Anda di halaman 1dari 41

Soeharto

Kasus dugaan korupsi Soeharto menyangkut penggunaan uang negara oleh 7 buah yayasan
yang diketuainya, yaitu Yayasan Dana Sejahtera Mandiri [1][2], Yayasan Supersemar [1][3], Yayasan
Dharma Bhakti Sosial (Dharmais) [1][4], Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti (Dakab) [1], Yayasan
Amal Bhakti Muslim Pancasila[1][5], Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan, Yayasan
Trikora [1][6]. Pada 1995, Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 1995.
Keppres ini menghimbau para pengusaha untuk menyumbang 2 persen dari keuntungannya
untuk Yayasan Dana Mandiri.

Hasil penyidikan kasus tujuh yayasan Soeharto menghasilkan berkas setebal 2.000-an halaman.
Berkas ini berisi hasil pemeriksaan 134 saksi fakta dan 9 saksi ahli, berikut ratusan dokumen
otentik hasil penyitaan dua tim yang pernah dibentuk Kejaksaan Agung, sejak tahun 1999

Uang negara 400 miliar mengalir ke Yayasan Dana Mandiri antara tahun 1996 dan 1998.
Asalnya dari pos Dana Reboisasi Departemen Kehutanan dan pos bantuan presiden. Dalam
berkas kasus Soeharto, terungkap bahwa Haryono Suyono, yang saat itu Menteri Negara
Kependudukan dan Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, mengalihkan dana
itu untuk yayasan. Ketika itu, dia masih menjadi wakil ketua di Dana Mandiri. Bambang
Trihatmodjo, yang menjadi bendahara yayasan ini, bersama Haryono, ternyata mengalirkan lagi
dana Rp 400 miliar yang telah masuk ke yayasan itu ke dua bank miliknya, Bank Alfa dan Bank
Andromeda, pada 1996-1997, dalam bentuk deposito.

Dari data dalam berkas Soeharto, Bob Hasan paling besar merugikan keuangan negara, diduga
mencapai Rp 3,3 triliun. Hal ini juga terungkap dari pengakuan Ali Affandi, Sekretaris Yayasan
Supersemar, ketika diperiksa sebagai saksi kasus Soeharto. Dia membeberkan, Yayasan
Supersemar, Dakab, dan Dharmais memiliki saham di 27 perusahaan Grup Nusamba milik Bob
Hasan. Sebagian saham itu masih atas nama Bob Hasan pribadi, bukan yayasan.

Hutomo Mandala Putra, putra bungsu Soeharto bersama bersama Tinton Suprapto, pernah
memanfaatkan nama Yayasan Supersemar untuk mendapatkan lahan 144 hektare di Citeureup,
Bogor, guna pembangunan Sirkuit Sentul. Sebelumnya, Tommy dan Tinton berusaha menguasai
tanah itu lewat Pemerintah Provinsi Jawa Barat, tetapi gagal.

Pada 12 Mei 2006, bertepatan dengan peringatan sewindu Tragedi Trisakti, Jaksa Agung Abdul
Rahman Saleh mengeluarkan pernyataan bahwa pihaknya telah mengeluarkan Surat Keputusan
Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3) perkara mantan Presiden Soeharto, yang isinya
menghentikan penuntutan dugaan korupsi mantan Presiden Soeharto pada tujuh yayasan yang
dipimpinnya dengan alasan kondisi fisik dan mental terdakwa yang tidak layak diajukan ke
persidangan. SKPP itu dikeluarkan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan pada 11 Mei 2006.

12 Juni 2006, Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) mengabulkan permohonan
praperadilan Soeharto yang diajukan oleh berbagai organisasi. Dalam sidang putusan
praperadilan, hakim Andi Samsan Nganro menyatakan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan
Perkara (SKP3) atas nama terdakwa HM Soeharto tanggal 11 Mei 2006 adalah tidak sah menurut
hukum, dan menyatakan tuntutan terhadap HM Soeharto tersebut dibuka dan dilanjutkan.[8][9]

974

 16 Mei 1974 Presiden Suharto mendirikan Yayasan Supersemar dengan 11 anggota


(Ketua : Soeharto, Wakil Ketua I : Dr. Soedjarwo, Wakil Ketua II : Drs. Moerdiono,
Sekretaris : Arjodarmoko, Wakil Sekretaris : Prabowo Subianto, Bendahara : H. Ali
Affandi, Wakil Bendahara : Pratikto Singgih, S.E., Anggota : Sudharmono S.H., Ali Said
S.H., Prof. Dr. Widjojo Nitisastro, Prof. Dr. Ir. Toyib Hadiwijaya).[10] Tujuan yayasan
bermaksud membantu atau membina siswa dan mahasiswa yang cakap dan berbakat,
yang kurang mampu membiayai kelangsungan studinya. Yayasan bertujuan membantu
Pemerintah di dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.[11][12]

1976

 Presiden Soeharto mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 15/1976 yang


menentukan 50 persen dari 5 persen sisa bersih laba bank negara disetor ke Yayasan
Supersemar. Bermodal PP ini, Yayasan Supersemar sejak 1976 hingga Soeharto lengser,
mendapatkan uang sebesar USD 420 juta dan Rp 185 miliar.[13]

1998

 1 September 1998

o Tim Kejaksaan Agung menemukan indikasi penyimpangan penggunaan dana


yayasan-yayasan yang dikelola Soeharto, dari anggaran dasar lembaga tersebut.

 6 September 1998

o Soeharto mengumumkan kekayaannya melalui Televisi Pendidikan Indonesia


(TPI). "Saya tidak punya uang satu sen pun...," kata Soeharto. Dalam wawancara
dengan TPI, Soeharto menyatakan tak memiliki kekayaan seperti pernah dilansir
media massa.

 9 September 1998

o Tim Konsultan Cendana meminta kepada Presiden Habibie serta Menteri


Pertahanan dan Keamanan agar memberikan perhatian ekstra ketat dan
melindungi Soeharto dari penghinaan, cercaan, dan hujatan.

 11 September 1998
o Pemerintah Swiss menyatakan bersedia membantu pemerintah RI melacak
rekening-rekening Soeharto di luar negeri.

 15 September 1998

o Jaksa Agung Andi M. Ghalib ditunjuk sebagai Ketua Tim Investigasi Kekayaan
Soeharto.

 21 September 1998

o Jaksa Agung Andi M. Ghalib berkunjung ke rumah Soeharto di Jalan Cendana


untuk mengklarifikasi kekayaan Soeharto.

 25 September 1998

o Soeharto datang ke Kantor Kejaksaan Agung untuk menyerahkan dua konsep


surat kuasa untuk mengusut harta kekayaannya, baik di dalam maupun di luar
negeri.

 29 September 1998

o Kejagung membentuk Tim Penyelidik, Peneliti dan Klarifikasi Harta Kekayaan


Soeharto dipimpin Jampidsus Antonius Sujata.

 13 Oktober 1998

o Badan Pertanahan Nasional mengumumkan tanah Keluarga Cendana tersebar di


10 provinsi di Indonesia.

 22 Oktober 1998

o Andi M Ghalib menyatakan, keputusan presiden yang diterbitkan mantan presiden


Soeharto, sudah sah secara hukum. Kesalahan terletak pada pelaksanaannya.

 22 Oktober 1998 Tim Kejaksaan menemukan indikasi penyimpangan penggunaan dana


yayasan yang dikelola Suharto.[11]

 28 Oktober 1998: Tim Pusat Intelijen Kejaksaan Agung memeriksa data tanah peternakan
Tapos milik Soeharto.

 21 November 1998

o Presiden Habibie mengusulkan pembentukan komisi independen mengusut harta


Soeharto. Tapi, usulan ini kandas.

 22 November 1998
o Soeharto menulis surat kepada Presiden Habibie, isinya tentang penyerahan
tujuh yayasan yang dipimpinnya kepada pemerintah.

 2 Desember 1998

o Presiden Habibie mengeluarkan Inpres No. 30/1998 tentang pengusutan kekayaan


Soeharto.

 5 Desember 1998

o Jaksa Agung mengirimkan surat panggilan kepada Soeharto.

 7 Desember 1998

o Di depan Komisi I DPR, Jaksa Agung mengungkapkan hasil pemeriksaan atas


tujuh yayasan: Yayasan Dharmais,Yayasan Dakab, Yayasan Supersemar,Yayasan
Amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dana Mandiri, Yayasan Gotong
Royong, dan Yayasan Trikora. Sejumlah yayasan memiliki kekayaan senilai Rp
4,014 triliun.

o Jaksa Agung juga menemukan rekening atas nama Soeharto di 72 bank di dalam
negeri dengan nilai deposito Rp 24 miliar, Rp 23 miliar tersimpan di rekening
BCA, dan tanah seluas 400 ribu hektare atas nama Keluarga Cendana.

 9 Desember 1998

o Soeharto diperiksa Tim Kejaksaan Agung menyangkut dugaan penyalahgunaan


dana sejumlah yayasan, program Mobil Nasional (mobnas), kekayaan di luar
negeri, perkebunan dan peternakan Tapos.

o Soeharto diperiksa oleh Tim 13 Kejaksaan Agung diketuai JAM. Pidsus Antonius
Sujata selama 4 jam di Gedung Kejaksaan Tinggi Jakarta. Dengan alasan
keamanan Soeharto, tempat pemeriksaan tidak jadi dilakukan di Gedung
Kejaksaan Agung.

 28 Desember 1998

o Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Hasan Basri Durin


mengungkapkan, keluarga Cendana atas nama pribadi dan badan hukum atau
perusahaan menguasai 204.983 hektare tanah bersertifikat hak guna bangunan
(HGB) dan hak milik (HM).

 30 Desember 1998
o Mantan Wakil Sekretaris Kabinet Bambang Kesowo, seusai dimintai keterangan
di Kejaksaan Agung, menyatakan pembuatan Keppres dan Inpres tentang proyek
mobil nasional Timor adalah perintah langsung dari mantan presiden Soeharto.

1999

 12 Januari 1999

o Tim 13 Kejaksaan Agung mengungkapkan, mereka menemukan indikasi unsur


perbuatan melawan hukum yang dilakukan Soeharto.

 4 Februari 1999

o Kejaksaan Agung memeriksa Siti Hardiyanti Rukmana, putri sulung Soeharto,


sebagai bendahara Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan yang dipimpin
Soeharto.

 9 Februari 1999

o Soeharto melalui tujuh yayasan yang dipimpinnya mengembalikan uang negara


sebesar Rp 5,7 triliun.

o Jaksa Agung Andi M. Ghalib melaporkan hasil investigasi 15 kedutaan besar RI


yang menyimpulkan tidak ditemukan harta kekayaan Soeharto di luar negeri.
Laporan dari Belanda menyebutkan ada sebuah masjid di daerah Reswijk,
Belanda yang dibangun atas sumbangan Probosutedjo, adik tiri Soeharto.
Kastorius Sinaga, anggota Gerakan Masyarakat Peduli Harta Negara (Gempita),
meragukan laporan Jaksa Agung itu.

 11 Maret 1999

o Soeharto, melalui kuasa hukumnya, Juan Felix Tampubolon, meminta Jaksa


Agung menghentikan penyelidikan terhadapnya atas dugaan KKN.

 13 Maret 1999

o Soeharto menjalani pemeriksaan tim dokter yang dibentuk Kejaksaan Agung di


RSCM.

 16 Maret 1999

o Koran The Independent, London, memberitakan Keluarga Cendana menjual


properti di London senilai 11 juta poundsterling (setara Rp 165 miliar).

 26 Mei 1999
o JAM Pidsus Antonius Sujata, Ketua Tim Pemeriksaan Soeharto dimutasikan.

 27 Mei 1999

o Soeharto menyerahkan surat kuasa kepada Kejagung untuk mencari fakta dan data
berkaitan dengan simpanan kekayaan di bank-bank luar negeri (Swiss dan
Austria) .

 28 Mei 1999

o Soeharto mengulangi pernyataannya, bahwa dia tidak punya uang sesen pun.

 30 Mei 1999

o Andi Ghalib dan Menteri Kehutanan Muladi berangkat ke Swiss untuk


menyelidiki dugaan transfer uang sebesar US$ 9 miliar dan melacak harta
Soeharto lainnya.

 11 Juni 1999

o Muladi menyampaikan hasil penyelidikannya bahwa pihaknya tidak menemukan


simpanan uang Soeharto di bank-bank Swiss dan Austria.

 9 Juli 1999

o Tiga kroni Soeharto yaitu Bob Hasan, Kim Yohannes Mulia dan Deddy Darwis
diperiksa Kejagung dalam kasus yayasan yang dikelola Soeharto.

 19 Juli 1999

o Soeharto terserang stroke dan dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta
Selatan.

 11 Oktober 1999

o Pemerintah menyatakan tuduhan korupsi Soeharto tak terbukti karena minimnya


bukti. Kejagung mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3)
terhadap kasus Soeharto. Aset yang ditemukan diserahkan kepada pemerintah.[11]

 6 Desember 1999

o Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid membuka kembali pemeriksaan


kekayaan Soeharto.

 6 Desember 1999

o Jaksa Agung baru, Marzuki Darusman mencabut SP3 Soeharto.


 29 Desember 1999

o Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak gugatan praperadilan Soeharto atas


pencabutan SP3.

2000

 14 Februari 2000

o Kejagung memanggil Soeharto guna menjalani pemeriksaan sebagai tersangka


tetapi tidak hadir dengan alasan sakit.

 16 Februari 2000

o Jaksa Agung Marzuki Darusman membentuk Tim Medis untuk memeriksa


kesehatan Soeharto.

 31 Maret 2000

o Soeharto dinyatakan sebagai tersangka penyalahgunaan uang dana yayasan sosial


yang dipimpinnya.

 3 April 2000

o Tim Pemeriksa Kejagung mendatangi kediaman Soeharto di Jalan Cendana. Baru


diajukan dua pertanyaan, tiba-tiba tekanan darah Soeharto naik.

 13 April 2000

o Soeharto dinyatakan sebagai tahanan kota.

 29 Mei 2000

o Soeharto dikenakan tahanan rumah.

 7 Juli 2000

o Kejagung mengeluarkan surat perpanjangan kedua masa tahanan rumah Soeharto.

 14 Juli 2000

o Pemeriksaan Soeharto dinyatakan cukup dengan meminta keterangan 140 saksi


dan siap diberkas Tim Kejagung.

 15 Juli 2000

o Kejagung menyita aset dan rekening yayasan-yayasan Soeharto.


 3 Agustus 2000

o Soeharto resmi sebagai tersangka penyalahgunaan dana yayasan sosial yang


didirikannya dan dinyatakan sebagai terdakwa berbarengan dengan pelimpahan
berkas perkara ke Kejaksaan Tinggi Jakarta.

 8 Agustus 2000

o Kejaksaan Agung menyerahkan berkas perkara ke PN Jakarta Selatan.

 22 Agustus 2000

o Menkumdang Yusril Ihza Mahendra menyatakan proses peradilan Soeharto


dilakukan di Departemen Pertanian, Jakarta Selatan.

 23 Agustus 2000

o PN Jakarta Selatan memutuskan sidang pengadilan HM Soeharto digelar pada 31


Agustus 2000 dan Soeharto diperintahkan hadir.

 31 Agustus 2000

o Soeharto tidak hadir dalam sidang pengadilan pertamanya. Tim Dokter


menyatakan Soeharto tidak mungkin mengikuti persidangan dan Hakim Ketua
Lalu Mariyun memutuskan memanggil tim dokter pribadi Soeharto dan tim dokter
RSCM untuk menjelaskan perihal kesehatan Soeharto.

 14 September 2000

o Soeharto kembali tidak hadir di persidangan dengan alasan sakit.

 23 September 2000

o Soeharto menjalani pemeriksaan di RS Pertamina selama sembilan jam oleh 24


dokter yang diketuai Prof dr M Djakaria. Hasil pemeriksaan menunjukkan,
Soeharto sehat secara fisik, namun mengalami berbagai gangguan saraf dan
mental sehingga sulit diajak komunikasi. Berdasar hasil tes kesehatan ini,
pengacara Soeharto menolak menghadirkan kliennya di persidangan.

 28 September 2000

o Majelis Hakim menetapkan penuntutan perkara pidana HM Soeharto tidak dapat


diterima dan sidang dihentikan. Tidak ada jaminan Soeharto dapat dihadapkan ke
persidangan karena alasan kesehatan. Majelis juga membebaskan Soeharto dari
tahanan kota.
2006

 11 Mei 2006, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengeluarkan Surat Perintah
Penghentian Penyidikan (SP3) Soeharto melalui Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.[11][14]

 5 Juni 2006, Gerakan Masyarakat Adili Soeharto (Gemas), Asosiasi Penasihat Hukum
dan HAM (APHI) dan Komite Tanpa Nama, mengajukan gugatan pra-peradilan atas
dikeluarkannya Surat Keputusan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3) Soeharto.

 12 Juni 2006, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan membatalkan SKP3 Soeharto dan
menyatakan bahwa tuntutan dugaan korupsi atas Soeharto harus dilanjutkan

 1 Agustus 2006, Pengadilan Tinggi Jakarta menyatakan SKP3 Soeharto adalah sah
menurut hukum.

2007

 9 Juli 2007, Kejaksaan Agung mendaftarkan gugatan terhadap Soeharto, Pembina


Yayasan Supersemar dan Yayasan Supersemar sebagai badan ke Pengadilan Negeri (PN)
Jakarta Selatan. Pak Harto dan Yayasan dituduh menyalahgunakan uang Yayasan senilai
US$420 juta dan Rp. 185 miliar ditambah ganti rugi immateriil RP. 10 triliun.[15]

 9 Agustus 2007, sidang perdata kasus Soeharto kembali digelar di Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan. Kejagung melakukan gugatan perdata terhadap Soeharto dan Yayasan
Supersemar atas dugaan perbuatan melawan hukum. Kejagung menuntut ganti rugi
materiil sebesar 420 juta US$ dan Rp 185 miliar serta immateriil sebesar Rp 10 triliun.

 30 Agustus 2007, majelis hakim kasasi Mahkamah Agung memenangkan gugatan


Soeharto terhadap majalah Time Asia. Pihak Time diharuskan membayar ganti rugi
sebesar Rp 1 triliun dan meminta maaf kepada publik.

 10 September 2007, Proses mediasi antara kedua belah pihak dinyataan gagal.[15]

 24 September 2007, Sidang perdana perkara Supersemar di PN Jaksel. Jaksa pengacara


negara resmi menggugat Soeharto (tergugat I) dan Yayasan Supersemar (tergugat II)
sebesar US$420 juta, Rp. 185 miliar, dan Rp 10 triliun (ganti rugi immateriil).[15]

2008

 4 Januari 2008 Soeharto kembali dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta.

 8 Januari 2008, Dua pengurus Yayasan Supersemar memberikan kesaksian di PN Jaksel.


Mereka menyatakan tak rela negara mengggugat Yayasan.[15]

 26 Februari 2008, Lima anak Soeharto kecuali Hutomo Mandala Putra resmi
menggantikan ayahnya sebagai tergugat perkara Supersemar.[15]
 27 Januari 2008, Soeharto wafat pada pukul 13.10 WIB Minggu,[16] dalam usia 87 setelah
dirawat selama 24 hari (sejak 4 sampai 27 Januari 2008) di Rumah Sakit Pusat Pertamina
(RSPP), Jakarta.

 27 Maret 2008, PN Jaksel menyatakan Yayasan Supersemar bersalah karena


menyalahkan dana dengan memberikan pinjaman dan penyertaan modal ke berbagai
perusahaan Hakim menetapkan Yayasan harus membayar US$105 juta dan 46 miliar
pengacara Yayasan Supersemar Juan Felix Tampubolon langsung menyatakan akan
mengajukan banding.[15]

 27 Maret 2008, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) mengabulkan gugatan
Kejagung dan menghukum Yayasan Supersemar membayar ganti rugi kepada RI sebesar
USD 105 juta dan Rp 46 miliar. PN Jaksel menyatakan Yayasan Supersemar telah
melakukan perbuatan melawan hukum.[13][15]

 2 April 2008, Yayasan mengajukan banding.[15]

 17 September 2008, Berkas banding diterima panitera Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.[15]

2009

 19 Februari 2009, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) mengabulkan gugatan
Kejagung dan menghukum Yayasan Supersemar membayar ganti rugi kepada RI sebesar
USD 105 juta dan Rp 46 miliar. PN Jaksel menyatakan Yayasan Supersemar telah
melakukan perbuatan melawan hukum dengan cara memberi pinjaman dan penyertaan
modal ke berbagai perusahaan. Putusan ini dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta
pada 19 Februari 2009.[13][15]

2010

 28 Oktober 2010, Vonis ini lalu dikuatkan di tingkat kasasi. Majelis kasasi menghukum
Yayasan Supersemar membayar kepada Penggugat 75 persen x USD 420 juta atau sama
dengan USD 315 juta dan 75 persen x Rp 185.918.904 = Rp 139.229.178 (sebelumnya
tertulis USD 420 ribu, demikian sebagai ralat). Namun ternyata putusan kasasi itu salah
ketik, seharusnya tertulis Rp 185 miliar, tetapi tertulis Rp 185.918.904. Duduk dalam
majelis kasasi yang diketok pada 28 Oktober 2010 ini yaitu hakim agung Dr Harifin
Tumpa dengan anggota Rehngena Purba dan Dirwoto.[11][13]

2013

 September 2013, Kesalahan ketik ini lalu membuat geger karena putusan tidak dapat
dieksekusi. Alhasil, jaksa lalu mengakukan peninjauan kembali pada September 2013.
Ternyata, di saat yang bersamaan, Yayasan Supersemar juga ikut melakukan (PK).[13]

2015
 8 Juli 2015, Wakil Ketua MA bidang Nonyudisial hakim agung Suwardi dengan anggota
majelis Soltony Mohdally dan Mahdi Soroinda Nasution memvonis Yayasan Supersemar,
diketok pada 8 Juli 2015.[13]

 10 Agustus 2015, Proses hukum selanjutnya dari MA melansir berita dalam web
resminya, "Mengabulkan PK I (Negara Repubilk Indonesia), menolak PK II (Yayasan
Supersemar)." Berdasarkan kurs hari ini, Senin (10/8), maka yayasan harus memberikan
ganti rugi ke negara Rp 4.309.200.000.000 plus Rp 139 miliar sehingga totalnya menjadi
Rp 4,448 triliun.[13]
Soekarno

Jakarta, Aktual.co — “ Aku pernah berkata, ada orang kaya raya, auto Impala, auto Mercedes,
gedungnya tiga, empat, lima tingkat, tempat tidurnya kasurnya tujuh lapis mentul-mentul. Tiap-
tiap hari makan empat, lima, enam, tujuh kali. Ya, seluruh rumahnya itu laksana ditabur dengan
ratna mutu manikam, Kakinya tidak pernah menginjak ubin, yang diinjak selalu permadani yang
tebal dan indah.

Tapi orang yang demikian itu, pengkhianat. Tapi orang yang demikian itu menjadi kaya oleh
karena korupsi. Orang yang demikian itu di wajah-Nya Tuhan yang Maha Esa, adalah orang
yang rendah. Di wajah Tuhan Yang Maha Esa dia adalah orang yang rendah!

Sebaliknya, kataku dalam pidato itu, ambil seorang penyapu jalan. Penyapu jalan di sana, di
Jalan Thamrin atau jalan Sudirman atau jalan-jalan lain, nyapu jalan, Saudara-saudara. Pada
waktu kita enak-enak tidur waktu malam, dia menyapu jalan, tangannya menjadi kotor oleh
karena dia menyapu segala ciri-ciri dan kotor-kotor dari jalan itu, tetapi Saudara-saudara, dia
mendapat nafkah dari kerjanya itu dengan jalan jang halal dan baik. Dia dengan uang yang
sedikit yang dia dapat dari Kotapraja, Pak Gubernur Sumarno,

Saudara-saudara, ya mendapat gaji daripada Kotapraja uang jang sedikit, dia belikan beras, dan
dia tanak itu beras, dan dia makan itu nasi dengan istri dan anak-anaknya, bukan di atas kursi
yang mentul-mentul, bukan di atas permadani tebal, bukan dari piring yang terbuat daripada
emas, tidak dengan sendok dan garpu, dia makan makanan yang amat sederhana sekali, dan dia
mengucapkan syukur alhamdulillah ke hadirat Allah SWT: “Ya Allah ja Rabbi, terima kasih,
bahwa Engkau telah memberiku cukup makan bagiku, bagi istriku, bagi anak-anakku. Ya Allah
Ya Rabbi, aku terima kasih kepadaMu”.

Orang yang demikian ini, menyapu jalan, dia adalah orang mulia dihadapan Allah SWT. ”

Begitulah kutipan panjang dari sambutan Bung Karno, selaku Presiden RI, dalam Kongres
Persatuan Pamong Desa Indonesia, di Jakarta pada tanggal 12 Mei 1964. Pesan proklamator
yang tak pernah meninggalkan harta warisan bagi keluarga dan semua anak-anaknya itu,
disampaikan setengah abad yang lalu.

Kini setelah 50 tahun berlalu, pesan bapak bangsa yang wafat dalam status tahanan politik Orde
Baru atas perintah Jenderal Soeharto, ini relevan. Makin relevan lagi, jika kita bandingkan isi
pesan Bung Karno itu dengan mural bergambar Presiden Soeharto di pantat truk yang bertuliskan
pesan, “Piye Kabare?  Enak Jamanku Toh.” Mural kreatif yang kemudian diplesetkan oleh para
netizen di dunia maya, terutama di Face Book dan Twitter, menjadi “Piye Kabare?  Enak
Jamanku Toh. Oro Ono KPK.”

Para netizen dari generasi baru Indonesia yang memasang dan men-share foto mural plesetan itu,
umumnya menilai korupsi justru menyebar luas sejak Soeharto berkuasa. Bagi mereka korupsi
itu merupakan konsekwensi dari pendekatan program yang konsumeristis dan mengutamakan
proyek pembangunan yang materialistis.  Itulah pembangunan yang disponsori oleh IMF – Dana
Moneter Internasional dan Bank Dunia demi kepentingan keuntungan bisnis kaum kapitalis
pemilik multi national corporation – MNC.

Karena itu ironis, jika ada yang meyakini jaman Soeharto sebagai jaman lebih enak, ternyata
enak yang dimaksudkan malah enak bisa leluasa ber-KKN alias korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Sebab semasa Soeharto, tidak ada lembaga anti rasuah seperti KPK, Komisi Pembrantasan
Korupsi, yang diharapkan semakin bersikap tegas menindak para koruptor dan nepotis yang
berkolusi mencuri uang rakyat.

Yang menarik, adalah menilik isi pesan Soekarno yang menyebut:  “Dia dengan uang yang
sedikit yang dia dapat dari Kotapraja, Pak Gubernur Sumarno.“  Yang dimaksud Bung Karno
adalah Brigjen dr H Soemarno Sosroatmodjo yang menjabat Gubernur DKI Jakarta, sejak 4
Februari 1960 hingga 23 Maret 1966. Yaitu semasa berlangsung berbagai kegiatan internasional
seperti Asian Games 1962 dan setahun kemudian Ganefo (Games of the New Emerging Forces)
yang bertujuan untuk menyaingi Olimpiade. 

Menarik karena nama Soemarno yang dokter dan jenderal ini sering dikelirukan dengan nama
MR Sumarno, Gubernur BI – Bank Indonesia .  Betapa tidak. Karena Sumarno yang sarjana hu
kum ini mempunyai anak-anak lulusan perguruan tinggi terkemuka di Amerika Serikat sana,
yang semasa Orde Baru tampil sebagai profesional menonjol. Para anak Sumarno mantan
Menteri Urusan Bank Sentral (MUBS) ini dikenal karib dengan sejumlah pebisnis yang disebut-
sebut beraroma nepotisme dan kolusi. Antara lain, beberapa kelompok perusahaan yang dimiliki
oleh anak Presiden Soeharto.

Lebih menarik lagi, ada pula anak Sumarno ini yang setelah Orde Baru tumbang, justru pada era
reformasi tampil menjadi menteri penentu kebijakan strategis dalam ranah ekonomi, dan
keuangan, setelah lama berkecimpung mengoperasikan bisnis para konglomerat Orde Baru
maupun kepentingan multi national corporation. Sehingga, terakhir ini mereka dituding pula
sebagai agen neolib. 

Korupsi memang bukan barang baru di negeri ini. Sejak diwariskan oleh pemerintah kolonial,
korupsi menjangkiti kaum pribumi. Bahkan ketika kemerdekaan telah kita raih dari tangan
penjajah, bau amis korupsi ternyata ikut melekat di tangan para politisi kita sejak dini. Karya
semacam Korupsi (Pramoedya Ananta Toer) dan Senja di Jakarta (Mochtar Lubis)
menggambarkannya melalui untaian cerita. Ketika itu praktek korupsi begitu menggurita, penuh
manipulasi. Modus yang dikenal pada periode 1950-an adalah ‘Importir aksentas’ atau
pengusaha ‘Ali-Baba’. Kebijakan nasionalisasi saat itu diakali para ‘Importir aksesntas.’ Sebuah
akal-akalan perusahaan nasional (dalam negeri) yang menjual kembali izin impor kepada
perusahaan asing. Begitu pula taktik ‘Ali-Baba’, sebuah modus yang berkedok importir pribumi
untuk mendapatkan fasilitas impor dari pemerintah. Padahal di balik importer ini hanyalah
pengusaha Cina atau Belanda.[1] Maka hal semacam ini lazim disebut ‘Ali-Baba’ atau Ali-
Willem.[2]
Ketika itu, negara di bawah pemerintahan Kabinet Ali Sastroamidjojo I (Juli 1953-Juli 1955).
Pemerintah kala itu memang menggelorakan ekonomi nasional (termasuk nasionalisasi) dengan
memberikan kredit-kredit pada pengusaha nasional.[3] Namun, Menteri Keuangan saat itu, Iskaq
Tjokrohadisoerjo (1953-1955), melakukan politik nasional dalam ekonomi dengan banyak
diskriminasi. Ia mengutamakan pengusaha dari partai PNI saja, atau yang menyokong
pemerintahan PNI (Ali) sehingga diberi kemudahan tanpa memperhatikan kemampuan.
Termasuk salah satunya, perusahaan importir kertas baru, Inter Kertas, yang setengah dari
sahamnya dimiliki oleh Sidik Djojosukarto.[4] Menteri Iskaq berbuat seperti ini, bukan tanpa
alasan. Tampaknya PNI mengejar persiapan untuk pemilu tahun 1955.[5] Bahkan mengambil
kebijaksanaan untuk menyokong dana partai. Bersama Ong Eng Die (keduanya dari PNI),
mereka memerintahkan dana kementerian untuk disimpan di Bank Umum Nasional, suatu bank
PNI. Mereka juga merombak personalia dana administrasi kementerian terutama yang
berhubungan dengan perdagangan dan perindustrian. Menteri Iskaq juga pernah membatalkan
Koperasi Batik Indonesia sebagai satu-satunya importir cambrics, dan memberi lisensi ini kepada
beberapa importir tak berpengalaman. Selain itu dia juga memberikan izin impor kertas untuk
pemilu kepada suatu perusahaan yang sahamnya dimiliki orang-orang PNI.[6]

Kebijakan-kebijakan seperti ini mendapat tentangan keras dari partai Masyumi. Ketua Seksi
Ekonomi dari parlemen, KH Tjikwan (Masyumi) mengajukan mosi di parlemen untuk
interpelasi, guna mempertanyakan kebijakan Menteri tersebut. Mosi untuk interpelasi diterima
dengan suara bulat. Namun mosi tak percaya berakhir dengan kegagalan. Kegagalan ini lebih
bersifat politis, yaitu pemihakan kekuatan antara oposisi dan partai yang ikut dalam kabinet.
Walaupun begitu, Partai NU yang ikut serta dalam kabinet turut mengirimkan nota politik yang
berisi kekhawatiran tentang masalah ekonomi. Begitu pula PSII yang juga ikut dalam kabinet
menyatakan tidak bertanggungjawab atas kelanjutan kebijakan menteri-menteri dari PNI itu.[7]

Kabinet Ali Sastroamidjojo menyerahkan kekuasaannya kepada Boerhanoeddin Harahap pada 12


Agustus 1955. Di sinilah kemudian Kabinet Boerhanoeddin yang berasal dari Masyumi
membuktikan dirinya memerangi korupsi dengan lantang. Kabinet Boerhanoeddin langsung
melancarkan kampanye anti korupsi. Pasal lima dari program kabinet ini adalah memberantas
korupsi.[8] Kabinet ini langsung menyikat orang-orang yang terindikasi korupsi. Beberapa hari
setelah dilantik, Mr. Djodi Gondokusumo, bekas Menteri Kehakiman ditangkap. Begitu pula
Menteri Keuangan Ong Eng Die.[9] Rumah Iskaq Tjokroahdisurjo digeledah. Saat itu Iskaq
sendiri sedang berada diluar negeri. Ia berkali-kali dipanggil pulang. Tetapi perjalanannya di luar
negeri diperpanjang. Dalam biografinya, ia mengakui, sebetulnya ia hendak pulang, tetapi di
Singapura ia dijemput Lim Kay, yang diutus pimpinan pusat PNI.[10] Iskaq sendiri tahun 1960
divonis bersalah oleh pengadilan, namun kemudian diselamatkan Soekarno dengan grasinya.
Daftar orang-orang yang ditahan termasuk beberapa orang di badan penyelidik negara, pejabat
kantor impor, serta pengusaha (importir). Penangkapan merebak di mana-mana. Bandung,
Surabaya, Sumatera tengah, Jawa tengah hingga Penang. Termasuk di Singapura, Konsul
Jenderal Arsad Astra juga dipanggil pulang dan ditahan.[11]

Delapan hari setelah dilantik, Perdana Menteri Boerhanoeddin Harahap – yang saat dilantik baru
berusia 38 tahun- menjelaskan kebijakannya melawan korupsi,
Untuk memperbaiki kembali keadaan yang tak sehat dalam masyarakat, dan juga di dalam
kalangan pemerintahan sebagai akibat dari tindakan-tindakan korup oleh berbagai orang, maka
pemerintah menganggap perlu untuk menjalankan tindakan-tindakan yang keras dan tegas.

Ia juga menegaskan tak pandang bulu membasmi korupsi, tanpa peduli partai, golongan atau
agamanya.[12]Ia kemudian juga menggencarakan perlawanan dengan memperluas kekuasaan
Jaksa Agung. Ia membebaskan Jaksa Agung dari tiap pembatasan sehingga dapat bertindak
terhadap siapa saja atas dasar hukum.[13]

Gebrakan yang lebih keras dari kabinet beliau adalah, saat kabinetnya mengeluarkan RUU Anti
Korupsi yang memuat suatu exorbitant-recht. RUU itu mewajibkan kepada pegawai negeri atau
orang lain untuk memberikan bukti-bukti yang menerangkan asal-usul harta benda (kekayaan)
yang dimilikinya, yang biasa diistilahkan de bewijslast-omkeren.[14]

RUU anti korupsi itu terdiri dari dua bagian, pertama, mengatur berbagai tindakan di dalam
peradilan yang ketentuannya berlainan dengan peradilan biasa. Yaitu mengadakan pengadilan
tersendiri -seperti juga untuk tindakan pidana ekonomi- dan terdakwa harus dapat menjawab
dengan sejujurnya terhadap berbagai tuduhan kepadanya.[15]

Bagian kedua dari RUU tersebut adalah mengatur berbagai tindakan di luar peradilan. Bagian ini
memungkinkan penyelidikan harta benda seseorang oleh Biro Penilik Harta Benda, untuk
menyelidik besarnya harta dan kelegalan kepemilikan harta tersebut. Suatu praktek pencegahan
korupsi yang akhirnya baru dimulai beberapa waktu belakangan ini.

RUU ini pun dibawa ke parlemen. Namun sayangnya RUU ini kandas setelah tidak mendapatkan
dukungan memadai dari partai berpengaruh seperti Partai NU. Boerhanoeddin sendiri tidak
mengetahui sebab penolakan itu oleh Partai NU.[16] Rangkaian usaha kabinet ini memberantas
korupsi, seringkali dituduh sebagai aksi balas dendam, termasuk oleh PNI. Namun Perdana
Menteri Boerhanoeddin Harahap menolaknya, ia menegaskan pemberantasan korupsi dilakukan
secara, obyektif, hati-hati, dan tidak asal tangkap.[17]

Sesungguhnya kita tidak perlu merasa heran dengan sikap para tokoh Masyumi yang anti
korupsi. Karena sikap itu telah ditunjukkan oleh para tokohnya dengan kasat mata dalam
kesehariannya. Mereka adalah pemimpin yang seringkali dikenal hidup sederhana dan taat
beragama. Jika kita menilik kembali pada saat Masyumi beserta tokoh-tokohnya, umumnya kita
akan mendapatkan kesan kehidupan mereka yang jauh dari kemewahan. Meskipun memegang
jabatan tinggi di pemerintahan, hidup mereka tak lekat dengan gelimang harta. Sebut saja kisah
kesederhanaan M. Natsir, yang diakui oleh Indonesianis, George McTurnan Kahin. Nama Natsir
dikenal oleh Kahin, lewat H. Agus Salim. Beliau (H. Agus Salim) merekomendasikan nama
Natsir sebagai narasumber untuk Republik.

“Dia tidak bakal berpakaian seperti seorang Menteri. Namun demikian dia adalah seorang yang
amat cakap dan penuh kejujuran; jadi kalau anda hendak memahami apa yang sedang terjadi
dalam Republik, anda seharusnya bicara dengannya,” jelas H. Agus salim.

Kahin membuktikan dengan matanya sendiri, ia melihat Natsir sebagai Menteri Penerangan,
berdinas dengan kemeja bertambal. Sesuatu yang belum pernah Kahin lihat di menteri
pemerintahan manapun.[18] Bahkan ketika menjabat sebagai Perdana Menteri pun, Natsir tak
mampu membeli rumah untuk keluarganya. Hidupnya selalu di isi dengan kisah pindah dari satu
rumah kontrakan ke rumah kontrakan lainnya.

Kisah kesederhanaan Natsir terus berlanjut, tahun 1956, ketika telah berhenti menjadi Perdana
Menteri dan menjadi pemimpin partai Masyumi, Natsir pernah akan diberikan mobil oleh
seseorang dari Medan. Ia ditawariChevrolet Impala, sebuah mobil ‘wah’, yang sudah diparkir di
depan rumahnya. Namun Natsir menolaknya. Padahal saat itu mobil Natsir hanya mobil kusam
merek DeSoto.[19]

Jabatan yang tinggi menghindarkan mereka dari penyalahgunaan amanah. Hal ini berlaku juga
pada Sjafrudin Prawiranegara, seorang tokoh Masyumi yang kental dengan dunia ekonomi.
Tahun 1951, setelah menjabat sebagai Menteri Keuangan, Sjafruddin ingin terjun di sektor
swasta. Nafkahnya sebagai menteri, sangat pas-pasan, bahkan kurang. Bagi menteri Sjafruddin,
haram baginya menyalahgunakan kekuasaan, termasuk sambil berbisnis ketika menjabat, atau
menerima komisi. Setelah tak menjabat, ketika itu datang tawaran untuk menjadi Presiden De
Javasche Bank (kemudian dikenal dengan Bank Indonesia). Tawaran ini diberikan langsung oleh
salah seorang direksinya, Paul Spies. Sjafruddin menolaknya, dengan berbagai alasan, termasuk
keinginannya mendapatkan penghasilan lebih. Ia merasa De Javasche Bank, yang akan
dinasionalisasi oleh pemerintah, pasti akan turut mengalami penurunan gaji. Ia merasa keberatan
karena harus mendapatkan penghasilan pas-pasan, seperti menjadi menteri dahulu. Namun justru
prinsip kejujuran inilah yang dicari oleh Paul Spies. Hingga akhirnya pemerintah menyetujui tak
akan menurunkan gajinya. Akhirnya jabatan itu pun diterimanya.[20]

Gejala lain dari hidup para tokoh ini adalah, kondisi mereka serupa saja, baik saat sebelum
menjabat, saat menjabat, atau pun setelah menjabat. Tetap sederhana. Hidup mereka hanya
mengandalkan gaji saat menjadi pejabat. Hidup para tokoh Masyumi yang sederhana semakin
terlihat tatkala mereka ramai-ramai dipenjara oleh rezim Soekarno, tentu saja bukan karena
tuduhan korupsi. Tetapi melawan pemerintahan. Ketika masing-masing masuk bui, para istri
mereka yang mengambil alih posisi mencari nafkah. Tak ada tabungan, atau harta melimpah
yang disimpan suami mereka. Isteri dari Buya Hamka merasakan betul keadaan itu. Semenjak
Buya Hamka di tahan, ia sering berkunjung ke pegadaian. Seringkali perhiasannya tak dapat lagi
ditebus.[21]Nasib serupa dialami Ibu Lily, istri dari Sjafruddin Prawiranegara, hidup
menumpang di rumah kerabat dan menjual perhiasan. Rumah mereka yang dibeli dengan
mencicil ke De Javasche Bank, pun turut di sita.[22]Kisah-kisah para tokoh Masyumi yang tak
punya rumah seringkali terdengar. Setelah bebas dari penjara, Natsir akhirnya bisa memiliki
rumah, setelah membeli rumah milik kawannya, itu pun dengan cara mencicil dan meminjam
sana-sini. Begitu pula dengan Boerhanoeddin Harahap, ketika baru bebas, ia hidup menumpang
di rumah adiknya yang sempit, di sebuah gang kecil, di Manggarai Selatan. Boerhanoeddin
akhirnya memiliki rumah, dengan cara mencicil rumah yang dipinjamkan seseorang di daerah
Tebet, Jakarta Selatan.[23]

Teladan hidup sederhana ini menghindarkan mereka dari godaan hidup mewah, dan
kemungkinan tuduhan korupsi. Bagaimana mungkin akan dituduh korupsi, jika rumah pun tak
punya? Kesadaran tinggi akan amanah dan kesalehan merekalah yang menghindarkan mereka
dari gaya hidup mewah yang seringkali memicu korupsi. Mereka lebih memilih hidup sederhana,
ketimbang hidup mewah dengan mengumbar berbagai dalil sebagai dalih.

Teringatlah kita akan pesan Buya Hamka bagi para pejabat, untuk menghindai gaya hidup
mewah,

“Sejak dari kepala negara sampai kepada menteri-menteri dan pejabat-pejabat tinggi telah
ditulari oleh kecurangan korupsi. Sehingga yang berkuasa hidup mewah dan mengumpulkan
kekayaan untuk diri sendiri, sedangkan rakyat banyak mati kelaparan, telah kurus-kering
badannya.”

Buya pun melanjutkan dengan gamblang, ketika menjelaskan surat Ali Imran ayat 161 ini dalam
Tafsir Al Azhar,

“…Nyatalah bahwa komisi yang diterima oleh seorang menteri, karena menandatangani suatu
kontrak dengan satu penguasa luar negeri dalam pembelian barang-barang keperluan menurut
rasa halus iman dan Islam adalah korupsi juga namanya. Kita katakan menurut rasa halus
imandan Islam adalah guna jadi pedoman bagi pejabat-pejabat tinggi suatu negara, bahwa
lebihbaik bersih dari kecurigaan ummat.”[24]

Maka cerminan dari masa lampau tak pernah bisa kita hapuskan jika ingin melangkah. Sebaiknya
para pengusung, pendukung dan terutama partai-partai berbendera Islam, mulai memikirkan
kembali amanah mereka dan mulai bersikap hidup sederhana, menghempaskan gaya hidup
bergelimang harta-dengan berbagai dalih-, seperti yang telah ditunjukkan oleh para pendahulu
kita.
Oleh : Beggy [dipublikasikan ulang dari jejakislam.net]

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Bekas Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi


Bambang Widjodjanto mengungkapkan lembaga-lembaga antikorupsi yang pernah dibentuk di
Indonesia selalu dihabisi dan tidak berumur panjang.

Saat menjadi saksi ahli dalam uji materi Hak Angket DPR di Mahkamah Konstitusi, Bambang
Widjodjanto mengatakan sudah ada 11 lembaga antikorupsi yang pernah didirikan.

Faktanya, umurnya tidak lebih dari dua sampai tiga tahun.

"Contoh pada saat bangsa ini dipimpin presiden luar biasa Soekarno yang kala itu ada beberaa
lembaga antikorupsi yang dibentuk. Mulai dari badan koordinasi penyidik harta benda, Badan
Pengawas Kegiatan Aparatur Negara dan lain-lain," kata Bambang di MK, Jakarta, Selasa
(5/9/2017).

Menurut Bambang Widjodjanto, Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara ( Bapekan) juga
tidak berumur lama.

Baca: Keberangkatan FPI ke Myanmar Akan Memperkeruh Suasana


Walau awal-awal pembentukannya mendapat respon yang positif dari masyarakat, faktanya tidak
begitu baik didukung Pemerintah.

Bapekan dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden tahun 1959 dan dipimpin Sultan
Hamengkubuwono.

Tugasnya adalah mengawasi meneliti dan mengajukan pertimbangan kepada Presiden terhadap
kegiatan aparatur negara khususnya ketidakberesan dalam menjalankan tugasnya.

"Kendati Bapekan mendapatkan kepercayaan dari masyarakat, dan begitu banyak laporan yang
disampaikan masyarakat dan berhasil diselesaikan, tapi ketika gencar memberitakan
pembangunan Gelora Bung Karno yang bermula bernama Stadion Senayan, Presiden Soekarno
membubarkan Bapekan," kata Bambang.

Kondisi serupa juga berulang ketika dibentuk Operasi Budi yang dipimpin AH Nasution.

Di Orde Baru kondisi juga setali tiga uang. Pemerintah pernah membentuk Komisi 4 yang diisi
oleh orang-orang hebat.

Lembaga tersebut bertugas untuk penanganan korupsi di Departemen Agama, Badan Urusan
Logistik, CV Waringin, Telkom, Pertamina dan lain-lain.

"Faktanya Komisi Empat bak macan ompong dan tak bertaji. Jadi seluruh hasil temuannya tidak
pernah digubris Pemerintahan saat itu," kata BW yang pernah ditangkap aparat kepolisian.

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Soekarno Pernah Bubarkan Lembaga
Antikorupsi Karena Mengusik Pembangunan Stadion Senayan,
http://www.tribunnews.com/nasional/2017/09/05/soekarno-pernah-bubarkan-lembaga-
antikorupsi-karena-mengusik-pembangunan-stadion-senayan.
Penulis: Eri Komar Sinaga
Editor: Johnson Simanjuntak

Gusdur

Sore itu seperti biasa Gus Dur menerima beberapa tamu dengan berbagai macam tujuan. Ada
yang ingin meminta nasihat, saran, dan masukan. Ada juga yang hanya ingin mendengarkan joke
terbarunya.

Gus Dur salah satu pemimpin nasional yang mempunyai sikap tegas terhadap kejahatan korupsi.
Kebetulan, salah satu tamunya mengungkapkan kegelisahan tentang korupsi di Indonesia yang
seolah menjadi ‘lingkaran setan’.
“Gus, tentang korupsi di negara kita, kenapa ya Gus seolah sudah menjadi budaya?” tanya salah
seorang tamu.

Gus Dur sudah bisa merasakan, itu pertanyaan yang terlontar secara serius. Terbukti dengan
gestur dan intonasi suara sang tamu. Namun, ia berupaya tetap santai menanggapi pertanyaan
tersebut.

“Ah, budaya gimana? Zaman sekarang korupsi relatif bisa dipantau dibanding era-era
sebelumnya,” jawab Gus Dur enteng.

“Memang korupsi di zaman-zaman sebelumnya gimana, Gus?” tanya seorang tamu lainnya.

“Karena di zaman Orde Lama, korupsi di bawah meja. Di zaman Orde Baru di atas meja. Nah, di
zaman reformasi, mejanya sekalian dikorupsi,” lontar Gus Dur.

Sejumlah tokoh berkomitmen meluruskan sejarah lengsernya KH Abdurrahman Wahid atau yang
akrab disapa Gus Dur sebagai Presiden RI pada 2001 lalu.

Mereka adalah Mahfud MD, Rizal Ramli, dan Luhut Binsar Panjaitan yang sempat menjadi
menteri saat Gus Dur berkuasa.

Komitmen meluruskan sejarah lengsernya Gus Dur ini disampaikan para tokoh tersebut saat
menghadiri peringatan Haul wafatnya Gur Dur di kediaman Mahfud MD, di Jakarta, pada Senin
(11/1) malam.

Luhut yang kini menjabat sebagai Menko Polhukam mengaku sudah berbicara dengan Mahfud
MD untuk meluruskan sejarah lengsernya Gus Dur.

"Saya sudah bicara dengan Pak Mahfud mungkin tiga atau empat tahun lalu. Perlu kita luruskan
juga sejarah," katanya.

Fakta: Gus Dur Bersih


Luhut yang menjabat Menteri Perindustrian dan Perdagangan di era Gus Dur menegaskan,
pemakzulan terhadap Gus Dur bukan disebabkan persoalan hukum kasus Brunei dan Bulog
seperti yang dituduhkan selama ini. Hal itu terbukti dengan putusan pengadilan.

Selain itu, tidak ada konstitusi yang dilanggar oleh Gus Dur. Menurut Luhut, lengsernya Gus
Dur lebih kepada persoalan politik saat itu.

"Saya lihat tidak ada aspek korupsi karena pengadilan sudah memutuskan tidak. Beliau juga
tidak melanggar konstitusi. Nah oleh karena itu, saya lihat pelengseran itu menyangkut masalah
politik," jelasnya.
Patung Gus Dur kecil diresmikan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), di
Taman Amir Hamzah, Menteng, Jakarta.

Menurut Luhut, sejarah ini harus diluruskan agar tidak terjadi simpang siur di masa depan terkait
diturunkannya Gus Dur sebagai Presiden sebelum masa jabatannya berakhir.

"Ini perlu diluruskan ke depan dalam sejarah kita. Sehingga jangan sampai di kemudian hari
sekian puluh tahun lagi, orang tidak tahu kenapa Presiden Gus Dur diturunkan sebelum
waktunya," ungkapnya.

Pelurusan sejarah ini, kata Luhut, dapat dilakukan melalui penelitian yang dibukukan. Luhut pun
bersedia untuk memberikan testimoni mengenai peristiwa tersebut.

"Sekarang mungkin bisa saja buat satu penelitian untuk itu. Saya pikir saya siap untuk dukung
itu," katanya.

Yenny: Gus Dur Lengser Bukan karena Kasus Korupsi


Aditya Revianur

Kompas.com - 29/11/2012, 15:21 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Putri Presiden ke-4 RI, Almarhum KH Abdurahman Wahid atau
Gus Dur, Yenny Wahid, mengatakan bahwa permintaan maaf politikus Partai Demokrat, Sutan
Bhatoegana, dimaksudkan untuk meluruskan sejarah. Seperti diketahui, pernyataan Sutan yang
menyebutkan  Gus Dur dilengserkan dari jabatannya karena skandal kasus Buloggate dan
Bruneigate. Menurut Yenny, alasan pelengseran Gus Dur bukan seperti yang diungkapkan Sutan.

"Kami keluarga Wahid dan nahdliyin menerima permintaan maaf Beliau (Sutan). Momen ini
sekaligus buat pelurusan sejarah bahwa Gus Dur diturunkan bukan karena kasus korupsi,
melainkan karena ketegangan antara DPR/MPR dan pemerintah saat itu," kata Yenny di
kediaman Gus Dur, Ciganjur, Jakarta, Kamis (29/11/2012).

Yenny mengatakan, ketegangan antara lembaga legislatif dan eksekutif saat itu karena pergantian
kepala Polri. Saat itu, Gus Dur mengganti Kapolri Jenderal (Pol) R Suroyo Bimantoro dengan
Jenderal (Pol) Chairudin Ismail tanpa sepengetahuan legislatif. Menurut Yenny, hal itu membuat
legislatif naik pitam.

"Itu karena Gus Dur tidak berkonsultasi dengan mereka (legislatif). Jadi bukan karena kasus
korupsi," tuturnya.

Akan tetapi, ia menyatakan apresiasi atas langkah yang dilakukan Sutan berkat inisiatif Ketua
Umum DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum. Pernyataan Sutan, dipahaminya merupakan
pernyataan individu, dan tidak mewakili partai.

"Pernyataan antara Pak Sutan dan Partai Demokrat ini harus dipisahkan. Keluarga mengimbau
pendukung dan pencinta Gus Dur untuk menyikapinya dengan dewasa. Pasalnya, ada itikad baik
(petinggi Partai Demokrat) untuk datang langsung ke sini," kata Yenny. 

Ia pun menganggap polemik ini berakhir dengan adanya permintaan maaf dari Sutan. 

Seperti diberitakan sebelumnya, Sutan Bhatoegana akhirnya meminta maaf kepada keluarga
besar Nahdlatul Ulama (NU) terkait pernyataannya, yang dianggap menghina Almarhum
Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Dalam sebuah diskusi, Sutan menyebutkan bahwa Gus Dur,
Presiden ke-4 RI, lengser karena skandal korupsi Buloggate dan Bruneigate. Pernyataan ini
mengundang kemarahan dari kalangan nahdliyin dan pengagum Gus Dur. Sutan pun dituntut
untuk meminta maaf.

"Jika ada yang kurang berkenan, segera saya ralat sekaligus mohon maaf. Semoga ini bisa
berdampak positif agar tidak terjadi ketegangan, terutama agar keluarga besar NU dan Partai
Demokrat tidak ada gesekan," kata Sutan di kediaman keluarga Gus Dur di Ciganjur, Jakarta
Selatan, Kamis (29/11/2012).

Sutan mengatakan, permintaan maaf baru disampaikannya pada hari ini karena harus
berkonsultasi dengan internal Partai Demokrat. Ia tak ingin ada salah tafsir atas pernyataannya.
"Saya berkata jujur, dibilang salah. Serba salah. Saya diam, dibilang sombong. Makanya saya
konsultasi dulu," katanya.
JAKARTA] Sejumlah tokoh berkomitmen meluruskan sejarah lengsernya KH Abdurrahman
Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur sebagai Presiden RI pada 2001 lalu. Termasuk Mahfud
MD, Rizal Ramli, dan Luhut Binsar Panjaitan yang sempat menjadi menteri saat Gus Dur
berkuasa.

Komitmen meluruskan sejarah lengsernya Gus Dur ini disampaikan para tokoh tersebut saat
menghadiri peringatan haul wafatnya Gur Dur di kediaman Mahfud MD, di Jakarta, pada Senin
(11/1) malam.

Luhut yang kini menjabat sebagai Menko Polhukam mengaku sudah berbicara dengan Mahfud
MD untuk meluruskan sejarah lengsernya Gus Dur.

"Saya sudah bicara dengan pak Mahfud mungkin tiga atau empat tahun lalu. Perlu kita luruskan
juga sejarah," katanya.

Luhut yang menjabat Menteri Perindustrian dan Perdagangan di era Gus Dur menegaskan,
pemakzulan terhadap Gus Dur bukan disebabkan persoalan hukum kasus Brunei dan Bulog
seperti yang dituduhkan selama ini. Hal itu terbukti dengan putusan pengadilan.

Selain itu, tidak ada konstitusi yang dilanggar oleh Gus Dur. Menurut Luhut, lengsernya Gus
Dur lebih kepada persoalan politik saat itu.

"Saya lihat tidak ada aspek korupsi karena pengadilan sudah memutuskan tidak. Beliau juga
tidak melanggar konstitusi. Nah oleh karena itu, saya lihat pelengseran itu menyangkut masalah
politik," jelasnya.

Menurut Luhut, sejarah ini harus diluruskan agar tidak terjadi simpang siur di masa depan terkait
diturunkannya Gus Dur sebagai Presiden sebelum masa jabatannya berakhir.

"Ini perlu diluruskan ke depan dalam sejarah kita. Sehingga jangan sampai di kemudian hari
sekian puluh tahun lagi, orang tidak tahu kenapa Presiden Gus Dur diturunkan sebelum
waktunya," ungkapnya.

Pelurusan sejarah ini, kata Luhut, dapat dilakukan melalui penelitian yang dibukukan. Luhut pun
bersedia untuk memberikan testimoni mengenai peristiwa tersebut.

"Sekarang mungkin bisa saja buat satu penelitian untuk itu. Saya pikir saya siap untuk dukung
itu," katanya.

Hal senada dikatakan Rizal Ramli yang menjabat sebagai Menko Perekonomian di era Presiden
Gus Dur. Rizal menyatakan dengan tegas Gus Dur dilengserkan secara tidak adil. Hal ini
lantaran tidak ada pelanggaran hukum, dan konstitusi yang dilakukan oleh Gus Dur.

"Beliau (Gus Dur) sama sekali tidak terlibat kasus korupsi. Bahkan orang yang menyebut Gus
Dur korupsi sebenarnya pernah dipecat oleh Gus Dur. Dia (Gus Dur) tidak melakukan
pelanggaran konstitusi," kata Rizal.
Rizal menyatakan, kasus Bulog tak ada kaitannya dengan Gus Dur. Dalam kasus ini, nama Gus
Dur disalahgunakan oleh seorang tukang pijatnya bernama Soewondo yang berkomplot dengan
Wakil Kepala Bulog ketika itu, Sapuan untuk membobol dana Yayasan Dana Bina Sejahtera
Karyawan Badan Urusan Logistik (Yanatera) senilai Rp 35 miliar. Sapuan ingin menggunakan
dana Yayasan Yanatera untuk melobi agar terpilih sebagai Kepala Bulog.

"Nyatanya yang terpilih (sebagai Kepala Bulog) bukan yang bersangkutan (Sapuan), tapi Rizal
Ramli. Jadi banyak sekali character assasination (pembunuhan karakter) Gus Dur. Buktinya
keluarganya hidup sederhana enggak ada wah-wahnya dan hebat-hebatnya setelah beliau (Gus
Dur) tidak jadi presiden," ungkapnya.

Rizal yang kini menjabat sebagai Menko Maritim dan Sumber Daya menyatakan, lengsernya
Gus Dur merupakan konspirasi dari elite politik yang terganggu dengan cara berpikir dan
perubahan-perubahan yang dilakukan oleh cucu pendiri Nahdhatul Ulama (NU), KH Hasyim
Asyari tersebut. Untuk itu, Rizal mendukung jika nama Gus Dur direhabilitasi. 

"Kami akan bersama-sama dengan pak Mahfud MD dan teman-teman Gusdurian untuk
memperjuangkan merehabilitasi nama Gus Dur," tegasnya.

Dukungan agar sejarah lengsernya Gus Dur diluruskan pun disampaikan oleh tokoh senior Akbar
Tandjung. Dengan penelitian yang komprehensif mengenai peristiwa lengsernya Gus Dur, Akbar
berharap peristiwa ini tidak lagi diperdebatkan di kemudian hari.

"Baik betul kalau seandainya ada satu penelitian yang memberikan bukti-bukti cukup valid dan
bisa dipertanggungjawabkan secara historis, akademis, hukum dan lain-lain bahwa apa yang
dilakukan Gus Dur satu risiko dalam berpolitik. Pada akhirnya tidak lagi mengangkat soal-soal
itu," katanya.

Awal Konflik

Akbar yang ketika Gus Dur lengser menjabat sebagai Ketua DPR dan Ketua Golkar menuturkan,
konflik antara DPR dan Gus Dur bermula dari langkah Gus Dur memecat Menteri Perindustrian
dan Perdagangan, Jusuf Kalla dan Menteri Negara BUMN, Laksamana Sukardi.

Pemecatan terhadap Jusuf Kalla yang merupakan kader Partai Golkar serta Laksamana yang
diketahui politisi PDIP membuat Gus Dur harus berhadapan dengan dua kekuatan politik besar
di DPR.

"Inilah awal terjadinya konflik dan bahkan polarisasi antara Gus Dur dan orang-orang yang ada
di DPR. Awal terjadinya konflik yang bermuara pada terjadinya katakanlah Gus Dur berhenti
sebagai presiden," tutur Akbar.

Konflik antara Gus Dur dan DPR, tambah Akbar, semakin mengerucut saat Gus Dur
menerbitkan dekrit tentang pembubaran MPR/DPR serta pembekuan Partai Golkar.
"Sehingga kemudian semakin eskalatif konfliknya. Apalagi saya sebagai Ketua DPR dan Ketum
Golkar tentu saya melakukan reaksi keras terhadap keputusan itu. Kalau seandainya Gus Dur itu
pada waktu itu hanya membekukan Golkar mungkin reaksi dari DPR tidak sebesar itu," katanya.

Meski sempat bereaksi keras, Akbar mengaku menaruh hormat pada Gus Dur. Apalagi Gus Dur
tidak pernah menyalahkan Akbar maupun elite politik lainnya dalam peristiwa pelengseran
tersebut.

"Di atas itu semua, saya betul-betul respek dan hormat. Tidak ada sedikitpun pernyataan beliau
(Gus Dur) yang menyalahkan kami waktu itu yang bereaksi begitu keras," katanya.

Sementara itu, Mahfud MD menyatakan, secara yuridis penjatuhan Gus Dur tidak sah. Hal ini
lantaran Gus Dur tidak pernah diberi memorandum 1 dan 2 untuk kasus yang sama.
Memorandum 1 yang dilayangkan DPR pada 1 Februari untuk kasus Brunei, sementara
memorandum 2 untuk kasus Bulog.

Selain itu, jika mengikuti prosedur, setelah memorandum 1 dan memorandum 2 dilayangkan
DPR, Sidang Istimewa MPR seharusnya dijadwalkan pada 1 Agustus.

Nyatanya, Gus Dur dilengserkan pada 23 Juli dengan alasan memecat Jenderal Bimantoro
sebagai Kapolri dan menggantikannya dengan Jenderal Chairudin Ismail tanpa persetujuan DPR.

Selain itu, berdasar TAP MPR Nomor 3 tahun 1978 yang berlaku saat itu, untuk menjatuhkan
presiden seluruh fraksi harus hadir dalam sidang.

"Pada waktu itu penjatuhan Gus Dur tidak hadir seluruhnya. Karena PKB dan PDKB tidak hadir.
Jadi secara yuridis tidak terpenuhi semua," paparnya.

Untuk meluruskan sejarah lengsernya Gus Dur ini, Mahfud menyatakan, pihaknya akan
melakukan penelitian secara komprehensif dan mempublikasikannya kepada publik.

Menurut Mahfud, penjatuhan Gus Dur yang tanpa alasan hukum itu memberi inspirasi agar
presiden-presiden berikutnya tidak dapat dijatuhkan dengan mudah.

"Kalau mau dijatuhkan harus pakai proses hukum. Itulah sebabnya kita membentuk MK pada
tahun 2003," katanya.

Sementara itu, Yenny Wahid, salah seorang putri Almarhum Gus Dur mengimbau pihak-pihak
yang mengerti tentang fakta yang terjadi untuk meluruskan proses pemakzulan Gus Dur itu.
Menurutnya, pelurusan sejarah ini dapat dilakukan dengan penelitian dan penerbitan buku.

"Dalam kesempatan ini kita minta pak Mahfud, pak Luhut, pak Rizal kan terlibat untuk mau
memberikan testimoni mengenai peristiwa yang terjadi," katanya. [F-5/L-8]
SBY

JAKARTA, KOMPAS.com — Sekjen Partai Demokrat Hinca Panjaitan membalas bantahan


Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto yang menyinggung pemerintahan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) dalam kasus korupsi e-KTP. Ia menganggap aneh pernyataan Hasto
menyusul apa yang disampaikan oleh terdakwa korupsi e-KTP, Setya Novanto, di persidangan
yang menyebut kader PDI-P, Puan Maharani dan Pramono Anung, sebagai pihak yang menerima
dana korupsi e-KTP. Sebab, pernyataan Hasto justru menyalahkan pemerintahan ketua
umumnya, yakni SBY. "Aneh dan menggelikan. Sulit dipercaya pernyataan itu keluar dari
sebuah partai politik yang tengah berkuasa sekarang ini karena argumentasinya dangkal, lemah,
dan mengada-ada," kata Hinca melalui keterangan tertulis, Jumat (23/3/2018). (Baca juga:
Bantah Novanto, PDI-P Klaim Puan dan Pramono Tak Terima Uang E-KTP) Hinca meminta
Hasto tak mengaitkan korupsi e-KTP dengan Partai Demokrat dan SBY karena tindak pidana
tersebut merupakan perilaku perorangan, bukan rezim pemerintah atau partai. Ia pun menilai
pernyataan Hasto seolah menunjukkan partai oposisi dipastikan tidak korupsi. Pendapat itu
menurut Hinca keliru lantaran korupsi tak mengenal oposisi dan koalisi karena semua politisi
bisa melakukannya. Ia menyadari PDI-P berupaya melindungi kadernya yang disebut-sebut
menerima aliran dana korupsi, tetapi ia meminta hal itu tak dilakukan secara membabi buta.
"Apalagi, jika dengan menggunakan tangan-tangan kekuasaan menghalang-halangi penegakan
hukum yang sedang dilakukan oleh para penegak hukum," katanya. Ia pun menilai, bantahan
Hasto salah alamat karena yang menyebut nama Puan dan Pramono bukan kader Demokrat,
melainkan Novanto. Karena itu, menurut Hinca, sebaiknya Hasto fokus membantah Novanto,
bukan malah menuduh SBY dan Demokrat. "Kalau membantah dan mengatakan kadernya tidak
terlibat, bantahannya harusnya kepada Setya Novanto dan KPK. Majelis hakimlah yang akan
memutuskan dalam persidangan yang sah dan akuntabel pada saatnya nanti," sambung Hinca.
(Baca juga: Berita Populer: Novanto Tuding Puan dan Pramono Terima Uang E-KTP dan Kisah
Nyak Sandang) Ia pun membantah proyek e-KTP sebagai proyek gagal. Menurut dia, proyek e-
KTP merupakan amanah undang-undang yang telah disetujui pemerintan dan DPR. Hinca
menambahkan, yang salah bukan proyeknya, melainkan oknum yang mengorup proyek tersebut.
"Program e-KTP tidak salah. Oknum-oknum anggota DPR dan pemerintah atau siapa pun yang
melakukan korupsi sebagian dana e-KTP itulah yang salah," ucap Hinca. "Baik apakah pelaku
tindak pidana korupsi e-KTP itu bagian dari pendukung pemerintah maupun pada pihak yang
beroposisi, di hadapan hukum keduanya sama," lanjutnya. Hasto dalam bantahannya atas
keterlibatan Puan dan Pramono di korupsi e-KTP mengatakan, saat proyek itu dijalankan, PDI-P
sebagai oposisi dan tidak memiliki menteri di pemerintahan sehingga tidak ikut mendesain.
Karena itu, ia merasa saat ini seolah ada upaya menyudutkan PDI-P melalui kasus tersebut.
(Baca juga: Diminta PDI-P Jelaskan soal Proyek E-KTP, Ini Kata Gamawan Fauzi) PDI-P, lanjut
Hasto, berpendapat bahwa Menteri Dalam Negeri saat Itu, Gamawan Fauzi, seharusnya
memberikan jawaban secara gamblang terkait akar persoalan korupsi e-KTP. “Itu bagian
tanggung jawab moral politik kepada rakyat. Mengapa? Sebab, pemerintahan tersebut pada awal
kampanyenya menjanjikan 'katakan tidak pada korupsi' dan hasilnya begitu banyak kasus korupsi
yang terjadi," ujar Hasto. "Tentu rakyatlah yang akan menilai akar dari persoalan korupsi
tersebut, termasuk e-KTP," katanya

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "PDI-P Sebut Korupsi E-KTP Tanggung
Jawab Pemerintahan SBY, Ini Tanggapan Demokrat",
https://nasional.kompas.com/read/2018/03/23/11211261/pdi-p-sebut-korupsi-e-ktp-tanggung-
jawab-pemerintahan-sby-ini-tanggapan.
Penulis : Rakhmat Nur Hakim
Editor : Diamanty Meiliana

"Jihad" dan "perang" jadi kata kunci SBY dalam pidato di Kantor DPP Demokrat, Jakarta,
Selasa (6/2) dalam rangka memperbaiki citranya yang rusak karena tuduhan di sidang kasus
korupsi KTP elektronik (e-KTP).

tirto.id - Presiden ke-6 Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono berpidato panjang lebar di
hadapan para kader Partai Demokrat dan awak media di Kantor DPP Demokrat, Jakarta, Selasa
(6/2). Ia berdiri dengan ditemani Edhie Baskoro Yudhoyono, Agus Harimurti Yudhoyono, dan
sang istri Kristiani Herrawati.

Sejumlah kata kunci keluar dari pidato dengan durasi 30-an menit itu.

"Saya akan jihad. Jihad untuk mencari keadilan."

"Apa jihad saya akan berhasil? Saya bisa kalah, kalau yang saya hadapi itu konspirasi besar yang
punya kekuatan. Bagian dari kekuasaan atau kekuatan uang."

"Ini perang saya."

"Yang penting bantu saya dengan doa, mohon pada Allah. Saya diberi kekuatan dan pertolongan
Allah."

Baca juga:

 SBY: Tak Pernah Saya Ikut-ikutan Intervensi Proyek E-KTP


 SBY Sebut Tindakan Melaporkan Firman Wijaya sebagai Jihad

Selain kata-kata bernada tegas seperti "perang" dan "jihad", SBY juga menyebut beberapa orang
yang belakangan akrab di telinga karena kerap dibahas di media massa. Dua di antaranya adalah
mantan Kedua DPR dari Golkar Setya Novanto dan mantan anggota DPR dari Demokrat Mirwan
Amir.
Konteks pernyataan SBY ini adalah berpangkal pada sidang kasus korupsi KTP-elektronik pada
Kamis, 24 Januari. Ketika itu, Mirwan Amir, Wakil Ketua Badan Anggaran DPR periode ketika
kasus korupsi KTP-elektronik terjadi pada 2009-2014, bersaksi bahwa ada instruksi langsung
dari SBY agar program pengadaan KTP-elektronik tetap dilanjutkan, meski proyek miliaran
rupiah yang dianggarkan lewat APBN itu bermasalah.

"Pernah saya sampaikan [kepada SBY], bahwa program e-KTP ini lebih baik tidak dilanjutkan,"
kata Mirwan dalam sidang. Pernyataan ini keluar setelah Mirwan dicecar pertanyaan oleh kuasa
hukum terdakwa kasus KTP-elektronik Setya Novanto, Firman Wijaya.

Tuduhan ini kemudian dijawab oleh SBY dengan sederet pertanyaan: "Mirwan Amir, tolong,
dimana, kapan, dan dalam konteks apa menyampaikan ke saya [soal proyek KTP-elektronik].
Siapa yang mendampingi saya? Saya ini tertib. Ada menteri terkait, pejabat terkait."

"Allah juga mendengar ucapan saya ini," lanjutnya.

Baca juga:

 Ramai-ramai Membantah Keterlibatan SBY dalam Kasus Korupsi e-KTP


 Mirwan Amir: SBY Teruskan Proyek e-KTP Meski Tahu Bermasalah

SBY mengatakan bahwa ia tidak pernah mencampuri, atau bahkan mencari keuntungan bagi
dirinya sendiri dalam proyek ini. "Sama sekali tidak benar tuduhan itu. Saya melibatkan diri,
mengatur, atau ikut-ikutan. Tidak."

"Tidak ada conflict of interest saya selama 10 tahun jadi presiden," tambahnya.

Sanggahan ini kemudian diikuti oleh pernyataan-pernyataan bernada keras seperti yang telah
dikutip di atas.

SBY kemudian menghubungkan apa yang dituduhkan kepadanya dengan kemungkinan adanya
"pemain" yang memang sengaja membangun isu. Ia mengatakan ini berdasarkan keterangan
informan yang "layak dipercaya." Menurutnya, menjelang sidang 24 Januari itu, ada pertemuan
yang diduga jadi tempat dimana tuduhan kepada dirinya dirancang.

Katanya: "Informasi ini belum waktunya diketahui publik. Bisa geger nanti."

Selain melawan dengan pidato, SBY juga akan melaporkan orang-orang "yang menghancurkan
dan merusak nama baik saya,"
SBY memang tidak menjelaskan siapa yang akan dilaporkan dalam konteks pidato siang tadi.
Pelaporan akan dilakukan sore ini.

Baca juga:

 Jawaban Setya Novanto Saat Ditanya Soal Sikap SBY di Proyek e-KTP
 SBY akan Laporkan Pengacara Setya Novanto ke Bareskrim Polri

Peneliti Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia Hendri Satrio, mengatakan bahwa
kata-kata yang dipakai SBY untuk melakukan pembelaan sangat mencerminkan bahwa ia
memang ingin publik mendukungnya, atau minimal tidak menuduhnya macam-macam. Kata-
kata seperti "jihad" dan "perang", kata Hendri, adalah upaya SBY agar masyarakat benar-benar
yakin ia tidak terlibat korupsi.

"Dia harus membuat pernyataan yang dekat ke masyarakat. Makanya kata-kata itu yang keluar,"
kata hendri kepada Tirto.

Apa yang dilakukan SBY hari ini sama seperti pidato-pidatonya sebelumnya ketika disudutkan
dengan isu tertentu. Persoalannya itu terlalu sering dilakukan oleh SBY, sehingga pada akhirnya
niat awal untuk membuat masyarakat percaya kepadanya jadi tidak tersampaikan.

"Karena terlalu sering konfirmasi dan pembelaan langsung. Jadi begitu SBY muncul, di benak
masyarakat akan 'ini ngapain sih SBY' sebelum memahami isi yang disampaikan," katanya.

Namun, apapun alasannya sebagai warga negara, SBY tentu punya hak untuk melakukan
klarifikasi terhadap tudingan atau pun melakukan tindakan hukum terhadap apa yang dianggap
merugikannya.

Baca juga artikel terkait KORUPSI E-KTP atau tulisan menarik lainnya Rio Apinino

(tirto.id - Politik)

Reporter: Rio Apinino & Lalu Rahadian


Penulis: Rio Apinino

JOKOWI

Ini Fakta Jokowi Terlibat Korupsi. Masih Mau Pilih Jokowi?

JAKARTA (voa-islam)Kultwit yang dilancarkan akun whistle blower


triomacan2000 mengungkap ada cela tak tak terelakan pada Jokowi, yaitu korupsi.
Rupanya di negeri ini tak hanya ada persaingan antara Mafia The Godfather dan China
Connection, tetapi juga jaringan Jokowi dan kroninya yang selama ini telah menghancurkan
NKRI dan merebut kekuasaan.

Lalu siapa otak budaya korupsi di RI, siapa buronan-buronan BLBI ?

Lihat daftarnya:

1. Siapa konglomerat tionghoa yang kuasai 5 juta hektare lahan di Indonesia ? Prayogo Pangestu.

2. Siapa perampok Rp.52.8 triliun di BCA? Antoni Salim!

3. Siapa pelaku penghancur pasar modal RI jaman Orba dengan laporan keuangan palsu ? James
Riady (Pemilik Lippo Group, anak Muchtar Riady, eks Dirut BCA)

Coba periksa dan teliti latar belakang yang misterius, kita akan temukan fakta-fakta
sebagai berikut :

1) Dari sekian banyak parameter keberhasilan seorang kepala daerah, Jokowi ternyata gagal di
Solo. Tidak sukses sebagai walikota. Dibawah rata-rata.

2) Kemenangan Jokowi 2 kali dlm Pilkada Solo, lebih karena efektifitas opini yang dibangun
oleh timnya. Bukan karena dia sukses membangun Solo.

3) Fakta membuktikan bagaimana kinerja Jokowi sbg walikota raportnya adalah Minus. Bahkan
Wakil Walikota FX Rudytmo yang antek rotary club ini lebih berperan, di DKI Jakarta di
gantikan wakilnya. Secara de fakto, Ahok lah yang menjalankan pemerintahan DKI dan jadi
komandan birokrasi.

Jokowi Pun Ikutan Korupsi rupanya?

1) Jokowi terlibat dalam penggelapan / korupsi dana APBD untuk KONI Surakarta sebesar Rp.
10 miliar. Sebagian di alihkannya ke Persis secara melanggar hukum.

2) Jokowi terlibat korupsi dan suap dalam pelepasan aset pemda Solo, Hotel Maliyawan, dimana
pelepasan aset gedung hotel sarat suap & KKN. Mengenai suap dan korupsi Jokowi serta
pelanggaran UU, PP, Perda, dll.

3) Korupsi Jokowi pada penyaluran dana BPMKS sebesar Rp. 9.9 miliar, dimana laporan
realisasi 110.000 siswa namun faktanya ternyata kurang dari 65.000 siswa Solo.

4) Korupsi Jokowi pada dana hibah Gub Jateng dan dana APBD untuk rehabilitasi dan
pembangunan Pasar di Kota Solo.

5) Korupsi Jokowi pada dana hibah Gub Jateng dan dana APBD untuk rehabilitasi dan
pembangunan Pasar di Kota Solo.
6) Korupsi dan KKN Jokowi pada proyek pengadaan Videotron di Kota Solo.

7) Korupsi dana APBD yang sangat nyata dan terang benderang pada pengadaan mobnas
Esemka sbg Mobil Dinas. Langgar semua aturan/UU/Hukum.

8) Korupsi Jokowi pada dana bantuan program koperasi dan UKM Solo dgn modus koperasi /
UKM fiktif sebagai penerima bantuan dana.

9) Korupsi Jokowi pada proyek rehabilitasi THR Sriwedari Solo yang mengakibatkan proyek
rehabilitasi tersebut macet dan mangkrak selama 2 tahun.

Jumlah kasus korupsi Jokowi di Solo, sedikitnya 14 kasus dan sejumlah kasus suap (dari Imelda,
Lukminto cs), sebagian macet di Kejari Solo, juga diantaranya adalah korupsi Jokowi di proyek
KJS, KJP, MRT, Monorel dalam periode selama blm 1 tahun jadi Gub DKI Jakarta.

Sebelumnya voa-islam mengungkap kejanggalan dalam peningkatan jumlah kekayaan Jokowi


yang katanya tidak pernah menerima dan menerima gajinya, aaah ternyata bullshit ya?

Ini pengakuan Jokowi sendiri mengenai asal usul peningkatan kekayaannya yg mencurigakan
itu.

Pengakuan Jokowi sendiri yang banyak dimuat di media massa. Silahkan cermati, analisa dan
simpulkan sendiri.

1. Keanehan pertama dimulai dari tahun 2005 atau tahun pertama ketika Jokowi jadi
walikota Solo.

Jokowi ngaku punya harta Rp. 10.7 Miliar. Sebagian besar harta tersebut berbentuk tanah dan
bangunan yakni Rp. 8,2 miliar dan kendaraan. Sisanya uang tunai dalam bentuk deposito &
tabungan.

Yang dimaksud Jokowi sebagai tanah dan bangunan sebagian besar adalah asset dari PT.
Rabuka, perusahaan mebel milik Jokowi di Solo. PT Rakabu sebelumnya berbentuk CV,
didirikan sejak 1988 namun sesuai perkembangan usaha berubah menjadi PT. Dgn pasar tujuan
ekspor.

Berbeda dengan tulisan media-media bayaran yang sebutkan PT Rakabu punya karyawan 20.000
org dan omset ratusan miliar, perusahaan jokowi ini UKMK. Sesuai data laporan keuangan PT.
Rakabu, perusahaan milik Jokowi ini omsetnya sebesar Rp. 6.085.522.695 (2008), Rp.
5.767.238.401(2009) dan Rp. 6.1 miliar pada tahun 2010. Itu baru omset. Laba tentu lebih kecil
karena dari omset harus dikurangi biaya produksi, pajak dll.

Ini juga Sesuai pengakuan Jokowi juga, PT. Rakabu yang dikelola adiknya itu selama beberapa
tahun terakhir tidak memberikan dividen yg besar. Pada tahun 2008 atau 3 tahun setelah jadi
walikota, kekayaan jokowi meningkat menjadi Rp. 14 milyar dan naik lagi jadi Rp. 18 milyar
pada 2010.
Kemudian pada tahun 2012 harta Jokowi naik lagi menjadi Rp. 27.2 milyar atau naik 9 milyar
hanya dalam waktu 2 tahun !

Lanjut lagi dari mulut Jokowi sendiri, disebutkan peningkatan hartanya itu tidak berasal dari
pendapatan di luar jabatannya sebagai walikota Solo. Lalu dari mana mas bro joko? Jokowi
beralasan bahwa kenaikan harta kekayaannya akibat kenaikan NJOP tanah dan bangunan yang
secara volume dan luas tidak bertambah. ANEEEHHH Bin AJAIB..

Ini dengan kata lain, Jokowi menyebutkan kekayaannya dalam bentuk tanah dan bangunan yg
thn 2005 hanya Rp. 8 milyar, tahun 2012 naik jadi Rp 23 milyar. Dimana tanah dan bangunan
yang bisa naik 300% nilainya atau NJOP nya hanya dalam waktu 7 tahun ? Di Mannhatan ? Di
Tokyo ? Di Hollywood ? Tanah Jokowi yg 30 bidang itu katanya terletak di Sukoharjo, Sragen,
Solo dan balikpapan. Tidak bertambah luasnya tapi naik harga 300%.

Silahkan di bedah dan analisa sendiri pernyataan-pernyataan Jokowi saat pelaporan LKHPN
tahun 2005, 2008, 2010 dan 2012. Banyak di media-media. Penuh keanehan?

2. Keanehan lain atau kebohongan lain dari Jokowi adalah bhw dia tegaskan bahwa dia
tidak pernah ambil gajinya..faktanya ?

Tapi Faktanya adalah kekayaan jokowi selama setahun sebesar Rp 161.455.644 yang berasal dari
gaji dan tunjangan jabatan walikota Solo. Pendapatan lain yg dicatat Jokowi sebesar Rp
561.644.000 dari dividen PT. Rakabu. Jokowi tdk catat pendapatan lain diluar dua sumber itu.
Ketika ditanya kenapa ada kekayaan yg bersumber dari gaji & jabatan walikota 161 juta sedang
jokowi ngaku ambil gaji ? Jawabannya ngawur.

Dengan asal-asalan Jokowi menjawab bahwa dia hanya teken gaji saja. Ga ada ngambil sama
sekali. Ya iyalaaah, wong gajinya ditransfer (^_^ hedeeeh tepok jidat). Ketika terpojok karena
bohongnya ketahuan, Jokowi ngeles bahwa pengeluarannya setahun mencapai 570 juta.(Sekali
lagi tepok jidat pake galon air mineral ^_^)

Sekali lagi si Jokowi ngawur karena pengeluaran/ uang yang dia keluarkan 570 juta tentu tidak
masuk dalam harta kekayaaan. Bodoh atau pura-pura bodoh? Dari keterangan Jokowi sendiri,
lisan dan tertulis, terbukti Jokowi itu seorang pendusta.

1. Tentang kenaikan hartanya yg 300% krna NJOP.

2. Tentang gaji dan tunjangannya yang tdk dia ambil melaikan dia sumbangkan semuanya ke
rakyat miskin. Inilah potret jokowi glembuk.

Ini orang memang jago memutarbalikan fakta. Jago menipu dan tidak pernah merasa bersalah
atau berdosa atas penipuannya itu. Lihat saja bagaimana dia menipu rakyat dengan
kebanggaannya ketika dia dinobatkan jadi walikota terbaik versi lembaga abal-abal dengan
pemilih abal-abal pula. [muhammad/tm2/voa-islam.com]

Perang Antara Mafia Cina Vs The Godfather:


The Godfather(1): Sibak Topeng SBY 'Sang Jenderal Prihatin'

The Godfather(2): Membungkam Lawan dgn isu Korupsi & Terorisme 

The Godfather (3): SBY Galau Menjadi Teman Dekat Bunda Puteri?

The Godfather (4): Siapa Bunda Putri & Apa Hubungan Dgn Dinasti SBY ? 

The Godfather(5): Perang Para Pemilik Dinasti Kekuasaan Indonesia

The Godfather(6): Bakar Gedung, Habisi Dokumen Century & Hambalang 

The Godfather(7) : Istana Presiden Dikendalikan Para Broker?

The Godfather(8) : Antasari Azhar Jilid 2 Tutupi Kasus Hambalang?  

The Godfather(9): Jangankan Rakyat, Tuhan Pun Kau Tipu!

The Godfather (10): Konser NOAH 2 Benua 5 Negara Dari Dana Hambalang?

21 Mei 1998, Presiden Soeharto mengumumkan pengunduran diri di Istana Merdeka, Jakarta.
Dia digantikan wakilnya, BJ Habibie, yang saat itu juga diambil sumpah sebagai presiden. Inilah
pertemuan terakhir mereka.

Habibie kemudian sempat berbicara melalui telepon pada 9 Juni 1998, sehari setelah Soeharto
ulang tahun ke-77. Selain mengucapkan selamat hari jadi, Habibie juga minta bertemu, namun
Soeharto menolaknya.

“Tidak menguntungkan bagi keadaan sekarang, jikalau saya bertemu dengan Habibie.
Laksanakan tugasmu dengan baik, saya hanya dapat melaksanakan tugas sampai di sini saja.
Saya sudah tua,” kata Soeharto.

Sejak itu, Soeharto tak pernah mau bertemu dengan Habibie.

“Sampai saat berakhirnya tugas saya sebagai presiden, walaupun saya selalu berusaha lewat
berbagai jalur, saya tidak pernah berhasil bersilaturahim dengan Pak Harto, baik lewat telepon,
apalagi bertemu langsung,” kata Habibie dalam Detik-detik yang Menentukan.

Habibie menilai sikap Soeharto itu misterius. “Saya yakin Pak Harto mempunyai alasan
tersendiri, dan mungkin beranggapan sebaiknya saya tidak mengetahuinya. Saya ikhlas
kalau memang begitu kehendak Pak Harto…Dan sejarah jualah nanti yang akan mengungkap
teka-teki kemisteriusan ini,” kata Habibie.
Pada 2010, Probosutedjo, adik Soeharto, menerbitkan memoarnya, Saya dan Mas Harto, karya
Alberthiene Endah. Di dalamnya, dia mengungkap alasan mengapa Soeharto tidak mau bertemu
dengan Habibie.

Menurut Probosutedjo, pada malam 19 Mei, Habibie bertemu Soeharto membicarakan


perkembangan situasi yang sedang terjadi. Dia menyatakan tidak sanggup menjadi presiden jika
Soeharto mundur. Namun, setelah 14 menteri mengundurkan diri pada malam 20 Mei, Habibie
menyatakan sanggup menjadi pengganti Soeharto.

“Mas Harto sangat terkejut…Ini membuat kakak saya menjadi sangat kecewa. Hari itu juga dia
memutuskan untuk tidak menegur atau berbicara dengan Habibie. Kabarnya, malam itu Habibie
menghubungi Mas Harto lewat telepon, tapi Mas Harto enggan bicara,” kata Probosutedjo.

Kekecewaan kedua Soeharto kepada Habibie adalah menyangkut keputusan Habibie


memberikan referendum kepada Timor Timur yang akhirnya lepas dari Indonesia. “Mas Harto
benar-benar terkejut. Dia duduk tegang dengan wajah kaku. Sorot matanya menunjukkan
kemarahan yang amat sangat,” kata Probosutedjo.

Probosutedjo ingat perkataan Soeharto: “Bagaimana dia bisa memutuskan ini! Dia tahu
pengorbanan Indonesia yang sangat besar untuk Timor Timur!”

“Keputusan Habibie pada Timor Timur semakin memperlebar jarak antara Mas Harto dan
Habibie,” kata Probosutedjo.

Kekecewaan ketiga adalah Habibie menyetujui pengusutan kasus korupsi yang dilakukan
Soeharto selama berkuasa. Setelah berkonsultasi dengan para pakar hukum, Habibie
memutuskan “demi tegaknya hukum dan keadilan, siapa pun yang bersalah harus dikatakan
bersalah, dan siapa pun yang benar harus dikatakan benar.”

Perintah mengusut mantan Presiden Soeharto ditetapkan dalam Ketetapan MPR No.
XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme (KKN).

“Baginya itu adalah sebuah penghinaan besar," kata Probosutedjo. "Pengadilan terhadap Mas


Harto terus dilakukan, dan Habibie membiarkan itu terjadi."

Soeharto satu kali dimintai keterangan oleh Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Sejumlah saksi juga
telah diperiksa. Namun, Soeharto terkena stroke dan dirawat di RS Pertamina.

Ketika Habibie akan menjenguk Soeharto, Tim Dokter Kepresidenan melarangnya.

“Menurut mereka ada dua kemungkinan jika saya menjenguknya, yaitu Pak Harto senang atau
marah, dan keduanya akan mengakibatkan gejolak emosi yang dapat meningkatkan pendarahan
otak yang berakibat fatal,” kata Habibie.
Setelah menerima laporan dari Kejaksaan Agung dan Tim Dokter Kepresidenan, Habibie
mengajukan agar kasus Soeharto dideponir (ditutup dan tidak dapat dibuka lagi).

“Permintaan saya didiskusikan secara luas, profesional, dan mendalam,” kata Habibie. “Hasilnya
adalah semua berkesimpulan agar masalah Pak Harto diselesaikan dengan mengeluarkan Surat
Perintah Penghentian Penyelidikan atau SP3 oleh Jaksa Agung.”

Sehari setelah dilantik, Habibie mengumumkan 'Kabinet Reformasi Pembangunan'

Masa Kepresidenan

Pelantikan Presiden B.J. Habibie pada tanggal 21 Mei 1998

Habibie mewarisi kondisi keadaan negara kacau balau pasca pengunduran diri Soeharto pada
masa orde baru, sehingga menimbulkan maraknya kerusuhan dan disintegerasi hampir seluruh
wilayah Indonesia. Segera setelah memperoleh kekuasaan Presiden Habibie segera membentuk
sebuah kabinet. Salah satu tugas pentingnya adalah kembali mendapatkan dukungan dari Dana
Moneter Internasional dan komunitas negara-negara donor untuk program pemulihan ekonomi.
Dia juga membebaskan para tahanan politik dan mengurangi kontrol pada kebebasan
berpendapat dan kegiatan organisasi.

Pada era pemerintahannya yang singkat ia berhasil memberikan landasan kukuh bagi Indonesia,
pada eranya dilahirkan UU Anti Monopoli atau UU Persaingan Sehat, perubahan UU Partai
Politik dan yang paling penting adalah UU otonomi daerah. Melalui penerapan UU otonomi
daerah inilah gejolak disintegrasi yang diwarisi sejak era Orde Baru berhasil diredam dan
akhirnya dituntaskan di era presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tanpa adanya UU otonomi
daerah bisa dipastikan Indonesia akan mengalami nasib sama seperti Uni Soviet dan Yugoslavia.

Pengangkatan B.J. Habibie sebagai Presiden menimbulkan berbagai macam kontroversi bagi
masyarakat Indonesia. Pihak yang pro menganggap pengangkatan Habibie sudah konstitusional.
Hal itu sesuai dengan ketentuan pasal 8 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa "bila Presiden
mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia diganti
oleh Wakil Presiden sampai habis waktunya". Sedangkan pihak yang kontra menganggap bahwa
pengangkatan B.J. Habibie dianggap tidak konstitusional. Hal ini bertentangan dengan ketentuan
pasal 9 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa "sebelum presiden memangku jabatan maka
presiden harus mengucapkan sumpah atau janji di depan MPR atau DPR".

Langkah-langkah yang dilakukan BJ Habibie di bidang politik adalah:

 Memberi kebebasan pada rakyat untuk menyalurkan aspirasinya sehingga banyak


bermunculan partai-partai politik baru yakni sebanyak 48 partai politik
 Membebaskan narapidana politik (napol) seperti Sri Bintang Pamungkas (mantan
anggota DPR yang masuk penjara karena mengkritik Presiden Soeharto) dan Muchtar
Pakpahan (pemimpin buruh yang dijatuhi hukuman karena dituduh memicu kerusuhan di
Medan tahun 1994)
 Mencabut larangan berdirinya serikat-serikat buruh independen
 Membentuk tiga undang-undang yang demokratis yaitu :

1. UU No. 2 tahun 1999 tentang Partai Politik


2. UU No. 3 tahun 1999 tentang Pemilu
3. UU No. 4 tahun 1999 tentang Susunan Kedudukan DPR/MPR

 Menetapkan 12 Ketetapan MPR dan ada 4 ketetapan yang mencerminkan jawaban dari
tuntutan reformasi yaitu :

1. Tap MPR No. VIII/MPR/1998, tentang pencabutan Tap No. IV/MPR/1983 tentang
Referendum
2. Tap MPR No. XVIII/MPR/1998, tentang pencabutan Tap MPR No. II/MPR/1978 tentang
Pancasila sebagai asas tunggal
3. Tap MPR No. XII/MPR/1998, tentang pencabutan Tap MPR No. V/MPR/1978 tentang
Presiden mendapat mandat dari MPR untuk memiliki hak-hak dan Kebijakan di luar batas
perundang-undangan
4. Tap MPR No. XIII/MPR/1998, tentang Pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil
Presiden maksimal hanya dua kali periode.

12 Ketetapan MPR antara lain :

1. Tap MPR No. X/MPR/1998, tentang pokok-pokok reformasi pembangunan dalam rangka
penyelematan dan normalisasi kehidupan nasional sebagai haluan negara
2. Tap MPR No. XI/MPR/1998, tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas
korupsi, kolusi, dan nepotisme
3. Tap MPR No. XIII/MPR/1998, tentang pembatasan masa jabatan presiden dan wakil
presiden Republik Indonesia
4. Tap MPR No. XV/MPR/1998, tentang penyelenggaraan Otonomi daerah
5. Tap MPR No. XVI/MPR/1998, tentang politik ekonomi dalam rangka demokrasi
ekonomi
6. Tap MPR No. XVII/MPR/1998, tentang Hak Asasi Manusia (HAM)
7. Tap MPR No. VII/MPR/1998, tentang perubahan dan tambahan atas Tap MPR No.
I/MPR/1998 tentang peraturan tata tertib MPR
8. Tap MPR No. XIV/MPR/1998, tentang Pemilihan Umum
9. Tap MPR No. III/V/MPR/1998, tentang referendum
10. Tap MPR No. IX/MPR/1998, tentang GBHN
11. Tap MPR No. XII/MPR/1998, tentang pemberian tugas dan wewenang khusus kepada
Presiden/mandataris MPR dalam rangka menyukseskan dan pengamanan pembangunan
nasional sebagai pengamalan Pancasila
12. Tap MPR No. XVIII/MPR/1998, tentang pencabutan Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (P4)

Di bidang ekonomi, ia berhasil memotong nilai tukar rupiah terhadap dollar masih berkisar
antara Rp 10.000 – Rp 15.000. Namun pada akhir pemerintahannya, terutama setelah
pertanggungjawabannya ditolak MPR, nilai tukar rupiah meroket naik pada level Rp 6500 per
dolar AS nilai yang tidak akan pernah dicapai lagi di era pemerintahan selanjutnya. Selain itu, ia
juga memulai menerapkan independensi Bank Indonesia agar lebih fokus mengurusi
perekonomian. Untuk menyelesaikan krisis moneter dan perbaikan ekonomi Indonesia, BJ
Habibie melakukan langkah-langkah sebagai berikut :

 Melakukan restrukturisasi dan rekapitulasi perbankan melalui pembentukan BPPN dan


unit Pengelola Aset Negara
 Melikuidasi beberapa bank yang bermasalah
 Menaikkan nilai tukar rupiah terhadap dolar hingga di bawah Rp. 10.000,00
 Membentuk lembaga pemantau dan penyelesaian masalah utang luar negeri
 Mengimplementasikan reformasi ekonomi yang disyaratkan IMF
 Mengesahkan UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan
yang Tidak Sehat
 Mengesahkan UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Menurut pihak oposisi, salah satu kesalahan terbesar yang ia lakukan saat menjabat sebagai
Presiden ialah memperbolehkan diadakannya referendum provinsi Timor Timur (sekarang Timor
Leste). Ia mengajukan hal yang cukup menggemparkan publik saat itu, yaitu mengadakan jajak
pendapat bagi warga Timor Timur untuk memilih merdeka atau masih tetap menjadi bagian dari
Indonesia. Pada masa kepresidenannya, Timor Timur lepas dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan menjadi negara terpisah yang berdaulat pada tanggal 30 Agustus 1999.

Kasus inilah yang mendorong pihak oposisi yang tidak puas dengan latar belakang Habibie
semakin giat menjatuhkannya. Upaya ini akhirnya berhasil saat Sidang Umum 1999, ia
memutuskan untuk tidak mencalonkan diri lagi setelah laporan pertanggungjawabannya ditolak
oleh MPR.

Pandangan terhadap pemerintahan Habibie pada era awal reformasi cenderung bersifat negatif,
tapi sejalan dengan perkembangan waktu banyak yang menilai positif pemerintahan Habibie.
Salah satu pandangan positif itu dikemukan oleh L. Misbah Hidayat dalam bukunya Reformasi
Administrasi: Kajian Komparatif Pemerintahan Tiga Presiden.[6]

“ Visi, misi dan kepemimpinan presiden Habibie dalam menjalankan agenda reformasi
memang tidak bisa dilepaskan dari pengalaman hidupnya. Setiap keputusan yang ”
diambil didasarkan pada faktor-faktor yang bisa diukur. Maka tidak heran tiap kebijakan
yang diambil kadangkala membuat orang terkaget-kaget dan tidak mengerti. Bahkan
sebagian kalangan menganggap Habibie apolitis dan tidak berperasaan. Pola
kepemimpinan Habibie seperti itu dapat dimaklumi mengingat latar belakang
pendidikannya sebagai doktor di bidang konstruksi pesawat terbang. Berkaitan dengan
semangat demokratisasi, Habibie telah melakukan perubahan dengan membangun
pemerintahan yang transparan dan dialogis. Prinsip demokrasi juga diterapkan dalam
kebijakan ekonomi yang disertai penegakan hukum dan ditujukan untuk kesejahteraan
rakyat. Dalam mengelola kegiatan kabinet sehari-haripun, Habibie melakukan
perubahan besar. Ia meningkatkan koordinasi dan menghapus egosentisme sekotral
antarmenteri. Selain itu sejumlah kreativitas mewarnai gaya kepemimpinan Habibie
dalam menangani masalah bangsa.[7] Untuk mengatasi persoalan ekonomi, misalnya, ia
mengangkat pengusaha menjadi utusan khusus. Dan pengusaha itu sendiri yang
menanggung biayanya. Tugas tersebut sangat penting, karena salah satu kelemahan
pemerintah adalah kurang menjelaskan keadaan Indonesia yang sesungguhnya pada
masyarakat internasional. Sementara itu pers, khususnya pers asing, terkesan hanya
mengekspos berita-berita negatif tentang Indonesia sehingga tidak seimbang dalam
pemberitaan.

Pasca-kepreside

nan

Setelah ia tidak menjabat lagi sebagai presiden, ia lebih memilih tinggal di Jerman daripada di
Indonesia. Tetapi, ketika era kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono, ia kembali aktif sebagai
penasihat presiden untuk mengawal proses demokratisasi di Indonesia lewat organisasi yang
didirikannya Habibie Center.

B. J. Habibie juga menjabat sebagai Komisaris Utama dari PT. Regio Aviasi Industri, perusahaan
perancang pesawat terbang R-80.[8]

Rachmawati Minta KPK Periksa Megawati dalam Kasus BLBI


DHF, CNN Indonesia | Jumat, 20/04/2018 16:40 WIB

Bagikan :  
Rachmawati Soekarnoputri meminta KPK memeriksa Megawati dalam kasus dugaan korupsi
BLBI. (CNNIndonesia/Abi Sarwanto)

Jakarta, CNN Indonesia -- Rachmawati Soekarnoputri menyindir kebijakan kakaknya, Presiden


ke-4 Indonesia Megawati Soekarnoputri terkait kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia
(BLBI).

Saat menjadi presiden, Megawati disebut menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 18 Tahun 2002
tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum kepada Debitur yang Telah Menyelesaikan
Kewajibannya atau Tindakan Hukum kepada Debitur yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya
Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS).

Rachmawati menilai seharusnya KPK memeriksa Megawati karena menerbitkan Inpres tersebut.

Lihat juga:
Syafruddin Minta Boediono dan Sri Mulyani Jelaskan Kasus BLBI

"Menurut saya bukan Syafruddin Tumenggung yang diperiksa, tapi siapa yang memberi
kebijakan Inpres Nomor 18 Tahun 2002. Itu pada waktu Presiden Megawati," ujar Rahmawati
saat memberi pidato di sebuah acara di Jakarta Selatan, Jumat (20/4).

Rachmawati menyebut KPK keblinger jika tidak memeriksa Megawati dalam kasus BLBI. Ia
juga menilai kasus BLBI sebagai kasus korupsi yang paling menyengsarakan rakyat sepanjang
sejarah Indonesia.

"Saudara tahu itu memang saudara saya, tapi saya tetap sebutkan. Soal keadilan, kebenaran, itu
tidak ada pardon," tegasnya.

Kasus BLBI sudah bergulir sejak era pemerintahan Megawati. KPK baru menetapkan mantan
Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Temenggung sebagai
tersangka korupsi penerbitan SKL BLBI kepada Sjamsul Nursalim.

Kini Syafruddin ditahan. Berkas penyidikannya pun sudah rampung dan akan segera
dilimpahkan ke pengadilan.

Lihat juga:
Syafruddin: SKL BLBI Sjamsul Atas Perintah Dorodjatun Cs

Rachmawati juga menyindir kebijakan Presiden Joko Widodo yang menurutnya tidak pro rakyat
dan pemikirannya tidak dekat dengan rakyat.

"Misalnya bagi-bagi sepeda. Sekarang sudah lebih lagi naik motor ya, Pak. Bagi-bagi apalagi
sertifikat tanah, lempar-lempar sembako. Dianggap apa rakyat ini dilempar-lempar begitu?"
ucapnya menyindir.

Rachmawati menutup pidatonya dengan meminta para hadirin untuk tidak lagi salah memilih
presiden. Namun dia tak menyebut nama pemimpin yang layak dipilih.

"Next 2019, insyaallah jangan sampai kita keliru lagi kalau kita ingin memenuhi harapan rakyat.
Cari pemimpin yang amanah, yang mengerti penderitaan rakyat," kata Rachmawati.

USER STORY

Istana dalam Ruang Lingkup Korupsi, Jokowi Semakin Khianati Rakyat

Istana dalam Ruang Lingkup Korupsi, Jokowi Semakin Khianati Rakyat


Fajarudin Shodiq

Kamis 21 Desember 2017 - 13:56

Koordinator Investigasi Center for Budget Analysis (CBA) Jajang Nurjaman menyatakan
pengakuan Antonius Tonny Budiono bahwa sebagian uang suap kasus korupsi proyek
Kemenhub juga ikut mengalir ke Paspampres Jokowi, kisarannya bukan main antara Rp 100 juta
sampai Rp 150 juta.
“Pengakuan yang keluar dari mulut pesakitan ini bak petir di siang bolong, luar biasa duit
bancakan hasil rampok dari negara ternyata bukan hanya mengalir ke pejabat di kemenhub tetapi
sekelas Paspampres nyatanya diam-diam ikut mencicipi,” ujar Jajang.

Hal ini, kata Jajang, membuktikan bagaimana uang hasil korupsi bisa mengalir kemana saja,
bukan hanya ke kiri atau ke kanan “orang terdekat” tetapi bisa juga mengalir deras ke atas. “Kita
ketahui Paspampres biarpun bahasa kasarnya hanya pengawal, namun bukan pengawal
sembarangan mereka ini orang yang paling dekat dengan Presiden Jokowi,” kata dia.

Bagi Jajang, fakta ini juga menjadi tamparan keras bagi orang nomor satu di Negeri ini. Image
yang selama ini dibangun Jokowi tentang dirinya yang bersih dan anti dengan korupsi tercoreng
dengan kelakuan pengawal kepercayaannya.

Jokowi Makin Tidak Becus Tangani Indonesia Istana Nikmati Uang Haram

“Setidaknya dari nyanyian Tonny terkait aliran uang ke Paspampres, sebagai bahan Jokowi
untuk mengevaluasi “orang-orang di dekatnya”. Dan yang lebih penting, sebagai jalan pintu
masuk bagi KPK untuk mengawasi proyek-proyek yang berkaitan dengan Paspampres,” terang
Jajang.

CBA melihat beberapa proyek yang dijalankan Paspampres selama ini terkesan ditutup-tutupi.
Contohnya, tambah Jajang, mulai dari proyek pengadaan pakaian operasional hitam dengan
anggaran sebesar Rp 1.248.984.000. Sampai proyek besar terkait pekerjaan rusun grup C yang
berlokasi di lawang gintung kota Bogor menghabiskan anggaran sebesar Rp 26,2 miliar lebih.

“Rata-rata proyek yang dijalankan satuan kerja Paspampres termasuk dua proyek di atas tidak
dijalankan dengan proses lelang elektronik, meskipun nilainya mencapai miliaran bahkan
puluhan miliar. Hal tersebut selain terkesan tertutup alias tidak transparan, sangat beresiko
terjadinya penyimpangan karena tidak bisa diawasi langsung oleh publik bagaimana jalannya
proses proyek tersebut,” ungkap Jajang. Berdasarkan catatan di atas, sambungnya, CBA
mendukung KPK untuk mengembangkan dugaan aliran yang masuk ke Paspampres terkait
seluruh kegiatan yang dihadiri Presiden Jokowi. Sebagai Catatan, sejak 2015 Jokowi sudah
melakukan blusukan alias kunjungan sedikitnya 306 kali, bisa dibayangkan jika benar terbukti
oknum Paspampres selalu meminta jatah ke panitia di setiap kunjungan Jokowi. “Untuk
setengahnya saja” bisa sampai Rp 22,9 miliar, lebih besar dari uang suap yang dikumpulkan tony
senilai Rp 20 miliar.

“Terakhir, CBA juga mendorong KPK untuk membuka penyelidikan terkait proyek-proyek yang
dilaksanakan oleh Paspampres. Publik tentunya berharap besar, Paspampres yang begitu dekat
dengan orang nomor satu Negeri ini bersih dari segala tindakan koruptif,” tandasnya.
Sumber/AS/EQ

Anda mungkin juga menyukai