarta, 2008), hlm. 7-8.

4
terjadi dalam dua tahap, yaitu meramu gagasan dalam situasi imajinasi yang
abstrak dan tercipta dalam penulisan karya sastra yang bersifat konkret.

Kedua, proses penciptaan karya sastra sejak pertama kali menentukan


kualitasnya. Bisa terjadi, proses penciptaan karya yang pertama berlangsung
sangat baik. Akan tetapi, dalam tahap kedua dan selanjutnya, karya menjadi
sangat kacau. Oleh karena itu dibutuhkan kemampuan penulis untuk menata,
mencerna, dan menyajikan perwatakan dengan bahasa yang dapat dipahami.
Dalam hal ini, penelitian dan analisis ditujukan kepada masalah proses. Ketiga,
selain membahas proses penciptaan dan kedalaman segi perwatakan tokoh, perlu
juga memberikan perhatian pada makna, pemikiran, dan falsafah yang terlihat
dalam karya sastra.

Ada tiga cara yang dapat dilakukan untuk memahami hubungan antara
psikologi dan sastra.13 Pertama, memahami unsur-unsur kejiwaan pengarang
sebagai penulis. Kedua, memahami unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiktif
dalam karya sastra. Ketiga, memahami unsur-unsur kejiwaan pembaca.

Psikologi sastra memberikan perhatian pada masalah yang kedua, yaitu


pembicaraan dalam kaitannya dengan unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional
yang terkandung dalam sastra. Pada umumnya, analisis menggunakan teori sastra
dilakukan melalui dua cara. Pertama, melalui pemahaman teori-teori psikologi
kemudian diadakan analisis terhadap suatu karya sastra. Kedua, dengan terlebih
dahulu menentukan karya sastra sebagai objek penelitian, kemudian ditentukan
teori-teori psikologi yang dianggap relevan untuk dianalisis.14

Pramoedya Ananta Toer dalam romannya, Rumah Kaca berkisah tentang


Jacques Pangemanann seorang komisaris polisi yang mendapat tugas khusus
untuk mengamati tokoh utama pergerakan nasionalis pribumi bernama Minke.
Sebelum mendapat mandat khusus ini, Pangemanann adalah seorang polisi yang
baik, setia kepada istri dan keluarganya, disenangi sesama dan selalu berserah
pada kata hatinya. Tetapi semuanya berubah drastis ketika tugas untuk mengawasi

13
Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, S. U, op. cit., hlm. 343.
14
Ibid., hlm. 344.

5
Minke dijatuhkan kepadanya. Ia selalu berseberangan dengan kata hatinya dan
mengalami keterpecahan diri. Kemalangannya bertambah ketika istrinya
memutuskan untuk meninggalkannya. Ia semakin terperosok dalam lumpur
kolonialisme yang dibanggakannya. Keseluruhan konflik roman Pramoedya
Ananta Toer berjudul Rumah Kaca ini berkutat dalam diri Jacques Pangemanann
dan pergulatan nuraninya.

Dengan memberikan prioritas pada sastra, penulisan ini akan berbicara


tentang tokoh fiksional Jacquess Pangemanann dalam roman Pramoedya Ananta
Toer sebagai parrhesiast atau penutur kebenaran. Penulis akan terlebih dahulu
membaca karya sastra, dan menentukan keutamaan-keutamaan seorang
parrhesiast, kemudian penulis akan menguraikan tokoh tersebut dalam kacamata
isu kunci Michel Foucault tentang parrhesia. Penulis akan membahasnya dalam
judul, PROSES PEMBENTUKAN SUBJEK PARRHESIAST TOKOH DAN
PENOKOHAN JACQUES PANGEMANANN DALAM ROMAN RUMAH
KACA KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER.

1.2 Kajian yang Relevan

Studi terdahulu tentang parrhesia ini pernah dibuat oleh Maria Matildis
Banda dengan judul penelitian “Wacana Kekuasaan dan Kebenaran dalam Puisi
Lisan Sa Ngaza”.15 Menurut penelitian ini puisi lisan perlu dikaji demi
keberlangsungan tradisi, keberakaran, dan pembentukan karakter. Teori yang
digunakan dalam kajian ini adalah teori kekuasaan dan kebenaran Michel
Foucault. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif analitik. Kajian ini
menjelaskan bahwa wacana kekuasaan dan kebenaran dalam puisi lisan sebagai
parrhesia dan parrhesiast memerlukan sejumlah modal. Modal dapat mendukung
Sa Ngaza agar memiliki pengaruh dan dominasi demi keberlanjutan tradisi dalam
era postmodern. Hubungan antara parrhesia dan parrhesiast tidak dapat dipisahkan
dari pengetahuan, kekuasaan, dan kebenaran asal-usul sub-etnis pemilik Sa
Ngaza.

15
Maria Matildis Banda, “Wacana Kekuasaan dan Kebenaran dalam Puisi Lisan Sa Ngaza”
https://e-journal.unair.ac.id/MOZAIK/article/view/6595, diakses pada 14 Februari 2020.

6
Maria Matildis Banda juga pernah membuat penelitian berjudul “The
Power of Truth of Parrhesia and Parrhesiasist in the Poetry Collection of Arakian
Ballad”. Penyair memiliki tanggung jawab dalam mengungkapkan kebenaran
melalui karya-karya mereka. Oleh karena itu, hubungan pribadi antara penyair dan
karya-karyanya adalah hal yang mutlak dan dapat dilihat dari sudut pandang
pribadi dan budaya. Penelitian ini dibuat dengan menggunakan pendekatan
ekspresif untuk menjawab isu di atas. Teori yang digunakan adalah teori
kekuasaan dan kebenaran dengan menekankan parrhesia dan parrhesiast. Metode
yang digunakan adalah tinjauan literatur dan wawancara tertulis kepada penyair.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kekuatan dan kebenaran yang dimiliki oleh
Yapi dalam implementasi parrhesia dalam koleksi puisinya, Ballada Arakian,
mengungkapkan tema umum tentang humanisme, agama, dan refleksi berdasarkan
parrhesia: yaitu hubungan pribadi penyair adalah kebenaran, risiko yang dihadapi
dalam menyampaikan kebenaran, dan respon penyair sebagai parrhesiast.16

Studi terdahulu tentang roman Rumah Kaca juga pernah dibuat oleh Alan
Kurniawan Poku dengan judul penelitian “Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Novel
Rumah Kaca Karya Pramoedya Ananta Toer: Perspektif Galtung”.17 Penelitian ini
bertujuan untuk (1) Mendeskripsikan struktur pembangun cerita yang mencakup
alur, tokoh, penokohan, dan latar dalam novel Rumah Kaca, dan (2)
Mendeskripsikan bentuk-bentuk kekerasan yang terdapat dalam novel Rumah
Kaca. Studi ini menggunakan paradigma Wellek dan Warren yang membagi
penelitian sastra atas dua pendekatan, yaitu pendekatan intrinsik dan pendekatan
ekstrinsik. Pendekatan intrinsik digunakan untuk menganalisis struktur cerita
dalam novel Rumah Kaca. Teori yang digunakan adalah teori struktural.
Pendekatan intrinsik digunakan untuk menganalisis bentuk-bentuk kekerasan
menurut perspektif Galtung. Teori yang digunakan adalah teori sosiologi sastra
dengan memanfaatkan teori kekerasan Galtung. Dalam penelitian ini, peneliti
menggunakan metode analisis data menggunakan deskriptif kualitatif dan teknik

16
Maria Matildis Banda, “The Power of Truth of Parrhesia and Parrhesiasist in the Poetry
Collection of Arakian Ballad” https://www.e-
journal.usd.ac.id/index.php/IJHS/article/download/2080/1603, diakses pada 14 Februari 2020.
17
Alan Kurniawan Poku, “Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Novel Rumah Kaca Karya Pramoedya
Ananta Toer: Perspektif Galtung” https://repository.usd.ac.id, diakses pada 4 April 2020.

7
pengumpulan data menggunakan teknik simak catat dan teknik studi pustaka.
Hasil analisis struktur pembangun cerita yang mencakupi, alur, tokoh, penokohan,
dan latar dalam novel Rumah Kaca sebagai berikut. Alur dalam novel adalah alur
maju. Tokoh utama dalam novel adalah Jacques Pangemanann dan R.M. Minke.
Tokoh tambahan, yaitu Jendral Idenburg, Donlad Nicolson, Robert Suurhof,
Prinses Kasiruta, Piah, Paulette, Rientje de Roo, Nyi Juju, Nyi Romlah, Frits
Doertier, Hadji Samadi, Wardi, D. Douwager, Tjiptomangun, Ayah Soendari,
Bernhard Meyersohn, Pemuda. Latar waktu dalam novel, yaitu (1) tahun 1912, (2)
tahun 1914, (3) tahun 1911, (4) tahun 1919, (4) awal tahun 1913. Latar tempat
dalam novel adalah Hindia. Latar sosial-budaya yang terdapat dalam novel adalah
sosial budaya Eropa-Belanda. Hasil dari penelitian bentuk-bentuk kekerasan
dalam penelitian ini sebagai berikut. Hasil penelitian kekerasan struktural, yaitu
(1) kekerasan struktural terhadap pemimpin organisasi, (2) kekerasan struktural
pelajar Pribumi, dan (3) kekerasan struktural perempuan. Hasil penelitian
kekerasan personal, yakni (1) kekerasan personal gerombolan Pitung, (2)
kekerasan personal kaum Tionghoa, (3) kekerasan personal gerombola Suurhof,
(4) kekerasan personal wanita, (5) kekerasan personal Bernhard Meyersohn. Hasil
penelitian kekerasan simbolis, yakni (1) kekerasan simbolis berupa bahasa, (2)
kekerasan simbolis berupa Ideologi, (3) kekerasan simbolis ilmu pengetahuan,
dan (4) kekerasan simbolis berupa psikis.

Nadia Anastasia Putri Pratama juga pernah membuat studi tentang roman
Rumah Kaca dengan judul “Perlawanan Pribumi Terhadap Kolonial dalam Novel
Rumah Kaca Karya Pramoedya Ananta Toer”.18 Dalam kajian ini peneliti
mendeskripsikan peristiwa kolonialisme dan perjuangan rakyat untuk terbebas
dari penjajahan yang terjadi di Indonesia yang diceritakan dalam novel Rumah
Kaca. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif yang
diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subjek atau objek
penelitian berdasarkan fakta dalam karya sastra. Penelitian ini berfokus pada
analisis kajian teori pendekatan sosiologi sastra yang bertujuan untuk

18
Nadia Anastasia Putri Pratama, “Perlawanan Pribumi Terhadap Kolonial dalam Novel Rumah
Kaca Karya Pramoedya Ananta Toer” http://research-report.umm.ac.id/index.php/SENSABASA,
diakses pada 15 April 2020.

8
mendeskripsikan perlawanan tokoh pribumi pada masa kolonial dalam
memperjuangkan haknya. Hasil penelitian perlawanan pribumi terhadap kolonial
adalah sebagai berikut (1) bentuk perlawanan tokoh pribumi terhadap kolonial
yang berupa perlawanan langsung dan tidak langsung (2) dampak perlawanan
yang dilakukan yang ada dalam novel.

1.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penulisan di atas, rumusan masalah dalam


penulisan karya ilmiah ini ialah: Bagaimanakah proses pembentukan subjek
parrhesiast tokoh dan penokohan Jacques Pangemanann dalam roman Rumah
Kaca karya Pramoedya Ananta Toer.

1.4 Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penulisan skripsi ini ialah


untuk: mendeskripsikan proses pembentukan subjek menjadi parrhesiast tokoh
dan penokohan Jacques Pangemanann dalam roman Rumah Kaca karya
Pramoedya Ananta Toer. Selain itu, penulisan skripsi ini juga bertujuan untuk
memenuhi salah satu syarat kelulusan program strata satu di STFK Ledalero.

1.5 Metode Penelitian

Jenis penelitian ini ialah penelitian kualitatif dengan menggunakan metode


deskriptif. Menurut Lexy Moleong penelitian kualitatif adalah penelitian yang
bermaksud untuk memahami fenomena yang dialami subjek penelitian secara
holistis dengan cara deskriptif dalam bentuk kata, frase, klausa atau kalimat pada
suatu konteks khusus.19

Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini ialah metode


deskriptif dengan teknik analisis isi (content analysis). Kajian teknik analisis isi
ini menggunakan perspektif psikologi Subjek Michel Foucault dengan isu
kuncinya Parrhesia. Menurut Guba dan Lincoln sebagaimana dicatat Lexy
Moleong, kajian dengan analisis isi ini dilakukan untuk menarik kesimpulan

19
Lexy Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdkarya, 2005), hlm. 6.

9
melalui usaha mengidentifikasi karakteristik khusus dalam sebuah teks secara
objektif dan sistematis.20

Data penelitian ini adalah penggambaran unsur-unsur subjektif seorang


Parrhesiast tokoh Jacques Pangemanann dalam roman Rumah Kaca. Sumber data
primer penelitian ini adalah roman Rumah Kaca. Roman ini diterbitkan pada 2015
sebagai cetakan keduabelas dengan ISBN 10: 979-97312-6-7, dan ISBN 13: 978-
979-97312-6-5 oleh penerbit Lentera Dipantara, Multi Karya II/26 Utan Kayu,
Jakarta Timur, Indonesia 13120. Roman ini memiliki ketebalan x + 656 halaman
dengan ilustrasi roman seorang petani. Selain sumber data primer di atas, sumber
data tambahan dalam penelitian ini adalah naskah-naskah yang berbicara tentang
isu kunci Michel Foucault tentang Parrhesia yang terdapat dalam buku, dan
jurnal ilmiah.

Instrumen dalam penelitian ini ialah peneliti sendiri sebagai instrumen


utama yang dibantu oleh lembaran format inventarisasi data. Format tersebut
berguna untuk mengumpulkan data yang menjurus pada penggambaran unsur-
unsur subjektif seorang Parrhesiast. Untuk pengabsahan data digunakan teknik
uraian rinci. Moleong mengemukakan bahwa teknik uraian rinci menuntut peneliti
untuk melaporkan hasil penelitiannya dengan seteliti dan secermat mungkin. Cara
pengumpulan data dengan teks dan telaah kepustakaan, dengan beberapa langkah
antara lain, (l) membaca dan memahami novel yang diteliti, (2) menandai
peristiwa yang mengarah pada permasalahan penelitian, dan (3) menginventarisasi
data berdasarkan format inventarisasi data.21

Hal ini sesuai dengan rumusan format inventarisasi data menurut Muhardi
dan Hasanuddin.22 Data yang telah dikumpulkan, dianalisis dengan beberapa
langkah yang harus dilakukan antara lain, (1) mendeskripsikan data berdasarkan
konsep parrhesia, (2) mengklasifikasikan data melalui satuan-satuan peristiwa di
dalam novel tersebut, (3) menginterpretasikan data, (4) membuat kesimpulan dari

20
Ibid., hlm. 220.
21
Ibid., hlm. 338.
22
Muhardi dan Hasanuddin, Prosedur Analisis Fiksi (Padang: IKIP Padang Press), hlm. 65.

10
hasil penelitian, (5) menulis laporan.23

1.6 Sistematika Penulisan

Tulisan berjudul Proses Pembentukan Subjek Parrhesiast Tokoh dan


Penokohan Jacques Pangemanann dalam roman Rumah Kaca karya Pramoedya
Ananta Toer ini terdiri atas empat bab dengan sistematika penulisan sebagai
berikut:

Bab I membahas uraian pendahuluan yang terdiri atas latar belakang


penulisan, rumusan masalah, tujuan penulisan, metode penulisan dan sistematika
penulisan. Bab II membahas proses pembentukan subjek parrhesiast menurut
Michel Foucault. Bab III membahas unsur ekstrinsik dan unsur intrinsik roman
Rumah Kaca. Bab IV berisi hasil dan pembahasan. Bab V Membahas penutup
berupa kesimpulan dan saran.

23
Ibid.

11
BAB II

PROSES PEMBENTUKAN SUBJEK PARRHESIAST MENURUT MICHEL


FOUCAULT

Pada bab ini, diuraikan secara singkat biografi Michel Foucault dan garis
besar pemikirannya. Pemikiran Foucault yang menjadi sorotan utama adalah
proses pembentukan subjek parrhesiast. Dalam proses pembentukan subjek ini,
dijelaskan kebajikan-kebajikan utama yang harus dimiliki oleh seorang parrhesiast
dan praktik-praktik pendalaman diri secara pribadi untuk mencapai manusia
sebagai subjek etis.

2.1 Biografi Michel Foucault24

Michel Foucault yang bernama lengkap Paul-Michel-Foucalt dan


dilahirkan pada 15 Oktober 1926 di Poiters, Perancis adalah anak kedua dari
pasangan Paul dan Anne. Keluarga Foucault memiliki sejarah keluarga yang
berasal dari kalangan ahli bedah. Paul, ayahnya adalah guru besar dalam bidang
anatomi di sebuah perguruan tinggi di Perancis, sementara ibunya, Anne juga
berasal dari keluarga yang berprofesi sebagai ahli bedah. Latar belakang keluarga
ahli bedah inilah yang kemudian menyebabkan pertengkaran hebat antara
Foucault dan ayahnya. Ayahnya bersikukuh mendorong anaknya untuk mengkuti

Julie Faith O’Callaghan, The Sexual Experience: Michel Foucault and The History of Sexuality
24

(Murdoch: Murdoch University, 2013), hlm. 1-5. Bdk. https://m.merdeka.com, diakses pada 3
April 2020.

12
jejak keluarga yaitu menjadi seorang ahli bedah, tetapi Foucault memilih jurusan
sastra dan sejarah di Ecole Normale Superieure pada tahun 1943.

Sebagai seorang yang diakui kecemerlangannya sejak kecil, Foucault


berhasil membuktikan kehebatannya di hadapan dosen dan kawan-kawannya di
Universitas. Selama berkuliah di tempat itu, Foucault memiliki masalah
pergaulan. Kondisi pergaulan yang eksklusif layaknya kaum bangsawan membuat
Foucault merasa frustrasi, tertekan dan depresi. Foucault pernah ditemukan
terbaring tak sadarkan diri bersimbah darah akibat percobaan bunuh diri. Masa
sulit yang dihadapi Foucault bertambah dengan pengakuan dirinya adalah seorang
homoseks, sesuatu yang dianggap kelainan menjijikkan pada masa itu. Kemudian
Paul membawa anaknya menjalani terapi mental untuk memulihkan kejiwaannya.
Ketika menjalani proses pemulihan itu, Foucault tertarik untuk menggeluti
psikologi. Selama menggeluti psikologi, Foucault selalu menyempatkan diri
berkunjung ke rumah sakit jiwa untuk mengamati bagaimana dokter melakukan
terapi dan mengobati pasien-pasiennya.

Pada tahun 1950-1953, Foucault bekerja di jurusan studi Romawi di


Universitas Upsalla, Swedia. Di tempat ini, Foucault lebih banyak menghabiskan
waktu di perpustakaan, yang memiliki banyak koleksi buku, khususnya tentang
kejiwaan. Dari tempat inilah lahir karya-karya monumental seperti Madness an
Civilization: A History of Insanity in the Age of Reason (1961), dan The Birth of
The Clinic: An Archeology of Medical Perception (1963).

Karir intelektual Foucault semakin bersinar. Karya-karya yang dihasilkan


banyak mengundang minat pembaca. Dalam karyanya, Foucault banyak
melahirkan pemikiran yang kritis dan kontroversial. Studi kritisnya terhadap
institusi sosial, seperti klinik, rumah sakit, dan penjara berpengaruh cukup luas.
Pengagum Nietzsche ini juga melakukan kritik terhadap pandangan tentang
seksualitas. Tulisannya mengenai relasi pengetahuan dan kekuasaan mendapat
apresiasi yang sangat besar di kalangan lingkaran akademisi.

Selain aktif menulis, Foucault juga aktif dalam aksi-aksi politik. Ia juga
kerap diundang ke banyak negara seperti Polandia, Tunisia, Jerman, dan Amerika

13
Serikat untuk memberikan orasi ilmiah. Meskipun karir akademisnya semakin
menanjak, kepribadiannya sebagai seorang yang ‘menyimpang’ tidak pernah
memudar. Foucault dikenal sebagai pemabuk, homoseksual, pecandu obat-obat
terlarang, opium, ganja, kokain, da LSD. Kematiannya pada tanggal 25 Juni 1984
disebaban oleh penyakit AIDS. Foucault adalah tokoh publik pertama di Perancis
yang meninggal akibat AIDS. Pasca kematian Foucault, istrinya Daniel Defert,
mendirikan sebuah yayasan amal untuk membantu penderita AIDS dalam rangka
mengenang Foucault.

2.2 Ikhtisar Pemikiran Michel Foucault

Dalam karya-karya Foucault yang terakhir sebelum kepergiannya,


perhatian difokuskan pada diskusi tentang pembentukan subjek dan kesadaran
manusia sebagai makhluk moral dan etis. Foucault memulai studi filosofisnya
tentang praktik hidup manusia pada masa lampau dan pada pemaknaan pola pikir
serta pola tingkah laku manusia dalam proses melihat dirinya sebagai objek
kemudian menyadari diri sebagai subjek yang berarti.25

Pengalaman-pengalaman manusia pada masa lalu, baik pengalaman yang


menggembirakan maupun pengalaman yang menyedihkan didalami Foucault
dalam risetnya. Ia juga mempelajari dan mendalami hidup, bahasa, sejarah dan
kebudayaan manusia. Foucault melakukan pendekatan terhadap cara manusia
memaknai peristiwa penting dalam hidupnya dan usaha yang dilakukan manusia
dalam menangani dan mencermati semua pengalaman itu dari pelbagai lembaga
dan institusi. Dengan menggunakan metode arkeologi, Foucault menggali hal-hal
yang pernah terjadi dalam hidup manusia dan juga berfokus pada reaksi manusia
dalam menghadapi hal-hal itu. Sampai pada titik ini, perhatian utama Foucault
adalah orang-orang yang tidak normal, yang menderita sakit psikis dan mental,
yang terlibat dalam tindakan kriminal, dan berbagai macam ketidaknormalan lain
yang disebutnya sebagai kegilaan.26

Lebih lanjut, Foucault mau menampilkan sistem berpikirnya yang disebut

25
Hubert L. Dreyfus and Paul Rabinow, Michel Foucault: Beyond Structuralism and Hermeneutics
(Chicago: The University of Chicago Press, 1982), hlm. 208.
26
Todd May, The Philosophy of Foucault (Chesham: Acumen Publishing Limited, 2006), hlm. 67

14
sebagai reason dan unreason, thought dan unthought yang berisikan pertentangan
antara yang normal dan tidak normal. Foucault mau menunjukkan bahwa keadaan
objektif orang sakit atau orang tidak normal dapat memengaruhi perhatian dan
pandangan orang-orang normal yang sebelumnya memandang mereka sebagai
objek, berubah menjadi subjek dengan cara memberikan pertolongan. Keberadaan
orang-orang tidak normal di tengah masyarakat menunjukkan bahwa orang-orang
normal juga dapat mengalami pengalaman-pengalaman tidak normal seperti itu.
Jadi, situasi hidup bersama yang harmonis adalah sebuah pemestian. Rumah Sakit
dibangun untuk orang sakit, penjara dibangun untuk pelaku kriminal, dan Rumah
Sakit Jiwa bagi orang yang mengalami gangguan kejiwaan.27

Melalui metode arkeologi, Foucault menggali segala macam pemahaman


manusia dan wacana masa lampau untuk melihat perkembangan cara berpikir dan
pola tingkah manusia pada masa kini. Foucault menemukan bahwa dalam setiap
zaman selalu ada model-model pengetahuan dan model berpikir dalam menangani
setiap masalah. Foucault juga meneropong masalah-masalah yang berhubungan
dengan hidup manusia menyangkut tubuh, bahasa, dan pengetahuan. Dari sini
muncullah banyak ilmu yang berbicara tentang manusia dan manusia menyadari
diri sebagai subjek dari semua ilmu itu.28

Dalam fase terakhir dari proses berpikirnya, Foucault berbicara tentang


kesadaran manusia sebagai makhluk etis dan pembentukan subjek. Lewat metode
genealogi, Foucault secara kritis meneliti praktik-praktik hidup pada zaman
Yunani-Romawi klasik, dan membuat analisis tentang cara manusia berhubungan
dengan dirinya. Untuk itu, pada kuliah dan seminar terakhirnya Foucault berbicara
banyak tentang parrhesia dan praktik diri.

Parrhesia (truth-telling) adalah tema pokok seminar terakhir Foucault


yang dibawakan di Universitas California di Berkeley pada bulan Oktober-
November 1983. Beberapa pertanyaan penting dalam problematisasi parrhesia
adalah siapa itu penutur kebenaran? Apa syarat-syaratnya? Bagaimana ia dibentuk

27
Michel Foucault, Madness and Civilization, Penerj. Richard Howard (Naw York: Vintage Books,
1988), hlm 65.
28
Michel Foucault, The Archeology of Knowledge and The Discourse on Language, penerj. A. M.
Sheridan Smith (New York: Pantheon Books, 1972), hlm. 138-139.

15
dalam latihan berbicara? Dan bagaimana meditasi dan latihan rohani yang
dilakukannya secara pribadi dapat membantunya untuk menjadi seorang
parrhesiast?29 Dalam kaitan dengan meditasi, latihan rohani dan praktik diri,
Foucault memperlihatkan cara-cara menghilangkan rasa marah dan dendam
menurut pandangan klasik. Semua latihan ini adalah sebuah diskursus kuasa
dengan subjek sendiri.

Foucault melihat hidup manusia sebagai sebuah karya seni (estetika


eksistensi). Manusia harus dapat membentuk model dirinya (mode of being) dan
berkembang sebagai manusia. Proses membangun diri ini berlangsung terus-
menerus tanpa mengenal titik istirahat. Pada akhirnya, ketika orang sungguh
memperhatikan dirinya dengan baik (care of the self), maka perhatian terhadap
orang lain juga dapat dicapai (care of others).

2.3 Proses Pembentukan Subjek Parrhesiast

2.3.1 Siapakah Parrhesiast

Secara etimologis istilah parrhesia berasal dari kata bahasa Yunani pan
yang berarti semua dan rhesis atau rhema yang berarti ekspresi, sesuatu yang
dikatakan, pidato dan perkataan. Istilah parrhesia dalam arti yang sebenarnya
merupakan aktivitas untuk mengungkapkan segala sesuatu yang ada dalam pikiran
seseorang. Ada tiga macam bentuk dari kata ini. Kata benda (noun), parrhesia,
kata kerja (verb), parrhesiazomai dan orang yang mengatakan parrhesia disebut
parrhesiastes. Namun, kata parrhesiastes tidak begitu sering dipakai dan tidak
dapat ditemukan dalam naskah klasik, sehingga bentuk yang digunakan dalam
tulisan ini adalah parrhesiast.30 Oleh karena itu, parrhesia sesungguhnya berarti
keterampilan berbicara, kemerdekaan berbicara, keterbukaan mengungkapkan
sesuatu, berbicara dengan penuh keyakinan, dan berbicara secara terbuka dan

29
Michel Foucault, “Discourse and Truth: The Problematization of Parrhesia” (Seminar, University
of California, Berkeley, Oktober-November 1983), hlm. 66-67. Bdk.
http://foucault.inf/downloads/discourseandtruth.doc, diakses pada 15 Mei 2020.
30
Michel Foucault, Parrhesia Berani Berkata Benar, ed. Joseph Pearson, penerj. Haryanto Cahyadi
(Tangerang Selatan: Marjin Kiri, 2018), hlm.1-2.

16
polos.31

Foucault tidak berbicara tentang problem kebenaran. Foucault


memusatkan perhatiannya pada problematisasi parrhesia. Problematisasi
parrhesia adalah suatu istilah yang umumnya dikenal sebagai “berbicara secara
jujur dan terbuka”, “bebas”, dan “berbicara dan bercerita yang benar”.
Problematisasi parrhesia ini juga mengandaikan bahwa seseorang harus
memperhitungkan adanya fenomena kebenaran. Istilah parrhesia ini selalu
mengandaikan suatu subjek yang mempraktikkannya. Ada tiga pertanyaan utama
yang muncul dalam relasi-relasi kebenaran. Pertama, siapa yang mengatakan
kebenaran. Kedua, bagaimana mengatakannya. Ketiga, mengapa kebenaran itu
dikatakan.32 Subjek ini disebut parrhesiast. Dengan kata lain, parrhesia
membutuhkan seseorang untuk menanganinya dan menjadikannya berarti. Oleh
karena itu, semua diskusi Foucault selalu terarah kepada subjek yang dikenal
sebagai parrhesiast, subjek manusiawi yang dapat menerima dirinya dan orang
lain.33

Istilah problematisasi parrhesia ini juga mengandaikan adanya dua atau


lebih orang dalam mengomunikasikan pesan-pesan parrhesiastik. Hadirrnya dua
atau lebih orang dalam relasi-relasi individual dan personal sangat mempengaruhi
problem parrhesia. Namun, secara khusus Foucault mau menggarisbawahi
kualitas relasi seseorang dengan dirinya sendiri. Kualitas diri seseorang dapat
berkembang dengan baik ketika orang tersebut selalu mengintrospeksi diri,
memeriksa batin dan membina diri. Ketiga praktik peningkatan kualitas diri ini
harus menjadi sebuah rutinitas. Sebagai pengembangan lanjutan dalam praktik ini,
seorang parrhesiast juga dapat melakukan pemeriksaan batin secara pribadi,
diagnosis diri, dan membuat testing diri. Namun sebelumnya, kebajikan-kebajikan
seorang parrhesiast harus ditampilkan. Di bawah ini akan diuraikan kebajikan-
kebajikan yang harus dimiliki oleh seorang parrhesiast.

Pertama, seorang parrhesiast seharusnya seorang warga Yunani yang sah.

31
Ibid., hlm. 2.
32
Dr. Konrad Kebung Beoang, op.cit. hlm. 90-93.
33
Ibid., hlm. 84.

17
Dalam masyarakat Yunani, menjadi warga negara dalam arti tertentu berarti
memiliki tanggung jawab tertentu dalam polis. Parrhesiast juga harus memiliki
suatu identitas jelas sebagai warga negara.34 Ini tidak berarti harus memiliki suatu
kartu identitas yang dikeluarkan oleh polis. Poin pentingnya adalah seorang
parrhesiast bukanlah orang asing di Athena. Seseorang harus dilahirkan di Yunani
dari orangtua yang juga adalah warga asli Yunani. Namun, dilahirkan dari
pasangan Yunani tidak menjamin seseorang untuk menjadi parrhesiast Yunani.
Dia harus datang dari keturunan terhormat di Yunani.

Kedua, seorang parrhesiast seharusnya memilki kemerdekaan batin.


Sebagai seorang merdeka, seorang parrhesiast memiliki hak untuk berbicara dan
mengungkapkan dirinya.35 Hal ini tidak berlaku bagi seorang hamba. Seorang
hamba tidak dapat menyatakan dirinya secara bebas dan suaranya dianggap tidak
ada. Oleh karena itu, ia tidak dapat menjadi parrhesiast. Tanpa kebebasan
berbicara, seseorang tidak dapat memiliki tanggung jawab penuh dalam polis,
bahkan tidak dapat mengajukan protes atau kritik terhadap pemimpin yang korup.
Dalam situasi ini, seseorang tidak dapat didengarkan dan hidupnya seperti berada
dalam tahanan.

Ketiga, seorang parrhesiast seharusnya seorang yang baik yang memiliki


kualifikasi sosial dan moral. Seorang parrhesiast harus memiliki rasa hormat dan
reputasi yang baik. Hormat dan reputasi baik ini adalah syarat untuk memegang
tampuk dan kuasa publik.36

Keempat, seorang parrhesiast seharusnya juga memiliki suatu kesadaran


akan tugas dan tanggung jawab. Mengatakan kebenaran harus dilihat sebagai
tugas dan kewajiban yang keluar dari dalam hati, tanpa paksaan. Seseorang harus
merasa bebas untuk mengatakan kebenaran kepada diri dan kepada orang lain.37

Kelima, seorang parrhesiast harus memiliki keberanian. Tugas


mengatakan kebenaran adalah tugas yang penuh risiko. Risiko kehilangan

34
Ibid., hlm. 90.
35
Ibid., hlm. 91.
36
Ibid.
37
Ibid.

18
persahabatan dan bahkan hidup sendiri. Perasaan bahwa hal ini merupakan tugas
dan kewajiban harus selalu bersamaan dengan kesadaran akan risiko dan bahaya
ini. Keberanian untuk menanggung risiko demi kepentingan polis sungguh
merupakan suatu tugas mulia dan karena itu merupakan tugas terpuji.38

Keenam, seorang parrhesiast harus memiliki relasi dengan dirinya sendiri.


Yang menjadi fokus dari poin ini adalah menyangkal diri (subjek). Seorang
parrhesiast adalah orang yang bukan hanya melihat kelemahan orang lain, tetapi
juga mampu melihat ke dalam diri sendiri dengan segala kelemahan dan
kelebihan. Seorang parrhesiast tidak hanya menyalahkan orang lain, tetapi juga
dengan berani dapat mempersalahkan diri mereka sendiri.

2.3.2 Pembentukan Subjek Parrhesiast

Setelah berbicara tentang parrhesia dan segala persyaratan pokoknya,


kebajikan-kebajikan moralnya, pada bagian ini perhatian difokuskan pada
keaktifan subjek dalam mempraktikkan kebajikan-kebajikan moral tersebut.
Praktik yang dilakukan secara aktif oleh subjek inilah yang disebut etika. Bukan
hukum-hukum atau peraturan eksternal yang dipaksakan pada seseorang,
melainkan tentang tingkah laku personal yang dibangun dari dan di dalam hidup
pribadi seseorang.39

Namun hal ini tidak berarti hukum, peraturan dan norma tidak lagi
dibutuhkan. Yang dimaksudkan Foucault adalah segala macam hukum harus
diterima sebagai wacana yang memiliki determinasi tertentu terhadap hidup dan
pengalaman seseorang. Semua elemen harus ditemukan dalam diri subjek dan
subjek harus mampu mengarahkan dirinya tanpa perasaan tertekan atau terpaksa.
Dengan kata lain, Foucault tidak hanya menginginkan subjeknya untuk menyadari
dirinya sebagai subjek dari hukum-hukum moral. Namun lebih dari itu, subjek
harus sadar akan dirinya sebagai persona yang bebas. Inilah momen krusial
pembentukan manusia sebagai subjek etis. Akhir dari suatu usaha untuk menjadi
subjek moral adalah afirmasi dan pengakuan yang tegas akan kebebasan pribadi

38
Ibid., hlm. 92.
39
Michel Foucault, op. cit., hlm. 65.

19
individu dan karakter estetik dari pengalaman pribadi seseorang.40

Foucault mau meyakinkan pembacanya untuk beralih dari determinasi


moral kepada determinasi etis. Kesanggupan menguasai diri berarti secara etis
sudah matang dan dewasa. Dalam hubungannya dengan parrhesia, seorang
dewasa tidak hanya mengetahui apa itu kebenaran tetapi juga memiliki relasi
tertentu dengan kebenaran. Ini berarti pola hidupnya sendiri sudah berhubungan
dengan parrhesia. Praktik-praktik dan latihan yang dapat dilakukan untuk menjadi
subjek etis adalah sebagai berikut.41

2.3.2.1 Pemeriksaan Batin Secara Pribadi

Pemeriksaan batin secara pribadi ini dilakukan sebagai sarana untuk


melatih akal dan mengatur atau menghentikan kemarahan. Melalui latihan ini,
penutur kebenaran diberi kesempatan nntuk melihat ke dalam dirinya dan
berdialog dengan dirinya. Dalam latihan ini, seumua kesalahan yang ditemukan
dan yang tampak dilihat bukan sebagai suatu tindakan menentang peraturan atau
hukum. Hal ini berbeda dengan pengakuan dosa dalam agama Kristen. Latihan ini
tidak berbicara mengenai dosa atau kesalahan terhadap Tuhan dan sesama.
Latihan ini lebih merupakan suatu otokritik dan bertujuan agar bisa bertindak
lebih baik pada masa yang akan datang. Praktik ini telah menjadi latihan dan
tuntutan dalam tradisi Pythagorean dan dibuat sebelum tidur.42

2.3.2.2 Diagnosis Diri

Foucault mamakai teks Seneca tentang stabilitas batin sebagai contoh


praktik diagnosis diri.43 Teks itu menghadirkan Serenus, penjaga makam kaisar
Nero, sebagai seorang yang tidak stabil, tidak dapat menguasai dirinya, dan terus
merasa tidak aman. Dalam situasi ini, Serenus memohon bantuan kepada Seneca.
Barsama Seneca, Serenus melakukan diagnosa diri, suatu upaya mengenal sifat-
sifat, keinginan-keinginan, hasrat-hasrat yang dikenali atau yang belum

40
Hubert L. Dreyfus and Paul Rabinow, op. cit., hlm. 212.
41
Michel Foucault, op. cit., hlm. 55-64.
42
Dr. Konrad Kebung Beoang, loc. cit.
43
Seneca, Moral and Political Essays, penerj. John M. Cooper dan J. F. Procope (USA: Cambridge
University Press, 1993), hlm. 46-47.

20
dikenalinya, yang tampak atau yang belum tampak di dalam dirinya. Melalui
diagnosis diri ini, Serenus lalu mengakui bahwa ada beberapa sikap buruknya
yang belum ia ketahui dan belum ia temukan. Ada yang masih tersembunyi, ada
yang tidak selalu tampak tetapi kadangkala muncul dengan sendirinya. Hal ini
sangat mengganggunya. Serenus mengakui bahwa ia sungguh belum merasa
bebas dari hal-hal yang ia takuti dan yang tidak disukainya. Tetapi juga ia tidak
merasa terbelenggu oleh semuanya itu. Dapat dikatakan bahwa ia tidak sakit tetapi
juga tidak sehat.

Seneca menekankan bahwa jika Serenus ingin sembuh, ia harus


menunjukkan kebenaran kepada dirinya sendiri. Ia harus mengakui hal-hal negatif
dan positif yang ada di dalam dirinya. Kebenaran dirinya merupakan penjelasan
akan penyakit yang ia derita. Seneca membandingkan penyakit ini dengan orang
yang sedang mabuk laut, terombang-ambing oleh gelombang dan kemudian
menjadi takut walaupun ia telah melihat daratan di depan matanya. Seneca
menekankan bahwa Serenus merasa tidak aman karena ia tidak memiliki
kestabilan dan kemantapan dalam akal dan batin, suatu kondisi yang sangat
dibutuhkan untuk menjadi pewarta kebenaran.44

2.3.2.3 Testing Diri

Testing diri ini diadopsi Foucault dari praktik-praktik pamantapan diri


dalam tradisi Epictetian.45 Testing diri ini merupakan usaha seseorang untuk
menempatkan dirinya dalam situasi pencobaan. Penempatan diri dalam situasi
pencobaan ini bermaksud melatih penguasaan diri dan stabilitas akal seseorang.
Testing diri ini memampukan orang untuk bisa mengontrol dirinya, mengenal
keinginan, emosi, dan rangsangan dari dalam diri yang sulit dikendalikan. Testing
diri ini juga menjadikan seseorang selalu mawas diri.

Foucault menegaskan bahwa ketiga praktik pemeriksaan batin ini sungguh


membantu seseorang mengenal kebenaran yang ada di dalam dirinya,
memberanikannya untuk menceriterakan kebenaran itu kepada dirinya dan untuk

Dr. Konrad Kebung Beoang, op. cit., hlm. 39.


44

Epictetus, Discourse of Epictetus, penerj. George Long (New York: D. Appleton and Company,
45

1904), hlm. 225.

21
meneruskannya kepada orang lain. Foucault lebih lanjut menambahkan bahwa
kebenaran diri itu melingkupi: pertama, suatu rangkaian prinsip rasional yang
didasarkan pada: pernyataan-pernyataan umum tentang dunia, hidup manusia,
kebahagiaan, dan kebebasan. Kedua, ia juga melingkupi hukum-hukum praktis
dalam tingkah laku dan perbuatan.46 Praktik-praktik seperti yang telah dipaparkan
sebelumnya juga membantu seseorang untuk mengendalikan cinta diri yang
berlebihan, tipu diri yang kronis, dan keinginan untuk membual, yang menjadi
bahaya atau halangan-halangan serius dalam tugas pewartaan kebenaran.

2.4 Praktik Parrhesiast

2.4.1 Mengajar dan Berkotbah

Foucault menunjukkan bahwa mengajar dan berkotbah dilihat sebagai


permainan parrhesiastik. Dalam mengajar dan berkotbah, seorang guru dan
pengkotbah meneruskan kebenaran yang dimiliki kepada orang lain. Efektivitas
cara menyampaikan kebenaran ini tergantung pada relasi personal antara guru
atau pengkotbah dengan para pendengar. Tujuan utama cara ini adalah untuk
memperkenalkan tema-tema filosofis, sehingga pendengar mampu
mentransformasikan dirinya dan menginternalisasikan hal-hal yang telah didengar.
Pada akhirnya, pendengar dapat menemukan polanya sendiri, modelnya sendiri
dan menjadi dirinya sendiri.

Mengajar dan berkotbah biasanya diterapkan dalam hidup beromunitas.


Dalam hidup berkomunitas, bukan hanya prinsip-prinsip umum dari sebuah ilmu
yang harus diketahui tetapi juga informasi khusus dan mendetail untuk setiap
situasi.Oleh karena itu arahan dan pengajaran dalam kegiatan mengajar dan
berkotbah sangat diperlukan dalam hidup berkomunitas.47

2.4.2 Dialog Provokatif

Hidup seseorang dapat menjadi tanda atau gambaran relasi pribadinya


dengan kebenaran. Oleh karena itu, nilai tertinggi diberikan kepada cara hidup

46
Michel Foucault, op. cit., hlm. 42.
47
Michel Foucault, op. cit., hlm. 33.

22
seseorang. Setiap orang harus menjadi guru bagi dirinya sendiri. Penekanannya
terletak pada pola hidup alamiah, dengan menghapus segala macam
kebergantungan yang diperkenalkan kebudayaan. Kebenaran yang terungkap
dalam cara hidup seseorang ini harus diketahui dan diikuti oleh orang lain,
sehingga pola hidup ini harus bersifat provokatif serta menarik bagi orang lain.48

2.4.3 Teladan Hidup

Pengajaran dan kata-kata dapat mengantar orang kepada suatu


pengetahuan yang lebih sempurna tentang sesuatu, tetapi teladan hidup dapat
menarik lebih banyak orang kepada hidup yang lebih baik dalam tata moral dan
etis. Pengajaran dan kata-kata seseorang sama sekali tidak berarti jika tidak
didukung oleh sikap hidupnya sendiri. Hidup seseorang harus menjadi petunjuk
bagi kebenaran esensial dan yang harus diikuti oleh orang lain. Ada dua cara
mengenal seorang parrhesiast. Pertama, dengan melihat kecocokan antara
perkataan dan perbuatan yang dimiliki seseorang. Kedua, dengan melihat
kestabilan dan kemantapan hati seseorang.49

48
Dr. Konrad Kebung, op. cit., hlm. 130.
49
Ibid., hlm. 31.

23
BAB III

UNSUR EKSTRINSIK DAN UNSUR INTRINSIK ROMAN “RUMAH


KACA” KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER

Pada bab ini, roman Rumah Kaca diuraikan menjadi dua unsur yang
sangat penting, yaitu unsur ekstrinsik dan unsur intrinsik. Unsur ekstrinsik adalah
segala sesuatu yang yang berada di luar karya sastra, namun secara tidak langsung
mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra,50 sedangkan unsur
intrinsik adalah segala sesuatu yang membangun karya sastra dari dalam.51
Sebelum membedah kedua unsur ini, dijelaskan biografi Pramoedya Ananta Toer
sebagai penulis roman ini.

3.1 Biografi Pramoedya Ananta Toer52

Pramoedya Ananta Toer lahir pada tanggal 6 Februari 1925 di Blora, Jawa
Tengah, sebagai anak pertama dari sembilan bersaudara. Ia lahir di tengah
keluarga Islam dan nasionalis. Ayahnya, Pak Mastoer, adalah seorang guru HIS
(Holandsch Islandsch School- setingkat SD sekarang) sebelum kemudian pindah
dan mengajar di sekolah partikelir IBO (Institut Boedi Oetomo). Ketika krisis
ekonomi melanda dan adanya pelarangan atas sekolah-sekolah liar, Pak Mastoer

50
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi (Yogyakarta: Gema Media, 2013), hlm. 30.
51
R. D. Pradopo, Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya (Yogyakarta: Pustaka
Belajar, 2003), hlm. 4.
52
Koesalah Soebagyo Toer, Pramoedya dari Dekat Sekali (Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia, 2006), hlm. 271-273.

24
akhirnya kembali menjadi guru HIS dengan hanya berstatus sebagai guru
pembantu.

Kesengsaraan keluarga yang dialami akibat penjajahan Belanda masa itu


diperparah oleh konflik antara ayah dan ibunya, yang terpaksa bekerja keras di
sawah demi menambah pendapatan keluarga. Suasana penuh kesusahan dan
kemiskinan serta konflik antara ayah dan ibunya dalam keluarga itu terjadi
bersamaan dengan situasi depresi tahun 1930-an. Dalam ingatan Pramoedya
sendiri, ayah dan ibunya memiliki karakter masing-masing yang sangat berbeda.
Ayahnya adalah sosok yang sangat keras dalam keluarga. Ayahnya menghabiskan
sebagian besar waktunya di rumah mereka yang juga berfungsi sebagai sekolah
pada masa itu. Secara umum ayahnya dikenang sebagai pribadi yang ‘jauh’ dan
‘asing’ oleh karena wataknya yang demikian keras. Sementara itu, ibunya, Oemi
Saidah adalah seorang aktivis perempuan pada masa itu. Ibunya dikenang sebagai
perempuan berhati lembut namun berdisiplin tinggi. Pram sangat mencintai dan
menghargai ibunya. Sosok inilah yang kemudian menjadi model ibu dalam setiap
karya seninya. Ibunya meninggal karena terserang penyakit tuberkulosis.

Pramoedya menyelesaikan sekolah lokalnya pada tahun 1940. Setelah


menyelesaikan sekolah dasar empat tahun ia meneruskan ke sekolah menengah,
tetapi hanya berhenti pada tingkat kedua. Saat ia tidak naik kelas, ayahnya sangat
malu dan marah padanya, sejak itu mulailah konflik antara keduanya. Ketika ia
akhirnya naik kelas, ia malah disuruh kembali ke kelas sebelumnya oleh ayahnya.
Konflik antara dirinya dengan ayahnya ini kelak banyak dibayangkannya dalam
karya-karya sastranya, misalnya pertentangan antara Minke dengan ayahnya
dalam Tetralogi Buru.

Cita-cita Pram kecil adalah menjadi insinyur di bidang elektronik.


Tekadnya sudah bulat dan ia memutuskan untuk melanjutkan pendidikan pada
Sekolah Teknik Radio Surabaya. Dengan perbekalan seadanya dan dengan biaya
dari ibunya, ia berangkat ke Surabaya.

Meninggalkan rumah dan keluarganya yang dicekam kekakuan dan


kesunyian, Pram muda, dalam usia 16 tahun, berangkat ke Surabaya dengan sejuta

25
impian dan cita-cita dalam kepalanya. Pada sekolahnya yang baru ia mendapat
nilai yang cukup bagus, meskipun sekolah radio yang diambilnya itu lalu
dirasakan menjadi tidak sepenting yang diharapkan. Namun ia tertarik pada
teknologi Jepang dan berharap mendapat beasiswa untuk melanjutkan studi ke
Jepang. Ujian akhir untuk menjadi markonis terjadi pada Desember 1941
bersamaan dengan mulai gencarnya berita kemenangan Jepang atas sekutu. Pada
Maret 1942 Jepang berinvasi ke Pulau Jawa. Bersamaan dengan itu sebuah
kegemparan besar terjadi dan kegemparan itu mengisyaratkan akan datangnya
sebuah revolusi yang tak lama lagi.

Pramoedya menikah pada 13 Juni 1950 dengan seorang gadis yang


dikenalnya ketika berada di penjara dulu. Karena rasa tanggung jawabnya
terhadap keluarga barunya Pram lebih aktif dan produktif dalam menulis. Rumah
tangganya tak bertahan lama dan ia akhirnya menceraikan istrinya menyusul
ketidakharmonisan hubungan perkawinan mereka. Ia menikah kembali pada tahun
1954 dengan Maemunah yang di kemudian hari selalu setia mendampinginya
meski harus menentang badai dan berada dalam kesusahan yang besar.

Masa-masa hidupnya kemudian ia habiskan di dalam penjara. Pengalaman


pertama Pramoedya akan penjara, adalah dua hari setelah Agresi Militer Belanda I
pada Juli 1947. Ketika itu ia disiksa kemudian dipenjarakan tanpa diadili dan
barang-barang di rumahnya turut disita. Berada dalam penjara, Pramoedya
mendapat banyak pengalaman hidup terutama dengan sesama temannya di
penjara. Dorongannya untuk menulis pun timbul ketika ia dalam penjara ini.

Pada tahun 1960 Pramoedya harus mendekam kembali dalam penjara


karena menerbitkan buku Hoa Kiau di Indonesia. Awalnya, presiden
mengeluarkan aturan yang agak rasialis: PP 10/60, yang menghalang kaum etnis
Cina dan usahanya di Indonesia. Pramoedya tampil sebagai pribadi yang
menentang peraturan tersebut. Dengan kesadaran akan pentingnya sejarah,
Pramoedya mengadakan riset tentang sejarah etnis Cina di Indonesia yang lalu
diterbitkan dalam bentuk buku. Hoa Kiau di Indonesia menguraikan aspek-aspek
positif dari kehadiran orang-orang Cina di Indonesia selama berabad-abad serta
sumbangan sangat berarti yang mereka berikan terhadap perkembangan

26
perekonomian dan sosial-budaya di Indonesia. Akibat penentagannya terhadap PP
10/60 itu, Pramoedya segera ditahan, bukunya dilarang beredar dan tanpa proses
yang wajar ia akhirnya mendekam di Rumah Tahanan Militer sebelum akhirnya
dipindahkan ke penjara Cipinang.

Akhir tahun 1965, untuk ketiga kalinya Pramoedya harus berhadapan


dengan benteng kekuasaan. Kali ini ia ditahan oleh pemerintah ORBA pimpinan
Soeharti yang baru saja mengulingkan ORLA pimpinan Soekarno setelah kudeta
PKI pada 30 September gagal. Kegagalan Gestapu ini berbuntut pada
penangkapan dan pembantaian secara besar-besaran terhadap anggota PKI,
simpatisannya atau pihak-pihak yang berafiliasi dengan PKI. Karya-karya para
seniman yang dianggap komunis langsung diberangus dan dinyatakan haram. Ada
ribuan orang yang digiring ke pembuangan, salah satu di antaranya adalah
Pramoedya. Ia ditangkap di rumahnya pada 13 Oktober 1965. Ia disiksa secara
fisik, hartanya dirampok, koleksi buku dan majalahnya yang mencapai ribuan jilid
dimusnahkan. Setelah berpindah-pindah dari satu penjara ke penjara lain, ia
akhirnya diberangkatkan ke Pulau Buru bersama ribuan tahanan politik lainnya
pada tanggal 16 Agustus 1969. Di sinilah ia menghabiskan kurang-lebih 14 tahun
masa hidupnya.

14 tahun adalah masa yang melelahkan, penuh dengan penderitaan fisik


dan tekanan mental, tetapi tidak demikian dengan semangatnya dalam menulis.
Masa-masa kelabu selama di Buru justru menjadikan Pramoedya sukses menulis
masterpiecenya: Tetralogi Buru, di samping juga karya-karya lain seperti roman
panjang Arus Balik yang adalah buku III dari tetralogi Arus Balik. Tulisan
reportasenya selama di Buru juga diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul
Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Demikianlah, masa di Pulau Buru disebutnya sebagai
“nyanyi sunyi”. Namun, tanpa disadarinya, kebiasaannya itu telah menggapai
dunia internasional. Situasi penuh gaya represif selama di Buru tidak membuatnya
berhenti apalagi sampai memadamkan semangatnya untuk menulis sebab menulis
bagi Pramoedya sudah merupakan kewajiban: kewajiban pribadi dan nasional.
Untuk integrasinya dalam sastra seperti ini, Pramoedya Ananta Toer akhirnya
dianugerahi berbagai macam penghargaan antara lain Freedom for Write Award

27
(1988), The Fund for Free Expression Award (1990), Magsaysay (1995), dan
penghargaan yang lain.

Hari pembebasan bagi Pramoedya dan kawan-kawannya terjadi pada bulan


Desember 1979. Bersama rombongan terakhir Pramoedya dibebaskan dari Buru
dan diberangkatkan ke Jawa. Kebebasan dan kemerdekaan yang diperolehnya
adalah semu belaka sebab dalam kenyataannya ia dalam waktu yang lama tidak
memperoleh kemerdekaan berbicara dan buku-bukunya tetap dilarang beredar. Ia
juga diwajibkan untuk melapor diri secara rutin sampai akhirnya ia menolak untuk
melakukannya.

Itulah pribadi Pramoedya Ananta Toer, sosok pengarang terkemuka


Indonesia yang pernah kehilangan hak asasinya sebagai manusia dan warga
negara Indonesia. Namun segala kepahitan itu tidak dapat melunturkan warna
dasar yang melekat erat pada dirinya: pengarang besar yang diakui, bahkan oleh
dunia, meski ia sempat dilupakan oleh negerinya sendiri.

3.2 Sinopsis Roman Rumah Kaca

Roman Rumah Kaca ini merupakan buku keempat sekaligus bagian


terakhir dari Tetralogi Pulau Buru. Roman ini masih tetap mengambil latar
belakang dan cikal bakal nation Indonesia di awal abad ke-20. Tetapi sudah
tampak agak berbeda dari ketiga buku sebelumnya. Tokoh utamanya bukan lagi
Minke, melainkan Jacques Pangemanann. Rumah Kaca menggambarkan segala
upaya yang dilakukan oleh pihak kolonial untuk memukul mundur sepak terjang
gerakan pribumi. Upaya Kolonial yang cukup berhasil yakni lewat sebuah operasi
pengarsipan yang rapi. Dalam roman ini akhir perjalanan hidup Minke pun
terungkap.

Cerita dimulai dengan penjelasan mengenai penyerangan yang menimpa


Minke, yang sebelumnya sempat dikisahkan dalam Jejak Langkah. Dalam
penyerangan itu, Prinses van Kasiruta, isteri Minke, melakukan pertahanan
dengan menembak gerombolan Robert Suurhof (penyerang). Jacques
Pangemanann yang saat itu merupakan seorang inspektur polisi pribumi adalah

28
otak di balik penyerangan tersebut.

Titik pangkal penyerangan ini dipaparkan secara rinci sebagai berikut.


Pada suatu hari Pangemanann ditugaskan untuk memata-matai dan menyingkirkan
seseorang yang tiada lain tiada bukan ialah orang yang ia kagumi, Raden Mas
Minke. Tak bisa menentang kehendak kolonial, ia terpaksa melakukan hal tersebut
secara diam-diam dengan cara mendatangi rumah Minke seakan-akan ingin
bersilaturahmi. Dalam tugas ini, ia dibantu oleh Suurhof yang ditunjuk pihak
kolonial menjadi bawahannya langsung. Jacques Pangemanann pun merancang
sebuah kecelakaan terhadap Minke, pimpinan redaksi Medan itu. Menurutnya
apabila Minke telah tiada maka organisasinya pun akan buyar dan bubar. Selain
itu, Robert Suurhof pun harus dimusnahkan demi nama baik Pangemanann
sendiri.

Meskipun demikian, nurani Pangemanann terusik. Dia merasa betapa


kejam dirinya, seorang pribumi yang mengabdi kepada kepentingan kolonial,
bahkan menjadi aktor utama yang menghambat perjuangan bangsanya sendiri
untuk bebas dari penderitaan. Dilema itu kemudian membuat Pangemenann tidak
tega jika harus membunuh Minke. Sebelum penyerangan, dibuatnya surat kaleng
kepada Prinses yang menyatakan bahwa Minke dalam bahaya. Maka teljadilah
peristiwa penembakan oleh Prinses Van Kasiruta dan berhasil menggagalkan
operasi Shuurof yang sebenarnya dirancang oleh Pangemanann sendiri.

Dari pihak kolonial Pangemanann terus dituntut agar segera


menyingkirkan Minke dengan organisasi serta korannya. Tekanan demi tekanan
yang dialami Pangemanann akhimya menumpulkan nuraninya. Selanjutnya, ia
selalu berusaha untuk dapat mengenyahkan Minke. Berbagai cara ia halalkan,
termasuk lewat Pengarsipan yang rapi mengenai tindak-tanduk Minke. Di
hadapan hukum Pemerintah kolonial, pengarsipan itu berhasil membuktikan
pelanggaran demi pelanggaran yang dibuat Minke. Politik pengarsipan inilah yang
disebut Minke sebagai Rumah Kaca. Minke berhasil dijerat hukum dan
diasingkan ke Ambon.

Kemelut antara Minke dan Pangemanann sungguh menggambarkan

29
puncak ketegangan antara pribumi dan penjajah. Sebagai pemimpin organisasi
dan redaksi koran, keberadaan Minke, yang amat berpihak kepada rakyat pribumi
dan terus menerus menularkan semangat nasionalisme, menggelisahkan
pemerintahan Hindia Belanda. Tak ada jalan lain selain keputusan untuk
mengasingkannya. Setelah Jacques Pangemanann berhasil mengasingkan Minke
ke Ambon, ia mendapatkan promosi jabatan dari gubermen. Pangemanann
dipindahkan ke kantor Algemeene Secretarie di Buitenzorg (Wonokromo) dan
menempati rumah yang telah disediakan. Pangemanann mendapatkan gaji sebesar
dua ratus gulden. Jabatan Algemeene Secretarie merupakan kategori posisi yang
mendekati posisi Gubemur Jenderal. Rumah tempat tinggal yang disediakan
ternyata bekas kediaman Minke. Tugas Jacques Pangemanann mengamati situasi
sosial politik dan membuat laporan terutama mengenai gerakan politik pribumi.
Hasil kerjanya akan jadi bahan pertimbangan gubernur jendral dalam membuat
kebijakan.

Pada saat bekerja, Jacques Pangemanann membaca sebuah fakta yang


mengejutkan. Isi dari kertas-kertas yang dibaca oleh Pangemanann adalah
mengenai catatan pembekuan semua harta benda milik SDI, perumahan
penerbitan Medan di Bandung, benda bergerak maupun tak bergerak. Benda tak
bergerak termasuk rumah untuk para pekerja penerbitan. Benda bergerak termasuk
uang di dalam dan di luar bank, kios-kios Medan di bandung, Buitenzorg, Betawi,
dan kota-kota besar di Jawa, perusahaan impor kertas, barang tulis-menulis dan
alat-alat kantor di Betawi, Hotel Medan di Jalan Kramat, Betawi, seluruh isi
rumah Minke, serta pembekuan perusahaan impor bahan baku batik dari Jerman
dan Inggris yang diusahakan oleh SDI cabang Sala. Ternyata, semua pembekuan
itu dilakukan di luar hukum, tidak berdasarkan keputusan pengadilan.
Pangemanann pelan-pelan menyadari kelicikan penjajah sembari menyayangkan
nasib para pejuang pribumi.

Namun, betapapun keras usaha penjajah lewat politik pengarsipan, hal


yang amat mengejutkan malah teljadi. Meski Minke telah berhasil dibuang,
namun di beberapa tempat jumlah anggota SDI justru semakin meningkat.
Perintah telah dikeluarkan oleh gubermen bahwa Mr. Hendrik Frischboten yang

30
merupakan ahli hukum Medan harus keluar dari Hindia Belanda. Selain
mengurusi masalah Minke, Pangemanann juga mengamati Syarikat Islam (SI),
Boedi Moelyo dan Indische Partij.

Setelah Minke dibuang ketua SI dipegang oleh Mas Tjokro yang tinggal di
Surabaya. Pusat SI juga dipindahkan dari Sala ke Surabaya. Bahkan, untuk
mendiskreditkan SI Pangemanann merancang huru-hara anti Cina dengan
memakai tokoh preman Cor Oosterhof. Huru-hara akibat adu domba antara Islam
versus Cina terjadi di Sukabumi, Gresik, Kuningan, Madiun, Caruban, Weleri,
Grobogan. Namun, hal itu tidak mempengaruhi perkembangan SI di daerah Sala.
SI mengeluarkan koran Peroetoesan yang menggunakan bahasa Melayu. Koran
ini mengalami kemajuan yang sangat pesat. Selain itu, banyak pula koran yang
mulai bermunculan seperti De Expres yang dikeluarkan oleh Indische Partij
menggunakan bahasa Belanda, serta ada pula Sin Po bagi orang Cina. Organisasi-
organisasi yang berdiri ini pada dasarnya sama-sama anti terhadap Gubermen.
Namun, hal itu tidak ditunjukkan secara terang-terangan. Indische Partij bersikap
anti orang Eropa asli dan memihak kepada orang Indo. Hal ini menimbulkan
kecurigaan atasan Pangemanann yakni Tuan R. Semakin lama banyak tumbuh
organisasi pribumi. Tumbuhnya rasa nasionalisme inilah yang membuat
Pangemanann harus menjaga agar Boedi Moelyo, SI, Kuo Min Tang (pemimpin
organisasi Cina), dan Indische Partij tetap jangan sampai bersatu.

Karena banyaknya pekerjaan yang diterima oleh Pangemanann, maka


rencana liburannya, ke Eropa yang telah lama dinantikan keluarganya, gagal
dilaksanakan. Pangemanann tidak dapat mengambil cuti ke Eropa. Padahal,
istrinya sudah sangat ingin pulang ke Perancis dan bertemu dengan para
kerabatnya di sana. Gagalnya rencana ini menyebabkan retaknya keharmonisan
rumah tangga yang selama ini dibina oleh Pangemanann. Hal ini menyebabkan
Pangemanann terjerumus dalam prostitusi dan gemar mengkonsumsi alkohol.
Karena itu, isteri dan anaknya pun pergi meninggalkan Pangemanann dan pulang
ke Eropa.

Suatu ketika keluar perintah untuk melakuknn penangkapan terhadap tiga


Serangkai pendiri Indische Partij, yakni Wardi, Douwager, dan Tjipto.

31
Pangemanann mendapat tugas mengawasi penangkapan tersebut. Alasan
dilakukan penangkapan itu ternyata berkaitan dengan kegiatan jurnalistik mereka.
Ketiga pendiri Indische Partij ini diasingkan ke Belanda. Sementara itu, Minke
akhirnya mendapatkan kebebasannya kembali. Meskipun gubernur jenderal telah
membebaskannya, namun tekanan yang ditunjukkan kepadanya tak kunjung reda.
Minke bahkan tak sempat bertemu dengan isterinya. Sebelum Minke tiba di Jawa,
Prinses dipaksa kembali ke Ambon. Rumah dan asset yang dimiliki oleh Minke
semuanya disita. Bahkan, semua teman Minke mendapat tekanan untuk tidak
menerima kembali kehadiran Minke. Dalam keadaan yang seperti itu ia terus
mengembara dari pasar ke pasar. Tetapi kemudian ia diterima oleh salah seorang
sahabatnya yang lama, Goenawan, yang telah dikucilkan oleh Syarikat Islam
setelah kekuasaan Mas Tjokro. Dalam keadaan sakit Minke dibawa kembali oleh
Goenawan pulang kerumahnya. Akhimya, Minke meninggal karena penyakit yang
dideritanya. Minke tidak mendapatkan penanganan yang baik dari para dokter
yang ada di rumah sakit.

Kematian Minke akhimya menyadarkan Pangemanann betapa hinanya dia


sebagai manusia. Pertemuannya dengan Madame Sanikem Le Boucq dari Prancis
ke Betawi untuk mencari “anak rohani”-nya, yakni Minke, membuatnya semakin
tenggelam dalam penyesalan. Ialah penyebab kematian Minke, seorang musuh
sekaligus gurunya, orang yang selama ini selalu dikaguminya sebagai seorang
pribadi yang berprinsip dan sebagai seorang manusia yang bebas. Dalam
penyesalan yang sangat dalam, melalui pembantunya ia menyerahkan semua
tulisan Rumah Kaca-nya beserta seluruh naskah milik Minke-Bumi Manusia,
Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah-kepada Madame Sanikem Le Boucq sebelum
Pangemanann memutuskan pergi ke Belanda.

Rumah Kaca secara menarik ditutup dengan sebuah adagium yang


berbunyi: “Deposuit Potentes de Sade et Exaltavat Humiles” (Dia rendahkan
mereka yang berkuasa dan naikkan mereka yang terhina). Adagium ini menjadi
konklusi dari pertemuan kedua watak, Minke dan Pangemanann. Minke, sebagai
‘yang terhina’ senantiasa dikenang jasa-jasanya (setidaknya oleh mereka yang
mengenalnya). Sementara Pangemanann, ‘yang berkuasa,’ yang berjuang hingga

32
menghalalkan segala cara demi memuluskan karirnya, justru direndahkan bahkan
dikhianati oleh nasib. Ia yang merasa telah banyak berjasa bagi pemerintah, tetapi
pada akhirnya dicampakkan ketika tugasnya selesai. Tak seorangpun
mengenangnya, bahkan keluarganya sendiri meninggalkannya.

3.3 Unsur Ekstrinsik

Unsur ekstrinsik adalah unsur yang berada di luar teks sastra itu sendiri,
tetapi, secara tidak langsung mempengaruhi bangun atau oraganisme teks sastra.53
Unsur ekstrinsik secara tidak langsung membangun kesatuan sebuah karya sastra.
Unsur ini juga mempengaruhi penciptaan suatu karya sastra.

Tetralogi Bumi Manusia dapat dikatakan sebagai tonggak baru dalam


sepak terjang dunia pengkaryaan Pramoedya Ananta Toer maupun dalam arus
sastra Indonesia. Landasan utama di balik kemunculan tetralogi ini adalah
kesadaran sang sastrawan akan pentingnya usaha untuk menguak kembali sejarah
bangsa Indonesia. Sebenarnya, Karya Buru yang terbit sekitar tahun delapan
puluhan ini sudah mulai dipersiapkan jauh sebelumnya, yakni sekitar tahun 1961.
Ketika itu, lahir tekad yang membara di dalam diri Pram untuk menulis suatu
rangkaian novel/roman tentang penjuangan nasional Indonesia guna
membebaskan diri dari berbagai tindihan derita sejak jaman kebangkitan hingga
revolusi 1945.54

Beberapa pertimbangan yang melatari penulisan roman ini secara singkat


adalah sebagai berikut: pertama, pengajaran sejarah di sekolah semata-mata
tidaklah cukup untuk membudayakan kecintaan terhadap sejarah pergerakan
nasional dalam membebaskan diri dari penindasan dan kemudian mencapai
kemerdekaan Indonesia. Kedua, tanpa kecintaan tersebut, semua ucapan tentang
patriotisme dan kecintaan pada tanah air dan bangsa, baik melalui pembicaraan,
pidato, nyanyian, maupun deklamasi, tinggal sekadar slogan tanpa isi, tanpa
pembelajaran, dan juga tanpa kejujuran?

Tetralogi ini berisi penyadaran-penyadaran sejarah, terutama lewat

53
Burhan Nurgiyantoro, loc. cit.
54
A. A. Teeuw, Sastra Baru Indonesia (Ende: Nusa Indah, 2000), hlm. 230-231.

33
pengembangan karakter-karakter manusia Hindia Belanda pada masanya. Mereka
terdiri dari orang Belanda, Indo, aktivis dari Cina, seniman Pcrancis, pelacur
Jepang, orang buangan dari Maluku dan tokoh-tokoh pribumi yang begitu kaya
warna. Semuanya berjuang di tempat yang sama, memperebutkan tempat yang
sama tetapi atas dasar kepentingannya masing-masing. Hal ini terlihat dari
kacamata tokoh protagonis Minke. Si Minke adalah pemuda priyayi lugu yang
berkembang menjadi seorang intelektual. Pada tahap selanjutnya ia berkembang
menjadi seorang nasionalis yang amat ditakuti pemerintah kolonial. Seorang
pejuang yang berusaha membebaskan bangsanya dari penderitaan di bawah
tindihan penjajah dan kungkungan budaya feodal. Minke sendiri seakan jadi
penggambaran bangsanya yang benjuang meninggalkan kepolosannya menuju
pendewasaan diri sebagai bangsa yang bebas dan berdaulat.

Selain itu, rangkaian peristiwa penting berupa data-data sejarah awal


kebangkitan Indonesia yang dipakai dalam karya ini bukan untuk ditunggangi atau
dimanfaatkan hanya sebagai dandanan bagi cerita. Semua peristiwa (data-data
sejarah) tersebut dikaji kembali, bahkan direvisi sesuai dengan kacamata
Pramoedya. Dengan demikian, Pramoedya sebenarnya berusaha menulis ulang
sejarah. Ia telah menolak dengan tegas sebagian dari versi resmi sejarah nasional
Indonesia yang telah dikenal secara baku. Ia tidak sekadar menolak secara
sembarangan, tetapi juga memberikan pandangan yang mengoreksi dan
menambah wawasan baru untuk bangsanya sendiri.

3.4 Unsur-Unsur Intrinsik

Unsur intrinsik adalah salah satu unsur yang membangun karya sastra.55
Unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra. Unsur
intrinsik sebuah karya sastra memiliki ciri yang konkret. Ciri-ciri tersebut meliputi
jenis sastra, pikiran, perasaan, gaya bahasa, gaya penceritaan, dan struktur karya
sastra. Selanjutnya analisis tentang unsur intrinsik disebut sebagai pendekatan
struktural atau strukturalisme. Strukturalisme adalah suatu disiplin yang
memandang karya sastra sebagai suatu struktur yang saling berkaitan antara satu

55
R. D. Pradopo, loc. cit.

34
dengan yang lainnya.56 Cara kerja teori struktural adalah dengan menguraikan
unsur-unsur intrinsik. Unsur-unsur intrinsik tersebut adalah sebagai berikut.

3.4.1 Tema

Tema adalah dasar cerita atau gagasan dasar umum sebuah karya novel. Ia
menjadi salah satu unsur rekaan kekuatan dan sekaligus sebagai unsur pemersatu
semua fakta dan sarana cerita yang mengungkapkan permasalahan kehidupan.
Tema dapat ditemukan dengan cara menyimpulkan keseluruhan cerita. Tema juga
tersembunyi di balik cerita yang mendukungnya, namun tidak berarti bahwa tema
itu sengaja “disembunyikan” sebab hal inilah yang justru ditawarkan kepada
pembaca.57

Tema utama dalam roman Rumah Kaca ini adalah manusia dan
penderitaan yang ditanggungnya sebagai konsekuensi logis pilihan hidupnya.
Pengalaman penderitaan Jacques Pangemanann dalam roman ini adalah akibat
pilihannya untuk bertahan hidup. Kejatuhan pedalaman dan gugatan nurani yang
mendesak adalah akibat dari pilihannya untuk mengabdi pada kolonialisme.
Roman ini memperlihatkan bagaimana kegiatan arsip menjadi salah satu kegiatan
politik paling menakutkan bagi aktivis pergerakan kemerdekaan yang tergabung
dalam pelbagai organisasi. Hal ini kemudian berpengaruh terhadap kondisi fisik,
sosial dan psikologinya. Hati nuraninya selalu menggugat setiap tindakannya, dan
ia mengabaikannya.

Persoalan utama ini kemudian menjadi akar masalah persoalan-persoalan


lain yang dialaminya, seperti keretakan rumah tangga, kedekatannya dengan
rumah-rumah plesir, dan nafsunya untuk mengejar jabatan tinggi sebagai seorang
pribumi. Jadi, tema utama dalam roman Rumah Kaca karya Pramoedya Ananta
Toer ini adalah penderitaan manusia akibat pilihan hidupnya.

56
Sabgidu, Penelitian Sastra: Pendekatan, Teori, Metode, Teknik dan Kiat (Yogyakarta: Penerbit
Sastra Asia Barat, 2004), hlm. 16.
57
Sugiharstuti Suharto, Kritik Sastra Feminis Teori dan Aplikasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2002), hlm. 45-46.

35
3.4.2 Alur dan Pengaluran

Alur adalah cerita yang berisi urutan peristiwa yang dihubungkan secara
kasual. Peristiwa terjadi karena adanya aksi atau aktivitas yang dilakukan oleh
tokoh cerita, baik verbal maupun non verbal, baik fisik maupun batin. Alur juga
merupakan cerminan atau bahkan berupa perjalanan tingkah laku para tokoh
dalam bertindak, berpikir, berasa, dan bersikap dalam menghadapi berbagai
maslah kehidupan.58

Pengaluran adalah pemilihan dan pengaturan peristiwa pembentuk cerita.


Cerita diawali dengan peristiwa tertentu dan diakhiri dengan peristiwa tertentu
lainnya tanpa terikat pada urutan waktu.59

Roman Rumah Kaca karya Pramoedya Ananta Toer menggunakan alur


campur. Roman ini adalah serial keempat dari tetralogi pulau Buru: Bumi
Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Pembagian
dalam format empat buku ini bisa juga diartikan sebagai pembelahan pergerakan
yang hadir dalam beberapa episode.60

Roman pertama, Bumi Manusia merupakan periode penyemaian dan


kegelisahan; roman kedua, Anak Semua Bangsa, adalah periode observasi atau
turun ke bawah; roman ketiga, Jejak Langkah, adalah pengorganisasian
perlawanan; maka roman keempat, Rumah kaca, adalah reaksi balik dari
pemerintahan Hindia Belanda yang melihat kebangkitan perlawanan di tanah
jajahan mereka.61

Roman ini unik karena ada peralihan pusat penceritaan. Jika ketiga buku
sebelumnya penceritaan berpusat pada Minke, maka buku keempat ini,
penceritaan beralih pada seorang arkhivaris atau juru arsip bernama Jacques
Pangemanan dengan dua n. Peralihan ini juga simbolisasi dari usaha Hindia
melumpuhkan sepak terjang pena Minke yang tulisannya membuat banyak orang,

58
Ibid., 46.
59
Ibid., 47.
60
Pramoedya Ananta Toer, Rumah Kaca (Jakarta: Lentera Dipantara, 2015), hlm. ix.
61
Ibid.

36
dalam istilah anak bawang Minke, Marco, “moentah darah”.62

Kisah roman ini dibuka dengan alur maju, penjelasan tentang pekerjaan
baru yang dimandatkan kepada Jacques Pangemanann. Pekerjaan yang dinilai
baru sama sekali di Hindia, yaitu mengamati pergerakan terpelajar pribumi
bernama Minke. Minke yang menjadi representasi pembangkangan anak terpelajar
pribumi yang menjadi target nomor satu untuk ditangkap dan ditahan. Setelah
penahanan dan pembuangan Minke ke Ambon, cerita berputar ke masa lalu
tentang sepak terjang Jacques Pangemanann semasa menjabat sebagai komisaris
polisi dalam memberantas kericuhan akibat ulah pribumi yang mengganggu para
tuan tanah dan cerita tentang peristiwa sejarah yang berhubungan dan narasi-
narasi dengan beberapa tokoh penentu konflik. Ini adalah awal kejatuhan
pedalaman Jacques Pangemanann, yang dapat disebut sebagai awal konflik.

Tegangan terdapat hampir dalam keseluruhan roman Pramoedya Ananta


Toer ini, sebab tokoh utamanya selalu berusaha untuk keluar dari masalah utama
menggunakan cara-cara agresif, seperti menciptakan konflik menggunakan
pergolakan batin dengan pertanyaan-pertanyaan reflektif. Selain itu, monolog-
monolog singkat tokoh utama dengan hati nuraninya menjadi sisi lain konflik
yang terdapat dalam novel ini.

Konflik memuncak pada pertumbuhan dan maraknya organisasi pribumi


yang muncul, walaupun Minke sudah dibekukan pergerakannya. Di sini,
penceritaan kembali pada masalewat tentang orang-orang dekat Minke yang
semasa hidup mereka mengabdi dan berguru pada Minke. Orang-orang ini
menjadi ujung tombak perubahan setelah penahanan dan pembuangan Minke.
Selanjutnya kisah kembali menggunakan alur maju menuju puncak konflik dalam
roman ini. Yaitu ketika Minke pulang dari masa penahanannya di Ambon selama
lima tahun, berhadapan dengan kenyataan pahit, dan dibiarkan mati dalam sakit
yang misterius. Roman ini ditutup dengan kesedihan Sanikem, ibu angkat Minke
yang datang dari Prancis untuk menemui anaknya, tetapi hanya mendapati pusara
Minke.

62
Ibid.

37
3.4.3 Latar

Latar atau setting bertumpu pada tempat atau waktu. Latar tempat merujuk
pada suatu kawasan secara geografik, konkret dan setting waktu merujuk pada
suatu waktu tertentu.63 Latar sering disebut sebagai atmosfer karya sastra yang
mendukung masalah, tema, alur, dan penokohan. Latar juga meliputi
penggambaran lokasi geografis, termasuk topografi, pemandangan, sampai pada
perlengkapan ruangan; pekerjaan atau kesibukan sehari-hari para tokoh; waktu
berlakunya kejadian, masa sejarahnya, musim terjadinya; lingkungan agama,
moral intelektual, sosial, dan emosional para tokoh. Fungsi latar adalah
memberikan informasi tentang situasi sebagaimana adanya, baik proyeksi batin
para tokoh, pendeskripsian peristiwa-peristiwa, maupun konflik yang dihadapi
tokoh cerita.64

Roman ini mengambil latar kebangunan dan cikal bakal nasion bernama
Indonesia di awal abad ke-20. Roman ini juga mengambil beberapa latar seperti
Betawi, Surabaya, Sala, Ambon, kantor Algemeene Secretarie, rumah dan
perkuburan. Kota-kota yang disebut adalah tempat pergerakan beberapa organisasi
terpelajar pribumi, tempat pembuangan Minke dan merupakan tempat pemusatan
peta kekuatan, tempat kerja Jacques Pangemanann dalam mengamati pergerakan
pribumi terpelajar khususnya Minke, rumah keluarga Jacques Pangemanann dan
tempat pembaringan terakhir Raden Mas Minke.

3.4.4 Tokoh dan Penokohan

Tokoh adalah subjek atau individu rekaan yang mengalami perlakuan di


dalam peristiwa cerita dan yang menggerakan peristiwa-peristiwa cerita. Tokoh
dilengkapi watak dan karakteristik tertentu. Wataklah yang menggerakan tokoh
untuk melakukan perbuatan tertentu sehingga sebuah cerita menjadi hidup,
sedangkan penokohan adalah penyajian watak, penciptaan citra, atau pelukisan

63
Korrie Layun Rampan, Dasar-Dasar Penulisan Cerita Pendek (Ende: Nusa Indah, 1995), hlm.
42.
64
Sugihastuti Suharto, op. cit., hlm. 54-55.

38
gambaran tentang seseorang yang ditampilkan sebagai tokoh cerita.65

Ada beberapa metode penokohan. Yang pertama, metode analitik atau


metode langsung. Melalui metode ini, pengarang memaparkan sifat-sifat, hasrat,
pikiran, dan perasaan tokoh. Kedua, metode tidak langsung atau disebut juga
metode ragaan atau dramatik. Dalam metode ini watak tokoh disimpulkan dengan
menangkap pikiran, cakapan, atau lakuan tokoh yang disajikan pengarang melalui
narator. Dan yang ketiga adalah metode kontekstual. Melalui metode ini, watak
tokoh disimpulkan dari bahasa yang digunakan narator di dalam mengacu kepada
tokoh cerita.66

Ada beberapa tokoh yang diangkat Pram dalam romannya Rumah Kaca.
Tokoh-tokoh tersebut adalah Minke, Pangemanan dengan dua n, Gubernur
Jenderal Van Heutsz, Gubernur Jenderal Idenburg, Gubernur Jenderal Van
Limburg Stirum, Robert Suurhof, Rientje de Roo, Tuan L., Tuan R., Sarimin,
Prinses Kasiruta, Paulette, anak-anak Pangemanann, dan Sarimin. Masing-masing
tokoh memiliki karakternya sendiri. Berikut ini akan ditampilkan beberapa tokoh
yang menjadi sorotan utama Pram dalam roman ini.

Pertama, Jacques Pangemanann. Pangemanann adalah tokoh utama dalam


roman ini. Pram menggambarkan Pangemanann sebagai seorang pejabat
pemerintah yang ambisius yang mengalami permasalahan batin yaitu hati nurani
yang semakin membatu. Hal ini terjadi sebagai akibat pilihan hidupnya mulai dari
masih menjabat sebagai seorang komisaris polisi hingga menjadi pejabat
Algemenee Secretarie. Sifat ambisisiusnya demi jabatan tinggi ini membuatnya
semakin terperosok ke dalam kubangan lumpur kolonial.

Sebelum terjebak dalam dunia kolonial yang busuk, Pangemanan


digambarkan sebagai pribadi yang selalu bertindak dari hati. Segala sesuatu yang
dilakukannya, dalam pekerjaan, berumahtangga, maupun bermasyarakat,
dilakukannya dengan tulus hati. Pangemanan juga adalah seorang yang religius,
rajin membawa keluarganya ke Gereja.

65
Ibid., hlm. 50.
66
Ibid., hlm. 50-51.

39
Tipe kepribadian lainnya yang ditunjukkan oleh Pangemanann adalah
komitmen hidupnya yang keras. Beberapa narasi dalam roman ini menunjukkan
sifat aslinya ini yaitu keinginan besarnya untuk menjadi pribumi dengan jabatan
yang tinggi. Meskipun nampak sangat negatif, hal positif yang dapat diperoleh
adalah keengganannya untuk meninggalkan tugas dan tanggung jawabnya yang
sudah menjadi komitmennya.

Kedua, Minke. Minke adalah tokoh utama yang digambarkan Pram dalam
tiga serial awal tetralogi pulau Buru ini. Telah dijelaskan pada bagian sebelumnya
bahwa peralihan penceritaan sudut pandang tokoh ini adalah salah satu keunikan
dari roman Rumah Kaca ini. Minke adalah seorang pemberani. Hal ini dibuktikan
melalui perjuangannya melawan kekuasaan kolonial dengan Surat Kabar Medan
dan Syarikat Dagang Islam yang dipimpinnya. Berkesempatan untuk mendapat
pendidikan Eropa membuat Minke berpengetahuan dan berpandangan luas. Hal
ini sangat membantunya dalam menjalankan organisasi yang dipimpinnya. Karena
ia adalah seorang pribumi yang mempelajari cara-cara Eropa maka sudah pasti ia
memiliki kemauan yang kuat dalam hal belajar. Belajar melawan semua
keterbatasan dan ketidakmungkinan adalah juga bukti keberaniannya. Setelah
kembali dari pembuangannya pun Minke masih berusaha untuk membikin
perlakuan Gubermen atas dirinya menjadi perkara.

Tipe kepribadian lain yang dimiliki oleh Minke adalah sikap pasrah.
Minke menunjukkan kepasrahan total ketika dihukum dengan pembuangan ke
Ambon. Beberapa orang melihat hal itu adalah suatu kewajaran yang harus
ditanggung seorang pemimpin. Padahal, pembuangan itu tidak layak diterimanya.
Ia mendapat hukuman besar atas kesalahan kecil yang dibuatnya. Apalagi
kesalahan itu bukanlah perbuatannya.

40
BAB 1V

HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab ini berisikan penjelasan tentang proses pembentukan subjek


parrhesiast tokoh dan penokohan Jacques Pangemanann dalam hidup hariannya,
dalam tugasnya sebagai seorang komisaris polisi, dalam relasinya dengan Minke,
dan dalam setiap pergulatan batinnya ketika menghadapi dilema.

4.1 Jacques Pangemanann dan Parrhesiast

Foucault memusatkan perhatiannya pada problematisasi parrhesia dan


mengambil parrhesia sebagai kata kunci. Istilah ini selalu mengandaikan suatu
subjek yang mempraktikkannya. Ada tiga pertanyaan pokok dalam permainan
kebenaran. Pertama, siapa yang mengatakan kebenaran? Kedua, bagaimana
mengatakannya? Ketiga, mengapa kebenaran itu dikatakan?

Pertama, tentang pertanyaan “siapa yang mengatakan kebenaran?” Dalam


keseluruhan penceritaan roman Rumah Kaca, sosok Jacques Pangemanann
muncul sebagai sosok yang sangat dominan. Hal ini diperkuat dengan posisi
Pangemanann sebagai tokoh utama dalam roman ini. Semua hal yang dinarasikan
dalam roman ini selalu berhubungan dengan Pangemanann. Oleh karena itu,
pengenalan lebih mendalam terhadap sosok Pangemanann adalah sebuah
keharusan. Pangemanann yang bernama lengkap Jacques Pangemanann, dengan
dua n, adalah seorang komisaris polisi tingkat I yang kemudian mengalami

41
kenaikan pangkat karena prestasinya. Di bawah ini adalah salah satu narasi
tentang prestasinya.

Keadaan keparat ini bermula dengan awal yang tidak kurang


keparatnya. Itu terjadi barang sepuluh tahun yang lalu, umur
empatpuluhan. Sehat, berbadan besar, tiap hari masih berolahraga
berat, sederhana, rendah-hati, dan menjabat pangkat tertinggi untuk
seorang Pribumi: Inspektur Polisi tingkat-I. Aku percaya kepada
kebaikan dan kebajikan, dan aku percaya seluruh hidupku kuabdikan
kepadanya. Sebagai manusia dan sebagai polisi.

Aku tahu semua rekanku, tanpa kecuali iri-hati terhadap


keberuntunganku sebagai pejabat. Sebagai suami, sebagai pribadi. Iri-
hati terhadap pangkatku dinyatakan lewat fitnah dan laporan palsu. Ini
membikin aku selalu berhati-hati, tidak memberi peluang orang
menjatuhkan diriku. Semua tugas kulakukan sungguh-sungguh. Aku
percaya dan bekerja dengan pesangon ajaran dari rumah, dari sekolah,
dari lingkunganku, dari agamaku. Itulah moral yang sepenuhnya
kuyakini. Menumpas kejahatan dati muka bumi, betapapun kecil
adalah kebajikan.

Komandanku, komisaris Van Dam tot Dam, seorang yang


membanggakan diri Belanda tulen, tanpa campuran darah Inggris, atau
Yahudi, pada suatu hari memberikan padaku tugas aneh: tumpas sisa-
sisa gerombolan si Pitung yang bergerak di selingkaran Cibinong,
Ciba rusa dan Cileungsi, masih dalam kawasan Betawi dan
Buitenzorg. Dari bagian kriminal di meja-tulis aku pindah ke
lapangan.67

...

Aku pulang ke Betawi dengan kemenangan gilang-gemilang atas


orang-orang desa yang merindukan kehidupan sejahtera, membawa
keharuman bagi polisi lapangan, membawa kesadaran akan adanya
politik putih yang selalu merugikan penduduk, dan aku pulang
membawa pergumulan batin.68

Penunjukkan dirinya sebagai kepala operasi oleh atasannya ini membuka


gerbang pergulatan batin Pangemanann. Operasi inilah yang membuat dirinya
mulai secara perlahan berjarak dengan nuraninya. Dalam operasi ini,
Pangemanann memberantas gerombolan pengacau di sekitar pasar yang
mengganggu kenyamanan para tuan tanah. Operasi ini berlangsung selama
berbulan-bulan. Tenaga dan pikiran Pangemanann terkuras demi mengurusi

67
Pramoedya Ananta Toer, op. cit., hlm. 73.
68
Ibid., hlm. 78.

42
operasi ini. Pada akhirnya, operasi ini membuahkan hasil yang gemilang.
Pangemanann sukses menertibkan gerombolan pengusik ini. Keberhasilannya ini
mendapat pujian dari atasannya. Nama besar kepolisian terangkat dan diakui
kehebatannya. Pujian demi pujian diarahkan kepada pihak kepolisian, khususnya
Pangemanann. Namun, satu hal yang tidak diketahui umum adalah pergumulan
batin Pangemanann.

Kehidupan yang semakin mapan dan layak ini memperjelas status Jacques
Pangemanann. Pangemanan hidup bersama seorang istri bernama Paulete dan
memiliki empat orang anak. Sebuah keluarga yang dibangun dengan
kesederhanan dan rasa saling menyayangi. Salah satu narasi dalam roman
dijelaskan sebagai berikut.

Dan justru karena kecintaannya dan kesetiaannya membikin


aku makin terperosok dalam pekerjaan yang bertentangan dengan hati
nurani. Aku ingin memberikan yang terbaik kepadanya. Tak bisa lain,
ini kewajiban moril. Telah aku renggutkan dia dari kampung halaman
dan keluarganya di peluaran kota Lyon Prancis. Waktu itu dia muda
dan cantik, seorang gadis tani yang tak tahu apa-apa tentang dunia.
Kami berdua bertemu, masing-masing muda dan jatuh cinta. Kami
kawin di sebuah gereja desa yang telah tua, di bawah kesaksian
orangtua mereka yang tidak menyetujui. Sejak itu dia mengikuti aku
ke negeri-negeri asing, ke Nederland, kemudian ke Hindia ini.
Diberikannya padaku empat orang anak. Dua orang sedang
meneruskan pelajaran di Nederland, dua lagi masih tinggal bersama
kami, seorang dipanggil Marquis dengan kependekan Mark, yang lain
dinamai Desirée, artinya “yang dirindukan”, nama pacar Napoleon
Bonaparte dan dipanggil Dede.

Kehidupan ini indah, membahagiakan, tak terbeli oleh uang.


Dua orang anakku yang meneruskan pelajaran di H.B.S. dan Fakultas
Geologi di Nederland menjanjikan kehidupan yang lebih indah lagi.
Tak rugi membiayai mereka tujuh puluh lima gulden setiap bulan.
Mark dan Dede, juga anak-anak yang baik, penurut dan maju. Semua
bersumber pada ibunya yang mencintai dan menyayangi.69

Pangemanann dikasihi secara total oleh istrinya, Paulete. Paulete


meninggalkan orangtuanya di Perancis demi hidup bersama Pangemanann.
Mengikuti Pangemanann ke banyak tempat, dan memberikan Pangemanann
empat orang anak. Dua orang masih kecil dan dua berada di Eropa. Kasih sayang

69
Ibid., hlm. 93.

43
yang dibangun keluarga ini membuat Pangemanann bekerja keras demi
menghidupi istri dan keempat anaknya. Keluarga Pangemanann harmonis dan
sempurna untuk seorang pribumi pada masa itu.

Jacques Pangemanann juga adalah seorang yatim piatu sejak kecil,


dipungut adik ayahnya, Frederick Pangemanann. Menjelang lulus E.L.S.70 di
Menado diambil sebagai anak pungut oleh Tuan De Cagnie, seorang Perancis,
seorang apoteker. Suami-istri itu sangat berkenan pada dirinya. Mereka tidak
mempunyai anak, jadi mereka membawa Pangemanann ke Lyon, tempat mereka
mempunyai apotek, dan pabrik obat kecil. Pada masa inilah Pangemanan bertemu
Paulete. Jadi, subjek yang dibutuhkan oleh parrhesia umtuk ditangani dan
dibuatnya menjadi berarti adalah Jacques Pangemanann.

Kedua, tentang pertanyaan “bagaimana mengatakannya?” Jacques


Pangemanann memiliki latar belakang pendidikan yang baik. Hal ini
memungkinkannya unuk dapat menulis dan membaca dengan baik.
Kemampuannya ini sangat membantu dirinya dalam menjalani tugas dalam
kepolisian. Pada operasi pemberantasan gerombolan Pitung, selain karena berhasil
di lapangan, Pangemanann diminati secara khusus oleh atasannya karena laporan
operasi yang dibuatnya. Narasi dalam roman adalah sebagai berikut.

Aku susun laporan lengkap, dengan harapan dapat


menggeserkan tanggung jawab dan gugatan nurani pada kekuasaan
yang telah menugaskan aku. Laporan empat puluh halaman itu tetap
tidak menimbulkan kepuasan. Hatiku meraung-raung menghendaki
segala kembali sebagai semula, seorang dengan lembaran bersih yang
selalu berjalan dengan perkenan Tuhan.

Tak ada tanggapan tak ada jawaban. Hanya sekali komisaris


Van Dam tott Dam berbicara selintas. Katanya aku dapat pujian atas
operasiku yang berhasil, bahwa laporanku dianggap bernilai, bahwa
orang Eropa pun jarang dapat melakukannya.71

Sebenarnya, Pangemanann membuat laporan operasi itu untuk


menjauhkan dirinya dari rasa bersalah selama melakukan operasi lapangan.
Pangemanann menyadari operasi yang dilakukannya pada waktu itu mematikan

70
Europeesche Lagere School
71
Ibid., hlm. 78.

44
usaha kaumnya, kaum pribumi dalam memperjuangkan kebebasan. Pangemanann
sadar bahwa kelakuan gerombolan pembuat onar itu adalah sebuah aksi protes dan
sikap tidak suka atas keberadaan dan kuasa yang dimiliki oleh para tuan tanah.
Pangemanann tidak menghiraukannya demi tugas. Hal inilah yang membuat
dirinya mulai menjauh dari nuraninya.

Bukannya mendapat ketenangan batin, Pangemanann malah mendapat


pujian dari atasannya, walaupun hanya sepintas. Hal ini membuktikan kualitas
Pangemanann dalam mengolah tulisan. Karena bahkan dalam sebuah tulisan yang
paling sederhana pun terdapat sebuah kompleksitas. Pangemanann mendapat
pujian lagi dari atasannya untuk laporan operasi yang dibuatnya. Narasinya
sebagai berikut.

Atasan dan atasan lagi bukan saja menghargai prestasi


operasiku. Mereka lebih-lebih menghargai laporan tertulisku yang
menggunakan metode gabungan antara pemeriksaan dan wawancara,
penelitian sosial dan latar belakang sejarah, wujud kejiwaan penduduk
tanah partikelir dan pengucapan-pengucapannya ke luar.72

Namun, laporan operasi yang dibuat secara tertulis itu, tidak dapat
dijadikan ukuran dalam menilai kedalaman berpikir seseorang. Karena,
kemungkinan yang dapat terjadi adalah laporan itu dibuat oleh orang lain dan
mengatasnamakan Pangemanann. Hal ini bisa terjadi, tetapi tidak dinarasikan
dalam roman. Di bawah ini akan dilampirkan salah satu narasi yang mengafirmasi
Jacques Pangemananann menggunakan media tulisan untuk menjalin relasi
dengan kebenaran.

Itu tidak boleh. Maka aku putuskan membikin tulisan ini, agar
kalian tahu, istriku, agar kalian lebih mengenal lebih baik siapa
sesungguhnya aku ini. Dia samasekali tidak sebaik penilaian kalian,
mungkin juga kebalikannya secara total. Dan kalian, anak-anakku,
jangan sampai mencontoh ayahmu, seorang budak penghidupan yang
kehilangan prinsip. Sedang kalian tahu, bukan menurut ukuran
peradaban Eropa, seorang tanpa prinsip adalah sehina-hina orang,
manusia setengik-tengiknya. Jangan contoh aku. Anggaplah ayahmu
sebagai pribadi yang punah, pribadi yang kalah, budak. Jadilah orang-
orang yang berhati murni, berprinsip, berpribadi, sebagaimana dicita-
citakan peradaban Eropa Jadilah manusia bebas dari pretensi dan

72
Ibid., hlm. 83.

45
ambisi. Jadilah manusia peradaban yang wajar. Ampuni ayahmu ini,
karena dia tidak mampu memberikan contoh sebaik-baiknya
sebagaimana ia sendiri kehendaki.

Jangan ada di antara kalian mengucapkan pujian-pujian untuk


aku di hadapan anak-anak kalian, sebab itu menyalahi segala yang
benar, yang baik dan terpuji, sekalipun kegagalanku sebagai manusia
hanya karena hendak mengabdi pada kepentingan kalian. Anggaplah
aku sebagai wakil generasi Pribumi yang kalah, dikalahkan oleh
kekuatan dan kekuasaan kolonial.

Aku memulai tulisan ini pada umurku yang ke lima puluh. Aku
anggap usia tengah abad sudah cukup mantap untuk dapat menilai
segala yang telah dilewati, dilihat dan dialami. Orang terpelajar, sudah
sepatutnya pada umur sedemikian membuat penilaian tentang
kebajikan dan kejahatan, kebenaran dan kekeliruannya.

Adalah tidak benar meninggalkan dunia ini dengan diam-diam,


dan berlagak suci di depan anak-anak, istri dan dunia itu sendiri! Aku
menghendaki anak-anakku berhasil, jauh lebih baik daripada aku
sendiri, lebih berbudi, lebih berkebajikan dan lebih bijak. Penilaian
pertama atas perjalanan hidup selama setengah abad ini adalah jelas:
Sejak kecil sampai jadi Inspektur Polisi aku berada di jalan yang
dikehendaki Tuhan. Sejak jadi Ajung Komisaris sampai Komisaris
sekarang ini mentah-mentah aku berjalan di atas lumpur, makin lama
makin jauh memasuki padang lumpur, makin jauh dari jalan yang
dikehendaki oleh Tuhan.

Kalianlah, anak-anakku, yang menjatuhkan penilaian. Kalian


akan tahu tentang diriku dan seluruh tanah Hindia, tempat aku lahir
dan bekerja menghamba pada Gubermen demi nafkah dan
kesenangan-kesenangan hidup. Barangkali lebih jujur jika kukatakan
tempat aku bergelimang di dalam lumpur.

Bukankah sudah jelas? Baik sebagai Inspektur maupun


Komisaris Polisi, pekerjaanku tak lain terus mengawasi ketat
sebangsaku demi keselamatan dan kelangsungan hidup Gubermen.
Semua Pribumi-terutama Pitung-Pitung modern yang mengusik-usik
kenyamanan Gubermen-semua telah dan akan kutempatkan dalam
sebuah rumah kaca dan kuletakkan di meja kerjaku. Segalanya
menjadi jelas terlihat. Itulah pekerjaanku: mengawasi semua gerak-
gerik seisi rumah kaca itu. Begitulah juga yang dikehendaki Gubernur
Jenderal Hindia tidak boleh berubah-harus dilestarikan. Maka bila aku
berhasil dapat menyelamatkan tulisan ini, dan sampai pada tangan
kalian, hendaknya kepada catatan-catatanku ini kalian beri judul
Rumah Kaca.73

73
Ibid., hlm. 99-101.

46
Pangemanann mengakui kebobrokan dirinya secara sadar. Dirinya yang
semakin berjarak dengan nuraninya, dirinya yang semakin kehilangan prinsip dan
semakin giat bekerja. Pangemanann juga menyebutkan inti pekerjaan yang sedang
dijalaninya, yaitu menumpas pergerakan nasionalisme pribumi, bangsanya sendiri.
Oleh karena itu, Pangemanann meminta anak-anaknya untuk memaafkan
kesalahannya ini. Dia juga berharap agar anak-anaknya tidak mencontohi dirinya.
Semua hal tersebut Pangemanann tuangkan dalam tulisan yang disebutnya sebagai
Rumah Kaca. Jadi, jelaslah bahwa Pangemanann menggunakan media tulisan
sebagai jalan menuju kedalaman dirinya.

Ketiga, tentang pertanyaan, “mengapa mengatakannya?” Dalam


keseluruhan narasi roman Rumah Kaca, dapat dilihat dengan jelas bahwa Jacques
Pangemanann memiliki kebiasaan menulis. Kebiasaan menulis ini kemudian
menghantar dirinya pada kedalaman batinnya, karena sebagaian besar tulisannya
adalah mengenai dirinya. Pangemanann senantiasa menuangkan gagasannya,
keluh kesahnya, dan pergulatan nuraninya ke dalam tulisan. Semakin sering
Pangemanann melakukan kebiasaannya ini, semakin dekat dirinya pada
kebenaran. Karena pada akhirnya, ketika seseorang mampu mempersalahkan
dirinya, bukan hanya mempersalahkan orang lain, saat itu dia telah menjadi
subjek etis.

Narasi tentang pergulatan-pergulatan batinnya dan atas penolakan-


penolakannya terhadap kolonialisme terdapat dalam keseluruhan roman. Salah
satu narasi roman menampilkan Pangemanann yang berkata, ”Menolak tugas
berarti pembangkangan, bila melakukan setengah-setengah, sungguh-sungguh
sama saja: mengkhianati perasaanku sendiri kepadanya.”74 Pangemanann tidak
berdaya di hadapan kolonialisme dan dihadapan atasan-atasannya. Yang dapat
dilakukannya adalah masuk ke dalam diri melalui tulisannya.

Pada satu sisi, Pangemanann sadar bahwa penolakan tugas adalah sebuah
pembangkangan. Pembangkangan bisa membuat dirinya kehilangan jabatan.
Kehilangan jabatan akan membuat dirinya kewalahan dalam menafkahi

74
Ibid., hlm. 13.

47
keluarganya. Di sisi lain, pelaksanaan tugas berati persetujuannya akan
keberadaan kolonialisme di atas bumi. Sebab tugas yang diberikan kepadanya
adalah tugas pemberantasan dan penggagalan kaum pribumi dalam merebut
kebebasannya. Pangemanann telah berada pada pihak kolonial, memasukinya dan
semakin lama semakin tenggelam dalam pekatnya lumpur kolonial. Jadi,
Pangemanann memutuskan tetap melaksanakan tugas, sehingga sebagian besar isi
roman ini adalah situasi dilematis dan situasi pergulatan batin yang dialami
Pangemanann.

Selain ketiga pertanyaan penting yang berhubungan dengan problematisasi


kebenaran di atas, ada beberapa kebajikan yang harus dimiliki seorang
parrhesiast. Kebajikan-kebajikan parrhesiast tersebut sebagai berikut.

4.1 1 Seorang Parrhesiast Seharusnya Memiliki Status Kewarganegaraan


yang Jelas

Foucault mengatakan bahwa parrhesiast harus memiliki suatu identitas


jelas sebagai warga negara. Ini tidak berarti seseorang harus memiliki suatu kartu
identitas yang dikeluarkan oleh polis. Yang sangat penting adalah seorang
parrhesiast bukanlah orang asing. Misalnya, seseorang harus dilahirkan di Yunani
dari orangtua yang juga adalah warga asli Yunani. Namun, dilahirkan dari
pasangan Yunani tidak menjamin seseorang untuk menjadi parrhesiast Yunani.
Dia harus datang dari keturunan terhormat di Yunani.

Secara historis, istilah parrhesia pertama kali muncul dalam masyarakat


Yunani. Hal ini memengaruhi penjelasan dan kajian teoretis tentang parrhessia.
Kemunculannya dalam masyarakat Yunani membuat istilah parrhesia selalu
ditafsir dan dijabarkan dalam konteks masyarakat Yunani. Oleh karena itu, ketika
istilah parrhesia digunakan dan dipakai oleh masyarakat yang bukan warga
Yunani, tidak ada perubahan substansial. Yang ada hanya perubahan konteks
masyarakat dan disesuaikan dengan kebutuhan.

Jacques Pangemanann adalah komisaris polisi tingkat I. Jabatannya ini


membawa serta sebuah kepastian bahwa dirinya adalah seorang warga negara
yang sah secara hukum. Walaupun yatim piatu sejak kecil, Pangemanann

48
mendapat pendidikan yang layak oleh pamannya, adik ayahnya. Setelah
menempuh pendidikan di Manado, Pangemanann melanjutkan pendidikannya di
Perancis. Jadi, Pangemanann memiliki status kewarganegaraan yang jelas.

4.1.2 Seorang Parrhesiast Seharusnya Memilki Kemerdekaan Batin

Sebagai seorang merdeka, seorang parrhesiast memiliki hak untuk


berbicara dan mengungkapkan dirinya. Hal ini tidak berlaku bagi seorang hamba.
Seorang hamba tidak dapat menyatakan dirinya secara bebas dan suaranya
dianggap tidak ada. Karena itu, ia tidak dapat menjadi parrhesiast. Tanpa
kebebasan berbicara, seseorang tidak dapat memiliki tanggung jawab penuh
dalam polis, bahkan tidak dapat mengajukan protes atau kritik terhadap pemimpin
yang korup. Dalam situasi ini, seseorang tidak dapat didengarkan dan hidupnya
seperti berada dalam tahanan.

Jacques Pangemanann adalah seorang yang merdeka dalam


menyampaikan atau berbicara dan dalam mengungkapkan eksistensinya. Salah
satu narasi dalam roman dijelaskan sebagai berikut.

Dengan surat pengantar itu pejabat bersangkutan buru-buru ke luar


kamar-kerjanya dan menyambut aku. Ia pandangi aku seperti orang
yang tidak percaya, bagaimana mungkin aku bisa dapat surat
pengantar seperti itu yang tidak lain adalah mandat langsung dari
Algemeene Secretarie. Segera ia mengubah sikap dan berkata ramah:
“A, Tuan Pangemanann,” katanya. “Apa yang dapat aku sajikan untuk
Tuan?”
Ia seorang Belanda totok, muda, seorang arsivaris yang tak banyak
diketahui oleh umum, bernama L., lebih suka mengenakan lornyet
yang terikat dengan rantai emas tipis dan halus. Berbaju tutup dari
lena putih, juga celananya. Rambutnya pirang sibak tengah. .
Sepatunya hitam. Tubuhnya agak jangkung dan berisi.
“Pada taraf pertama, Tuan,” kataku setelah memperkenalkan diri, “aku
ingin mempelajari dokumen-dokumen tentang Filipina.”
“Ini pokok yang penting,” katanya menanggapi. “Hampir tak ada
orang punya minat. Tapi, Tuan2 dibutuhkan beberapa hari untuk
mengumpulkannya. Tuan membutuhkan dokumen-dokumen yang
khusus?”
“Semua yang ada.”
“Semua!? Ya, kalau semua lebih muda. Arsip kita belum tersusun
seperti pada galibnya di Amerika, Tuan. Kalau mengenai yang khusus
memang agak sulit. Cobalah Tuan datang lagi barang tiga hari lagi.”

49
Tepat tiga hari kemudian aku datang lagi.
Pelatarannya yang membujur jauh ke dalam, dengan lapangan rumput
di samping kiri dan kanan jalan masuk, dan gedung besarnya yang
dicat serba merah kelihatan seperti istana-istana tuan-tanah di
pedalaman Prancis. Kata orang, tiga Gubernur Jenderal pernah
bertempat di sini, entah De Eerens, entah Van Hogendorp atau
Rochussen. Aku tak tahu setepatnya. Jalan masuk itu diapit oleh
barisan cemara. Kabarnya ditanam setelah tidak menjadi istana lagi.
Tuan L. menyambut aku di pendopo, yang dahulu menjadi tempat
resepsi dan berdansa dalam buaian lagulagu wals. Tetapi sekarang
sunyi, yang ada hanya seorang penjaga merangkap penerima tamu dan
Tuan L.
Aku dibawa langsung ke dalam gedung, ke dalam sebuah kamai besar
yang lebih sunyi lagi, lembab dan lebih sejuk.
“Nah, ini meja Tuan.” Ia pergi dan sebentar kemudian mengantarkan
seorang pesuruh yang membawa setumpuk kertas. “Segala kebutuhan
Tuan barangkali akan Tuan dapatkan di dalamnya. Kalau ada
keperluan apa-apa, perintahkan saja pada Tuan De Man ini,” dan
sambil menengok pada pesuruh itu,"‘Tuan De Man, ini Tuan
Pangemanann. Harap Tuan layani sepatutnya. Selamat bekerja Tuan
Pangemanann.”75

Hal ini menunjukkan kemerdekaan Pangemanann dalam memiliki haknya,


yaitu menggunakan perpustakaan tersebut. Dengan berbekal surat pengantar dari
kantor, Pangemanann dapat menggunakan fasilitas khusus tersebut. Kelihatannya,
pegawai perpustakaan itu tidak menyangka Pangemanann memiliki surat dari
Algemenee Secretarie. Pangemanann memperoleh hak yang sama dengan orang-
orang yang berada pada kantor tersebut. Kesetaraan hak ini menunjukkan status
Pangemanann. Pada bagian lain dalam roman, dinarasikan bahwa:
“Jacques!” Pekiknya girang. “Mengapa kau diam saja?
Promosi, Jacques! Kau dapat promosi!” Ia peluk dan cium aku. “Ah,
Jacques, tak percuma kau berlelah-lelah seperti ini. Jacques! Jacques!”
ia menangis tersedu-sedu dalam kegembirannya.
Ia tak menguasai bahasa Belanda. Aku akan menerima pensiun
sebesar duaratus gulden. Harmonie tertutup selama-lamanya untukku.
Namaku akan dicoret dari daftar anggota. Keruntuhan belaka.
Begitu mengangkat badannya diriku, ia segera membikin salib
mengucapkan syukur. Tak sampaihati aku melihatnya kecewa karena
keliru mengartikan surat. Tiba-tiba, “Kita akan pindah ke Buitenzorg,
Jacques. Aku akan senang di sana. Sejuk tenang, tak gelisah dan ramai
seperti di sini. Hanya sekolah anak-anak memang harus dipindahkan.”
Kepindahan ke Buitenzorg? Aneh mengapa mesti ke
Buitenzorg?

75
Ibid., hlm. 103-104.

50
“Cuma sayang, Jacques, baju seragam itu takkan kau
pergunakan lagi. Aku tak bisa bayangkan bagaimana suamiku tak lagi
dengan seragam. Kau mulai kariermu dengan seragam itu. Sejak di
Vlaardingen sampai s’Hertogenbosch, sampai Betawi sini.”
“Tidak salah kau membacanya, sayang?”
“Setiap patah kata aku mengerti.”
“Senangkah kau, sayang?”
“Siapa pun akan senang, Jacques, kalau suaminya dinaikkan ke
kantor Algemeene Secretarie ....”
Aku melompat dari ranjang. Aku rebut surat itu, membacanya
sendiri. Tak ada satu patah kata pun istriku salah mengartikan: aku
dipindahkan ke kantor Algemeene Secretarie dengan tambahan gaji
dua ratus gulden dan diharuskan pindah ke Buitenzorg, dengan rumah
yang telah disediakan.
Algeemene Secretarie! Satu dua langkah lagi dari Gubernur
Jenderal!
Aku jatuh berlutut di atas lantai dan membikin salib syukur.
Gubermen tidak melupakan Pangemanann.76

Kenaikan pangkat yang diperoleh Pangemanann ini memperjelas


statusnya. Ia adalah seorang yang merdeka, dia bukan seorang budak. Pilihannya
untuk mengabdi pada Gubermen dengan menumbalkan nuraninya mendapat
balasan yang setimpal dari atasannya itu. Sejak keberhasilannya dalam operasi
pertamanya, dan karena laporan lapangan yang disusunnya, Pangemanann
mendapat promosi. Pangemanann menukar pemberantasan organisasi pribumi
dengan kenaikan pangkat ini. Pangemanann merasa dihargai Gubermen dan
merasa diingat oleh Gubermen. Namun, ternyata situasinya ini semakin
memperlebar jarak antara dirinya dengan nuaninya.

Namun, kemerdekaan Pangemanann dalam mengemukakan pikirannya


dan statusnya yang bukan budak ini tidak dapat menjamin kemerdekaan dalam
batin Pangemanann. Sebagai bagian penting dalam tubuh kolonial, sebagai
seorang pegawai negeri yang mempunyai atasan, Pangemanann memiliki
pergulatan batin tersendiri. Dalam salah satu bagian roman dinarasikan bahwa:

“Pekerjaan semakin menumpuk begini, Tuan. Dan Tuan tidak


diperkenankan mempunyai pembantu atau pengganti. Tuan sendiri
mengerti, pekerjaan Tuan adalah pekerjaan baru di Hindia ini.
Gila rutin! Sumpahku dalam hati sedang bibirku tersenyum manis
dan sopan. Ya, harus manis dan sopan senyum itu, karena itulah adat
76
Ibid., hlm. 137.

51
kolonial yang harus dimuliakan di antara bawahan dan atasan. Dia
juga membalas dengan senyum, dan kurasai mengandung pengejekan:
ah kau cuma kerja merumuskan alasan penangkapan dan pembuangan
saja kok banyak tingkah. Dan senyumku semakin mengganda: ah kau
cuma menggunakan pikiranku saja kok belagak mahal. Kalau kau cuti,
bukankah kau harus kerjakan sendiri pekerjaanku, dan gunakan
sendiri otakmu?77

Pada titik ini, tergambar jelas relasi Pangemanann dengan tubuh kolonial
seringkali tidak berjalan baik. Proses mendekati Gubermen dan mengambil hati
Gubermen tidak menjamin kemulusan jalannya itu. Sebelum masuk dan terlibat
dalam bagian kolonial, yaitu pada masa 40 tahun awal hidupnya, sewaktu masih
menjabat sebagai seorang komisaris polisi tingkat I, Pangemanann selalu
mengikuti kata hatinya. Pekerjaan dan kehidupan yang dijalaninya selalu berada
dalam radar nuraninya. Segala sesuatu yang dinilai bertentangan dengan
nuraninya, ia jauhi. Narasinya dalam roman adalah sebagai berikut.

Empat puluh tahun lamanya aku telah menjadi manusia sebagaimana


aku inginkan. Aku bentuk diriku sendiri dengan keras. Dalam
beberapa belas tahun belakangan, kekuatan yang lebih besar daripada
kekuatanku telah memberikan padaku watak baru yang memerangi,
menghancurkan aku sekarang ini: compang-camping, kehilangan satu
demi satu.78

Setelah mengalami kenaikan pangkat, hidup Pangemanann berubah.


Semakin ia masuk menjadi bagian kolonial, semakin besar dan semakin sering
pergulatan nurani yang dialaminya. Pangemanann telah dikendalikan oleh
kekuatan yang lebih besar dari perkiraannya, yaitu kolonialisme. Tugas-tugas
yang menumpuk, nuraninya yang selalu menjerit, serta kepergian istri dan anak-
anaknya. Pangemanann sedang berada dalam masa-masa yang sulit. Masa-masa
ini malah membuatnya semakin jauh dari dirinya sendiri. Bukannya mencari
pertolongan dan mengobati dirinya yang sedang sakit secara spiritual, ia malah
semakin merusak dirinya. Salah satu narasi dalam roman menyebutkan bahwa:

Rumah ini kosong, lenggang, seakan-akan aku seorang lelaki yang


dikutuki oleh kemandulan. Temanku tinggal botol,Tak ada lagi yang
melarang atau menghalang-halangi aku minum. Kemudian kutambah
lagi teman ini dengan beberapa orang berganti-ganti dari kalangan
77
Ibid., hlm. 323.
78
Ibid., hlm. 312.

52
orang semacam Rientje de Roo. Tetapi hatiku tetap kosong, lenggang,
sama halnya dengan rumah ini.79

Pada masa-masa sulitnya Pangemanann benar-benar terperosok ke dalam


lumpur. Ditinggal pergi oleh istri dan anaknya akibat perubahan sikapnya
membuat Pangemanann merasa kesepian. Pangemanann mengisinya dengan
memperbanyak relasi dengan para wanita. Jadi, sebagai subjek parrhesiast yang
senantiasa mengatakan hal-hal yang benar dan memiliki relasi dengan kebenaran,
Pangemanann juga pernah mengalami masa-masa sulit dalam hidupnya yang
menjauhkan dirinya dari kebenaran.

4.1.3 Seorang Parrhesiast Seharusnya Seorang yang Baik yang Memiliki


Kualifikasi Sosial dan Moral

Seorang parrhesiast harus memiliki rasa hormat dan reputasi yang baik.
Hormat dan reputasi baik ini sangat perlu sebagai syarat untuk memegang tampuk
dan kuasa publik. Jacques Pangemanann mendapat kenaikan pangkat. Dari
seorang komisaris polisi tingkat I, ia dipensiunkan dan dipindahkan ke kantor
Algeemene Secretarie. Keberadaannya sebagai salah satu bagian dari kantor itu
sudah merupakan sebuah kehormatan di bumi kolonial. Apalagi, Pangemanann
adalah seorang pribumi. Jabatannya yang tinggi ini berbanding lurus dengan
hormat dan kuasa yang dimilikinya. Dalam salah satu bagian roman, dinarasikan
bahwa:

“Jadi apa perintah Tuan kepadaku?” tanyanya sopan dan hati-


hati.
“Lupa aku, Tuan sedang menunggu perintah. Tuan kenal
Robert Suurhof?”
“Hanya kenal nama, Tuan. Kabarnya dalam perawatan dokter,”
Sesungguhnya aku ragu meneruskah perintah kepadanya. Pada
pelayan aku mémesan wiski. Dua sloki ternyata belum juga
memberikan padaku keberanian yang mencukupi untuk memberikan
perintah.
“Tuan gugup,” kata Cor Oosterhof, “beberapa sloki lagi
mungkin baik, Tuan.”
Aku minum tiga sloki lagi. Cor sendiri samasekali tidak
membutuhkan.
“Ada dua sasaran yang harus dicapai,” kataku kemudian.
“Pertama, pandangan luar negeri yang berlebih-lebihan terhadap

79
Ibid.

53
Syarikat harus padam. Harus timbul kesan, Syarikat tidak punya
sesuatu arti bagi Hindia. Syarikat tidak perlu lagi mengharap-harap
kekuatan-kekuatan luar negeri, mengimpi tentang intervensi di Hindia.
Kau tahu artinya intervensi?”
Cor menggeleng dan aku menerangkan. Dalam pada itu yang
muncul dalam bayanganku adalah pemuda-pemuda Turki dari
Istambul yang mengaku utusan gerakan Pan Islamisme.
“Tak boleh ada kesan di Hindia ada kebangkitan burjuasi
Pribumi.” Aku tak tahu apakah Cor dapat mengikuti kata-kataku.
“Sasaran kedua, kesetiaan penduduk golongan Tionghoa pada
Gubermen harus dikembalikan. Harus lebih berhasil dari I740. Adu
kedua-duanya. Jangan ragu-ragu. Pergunakan kecerdikkan. Jangan
sampai meninggalkan berkas-berkas yang bisa menyebabkan
terjadinya penuntutan umum.”80

Sebagai seorang pejabat tinggi negeri, Pangemanann pasti memiliki


bawahan. Bawahannya di ini juga membawahi bagian-bagian lain dalam tubuh
kolonial. Dalam masa jabatannya sebagai seorang pejabat tinggi, Pangemanann
benar-benar memanfaatkannya dengan baik. Memberi perintah, melarang dan
menyelesaikan persoalan. Sikap Pangemanann ini secara tidak langsung
menunjukkan bahwa dirinya memiliki kualitas yang baik sebagai seorang pribadi,
dan layak mendapat penghormatan dari bawahannya.

Pada masa 40 tahun awal hidupnya, Pangemanann juga memiliki kualitas


moral yang baik. Beberapa kali diberikan tugas di tempat plesiran, Pangemanann
melakukannya dengan profesional. Wanita-wanita yang ditanyainya dalam
wawancara langsung tidak dapat menggoyang kekukuhan hatinya. Namun, pada
masa-masa sulit yang sempat dialaminya, justru wanita-wanita dari tempat
plesiranlah yang sering menemani kesepiannya.

4.1.4 Seorang Parrhesiast Seharusnya juga Memiliki Suatu Kesadaran atas


Tugas dan Tanggung Jawab

Mengatakan kebenaran harus dilihat sebagai tugas dan kewajiban yang


keluar dari dalam hati, tanpa paksaan. Seseorang harus merasa bebas untuk
mengatakan kebenaran kepada diri dan kepada orang lain. Sebagai seorang
manusia yang hidup di tengah manusia lain, Pangemanann selalu berbuat baik dan
memberikan bantuan. Semuanya dilakukan tanpa paksaan, dengan bebas.

80
Ibid., hlm. 218.

54
Pangemanann pernah membantu perkumpulan orang Menado dalam
berorganisasi. Ini adalah salah satu contoh sikap Pangemanann kepada sesama.

Nama? Nama yang paling tepat! Aku memutar otak. Betapa sulitnya
mencari nama. Ah, mengapa tidak mengikuti yang sudah ada saja?
“Syarikat Menado.”
“Sudah aku duga,” katanya. “Tetapi kami bukan orang-orang Islam.
Rasa-rasanya tak perlu menggunakan kata Arab Syarikat itu. Kata
Mendo terdengar tidak terlalu dekat dengan hati. Bukankah sebaiknya
dipergunakan nama Minahasa?”
God! Bahkan soal yang sekecil itu saja aku tidak pernah
memikirkannya. Jadi apakah artinya aku ini bagi bangsa Menado
sendiri, sekalipun mereka bangga karena aku pernah menjabat pangkat
tinggi dalam kepolisian? Memalukan. Dan pekerjaanku justru
mengurus organisasi-organisasi Pribumi. Tidak untuk ikut
membangun; tapi menghancurkan mereka, membukakan jalan yang
tidak mereka pilih sendiri, tetapi yang aku pilihkan. Kalau organisasi
bangsaku sendiri kelak juga berdiri, apakah begitu juga aku harus
perlakukan? Memalukan.
“Bagairnana kiranya kalau namanya Rukun Minahasa? Adakah Paman
menyetujui?” tanyanya langsung tanpa ragu-ragu, dan rupa-rupanya
sudah dipersiapkannya.
“Bagus sekali, Rukun Minahasa,” jawabku kontan. “Itu lebih
berwatak Pribumi Menado.”
Mendengar itu semua mengangkat pandang padaku.
“Bukan maksudku sebagai penghinaan. Sebutan Pribumi bukan
penghinaan,” kataku buru-buru. “Kalian menolak kata syarikat karena
dia kata Arab. Sejauh yang kuketahui kata rukun bukan kata asing,
tapi kata umum Pribumi Hindia. Bukankah karena mengutamakan
kepribadian kalian tidak menggunakan kata-kata Belanda atau kata
asing lainnya?” Sekarang ganti aku yang buka mulut! Aku terangkan
pada mereka tentang adanya gerakan anti-kosmopolitanisme pada
negara-negara di luar Jerman, Prancis dan Inggris di Eropa, yang
merasa telah muak dengan pengaruh tiga negara itu, kehilangan
kepribadian nasionalnya karena terlalu banyak menelan pengaruh dari
mereka. Mereka menganjurkan agar lebih mengutamakan
pertumbuhan nasional sampai-sampai dalam" penggunaan bahasa.
Kalau sesuatu bangsa tetap tinggal kosmopolit karena dalam dominasi
asing, seperti Hindia ini, juga bahasanya menjadi kosmopolit, jadi
tidak karuan dan acak-acakan, seperti bahasa Inggris pada satu periode
sejarah tertentu. Kesadaran nasional Inggris mengakibatkan juga
penerbitan dalam bahasanya. “Jadi,” kataku lagi, “mengutamakan
kepribumian dalam memberikan nama sama artinya dengan
menunjukkan watak nasionalnya. Aku setuju.”81

Namun, sebagai pegawai negeri, dan sebagai bawahan Gubermen,


81
Ibid., hlm. 300.

55
Pangemanann selalu bergulat dengan nuraninya. Nuraninya membenarkan
perbuatan Minke dan organisasinya, yaitu membangun nasionalisme dalam diri
pribumi, sedangkan tugas yang dimandatkan kepadanya adalah menghambat laju
pergerakan nasionalisme pribumi atau bahkan menghilangkannya. Hampir
keseluruhan narasi roman adalah tentang pergulatan batin Pangemanann.
Misalnya, “Dan aku, nurani yang babak belur ini, tetap saja terus menjalankan
segala perintah atasan.”82

Hal ini menunjukkan bahwa seringkali Pangemanann melakukan tugas dan


tanggungjawab yang dimandatkan kepadanya dengan nurani yang terus
menggerutu. Pangemanann merusak nuraninya dengan menjalani tugas itu.
Dengan kesadaran penuh pula Pangemanann mengetahui bahwa ketika dirinya
menjalankan tugas, nuraninya selalu terluka. Namun, Pangemanann tetap
menlaksanakan tugas tersebut.

4.1.5 Seorang Parrhesiast Harus Memiliki Keberanian

Tugas mengatakan kebenaran adalah tugas yang penuh risiko. Risiko


kehilangan persahabatan dan bahkan hidup sendiri. Perasaan bahwa hal ini
merupakan tugas dan kewajiban harus selalu bersamaan dengan kesadaran akan
risiko dan bahaya ini. Keberanian untuk menanggung risiko demi kepentingan
polis sungguh merupakan suatu tugas mulia dan karena itu merupakan tugas
terpuji.

Dalam masa-masa sulit yang sedang dialami, Jacques Pangemanann


benar-benar kesepian. Semua orang yang ada di sekitarnya meninggalkan dirinya.
Istrinya, keluarganya, bahkan dirinya sendiri. “Beginilah jadinya semua ini
sekarang. Satu demi satu hilang dari diriku. Satu demi satu meninggalkan aku.
Adakah bakalnya aku kehilangan diriku sendiri juga, dan samasekali?”83
Pangemanann meratapi dirinya sendiri. Semua akibat yang diterimanya, karena
pilihannya untuk menjadi pegawai negeri di tengah kuasa kolonial. Keberanian
yang ditunjukkan oleh Pangemann ini merugikan dirinya sendiri dan

82
Ibid., hlm. 327.
83
Ibid., hlm. 311.

56
menguntungkan pihak kolonial, yaitu Gubermen. Yang pergi meninggalkan
Pangemanann adalah keluarganya, hidupnya yang baik, dan hati nuraninya,
sedangkan yang didapatkan Pangemanann adalah jabatan pegawai negeri yang
tinggi.

4.1.6 Seorang Parrhesiast Harus Memiliki Relasi dengan Dirinya Sendiri

Yang menjadi fokus dari poin ini adalah menyangkal diri (subjek).
Seorang parrhesiast adalah orang yang bukan hanya melihat kelemahan orang
lain, tetapi juga mampu melihat ke dalam diri sendiri dengan segala kelemahan
dan kelebihan. Seorang parrhesiast tidak hanya menyalahkan orang lain, tetapi
juga dengan berani dapat mempersalahkan diri mereka sendiri.

Poin keenam tentang kebajikan-kebajikan yang harus dimiliki oleh


seorang Parrhesiast adalah poin kunci. Poin ini menjadi bagian terakhir sebagai
penutup dan kesimpulan atas diri seorang parrhesiast. Kelima poin sebelumnya
dapat dilihat sebagai sebuah proses hidup seorang parrhesiast. Poin ini menjadi
titik kulminasi dalam proses pembentukan subjek parrhesiast. Karena pada bagian
ini, perhatian difokuskan pada produksi kebenaran dalam diri sendiri. Atau dengan
kata lain, bagaimana seseorang membentuk kebenaran dalam dirinya.

Dalam masa-masa akhir hidupnya, Jacques Pangemanann mulai


memperdalam relasinya dengan dirinya sendiri. Dia mulai berdialog dengan
dirinya, mendengarkan nuraninya, dan merefleksikan keputusan-keputusan yang
berakibat pada pembuangan Raden Mas Minke. Kesalahan dan kekeliruannya
menjadi perhatiannya dalam setiap permenungannya. Pada salah satu bagian
dalam roman, Pangemanann pernah berkata,

Ia masih juga belum bicara, memperhatikan airmukaku, sedang


pendengaranku menangkap detik-detik. Aku tunggu kata-katanya.
Barangkali wakil Republik Perancis ini yang akan membawakan
hukuman Tuhan padaku. Di sebuah Gereja di Perancis Selatan, aku
menikahi Paulette Marcel, mengucapkan janji untuk bersama-sama
istriku menempuh hidup dengan suka dan dukanya. Aku telah
mengingkari janji dengan panggilan botol. Sebagai pelajar aku ikut
berjanji untuk setia kepada Republik. Masih remaja ingusan waktu itu,
tetapi aku berjanji dengan sepenuh hatiku. Itu pun aku mengingkari

57
dan kuberikan kesetiaanku pada kolonialisme Belanda di Hindia. Aku
tak ingin menyebutkan semuanya. Keingkaran-keingkaran yang
takkan tertebus dengan perbuatan dalam sisa hidupku. Dan belum
sebagian kecil dari semua ini kuucapkan dalam pengakuan dosaku.84

Pangemanann mengakui semua kesalahan dan setiap pengingkaran yang


dilakukannya pada masalewat. Semua itu dikatakannya kepada dirinya sendiri
dengan sadar dan tanpa ada paksaan. Pangemanann dengan tulus menerima dan
mengakui semuanya. Pada bagian terakhir roman, Pangemanann juga mengakui
campur tangannya atas kematian Minke kepada ibu angkat Minke.

Kepada Madame Sanikem Le Bouq,


Tak perlu kiranya aku menjelaskan yang selebihnya yang telah
kulakukan itu. Madame sebagai wanita yang arif dan bijaksana dapat
mengerti semuanya. Tentang kenyataan-kenyataannya, cukuplah
semua tertera dalam berkas catatanku Rumah Kaca ini, yang dengan
rela kupersembahkan padamu. Madamelah hakimku. Hukuman aku
terima, Madame.
Bersama ini aku serahkan juga naskah-naskah yang memang
menjadi hakmu, tulisan R. M. Minke, anakmu terkasih. Terserah
bagaimana Madame menggunakan dan merawatnya.
Deposuit Potentes de Sede et Exaltavat Humiles. (Dia
rendahkan mereka yang berkuasa dan naikkan mereka yang terhina).85

Rumah Kaca adalah politik pengarsipan kegiatan pergerakan nasionalisme


pribumi yang dipimpin oleh Minke. Hal ini juga berarti bahwa Rumah Kaca berisi
segala dosa dan kesalahan yang telah dilakukan oleh Pangemanann.
Pengamatannya, analisisnya, kesimpulannya, dan saran-saran yang diberikannya
terdapat dalam Rumah Kaca ini. Dengan memberikan Rumah Kaca kepada
Madame Sanikem, Pangemanann telah menerima, mengakui dan menyesali semua
kesalahan yang telah dibuatnya. Pada titik ini, Pangemanann telah menjadi subjek
etis yang dengan sadar dan tanpa paksaan berelasi dengan kebenaran.
Pangemanann adalah subjek parrhesiast.

4.2 Jacques Pangemanann sebagai Subjek Parrhesiast

Makna parrhesia bergeser dari menceritakan kebenaran tentang dunia dan


berbicara tentang kebenaran dalam hubungan dengan peran-peran politis dan

84
Ibid., hlm. 629.
85
Ibid., hlm. 647.

58
moral kepada kaitan antara pembicaraan tentang kebenaran dengan sikap atau
corak hidup seseorang. Foucault juga beranggapan bahwa praktik-praktik
parrhesia selalu terfokus antara kebenaran dengan diri sendiri. Atau, parrhesia
dilihat sebagai suatu aktivitas dalam konteks relasi individual dan personal. Untuk
dapat memperoleh suatu relasi tertentu dengan kebenaran, dibutuhkan praktik.
Praktik-praktik itu adalah pemeriksaan batin secara pribadi, diagnosis diri, dan
membuat tes tentang diri.

4.2.1 Pemeriksaan Batin Secara Pribadi

Pemeriksaan batin secara pribadi ini dilakukan sebagai sarana untuk


melatih akal dan mengatur atau menghentikan kemarahan. Melalui latihan ini,
penutur kebenaran diberi kesempatan nntuk melihat ke dalam dirinya dan
berdialog dengan dirinya. Dalam latihan ini, seumua kesalahan yang ditemukan
dan yang tampak dilihat bukan sebagai suatu tindakan menentang peraturan atau
hukum. Hal ini berbeda dengan pengakuan dosa dalam agama Kristen. Latihan ini
tidak berbicara mengenai dosa atau kesalahan terhadap Tuhan dan sesama.
Latihan ini lebih merupakan suatu otokritik dan bertujuan agar bisa bertindak
lebih baik pada masa yang akan datang. Praktik ini telah menjadi latihan dan
tuntutan dalam tradisi Pythagorean dan dibuat sebelum tidur.

Jacques Pangemanann pernah berkata, ”Aku pun telah mencapai banyak,


hanya yang bukan dan tak pernah aku cita-citakan.”86 Pangemanann menyadari
keadaan hidupnya sebelum menjadi bagian kolonial dan setelah menjadi pejabat
Algemeene Secretarie. Hidupnya dalam bingkai kolonial tidak searah hati
nuraninya. Segala sesuatu yang ia lakukan dan memperoleh pujian dari pihak
kolonial selalu mendapat gugatan dari nuraninya. Dapat dikatakan bahwa
Pangemanann yang menjadi pejabat kolonial bukanlah Pangemanann yang utuh.
Dan dalam masa pengabdiannya Pangemanann selalu mencoba berdamai dengan
nuraninya. Salah satunya adalah dengan memeriksa batinnya setiap sebelum tidur.
Dalam roman dikisahkan bahwa,

Malam itu aku kukuhkan niat untuk mengebaskan diri dari Suurhof.

86
Ibid., hlm. 560.

59
Jalannya? Segala jalan dibenarkan kalau cuma untuk melenyapkan
seorang bandit yang bikin susah semua orang. Mesin kekuasaan biasa
melakukannya dan apalah arti seorang Suurhof? Semoga diberkati.87

Dengan tekun Pangemanann merawat relasi dengan nuraninya, tetapi


semakin ia bekerja pada Gubermen, semakin jauh dirinya terbenam dalam
kelamnya lumpur kolonial. Dalam setengah abad hidupnya, Pangemanann telah
mendapatkan banyak hal. Hidup yang mapan, pekerjaan yang baik, uang yang
banyak, hormat dan status sosial yang tinggi, serta diakui kehebatannya oleh
Gubermen. Namun ternyata, semua predikat itu tidak menambah sesuatu pun
dalam dirinya, bahkan menguranginya.

4.2.2 Diagnosis Diri

Pangemanann melakukan diagnosis diri, yaitu suatu upaya mengenal sifat-


sifat, keinginan-keinginan, hasrat-hasrat yang dikenali atau yang belum
dikenalinya, yang tampak atau yang belum tampak di dalam dirinya. Melalui
diagnosis diri ini, Pangemanann lalu mengakui bahwa ada beberapa sikap
buruknya yang belum diketahui dan belum ditemukan. Ada yang masih
tersembunyi, ada yang tidak selalu tampak tetapi kadangkala muncul dengan
sendirinya.

Sifat-sifat yang tidak disadari Pangemanann ini sering muncul ketika


Pangemanann sedang berinteraksi dengan orang lain. Mungkin ini salah satu
kesenangan yang diperoleh dari kekuasaan, yaitu bertindak sewenang-wenang.
Pangemanann boleh saja mengakui dirinya menghormati Raden Mas Minke
sebagai guru dan teladannya. Namun, seringkali Pangemanann berbuat
sebaliknya. Narasi dalam roman adalah sebagai berikut.

Pada waktu itu aku menyadari sesungguhnya aku telah berkembang


jadi seorang sadis. Dan betapa mahalnya orang menjadi sadis, tanpa
menyesali perbuatanku ini. Dan menjadi sadis di Hindia ini bisa saja
selama dia menjadi pembesar. Yang tidak boleh dan yang dihukum
adalah mereka yang tidak mempunyai kekuasaan. Dengan menganiaya
begini rupa aku merasa semakin penting dan berbobot, dan: aku

87
Ibid., hlm. 46.

60
semakin jijik pada diriku sendiri.88

Narasi di atas menunjukkan bahwa walapun Pangemanann sangat


mengagumi Minke dan menghormatinya sebagai guru dan teladannya, ia tetap
bertindak sewenang-wenang atas Minke. Kesewenangannya ini muncul sebagai
salah satu hasrat yang tersembunyi. Pangemanann tidak menghendaki dirinya
untukberbuat demikian. Namun, hal itu terjadi sebagai sesuatu yang tidak dapat
dikendalikan oleh Pangemanann sendiri. Pada bagian lain roman dikisahkan
bahwa,

Sebelum Wardi dan Edu berangkat ke pembuangan ke Eropa, aku


telah ajukan permohoan untuk mengantarkan para buangan itu sambil
menjalani cuti-eropaku. Tetapi sepku tidak setuju. Melarang adalah
kesukaan kolonial yang memberikan kenikmatan tersendiri. Itu aku
dapat mengerti. Aku pun pernah merasainya dan masih akan mencoba
merasainya.89

Inilah salah satu contoh sifat manusia yang kadang tidak disadari oleh
Pangemanann sendiri. Hal ini tidak tampak dengan jelas karena hanya muncul
sesekali, yaitu ketika mendapat larangan dari atasan. Larangan bagi bawahan ini
berakibat pada larangan pada bawahannya lagi dan berlanjut sampai lapisan
paling dasar, yaitu babu. Karena babu adalah lapisan terendah dalam masyarakat.
Pangemanann pun mengakui ketika dirinya melarang bawahannya, dia menikmati
hal itu.

4.2.3 Testing Diri

Testing diri ini diadopsi Foucault dari praktik-praktik pamantapan diri


dalam tradisi Epictetian. Testing diri ini merupakan usaha seseorang untuk
menempatkan dirinya dalam situasi pencobaan secara terus-menerus. Penempatan
diri dalam situasi pencobaan secara terus-menerus ini bermaksud melatih
penguasaan diri dan stabilitas akal seseorang. Testing diri ini memampukan orang
untuk bisa mengontrol dirinya, mengenal keinginan-keinginan, emosi,
rangsangan-rangsangan dari dalam diri yang sulit dikendalikan. Testing diri ini
juga menjadikan seseorang selalu mawas diri.

88
Ibid., hlm. 574.
89
Ibid., hlm. 322.

61
Keseluruhan teks roman Rumah Kaca ini adalah salah satu bentuk testing
diri yang dilakukan oleh Pangemanann terhadap dirinya. Pangemanann telah
mengatakan bahwa dirinya akan bekerja bersama bersama manusia, di tengah-
tengah manusia dan demi kemanusiaan itu sendiri. Kemudian, keinginannya ini
diingkarinya sendiri dengan menghamba pada kolonial. Pangemanann juga
menghormati dan mengagungkan Minke sebagai guru dan teladannya. Tetapi hal
ini diingkarinya lagi dengan membuat laporan pergerakan nasionalisme pribumi
yang berujung pada pembuangan Minke ke Ambon. Pangemanann juga berjanji
setia pada negaranya demi kemajuan bangsanya. Hal ini dilanggarnya juga dengan
menjadi hamba Gubermen.

Di sini dapat dilihat bahwa Pangemanann selalu menempatkan dirinya di


dalam pencobaan. Berulangkali ia masuk dan terjerumus ke dalam pencobaan ini,
dan berulangkali juga dirinya berusaha keluar dari dalam pencobaan ini. Salah
satu bagian narasi dalam roman adalah sebagai berikut.

Di sebuah Gereja di Perancis Selatan, aku menikahi Paulette


Marcel, mengucapkan janji untuk bersama-sama istriku menempuh
hidup dengan suka dan dukanya. Aku telah mengingkari janji dengan
panggilan botol. Sebagai pelajar aku ikut berjanji untuk setia kepada
Republik. Masih remaja ingusan waktu itu, tetapi aku berjanji dengan
sepenuh hatiku. Itu pun aku mengingkari dan kuberikan kesetiaanku
pada kolonialisme Belanda di Hindia.90

Penempatan diri dalam situasi pencobaan secara terus-menerus ini


membuat Pangemanann menjadi lebih stabil dalam mengontrol dirinya, mengenal
keinginan-keinginan, emosi, dan rangsangan-rangsangan dari dalam diri yang sulit
dikendalikannya. Banyak kali Pangemanann terjebak dalam pencobaan tersebut.
Banyak kali pula dirinya dapat mengatasi pencobaan itu. Sebagai hasil dari testing
diri ini, Pangemanann membuat sebuah pengakuan tertulis yang diberikannya
kepada Madame Sanikem Le Bouq. Tulisan itu berisi semua dosa Pangemanann
atas diri Minke, seorang tokoh utama pergerakan nasionalis pribumi.
Pangemanann yang mengawasinya, membuat laporan tentang dirinya,
mengakibatkan dirinya dibuang ke Ambon, dan akhirnya mati karena penyakit.
Pangemanann juga meminta Madame Sanikem untuk menjadi hakim atas dirinya.

90
Ibid., hlm. 629.

62
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya dapat disimpulkan bahwa


tokoh dan penokohan Jacques Pangemanann dalam roman Rumah Kaca karya
Pramoedya Ananta Toer memiliki kesesuaian dengan konsep Michel Foucault
tentang penutur kebenaran atau parrhesia. Berikut uraian yang menjelaskan
hubungan antara proses pembentukan subjek parrhesiast menurut Michel
Foucault dengan tokoh dan penokohan Jacques Pangemanann dalam roman
Rumah Kaca karya Pramoedya Ananta Toer.

Foucault tidak berbicara tentang problem kebenaran. Foucault


memusatkan perhatiannya pada problematisasi parrhesia. Problematisasi
parrhesia adalah suatu istilah yang umumnya dikenal sebagai “berbicara secara
jujur dan terbuka”, “bebas”, dan “berbicara dan bercerita yang benar”.
Problematisasi parrhesia ini juga mengandaikan bahwa seseorang harus
memperhitungkan adanya fenomena kebenaran. Istilah parrhesia ini selalu
mengandaikan suatu subjek yang mempraktikkannya. Karena dalam relasi-relasi
kebenaran, pertanyaan utama yang muncul adalah siapa yang mengatakan
kebenaran, bagaimana mengatakannya, dan mengapa kebenaran itu dikatakan?
Subjek ini disebut parrhesiast. Dengan kata lain, parrhesia membutuhkan

63
seseorang untuk menanganinya dan menjadikannya berarti. Oleh karena itu,
semua diskusi Foucault selalu terarah kepada subjek yang dikenal sebagai
parrhesiast, subjek manusiawi yang dapat menerima dirinya dan orang lain.

Jacques Pangemanann adalah pribadi yang menjawabi pertanyaan


pertama, siapa yang mengatakan kebenaran. Karena Pangemanann adalah tokoh
utama dalam roman ini. Semua penceritaan roman berpusat pada diri
Pangemanann. Pola hidupnya, relasinya, pergulatan batinnya dan kebiasaan-
kebiasaannya dinarasikan dalam sebagian besar roman. Kebiasaannya untuk
berpikir dituangkannya dalam bentuk tulisan. Hal ini menjawabi pertanyaan
bagaimana mengatakan kebenaran. Sebagai seorang intelektual yang memiliki
latar belakang pendidikan yang baik, Pangemanann menggunakan tulisan sebagai
penyaluran kebenaran. Pangemanann selalu mengalami pergulatan dengan
batinnya. Ia menyukai hidup berdampingan bersama manusia, berada bersama
manusia, dan bekerja bersama demi kemanusiaan itu sendiri. Pangemanann
sebagai seorang terpelajar pribumi juga menghormati dan menghargai Minke,
target kolonial nomor satu yang harus dibekukan pergerakannya. Hal ini
menjawabi pertanyaan mengapa mengatakan kebenaran. Namun, statusnya
sebagai seorang pejabat kolonial membuatnya bertentangan dengan nuraninya. Ia
tidak lagi bekerja demi kemanusiaan, tetapi demi karier dan demi tidur nyenyak
Gubermen. Pertentangannya dengan nuraninya ini menghantar Pangemanann pada
pemeriksaan batin yang dalam. Dalam pemeriksaan batinnya ini, Pangemanann
mempersalahkan dirinya yang tidak mendengarkan nuraninya. Pada akhirnya,
Pangemanann menyadari dan mengakui kesalahannya.

Untuk dapat memahami penelitian tentang kebenaran dalam diri dan untuk
dapat menyampaikan kebenaran itu kepada orang lain, Foucault juga menegaskan
perlu adanya latihan dan praktik yang terus-menerus. Praktik-praktik ini harus
mengandnng relasi dengan kebenaran. Foucault menamakan praktik-praktik ini
sebagai “usaha pemeriksaan batin” (examination of conscience). Praktik ini
memperlihatkan perbedaan antara cara-cara latihan, bagaimana latihan-latihan
yang berbeda ini mencerminkan aspek-aspek akal, perasaan, dan tingkah-laku.
Namun semuanya mengmdung hubungan antara kebenaran dengan diri sendiri,

64
dan kelak memampukan seseorang menjadi penutur kebenaran yang handal.
Praktik-praktik itu antara lain pemeriksaan diri secara pribadi, diagnosa diri dan
testing diri.

Banyak narasi dalam roman Rumah Kaca ini yang mengisahkan usaha
Jacques Pangemanann dalam memeriksa batinnya secara rutin. Kebiasaan ini
dilakukannya ketika sedang sendiri, sedang beristirahat atau ketika hendak tidur.
Pada salah satu bagian roman, diceritakan bahwa Pangemanann menyadari
kesalahan dan dosanya yang besar kepada diri Minke dan kepada pertumbuhan
nasionalisme pribumi. Dalam keadaan sakit yang sekarat, dirinya memutuskan
untuk menuangkan pengakuannya dalam bentuk tulisan. Tulisan ini kemudian
dibukukan dan menjadi roman Rumah Kaca ini. Pada bagian akhir tulisannya, ia
mengakui bhawa dirinyalah yang menyebabkan kematian Minke secara tidak
langsung kepada Sanikem, ibu angkat Minke. Pengakuan ini menutup roman ini
dalam nada sedih.

Jadi, terdapat kesesuaian antara isu kunci Michael Foucault tentang


penutur kebenaran atau parrhesia dengan tokoh dan penokohan Jacques
Pangemanann dalam roman Rumah Kaca karya Pramoedya Ananta Toer.
Kesesuaian antara isu kunci Michael Foucault ini tampak dalam tokoh Jacques
Pangemanann.

5.2 Saran

Setelah melakukan analisis pembentukan subjek parrhesiast tokoh dan


penokohan Jacques Pangemanann dalam roman Rumah Kaca karya Pramoedya
Ananta Toer, saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut. Para peneliti
sastra selanjutnya disarankan agar dapat melakukan penelitian dengan lebih
sempurna, baik yang berhubungan dengan penelitian ini, maupun yang
berhubungan dengan masalah lain dalam penelitian yang berobjek roman Rumah
Kaca karya Pramoedya Ananta Toer, karena terdapat aspek lain yang dapat diteliti
selain pembentukan subjek.

Para pendidik, khususnya para pendidik Bahasa dan Sastra disarankan agar

65
dapat menjadikan karya sastra sebagai sumber pengajaran, baik di tingkat dasar,
maupun di tingkat menengah, khususnya karya sastra yang mempunyai hubungan
dengan filsafat. Para pembaca juga diharapkan dapat meningkatkan apresiasi
terhadap karya sastra karena penelitian yang dilakukan dengan berobjek karya
sastra dapat bermanfaat bagi para pembaca. Selain itu, dengan hadirnya penelitian
ini, peneliti-peneliti lain dapat terinspirasi untuk meneliti roman Rumah Kaca
karya Pramoedya Ananta Toer dengan menggunakan pendekatan yang berbeda.

66
DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Beoang, Konrad Kebung. Michel Foucault: Parrhesia dan Persoalan Mengenai


Etika. Jakarta: Penerbit Obor, 1997.

Dreyfus, Hubert L. and Paul Rabinow. Michel Foucault: Beyond Structuralism


and Hermeneutics. Chicago: The University of Chicago Press, 1982.

Endraswara, Suwardi. Metode Penelitian Psikologi Sastra. Yogyakarta: FBS


Universitas Negeri Yokyakarta, 2008.

Epictetus. Discourse of Epictetus, Terj. George Long. New York: D. Appleton and
Company, 1904.

Foucault, Michel. Pengetahuan dan Metode: Karya-karya Penting Michel


Foucault. Terj. Arief. Yogyakarta: Jalasutra, 2002.

-----------------------. The Order of Things An Archeology of Human Science. Terj.


B. Priambodo. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.

-----------------------. “Discourse and Truth: The Problematization of Parrhesia”.


Salah satu dari enam seminar yang dibawakan di University of
California, Berkeley pada Oktober-November 1983.

-----------------------. The Archeology of Knowledge and The Discourse on


Language. Terj. A. M. Sheridan Smith. New York: Pantheon Books,
1972.

----------------------. Madness and Civilization, Terj.. Richard Howard. New York:


Vintage Books, 1988.

---------------------. Parrhesia Berani Berkata Benar Ed. Joseph Pearson. Terj.


Haryanto Cahyadi. Tangerang Selatan: Marjin kiri, 2018.

Gaut, Willy. Filsafat Postmodernisme. Maumere: Penerbit Ledalero, 2011.

Hartoko, Dick dan B. Rahmanto. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta:


Kanisius, 1986.

Jassin, H. B. Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei II. Jakarta:
Gramedia, 1985.

Kali, Ampy. Diskursus Seksualitas Michel Foucault. Maumere: Penerbit Ledalero,


2013.

67
Kurniawan, Eka. Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis.
Yogyakarta: Yayasan Aksara Indonesia,1999.

May, Todd. The Philosophy of Foucault. Chesham: Acumen Publishing Limited,


2006.

Moleong, Lexy. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdkarya,


2005.

Muhardi dan Hasanuddin. Prosedur Analisis Fiksi. Padang: IKIP Padang Press.

Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gema Media, 2013.

O’Callaghan, Julie Faith The Sexual Experience: Michel Foucault and The
History of Sexuality. Murdoch: Murdoch University, 2013.

Pradopo, R. D. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya.


Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2003.

Rampan, Korrie Layun. Dasar-Dasar Penulisan Cerita Pendek. Ende: Nusa


Indah, 1995.

Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2012.

Sabgidu. Penelitian Sastra: Pendekatan, Teori, Metode, Teknik dan Kiat.


Yogyakarta: Penerbit Sastra Asia Barat, 2004.

Seneca. Moral and Political Essays, Terj. John M. Cooper dan J. F. Procope.
USA: Cambridge University Press, 1993.

Suharto, Sugiharstuti. Kritik Sastra Feminis Teori dan Aplikasi. Yogyakarta:


Pustaka Pelajar, 2002.

Teeuw, A. Sastra Baru Indonesia. Ende: Nusa Indah, 2000.

Toer, Koesalah Soebagyo. Pramoedya dari Dekat Sekali. Jakarta: Kepustakaan


Populer Gramedia, 2006.

Toer, Pramoedya Ananta. Rumah Kaca. Jakarta: Lentera Dipantara, 2015.

ARTIKEL

Banda, Maria Matildis. “Wacana Kekuasaan dan Kebenaran dalam Puisi Lisan Sa
Ngaza.” https://e-journal.unair.ac.id/MOZAIK/article/view/6595, diakses

68
pada 14 Februari 2020.

Banda, Maria Matildis. “The Power of Truth of Parrhesia and Parrhesiasist in the
Poetry Collection of Arakian Ballad.” https://www.e-
journal.usd.ac.id/index.php/IJHS/article/download/2080/1603, diakses
pada 14 Februari 2020.

Poku, Alan Kurniawan. “Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Novel Rumah Kaca


Karya Pramoedya Ananta Toer: Perspektif Galtung.”
https://repository.usd.ac.id, diakses pada 4 April 2020.

Pratama, Nadia Anastasia Putri. “Perlawanan Pribumi Terhadap Kolonial dalam


Novel Rumah Kaca Karya Pramoedya Ananta Toer.” http://research-
report.umm.ac.id/index.php/SENSABASA, diakses pada 15 April 2020.

69

Anda mungkin juga menyukai