Anda di halaman 1dari 4

Pertanyaan besarnya adalah masih perlukah Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) sekarang

ini, sementara sistem pemilu sudah berubah dan presiden bukan lagi menjadi mandataris
MPR," kata Amali lewat keterangan tertulis, Sabtu, 3 Agustus 2019.

Amali menuturkan, ada perbedaan mendasar antara era ketika GBHN berlaku dan kondisi saat
ini. Perbedaan mendasar tersebut ialah pemilihan presiden yang dulu dilakukan oleh MPR.
Sehingga, lazim saja jika dulu MPR membekali presiden dengan GBHN untuk menjalankan roda
pemerintahan dan pembangunan. Presiden pun harus menyampaikan pertanggungjawaban
kepada MPR.

Adapun sekarang, kata Amali, presiden dipilih langsung oleh rakyat. Presiden juga memiliki visi
misinya sendiri yang telah dikampanyekan kepada publik. "Dulu kita pernah ada GBHN, tapi
yang harus diingat bahwa sistem pemilihan presiden itu melalui MPR, bukan langsung dipilih
oleh rakyat seperti sekarang," ujar Amali.

Amali menilai perlu ada kajian mendalam terhadap wacana pengaktifan GBHN ini. Dia juga
meminta agenda perubahan disosialisasikan terlebih dulu ke berbagai kalangan. Jika disepakati,
Amali pun mewanti-wanti agar agenda amandemen ditetapkan sejak awal dan ada kepastian
tak ada perubahan. "Harus mendapat jaminan supaya tidak ada agenda lain, tambahan yang
tidak terencana, masuk di tengah jalan. Karena hal itu tidak bisa dihindarkan kalau amandemen
sudah bergulir," kata anggota Komisi II ini.

Rencana amendemen ini merupakan perubahan yang kelima UUD 1945 sejak 1999. Rencana
perubahan terhadap UUD 1945 ini didasari keinginan sejumlah pihak menghadirkan kembali
GBHN dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Dari kalangan partai, PDIP yang paling getol
menyuarakan agenda ini.

Dalam Rapat Kerja Nasional PDIP pada 10-12 Januari 2016 lalu, Ketua Umum PDIP Megawati
Soekarnoputri menyatakan Indonesia perlu menghidupkan kembali GBHN. Pernyataan
Megawati ketika itu cukup mengejutkan sejumlah pihak dan memunculkan spekulasi bahwa
ketua umum partai berlambang banteng itu ingin menjadikan GBHN sebagai pijakan untuk
mengkritik pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi yang terkesan sulit dikontrol
partainya.

Hingga saat ini, PDIP konsisten mengawal rencana perubahan terhadap UUD 1945 tersebut.
Wakil Ketua MPR RI asal PDIP, Ahmad Basarah meyakini semua fraksi akan setuju dengan
amandemen UUD 1945 yang bertujuan menghidupkan kembali GBHN itu.

"Dalam rencana amendemen nanti, yang saya kira semua partai lain setuju bahwa rencana
menghadirkan kembali haluan negara itu tidak bermaksud mengembalikan presiden dan wakil
presiden dipilih oleh MPR," kata Basarah, Jumat lalu. Dia juga menegaskan bahwa dalam draf
amendemen UUD itu tidak tertera rumusan untuk mengubah pemilihan presiden dari sistem
pemilihan langsung ke sistem perwakilan di MPR.

Menurut Basarah, hasil kajian MPR itu isinya hanya merekomendasikan perubahan Pasal 2 dan
Pasal 3 UUD 1945. Kedua pasal ini mengatur tentang eksistensi, wewenang, dan kedudukan
hukum MPR. la mengatakan rekomendasi terhadap perubahan kedua pasal ini berpijak pada
hasil pertemuan antara pimpinan MPR, Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila
(BPIP), dan Kepala BPIP pada 14 Maret tahun lalu. Rapat ini menghasilkan keputusan akan
perlunya haluan negara dalam UUD.

"Presiden dan wakil presiden tetap dipilih oleh rakyat, tapi dalam menyusun visi-misi serta
program pembangunan lima tahun harus bersumber dan menindaklanjuti haluan
pembangunan nasional yang blueprint-nya sudah ditetapkan oleh MPR," ujar Basarah.

Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS) Philips J. Vermonte
menilai GBHN berpotensi membatasi gerak presiden dalam menjalankan pemerintahan. "GBHN
bisa mengunci presiden terpilih dan membuat ruang gerak presiden menjadi terbatas," kata
Philips di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat, 2 Agustus 2019.

Menurut Philips, GBHN mengasumsikan orang yang menetapkan GBHN lebih tahu arah
pembangunan ini harus ke mana dibandingkan dengan aktor politik atau presiden yang terpilih
belakangan. Dia menjelaskan, GBHN niscaya di era sebelum reformasi lantaran pemerintah
memang memiliki agenda untuk berkuasa dalam jangka waktu lama. "Tapi kan kita pemilihan
tiap lima tahun mungkin berganti-ganti, kalau dikunci oleh GBHN menurut saya jadi tidak adil,"
kata Philips.

Lagipula, Philips mengimbuhkan, Indonesia saat ini sudah memiliki Rencana Pembangunan
Jangka Menengah dan Panjang (RPJM dan RPJP), serta Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional (Bappenas). Philips menilai instrumen dan lembaga yang ada ini sudah cukup untuk
merumuskan arah pembangunan negara.

Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun menilai keberadaan GBHN untuk saat ini tak lagi relevan.
Refly juga mempertanyakan posisi hierarki GBHN dalam sistem hukum di Indonesia. Secara
hierarkis, UUD 1945 berada di posisi teratas diikuti Ketetapan MPR dan undang-undang.
Ketetapan MPR yang diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Pembentukan
Perundang-undangan pun hanya yang sudah ada sejak zaman dulu. "Misalnya, ada GBHN dia
mau diletakkan di mana dari sisi struktur," kata Refly di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu, 3
Agustus 2019.

Wacana amandemen terbatas UUD 1945 dengan tujuan menghidupkan kembali GBHN ini
sudah digaungkan sejak kepemimpinan MPR periode 2009-2014. Agenda perubahan UUD 1945
bisa disepakati jika diusulkan oleh sepertiga anggota MPR. Perubahan bisa dilanjutkan bila
disetujui 50 persen + 1 dari dua pertiga anggota MPR yang hadir dalam sidang paripurna.

Tahun lalu, MPR membentuk panitia adhoc GBHN dan panitia adhoc non-GBHN untuk
menyusun draf amandemen. Draf GBHN itu telah rampung disusun dan sedang dibahas di
fraksi-fraksi. Wakil Ketua MPR, Mahyuddin menyebut pembahasan amandemen ini akan
dilimpahkan kepada pimpinan MPR periode selanjutnya, lantaran sudah tidak ada waktu.

Ia menyebutkan, untuk membuat amandemen, butuh waktu minimal enam bulan, sementara
masa jabatan MPR periode saat ini akan berakhir pada 27 September 2019. Karena itu, draf
amandemen konstitusi bakal direkomendasikan untuk MPR periode selanjutnya. Rapat
gabungan untuk membahas draft amandemen UUD1945 bakal digelar pada 28 Agustus 2019.
Selanjutnya keputusan dibawa ke rapat paripurna MPR terakhir pada 27 September. “Kalau
disetujui akan menjadi rekomendasi resmi saat sidang akhir masa jabatan MPR 2014-2019”.

Anda mungkin juga menyukai