PENDENGARAN
Problem DS :
- Klien mengatakan masuk ke RS karena dibawa keluarganya.
- Klien mengatakan mendengar suara-suara seorang laki-laki ingin mencium
dirinya.
- Klien mengatakan suara-suara itu datang tidak pasti kapan muncul.
- Klien mengatakan perasaan malu untuk berhubungan dengan orang lain.
- Klien mengatakan trauma saat SMP karena klien mendapat juara 1.
DO :
- Klien terlihat bingung dan gelisah saat mendengar suara-suara
- Kontak mata kurang
- Ekspresi wajah datar
- Klien tampak sedih
- Klien bicara dengan suara pelan
- TTV :
TD: 110/80 mmHg
HR: 84x/menit
S: 36,4 °C
RR: 18x/m
Hypothesis 1. Konfusi akut
a. DS:
- Klien mengatakan masuk ke RS karena dibawa keluarganya.
- Klien mengatakan mendengar suara-suara seorang laki-laki ingin
mencium dirinya.
- Klien mengatakan suara-suara itu datang tidak pasti kapan muncul.
b. DO:
- Klien terlihat bingung dan gelisah saat mendengar suara-suara
- Kontak mata kurang
- Ekspresi wajah datar
- Klien tampak sedih
2. Fase I: Comforting
Ansietas sedang, halusinasi menyenangkan. Karakteristik: klien mengalami
persaan mendalam seperti ansietas, kesepian, rasa bersalah, dan takut, serta
mencoba untuk berfokus pada pikiran menyenangkan untuk meredakan ansietas.
Individu mengenali bahwa pikiran-pikiran dan pengalaman sensori berbeda
dalam kendali kesadaranjika ansietas dapat ditangani. Merupakan non psikosis
Fase II: Condeming
Ansietas berat, halusinasi menjadi menjijikkan. Karakteristik: pengalaman
sensori yang menjijikkan dan menakutkan. Klien mulai lepas kendali dsan
mungkin mencoba untuk mengambil jarak dirinya dengan sumber yang
dipersepsikan. Klien mungkin mengalami dipermalukan oleh pengalaman
sensori dan menarik diri dari orang lain.
Fase III: Controlling
Ansietas berat, pengalaman sensori menjadi berkuasa. Karakteristik: klien
menghentikan perlawanan terhadap halusinasi dan menyerah pada halusinasi
tersebut. Isi halusinasi menjadi menarik. Klien mungkin mengalami pengalaman
kesepian jika sensori halusinasi berhenti. Merupakan halusinasi pada keadaan
psikosis
Fase IV: Conquering
Panik, umumnya menjadi melebar dalam halusinasinya.. Karakteristik:
pengalaman sensori menjadi mengancam, jika klien mengikuti perintah
halusinasi halusinasi berakhir dari beberapa jam atau hari jika tidak ada
intrevensi terapeutik. Merupakan halusinasi pada keadaan psikosis berat
3. Psikofarmakologis
Obat – obatan yang lazim digunakan pada gejala halusinasi yang
merupakan gejala psikosis pada klien skizoprenia adalah obat – obatan anti
psikosis.
Jawaban :
Konsep Halusinasi
A. Definisi Halusinasi
Halusinasi adalah persepsi tanpa adanya rangsangan apapun pada panca
indera seorang pasien yang terjadi dalam keadaan sadar/terbangun (Marion,
2015).
Halusinasi adalah keadaan dimana seseorang mengalami perubahan
dalam jumlah dan pola diri stimulus yang mendekat yang diperkasai secara
internal atau eksternal disertai dengan suatu pengurangan berlebihan distrarsi
atau kelainan berespon terhadap stimulus (Nurjanah, 2014).
Menurut Budi (2015) halusinasi adalah suatu persepsi yang salah tanpa
dijumpai adanya rangsang dari luar.Walaupun tampak sebagai suatu yang
“khayal”.halusinasi sebenarnya merupakan bagian dari kehidupan mental
penderita yang “terepsi”. Halusinasi dapat terjadi karena dasar-dasar organik
fungsional, psikotik maupun histerik.
Halusinasi adalah gangguan pencerpan (persepsi) panca indera tanpa
adanya rangsangan dari luar yang dapat meliputi semua system penginderaan
dimana terjadi pada saat kesadaran individu itu penuh/baik (Stuart & Sundeen,
2013).
a. Respon adaptif adalah respon yang masih dapat diterima oleh norm-norm sosial
dan kebudayaan secara umum yang berlaku dimasyarakat dan individu dalam
menyelesaikan masalahnya dengan kata lain repon adaptif adalah respon atau
masalah yang masih dapat ditoleransi atau masih dapat diselesaikan oleh kita
sendiri dalam batas normal. Kematangan diri dan sosial seseorang dalam
melakukan kegiatan umum sehari-hari sesuai dengan usia dan berkaitan dng
budaya kelompoknya dan kemampuan seseorang yg berkaitan dengan: fungsi
kemandirian (independent functioning) untuk mencapai keberhasilan
melaksanakan tugas sesuai dengan usia dan harapan masyarakat sekitar serta
kemampuan seseorang untk mengatasi secara efektif terhadap keadaan-keadaan
yg tengah terjadi dalam masyarakat lingkungannya. Respon adaptif meliputi
solitude/menyendiri, autonomy (kebebasan), mutuality dan saling
ketergantungan.
b. Respon Maladaptif adalah respon yang diberikan individu dalam menyelesaikan
masalahnya menyimpang dari norma-norma dan kebudayaan dari suatu tempat
atau dengan kata lain diluar batas individu tersebut. Respon maladaptif ini
meliputi: loneliness/kesepian, exploitation/pemerasan, withdral/menarik diri,
paranoid/curiga, Stuart dan Laraia (2001).
Menurut Stuart dan Laraia (2001), halusinasi merupakan salah satu respon
maladaptif individu yang berada dalam rentang respon neurobiologi.
1. Pikiran logis: yaitu ide yang berjalan secara logis dan koheren.
2. Persepsi akurat: yaitu proses diterimanya rangsang melalui panca indra
yang didahului oleh perhatian (attention) sehingga individu sadar tentang
sesuatu yang ada di dalam maupun di luar dirinya.
3. Emosi konsisten: yaitu manifestasi perasaan yang konsisten atau afek
keluar disertai banyak komponen fisiologik dan biasanya berlangsung tidak
lama.
4. Perilaku sesuai: perilaku individu berupa tindakan nyata dalam
penyelesaian masalah masih dapat diterima oleh norma-norma social dan
budaya umum yang berlaku.
5. Hubungan social harmonis: yaitu hubungan yang dinamis menyangkut
hubungan antar individu dan individu, individu dan kelompok dalam
bentuk kerjasama.
6. Proses pikir kadang terganggu (ilusi): yaitu menifestasi dari persepsi
impuls eksternal melalui alat panca indra yang memproduksi gambaran
sensorik pada area tertentu di otak kemudian diinterpretasi sesuai dengan
kejadian yang telah dialami sebelumnya.
7. Emosi berlebihan atau kurang: yaitu menifestasi perasaan atau afek keluar
berlebihan atau kurang.
8. Perilaku tidak sesuai atau biasa: yaitu perilaku individu berupa tindakan
nyata dalam penyelesaian masalahnya tidak diterima oleh norma – norma
social atau budaya umum yang berlaku.
9. Perilaku aneh atau tidak biasa: perilaku individu berupa tindakan nyata
dalam menyelesaikan masalahnya tidak diterima oleh norma-norma sosial
atau budaya umum yang berlaku.
10. Menarik diri: yaitu percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang
lain, menghindari hubungan dengan orang lain.
11. Isolasi sosial: menghindari dan dihindari oleh lingkungan sosial dalam
berinteraksi.
C. Penyebab Halusinasi
Salah satu penyebab dari perubahan sensori perseptual halusinasi yaitu isolasi
social : menarik diri. Menarik diri merupakan percobaan untuk menghindari
interaksi dengan orang lain, mengihndari hubungan dengan orang lain. Factor –
faktor penyebab halusinasi antara lain:
a. Factor predisposisi
1. Biologis
Gangguan perkembangan dan fungsi otak, susunan syaraf-syaraf pusat
dapat membuat gangguan realita. Gejala yang mungkintimbul adalah :
hambatan dalam belajar, berbicara, daya ingat dan muncul
perilaku ,menarik diri.
2. Psikologis
Keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat mempengaruhi respon
psikologis klien, sikap atau keadaan yang dapat mempengaruhi
gangguan orientasi realitas adalah : penolakan atau tindakan kekerasan
dalam rentang hidup klien.
3. Sosio budaya
Kondisi social budaya mempengaruhi gangguan orientasi realita seperti
: kemiskinan, konflik social budaya (perang, kerusuhan, bencana alam)
dan kehidupan yang terisolasi disertai stress.
b. Factor presipitasi
1. Stresor internal
Dari individu sendiri seperti proses penuaan
2. Stresor eksternal
Dari luar individu seperti keluarga, kelompok masyarakat dan
lingkungan dan bencana.
3. Waktu / lama terpapar stresor
4. jumlah stressor
Yosep (2014) menyebutkan dan menjelaskan tentang faktor penyebab
halusinasi, yaitu :
1) Predisposisi:
a) Faktor perkembangan
Tugas perkembangan klien yang terganggu misalnya rendahnya
kontrol dan kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak mampu
mandiri sejak kecil, mudah frustasi, hilang percaya diri dan lebih
rentan terhadap setress.
b) Faktor sosiokultural
Seseorang yang merasa tidak diterima di lingkungannya sejak bayi
(unwanted child) akan merasa disingkirkan, kesepian, dan tidak
percaya pada lingkungannya.
c) Faktor biokimia
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Adanya
stress yang berlebihan dialami seseorang maka di dalam tubuh akan
dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia
seperti Buffofenon dan Dimetytranferase (DMP). Akibat setress
berkepanjangan menyebabkan teraktivasinya neutrotransmitter otak.
Misalnya terjadi ketidakseimbangan acetylcholin dan dopamin.
d) Faktor psikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah
terjerumus pada penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini dipengaruhi pada
ketidakmampuan klien dalam mengambil keputusan yang tepat demi
masa depannya. Klien lebih memilih kesenangan sesaat dan lari alam
nyata menuju alam hayal.
e) Faktor genetik dan pola asuh
Penelitian menunjukkan bahwa anak sehat yang diasuh oleh orang tua
skizofrenia cenderung mengalami skizofrenia. Hasil studi
menunjukkan bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan yang
sangat berpengaruh pada penyakit ini.
2) Faktor presipitasi
Respon klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan, perasaan
tidak aman, gelisah dan bingung, perilaku merusak diri, kurang perhatian,
tidak mampu mengambil keputusan serta tidak dapat membedakan
keadaan nyata dan tidak nyata. Menurut Rawlins dan Heacock, (1993)
mencoba memecahkan masalah halusinasi berlandaskan atas hakikat
keberadaan seseorang individu sebagai makhluk yang dibangun atas
unsur-unsur bio-psiko-sosio-spiritual sehingga halusinasi dapat dilihat
dari lima dimensi yaitu :
a) Dimensi fisik
Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti
kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga
delirium, intoksikasi alkohol dan kesulitan untuk tidur dalam waktu
yang lama.
b) Dimensi emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat
diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi. Isi dari halusinasi
dapat berupa perintah memaksa dan menakutkan, klien tidak sanggup
lagi menentang perintah tersebut hingga dengan kondisi tersebut klien
berbuat sesuatu terhadap ketakutan tersebut.
c) Dimensi intelektual
Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu dengan
halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego. Pada
awalnya halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk melawan
implus yang menekan, namun merupakan suatu hal yang
menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian
klien dan tak jarang akan mengontrol semua perilaku klien.
d) Dimensi sosial
Klien mengalami gangguan interaksi sosial pada fase awal dan
comforting, klien menganggap hidup bersosialisasi dialam nyata
sangat membahayakan. Klien asyik dengan halusinasinya, seolah-olah
ia merupakan tempat untuk memenuhi kebutuhan akan interaksi
sosial, kontrol diri dan harga diri yang tidak didapatkan dalam dunia
nyata.
e) Dimensi spiritual
Secara spiritual klien halusinasi mulai dengan kehampaan hidup,
rutinitas tidak bermakna, hilangnya aktivitas ibadah dan jarang
berupaya secara spiritual untuk menyucikan diri. Irama sirkardiannya
terganggu, karena ia sering tidur larut malam dan bangun sangat
siang. Saat bangun merasa hampa dan tidak jelas tujuan hidupnya, ia
sering memaki takdir tetapi lemah dalam upaya menjemput rejeki,
menyalahkan lingkungan dan orang lain yang menyebabkan takdirnya
memburuk.
D. Manifestasi Klinis
Tahapan halusinasi, karakteristik dan perilaku yang ditampilkan yaitu:
TAHAP KARAKTERISTIK PERILAKU KLIEN
Tahap 1
E. Jenis Halusinasi
Pada klien dengan gangguan jiwa ada beberapa jenis halusinasi (Budi,
2015) dengan karakteristik tertentu, diantaranya:
1. Halusinasi pendengaran (auditif, akustik)
Halusinasi dengar merupakan persepsi sensori yang salah terhadap
stimulus dengar eksternal yang tidak mampu di identifikasi.
Halusinasi dengar merupakan adanya persepsi sensori pada pendengaran
individu tanpa adanya stimulus eksternal yang nyata (Stuart dan Sundeen,
2013).
Tanda dan gejala:
a. Prilaku pasien yang teramati adalah sebagai berikut:
b. Melirikan mata ke kiri dan ke kanan seperti mencari siapa atau apa
yang sedang berbicara.
c. Mendengarkan dengan penuh perhatian pada orang lain yang tidak
sedang berbicara atau kepada benda mati seperti mebel, tembok dll.
d. Terlibat percakapan dengan benda mati atau dengan seseorang yang
tidak tampak.
e. Menggerak-gerakan mulut seperti sedang berbicara atau sedang
menjawab suara.
2. Halusinasi penglihatan (visual, optik)
Lebih sering terjadi pada keadaan delirium (penyakit organik).Biasanya
sering muncul bersamaan dengan penurunan kesadaran, menimbulkan rasa
takut akibat gambaran- gambaran yang mengerikan.
3. Halusinasi penciuman (olfaktorik)
Biasanya berupa mencium sesuatu bau tertentu dan dirasakan tidak enak,
melambangkan rasa bersalah pada penderita. Bau dilambangkan sebagai
pengalaman yang dianggap penderita sebagai suatu kondisi moral
4. Halusinasi pengecapan (Gustatorik)
Walaupun jarang terjadi, biasanya bersamaan dengan halusinasi penciuman,
penderita merasa mengecap sesuatu
5. Halusinasi raba (taktil)
Merasa diraba, disentuh, ditiup atau atau seperti ada ulat yang bergerak di
bawah kulit
6. Halusinasi seksual, ini termasuk halusinasi raba
Penderita merasa diraba dan diperkosa, sering pada skizoprenia denagn
waham kebesaran terutama mengenai organ-organ
7. Halusinasi kinestetik
Penderita merasa badannya bergerak-gerak dalam sutau ruangan atau
anggota badannya yang bergerak-gerak, misalnya ”phantom phenomenon”
atau tungkai yang diamputasi selalu bergerak-gerak.
8. Halusinasi viseral
Timbulnya perasaan tertentu di dalam tubuhnya.
F. Fase Halusinasi
Halusinasi yang dialami oleh klien bisa berbeda intensitas dan
keparahannya. Stuart & Laraia (2013) membagi fase halusinasi dalam empat
fase berdasarkan tingkat ansietas yang dialami dan kemampuan klien
mengendalikan dirnya. Semakin erat fase halusinasi, klien semakin berat
mengalami ansietas dan semakin dikendalikan oleh halusinasinya. Fase-fase
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Fase I: Comforting
Ansietas sedang, halusinasi menyenangkan. Karakteristik: klien
mengalami persaan mendalam seperti ansietas, kesepian, rasa bersalah, dan
takut, serta mencoba untuk berfokus pada pikiran menyenangkan untuk
meredakan ansietas. Individu mengenali bahwa pikiran-pikiran dan
pengalaman sensori berbeda dalam kendali kesadaranjika ansietas dapat
ditangani. Merupakan non psikosis
Perilaku klien: tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai,
menggerakkan bibir tanpa suara, pergerakan mata yang cepat, respon verbal
yang lambat, jika sedang asyik dengan halusinasinya, diam dan asyik
sendiri.
H. Manajemen Halusinasi
Dalam Nursing Intervention Classification (Mccloskey & Bulechek,
2000). Tindakan keperawatan dalam penanganan halusinasi meliputi bina
hubungan terapeutik dan saling percaya, dukung klien bertanggung jawab
terhadap perilakunya, manajemen halusinasi, pendidikan kesehatan: proses
penyakit, dan perawatan serta fasilitasi kebutuhsn belajar.
Adapun tindakan dalam manajemen halusinasi menurut Standar Asuhan
Keperawatan Kesehatan Jiwa Rumah Sakit Grasia Pemerintah Provinsi Daerah
Yogyakarta (2006) adalah:
1. Diskusikan cara baru untuk memutus atau mengontrol halusinasi
2. Bantu klien memilih dan melatih cara memutus atau mengontrol yang telah
dipilih dan dilatih
3. Beri kesempatan untuk melakukan cara mengontrol atau memutus
halusinasi yang telah dipilih atau dilatih
4. Evaluasi bersama klien cara baru yang telah dipilih atau diterapkan
5. Beri reinforcement positif kepada klien terhadap cara yang dipilih dan
diterapkan
6. Libatkan klien dalam TAK orientasi realita, stimulasi persepsi umum, dan
stimulasi persepsi halusinai
Menurut Stuart (2006) salah satu strategi dalam merawat klien
halusinasi dengan mengkaji gejala halusinasi yaitu:
1. Lama halusinasi
Mengamati isyarat perilaku yang mengindikasikan adanya halusinasi
2. Intensitas
Mengamati isyarat yang mengidentifikasikan tingkat intensitas dan lama
halusinasi
3. Frekuensi
Membantu pasien mencatat banyaknya halusinasi yang dialami klien setiap
hari.
Mechanisme