Anda di halaman 1dari 51

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Beberapa subbab sejak dari morfologi tumbuhan bandotan, khasiat dan

kegunaan tumbuhan bandotan, serta kandungan kimia tumbuhan bandotan dibahas

dalam bab ini. Selain itu, bab ini juga menjelaskan gambaran tikus putih betina

(Rattus novergicus) serta reproduksinya.

2.1 Tumbuhan Bandotan (Ageratum conyzoides L.)

Tumbuhan bandotan (Ageratum conyzoides L.) memiliki ciri-ciri morfologis,

khasiat dan kegunaan, serta kandungan kimia yang bisa digunakan sebagai

antifertilitas. Pembahasan ketiga aspek tersebut dibahas dalam subbab ini.

2.1.1 Morfologi tumbuhan bandotan

Tumbuhan bandotan (Ageratum conyzoides L.) merupakan herba yang

termasuk dalam famili Asteracea. Tumbuhan ini memiliki rambut halus berwarna

putih, tumbuh tegak, bercabang, tinggi 80 – 90 m, daun bertangkai, letak

berhadapan bersilang, helaian daun bulat telur dengan pangkal membulat dan

ujung runcing, tepi bergerigi, panjang 5 – 13 cm, dan lebar 0,5 – 6 cm (baca pula,

Dalimartha, 2006; Shekhar et al., 2012).

16
17

Gambar 2.1 Gambar 2.2


Bandotan yang tumbuh di daerah Bandotan dipisahkan dari habitatnya
persawahan (Koleksi Peneliti, 11/06/2016)
(Koleksi Peneliti, 11/06/2016)

Tumbuhan bandotan juga bercirikan bunga majemuk (berkumpul 3 atau

lebih), berbentuk malai rata yang keluar di ujung tangkai, dan berwarna putih.

Panjang bonggol bunga tumbuhan bandotan berkisar 6 – 8 mm dengan tangkai

berambut. Buahnya berwarna hitam dan kecil. Suhu optimum perkecambahan

berkisar antara 20°-25° celsius serta mudah beradaptasi dengan berbagai kondisi

ekologi (Dalimartha, 2006; Shekhar et al., 2012).

Tumbuhan bandotan merupakan tumbuhan tropis yang banyak ditemukan di

daerah persawahan, perkebunan, pinggiran hutan, di sisi jalan dan anak sungai

yang tersedia cukup paparan sinar matahari (Ashande et al.,2015). Tumbuhan

bandotan khususnya daun bandotan pada penelitian ini berasal dari Desa Sanding,

Tampaksiring, Bali (Gambar 2.1 dan 2-2).


18

2.1.2 Khasiat dan kegunaan tumbuhan bandotan

Tumbuhan bandotan (Ageratum conyzoides L.) memiliki rasa sedikit pahit,

pedas, dan sifatnya netral (Dalimartha, 2006). Tumbuhan bandotan memiliki

sejumlah efek farmakologis sebagai anti-oksidan, anti-diabetes, anti-bakteri,

penyembuhan luka, anti-inflamasi, penyembuhan anemia, efek perlindungan

terhadap lambung, dan efek perlindungan terhadap radiasi (Ashande et al., 2015).

Selain di Indonesia, tumbuhan bandotan juga sudah lama digunakan sebagai

obat tradisi di Afrika, Asia, dan Amerika Selatan untuk penyembuhan bermacam

jenis pensyakit, seperti laksative, antipiretik, dan radang mata. Daun bandotan

digunakan untuk penyembuhan luka di Nigeria (Arulprakash et al., 2012).

Menurut Arulprakash et al. (2012), ekstrak bandotan dapat meningkatkan

proliferasi sel dan sintesis kolagen. Luka yang diobati dengan ekstrak bandotan

ternyata dapat sembuh lebih cepat berdasarkan laju perbaikan epitelisasi,

kontraksi luka dan hasil pengamatan histopatologis.

Hasil sejenis disajikan pula oleh Andissa et al. (2015). Temuan mereka

adalah adanya peningkatan tensile strength pada jaringan luka yang diberikan

ekstrak bandotan sehingga penggunaan ekstrak bandotan dapat diberikan secara

topikal untuk penyembuhan luka (Andissa et al.,2015). Di Negeria pula tumbuhan

ini digunakan untuk penyembuhan penyakit pneumonia dengan cara

menggosokkannya di dada (Arulprakash et al., 2012).

Ekstrak etanol daun bandotan dilaporkan pula dapat mencegah inflamasi dan

degradasi proteoglycan dengan menghambat TNF-α dan MMP-9 pada tikus

dengan osteoarthritis yang diinduksi menggunakan monosodium iodoacetate


19

(Bahtiar et al., 2017). Hal itu membuktikan bahwa efek farmakologis tumbuhan

bandotan sebagai anti-inflamasi menjadi terbukti.

Selain itu, rebusan tumbuhan bandotan digunakan pula untuk penyembuhan

diare. Masyarakat Kenya menggunakan tumbuhan bandotan untuk mengatasi

asma dan menghentikan perdarahan. Tumbuhan bandotan digunakan pula pada

pengobatan penyakit kusta di India (Okunade, 2002).

Penelitian yang dilakukan oleh Verma et al (2013) melaporkan bahwa ekstrak

tanaman bandotan memiliki aktivitas mekanisme hepatoprotektif. Beberapa

kelompok tikus yang mengalami kerusakan hati setelah diinduksi dengan

asetaminofen mengalami peningkatan kadar malondialdehyde (MDA), glucose-6-

phosphate dehydrogenase (G6PD), glutathione-S-transferase (GST), dan

penurunan secara signifikan pada superoxide dismutase (SOD), glutathione

(GSH), serta total thiol pada jaringan hati yang menggambarkan kerusakan hati.

Simpulan mereka adalah dengan pemberian ekstrak tanaman bandotan pada tikus

dengan kerusakan hati terbukti dapat menurunkan kadar MDA, G6PD, dan GST.

Gambar 2.3 Proses filtrasi Gambar 2.4 Ekstrak daun bandotan


(Koleksi Peneliti, 21/06/2016) (Koleksi Peneliti, 26/06/2016)
20

Melalui pengujian ekstrak bandotan dengan acetic acid induced writhing

method ditemukan pula bahwa tumbuhan ini memiliki aktivitas analgesik. Ekstrak

bandotan menunjukkan dose dependant response yang dapat menghambat

induksi nyeri dari asam asetat. Asam asetat menginduksi terjadinya geliat

(writhing) pada mencit sebagai respon visceral pain. Ekstrak bandotan

menunjukkan time dependant inhibition karagenan yang menginduksi

terbentuknya paw edema. Dengan acetic acid induce method, peningkatan kadar

prostaglandin dalam rongga peritoneal dapat berimbas kepada peningkatan nyeri

inflamasi dengan meningkatkan permebialitas pembuluh kapiler. Khasiat

tumbuhan bandotan sebagai analgesik dibuktikan dengan hambatan pada sintesis

prostaglandin melalui hambatan pada mekanisme nyeri di perifer dan menurunkan

jumlah geliat (number of writhing) (Rahman et al., 2012). Tumbuhan bandotan

juga memiliki aktivitas neuromuscular blocking dan digunakan untuk pengobatan

pain chronic pada osteoarthritis (Okunade, 2002; Shekhar et al., 2012).

2.1.3 Kandungan kimia tumbuhan bandotan

Tumbuhan bandotan memiliki kandungan senyawa fitokimia melimpah yang

di antaranya terdapat senyawa monoterpen, seskuiterpen, benzofuran, chromene,

chromone, koumarin, flavonoid, alkaloid, triterpen, tanin, dan steroid (Santos et

al., 2016). Flavonoid, alkaloid, steroid, dan komponen kimia lainnya yang ada

dalam tumbuhan bandotan merupakan kandungan metabolit sekunder yang

digunakan tumbuhan sebagai mekanisme pertahanan terhadap lingkungan abiotik


21

(abiotic stressors) seperti radiasi UV-B, cuaca dingin, dan kekeringan (Moore et

al., 2014).

2.1.3.1 Flavonoid

Ada sekitar 21 jenis polyoxygenated flavonoids dalam tumbuhan bandotan

termasuk 119 polymethoxylated flavones yang dinamakan scutellarein-5,6,7,1-

tetrahidroksiflavon, quercetin, quercetin-3-rhamnopiranosida, kaempferol, 14

polymethoxy flavones, eupalestin, dan kaempferol 3, dan 7-diglukopiranosida

(Singh et al., 2013). Munikishore (2013) menemukan pula kandungan flavonoid

baru pada daun bandotan (Gambar 2.5), yaitu (2S)-7,3,4-trimetoksiflavanon dan

(2S)-7-metoksi-3’,4-metilendioksiflavan yang bersamanya ditemukan juga 3 jenis

flavonoid yang sudah dikenal yaitu 5,6,7,8,5’-pentametoksi-3-4-

metilendioksiflavon, 5,2’-dihidroksi-7-metoksiflavon, 2’-0-β-D-glukopiranosida,

dan kaempferol-3-0-α-L-rhamnopiranosida.

1
22

Gambar 2.5 Struktur fitokimia (1) polymethoxy flavones, (2) (2S)-7,3’,4’-


trimethoxyflavanone, (3) (2S)-7-methoxy-3’,4’-methylendioxyflavan
(Singh et al., 2013; Munikshore, 2013)

Asupan flavonoid yang bersumber dari alam banyak terakumulasi pada

cabang, bunga, daun dan buah dari tumbuhan. Flavonoid dalam tumbuhan

ditemukan dalam bentuk flavonoid glycoside, seperti glucosida, galactoside,

rhamnoside, arabinoside, dan rutinoside. Flavonoid alami terdapat dalam

tumbuhan dalam bentuk O-glycoside atau C-glycoside di mana flavonoid C-

glycoside dan O-glycoside memberikan efek aktivitas anti-inflamasi lebih tinggi

dibandingkan dengan flavonoid aglycone. Flavonoid glycoside selain dapat

menstabilkan kadar tinggi flavonoid dalam darah juga memiliki rata-rata


23

residence time lebih lama dibanding dengan flavonoid aglycone (Jianbo et al.,

2015).

Penelitian yang dilakukan oleh Védrine et al (2006) pada wanita pasca

menopause (postmenopausal women) membuktikan pula bahwa penggunaan

asupan makanan dengan kandungan isoflavones sebanyak 100µmol l-1 per hari

atau setara dengan flavonoid aglycone dalam sereal bars dan yoghurts selama

satu bulan menghasilkan konsentrasi plasma yang tinggi dari genistein dan

daidzein yaitu 2,5–5 µmol l-1. Alasannya adalah karena isoflavones merupakan

senyawa aktif secara biologis sehingga menyebabkan konsumsi asupan makanan

yang kaya dengan kandungan isoflavones menyebabkan terjadinya perubahan

pada siklus estrus dan beberapa fungsi ovarium pada manusia dan hewan ternak

(Védrine et al., 2006).

Flavonoid memiliki banyak efek farmakologis termasuk aktivitasnya sebagai

antioksidan dan anti inflamasi (Li et al., 2016). Antioksidan alami yang

terkandung dalam flavonoid, baik dalam bentuk ekstrak mentah maupun unsur

kimianya terbukti sangat efektif untuk mencegah proses destruktif yang

disebabkan oleh stress oxidative. Stress oksidative merupakan gangguan oxidative

yang disebabkan oleh senyawa radikal bebas. Stress oxidative terjadi akibat

perubahan critical balance antara mekanisme pertahanan antioksidan endogen

dengan produksi reactive oxygen stress (ROS).

Flavonoid merupakan senyawa polifenol dengan struktur benzo-γ-pyrone.

Flavonoid termasuk senyawa dengan berat molekul rendah yang dapat berikatan

langsung dengan senyawa radikal bebas (free radicals) dengan menyumbangkan


24

satu atom hidrogennya atau dengan single-electron transfer. Semakin banyak

terdapat gugus polar, seperti gugus hidroksil pada struktur flavonoid dapat

semakin meningkatkan kapasitas senyawa flavonoid sebagai antioksidan

(MingHua et al., 2011; Saeed et al., 2012; Banjarnahor et al., 2014).

Radikal bebas adalah atom atau gugus atom yang memiliki elektron yang

tidak berpasangan dan karena itu tidak stabil dan sangat reaktif. Mekanisme

radikal bebas yang menghalangi fungsi selular adalah lipid peroxidation sehingga

menimbulkan kerusakan pada membran selular. Kerusakan selular ini selain dapat

menyebabkan pergeseran muatan bersih sel, juga dapat mengubah tekanan

osmotik yang menyebabkan pembengkakkan dan kematian sel. Radikal bebas

dapat menarik berbagai mediator inflamasi yang berkontribusi terhadap respons

inflamasi dan kerusakan jaringan. Peranan flavonoid dalam menghambat senyawa

radikal bebas yaitu flavonoid akan dioksidasi oleh radikal bebas dan

menghasilkan senyawa radikal yang lebih stabil dan tidak reaktif dengan

menstabilkan ROS (Nijveldt et al., 2001; Mamta et al., 2013).

Penelitian yang dilakukan oleh Mahalingam (2016) tentang efek

isoliquiritigenin pada pertumbuhan folikel antral dan steroidogenesis.

Isoliquiritigenin merupakan flavonoid yang diekstraksi dari akar tanaman

Glycyrrhiza. Pada dosis isoliquiritigenin 36 µM dan 100 µM mampu menghambat

pertumbuhan folikel mulai dari 24 jam – 96 jam setelah proses kultur jika

dibandingkan dengan kelompok kontrol. Pada dosis 0,6 µM dan 6 µM secara

signifikan menghambat pertumbuhan folikel pada 24 jam -72 jam setelah kultur

tapi tidak setelah melewati 72 jam. Pada dosis isoliquiritigenin 100 µM mampu
25

menurunkan kadar hormon estrogen dan progesteron pada waktu 48 jam, 72 jam,

dan 96 jam jika dibandingkan dengan kelompok kontrol (Mahalingam et

al.,2016).

Ohno (2004) melaporkan pula bahwa flavonoid dapat menghambat aktivitas

dari enzim 3β-hydroxysteroid dehydrogenase (HSD). Dengan menggunakan

Human placental microsomes, dia menemukan bahwa isoflavonoid dan senyawa

lain yang memiliki cincin fenolik B pada posisi 3 cincin pyran dapat menghambat

3β-HSD. Enzim 3β-HSDII pada manusia terbukti dihambat oleh derivat

isoflavonoid yang memiliki gugus hidroksi pada posisi atom karbon nomor 7.

Tingkat penghambatan 3β-HSD oleh masing-masing flavonoid tidak hanya

berkaitan dengan konformasi sterik tetapi juga efek gabungan dari afinitas

elektron antara molekul flavonoid dan lokasi katalitik enzim.

Genistein, daidzein, coumestrol, C18-, C19- dan C21-hydroxysteroid dan

ketosteroids yang termasuk dalam senyawa flavonoid dilaporkan menghambat

aktivitas enzim aromatase, 3α-HSD dan 17β-HSD pada human lung microsomes

(Blomquist et al., 2005). Ekspresi 3β-HSD diubah oleh beberapa senyawa

berbeda, baik yang bersumber dari dalam (endogen) maupun dari luar (eksogen).

Adanya senyawa steroid dan regulating factors lainnya menunjukkan pula

perubahan ekspresi dari 3β-HSD. 3β-HSD yang terletak di lapisan teka interna

dari folikel. Kontrol kelenjar hipofisis terhadap steroidogenesis pada folikel

terutama yang dimediasi oleh FSH dan LH menyebabkan peningkatan cAMP dan

phosphatidylinositol turnover sehingga memicu meningkatnya ekspresi 3β-HSD

dan enzim steroidogenik lainnya (Rasmussen et al., 2013).


26

Metabolisme flavonoid dimulai dari absorpsi pada usus halus oleh intestinal

Na+dependant glucose cotransporter (SGLT1). Proses absorpsi flavonoid dapat

diserap langsung pada usus halus atau melalui absorpsi pada usus besar yang

ditentukan dari struktur flavonoid aglikon atau glikosida (Shashank et al., 2013).

Jianboo et al. (2015) mengatakan bahwa flavonoid yang terdapat pada

tumbuhan merupakan flavonoid glucoside atau glikosida yang berikatan dengan

gula (b-glycosides). Flavonoid aglycans dapat dengan mudah diserap oleh usus

halus sementara flavonoid glycosides harus terlebih dahulu dikonversi ke dalam

bentuk aglycans. Flavonoid glukosida kemudian dihidrolisis oleh lactase

phloridzin hydrolase (LPH) yang merupakan enzim β-glucosidase yang terdapat

di bagian luar dari brush border membrane usus halus. Untuk flavonoid aglycone

langsung diserap pada usus halus sedangkan flavonoid glycosides yang bukan

substrat dari enzim LPH akan dibawa menuju usus besar. Dalam usus besar,

flavonoid glycosides akan dihidrolisis oleh bakteri baik di dalam usus besar.

Setelah diabsorpsi pada usus halus dan usus besar, selanjutnya flavonoid akan

dikonjugasi di hati melalui proses glucuronidation, sulfation, atau methylation

atau dimetabolisme menjadi senyawa fenolik yang lebih kecil. Karena reaksi

konjugasi tersebut maka flavonoid aglycones bebas tidak akan ditemukan dalam

plasma atau urin.

Menurut Shashank et al. (2013) pula flavonoid yang disekresikan oleh

empedu dalam usus dan flavonoid yang sebelumya tidak dapat diserap di usus

halus akan terdegradasi dalam usus besar dengan bantuan dari mikroflora usus

yang juga memecah struktur cincin flavonoid. Flavonoid oligomerik yang


27

mengandung sejumlah kecil monomer (polimer mengandung monomer dalam

jumlah tidak terbatas) akan dihidrolisis menjadi monomer dan dimer di bawah

pengaruh kondisi asam dari lambung. Molekul besar akan masuk dalam usus

besar dan didegradasi oleh bakteri.

Bagian gula dari flavonoid glycosides merupakan penentu penting dari

bioavailabilitas flavonoid di mana proses dimerisasi dapat menurunkan

bioavailabilitas. Bioavailabilitas merupakan jumlah relatif (persentase) dari obat

yang masuk ke sirkulasi sistemik sesudah pemberian obat dalam sediaan tertentu,

serta kecepatan peningkatan kadar obat dalam sirkulasi sistemik (Shashank et al.,

2013).

Penelitian yang dilakukan oleh Londonkar dan Nayaka (2013) melaporkan

bahwa tanaman yang memiliki banyak kandungan flavonoid di dalamnya terbukti

menghambat aktivitas enzim cyclooxygenase dan ovulasi. Efek anti-inflamasi

yang dimiliki oleh flavonoid menghambat ovulasi dikarenakan proses ovulasi

digambarkan sebagai suatu proses inflamasi yang terjadi secara reguler pada

female reproductive cycles.

Enzim cyclooxygenase mengubah arachidonic acid dari membran sel

menjadi prostaglandin (PG) sehingga terbentuk dua isomer, yaitu cyclooxygenase-

1(COX-1) dan cyclooxygenase-2 (COX-2). COX-1 merupakan bentuk endogen

dari enzim yang dibutuhkan untuk produksi prostaglandin (PG) dan COX-2

sebagai enzim yang diinduksi terkait dengan inflamasi. COX-2 diinduksi pada

berbagai macam sel dengan stimulasi dari sitokin dan growth factors. COX-2
28

terekspresi pada organ-organ seperti pada inflamasi akut, bone resumption, ginjal,

otak, dan female reproductive organs (Londonkar dan Nayaka, 2013).

Penelitian pada mencit yang dilakukan oleh Londonkar dan Nayaka (2013)

dengan defisiensi COX-2 mengalami defect pada fungsi reproduksi seperti ovulasi

dan fertilisasi. Hasil penelitian mereka juga menjelaskan bahwa COX-2

merupakan enzim yang penting pada ovulasi dan diperlukan untuk follicular

rupture melalui metabolit arachidonic acid dengan mengaktifkan enzim protease.

Flavonoid menurut Londonkar dan Nayaka pula menghambat ovulasi melalui

mekanisme hambatan pada aktivitas COX (COX-2) dan sintesis prostaglandin

(PG).

2.1.3.2 Steroid

Kandungan senyawa steroid yang juga banyak ditemukan pada tumbuhan

bandotan adalah fitosterol, β-sitosterol dan stigmasterol (Okunade, 2002).

Fitosterol adalah senyawa yang berasal dari tanaman yang memiliki efek

menurunkan kadar kolesterol dalam darah (Ostlund, 2007). Fitosterol merupakan

senyawa lipid dengan struktur kimia yang sangat mirip dengan struktur kolesterol,

bersifat lebih hidrofobik dan tidak dapat disintesis dalam tubuh manusia.

Mekanisme hambatan cholesterol uptake oleh fitosterol adalah dengan

membentuk bio-unavailable crystals kolesterol pada lambung dan usus halus

sehingga menghambat solubilitas kolesterol pada dietary micelles dan

menghambat efek metabolik kolesterol dalam usus halus (Jinsoo et al., 2016).
29

2
Gambar 2.6
Struktur kimia 1. stigmasterol, 2. β-sitosterol
(Chaturvedula et al., 2012)

Tumbuhan bandotan memiliki kandungan plant steroid atau fitosterol yang

terdiri atas stigmasterol dan β-sitosterol. Penelitian yang dilakukan oleh Pal et al

(2012) menyebutkan bahwa fraksi stigmasterol pada ekstrak tanaman Celsia

coromandelina menurunkan aktivitas enzim 3β hidroksisteroid dehidrogenase

dan meningkatnya kadar hormon progesterone. Dengan meningkatnya kadar

hormon kadar progesterone menyebabkan dihambatnya sekresi dari LH sehingga

mencegah terjadinya ovulasi. Perubahan lendir serviks yang menjadi lebih kental
30

sehinggan sperma sulit melalui serviks dan menghambat proses implantasi pada

endometrium.

2.1.3.3 Alkaloid dan terpenoid

Mbemya et al. (2017) menemukan kandungan likopsamin dan echinatin yang

termasuk pyrrolizidine alkaloids (PAs) dalam tumbuhan bandotan. Alkaloid

sendiri merupakan senyawa nitrogen yang disintesis oleh organisme hidup. Secara

umum, alkaloid terdiri atas cincin heterosiklik dan dikarenakan adanya 1 atau

lebih atom nitrogen. Alkaloid diturunkan dari asam amino yang memiliki aktivitas

farmakologis (Mbemya et al., 2017).

Verma et al. (2013) juga menemukan kandungan monoterpen dan

sesquiterpen pada daun dan batang tanaman bandotan. Salah satu sesquiterpen

penting temuan mereka yaitu beta-caryophyllene dilaporkan dapat menurunkan

kadar senyawa radikal bebas, produksi protein pro inflammatory, dan

menginduksi reaksi biotransformasi fase II.

1
31

2
Gambar 2.7 Struktur kimia alkaloid pirrolizidin yang terdapat dalam tumbuhan
bandotan, 1. Lycopsamine, 2. Echinatine (Singh et al., 2013)

2.2 Biosintesis Hormon Steroid

Hormon steroid disintesis terutama di gonad (testis dan ovarium), adrenal

dan selama proses kehamilan oleh fetoplacental unit bekerja pada peripheral

target tissues dan sistem saraf pusat. Steroid gonadal mempengaruhi sexual

differentiation pada genital dan otak yang juga menentukan karakteristik seksual

selama proses perkembangan dan pematangan seksual. Hal itu berkontribusi

dalam pemeliharaan keadaan fungsional steroid gonadal saat masa dewasa dan

mengatur perilaku seksual. Hormon steroid terdiri atas lima kelas utama, yaitu,

progesteron (progestational hormones), glucocorticoid (anti-stressing hormones),

mineralocorticoid (Na+ uptake regulators), androgen (male sex hormones) dan

estrogen (female sex hormones) (McVeigh et al., 2008).

Jalur biosintesis hormon steroid dimulai dari kolesterol di mana kolesterol

disimpan dalam bentuk ester dalam lipid vesicles. Kemudian adrenocorticotropic

hormone (ACTH) mengaktifkan serangkaian reaksi yang arahnya menuju ke

reaksi hidrolisis ester kolesterol menjadi kolesterol bebas dan transport kolesterol

bebas menuju mitokondria. ACTH yang ada di hipotalamus mengatur produksi


32

hormon pada zona fasciculata dan zona reticularis. Reseptor ACTH pada

membran plasma mengaktifkan adenilat siklase yang menghasilkan second

messenger cAMP. Efek dari ACTH pada produksi cortisol adalah hasil umpan

balik klasik yang menonjol pada level pengaturan dan sirkulasi dari

corticotrophin-releasing hormone (CRH), ACTH, dan cortisol. Di mitokondria

kolesterol akan mengalami konversi menjadi pregnenolone yang dikatalisis oleh

enzim P450scc (McVeigh et al., 2008; Miller et al., 2011).

Gambar 2.8 Struktur kimia kolesterol (C27) (Miller et al, 2011)


33

Gambar 2.9 Transport kolesterol – mitokondria pada biosintesis hormon steroid


(Miller, 2017)

Sel-sel steroidogenik mengambil LDL yang bersirkulasi dalam darah dengan

bantuan receptor-mediated endocytosiskemudian mengarahkan kolesterol ke

endosom (HDL) melalui scavenger receptor B1 (SRB1). Kolesterol disintesis de

novo di endoplasmic reticulum (ER) (Gambar 2.9). Lysosomal acid lipase (LAL)

memisahkan gugus ester dari ikatan ester kolesterol dengan NPC2 di late

endosomes sebelum unesterified cholesterol dipindahkan ke NPC1 dan masuk ke

dalam membran endosomal. Kolesterol dapat diesterifikasi ulang oleh acyl-CoA

(cholesterol transferase, ACAT) dan disimpan dalam lipid droplets, kemudian

diesterifikasi oleh hormone-sensitive lipase (HSL) (Miller, 2017).


34

Menurut Miller (2017) pula, kolesterol bisa mencapai outer mitochondrial

membrane (OMM) melalui tiga mekanisme. Pertama, domain ER yang disebut

mitochondria associated membrane (MAM) dapat dikaitkan dengan OMM

melalui tethering protein (misalnya sigma receptor) yang memungkinkan fluks

non-vesikular kolesterol ke OMM. Kedua, cholesterol-binding transport proteins,

seperti yang dimiliki oleh famili STARD4/D5/D6 dapat menyebabkan kolesterol

ke OMM. Ketiga, lipid droplets dapat berasosiasi dengan OMM melalui soluble

NSF attachment protein receptor (SNARE) yang memungkinkan transpor fluks

non-vesikular dari kolesterol ke OMM. Steroidogenesis maksimal memerlukan

steroidogenic acute regulatory protein (StAR) yang berinteraksi dengan protein

OMM (transduceosome complex) untuk memicu pergerakan cepat kolesterol dari

OMM ke inner mitochondrial membranes (IMM) dan dikonversi menjadi

pregnenolone oleh enzim P450scc (Miller, 2017).

Kolesterol adalah senyawa lemak yang memiliki peranan penting dalam banyak

proses biofisik dan biokimia dalam tubuh. Kolesterol merupakan prekursor berbagai

hormon steroid, bile salts, vitamin D3, dan sangat penting untuk menjaga proper

rigidity membran plasma. Kolesterol disuplai ke dalam tubuh melalui makanan

(exogenous) atau disintesis dalam hati (endogenous). Kolesterol eksogen diedarkan ke

apical side (facing extracellular environment) usus setelah makanan dicerna oleh bile

salts dan enzim lipase. Degradasi komponen lipid di usus (monogliserida, asam

lemak, dan kolesterol) bertransformasi dari material hidrofobik menjadi colloidal

structure seperti misel (micelles) dengan bantuan bile salts. Ketika misel masuk ke

dalam usus maka kolesterol, monogliserida, dan asam lemak akan diesterifikasi ulang

sebagai ester kolesterol, trigliserida, dan phospolipids yang merupakan komponen


35

utama dari partikel yang disekresikan (kilomikron) dan selanjutnya ditransfer menuju

bagian basolateral (Yi et al., 2016).

Semua jaringan dan sel yang menghasilkan steroid mampu melakukan sintesis

kolesterol de novo. Sintesis kolesterol de novo merupakan pembentukan asam lemak

baru dari senyawa bukan lipid yang banyak terdapat dalam jaringan tubuh, termasuk

jaringan hati, ginjal, otak, paru, kelenjar payudara dan adiposa. Biosintesis dari atom

karbon 27 dari struktur kolesterol terkait dengan konversi asetat (acetyl CoA) melalui

serangkaian tahapan enzimatis kompleks yang membutuhkan peranan sejumlah

enzim. Mevalonate dibentuk melalui kondensasi 3 molekul dari asetat yang dikatalisis

oleh rate limiting enzyme HMG-CoA-reductase yang dikonversi menjadi squalene

(30-carbon linear structure) yang diikuti dengan cyclization untuk menghasilkan

lanosterol dan kemudian pemindahan atom karbon 3 untuk menghasilkan kolesterol

(Hu et al., 2010).

Cholesterol Theca Cell


LH Pregnenolone Progesterone

17-hydroxy- 17-hydroxy-
Pregnenolone progesterone

Dehydroepiandrosterone Androstenedione

Androstenediol Testosterone

Granulosa
Cell
FSH
Dihydro- Oestrone
testosterone

Oestradiol

Gambar 2.10 Biosintesis hormon steroid di ovarium (Drummond, 2006).


36

Hormon steroid disintesis oleh enzim sitokrom 450scc dan dehidrogenase

mengkatalisis reaksi oksidasi-dehidrosilasi dan hidrosilasi. Tahap hambatan laju

utama dan penting dari sintesis semua hormon steroid adalah pemisahan rantai

samping kolesterol (C27) untuk menghasilkan pregnenolon (C21). Pregnenolon

merupakan titik cabang umum untuk sintesis progesteron, kortikoid, androgen,

dan estrogen. Sintesis dan sekresi hormon steroid adrenal dan gonadal diregulasi

oleh hormon tropik dari hipofisis anterior, yaitu FSH (follicle stimulating

hormone) dan LH (luteinizing hormone), dan ACTH (adrenocorticotropic

hormone). Mekanisme pengaturan yang umum dari sintesis dan rilis hormon

steroid adalah umpan balik negatif di mana peningkatan kadar steroid yang

bersirkulasi menekan produksi hormon tropik dengan bekerja pada lokasi spesifik

di otak dan hipofisis anterior. Interaksi yang kompleks antara komponen poros

hipotalamus-hipofisis-gonad atau adrenal yang berbeda merupakan ciri penting

fisiologi endokrin (Henley et al., 2005; Miller et al., 2011).


37

Gambar 2.11 Konversi kolesterol menjadi pregnenolone


(Schumacher et al., 2017)

Rate limiting step pada biosintesis hormon steroid adalah konversi kolesterol

menjadi pregnenolone oleh cholesterol side-chain cleavage enzyme, P450scc

(CYP11A1) atau siktokrom P450 (CYP) (Gambar 2.11). Enzim P450scc terdapat

pada inner mitochondrial membrane (IMM) dan steroidogenic acute regulatory

protein (StAR) memicu rilis kolesterol dari outer mitochondria membrane


38

(OMM) menuju P450scc pada IMM (Miller, 2017).Enzim 450scc mengkatalisis

tiga reaksi oksidasi secara berurutan yang kemudian diikuti dengan pemisahan

(cleavage) rantai samping 6 karbon. Tiap reaksi oksidasi membutuhkan 1 molekul

oksigen dan 1 molekul NADPH dan menggunakan sistem transfer elektron dari

mitokondria. Reaksi pertama adalah hidroksilasi pada C22, yang kemudian diikuti

dengan hidroksilasi pada C20 untuk menghasilkan 20,22R-hidroksi-kolesterol,

dimana memisah antara C22 dan C20 yang menghasilkan C21 steroid

pregnenolon dan isokaproaldehide(Payne et al., 2004; Miller, 2017).

Gambar 2.12 Steroidogenic mitochondria, sintesis dan metabolisme progesteron


(Schumacher et al., 2017)

Transport kolesterol dari sitoplasma menuju inner mitochondrial membrane

melibatkan 2 protein yaitu translocase 18 kDa (TSPO) dan steroidogenic acute

regulatory protein (StAR). Kolesterol dikonversi menjadi pregnenolone oleh

enzim sitokrom 450scc dan kemudian dikonversi menjadi progesterone oleh


39

enzim 3β-hidroksisteroid dehidrogenase (3β-HSD) (Gambar 2.12) (Schumacher

et al., 2017)

Enzim P450c17 mengkatalisis dua fungsi campuran dari reaksi oksidasi yang

menggunakan enzim P450 oksidoreduktase dan sistem transfer elektron

mikrosomal. Dua reaksi yang dikatalisis oleh enzim P450c17 adalah 17α-

hidroksilasi dari steroid C21, pregnenolon (steroid Δ5) atau progesteron (steroid

Δ4), yang kemudian diikuti dengan pemisahan ikatan C17-20 untuk menghasilkan

steroid C19, dehidroepiandrosteron (DHEA) atau androstenedion. Tiap reaksi

membutuhkan 1 molekul NADPH dan 1 molekul oksigen molekular. Pada reaksi

dua langkah ini 17α-hidroksipregnenolon atau 17α-hidroksiprogesteron di bentuk

sebagai perantara (intermediate) (Payne et al., 2004; Henley et al., 2005).

Keterangan:
- 17-OH-preg: 17-hydroxypregnenolone - DHT : Dihydrotestosterone
- 18-corticost: 18-hydroxycorticosterone - DOC : 11-deoxycorticosterone
- ALDO : Aldosterone
- DHEA : Dehidroepiandrosterone

Gambar 2.13 Pathways of Steroidogenesis (Miller, 2017)


40

Enzim P450arom mengkatalisis konversi dari androgen C19, androstenedion

dan testosteron menjadi estrogen C18, estrone dan estradiol. Reaksi ini juga masih

membutuhkan sistem transfer elektron sitokrom P450 reductase, dan tiga molekul

masing-masing untuk oksigen dan NADPH. Dua molekul oksigen pertama

berHubungan dengan oksidasi dari gugus metil C19 melalui reaksi hidroksilasi,

sedangkan tiga molekul oksigen digunakan pada reaksi yang disebut sebagai

peroxidative attack pada gugus metil C19 yang dikombinasikan dengan eliminasi

dari hidrogen 1β menghasilkan cincin fenolik A dan acid formic (Payne et al.,

2004; Henley et al., 2005).

Enzim P450c21 mengkatalisis reaksi hidroksilasi progesterone C21 dan 17α-

hidroksiprogesterone menghasilkan masing-masing 11-deoksicorticosterone dan

11-deoksicortisol. Reaksi ini berlangsung pada retikulum endoplasma yang

membutuhkan 1 molekul NADPH dan 1 molekul oksigen yang melalui sistem

transpor elektron mikrosomal. Progesterone merupakan substrat untuk enzim

P450c21 pada adrenal zona glomerulosa yang tidak mengekspresi enzim

P450c17. Hidroksilasi dari C21 mengkatalisis tahapan yang menentukan

biosintesis hormon steroid adrenal. 11-deoksicorticosterone tidak bisa bertindak

sebagai substrat untuk hidroksilasi C17 oleh enzim P450c17 sehingga 11-

deoksicorticosterone tidak bisa menjadi perantara pada biosintesis kortisol

(Sanderson et al., 2003; Miller et al., 2011)

Enzim P450-11β dan P450c18 terdapat pada bagian dalam membran

mitokondria. Enzim P450-11β mengkatalisis 11-hydroxilasi dari 11-

deoksicorticosterone atau 11-deoksicortisol menghasilkan masing-masing


41

corticosterone atau cortisol. P45-11β memiliki kapasitas untuk menghidroksilasi

C18 dari 11-deoksicorticosterone atau corticosterone untuk membentuk 18-

hidroksicorticosterone. Tetapi P45-11β tidak bisa mengkatalisis reaksi oksidasi

dari gugus hidroksi 18 untuk membentuk aldosterone. Sintesis aldosterone dari

11-deoksicorticosterone dikatalisis oleh P450c18 (aldosterone sintase) yang

mengkatalisis tiga tahapan reaksi yang masing-masing tahapannya menggunakan

1 molekul NADPH dan 1 molekul oksigen dan sistem transfer elektron

mitokondrial. Tiga tahapan urutan reaksi itu yaitu reaksi 11-hidroksilasi dari 11-

deoksicorticosterone, hidroksilasi atom karbon 18, yang dilanjutkan dengan

oksidasi gugus karbon 18 hidroksil membentuk gugus aldehid karbon 18 yang

menghasilkan pembentukan aldosterone (Payne et al., 2004).

2.3 Enzim 3β-hidroksisteroid dehidrogenase (3β-HSD)

Enzim 3β-HSD I dan II pada manusia dan tikus mengkatalisis konversi Δ5-

3β-hidroksisteroid, pregnenolone, 17α-hidroksipregnenolone, dan DHEA menjadi

Δ4-3-ketosteroid, progesterone, 17α-hidroksiprogesterone, dan androstenedione.

Dua tahapan urutan reaksi yang berhubungan dengan konversi dari Δ5-3β-

hidroksisteroid menjadi Δ4-3-ketosteroid. Reaksi pertama adalah reaksi

dehidrogenasi dari 3β-equatorial hidroksisteroid yang membutuhkan NAD+

koenzim guna menghasilkan Δ5-3-keto intermediate dan yang mengurangi

NADH. Penurunan koenzim NADH selanjutnya mengaktifkan isomerisasi dari

Δ5-3-ketosteroid yang menghasilkan Δ4-3-ketosteroid. Reaksi ini dikatalisis oleh

single dimeric protein tanpa adanya rilis dari perantara atau koenzim. Enzim pada

manusia dan tikus juga memiliki kapasitas untuk merubah 5α-androstane-3β,17β-


42

diol menjadi dihidrotestosterone (DHT) dengan adanya NAD+ (Payne et al., 2004;

Miller et al., 2011).

3β-HSD/isomerase merupakan membrane-bound enzymes yang

didistribusikan baik di mitokondria dan microsomal membrane tergantung dari

tipe sel dimana lokasi enzim 3β-HSD diekspresikan.Pada manusia terdapat dua

bentuk isoform 3β-HSD, yaitu 3β-HSD I dan 3β-HSD II, sedangkan pada tikus

dan hewan pengerat lainnya terdapat 2 bentuk isoform 3β-HSD yang berkaitan

dengan biosintesis hormon steroid, yaitu 3β-HSD I dan 3β-HSD VI. Sementara

untuk bentuk isoform 3β-HSD IV dan V yang hanya berfungsi sebagai 3-

ketosteroid reductase tidak berkaitan dengan biosintesis hormon steroid aktif. 3β-

HSD masuk dalam famili dari protein yang berukuran besar (large protein family)

yang disebut short-chain dehydrogenase/reductases. 3β-HSD juga mengkatalisis

pembentukan dan/atau degradasi dari 5α-androstanes dan 5α-pregnanes sehingga

menyebabkan 3β-HSD mengatur reaksi terkait dengan hormon steroid pada

korteks adrenal, gonad, plasenta, liver, dan peripheral targel tissues lainnya

(Payne and Hales, 2004; Rasmussen et al., 2013).

Penelitian penelusuran terhadap lokasi dari 3β-HSD menyebutkan bahwa

molecular machinery membutuhkan produksi hormon progesteron dan androgen

oleh sel teka saat perkembangan folikel primer dimana kemudian androgen akan

di metabolisme menjadi estrogen oleh sel granulosa. 3β-HSD mRNA berlokasi di

teka interna dari preantral, antral, dan atretic follicles begitu juga di korpus

luteum. Pada tikus, kadar 3β-HSD mRNA meningkat saat siklus estrus, ekspresi

3β-HSD pada folikel preantral, antral, dan preovulatory ditemukan di lapisan sel
43

teka, tapi tidak ditemukan ekspresi 3β-HSD pada lapisan sel granulosa (Simard, et

al., 2005).

Beberapa penelitian melaporkan bahwa ekspresi 3β-HSD mRNA mengalami

peningkatan pada treatment dengan glucocorticoid receptor agonist yaitu

dexamethasone dan menimbukkan efek yang additive. Efek dexamethasone pada

aktivitas transkripsi 3β-HSD melibatkan Stat5A dan elemen respon Stat5A. Dari

penelitian yang sama ini juga dilaporkan bahwa faktor pertumbuhan epidermal

dan prolaktin juga meningkatkan aktivitas transkripsi dari promoter 3β-HSD II

pada manusia. Penelitian terhadap regulasi 3β-HSD pada gonad dari tikus secarain

vitro dengan kultur sel granulosa dari tikus yang belum dewasa (immature rats)

menunjukkan bahwa treatment dengan menggunakan FSH dapat meningkatkan

3β-HSD I mRNA, protein, dan aktivitas enzimatik.Penelitian secara in vivodengan

hCG selama 2 hari, 3 hari, dan 9 hari merangsang peningkatan ekspresi 3β-HSD

mRNA secara nyata sebanyak 63%, 145%, dan 146% dan sebaliknya terapi

dengan menggunakan prolaktin menyebabkan penurunan kadar 3β-HSD

mRNApada korpus luteum (Payne and Hales, 2004).

Ohno (2004) melaporkan bahwa flavonoid dapat menghambat aktivitas dari

enzim 3β- hydroxysteroid dehydrogenase (HSD). Penelitian menggunakan Human

placental microsomes ditemukan bahwa isoflavonoid dan juga senyawa lain yang

memiliki cincin fenolik B pada posisi 3 cincin pyran dapat menghambat 3β-HSD.

Enzim 3β-HSDII pada manusia terbukti dihambat oleh derivat isoflavonoid yang

memiliki gugus hidroksi pada posisi atom karbon nomor 7. Tingkat

penghambatan 3β-HSD oleh masing-masing flavonoid tidak hanya berkaitan


44

dengan konformasi sterik tetapi juga efek gabungan dari afinitas elektron antara

molekul flavonoid dan lokasi katalitik enzim.

Penelitian yang dilakukan oleh Tieman, et al (2007) menyebutkan bahwa

pemberian flavonoid pada hewan babi menyebabkan terjadinya penurunan sekresi

hormon progesterone dan menurunkan aktivitas enzim 3β-HSD yang dikarenakan

hambatan ekspresi 3β-HSD mRNA.

Genistein, daidzein, coumestrol, C18-, C19- dan C21-hydroxysteroid dan

ketosteroids yang termasuk dalam senyawa flavonoid dilaporkan menghambat

aktivitas enzim aromatase, 3α-HSD dan 17β-HSD pada human lung microsomes

(Blomquist et al.,2005).

Enzim 17β-HSD1 pada manusia merupakan substrat spesifik untuk estrogen

sedangkan enzim 17β-HSD pada tikus atau pada hewan pengerat dapat digunakan

baik sebagai substrat dari estrogen dan juga androgen dimana NADPH sebagai

kofaktor untuk konversi estrone menjadi estradiol. Pada hewan pengerat, enzim

17β-HSD1 secara efisien mengkonversi androstenedione menjadi testosterone.

Produksi estradiol pada ovarium tergantung pada kerja enzim 17β-HSD7.

Perkembangan folikel di sel granulosa ovarium pada manusia dan hewan pengerat

diperankan oleh enzim 17β-HSD1 yang mengkatalisis konversi estrone menjadi

estradiol. Saat ovulasi, folikel masuk dalam fase luteal dan transformasi menjadi

korpus luteum dan selanjutnya mensekresikan estradiol pada konsentrasi tinggi.

Sementara pada proses luteinisasi ekspresi dari enzim 17β-HSD1 menurun drastis

di ovarium. Enzim 17β-HSD7 mengkatalisis konversi estrone menjadi estradiol

dan NADPH sebagai kofaktor (Payne et al., 2004; Miller et al, 2011)
45

2.4 Gambaran Umum Tikus Putih Betina (Rattus novergicus)

Tikus putih merupakan hewan pengerat yang sering digunakan sebagai hewan

percobaan. Menurut Houdebine (2004), tikus putih merupakan salah satu hewan

yang dianggap bisa mewakili kelas mamalia (manusia adalah salah satu di

antaranya) dengan alasan bahwa hewan ini memiliki kelengkapan organ,

kebutuhan, nutrisi, metabolisme bio-kimianya, sistem reproduksi, pernapasan,

peredaran darah, dan ekskresinya menyerupai manusia.

Selain itu tikus putih menurut Houdebine (2004) pula memiliki beberapa sifat

menguntungkan seperti cepat berkembang biak, mudah dipelihara dalam jumlah

banyak, lebih tenang dan ukurannya lebih besar daripada mencit. Tikus putih juga

memiliki ciri-ciri albino, kepala kecil, dan ekor yang lebih panjang dari

badannya. Selain pertumbuhan tikus putih relatif cepat dan bertemperamen baik,

tikus putih juga berkemampuan laktasi tinggi dan tahan terhadap arseni tiroksoid

(Houdebine, 2004).

Gambar 2.14 Rattus novergicus (Alexandru, 2011)


46

Klasifikasi tikus putih betina menurut Hedrich (2006) adalah sebagai berikut.

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Subfilum : Vertebrata

Kelas : Mamalia

Ordo : Rodentia

Subordo : Myomorpha

Familia : Muroidae

Subfamili : Murinae

Genus : Rattus

Spesies : Rattus novergicus

2.5 Reproduksi Tikus Putih Betina (Rattus novergicus)

Tikus putih (Rattus novergicus) betina adalah mamalia yang tergolong

ovulator spontan. Pada golongan ini ovulasi terjadi pada pertengahan siklus estrus

yang dipengaruhi oleh adanya lonjakan LH (luteinizing hormone). Tikus termasuk

hewan yang bersifat poliestrus dan memiliki siklus reproduksi yang sangat

pendek. Setiap siklus lamanya berkisar antara 4-5 hari (Westwood, 2008; Sato et

al., 2016).

Nielsen and Herrera (2017) menjelaskan fase siklus tikus putih. Fase

metestrus terjadi pada hari pertama. Hormon progesteron dan estrogen akan

ditemui dalam kadar relatif rendah pada fase ini. Fase diestrus terjadi pada hari

selanjutnya (hari ke 2). Fase diestrus adalah awal permulaan fase postovulation.

Hormon progesteron akan meningkat secara tajam dan akan menurun secara cepat
47

pada hari terakhir, yaitu sekitar pukul 12.00 pada hari ke 3. Selanjutnya fase

proestrus akan terjadi. Hal itu ditandai dengan peningkatan kadar hormon

estrogen yang secara langsung memicu peningkatan kadar LH dan FSH pada

rentang pukul 16.00 dan 18.00 serta diikuti dengan peningkatan sekresi hormon

progesteron. Terakhir pada fase estrus akan terjadi ovulasi dan seluruh hormon

akan kembali ke awal di mana estrogen akan bertahan kadarnya sementara dalam

jumlah yang tinggi pada malam hari ke 4 (Nielsen and Herrera, 2017).

Ovulasi menurut Nielsen and Herrera (2017) pula berlangsung 8-11 jam

sesudah dimulainya fase estrus. Folikel yang sudah kehilangan ovum akibat

ovulasi akan berubah menjadi korpus luteum sehingga menghasilkan progesteron

atas rangsangan LH. Progesteron bertanggung jawab dalam menyiapkan

endometrium uterus agar reseptif terhadap implantasi embrio (Nielsen and

Herrera, 2017).

Reproduksi adalah suatu proses kompleks. Prosesnya menurut Frandson

(2009) melibatkan dua buah ovarium, dua buah tuba uterina (Falopii), uterus,

vagina, dan vulva hewan betina. Siklus reproduksi hewan betina melalui beberapa

tahapan, yaitu ovum (telur) dilepaskan dari ovarium lalu dibawa masuk ke tuba

uterina, di mana (dalam keadaan normal) terjadi proses pembuahan (fertilisasi)

dalam perjalanan ovum dari ovarium menuju uterus. Ovum yang sudah dibuahi

dalam uterus berkembang menjadi embrio. Embrio kemudian berkembang

menjadi fetus. Fetus tersebut pada akhirnya keluar dari uterus menuju vagina dan

vulva menjadi anak yang baru lahir (neonatus) (Frandson, 2009).


48

Sistem reproduksi wanita mengalami perubahan siklus reguler sebagai

persiapan untuk ferfilitas dan kehamilan. Siklus ini pada primata adalah siklus

menstruasi. Gambaran yang paling menyolok adalah perdarahan vagina secara

periodik (menstruasi). Lama siklus pada wanita bervariasi. Rata-rata siklus adalah

28 hari dari permulaan masa menstruasi ke permulaan masa menstruasi berikutnya

(Katzung et al, 2009; Jones et al., 2014).

2.5.1 Siklus ovarium

Ovarium adalah kelenjar berbentuk biji kenari yang terletak di kanan dan di

kiri uterus (terletak di bawah tuba Falopi dengan panjang sekitar 8 sampai 10 cm)

(Gambar 2.15). Jones et al. (2014) banyak membahas tentang siklus ovarium.

Menurut mereka, ovarium berisi sejumlah ovum belum matang yang disebut oosit

primer. Ovarium memiliki fungsi utama untuk memproduksi ovum dan hormon-

hormon pada wanita seperti progesteron dan estrogen. Komposisi dan aktivitas

hormonal ovarium senantiasa berubah selama tahun-tahun reproduktif.

Perubahan-perubahan komposisi dan aktivitas tersebut bertanggung jawab atas

berbagai peristiwa fisiologis dalam siklus menstruasi wanita.

Unit reproduktif dasar ovarium menurut Jones et al. (2014) pula adalah

folikel primordial. Folikel primordial dibentuk oleh oosit primer yang dikelilingi

oleh satu lapisan datar (flat) sel epitelial. Oosit primer tetap dalam profase dan

tidak menyelesaikan meiosis I sebelum masa pubertas tercapai. 5 – 15 folikel

primordial mulai menjadi matang pada tiap-tiap siklus ovarium pada masa

pubertas. Oosit primer tetap dalam fase diplotene mulai tumbuh dan dikelilingi
49

oleh sel folikular yang berubah dari bentuk lapisan datar (flat) menjadi kuboid

(cuboidal) serta berproliferasi untuk membentuk lapisan bertingkat epitelium dari

sel granulosa. Pada keadaan ini, folikel dikenal dengan folikel primer. Sel

granulosa tampak pada bagian bawah dari membran dan terpisah dari sel stromal

dari theca folliculi. Sel granulosa dan oosit juga mensekresi lapisan glikoprotein

pada permukaan oosit dan membentuk zona pelusida (Jones et al., 2014).

Masih menurut Jones et al. (2014), selama folikel terus tumbuh, sel theca

folliculi membentuk suatu lapisan dalam sel sekretori yang disebut teka interna

dan lapisan luarnya disebut teka eksterna yang merupakan jaringan yang

mengandung fibroblast-like cells. Selanjutnya, ruang berisi cairan muncul di

antara sel granulosa. Gabungan dari ruang tersebut membentuk antrum dan folikel

yang dikenal dengan folikel sekunder. Awalnya antrum berbentuk bulan sabit,

tetapi seiring berkembangnya waktu, antrum menjadi besar. Sel granulosa yang

mengelilingi oosit membentuk kumulus ooforus (Jones et al., 2014).

Gambar 2.15 Morfologi ovarium (McVeigh et al., 2008)


50

Folikel matang berdiameter 10 mm atau lebih dikenal dengan folikel tersier,

folikel vesikular, atau folikel de Graaf (graafian follicle). Folikel tersebut

dikelilingi oleh teka interna dan teka eksterna (Gambar 2.16). Pada tiap siklus

ovarium, sejumlah folikel mulai berkembang, tetapi biasanya hanya satu yang

menjadi matang. Folikel lainnya akan degenerasi dan menjadi atretik (Jones et al.,

2014).

Gambar 2.16 Morfologi folikel pada ovarium (Homburg and Neiman, 2005)

2.5.1.1 Ovulasi

Peristiwa ovulasi terjadi karena pecahnya folikel de Graaf, menipisnya

dinding ovarium, dan meningginya tekanan cairan folikel (Gambar 2.17). Proses

ovulasi merupakan peristiwa neural dan hormonal yang pengaturannya ditentukan

oleh hipotalamus (Ganong, 2003). Menurut Ganong pula, follicle stimulating

hormone (FSH) berperan atas pematangan awal folikel ovarium. FSH dan LH

(luteinizing hormone) berperan untuk pematangan terakhir. Ledakan sekresi LH

berperan untuk ovulasi dan mengawali pembentukan korpus luteum. Progesteron

dari korpus luteum yang terbentuk mengurangi aktivitas hipofisis dalam


51

menghasilkan FSH. Korpus luteum akan mengalami regresi bila tidak terjadi

kehamilan sehingga progesteron yang dihasilkan berkurang dan akhirnya

menstruasi dan siklus terulang kembali (Ganong, 2003).

Keterangan:
a. Bentuk folikel mengalami
perubahan selama proses
ovulasi,
b. dengan robeknya (rupture) pada
lapisan tipis terluar dari folikel
diiringi dengan adanya
perdarahan
c. diikuti dengan keluarnya sel
granulosa dan oosit

Gambar 2.17 Proses ovulasi secara in vivo pada ovarium (Brȁnnstrȍm et al.,
2010)

Pada saat folikel rupture akan terjadi terdapat empat gambaran modifikasi

utama. Pertama, pembuluh kapiler pada teka akan meluas atau membesar dan

mengeluarkan komponen penting di dalamnya menuju matriks ekstraselular pada

lapisan teka di dinding folikel. Kedua, lipid droplets mulai terbentuk pada

sitoplasma di sel granulosa dan lapisan menjadi aktif secara steroidogenik. Ketiga,

hal yang paling menonjol adalah ditemukannya fibrolas dengan bentuk

memanjang dalam jumlah banyak di lapisan teka eksterna dan tunika albuginea

(follicular apex). Fibrolas-fibrolas ini kemudian akan mengalami proliferasi.


52

Keempat, sel epitel pada apical surface dari folikel tampak menjadi nekrosis dan

sel epitel menjadi kurang melekat pada permukaan ovarium (Espey, 2000).

Berbeda dengan manusia, mamalia yang bukan primata tidak mengalami

menstruasi. Siklus seksualnya disebut siklus estrus. Keinginan hewan betina untuk

melakukan hubungan seksual muncul pada siklus ini. Pada spesies yang

ovulasinya spontan seperti tikus, peristiwa endokrin yang mendasarinya sama

seperti siklus menstruasi. Ovulasi pada spesies lainnya dapat ditimbulkan oleh

kopulasi (reflek ovulasi) (Maeda et al., 2000).

Siklus estrus dibagi menjadi 4 fase berdasarkan gejala klinik, perubahan pada

organ, dan saluran reproduksi, yaitu (1) proestrus, (2) estrus, (3) metestrus, dan

(4) diestrus (Caligioni, 2009; Frandson, 2009). Proestrus yang dihasilkan hormon

estrogen merupakan periode persiapan yang ditandai dengan pertumbuhan folikel

oleh FSH dan dihasilkan hormon estrogen (Hafez, 2000). Fase ini pada tikus

berlangsung kira-kira 12 jam (Percy et al.,2007). Estrus yang ditandai dengan

penerimaan pejantan oleh betina untuk kopulasi merupakan masa keinginan

kawin. Estrogen pada fase ini mencapai konsentrasi tertinggi pada waktu

terbentuknya folikel de Graaf yang berisi ovum sehingga merangsang hipofisa

anterior untuk mensekresikan LH yang diperlukan untuk ovulasi (Frandson,

2009).

Metestrus merupakan lanjutan periode estrus. Sel-sel granulosa dan sel-sel

teka yang berasal dari folikel yang telah pecah pada periode ini akan membentuk

korpus luteum dan mulai menghasilkan progesteron (Hardjopranjoto, 1995;

Partodihardjo, 1992; Lohmiller et al.,2006). Fase ini pada tikus berlangsung


53

kira-kira 21 jam (Hafez, 2000). Diestrus merupakan periode akhir siklus estrus.

Korpus luteum berkembang secara sempurna pada periode ini. Hormon LH

(luteinizing hormone) pada fase ini sangat berperan memelihara korpus luteum

untuk memproduksi progesteron. Selanjutnya hipofisa anterior mulai

mensekresikan hormon gonadotropin (FSH dan LH) untuk merangsang

pertumbuhan folikel baru (Partodihardjo, 1992; Hafez, 2000; Sato et al.,2016).

Fase ini pada tikus berlangsung kira-kira 57 jam (Turner dan Bagnara, 1988).

2.5.2 Siklus uterus

Terlepasnya lapisan endometrium uterus menyebabkan perdarahan vagina

berkala yang dikenal dengan siklus menstruasi. Tebal endometrium di bawah

pengaruh estrogen berkembang dengan cepat meningkat dari hari kelima sampai

hari keempat belas siklus menstruasi. Kelenjar-kelenjar uterus bertambah panjang

tetapi tidak bersekresi. Perubahan pada endometrium disebut proliferatif dan

bagian siklus menstruasi disebut fase proliferatif. Endometrium setelah ovulasi

sedikit agak edema. Kelenjar-kelenjar yang bersekresi menjadi sangat

berkelok-kelok dan melipat karena pengaruh estrogen dan progesteron korpus

luteum (Speroff, 2011; Hafez, 2000).

Fase ini disebut fase sekresi dari siklus menstruasi. Hormon yang menyokong

endometrium berkurang dengan cepat bila korpus luteum mengalami regresi.

Arteria spiralis menyempit. Bagian endometrium mengalami penebalan, arteri-

arteri mengalami pembesaran menjadi iskemia. Bagian ini kadang-kadang

dinamakan stratum fungsionale endometrium untuk membedakannya dari stratum


54

basale yang letaknya lebih dalam serta memiliki arteri-arteri yang membesar yaitu

arteri basalis. Sewaktu korpus luteum mengalami regresi, pasokan hormon untuk

endometrium terhenti. Endometrium menjadi lebih tipis yang menambah

gulungan-gulungan arteri spiralis. Fokus-fokus nekrosis di endometrium muncul.

Fokus-fokus ini kemudian bersatu. Terjadinya spasme lalu nekrosis dinding arteri

spiralis menyebabkan keluarnya darah menstruasi yang mengandung mukus dan

sel-sel epitel, kemudian dikeluarkan dari rongga uterus menuju vagina (Speroff,

2011; Hafez, 2000).

Pengelupasan dipermudah oleh prostaglandin yang dilepaskan dalam

endometrium. Perdarahan menstruasi terutama adalah darah arteri hanya 25%

dalam aliran yang berasal dari darah vena. Dalam keadaan normal, menstruasi

tidak mengandung bekuan. Perdarahan berhenti bila arteri spiralis berkonstriksi

kembali. Rata-rata lama menstruasi adalah 5 hari. Rata-rata darah yang hilang

kira-kira 30 m1 walaupun pada wanita hal ini bervariasi (Hafez, 2000; Speroff,

2011). Fase proliferasi bila diamati dari fungsi endometrium menggambarkan

perbaikan epitel dari menstruasi sebelumnya. Fase sekresi adalah persiapan uterus

untuk implantasi ovum yang telah mengalami fertilisasi. Endometrium dilepaskan

bila fertilisasi tidak terjadi dan siklus baru dimulai lagi (Jones et al., 2014).

2.5.3 Siklus vagina

Perubahan-perubahan yang terjadi pada epitel vagina manusia dewasa selama

siklus 28 hari tidak begitu nyata seperti layaknya yang terjadi pada hewan tingkat

rendah. Adanya berbagai macam sel bebas dalam vagina pada beberapa hewan
55

tingkat rendah menunjukkan adanya perubahan-perubahan periodik yang ada

kaitannya dengan kejadian-kejadian dalam ovarium. Sel-sel bebas pada umumnya

terdiri atas sel-sel epitel yang lepas dari epitel vagina dan lekosit (Smith, 1988).

Smith melaporkan pula hasil penelitian yang dilakukan Stockard dan Papaniculau

pada tahun 1917 tentang percobaan hapusan vagina (vagina smear) dengan

mengambil hapusan vagina yang mengandung sel-sel epitel yang lepas.

Hasil penelitian Stockard dan Papaniculau menunjukan bahwa estrogen

menimbulkan keratinisasi pada epitel vagina. Hal ini jelas terlihat pada tikus dan

kelinci yang mempunyai siklus estrus 4 hari.

Maeda et al. (2000) dan Frandson (2009) menjelaskan bahwa sel-sel epitel

vagina tikus dan kelinci menurut mereka menunjukkan perubahan-perubahan

siklik yang dapat dibagi menjadi empat periode. Interval waktu hewan-hewan

betina menjadi birahi bermula dari permulaan estrus sampai ke periode estrus

berikutnya yang disebut siklus estrus (siklus birahi). Siklus estrus dikontrol secara

langsung oleh hormon dari ovarium dan secara tidak langsung dikontrol oleh

hormon dari adenohipofisis lobus anterior. Pada dasarnya siklus estrus antar-

hewan mamalia adalah sama sekalipun terdapat perbedaan antarspesies dalam hal

beberapa bagian siklus. Siklus birahi dibagi menjadi beberapa fase, yaitu

proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus (Maeda et al. 2000; Frandson, 2009).

2.5.4 Proestrus

Proestrus adalah fase sebelum estrus. Folikel de Graaf pada periode ini

tumbuh di bawah pengaruh follicle stimulating hormone (FSH) dari


56

adenohipofisis lobus anterior dan menghasilkan sejumlah estradiol yang makin

bertambah. Hal itu menyebabkan meningkatnya perkembangan uterus, vagina,

oviduk, dan folikel ovarium. Fase pertama (proestrus) dari siklus estrus dianggap

sebagai fase ‘penumpukan’. Folikel ovarium dengan ovumnya dalam fase ini

menjadi membesar karena meningkatnya cairan folikel yang berisi hormon-

hormon estrogenik. Folikel ovarium dengan ovum yang menempel membesar

dalam fase ini terutama karena meningkatnya cairan folikel yang berisi hormon-

hormon estrogenik. Estrogen yang diserap dari folikel ke dalam aliran darah

merangsang penaikan vaskularitas dan pertumbuhan sel genitalia tubular sebagai

persiapan untuk birahi dan kebuntingan yang akan terjadi (Frandson, 2009;

Gaytan, et al., 2002). Folikel dalam ovarium juga mendekati permukaan dan

pengaruh estrogen kelihatan jelas pada masa ini. Gambaran yang terlihat pada

epitel vagina adalah (1) epitel menjadi tebal karena terjadi proliferasi bagian

bawah; (2) sel-sel epitel bagian atas masih menunjukkan inti dan tanda-tanda

penandukan belum ada; dan (3) sel-sel epitel di bawah sel-sel bagian superfisial

memperlihatkan butir-butir keratohialin (Frandson, 2009).

Pada fase proestrus, folikel berkembang dengan cepat sampai saat ovulasi di

akhir proestrus. Pada fase ini, ada 2 – 4 folikel berukuran besar yang dapat

diamati. Menurut Shearer (2008), fase proestrus berlangsung sekitar 2-3 hari dan

dicirikan dengan pertumbuhan folikel dan produksi estrogen. Peningkatan jumlah

estrogen menyebabkan pemasokan darah ke sistem reproduksi untuk

meningkatkan pembengkakkan bagian dalam sistem reproduksi. Kelenjar serviks


57

dan vagina dirangsang untuk meningkatkan aktivitas sekretori membangun

muatan vagina yang tebal.

2.5.5 Estrus

Menurut Frandson (2009), estrus merupakan periode penerimaan seksual

pada hewan betina yang ditentukan oleh tingkat sirkulasi estrogen. Ovulasi terjadi

selama atau segera setelah periode estrus. Hal itu ditandai dengan penurunan

tingkat FSH dan penaikan tingkat LH dalam darah. Folikel membesar dan ‘turgid’

serta ovum mengalami pemasakan sesaat sebelum ovulasi (Frandson, 2009).

Masih menurut Frandson (2009), estrus berakhir pada saat pecahnya folikel

ovarium atau disebut terjadinya ovulasi. Ovum dilempar dari folikel menuju ke

bagian atas tuba uterin pada saat ovulasi. Pemecahan folikel terjadi secara alami

pada kebanyakan spesies hewan. Akan tetapi, pemecahan folikel pada kucing,

kelinci, dan beberapa hewan lainnya menurut Frandson hanya dapat terjadi

apabila berlangsung koitus. Ovulasi pada hewan-hewan ini disebabkan oleh

tertundanya refleks neuroendokrin yang melibatkan pelepasan hormon dari

pituitari. Pelepasan hormon dari pituitari tersebut disebabkan oleh stimulasi

karena koitus atau disebut ovulator refleks. Folikel akan mengalami lisis apabila

hewan betina tidak melakukan perkawinan pada saat fase estrus. Suatu

perkawinan steril sering kali diikuti oleh kebuntingan semu dalam ovulator refleks

(Frandson, 2009).

Lohmiller et al. (2006) menjelaskan proses terjadinya ovulasi pada ovarium.

Pengaruh estrogen masih sangat kuat dan menyolok. Gambaran yang terlihat

antara lain (1) epitel sangat tebal; (2) inti sel-sel permukaan sangat kurang; dan (3)
58

terjadi kornifikasi yang sangat nyata pada permukaan epitel. Kornifikasi tersebut

merupakan proteksi pada masa perkawinan (Lohmiller et al.,2006).

Karakteristik sel pada saat estrus dijelaskan oleh Karaca et al. (2007).

Menurut mereka, penampakan histologi dari ulasan vagina didominasi oleh sel-sel

superfisial tetap terdapat kornifikasi pada hasil preparat, pengamatan yang

berulang menampakkan sel-sel superfisialnya ada yang bersifat anukleat. Sel-sel

prabasal dan superfisial mudah untuk dibedakan sedangkan sel-sel intermediet

adalah sel yang terletak di antara sel parabasal dan sel superfisial. Pada saat

nukleus mengecil, membentuk pyknotic maka sel ini dapat diklasifikasikan

sebagai sel superfisial (Karaca et al., 2007).

2.5.6 Metestrus

Metestrus atau postestrus adalah periode segera sesudah estrus, di mana

korpus luteum tumbuh cepat dari sel-sel granulosa folikel yang telah pecah di

bawah pengaruh LH. Metestrus sebagian besar berada di bawah pengaruh

progesteron yang dihasilkan oleh korpus luteum. Progesteron menghambat sekresi

FSH oleh adenohipofisis sehingga menghambat pembentukan folikel de Graaf

yang lain dan mencegah terjadinya estrus selama metestrus uterus mengadakan

persiapan-persiapan seperlunya untuk menerima dan memberi makan pada

embrio. Menjelang pertengahan sampai akhir metestrus, uterus menjadi agak

lunak karena pengendoran otot uterus. Apabila kebuntingan tidak terjadi, uterus

dan saluran reproduksi selebihnya beregresi ke keadaan yang kurang aktif yang

sama sebelum proestrus atau disebut diestrus (Toelihere, 1977). Pada waktu ini,
59

pengaruh estrogen sudah berkurang dan pengaruh progesteron makin menonjol.

Pada epitel vagina ditemukan (1) epitel menjadi lebih menipis; (2) sel-sel

permukaan tidak menunjukkan inti; (3) penandukan mulai berkurang; (4) basal

membran mulai menghilang; (5) limfosit dan lekosit polimorfonuklear

mengadakan invasi ke sel-sel epitel sehingga banyak ditemukan pada hapusan

vagina (Toelihere, 1997; Frandson, 2009).

2.5.7 Diestrus

Stadium diestrus berlangsung kira-kira 57-60 jam. Sel-sel epitel dan leukosit

terlihat pada sediaan vagina. Korpus luteum menjadi matang dan pengaruh

progesteron terhadap saluran reproduksi menjadi nyata. Endometrium lebih

menebal dan kelenjar-kelenjar mengalami hipertrofi. Serviks menutup dan lendir

vagina mulai kabur dan lengket. Selaput mukosa vagina pucat dan otot uterus

mengendor. Pada akhir periode ini, endometrium dan kelenjar-kelenjarnya

mengalami atrofi atau beregresi ke ukuran semula. Perkembangan folikel-folikel

primer dan sekunder mulai terjadi dan akhirnya kembali ke proestrus. Korpus

luteum akan segera mengalami regresi apabila ovum tidak dibuahi. Mukosa uterus

menjadi kecil dan pucat pada fase ini. Tanda-tanda yang dapat dilihat pada vagina

adalah (1) epitel menjadi sangat tipis; (2) sel-sel epitel permukaan mulai

menunjukan inti kembali; (3) penandukan sudah menghilang; dan (4) beberapa sel

polimorfonuklear terlihat (Frandson, 2009).

Fase diestrus merupakan fase korpus luteum bekerja secara optimal. Pada sapi

hal ini dimulai ketika konsentrasi progesteron darah meningkat dapat dideteksi

dan diakhiri dengan regresi korpus luteum. Fase ini disebut juga fase persiapan
60

uterus untuk kehamilan. Fase ini merupakan fase yang terpanjang didalam siklus

estrus. Terjadinya kehamilan atau tidak, korpus luteum akan berkembang dengan

sendirinya menjadi organ yang fungsional yang menghasilkan sejumlah

progesteron. Jika telur yang dibuahi mencapai uterus, maka korpus luteum akan

dijaga dari kehamilan. Jika telur yang tidak dibuahi sampai ke uterus maka korpus

luteum hanya akan berfungsi beberapa hari setelah itu dan selanjutnya korpus

luteum akan meluruh. Setelah itu akan dimulai siklus estrus yang baru (Shearer,

2008).

2.6 Hormon reproduksi pada tikus betina

Pada tikus betina terdapat empat fase dalam siklus estrus yang berlangsung

selama 4-5 hari. Hormon estrogen dan progesteron memiliki kadar yang relatif

rendah pada fase metestrus dan selanjutnya pada awal fase diestrus (hari kedua

siklus estrus) kadar hormon progesteron akan meningkat secara tajam dan akan

turun secara cepat pada diakhir waktu hari kedua. Kemudian memasuki hari

ketiga, fase proestrus dimulai dengan terjadinya lonjakan kadar hormon estrogen

sehingga memicu terjadinya peningkatan puncak kadar luteinizing hormone (LH)

dan follicle stimulating hormone (FSH) pada pukul 16.00 dan 18.00 dan memicu

terjadinya peningkatan sekresi hormon progesteron. Pada fase akhir yaitu fase

estrus akan terjadi proses ovulasi dan kadar dari tiap hormon akan kembali ke

semula dimana kadar hormon estrogen akan mengalami puncaknya saat malam

hari dari fase estrus. Fase estrus atau birahi dari tikus betina terjadi pada waktu

malam dari hari keempat ( Nielsen and Hererra, 2017).


61

Poros hipotalamus-hipofisis-gonad secara umum bertanggung jawab

mengatur aktivitas sistem reproduksi dan rilis hormon ovarium pada tikus betina.

HIPOTALAMUS

GnRH

HIPOFISIS
ANTERIOR

LH FSH

Activin OVARIUM
inhibin

Estrogen
Progesterone
Keterangan:
stimulasi
inhibisi
stimulasi / inhibisi

Gambar 2.18 Poros Hipotalamus-hipofisis-gonad pada tikus (McVeigh et al.,


2008)

Gonadotrophin-releasing hormone (GnRH) akan dirilis dari hipotalamus untuk

mendorong rilis baik FSH dan LH dari adenohipofisis. Rilis dari GnRH

dimodulasi oleh hormon steroid (estrogen dan progesteron) dan peptida (inhibin)

pada ovarium tetapi rilis basal (basal release) sendiri ditentukan oleh neural

inputs ke hipotalamus yang ada pada sistem saraf pusat (SSP) dan basal release

pada GnRH sendiri berupa denyutan (pulsatile) yang bisa dilihat dengan jelas

pada hewan yang dilakukan ovariektomi (Frandson, 2009).


62

Sel granulosa dan sel teka dari folikel sekunder mengembangkan reseptor

selular dari FSH dan LH. Efek koordinasi keduanya diperlukan untuk

perkembangan folikel secara normal. Di bawah pengaruh LH, sel teka akan

mengalami proliferasi dan menghasilkan hormon androgen (androstenedion dan

testosteron) yang kemudian berdifusi ke dalam sel granulosa. Kemudian FSH

mendorong terjadinya proliferasi dari sel granulosa dan perkembangan enzim

selular yang dibutuhkan untuk konversi androgen menjadi estrogen, serta sekresi

dari sebagian lainnya dari hormon parakrin yang dibutuhkan untuk perkembangan

folikel. Hasil sekresi selular yang terakumulasi pada sel granulosa dan rongga

bagian dalam folikel yang terisi penuh dengan cairan (antrum) dapat

diidentifikasi. Perkembangan folikel ini bisa diidentifikasikan sebagai folikel

tersier (vesicular or Graafian folicles) jika antrum dapat ditemukan dalam sel

granulosa. Sel teka yang melapisi folikel tersier terdiri atas dua lapisan, yaitu teka

eksterna dan teka interna di mana pada lapisan internal ini terdiri atas banyak

pembuluh darah (highly vascular) dan sel teka dengan karakteristik selular

sebagai steroid producing cells. Sementara teka eksterna secara umum terdiri atas

connective tissue (Frandson, 2009; Huhtaniemi et al., 2017).

2.6.1 Hormon estrogen

Menurut Frandson (2009), hormon estrogen diproduksi oleh sel granulosa

yang bertindak sebagai paracrine agent pada perkembangan folikel dan juga

memasuki sirkulasi sistemik untuk mempengaruhi bagian lain dari tubuh. Hormon

estrogen secara lokal pada sel granulosa menurutnya meningkatkan reseptor FSH
63

dan LH dan bersama-sama dengan gonadotrophin mendorong replikasi,

pertumbuhan, dan sekresi dari sel granulosa selanjutnya.

Menurut Frandson (2009) pula, karakteristik dari efek keseluruhan yang

terjadi secara lokal pada sel granulosa menghasilkan hormon estrogen yang

mendorong perkembangan dari folikel pada tempat di mana folikel yang

dihasilkan disebut dengan efek umpan balik positif lokal (local positive feedback

effect) dari estrogen. Umpan balik positif ini merupakan faktor pertama dalam

proses pemilihan yang menentukan developing follicles mana yang nantinya akan

menghasilkan ovum dan ovulasi. Faktor keduanya adalah circulating estrogens

yang memiliki negative feedback effect pada sekresi FSH dari adenohipofisis

(Frandson, 2009).

Masih menurut Frandson (2009), penurunan kadar FSH pada periode ini

menyebabkan terjadinya atresia pada developing follicles. Hormon estrogen dari

developing follicles juga dibutuhkan untuk mempesiapkan folikel dan poros

hipotalamus-adenohipofisis untuk ovulasi. Dalam ovarium hormon estrogen akan

mendorong peningkatan reseptor LH pada sel teka sehingga sel ini meningkatkan

produksi dari androgen dan secara tepat merespon LH saat waktu ovulasi. Inhibin

merupakan hormon peptida yang disekresikan oleh sel granulosa dari developing

follicles. Kadar inhibin dalam darah pada saat perkembangan folikel dan ketika

rilis FSH dari adenohipofisis inhibin memiliki negative feedback effect sehingga

perkembangan dominant follicles dapat menekan perkembangan dari folikel yang

berkompetisi (Frandson, 2009).


64

Gambar 2.19 Struktur kimia hormon estrogen dan progesteron


(Jones and Lopez, 2006)

2.6.2 Hormon progesteron

Progesteron merupakan senyawa steroid pathway yang terjadi dalam ovarium

kelenjar adrenal yang dihasilkan melalui konversi pregnenolone di bawah kontrol dari

enzim 3β-HSD. Pada varium progesteron dihasilkan oleh sel granulosa dan sel teka.

Progesteron yang dihasilkan oleh sel granulosa harus melalui membran folikular dan

mencapai theca compartement untuk dikonversi menjadi 17-OH-progesteron.

Konversi ini dikatalisis melalui aktivitas dari C17 hydroxylase activity yang hanya

ada dalam sel teka. Selanjutnya progesteron akan dimetabolisme menjadi androgen

dan kemudian menjadi estrogen. Progesteron menginduksi perubahan yang signifikan

pada morfologi endometrium yang diperlukan saat proses attachment dari embrio

(Sonigo et al.,2014; Garg et al., 2017).

Menurut Drummond (2006), hormon progesteron merupakan hormon steroid

yang disintesis pada plasenta, ovarium, dan kelenjar adrenal yang memiliki peranan

penting dalam proses ovulasi, implantasi, dan melindungi kehamilan pada sistem

reproduksi hewan betina. Hal ini menurut Drummond pula termasuk dalam peranan

progesteron dalam mengatur fungsi sel granulosa dan follicle rupture saat ovulasi.

Progesterone receptor (PR) menurutnya meliputi dua bentuk, yaitu PR-A dan PR-B.
65

Keduanya masih merupakan satu gen yang sama. Kedua reseptor baik PR-A maupun

PR-B memiliki fungsi berbeda di mana secara in vitro PR-A merupakan dominant

represor dari PR-B. Keseimbangan kedua reseptor ini menunjukkan tingkat respon

dari sel. PR-A dan PR-B menunjukkan perbedaan sifat transactivation di mana

memiliki sel dan promoter spesifik yang mengindikasikan mekanisme kerja pada

bagian yang berbeda dari gen pada tiap reseptor dalam responnya dengan progesteron

(Drummond, 2006; Pfaff et al., 2017).

Brȁnnstrȍm et al. (2010) melaporkan bahwa PR-B memiliki predominant form

dalam ovarium yaitu dalam sel teka pada monyet. Menurut mereka pula, bentuk

isoform PR-A dan PR-B bisa ditemukan pada sel granulosa dan sel teka hanya saja

PR-A ditemukan dalam kadar yang lebih tinggi pada ovarium manusia. Pada ekspresi

dari PR menyebabkan LH induced meningkat yang terdapat dalam sel-sel folikular

dan adanya amplifikasi substansial dari sintesis progesteron pada folikel. Progesteron

yang berperan pada proses ovulasi ditunjukkan pada tikus di mana antiserum

progesteron menghambat ovulasi secara in vivo.

Penelitian secara in vitro oleh Brȁnnstrȍm et al. (2010) dengan perfusi ovarium

tikus menunjukkan bahwa ovulasi dihambat dengan menekan produksi progesteron

pada ovarium dan ovulatory block ini bisa dibalikkan dengan penambahan hormon

progesteron dari luar. Brȁnnstrȍm et al. (2010) melakukan pula penelitian sejenis

pada mencit. Simpulan mereka adalah dengan defiensi PR-A dan PR-B menunjukkan

bahwa infertilitas pada mencit tidak berovulasi secara spontan atau sebagai respon

akibat penambahan hormon gonadotropin dari luar (Brȁnnstrȍm et al., 2010).

Pregnenolon merupakan prekursor bagi hormon steroid lain yang disintesis di

ovarium. Rate limiting step pada sintesis progesteron yaitu side-chain cleavage
66

kolesterol oleh P450scc dan kemudian pregnenolon dikonversi menjadi progesteron

oleh 3β-hidroksisteroid dehidrogenase (Henley et al., 2005).

Kadar progesteron yang tinggi berpengaruh pada poros hipotalamus-

adenohipofisis untuk menghambat sekresi LH lebih lanjut. LH sendiri diperlukan

sebagai pemicu untuk terjadinya ovulasi dan follicle rupture. Kadar serum

progesteron pada wanita meningkat secara bertahap saat di awal hingga akhir dari LH

surge dan secara kontinu selama fase luteal dari tiap siklus. Adalah sangat mungkin

dengan meningkatnya kadar progesteron berkontribusi pada terminasi dari LH surge

via negative feedback effect. Data penelitian pada wanita menunjukkan bahwa ketika

LH surge diinduksi dengan pemberian estrogen yang menyebabkan kadar LH

menurun tetapi akan turun ke presurge level hanya setelah pemberian progesteron

(Messinis, 2006; Sato et al., 2016).

Hasil penelitian Coirini et al. (2003) antara lain membuktikan bahwa kelenjar

adrenal berkontribusi dengan jumlah yang signifikan pada kadar progesteron dalam

darah (circulating progesteron) baik pada tikus maupun manusia. Alasan mereka

adalah karena circulating PROG memiliki sifat lipid solubility sehingga mudah

masuk ke dalam aliran blood-brain dan blood-nervebarriers serta berdifusi ke dalam

jaringan syaraf (nervous tissues). Selain itu, progesteron dapat disintesis juga oleh

neuron dan sel glial baik secara de novo dari kolesterol atau dari darah yang dibawa

oleh pregnenolon (Coirini et al., 2003). Miller dan Auchus (2011) melengkapi

pernyataan sebelumnya. Mereka membuktikan bahwa kelenjar adrenal pada pasien

dengan defisiensi 3β-HSD2 akan mensekresikan ∆5 steroids, pregnenolone, 17α-

hydroxypregnenolon, dan DHEA dalam jumlah kadar yang sangat besar.

Anda mungkin juga menyukai