Anda di halaman 1dari 7

TUGAS PENDIDIKAN BUDAYA ANTI KORUPSI

“KASUS KORUPSI DI ORDE LAMA”

Dosen : Prasetyowati,S.Pd,M.Kes

Disusun oleh:

Elsa Dwi Rachma (1915471051)

Nandini Permata Sari (1915471052)

POLITEKNIK KESEHATAN TANJUNG KARANG


PRODI KEBIDANAN METRO

TP 2019/2020
Korupsi Orde Lama

1.Sejak Indonesia merdeka, pasca 1945, korupsi juga telah mengguncang sejumlah partai
politik. Sejarawan Bonnie Triyana menceritakan, skandal korupsi menimpa politisi senior
PNI, Iskaq Tjokrohadisurjo, yang adalah mantan Menteri Perekonomian di Kabinet Ali
Sastroamidjojo I. Kasus tersebut bergulir 14 April 1958.

Kejaksaan Agung yang memeriksa Iskaq memperoleh bukti cukup untuk menyeretnya
ke pengadilan terkait kepemilikan devisa di luar negeri berupa uang, tiket pesawat terbang,
kereta, dan mobil tanpa seizin Lembaga Alat-Alat Pembayaran Luar Negeri (LAAPLN).
Iskaq akhirnya mendapat grasi dari Presiden Soekarno. Namun, mobil Mercedes Benz
300yang diimpornya dari Eropa tetap disita untuk negara.

Pada 14 April 1958, Kejaksaan Agung memeriksa Iskaq dan menemukan bukti-bukti


yang cukup untuk diajukan ke pengadilan terkait kepemilikan devisa di luar negeri berupa
uang, tiket pesawat terbang dan kereta api, serta mobil tanpa seizin Lembaga Alat-Alat
Pembayaran Luar Negeri (LAAPLN). Iskaq menjawab semua tuduhan itu dengan
menjelaskan satu per satu.

Pada 1953, sebelum menjadi Menteri Perekonomian, dia menangani klien


di Makassar mengenai perkara klaim asuransi jiwa sebesar fl.100.000 yang dibayarkan di
Belanda dan mendapatkan honor 10 persen atau fl.10.000. Pada akhir masa jabatannya
sebagai Menteri Perekonomian, pada pertengahan tahun 1954, Iskaq mendapat tugas untuk
berunding soal pembatalan Konferensi Meja Bundar (KMB) dengan Belanda. Di sana,
sahabatnya, Mr. Muchjidin Afandi (salah satu Anggota Konstituante dari PNI, yang saat itu
menjabat sebagai Penasehat Menteri Perekonomian (sekarang Menteri Perdagangan) yang
dijabat oleh dirinya sendiri), meminjamkan uang fl.7.200 untuk mencukupi
pembelian Mercedes Benz 300 seharga fl.17.200. Merujuk Surat Keputusan Dewan Moneter
tanggal 26 Juli 1954, Iskaq menganggap mobil itu sebagai devisa bebas yang tak perlu izin
LAAPLN dan bukan sebagai devisa negara.

Iskaq menguatkan argumennya dengan keputusan rapat ke-81 Kabinet Ali


Sastroamidjojo I pada tanggal 4 November 1954 bahwa Menteri Keuangan (saat itu dijabat
oleh Ong Eng Die) mengeluarkan instruksi umum untuk membebaskan presiden, wakil
presiden, dan para menteri dari pembayaran Tambahan Pembayaran Impor (TPI) dalam
pembelian sebuah mobil di luar negeri yang dibawa ke Indonesia. Jika dijual, mobil tersebut
baru dikenakan TPI. Ia juga mengajukan pengalaman Menteri Agama (saat itu dijabat KH.
Masjkur) yang bisa memasukkan mobilnya ke Indonesia berdasarkan Surat Keputusan
Dewan Moneter No. 5/I tanggal 5 Februari 1955. Sebulan setelah membeli mobil itu, Iskaq
memberitahukan jaksa agung dalam suatu pembicaraan. Selain itu, kepemilikan devisa di luar
negeri yang kemudian dibelikan mobil telah diketahui oleh Inspeksi Keuangan dan
dilaporkan ke Ketua Dewan Moneter (yang terdiri dari Menteri Keuangan, Menteri
Perekonomian dan Gubernur Bank Indonesia).

Sementara itu, mengenai uang dari Lim Kay (utusan Dewan Pimpinan Pusat PNI)
sejumlah M$3.363 atau US$1.008 untuk pembelian tiket pesawat Singapura-Jerman
Barat pada 1954 dan uang sebanyak fl.5.000 dari Seylhouwer di Jerman Barat untuk tiket
kereta api dari Jerman Barat ke Paris, Prancis, Iskaq menganggap tuduhan itu aneh dan salah
alamat karena kejadian tersebut terjadi pada tahun 1955 ketika dia tidak lagi menjabat
menteri. Akan tetapi, saat itu Iskaq hendak ditangkap terkait kebijakannya selama menjadi
menteri yang dianggap menguntungkan PNI. Menerima sumbangan tak bisa dianggap
sebagai penyalahgunaan dan sama sekali tak merugikan pemerintah sehingga tak perlu izin
LAAPLN.

Setelah mendengar tuntutan Jaksa Penuntut Umum Mr. Baharsan dan pembelaan
Iskaq, pada 4 Januari 1960 Hakim Pengadilan Ekonomi Jakarta M. Soebagio memutuskan
menolak eksepsi Iskaq dan menjatuhkan vonis hukuman penjara sembilan bulan dan denda
Rp 200.000,00 dan tambahan hukuman lima bulan penjara jika denda tak dibayar. Terdakwa
juga menanggung biaya perkara. Barang bukti berupa mobil Mercedes Benz 300 disita untuk
negara.

Iskaq naik banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta. Dia berharap pengadilan


membebaskannya dari segala tuduhan dan mengembalikan mobil Mercedes Benz
300. Bandingnya ditolak. Tak patah arang, Iskaq meminta grasi kepada presiden. Presiden
mengabulkan karena Soekarno beralasan bagaimanapun mengenal Iskaq sebagai sesama
pendiri PNI pada 1927 di Bandung. Berkat grasi tersebut, Iskaq tak harus menjalani hukuman
tetapi ia tak bisa mendapatkan kembali mobilnya, Mercedes Benz 300.[13] Terkait kasus ini,
ia sempat membuat buku yang terbit di tahun 1960-an dengan judul "Rasa Keadilan
Berbitjara Pembelaan Mr. Iskaq Tjokrohadisoerjo".
Setelah kasus korupsi tersebut, ia sempat terpilih menjadi Ketua Umum Peradin
(Perhimpunan Advokat Indonesia) yang merupakan pengganti PAI pada 30 Agustus 1964
sekaligus sebagai formaturnya. Perlu juga dicatat bahwa penyebutan Advokat (menggantikan
istilah Pengacara) untuk semua anggota PERADIN dimulai sejak tanggal tersebut.

2. Kasus lain adalah Menteri Kehakiman Mr Djody Gondokusumo (menjabat 30 Juli 1953-11
Agustus 1955) yang tersandung perkara gratifikasi dari pengusaha asal Hongkong, Bong Kim
Tjhong, yang memperoleh kemudahan memperpanjang visa dari Menteri Kehakiman.

Visa tersebut ternyata dibayar dengan imbalan Rp 20.000. Jaksa Agung Muda Abdul
Muthalib Moro menduga uang pemberian pengurusan visa tersebut digunakan untuk
membiayai Partai Rakyat Nasional pimpinan Djody.

Hukum tidak pandang bulu. Setiap orang bersamaan kedudukannya di hadapan


hukum. Petani atau menteri bisa dihadapkan ke pengadilan jika melakukan kejahatan. Sejarah
peradilan Indonesia pernah mencatat seorang Menteri Kehakiman diseret ke pengadilan dan
dihukum satu tahun penjara. Pasal yang dipakai jaksa adalah 418 dan 419 KUH Pidana.

Mr. Djody Gondokusumo, Menteri Kehakiman dimaksud, dihukum gara-gara turut


melakukan perbuatan ‘sebagai pegawai negeri menerima hadiah sedangkan ia patut menduga
bahwa hadiah itu berhubungan dengan kekuasaan kaena jabatannya’. Putusan itu dijatuhkan
majelis hakim yang terdiri dari (i) Mr. R. Satochid Kartanegara, (ii) M. R.Soerjotjokro, dan
(iii) Mr. Soetan Abdoel Hakim, pada 23 Desember 1955.

Mr. Djody, Menteri Kehakiman periode 30 Juli 1953 – 11 Agustus 1955 kesandung
perkara hadiah dari seorang pengusaha asal Hong Kong, Bong Kim Tjhong. Bong
mengadakan kunjungan singkat ke Indonesia. Oleh karena masa waktunya habis, Bong ingin
memperpanjang visanya. Pada waktu perpanjangan yang kedua, Menteri Djody membuat
catatan bahwa ini perpanjangan ‘betul-betul yang terakhir’. Masa perpanjangan sebulan.

Tetapi ternyata catatan ‘betul-betul yang terakhir’tidak dipenuhi Menteri Djody. Ia


memberi lampu hijau ketika Bong memperpanjang visa kunjungan yang ketiga selama dua
bulan. Menteri Djody menyetujui usul perpanjangan yang disampaikan orang
kepercayaannya, Soebagio. Keputusan memperpanjang masa berlaku visa itu sudah
diperingatkan Supadi, Kepala II Jawatan Imigrasi Pusat.
Imigrasi Tanjungpriok akhirnya menangkap Bong karena visanya sudah lewat waktu.
Berdasarkan penelusuran aparat penegak hukum saat itu terungkap ternyata urusan visa itu
bisa berjalan mulus lantaran fulus sebesar Rp20 ribu.

Jaksa Agung Muda Abdul Muthalib Moro selaku penuntut menduga duit pemberian
dari orang-orang yang mengurus visa akan dipakai untuk membiayai Partai Rakyat Nasional
(PRN) yang diketuai Mr. Djody. Pembantu sang Menteri juga berasal dari pengurus PRN.
Soebagio, pria yang bertindak menerima uang dari utusan Bong, adalah sekretaris pribadi dan
tinggal di kamar belakang paviliun rumah terdakwa.

Di persidangan, Mr. Djody mencoba menyangkal keterlibatannya. Ia berdalih sebagai


menteri, tidak bisa dijerat dengan kualifikasi pegawai negeri sebagaimana diatur dalam pasal
418 dan 419 KUHP.

Dalam pertimbangannya perkara No. 1/1955/MA.Pid itu, Mahkamah Agung


berpendapat: “cukup petunjuk bahwa di dalam hal pemberian izin menetap untuk Bong Kim
Thjong dan bersangkut paut dengan itu hal penerimaan Rp20.000 oleh Soebagijo dari Bong
Shiang Thjong dengan perantaraan Notopuro, terdakwa bekerjasama yang erat dan sadar
dengan Soebagijo dan Notopuro. Oleh karena berdasar atas petunjuk-petunjuk yang disebut
di atas Mahkamah Agung menganggap cukup terbukti secara sah dan meyakinkan bahwa
terdakwa patut dapat menyangka bahwa Soebagijo dan Notopuro masing-masing menerima
Rp20.000 dari Bong Kim Thjong untuk mendapat surat izin menetap di Indonesia”.

“Terdakwa mengetahui, setidak-tidaknya dapat menyangka, bahwa uang tersebut


dihadiahkan berhubung dengan kekuasaan atau kewenangan karena jabatannya sebagai
Menteri Kehakiman, yang berwenang untuk memberi zin menetap di Indonesia bagi orang-
orang asing”.

Sejumlah anggota parlemen mempersoalkan putusan itu. Didukung tanda tangan


sejumlah anggota parlemen, Mr Djody mengajukan grasi ke presiden. Presiden Soekarno
mengabulkan grasi itu dan mendapat pengurangan hukuman enam bulan penjara.

RM Panggabean dalam disertasi yang kemudian dibukukan “Budaya Hukum Hakim


di Bawah Pemerintahan Demokrasi dan Otoriter” (2008) mengatakan penyelesaian kasus
Djody  melalui putusan MA ‘merupakan refleksi dari sikap atau budaya hukum penegak
hukum ketika itu’. Budaya hakim agung yang memeriksa dan mengadili perkara Djody
Gondokusumo dilakukan secara objektif, konsisten dan transparansi. 
3.Partai besar lain, yakni Masyumi, juga terseret korupsi. Pada 28 Maret 1957, politisi
Masyumi, Jusuf Wibisono, ditahan tentara di Hotel Talagasari, Jalan Setiabudi, Bandung,
karena diduga terlibat korupsi.

Bonnie Triyana mengutip harian Suluh Indonesia, 20 April 1957, menceritakan, Hotel
Talagasari dipenuhi tersangka korupsi. Terdapat lima mantan menteri, anggota konstituante,
anggota parlemen, kepala jawatan, komisaris polisi, jaksa, pengusaha, dan lain-lain. Yang
diperiksa mencapai 60 orang.

Periode 1950-1965 tersebut memang dipenuhi gonjang-ganjing korupsi dan


pemberontakan. Deskripsi tentang kehidupan penguasa dan politisi korup pada zaman itu bisa
dibaca jelas dalam novel Senja di Jakarta karya wartawan senior Mochtar Lubis.
DAFTAR PUSTAKA

Mr. Roeslan Saleh. Keputusan-Keputusan tentang Perkara Pidana. Yogyakarta: Yayasan


Badan Penerbit Gadjah Mada, 1958.

R.M. Panggabean. Budaya Hukum Hakim di Bawah Pemerintahan Demokrasi dan Otoriter


(Studi tentang Putusan-Putusan Mahkamah Agung RI 1950-1965). Jakarta: Pusat Studi
Hukum Ekonoi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008.

http://id.wikipedia.org/wiki/Pemberantasan_korupsi_di_Indonesia

http://1.bp.blogspot.com/_JGPoLVyGdpc/SQfMd2NQ9VI/AAAAAAAAACA/_mknav9DY
n4/s400/TIKUS.bmp

http://kompas.com

https://id.wikipedia.org/wiki/Iskak_Tjokroadisurjo

Anda mungkin juga menyukai