Anda di halaman 1dari 41

PROPOSAL PENELITIAN

UJI KINERJA ALAT FLAT BED DRYER DENGAN


MEMANFAATKAN UDARA PANAS DARI ALAT
PIROLISIS

YUSUF FARIANTO DONGORAN (180405149)


JEREMY STEVEN SIMANGUNSONG (180405157)

DEPARTEMEN TEKNIK KIMIA


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2022
LEMBAR PENGESAHAN

UJI KINERJA ALAT FLAT BED DRYER DENGAN


MEMANFAATKAN UDARA PANAS DARI ALAT
PIROLISIS

OLEH:

YUSUF FARIANTO DONGORAN (180405149)


JEREMY STEVEN SIMANGUNSONG (180405157)

Disetujui,

Dosen Pembimbing Dosen Pembanding

Prof. Dr. Ir. Rosdanelli Hasibuan, M.T. .


NIP. 19680808 199403 2 003 NIP.

Diketahui,
Koordinator Penelitian

Dr. Ir.Taslim, M.Si, IPM


NIP. 196501151 199003 1 002
PRAKATA
Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-
Nya penulis dapat menyelesaikan Proposal Penelitian dengan judul :
“UJI KINERJA ALAT FLAT BED DRYER DENGAN MEMANFAATKAN
UDARA PANAS DARI ALAT PIROLISIS”.
Adapun tujuan dari penulisan proposal penelitian ini adalah sebagai salah
satu tahapan untuk mendapat gelar sarjana di Departemen Teknik Kimia, Fakultas
Teknik, Universitas Sumatera Utara.
Dengan ini, penulis juga menyampaikan terima kasih kepada:
1. Orang tua dan seluruh keluarga yang telah memberikan dukungan moril
maupun materil selama ini.
2. Prof. Dr. Ir. Rosdanelli Hasibuan, M.T. selaku Dosen Pembimbing atas
kesabarannya membimbing Penulis dalam proses penyusunan dan penulisan
proposal penelitian ini.
3. selaku Dosen Penguji yang telah memberikan saran dan masukan untuk
kesempurnaan proposal penelitian ini.
4. Dr. Ir.Taslim, M.Si, IPM selaku Koordinator Penelitian Departemen Teknik
Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara.
5. Maya Sarah, S.T., M.T., Ph.D., IPM selaku Ketua Departemen Teknik
Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara.
6. Partner penelitian dan teman-teman satu angkatan yang telah membantu
penyelesaian proposal penelitian ini.
Penulis menyadari bahwa proposal penelitian ini masih jauh dari
sempurna.Oleh karena itu, Penulis mengharapkan saran dan masukan demi
kesempurnaan proposal penelitian ini. Semoga proposal penelitian ini dapat
memberikan manfaat bagi pengembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan.

Medan, 2022

Penulis 1 Penulis 2

Yusuf Farianto Dongoran Jeremy Steven Simangunsong


(180405149) (180405157)

i
DAFTAR ISI

PRAKATA i
DAFTAR ISI ii
DAFTAR GAMBAR iv
DAFTAR TABEL v
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Perumusan Masalah 4
1.3 Tujuan Penelitian 5
1.4 Manfaat Penelitian 5
1.5 Ruang Lingkup Penelitian 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 7
2.1 Tanaman Herbal 7
2.1.1 Jahe Merah 8
2.2 Pengeringan 10
2.2.1 Alat Pengering Tipe Rak 14
2.3 Faktor - Faktor yang Mepengaruhi Pengeringan 15
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 17
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian 17
3.2 Peralatan 17
3.2.1 Alat Pengering 17
3.2.2 Pengumpulan Data 18
3.3 Tahap – Tahap Penelitian 19
3.4 Diagram Penelitian 20
3.5 Prosedur Penelitian 20
3.5.1 Proses Pengeringan 20
3.5.2 Flowchart Penelitian 21
3.6 Prosedur Perhitungan 22
3.6.1 Perhitungan Laju Pengeringan 22

ii
3.7 Analisa
3.7.1 Analisa Kadar Air 22
3.7.2 Flowchart Analisa Kadar Air 22
3.7.3Analisa Mutu Jahe Merah kering 23
23
DAFTAR PUSTAKA 24

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Struktur kimia dari gingerol dan shogaol 9


Gambar 2.2 Tipe laju pengeringan dengan kondisi pengeringan konstan 12
Gambar 2.3 Pengering tipe rak 14
Gambar 3.1 Skema Alat Pengering Tray Dryer Menggunakan Udara Panas 17
Dari Alat Pirolisis
Gambar 3.2 Anemometer 18
Gambar 3.3 Hygrometer 18
Gambar 3.4 Neraca Elektrik 19
Gambar 3.5 Oven 19
Gambar 3.6 Diagram Kerja Pengering Tray Dryer Menggunakan Udara 20
Panas Dari Alat Pirolisis
Gambar 3.7 Flowchart Penelitian 21
Gambar 3.8 Flowchart Prosedur Analisa Kadar Air 23

iv
DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Produksi Tanaman Biofarmaka Kelompok Rimpang Tahun 1


2017–2018
Tabel 1.2 Penelitian Terdahulu Mengenai Pengeringan 3
Tabel 1.3 Variabel Tetap 6
Tabel 1.4 Variabel Berubah 6
Tabel 1.5 Analisa Jahe Kering 6
Tabel 2.1 Produksi Tanaman Jahe di Sumatera Utara dan Indonesia 8
Tahun 2014-2018

v
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Padi merupakan komoditas hasil pertanian yang menjadi makanan pokok di
Indonesia. Pada umumnya tanaman padi diolah menjadi beras yang merupakan
makanan pokok masyarakat Indonesia, tanaman padi dapat ditemukan hamper di
seluruh daerah di Indonesia dengan luas panen pada tahun 2021 sebesar 10,52 juta
hektar (BPS,2021). Produksi padi juga diperkirakan meningkat pada tahun 2021
sebesar 55,27 juta ton Gabah Kering Giling (GKG), mengalami kenaikan
sebanyak 620,42 ribu ton atau 1,14 persen dibandingkan produksi padi pada tahun
2020 (BPS,2021). Produksi padi selama 3 tahun terakhir dapat dilihat pada tabel
1.1 berikut :
Tabel 1.1 Luas Panen, Produktivitas, dan produksi padi tahun 2019-2021
Tahun Luas Panen (Ha) Produktivitas (ku/ha) Produksi (ton)
2019 10.677.887,15 51,14 54.604.202,34
2020 10.657.274,96 51,28 54.649.202,24
2021 10.515.323,06 52,56 55.269.619,39
(BPS,2021)
Tabel 1.1 menunjukkan bahwa luas produksi padi dari tahun ke tahun selalu
tetap, tetapi dengan permintaan yang meningkat sehingga produktivitasnya juga
meningkat, hal ini harus sejalan dengan penanganan yang baik terlebih
penanganan pascapanen.
Perlakuan pasca panen meliputi perontokan, pengeringan, penyimpanan,
pengilingan, dan penyosohan. Salah satu perlakuan pasca panen padi yang
terpenting ialah pengeringan. Selama pengeringan terjadi dua proses secara
simultan yaitu perpindahan panas ke produk dari sumber pemanas dan
perpindahan massa uap air dari bagian dalam produk ke permukaan dan dari
permukaan ke udara sekitar. Esensi dasar dari pengeringan adalah mengurangi
kadar air pada produk agar aman dari kerusakan pada jangka waktu tertentu, yang
biasa diistilahkan dengan periode penyimpanan aman. (Panggabean,dkk.2017)

1
Proses pengeringan akan memperlambat pertumbuhan bakteri dan jamur
sehingga gabah tidak akan cepat mengalami kerusakan dan penyusutan selama
penyimpanan. Gabah yang diperuntukkan untuk disimpan atau dikenal dengan
gabah kering simpan (GKS) mempunyai standar kadar air antara 14% hingga
18%. Sedangkan untuk keperluan proses penggilingan dikenal dengan gabah
kering giling (GKG) yang mempunyai standar kadar air maksimal 14%. (Putra
dan Novrinaldi. 2019)
Proses pengeringan gabah di Indonesia masih banyak memakai cara
konvensional atau alami dengan penjemuran langsung di bawah sinar matahari,
Kerugian pengeringan alami atau konvensional adalah tergantung cuaca dan
membutuhkan tenaga operasional yang besar, kelemahan lain yaitu tingkat susut
hasil karena tercecer ataupun termakan bintang lebih tinggi, adanya resiko gabah
basah karena hujan, maupun gabah kotor akibat binatang atau kotoran pada lantai
jemur, serta kesulitan dalam mengontrol suhu. (Ramli, dkk. 2017)
Proses pengeringan menggunakan alat pengering buatan memerlukan energi
yang besar sejalan dengan biaya yang besar pula karena membutuhkan bahan
bakar dan energi listrik. Cara yang efisien adalah dengan memanfaatkan panas
buangan sisa pembakaran.
Alat pengering yang dimodifikasi terintegrasi dengan alat pirolisis lebih
efisien, murah dan berguna, karena pada saat alat pirolisis menghasilkan produk
utamanya yaitu arang dan asap cair, panas buangan sisa pembakaran dapat
digunakan untuk proses pengeringan sehingga lebih efisien.
Berikut ini adalah penelitian terdahulu mengenai pengeringan menggunakan
alat Flat bed dryer ( pengering tipe gabah ) :
Tabel 1.3 Penelitian terdahulu mengenai pengeringan:
Nama Tahun Judul Penelitian Hasil Penelitian
Catrawedar 2018 Pengujian termal Pengering bahwa dengan energi masuk
Gabah Unfixed Flad Bed sebesar 6,396 kW diperlukan
ma, dkk.
waktu 125 menit untuk
menguapkan air yang ada
dalam gabah, dengan efisiensi
termal tertinggi pada rak ke-2
dari bawah.
ancal, et al. 2019 Development of Static Flat- Pengering yang dikembangkan
bed Batch Dryer for Small dapat digunakan secara efektif
Scale Grain Drying untuk pengeringan biji-bijian

2
dalam skala kecil di tempat-
tempat kelembaban relatif
tinggi. Suhu yang lebih tinggi
selama operasi pengeringan,
bagaimanapun, dapat
mempengaruhi karakteristik
kualitas biji-bijian setelah
penggilingan operasi. Jadi
pengaturan suhu harus
digabungkan selama operasi
dengan memvariasikan
laju aliran udara.
Ghiasi,et al 2016 Energy usage and drying pengeringan flad bed dan
capacity of flat-bed and inclined-bed dalam hal durasi
inclined-bed dryers for rough pengeringan, kapasitas
rice drying pengeringan, energi
persyaratan serta kualitas
penggilingan padi dapat
diketahui dalam penelitian ini.
Kita dapat menyimpulkan
bahwa pengeringan dengan
pengering inclined-bed
menghabiskan hampir kurang
dari 90 kW.h ton-1 kekuatan
untuk mengeringkan beras
kasar dari kadar air 20%
menjadi 13% (wb).
Selanjutnya, kapasitas
pengeringan meningkat hingga
25% untuk kedua tingkat suhu
dibandingkan untuk
pengeringan flat-bed. Selain
itu, pengeringan dengan lebih
tinggi suhu (42-43°C) akan
menghilangkan kelembapan
dari beras kasar lebih cepat
yang menyebabkan secara
signifikan lebih besar kapasitas
pengeringan dibandingkan
dengan 38-39°C, hingga
52,77% dan 57,14% untuk
IBD dan pengering flat-bed
masing-masing. Meskipun
semua percobaan dalam
penelitian ini menghasilkan
beras giling dengan indeks
kualitas perdagangan yang
dapat diterima, tetapi

3
pengering flat-bed
menghasilkan beras dengan
lebih seragam dan lebih sedikit
kerusakan.
Maryana,dk 2017 Mekanisme dan kinerja alat Penerapan pengering gabah
k pengeringan gabah dilahan diharapkan dapat mengatasi
rawa berbagai macam kendala dan
masalah spesifik lokasi di
lahan rawa Sumatera Selatan.
Beberapa tipe pengering gabah
telah diintroduksikan ke petani
seperti pengering tipe flat bed
BBM, flat bed bahan bakar
sekam ABC, flat bed bahan
bakar sekam tungku tunggal
model ABC dan pengering
fluidisasi. Penggunaan alat
pengering dapat mempercepat
waktu pengeringan serta
meningkatkan rendemen
giling.
Adu,et al 2021 Influence of energy recovery Pengering flat bed dengan
system on the energy sistem reklamasi panas
efficiency of a flat-bed dryer dikembangkan. Evaluasi
in the drying of turmeric pengering adalah dilakukan
dengan uji 'Tanpa beban' dan
pengeringan kunyit pada
kondisi C-I dan C-II,
menunjukkan tanpa dan
dengan heat-recovery-unit
masing-masing pada suhu
60℃, 65℃ dan 70℃.Efisiensi
termal pengering ditentukan,
pada C-I ditemukan 28, 27 dan
27% pada 60℃, 65℃ dan
70℃ dan pada C-II adalah 42,
42, dan 40% untuk 60℃,
65℃, dan 70℃ masing-
masing.

Dari penelitian-penelitian diatas merupakan salah satu bentuk pengeringan


yang dapat memudahkan masyarakat dalam proses pengeringan bahan pertanian
khususnya dalam bentuk biji-bijian seperti padi dan lainnya yang selama ini
tergantung dari keadaan cuaca.

4
Atas dasar pemikiran yang telah dipaparkan, maka peneliti ingin melakukan
penelitian mengenai efisiensi pengeringan padi agar mendapatkan efisiensi terbaik
dan nilai ekonomis yang rendah.

1.2 PERUMUSAN MASALAH


Petani tanaman padi selama ini melakukan pengeringan dengan cara
menjemur secara langsung dibawah sinar matahari, namun cara tersebut kurang
efisien karena membutuhkan waktu yang lama,bergantung pada keadaan cuaca
selama proses pengeringan sehingga produk yang dihasilkan tidak beragam dan
memungkinkan terkontaminasi zat pengotor yang dapat menurunkan kualitas
padi itu sendiri , maka diperlukan alat pengering yang dapat memudahkan proses
pengeringan tersebut untuk mengetahui moisture content dan laju pengeringan
dari padi tersebut..
Namun kelemahan menggunakkan alat pengering adalah masalah biaya dan
efisiensi dari alat pengering tersebut, sehingga peneliti menggunakan alat
pengering yaitu Flat Bed Dryer yang dimodifikasi dengan memanfaatkan udara
panas dari alat pirolisis, sebagai sumber panas dalam proses pengeringan padi

1.3 TUJUAN PENELITIAN


1. Mengetahui berapa banyak bahan bakar yang dibutuhkan dari proses
pirolisis untuk mengeringkan padi dan mengkonversikan ke nilai ekonomis.
2. Menghitung effisiensi termal alat Flat Bed Dryer maksimal yang dihasilkan.

1.4 MANFAAT PENELITIAN


1. Memberikan informasi mengenai energi yang diperoleh dari pirolisis untuk
mengeringkan padi.
2. Memberikan informasi mengenai efisiensi termal suatu alat pengering.

1.5 RUANG LINGKUP PENELITIAN


Penelitian ini akan dilakukan di Laboratorium Proses Industri Kimia,
Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara. Ruang
lingkup dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

5
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini meliputi variabel tetap dan variabel
berubah sebagai berikut:
1. Variabel Tetap
Tabel 1.4 Variabel Tetap

Variabel Keterangan
Berat Padi 150 gram
Kecepatan Udara 10 m/s

2. Variabel Berubah
Tabel 1.5 Variabel Berubah
Variabel Keterangan
Suhu Udara Panas 50oC, 60oC dan 70oC
Tinggi Bed 20cm, 40cm, dan 60cm

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. PADI
Padi adalah salah satu komoditas pangan yang paling penting bagi bangsa
Indonesia karena merupakan makanan pokok masyarakat Indonesia. Tanaman
padi termasuk golongan rumput-rumputan dengan klasifikasi sebagai berikut
(Kartasapoetra, 1988):
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub Divisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledonae
Ordo : Graminales
Family : Gramineae
Sub Family : Oryzae
Genus : Oryzae
Spesies : Oryza sativa, L
Sifat-sifat fisik padi antara lain suhu gelatinisasi, konsistensi gel,
penyerapan air, kepulenan, kelengketan, kelunakan, dan kilap nasi. Berikut
gambar struktur padi dapat dilihat pada gambar 2.1
Keterangan:

1. Beras (Kayopsis)
2. Palea
3. Lemma
4. Rakhilla
5. Lemma Mandul
6. Pedicel (Tangkai Padi)

Gambar 2.1 Struktur Padi


(Yoshida, 1981)

7
Karbohidrat utama dalam beras adalah pati dan hanya sebagian kecil
pentosan, selulosa, hemiselulosa, dan gula. Pati beras berkisar antara 85 – 90%
dari berat kering beras. Kandungan dari pentosan berkisar antara 2 – 2,5% dan
gula 0,6 – 1,4% dari beras pecah kulit (Winarno, 1997). Komposisi kimia beras
pecah kulit dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Komposisi Kimia Beras Putih Kulit per 100 Gram
Keterangan Nilai
Energi Karbohidrat 79 g 1,527 kJ (365 kkal)
Gula 72 g
Serat Pangan 0,12 g
Lemak 0,66 g
Protein 7,13 g
Air 11,62 g
Thiamin (Vit.B1) 0,070 mg (5%)
Riboflavin (Vit.B2) 0,049 mg (3%)
Niasin (Vit.B3) 1,6 mg (11%)
Asam Panthotenat (B5) 1,014 mg (20%)
Vitamin B6 0,164 mg(13%)
Folat (Vit.B9) 8 µg (2%)
Kalsium 28 mg (3%)
Besi 0,80 mg (6%)
Magnesium 25 mg (7%)
Mangan 1,088 mg (54%)
Fosfor 115 mg (16%)
Potassium 115 mg (2%)
Seng 1,09 mg (11%)
(Sumber Data Nutrisi USDA, 2009)

2.2 PENGERINGAN
Pengeringan zat padat merupakan pemisahan sejumlah kecil air atau zat cair
dari suatu bahan sehingga dapat mengurangi kandungan sisa zat cair yang
terkandung dalam zat padat itu sampai suatu nilai tertentu. Proses pengeringan
pada dasarnya menyangkut proses perpindahan panas dan perpindahan massa
yang terjadi secara bersamaan. Pertama - tama sumber panas ditransfer dari
medium pemanas ke bahan. Selanjutnya setelah terjadi proses penguapan air, uap
air yang terbentuk dapat dipindahkan melalui permukaan bahan ke medium
sekitarnya (Hasibuan dan Alfikri, 2019).
Pengeringan juga dapat menurunkan biaya serta memudahkan dalam proses
penyimpanan, pengemasan dan pengangkutan. Pengeringan juga bertujuan untuk

8
memperpanjang umur simpanan produk. Sasaran utama pengeringan ialah
menurunkan kadar air atau aktivitas air, menghambat pertumbuhan bakteri,
menurunkan aktivitas enzim, serta menurunkan laju perubahan kimia yang tidak
diinginkan sehingga dapat membuat produk disimpan lebih tahan lama dengan
mutu yang lebih terjaga (Ummah, dkk. 2016). Sebelum melakukan proses
pengeringan, sebaiknya harus diketahui terlebih dahulu data dari suatu bahan yang
akan digunakan salah satunya yaitu kadar air. Dimana kadar air ini merupakan
banyaknya air yang dikandung pada suatu bahan/padatan kering, ada 2 cara untuk
mengetahui kadar air yaitu basis kering (bk) dan basis basah (bb). Untuk
menghitung kadar air dari suatu bahan, digunakan persamaan berikut ini untuk
menghitung basis basah dan basis kering :

W t −W d 2.1
M db (basis kering) = ×100 %
Wt
W t −W d 2.2
M wb (basis basah) ×100 %
Wt

Keterangan:

Mdb = Kadar air basis kering(%)

Mwb = Kadar air basis basah (%)

Wt = Berat total (gram)

Wd = Berat padatan (gram)

(Trisanto,dkk,2018)

Equilibrium moisture content atau kadar air kesetimbangan adalah batas


kelembaban dimana suatu bahan dapat dikeringkan dalam kondisi suhu dan
kelembaban udara tertentu. Sedangkan kelembaban atau humidity didefinsikan
sebagai kandungan berat uap air didalam berat 1 kg udara kering. Kelembapan
juga dapat dihitung dengan tekanan parsial uap air dari tekanan total (dapat
diasumsikan sebesar 101,325 kPa, 1,0 atm abs, atau 760 mmHg). Perbandingan
tekanan uap air parsial dengan tekanan uap air jenuh dalam udara tertentu pada

9
tekanan dan temperatur yang sama disebut dengan kelembapan relatif atau
relative humidity (RH) (Geankoplis, 1993).
Setelah tahap penyesuaian awal, kadar air basis kering akan menurun secara
linier secara waktu, maka hal ini disebut dengan pengeringan. Hal ini juga diikuti
dengan pernurunan kadar air basis kering terhadap waktu dengan tak-linier,
setelah waktu yang lama maka padatan tersebut telah mencapai kesetimbangannya
dan pengeringan berhenti. Berdasarkan persamaan berikut, laju pengeringan (R),
didefinisikan sebagai :
−Ls dX 2.3
R=
A dt
sd1vdsv1993)
dimana :
R = Laju pengeringan (kg H2O/h m2)
Ls = Berat padatan yang dikeringkan (kg)
A = Luas permukaan (m2)
X = Kadar air basis kering
t = Waktu pengeringan (h)

Diketahui ada dua tipe laju pengeringan yaitu:


a. Constant Drying Rate. Dalam laju pengeringan yang konstan, perpindahan
kandungan air pada bahan cukup cepat untuk mempertahankan laju
penguapan air tetap di angka konstan.
b. Falling Drying Rate. Laju ini dimulai pada saat kadar air pada bahan sudah
mencapai kadar air kritis (ketika laju konstan sudah berakhir) sehingga laku
pengeringan sesaat secara terus-menerus mengalami penurunan.
(Geankoplis,1993)
c. Increasing Drying Rate. proses pengeringan dikendalikan oleh difusi internal
uap air di dalam produk. Jelas bahwa laju pengeringan meningkat dengan
meningkatnya suhu pengeringan. ( Ramandeep,dkk.2018)
Akan tetapi, periode-periode ini umumnya hanya dapat dibedakan selama
kondisi laju pengeringan rendah. Di bawah kondisi intensitas tinggi dan untuk
lembaran dengan berat dasar rendah yang diuji dalam penelitian ini, menjadi
sangat sulit untuk membatasi periode laju pengeringan.

10
Gambar 2.2 Tipe laju pengeringan dengan kondisi pengeringan konstan
(Modak,dkk.2009)

Pengeringan akan menyebabkan tejadinya perubahan warna, tekstur dan


aroma bahan pangan. Pengeringan menyebabkan kadar air bahan pangan menjadi
rendah yang juga akan menyebabkan zat-zat yang terdapat pada bahan pangan
seperti protein, lemak, karbohidrat dan mineral akan lebih terkonsentrasi
(Huriawati, dkk. 2016)
Pengering buatan dapat menjadi alternatif yang lebih baik di pedesaan.
Selain itu, dapat mengurangi kerugian produk pertanian, meningkatkan kualitas
produk kering secara signifikan secara ekonomi dibandingkan dengan metode
pengeringan menjemur di bawah matahari (Balbine, dkk., 2015).
Pengeringan merupakan salah satu proses yang memerlukan konsumsi
energi cukup besar. Masalah penggunaan energi selama pengeringan menjadi
lebih besar ketika digunakan untuk mengeringkan produk dengan kadar air yang
tinggi pada lingkungan dengan kelembaban tinggi (Balbine, dkk., 2015).

2.3 KARAKTERISTIK PENGERINGAN

2.3.1 Laju Pengeringan


Laju pengeringan secara normal ditentukan dengan melewatkan udara
yang dipanaskan melalui suatu lapisan tunggal dari bahan dan mengukur
perubahan kadar air dan waktu hingga tercapai kondisi kesetimbangan. Kurva

11
pengeringan dibuat dengan mem-plot kadar air dan waktu, digunakan untuk
menggambarkan kehilangan air (atau perilaku pengeringan) bahan selama proses
pengeringan.Pada umumnya ada dua tahap laju pengeringan, yaitu: laju
pengeringan konstan dan laju pengeringan menurun.
1. Laju Pengeringan Konstan
Laju pengeringan konstan dapat terjadi pada lapisan air bebas yang
terdapat pada permukaan suatu bahan. Pada laju pengeringan ini terjadi cepat,
dimana kecepatan penguapan air pada tahapan ini dapat disamakan dengan
kecepatan penguapan air bebas. Besaran laju pengeringan ini bergantung pada
lapisan yang terbuka,perbedaan kelembaban antara aliran udara dan daerah basah,
koefisien pindah massa, serta kecepatan aliran udara pengering. Selama periode
awal pengeringan, laju pengeringan ditinjau dari tiga parameter pengeringan
eksternal yaitu kecepatan udara, suhu udara dan kelembaban udara. Jika kondisi
lingkungan konstan, maka laju pengeringan akan konstan.(Raihan,2021).
2 Laju Pengeringan Menurun
Laju pengeringan menurun biasanya terjadi setelah periode pengeringan
konstan selesai. Pada tahap ini kecepatan aliran air bebas dari dalam bahan ke
permukaan lebih kecil dari kecepatan pengambilan uap air maksimum dari bahan.
Proses pengeringan dengan laju menurun sangat tergantung pada sifat-sifat alami
bahan yang dikeringkan. Laju perpindahan massa selama proses ini dikendalikan
oleh perpindahan internal bahan. Periode laju pengeringan menurun meliputi 2
proses yaitu perpindahan air dari dalam bahan ke permukaan dan perpindahan uap
air dari permukaan ke udara sekitar. Kadar air kritis (critical moisture content)
menjadi batas antara laju pengeringan konstan dan laju pengeringan menurun.
Kadar air kritis adalah kadar air terendah pada saat kecepatan aliran air bebas dari
dalam bahan ke permukaan sama dengan kecepatan pengambilan uap air
maksimum dari bahan (Hani, 2012).

2.4 FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGERINGAN


Faktor-faktor yang mempengaruhi pengeringan ada dua golongan yaitu
faktor yang berhubungan dengan udara pengering dan faktor yang berhubungan
dengan sifat bahan yang dikeringkan. Faktor-faktor yang berhubungan dengan

12
udara pengering adalah suhu, kecepatan, aliran udara pengering dan kelembaban
udara. Faktor-faktor yang berhubungan dengan sifat bahan yang dikeringkan
adalah ukuran bahan, kadar air awal dan tekanan parsial di dalam bahan. Faktor -
faktor yang berpengaruh dalam laju pengeringan tersebut adalah :
a. Bentuk Bahan
Air menguap melalui permukaan bahan, sedangkan air yang ada di bagian
tengah akan berdifusi ke bagian permukaan dan kemudian menguap. Sehingga
untuk mempercepat proses berdifusinya air, bahan yang akan dikeringkan akan
dipotong-potong untuk mempercepat pengeringannya, dikarenakan :
(1) Pemotongan atau pengirisan bahan akan memperluas permukaan bahan dan
mengurangi ketebalan bahan sehingga mempercepat penguapan air dair
bahan.
(2) Potongan - potongan kecil atau ketebalan bahan yang tipis mengurangi jarak
dimana panas harus bergerak sampai ke bagian tengah bahan. Potongan kecil
atau ketebalan bahan yang tipis juga akan mengurangi jarak yang dilalui air
dari bagian tengah bahan yang harus keluar keluar dari bahan tersebut.

b. Perbedaan Suhu dan Udara Sekitarnya


Semakin besar perbedaan suhu antara medium pemanas dengan bahan makin
cepat pemindahan panas ke dalam bahan dan makin cepat pula penghilangan air
dari bahan. Air yang keluar dari bahan yang dikeringkan akan menjenuhkan udara
sehingga kemampuannya untuk menyingkirkan air berkurang. Jadi dengan
semakin tinggi suhu pengeringan maka proses pengeringan akan semakin cepat.
Akan tetapi bila tidak sesuai dengan bahan yang dikeringkan, akibatnya akan
terjadi suatu peristiwa yang disebut case hardering, yaitu suatu keadaan dimana
bagian luar bahan sudah kering sedangkan bagian dalamnya masih basah
(Supriyono, 2003).

c. Kelembaban Udara (RH)


Semakin lembab udara di ruang pengering maka akan semakin lama proses
pengeringan berlangsung, begitupun sebaliknya. Karena udara kering dapat
mengabsorpsi dan menahan uap air.

13
Setiap bahan khususnya bahan pangan mempunyai keseimbangan RH
masing-masing, yaitu kelembaban di suhu tertentu dimana air pada bahan tidak
mengalami penguapan dan bahan tidak menyerap uap air dari udara. Dengan
syarat, Jika RH Udara < RH Keseimbanagan maka bahan masih dapat
dikeringkan.Jika RH Udara > RH Keseimbangan maka bahan akan menyerap air
dari udara.(Rohanah, 2006)
d. Kecepatan Aliran Udara
Udara yang bergerak dan mempunyai gerakan yang tinggi selain dapat
mengambil uap air juga akan membawa uap air tersebut dari permukaan bahan ke
lingkungan. Apabila aliran udara disekitar tempat pengeringan berjalan dengan
baik, proses pengeringan akan semakin cepat, yaitu semakin mudah dan semakin
cepat uap air terbawa dan teruapkan (Supriyono, 2003).

e. Tekanan Udara
Semakin kecil tekanan udara akan semakin besar kemampuan udara untuk
mengangkut air selama pengeringan, karena dengan semakin kecilnya tekanan
berarti kerapatan udara makin berkurang sehingga uap air dapat lebih banyak
tertampung dan disingkirkan dari bahan pangan. Sebaliknya jika tekanan udara
semakin besar maka udara di sekitar pengeringan akan lembab, sehingga
kemampuan menampung uap air terbatas dan menghambat proses atau laju
pengeringan (Supriyono, 2003).

2.5 MEDIUM PENGERING


1. Udara Panas
Pengeringan dengan udara panas memiliki laju pengeringan yang cepat,
akan tetapi suhu pengeringan yang tinggi akan menurunkan kualitas produk.
Timbulnya rasa yang tidak diinginkan, perubahan warna, degradasi vitamin dan
hilangnya asam amino adalah masalah yang sering sekali ditemukan dalam
produk hasil pengeringan. Dalam pengeringan dengan udara, panas laten dalam
aliran gas luaran biasanya sukar dan mahal untuk digunakan kembali (Napitupulu
dan Yuda, 2011).
2. Superheated Steam
Penggunaan superheated steam lebih baik daripada penggunaan udara

14
panas atau gas panas hasil pembakaran. Rendahnya konsumsi energi dan kualitas
produk yang dihasilkan lebih baik. Jika tekanan steam dijaga konstan dan lebih
banyak energi yang diambil, suhu akan meningkat dan saturated steam akan
menjadi superheated steam. Beberapa alat pengering konveksi dapat dibuat
menjadi superheated steam seperti fluidised bed, flash, rotary, conveyor type dan
spray. Penambahan sumber panas misalnya radiasi dan konduksi dapat juga
ditambahkan kedalam alatnya.
Dimana memiliki beberapa kelebihan yaitu sisa pengeringan yaitu steam
memungkinkan untuk merecover semua panas laten lalu di supply kembali ke alat
pengering, reaksi tidak mengalami oksidasi, laju pengeringan yang lebih tinggi.
(Mujumdar dan Sakamon, 2008).

2.6 SUMBER ENERGI PENGERINGAN


1. Energi Listrik
Pengeringan buatan merupakan alternatif pengeringan yang dapat
dilakukan tanpa bergantung pada cuaca yaitu dengan menggunakan alat mekanis
atau pengering buatan. Pengeringan buatan menggunakan tambahan panas untuk
mengatasi kekurangan-kekurangan pengeringan dengan penjemuran.
Pengeringan mekanis ini memerlukan energi untuk memanaskan bahan,
menguapkan air bahan serta menggerakan udara. Salah satu kendala yang
dihadapi oleh masyarakat dalam menerapkan pengeringan buatan yaitu
memerlukan investasi awal yang cukup besar, keterbatasan kemampuan pasokan
listrik dan mahalnya harga listrik (Syahrul, dkk. 2016).
1. Energi Matahari
Energi matahari merupakan salah satu energi alternatif dengan
pemanfaatan yang tinggi disebabkan ketersedianya di daerah tropis tak terbatas
(Susilo dan Rahartina, 2012). Proses pengeringan produk pertanian yang banyak
dilakukan oleh petani Indonesia adalah dengan cara penjemuran. Cara ini
memiliki banyak kelemahan, selain dibutuhkan lahan yang luas, juga terjadi
kontaminasi produk oleh debu, kotoran dan polusi, dan ketergantungan terhadap
kondisi iklim (Thant, dkk. 2018).

15
2.7 PENGERINGAN BUATAN
Pada pengering buatan terdapat berbagai macam alat pengering sesuai
dengan bahan yang akan dikeringkan seperti tray dryer untuk bahan berupa slice,
spray dryer untuk bahan berupa cairan ataupun flat bed dryer untuk bahan berupa
butiran, dll :
1). Tray Dryer

Tray dryer digunakan secara luas dalam berbagai aplikasi dikarenakan


desain nya yang sederhana dan kemampuannya mengeringkan produk dalam
jumlah banyak (Misha, dkk. 2013). Bahan diletakkan diatas baki dengan
ketebalan dan ukuran yang sama agar produk yang dikeringkan seragam. Panas
dihasilkan dari udara panas yang mengalir melewati baki, konduksi dari baki
yang memanas atau radiasi dari permukaan panas. Dalam sebuah tray dryer,
banyak produk yang bisa dimasukkan karena baki dibuat bertingkat. Kunci sukses
agar pengeringan sempurna adalah distribusi udara yang seragam pada setiap
baki. Tray dryer dapat ditambahkan dengan pengering matahari atau pengering
konvensional lainnya yang menggunakan bahan bakar fosil dan energi listrik.
Secara umum, tray dryer terdiri dari beberapa baki yang diletak didalam ruang
terisolasi dimana udara panas akan didistribusikan oleh sebuah kipas (Misha,
dkk. 2013).

Gambar 2.3 Tray Dryer

16
2). Spray Dryer

Pemilihan dari metode ini karena kondisi yang higienis selama


pemrosesan, biaya operasional relatif sedikit, dan waktu kontak yang singkat.
Spray dryer adalah salah satu metode pengeringan terbaik untuk mengubah
langsung bahan fluida menjadi partikel padat atau semi-padat. Spray dryer adalah
operasi unit dimana produk cair diatomisasi dalam aliran gas panas secara instan
agar menjadi bubuk. Gas yang umumnya digunakan adalah udara atau gas yang
berupa gas inert, terutama gas nitrogen. Pengumpanan cairan awal dapat menjadi
emulsi atau suspensi.

Spray dryer melibatkan interaksi yang kompleks antara parameter proses,


peralatan, dan umpan yang semuanya memiliki pengaruh pada kualitas produk
akhir. Proses Spray dryer dapat menghasilkan produk akhir berkualitas baik
dengan aktivitas air rendah dan mengurangi berat, sehingga penyimpanan dan
transportasi menjadi mudah. Sifat fisikokimia dari produk akhir terutama
tergantung pada suhu saluran masuk, laju aliran udara, laju aliran umpan,
kecepatan alat penyemprot, jenis agen pembawa dan konsentrasinya. Spray dryer
sering dipilih karena dapat memproses bahan dengan sangat cepat sambil
memberikan kontrol relatif dari distribusi ukuran partikel (Phisut, 2012).

Gambar 2.4 Spray Dryer

3. Flat bed dryer


Proses pengeringan yang selama ini digunakan adalah dengan
mengeringkan dibawah sinar matahari. Cara ini terkendala disaat musim hujan,
sehingga tidak bisa melakukan pengeringan. Dengan perkembangan IPTEK,

17
dilakukanlah suatu inovasi yaitu mesin flat bed dryer untuk mengeringkan hasil
pertanian. Di sisi lain, mesin tersebut didesain sangat kompleks, dengan prinsip
kerja yang mengacu pada forced convection, sehingga cara pembuatan, dan
pengoperasianya tidak mudah, serta perlu mengatur ketebalan gabah dalam ruang
pengering karena bed pengeringnya tidak bergerak (fixed bed)
(Catrawedarma,2018). Flat-bed dryer (FBD) adalah pengering mekanis dengan
sederhana fitur desain dan operasi. Sangat mudah untuk membangun
menggunakan bahan yang tersedia dan murah dengan pengoperasian yang mudah
tanpa tenaga terampil. operasi dari Flat bed dryer selalu menghasilkan gradien
kelembaban antara lapisan bawah dan lapisan atas bed dryer. Untuk mengatasi
masalah ini, pemilihan pengeringan yang cermat parameter untuk mencapai
efektivitas dan keseragaman proses pengeringan harus dilakukan. Untuk itu,
penelitian ini adalah untuk melihat pengaruh suhu pada pengeringan kinerja,
kualitas dan karakteristik fisik dari bahan kering biji-bijian sepert padi
menggunakan flat bed dryer (Syariffuddeen,2020).

Gambar 2.5 Flat Bed Dryer


Pada penelitian ini peneliti melakukan proses pengujian kinerja pada alat
flat bed dryer yang terdiri dari beberapa rumus yang digunakan yaitu :
1).Energi kalor masuk ( q ¿), dimana energi yang masuk kedalam ruang pengering,
dapat dihitung dengan persamaan:

q ¿=m¿ . C p . T ¿ ( 2.4 )
m¿ =ρ . A . V ( 2.5 )
Dimana :
q ¿=laju energi udara pengering(Watt )
m¿ =laju aliran massaudara pengering(kg/s )
c p=kalor spesifik udara pada tekanankonstan( J /kg . K )

18
T ¿=temperatur udara pengering(K)

ρ=massa jenis udara pengering


( kgm )
3

2
A=luasan permukaan aliranudara masuk ruang pengering(m )
V =kecepatan aliran masuk udara pengering(m/s) .dihitung dengan persamaan
2.5

2).Energi penguapan ( qp  ), yaitu jumlah energi kalor yang dipergunakan untuk


menguapkan massa air pada material per satuan waktu dengan persamaan:
q p=mw . Lh (2.6)
ma−mi
mw = (2.7)
t
Dimana :
q p=¿ laju energi panas penguapan (Watt)
mw =¿ massa air dalam material yang pindah ke udara pengering (kg)
Lh=¿ panas laten penguapan air diambil dari tabel uap jenuh air sesuai dengan
temperaturnya (J/kg)
ma=¿ massa awal material (kg)
mi=¿ massa akhir material (kg)
t=¿ waktu pengeringan (s).

3).Efisiensi termal, yaitu perbandingan antara energi panas yang berguna pada
proses pengeringan dengan energi panas yang memasuki rak pengering, dapat
dirumuskan sebagai berikut:
q˙ p
n ρ= ×100 % (2.8)
q̇¿
Dimana :
n ρ=¿ Efisiensi termal alat pengering
q̇ p=¿ laju energi panas penguapan (Watt)
q̇ ¿=laju energi udara pengering(Watt )
(Catrawedarma,dkk.2018)

19
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Lokasi Penelitian


Penelitian ini akan dilakukan di Laboratorium Proses Indutri Kimia,
Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara.

3.2 Bahan dan Peralatan


3.2.1 Bahan
Bahan yang digunakan dalam proses penelitian ini adalah padi
3.2.2 Alat Pengering
Pengering tipe flat bed merupakan pengeringan yang telah dimodifikasi
sedemikian rupa yang terdiri atas dua komponen utama yaitu ruang pengeringnya
dan sumber panas dari reactor pirolisis. Ruang pengering dilengkapi dengan baki
yang berfungsi sebagai tempat meletakkan sampeli. Dan udara panas dialirkan dari
bawah alat flat bed dryer yang dilengkapi rak serta memiliki ventilasi sebagai
jalur keluarnya udara dan uap air hasil dari proses pengeringan.
Alat pirolisisnya merupakan tangki yang terbuat dari material stainless steel
dan berdiameter 80 cm serta tinggi 120 cm yang digunakan untuk proses produksi
arang dan asap cair. Panas yang timbul dari proses pembakaran tempurung kelapa
akan memanaskan udara sekitar tangki yang selanjutnya digunakan sebagai
sumber udara panas pada pengeringan padi menggunakan alat flat bed.
Udara panas keluaran dari alat pirolisis dialirkan ke flat bed dryer
dengan suhu sebesar ± 50, 60 dan 70 ℃ . Untuk mencapai suhu tersebut,
dilakukan
percobaan dengan mengatur regulator kompor gas untuk setiap kevepatan udara
agar didapat suhu udara mencapai 50, 60 dan 70 ℃ ., kemudian dialirkan ke Flat
bed dryer. Blower dengan spesifikasi 220 V, 650 watt, dan putaran 0-15000 Rpm
dilengkapi dengan pengontrol kecepatan udara digunakan untuk mengalirkan dan
memvariasikan kecepatan masuk ke ruang pengering skema alat pengering dapat

20
dilihat pada gambar 3.1.

Gambar 3.1 Skema Alat Pengering Tipe Flat Bed Menggunakan Panas dari Alat
Pirolisis Untuk Pengeringan Padi

Keterangan gambar:
1. Tungku Pemanas Gas
2. Blower
3. Alat Pirolisis
4. Tempat Udara Panas
5. Flat Bed Dryer
6. Trap
7. Tangki Penampung Tar
8. Tangki Pendingin
9. Tangki Penampung Asap Cair

3.2.2 Pengumpulan Data


Alat-alat ukur yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Anemometer
Alat yang digunakan untuk mengukur/merekam kecepatan udara.

21
Gambar 3.2 Anemometer
2. Hygrometer
Alat yang digunakan untuk merekam temperatur dan RH dalam ruang
pengering.

Gambar 3.3 Hygrometer

3. Neraca Elektrik
Alat yang digunakan untuk mengukur/menimbang berat dari sampel yang
dikeringkan.

Gambar 3.4 Neraca Elektrik

4. Oven
Alat yang digunakan untuk dapat menentukan kadar air sampel sebelum dan
sesudah pengeringan

22
Gambar 3.5 Oven

3.3 Tahap – Tahap Penelitian


Tahap - tahap yang akan dilakukan pada penelitian ini adalah sebagai
berikut:

1.Melakukan kalibrasi dengan cara mengatur regulator kompor gas pada


berbagai variasi kecepatan udara agar didapat suhu udara yang akan
dialirkan ke ruang pengering sebesar 50℃ , 60℃ dan 70℃ .
2. Mempersiapkan bahan yaitu padi yang dibeli dari petani di daerah
sunggal.
3. Mempersiapkan alat pengering flat bed yang terhubung dengan alat
pirolisis dan memastikan alat pirolisis beroperasi.
4. Melakukan proses pengeringan padi dengan alat flat bed dryer.
5. Melakukan pengolahan data.
6. Melakukan analisa kadar air pada bahan yaitu padi.
7. Mendapatkan informasi mengenai energi yang terpakai dari alat
pengering flat bed dan memberikan informasi mengenai analisis
ekonomi dari batok kelapa yang terpakai.
8. Melakukan analisa energi dan biaya,serta efisiensi termal dari alat
pengering flat bed.

23
3.4 Diagram Penelitian

Kalibrasi
Alat Pengolahan Analisa hasil
suhu,kecepatan
Pengering Data pengering
udara

Gambar 3.6 Diagram Kerja Pengering flat bed Menggunakan Udara Panas Dari
Alat Pirolisis Pada Pengeringan padi.

3.5 Prosedur Penelitian


3.5.1 Proses Pengeringan

1. Padi dengan kandungan air tertentu disiapkan dan kemudian ditimbang


sebanyak 150 gram dan diletakkan pada rak dan dimasukkan ke alat
flat bed.Dryer
2. Kompor gas dihidupkan untuk memanaskan tangki pirolisis.

3. Blower dihidupkan untuk mengalirkan udara panas dengan suhu yang


telah mencapai ± 50, 60 dan 70oC.
4. Kecepatan udara yang dialirkan ke alat pengering diatur sesuai dengan
m
variasi kecepatan udara yaitu 10 .
s
5. Rak yang berisi padi dimasukkan ke dalam ruang pengering.
6. Suhu udara panas masuk, suhu udara panas keluar, RH masuk dan RH
keluar dari penampang bed silinder diukur setiap 5 menit
7. Berat padi ditimbang setiap 5 menit untuk mendapatkan perubahan
berat padi.
8. Setiap data yang diperoleh diolah dengan menggunakan Microsoft
excel untuk memperoleh laju pengeringan.

24
3.5.2 Flowchart Penelitian
Prosedur penelitian dalam bentuk flowchart sebagai berikut :

Mulai

Padi ditimbang sesuai tinggi bed 20,40,dan 60 cm

Kompor gas dihidupkan

Blower dihidupkan untuk mengalirkan


udara panas dari alat pirolisis ke alat flat
bed dryer

Padi ditimbang dan dicatat setiap 10 menit

Suhu udara masuk dan keluar, RH masuk


dan keluar dicatat

Tidak
Apakah massa
sampel sudah
konstan?

Ya

Data diperoleh

Ya

Apakah masih
ada variasi suhu
dan kecepatan?

Tidak
Selesai

Gambar 3.7 Flowchart Penelitian

25
3.6 Prosedur Perhitungan
3.6.1 Perhitungan Laju Pengeringan
Untuk menghitung laju pengeringan, maka perlu diketahui perubahan massa
sampel pada waktu tertentu. Kemudian data diselesaikan dengan menggunakan 2
persamaan:

Berat awal−berat akhir


M c ( basis kering )= x 100 % (3.1)
berat akhir

dM c Mco−Mct
Laju Pengeringan= = (3.2)
dt t t −t 0

Keterangan:
Mc : Kadar air
Mco : Kadar air mula-mula
Mct : Kadar air pada waktu tertentu
t0 : Waktu mula-mula
tt : Waktu tertentu
dM c : Perubahan kadar air
dt : Perubahan waktu

3.7 Analisa
3.7.1 Analisa Kandungan Air
1. Aluminium foil ditimbang terlebih dahulu.
2. padi segar diletakkan diatas aluminium foil dan ditimbang sebanyak 5 gram
kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 1050C (±50C) selama 24 jam.
3. padi dikeluarkan dari oven dan dimasukkan ke dalam desikator lalu
ditimbang beratnya.
4. Perlakuan diulang dengan interval waktu 30 menit sampai berat sampel
konstan.
5. Kadar air dihitung dengan rumus:

Berat awal−berat akhir


Kadar air= ×100 %
Berat akhir
(3.3)

26
3.7.2 Analisa Kebutuhan Energi
1. Kompor gas dihidupkan untuk memanaskan tangki pirolisis dan di catat
waktu dan tempratur suhu yang digunakan untuk memanaskan tangki
pirolisis.

2. Blower dihidupkan dan dimasukkan termometer untuk mengukur udara


panas yang masuk ke dalam alat flat bed dan dicatat tempratur masuk.
3. Diatur kecepatan udara yang dialirkan ke alat pengering yang sesuai
m
dengan variasi kecepatan udara yaitu 10 .
s
4. Suhu udara panas masuk, suhu udara panas keluar, dari penampang bed
silinder diukur setiap 5 menit.
5. Setiap data yang diperoleh diolah dan dihitung laju energi (perpindahan
panas) dari udara pengering ke alat flat bed.
6. Laju perpindahan panas dapat dihitung dengan rumus :
q ub=h A(T u−T b ) (3.4)
Dimana :
q ub = Laju perpindahan panas dari udara ke bahan yang dikeringkan
(W).
W
h = Koefisien perpindahan panas konveksi rata-rata ( 2
K ).
m
A = Luas permukaan gabah (m2).
T u(T 2) = Suhu uadara pengering (℃ ).
Tb = Suhu bahan (℃ ).

3.7.3 Analisa Efisiensi Termal


1. Temperatur masuk , Relative Humidity (RH) masuk, Temperatur keluar dan
Relative Humidity (RH) keluar , dan berapa lama waktu untuk memanaskan
padi di catat.

2. Setelah itu dilakukan perbandingan antara energi panas berguna pada


proses pengeringan dengan energi panas yang memasuki rak pengering

27
yang sudah dicatat dan dihitung.

3. Efisiensi termal dapat dihitung dengan rumus :


q˙p
❑ p= ×100 % (3.5)
q̇¿

3.7.4 Analisa Biaya


1. Batok kelapa diletakkan di tungku pemanas gas
2. Kompor gas dihidupkan untuk memanaskan tangki pirolisis.
3. Tunggu hingga proses pengeringan berakhir, catat berapa massa batok
kelapa yang digunakan dalam pengeringan
4. Bandingkan penggunaan batok kelapa dengan bahan bakar bio massa
lainnya. Dalam segi ekonomisnya.

3.7.5 Flowchart Analisa Kadar Air Hasil Pengeringan Padi

Mulai

Aluminium foil ditimbang dan masukkan Padi sebanyak 20 gram

Padi dikeringkan dengan oven pada suhu 105℃ ± 5℃


selama 24 jam

Padi didinginkan dan dimasukkan ke dalam desikator

Massa Padi ditimbang dalam interval 30 menit hingga konstan

Kadar air Padi dihitung

Selesai

Gambar 3.8 Flowchart Prosedur Analisa Kadar Air

28
3.7.6 Flowchart Analisa Kebutuhan Energi Hasil Pengeringan Padi

Mulai

Kompor gas dihidupkan untuk memanaskan tangki pirolisis dan di


catat waktu dan tempratur suhu yang digunakan untuk memanaskan
tangki pirolisis.

Blower dihidupkan dan dimasukkan termometer untuk


mengukur udara panas yang masuk ke dalam alat flat bed
dan dicatat tempratur masuk.

Diatur kecepatan udara yang dialirkan ke alat


pengering yang sesuai dengan variasi kecepatan udara
yaitu 10 .

Suhu udara panas masuk, suhu udara panas keluar, dari


penampang bed silinder diukur setiap 5 menit.

Setiap data yang diperoleh diolah dan


dihitung laju energi (perpindahan panas) dari
udara pengering ke alat flat bed.

Selesai

Gambar 3.9 Flowchart Prosedur Analisa Kebutuhan Energi

29
3.7.7 Flowchart Analisa Efisiensi Termal Pengeringan Padi

Mulai

Temperatur masuk , Relative Humidity (RH) masuk, Temperatur


keluar dan Relative Humidity (RH) keluar , dan berapa lama waktu
untuk memanaskan padi di catat.

Setelah itu dilakukan perbandingan antara energi panas


berguna pada proses pengeringan dengan energi panas
yang memasuki rak pengering yang sudah dicatat dan
dihitung.

Selesai

Gambar 3.10 Flowchart Prosedur Analisa Efisiensi Termal

30
3.7.8 Flowchart Analisa Biaya Pengeringan Padi

Mulai

Batok kelapa diletakkan di tungku pemanas gas

Kompor gas dihidupkan untuk memanaskan tangki


pirolisis.

Tunggu hingga proses pengeringan berakhir, catat


berapa massa batok kelapa yang digunakan dalam
pengeringan

Selesai

Gambar 3.11 Flowchart Prosedur Analisa Biaya

31
DAFTAR PUSTAKA

Alkindi, H., Y. A. Purwanto, dan D. Wulandani. 2015. Analisis CFD Aliran


Udara Panas pada Pengering Tipe Rak dengan Sumber Energi Gas
Buang. Jurnal Keteknikan Pertanian, 3(1).
Badan Pusat Statistik. 2018. Data Produksi Tanaman Biofarmaka Kelompok
Rimpang Tahun 2017-2018. Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 2018. Data Produksi Tanaman Biofarmaka Kelompok
Rimpang Jahe Tahun 2014-2018 di Sumatera Utara dan Indonesia.
Jakarta.
Badan Standardisasi Nasional. 2005. Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-7084-
2005: Simplisia jahe. Jakarta.
Balbine, M., E. Marcel, K. Alexis, dan Z. Belkacem. 2015. Experimental
evaluation of the thermal performance of dryer
airflowconfiguration. International Journal of Energy Engineering, 5(4):
80-86.
Bangun, Rita H. 2019. Identifikasi Komoditas Unggulan Untuk Peningkatan Daya
Saing Biofarmaka di Sumatera Utara. Jurnal Agrica, 12(1):25-40.
Desrosier, N.W. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. Terjemahan M.
Muljoharjo. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.
Devahastin, S. 2001. Panduan Praktis Mujumdar untuk Pengeringan Industrial.
IPB Press.
Febriani, Y., H. Riasari, W. Winingsih, D.L. Aulifa, dan A. Permatasari. 2018.
The Potential Use of Red Ginger (Zingiber officinale Roscoe) Dregs as
Analgesic. Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and
Technology, 1(1): 57-64.
Fitriani, S., Akhyar Ali, dan Widiastuti. 2013. Pengaruh suhu dan Lama
Pengeringan Terhadap Mutu Manisan Kering Jahe (Zingiber officinale
rocs.) dan Kandungan Antioksidannya. Sagu, 12(2): 1-8.
Geankoplis, C., 1993. Transport Processes and Unit Operations: PTR Prentice
Hall. City, State, Country.
Gelgel, K.D., N.M. Yusa, dan D.G.M. Permana. 2017. Kajian Pengaruh Jenis Jahe
(Zingiber Officinale Rosc.) Dan Waktu Pengeringan Daun Terhadap
Kapasitas Antioksidan Serta Sensoris Wedang Uwuh. Jurnal Ilmu dan
Teknologi Pangan (ITEPA), 5(2): 11-19.

32
Haryani, Kristinah, Suherman, dan Suryanto. 2015. Model Lapis Tipis
Pengeringan Menggunakan Metode Pengering Rak. Universitas
Diponogoro: Semarang.

Haryanto, Bode, R. Hasibuan, M. Ashari, dan M. Ridha. 2018. Herbal dryer:


drying of ginger (Zingiber Officinale) using tray dryer. IOP Conference
Series: Earth and Environmental Science, 122(1).
Hasibuan, Rosdanelli dan M.A. Zamzami. 2017. The Effect of Operating
Conditions on Drying Characteristics and Quality of Ginger (Zingiber
Officinale Roscoe) Using Combination of Solar Energy-Molecular Sieve
Drying System.IOP Conference Series: Materials Science and
Engineering, 180(1).
Hasibuan, Rosdanellidan M. Bairuni.2018. Mathematical modeling of drying
kinetics of ginger slices.AIP Conference Proceedings, 1977(1):020047.
AIPPublishing LLC.
Hasibuan, Rosdanellidan M.A. Ridhatullah.2019. Pengaruh Ketebalan Bahan Dan
Jumlah Desikan Terhadap Laju Pengeringan Jahe (Zingiber Officinale
Roscoe) Pada Pengering Kombinasi Surya dan Desikan. Jurnal Teknik
Kimia USU, 8(2): 61-66.
Mulyani, H., S.H. Widyastuti, dan V.I. Ekowati. 2016. Tumbuhan herbal sebagai
jamu pengobatan tradisional terhadap penyakit dalam serat Primbon Jampi
Jawi jilid I. Jurnal Penelitian Humaniora UNY, 21(2).
Panggabean, T., A.N. Triana, dan A. Hayati. 2017. Kinerja pengeringan gabah
menggunakan alat pengering tipe rak dengan energi surya, biomassa, dan
kombinasi. Agritech, 37(2): 229-235.
Perry, R.H, and Green, D.W. 1997. Perry's Chemical Engineers' Handbook. 7th
Edition.
Rachmawan, O. 2001.Pengeringan, Pendinginan dan Pengemasan Komoditas
Pertanian.Depdiknas. Jakarta.
Risdianti, D., M. Murad dan G.M.D. Putra. 2016. Kajian Pengeringan Jahe
(Zingiber Officinale Rosc) berdasarkan Perubahan Geometrik dan Warna
menggunakan Metode Image Analysis.Jurnal Ilmiah Rekayasa Pertanian
dan Biosistem, 4(2): 275-284.
Salim, Z. dan Ernawati M. 2017.Info Komoditi Tanaman Obat.Badan Pengkajian
dan Pengembangan Perdagangan Kementerian Perdagangan Republik
Indonesia.
Soysal, Y dan S. Oztekin. 2001. Technical and Economic Performance of a Tray
Dryer for Medicinal and Aromatic Plants. J. agric. 79 (1), 73-79.
Supriyono. 2003. Mengukur Faktor-Faktor dalam Proses Pengeringan.Penerbit
Departemen Pendidikan Nasional: Indonesia.

33
Supu, R.D., A. Diantini dan J. Levita. 2018. Red Ginger (Zingiber Officinale Var.
Rubrum): Its Chemical Constituents, Pharmacological Activities and
Safety. FITOFARMAKA: Jurnal Ilmiah Farmasi, 8(1): 25-31.
Vachlepi, Afrizaldan Didin Suwardin. 2014. Pengeringan karet remah berbasis
sumber energi biomassa. Warta Perkaretan, 33(2), 103-112.
Winata, A.M. dan R. Prasetiyo.2010. Karakteristik Pengeringan Gabah Pada Alat
Pengering Kabinet (Tray Dryer) Menggunakan Sekam Padi Sebagai
Bahan Bakar. Universitas Diponegoro: Semarang.
Zamharir, Sukmawaty, dan A. Priyati. 2016. Analisis Pemanfaatan Energi Panas
pada Pengeringan Bawang Merah (Allium ascalonicum L.) dengan
Menggunakan Alat Pengering Efek Rumah Kaca (ERK). Jurnal Ilmiah
Rekayasa Pertanian dan Biosistem, 4(2): 264-274.

34

Anda mungkin juga menyukai