Kegiatan Belajar 4: Akhlak Terhadap Diri Sendiri Dan Orang Lain
Kegiatan Belajar 4: Akhlak Terhadap Diri Sendiri Dan Orang Lain
CAPAIAN PEMBELAJARAN
1. Menganalisis manfaat akhlak al-karimah kepada diri sendiri dan orang lain.
2. Menganalisis konsep ikhlas dan toleransi dalam Islam dan implementasinya
dalam kehidupan sosial.
SUB CAPAIAN PEMBELAJARAN
1. Mahasiswa mampu menyimpulkan konsep al-haya' (malu) sebagai bentuk akhlak
al-karimah
2. Mahasiswa mampu menyimpulkan konsep al-khauf sebagai bentuk akhlak al-
karimah
3. Mahasiswa mampu menyimpulkan konsep ar-rahiim (kasih sayang) sebagai
akhlak al-karimah
4. Mahasiswa mampu menyimpulkan pemaaf sebagai akhlak al-karimah terhadap
orang lain
5. Mahasiswa mampu menyimpulkan ikhlas dalam beramal/beribadah
6. Mahasiswa mampu menyimpulkan tindakan toleransi yang benar dan yang tidak
benar
POKOK-POKOK MATERI
1. al-Haya' (malu)
2. al-Khauf
3. ar-Rahiim (Kasih Sayang)
4. Pemaaf
5. Ikhlas
6. Toleransi
104
URAIAN MATERI
A. al-Haya' (Malu)
1. Pengertian al-Haya'
Menurut bahasa malu berarti merasa sangat tidak enak hati seperti hina atau
segan melakukan sesuatu karena ada rasa hormat, agak takut, kepada pihak lain.
Sedang menurut istilah adalah sifat yang mendorong seseorang merasa tidak
enak apabila meninggalkan kewajiban-kewajiaban sebagai hamba Allah Swt. dan
meninggalkan larangan-larangan-Nya.
Malu adalah sifat atau perasaan yang membentengi seseorang dari
melakukan yang rendah atau kurang sopan. Ajaran Islam mengajarkan
pemeluknya memiliki sifat malu karena dapat menyebabkan akhlak seseorang
menjadi tinggi. Orang yang tidak memiliki sifat malu, akhlaknya akan rendah dan
tidak mampu mengendalikan hawa nafsu.
Perasaan malu muncul dari kesadaran akan perasaan bersalah
tetapi sebenarnya perasaan malu tidak sama dengan perasaan bersalah. Rasa
malu merupakan perasaan tidak nyaman tentang bagaimana kita dilihat oleh
pihak lain, yakni Allah semata.
Kamu mengabdi (melakukan segala sesuatu perbuatan) kepada Allah Swt. seakan-
akan melihat kamu melihatnya, lalu jika kamu tidak bisa melihat-Nya, maka
sesungguhnya Dia melihatmu. (HR. Muslim)
Islam menempatkan malu sebagai bagian dari iman. Orang beriman pasti
memiliki sifat malu. Orang yang tidak memiliki malu berarti tidak ada iman
dalam dirinya meskipun lidahnya menyatakan beriman. Rasulullah saw.
bersabda, ''Iman itu lebih dari 70 atau 60 cabang, cabang iman tertinggi adalah
mengucapkan 'La ilaha illallah', dan cabang iman terendah adalah membuang
gangguan (duri) dari jalan, dan rasa malu merupakan cabang dari iman.'' (HR
Bukhari-Muslim).
Apabila seseorang hilang malunya, secara bertahap perilakunya akan buruk,
kemudian menurun kepada yang lebih buruk, dan terus meluncur ke bawah dari
yang hina kepada lebih hina sampai ke derajat paling rendah. Sebagaimana sabda
Rasulullah Saw. yang artinya:
Dari Ibn. Umar bahwasannya Nabi Saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah apabila
hendak membinasakan seseorang, Dia mencabut rasa malu dari orang itu.
Sesungguhnya apabila rasa malu seorang hamba sudah dicabut, kamu tidak
menjumpainya kecuali dibenci. Apabila tidak menjumpainya kecuali dibenci,
dicabutlah darinya sifat amanah. Apabila sifat amanah sudah dicabut darinya maka
tidak akan didapati dirinya kecuali sebagai pengkhianat dan dikhianati. Kalau sudah
jadi pengkhianat dan dikhianati, dicabutlah darinya rahmat. Kalau rahmat sudah
dicabut darinya, tidak akan kamu dapati kecuali terkutuk yang mengutuk. Apabila
terkutuk yang mengutuk sudah dicabut darinya, maka akhirnya dicabutlah ikatan
keislamannya.'' (HR Ibn Majah).
3. Macam-macam al-Haya'
Ada tiga macam malu yang perlu melekat pada seseorang, yaitu:
a. Malu kepada diri sendiri ketika sedikit melakukan amal saleh kepada
Allah dan kebaikan untuk umat dibandingkan orang lain. Malu ini
mendorongnya meningkatkan kuantitas amal saleh dan pengabdian
kepada Allah dan umat.
b. Malu kepada manusia. Ini penting karena dapat mengendalikan diri agar
tidak melanggar ajaran agama, meskipun yang bersangkutan tidak
memperoleh pahala sempurna lantaran malunya bukan karena Allah.
Namun, malu seperti ini dapat memberikan kebaikan baginya dari Allah
karena ia terpelihara dari perbuatan dosa.
c. Malu kepada Allah. Ini malu yang terbaik dan dapat membawa
kebahagiaan hidup. Orang yang malu kepada Allah, tidak akan berani
melakukan kesalahan dan meninggalkan kewajiban selama meyakini
Allah selalu mengawasinya.
106
Sifat malu begitu penting karena sebagai benteng pemelihara akhlak
seseorang dan bahkan sumber utama kebaikan. Maka dari itu, sifat ini perlu
dimiliki dan dipelihara dengan baik. Sifat malu dapat meneguhkan iman
seseorang.
107
B. al-Khauf (Takut)
1. Pengertian al-Khauf
Secara bahasa, khauf adalah lawan kata al-amnu. Al-Amnu adalah rasa aman,
dan khauf adalah rasa takut. Khauf adalah perasaan takut terhadap siksa dan
keadaan yang tidak mengenakkan karena kemaksiatan dan dosa yang telah
diperbuat.
Raja’ adalah perasaan penuh harap akan surga dan berbagai kenikmatan
lainnya, sebagai buah dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Bagi seorang
muslim, kedua rasa ini mutlak dihadirkan. Karena akan mengantarkan pada satu
keadaan spiritual yang mendukung kualitas keberagamaan.
“… Jangan engkau merasa paling suci, karena Aku tahu siapa yang paling bertakwa.”
(Q.S. an-Najm [53]: 32).
108
Kemudian pasti aku akan datangi mereka dari depan, dari belakang, dari kanan dan
dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapatkan mereka banyak bersyukur.
(Q.S. Al-‘Araf [7]: 17)
109
C. ar-Rahiim (Kasih Sayang)
1. Pengertian ar-Rahiim
Kasih sayang merupakan karunia nikmat yang sangat didambakan oleh
semua orang. Karena dengan sifat ini, dapat tercipta kepedulian, kedamaian dan
rasa empati kepada orang lain. Tidak hanya itu, kasih sayang dapat mendorong
manusia untuk saling membantu untuk meringankan penderitaan yang dialami
oleh manusia lainnya. Tanpa adanya rasa kasih sayang, mungkin manusia akan
menjadi sangat individualistis, egois dan tidak memikirkan kepentingan orang
lain.
Islam, sebagai agama yang sempurna, mempunyai konsep kasih sayang,
memahami bahwa manusia merupakan makhluk yang sempurna, dibekali
dengan akal, ghadhab dan nafsu. Karena manusia dibekali dengan akal dan nafsu,
maka mereka tidak seperti malaikat yang selalu taat dengan perintah Allah,
manusia terkadang lebih mengutamakan akal atau nafsunya dibandingkan
perintah Allah.
Untuk itu, Islam mengatur batas-batas kasih sayang yang diperbolehkan,
supaya berakibat baik bagi semua pihak. Konsep ibadah harus dipahami sebagai
prinsip dalam mengimplementasikan sifat kasih sayang di antara kita, yakni
dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah swt. Dengan
memegang prinsip tersebut, kita akan terbiasa untuk meniatkan diri beribadah
kepada Allah dalam setiap hal yang kita lakukan, termasuk dalam hati atau
perasaan kita. Tidak ada rasa kasih dan sayang yang kita berikan kepada makhluk
lain kecuali untuk memperoleh ridha Allah Swt.
110
Kasih sayang tidak hanya untuk manusia, melainkan juga untuk lingkungan di
sekitarnya.
111
D. Pemaaf
1. Pengertian Pemaaf
Pemaaf berarti orang yang rela member maaf kepada orang lain. Sikap
pemaaf dapat dimaknai sikap suka memaafkan kesalahan orang lain tanpa
menyisakan rasa benci dan keinginan untuk membalasnya. Sebenarnya kata
pemaaf, adalah serapan dari Bahasa Arab, yakni al-‘afw yang berarti maaf, ampun,
dan anugerah.
Maaf sejatinya mudah dipahami, tapi susah diimplementasikan dalam
kehidupan nyata. Hakikat maaf adalah rela, benar-benar merelakan kesalahan
yang sudah orang lain lakukan, sudah terjadi dan biarlah terjadi. Memaafkan
kesalahan orang lain berarti rida dengan kenyataan yang sudah terjadi dan tidak
ada rasa marah lagi kepada orang yang berbuat salah. Pemaaf berarti orang yang
dapat dengan mudah merelakan kejadian-kejadian buruk dan menyakitkan
dirinya yang dilakukan oleh orang lain, karena dorongan dari dalam jiwanya
yang taat kepada perintah Allah untuk bisa memaafkan siapapun.
Meski sifat pemaaf itu sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat,
namun masih banyak orang susah untuk memaafkan kesalahan orang lain. Jika
banyak di antara kita yang masih sulit memaafkan, maka jangan heran jika
dendam di antara masyarakat kita tidak mudah hilang. Dan jangan berharap akan
ada ketenangan dan ketentraman dalam masyarakat.
Sebab itu memaksakan diri untuk belajar dan berlatih memiliki sifat pemaaf
itu sangat perlu. Kita perlu belajar dan berlatih untuk bisa berlapang dada sebagai
cerminan sifat pemaaf. Dalam rangka belajar bersifat pemaaf, kita bisa mengambil
pelajaran dari kisah para Rasul dan sahabatnya.
Selain kisah khalifah Abu Bakar, ada juga kisah dari Rasulullah saw.. Banyak
kisah hidup beliau yang dapat diambil sebagai pelajaran hidup, termasuk salah
112
satu sifat pemaafnya. Seperti kisah seorang wanita Yahudi yang mencoba
meracuni Rasulullah dengan menabur racun di makanan beliau, namun
Rasulullah terselamatkan. Hingga wanita itu mengakui perbuatannya kepada
Rasulullah, dan beliau memaafkan wanita itu tanpa menghukumnya.
Memberi maaf kepada orang lain yang bersalah merupakan cara bagaimana
kita bisa membangun kembali tatanan masyarakat yang rusak. Terutama dalam
proses membangun keluarga di antara kita yang tentunya tidak luput dari
kesalahan-kesalahan. Allah Swt. berfirman:
ّٰللاَ َغفُور ْ َاج ُك ْم َوأ َ ْو َْل ِد ُك ْم َعد ًُّوا لَ ُك ْم فَاحْ ذَ ُرو ُه ْم َوإِ ْن ت َ ْعفُوا َوت
َّ صفَ ُحوا َوت َ ْغ ِف ُروا فَإ ِ َّن ِ يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا إِ َّن ِم ْن أ َ ْز َو
َر ِحيم
Sebagai guru di zaman sekarang ini, dimana adab dan akhlak yang mulia
mulai tercerabut dari sikap dan tingkah laku anak-anak sekolah. Sikap pemaaf
sangat diperlukan supaya dapat menebar senyum dihadapan peserta didiknya.
Sehingga menjadi panutan mereka.
114
E. Ikhlas
1. Pengertian Ikhlas
Menurut bahasa, ikhlas berarti jujur, tulus dan rela. Dalam bahasa Arab, kata
ْ (ikhlas) merupakan bentuk mashdar dari ص
إخًلص َ َأخل
ْ (akhlasa) yang berasal dari akar
kata ( خلصkhalasa). Kata ini mengandung beberapa makna sesuai dengan kontek
kalimatnya. Ia biasa berarti shafaa (jernih), najaa wa salima (selamat), washala
(sampai) dan I’tazala (memisahkan diri). Bisa juga diartikan sebagai perbaikan
dan pembersihan sesuatu (Ibn Zakaria, Mu’jam Maqayis al-Lughah Jilid 2, 1986:
hlm. 208)
Menurut istilah, makna ikhlas diungkapkan oleh para ulama sebagai berikut:
a. Muhammad Abduh mengatakan ikhlas adalah ikhlas beragama untuk
Allah Swt. dengan selalu manghadap kepada-Nya, dan tidak mengakui
kesamaan-Nya dengan makhluk apapun dan bukan dengan tujuan
khusus seperti menghindarkan diri dari malapetaka atau untuk
mendapatkan keuntungan, serta tidak mengangkat selain dari-Nya
sebagai pelindung (Muhammad Rasyid Rida,1973, hlm. 475).
b. Muhammad al-Ghazali mengatakan ikhlas adalah melakukan amal
kebajikan semata-mata karena Allah Swt. (Muhammad al-Ghazali, 1993,
hlm. 139)
Sekilas apabila diperhatikan makna ikhlas dari dua definisi di atas dapat
digambarkan seseorang yang sedang membersihkan beras dari batu-batu kecil
(kerikil) yang ada di sekitar beras itu. Maka apabila beras itu dimasak akan terasa
nikmat dimakan, karena sudah bersih dari kerikil dan batu-batu kecil. Coba
bayangkan jika beras itu masih kotor, niscaya nasi yang kita makan juga
mengandung kerikil. Sungguh tidak nikmatnya nasi tersebut karena masih ada
yang mengganjal kenikmatan rasanya.
Dari ungkapan di atas dapat dipahami bahwa ikhlas itu adalah segala sesuatu
yang berkenaan dengan masalah niat sebab niat merupakan titik penentu dalam
menentukan amal seseorang. Orang yang ikhlas tidak dinamakan orang ikhlas
sampai ia mengesakan Allah Swt. dari segala sesuatu dan ia hanya menginginkan
Allah Swt.
َب ْالعٰ لَ ِمي ْۙنَ َْل ش َِريْكَ َلهٗ َۚو ِب ٰذلِكَ ا ُ ِم ْرتُ َواَن َ۠ا ا َ َّو ُل ْال ُم ْس ِل ِميْن
ِ اي َو َم َماتِ ْي ِ هلِّلِ َر َ قُ ْل ا َِّن
ُ ُص ًَلتِ ْي َون
َ َس ِك ْي َو َمحْ ي
115
162. Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan
matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam; 163. tidak ada sekutu bagi-Nya;
dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-
tama berserah diri (muslim).” (Q.S. al-An’am [6]: 162-163)
Demikian juga dalam firman-Nya yang terdapat dalam Q.S. al-Bayyinah [98]
ayat 5:
ص ٰلوة َ َويُؤْ تُوا ال َّز ٰكوة َ َو ٰذلِكَ ِد ْينُ ْالقَيِ َم َۗ ِة
َّ الديْنَ ەۙ ُحنَفَ ۤا َء َويُ ِق ْي ُموا ال
ِ ُصيْنَ لَه َو َما ا ُ ِم ُر ْوا ا َِّْل ِليَ ْعبُد ُوا ه
ِ ّٰللاَ ُم ْخ ِل
116
dilihat orang banyak, tetapi enggan apabila tidak ada orang yang
melihatnya; 4) Berkata dan berbuat kebaikan bukan semata-mata karena
Allah Swt., akan tetapi karena mengharap pamrih kepada manusia.
b. Sum’ah, yakni menceritakan amal yang telah dilakukan kepada orang lain
supaya mendapat penilain dan dihargai, misalnya kedudukan di hatinya.
Pada dasarnya sama dengan riya’, tetapi sum’ah adalah perbuatannya
sudah dilaksanakan sehingga perlu diceritakan.
c. Nifak, sifat menyembunyikan kekafiran dengan menyatakan dan
mengikrarkan keimanannya kepada Allah Swt. Jadi jelas akan
menghilangkan keikhlasan karena tidak didasari dengan keimanan yang
benar kepada Allah Swt.
Bagaimana apa Saudara sudah paham tentang ikhlas sebagai nilai
landasan amal manusia supaya bisa menjadi amal saleh dan bernilai ibadah?
Jika nilai keikhlasan seseorang semakin tinggi, berarti akhlaknya kepada
Allah Swt. semakin baik pula. Dan amalnya akan dinilai oleh Allah Swt.
sebaliknya apabila disertakan keinginan untuk dinilai manusia, maka Allah
Swt. tidak akan mau menilai dan didiskualifikasi sebelum dihisab di
hadapan-Nya kelak di hari perhitungan amal.
Allah Swt. berfirman:
ت أ َ ْع َمالُ ُه ْم فَ ًَل نُ ِقي ُم لَ ُه ْم يَ ْو َم ْال ِقيَا َم ِة َو ْزنًا ِ أُولَئِكَ الَّذِينَ َكفَ ُروا بِآيَا
َ ِت َر ِب ِه ْم َو ِلقَائِ ِه فَ َحب
ْ ط
117
bahwa setiap amal yang dilakukan perlu dilakukan dengan ketulusan sepenuh
hati. Sebagai pendidik perlu menjadikan materi ini sebagai modal, baik untuk diri
sendiri maupun untuk peserta didik. Pelajaran penting ini bisa sebagai bahan
memuliakan diri sendiri, Allah, sesama manusia dan makhluk lain. Serta sebagai
bahan mengajak orang lain agar bisa ikhlas dalam beramal saleh. Selain hikmah
ini, hikmah apa lagi yang bisa Saudara dapatkan dari materi ini? Silahkan analisis
lebih dalam!
118
F. Toleransi
1. Pengertian Toleransi
Toleran merupakan predikat bagi orang yang memiliki sifat toleransi.
Toleransi secara bahasa berasal dari bahasa Inggris “tolerance” yang berarti
membiarkan. Dalam Bahasa Indonesia diartikan sebagai sifat atau sikap toleran,
mendiamkan atau membiarkan. Dalam bahasa Arab kata toleransi disebut
dengan istilah tasamuh yang berarti sikap membiarkan atau lapang dada. Tasamuh
sendiri didefinisikan sebagai pendirian atau sikap yang termanifestasikan pada
kesediaan untuk menerima berbagai pandangan dan pendirian yang beraneka
ragam meskipun tidak sependapat.
Toleransi menurut istilah berarti menghargai, membolehkan dan
membiarkan pendirian, pendapat, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan dan
sebagainya yang lain atau yang bertentangan dengan pendiriannya sendiri.
Misalnya, perbedaan agama, ideologi dan ras.
ࣖ ََو ِم ْن ُه ْم َّم ْن يُّؤْ ِمنُ ِب ٖه َو ِم ْن ُه ْم َّم ْن َّْل يُؤْ ِمنُ ِب ٖ َۗه َو َربُّكَ ا َ ْعلَ ُم ِب ْال ُم ْف ِس ِديْن
“Dan di antara mereka ada orang-orang yang beriman kepadanya (Al-Qur'an), dan
di antaranya ada (pula) orang-orang yang tidak beriman kepadanya. Sedangkan
Tuhanmu lebih mengetahui tentang orang-orang yang berbuat kerusakan”. (Q.S.
Yunus [10]: 40)
Maksud dari ayat ini adalah pengajaran sikap dan mental dari Allah kepada
Nabi Muhammad bahwa di antara umatnya ada yang beriman dengan Al-Qur’an
ini. Mereka mengikutimu dan mengambil manfaat dengan Al-Qur’an. Di saat
yang bersamaan, di antara mereka ada juga yang tidak mempercayaimu dan apa
yang kau bawa. Mereka akan mati dalam keadaan seperti itu dan dibangkitkan
dalam keadaan seperti itu pula. Allah lebih mengetahui siapa yang berhak
mendapat petunjuk, maka Allah memberinya petunjuk; dan siapa yang berhak
mendapatkan kesesatan, maka Allah menyesatkannya. Allah lah yang Maha Adil
yang tidak berbuat zalim. Allah memberi masing-masing sesuai haknya.
Pada lanjutan ayatnya, secara lebih konkret Allah mengajari Nabi untuk
bersikap toleransi. Nabi diminta untuk bersikap bebas jika orang-orang musyrik
itu mendustakannya, maka berlepas dirilah dari mereka dan amal mereka. Ayat
tersebut sebagai berikut:
119
ْ ۤ ع َملُ ُك ۚ ْم اَ ْنت ُ ْم َب ِر ۤ ْيـُٔ ْونَ ِم َّما ا َ ْع َم ُل َواَن َ۠ا َب ِر
َيء ِم َّما تَ ْع َملُ ْون َ َوا ِْن َكذَّب ُْوكَ فَقُ ْل ِل ْي َع َم ِل ْي َولَ ُك ْم
) َو َ ْۤل اَ ْنت ُ ْم٤( ) َو َ ْۤل اَنَا َعا ِبد َّما َع َبدْتُّ ْم٣( ُ) َو َ ْۤل ا َ ْنت ُ ْم عٰ ِبد ُْونَ َم ۤا ا َ ْعبُد٢( َ) َ ْۤل ا َ ْعبُد ُ َما ت َ ْعبُد ُْون١( َقُ ْل ٰيا َ ُّي َها ْال ٰك ِف ُر ْون
ۤ
)٦( ي ِدي ِْن َ ) لَ ُك ْم ِد ْينُ ُك ْم َو ِل٥( ُ عٰ ِبد ُْونَ َما ا َ ْعبُد
“Katakanlah: Hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kalian
sembah, dan kalian bukan penyembah apa yang aku sembah, dan aku tidak pernah
menjadi penyembah apa yang kalian sembah, dan kalian bukan penyembah apa yang
aku sembah, bagi kalian agama kalian dan bagiku agamaku.” (Q.S. Al-Kafirun: 1-7)
120
Melalui wahyu ini, Allah menunjukkan kepada Rasulullah untuk menolak
tawaran mereka. (HR. Thabrani dan Ibn Abi Hatim dari Ibnu Abbas)
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa orang-orang kafir Quraisy mengajukan
tawaran kepada Rasulullah saw., “Wahai Muhammad, sekiranya kamu tidak keberatan
mengikuti agama kami selama satu tahun, maka kami akan berbalik mengikuti agamamu
selama satu tahun pula.” Berdasarkan peristiwa ini, kemudian Allah Swt.
memerintahkan malaikat Jibril untuk menurunkan wahyu kepada Rasulullah
saw., yaitu surah al-Kafirun sebagai petunjuk jawaban yang harus diberikan
Rasulullah. Selanjutnya Rasulullah saw. menyampaikan jawaban berdasarkan
wahyu Allah tersebut secara terang-terangan dengan kalimat: “selamanya tidak
akan bertemu dalam satu titik agama kufur dengan agama Islam yang hak”. (HR.
Abdurrazak dari Wahbin dan Ibnu Mundzir dari Juraij).
Dari beberapa penjelasan ayat di atas jelaslah bahwa toleransi adalah sikap
yang mesti dimiliki umat Islam. Sikap inilah yang melahirkan perdamaian dan
kemajuan. Melalui piagam Madinah yang di dalamnya sarat dengan toleransi,
Nabi berhasil membangun peradaban Islam di tengah kemajemukan.
121
CONTOH SOAL
Setelah menganalisis uraian materi, apakah Saudara sudah menguasai capaian
pembelajaran pada kegiatan belajar ini? Agar dapat mengukur penguasaan Saudara,
dapat mengisi soal yang berkaitan dengan kegiatan belajar ini. Berikut sajian contoh
soal pada modul ini sebagai bahan latihan Saudara dalam menganalisis pertanyaan
dan jawaban, serta sebagai contoh pembuatan soal tes formatif yang akan dibuat oleh
dosen pengampu.
1. Secara sederhana toleransi dapat diartikan sebagai sikap tenggang rasa. Banyak
landasan normatif baik Al-Qur’an maupun hadis yang memerintahkan untuk
bersikap demikian. Namun, dalam praktiknya, orang-orang masih bingung
antara batas wilayah toleransi dan batas wilayah fanatis. Kondisi ini di banyak
kasus menyebabkan sebagian mereka keliru dalam bersikap toleransi bahkan
memicu pertentangan.
Berikut adalah sikap toleransi yang tepat, kecuali ...
a. Membiarkan umat beragama lain merayakan hari besar keagamaannya
b. Memfasilitasi kegiatan beragama umat lain
c. Membantu keamanan dan kenyamanan ibadat umat agama lain
d. Mengucapkan selamat kepada umat agama lain atas hari besarnya
e. Mengikuti ibadahnya secara bersama-sama namun dengan tetap tidak
pindah keyakinan
Jawaban: E
122
GLOSARIUM
al-Haya' : Sifat atau perasaan yang membentengi seseorang dari melakukan yang
rendah atau kurang sopan atau bertentangan dengan aturan dan adat
istiadat
al-Khauf : Perasaan takut terhadap siksa dan keadaan yang tidak mengenakkan
karena kemaksiatan dan dosa yang telah diperbuat
ar-Rahiim : Kasih sayang
Pemaaf : Orang yang rela member maaf kepada orang lain
Ikhlas : Menyengajakan suatu perbuatan hanya karena Allah Swt., dengan
menyerahkan penilaiannya hanya kepada-Nya
Toleransi : pendirian atau sikap yang termanifestasikan pada kesediaan
untuk menerima berbagai pandangan dan pendirian yang
beraneka ragam meskipun tidak sependapat
123
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Mushthofa al-Marāghi, Tafsīr al-Marāghi, (Beirut: Dār al-Fikr, t.t) Jilid 1.
Al-Ghazali, Bidayah al-Hidayah, Bairut: Dar ash-Shadir, 1963
Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, Beirut: Dar al-Kutub, 2011
Al-Ghazali, Ma’arij al-Quds Fi Madariji Ma’rifat al-nafsi, Bairut: Libanon, Dar al-Kutub,
1988
Al-Ghazali, Mizan al-Amal, Mesir: Dar al-Ma’arif, 1964
Amin, Ahmad, Kitab al-Akhlak, Kairo: Muassasah Handawiy li at-Ta’lim wa ats-
Tsaqafah, 2012
Atabik Ali dan A. Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, (Multi Karya:
Grafika, Yogyakarta, 2007).
al-Bukhāri, al-Jāmi al-Sahīh al-Bukhāri, tahqiq al-Mustafā Dīb, (Beirūt; Dār Ibnu Kathīr,
1987).
Dawam Raharjo Ensiklopedi Al-Qur’an Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci
(Jakarta: Paramdina, 1996).
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Depdiknas,
2003).
Djatmika, Rahmat, Sistem Etika Islam (Akhlak Mulia), Jakarta: Pustaka Panjimas, 1996
Ibnu al-‘Arabi, Kitab Fushush al-Hikam, Abu al-Ali ‘Afifi (ed.), (Beirut: Dar al-Kitab al-
A‟Rabi, 1980).
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir Terj. M. Abdul Ghoffar, (Bogor: Pustaka Imam Asy-
Syafi‟i 2004).
Ibn. Miskawaih, Tahdzib al-Akhlak fi at-Tarbiyah, Bairut - Libanon: Dar al-Kutub al-
Ilmiyyah, 1985
Imran Al-Idrusy, Mengenal Langkah-Langkah Setan, (Putra Pelajar, Surabaya, 2001).
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Tafsir Per Kata (Jakarta: PT. Suara Agung Jakarta,
2014).
Mujib, Abdul, Fitrah dan Kepribadian Islam: Sebuah Pendekatan Psikologis, Jakarta: Dar al-
Falah, 1999
M Said Ramadhan Al-Buthi, Al-Hikam Al-Athaiyyah, Syarhun wa Tahlilun, (Beirut,
Darul Fikr Al-Muashir, 2003 M/1424 H).
Said Aqil Husin Munawar. Al-Qur’an Membangun Kesalehan Hakiki (Jakarta: Ciputat
Press, 2002).
Said Hawwa. Jalan Ruhani. (Bandung: Mizan. 1995).
Ya’qub, Hamzah, Etika Islam Pembinaan Akhlakul Karimah (Suatu Pengantar), Bandung: CV.
Dipongoro, 1988
Zarruq, Syarhul Hikam, (Surabaya: As-Syirkatul Qaumiyyah, 2010 M/1431 H).
124