Anda di halaman 1dari 18

Allah Ta’ala berfirman,

ِ ‫اس تَْأ ُمرُونَ بِ ْال َم ْعر‬


ِ ‫ُوف َوتَ ْنهَوْ نَ َع ِن ْال ُم ْنك‬
ِ ‫َر َوتُْؤ ِمنُونَ بِاهَّلل‬ ْ ‫ُك ْنتُ ْم خَ ْي َر ُأ َّم ٍة ُأ ْخ ِر َج‬
ِ َّ‫ت لِلن‬

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan
mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah…” (QS. Ali Imran, 3: 110)

Ayat ini menyebutkan bahwa umat yang paling baik di dunia adalah umat yang mempunyai dua macam
sifat, yaitu mengajak kepada kebaikan serta mencegah kemungkaran, dan senantiasa beriman kepada
Allah. [1]

Semua sifat itu telah dimiliki oleh kaum muslimin di masa nabi dan telah menjadi darah daging dalam
diri mereka karena itu mereka menjadi kuat dan jaya. Dalam waktu yang singkat mereka telah dapat
menjadikan seluruh tanah Arab tunduk dan patuh di bawah naungan Islam, hidup aman dan tenteram di
bawah panji-panji keadilan, padahal mereka sebelumnya adalah umat yang berpecah belah selalu
berada dalam suasana kacau dan saling berperang antara sesama mereka. Bahkan Islam semakin
melebarkan sayapnya hingga ke wilayah-wilayah Persia dan Romawi serta tersebar ke seluruh penjuru
bumi. Ini adalah berkat keteguhan iman dan kepatuhan mereka menjalankan ajaran agama dan berkat
ketabahan dan keuletan mereka menegakkan amar makruf dan mencegah kemungkaran.

Namun, pada masa selanjutnya kaum muslimin mengalami degradasi; diawali dengan terjadinya
perpecahan politik, fanatisme, perebutan kepemimpinan dan jabatan. Tumbuhnya pertentangan
keagamaan dan madzhab, sikap berpaling dari kitabullah dan sunnah Rasulullah, jumud dan fanatisme
terhadap pendapat, serta gemar berdebat semakin melemahkan kekuatan mereka. Kondisi ini semakin
parah ketika kebanyakan mereka tenggelam dalam berbagai kemewahan dan kenikmatan, suka
bersantai-santai dan melampiaskan syahwat. Mereka mengabaikan ilmu pengetahuan dan bersikap
lengah terhadap kekuatan musuh-musuhnya. Maka terjadilah kenyataan pahit yang telah disebutkan
oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelumnya,

‫ َولَ ِكنَّ ُك ْم ُغثَا ٌء‬، َ‫ “بَلْ اِنَّ ُك ْم يَوْ َمِئ ٍذ َكثِ ْيرُوْ ن‬:‫ك َأ ْن تَدَاعَى َعلَ ْي ُكم اُأل َم ُم َك َما تَدَاعَى اَأل َكلَةُ ِإلَى قَصْ َعتِهَا” اَ َو ِم ْن قِلَّ ٍة بِنَا يَوْ َمِئ ٍذ يَا َرسُوْ َل هللاِ؟ قَا َل‬
ُ ‫يُوْ ِش‬
ِ ْ‫ “حُبُّ ال ُد ْنيَا َو َك َرا ِهيَةُ ْال َمو‬:‫ َو َما ْال َوهْنُ يَا َرسُوْ َل هّللا ِ ؟ قَا َل‬:‫ َوقَ ْد نَزَ َل بِ ُك ُم ْال َوهْنُ ” قِي َْل‬،‫َك ُغثَا ِء ال َسي ِْل‬
‫ت‬

“Kamu akan diperebutkan oleh bangsa-bangsa lain sebagaimana orang-orang berebut melahap isi
mangkok.” Para sahabat bertanya: “Apakah saat itu jumlah kami sedikit ya Rasulullah?” Beliau
menjawab: “Tidak, bahkan saat itu jumlah kalian banyak sekali tetapi seperti buih air bah dan kalian
ditimpa penyakit wahn.” Mereka bertanya lagi: “Apakah penyakit wahn itu ya Rasulullah?” Beliau
menjawab: “Terlalu cinta dunia dan takut kepada mati” (HR. Abu Daud).

Namun, seiring dengan semakin melemahnya peradaban Barat yang material minded, kini kesadaran
akan kebangkitan umat ini telah tumbuh kembali. Kekotoran atheisme, permissivisme, hedonisme, sikap
egoisme, dan ekonomi ribawi telah membuka mata generasi baru umat ini untuk segera bangkit.
Sebagai bagian dari umat, kita hendaknya turut berkontribusi dalam gerakan kebangkitan yang kini terus
digelorakan, sehingga dakwah menyebar di seantero negeri mengobati kerusakan jiwa, dekadensi moral,
dan tindakan kriminal; seluruh manusia terbimbing dengan nilai-nilai dan aturan ilahi yang akan
membawa kepada kebahagiaan dan kesejahteraan.

*****

Di hadapan kita ada medan amal yang demikian berat. Sebuah kerja besar yang harus dilakukan secara
kolektif (amal jama’i), berbekal iman yang mantap (al-imanul ‘amiq), pembentukan (pembinaan) yang
cermat (at-takwinud daqiq), dan kerja yang berkesinambungan (al-‘amalul mutawashil). Demi
terwujudnya kebangkitan umat kita harus bekerja keras memancangkan pilar-pilar penyangganya, ia
adalah:

Al-Yaqdhatur Ruhiyah (kesadaran/kebangkitan ruhiyah)

Inti kekuatan umat ada pada kekuatan ruhani, bukan pada kekuatan materi. Di sepanjang sejarahnya,
dapat kita ketahui bahwa kekuatan ruhani itulah yang menjadi andalan. Tumbuh darinya keikhlasan,
semangat jihad, tadhiyah (kesungguhan), dan badzli (pengorbanan jiwa dan raga). Tanpa itu,
pertolongan Allah Ta’ala tidak mungkin akan turun dan kita pun tidak akan mungkin memperoleh
kemenangan.

Gambaran tentang hal ini terungkap dari episode sirah generasi terbaik umat ini. Sebelum terjadinya
Perang Mu’tah, saat para sahabat mempertimbangkan langkah terbaik guna menghadapi pertempuran
yang tidak seimbang—3.000 prajurit melawan 200.000 prajurit—Abdullah bin Rawahah menyampaikan
pendapatnya, “Hai kaum, demi Allah, sesungguhnya apa yang tidak kalian sukai ini adalah merupakan
tujuan keberangkatan kalian. Bukankah kalian menginginkan mati syahid? Kita memerangi musuh
bukanlah dengan mengandalkan jumlah, kekuatan, maupun banyaknya balatentara. Kita memerangi
mereka hanyalah dengan mengandalkan agama ini, yang dengannya Allah memuliakan kita. Maka dari
itu, maju terus! Kita pasti memperoleh satu dari dua kebaikan, menang atau mati syahid!”

Abu Hurairah berkata tentang pengalamannya mengikuti Perang Mu’tah, “Aku turut serta dalam perang
Mu’tah. Ketika pasukan musyrikin mendekat, kami melihat perbekalan, perlengkapan, dan persenjataan
mereka tidak ada tolok bandingnya, sehingga aku sendiri merasa silau. Ketika itu Tsabit bin Arqam
bertanya kepadaku: ‘Hai Abu Hurairah, tampaknya engkau heran melihat pasukan musuh begitu besar
bukan?’ Aku menjawab: ‘Ya benar.’ Tsabit berkata,”Itu karena engkau tidak turut serta dalam perang
Badr bersama kami. Ketika itu kami menang bukan karena besarnya jumlah pasukan!”

Di dalam sirah diriwayatkan pula bahwa musuh mana pun tidak akan sanggup bertahan lama
menghadapi sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan Hireklius sekalipun. Ketika
ia berada di Anthakiyah dan pasukan Romawi datang dalam keadaan kalah, ia berkata kepada mereka,
“Celaka kalian. Jelaskan kepadaku tentang orang-orang yang berperang melawan kalian! Bukankah
mereka manusia seperti kalian juga?” Pasukan Romawi menjawab, “Betul.”

Hireklius bertanya lagi, “Siapa yang lebih banyak pasukannya; kalian atau mereka?” Pasukan Romawi
menjawab, “Kami lebih banyak pasukannya beberapa kali lipat di semua tempat.”

Hireklius berkata, “Kalau begitu kenapa kalian kalah?”

Salah seorang tokoh Romawi menjawab, “Karena mereka melakukan qiyamu lail, berpuasa di siang hari,
menepati janji, memerintahkan hal-hal baik, melarang hal-hal mungkar, dan adil sesama mereka.
Sedangkan kita minum minuman keras, berzina, menaiki kendaraan haram, bersikap ingkar janji,
merampok, menzalimi orang, memerintahkan hal-hal yang haram, melarang hal-hal yang diridhai Allah,
dan membuat kerusakan di bumi.”

Hireklius berkata kepada tokoh itu, “Anda berkata benar kepadaku.”[2]

Dengan kecerdasannya, tokoh Romawi itu meringkas sebab-sebab pembawa kemenangan dan sebab-
sebab pembawa kekalahan. Ia jelaskan bahwa pasukan Islam punya seluruh sebab pembawa
kemenangan, sedang pasukan Romawi punya semua sebab pembawa kekalahan. Allah ta’ala pun
menolong siapa yang berhak ditolong dan menelantarkan siapa yang berhak ditelantarkan. [3]
Maka, pilar pertama yang harus kita bangun dengan sungguh-sungguh sebelum yang lainnya adalah
kebangkitan ruhiyah.

Allah ta’ala berfirman,

َ‫ص ُر ُك ْم ِم ْن بَ ْع ِد ِه َو َعلَى هَّللا ِ فَ ْليَتَ َو َّك ِل ْال ُمْؤ ِمنُون‬


ُ ‫ب لَ ُك ْم وَِإ ْن يَ ْخ ُذ ْل ُك ْم فَ َم ْن َذا الَّ ِذي يَ ْن‬
َ ِ‫ِإ ْن يَ ْنصُرْ ُك ُم هَّللا ُ فَاَل غَال‬

“Jika Allah menolong kamu, maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kamu; jika Allah
membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu
(selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mu’min
bertawakkal.” (QS. Ali Imran, 3: 160)

َ‫يَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا ارْ َكعُوا َوا ْس ُجدُوا َوا ْعبُدُوا َربَّ ُك ْم َوا ْف َعلُوا ْال َخي َْر لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِحُون‬

“Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah
kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.” (Q.S. Al-Hajj, 22: 77)

As-Shahwatul Fikriyah (kebangkitan fikriyah/pemikiran)

Selain kebangkitan ruhani, hal lain yang menjadi pilar kebangkitan umat adalah kebangkitan fikriyah
(pemikiran). Supremasi pemikiran Islam di tengah masyarakat harus diwujudkan. Umat ini harus menjadi
umat yang memiliki kepercayaan bahwa secara konseptual Islamlah yang paling siap menyelamatkan
peradaban dan kemanusiaan ini.

Kita harus berupaya membina diri dan umat ini agar memiliki pandangan hidup, pola pikir dan ideologi
yang sesuai dengan aqidah Islam. Rela menjadikan Islam sebagai referensi tertinggi dalam memandang
urusan kehidupannya dan meninggalkan sikap mengekor (taqlid) atau ikut-ikutan (imma’ah) kepada
fikrah dan tsaqafah umat/bangsa lain yang tidak selalu sesuai dengan fikrah dan tasaqafah Islamiyah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan hal ini dengan sabdanya,


َ َّ‫ُول هَّللا ِ ْآليَهُو َد َوالن‬
: ‫صا َرى قَا َل‬ َ ‫ قُ ْلنَا يَا َرس‬, ‫ضبٍّ الَتَّبَ ْعتُ ُموهُ ْم‬ ٍ ‫لَتَتَّبِع َُّن َسنَنَ الَّ ِذينَ ِم ْن قَ ْبلِ ُك ْم ِش ْبرًا بِ ِشب ٍْر َو ِذ َراعًا بِ ِذ َر‬
َ ‫اع َحتَّى لَوْ َدخَ لُوا فِى جُحْ ِر‬
َ
‫ف َم ْن‬

“Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta
demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang sempit
sekalipun, -pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah,
apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” (HR. Muslim
no. 2669)

Imam Nawawi –rahimahullah– ketika menjelaskan hadits di atas menjelaskan, “Yang dimaksud dengan
syibr (sejengkal) dan dzira’ (hasta) serta lubang dhab (lubang hewan tanah yang penuh lika-liku), adalah
permisalan bahwa tingkah laku kaum muslimin sangat mirip sekali dengan tingkah Yahudi dan Nashrani.
Yaitu kaum muslimin mencocoki mereka dalam kemaksiatan dan berbagai penyimpangan, bukan dalam
hal-hal kekafiran mereka yang diikuti. Perkataan beliau ini adalah suatu mukjizat bagi beliau karena apa
yang beliau katakan telah terjadi saat-saat ini.” (Syarh Muslim, 16: 219)[4]

Sedangkan tentang sikap imma’ah (ikut-ikutan), Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

.» ‫َظلِ ُموا‬ ْ ‫الَ تَ ُكونُوا ِإ َّم َعةً تَقُولُونَ ِإ ْن َأحْ سَنَ النَّاسُ َأحْ َسنَّا وَِإ ْن ظَلَ ُموا ظَلَ ْمنَا َولَ ِك ْن َوطِّنُوا َأ ْنفُ َس ُك ْم ِإ ْن َأحْ سَنَ النَّاسُ َأ ْن تُحْ ِسنُوا َوِإ ْن َأ َسا ُءوا فَالَ ت‬
‫ْرفُهُ ِإالَّ ِم ْن هَ َذا ْال َوجْ ِه‬
ِ ‫َريبٌ الَ نَع‬
ِ ‫يث َح َس ٌن غ‬ ٌ ‫ال َأبُو ِعي َسى هَ َذا َح ِد‬ َ َ‫ق‬.

“Janganlah kamu menjadi orang yang tidak punyai sikap. Bila orang melakukan kebaikan maka aku pun
melakukannya. Namun bila orang melakukan keburukan maka aku pun ikut melakukannya juga. Akan
tetapi tempatkanlah diri kalian! Jika orang melakukan kebaikan maka aku melakukannya. Namun jika
orang melakukan keburukan maka aku tinggalkan sikap buruk mereka.” (HR. Tirmidzi)

Sesungguhnya kaum muslimin telah memiliki way of life (manhajul hayah) yang sempurna. Umat ini
harus terus meningkatkan komitmen terhadap segala sesuatu yang bersumber dari ajaran Islam;
mencakup aspek keyakinan (al-i’tiqadi), moral (al-akhlaki), sikap (as-suluki), perasaan (as-syu’uri),
pendidikan (at-tarbawi), kemasyarakatan (al-ijtima’i), politik (as-siyasi), ekonomi (al-iqtishadi), militer
(al-‘askari), dan hukum (al-jina’i).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sejak awal telah mencontohkan tentang pentingnya menjaga
kemurnian fikrah para pengikutnya. Telah diriwayatkan secara shahih bahwa beliau sangat marah ketika
melihat Umar bin Khatthab radhiyallahu ‘anhu memegang lembaran yang di dalamnya terdapat
beberapa potongan ayat Taurat, beliau berkata,
‫ضا َء نَقِيَّةً ؟ لَوْ َكانَ ُمو َسى َأ ِخي َحيًّا َما َو ِس َعهُ إالَّ اتِّبَا ِعي‬ ِ ‫ب ؟ َألَ ِم آ‬
َ ‫ت بِهَا بَ ْي‬ ِ ‫ك َأ ْنتَ يَا ا ْبنَ ْالخَ طَّا‬
ٍّ ‫ َأفِي َش‬.

“Apakah engkau masih ragu wahai Ibnul Khatthab? Bukankah aku telah membawa agama yang putih
bersih? Sekiranya saudaraku Musa (‘alaihis salam) hidup sekarang ini maka tidak ada keluasan baginya
kecuali mengikuti (syariat)ku.” (HR. Ahmad, Ad-Darimi dan lainnya).

Al-Ihathatun Nazhariyah (penguasaan teori/konsep)

Kebangkitan umat akan terwujud semakin kokoh jika ditopang penguasaan teori/konsep yang mencakup
bidang agama maupun teori/konsep umum. Kita memerlukan orang-orang yang memahami fikih,
syariah, ushuludin, tafsir, hadits, fikih dakwah, fikih ahkam, dan lain sebagainya; kita juga memerlukan
orang-orang yang memahami ekonomi, politik, sosial, sains, psikologi, teknologi, dan lain sebagainya.

Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi hafizhahullah berkata, “Umat Islam tidak pernah mengenal dikotomi ilmu
dan agama, sebagaimana yang terjadi di dunia Eropa selama berabad-abad. Bahkan berulang kali saya
katakan bahwa ilmu—bagi kita—adalah agama, dan agama adalah ilmu. Ilmu—bagi kita—adalah ibadah,
karenanya menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim dan muslimah. Kewajiban ini mencakup
segala disiplin ilmu yang bermanfaat, baik ilmu duniawi maupun agama, baik berkategori fardhu kifayah
maupun fardhu ‘ain.”[5]

Karena itulah pada masa lalu, para ulama Islam memiliki kecermelangan prestasi dalam ilmu-ilmu agama
maupun ilmu-ilmu duniawi.

Ibnu Rusyd (wafat th. 595 H) mengarang sebuah buku yang memuat fiqih perbandingan yang cukup
terkenal, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid. Selain itu, ia juga mengarang buku tentang ilmu
kedokteran Al-Kuliyat, yang telah diterjemahkan dalam bahasa Latin dan menjadi referensi utama orang-
orang di Eropa selama berabad-abad.

Semasa dengan Ibnu Rusyd, di belahan dunia timur, kita mengenal Fakhruddin Ar-Razy (wafat th. 606 H)
yang karya-karya keagamaannya dalam bidang tafsir, ushul fiqih, dan kalam telah masyhur. Namun ia
juga terkenal kepakarannya dalam bidang kedokteran. Para penulis biografinya mengatakan bahwa
kemasyhuran Ar-Razi dalam ilmu kedokteran tidak lebih rendah dibanding kemasyhurannya dalam
bidang ilmu-ilmu agama.
Masih dalam ilmu kedokteran, kita mengenal Ibnu Nafis, penemu kapiler darah (wafat th. 687 H) yang
juga merupakan pakar fiqih mazhab Syafi’i. Biografi tokoh ini ditulis oleh Imam Tajuddin As-Subki dalam
bukunya yang terkenal, Tabaqatus Syafi’iyah al-Kubra.[6]

*****

Penguasaan teori/konsep ini dibutuhkan karena tujuan eksistensi kita di muka bumi ini paling tidak
mencakup dua hal:

Pertama, sebagai ‘ibadullah (hamba Allah) yang menjalankan tugas peribadahan dan iqamatuddin
(menegakkan agama—yakni memurnikan aqidah tauhid seutuhnya).[7]

َ ‫ت ْال ِج َّن َواِإْل ْن‬


ِ ‫س ِإاَّل لِيَ ْعبُد‬
‫ُون‬ ُ ‫َو َما خَ لَ ْق‬

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS. Adz-
Dzariyat, 51: 56)

‫ص ْينَا بِ ِه ِإ ْب َرا ِهي َم َو ُمو َسى َو ِعي َسى َأ ْن َأقِي ُموا ال ِّدينَ َواَل تَتَفَ َّرقُوا فِي ِه‬ َ ‫ِّين َما َوصَّى بِ ِه نُوحًا َوالَّ ِذي َأوْ َح ْينَا ِإلَ ْي‬
َّ ‫ك َو َما َو‬ ِ ‫َش َر َع لَ ُك ْم ِمنَ الد‬

“Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan
apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa
dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya.” (QS. Asy-Syura,
42:13)

Kedua, sebagai khalifah—pewaris dan penguasa di muka bumi yang memiliki tugas untuk melakukan
ri’ayah (pemeliharaan) dan isti’mar (memakmurkannya). Allah Ta’ala berfirman,

ِ ْ‫هُ َو َأ ْن َشَأ ُك ْم ِمنَ اَأْلر‬


‫ض َوا ْستَ ْع َم َر ُك ْم فِيهَا‬

“Dia (Allah) telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu sebagai pemakmurnya.”.
(QS. Hud, 11: 61)
Ustadz Attabiq Luthfi hafizhahullah dalam salah satu tulisannya menyebutkan bahwa ayat di atas oleh
Imam Al-Alusi rahimahullah dijadikan dalil akan kewajiban memakmurkan bumi sesuai dengan
kemampuan dan peran setiap orang yang beriman. Sedangkan menurut Ibnu Asyur rahimahullah,
maksud dari kata ‘isti’mar’ yang sinonim dengan i’mar’ adalah aktivitas meramaikan bumi dengan
penataan bangunan dan pelestarian lingkungan dengan menanam pohon dan bercocok tanam sehingga
semakin panjang usia kehidupan bumi ini dengan seluruh penghuninya.[8]

Guna menjalankan risalah udzma (misi agung) ini—yakni misi ubudiyah dan khilafah—kita sebagai
manusia membutuhkan bekal teori, konsep, atau ilmu yang memadai. Bukankah Adam ‘alaihis salam
pun diberikan bekal ilmu sebelum ia diangkat menjadi khalifah di muka bumi? Renungkanlah firman
Allah Ta’ala berikut ini,

“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian


mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: ‘Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda
itu jika kamu memang orang-orang yang benar!’ Mereka menjawab: ‘Maha Suci Engkau, tidak ada yang
kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah yang
Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.’ Allah berfirman: ‘Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka
nama-nama benda ini.’ Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah
berfirman: ‘Bukankah sudah Kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit
dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?’” (QS. Al-Baqarah,
2: 31-33).

‫ َو َحقِي ِْرهَا‬،‫ َجلِ ْيلِهَا‬:‫ء َج ِمي ِْع اَأل ْشيَا ِء ُكلِّهَا‬pَ ‫ عَلَّ َمهُ َأ ْس َما‬: َ‫س َونَفَ ٌر ِمنَ التَّابِ ِع ْين‬
ٍ ‫قَا َل ابْنُ َعبَّا‬.

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma dan beberapa orang tabi’in rahimahumullah berkata: “Allah Ta’ala
mengajarkan kepada Adam nama-nama semua hal, yang besar maupun yang kecil.”[9]

Pengertian asma (nama-nama) pada ayat di atas adalah mencakup segala hal, sebagaimana sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

َ ُ‫ َوالق‬،‫َو َعلَّ َم آ َد َم اَأل ْس َما َء ُكلَّهَا َحتَّى القَصْ َع ِة‬


‫ص ْي َع ِة‬

“Allah mengajarkan Adam tentang segala sesuatu, sampai tentang qash’ah (tempat makanan untuk
sepuluh orang) dan qushai’ah (kurang dari sepuluh).”[10]
Dengan kata lain, Adam ‘alaihis salam telah diberikan kemampuan mengenali karakteristik segala
sesuatu dan sarana memanfaatkannya. Az-Zamakhsyari berkata: “Allah Ta’ala telah mengajarkan Adam
keadaan segala sesuatu dan semua manfaat yang terkait dengannya baik manfaat duniawi maupun dini
(agama).”[11]

Al-Ma’rifatul Maidaniyah (pemahaman lapangan)

Dari uraian sebelumnya, semakin tergambar bahwa upaya penegakan pilar-pilar kebangkitan umat ini
bukanlah perkara yang sederhana. Upaya menumbuhkan kekuatan ruhani, kebangkitan pemikiran, dan
penguasaan teori/konsep tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Upaya-upaya ini harus
dilakukan dengan mempertimbangkan situasi teologis (keagamaan), kultural (budaya), dan struktural
(kekuasaan) di masyarakat.

Pemahaman lapangan yang tepat dan cermat akan melahirkan kebijakan dakwah yang tepat dan cermat
pula. Jika kita perhatikan dinamika perjalan dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,tentu akan kita
temukan contoh kebijakan-kebijakan dakwahnya yang menggambarkan tentang pemahaman lapangan
yang beliau miliki.

Dakwah Sirriyah

Perhatikanlah, kebijakan dakwah sirriyah (sembunyi-sembunyi) yang beliau lakukan selama tiga tahun di
masa awal dakwahnya; seruan kepada Islam saat itu tidak dilakukan secara terbuka di pertemuan-
pertemuan dan majelis-majelis umum. Tetapi dilakukan berdasarkan pilihan/seleksi. Maka pada tahapan
ini gerak dakwah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berhasil merekrut semua lapisan masyarakat: orang-
orang merdeka, kaum budak, lelaki, wanita, pemuda, dan orang-orang tua. Bahkan telah bergabung ke
Islam ini orang-orang dari segenap suku bangsa Quraisy, sehingga hampir tidak ada keluarga di Makkah
kecuali satu atau dua orang anggotanya telah masuk Islam.

Syaikh Munir Muhammad al-Ghadban dalam Manhaj Haraki-nya mengatakan bahwa boleh dikatakan
pada periode sirriyah ini Quraisy lebih banyak memperhatikan golongan hanif—yang dianut oleh Zaid
bin Amer bin Naufal, Waraqah bin Naufal, dan Umaiyah bin Abu Shalt—daripada kaum muslimin. Hal ini
disebabkan orang-orang hanif itu pernah mengatakan keraguan mereka terhadap berhala-berhala kaum
Quraisy dan sesembahan orang-orang Arab, sementara kaum muslimin belum pernah menyatakan sikap
seperti itu.

Pada periode ini tidak pernah terdengar adanya ‘benturan’ antara masyarakat Islam yang sedang
tumbuh dengan masyarakat jahiliyyah. Karena fikrah belum diumumkan selain kepada orang yang
‘dipastikan’ mau bergabung dengan komunitas Islam yang sudah ada.

Dakwah Jahriyah Setelah Mendapatkan Jaminan Keamanan

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diperintahkan oleh Allah Ta’ala untuk berdakwah kepada kaum
kerabatnya.[12] Maka hal pertama yang beliau lakukan adalah menyampaikan dakwahnya itu kepada
Bani Hasyim dan Bani Mutahallib. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan mereka lalu
menyampaikan dan mengajak mereka kepada ajaran Islam. Pada saat itu beliau langsung mendapat
penentangan dari Abu Lahab. Meskipun begitu, kontak pertama ini telah berhasil meraih dukungan
‘perlindungan dan pembelaan’ dari Abu Thalib. Ia berkata di majelis itu, “Demi Allah, aku akan tetap
melindungi dan membelamu, tetapi aku sendiri tidak dapat meninggalkan agama Abdul Muthallib.”

Setelah yakin akan mendapat pembelaan dari Abu Thalib inilah kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam mulai melancarkan dakwahnya secara terang-terangan kepada khalayak yang lebih luas.
Beliau memanfaatkan perlindungan dan pembelaan Abu Thalib itu untuk terus mengembangkan
dakwahnya. Mengomentari hal ini Rasulullah bersabda, “Quraisy tidak dapat melancarkan suatu
tindakan yang tidak aku sukai, sampai Abu Thalib meninggal dunia.”[13]

Pertemuan-pertemuan Rahasia di rumah Arqam bin Abil Arqam

Dakwah memang sudah disampaikan secara terbuka, tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap
merahasiakan ‘organisasi’-nya demi melindungi perkembangan dakwah dan pengikutnya. Rasulullah
mengadakan ‘pengajian rutin’ secara tersembunyi di rumah Arqam bin Abil Arqam. Seandainya markaz
dakwah ini diumumkan, niscaya penduduk Makkah akan menyerbu, dan akan mengakibatkan terjadi
kontak senjata antara kedua belah pihak.

Mengapa dipilih rumah Arqam? Menurut Syaikh Munir Muhammad Ghadban, pemilihan tempat itu
untuk mengecoh orang-orang Quraisy. Pertama, karena Arqam tidak diketahui keislamannya. Kedua,
karena Arqam berasal dari Bani Makhzum yang merupakan musuh bebuyutan Bani Hasyim—keluarga
besar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketiga, karena Arqam saat itu masih berusia muda, sekitar
16 tahun, sehingga tidak terpikirkan oleh orang-orang Quraisy jika markaz dakwah itu bertempat di
rumah ‘anak kecil’.

Hijrah ke Habasyah

Dalam fase dakwah jahriyah, kaum muslimin menghadapi berbagai macam tribulasi. Namun, hantaman
penyiksaan itu tidak dilawan oleh kaum muslimin kecuali dengan kesabaran. Bukan karena mereka
penakut. Namun siyasatu dakwah pada saat itu memang tidak menghendaki adanya perlawanan yang
hanya akan menyebabkan musnahnya ‘benih-benih dakwah’ secara keseluruhan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian bermaksud melindungi para pengikutnya dari ancaman
bahaya, maka beliau bersabda kepada kaum muslimin, “Sebaiknya kalian pergi ke Habasyah karena di
sana ada seorang raja yang adil sekali. Di dalam kekuasaannya tidak seorang pun boleh dianiaya, disana
adalah bumi kejujuran. Sampai Allah memberikan jalan keluar kepada kalian.”[14]

Meminta Jaminan Keamanan Sekembalinya dari Thaif

Puncak serangan kaum Quraisy terhadap Islam adalah pemboikotan. Mereka bersepakat memboikot
Bani Hasyim dan Bani Muthallib, baik yang muslim maupun yang kafir sehingga mengalami kesengsaraan
tidak ada bahan makanan. Boikot ini berlangsung sekitar 3 tahun. Tidak lama setelah pemboikotan
berakhir, Abu Thalib wafat.

Dakwah di Makkah benar-benar menghadapi jalan buntu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
kemudian mengarahkan dakwahnya ke tempat lain, yakni Thaif. Beliau datang ke sana untuk mencari
pembelaan dan menyebarkan Islam. Tetapi beliau ditolak mentah-mentah dan malah dianiaya. Beliau
kemudian kembali lagi ke Makkah setelah mendapatkan jaminan keamanan dari Muth’am bin Adiy.
Sebelumnya beliau meminta jaminan keamanan kepada Akhnas bin Syuraiq dan Suhail bin Amer, namun
ditolak secara halus.

*****
Peristiwa dari sirah nabawiyah di atas memberikan pelajaran kepada gerakan dakwah kebangkitan umat
untuk memiliki al-ma’rifatul maidaniyah yang tepat dan cermat. Mereka harus mengenal bagaimana
kekuatan dan sikap para penguasa struktural—juga para penguasa ekonomi masyarakat—dan
masyarakat secara umum. Sehingga langkah-langkah dan upaya-upaya membangkitkan umat ini dapat
terus berlangsung dan tumbuh berkembang.

Abjadiyatul Khuthuwath (Sistematika Langkah)

Saat ini kita dihadapkan pada realita dimana kondisi umat Islam sangat tidak ideal. Mayoritas umat—di
berbagai negeri Islam—kini berada dalam keadaan lemah; baik dalam aspek aqidah, pendidikan,
tsaqafah, dakwah, soliditas, maupun akhlak.[15] Belum lagi ragam problematika akibat penjajahan
begitu nyata terlihat: negeri-negeri muslim tercerai-berai, pengaruh dan penjajahan bangsa asing dalam
aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya mencengkram kuat; umat kini mengalami
kemunduran peradaban, pola pikir yang keliru merebak, dan kejiwaan mereka pun lemah. Di sisi lain,
kekuatan internasional yang memusuhi Islam memiliki keunggulan perencanaan, pengorganisasian, dan
sarana-sarana yang memadai.

Maka kita harus sabar dalam meniti jalan dan membangun fondasi yang kokoh. Menggiring umat untuk
bergabung lagi di bawah panji Islam yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, menuntut
langkah bertahap dalam penerapannya. Oleh karena itu, salah seorang reformis Islam abad ini, Syaikh
Hasan Al-Banna rahimahullah merumuskan abjadiyatul khuthuwath (sistematika langkah) yang dikenal
dengan maratibul ‘amal (tingkatan amal) yang hendaknya dilakukan oleh setiap pribadi muslim dan juga
gerakan dakwah demi tegaknya izzul Islam wal muslimin. Berikut ini rumusan tingkatan amal yang beliau
tawarkan:

Pertama, perbaikan diri (ishlahu nafsih), sehingga menjadi pribadi yang memiliki kekuatan fisik (qawiyyul
jism), akhlak yang kokoh (matinul khuluq), wawasan yang luas (mutsaqqaful fikri), mampu mencari
penghidupan (qadirun ‘alal kasbi), aqidah yang bersih (salimul aqidah), ibadah yang benar (shahihul
ibadah), kemampuan mengendalikan diri (mujahidun linafsih), kemampuan menjaga waktunya (harisun
‘ala waqtihi), kemampuan menata urusannya (munazham fi syu’unihi), dan bermanfaat bagi orang lain
(nafi’un li ghairihi).
Kedua, pembentukan keluarga muslim (takwinu baitin muslim), yaitu dengan mengarahkan keluarganya
agar menghargai pemahaman Islam, menjaga etika Islam dalam setiap aktivitas rumah tangganya,
memilih istri yang baik dan menjelaskan kepadanya hak dan kewajibannya, mendidik anak-anak dan
pembantunya dengan didikan yang baik, serta membimbing mereka dengan prinsip-prinsip Islam.

Ketiga, bimbingan masyarakat (irsyadul mujtama’), yakni dengan menyebarkan dakwah, memerangi
perilaku kotor dan mungkar, mendukung perilaku utama, amar ma’ruf, bersegera mengerjakan
kebaikan, menggiring opoini umum untuk memahami fikrah islamiyah, dan mencelup praktik kehidupan
dengannya terus menerus.

Keempat, pembebasan tanah air (tahrirul wathan) dari setiap penguasa asing—non Islam—baik secara
politik, ekonomi, maupun moral.

Kelima, memperbaiki kondisi pemerintahan (ishlahul hukumah) sehingga menjadi pemerintah Islam
yang baik, yaitu yang mampu memainkan perannya sebagai khadimul ummah (pelayan masyarakat).

Yang dimaksud pemerintahan Islam adalah pemerintah yang anggotanya terdiri dari kaum muslimin
yang menunaikan kewajiban-kewajiban Islam, tidak terang-terangan dengan kemaksiatan, serta
konsisten menerapkan hukum-hukum dan ajaran Islam. Tidak mengapa menggunakan orang-orang non
Islam—jika dalam keadaan darurat—asalkan bukan untuk posisi strategis.

Beberapa sifat pemerintahan Islam yang harus diwujudkan adalah: rasa tanggung jawab, kasih sayang
kepada rakyat, adil terhadap semua orang, tidak tamak terhadap kekayaan negara, dan ekonomis dalam
penggunaannya.

Sedangkan beberapa kewajiban yang harus ditunaikan pemerintahan Islam antara lain: menjaga
keamanan, menerapkan undang-undang, menyebarkan nilai-nilai ajaran, mempersiapkan kekuatan,
menjaga kesehatan, melindungi keamanan umum, mengembangkan investasi dan menjaga kekayaan,
mengukuhkan mentalitas, serta menyebarkan dakwah.

Keenam, mempersiapkan seluruh aset di dunia untuk kemaslahatan umat Islam (i’adatul kiyani ad-dauli
lil ummatil Islamiyah). Hal demikian itu dilakukan dengan cara membebaskan seluruh negeri,
membangun kejayaannya, mendekatkan peradabannya, dan menyatukan kata-katanya, sehingga dapat
mengembalikan tegaknya kekuasaan khilafah yang telah hilang dan terwujudnya persatuan yang diimpi-
impikan bersama.

Ketujuh, penegakan kepemimpinan dunia (ustadziyatul ‘alam) dengan penyebaran dakwah Islam di
seantero negeri. Sehingga tidak ada lagi fitnah dan agama itu hanya untuk Allah belaka (QS. Al-Baqarah:
193); Dan Allah tidak menghendaki, selain menyempurnakan cahaya-Nya (QS. At-Taubah: 32).[16]

Al-Matanatut Tandzimiyyah (Soliditas Organisasi Gerakan Dakwah)

Gerakan kebangkitan umat membutuhkan tandzim dakwah yang kokoh; memiliki soliditas, daya tahan,
dan imunitas terhadap berbagai goncangan. KH. Hilmi Aminuddin—seorang tokoh pergerakan Islam di
Indonesia—dalam salah satu taujihnya menyebutkan bahwa untuk mewujudkan soliditas jama’ah
dakwah, diperlukan adanya istiqrar (ketenangan atau kestabilan) yang meliputi:

Pertama, istiqraru nafsi (ketenangan dan stabilitas jiwa para kadernya) yang diraih dengan al-
muta’alliqah billah (hubungan yang erat dengan Allah Ta’ala). Dengan begitu di dalam jiwanya
senantiasa tertanam tsiqah kepada Allah Ta’ala, watsiqun binashrillah (yakin pada pertolongan Allah)
dan kemenangan yang akan dianugerahkan dari-Nya. Berbagai tantangan dan tugas berat tidak akan
membuatnya gelisah, karena semua itu selalu disandarkan kepada Allah Ta’ala.

Kedua, istiqraru a’ili (ketenangan dan stabilitas keluarga para kadernya) karena ia merupakan labinatun
min labinaatul jama’ah, salah satu batu bata dari struktur jama’ah (organisasi dakwah) ini. Ikatan
mahabbah fillah dalam keluarga para pengemban dakwah harus dibina di atas fondasi wihdatul aqidah
(kesatuan aqidah), wihdatul fikrah (kesatuan pemikiran) dan wihdatul manhaj (kesatuan pedoman).

Ketiga, istiqraru ijtima’i (ketenangan dan stabilitas sosial para kadernya) dalam berkomunikasi dengan
tetangga dan masyarakat di lingkungan sekitarnya. Mereka harus menjadi husnul jiran (tetangga yang
baik) dan mampu memancarkan keteladanan. Dengan begitu lingkungan di sekitarnya akan menjadi al-
qaidah al-ijtima’iyah (basis sosial) bagi dakwah.

Keempat, istiqraru tandzimi (ketenangan dan stabilitas struktur organisasi), yakni bebas berbagai urusan
internal. Tidak direpotkan oleh isu, gosip, kasak kusuk, dan friksi-friksi internal yang dapat menimbulkan
kelemahan organisasi.
Kelima, istiqraru da’wi (ketenangan dan stabilitas aktivitas dakwah) sehingga tetap bisa berlangsung.
Guncangan apa pun tidak membuatnya terguling; jebakan apapun tidak membuatnya terperosok; situasi
apapun tidak membuatnya terkecoh.

An-Nahdhatul Harakiyyah (Kebangkitan Gerakan Dakwah)

Kebangkitan umat mustahil akan terwujud tanpa diawali oleh kebangkitan gerakan dakwah. Diantara
indikasi yang nyata dari kebangkitan gerakan dakwah ialah terwujudnya ta’biyah afaqiyah (mobilitas
horizontal) dan ta’biyah ‘amudiyah (mobilitas vertikal).

Ta’biah al-afaqiyah (mobilitas horizontal) adalah bergulirnya dakwah kultural, yakni terjadinya
penyebaran para pengemban dakwah ke berbagai kalangan dan lapisan masyarakat agar mereka
menerima manhaj Islam serta produk-produk kebijakan yang islami. Sedangkan ta’biah al-amudiyah
(mobilitas vertical) adalah bergulirnya dakwah struktural, yakni terjadinya penyebaran para pengemban
dakwah ke berbagai lembaga yang menjadi mashadirul qarar (pusat-pusat kebijakan) untuk
menerjemahkan konsep dan nilai-nilai Islam ke dalam kebijakan publik.

Dakwah harus mengisi setiap ruang sehingga seluruh aspek kehidupan masyarakat dapat terwarnai oleh
nilai-nilai ajaran Islam. Oleh karena itu dakwah harus hadir di lingkungan masjid, pemukiman, pasar,
sekolah, kampus, pabrik, perkantoran, dan lain-lain.

Diantara pedoman dan motivasi amaliyah dakwah adalah nash-nash berikut ini:

Beberapa firman Allah Ta’ala,

َ‫صالِحًا َوقَا َل ِإنَّنِي ِمنَ ْال ُم ْسلِ ِمين‬


َ ‫َو َم ْن َأحْ َسنُ قَوْ اًل ِم َّم ْن َدعَا ِإلَى هَّللا ِ َو َع ِم َل‬

“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal
yang saleh, dan berkata: ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?’” (QS. Fushilat,
54: 33)
Kalimat pertanyaan (istifham) dalam ayat ini mengandung makna peniadaan (nafy). Maka maknanya,
tidak ada satupun yang lebih baik ucapan, langkah, dan kedudukannya di sisi Allah Ta’ala, daripada
orang yang berdakwah di jalan-Nya.

ِ َ‫قُلْ ٰهَ ِذ ِه َسبِيلِي َأ ْدعُو ِإلَى هَّللا ِ ۚ َعلَ ٰى ب‬


َ‫صي َر ٍة َأنَا َو َم ِن اتَّبَ َعنِي ۖ َو ُس ْبحَانَ هَّللا ِ َو َما َأنَا ِمنَ ْال ُم ْش ِر ِكين‬

“Katakanlah: ‘Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada
Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik’”.
(QS. Yusuf, 12: 108)

Tentang ayat di atas, Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah berkata, “Tidaklah seseorang itu murni
sebagai pengikut Muhammad sampai ia mau mendakwahkan apa-apa yang didakwahkan oleh beliau
dengan dasar ilmu yang mendalam.”[17]

َ‫َر ۚ َوُأو ٰلَِئكَ هُ ُم ْال ُم ْفلِحُون‬ ِ ‫َو ْلتَ ُك ْن ِم ْن ُك ْم ُأ َّمةٌ يَ ْد ُعونَ ِإلَى ْالخَ ي ِْر َويَْأ ُمرُونَ بِ ْال َم ْعر‬
ِ ‫ُوف َويَ ْنهَوْ نَ َع ِن ْال ُم ْنك‬

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh
kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali
Imran, 3: 104)

Tentang ayat ini Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Hendaklah ada di antara kalian sekelompok umat
yang menunaikan perintah Allah untuk berdakwah kepada kebaikan dan amar ma’ruf nahi mungkar,
sekalipun dakwah itu wajib pula bagi setiap individu Muslim.”

Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

ً‫بَلِّ ُغوا َعنِّي َولَوْ آيَة‬

“Sebarkanlah oleh kalian (ilmu yang aku sampaikan), sekali pun satu ayat!” (HR. Bukhari)

Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata, “Dalam hadits ini Rasulullah mengatakan, ‘sekalipun satu
ayat’. Tujuannya agar semua pendengar dapat segera menyampaikan ayat-ayat yang telah didengarnya
itu kepada orang lain, walaupun sedikit. Sehingga akan berkelanjutanlah penyampaian ayat-ayat yang
didakwahkan oleh beliau.”[18]
َ ‫ي هَّللا ُ ِب‬
‫ك َر ُجاًل َو ِحدًا َخ ْي ٌر لَ ُك ْم ِم ْن ُح ْم ِر النَّ َع ِم‬ َ ‫أل ْنيَ ْه ِد‬

“Allah memberikan hidayah kepada seorang manusia melalui perantaraanmu, hal itu lebih baik nilainya
bagimu daripada mendapatkan unta merah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

َ ِ‫َم ْن َدعَا ِإلَى هُدًى َكانَ لَهُ ِمنَ االَجْ ِر ِم ْث ُل ُأجُوْ ِر َم ْن تَبِ َعهُ الَ يَنقُصُ َذل‬
‫ك ِم ْن اُجُوْ ر ِه ْم َش ْيًأ‬
ِ

“Barangsiapa yang menyeru kepada petunjuk, maka baginya pahala seperti pahala-pahala orang yang
mengikutinya, tanpa dikurangi dari pahala-pahala mereka itu sedikitpun.” (HR. Muslim).

*****

Demikianlah pilar-pilar kebangkitan umat yang perlu disiapkan. Sungguh tidak ada daya dan kekuatan
kecuali dengan pertolongan Allah Ta’ala. Semoga Dia senantiasa menolong dan memampukan kita untuk
mewujudkannya. Allahu Akbar wa lillahil hamd!

Catatan Kaki:

[1] Al-Qur’anul Karim wa Tafsiruhu, Depag RI.

[2] Diriwayatkan Ahmad bin Marwan Al-Maliki dan Ibnu Asakir

[3] Lihat:Taushiyah untuk Aktivis Islam, Dr. Najih Ibrahim, hal.107 – 108.

[4] Dikutip dari: https://rumaysho.com/3076-mengikuti-gaya-orang-kafir-tasyabbuh.html

[5] Umat Islam Menyongsong Abad Ke-21, hal. 182 – 183, Era Intermedia, 2001.

[6] Ibid, hal. 182.


[7] Lihat makna Iqamatuddin dalam Al-Qur’an Tarjamah Tafsiriyah, Al-Ustadz M. Thalib, hal. 613.

[8] Lihat: http://www.dakwatuna.com/2011/01/10/10627/menanti-peran-memakmurkan-kita/


#ixzz4BJtTk7ju

[9] Lihat Tafsir Al-Qurthubi : I/282, di dalamnya tersebut tabi’in yang dimaksud yaitu Ikrimah, Qatadah,
Mujahid dan Ibnu Jubair rahimahumullah.

[10] Tafsir Al-Qurthubi: I/284.

[11] Al-Kasyaf – Lihat: Adam as, Al-Bahi Al-Khuli.

[12] Lihat: QS. Asy-Syu’ara, 26: 214

[13] Lihat: Manhaj Haraki, hal. 83

[14] Lhat: Manhaj Haraki, hal. 73

[15] Lihat madah: Ahwalul Musliminal Yaum

[16] Lihat: Risalah Ta’alim, Hasan Al-Banna.

[17] Miftah Dar As-Sa’adah, jilid 1 hal. 154

[18] Lihat: Fath Al-Bari, jilid 6, hal. 575

Anda mungkin juga menyukai