| sunting sumber]
Artikel utama: Sejarah demokrasi
Sejarah singkat Sepanjang masa kemerdekaannya, bangsa Indonesia telah mencoba menerapkan
bermacam-macam demokrasi. Hingga tahun 1959, dijalankan suatu praktik demokrasi yang
cenderung pada sistem Demokrasi Liberal, sebagaimana berlaku di negara-negara Barat yang
bersifat individualistik. Pada tahun 1959-1966 diterapkan Demokrasi Terpimpin, yang dalam
praktiknya cenderung otoriter. Mulai tahun 1966 hingga berakhirnya masa Orde Baru pada
tahun 1998 diterapkan Demokrasi Pancasila. Model ini pun tidak mendorong tumbuhnya partisipasi
rakyat. Sesudah bergulirnya reformasi pada tahun 1998, kebebasan berbicara dan menyatakan
pendapat, kebebasan memilih, kebebasan berpolitik dan lain-lain semakin bebas.
Periode Demokrasi Parlementer (1945-1965) Periode ini merupakan awal perkembangan demokrasi
di Indonesia. Namun sayangnya demokrasi pada periode ini tidak mempunyai modal cukup untuk
menjadi mapan dalam implementasinya, entah dalam teori, konsep dan praktiknya. Demokrasi pada
periode ini hanya menjadi pemersatu dan alat koalisi antar suku dan agama yang beragam di
Indonesia untuk dapat menjadi bangsa. Namun demokrasi parlementer ini ternyata kurang begitu
cocok diterapkan di Indonesia karena dalam prosesnya timbul banyak perpecahan politik dan partai-
partai politik yang mendominasi terpecah belah. Sehingga Demokrasi Parlementer ini digantikan
menjadi Demokrasi Terpimpin (Guided Democracy).
Periode Demokrasi Terpimpin / Orde Lama (1959-1965) Ciri-ciri demokrasi ini adalah dominasi
politik presiden dan berkembangnya pengaruh komunis dan peranan tentara (ABRI) dalam
panggung politik nasional.3 Dominasi kekuasaan politik presiden pada saat itu terbukti melahirkan
tindakan dan kebijakan yang menyimpang dari ketentuan Undang-Undang Dasar 1945. Misalnya,
pada tahun 1960 Presiden Soekarno membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) padahal
dalam hal ini presiden tidak memiliki wewenang. Namun sejak pada tahun 1959 diberlakukannya
dekrit presiden, setelah itu banyak penyimpangan konstitusi oleh presiden atas dasar dominasi
kekuatan politik presiden. Akhir dari sistem demokrasi terpimpin Soekarno yang berakibat pada
perseteruan politik ideologis antara PKI dan TNI adalah peristiwa berdarah yang dikenal denga
Gerakan 30 September 1965 (G 30 S PKI)
Periode Demokrasi Pancasila / Orde Baru (1965-1998) Periode ini merupakan masa pemerintahan
Presiden Soeharto yang disebut masa Orde Baru. Sebutan Orde Baru merupakan kritik terhadap
periode sebelumnya, Orde Lama. Demokrasi Pancasila pada periode ini secara garis besar
menawarkan tiga komponen demokrasi. Pertama, menegakkan kembali asas-asas negara hukum
dan kepastian hukum. Kedua, mengutamakan kehidupan yang layak bagi semua warga negara.
Ketiga, pengankuan dan perlindungan HAM, peradilan yang bebas dan tidak memihak. Namun
ternyata tawaran-tawaran Demokrasi Pancasila hanya retorika politik belaka, sehingga terjadi
ketidakdemokratisan pernguasa Orde Baru yang ditandai oleh :
Kata "demokrasi" pertama muncul pada mazhab politik dan filsafat Yunani kuno di negara-
kota Athena.[11][12] Dipimpin oleh Cleisthenes, warga Athena mendirikan negara yang umum dianggap
sebagai negara demokrasi pertama pada tahun 507-508 SM. Cleisthenes disebut sebagai
"bapak demokrasi Athena."[13]
Demokrasi Athena berbentuk demokrasi langsung dan memiliki dua ciri utama: pemilihan
acak warga biasa untuk mengisi jabatan administratif dan yudisial di pemerintahan,[14] dan majelis
legislatif yang terdiri dari semua warga Athena.[15] Semua warga negara yang memenuhi ketentuan
boleh berbicara dan memberi suara di majelis, sehingga tercipta hukum di negara-kota tersebut.
Akan tetapi, kewarganegaraan Athena tidak mencakup wanita, budak, orang asing
(μέτοικοι metoikoi), non-pemilik tanah, dan pria di bawah usia 20 tahun.[butuh rujukan]
Dari sekitar 200.000 sampai 400.000 penduduk Athena, 30.000 sampai 60.000 di antaranya
merupakan warga negara.[butuh rujukan] Pengecualian sebagian besar penduduk dari kewarganegaraan
sangat berkaitan dengan pemahaman tentang kewarganegaraan pada masa itu. Nyaris sepanjang
zaman kuno, manfaat kewarganegaraan selalu terikat dengan kewajiban ikut serta dalam perang.[butuh
rujukan]
Demokrasi Athena tidak hanya bersifat langsung dalam artian keputusan dibuat oleh majelis, tetapi
juga sangat langsung dalam artian rakyat, melalui majelis, boule, dan pengadilan, mengendalikan
seluruh proses politik dan sebagian besar warga negara terus terlibat dalam urusan publik.[16] Meski
hak-hak individu tidak dijamin oleh konstitusi Athena dalam arti modern (bangsa Yunani kuno tidak
punya kata untuk menyebut "hak"[17]), penduduk Athena menikmati kebebasan tidak dengan
menentang pemerintah, tetapi dengan tinggal di sebuah kota yang tidak dikuasai kekuatan lain dan
menahan diri untuk tidak tunduk pada perintah orang lain.[18]
Pemungutan suara kisaran pertama dilakukan di Sparta pada 700 SM. Apella merupakan majelis
rakyat yang diadakan sekali sebulan. Di Apella, penduduk Sparta memilih pemimpin dan melakukan
pemungutan suara dengan cara pemungutan suara kisaran dan berteriak. Setiap warga negara pria
berusia 30 tahun boleh ikut serta. Aristoteles menyebut hal ini "kekanak-kanakan", berbeda dengan
pemakaian kotak suara batu layaknya warga Athena. Tetapi Sparta memakai cara ini karena
kesederhanaannya dan mencegah pemungutan bias, pembelian suara, atau kecurangan yang
mendominasi pemilihan-pemilihan demokratis pertama.[19][20]
Meski Republik Romawi berkontribusi banyak terhadap berbagai aspek demokrasi, hanya sebagian
kecil orang Romawi yang memiliki hak suara dalam pemilihan wakil rakyat. Suara kaum berkuasa
ditambah-tambahi melalui sistem gerrymandering, sehingga kebanyakan pejabat tinggi, termasuk
anggota Senat, berasal dari keluarga-keluarga kaya dan ningrat.[21] Namun banyak pengecualian
yang terjadi.[butuh rujukan] Republik Romawi juga merupakan pemerintahan pertama di dunia Barat yang
negara-bangsanya berbentuk Republik, meski demokrasinya tidak menonjol. Bangsa Romawi
menciptakan konsep klasik dan karya-karya dari zaman Yunani kuno terus dilindungi.[22] Selain itu,
model pemerintahan Romawi menginspirasi para pemikir politik pada abad-abad selanjutnya,[23] dan
negara-negara demokrasi perwakilan modern cenderung meniru model Romawi, bukan Yunani,
karena Romawi adalah negara yang kekuasaan agungnya dipegang rakyat dan perwakilan terpilih
yang telah memilih atau mencalonkan seorang pemimpin.[24] Demokrasi perwakilan adalah bentuk
demokrasi yang rakyatnya memilih perwakilan yang kemudian memberi suara terhadap sejumlah
inisiatif kebijakan, berbeda dengan demokrasi langsung yang rakyatnya memberi suara terhadap
inisiatif kebijakan secara langsung.[25]
Parlemen Inggris sudah membatasi kekuasaan raja melalui Magna Carta, yang secara rinci
melindungi hak-hak khusus subjek-subjek Raja, baik yang sudah bebas atau masih terkekang, dan
mendukung apa yang kelak menjadi habeas corpus Inggris, yaitu perlindungan kebebasan individu
dari penahanan tak berdasar dengan hak membela diri. Parlemen pertama yang dipilih rakyat
adalah Parlemen de Montfort di Inggris pada tahun 1265.
Sayangnya, hanya sekelompok kecil rakyat yang memiliki hak suara; Parlemen dipilih oleh sekian
persen penduduk Inggris (kurang dari 3% pada tahun 1780[26]) dan kekuasaan menyusun parlemen
berada di tangan monarki (biasanya saat ia membutuhkan dana).
Kekuasaan Parlemen bertambah secara bertahap pada abad-abad berikutnya. Setelah Revolusi
Agung 1688, Undang-Undang Hak Asasi Inggris tahun 1689 yang mengatur hak-hak tertentu dan
menambah pengaruh Parlemen diberlakukan.[26] Penyebarannya perlahan ditingkatkan dan
kekuasaan parlemen terus bertambah sampai monark hanya bersifat pelengkap.[27] Seiring
meningkatnya penyebaran pengaruh, sistem pemerintahan di seluruh Inggris diseragamkan dengan
penghapusan borough usang (borough yang jumlah pemilihnya sangat sedikit) melalui Undang-
Undang Reformasi 1832.
Di Amerika Utara, pemerintahan perwakilan terbentuk di Jamestown, Virginia, dengan
dipilihnya Majelis Burgesses (pendahulu Majelis Umum Virginia) pada tahun 1619. Kaum Puritan
Inggris yang bermigrasi sejak 1620 mendirikan koloni-koloni di New England yang pemerintahan
daerahnya bersifat demokratis dan mendorong perkembangan demokrasi di Amerika Serikat.
[28]
Walaupun majelis-majelis daerah memiliki sedikit kekuasaan turunan, otoritas mutlaknya
dipegang oleh Raja dan Parlemen Inggris.
Hak suara pria universal ditetapkan di Prancis pada bulan Maret 1848 setelah Revolusi Prancis
1848.[30] Tahun 1848, serangkaian revolusi pecah di Eropa setelah para pemimpin negara
dihadapkan dengan tuntutan konstitusi liberal dan pemerintahan yang lebih demokratis dari
rakyatnya.[31]
Walaupun tidak disebut demokrasi oleh para bapak pendiri Amerika Serikat, mereka memiliki
keinginan yang sama untuk menguji prinsip kebebasan dan kesetaraan alami di negara ini.
[32]
Konstitusi Amerika Serikat yang diadopsi tahun 1788 menetapkan pemerintahan terpilih dan
menjamin hak-hak dan kebebasan sipil.
Pada zaman kolonial sebelum 1776, dan beberapa saat setelahnya, hanya pemilik properti pria
dewasa berkulit putih yang boleh memberi suara, budak Afrika, sebagia besar penduduk berkulit
hitam bebas dan wanita tidak boleh memilih. Di garis depan Amerika Serikat, demokrasi menjadi
gaya hidup dengan munculnya kesetaraan sosial, ekonomi, dan politik.[33] Akan tetapi, perbudakan
adalah institusi sosial dan ekonomi, terutama di 11 negara bagian di Amerika Serikat Selatan.
Sejumlah organisasi didirikan untuk mendukung perpindahan warga kulit hitam dari Amerika Serikat
ke tempat yang menjamin kebebasan dan kesetaraan yang lebih besar.
Pada Sensus Amerika Serikat 1860, populasi budak di Amerika Serikat bertambah menjadi empat
juta jiwa,[34] dan pada Rekonstruksi pasca-Perang Saudara (akhir 1860-an), budak-budak yang baru
bebas menjadi warga negara dengan hak suara (pria saja).
Penyertaan penuh warga negara belum sempurna dilakukan sampai Gerakan Hak-Hak Sipil Afrika-
Amerika (1955–1968) disahkan oleh Kongres Amerika Serikat melalui Undang-Undang Hak Suara
1965.[35][36]
Abad ke-20 dan 21[sunting | sunting sumber]
Jumlah negara pada 1800–2003 yang memiliki skor 8 atau lebih pada skala Polity IV, cara yang sering dipakai
untuk mengukur demokrasi.
Transisi abad ke-20 ke demokrasi liberal muncul dalam serangkaian "gelombang demokrasi" yang
diakibatkan oleh perang, revolusi, dekolonisasi, religious and economic circumstances[pranala nonaktif
permanen]
. Perang Dunia I dan pembubaran Kesultanan Utsmaniyah dan Austria-Hongaria berakhir
dengan terbentuknya beberapa negara-bangsa baru di Eropa, kebanyakan di antaranya tidak terlalu
demokratis.
Pada tahun 1920-an, demokrasi tumbuh subur tetapi terhambat Depresi Besar. Amerika Latin dan
Asia langsung berubah ke sistem kekuasaan mutlak atau kediktatoran. Fasisme dan kediktatoran
terbentuk di Jerman Nazi, Italia, Spanyol, dan Portugal, serta rezim-rezim non-demokratis
di Baltik, Balkan, Brasil, Kuba, Cina, dan Jepang.[37]
Perang Dunia II mulai memutarbalikkan tren ini di Eropa Barat. Demokratisasi Jerman dudukan
Amerika Serikat, Britania, dan Prancis (diragukan[38]), Austria, Italia, dan Jepang dudukan menjadi
model teori perubahan rezim selanjutnya.
Akan tetapi, sebagian besar Eropa Timur, termasuk Jerman dudukan Soviet masuk dalam blok-
Soviet yang non-demokratis. Perang Dunia diikuti oleh dekolonisasi dan banyak negara merdeka
baru memiliki konstitusi demokratis. India tampil sebagai negara demokrasi terbesar di dunia sampai
sekarang.[39]
Pada tahun 1960, banyak negara yang menggunakan sistem demokrasi, meski sebagian besar
penduduk dunia tinggal di negara yang melaksanakan pemilihan umum terkontrol dan bentuk-
bentuk pembohongan lainnya (terutama di negara komunis dan bekas koloninya).
Gelombang demokratisasi yang muncul setelah itu membawa keuntungan demokrasi liberal sejati
yang besar bagi banyak negara. Spanyol, Portugal (1974), dan sejumlah kediktatoran militer di
Amerika Selatan kembali dikuasai rakyat sipil pada akhir 1970-an dan awal 1980-an (Argentina
tahun 1983, Bolivia, Uruguay tahun 1984, Brasil tahun 1985, dan Chili awal 1990-an). Peristiwa ini
diikuti oleh banyak bangsa di Asia Timur dan Selatan pada pertengahan sampai akhir 1980-an.
Malaise ekonomi tahun 1980-an, disertai ketidakpuasan atas penindasan Soviet, menjadi
faktor runtuhnya Uni Soviet yang menjadi tanda berakhirnya Perang Dingin dan demokratisasi
dan liberalisasi bekas negara-negara blok Timur. Kebanyakan negara demokrasi baru yang sukses
secara geografis dan budaya terletak dekat dengan Eropa Barat. Mereka sekarang menjadi anggota
atau calon anggota Uni Eropa. Sejumlah peneliti menganggap Rusia saat ini bukanlah demokrasi
sejati dan lebih mirip kediktatoran.[40]
Indeks Demokrasi yang disusun The Economist pada Desember 2019. Warna hijau mewakili negara-negara
yang lebih demokratis. Warna merah gelap mewakili negara-negara otoriter.
Tren liberal ini menyebar ke beberapa negara di Afrika pada tahun 1990-an, termasuk Afrika
Selatan. Contoh terbaru liberalisasi adalah Revolusi Indonesia 1998, Revolusi
Bulldozer di Yugoslavia, Revolusi Mawar di Georgia, Revolusi Oranye di Ukraina, Revolusi
Cedar di Lebanon, Revolusi Tulip di Kyrgyzstan, dan Revolusi Yasmin di Tunisia.
Menurut Freedom House, pada tahun 2007 terdapat 123 negara demokrasi elektoral (naik dari 40
pada tahun 1972).[41] Menurut World Forum on Democracy, jumlah negara demokrasi elektoral
mencapai 120 dari 192 negara di dunia dan mencakup 58,2 penduduk dunia. Pada saat yang sama,
negara-negara demokrasi liberal (yang dianggap Freedom House sebagai negara yang bebas dan
menghormati hukum dan HAM) berjumlah 85 dan mencakup 38 persen penduduk dunia.[42]
Pada tahun 2010, Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan 15 September sebagai Hari Demokrasi
Internasional.[43]
Negara[sunting | sunting sumber]
Artikel utama: Indeks Demokrasi
Negara-negara berikut dikategorikan sebagai demokrasi penuh oleh Indeks Demokrasi pada tahun
2011:[44]
Norwegia
Islandia
Denmark
Swedia
Selandia Baru
Australia
Swiss
Kanada
Finlandia
Belanda
Luksemburg
Irlandia
Austria
Jerman
Malta
Republik Ceko
Uruguay
Britania Raya
Amerika Serikat
Kosta Rika
Jepang
Korea Selatan
Belgia
Mauritius
Spanyol
Index Demokrasi memasukkan 53 negara di kategori berikutnya, demokrasi tidak
sempurna: Argentina, Benin, Botswana, Brasil, Bulgaria, Tanjung
Verde, Chili, Kolombia, Kroasia, Siprus, Republik Dominika, El
Salvador, Estonia, Prancis, Ghana, Yunani, Guyana, Hongaria, Indonesia, India, Israel, Italia, Jamai
ka, Latvia, Lesotho, Lituania, Makedonia, Malaysia, Mali, Meksiko, Moldova, Mongolia, Montenegro,
Namibia, Panama, Papua
Nugini, Paraguay, Peru, Filipina, Polandia, Portugal, Rumania, Serbia, Slowakia, Slovenia, Afrika
Selatan, Sri Lanka, Suriname, Taiwan, Thailand, Timor-Leste, Trinidad dan Tobago, Zambia[44]