Anda di halaman 1dari 520

PENATALAKSANAAN

KELAINAN DAN OKLUSI


TEMPOROMANDIBULAR

Edisi ke-6
Jeffery P. Okeson

Bagian I Anatomi Fungsional

Bab 1 Anatomi fungsional dan biomekanika sistem mastikasi


Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6

Bagian II Etiologi dan Identifikasi Gangguan Fungsional dalam Sistem


Mastikasi

Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10

Bagian III Perawatan Gangguan Fungsional Sistem Mastikasi

Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16

Bagian IV Terapi Oklusal

Bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 1 Anatomi Fungsional dan Biomekanika Sistem
1

Mastikasi

“Tidak ada pengetahuan yang paling penting dalam merawat pasien dibandingkan
pengetahuan anatomi”
--JPO

Sistem mastikasi adalah sebuah unit fungsional tubuh yang berfungsi utama untuk
mengunyah, berbicara, dan menelan. Beberapa bagian juga berperan pentig dalam
pengecapan dan pernafasan. Sistem ini terdiri dari tulang, sendi, ligament, gigi dan otot.
Kemudian, sebuah sistem kontrol neurologik mengatur dan mengkoordinasi semua
bagian structural yang disebut di atas.

Sistem mastikasi merupakan sebuah sistem unit yang sangat kompleks dan halus.
Pengertian mendalam terhadap anatomi dan biomekanika fungsionalnya sangat penting
dalam mempelajari oklusi. Bab ini akan membicarakan bagian-bagian anatomi dasar
yang perlu dalam mempelajari fungsi mastikasi. Penjelasan yang lebih rinci dapat
ditemukan dalam berbagai buku-buku teks yang memang khusus membahas anatomi
kepala dan leher.

1.1
ANATOMI FUNGSIONAL

Dalam bab ini, bagian-bagian anatomi yang akan dibiscarakan adalah sebagai berikut:
gigi geligi dan struktur pendukungnya, komponen skeletal, sendi temporomandibular/
temporomandibular joints (TMJs), ligament, dan otot. Setelah bagian-bagian anatomi ini
dijelaskan, dilanjutkan dengan biomekanik TMJ. Pada Bab 2, sistem pengendalian
neurologik kompleks akan dijelaskan dan dilanjutkan dengan fisiologi sistem mastikasi.

1.1.1.
GIGI GELIGI DAN JARINGAN PENDUKUNG

Gigi geligi manusia teridiri dari 32 gigi geligi permanent (Gbr.1-1). Setiap gigi dapat
dibagi menjadi dua bagian dasar: mahkota, bagian yang terlihat di atas jaringan gingival,
dan akar, yang terbenam di dalam dan dikelilingi oleh tulang alveolar. Bagian akar
melekat pada tulang alveolar melalui sejumlah serat dan jaringan ikat yang membentang
dari permukaan sementum akar ke tulang (Gbr 1-2). Serat-serat ini dikenal sebagai
ligamen periodontal. Ligamen periodontal tidak hanya melekatkan gigi dengan kuat ke
kantong tulang tetapi juga membantu menyebarkan gaya yang diberikan ke tulang selama
kontak fungsional gigi geligi. Sehingga, ligamen periodontal dapat disamakan seperti
peredam kejut.
Ke-32 gigi geligi permanent tersebar secara merata pada lengkung tulang alveolar
maksila dan mandibula: 16 gigi maksila tersusun pada prosesus alveolar maksila, yang
melekat pada bagian bawah anterior tengkorak; 16 gigi lainnya tersusun pada prosesus
alveolar mandibula, yang merupakan rahang yang dapat bergerak. Lengkung maksila
sedikit lebih besar daripada lengkung mandibula, yang menyebabkan gigi maksila
bertumpang tindih dengan gigi mandibular baik dalam arah vertikal maupun horisontal
pada saat oklusi (Gbr 1-3). Perbedaan ukuran ini tertutama disebabkan oleh kenyataan
bahwa (1) gigi geligi anterior maksila lebih lebar daripada gigi geligi mandibula, yang
menciptakan lebar lengkung yang lebih besar, dan (2) gigi geligi anterior maksila
mempunyal angulasi fasial yang lebih besar daripada gigi geligi anterior mandibula, yang
menyebabkan tumpang tindih horisontal dan vertikal

Gbr. 1-1

Pandangan Anterior (A) dan lateral (B) gigi geligi

Gigi geligi permanen dapat dikelompokkan menjadi empat klasifikasi sebagai beriku
tmenurut morfologi mahkotanya.

Gigi yang berlokasi pada bagian paling anterior lengkung disebut incisor. Karakteristik
gigi geligi ini adalah berbentuk sekop, dengan tepi insisal. Terdapat empat incisor
maksila dan empat incisor mandibula. Insisor maksila secara keseluruhan lebih besar
daripada incisor mandibula dan, seperti disebutkan sebelumnya, pada umumnya
menumpang tindih mandibula. Fungsi incisor adalah untuk mengiris atau memotong
makanan selama mastikasi.
Gbr. 1-2 GIGI DAN STRUKTUR PENDUKUNG PERIODONTAL

Lebar ligamen periodontal di sini jauh lebih besar untuk tujuan ilustratif

Di sebelah posterior (distal) insisor adalah kaninus. Kaninus terletak pada sudut
lengkung dan merupakan gigi permanen terpanjang, dengan cusp dan akar tunggal
(Gbr.1-4). Gigi geligi ini sangat menonjol pada hewan-hewan seperti anjing, sehingga
dinamakan “kaninus”. Terdapat dua kaninus pada maksila dan dua kaninus pada
mandibula. Pada hewan, fungsi utama kaninus adalah untuk mencabik dan merobek
makanan. Namun, pada gigi geligi manusia, kaninus umumnya berfungsi sama seperti
incisor dan hanya kadang-kadang digunakan untuk mencabik dan merobek.

Gbr. 1-3

Gigi maksila terletak sedikit lebih ke fasial dibandingkan mandibula sepanjang lengkung
Lebih ke bagian posterior lengkung adalah premolar (lihat Gbr. 1-4). Terdapat empat
pada maksila dan empat pada mandibula. Premolar juga desbut bicuspid karena mereka
umumnya mempunyai 2 cusp. Adanya 2 buah cusp sangat meningkatkan permukaan
gigit gigi ini. Premolar maksila dan mandibula beroklusi sedemikan rupa sehingga
makanan dapat ditangkap dan dihancurkan diantaranya. Fungsi utama premolar adalah
untuk memulai penguraian substansi makanan ke ukuran partikel yang lebih kecil secara
efektif.

Gbr. 1-4

Pandangan lateral

Gbr. 1-5
Komponen skeletal yang membentuk sistem mastikasi: maksila, mandibula, dan tulang
temporal.

Kelas terkahir dari gigi geligi, terdapat di bagian posterior premolar, adalah molar (Gbr.
1-4). Terdapat enam pada maksila dan enam pada mandibula. Mahkota dari tiap molar
mempunyai empat atau lima cusp. Adanya cusp ini memberikan permukaan yang besar
dan lebar dimana proses penggilingan makanan dapat terjadi. Fungsi molar terutama
pada tahap lanjut pengunyahan, ketika makanan telah dipecah ke partikel yang lebih kecil
dan cukup mudah untuk ditelan.

Seperti yang telah didiskusikan, setiap jenis gigi berbentuk sangat khusus sesuai dengan
fungsinya. Hubungan rahang yang tepat dan antara gigi geligi di dalam rahang sangat
penting dan mempengaruhi kesehatan dan fungsi sistem mastikasi. Diskusi lebih rinci
mengenai hubungan ini dijelaskan lebih lanjut pada Bab 3.

1.1.2.
KOMPONEN SKELETAL

Sistem mastikasi terdiri atas tiga komponen skeletal besar. Dua komponen mendukung
gigi geligi: yaitu maksila dan mandibula (Gbr. 1-5). Komponen ketiga, tulang temporal,
mendukung mandibula dan artikulasinya dengan kranium.

1.1.2.1
Maksila

Selama proses perkembangan, terdapat dua buah tulang maksila, yang menyatu di sutura
midpalatal (Gbr. 1-6). Tulang-tulang ini membentuk sebagian besar tulang fasial atas.
Batas maksila meluas ke arah superior dan membentuk lantai kavitas nasal, dan juga
lantai untuk tiap orbit. Ke arah inferior, tulang maksila membentuk langit-langit mulut
(palate) dan ridge alveolar, yang mendukung gigi. Karena tulang maksila menyatu
bertautan mengelilingi komponen tulang tengkorak, gigi geligi maksila disebut sebagai
suatu bagian tetap dari tengkorak yang merupakan komponen tambahan sistem mastikasi.

Gbr. 1-6
Sutura midpalatal (A) merupakan hasil bergabungnya dua tulang maksila selama proses
perkembangan

Gbr. 1-7

A. Ramus asendens memanjang ke arah atas membentuk prosesus koronoid (A) dan
kondil (B) B. Pandangan oklusal

1.1.2.2
Mandibula

Mandibula merupakan tulang yang berbentuk U yang mendukung gigi geligi bawah dan
merupakan tulang pembentuk fasial bagian bawah. Tulang ini tidak mempunyai
perlekatan tulang terhadap tengkorak. Tulang ini terpasag di bawah maksila oleh otot,
ligamen, dan jaringan lunak lainnya, sehingga mempunyai mobilitas yang diperlukan
untuk dapat berfungsi bersama-sama dengan maksila.

Aspek superior mandibula yang berbentuk busur terdiri atas prosesus alveolar dan gigi
geligi (Gbr. 1-7). Badan mandibula membentang ke arah posteroinferior membentuk
sudut mandibula dan ke arah posterosuperior membentuk ramus asendens. Ramus
asendens mandibula dibentuk oleh lembaran vertikal tulang yang memanjang ke arah atas
menjadi dua buah prosesus. Bagian anterior tulang ini disebut prosesus koronoid. Untuk
bagian posterior, disebut kondilus.

Gbr. 1-9 KONDIL (PANDANGAN ANTERIOR)

Kutub medial/medial pole (MP) lebih jelas daripada kutub lateral/lateral pole (LP)

Gbr. 1-9 PANDANGAN INFERIOR PERMUKAAN KRANIUM DAN


MANDIBULA

Kondilus tampak sedikit terotasi sedemikan rupa sehingga garis imajinari yang
ditarik melalui kutub lateuiral dan medial akan memanjang kearah medial dan
posterior sampai ke batas anterior foramen magnum

Kondilus ada bagian mandibula yang berartikulasi dengan kranium, dimana gerakan-
gerakan terjadi. Dari pandangan anterior, kondilus mempunyai proyeksi medial dan
lateral, yang disebut kutub (Gbr. 1-8). Kutub medial secara keseluruhan tampak lebih
jelas daripada lateral. Dari atas, sebuah garis yang ditarik melalui tengah kutub kondil
akan memanjang kearah medial dan posterior sampai ke batas anterior foramen magnum
(Gbr. 1-9). Total panjang mediolateral kondil berkisar antara 18 dan 23 mm, dan lebar
anteroposteriornya antara 8 dan 10 mm. Permukaan artikulasi actual kondil melebar kea
rah anterior dan posterior sampai ke bagian paling superior kondil (Gbr. 1-10).
Permukaan artikulasi posterior lebih besar daripada anterior. Permkaan artikulasi kondil
lebih konveks ke arah anteroposterior dan hanya sedikit konveks ke arah mediolateral.

Gbr. 1-10 KONDIL

A, Pandangan Anterior. B, Pandangan Posterior. Garis putus-putus adalah tanda batas


permukaan artikular. Permukaan artikular pada aspek posterior kondil lebih besar
daripada aspek anterior.

1.1.2.3
Tulang Temporal

Gbr. 1-11
A, Struktur tulang sendi temporomandibular (pandangan lateral). B, Fossa Artikular
(pandangan inferior). AE, Articular eminence; MF Mandibular Fossa; STF,
squamotympanic fissure

Pada dasar kranium kondil mandibular berartikulasi dengan bagian skuamosa tulang
temporal. Bagian dari tulang temporal ini terdiri dari fossa mandibula yang berbentuk
konkaf, dimana kondil berada (Gbr. 1-11) dan disebut juga sebagai articular atau fossa
glenoid. Pada arah posterior fossa mandibula terdapat fisur skuamotimpanik, yang
berlanjut ke arah medio lateral. Fisur ini memanjang ke arah medial, dan kemudian
terbagi menjadi fisur petroskuamos anterior dan fisur petrotimpanik posterior. Tidak jauh
dari bagian anterior fossa terdapat sebuah penonjolan konveks tulang yang disebut
articular eminence (penonjolan artikular). Derajat konveksitas penonjolan ini sangat
bervariasi tetapi penting, karena kesuraman permukaan ini akan menentukan jalan kondil
ketika mandibula pada posisi anterior. Posisi atap fossa mandibula juga agak tipis,
mengindikasikan bahwa daerah tulang temporal ini tidak didisain untuk menahan beban
berat. Penonjolan artikular, ternyata, terdiri dari tulang yang tebal dan padat dan lebih
mungkin dapat mentoleransi gaya yang besar.

1.1.3
SENDI TEMPOROMANDIBULAR
Daerah dimana mandibula berartikulasi dengan kranium, TMJ, adalah salah satu sendi
paling kompleks dalam tubuh. Sendi ini dapat melakukan gerakan menggantung dalam
satu bidang sehingga dapat digolongkan sebagai sendi ginglymoid. Tetapi, sendi ini
dapat pula melakukan gerakan meluncur, yang mengklasifikasikan sendi ini sebagai sendi
arthrodial. Oleh karena itu, secara teknis, sendi ini dapat disebut sebagai sendi
ginglymoarthrodial.

TMJ dibentuk oleh masuknya kondil mandibula ke dalam fossa mandibula pada tulang
temporal. Memisahkan kedua tulang ini dari artikulasi langsung adalah disk artikular.
TMJ diklasifikasikan sebagai sendi campuran. Menurut definisinya, sebuah sendi
campuran memerlukan adanya paling tidak tiga tulang, tetapi TMJ hanya terdiri dari dua
tulang. Menurut fungsi, disk artikular berperan sebagai tulang nonosifikasi yang
memungkinkan terjadinya pergerakan sendi yang kompleks ini. Karena disk artikulasi
berfungsi sebagai tulang ketigalah, maka artikulasi kraniomandibular disebut sebagai
sendi campuran. Fungsi dari disk artikular sebagai tulang nonosifikasi akan dijelaskan
lebih rinci pada bagian biomekanik TMJ nanti dalam bab ini.

Disk artikulasi terbentuk oleh jaringan ikat fibrous yang padat, untuk hampir seluruh
bagiannya tanpa adanya pembuluh darah dan serabut saraf. Namun demikian, tepi disk
yang ekstrim, terinnervasi sedikit. Dalam bidang sagital disk ini dapat dibagi menjadi
tiga regio menurut ketebalannya (Gbr. 1-12). Bagian tengah merupakan bagian yang
paling tipis dan disebut zona intermediat. Disk kemudian menjadi sedikit lebih tebal baik
pada bagian anterior maupun posterior ke arah zona intermediat. Batas posterior
biasanya sedikit lebih tebal dibandingkan anterior. Pada sendi normal permukaan
artikular kondil bertempat pada zona intermediat disk, dibatasi oleh regio anterior dan
posterior yang tebal.

Gbr. 1-12 DISK ARTIKULAR, FOSSA, DAN KONDIL (PANDANGAN


LATERAL)
Kondil normalnya terletak pada bagian zona intermediat (IZ) disk yang lebih tipis. Batas
anterior disk (AB) biasanya lebih tebal daripada bagian zona intermediat, dan tepi
posterior (PB) lebih tebal lagi.

Gbr. 1-13 DISK ARTIKULAR, FOSSA DAN KONDIL


(PANDANGAN ANTERIOR)
Disk tampak sedikit lebih tebal dari arah medial daripada lateral. LP, lateral pole (kutub
lateral); MP, medial pole (kutub medial).

Dari pandangan anterior, disk tampak lebih tebal di mesial daripada lateral, yang
merupakan korespondensi terhadap meningkatnya jarak antara kondil dan fossa artikular
ke arah medial sendi (Gbr. 1-13). Bentuk disk yang tepat ditentukan oleh morfolofi
kondil dan fossa madibular. Selama bergerak disk menjadi agak fleksibel dan
beradaptasi terhadap tuntutan fungsi permukaan artikular. Walaupun demikian,
fleksibilitas dan kemampuan adaptasi ini tidak berarti morfologi disk dapat berubah
selama berfungsi. Disk mempertahankan morfologi yang sama kecuali jika terdapat gaya
destruktif atau terjadi perubahan struktural pada sendi. Jika perubahan-perubahan ini
terjadi, maka morfologi disk akan mengalam perubahan tetap, menghasilkan perubahan
biomekanika selama berfungsi. Hal-hal ini akan didiskusikan di bab yang akan datang.

Gbr. 1-14 SENDI TEMPOROMANDIBULAR


A, Pandangan lateral. B, Diagram yang menunjukkan komponen-komponen anatomis.
ACL, Anterior Capsular Ligament/Ligamen kapsular anterior (bersifat kolagen); AS,
articular surface/permukaan artikular; IC, inferior joint cavity/ kavitas sendi inferior; IRL,
inferior retrodiscal lamina/Lamina retrodiscal inferior (bersifat kolagen); RT, retrodiscal
tissue (jaringan retrodiskal); SC, superior joint cavity/kavitas sendi superior; SLP,
superior lateral pterygoid muscles/otot pterygoid lateral superior; SRL, superior
retrodiscal lamina/lamina retrodiskal superior (elastik). Ligamen disk (kolateral) belum
tergambar (A, Sumbangan Dr. Julio Turell, Universitas Montevideo, Uruguay).

Bagian posterior disk artikular melekat pada suatu regio jaringan ikat longgar yang
mempunyai pembuluh darah dan serabut saraf (Gbr. 1-14). Jaringan in idikenal sebagai
jaringan retrodiskal atau perlekatan posterior. Pada bagian superior, jaringan ini dibatasi
oleh jaringan ikat yang terdiri atas banyak serat elastik, yaitu lamina retrodiskal superior.
Lamina retrodiskal superior melekatkan disk artikular ke daerah posterior plate timpani.
Pada batas bawah jaringan retrodiskal adalah lamina retrodiskal inferior, yang
melekatkan batas inferior tepi posterior disk ke marjin posterior permukaan artikular
kondil. Lamina retrodiskal inferior sebagian besar terbentuk dari serat kolagen, bukan
serat elastik seperti lamina retrodiskal superior. Bagian lain dari jaringan retrodiskal
melekat ke arah posterior ke sebuah pleksus venus yang besar, yang dipenuhi oleh darah
pada saat kondil bergerak ke depan. Perlekatan superior dan inferior pada daerah anterior
adalah ligamen kapsular, yang sebagaian besar dikelilingi oleh sendi. Perlekatan superior
ke tepi anterior permukaan artikular tulang temporal. Perlekatan inferior ke tepi anterior
permukaan artikular kondil. Kedua perelekatan anterior ini terdiri dari serat-serat
kolagen. Ke arah anterior, dianatara perlekatan oleh ligamen kapsular, disk juga terlekat
oleh serat-serat tendon ke otot pterygoid superior lateral.

Disk artikular melekat pada ligamen kapsular tidak hanya ke arah anterior dan posterior
tetapi juga ke arah medial dan lateral. Hal ini menyebabkan terpisahnyanya sendi ke dua
kavitas yang berbeda. Kavitas bagain atas atau superior dibatasi oleh fossa mandibular
dan permukaan superior disk. Kavitas bagian bawah atau inferior dibatasi oleh kondil
mandibular dan permukaan inferior disk. Permukaan internal kavitas dikekelingi oleh
sel-sel endothelial khusus yang membentuk lapisan sinovial. Lapisan ini, bersama
dengan lapisan luar khusus yang berlokasi pada tepi anterior jaringan retrodiskal,
mengahasilkan carian synovial yang kemudian mengisi kedua kavitas sendi. Sehingga
TMJ merupakan sebuah sendi synovial. Caritan synovial mempunyai dua fungsi. Karena
permukaan artikular sendi bersifat nonvaskular, carirtan sinovial beraksi sebagai medium
untuk menyediakan kebutuhan metabolik jaringan-jaringan ini. Caritan cynovial juga
bekerja sebagai pelumas antara permukaan artikular sealam berfungsi. Permukaan
artikular disk, kondil dan fossa sangat halus, sehingga pergesekan selama gereakan
berlangsungan dapat diminimalkan. Cairan synovial membantuk meminimalkan
pergesakan ini lebih lanjut.

Cairan synovial melumasi permukaan artikular dengan dua jenis mekanisme. Yang
pertama bernama pelumasan tepi, yang terjadi ketika sendi digerakkan dan cairan
synovial didesak keluar dari satu area kavitas ke area yang lain. Caritan synovial
berlokasi dalam area tepi atau perbatasan didesak pada permukaal artikular, sehingga
menyediakan pelumasan. Pelumasan tepi mencegah pergesakan pada sendi yang
bergerak dan merupakan mekanisme primer pelumasan sendi.

Mekanisme pelumasan kedua dinamakan pelumasan weeping. Dinamakan demikian


karena kemampuan permukaan arikular untuk menyerap sejumlah kecil cairan synovial.
Pada saat sendinya berfungsi tercipta gaya-gaya di antara permukaan arikular. Gaya-
gaya ini yang menggerakkan sejumlah kecil caritan synovial keluar dan masuk jaringan
artikular. Ini merupakan mekanisme dimana terjadi pertukaran metabolik. Sehingga,
dengan adanya gaya kompresif, terjadi pelepasan sejumlah kecil cairan synovial. Cairan
synovial ini berfungsi sebagai pelumas antara jaringan-jaringan artikular untuk mencegah
perlekata. Pelumasan weeping membantu menghilangkan gesekan pada saat adanya gaya
kompresi tanpa menggerakkan sendi. Hanya sejumlah kecil gesekan yang dapat
dihilangkan oleh pelumasan weeping, maka dari itu gaya-gaya kompresif dalam jangka
waktu yang lama ke permukaan arikular dapat menghabiskan suplainya. Akibat dari
pembebanan statis yang lama pada struktur sendi akan dibicarakan pada bab yang lain.

1.13.1. Histologi permukaan artikular

Permukaan artikular kondil dan fossa mandibula terdiri atas empat lapis atau zona yang
khas (Gbr. 1-15). Lapisan yang paling superfisial disebut zona artikular. Zona ini
terdapat pada perbatasan kavitas sendi dan membentuk permukaan fungsional paling luar.
Tidak seperti sendi synovial lainnya, lapisan artikular ini terbuat dari jaringan ikat fibrous
padat dan bukan tulang rawan hyalin. Kebanyakan serat kolagen teratur dalam bundelan
dan mengarah hampir pararel dengan permukaan artikular. Serat-serat ini terikat erat dan
dapat menahan gaya pergerakan. Diperkirakan bahwa jaringan ikat fibrous ini
memberikan beberapa keuntungan lebih dibanding tulang rawan hyaline.
BAB 3 Kesejajaran dan Oklusi Gigi Geligi

“ Oklusi merupakan hubungan statis gigi dan dasar seluruh aspek kedokteran gigi”

Kesejajaran dan oklusi dari gigi geligi sangat penting dalam fungsi pengunyahan.
Aktivitas dasar mengunyah, menelan dan berbicara tidak hanya tergantung pada posisi
gigi dalam lengkung gigi tetapi juga hubungan gigi yang berlawanan saat oklusi. Posisi
gigi tidak di tentukan secara kebetulan tetapi oleh banyak faktor kontrol seperti lebar
lengkung dan ukuran gigi. Posisi gigi juga ditentukan oleh jaringan lunak sekitarnya. Bab
ini dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama membahas faktor dan kekuatan yang
menentukan posisi gigi dalam lengkung gigi. Bagian kedua membahas hubungan normal
gigi dalam kesejajaran dengan lengkung (kesejajaran lengkung gigi). Bagian ketiga
membahas hubungan normal antar lengkung rahang dalam oklusi (kesejajaran lengkung
rahang).

3.1 FAKTOR-FAKTOR DAN KEKUATAN YANG MENENTUKAN POSISI GIGI

Kesejajaran gigi geligi dalam lengkung rahang terjadi akibat kekuatan kompleks
selama dan setelah gigi erupsi. Gigi-gigi yang erupsi diarahkan ke posisinya ketika
kekuatan berlawanan berada dalam keseimbangan. Kekuatan utama yang mempengaruhi
posisi gigi berasal dari otot-otot sekitar. Labial dari gigi adalah bibir dan pipi, yang
memberikan kekuatan lingual relatif ringan dan konstan. Sisi yang berlawanan dari
lengkung gigi adalah lidah yang memberikan kekuatan labial dan bukal ke permukaan
lingual gigi. Kedua kekuatan labial oleh bibir dan pipi, lingual oleh lidah yakni ringan
tetapi konstan, merupakan kekuatan yang dari waktu ke waktu dapat menggerakkan gigi
dalam lengkung gigi.
Kekuatan labiolingual dan bukolingual sama pada posisi gigi dalam rongga mulut.
Hal ini disebut posisi atau ruang netral, tercapainya stabilitas gigi (gambar 3-1). Jika
selama erupsi gigi terlalu jauh ke lingual atau fasial, kekuatan tersebut (lidah jika
linguoversi, pipi dan bibir jika fasiaversi) akan memaksa gigi ke posisi netral. Hal ini
biasanya terjadi ketika ada ruang yang cukup untuk gigi dalam lengkung gigi. Jika ruang
tidak cukup, kekuatan otot sekitarnya biasanya tidak cukup untuk posisi gigi dalam
lengkung yang tepat. Gigi kemudian tetap berada diluar lengkung normal dan terjadi
crowding. Crowding ini tetap hingga kekuatan tambahan disediakan untuk memperbaiki
ukuran gigi dan diskrepansi lebar lengkung ( yaitu ortodonsi)

Bahkan setelah erupsi, setiap perubahan dalam arah atau frekuensi kekuatan otot
cenderung akan menggerakkan gigi ke posisi dimana kekuatan dalam keseimbangan lagi.
Tipe gangguan ini dapat terjadi jika lidah bergerak aktif dan besar. Hal ini dapat
mengakibatkan kekuatan lingual gigi melebihi labial dari bibir. Ruang yang netral tidak
hilang tetapi bergerak kelabial. Hal ini biasanya mengarah ke labial gigi anterior hingga
mencapai posisi labial dan lingual dalam keseimbangan. Secara klinis hal ini yakni
anterior open bite (gambar 3-2). Jika individu dengan kondisi ini diminta untuk menelan,
lidah akan mengisi ruang anterior (gambar 3-2, B dan gambar 3-2D). Awalnya
diasumsikan bahwa kekuatan lidah selama ini berperan dalam perpindahan gigi anterior.
Fakta terakhir tidak membuktikan konsep ini. Pada kenyataannya, semakin besar
kemungkinan bahwa gigi anterior berpindah secara labial karena posisi lidah dan
aktivitas menelan. 1 Lidah yang kedepan selama menelan lebih cenderung berhubungan
dengan upaya pasien menutup mulut untuk penelanan yang efisien.

Dokter seharusnya mengingat bahwa kekuatan otot terus menerus mengatur


fungsi gigi. Kekuatan tidak secara langsung berasal dari otot-otot mulut tetapi hubungan
dengan kebiasan mulut yang juga dapat mempengaruhi posisi gigi. Sebagai contoh secara
terus menerus menggigit pipa, dapat mempengaruhi posisi gigi. Alat-alat musik
ditempatkan antara gigi maksila dan mandibula (mis clarinet) dapat menyebabkan
kekuatan labial kepermukaan lingual gigi anterior maksila. Jika posisi abnormal gigi di
identifikasi, hal ini penting untuk mempertanyakan jenis kebiasaan. Jika etiologi posisi di
eliminasi, koreksi posisi gigi pasti akan gagal.

Permukaan proksimal gigi juga mengalami berbagai kekuatan. Kontak proksimal


antara gigi tetangga menjaga gigi dalam lengkung normal. Respon fungsional dari tulang
alveolar dan serat gingiva sekitar gigi tampaknya menghasilkan kemiringan mesial gigi
ke garis median. Selama pengunyahan gerakan bukolingual, maupun vertikal, gerakan
gigi tiap waktu juga menghasilkan ausnya daerah proksimal. Ketika daerah ini bekerja,
kemiringan mesial membantu menjaga kontak antara gigi tetangga dan dengan demikian
menstabilkan lengkung. Kemiringan mesial menjadi lebih jelas ketika permukaan
posterior gigi rusak karena karies atau pencabutan gigi. Dengan hilangnya kontak
proksimal, distal gigi pada bagian pencabutan akan miring ke mesial mengisi ruang,
(khususnya daerah molar) biasanya menyebabkan gigi ini mengisi ruang.
Gambar 3-1 Posisi Netral
Posisi gigi saat kekuatan lingual seimbang dengan kekuatan labial. Hal ini terjadi baik
pada gigi anterior maupun posterior.

Faktor penting lainnya dapat membantu menstabilkan kesejajaran gigi adalah


kontak oklusal, yang mencegah ekstrusi atau super erupsi gigi, sehingga menjaga
stabilitas lengkung. Setiap kali mandibula tertutup, bentuk kontak oklusal
mempertahankan posisi gigi. Jika sebagian permukaan oklusal gigi hilang atau berubah,
dinamika struktur pendukung periodontal akan memungkinkan pergeseran gigi. Gigi
yang tidak memiliki gigi lawannya cenderung ekstrusi hingga kontak oklusal terbentuk.
Oleh karena itu ketika gigi hilang bukan hanya distal gigi bergerak ke mesial tetapi gigi
yang tidak berlawanan juga akan erupsi, mencari kontak oklusal (gambar 3-3). Oleh
karena jelas bahwa kontak proksimal dan kontak oklusal penting untuk menjaga
kesejajaran gigi dan intergritas lengkung gigi. Efek hilangnya satu gigi dapat terlihat jelas
pada kehilangan stabilitas lengkung gigi.
Gambar 3-2

A, Anterior open bite pada dewasa berhubungan dengan lidah yang besar dan aktif. B,
selama menelan lidah terlihat mengisi bagian anterior sehingga mulut dapat menelan. C,
Seorang individu muda yang telah mengalami anterior open bite berlanjut dengan lidah
yang aktif. D, Selama menelan lidah terlihat mengisi ruang anterior, yang memungkinkan
individu menelan (Courtesy Dr. Preston E. Hicks, University of Kentucky College of
Dentistry, Lexington.)

3.2 Kesejajaran Lengkung Gigi


Kesejajaran lengkung gigi mengacu pada hubungan antar gigi yang satu dengan
yang lain dalam lengkung. Bagian ini menjelaskan karakteristik normal lengkung gigi
maksila dan mandibula.
Dataran oklusi adalah dataran yang terbentuk jika garis ditarik melalui seluruh
ujung cusp bukal dan tepi insisal gigi mandibula (Gbr 3-4), kemudian diperluas hingga
ujung cusp lingual dan dilanjutkan melewati lengkung ujung cusp bukal dan lingual yang
berlawanan. Ketika dataran oklusi diperiksa, ternyata tampak tidak datar Dua
temporomandibula joint, yang jarang berfungsi dengan gerakan simultan, banyak
memberikan gerakan terdeteksi. Karena kebanyakan gerakan rahang adalah kompleks
dengan pusat rotasi yang bergerak terus menerus. Dataran oklusal yang datar tidak
menyebabkan kontak fungsional lebih dari satu area lengkung gigi. Oleh karena dataran
oklusal lengkung gigi melengkung dengan memanfaatkan kontak gigi maksimum saat
berfungsi.

Ketika melihat lengkung dari anterior lateral, hubungan aksial mesiodistal terlihat.
Jika garis diperluas melalui sumbu panjang akar secara oklusal melewati mahkota (Gbr 3-
5), angulasi gigi dengan hubungan terhadap tulang alveolar dapat di amati. Pada kedua
lengkung mandibula gigi anterior dan posterior cenderung ke mesial, Molar kedua dan
ketiga lebih cenderung miring daripada premolar. Pada lengkung maksila terdapat pola
yang berbeda (Gbr 3-6). Gigi anterior lebih miring ke mesial, dan gigi molar posterior
cenderung ke distal. Jika dari tampakan lateral garis imajinasi di gambarkan melalui
ujung cusp bukal gigi posterior (molar dan premolar), garis lengkung mengikuti dataran
oklusi akan terbentuk (lihat Gbr 3-4, A) yang cembung untuk lengkung maksila dan
cekung untuk lengkung mandibula. Garis cembung dan cekung ini sempurna ketika
lengkung gigi beroklusi. Kurvatura lengkung rahang pertama kali di jelaskan oleh Von
Spee2 dan oleh karena itu disebut kurva Spee.

Gambat 3-3
\
Kehilangan satu gigi dapat memiliki efek yang signifikan terhadap stabilitas
kedua lengkung. Perhatikan bahwa dengan hilangnya gigi molar pertama, gigi molar
kedua dan ketiga mandibula cenderung ke mesial, gigi molar kedua mandibula cenderung
ke distal dan gigi molar maksila ekstrusi.

Gambar 3-4 Dataran Oklusi



Kurva spee, B Kurva Wilson

Ketika mengamati lengkung gigi dari tampakan depan, hubungan aksial


bukolingual dapat terlihat. Umumnya gigi posterior maksila cenderung lebih ke bukal
(Gbr 3-7). Gigi posterior mandibula cenderung lebih ke lingual (Gbr. 3-8). Jika garis
ditarik melewati ujung cusp bukal dan lingual kedua gigi posterior kiri dan kanan, dataran
oklusi akan terlihat (lihat gbr. 3-4B). Kurvatura berbentuk cembung pada lengkung
maksila dan cekung pada lengkung mandibula. Sekali lagi, jika lengkung beroklusi,
kurvatura akan cocok. Kurvatura dataran oklusal dilihat pada tampakan frontal disebut
kurva Wilson.

Awalnya dalam kedokteran gigi, pengamat berusaha untuk mengembangkan


beberapa rumus standar yang menjelaskan hubungan lengkung gigi. Bonwill3, salah satu
orang yang pertama menjelaskan tentang lengkung gigi, mengatakan bahwa segitiga
equilateral berada antara pusat condilus dan area mesial gigi insisivus pertama
mandibula., digambarkan memiliki 4 inci sisi. Dengan kata lain, jarak antara area mesial
gigi insisivus pertama mandibula ke pusat kondilus adalah 4 inchi dan jarak antarapusat
kondilus yakni 4 inci. Tahun 1932, Monson4 menggunakan segitiga Bonwill dan
memperlihatkan teori bahwa tiap bidang memiliki radius 4 inci, pusat dengan jarak yang
sama dari permukaan oklusal gigi posterior dan dari pusat kondilus. Meskipun konsep ini
kira-kira benar, hal ini adalah penyederhanaan dan tidak berlaku dalam segala hal. Reaksi
terhadap teori yang sederhana ini mendorong peneliti untuk menentang dan mendukung
ide ini. Dari kontroversi tersebut berkembang teori oklusi yang digunakan kedokteran
gigi hingga saat ini.
Gambar 3-5 Angulasi gigi-gigi mandibula

Perhatikan bahwa gigi-gigi anterior dan posterior lebih miring ke mesial. (From
Dempster WT,
Adams WJ, Duddles RA: Arrangement in the jaws of the roots of the teeth, J Am Dent
Assoc 67:779-797, 1963.)

Gambar 3-6 Angulasi gigi-gigi maksila


Gigi anterior cenderung ke mesial, sedangkan gigi posterior lebih ke distal mengacu pada
tulang alveolar. (From Dempster WT, Adams WJ, Duddles RA: Arrangement in the jaws
of theroots of the teeth, J Am Dent Assoc 67:77-7979,1963.)

Gambar 3-7 Angulasi gigi-gigi maksila

Perhatikan bahwa seluruh gigi posterior lebih kebukal. (From Dempster WT, Adams WJ,
DÚdales RA: Arrangement ¡n the jaws of the roots of the teeth, J Am DentAssoc 67:779-
797,1963.)

Permukaan oklusal gigi terdiri dari banyak cusp, groove dan sulci. Selama
fungsinya oklusal efektif menghancurkan makanan dan bercampur dengan saliva untuk
membentuk bolus yang mudah ditelan. Untuk tujuan diskusi, permukaan oklusal gigi
posterior dibagi dalam beberapa daerah. Area gigi antara ujung cusp bukal dan cusp
lingual gigi posterior disebut dataran oklusal (gbr 3-9). Kekuatan utama pengunyahan
diaplikasikan pada area ini. Dataran oklusal mewakili sekitar 50%-60% dari total dimensi
bukolingual gigi posterior dan berada diatas sumbu panjang gigi. Hal ini dianggap aspek
dalam gigi karena berada antara ujung cusp. Demikian juga, area oklusal luar ujung cusp
disebut aspek luar. Aspek dalam dan luar gigi berasal dari kemiringan ujung cusp ke
salah satu pusat fosa (CF) atau ketinggian kontur permukaan labial dan lingual gigi. Jadi
kemiringan ini disebut inklinasi luar dan dalam ( Gbr. 3-10). Inklinasi luar dan dalam
diperlihatkan dengan menggambarkan titik puncak cusp. Sebagai contoh, inklinasi dalam
cusp bukal gigi premolar maksila kanan menunjukkan area lengkung gigi. Inklinasi gigi
juga menunjukkan kearah mana arah giginya (mis mesial atau distal). Permukaan yang
lebih ke mesial menunjukkan bagian mesial gigi dan permukaan yang lebih ke distal
menunjukkan bagian distal (br 3-11)
Gambar 3-8 Angulasi gigi-gigi mandibula

Perhatikan bahwa gigi posterior lebih miring ke lingual (From Dempster WT, Adams
WJ, Duddles RA: Arrangement in the jaws of the roots of the teeth, J Am Dent Assoc
67:779-797, 1963.)

Gambar 3-9
Dataran oklusal gigi premolar maksila

3.3 Kesejajaran lengkung rahang

Kesejajaran lengkung rahang mengacu pada hubungan gigi pada lengkung yang
satu dengan yang lain. Ketika dua rahang berkontak, yakni saat mandibula menutup,
terjadi hubungan oklusal gigi. Bagian ini menjelaskan karakteristik lengkung normal
maksila dan mandibula saat beroklusi.
Gigi-gigi maksila dan mandibula menutup dengan tepat. Jarak garis yang
terbentuk dimulai dari permukaan distal gigi molar ketiga, di tarik kemesial hingga area
kontak proksimal sepanjang lengkung rahang dan berakhir pada permukaan distal gigi
molar tiga sebelahnya. Kedua lengkung memiliki kira-kira panjang yang sama dengan
lengkung mandibula yang hanya sedikit lebih kecil (lengkung maksila, 128 mm,
lengkung mandibula 126 mm)5. Perbedaan yang kecil ini hasil dari jarak mesiodistal yang
kecil dari gigi insisivus mandibula dibandingkan dengan gigi insisivus maksila. Lebar
lengkung adalah jarak melalui lengkung. Lebar lengkung mandibula sedikit lebih kecil
dari lengkung maksila, sehingga ketka rahang menutup,tiap gigi maksila lebih kefasial
daripada gigi mandibula.
Karena gigi maksila lebih ke fasial (setidaknya memiliki inklinasi fasial),
hubungan oklusal normal gigi posterior yakni untuk cusp bukal mandibula menutup
sepanjang area CF gigi maksila. Demikian pula, cusp lingual maksila menutup sepanjang
area CF gigi mandibula (Gbr 3-12). Hubungan oklusal melindungi jaringan lunak sekitar.
Cusp bukal gigi maksila melindungi mukosa bukal pipi dan bibir dari permukaan oklusal
gigi selama berfungsi. Demikian pula cusp lingual gigi mandibula menjaga lidah terkena
gigi-gigi mandibula dan maksila.

Gambar. 3-10
Gambar. 3-11 Inklinasi mesial (MI) dan inklinasi distal (DI)

Inklinasi berdekatan pada tiap ujung cusp posterior terlihat.

Peran lidah, pipi, dan bibir, tentu saja sangat penting selama fungsi karena terus
menerus menempatkan makanan pada permukaan oklusal gigi untuk penghacuran yang
sempurna. Hubungan bukolingual yang normal membantu memaksimalkan efisiensi otot
sementara meminimalisasi trauma pada jaringan lunak (dari tergigitnya pipi atau lidah).
Kadang-kadang karena diskrepansi ukuran lengkung tulang atau pola erupsi, gigi
menutup dengan cara kontak cusp bukal maksila pada area CF gigi mandibula. Hubungan
ini disebut crossbite. (Gbr. 3-13

Cusp bukal gigi posterior mandibula dan cusp lingual gigi posterior maksila
menutup dengan area CF yang berlawanan. Cusps ini disebut, cusp pendukung atau cusp
sentrik dan terutama berperan dalam menjaga jarak antara mandibula dan maksila. Jarak
ini mendukung ketinggian wajah vertikal yang disebut dimensi vertikal oklusi. Cusp ini
juga memainkan peranan penting dalam pengunyahan karena kontak yang terjadi pada
kedua aspek luar dan dalam cusp. Cusp sentrik luas dan bulat. Bila dilihat dari oklusal,
ujungnya terletak sekitar sepertiga dari jarak lebar bukolingual gigi. (Gbr 3-14)

Cusp bukal gigi posterior maksila dan cusp lingual gigi posterior mandibula gigi
disebut cusp non sentrik. Relatif lebih tajam dengan ujung yang terletak sekitar
seperenam jarak lebar bukolingual gigi (lihat gbr 3-14). Area yang sempit pada cusp
nonsentrik dapat memiliki fungsi yang signifkan. Area ini terletak pada iklinasi dalam
cusp nonsentrik yang dekat denga CF gigi dan kontak dengan sebagian kecil aspek luar
cusp sentrik gigi berlawanan.

Area yang sempit dari cusp sentrik (kira-kira 1 mm) adalah satu-satunya area
dimana aspek luar memiliki fungsi yang signifikan. Kemudian area ini dinamakan aspek
fungsional luar. Aspek luar yang sempit pada tiap cusp sentrik dapat berfungsi
berlawanan dengan inklinasi luar cusp nonsentrik (gbr 3-15). Karena area ini membantu
dalam memotong makanan selama pengunyahan, cusp nonsentrik juga disebut cusp
pemotong.

Gambar 3-12 Hubungan lengkung normal bukolingual


Cusp bukal mandibula menutup fosa sentral gigi maksila, dan cusp lingual maksila
menutup fosa sentral gigi mandibula

Gambar 3-13 Crossbite posterior

Ketika kondisi ini terjadi, cusp lingual mandibula menutup fosa sentral gigi
maksila dan cusp bukal maksila menutup fosa sentral gigi mandibula.

Gambar 3-14 Gigi molar pertama mandibula

Posisi ujung cusp sentrik dan non sentrik ditunjukkan dengan keseluruhan lebar
bukolingual gigi.
Peranan utama cusp nonsentrik untuk meminimalkan terkenanya jaringan, dan
untuk mempertahankan bolus makanan pada dataran oklusal selama pengunyahan. Cusp
non sentrik juga memberi kestabilitasan mandibula ketika gigi beroklusi, hasil dari
hubungan oklusal. Hubungan gigi pada intercusp maksimal disebut posisi maksimun
intercusp (ICP). Jika mandibula bergerak ke lateral dari posisi ini, kontak nonsentrik akan
berkontak dan menuntun ke posisi ini, selama pengunyahan cusps ini kemudian mentup,
cusp nonsentrik membantu mandibula kembali pada posisi maksimum intercusp (ICP).
Disamping itu, selama mastikasi cusp mengakhiri kontak yang memberi umpan balik
terhadap system saraf otot yang mengontrol gerak pengunyahan. Oleh karena cusp
nonsentrik juga dapat disebut cusp penuntun.

Gambar 3-15

Aspek fungsi terluar (FOA) dari cusp sentrik hanya pada area kemiringan terluar dengan
fungsi yang penting.

Hubungan kontak oklusal bukolingual

Ketika lengkung gigi dilihat dari oklusal, landmark dapat terlihat, sehingga
membantu memahami hubungan interoklusal gigi.


Jiga garis imajiner di tarik melalui semua ujung cusp bukal gigi posterior
mandibula, garis bukooklusal (BO) terlihat. Dalam lengkung normal garis ini
berjalan dengan tepat dan terus menerus, memperlihatkan bentuk lengkung yang
umum. Ini juga merupakan batas pemisah antara aspek luar dan dalam cusp bukal
(gbr 3-16)


Demikian pula, jika garis imajiner ditarik melalui cusp lingual gigi posterior
maksila, garis linguooklusal (LO) diamati. Garis ini mengungkapkan bentuk
lengkung umum dan memperlihatkan batas pemisah antara aspek luar dan dalam
cusp sentrik (gbr 3-17)

Jika garis imajiner ke tiga ditarik melalui grove developmental pusat gigi
posterior maksila dan mandibula, garis CF teramati. Dalam lengkung normal,
garis ini berlanjut dan memperlihatkan bentuk lengkung (gbr 3-18)

Gambar 3-16

Garis bukooklusal (BO) pada lengkung kiri mandibula

Gambar 3-17
Garis linguooklusal (LO) pada lengkung kanan maksila

Setelah garis CF terbentuk, hal ini berguna untuk mencatat hubungan yang
penting dari area kontak proksimal. Area ini secara umum terletak sedikit bukal ke garis
CF (gbr 3-19), yang memperlihatkan embrasure lingual yang lebih besar dan embrasure
bukal yang lebih kecil. Selama fungsi, embrasure lingual yang lebih besar akan bertindak
sebagai jalan utama makanan selama pengunyahan. Gigi akan berkontak, sebagian besar
makanan akan didorong ke lidah, yang lebih efisien membawa makanan ke dataran
oklusal daripada otot buccinators dan perioral.

Gambar 3-18
Garis fosa sentral (CF) lengkung gigi kiri

Gambar 3-19

Kontak proksimal antara gigi posterior umumnya terletak pada bukal ke garis fosa
sentral.

Untuk memperlihatkan hubungan bukolingual gigi posterior dalam oklusi, hanya


satu garis imajiner yang sesuai. Seperti digambarkan dalam gambar 3-20, garis BO gigi
mandibula beroklusi dengan garis CF gigi maksila. Secara bersamaan, garis LO gigi
maksila beroklusi dengan garis CF gigi mandibula.
Hubungan kontak oklusal mesiodistal

Seperti yang disebutkan, kontak oklusal terjadi ketika cusp sentrik berkontak
dengan garis CF. Dilihat dari fasial, cusp secara khusus berkontak dengan dua area :1)
area CF dan 2) area marginal ridge dan embrasure.

Kontak antara ujung cusp dan area CF seperti penggilingan alu pada mortar.
Ketika dua permukaan lengkung bertemu, hanya bagian-bagian tertentu yang beroklusi
memberi wktu meninggalkan area bebas kontak untuk bertindak sebagai jalan pada
daerah yang rusak. Mandibula yang bergerak selama pengunyahan, kontak daerah yang
berbeda, menghasilkan jalan yang berbeda. Pergerakan ini menghasilkan efisiensi
pengunyahan.

Gambar 3-20 Hubungan oklusi normal dalam lengkung gigi



Cusp bukal (sentrik) gigi mandibula beroklusi dengan fosa sentral (CF) gigi
maksila.


Cusp lingual (sentrik) gigi maksila beroklusi dengan fosa sentral gigi mandibula.
BO, Bukooklusal; LO, Linguooklusal

Tipe kedua kontak oklusal antara ujung cusp dan marginal ridge. Marginal ridge
adalah area cembung batas mesial dan distal permukaan oklusal yang bersatu dengan
permukan interproksimal gigi. Bagian yang tertinggi dari marginal ridge sedikit
cembung. Oleh karena itu tipe kontak yang terbaik digambarkan oleh kontak ujung cusp
pada permukan yang rata. Hubungan ujung cusp ini dapat menghancurkan makanan
dengan mudah dan jalan tersedia pada seluruh arah. Mandibula bergerak secara lateral,
bidang kontak bergeser, meningkatkan efisiensi gerak pengunyahan. Perhatikan bahwa
ujung cusp tidak berperan dalam kontak oklusal. Daerah sirkular yang mengelilingi ujung
cusp dengan radius sekitar 0,5 mm menyediakan daerah kontak dengan permukaan gigi
antagonis.

Ketika hubungan lengkung gigi normal dilihat dari lateral, dapat dilihat bahwa
tiap gigi beroklusi dengan dua gigi antagonisnya. Namun, terdapat dua pengecualian
untuk hal ini: gigi insisivus pertama mandibula dan gigi molar ketiga maksila. Pada kasus
ini gigi-gigi tersebut beroklusi hanya dengan satu gigi antagonis. Oleh karena itu seluruh
lengkung tiap gigi ditemukan beroklusi dengan lengkung antagonis serta gigi tetangga.
Hubungan satu dua gigi membantu mendistribusikan kekuatan oklusal pada beberapa gigi
dan akhirnya pada seluruh lengkung. Hal ini juga membantu mempertahankan integritas
lengkung, bahakan ketika gigi hilang, karena stabilitas kontak oklusal masih
dipertahankan oleh gigi yang tersisa.

Dalam hubungan normal gigi mandibula diposisikan sedikit lingual dan mesial
pada tempatnya. Hal ini berlaku untuk gigi anterior dan posterior (gbr 3-21). Dalam
pemeriksaan bentuk kontak dalam lengkung rahang, akan sangat membantu gigi posterior
dan gigi anterior secara terpisah.

Gambar 3-21 Hubungan lengkung gigi maksila dan mandibula


(Gigi mandibula digaris luar) Tiap gigi posterior mandibula di tempatkan sedikit
lingual dan mesial dari tempatnya.


Hubungan oklusal gigi posterior

Dalam pemeriksaan hubungan oklusal gigi posterior, banyak perhatian dipusatkan


pada gigi molar pertama. Gigi molar pertama mandibula secara normal sedikit ke mesial
dari gigi molar maksila.


Klas I

Karakteristik berikut mengidentifikasi hubungan molar secara khusus ditemukan pada


gigi asli, yang pertama dijelaskan oleh Angle6 sebagai hubungan Klas I:


Cusp mesiobukal gigi molar mandibula beroklusi dengan embrasure antara gigi
premolar kedua dan gigi molar pertama maksila


Cusp mesiobukal gigi molar pertama maksila terletak pada grove bukal gigi molar
pertama mandibula


Cusp mesio lingual gigi molar pertama maksila berada pada daerah CF gigi molar
pertama mandibula.

Hubungan tiap gigi mandibula beroklusi pada tempatnya dan mesial gigi. (sebagai
contoh, gigi premolar kedua mandibula kontak dengan gigi premolar kedua dan pertama
maksila). Kontak antara molar terjadi pada ujung cusp dan fosa dan marginal ridge.

Dua variasi dalam bentuk kontak oklusal dapat menghasilkan daerah marginal
ridge. Dalam beberapa kasus kontak cusp area embrasure ( dan sering kedua marginal
ridge yang bedekatan) secara langsung, menghasilkan dua kontak area pada ujung cusp
(gbr 3-22). Dalam kasus lain ujung cusp diposisikan hanya pada satu marginal ridge,
menghasilkan hanya satu kontak dengan ujung cusp. Situasi terakhir ini digunakan untuk
menjelaskan hubungan molar umum. Gbr.3-23 menggambarkan tampakan bukal dan pola
kontak oklusal secara khusus hubungan molar Klas I.


Klas II

Pada beberapa pasien lengkung maksila besar dan maju lebih anterior dan
lengkung mandibula kecil atau diposisikan lebih posterior. Kondisi ini akan
menghasilkan gigi molar pertama terletak distal dalam hubungan molar Klas II (gbr 3-
24), yang disebut hubungan molar Klas II. Hal ini sering digambarkan dalam
karakteristik berikut:


Cusp mesiobukal gigi molar mandibula beroklusi dengan CF gigi molar maksila.


Cusp mesiobukal gigi molar pertama mandibula berapda pada grove bukal gigi
molar pertama maksila


Cusp distolingual gigi molar pertama maksila beroklusi dengan CF gigi molar
pertama mandibula.

Ketika dibandingkan dengan hubungan Klas I, tiap kontak oklusal berpasangan lebih
kedistal kira-kira lebar mesiodistal premolar.

Gambar 3-22
Beberapa cusp sentrik beroklusi dengan embrasure antara gigi antagonis. Hal ini
menyebabkan dua kontak mengelilingi ujung cusp (atas). Oklusi yang lain pada area
kontak embrasure hanya satu marginal ridge antagonis (bawah)

Gambar 3-23 Hubungan lengkung oklusi gigi molar Klas I



Bukal. B. Oklusal memperlihatkan areakontak yang khusus

Gambar 3-24 Hubungan lengkung oklusi gigi molar Klass II



Bukal, B. Oklusal memperlihatkan area kontak yang khusus


Klas III

Hubungan gigi molar tipe ketiga, sering ditemukan berhubungan dengan


pertumbuhan dominan gigi mandibula, disebut Klas III. Dalam hubungan ini,
Pertumbuhan mesial gigi molar mendibula terhadap gigi molar maksila seperti terlihat
pada Klas I (gbr 3-25). Karekteristik Klas III sebagai berikut:


Cusp distobukal gigi molar pertama mandibula terletak pada embrasure antara
gigi premolar kedua dan gigi molar pertama maksila


Cusp mesiobukal gigi molar maksila terletak pada embrasure antara ggi molar
pertama dan kedua mandibula


Cusp mesio lingual gigi molar pertama maksila terletak pada pit mesial gigi molar
kedua mandibula.

Gambar 3-25 Hubungan lengkung oklusi gigi molar Klass III



Bukal, B. Oklusal memperlihatkan area kontak yang khusus

Sekali lagi, tiap pasangan kontak oklusal terletak mesial dengan kontak gigi pada
hubungan Klas I, kira-kira lebar premolar.

Hubungan gigi molar Klas I paling sering ditemukan. Meskipun kondisi yang
dijelaskan untuk Klas II dan Klas III jarang, kecenderungan Klas II dan Klass III cukup
biasa terjadi. Klas II atau III cenderung menggambarkan kondisi yang bukan Klas I
namun tidak cukup ekstrim untuk menjelaskan deksripsi Klas II dan III. Gigi anterior dan
kontak oklusal dapat juga dipengaruhi oleh pola pertumbuhan.


Hubungan oklusal gigi anterior

Seperti gigi posterior maksila, gigi anterior maksila biasanya diposisikan lebih ke
labial dari gigi anterior mandibula. Tidak seperti gigi posterior, namun gigi anterior
mandibula dan maksila lebih miring ke labial, berkisar 12 hingga 28 derajat dari garis
referensi vertikal.7 Meskipun sejumlah besar variasi terjadi, hubungan normal akan
memperlihatkan tepi insisal gigi insisivus mandibula berkontak dengan permukaan
lingual gigi insisivus maksila. Kontak ini biasanya terjadi pada fosa lingual gigi insisivus
maksila kira-kira 4 mm dari gingiva ke tepi insisal. Dengan kata lain, ketika dilihat dari
labial, 3 hingga 5 mm gigi anterior mandibula tertutup dengan gigi anterior maksila (gbr
3-26). Karena mahkota gigi anterior mandibula kira-kira 9 mm, sedikit lebih kecil dari
setengah mahkota yang masih terlihat dari labial.

Gambr 3-26

Secara normal gigi anterior maksila tumpang tindih dengan gigi anterior mandibula
hampir setengah ketinggian mahkota mandibula.

Inklinasi labial gigi anterior merupakan indikasi dari fungsi yang berbeda dari
gigi posterior. Seperti yang disebutkan sebelumnya, fungsi utama dari gigi posterior
adalah menghancurkan makanan selama pengunyahan sambil mempertahankan dimensi
vertikal oklusi.

Gigi posterior sedemikian rupa sehingga kekuatan vertikal saat menutup dapat
ditempatkan dengan tidak berefek pada struktur pendukung gigi. Inklinasi labial gigi
anterior maksila dan cara gigi mandibula beroklusi tidak resistensi terhadap tekanan
oklusal yang berat. Jika tekanan berat terjadi pada gigi anterior selama mandibula
menutup, kecenderungan gigi maksila bergeser lebih ke labial. Oleh karena itu dalam
oklusi normal, kontak gigi anterior dalam ICP jauh lebih ringan daripada gigi posterior.
Tidak adanya kontak gigi anterior dengan ICP tidak jarang. Tujuan dari gigi anterior
bukan untuk mempertahankan dimensi vertikal oklusi tetapi untuk mengarahkan
mandibula melalui pergerakan lateral yang bervariasi.

Anterior memainkan peranan penting dalam fungsi pengunyahan.


Karakteristiknya digambarkan dengan posisi dan hubungan anterior gigi, yang dapat
dilihat secara horizontal dan vertikal. Jarak horizontal gigi anterior maksila tumpang
tindih dengan gigi anterior mandibula, yang disebut horizontal overlap ( kadang dikenal
dengan overjet) (gbr 3-27), jarak antara tepi insisal labial gigi insisivus maksila dan
permukaan labial gigi insisivus mandibula pada ICP. Penuntun anterior juga dapat dilihat
dalam bidang vertikal, disebut vertikal overlap (kadang-kadang disebut over bite).
Vertikal overlap adalah jarak antara tepi insisal gigi anterior antagonisnya. Seperti
disebutkan sebelumnya, oklusi normal kira-kira 3 hingga 5 mm vertikal overlap.
Karakteristik penting penuntun anterior di tentukan dengan keterkaitan hubungan yang
rumit dari kedua faktor.

Fungsi penting lainnya dari gigi anterior yakni sebagai awal pengunyahan. Fungsi
gigi anterior untuk memotong makanan dalam mulut. Setelah di potong, kemudian
dibawa ke gigi posterior untuk dihancurkan sempurna. Gigi anterior juga memainkan
peranan penting dalam berbicara, dukungan bibir dan estetik.

Pada beberapa orang hubungan gigi anterior tidak ada. Variasi itu dapat
dihasilkan pola perkembangan dan pertumbuhan yang berbeda. Beberapa hubungan
diidentifikasi dengan penggunaan bentuk spesifik (gbr 3-28). Ketika seseorang memiliki
mandibula yang kurang berkembang (hubungan gigi molar klas II ), gigi anterior
mandibula sering berkontak dengan sepertiga gingiva permukaan lingual gigi maksila.
Hubungan anterior ini disebut deep bite (deep overbite). Jika hubungan klas II gigi
insisivus pertama dan kedua maksila pada inklinasi normal, hal itu disebut divisi 1. Jika
insisivus maksila lebih ke lingual, hubungan anterior disebut Klas II divisi 2. Deep bite
yang dalam menghasilkan kontak dengan jaringan palatal gingiva gigi insisivus maksila.

Pada orang yang lain yang memiliki pertumbuhan mandibula yang lebih, gigi
anterior mandibula sering terletak maju dan berkontak dengan tepi insisisal gigi anterior
maksila (hubungan gigi molar Klas III). Hal ini disebut hubungan end to end (atau edge
to edge). Pada kasus yang ekstrim gigi anterior mandibula dapat terletak jauh kedepan
sehingga tidak berkontak dengan ICP (Klas III)

Gambar 3-27

Hubungan normal lengkung gigi anterior menunjukkan dua tipe overlap. HO, horizontal,
VO, Vertikal
Hubungan anterior gigi yang lain yakni salah satu yang memiliki negative vertikal
overlap. Dengan kata lain, gigi posterior dengan intercusp maksimum, gigi anterior
antagonis tidak overlap atau bahkan berkontka satu sama lain. Hubungan anterior ini
disebut anterior open bite. Pada orang dengan open bite anterior, tidak ada kontak gigi
anterior yang terjadi selama pergerakan mandibula.

Gambar 3-8 A

Gambar 3-28
B, Klas I normal. C, Klas II, divisi 1, deep bite. D, Klas II, divisi 2. E, Klas III, end to
end. F, Klas III. G, anterior openbite.


Kontak oklusal selama pergerakan mandibula

Pada saat ini, hanya hubungan statis gigi anterior dan posterior yang telah
didiskusikan. Ingat, bagaimanapun bahwa system pengunyahan sangat dinamis.
Temporomandibula joint dan hubungan otot mandibula bergerak pada tiga bidang
(sagittal, horizontal dan frontal). Seiring dengan pergerakan ini kontak gigi menjadi
potensial. Pemahaman tentang tipe dan lokasi kontak gigi terjadi selama pergerakan
mandibula adalah penting. Pola eksentrik digunakan untuk menjelaskan gerakan
mandibula dari ICP yang menghasilkan kontak gigi. Tiga gerakan dasar eksentrik
dibahas: 1. Protrusi, 2. Lateroprotrusi, 3. Retrusi

Gambar 3-29

Garis penuntun (GI) gigi maksila adalah permukaan yang bertanggung jawab pada
karakteristik penuntun anterior.

Gambar 3-30
\

Kontak posterior protrusi dapat terjadi antara kemiringan distal gigi maksila dan
kemiringan mesial gigi mandibula.

3.3.5.1 Gerakan protrusi mandibula

Gerakan protrusi mandibula terjadi ketika gerakan mandibula jauh dari ICP. Area
gigi yang berkontak dengan gigi antagonisnya selama gerakan protrusi dianggap sebagai
kontak protrusi. Dalam hubungan oklusal normal kontak protrusi terjadi pada gigi
anterior, antara tepi insisal dan labial gigi insisivus mandibula terhadap fossa lingual dan
tepi insisal gigi insisivus maksila. Hal ini dianggap inklinasi penuntun gigi anterior (gbr
3-29). Pada gigi posterior gerakan protrusi menyebabkan cusp sentrik mandibula (bukal)
melewatianterior seluruh permukaan gigi maksila (gbr 3-30). Kontak protrusi posterior
terjadi antara kemiringan distal cusp lingual maksila dan mesial fosa dan tepi marginal
antagonis. Kontak posterior protrusi dapat juga antara kemiringan mesial cusp bukal
mandibula dan distal fosa dan tepi marginal antagonis.

Gambar 3-31 Gerakan laterotrusi kiri


Kontak dapat terjadi antara kemiringan dalam cusp bukal maksila dan kemiringan luar
cusp bukal mandibula,dapat juga antara kemiringan luar cusp lingual maksila dan
kemiringan dalam cusp lingual mandibula.

Kontak mediotrusi dapat terjadi antara kemiringan dalam cusp lingual maksila dan
kemiringan dalam cusp bukal mandibula. Ketika mandibula bergerak tepat, kontak yang
sama dapat terjadi pada gigi kontralateral.

3.3.5.2 Gerakan laterotrusi mandibula

Selama gerakan laterotrusi mandibula kanan dan kiri gigi posterior mandibula
bergerak melewati gigi antagonisnya dalam arah berbeda.

Jika, misalnya, mandibula bergerak lebih lateral ke kiri (Gbr 3-31), gigi posterior
mandibula kiri akan bergerak lateral melewati gigi antagonisnya. Namun, gigi posterior
mandibula kanan akan bergerak medial melewati gigi antagonisnya. Kontak potensial
untuk gigi ini berada pada lokasi berbeda dan oleh karena itu dibuat dengan nama
berbeda. Melihat lebih dekat gigi posterior bagian kiri selama gerakan lateral
memperlihatkan bahwa kontak dapat terjadi pada dua area inklinasi. Satu antara
kemiringan dalam cusp bukal maksila dan kemiringan luar cusp bukal mandibula. Salah
satunya antara kemiringan luar cusp lingual maksila dan kemiringan dalam cusp lingual
mandibula. Kedua kontak itu disebut laterotrusi. Untuk membedakan antara cusp lingual
antagonis dari kontak antara cusp bukal antagonis, pola lingual to lingual laterotrusi
digunakan untuk membahas bentuk ini. Bentuk working contact juga biasanya digunkana
untuk kontak laterotrusi. Karena kebanyakan fungsiterjadi pada sisi mana mandibula
bergerak maka working contact tepat.

Selama gerkana lateral kiri sama gigi posterior mandibula kanan melewati arah
medial sepanjang gigi antagonis. Bagian potensial dari kontak oklusal antara kemiringan
dalam cusp lingual maksila dan kemiringan dalam cusp bukal mandibula. Hal ini disebut
kontak mediotrusi. Selama gerakan lateral kiri banyak fungsi yang terjadi pada sisi kiri
dan oleh karena itu sisi kanan di buat menjadi sisi yang tak berkerja. Jadi kontak
mediotrusi juga disebut nonworking contacts. Pada literatur akhir2 ini bentuk balancing
contact digunakan.

Jika mandibula bergerak ke lateral lalu ke kanan, bagian potensial kontak akan di
identikkan dengan lawan dari gerakan lateral kiri. Sisi kanan memiliki kontak laterotrusi
dan sisi kiri kontak mediotrusi. Kontak ini pada kemiringan yang sama dengan gerakan
lateral kiri tetapi lengkung gigi antagonis.

Seperti yang disebutkan sebelumnya, gigi anterior berperan penting dalam


menuntun selama gerakan lateral kiri dan kanan mandibula. Hubungan kontak oklusal
yang normal kaninus maksila dan mandibula selama gerakan lateral kiri dan kanan dan
oleh karena itu terdapat kontak laterotrusi. Hal ini terjadi antara permukaan labial dan
tepi insisal kaninus mandibula dan fosa lingual dan tepi insisal gigi kaninus maksila.
Seperti kontak protrusi, dianggap kemiringan penuntun.

Sebagai kesimpulan, kontak laterotrusi (working) pada gigi posterior terjadi pada
kemiringan dalam cusp bukal maksila berlawanan dengan kemiringan luar cusp bukal
mandibula dan kemiringan luar cusp lingual maksila berlawanan dengan kemiringan
dalam cusp lingual mandibula. Kontak mediotrusi (nonworking) terjadi pada kemiringan
dalam cusp lingual maksila berlawanan dengan kemiringan dalam cusp bukal mandibula.
Gambar 3-32

Kontak retrusi posterior dapat terjadi antara kemiringan mesial gigi maksila dan
kemiringan distal gigi mandibula

3.3.5.3 Gerakan retrusi mandibula

Gerakan retrusi mandibula terjadi ketika mandibula bergerak lebih ke posterior


dari ICP.. Dibandingkan dengan gerakan lain, gerakan retrusi lebih kecil (1-2 mm).
Gerakan retrusi dibatasi dengan struktur ligament lihat Chapter 1. Selama gerakan retrusi
cusp bukal mandibula bergerak lebih ke distal sepanjang permukaan oklusal gigi maksila
antagonis (gambar 3-32). Kontak area potensial terjadi antara kemiringan distal cusp
bukal mandibula (sentrik) dan kemiringan mesial fosa dan marginal ridge antagonis. Pada
lengkung maksila, kontak retrusi terjadi antara kemiringan mesial fosa sentral dan
marginal ridge antagonis. Kontak retrusi terjadi pada kemiringan kontak protrusi karena
gerakan ini sebenarnya berlawanan.
3.3.5.4 Kesimpulan kontak oklusal

Ketika dua gigi posterior antagonis beroklusi normal (cusp lingual maksila
berkontak dengan fosa sentral antagonis dan cusp bukal mandibula berkontak dengan
fosa sentral antagonis). Kontak potensial selama gerakan eksentrik mandibula diprediksi
pada permukaan oklusal gigi. Tiap kemiringan cusp nonsentrik dapat juga berkontak
dengan gigi antagonis selama gerakan eksentrik spesifik (Gbr 3-33) digambarkan kontak
oklusal mungkin terjadi pada gigi molar pertama maksila dan mandibula. Ingat bahwa
area ini hanya area kontak potensial karena seluruh gigi posterior tidak dapat berkontak
selama gerakan mandibula. Pada beberapa kasus, terdapat beberapa kontak gigi selama
gerakan mandibula spesifik, yang tidak beratikulasi dengan gigi yang tersisa.
Bagaimanapun, kontak gigi pada gigi antagonis selama gerakan mandibula spesifik,
diagram ini menggambarkan area kontak tersebut.

Gambar 3-33

Bagian potensial kontak selama gerakan eksentris (tampakan lateral dan
proksimal).


Bagian potensial kontak eksentrik sekitar cusp gigi molar pertama maksila dan
mandibula (tampakan oklusal). Kontak ini ditunjukkan. LT, Laterotrusi; MT,
Mediotrusi; P, Protrusi; R, Retrusi

Gambar 3-34

Bagian umum kontak eksentrik gigi anterior maksila. LT, Laterotrusi; P,Protrusi

Ketika gigi anterior beroklusi dengan biasa, bagian potensial kontak selama
variasi gerakan mandibula juga diprediksi dan digambarkan pada gbr. 3-34


Saran

Ash MM, Nelson SJ: Wheeler's dental anatomy, physiology, and occulsion, ed 8, St
Louis, 2003, Saunders.

Kraus BS, Jordan RE, Abrams L: Dental anatomy and occlusion, Baltimore, 1973,
Waverly.

Moyer RE: Handbook of orthodontics for the student and general practitioner, ed 3,
Chicago, 1973, Year Book Medical.

Referensi

Sarver DM, Proffit WR: Special considerations in diagnosis and treatment
planning. In
Graber T, Vanarsdall R, Vig K, editors: Orthodontics: current principles and
techniques,
ed 4, St Louis, 2005, Mosby, pp 3-70.

Von Spee FG: Prosthetic dentistry, Chicago, 1928, Medico-Dental Publishing, pp
49-54.

Bonwill WGA: Geometrical and mechanical laws of articulation, Trans Odontol
Soc Pa
119-133, 1885.

Monson GS: Applied mechanics to the theory of mandibula movements, Dent
Cosmos
74:1039-1053, 1932.

Ash MM, Nelson SJ:Wheeler's dental anatomy, physiology, and occulsion, ed 8,
St Louis,2003, Saunders, pp 29-64.

Angle EH: Classification of malocclusion, Dent Cosmos 41:248-264, 1899.

Kraus BS, Jordon RE, Abrahams L: Dental anatomy and occlusion, Baltimore,
1973, Waverly, pp 226-230.
BAB 4 Mekanisme Pergerakan Mandibula
"Alam telah menganugerahkan kita dengan sistem pengunyahan yang dinamis, yang
memungkinkan kita untuk mengfungsikannya dan oleh karena itu ada. "
--- JPO
Pergerakan mandibular terjadi sebagai suatu kesatuan yang kompleks dari keterhubungan
tiga dimensi aktivitas rotasi dan translasi. Ini ditentukan oleh kombinasi dan simultasn
aktivitas kedua sendi temporomandibular (TMJs). Meskipun TMJs tidak dapat berfungsi
sepenuhnya secara mandiri dari masing-masing lainnya, mereka juga jarang berfungsi
dengan gerakan identic bersamaan. Untuk mengerti lebih baik kekompleksan pergerakan
mandibular, itu pertama penting untuk mengisolasi pergerakan yang terjadi dengan TMJ
tunggal. Tipe pergerakan yang terjadi didiskusikan terlebih dahulu, dan kemudian
pergerakan ketiga dimensi dari sendi dibagi kedalam pergerakan dengan suatu bidang
tunggal.

4.1 TIPE-TIPE PERGERAKAN


Dua tiper pergerakan yang terjadi pada TMJ: rotasi dan translasi.

4.1.1 PERGERAKAN ROTASI


Ilustrasi Kamus Kedokteran Dorlan menetapkan rotasi sebagai “proses dari memutari
sumbu; pergerakan dari tubuh pada sumbunya, disebut sumbu rotasi.”. Dalam system
mastikasi , rotasi terjadi ketika mulut membuka dan menutup pada titik yg tepat atau
sumbu dengan kondil. Di lain kata, gigi dapat dipisah dan dioklusikan dengan tanpa
perubahan posisi kondil.(Gbr. 4-1)
Pada TMJ, rotasi terjadi sebagai gerakan dengan kavitas inferior dari sendi. Demikian itu
adalah pergerakan antara permukaan superior dari kondil dan permukaan inferior dari
diskus artikularis. Pergerakan rotasi dari mandibular dapat terjadi dalam semua tiga
bidang referensi: horizontal, frontal (vertical), dan sagittal. Masing-masing bidang terjadi
pada satu titik, disebut sumbu. Sumbu rotasi untuk masing-masing bidang digambarkan
dan diilustrasikan.
4.1.1.1 Sumbu Horisontal dari Rotasi
Pergerakan mandibular disekitar sumbu horizontal adalah gerakan membuka dan
menutup. Itu direferensikan sebagai gerakan bergantung, dan sumbu horizontal sekitar
yang terjadi adalah oleh karena referensi sebagai sumbu bergantung. (Gbr. 4-2).
Pergerakan bergantung mungkin hanya contoh dari aktivitas mandibular yang mana suatu
pergerakan rotasi “murni” terjadi. Dalam semua pergerakan, rotasi pada sumbu ditemani
oleh translasi pada sumbunya. Ketika kondil berada pada posisi paling superior pada
fossa artikularis dan mulut secara murni dirotasi terbuka, pada sumbu yang terjadi
pergerakan disebut sumbu engsel terminal.
Pergerakan rotasi di sekitar engesel terminal dapat ditunjukkan tapi jarang terjadi selama
fungsi normal.

4.1.1.2 Sumbu Frontal (Vertikal) dari Rotasi


Pergerakan mandibular sekitar sumbu frontal terjadi ketika satu kondil bergerak anterior
dari engsel terminal posisi sementara sumbu vertikal dari kondilus berlawanan tetap di
terminal engsel posisi(Gbr. 4-3). Karena inklinasi dari eminensia artikularis, yang
menyatakan bahwa kemiringan sumbu frontal sebagai perpindahan atau kondilus
mengorbit menuju anterior, ini tipe dari pergerakan isolasi tidak dapat terjadi secara
alami.

Gbr.4-1 Pergerakan rotasi di sekitar titik kondilus


Gbr. 4-2 Pergerakan rotasi pada sumbu horizontal

4.1.1.3 Sumbu SAgital dari Rotasi

Gbr.4-3 Pergerakan rotasi pada sumbu frontal (vertical)

Gbr 4-4 Pergerakan rotasi pada sumbu sagita


Pergerakan mandibular pada sumbu sagittal terjadi ketika satu kondilus bergerak secara
inferior sementara yang lainnya tetap pada posisi engsel terminal (Gbr 4-4). Karena
ligament dan otot TMJ mencegah perpindahan inferiordari kondilus (dislokasi), tipe dari
pergerakan terisolasi tidak dapat terjadi secara alami. Hal itu dapat terjadi dalam
penghubung dengan pergerakan yang lain, bagaimanapun, ketita kondilus mengorbit
bergerak ke bawah dan ke depan di seluruh eminensia artikularis.

4.1.2 PERGERAKAN TRANSLASI


Translasi dapat didefinisikan sebagai suatu gerakan di mana setiap titik dari objek
bergerak memiliki kesamaan kecepatan dan arah. Pada sisyem pengunyahan itu terjadi
ketika mandibular bergerak maju, sebagai posisi protrusi. Gigi, kondilusm dan ramus
semua bergerakfalam arah dan derajat yang sama (Gbr. 4-5).
Translasi terjadi mencakup kavitas superior dari sendi antara permukaan superor dari disk
artikularis dan permukaan inferior dari fossa artikularis (contoh; antara komplek
diskondilus dan fossa artikularis). Selama pergerakan paling normal dari mandibular,
kedua rotasi dan translasi terjadi secara simultan (contoh, sementara mandibular sedang
berotasi pada satu atau lebih sumbu, masing-masing sumbuh adalah translasi, atau
merubah orientasinya dalam jaraknya). Hasil pada pergeraka kompleks sangat susah
untuk diperlihatkan. Pada bab ini, untuk memudahkan tugas untuk memahaminya, kami
mempertimbangkan mandibular seperti bergeraknya dalam tiga bidang referensi.

Gbr. 4-5 Pergerakan translasi dari mandibular


4.1.3 PERGERAKAN TUNGGAL-BATAS BIDANG
Gerakan mandibular dibatasi oleh ligament dan permukaan artikularis dari TMJs, sebaik
morfologi dan penjajaran gigi. Ketika mandibular bergerak melewati luar jangkauan,
batas dapat digambarkan batas reproduksi disebut hasil perbatasan gerak. Batas dan jenis
fungsi pergerakan mandibular digambarkan untuk masing-masing bidang referensi.

4.1.4 BATAS BIDANG SAGITAL DAN FUNGSI PERGERAKAN


Gerak mandibular dilihat dalam bidang sagittal dapat dilihat mempunyai empat
pembedaan komponen gerakan (Gbr. 4-6):
1. Batas pembukaan posterior
2. Batas pembukaan anterior
3. Batas kontak superior
4. Fungsional
Gbr. 4-6 Batas dan fungsi pergerakan dalam bidang sagittal. 1. Batas pembukaan
posterior; 2.Batas pembukaan anterior; 3. Batas kontak superior; 4.Fungsiona
Jarak dari batas pergerakan membuka posterior dan anterior ditentuka, atau dibatasi,
utamanya oleh ligament dan morfologi TMJs. Gerakan batas kontak superior ditentukan
oleh permukaan oklusal dan incisal gigi. Fungsi gerakan tidak dipertimbangkan gerakan
batas karena mereka tidak ditentukan oleh jarak luar gerakan. Mereka ditentukan oleh
respon keadaan dari system neuromuscular. (lihat bab 2).

4.1.4.1 Gerakan batas Membuka Posterior


Gbr. 4-7 Gerakan rotasi dari mandibular dengan kondilus berada pada posisi engsel
terminal.
Membuka rotasi murni ini dapat terjadi sampai gigi anterior terpisah pada beberapa 20
sampai 25 mm

Gerakan batas membuka posterior dalam bidang sagittal terjadi sebagai dua tahap
gerakan engsel. Tahap pertama (gbr. 4-7) kondilus distabilisasi pada posisi paling
superior dari fossa artikularis (contoh, posisi engsel terminal). Posisi paling superior dari
kondilus dari pergerakan sumbu engsel dapat terjadi adalah posisi relasi sentrik (RS).
Mandibula dapat diturunkan (membuka mulut) dalam gerakan rotasi murni tanpa translasi
dari kondilus. Gerakan engsel (rotasi murni) dapat dihasilkan dari setiap posisi anterior
mandibular ke RS; untuk ini terjadi, bagaimanapun, kondilus harus distabilisasi jadi
trnaslasi dari sumbu horizontal tidak terjadi. Karena penstabilisasian ini susah untuk
menetukan, gerakan batas membuka posterior yang menggunakan sumbu engsel terminal
adalah hanya pengulangan gerakan sumbu engsel dari mandibula

Gbr. 4-8 Tahap kedua dari gerakan translasi selama membuka. Kondilus translasi turun
eminensia artikularis sebagai mulut berotasi membuka ke batas maksimumnya.
Dalam RS mandibular dapat dirotasi mengelilingi sumbu horizontal ke kejauhan 20
sampai 25 mm diukur antara tepi incisal dari maksila dan incisal mandibular. Pada titik
dari membuka, ligamen temporo mandibular mengencang, setelah membuja berlanut
hasil dalam anterior dan translasi inferior dari kondilus. Sebagai translasi kondilus,
sumbu dari rotasi dari mandibular bergeserke ramus, hasil dalam tahap kedua dari
gerakan batas membuka posterior
(Gbr. 4-8). Lokasi yang tepat dari sumbu rotasi pada ramus seperti menjadi area
perlekatan dari ligament sphenomandibular. Selama tahap ini, mandibular berotasi pada
sumbu horizontal melewati ramus, kondilus bergerakan secara anterior dan inferior dan
porsi anteropr dari mandibulah adalah bergerak secara posterior dan inferior. Membuka
maksimal dicapai ketika kapsular ligament mencegah gerakan lebih lanjut pada kondilus.
Membuka mkasimum berjaran 40 sampai 60 mm ketika diukur antara tepi incisal gigi
mkasila dan incisal gigi mandibular.

4.1.4.2 Gerakan batas Membuka Anterior


Gbr. 4-9 Gerakan batas menutup anterior pada bidang sagital

Dengan mandibula terbuka secara maksimal, penutupan ditemani oleh kontraksi dari
pterygoid inferior lateral (yang menyimpan posisi kondilus secara anterior) akan
menghasilkan gerakan batas menutup anterior. (Gbr 4-9). Secara teori, jika kondilus
distabilisasi dalam posisi anterior, gerakan murni engsel dapat terjadi sebagai mandibular
menutup dari pembukaan maksimal ke posisi protrusi mkasimal. Karena posisi protrusi
mkasimum ditentukan dalam bagian oleh ligament stylomandibular, sebagai penutupan
terjadi, pengencangan dari ligament menghasilkan gerakan posterior dari kondilus. Posisi
kondilus adalah paling anterior dalam keadaan terbuka maksimal tetapi tidak dalam
keadaan protrusi maksimal. Gerakan posterior dari kondilus dari posisi membuka
maksimal ke posisi protrusi maksimal menghasilkan keanehan dalam gerakan batas
anterior. Demikian itu tidak bukan gerakan engsel murni.

4.1.4.3 Kontak Gerakan batas Superior


Mengingat batas gerakasn didiskusikan sebelumnya dibatasi oleh ligament, gerakan batas
kontak superior ditentukan oleh karateristik dari permukaan oklusi gigi. Keseluruhan
pergeraka ini, gigi yang sedang berkontak. Itu tepat menggambarkan bergantung pada 91)
jumlah variasi antara RS dan intercusp maksimum, (2) kecuraman dari inklinasi cusp dari
gigi posterior, (3) jumlah kelengkapan vertical dan horizontal gigi depan, (4) morfologi
lingual dari gigi depan maksila, dan 95) hubungan gigi antar lengkung. Karena gerakan
batas semata-mata gigi yang menetukan, perubahan dalam gigi akan menghasilkan
perubahan alami dari gerakan batas. Dalam posisi RS, kontak gigi secara normal
menemukan satu atau lebih menentang gigi posterior. Kontak gigi terminal engsel
menutup (RS) terjadi antara inklinasi mesial dari gigi maksila dan distal inklinasi gigi
mandibular(Gbr.4-10). Jika kekuatan otot diterapkan ke mandibular, gerakan
superoanterior atau perubahan akan menghasilkan hingga posisi intercusp (PIC) dicapai
(Gb. 4-11). Tambahan, RS ini ke maksimum meluncur intercusp dapat mempunyai
komonen lateral. Luncuran dari RS ke PIC sekarang dalam kira-kira 90% dari populasi,
dan rata-rata berjarak 1,25 ± 1 mm.

Gbr. 4-10 Hubungan dasar dari gigi ketika kondilus pada posisi relasi sentrik (RS)
Dalam PIC lawan gigi depan biasanya berkontak. Ketika mandibular diprotrusikan dari
intercusp maksimal, kontak antara tepi incisal dari gigi depan mandibula dan inklinasi
lingual dari gigi depan maksila hasilnya adalah agerakan anteroinferior dari mandibula
(Gbr 4-12). Hal ini terus berlanjut hingga gigi maksila dan mandibular memiliki
hubungan edge-to-edge, pada saat dimana jalan horizontal diikuti. Gerakan horizontal
berlanjut hingga tepi incisal gigi mandibular melewati tepi incisal gigi maksila (Gbr 4-
13). Pada titik mandibular bergerak dalam arah superior hingga gigi posterior berkontak
(Gbr 4-14). Permukan oklusal dari gigi posterior kemudian menuntun disana jalan utama
ke gerakan protrusive maksimum, yang mana bergabung dengan posisi paling superior
dari gerakan batas membuka anterior (Gbr 4-15).

Gbr 4-11

Kekuatan diterapkan pada gigi ketika condylesare dalam hubungan sentris (RS) akan
membuat pergeseran superoanterior dari posisi intercusp mandibula (PIC).

Gbr. 4-12
Sebagai mandibular bergerak kedepan, kontakdari tepi incisal dari tepi gigi anterior
mandibular dengan permukaan lingual dari gigi anterior maksila tercipta suatu
gerakan inferior.

Ketika seseorang tidak mempunyai diskrepansi antara RS dan intercusp maksimum,


gambaran dari kontak gerakan batas superior dirubah. Dari RS tidak ada luncuran
superior ke PIC. Permulaan gerakan protrusive dengan segera melibatkan gigi anterior
dan mandibula bergerak secara inferior, seperti yang terdeteksi oleh anatomi lingual dari
gigi anterior maksila (Gbr. 4-16)

Gbr. 4-13 Gerakan horizontal mandibular seperti tepi incisal dari gigi maksila dan
mandibular saling menyilang.

4.1.4.4 Gerakan Fungsional

Gbr 4-14 Gerakan terus berlanjut dari mandibular hasil gerakan superior sebagai gigi
anterior melewati posisi end-to-end, hasil kontak gigi posterior.
Gerakan fungsional terjadi selama aktivitas fungsional mandibular. Mereka biasanya
mengambil tempat dalam gerakan batas dan demikian khususnya mulai pada dan
dibawah PIC. Ketika mandibular dalam posisi istirahat, itu ditemukan ditempatkan tepat
2 sampai 4 mm dibawah PIC. Posisi ini telah disebut posisi istirahat klinikal. Beberapa
studi menyarankan bahwa itu cukup bervariasi. Itu juga telah ditentukan bahwa ini juga
disebut posisi istirahat tidak posisi pada saat otot memunyai jumlah paling sedikit dari
aktivitaselektromyographic. Otot pengunyahan rupanya pada level terendah dari aktivitas
ketika mandibular diposisikan tepay 8 mm inferior dan 3 mm anterior ke PIC.

Gbr. 4-15

Gerakan terus berlanjut ditentukan oleh permukaan gigi posterior hingga gerakan
protrusive maksimum, sebagai penetapan oleh ligament, dicapai. Posisi maksimum
sendi terus titik paling superior dari batas gerak membuka anterior.

Gbr. 4-16

Kontak gerakan batas superior ketika kondilus dalam posisi relasi sentrik (RS)
adalah sama seperti posisi intercusp (PIC) gigi.
Pada titik kekuatan dari gravitasi mendorong mandibular turun adalah ekuilibrium
dengan elastisitas dan ketahanan untuk merentangkan dari otot elevator dan jaringan
lunak pendukung mandibula lainnya. Demikian posisi ini adalah gambaran terbaik
sebagai posisi istirahat klinikal. Dalan tekanan interartikular dari sendi menjadi rendah
dan dislokasi didekati. Karena fungsi tidak dapat secara siap terjadi dari posisi, reflex
myotatic, yang meniadakan kekuatan dari gravitasi dan mempertahankan rahang dalam
posisi siap lebih fungsional 2 sampai 4 mm di bawah ICP, di aktifkan. Dalam posisi ini
gigi dapat dengan cepat dan efektif dibawa bersama untuk fungsi segera. Peningkatan
level dari aktivitas otot electromyographic pada posisi ini mengindikasikan reflex
myotatic. Karena ini tidak benar posisi istirahat, posisi dalam yang mana mandibular
dipertahankan lebih tepat disebut posisi postural. Jika tekanan mengunyah diperiksa di
bidang sagittal, gerakan akan terlihat untuk memulai di PIC dan jatuh ke bawah dan
sedikit ke depan ke posisi pembukaan yang diinginkan (Gbr. 4-18). Itu kemudian kembali
dalam suatu jalan yang lebih lurus untuk gerakan membuka (seperti yang digambarkan
pada Bab.2).

Gbr. 4-17 Mandibula dalam posisi postural (PP) diletakkan 2 sampai 4 mm dibawah
posisi intercusp (PIC).
Gbr. 4-18 Pukulan mengunyah dengan gerakan batas dalam bidang sagittal. RS, relasi
sentrik; PIC, posisi intercusp.

4.1.4.4.1 Efek Postural dalam Gerakan Fungsional


Ketika kepala diposisikan tegak dan keatas, posisi postural dari mandibular ditempatkan
2-4 mm dibawah PIC. Jika otot elevator menutup, mandibular akan di elevasikan secara
langsung kedalam PIC. Bagaimanapun, jika wajah diarahkan tepat 45 derajat keatas,
posisi postural dari mandibular akan dirubah ke posisi retrusi ringan. Perubahan ini
adalah hubungan untuk merentangkan dan mengelongasi dari beragam jaringan yang
dilekatkan dan mendukung rahang. Jika otot elevator menutup dengan kepala pada posisi
ini, untuk jalan menutup akan secafa ringan posterior ke jalan menutup dalam posisi
tegak lurus. Kontak gigi demikian akan terjadi posterior ke PIC (Gbr 4-19). Karena posisi
gigi biasanya tidak stabil dapat terjadi luncuran, perpindahan mandibular ke intercip
maksimum.

Telah dinyatakan bahwa posisi kepala normal selama makan adalah dengan wajah
diarahkan kebawah 30 derajat. Ini disebut sebagai alert feeding position. Di dalamnya
pergeseran mandibula sedikit anterior tegak lurus posisi. Jika otot elevator kontrak
dengan kepala dalam posisi ini, jalan penutupan akan sedikit anterior yang dalam posisi
tegak. Kontak gigi demikian akan terjadi anterior ke PIC maksimal. Seperti perubahan
pada penutupan menyebabkan kontak berat gigi anterior. Posisi alert feeding bisa
menjadi signifikan dalam mengingat hubungan fungsional gigi.

Gbr. 4-19 TEKANAN PENUTUPAN AKHIR HUBUNGAN DENGNA POSISI


KEPALA.A,

Degan kepala tegak lurus gigi dintingkatkan secara langsung kedalam intercusp
maksimum dari posisi postural. B, dengan kepala mengangkat 45 derajat, posisi postural
dari mandibular menjadi lebih posterior. Ketika gigi dioklusikan, kontak gigi terjadi
posterior ke posisi intercusp (PIC).C, dengan sudut kepala 30 derajat (alert feeding
position), posisi postural dari mandibular menjadi lebih anterior. Ketika gigi beroklusi,
kontak gigi terjadi anterior ke intercusp maksimum. RS, relasi sentrik. 45 derajat ekstensi
kepala adalah juga posisi signifikan karena ini sering postur kepala diasumsikan selama
sedang minum. Dalam postru mandibular dipertahankan lebih posterior ke maksimum
intercusp.

4.1.5 BATAS BIDANG HORIZONTAL DAN GERAKAN FUNGSIONAL


Secara tradisional suatu perangkat sebagai Gothic arch tracer telah digunakan untuk
merekam gerakan mandibular dalam bidang horizontal. Ini terdiri dari piring rekaman
melekat pada gigi maksila dan piring rekaman melekat pada gigi mandibula (Gambar 4-
20). Sebagai bergerak mandibula, stylus menghasilkan garis pada rekaman yang
bertepatan dengan gerakan ini. Gerakan batas dari mandibula pada bidang horisontal
sehingga dapat dengan mudah dicatat dan diperiksa. Ketika gerakan mandibular dilihat
dalam bidang horizontal, pola bentuk jajaran genjang dapat dilihat mempunyai empat
perbedaan komponen gerakan (gbr. 4-21) tambah komponen fungsional:
1. Batas lateral kiri
2. Lanjutan batas lateral kiri dengan protrusi
3. Batas lateral kanan
4. Lanjutan batas lateral kanan dengan protrusi

4.1.5.1 Gerakan batas Lateral Kiri


Gbr. 4-20

Gothic arch tracer digunakan untuk merekam gerakan batas mandibular dalam bidang
horizontal. Sebagai mandibular bergerak, stylus melekat pada gigi mandibular
menghasilkan jalur di meja perekaman menempel pada gigi maksila.

Gbr. 4-21 Batas gerkan mandibular dalam bidang horizontal. 1, lateral kiri; 2, lateral kiri
dengan protrusi; 3, lateral kanan; 4, RE, relasi sentrik; PIC, posisi intercusp.
Dengan kondilus dalam posisi RS, lpmtraksi dari pterygoid lateral inferior kanan akan
menyebabkan kondilus kanan untuk bergerak secara anterior dan medial (juga inferior).
Jika pterygoid lateral inferior kiri menetap relaksasi, kondilus kiri akan tinggal situasi
dalam RS dan hasilnya akan menjadi gerakan batas lateral (contoh, kondilus kanan
mengorbit pada sumbu frontal dari kondilus kiri). Kondilus kiri demikian disebut
kondilus berotasi karena mandibular berotasi disekitarnya. Kondilus kanan disebut
kondius mengorbit karena mengorbit disekitar kondilus berotasi. Kondilus kiri juga
disebut kondilus kerja karena pada sisi kerja. Juga, kondilus kanan disebut kondilus tidak
bekerja karena itu diletakkan pada sisi tidak bekerja. Selama gerakan ini stylus akan
menghasilkan garis pada rekaman piring yang bertepatan dengan gerakan batas kiri
(Gambar 4-22).

Gbr. 4-22 Gerakan batas kiri lateral dicatat dalam bidang horizontal

4.1.5.2 Lanjutan Gerakan Batas Lateral Kiri dengan Protrusi


Dengan mandibular dalam posisi batas lateral kiri. Kontraksi dari otot pterygoid lateral
inferior kiri sepanjang dengan kontraksi berlanjut dari otot pterygoid lateral kanan
inferior akan mengakibatkan kondilus kiri untuk bergerak secara anterior dan untuk
bergerak ke kanan. Karena kondilus kanan siap pada posisi maksimum anterior, gerakan
dari kondilus kiri ke posisi anterior maksimumnya, gerakan dari kondilus ke posisi
maksimum anteriornya akan mengakibatkan suatu pergeserandalam garis tengah
belakang mandibular bertepatan dengan garis tengah wajah (Gbr 4-23).
4.1.5.3 Gerakan Batas Lateral Kanan
Satu dari gerakan batas kiri sudah direkam pada jiplakann, mandibular dikembalikan ke
RS dan gerakan batas lateral kanan direkam.

Gbr 4-23 Lanjutan gerakan batas lateral kiri dengan protrusi direkam pada bidang
horizontal

Kontrak dari otot pterygoid lateral inferior kiri akan menyebabkan kondilus kiri bergerak
secara anterior dan medial (juga inferior). Jika otot pterygoid lateral inferior kanan
menetap relaksasi, kondilus kanan akan tinggal dalam situasi posisi RS. Hasilnya gerakan
mandibular akan menjadi batas lateral kanan (contoh; kondilus kiri mengorbit pada
sumbu frontal dari kondilus kanan). Kondilus kanan dalam gerakan ini disebut kondilus
berotasi karena mandibular sedang berotasi disekitarnya. Kondilus kiri selama gerakan
ini disebut kondilus mengorbit karena mengorbit disekitar kondilus berotasi. Selama
gerakan ini stylus akan menghasilkan garis pada rekaman piring yang bertepatan dengan
gerakan batas lateral kanan (Gambar 4-24).

Gbr. 4-24 Gerakan batas lateral kanan dicatat


4.1.5.3 Lanjutan Gerakan Batas Lateral Kanan dengan Protrusi
Dengan mandibular dalam posisi batas, kontraksi dari otot pterygoit lateral inferior kanan
sepanjang dengan lanjutan kontraksi dari pterygoid lateral inferior akan mengakibatkan
kondilus kanan bergerak secara anterior dan kekiri. Karena kondilus kiri siap pada posisi
anterior maksimumnya, gerakan dari kondilus kanan ke posisi anterior maksimumnya,
gerakan dari kondilus kanan ke posisi anterior maksimumnya akan menyebabkan
bergeser kebelakang garis tengah mandibular ke bertapatan dengan garis tengah wajah
(Gbr. 4-25). Batas gerakan kompleks dari mandibular dalam bidang horizontal. Gerakan
menyeluruh dengan masing-masing bertambahnya derajat dari membuka akan
menghasilkan lebih kecil berturut-turut menjiplak sampai, pada posisi maksimal terbuka,
gerakan lateral sedikit atau tidak dapat dibuat (Gbr. 4-26)

4.1.5.5 Gerakan Fungsional


Sebagai dalam bidang sagittal, gerakan fungsional dalam bidang horizontal paling sering
terjadi dekat PIC. Selama mengunyah jarak dari gerakan rahang mulai beberapa jarak
dari PIC maksimum, tetapi seperti makanan dirusak menjadi ukuran partikel lebih kecil,
aksi rahang bergerak lebeh dekat dan lebih dekat dengan PIC. Posisi tepat dari
mandibular selama mengunyah ditentukan oleh keberadaan konfigurasi oklusal (Gbr. 4-
27).

Gbr.4-25 Lanjutan gerakan batas lateral kanan dengan protrusi dicatat dalam bidang
horisontal
Gbr. 4-26 BATAS GERAKAN MANDIBULA DALAM BIDANG HORISONTAL
DICATAT PADA BERAGAM DERAJAT DARI MEMBUKA

Catat mulut lebih dekat bersama saat mulut dibuka

Gbr. 4-27

Jarak fungsional dalam gerakan batas horizontal. RS, relasi sentrik; EC, area
digunakan dalam tahap cepat dari pengunyahan; EEP, end-to-end position dari
gigi anterior; PIC, posisi intercusp; LC, area digunakan dalam tahap nanti dari
mastikasi hanya sebelum menelan terjadi.
Gbr. 4-28

Batas gerakan mandibular dalam bidang frontal. 1, lateral superior kiri;2, lateral
kiri membuka; 3,lateral superior kanan; 4, lateral kanan membuka; PIC posisi
intercusp;pp posisi postural.

4.1.6 BATAS FRONTAL (VERTIKAL) DAN GERAKAN FUNGSIONAL


Ketika gerakan mandibular dilihat dalam bidang frontal, suatu pola bentuk peridai dapat
dilihat mempunyai empat komponen gerakan berbeda (Gbr. 4-28) sepanjang dengan
komponen fungsional:
1. Batas lateral superior kiri
2. Batas membuka lateral kiri
3. Batas lateral superior kanan
4. Batas membuka lateral kanan
Meskipun batas gerakan mandibular dalam bidang frontal belum terlihat secara
tradisional “ditelusuri” suatu pengertian dari mereka berguna dalam visualisasi aktivitas
mandibular tiga dimensi.
4.1.6.1 Gerakan Batas Lateral Superior Kiri
Dengan mandibular dalam intercusp maksimum, suatu gerakan lateral dibuat ke kiri.
Suatu alat perekam akan membuka suatu jalan cekung secara inferior dihasilkan (gbr.4-
29).Jalan teoat alami secara utama ditentukan oleh morfologi dan hubungan antar
lengkung dari gigi maksila dan mandibular yang dalam hubungan selama pergerakan.
Pengaruh sekunder dari hubungan dan morfologi fossa diskularis kondilus dari sisi TMJ
yang bekerja atau berotasi. Cakupan maksimum lateral dari gerakan ini ditentukan oleh
ligament dan sendi yang berotasi.

4.1.6.2 Gerakan Batas Lateral Kiri Membuka


Dari posisi batas maksimum lateral superior kiri, suatu gerakan membuka dari
mandibular menghasilkan bagian cekung secara lateral. Membuka maksimum didekati,
ligament mengencang dan menghasilkan gerakan langsung secara medial yang
menyebaban perubahan belakang dalam garis tengah mandibular bertepatan dengan garis
tengah wajah (Gbr. 4-30).

Gbr. 4-29

Gerakan batas lateral superior kiri tercatat dalam bidang frontal.


Gbr. 4-30

Batas gerakan membuka lateral kiri tercatat dalam bidang frontal.

4.1.6.3 Gerakan Batas Lateral Superior Kanan


Sekali batas gerakan frontal kiri dicatat, mandibular diputar ke intercusp posisition. Dari
posisi ini suatu gerakan lateral dibuat ke kanan (Gbr. 4-31) yang mirip ke batas gerakan
lateral kanan. Sedikit gerakan mungkin terjadi karena perbedaan kontak gigi yang
terlibat.
Gbr.4-31

Batas gerakan lateral superior kanan tercatat dalam bidang frontal

Gbr. 4-32

Batas gerakan membuka lateral kanan tercatat dalam bidang frontal


4.1.6.4 Batas Gerakan Membuka Lateral Kanan
Dari batas posisi maksimum lateral kanan, suatu gerakan membuka dari mandibular
menghasilkan jalan cekung secara lateral mirip bahwa dari gerakan membuka kiri.
Sebagai membuka maksimum didekati, liganmen mengencang dab menghasilkan gerakan
langsung secara medial yang menyebabkan perubahan belakang dalam garis tengah
mandibular bertepatan dengan garis tengah wajah ke akhir gerakan kiri membuka (Gbr3.
4-32).

4.1.6.5 Gerakan Fungsional


Seperti dalam bidang lain, gerakan fungsional dalam bidang frontal mulai dan berakhir
pada PIC. Selama mengunyah, mandibular jatuh secara langsung secara inferior hingga
membuka yang diinginkan dicapai. Itu kemudian berubah ke sisi yang mana bolus
ditempatkan dan di angkat ke atas. Itu mendekati intercusp maksimum, bolus
dihancurkan antara gigi yang berlawanan. Pada milimeter terakhir
daripenutupann ,mandibular dengan cepat berubah kembali ke PIC (Gbr. 4-33).

4.2 GERAK ENVELOPE


Dengan mengkombinasikan gerakan batas mandibular dalam tiga bidang (sagittal,
horisintal dan frontal), tifa dimensi gerak envelope dapat dihasilkan (Gbr 4-34) yang
mewakili jarak amksimum dari gerakan dari mandibular. Meskipun envelope mempunyai
karateristik bentuk, perbedaan akan ditemukan dari orang ke orang. Permukaan superior
dari envelope ditentukan oleh kontak gigi, sedangkan batas yang lain ditentukan secara
utama oleh anatomi ligament dan sendi yang membatasi atai gerakan terbatas.
Gbr. 4-33

Gerakan fungsional dalam batas gerakan mandibular dicata dalam bidang


frontal.PIC, posisi intercusp

4.2.1 GERAKAN TIGA DIMENSI


Untuk mendemonstrasikan kompleksitas dari gerakan mandibular, tampaknya kunjungan
lateral kanan sederhana akan digunakan. Seperti otot mulai berkontraksi dan
menggerakkan mandibula ke kanan, kondilus kiri didorong keluar dari posisi RS nya.
Sebagai kondilus kiri anterior mengorbit disekitar sumbu frontal kondilus kanan, dia
menemui lereng posterior dari eminensia artikularis, yang menyebabkan gerakan inferior
kondilus di sekitar sumbu sagital dengan memiringkan resultan sumbu frontal.
Tambahan, kontak gigi anterior menghasilkan gerakan inferior ringan dalam bagian
anterior dari mandibular daripada bagian posterior, yang mana hasilnya dalam gerakan
membuka disekitar sumbu horizontal. Karena kondilus kiri bergerak secara anterior dan
inferior, sumbu horizontal berubah mengubah secara anterior dan inferior.
Gbr. 4-3

Model dari gerak envelope

Contoh ilustrasi selama gerakan lateral sederhana, gerakan terjadi disekitar sumbu
masing-masing (sagittal, horizontal, dan vertical), dan secara simultan masing-masing
aksis memiringkan untuk menampung gerakang yang terjadi disekitar sumbu lain. Semua
ini terjadi dalam gerakan envelope dan rumit dikontrol oleh sistem neuromuskular untuk
menghindari cedera pada struktur mulut.

4.3 Suggested Readings


Pietro AJ: Concepts of occlusion. A system based on rotational centers of the mandible,
Dent
Clin North Am 607-620, 1963.
Posselt U: The physiology of occlusion and rehabilitation, ed 2, Philadelphia, 1968, FA
Davis.

4.4 References
1. Dorland's illustrated medical dictionary, ed 30, Philadelphia, 2003, Saunders, p 1643.
2. Lindauer SJ, Sabol G, Isaacaso RJ, Davidovitch M: Condylar movement and
mandibular rotation during jaw opening, Am J Orthod Dentofacial Orthop 107:573-
577, 1995.
3. Posselt U: Movement areas of the mandible, J Prosthet Dent 7:375-385, 1957.
4. Garnick J, Ramfjord SP: An electromyographic and clinical investigation, J Prosthet
Dent 12:895-911, 1962.
5. Schweitzer JM: Oral rehabilitation, St Louis, 1951, Mosby, pp 514-518.
6. Atwood DA: A critique of research of the rest position of the mandible, J Prosthet
Dent 16:848-854, 1966.
7. Rugh JD, Drago CJ: Vertical dimension: a study of clinical rest position and jaw
muscle activity, J Prosthet Dent 45:670-675, 1981.
8. Du Brul EL: Sicher's oral anatomy, St Louis, 1980, Mosby.
9. Mohl ND: Head posture and its role in occlusion, NY State Dent J 42:17-23, 1976.
BAB 6 Faktor Bentuk Oklusal

“ Perkembangan gigi yang sukses memungkinkan fungsi mastikasi yg efisien adalah


dasar kelangsungan ilmu kedokteran gigi”

Di dalam anatomi oklusal gigi berfungsi selaras dengan struktur yg mengendalikan pola
pergerakan mandibula. Struktur yang menentukan pola ini adalah temporomandibular joint
( TMJs) dan gigi anterior. Selama pergerakan yang khas ini hubungan anatomi dari kombinasi
struktur ini menentukan arah yg tepat dan berulang. Untuk memelihara keselarasan kondisi
oklusal, gigi posterior harus tertutup tetapi tidak kontak dengan gigi lawannya selama pergerakan
mandibula. Sangat penting, clinician perlu menguji struktur ini masing-masing secara hati-hati
dan menyadari bagaimana setiap bentuk anatomi dapat menentukan perlunya bentuk oklusal
untuk mencapai suatu hubungan oklusal yang optimum. Struktur yang mengendalikan
pergerakan mandibula dibagi menjadi dua jenis: (1). Yang mempengaruhi pergerakan bagian
posterior mandibula (2). Yang mempengaruhi pergerakan bagian anterior mandibula. TMJs
memperhatikan factor pengendalian poserior ( PCFs), dan gigi anterior memperhatikan faktor
pengendalian anterior ( ACFs). Posisi gigi posterior berada diantara dua faktor pengendali ini
dan dapat diperpengaruhi oleh kedua-duanya dengan berbagai tingkatan.

6.1 FAKTOR PENGENDALIAN POSTERIOR ( PETUNJUK UNTUK CONDYL )


Seperti condyle yang bergerak keluar pada posisi relasi sentris, itu turun sepanjang articular
eminence dari fossa mandibula. Tingkat di mana pergerakan ke bawah seperti pada saat
mandibula sedang ditonjolkan ke depan tergantung pada kecuraman dari articular eminence.
Jika permukaan sangat curam, condyle akan melewati suatu alur curam, dengan arah vertikal.
Jika itu berlebihan, condyle akan mengambil suatu alur yang kurang vertical. Sudut pergerakan
condyle dari suatu acuan dataran horisontal disebut condylar guidance plane.

Biasanya, petunjuk sudut condylar (condylar guidance plane) dihasilkan oleh lintasan rotasi
condyle ketika mandibula bergerak ke lateral lebih besar dari ketika mandibula bergerak secara
protrusi kedepan. Ini disebabkan dinding tengah yang di tengah-tengah
fossa mandibular biasanya lebih curam dibanding articular eminence dari fossa yang secara
langsung di depan dari condyle.

Kedua TMJs memberikan petunjuk pada bagian posterior mandibula dan sebagian besar
menentukan karakter pergerakan mandibular bagian posterior. Hal itu dikenal sebagai PCFs
dari mandibular movement. Petunjuk condyl dipertimbangkan factor tetap karna hal itu tidak
berubah pada kesehatan pasien. Hal itu dapat berubah pada kondisi tertentu (trauma,pathosis
dan proedur bedah).

6.2 PENGENDALIAN FAKTOR ANTERIOR ( PETUNJUK ANTERIOR)


Sama halnya TMJs menentukan atau mengendalikan pergerakan bagian posterior dari
mandibula, sehingga gigi anterior menentukan bagaimana bagian anterior bergerak. Seperti pada
waktu mandibula bergerak kedepan atau protrusi atau bergerakan ke lateral, tepi incisal gigi
rahang bawah beroklusi dengan permukaan lingual dari gigi anterir rahang atas. Kecuraman dari
permukaan lingual ini menentukan jumlah pergerakan vertical dari mandibula. Jika permukaan
sangat curam, aspek anterior dari mandibula akan mengambil suatu alur kemiringan yang
tajam atau steep-incline. Jika gigi anterior mempunyai sedikit overlap vertikal, mereka akan
sedikit memberikan petunjuk vertikal selama pergerakan mandibula.

Petunjuk anterior dianggap sebagai suatu variabel daripada suatu faktor yang menentukan. Itu
dapat diubah oleh dental prosedur seperti restorasi, orthodontia, dan extraksi. [Itu] dapat juga
diubah oleh kondisi pathologis seperti karies, kebiasaan dan gigi aus.

6. 3 PEMAHAMAN FAKTOR PENGENDALIAN


Untuk memahami pengaruh pergerakan mandibula pada bentuk oklusal gigi posterior, harus
mempertimbangkan faktor yang mempengaruhi pergerakan mandibular. Seperti yang dibahas
pada Bab 4, pergerakan mandibula ditentukan oleh karakteristik anatomi kedua TMJs bagian
posterior dan bagian depan gigi anterior. Variasi dalam bentuk anatomi TMJs dan gigi anterior
dapat menjadi petunjuk ke arah perubahan pola pergerakan mandibuka. Jika kriteria fungsi
maksimum oklusi terpenuhi, karakteristik bentuk tiap gigi posterior harus selaras dengan gigi
lawanannya atau selama semua pergerakan eksentrik mandibula. Oleh karena itu bentuk gigiyg
baik dipengaruhi oleh alur yg bersilangan gigi lawannya.

Hubungan gigi posterior kepada faktor pengendalian mempengaruhi ketepatan pergerakan gigi.
Ini menunjukkan kedekatan gigi dengan TMJ, hubungan anatomi yang lebih akan mempengaruhi
pergerakan eksentris dan semakin sedikit hubungan anatomi dari gigi di anterior mempengaruhi
pergerakannya. Demikian juga, yang lebih dekat pada gigi anterior, anatomi yang lebih dari
gigi anterior akan mempengaruhi pergerakannya dan semakin sedikit anatomi dari TMJs akan
mempengaruhi pergerakan itu.
Permukaan oklusal gigi posterior terdiri dari suatu rangkaian cups dengan kedua dimensi
horisontal dan vertical. Cups terdiri dari ridge yg cembung yang berbeda-beda di dalam
kecuraman ( dimensi vertikal) dan arah ( dimensi horisontal).

Pergerakan mandibula mempunyai dua komponen yaitu vertikal dan horisontal, dan hubungan
antara komponen ini atau perbandingannya sangat penting di dalam studi pergarakan
mandibular.
Komponen vertikal berfungsi pergerakan superioinferior pergerakan, dan komponen horisontal
berfungsi untuk pergerakan anteroposterior. Jika pergerakan condyle bergerak ke bawah dua unit
sama dengan bergerak kedepan dua unit, itu bergerak ke arah bidang acuan horisontal dengan
sudut 45 derajat. Jika itu bergerak ke bawah dua unit dan ke depan satu unit, itu bergerak dari
bidang ini pada sudut kira-kira 64 derajat. Sudut penyimpangan dari bidang acuan horisontal
adalah apa yang dipelajari clinicians pada pergerakan mandibular.

Gambar. 6-1 menyajikan mandibula yang bergerak empat unit di dalam bidang horisontal dan nol
unit di dalam bidang vertikal, menghasilkan suatu penyimpang horisontal untuk 0 derajat.
Gambar 6-2 menunjukkan pergerakan mandibula empat unit pada bidang horisontal dan empat
unit pada bidang vertikal. Hasil di sini adalah penyimpangan arah penyimpangan dari horisontal
45 derajat.

Di dalam gambar 6-3 pergerakan mandibula empat unit pada bidan horisontal, tetapi di dalam
bidang vertical PCF bergerak empat unit dan ACF bergerak enam unit. Ini mengakibatkan
pergerakan 45 derajat dari PCF 57 derajat. Nilai antara faktor akan menyimpang oleh perbedaan
jumlah dari bidang horisontal tergantung pada kedekatan pada masing-masing faktor. Kedekatan
suatu nilai PCF, sebagai contoh, pergerakan yang akan mendekati 45 derajat (karena semakin
besar pengaruh pergerakan PCF nya). Demikian juga, kedekatan nilai dari ACF,akan bergerak
mendekati 57 derajat ( karena semakin besar pengaruh kedepan pada waktu yang sama
pergerakan ACF). Sebuah nilai pada factor akan bergerak dari horizontal pada sudut sekitar 51
derajat ( yang mana merupakan pertengahan antara 45 dan 57 derajat), dan 25% penutup ACF
dibanding PCF akan bergerak horisontal pada sudut
54 derajat ( seperempat dari jalan antara 57 dan 45 derajat).
Gambar 6-1
Acuan bidang horizontal ( HRP) dari mandibula pada kedua factor pengendalian bagian posterior
( PCF) dan anterior ( ACF). Mandibula bergerak secara horisontal empat unit dari suatu posisi
yang ditandai dengan garis putus-putus. Tidak terjadi pergerakan vertikal. Garis tebal menyajikan
posisi dari mandibula setelah pergerakan berlangsung.

Gambar 6-2
Pergerkan mandibula empat unit secara horisontal dan empat unit secara vertikal pada kedua
factor pengendali pada bagian posterior ( PCF) dan anterior ( ACF). Ketika mandibula bergerak
empat unit ke bawah, bergerak empat unit karena kedua-duanya PCFs dan ACFs
menyebabkan mandibula bergerak pada sudut 45 derajat dari bidang acuan horisontal pada
akhir penyimpangan mandibula.

Untuk menilai pengaruh segala variasi anatomi pada pola pergerakan mandibula, diperlukan
untuk mengendalikan semua faktor kecuali yang sedang diuji. Mengingat pentingnya dari bagian
anterior dan keberadaan petunjuk condyl berada di dalam hal bagaimana mempengaruh bentuk
gigi posterior. Sebab
permukaan oklusal dapat dipengaruhi di dalam dua cara ( lebar dan tinggi), adalah logis untuk
memisahkan pengaruh struktural pergerakan mandibular ke dalam faktor yang mempengaruhi
komponen vertikal dan komponen horisontal. Anatomi dari permukaan oklusal juga
dipengaruhi oleh hubungannya dengan gigi yang berseberangan selama pergerakan. Oleh
karena itu lokasi gigi pada pusat rotasi juga dibahas.

Gambar 6-3 HASIL PERGERAKAN MANDIBULA KETIKA FAKTOR PENGENDALI TIDAK SAMA.
Faktor pengendali posterior ( PCF) menyebabkan bagian posterior dari mandibula bergerak
empat unit ke depan ( secara horisontal) dan empat unit ke bawah ( secara vertikal).
Bagaimanapun, factor pengendali anterior ( ACF) menyebabkan bagian anterior mandibula
bergerak empat unit ke depan dan enam unit ke bawah. Oleh karena itu bagian posterior
mandibula bergerak menjauh dari bidang acuan pada sudut 45 derajat, dan bagian anterior
bergerak menjauh pada sudut pada sudut 57 derajat. Titik ( x) mempunyai jarak yang sama dari
factor pengendali akan bergerak pada sudut 51 derajat dari bidang acuan. Titik yang lain ( y) itu
adalah seperempat penutup pada ACF dibanding pada PCF akan bergerak pada sudut 54
derajat. Itu dapat dilihat lebih dekat pada titik factor pengendali , jumlah pergerakannya
dipengaruhi oleh factor tersebut.

6.4 PENENTU VERTIKAL DARI BENTUK OKLUSAL


Faktor yang mempengaruhi tinggi cusp dan kedalaman fossa menjadi faktor penentu bidang
vertikal dari bentuk oklusal. Panjang dari cusp dan jarak itu meluas pada kedalaman fossa yang
berlawanan ditentukan oleh tiga faktor:
1. ACF dari pergerakan mandibular ( yaitu petunjuk anterior)
2. PCF dari pergerakan mandibular ( yaitu petunjuk condyl)
3. Kedekatan dari cusp pada factor pengendali
Cups sentris posterior biasanya berkembang kelainan oklusi selama pergerakan eksentris
mandibula tetapi kontak di dalam posisi intercuspal. Unuk terjadi hal ini, harus cukup panjang
kontak pada posisi
Intercuspal tetapi tidak sepanjang kontak selama pergerakan eksentrik.
6.4.1 EFEK DARI PETUNJUK CONDYL ( SUDUT EMINENCE) PADA KETINGGIAN CUSP
Seperti mandibula yg protrusi, condyle turun sepanjang articular eminence. Penurunannya di
dalam
hubungan acuan bidang horisontal ditentukan oleh kecuraman dari eminence. Eminence yang
lebih curam,condyl semakin bergerak ke bawah sama dengan pergeserannya kedepan. Ini
mengakibatkan pergerakan vertikal yang lebih besar dari condyle, mandibula, dan gigi rahang
bawah.

Pada gambar 6-4 pergerakan condyle dari bidang acuan horisontal pada sudut 45 derajat. Untuk
menyederhanakan visualisasi, petunjuk anterior digambarkan pada sudut yang sama. Ujung cusp
premolar akan bergerak pada acuan bidang pada sudut 45 derajat. Untuk menghindari kontak
eksentrik
antara premolar A dan premolar B pada pergerakan protrusi, inklinasi cusp kurang dari 45
derajat.

Pada gambar 6-5, petunjuk condyl dan petunjuk anterior disajikan bidang acuan horizontal pada
sudut 60 derajat. Dengan faktor penentu kecuraman bidang vertikal, premolar A akan bergerak
dari premolar B pada sudut 60derajat, akibatnya cups lebih panjang. Oleh karena itu sudut
kecuraman dari eminence ( petunjuk condyl) menyebabkan kecuraman cups posterior.

6.4.2 EFEK DARI PETUNJUK ANTERIOR PADA KETINGGIAN CUSP


Petunjuk anterior adalah hubungan fungsi antara maxilla dan gigi anterior mandibula.Seperti
disajikan pada Bab 3, yang berisi overlap gigi anterior pada bidang vertical dan horizontal.
Untuk menggambarkan pengaruh pergerakan mandibular dan oleh bentuk oklusal gigi posterior,
beberapa kombinasi darri overlap vertical dan horizontal diperlihatkankan dalam gambar 6-6.
Gambar 6-4

A. Faktor pengendalian posterior dan anterior adalah serupa dan menyebabkan pergerakan
mandibula dari bidang acuan pada sudut 34 derajat. B. Untuk premolar A terjadi kelainan oklusi
dengan premolar B selama pergerakan protrusi, kemiringan cusp harus kurang dari 45 derajat.

Komponen A, B, dan C menyajikan hubungan anterior pada pemeliharaan keseimbangan jumlah


overlap vertikal. Oleh perubahan perbandingan overlap horisontal, seseorang dapat melihat
peningkatan overlap horisontal, dan penurunan sudut petunjuk anterior.
Komponen D, E, dan F menyajikan hubungan anterior pada pemeliharaan keseimbangan jumlah
overlap tetapi jenis-jenis dari jumlah overap vertikal. Oleh perubahan perbandingan, seseorang
dapat melihat seperti peningkatan overlap vertikal, dan peningkatan sudut petunjuk anterior.

Sebab pergerakan mandibular ditentukan oleh besarnya perluasan oleh petunjuk anterior,
perubahan dalam overlap vertical dan horizontal dari gigi anterior menyebabkan perubahan pola
pergerakan vertical.
Peningkatan dalam overlap horisontal mengarahkan pada penurunan sudut petunjuk anterior,
berkurangnya komponen vertical pada pergerakan mandibula, dan cusp cusp posterior lebih
datar. Peningkatan dalam overlap vertikal menghasilkan peningkatan sudut petunjuk
anterior,banyak komponen vertical pada pergerakan mandibula, kecuraman cusp posterior.

Gambar 6-5

A, Faktor kendali posterior dan anterior adalah sama dan menyebabkan pergerakan
mandibuladari bidang acuan pada sudut 60 derajat. B,Pemolar A terjadi kelainan oklusi dari
premolar B selama pergerakan protrusi, kemiringan cusp harus kurang dari 60 derajat. Itu dapat
dilihat kecuraman factor kendali posterior dan anterior yang menyebabkan cups posterior lebih
curam.

6.4.3 EFEK DARI DATARAN OKLUSAL PADA KETINGGIAN


Dataran oklusi adalah suatu garis khayal yang menyentuh incisal edge dari gigi anterior rahang
atas dan gigi posterior rahang atas. Hubungan dari datarn terhadap sudut
eminencememmpengaruhi kurangnya ecuraman dari cups. Ketika pergerakan gigi rahang bawah
dilihat dalam hubungan pada dataran oklusi agak terlihat daripada hubungan pada dataran
petunjuk horizontal, pengaruh dari dataran oklusi dapat dilihat.

Pada gambar 6-7, petunjuk condyl dan petunjuk anterior dikombinasikan untuk menghasilkan
sudut 45 derajat pada pergerakan gigi rahang bawah dibandingkan dengan dataran petunjuk
horizontal. Bagaimanapun, ketika pergerakan 45 derajat dibandingkan dengan suatu dataran
oklusi ( POA), itu dapat dilihat bahwa gigi bergerak pada dataran hanya pada sudut 25 derajat,
yang mengakibatkan dibutuhkannya cups posterior yang lebih datar. Ketika pergerakan gigi
yang dibandingkan dengan dataran oklusi ( POB), itu dapat dilihat dari dataran ini adalah 60
derajat. Oleh karena itu gigi posterior dapat mempunyai cusp yang lebih panjang, dan sudah
menentukan dataran oklusal menjadi lebih hampir paralel kepada sudut dari eminence cups
posterior harus dibuat menjadi lebih pendek.

Gambar 6-6

Sudut petunjuk anterior diubah oleh variasi overlap vertikal dan horisontal. Pada A ke C adalah
variasi overlap horisontal ( HO), sedangkan overlap vertikal ( VO) tetap. Ketika HO meningkat,
sudut petunjuk anterior berkurang. Pada D ke F adalah variasi VO, sedangkan HO tetap. Pada
peningkatan VO, terjadi peningktan suu peunjuk anterior.
Gambar 6-7
A, Faktor kendali anterior dan posterior membuat pergerakan mandibula membentuk sudut 45
derajat dari dataran petunjuk horizontal. B,Pergerakan gigi pada sudut 45 derajat dari dataran
petunjuk ( HRP). Bagaimanapun, jika satu dataran oklusi ( POA) bersudut, gigi akan bergerak
dari dataran petunjuk hanya 25 derajat. Oleh karena cups harus secara relatif datar untuk terjadi
kelainan oklusi selama pergerakan protrusi. Ketika sudut di mana gigi bergerak selama
pergerakan protrusi dibandingkan dengan dataran oklusi yang lain ( POB),ada perbedaan yang
lebih besar dan jelas ( 45+ 15= 60 derajat). Ini memperhitungkan lebih tinggi dan lebih
curamnya cusp posterior.

6.4.4 EFEK KURVA SPEE PADA KETINGGIAN CUSP


Ketika dipandang dari lateral, kurva Spee adalah suatu kurva anteroposterior yang memanjang
dari ujung gigi caninus rahang bawah sampai ujung cups bukkal dari gigi posterior rahang bawah.
Kurva ini dapat digambarkan dalam istilah panjang radius dari kurva. Dengan suatu radius
pendek, kurva akan menjadi lebih lancip dibanding dengan radius yang lebih panjang ( Gambar
6-8).
Derajat tingkat lengkungan dari kurva Spee mempengaruhi tingginya cups posterior yang akan
berfungsi selaras dengan pergerakan mandibula. Di dalam gambar 6-9 mandibula bergerak dari
arah dataran acuan horisontal pada sudut 45 derajat. Pergerakan gigi posterior rahang atas
akan tergantung pada lengkungan dari kurva Spee. Dengan suatu radius pendek, sudut
pergerakan gigi rahang bawah dari gigi rahang atas akan menjadi lebih besr daripada radiu
panjang.

Orientasi dari kurva Spee, ditentukan oleh hubungan radiusnya terhadap dataran acuan
horisontal, juga akan mempengaruhi bagaimana tingginya cups dari suatu gigi posterior akan
dipengaruhi. Di dalam gambar 6-10, A, radius dari kurva membentuk sudut 90 derajat dengan
dataran acuan horizontal yang tetap. Molar ( yang terletak bagian distal dari radius) akan
mempunyai cusp yang lebih pendek, sedangkan premolar ( terletak pada bagian) akan
mempunyai cusp yang lebih panjang. Di dalam gambar 6-10, B, radius membentuk suatu sudut
60 derajat dengan dataran acuan horizontal ( kurva Spee berputar lebih ke depan). Dengan
pergerakan kurva yang lebih ke depan terhadap dataran horizontal, seseorang dapat melihat
semua semu gigi posterior ( premolar dan molar) akan mempunyai cups lebih pendek. Di dalam
gambar 6-10, C, jika garis tegak dari dataran acuan horisontal yang tetap diputar ke arah
posterior ( kurva Spee ditempatkan lebih posterior), seseorang dapat melihat gigi-gigi posterior
(terutama molar) dapat mempunyai cups yang lebih panjang.
Gambar 6-8 KURVA SPEE.

A, Radius yang lebih panjang menyebabkan dataran oklusal lebih rata. B, Radius yang lebih
pendek menyebabkan dataran oklusi lebih lancip.

Gambar 6-9
Pergerakan mandibula dari suatu dataran acuan horisontal pada sudut 45 derajat. Dataran oklusi
yang lebih rata ( A), yang semakin besar akan membentuk sudut pergerakan gigi-gigi posterior
rahang bawah dari gigi-gigi posterior rahang atas, oleh karena itu cups menjadi lebih tinggi.
Semakin lancip dataran oklusi ( B), yang lebih kecil akan membentuk sudut pada pergerakan gigi
posterior rahang bawah sehingga menjadi lebih rata.

6.4.5 EFEK DARI PENERJEMAHAN PERGERAKAN LATERAL MANDIBULA PADA


KETINGGIAN CUSP
Penerjemahan pergerakan lateral mandibular adalah sisi pemindahan badan mandibula yang
terjadi selama pergerakan ke lateral (sebelumnya disebut Bennet movement). Selama
penyimpangan pergerakan lateral pada perputaran condyl bergerak ke bawah , maju, dan dalam
fossa mandibular terletak pada sumbu kebalikan (rotasi) dari condyl. Tingkat pergerakan dalam
pada perputaran condyl ditentukan oleh dua factor : ( 1) Bentuk dinding medial dari fossa
mandibula dan ( 2) Bagian dalam horizontal pada ligamen temporomandibula ( TM), yang
melekat pada ujung lateral pada perputaran condyl. Jika ligament TM pada perputaran condyl
terjepit dan dinding medial menutup terhadap perputaran condyl, pergerakan melengkung yang
murni akan terjadi di sekitar sumbu dalam perputaran condyle. Ketika kondisi ini ada, tidak ada
penerjemahan pergerakan lateral mandibula ( dan oleh karena itu tidak ada penerjemahan
pergerakan lateral mandibula) ( Gambar 6-11). Kondisi seperti itu jarang terjadi. Paling sering
ada beberapa ligament TM yang kendur, dan dinding medial dari fossa mandibular berada
ditengah lengkungan sekitar sumbu perputaran condyl ( Gambar 6-12). Ketika ini terjadi,
perputaran condyle bergerak di dalam pada dinding medial dan menghasilkan sebuah
penerjemahan pergerakan lateral mandibula.
Gambar 6-10 ORIENTASI DARI KURVA SPEE

A, Radius yang tegaklurus pada dataran acuan horisontal. Gigi posterior terletak pada distal dari
radius akan memerlukan cups yang lebih pendek dibanding terletak pada mesial dari radius. B,
Jika datran oklusi berputar lbih posterior, ini dapat dilihat banyaknya gigi-gigi posterior akan
diposisikan pada distal yang tegak lurus dari dataran dan dapat mempunyai cusp yang lebih
pendek. C, Jika datran diputar lebih ke anterior, itu dapat dilihat pada banyaknya gigi-gigi
posterior akan diposisikan pada mesial yadan mempunyai cup yang lebih tinggi.

Gambar 6-11
Dengan dekatnya dinding medial dan ligament temporomandibular( TM) yang kencang, tidak
ada penerjemahan pergerakan lateral.

Penerjemahan pergerakan lateral mempunyai tiga atribut: jumlah, pemilihan waktu, dan arah.
Jumlah
dan pemilihan waktu adalah bagian yang ditentukan oleh tingkat dinding medial pada fossa
mandibula yang menyimpang dari tengah dari suatu lengkungan di sekitar sumbu di dalam
perputaran condyl. Mereka adalah juga ditentukan oleh tingkat pergerakan lateral dari
perputaran condyl yang dimungkinkan oleh ligament TM. Dinding yang lebih ke tengah dari
ujung medial dari perputaran condyl, semakin besar jumlah penerjemahan pergeraka ke lateral
(Gambar 6-13); dan kekenduran perlekatan ligament TM pada perputaran condyl, semakin
besar penerjemahan pergerakan lateral. Arah dari penerjemahan pergerakan lateral tergantung
pada arah yang diambil oleh perputaran condyl selama pergerakan secara bentuk fisik (gambar
6-14).

Gambar 6-12
Ketika ada jarak antara dinding medial dan kutub medial dari perputaran condyle dan ligament
temporomandibular ( TM) memungkinkan beberapa pergerakan perputaran condyle,terjadi
penerjemahan pergerakan lateral.

Gambar 6-13

Semakin ke tengah dinding medial dari condyle, semakin besar akan terjadi penerjemahan
pergerakan lateral. Oleh karena itu ketika dinding medial dalam posisi 3, itu akan memungkinkan
banyaknya penerjemahan pergerakan lateral mandibula dibanding dalam posisi 1.

Gambar 6-14
Arah dari penerjemahan pergerakan ditentukan oleh arah yang diambil oleh perputaran condyle.
Ketika perputaran condyle mengikuti alur 1, fossa sentralis dari gigi-gigi akan memerlukan area
yang lebih luas dibanding alur 2 untuk lepas dari gigi-gigi lawannya.

6.4.5.1 Efek dari jumlah penerjemahan pergerakan lateral pada ketinggian cusp
Seperti yang baru dinyatakan, jumlah penerjemahan pergerakan lateral ditentukan oleh
kekencangan dari bagian horisontal dalam dari perlekatan ligament TM terhadap perputaran
condyle, seperti halnya
tingkatan dinding medial dari fossa mandibula yang meninggalkan kutub medial dari perputaran
condyle. Kekenduran ligament ini dan meninggalkannya yang semakin besar, semakin besar
pula jumlah
penerjemahan pergerakan mandibula. Seperti peningkatan penerjemahan pergerakan lateral,
perubahan secara fisik mendiktekan cups posterior menjadi lebih pendek untuk memungkunkan
penerjemahan pergerakan lateral tanpa menciptakan kontak antara gigi-gigi posterior maxilla
dan mandibula (gambar 6-15).

6.4.5.2 Efek dari arah penerjemahan pergerakan lateral pada ketinggian cusp
Arah dari pergeseran dari perputaran condyl selama penerjemahan pergerakan lateral
ditentukan oleh bentuk dan perlekatan ligament dari TMJ yang mengalami perputaran.
Pergerakan terjadi di dalam sudut 60 derajat ( atau lebih sedikit) yang berbentuk kerucut, apex
terletak pada sumbu perputaran (gambar 6-16). Oleh karena itu sebagai penambahan terhadap
pergerakan lateral, perputaran condyle bias juga bergerak ke ( 1) superior, ( 2) inferior, ( 3)
anterior, atau ( 4) arah posterior. Lagipula, kombinasi ini dapat terjadi. Dengan kata lain,
pergeseran bias ke laterosuperoanterior, lateroinferoposterior, dan seterusnya.

Gambar 6-15

Semakin besar penerjemahan pergerakan lateral, cups posterior lebih pendek. Alur 3 akan
memerlukan cups lebih pendek dibanding jalan alur 1.

Gambar 6-16
Perputaran condyl mampu untuk bergerak ke lateral dalam area berbentuk kerucut dengan sudut
60 derajat selama penerjemahan pergerakan lateral

Gambar 6-17

Penerjemahan pergerakan lataral yang lebih ke atas pada perputaran condyl ( 1), cups posterior
lebih pendek. Penerjemahan pergerakan lateral yang lebih ke bawah ( 3), cups posterior lebih
tinggi.
Arti penting sebagai faktor penentu tingginya cups dan kedalaman fossa adalah pergerakan
vertikal dari
perputaran condyl selama penerjemahan pergerakan lateral ( seperti pergerakan ke atas dan
bawah) (gambar . 6-17). Begitupula pergerakan laterosuperior dari perputaran condyl akan
memerlukan
cups posterior yang lebih pendek dibandingkan pergerakan langsung ke lateral; demikian juga,
pergerakan lateroinferior akan memungkinkan cups posterior lebih panjang dibanding
pergerakan lurus ke lateral.

6.4.5.3 Efek dari waktu penerjemahan pergerakan lateralpada ketinggian cups

Pemilihan waktu penerjemahan pergerakan lateral adalah suatu fungsi dinding medial yang
bersebelahan pada perputaran condyle dan perlekatam dari ligament TM perputaran condyle.
Dua kondisi ini menentukan ketika terjadi pergerakan ini selama terjadinya penyimpangan ke
lateral. Tentang ke tiga atribut penerjemahan pergerakan lateral ( jumlah, arah, dan pemilihan
waktu), terakhir mempunyai pengaruh yang terbesar pada bentuk oklusal dari gigi posterior. Jika
pemilihan waktu yang terakhir terjadi dan cups maxilla dan mandibula melewati batas fungsinya,
arah dan jumlah penerjemahan pergerakan lateral akan hanya mempunyai sedikit, bila ada,
pengaruh pada bentuk oklusal. Bagaimanapun, jika pemilihan waktuyang lebih awal terjadinya
pergerakan ini l pergerakan aterotrusive, jumlah dan arah penerjemahan pergerakan lateral akan
jelas mempengaruhi bentuk oklusal.

Ketika penerjemahan pergerakan lateral terjadi lebih awal, suatu pergeseran dilihat bahkan
sebelum mulai terjadi penerjemahan pergerakan condyl dari fossa. Ini disebut penerjemahan
pergerakan lateral yang seketika atau pergeseran sisi yang seketika (gambar 6-18). Jika itu
terjadi bersama dengan pergerakan eksentris, pergerakan ini dikenal sebagai penerjemahan
pergerakan lateral yang progresif atau sisi pergeseran yang progresif. Banyaknya pergeseran
sisi yang seketika, gigi posterior jadi lebih pendek.

Gambar 6-18 PEMILIHAN WAKTU PENERJEMAHAN PERGERAKAN LATERAL.


1, penerjemahan pergerakan lateral yang seketika ( pergeseran sisi seketika); 2, penerjemahan
pergerakan lateral yang progresif( pergeseran sisi yang progresif). Penerjemahan pergerakan
lateral seketika yang lebih banyak, cups posterior lebih pendek.
Gambar 6-19

Alur cups dari gigi mengikuti bagian atas atas gigi lawannya adalah factor jaraknya ( radius) dari
perputaran condyle. Alur mediotrusive ( A) dan alur laterotrusive( B).

6.5 FAKTOR PENENTU HORISONTAL DARI BENTUK OKLUSAL

Faktor penentu horizontal dari bentuk oklusal meliputi hubungan yang mempengaruhi arah ridge
dan groove permukaan oklusal. Sebab cups yang melewati antara ridge dan permukaan groove
selama pergerakan eksentrik, faktor penentu horisontal juga mempengaruhi penempatan cups.

Setiap ujung cups sentral menghasilkan kedua alur laterotrusive dan mediotrusive yang
melewati gigi lawannya. Setiap alur menghadirkan bagian dari bentuk lengkung yang dibentuk
cups yang berotasi di sekitar prputaran condyl (gambar 6-19). Sudut yang dibentuk oleh alur ini
dapat dibandingkan dan akan ditemukan yang tergantung pada hubungan dari sudut struktur
anatomic tertentu.

6.5.1 EFEK DARI JARAK PERPUTARAN CONDYLE PADA [ARAH RIDGE DAN GROOVE
Sebab posisi suatu gigi bervariasi dalam hubungan dengan sumbu rotasi dari mandibula ( yaitu.,
perputaran condyle), variasi akan terjadi pada sudut yang dibentuk oleh alur laterotrusive dan
mediotrusive. Semakin besar jarak gigi dari sumbu rotasi ( perputaran condyle), sudut yang lebih
luas dibentuk oleh alur laterotrusive dan mediotrusive (gambar 6-20). Ini adalah konsisten
dengan mengabaikan gigi maxillary atau mandibula yang dipandang. Benar-benar, peningkatan
ukuran sudut sebagai jarak dari perptaran condyle ditingkatkan sebab alur mandibular yang
dihasilkan lebih ke mesial ( lihat gambar 6-20, A) dan alur maxilla yang dihasilkan lebih ke distal (
lihat gambar 6-20, B).
Gambar 6-20

Semakin besar jarak gigi dari perputaran condyl, sudut yang lebih luas dibentuk oleh alur
laterotrusive dan mediotrusive. Ini adalah benar untuk kedua-duanya gigi mandibula ( A) dan
maxillary ( B). A, alur mediotrusivel; B, alur laterotrusive.

6.5.2 EFEK JARAK DARI DATARAN MIDSAGITTAL PADA ARAH RIDGE DAN GROOVE
Hubungan suatu gigi terhadap dataran midsagittal akan juga mempengaruhi alur laterotrusive
dan
mediotrusive dihasilkan oleh cups sentral gigi lawanna. [Seperti posisi gigi yang lebih jauh dari
dataran midsagittal, sudut yang dibentuk oleh alur laterotrusive dan mediotrusive akan meningkat
(gambar 6-21)..
Gambar 6-21

Semakin besar jarak gigi dari dataran midsagittal, sudut yang lebih luas dibentuk oleh alur
laterotrusive dan mediotrusive. Ini adalah benar untuk kedua-duanya ( A) gigi mandibula dan ( B)
gigi maxilla. A, alur mediotrusive; B, alur laterotrusive.

6.5.3 EFEK JARAK DARI PERPUTARAN CONDYLES DAN DARI DATARAN MIDSAGITTAL
PADA ARAH RIDGE DAN GROOVE
Telah dipertunjukkan bahwa posisi gigi dalam hubungan dengan perputaran condyl dan dataran
midsagittal mempengaruhi alur laterotrusive dan mediotrusive. Kombinasi dari dua hubungan
menentukan alur yang tepat dari ujung cups sentral. Posisikan gigi dengan jarak lebih besar dari
perputaran condyle, tetapi lebih dekat pada dataran midsagittal, akan menyebabkan faktor
penentu yg terakhir untuk meniadakan pengaruh dari bentuk. Sudut yang lebih besar antara alur
laterotrusive dan mediotrusive akan dihasilkan oleh posisi gigi di dalam lengkung gigi pada jarak
yang besar dari keduanya perputaran condyl dan dataran midsagitta. Dan sebaliknya, sudut
yang paling kecil akan dihasilkan oleh gigi yang lebih dekat kedunya perputaran condyle dan
dataran midsagittal.

Oleh karena itu kurva lengkung gigi, dapat dilihat: Biasanya, seperti jarak pada gigi dari
penurunan dataran midsagittal. Bagaimanapun, jarak dari perputaran condyle biasanya
meningkat lebih cepat disbanding penurunan jarak dari dataran midsagittal, umumnya gigi-gigi
region anterior (seperti premolar) akan mempunyai sudut yang lebih besar antara alur
laterotrusive dan mediotrusive dibanding
gigi yang terletak leih posterior (molar)(gambar 6-22).

6.5.4 EFEK DARI PENERJEMAHAN PERGERAKAN LATERAL MANDIBULA PADA ARAH


RIDGE DAN GROOVE
Pengaruh dari pener jemahan pergerakan lateral telah dibahas sebagai factor penentu vertical
dari bentuk oklusal. Pergerakan ini juga mempengaruhi arah ridge dan groove. Seperti
peningkatan jumlahnya, sudut antara alur laterotrusive dan mediotrusive dihasilkan oleh
peningkatan ujung cups sentral ( gambar 6-23).

Arah pergeseran perputaran condyle selama penerjemahan pergerakan lateral mempengaruhi


arah dari alur laterotrusive dan mediotrusive dan hasil sudutnya ( gambar 6-24). Jika pergeseran
perputaran condyle dalam arah lateral dan anterior,sudut antara alur laterotrusive dan
mediotrusive akan berkurang pada keduanya gigi-gigi maxilla dan mandibula. Jika pergeseran
condyl ke lateral dan posterior, sudut yang dihasilkan akan meningkat.
Gambar 6-22

Gigi semakin ke anterior dalam lengkung gigi, sudut yang lebih luas dibentuk oleh ( A) alur
mediotrusive dan ( B) alur laterotrusive.

6.5.5 EFEK DARI JARAK INTERCONDYLAR PADA ARA DAN GROOVE


Di dalam mempertimbangkan pengaruh dari jarak intercondylar pada pembuatan alur
laterotrusive dan
mediotrusive, adalah penting untuk mempertimbangkan bagaimana suatu perubahan di dalam
jarak intercondylar mempengaruhi hubungan dari gigi kepada perputaran condyle dan dataran
midsagittal. Ketika peningkatan jarak intercondylar, jarak antara condyle dan gigi cenderung
terjadi peningkatan konfigurasi lengkung gigi. Ini cenderung menyebabkan lebih besarnya sudut
antara alur laterotrusive dan mediotrusive. Bagaimanapun, peningkatan jarak intercondylar, gigi
ditempatkan lebih dekat dari dataran midsagittal yang berhubungan dengan jarak perputaran
condyl pada dataran midsagittal. Ini cenderung berkurang pada sudut yang dihasilkan (gambar 6-
25). Faktor yang terdahulu meniadakan pengaruh dari bentuk luas dan efek peningkatan jarak
intercondylar akan berkurang sudut antara alur laterotrusive dan mediotrusive. Pengurangan
bagaimanapun, paling sering minimal dan oleh karena itu paling sedikit mempengaruhi faktor
penentu itu.

Suatu ringkasan menyangkut faktor penentu vertikan dan horizontal dari bentuk oklusal dapat
ditemukan di dalam Tabel 6-1 dan Tabel 6-2.

Gambar 6-23

Jumlah dari peningkatan penerjemahan pergerakan lateral, sudut antara ( A) alur mediotrusive
dan ( B) alur laterotrusive yang dihasilkan oleh peningkatan ujung cups sentris. Ini adalah benar
untuk kedua-duanya gigi-gigi mandibula ( A) dan maxilla ( B).
Gambar 6-24
Efek penerjemahan pergerakan anterolateral dan posterolateral perputaran condyle. Pergerakan
yang lebih ke anterolateral pada perputaran condyl, semakin kecil sudut yang dibentuk oleh alur
mediotrusive dan laterotrusive( A3 dan B3. Pergerakan yang lebih ke posterolateral pada
perputaran condyle, sudut yang lebih luas dibentuk oleh alur mediotrusive dan laterotrusive ( A1
dan B1). Ini adalah benar untuk kedua-duanya gigi-gigi mandibula ( A) dan maxilla ( B).

Gambar 6-25

Semakin besar jarak intercondylar, semakin kecil sudut yang dibentuk oleh alur cups laterotrusive
dan mediotrusive ( A1 dan B1). Semakin kecil jarak intercondylar, semakin luas sudut antara alur
cups laterotrusive dan mediotrusive ( A2 dan B2).

TABEL 6-1 Faktor penentu vertical dari bentuk oklusal (ketinggian dan kedalaman fossa)
Faktor Kondisi Efek

Petunjuk condyl Petunjuk lebih curam Cusp posterior lebih tinggi

Petunjuk anterior Overlap vertical lebih besar Cusp posterior lebih tinggi
Overlap horizontal lebih besar Cusp posterior lebih pendek

Dataran oklusi Dataran lebih parallel pada Cusp posterior lebih pendek
Petunjuk condyl

Kurva Spee Kurva lebih tajam Cusp paling posterior lebih


pendek

Penerjemahan lateral Pergerakan lebih besar Cusp posterior lebih pendek

Pergerakan Pergerakan pada rotasi condyl Cusp posterior lebih pendek


Lebih superior
Perubahan sisi seketika lebih besar Cusp posterior lebih pendek
TABEL 6-2 Faktor penentu horizontal dari bentuk oklusal (arah ridge dan groove)

Faktor Kondisi Efek

Jarak dari rotasi condyl Jarak lebih besar Sudut yang lebih lebar diantara
alur
Laterotrusif dan mediotrusif

Jarak dari dataran Jaralebih besar Sudut yang lebih lebar diantara
alur
midsagittal Laterotrusif dan mediotrusif

Penerjemahan pergerakan Pergerakanlebih besar Sudut yang lebih lebar diantara


alur
Lateral laterotrusif dan mediotrusif

Jarak intercondyl Jarak lebih besar Sudut yang lebih kecil diantara
alur
Laterotrusif dan mediotrusif

6.6 HUBUNGAN ANTARA FAKTOR KENDALI ANTERIOR DAN POSTERIOR


Usaha telah dibuat untuk mempertunjukkan suatu korelasi antara hubungan horisontal dan
vertical pada petunjukcondylar dengan kecekungan berkenaan bagian lingual dari gigi-gigi
anterior rahang atas (hubungan vertikal dan horisontal pada petunjuk anterior). Seorang Filosofi
menyatakan bahwa petunjuk anterior seharusnya konsisten dengan petunjuk condyla.
Pertimbangan diarahkan terutama ke arah
PCFs yang mengatur kecuraman pada pergerakan condyl ( e.g., sudut dari penerjemahan
pergerakan eminence dan lateral). Filosofi ini menyatakan bahwa ketika pergerakan condyl
menjadi lebih horisontal (penurunan dalam sudut articular eminence dengan peningkatandalam
penerjemahan lateral), kecekungan bagian lingual gigi-gigi anterior rahang atas akan meningkat
pada pencerminan suatu karakteristik pergerakan yang serupa.

Bagaimanapun, bukti ilmiah untuk mendukung suatu korelasi antara ACFs dan PCFs adalah
tidak berarti. Sebagai gantinya, studi tampak menunjukkan bahwa sudut dari articular eminence
tidak dihubungkan dengan hubungan oklusal yang spesifik .1-3. Dengan kata lain, ACFs dan
PCFs tidak terikat pada satu sama lain. Mereka mandiri, sekalipun begitu mereka masih
berfungsi bersama-sama di dalam mendikte pergerakan mandibula. Ini adalah suatu konsep
penting sebab ACFs dapat dipengaruhi oleh prosedur perawatan gigi. Perubahan ACFs dapat
berperan pada bagian penting di dalam perawatan gangguan oklusal di dalam system mastikasi.
Acuan
1. Moffett BC: Temporomandibular sambungan. Di (dalam) Sharry JJ, editor: Gigi tiruan lengkap
prostodonsi, New York, 1962, Mc Graw-Hill, pp213-230.
2. Ricketts RM: Variasi TMJ ketika diungkap oleh cephalometric laminagraphy, J Orthod 36:877-
892, 1950.
3. Ricketts RM: Faktor di dalam bentuk temporomandibular, J Anat 83:223-234, 1948.
BAB 8 Tanda dan Gejala Gangguan Temporomandibular

“Kamu tidak akan pernah mendiagnosa sesuatu yang belum pernah kamu ketahui
sebelumnya”

Bab sebelumnya telah menggambarkan kejadian dan kondisi tertentu yang dapat
mengarahkan kepada perubahan fungsi normal dari sistem mastikasi. faktor etiologi
seperti trauma, stress emosional, ketidakstabilan ortopedi dan sumber nyeri yang dalam
dan hiperaktifitas otot diimplikasiakn sebagai komponen yang signifikan. Pada bab ini
tanda dan gejala umum pada disfungsi mastikasi akan didiskusikan. Tanda dan gejala
klinis dari disfungsi mstikasi dapat dikelompokkan ke dalam kategori menurut struktur
yang terlibat : 1. otot, 2. sendi temporomandibular(TMJs) dan 3. gigi geligi. Gangguan
otot dan sendi temporomandibular membuat kelompok keadaan yang dikenal sebagai
gangguan temporomandibular (TMDs). Termasuk dengan tanda dan gejalanya
merupakan faktor etiologi baik yang menjadi penyebab atau yang memiliki kontribusi
terhadap gangguan tersebut.
Pada saat mengevaluasi pasien, penting untuk diidentifikasi baik tanda dan gejala
secara jelas. Tanda merupakan sebuah hasil penemuan klinis yang tidak tertutupi oleh
dokter selama pemeriksaan klinis. Sebuah gejala adalah gambaran atau keluhan yang
dilaporkan oleh pasien. Pasien secara akut sadar akan gejala, tetapi mungkin mereka
belum menyadari dengan tanda klinis. Sebagai contoh, seseorang melaporkan adanya
kekerasan otot pada saat membuka rahang bawah tapi secara total tidak menyadari
adanya suara pada persendian. Baik kekerasan otot dan suara pada sendi merupakan
tanda klinis, tetapi hanya kekerasan otot yang dipertimbangkan sebagai sebuah gejala.
Untuk menghindari adanya tanda subklinis, pemeriksa harus secara cepat sadar akan
tanda dan gejala umum untuk setiap gangguan yang spesifik.

8.1 GANGGUAN FUNGSIONAL DARI OTOT


Gangguan fungsional dari otot mastikasi mungkin merupakan tanda umum
adanya keluhan TMD pada pasien yang menerima perawatan pada klinik gigi. Dengan
adanya rasa nyeri, gangguan kedua yang ada hanya odontalgia dalam istilah frekuensi
(misalnya nyeri gigi atau nyeri periodontal). Secara umum dikelompokkan dalam
kategori yang luas dikenal sebagai gangguan otot mastikasi. Dengan pernyataan patologis
yang lain, dua gejala umum dapat diobservasi: 1. nyeri dan 2. disfungsi.

8.1.1 Nyeri
Keluhan yang paling umum terjadi pada pasien dengan gangguan otot matikasi
adalah nyeri otot, yang mana mungkin berkisar dari kekakuan otot ringan hingga nyeri
tajam yang tidak nyaman pada jaringan otot yang disebut dengan myalgia. Myalgia dapat
berkembang dari peningkatan penggunaan otot. Gejala umumnya dihubungkan dengan
perasaan fatigue pada otot dan kekakuan. Meskipun secara pasti sumber dari nyeri otot
ini masih diperdebatkan, beberapa pengarang menyarankan hal ini berhubungan dengan
vasokonstriksi pada arteri nutrisi yang terkait dan akumulasi produk sisa metabolisme
pada jaringan otot. Pada daerah otot yang mengalami iskemia, substansi algogenik yang
pasti dihasilkan (mis: bradikinis, prostaglandin), menyebabkan nyeri otot.
Nyeri otot, bagaimanapun juga, jauh lebih kompleks dibandingkan dengan
overuse dan fatigue yang sederhana. Pada kenyataannya, nyeri otot yang dihubungkan
dengan kebanyakan TMD tidak berhubungan secara kuat dengan peningkatan aktivitas
seperti spasme. Hal ini disadari bahwa nyeri otot dapat dipengaruhi secara kuat oleh
mekanisme pusat. (Didiskusikan pada bab ini)
Keparahan nyeri otot secara langsung berhubungan dengan aktivitas fungsional
dari otot yang terlibat. Dari itu pasien sering melaporkan bahwa nyeri ini mempengaruhi
aktivitas fungsional mereka. Hal yang perlu diingat, ketika pasien melaporkan
mengalami rasa nyeri selama mengunyah atau berbicara, aktivitas fungsional ini tidak
selalu menjadi penyebab gangguanh umu ini. Justru keluhan ini meningkatkan kesadaran
pasien. Beberapa jenis aktivitas yang mungki lebih atau system saraf pusat (CNS)
mengakibatkan nyeri otot, dan demikian perawatan yang secara langsung ditujukan pada
aktivitas fungsional tidak akan tepat atau berhasil; lebih baik, perawatan ditujukan
langsung untuk mengurangi efek CNS atau kemungkinan adanya hiperaktivitas otot.
Para dokter juga harus ingat bahwa nyeri myogenous (nyeri yang berasal dari
jaringan otot) merupakan jenis nyeri yang dalam dan jika terus terjadi dengan konstan,
dapat menimbulkan efek excitatory pusat. Seperti yang digambarkan pada Bab 2, efek-
efek ini mungkin terjadi sebagai efek sensory ( mis: referred pain atau secondary
hiperalgesia), efek efferent (mis: efek otot) atau efek autonomi. Berdasarkan fakta-fakta,
perlu diingat bahwa nyeri otot dapat menginisiasi kembali terjadinya nyeri otot yang
lebih banyak (mis: efek cyclic yang dibahas pada Bab 2. Fenomenan klinis ini
digambarkan pertama kali pada tahun 1942 oleh Schwartz sebagai cyclic muscle spasme
dan kemudian berhubungan dengan otot-otot mastikasi. Penemuan berikutnya yang lebih
banyak lagi bahwa otot yang mengalami nyeri tidak semuanya merupakan spasme, istilah
cyclic muscle pain digambarkan pada teks ini. Hal yang penting dari cyclic muscle pain
didiskusikan pada pada bab ini. Jaringan otot adalah jenis nyeri dalam dan dan jika
terjadi secara konstan, dapat menimbulkan efek excitatory pusat. Seperti digambarkan
pada bab 2, efek-efek ini mungkin terjadi sebagai efek sensori ( mis: referred pain atau
secondary hiperalgesia ), efek efferent ( mis: efek otot) atau efek autonomi. Berdasarkan
fakta-fakta, perlu diingat bahwa nyeri otot dapat menginisisasi kembali terjadinya nyeri
otot yang lebih banyak (mis: efek cyclic dibahas pada bab 2). Fenomenan klinis ini
digambarkan pertama kali pada tahun 1942 oleh Schwartz sebagai cyclic muscle spasme
dan kemudian berhuungan dengan otot-otot mastikasi. Penemuan berikutnya yang lebih
banyak lagi bahwa otot yang mengalami nyeri tidak semuanya merupakan spasme, istilah
cyclic muscle pain digambarkan pada teks ini. Hal yang penting dari cyclic muscle pain
didiskusikan pada pada bab ini.
Gejala umum lain yang berhubungan dengan nyeri otot mastikasi adalah rasa sakit
kepala. Karena terdapat beberapa jenis sakit kepala, gejala ini didiskusikan pada bagian
yang terpisah pada bab ini.

8.1.2 Disfungsi
Disfungsi merupakan gejala klinis umum yang berhubungan dengan gangguan
otot. Biasanya gejala ini terlihat sebagai adanya penurunan pergerakan mandibula.
Ketika jaringan otot telah dicurigai mengalami penggunaan yang berlebih, berbagai
kontraksi atau pelebaran meningkatkan rasa nyeri. Dari itu untuk memelihara rasa
nyaman, pasien membatasi tingkat pergerakan sehingga tidak meningkatkan tingkat
nyeri. Secara klinis hal ini tampak sebagai ketidakmampuan untuk membuka mulut
secara lebar. Batasan ini mungkin berada pada berbagai derajat membuka mulut
bergantung pada dimana rasa tidak nyaman itu dirasakan. Pada beberapa gangguan
myalgia pasien juga dapat membuka mulut dengan lebar secara perlahan-lahan, tetapi

nyeri tetap terjadi dan akan terasa semakin parah .


Maloklusi akut merupakan jenis disfungsi yang lain. Maloklusi akut mengarah
kepada berbagai perubahan mendadak pada kondisi oklusal yang terjadi akibat sebuah
gangguan. Sebuah maloklusi akut mungkin berasal dari perubahan mendadak dari
panjang otot saat istirahat yang mengontrol posisi rahang. Ketika gangguan ini terjadi,
pasien menggambarkan sebuah perubahan pada saat kontak oklusi gigi geligi. Posisi
mandibula dan perubahan resultan pada hubungan oklusi bergantung pada otot yang
terlibat. Sebagai contoh, dengan pemendekan fungsional yang tajam dari inferior lateral
pterygoid, disoklusi pada gigi geligi posterior akan terjadi pada sisi ipsi lateral dan kontak
premature dari gigi geligi anterior ( terutama pada gigi caninus) pada sisi kontralateral.
Dengan pemendekan fungsional pada otot elevator (secara klinis merupakan maoklusi

,
akut yang kurang mampu dideteksi) pasien secara umum akan mengeluhkan adanya
ketidakstabilan untuk beroklusi secara normal. Para klinisi sebaiknya mengingat bahwa
sebuah maloklusi akut merupakan hasil dari gangguan otot dan bukan merupakan
penyebabnya. Dari itu, perawatan sebaiknya tidak langsung dilakukan untuk mengoreksi
maloklusi. Lebih baik, hal ini sebaiknya ditujukan untuk mengeliminasi gangguan otot.
Ketika kondisi ini diredakan, kondisi oklusal akan kembali menjadi normal. Seperti yang
telah didiskusikan sebelumnya, gangguan intrakapsular secara pasti dapat juga mengarah
kepada terjadinya maloklusi yang akut.
Semua gangguan otot mastikasi secara klinis tidak tampak sama. Paling sedikit
terdapat 5 perbedaan jenis, dan kemampuan untuk dapat membedakannya merupakan hal
yang penting karena perawatan dari tiap jenisnya pun berbeda. Lima jenis tersebut
adalah protective co-contraction (splinting otot), rasa sakit pada otot yang terlokalisisr,
nyeri myofacial (trigger point), myospasme dan myalgia kronis yang dimediasi secara
terpusat. Enam kondisi yang dikenal sebagai fibromyalgia juga perlu didiskusikan. Tiga
kondisi pertama merupakan keadaan yang umumnya didapatkan di klink gigi (protective
co-contraction, rasa sakit pada otot yang terlokalisir dan nyeri myofascial. Myospasme
dan myalgia kronis yang dimediasi secara terpusat merupakan kasus yang jaran
ditemukan. Kebanyakan gangguan otot ini terjadi dan dapat diatasi dalam waktu yang
relative singkat. Ketika kondisi ini tidak dapat diatasi, banyak gangguan nyeri kronis lain
yang mungkin terjadi. Gangguan otot mastikasi yang kronis menjadi lebih komplit dan
orientasi perawatannya secara umum berbeda dengan masalah yang akut. Dari itu para
dokter harus mampu membedakan gangguan otot akut dari gangguan yang kronis
sehingga dapat diaplikasikan terapi yang tepat. Fibromyalgia merupakan gangguan
myalgia kronis, yang mana terjadi sebagai suatu nyeri musculoskeletal sistemik yang
perlu diketahui oleh seorang dokter gigi dan dilakukan managemen yang terbaik oleh
para dokter medis yang tepat.

8.2 Model klinis nyeri otot mastikasi


Untuk dapat memahami hubungan diantara gangguan nyeri otot yang berbeda,
sebuah model nyeri otot mastikasi diperlihatkan (Gambar 8-1). Model ini dimulai
dengan assumsi bahwa otot mastikasi berada pada kondisi yang sehat dan berfungsi
secara normal ( seperti yang digambarkan pada Bab 2). Otot mastikasi yang normal
dapat diganggu oleh beberapa kejadian tertentu. Jika kejadian tersebut signifikan, respon
otot dikenal sebagai adanya protective co-contraction (muscle splinting). Pada
kebanyakan instansi konsekuensi dari kejadian ini bersifat minor dan co-contraction
dapat diatasi dengan cepat, mengikuti fungsi otot untuk kembali ke keadaan normal.
Jika, bagaimanapun juga, protective co-contraction diperpanjang, local biochemical dan
perubahan structural dapat terjadi setelahnya, membuat sebuah kondisi yang dikenal
sebagai rasa nyeri otot yang terlokalisir. Kondisi ini mungkin dapat diatasi secara
spontan dengan beristirahat atau mungkin membutuhkan perawatan oleh seorang asisten.
Gambar 8-1 Model otot mastikasi

Model ini menggambarkan hubungan antara berbagai gangguan nyeri otot yang
secara klinis dapat terdeteksi dengan beberapa pertimbangan etiologi. Penjelasan yang
jelas pada model ini akan dibahas pada teks. (dimodifikasi dari model asli yang
dikembangkan oleh J.P. Okeson, D.A. Falace, C.R. Carlson, A. Nitz, dan D.T. Anderson,
Pusat Nyeri orofacial, Universitas Kentucky,1991)

Jika rasa sakit terlokalisir pada otot tidak teratasi, perubahan pada jaringan otot
mungkin berkembang, menghasilkan input nyeri yang terus-menerus. Input nyeri dalam
yang dihasilkan ssecara konstan ini dapat mempengaruhi CNS, mengarahkan kepada
terjadinya respon otot (Lihat Bab 2). Dua contoh CNS yang mempengaruhi gangguan
nyeri otot adalah nyeri myofascial dan myospasme. Pada beberapa instansi respon CNS
pada keadaan tertentu atau kondisi yang local dengan cara mempengaruhi kontraksi
secara tidak sengaja tampak secara klinis sebagai spasme otot. Myospasme tidak bersifat
kronis tapi terjadi dalam kondisi dengan durasi yang relative singkat. Pada satu waktu,
myosapsme difikirkan sebagai keadaan yang bersifat sementara dan bertanggung jawab
terhadap terjadinya myalgia. Studi terbaru ini menyarankan bahwa myospasme tdak
umum terjadi pada pasien yang memgalami nyeri pada otot mastikasi.
Gangguan otot mstikasi ini biasanya terjadi sebagai masalah yang bersifat relative
dan, sekali lagi dapat diidentifikasi dan dirawat, otot akan kembali ke fungsi normal.
Jika, bagaimanapun juga, gangguan myalgia akut ini tidak diketahui atau dimanajemen
secara tepat, kondisi yang terus menerus dapat meningkatkan masalah ini menjadi
gangguan myialgia yang lebih kronis. Jika gangguan myalgia menjadi lebih kronis, CNS
akan memberikam lebih banyak lagi untuk memelihara kondisi ini. Karena CNS
merupakan sebuah faktor penting pada kondisi ini, hal ini merujuk kepada myalgia yang
dimediasi secara terpusat. Myalgia kronis yang dimediasi secara terpusat seringkali sulit
untuk diatasi, dan strategi perawtan haus dirubah dari perawatan pasien yang mengalami
gangguan myalgia akut.
Contoh lain dari nyeri musculoskeletal kronis adalah fibromyalgia.. Meskipun
gangguan ini bukanlah merupakan gangguan nyeri muskuloskeletelal yang utama, para
dokter gigi perlu untuk mengetahui kondisi ini sehingga dapat menghindari perawatan
gigi yang tidak penting. Tidak seperti gangguan nyeri otot lain yang bersifat regional,
fibromyalgia merupakan kondisi nyeri musculoskeletal yang bersifat tersebar, global.
Para dokter gigi perlu untuk menyadari bahwa manajemen gangguan nyeri kronis ini
berbeda.
Untuk pemahaman yang lebih baik mengenai model nyeri otot mastikasi, setiap
komponen dari model didiskusikan secara detail.

8.2.1 Kejadian-kejadian
Fungsi otot yang normal dapat diganggu oleh berbagai jenis kejadian. Kejadian-
kejadian ini dapat meningkat baik dari faktor local maupun faktor sistemik. Faktor local
mewakili berbagai kejadian yang secara akut merubah input sensoris atau proprioceptive
dalam struktur mastikasi (mis: fraktur gigi atau penempatan restorasi pada supraoklusi).
Trauma struktur local seperti kerusakan jaringan diakibatkan oleh injeksi gigi mewakili
jenis lain dari kejadian local. Trauma mungkin meningkat dari penggunaan struktur
mastikasi yang berlebihan atau tidak biasa, seperti mengunyah makanan keras atau
mengunyah dalam periode yang panjang (mis: mengunyah permen karet). Membuka
mulut terlalu besar mungkin menghasilkan ketegangan pada ligament yang mendukung
sendi dan atau otot. Hal ini mungkin muncul sebagai hasil dari prosedur perawatan gigi
yang lama atau membuka mulut terlalu lebar ( mis: menguap).
Berbagai sumber input nyeri dalam mungkin juga merupakan faktor local yang
yang merubah fungsi otot. Input nyeri ini mungkin memiliki sumbernya sendiri pada
struktur local seperti gigeligi, sendi atau otot itu sendiri. Sumber nyeri, bagaimanapun
juga, tidaklah signifikan karena berbagai nyeri dalam yang konstan, meskipun nyeri
bersifat idiopatik, mungkin akan menghasilkan respon otot.
Faktor sistemik mungkin juga mewakili kejadian yang dapat menggangu fungsi
normal otot. Satu dari faktor sistemik yang umumnya dikenal adalah stress emosional.
Stres tampaknya merubah fungsi otot melalui system eferent gamma terhadap spindle
otot atau yang mana aktivitas simpatik terhadap jaringan otot dan struktur yang
berhubungan. Tentu saja, respon terhadap stress emosional bersifat individual. Dari itu
reaksi emosi pasien dan respon psikofisiologi terhadap faktor stressor mungkin sangat
besar. Telah didemonstrasikan bahwa paparan seorang subjek terhadap pengalaman
stressor secara cepat dapat meningkatan aktivitas elektromiografi (EMG) pada otot
mastikasi. Respon fisiologi ini memberikan pengetahuan secara langsung bagaimana
stress emosional mempengaruhi aktivitas otot dan nyeri otot.
Faktor sistemik lain dapat mempengaruhi fungsi dan masih sedikti dipahami,
seperti penyakit akut dan infeksi virus. Demikian juga, kategori yang luas pada
pemahaman yang buruk untuk keberadaan setiap pasien. Beberapa faktor termasuk
resistensi imunologi dan keseimbangan autonomi pada pasien. Faktor-faktor ini
tampaknya bertujuan untuk mengurangi kemampuan individu untuk monolak dan
melawan perubahan atau kerusakan yang dibuat oleh suatu kejadian. Faktor dasar
mungkin dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, diet dan mungkin faktor predisposisi
seperti faktor genetic. Para klinis sadar bahwa pasien seringkali merespon secara berbeda
terhadap kejadian yang sama. Dari itu hal ini diasumsikan bahwa faktor dasar yang pasti
tetap ada dan dapat mempengaruhi respon individual. Faktor-faktor ini belum terlalu
dipahami dan tidak terdapat definisi yang baik seperti yang berhubungan dengan
gangguan nyeri otot.
8.2.2 Protevtive co-contraction (splinting otot)
Respon pertama otot mastikasi terhadap kejadian yang sebelumnya digambarkan
adalah protective co- contraction Protective co- contraction adalah sebuah respon CNS
terhadap injury atau perawatan injury. Respon ini juga disebut sebagai perlindungan
splinting otot. Hal ini telah digambarkan pada beberapa tahun tapi hanya
didokumentasikan baru-baru ini. Pada keadaan dimana terdapat injuri atau perawatan
terhadap injuri, rangakaian aktivitas otot yang normal tampaknya diubah untuk
melindungi bagian yang mendapatkan perawatan dari injuri yang lebih jauh.
Perlindungan co- contraction dapat menjadi seperti co-contraction yang diobservasi
selama melakukan aktifitas fungsional yang normal, seperti menahan lengan ketika
melakukan suatu tugas dengan jari-jemari. Jika terdapat perubahan input sensori atau
nyeri, kelompok otot antagonis terlihat bertahan selama gerakan dalam sebuah perubahan
untuk melindungi bagian yang mengalami injuri. Pada system mastikasi, sebagai
contoh, pasien yang mendapatkan pengalaman co-contraction akan mendemonstrasikan
sebuah peningkatan dalam aktifitas otot elevator selama membuka mulut. Selama proses
menutup mulut sebuah peningkatan aktifitas dicatat dalam otot yang mengalami
penurunan. Co-activation otot antagonis ini dipikirkan menjadi perlindungan yang
normal atau mekanisme pertahanan dan dibutuhkan untuk diakui oleh para dokter.
Protective co-contraction bukan merupakan kondisi patologis, meskipun ketika terjadi
perpanjangan waktu hal ini mungkin mengarah kepada gejala otot.
Etiologi dari protective co-contraction dapat berupa berbagai perubahan dalam
input sensori ataupun proprioceptive dari struktur yang berhubungan. Sebuah contoh
beberapa kejadian dalam system mastikasi adalah penempatan mahkota yang tinggi.
Protective co-contraction dapat juga disebabkan oleh beberapa input sumber nyeri dalam
atau sebuah peningkatan stress emosional.
Co-contraction dilaporkan secara klinis sebagai sebuah perasaan lemah pada otot
yang secara langsung mengikuti sebuah kejadian. Saat posisi istirahat tidak terjadi nyeri,
tapi penggunaan otot biasanya meningkatkan rasa nyeri. Pasien biasanya mengalami
gangguan ini disertai dengan pembukaan mulut yang terbatas. tetapi ketika diminta untuk
membuka mulut secara perlahan, pembukaan mulut yang sempurna dapat dilakukan.
Kunci untuk mengidentifikasi co-contraction adalah bahwa hal ini secara mendadak
terjadi mengikuti sebuah kejadian, dan dari itu riwayat dari pasien merupakan hal yang
penting. Jika protective co-contraction berlanjut untuk beberapa jam atau hari, jaringan
otot dapat membahayakan dan masalah otot lokal mungkin akan berkembang.

8.2.3 Rasa sakit pada otot yang terlokalisir (non-infalamasi myalgia)


Rasa sakit pada otot yang terlokalisir merupakan suatu keadaan dasar. Non
inflamasi, gangguan nyeri myogenous. Hal ini sering menjadi respon pertama pada
jaringan otot untuk memperpanjang co-contraction. Sedangkan co-contraction
menggambarkan respon otot yang diinduksi oleh CNS, Rasa sakit pada otot yang
terlokalisir mewakili sebuah kondisi yang dikarakteristikan oleh pelepasan substansi
algogenic local yang pasti. Perubahan-perubahan ini dikarakteristikan oleh pelepasan
substansi algogenic yang pasti (mis. bradikinin dalam substansi p, histamine). yang
menghasilkan rasa nyeri. Perubahan-perubahan awal ini mungkin tidak mewakili keadan
yang fatique. Selama perpanjangan co-contraction, penyebab lain dari rasa nyeri pada
otot yang terlokalisir adalah trauma local atau penggunaan otot yang berlebohan. Ketika
pemakaian berlebihan merupakan etiologinya, rasa sakit pada otot yang tertunda dapat
terjadi. Jenis rasa sakit pada otot yang terlokalisir ini seringkali mengarah kepada
serangan rasa sakit otot yang tertunda atau rasa sakit pada otot setelah melakukan latihan.
Oleh karena rasa sakit pada yang terlokalisir itu sendiri merupakan sumber nyeri
yang dalam, kejadian penting yang bersifat klinis dapat terjadi. Nyeri yang dalam
diproduksi oleh rasa sakit pada otot dapat, pada kenyataannya, menghasilkan protective
co-contraction. Tambahan co-contraction dapat, sebaliknya memproduksi rasa sakit pada
otot yang lebih parah. Dari itu siklus lingkaran dapat dibuat dimana rasa sakit pada otot
menghasilkan co-contraction yang lebih parah dan segera. Lingkaran nyeri otot telah
didiskusikan pada bab sebelumnya.
Para dokter perlu menyadari komplikasi yang mungkin berhubungan dengan
diagnose. Sebagai contoh, otot pterygoid medial dilukai oleh blok nervus inferior
alveolar. Trauma ini menyebabkan rasa sakit yang terlokalisir pada otot. Rasa nyeri
berhubungan dengan rasa sakit sebaliknya memproduksi protective co-contraction.
Karena protective co-contraction dapat mengarahkan kepada rasa sakit pada otot,
sebuah siklus nyeri dimulai. Selama siklus lingkaran ini, kerusakan jaringan awalnya
diproduksi oleh injeksi yang tidak diatasi. Ketika perbaikan jaringan diselesaikan, awal
sumber nyeri dieliminasi; bagaimanapun juga, pasien mungkin melanjutkan untuk
bertahan dengan ganguan siklus nyeri otot ini. Karena penyebab awal nyeri bukanlah
bagian yang panjang dati gambaran klinis, para dokter dapat dipersulit selama
pemeriksaan. Para dokter perlu untuk mengenal bahwa meskipun penyebab utama telah
diatasi, kondisi lingkaran nyeri ada dan perlu di rawat. Kondisi ini merupakan penemuan
umum klinis yang penting dan, jika tidak diketahui, seringkali megarahkan kepada
kesalahan memanajemen pasien.
Rasa sakit oto yang terlokalisis secara klinis terjadi disertai dengan kekerasan
pada saat palpasi dan meningktakan rasa nyeri seiring dengan fungsinya. Disfungsi
structural merupakan hal yang umum, dan ketika oto elevator dilibatkan, pembukaan
mukut yang terbatas dapat terjadi. Tidak seperti protective co-contraction pasien
memiliki kesulitan untuk membuka mulut selebar bagaimanapun. Dengan rasa sakit
ototo yang terlokalisir, terdapat sebuah kelemahan otot yang pasti. Kekuatan otot
dikembalikan ke keadaan normal ketika rasa sakit otot yang terlokalisir di cegah.

8.2.4 Efek system saraf pusat pada nyeri otot


Kondisi nyeri otot yang digambarkan pada point ini relatif lebih sederhaa,
memiliki asal nyeri yang lebih menonjol pada jaringan otot secara local. Nyeri otot dapat
menjadi lebih kompleks. Pada banyak hal, aktivitas alam CNS dapat juga mempengaruhi
atau secara nyata menjadi asal mula terjadi nyeri otot. Hal ini dapat terjadi baik dalam
bentuk input kedua atau menjadi nyeri dalam yang terus menerus atau merubah input
sensoris atau terjadi dari pengaruh pusat seperti halnya upregulation pada system saraf
autonom (mis. stress emosional). Hal ini terjadi ketika kondisi di dalam CNS
membangkitkan sensor neuron peripheral (primary afferents) membuat antidromic
mengeluarkan substansi algogenic kedalan jaringan peripheral, menghasilkan nyeri otot
(mis inflamasi neurogenic). Efek rangsangan pusat ini dapat juga mengarahkan kepada
efek motoris (primary efferents), menghasilkan sebuah peningkatan di dalam tonicity otot
(co-contraction).
Menurut cara terapi, hal ini penting bahwa para klinisi menilai saat ini nyeri otot
memiliki pusat tersendiri. Respon dari CNS pada aturan kedua terhadap satu dari tiga
faktor: (1) adanya input nyeri dalam yang terus menerus; (2) meningkatnya tingkat stress
emosional (mis; sebuah peraturan yang menaikkan system saraf autonom); atau (3)
perubahan dalam penurunan system penghambatan yang mengarahkan pada terjadinya
sebuah penurunan dalam kemampuan untuk menghitung input afferent, apakah itu
bersifat nociceptive atau tidak.
Gangguan nyeri otot yang mempengaruhi secara terpusat berdasarkan terapinya
dibagi kedalam gangguan myalgic akut seperti myospasme atau gangguan myalgia
kronis, yang mana lebih jauh lagi dibagi ke dalam gangguan myalgia regional atau
gangguan mialgia sistemik. Gangguan mialgia regional dibagi ke dalam sub nyeri
myofacial dan myalgia kronis yang dimediasi secara terpusat. Sebuah contoh gangguan
myalgia sistemik adalah fibromyalgia. Setiap kondisi ini akan didiskusikan sebagai
berikut.

8.2.5 Miospasme (Mialgia dengan kontraksi yang kuat)


Miospasme merupakan sebuah kontraksi otot kuat yang diinduksi oleh CNS.
Untuk beberapa tahun, para dokter mempercayai bahwa miospasme merupakan sumber
umum yang paling utama terjadinya nyeri miogenous. Banyak studi akhir-akhir ini,
bagaimanapun juga, ….
Hal ini dapat menjadi alasan untuk mengharapkan bahwa sebuah otot dalam
keadaan spasme atau kontraksi yang kuat akan menunjukkan aktivitas EMG yang secara
relative berada pada tingkat yang tingi. Beberapa studi, bagaimanapun juga, tidak
mendukung terjadinya asumsi bahwa nyeri otot memiliki sebuah peningkatan output
EMG yang signifikan. Studi-studi ini telah memaksa kami untuk memikirkan kembali
klasifikasi nyeri otot dan perbedaan miospasme dari gangguan nyeri otot yang lain.
Meskipun miospasme pada otot mastikasi juga terjadi, kondisi ini tidak umum terjadi
dan ketika terjadi biasanya diidentifikasi secara mudah oleh karaktersitik klinis.
Etiologi dari miospasme belum didokumentasikan secara baik. Beberapa faktor
mungkin dikombinasikan untuk mempromosi miospasme. Kondisi otot secara pasti
membantu terjadinya perkembangan miospasme. Kondisi-kondisi ini termasuk fatiq otot
dan perubahan dalam keseimbangan elektrolit local. Input nyeri yang dalam mungkin

juga menimbulkan miospasme.

Miospasme secara mudah dikenal diproduksi oleh disfungsi structural. Karena


spasme dalam nyeri otot telah di kontrakkan, perubahan posisi rahang mayor
menghasilkan perubahan berdasarkan spasme otot. Perubahan posisi ini menghasilkan
maloklusi yang akut (didiskusikan secara terperinci dalam bab berikutnya). Myospasme
juga dikarakteristikan oleh otot yang keras pada saat palpasi.
Miospasme biasanya terjadi secara singkat, terjadi hanya beberapa menit pada
satu waktu. Hal ini sama seperti yang dirasakan dari sebuah keram akut pada otot kaki.
Pada satu kesempatan kontraksi otot yang tidak terkontrol dapat terjadi secara berulang
kali. Ketika dilakukan pengulangan, kondisi ini mungkin diklasifikasinya sebagai
distonia. Kondisi distonia ini dipikirkan berhubungan dengan mekanisme CNS dan perlu
untuk dimanajemen secara berbeda dengan miospasme sebenarnya. Secara pasti, distonia
oromandibular yang digambarkan secara menonjol mempengaruhi mastikasi. Selama
periode distonik ini mulut mungkin terbuka secara paksa (pembukaan distonia) atau
tertututp (penutupan distonia) atau terjadi penutupan di salah satu sisi. Posisi rahang
yang tepat ditentukan oleh otot yang terlibat.

8.2.6 Gangguan Mialgia regional


8.2.6.1 Nyeri miofacial ( Trigger Point Myalgia)
Nyeri miofacial adalah kondisi nyeri myogenous regional pada jaringan otot
yang dikenal sebagai trigger point. Kondisi ini kadang-kadang mengarah sebagai nyeri
miofacial trigger point. Nyeri ini merupakan salah satu jenis gangguan otot yang belum
secara luas atau secara menyeluruh dipahami, namun nyeri ini umumnya terjadi pada
pasien dengan keluhan mialgia. Pada satu studi, lebih dari 50% pasien melapor ke pusat
nyeri universitas dimana didiagnosa mengalami jenis nyeri ini.
Nyeri miofacial pertama kali digambarkan oleh Travell dan Rinzle pada tahun
1952, tetapi dokter gigi dan komunitas medis belum menyadari pentingnya hal ini. Pada
tahun 1969 Laskin menggambarkan sindrom disfungsi nyeri miofacial (MPD) yang
memiliki karakteristik klinis yang nyata.
Meskipun Laskin mengambil istilah myofascial, beliau tidak menggambarkan
nyeri myofascial trigger point. Sedangkan syndrome MPD telah digunakan dalam bidang
kedokteran gigi sebagai istilah yang umum untuk menunjukan berbagai gangguan otot
(bukan gangguan intracapsular). Karena istilah ini sangatlah luas dan umum, istilah ini
tidak dapat digunakan pada diagnose spesifik dan manajemen gangguan otot mastikasi.
Sindrom MPD sebaiknya tidak terlalu dipermasalahkan dengan gambaran dari Travell
dan Rinzel, yang mana akan digunakan di dalam buku teks ini. Istilah nyeri otot
mastikasi sebaiknya digunakan hanya pada istilah genericg umum untuk semua jenis
nyeri otot mastikasi. Nyeri miofascial sebaiknya digunakan hanya jika kondisi ini
bertemu dengan gambaran asli dari literature medis (didiskusikan pada bagian
berikutnya).
Nyeri myofascial terjadi dari daerah yang hipersensitif pada otot yang disebut
dengan trigger point. Lokasi-lokasi ini berada pada jaringan otot, perlekatan tendon, atau
kedua daerah tersebut yang sering kali dirasakan seperti ikatan tegang saat dipalpasi,
yang mana menimbulkan nyeri. Bagian alami yang pasti dari trigger point belum
diketahui. Hal ini telah disarankan bahwa akhir nervus yang pasti dari jaringan otot
mungkin menjadi sensitive oleh substansi algogenik yang menghasilkan zona local yang
hipersensistif. Sebuah kenaikan suhu local mungkin terjadi pada sisi trigger point,
menuntut sebuah peningkatan metabolic, penurunan aliran darah atau keduanya pada
jaringan-jaringan ini. Sebuah trigger point merupakan daerah yang dibatasi hanya oleh
beberapa unit motorik yang secara relative sedikit. Jika semua unuit motorik dari otot
yang terlibat, otot akan menjadi lebih pendek (lihat Bab 2). Kondisi ini disebut dengan
myospasme dan didiskusikan pada awal bab ini. Karena trigger point hanya memiliki
beberapa kelompok unit motorik yang terpilih, tidak terdapat pemendekan otot secara
keseluruhan (seperti yang terjadi pada myiospasme).
Karakteristik yang khas dari trigger point adalah mereka adalah sumber nyeri sumber
nyeri dalam yang konstan dan dari itu dapat memproduksi efek rangsangan pusat (lihat
Bab 2). Jika trigger point secara terpusat merangsang kelompok interneuron afferent
untuk bertemu, nyeri yang tersamarkan seringkali dihasilkan, secara umum pada bentuk
yang dapat diprediksi berdasarkan letak dari trigger point yang terlibat (Gambar 8-2
hingga 8-4). Rasa nyeri selalu dilaporkan oleh seorang pasien sebagai rasa sakit kepala.
Etiologi dari nyeri miofascial bersifat kompleks. Sayangnya, kami kurang
mengerti sepenuhnya mengenai kondisi nyeri miogenous ini. Dari itu sulit untuk
memahami mengenai semua faktor etiologi. Travell dan simons telah menggambarkan
faktor local dan sistemik pasti yang tampak berhubungan, seperti trauma, hipotavimonsis,
kondisi fisik yang buruk, fatiq dan infeksi virus. Faktor penting lain yang mungkin
menjadi penyebab adanya stress emosional dan input nyeri yang dalam.

Gambar 8-2

Sebuah trigger point (ditandai dengan huruf x) pada bagian occipital otot occipitofrontalis
yang menghasilkan rasa sakit kepala dibelakang mata. (dari Travell JG, Simons
DG:Nyeri dan dsifungsi myofascial. Trigger point manual, Baltimore,1983, Williams
&Wilkins, p 291.)

Gambar 8-3
Trigger point yang terletak pada otot trapezius (ditandai dengan huruf x) rasa nyeri
berada dibelakang telinga, dahi, dan sudut rahang (dari Travell JG, Simons DG:Nyeri
dan disfungsi Myofascial. Trigger point manual, Baltimore,1983, Williams & Wilkins, p
184.)

Bentuk klinis yang paling umum dari nyeri miofascial adalah adanya area
terlokalisir yang nyata, hipersensitif dari jaringan otot (mis, trigger point). meskipun
palpasi dari trigger point menghasilkan rasa nyeri, sensitivitas otot local bukanlah
keluhan yang paling umum dari pasien yang mengalami rasa nyeri miofascial dari trigger
point. Gejala yang paling umum adalah selalu berhubungan dengan efek rangsangan
pusat yang dihasilkan oleh trigger point. Pada banyak bagian, pasien-pasien mungkin
hanya menyadari rasa nyeri dan tidak mengetahui tentang trigger point. Sebuah contoh
yang sempurna adalah pasien yang menderita nyeri trigger point myofascial dalam otot
trapezius yang menyebabkan nyeri menyebar pada region dahi.(lihat gambaar 8-3).
Keluhan utama adalah rasa sakit kepala temporal, dengan pengetahuan yang sedikit pada
trigger point di bahu. Presentasi klinis ini dapat secara mudah membingungkan dokter
dari sumber masalah. Pasien akan menarik perhatian dokter pada sisi yang mengalami
rasa nyeri (sakit kepala temporal) dan bukan sumbernya. Para dokter harus selalu ingat
bahwa untuk mendapatkan perawatan yang efektif, harus dilakukan secara langsung ke
arah sumber nyeri, bukan sisinya. Dari itu seorang dokter harus selalu mencari sumber
nyeri yang sebenarnya.

Gambar 8-4

Trigger point yang terletak pada sternocleidomastoideus membuat rasa nyeri pada daerah
dahi (mis jenis sakit kepala temporal). Dari Travell JG, Simons DG: Disfungsi dan nyeri
myofascial. Trigger point manual, Baltimore,1983, Williams & Wilkins, p 203.)
Karena trigger point dapat menyebabkan efek rangsangan pusat, hal ini juga
penting untuk disadari pada semua kemungkinan manifestasi klinis. Seperti yang
dinyatakan pada Bab 2, efek rangsangan pusat dapat terjadi sebagai nyeri yang teralihkan,
hiperalgesia kedua, protective co-contraction atau respon autonom. Kondisi-kondisi ini
harus dipertimbangkan ketika mengevaluasi pasien.
Sebuah karakteristik klinis yang menarik pada trigger point adalah bahwa hal ini
mungkin terjadi pada tahap aktif atau tahap laten. Pada tahap aktif hal ini memproduksi
efek rangsangan pusat. Dari itu ketika trigger point sedang aktif, rasa sakit kepala
umumnya dirasakan. Karena nyeri refer secara keseluruhan bergantung pada sumber
aslinya, palpasi pada daerah trigger point (provokasi local) selalu meningkat seperti rasa
nyeri. Meskipun tidak selalu terjadi, ketika karakteristik ini terjadi dibutuhkan sebuah
bantuan diagnostic yang besar. Pada tahap laten sebuah trigger point tidak sensitive
terhadap palpasi dan dari itu tidak menimbulkan referred pain. Ketika trigger point
menjadi laten, mereka tidak dapat dirasakan dengan cara palpasi dan pasien tidak
mengeluhkan adanya rasa sakit kepala. Pada kasus ini riwayat gangguan hanya
merupakan data yang mengarahkan dokter untuk membuat diagnose nyeri myofascial.
Pada beberapa instansi para dokter sebaiknya mempertimbangkan untuk meminta pasien
kembali ke klinik ketika terjadi sakit kepala sehingga konfirmasi pada bentuk nyeri yang
teralihkan dapat diverifikasi dan diagnose dapat dikonfirmasi.
Para ahli percaya bahwa trigger point tidak dapat diatasi tanpa perawatan. pada
kenyataannya Trigger point mungkin menjadi laten atau dorman, membuat sebuah
perawatan sementara untuk nyeri yang teralihkan ini. Trigger point mungkin diaktifkan
oleh beberapa faktor seperti meningkatkan penggunaan otot, ketegangan pada otot, stress
emosiomal atau adanya infeksi pada saluran pernafasan bawah. Ketika trigger point
diaktifkan, rasa sakit kepala akan terjadi kembali. Hal ini merupakan penemuan yang
umumnya terjadi pada pasien dengan keluhan rasa sakit kepala disore hari pada saat.
Sepanjang nyeri alih, efek rangsangan pusat yang lain mungkin dirasakan.
Ketika hiperalgesia kedua terjadi, nyeri ini umumnya dirasakan sebagai sebuah
peningkatan sensitivitas pada saat menyentuh kulit kepala. Beberapa pasien melaporkan
bahwa mereka merasakan sakit pada rambut atau rasa sakit pada saat menyisir rambut
mereka. Co-contraction merupakan kondisi umum lainnya yang berhubungan dengan
nyeri myofascial. Trigger Point pada otot bahu dan cervical dapat memproduksi co-
contraction pada otot mastikasi. Jika hal ini terus berlanjutrasa sakit otot local pada otot
mastikasi dapat berkembang. perawatan otot mastikasi tidak akan akan menyelesaikan
masalah ini karena sumbernya adalah trigger point otot cervicospinal dan bahu.
Bagaimanapun juga, perwatan trigger point pada oto bahu akan menyembuhkan
gangguan otot mastikasi. Manajemen mungkin menjadi sulit ketika rasa sakit pada otot
telah terjadi pada waktu yang lama karena hal ini dapat menginisiasi siklus nyeri otot
(Lihat Bab 2). pada kasus ini perluasan perawatan ke otot mastikasi dan trigger point otot
cervicospinal dan bahu akan menyelesaikan masalah ini.
Pada satu kesempatan, efek autonomic diproduksi oleh input nyeri yang dalam
dari trigger point. Hal ini mungkin menghasilkan beberapa penemuan seperti mata basah
atau kering, atau perubahan aliran darah mungkin terjadi (mis. memutihkan atau
membuat jaringan berwarna merah, atau keduanya). Terkadang konjungtiva akan
menjadi merah. Perubahan mukosa mungkin menghasilkan perubahan pada nasal sama
seperti respon sebuah alergi. Kunci untuk menentukan apakah efek autonomi
berhubungan dengan efek rangsangan pusat atau terhadap reaksi local seperti terlihat
unilateral. Efek rangsangan pusat pada daerah trigeminal tidak selalu melewati daerah
midline. Dari itu jika nyeri yang dalam terjadi secara unilateral, efek autonomi akan
berada pada sisi yang sama seperti nyeri. Dengan kata lain, satu mata akan menjadi
merah dan mata yang lain berwarna normal, satu hidung akan mengeluarkan mucus
kering dan sisi yang lain tidak. Dengan respon alergi, baik kedua mata atau kedaua
hidung akan terlibat.
Secara ringkas, gejala klinis yang dilaporkan dengan nyeri myiofascial paling
umum berhubungan dengan efek rangsangan pusat yang dihasilkan oleh trigger point dan
bukan dari trigger point itu sendiri. Para dokter harus menyadari hal ini dan menemukan
trigeer point yang terlibat. Ketika daerah-daerah ini dipalpasi, teraba daerah hipersensitif
sering teraba seperti ikatan yang tegang di dalam otot. Biasanya tidak terdapat nyeri
local ketika otot sedang beristirahat, tetapi beberapa nyeri dirasakan ketika otot
digunakan. Seringkali disfungi structural akan terlihat pada otot yang mengandung
trigger point. Hal ini umumnya dilaporkan sebagai “leher yang kaku”.
8.2.7 Pertimbangan Nyeri otot yang kronis
Gangguan myialgia yang telah digambarkan umumnya terlihat pada praktik
umum dari dokter gigi dan biasanya mewakili masalah dengan durasi yang singkat.
Ketika dilakukan terapi yang tepat, gangguan-gangguan ini dapat diselesaikan secara
tuntas. Bagaimanapun juga, ketika nyeri myogenous terjadi, gangguan otot yang kronis
kompleks dan lebih kronis dapat berkembang. Dengan tingkat kronisitas, gangguan nyeri
myogenous dipengaruhi lebih banyak oleh CNS, dihasilkan pada daerah yang lebih
banyak atau biasanya terjadi nyeri global. Siklus nyeri otot juga sering menjadi
karakteristik yang penting yang mengabadikan kondisi ini.
Pada aliran yang umum, nyeri kronis dipertimbangkan sebagai nyeri yang terjadi
selama 6 bulan atau lebih lama. Bagaimanapun juga, durasi nyeri mungkin tidak
menjadi faktor yang paling penting dalam menentukan kronisistas. Beberapa nyeri,
terjadi untuk beberapa tahun tapi tidak pernah menjadi kondisi nyeri yang kronis.
Demikian juga, kondisi beberapa nyeri secara klinis menjadi kronis pada beberapa bulan.
Faktor tambahan yang harus dipertimbangkan adalah kelanjutan nyeri. Ketika rasa nyeri
terjadi secara konstan, dengan tidak disertai periode penyembuhan, manifestasi klinis dari
kronisitas akan berkembang secara cepat. Pada sisi lain, jika nyeri mengganggu periode
penyembuhan ( tanpa nyeri), kondisi ini tidak akan pernah menjadi gangguan nyeri yang
kronis. Sebagai contoh, kluster rasa sakit kepala merupakan sebuah kondisi nyeri
neurovascular yang terjadi untuk beberapa tahun dan tidak pernah menjadi gangguan
nyeri yang kronis. Alasan untuk keadaan ini adalah karena periode penyembuhan yang
signifikan terjadi diantara episode nyeri. Sebaliknya, nyeri yang konstan berhubungan
dengan myialgia yang dimediasi secara terpusat, ketika tidak di rawat, dapat berkembang
manifestasi klinis dari kronsiistas selama beberapa bulan.
Para dokter gigi harus mengetahui bahwa perkembangan keluhan myialgia dari
ganggguan yang bersifat akut ke kronis, efektivitas dari perawatn local dapat secara tajam
diturunkan. Gangguan nyeri kronis seringkali harus di manajemen oleh pendekatan
multidisiplin. Pada banyak instansi dokter gigi itu sendiri tidak dilengkapi pengetahuan
untuk menangani masalah ini. Dari itu hal ini penting bagi para dokter gigi untuk
mengetahui gangguan nyeri yang bersifat kronis dan mempertimbangkan merujuk pasien
ke ahli yang tepat yang dapat merawat kondisi nyeri ini dengan lebih baik.

8.2.7.1 perpetuating Faktor


Kondisi atau faktor pasti, ketika terjadi, mungkin memperpanjang kondisi nyeri
otot. Faktor-faktor ini dikenal sebagai perpetuating faktor dan dapat dibagi ke dalam
sumber lokal dan sumber sistemik.

8.2.7.1.1 Perpetuating Faktor local


Kondisi berikut mewakili faktor lokal yang dapat bertanggung jawab terhadap
terjadinya gangguan otot yang relative ringan ke dalam kondisi nyeri kronis yang lebih
kompleks:
1. Penyebab Protracted. Jika para dokter gagal untuk mengeliminasi penyebab
gangguan myialgia akut, kondisi yang lebih parah mungkin akan berkembang.
2. Penyebab recurrent. Jika pasien memiliki pengalaman gangguan myialgia akut
yang terjadi kembali dengan etiologi sama, hal ini mungkin bahwa gangguan
akan berkembang menjadi kondisi yang lebih kronis ( mis: bruksis dan trauma
yang berulang).
3. Manajemen terapi yang salah. Ketika pasien tidak menjalani perawatan myialgia
akut dengn baik, gejala tidak akan dapat diatasi. Hal ini dapat mengarah kepada
terjadinya kondisi yang lebih kronis. Jenis perpetuating faktor yang terus
menerus ini menekankan pentingnya menegakkan diagnosa yang tepat dan
menginisiasi terapi yang efektif.

8.2.7.1.2 Perpetuating Faktor sistemik


Kondisi berikut mewakili faktor sistemik yang bertanggung jawab terhadap terjadinya
gangguan nyeri otot akut yang mengarah ke keadaan kronis:
1. Stress emosional yang berkelanjutan. Karena peningkatan stress emosional dapat
menjadi faktor etiologi dalam perkembangan gangguan otot akut, pengalaman
yang berlanjut ke level yang signifikan pasa stress emosional dapat menunjukkan
perpetuating faktor yang mungkin meningkatkan gangguan nyeri ke arah yang
lebih kronis.
2. Penurunana regulasi system penghambat. Sepeti yang disebutkan pada Bab 2
penurunan system penghambatan mewakili sekelompok struktur batang otak yang
mengatur peningkatan aktivitas neural. Sistem penurunan penghambatan yang
efektif meminimalkan input nociceptive seperti hal ini menaikkan ke korteks.
Jika system ini menjadi tidak efektif, peningkatan nociceptif dapat mencapai
korteksnya, menghasilkan sebuah peningkatan nyeri yang parah. Faktor yang
mengarah kepada penurunan regulasi system belum diketahui, tetapi konsep ini
mungkin sedikit membantu untuk menjelaskan perbedaan yang ditandai pada
setiap respon individu terhadap berbagai kejadian. Mungkin beberapa faktor
seperti defisiensi nutrisi dan olah raga fisik memainkan peranan. Meskipun
penurunan fungsi system penghambatan tampaknya mendatangkan kembali
gangguan nyeri yang berkelanjutan, faktor-faktor ini belum didokumentasikan
secara adekuat.
3. Gangguan tidur. Gangguan tidur secara umum dihubungkan dengan banyak
gangguan nyeri myialgia kronis. Apakah kondisi nyeri menghasilkan sebuah
ganguan tidur atau apakah gangguan tidur merupakan sebuah faktor signifikan
menginisiasi kondisi nyeri yang kronis, belum diketahui. Dengan tidak
memperhatikan penyebab dan efek pertanyaan ini, hubungan antara gangguan tidur
dan gangguan nyeri yang kronis harus di ketahui karena hal ini mungkin perlu
diketahui selama proses terapi.
4. Mempelajari bentuk kebiasaan. Pasien yang memiliki pengalaman menderita
penyakit dengan waktu yang lama dapat mengalami perkembangan sebuah
kebiasaan yang tampaknya menyebabkan gangguan nyeri ini terjadi terus menerus.
Dengan kata lain, orang-orang lebih belajar untuk menjadi sakit dari pada menjadi
sehat. Pasien yang mempunyai kebiasaan buruk perlu mendapatkan terapi untuk
menaikkan kebiasaan hidup sehat mereka sebelum mendapatkan perawatan sakit
sepenuhnya.
5. Secondary gain. Gangguan nyeri kronis dapat menghasilkan secondary gain yang
nyata untuk pasien yang menderita gangguan tersebut. Ketika pasien mempelajari
bahwa nyeri kronis dapat digunakan untuk merubah hidup pasien mungkin
mengalami kesulitan untuk melawan penyakit dan kembali ke pertanggungjawaban
normal. Sebagi contoh, jika nyeri kronis menjadi sebuah alasan untuk tidak
bekerja, hal ini menjadi sulit bagi para dokter untuk mengatasi masalah ini jika
tidak pasien ingin kembali bekerja. Hal yang penting, terapi harus di terapkan
untuk melawan secondary gain sehingga gangguan ini dapat diatasi. Kegagalan
dalam mengeliminsi secondary gain ini akan mengarah kepada kegagalan
melawan gangguan nyeri kronis.
6. Depresi. Depresi psikologis merupakan sebuah penemuan umum yang terjadi pada
pasien dengan nyeri kronis. Pasien yang menderita gangguan ini dalam periode
waktu yang lama seringkali mengalami depresi. Karena depresi mampu
menyebabkan masalah psikologis itu sendiri, hal ini harus diketahui secara jelas
dengan alasan untuk memanajemen pasien secara menyeluruh. Eliminasi masalah
nyeri saja tidak akan mengeliminasi masalah depresi.

8.2.7.2 Myialgia yang dimediasi secara terpusat (myositis kronis)


Myialgia yang dimediasi secara terpusat merupakan sebuah masalah kronis,
gangguan nyeri otot yang berkelanjutan yang secara utama diawali dari efek CNS yang
terasa pada daerah peripheral pada jaringan otot. Gangguan ini secara klinis terjadi dengan
gejala yang sama dengan kondisi inflamasi dari jaringan otot dan dari itu terkdang beralih
menjadi myiositis. Kondisi ini, bagaimanapun juga, tidak dikarakteristikan oleh tanda
klinis klasik yang dihubungkan dengan inflamasi (mis. merah, bengkak), dan dari itu
myiositis bukanlah sebuah istilah yang akurat. Sebuah istilah yang lebih akurat adalah
inflamasi neurogenik. Para ahli saat ini tahu bahwa ketika CNS diekspose untuk input
nociceptive yang berkepanjangan, jalur batang otak dapat berubah secara fungsional. Hal
ini dapat menghasilkan sebuah efek antidromik pada neuron afferent peripheral. Dengan
kata lain, neuron yang secara normal hanya membawa informasi dari peripheral ke CNS
saat ini dapat dibalikkan untuk membawa informasi dari CNS ke jaringan peripheral. Hal
ini mungkin terjadi melalui system trasnpor akson. Ketika hal ini terjadi, neuron afferen
dalam peripheral dapat mengeluarkan nociceptive neurotrans-mitters (mis. substansi P,
bradikinin) yang mana menyebabkan nyeri jaringan peripheral. Proses ini disebut
inflamasi neurogenik.
Konsep penting yang perlu diingat adalah bahwa nyeri otot yang ditutunjukka oleh
pasien myialgia kronis yang dimediasi secara terpusat tidak dapat dirawat dengan
memanipulasi nyeri jaringan otot itu sendiri. Manajemen harus dilakukan secara langsung
terhadap mekanisme pusat, proses yang dipikirkan dapat diatasi oleh dokter gigi.
Myialgia kronis yang dimediasi secara kronis mungkin disebabkan oleh
perpanjangan input nyeri otot yang berhubungan dengan rasa sakit local pada otot atau
nyeri myiofascial. Dengan kata lain, keluhan nyeri myiogenous yang lebih lama pada
pasien, myialgia kronis yang dimediasi secara terpusat. Bagaimanapun juga, mekanisme
pusat yang lain mungkin memainkan peranan yang signifikan pada etiologi myialgia yang
dimediasi secara terpusat, seperti regulasi system nervus autonom kronis, paparan stress
emosional yang kronis, atau sumber input nyeri dalam yang lain.
Dokter gigi sebaiknya mengetahui bahwa myialgia yang dimediasi secara terpusat
lebih berhubungan dengan nyeri otot yang berlanjut dibandingkan nyeri dengan durasi
yang sesaat. Kebanyakan gangguan nyeri otot bersifat episodic, meninggalkan nyeri otot
yang berselang-seling. Episode periode nyeri otot tidak menghasilkan myialgia kronis
yang dimediasi secara terpusat. Periode nyeri otot yang panjang dan konstan,
bagaimanapun juga, mungkin mengarah kepada myialgia kronis yang dimediasi secara
terpusat.
Pada satu kesempatan, infeksi bakteri atau virus dapat menyebar ke otot,
menghasilkan infeksi myiositis. Kondisi ini tidak umum tapi ketika terjadi perlu
diidentifikasi dan dilakukan perawatan yang tepat.
Karakteristik klinis myialgia kronis yang dimediasi secara terpusat adalah bersifat
konstan, nyeri myiogenous disertai rasa sakit. Rasa nyeri terjadi selama beristirahat dan
meningkat pada saat digunakan. Otot terasa keras pada saat palpasi dan umumnya terjadi
disfungsi structural. Karakteristis klinis yang paling umum adalah bertambahnya durasi
gejala.

8.2.7.3 Gangguan Myialgia sistemik kronis (fibromyalgia)


Gangguan myialgia kronis sistemik perlu diketahui karena terapi dilakukan
berdasarkan jenis gangguan ini. Kata sistemik digunakan karena gejala yang dilaporkan oleh
pasien bersifat meluas dan global, dan etiologi yang terjadi dihubungkan dengan mekanisme
sentral. Perawatan kondisi-kondisi ini mejadi lebih sulit karena perpetuating faktor dan siklus
nyeri otot juga perlu diketahui. Gangguan myialgia sistemik kronis yang perlu diketahui oleh
dokter gigi adalah fibromyialgia. Kondisi ini mewakili gangguan nyeri musculoskeletal global
yang sering kali memusingkan dengan gangguan akut otot mastikasi. Pada jaman dulu,
fibromyialgia dirujuk pada literature kedokteran sebagai fibrositis. Menurut laporan konsensus
mayor, fibromyialgia merupakan gangguan nyeri musculoskeletal yang bersifat meluas dimana
kekerasan ditemukan pada 11 atau 18 sisi yang spesifik pada seluruh tubuh. Fibromyialgia
bukan merupakan gangguan nyeri mastikasi, meskipun banyak pasien dengan fybromyialgia
sering melaporkan keluhan klinis yang sama sebagai TMDs. Presentasi kesamaan ini mungkin
mengarah kepada beberapa pasien fibromyialgia yang mungkin merancu dengan terapi TMD.
Hal ini muncul karena 42% pasien dengan fibromyialgia juga melaporkan gejala seperti TMD.
Karena beberapa kondisi nyeri otot sistemik kronis dapat terjadi, para dokter perlu untuk
mengetahui mereka dan mengalihkan pasien pada pendekatan medis individu. Gangguan
myioalgia sistemik kronis ini dibahas lebih lengkap pada Bab 12 sehingga hal ini mungkin
diidentifikasi secara nyata dan dibedakan dari gangguan otot mastikasi.

8.3 Gangguan fungsional sendi temporomandibular


Gangguan fungsional sendi TMJs mungkin paling umum ditemukan ketika dilakukan
pemeriksaan pada pasien dengan disfungsi mastikasi. Alasama untuk hal ini adalah tingginya
prevalensi tanda (bukan gejala yang penting). Banyak tanda, seperti suara pada sendi, tidak
adanya nyeri dan dari itu pasien mungkin merasa tidak membutuhkan perawatan. Ketika
terjadi, bagaimanapiun juga, secara umum dibagai dalam tiga kategori besar: Gangguan
discus-condil yang kompleks, ketidaksempurnaan permukaan struktur artikular dan gangguan
inflamasi sendi. Dua kategori pertama telah digabungkan berdasarkan gangguan interference
discus. Istilah gangguan interference disc pertama kali diperkenalkan oleh Welden Bell untuk
menggambarkan kategori gangguan fungsional yang terjadi dari masalah dengan condile-disc
yang kompleks. Beberapa masalah disebabkan oleh kekacauan atau perubahan perlekatan dari
disc ke condile; ketidaksesuaian lain terhadap permukaan articular condile disc dan fossa; dan
yang lain terhadap fakta bahwa secara relative struktur normal telah diperluas dibelakang jarak
pergerakan normal. Meskipun kategori yang luas ini memiliki kesan presentasi klinis, mereka
dirawat dengan sangat berbeda. Dari itu hal ini penting untuk membedakan mereka secara
klinis.
Gangguan inflamasi terjadi dari beberapa respon lokal jaringan yang merubah TMJ.
Mereka seringkali merupakan hasil dari gangguan discus yang kronis atau progresif. Dua
gejala mayor dari masalah fungsional TMJ adalah nyeri dan disfungsi.

8.3.1 Nyeri
Nyeri pada setiap struktur sendi (termasuk TMJs) disebut arthralgia. Nyeri ini tampak
logis bahwa beberapa nyeri di awali dari permukaan articular ketika sendi dibebani oleh otot.
Hal ini tidak mungkin, bagaimanapun juga, dalam sebuah sendi yang sehat karena tidak
terdapat innervasi permukaan articular. Arthralgia dari itu dapat berasal hanya dari nociceptor
yang terletak pada jaringan lunak di sekitar sendi.
Tiga jaringan periarticular yang mengandung beberapa nociceptor : ligament discal,
ligament capsular, jaringan retrodiscal. Ketika ligament-ligamen ini dielongasi atau jaringan
retrodiscal dipendekkan, nociceptor akan mengirim sinyal keluar dan akan menimbulkan nyeri.
Orang-orang yang tidak dapat membedakan ketiga struktur ini, sehingga nociceptor apapun
yang terstimulas didalam setiap strukutr meradiasi sinyal yang diterima sebagi rasa nyeri.
Stimulasi nociceptor yang dibuat untuk menghambat aksi pada otot yang menggerakkan
mandibula. Dari itu ketika nyeri tiba-tiba dirasaskan dan tidak diharapkan, pergerakan
mandibula secara cepat berhenti (reflex nociceptif). Ketika nyeri kronis dirasakan, pergerakan
menjadi terbatas dan disengaja ( protective co-contraction).
Arthralgia dari struktur jaringa sehat yang normal dari sendi adalah nyeri tajam, tiba-
tiba dan intens yang secara dekat berhubungan dengan pergerakan sendi. Ketika sendi dalam
posisi istirahat, rasa nyeri akan teratasi dengan cepat. Jika struktur sendi rusak, inflamasi dapat
menghasilkan nyeri yang konstan yang ditonjolkan oleh pergerakan sendi. Seperti yang
dibacarakan sebelumnya, sebuah kerusakan jaringan sendi yang dihasilkan pada kehilangan
permukaan artikular yang normal, membuat nyeri yang mula-mula berawal dari tulang
subartikular.

8.3.2 Disfungsi
Disfungsi umumnya disertai dengan gangguan fungsional TMJ. Biasanya hal ini
terjadi sebagai sebuah kerusakan pergerakan discus condilus yang normal, dengan
menghasilkan suara pada sendi. Suara sendi mungkin terjadi sekali dengan durasi singkat
dikenal dengan bunyi “klik”. Jika suara ini keras, bunyi ini mengarah kepada sebuah “pop”.
Crepitation merupakan sebuah bunyi yang multipel, kasar, seperti batu kerikil dan rumit.
Disfungsi TMJ mungkin juga terjadi sebagai sebuah sensasi pegangan ketika pasien membuka
mulutnya. Terkadang beberapa rahang dapat mengunci dengan sendirinya. Disfungsi TMJ
secara langsung berhubungan dengan pergerakan rahang.

8.3.3 Rangkaian gangguan fungsional sendi temporamandibular


Sama seperti ganguan otot, semua gangguan fungsional TMJ tidaklah sama. Dari itu
identifikasi gejala yang tepat dam mendirikan diagnose akurat merupakan hal yang penting
untuk mendapatkan keberhasilan perawatan. Tiga kategori gangguan TMJ mayor
didiskusikan, sepanjang subkategori yang beragam ini. Presentasi klinis dari setiap gangguan
ini diidentifikasi, dan faktor etiologi yang lebih umum di sebutkan satu-persatu.
8.3.3.1 Gangguan discus condilus yang kompleks
Gangguan-gangguan ini terjadi sebagai kondisi yang luas, yang mana kebanyakan
dapat dilihat seperti suatu rangkaian kejadian yang progresif. Gangguan-gangguan ini terjadi
karena perubahan hubungan antara discus articular dan condilus. Untuk memahami
hubungan, hal ini tepat untuk meninjau secara singkat sebuah gambaran fungsi sendi yang
normal. (Lihat Bab 1)
Ingat bahwa diskus secara lateral dan medial loncat ke condile oleh ligament discal
collateral; demikian pergerakan translator di dalam sendi dapat terjadi hanya diantara discus
condile yang kompleks dan fossa artikular. Pergerakan fisiologi yang hanya terjadi diantara
condile dan discus articular berputar. Discus ini dapat berotasi pada condile mengelilingi
perlekatan ligament discus collateral menuju ke puncak condole. Perluasan pergerakan rotasi
dibatasi oleh panjang dari ligamen discus collateral., dan oleh lamina inferior retrodiscal secara
posterior dan anterior capsular ligament secara anterior. Jumlah rotasi pada discus condil juga
ditentukan oleh morfologi discus, derajat tekanan interarticular dan otot pterygoid superior
lateral dan lamina retrodiscal superior.
Ketika mulut dibuka, condile bergerak menuju kedepan dan discus berputar secara
posterior di atas condile. Lamina retrodiscal superior menjadi panjang, membolehkan
kompleks discus condilus untuk melewati fossa. Tekanan interarticular disediakan oleh otot
elevator untuk memelihara condile pada zona intermedia yang lebih kecil pada discus articular
dan mencegah bingkai anterior yang lebih tebal dari melewati secara posterior melalui ruang
discal diantara condil dan permukaan artikular eminensia. Ketika seseorang menggigit
makanan keras, tekanan interarticular menurun di dalam sendi ipsilateral (sisi menggigit).
Untuk menstabilkan sendi selama tenaga tekanan, pterygoid superior lateral menarik kompleks
discus condilus ke depan. Serat pterygoid superior lateral yang melekat pada discus
menghasilkan sebuah rotasi kea rah depan discus, membolehkan batas posterior yang lebih
tebal untuk memelihara kontak intim diantara permukaan dua artikular. Serat pterygoid
superior lateral yang melekat terhadap leher condil menarik condile ke depan, menjepit condil
ini melawan sisi posterior eminensia.
Ingat bahwa lamina retrodiscal superior hanya merupakan struktur yang menarik
kembali discus secara posterior. Tekanan ini, bagaimanapun juga, dapat diaplikasikan hanya
ketika condile dibawa ke depan, membuka dan melebarkan lamina retrodiscal superior. (Pada
posisi sendi tertutup tidak terdapat regangan pada lamina retrodiscal superior). Discus dapat
dirotasikan ke depan oleh aksi pterygoid superior lateral, yang mana direkatkan. Pada sendi
yang sehat permukaan condil, discus dan fossa articular halus dan licin dan mengijinkan
pergerakan pergesekan yang mudah.
Dari itu discus ini memelihara posisinya pada condil selama pergerakannya karena
morfologinya dan tekanan interarticular. Morfolog condil (mis. batas anterior dan posterior
yang lebih tebal) menyediakan karakteristik posisinya , dalam conjunction dengan tekanan
interarticular, memusatkannya pada condile. Bagian yang dilindingu oleh karakteristik posisi
ini adalah ligament discus collateral medial dan lateral, yang mana melindungi discus condole
dari pergerakan meluncur.
Jika morfologi discus dirubah dan ligament discal menjadi panjang, discus kemudian
dibolehkan untuk meluncur (translate) melintasi permukaan articular condil. Jenis pergerakan
ini tidak terjadi pada snedi yang sehat. Derajatnya ditentukan oleh perubahan yang terjadi
pada morfologi discus dan derajat perpanjangan ligament discal.
Untuk tujuan diskusi, para dokter dapat mengasumsikan bahwa ligament discal menjadi
panjang. (Ligament hanya bisa dipanjangkan, tidak di regangkan. Regangan mengimplikasikan
perpanjangan yang diikuti oleh kembali ke panjang semula lagi. Pada posisi penutupan sendi
yang normal dan selama berfungsi, tekanan interarticular tetap membolehkan discus untuk
memposisikan dirinya sendiri di atas condile dan tidak ada gejala lain yang tercatat.
Perubahan morfologi discus diikuti oleh perpanjangan ligament discal yang dapat merubah
hubungan fungsi normal ini. Pada posisi istirahat menutup sendi, tekanan interarticular
bersifat rendah. Jika ligament discal menjadi panjang, discus bebas untuk berpindah pada
permukaan articular di atas condil. Karena pada posisi menutup sendi lamina superior
retrodiscal tidak menyediakan banyak pengaruh pada posisi discus ini, kekuatan otot pterygoid
superior lateral akan mendorong discus untuk mengasumsikan sebuah posisi yang lebih ke
depan dari condil.
Pergerakan ke depan dari discus akan dibatasi oleh panjangnya ligament discal dan
ketebalan dari batas posterior discus. Sebenarnya, perlekatan pteryigoid superior lateral
menarik discus tidak hanya ke depan tetapi juga secara medial pada condil. (Gambar 8-5).
Jika tarikan otot ini diperpanjang, batas posterior discus dapat menjadi lebih kecil. Pada saat
area ini diperkecil, discus mungkin digantikan dengan jarak lebih ke anteromedial. Karena
lamina retrodiscal superior menyediakan sedikit resistensi pada posisi sendi yang menutup,
posisi medial dan anterior dari discus dipertahankan. Pada saat batas posterior discus
diperkecil, discus ini dapat diganti lebih jauh kedalam ruang discal sehingga condil
ditempatkan pada batas posterior dari discus. Kondisi ini dikenal sebagai pemindahan
fungsional discus (Gambar 8-6). Banyak orang melaporkan pemindahan fungsional discus ini
secara awal sebagai sebuah sensasi perubahan sewaktu selama pergerakan tetapi tidak selalu
menimbulkan nyeri. Nyeri mungkin terkadang dirasakan ketika pasien mengigit (dengan
sebuah tekanan) dan mengaktifkan pteryigoid lateral superior. Pada saat otot ini ditarik, discus
yang dipindahkan lebih jauh dan dikencangkan di dalam sudut discus yang dipanjangkan dapat
menghasilkan nyeri.

Gambar 8-5
A. Pada posisi sendi menutup, tarikan otot pterygoid superior lateral berada pada jarak
anteromedial (tanda panah). B, Ketika mandibula bergerak translasi ke depan pada
posisi potrusif, tarikan pada bagian kepala superior ditujukan lebih medial (tanda
panah). Pada posisi protrusi, tarikan mayor otot terletak dimedial dan tidak.

Ketika discus berada pada posisi lebih kedepan dan medial, fungsi dari sendi dapat di
kompromikan. Ketika mulut dibuka dan condole bergerak ke depan, pergerakan translator
dengan jarak yang pendek dapat terjadi diantara condil dan discus hingga condil sekali lagi
diasumsikan pada posisi normalnya pada daerah yang paling kecil dari discus (zona
intermediate). Ketika terjadi gerakan translasi mengelilingi permukaan posterior dari discus ke
daerah intermediate, tekanan interarticular memelihara hubungan ini dan diskus dibawa ke
depan dengan condil melalui bagian yang tersisa dari gerakan translator. Setelah gerakan
kedepan seara keseluruhan di lakukan, codil memulai untuk kembali dan serat fiber lamina
retrodiscal superior diregangkan membantu diskus kembali dengan condil terhadap posisi
sendi menutup. Sekali lagi, tekanan interarticular memelihara permukaan articular condil pada
zona intermediate discus dengan cara tidak membolehkan batas anterior yang lebih tebal lewat
diantara condil dan eminensia artikularis.
Gambar 8-6
A. Posisi normal dari discus di atas condilus pada posisi sendi tertutup. B,
Pemindahan fungsional dari discus. Batas posterior ini telah dikecilkan dan
ligamen retrodiscal discal dan inferior dipanjangkan, berdasarkan aktivasi dari
pterygoid superior lateral ke pemindahan discus secara anterior (dan medial), C,
pada specimen ini condil diartikulasikan pada ikatan posterior discus (PB) dan
tidak pada zona intermediate (IZ). Hal ini menggambarkan pemindahan discus
secara anterior. (Laporan Dr. Julio Turell, University of Montevideo, Uruguay.)

Pada saat posisi sendi menutup, diskcus berada pada posisi bebas untuk berpinndah
berdasarkan perlekatan fungsional yang diminta. Adanya kekerasan otot akan
mendorong untuk mengasumsikan posisi paling anteromedial yang membolehkan
perlekatan discal dan morofologinya sendiri. Satu gambaran bahwa jika otot bersifat
hiperaktif, otot pterygoid superior lateral akan memiliki pengaruh yang cukup besar pada
psosisi discus.
Karakteristik yang penting dari hubungan fungsional ini adalah bahwa gerakan
translate dari condole melintasi discus pada beberapa derajat ketika perpindahahan
dimulai. Jenis perpindahan ini tidak terjadi pada sendi yang normal. Selama pergerakan
terjadi peningkatan tekanan interarticular yang mungkin mencegah permukaan articular
dari gerakan meluncur melewati satu sama lain dengan cara yag halus. Discus dapat
berupa tongkat atau seperti sisir yang lurus, menyebabkan sebuah pergerakan yang kasar
dari condile melintasinya ke hubungan discus condilus yang normal. Suara kliking
seringkali menyertai pergerakan yang kasar ini. Ketika sendi terkunci, hubungan normal
antara discus dan condile terjadi kembali dan hubungan ini dipelihara selama posisi
membuka istirahat. Selama posisi mulut menutup dalam hubungan normal antara discus
dan condile dipelihara karena adanya tekanan interarticular. Bagaimanapun juga, ketika
mulut ditutup dan tekanan interarticular menjadi rendah, discus sekali lagi dipindahkan
ke depan oleh kekerasan dari otot pteryigoid superior lateral. Pada kebanyakan instansi
jika pemindahan terjadi lurus dan tekanan interarticular menjadi rendah, tidak ada bunyi
klik yang dicatat pada pemindahan kembali ini (Gambar 8-7). Bunyi klik tunggal ini
diobservasi selama pergerakan membuka mulut yang mewakili tahap awal dari gangguan
kerusakan discus, yang disebut dengan kerusakan internal.

Gambar 8-7
Diantara dua posisi 2 dan 3 sebuah bunyi klik dirasakan seperti condile
bergerak melintasi batas posterior menuju zona intermediate dari discus. Fungsi
condil-discus yang normal terjadu selama gerakan membuka dan menutup. Pada
posisi sendi menutup (1) discus sekali lagi berpindah melintasi (secara medial)
oleh aktifitas pteryigoid superior lateral.

Jika kondisi ini terus bertahan, tahap kedua dari kerusakan dapat terjadi. Pada
saat discus secara lebih kronis diletakkan kembali di depan dan medial oleh aksi otot
pterygoid superior lateral, ligament discus akan lebih jauh mengalami pemanjangan.
Posisi lebih depan yang berlanjut dari discus juga menyebabkan pemanjangan lamina
retrodiscal inferior. Bersamaan dengan kerusakan ini adalah sebuah pemendekan batas
posterior discus yang berlanjut, yang mana membolehkan discus terletak kembali lebih ke
anterior, menghasilkan condil yang terletak lebih ke posterior pada batas posterior.
Perubahan morfologi discus pada daerah dimana condil beristirahat dapat menghasilkan
sebuah bunyi klik kedua selama tahap lanjut pada condilar sesaat setelah posisi sendi
menutup. Tahap kerusakan ini disebut reciprocal klik.

Gambar 8-8 Reciprocal klik

Posisi antara 2 dan 3 sebuah bunyi klik dirasakan pada saat condil bergerak melintasi
batas posterior discus. Fungsi normal discus-condilus terjadi selama pergerakan
membuka dan pergerakan menutup hingga posisi menutup dari sendi didapatkan.
Kemudian bunyi klik yang kedua kali didengar pada saat condil bergerak dari zona
intermediate ke batas posterior discus (antara 8 dan 1).

Reciprocal clincking (Gambar 8-8) dikarakteristikan sebagai berikut:


1. Selama mandibula membuka, terdengar sebuah suara yang menunjukkan
pergerakan mandibula melintasi batas posterior discus ke posisi normalnya pada
zona intermediate. Hubungan normal discus-condile dipelihara melalui sisa
pergerakan pembukaan.
2. Selama menutup, posisi normal discus dipelihara melalui gerakan kembalinya
condil ke dekat posisi menutup dari sendi.
3. Pada saat mendekati posisi menutup sendi, tarikan posterior dari lamina superior
retrodiscal diturunkan.
4. Kombinasi morfologi discus dan tarikan pterygoid superior lateral membolehkan
discus meluncur balik ke posisi anterior, dimana pergerakan dimulai. Pergerakan
akhir condil ini melintasi batas posterior discus menghasilkan sebuah bunyi
kliking kedua dan demikian yang disebut reciprocal click.

Klik pada saat membuka dapat terjadi di waktu kapanpun dimana pergerakannya
bergantung pada morfologi discus-condil, tarikan otot, dan tarikan lamina retrodiscal
superior. Klik pada saaat menutup juga selalau terjadi pada saat mendekati posisi
menutup dan posisi intercups (ICP).
Para dokter sebaiknya mengingat abhwa ketika discus berpindah secara anterior oleh
otot, lamina superior retrodiscal menjadi panjang. Jika kondisi ini terjadi untuk beberapa
periode yang lama, elastisitas lamina retyrodiscal superior dapat menjadi rusak dan
hilang. Yang terpenting, area ini merupakan satu-satunya struktur yang dapat
mengaplikasikan tekanan retractif pada discus. Ketika tekanan ini hilang, tidak ada
mekanisme yang dapat menarik kembali discus secara posterior.
Beberapa pengarang menyarankan bahwa otot superior lateral bukan merupakan
faktor mayor yang mempengaruhi pemindahan secara anterior media dari discus.
Meskipun aplikasi ini menjadi faktor yang mempengaruhi secara nyata, karakteristik lain
secara pasti juga perlu di pertimbangkan. Tanaka telah mengidentifikasi adanya
perlekatan ligament pada bagian medial discus-condil yang lengkap ke dinding media
dari fiossa. Jika ligament ini terikat secara kuat, pergerakan condil ke depan mungkin
menghasilkan sebuah perlekatan yang kuat pada aspek media pada fossa posterior tapi
tidak pada aspek lareral. Hal ini juga menyarankan bahwa aspek lateral dari discus dapat
secara lebih mudah berpindah dari pada aspek medial, mempermudah arah pemindahan
discus kea rah lebih anteromedial. Faktor tambahan yang belum digambarakan mungkin
akan digambarkan. Investigasi lebih lajut pada area ini merupakan hal yang penting.

Gambar 8-9
Spesimen ini menunjukkan sebuah perlekatan ligament (LA) pada kompleks discus-
condil (CDC) ke dinding medial dari dari fossa (MW). Selama pergerakan condil ke
depan perlekatan ini mungkin terikat pada jarak anteromedial. Perlekatan ini telah
ditunjukkan oleh Tanaka dan mungkin membantu untuk menjelaskan pemindahan dalam
jarak anteromedial dari beberapa discus. (Laporan Dr. Terry Tanaka, Chula Vista, Calif.)

Dengan pemikiran mengenai kerusaka discus pada tahap berikutnya dapat


didiskusikan. Para dokter sebaikmya mengingat bahawa discus yang lebih panjang
ditempatkan secara anterior dan media, pengecial yang hebat dari batas posteriornya dan
discal ligament yang lebih ke lateral dan lamina retrodiscal superior akan dipanjangkan.
Pemindahan protraksi anterior dari discus mengakibatkan kehilangan elastisitas yang
banyak dari lamina retrodiscal superior. Pada saat discus menjadi lebih datar, discus ini
kehilangan lebih banyak kemampuannya untuk memposisikan dirinya pada condil,
membolehkan pergerakan translator yang lebih banyak antara condil dan discus.
Keleluasaan yang lebih banyak dari discus untuk bergerak, lebih mempengaruhi posisi
dari perlekatan otot pterygoid superior lateral. Meskipun discus dapat ditekan melalui
ruang discal, akan terjadi pengkerutan di bagian belakang. Dengan kata lain, jika batas
posterior discus menjadi lebih kecil, perlekatan fungsional dari pterygoid superior lateral
dapat mendorong sebuah migrasi anterior dari discus secara menyeluruh melalui ruang
discal. Ketika hal ini terjadi, tekanan interarticular akan mengkerutkan ruang discal,
trapping discus pada posisi yang lebih depan. Kemudian tarikan translasi condil
berikutnya dihambat oleh posisi anterior dan media dari discus. Seseorang merasakan
sendinya terkunci pada saat posisi menutup. Karena permukaan articular sebenarnya telah
dipisahkan, kondisi ini diarahkan kepada dislokasi fungsional pada discus (Gambar 8-10)

Gambar 8-10

A, pemindahan discus secara fungsional. B, Dislokasi discus secaar fungsional. Pada


dislokasi discus secara fungsional, ruang sendi telah membatasi dan discus terjebak
secara anterior (dan medial). C. Pada specimen ini discus secara fungsional mengalami
dislokasi anterior ke condil. (Laporan Dr. Per-Lennart Westesson, University of
Rochester, NY.)

Seperti yang telah digambarkan, secara fungsional discus yang mengalami


pemindahan dapat menghasilkan suara pada sendi seperti condile bergerak meluncur
melintasi discus selama translasi normal dari mandibula. Jika discus mengalami dislokasi
secara fungsional, suara sendi dihilangkan karena tidak ada gerakan meluncur. Hal ini
dapat menjadi informasi yang membantu dalam membedakan pemindahan secara
fungsional dari dislokasi fungsional.

Gambar 8-11 Dislokasi fungsional discus dengan penurunan


Selama membuka, condil bergerak melintasi batas posterior discus ke daerah
intermediate pada discus, dengan demikian menurunkan dislokasi discus (antara posisi 3
dan 4). Sebuah suara klik kedua didengar sebagai pergerakan condile melewati posterior
discus pada saat discus mengalami doslokasi lagi (antara posisi 8 dan 1).

Beberapa orang dengan dislokasi fungsional discus dapat memindahkan


mandibula dalam arah lateral dan protrusive untuk mengakomodasi pergerakan condil
melintasi batas posterior discus, dan kondisi mengunci ini dapat diatasi. Jika kunci
jarang terlihat dan seseorang dapat mengatasi masalah ini tanpa bantuan asisten, hal ini
mengarah kepada dislokasi fungsional dengan penurunan. Pasien akan sering melaporkan
bahwa rahang mereka “ catches’ ketika membuka dengan lebar (Gambar 8-110. Kondisi
ini mungki atau tidak mungkin menimbulkan nyeri bergantug pada keparahan dan durasi
dari peguncian dan integritas struktur sendi. Jika hal ini bersifat akut, riwayat dan durasi
yang singkat, nyeri sendi mungkin hanya berhubungan dengan elongasi ligament sendi
(seperti mencoba untuk memaksa rahang terbuka). Pada saat episode Catching atau
penguncian menjadi lebih sering dan kronis, ligament akan rusak dan disertai hilangnya
innervasi. Nyeri menjadi tidak berhubungan dengan ligament dan lebih berhubungan
untuk memaksa meletakkan jaringan retrodiscal.

Gambar 8-12 Terkunci saat menutup

Condile tidak pernah mengasumsikan sebuah hubungan yang normal pada discus tetapi
justru menyebabkan discus bergerak ke depan. Kondisi ini membatasi jarak. hal ini
dapat mengakibatkan pergrakan translate ke depan.
Tahap berikutnya dari kerusakan discus dikenal dengan dislokasi discus
fungsional tanpa penurunan. Kondisi ini terjadi ketika seseorang tidak dapat
mengembalikan dislokasi discus ke posisi normalnya pada condil. Mulut tidak daoat
dibuka secara maksimal karena posisi discus tidak membolehkan gerakan translasi
sepenuhnya dari condil (Gambar 8-12). Menurut jenisnya pembukaan mulut awal akan
terjadi hanya sekitar 25 hingga 30 mm antar incisal, yang mana mewakili rotasi
maksimum dari sendi. Seseorang biasanya sadar mengenai sendi yang terlibat dan dapat
mengingat waktu kejadian terjadinya penguncian. Karena hanya satu sendi yang
biasanya terkunci, sebuah bentuk yang jelas dari gerakan mandibula diobservasi secara
klinis. Sendi dengan dislokasi discus secara fungsional tanpa penurunan tidak
membolehkan gerakan transalasi seluruhnya dari condil itu sendiri, sedangkan sendi yang
lain berfungsi secara normal. Dari itu ketika pasien membuka mulut dengan lebar, garis
tengah dari mandibula didefleksikan ke sisi yang terlibat. Pasien juga dapat melakukan
gerakan lateral normal ke sisi yang terlibat (condil pada sisi yang terlibat hanya dapat
melakukan gerakan berotasi). Bagaimanapun juga, ketika gerakan dicobakan pada sisi
yang tidak terlibat, sebuah batasan berkembang (condil pada sisi yang terlibat tidak dapat
bergerak translasi melewati discus yang mengalami dislokasi fungsional secara anterior).
Dislokasi tanpa penurunan juga diistilahkan sebagai penguncian tertutup karena pasien
merasa terkunci disisi dekat dengan posisi mulut tertutup. Pasien mungkin melaporkan
nyeri ketika mandibula digerakkan ke titik puncak batasan, tapi nyeri tidak selalu
menyertai kondisi ini.
Jika penguncian tertutup terus terjadi, condil secara kronis akan diposisikan pada
jaringan retrodiscal. Jaringan-jaringan ini secara struktur anatomi tidak mampu
menerima tekanannya. Dari itu pada saat tenaga diaplikasikan, sebuah kemungkinan
yang hebat terjadi yaitu jaringan mungkin mengalami merusakan. Dengan adanya
kerusakan ini akan mengakibatkan inflamasi jaringan (yang mana didiskusikan pada
kategori lain dari gangguan TMJ).
Setiap kondisi atau kejadian yang mengarah pada perpanjangan ligament discal
atau perpendekan discus dapat menyebabkan kerusakan-kerusakan gangguan condole-
discus yang kompleks. Secara pasti satu dari faktor yang paling umum adalah trauma.
Dua jenius umum dari trauma yang perlu dipertimbangkan adalah : makrotrauma dan
mikrotrauma.

8.3.3.1.1 Makrotrauma
Makrotrauma dipertimbangkan sebagai kekuatan yang bersifat tiba-tiba yang
dapat menyebabkan perubahan structural. Perubahan structural yang paling umum
terjadi melibatkan TMJ adalah perpanjagan ligament discal. Makrotrauma dapat dibagi
ke dalam subdivisi yaitu trauma langsung atau trauma tidak langsung.
Trauma langsung. Trauma langsung yang signifikan pada mandibula, seperti
pukulan pada dagu, secara cepat dapat mengakibatkan gangguan intracapsular. Jika
trauma ini terjadi pada saat gigi geligi tidak beroklusi (trauma mulut terbuka) condil
dapat segera ditempatkan kembali ke fossa. Gerakan condil yang tiba-tiba ini dilawan
oleh ligamentum-ligamentum. Jika kekuatannya besar, ligament dapat menjadi panjang,
yang mana mungkin mampu mengkompromikan mekanisme normal condil-discus. Hasil
dari peningkatan kehilangan dapat mengarah kepada pemindahan discal, gejala kliking
dan terjepit. Makrotrauma yang tidak diharapkan terhadap rahang (seperti yang mungkin
didertita selama jatuh atau kecelakaan sepeda motor) mungkin mengarah kepada
pergeseran discal dan atau dislokasi.
Satu yang perlu dicatat bahwa dengan trauma mulut terbuka, sisi sendi yang
berlawaan yang paling banyak menerima injuri. Sebagai contoh, jika seseorang
menerima sebuah pukulan dari sisi kanan mandibula, mandibula ada secara cepat
bergeser ke kiri. Condil kanan di dukung dengan baik oleh dinding medial dari fossa.
Dari itu condil ini tidak mengalami pergeseran dan ligament tidak mengalami injuri.
Bagaimanapun juga, ketika sebuah pukulan datang pada sisi kanan, condil sebelah kiri
dapat secara cepat bergerak ke lateral dimana tidak terdapat dukungan tulang, hanya
ligament. Ligament-ligament ini dapat secara tiba-tiba mengalami elongasi,
menghasilkan pergeseran diskus TMJ bagian kiri.
Makrotrauma dapat juga terjadi ketika gigi geligi berada pada keadaan oklusi
(trauma mulut tertutup). Jika trauma terjadi dimandibula pada saat gigi geligi sedang
kontak, intercups dari gigi geligi mempertahankan posisi rahang, dan mencegah
terjadinya pergeseran sendi. Trauma mulut tertutup merupakan jenis injuri yang jarang
terjadi pada kompleks discus-condil. Penurunan potensi injuri ini menjadi nyata ketika
satu pemeriksaan insiden injuri dihubungkan dengan aktivitas atletik. Atlit yang
menggunakan alat pelindung mulut secara signifikan lebih sedikit mengalami injuri yang
berhubungan dengan rahang daripada mereka yang tidak menggunakan. Hal ini akan
bijaksana, dari itu, jika trauma mulut dapat dihindari, untuk mennguanakn alat-alat yang
halus atau paling tidak memegang gigi geligi secara kuat pada ICP. Sayangnya, banyak
makrotrauma langsung tidak diharapkan (mis kecelakaan sepeda motor) dan dari itu gigi
geligi yang tidak beroklusi, secara umum menghasilkan injuri pada struktur sendi.
Trauma mulut tertutup bukanlah tidak mungkin tanpa konsekuensi. Meskipun
ligament mungkin tidak mengalami pemanjangan, permukaan artikular dapat secara pasti
menerima beban trauma secara tiba-tiba. Dampak dari jenis beban ini mungkin
mengganggu permukaan artikular dari condil, fossa atau discus, yang mana mengarahkan
kepada perubahan permukaan yang halus dari sendi, menyebabkan kekasaran dan sulit
selama bergerak. Dari itu jenis trauma ini mungkin menghasilkan adhesion, yang mana
akan dibahas kemudian pada bab ini.
Trauma langsung juga dapat bersifat iatrogenic. Setiap waktu rahang mengalami
perluasan yang berlebih, elongasi dari ligament dapat terjadi. Pasien lebih memiliki
resiko untuk jenis injuri ini jika mereka telah disedasi, menurunkan stabilitas sendi
normal oleh otot. Sedikit contoh yang umum dari trauma iatrogenic adalah prosedur
intubasi, prosedur pencabutan gigi molar ketiga dan prosedur perawatan gigi yang lama.
Kenyataannya, setiap pembukaan mulut yang luas (mis menguap) memiliki potensi untuk
memanjangkan ligament discal. Para dokter umum dan dokter gigi perlu untuk
menyadari secara akurat kondisi-kondisi ini sehingga tidak mengakibatkan masalah
kerusakan discus yang mungkin terjadi diakhir hidup pasien.

Trauma tidak langsung. Trauma tidak langsung mengarah kepada injuri yang
mungkin terjadi pada TMJ kedua akibat tekanan yang tiba-tiba, tapi tidak terjadi secara
langsung pada mandibula. Jenis yang paling umum dari trauma indirect dilaporkan
berhubungan dengan perluasan servikal/ injuri fleksi (injuri pada leher). Meskipun
literature merefleksikan sebuah hubungan antara injuri di leher dan gejala TMD, data
yang tersedia masih sedikit mengenai hubungan yang alami ini.
Model computer menyarankan bahwa injuri sepeda motor yang pasti tiudak
mengakibatkan fleksi-ekstensi dari TMJ yang sama dengan yang terlihat pada leher.
Dalam dukungan, seorang sukarelawan uji tabarkan sepeda motor gagal untuk
menunjukkan pergeseran rahang setelah mendpaatkan tumbukan dari belakang. Dari itu
terdapat sedikit bukti yang mendorong pada waktu itu untuk mendukung konsep bahwa
trauma secara tidak langsung umumnya menghasilkan pergerakan condile yang cepat di
dalam fossa, membuat injuri yang sama pada jaringan lunak seperti yang terlihat pada
cervical spine. Hal ini tidak untuk mengatakan bahwa jenis injuri tidak pernah terjadi,
hanya mungkin jarang terjadi.
Jika pernyataan itu benar, mengapa gejala TMD umumnya berhubungan dengan
injuri servical line? Jawaban atas pertanyaan ini adalah pemahaman akan gejala
heterotopic (lihat Bab 2). Para dokter selalu membutuhkan pikiran bahwa input nyeri
dalam konstan yang berasal dari servikal spine umumnya membuat gejala heterotopic
pada muka. Gejala-gejala heterotopic ini mungkin mengarah kepada nyeri (sensori) dan
atau co-contraction pada otot mastikasi (motor). Kronn melaporkan bahwa pasien yang
mengalami pengalaman baru-baru saja mengalami injuri di leher memiliki insiden nyeri
pada TMJ, membuka mulut yang terbatas dan nyeri pada otot mastikasi pada saat palpasi
daripada kelompok kontrol. Semua gejala ini dapat dijelaskan sebagai gejala heterotopic
yang berhubungan dengan input nyeri dalam dari cervical spine. Pemahaman konsep
klinis ini adalah sangat penting karena hal ini menunjukkan terapi yang diperlukan.
Seperti yang akan dibahas pada bab berikutnya, ketika keadaan–keadaan ini terjadi, terapi
yang meluas ke struktur mastikasi akan memiliki efek sedikit pada penyelesaian input
nyeri cervical yang dalam. Perhatian utama perlu diberikan secara langsung terhadap
injuri servikal (nyeri yang asli).

8.3.3.1.2 Mikrotrauma
Mikrotrauma mengarah kepada semua bentuk tekanan kecil yang terjadi secara
berulang-ulang pada struktur sendi dalam waktu yang lama. Seperti yang didiskusikan
pada Bab 1, jaringan penghubung fibrous tebal yang menutupi permukaan artikular dari
sendi dapat dengan baik mentoleransi beban tekanan. Kenyataannya, jaringan ini perlu
untuk mendapatka jumlah beban yang pasti untuk bertahan karena beban tekanan
membawa cairan synovial masuk dan keluar pada permukaan artikular, melewatinya
dengan nutrisi dan membuang produk keluar. Jika, bagaimanapun juga, penggunaan
jaringan yang melebihi batas fungsional, perubahan yang irreversible atau kerusakan
dapat terjadi. Ketika batas fungsional telah dilewati, fibril collagen menjadi fragme,
menghasilkan sebuah penurunan kekakuan dari jaringan kolagen. Hal ini membolehkan
air proteoglikan gel untuk bertambah dan mengalir keluar ke dalam ruang sendi,
menyebabkan articular menjadi halus. Bagian yang halus ini disebut chondromalacia.
Tahap awal chondromalacia bersifat reversible jika dilakukan penurunan beban muatan.
Jika, bagaimanapun juga beban berlanjut ke perluasan kapasitas jaringan articular,
perubahan yang bersifat irreversible dapat terjadi. Daerah yang mengalami fibrillation
dapat berkembang, menghasilkan focal permukaan artikular yang kasar. Perubahan
karakteristik frictional permukaan dan mungkin mengarahkan kepada permukan artikular
yang sticking, menyebabkan perubahan mekanisme gerakan ligament discus. Sticking
yang berlanjut dan atau kekasaran menyebabkan ketegangan pada ligament discal selama
gerakan dan pada akhirnya menyebabkan pergeseran (didiskusikan pada bagian ini).
Pertimbangan lain yang berhubungan dengan beban adalah adanya hipoksia/ teori
reperfusion. Seperti yang telah dinyatakan sebelumnya, beban pada permukaana
artikular adalah normal dan penting untuk kesehatan. Bagaimanapun juga, pada
kesempatan tekanan diaplikasikan ke permukaan artikular dapat memperbesar tekanan
kapiler dari pembuluh darah yang menyuplai. Jika tekanan ini terus menerus ada,
hipoksia dapat berkembang di dalam struktur yang disuplai oleh pembuluh darah. Ketika
tekanan interartikular kembali ke normal, terdapat tahap reperfusion. Para ahli percaya
bahwa selama tahap reperfusion, radikal bebas dikeluarkan ke dalam cairan synovial.
Radikal bebas ini dapat secara cepat merusak asam hyaluronic, yang mana melindungi
fosfolipid yang mengelilingi permukaan sendi dan menyediakan cairan pelumas yang
penting. Ketika fosfolipid hilang, permukaan sendi artikular tidak meluncur
menyebabkan sedikit gesekan, menyebabkan terjadinya kerusakan. Hasil ‘sticking” ini
dapat mengarahkan terjadinya pergeseran discus. Radikal bebas juga dihubungkan
dengan tahap hiperalgesik dan dari itu dapat memproduksi nyeri pada sendi.
Mikrotrauma berasal dari beban yang dihubungkan dengan hiperaktivitas otot
seperti menggerinding atau mencengkram. Hal ini dapat terjadi jika aktifitas
menggerinding terjadi terus menerus dan jaringan tidak memiliki kesempatan untuk
beradaptasi. Hal ini mungkin bahwa jika menggerinding berjalan dalam waktu lama,
jaringan artikular telah beradaptasi terhadap beban tekanan dan tidak akan terlihat
perubahan. Kenyataannya, pada kebanyakan pasien yang mengalami beban muatan
permukaan articular sedikit demi sedikit akan mengarah pada permukaan yang lebih
tebal. jaringan articular lebih mentoleransi.
Jenis mikrotrauma lain yang dihasilkan dari ketidakstabilan orthopedic
mandibular. Seperti yang telah digambarkan sebelumnya, stabilitas orthopedic terjadi
ketika ICP gigi geligi stabil berada harmoni dengan posisi stabil dari musculoskeletal
pada condil. Ketika kondisi ini tidak terjadi, mikrotrauma dapat terjadi. Trauma ini tidak
terjadi ketika gigi geligi secara inisial berada dalam posisi kontak tapi hanya selama
beban system mastikasi oleh otot elevator. Ketika gigi geligi berada pada posisi ICP,
aktivitas otot elevator memuat gigi geligi dan sendi. Karena ICP mewakili posisi yang
paling stabil untuk gigi geligi, beban diterima oleh gigi geligi tanpa konsekuensi. Jika
condile juga berada di dalam hubungan yang stabil dengan fossa, beban terjadi tidak
disertai dengan efek yang merugikan pada struktur sendi. Jika, bagaimanapun juga,
beban muatan terjadi ketika sendi tidak berada dalam hubungan yag stabil dengan discus
dan fossa, gerakan yang tidak biasa dapat terjadi dalam percobaan untuk melawan
stabilitas. Gerakan ini serigkali merupakan gerakan perubahan translatori diantara discus
dan condil. Gerakan ini dapat mengarah kepada pemanjangan ligament discal dan
pengecilan discus. Ingat bahwa jumlah dan intensitas beben muatan yang besar
mempengaruhi apakah ketidakstabilan ortopedik akan mengarah kepada gangguan
kerusakan discus. Pasien yang mengalami bruksisem dengan ketidakstabilan ortopedik,
dari itu, juga lebih umum untuk menghasilkan masalah daripada yang tidak bruksisem
dengan oklusi yang sama.
Sebuah pertanyaan penting yang ada di dalam bidang kedokteran gigi adalah “
apakah kondisi oklusi secara umum berhubungan dengan kerusakan discus?” hal ini telah
ditunjukkan bahwa ketika kondisi oklusi menyebabkan sebuah condil diposisikan secara
posterior terhadap posisiu stabil otot secara skeletal, batas posterior dari discus dapat
menjadi lebih kecil. Kondisi oklusal umum yang telah disarankan untuk menyediakan
hubungan ini adalah deep bite skeletal klass II, yang mana akan diperparah lebih jauh
lagi ketika hubunga divisi 2 anterior telah ada. Satu hal yag perlu disadari,
bagaimanapun juga, tidak semua pasien dengan maloklusi klass II disertai dengan
gangguan kerusakan discus. Beberapa studi tidak menunjukkan hubungan antara
maloklusi klass II dan gangguan-gangguan ini. Studi lain tidak menunjukkan hubungan
antara hubungan horizontal dan vertical pada gigi geligi anterior dan gangguan kerusakan
discus. Karakteristik yang penting pada kondisi oklusal yang mengarahkan kepada
gangguan kerusakan discus adalah kurangnya stabilitas sendi ketika gigi geligi beroklusi
secara kuat. Beberapa maloklusi klass II mungkin menyebabkan stabilitas sendi,
sedangkan yang lain tidak. Faktor lain yang harus dipertimbangkan adalah jumlah dan
durasi beban muatan sendi. Boleh jadi beban muatan sendi akan lebih bersifat merusak
jika disertai dengan maloklusi klass II.
Pertimbangan lain yang berhubugan dengan stabilitas orthopedic dan gangguan
intracapsular yang berkenaan dengan kontak gigi dihubungkan dengan gerakan eksentrik
mandibula. Kebanyakan studi saat ini telah melihat hubungan yang statisantara gigi
geligi dan gejala TMD. Boleh jadi studi yang mempelajari kontak selama gerakan
mandibula akan mengungkapkan wawasan baru. Dalam sebuah studi didapatkan
hubungan yang positif antara dislokasi discus dan kontak gigi geligi saat tidak bekerja.
Bukti-bukti menyarankan bahwa jika sebuah kontak nonworking merupakan kontak gigi
yang utama selama gerakan eksentris, bagian ipsilateral condil akan mengalami
penurunan kekuatan beban yang signifikan. Jika oklusi ini dipasangkan dengan beban
yang berat seperti bruksisem, stabilitas sendi mungkin didapatkan. Studi yang akan
datang perlu secara langsung melihat hubungan antara ketidakstabilan orthopedic dan
beban muatan.
Secara nyata, tidak ada hubungan yang sederhana antara oklusi, ketidakstabilan
ortopedi dan ganggua intracapsular. Bagimanapun juga, hal ini secara vital sangatlah
penting ketika terjadi ketidakstabilan ortopedi diidentifikasi sebagai faktor etiologi yang
potensial. Hubungan antara penemuan ini dan gejala TMD perlu dievaluasi dalam
aturan yang akan ditunjukkan pada teks berikutnya.

8.3.3.1.3 Orthodontik dan gangguan kelainan discus


Pada beberapa tahun terakhir sebuah perhatian telah berkembang yang berkenaan
dengan efek perawatan ortodotik pada gangguan kelainan discus. Beberapa pengarang
telah menyarankan bahwa perawatan ortodontik yang benar dapat megarahkan kepada
terjadinya gangguan kelainan discus. Studi jangka panjang yang merawat populasi secara
ortodontik, bagaimanapun juga, tidak mendukung perhatian ini. Studi-studi ini
melaporkan bahwa insiden gejala TMD pada populasi pasien yang dirawat secara
ortodontik tidak lebih baik dibandingkan dengan populasi yang secara umum tidak
mendapatkan perawatan.
Lebih jauh lagi, studi yang melihat jenis spesifik mekanisme ortodontik
menggunakan, seperti teknik Begg dibandingkan teknik fungsional yang beragam, juga
gagal untuk menunjukkan hubungan antara gangguan intracapsular (atau gejala TMD
lain) dan perawatan ortodontik. Meskipun pencabutan gigi untuk tujuan ortodontik tidak
mengarah kepada insiden gejala TMD yang hebat setelah perawatan.
Meskipun studi ini membuat para ahli orthodonti nyaman, satu yang sebaiknya
dicatat adalah bahwa insiden gejala TMD pada populasi yang dirawat secara orthodonti
secara umum tidak lebih rendah dibandingkan yang tidak mendapatkan perawatan. Dari
itu penemuan-penemuan ini menyarankan bahwa perawatan ortodonti tidak efektif untuk
mencegah TMDs.
Meskipun studi-studi ini tidak menunjukkan hubungan anatara perawatan
orthodonti dan TMDs, hal ini akan menajdi naif untuk menyarankan bahwa terapi
ortodonti tidak memiliki potensi untuk membawa pasien kepada gangguan kelainan
discus. Setiap prosedur perawatan gigi yang menghasilkan kondisi oklusal yang tidak
harmonis dengan posisi stabil otot secara skeletal pada sendi dapat membawa pasien ke
masalah ini. Hal ini mungkin terjadi pada bagian kedua perawatan ortodhonti atau
prostodonsi atau terapi bedah pun. Studi ini hanya menyarankan bahwa pasien yang
menerima terapi orthodonti konvensional tidak memiliki resiko yang lebih besar pada
perkembamgan TMD daripada mereka yang tidak.

8.3.3.2 Ketidaksesuaian structural pada permukaan articular


Beberapa gangguan kerusakan discus yang dihasilkan dari masalah antara
permukaan artikular pada sendi. Permukaan articular sendi yang sehat adalah keras dan
halus dan, ketika dilubrikasi oleh cairan synovial, gerakan dilakuka hampir tanpa gesekan
melawan satu sama lain. Bagaimanapun juga, jika permukaan-permukaan ini dirubah
oleh mikrotrauma seperti yang telah digambarkan, gerakan akan terganggu. Perubahan
dapat terjadi karena lubrikasi yang tidak sesuai atau karena perkembangan adherences
antara permukaan.
Seperti digambarkan pada Bab 1, articulasi yang halus pada TMJs dijamin oleh
dua mekanisme; batas lubrikasi dan cucuran lubrikasi. Jika, untuk setiap alasan, jumlah
atau kualitas cairan synovial diturunkan, gesekan meningkat antara permukaan articular,
yang mana dapat memendekkan permukaan dan mengarahkan kepada kerusakan atau
sticking.
Adherence dipertimbangkan menjadi sticking sementara pada permukaan
artikular, sedangkan adhesi lebih bersifat permanen. Terkadang adherence mungkin
berkembang antara permukaan articular dibadingkan di dalam adanya cairan yang cukup.
Ketika sendi secara statis di berikan beban, jumlah cairan synovial yang sebelumnya
telah diserap akan ditunjukkan dari permukaan artikular dan melumasi mereka
(mengeluarkan cairan lubrikan). Sesaat setelah sendi bergerak, sumber cairan pada
daerah peripheral sendi melumasi permukaan, menyiapkan mereka untuk beban muatan
yang (batas lubrikan). Jika beban muatan yang statis terus berlanjut untuk jangka waktu
yang panjang, bagaimana pun juga cairan lubrikasi yang keluar dapat menjadi kering dan
melengket pada permukaan artikular. ketika beban static tidak dilanjutkian pada akhirnya
dan gerakan dimulai, kekaukan dirasakan pada sendi hingga energi digunakan untuk
merusak bagian permukaan perlekatan.
Bagian perlekatan yang rusak dapat dirasakan sebagai sebuah bunyi klik, dan
tidak terlihat kembalinya gerakan mandibular ke posisi normal secara cepat (Gambar 8-
13). Beban sendi yang statis di dalam sendi mungkin terjadi sebagai hasil hiperaktivitas
otot seperti cengkeraman. Sebagai contoh, pasien yang bangun di pagi hari setelah
mengalami clenching di malam hari dan memiliki sensasi gerakan rahang yang terbatas.
Pada saat pasien mencoba untuk membuka mulut mereka, resisten dirasakan hingga
terdapat bunyi klik secara tiba-tiba kembali ke fungsi normal. Suara ini menunjukkan
bagian yang rusak dari permukaan yang lengket. Bunyi klik yang disebabkan oleh
perlekatan sementara dapat dibedakan dari bunyi klik yang dihubungkan dengan
pergeseran discus oleh fakta bahwa mereka terjadi hanya sekali mengikuti periode beban
yang static. Setelah bunyi klik tunggal terdengar, sendi dilumasi oleh batas lubrikan dan
tidak terdengar suara selama gerakan membuka dan menutup yang berikutnya. Dengan
pergeseran dari diskuc, bunyi kliking berulang kembali selama siklus membuka dan
menutup.

Gambar 8-13
Pada posisi 1 adhesion ditunjukkan antara condil dan discus. Selama membuka,
tidak ada gerakan rotasi discal yang terjadi. Pada posisi 3 adhesion menjadi
rusak, menghasilkan bunyi klik dan fungsi normal dari point ini terjadi. Tidak
ada reciprocal atau kliking tambahan terjadi kecuali diikuti oleh beban muatan
static pada sendi utnuk sebuah periode.

Adherence dapat terjadi antara discus dan condil, sama antara discus dan fossa.
Ketika mereka terjadi pada ruang sendi inferior, condil dan discus bersama-sama
menyatu, menghambat gerakan rotasi normal atara mereka. Meskipun pasien dapan
melakukan gerakan translasi dari condil ke depan hingga mulut secara relative terbuka,
gerakan ini dirasakan kasar dan tidak nyaman. Seringkali juga disertai kekakuan. Ketika
adherence terjadi pada ruang sendi superior, discus dan fossa bersama-samam menyatu,
menghambat gerakan translator diantara mereka. Pasien dapat membuka mulut hanya
sekitar 25-30 mm. Kondisi ini sama dengan mulut terkunci tertutup. Sebuah diagnosa
yang akurat dibuat dengan cara mendapatkan riwayat secara hati-hati.
Dokter sebaiknya mengingat bahwa istilah adherence mengimplikasikan bahwa
struktur artikular secara sementara telah bersama-sama bersatu tapi belum terdapat
perubahan apapun secara fisik untuk mengikat jaringan secara bersama-sama. Sekali lagi
beban muatan yang cukup dibangkitkan untuk merusak adherence, sehingga fungsi
normal dapat kembali. Jika, bagaimanapun juga, adherence tersisa untuk periode waktu
yang signifikan, jaringan fibrous dapat berkembang diantara struktur artikular dan
adhesion yang sebenarnya dapat terjadi. Kondisi ini mewakili hubungan mekanis yang
membatasi fungsi normal dari condil/discus/fossa pada basis yang permanen.
Mikrotrauma maupun mikrotrauma secara signifikan menjadi faktor dalam
maslaah adhesion TMJ. Ketika trauma merubah permukaan artikular, mereka dapat di
abraded, mengarahkan kepada masalah sticking. Secara umum, trauma mulut tertutup
merupakan jenis injuri spesifik yang memicu terjadinya adhesion. Ketika rahang
menerima sebuah pukulan dengan gigi geligi dalam posisi oklusi, struktur mayor yang
menerima tekanan adalah permukaan artikular sendi dan gigi geligi. Jenis injuri imi
dapat merubah permukaan halus yang sedikit kasar pada sendi. Faktor etiologi lain
adhesion adalah hemarthrosis (perdaraha di dalam sendi). Adanya produk darah
tampaknya menyediakan sebuah matriks untuk penyatuan jaringan fibrous di dalam
adhesion. Hemarthrosis dapat terjadi ketika jaringan retrodiscal dirusak oleh trauma
rahang eksternal atau intervensi bedah.
Bersamaan dengan sendi yang goyang, permukaan artikular TMJ dipertahankan
dalam kontak menutup yang konstan. Karena hal ini, karakteristik morfologi permukaan
biasanya menyesuaikan untuk menutup satu sama lain. Jika morfologi discus, condil atau
fossa diubah, fungsi sendi dapat dirusak. Sebagai contoh, Tonjolan tulang pada condil
atau fossa mungkin menagkap discus pada derajat membuka yang pasti, menyebabkan
perubahan fungsi. Discus itu sendiri mungkin menjadi lebih kecil (seiring dengan
pemindahan discus) atau jika terjadi perforasi, menyebabkan perubahan fungsi yang
signifikan. Bentuk perubahan-perubahan ini dapat membuat kliking atau menagkap
rahang sama seperti yang terlihat pada pergeseran discus secara fungsional.
Karakteristik klinis utama yang membedakan jenis masalah ini dari pergeseran
discus adalah adanya gejala yang konsisten dan lokasi gejala selama rahang bergerak.
Karena gangguan berhubungan dengan perubahan bentuk, gejala selalu terjadi pada
derajat pembukaan mandibula yang mana fungsi normal dapat diganggu (Gambar 8-14).
Selama mandibula menutup gejala juga terjadi pada pembukaan interincisal yang sama,
meskipun ketika kecepatan dan tenaga membuka dan menutup berubah. Seperti yang
dinyatakan sebelumnya, dengan pergeseran discus, bunyi klik pada saat membuka dan
menutup adalah berada pada jarak intertisiel yang berbeda. Dengan pergeseran discus ini
juga, perubahan kecepatan dan tekanan membuka dapat merubah hubungan gejala yang
berhubungan.
Perubahan dalam bentuk mungkin disebabkan oleh kondisi perkembangan atau
trauma langsung. Beberapa kondisi trauma yang didiskusikan pada sesi berikutnya
mungkin juga mengarahkan kepada perubahan bentuk permukaan artikular.

8.3.3.2.1 Subluksasi
Istilah subluksasi (kadang-kadang mengarah kepada hipermobilitas) digunakan
untuk menggambarkan gerakan TMJ yang secara klinis pasti diamati selama pembukaan
yang lebar. Anatomi sendi yang normal membolehkan gerakan yang relative halus pada
condil sama ketika bergerak turun dan melintasi eminensia artikular. Gerakan ini dibantu
oleh rotasi discus posterior pada condil selama traslasi. Anatomi beberapa sendi,
bagaimanapun juga, tidak member kesempatan kepadanya untuk gerakan yang halus ini.
Observasi klinis pada beberapa sendi menyatakan bahwa pada saat mulut terbuka lebar,
akan terhenti sejenak, diikuti oleh lompatan yang tiba-tiba atau melompat ke posisi
membuka yang paling maksimal. Lompatan ini tidak menghasilkan suara klik tapi justru
disertai dengan suara gebukan yang lebih banyak. Pemeriksa dapat membacanya dengan
melihat sisi dari muka pasien. Selama pembukaan maksimum pada sisi lateral ujung
condil akan melompat ke depan, menyebabkan depresi preauricular yang nyata. Kondisi
ini disebut subkluksasi atau hipermobilitas.
Gambar 8-14
Pada posisi 1 kerusakan struktural (perubahan dalam bentuk) terjadi di dalam
condil dan discus. Antara posisi 3 dan 4 condil bergerak diluar kerusakan,
menghasilkan bunyi klik. Condil bergerak kembali ke kerusakan ini antara posisi
6 dan 7. Bunyi klik pada saat membuka dan menutup terjadi pada derajat
pembukaan yang sama.

Penyebab subluksasi biasanya tidak bersifat patologis. Subluksasi mungkin


terjadi di dalam TMJ yang mana eminensia atikular memiliki slope posterior pendek yang
diikuti oleh slope anterior yang lebih panjang dan lebih datar. Slope anterior biasanya
lebih superior daripada crest eminensia. Selama pembukaan curam eminensia
membutuhkan jumlah rotasi discal yang signifikan sbelum condil mencapai crest. Pada
saat condil mencapai crest, discus berotasi secara posterior berada pada condil terhadap
derajat maksimum yang diikuti oleh ligament capsular anterior. Pada sendi normal, rotasi
maksimum discus posterior dan translasi maksimum condil dicapai pada point gerakan
yang sama. Pada sendi subluksasi, gerakan rotasi maksimum discus dicapai sebelum
translasi maksimum condil. Dari itu pada saat mulut membuka lebih lebar, bagian akhir
dari gerakan translasi terjadi dengan perubahan secara bodily dari condil dan discus
sebagai sebuah unit. Hal ini abnormal, dan hal ini membuat lompatan ke depan yang
cepat dan bunyi gebukan pada kompleks condil-discus. Hubungan yang sebenarnya
antara subluksasi dan TMD belum diketahui dengan baik. Subluksasi merupakan sebuah
karakteristik anatomi pada beberapa sendi dan tidak bersifat patologis. Bagaimanapun
juga, jika seseorang individu secara cepat mensubluksasi mandibula, perpanjangan
ligament, secara potensial mengarahkan kepada beberapa gangguan discus yang
digambarkan pada bab ini.

8.3.3.2.2 Dislokasi spontaneous


Saat mulut dibuka melewati batas normalnya, dan kemudian mandibula. Hal ini
disebut dislokasi spontaneous atau sebuah penguncian terbuka. Kebanyakan dokter gigi
pada akhirnya akan memiliki pengalaman terhadap kondisi ini pada pasien yang
membuka secara luas selama prosedur perawatan gigi. Hal ini tidak perlu dipusingkan
dengan keadaan peguncian tertutup, yang mana terjadi dengan dislokasi fungsional tanpa
pengurangan. Dengan dislokasi spontan, pasien tidak dapat menutup mulut. Kondisi ini
hampir selalu terjadi oleh pembukaan yang lebar (mis. menguap yang terlalu lebar atau
perawtan gigi yang lama).
Jenis dislokasi spontan terjadi pada pasien yang memiliki anatomi fossa yang
mempermudah terjadinya subluksasi. Pada saat subluksasi, discus berotasi secara
maksimal pada condil sebelum gerakan translasi keseluruhan terjadi pada condil. Akhir
dari gerakan translasi dari itu menunjukkan sebuah gerakan yang tiba-tiba pada kompleks
discus condil sebagai sebuah unit. Jika, pada posisi membuka secara maksimal mulut,
tekanan diaplikasikan untuk memaksa mulut terbuka lebih lebar, perlekatan yang kuat
pada ligament capsular dapat menyebabkan rotasi bodily pada condil dan discus,
menggerakkan discus lebih jauh secara anterior melalui ruang discal (Gambar 8-15).
Ruang discal yang mengecil pada saat condil melewati jaringan retrodiscal dan menjebak
discus ke depan. Konsep ini diusulkan oleh Bell, tapi pengarang lain telah menemukan
bahwa dalam beberapa individu condil sesungguhnya bergerak ke depan discus, terjebak
dibelakangnya (Gambar 8-16). Meskipun terdapat beberapa perdebatan pada posisi
discus selama penguncioan terbuka, di dalam kedua konsep discus dan condil dipasang di
anterior terhadap crest eminensia.
Ketika hal ini terjadi pasien menjadi panik dan akan bereaksi oleh percobaan
untuk menutup mulut, yang mana diaktivasi oleh otot elevator dan mengecilkan ruang
discal. Dari itu usaha pasien akan memperpanjang dislokasi. Pada slope anterior sendi-
sendi ini secara umum berada lebih superior terhadap eminensia, dan dari itu secara
mekanis mengunci mulut pada saat posisi membuka.

Gambar 8-15 dislokasi spontan (dengan dislokasi discus secara anterior)

A, Hubungan condil-discus yang normal pada posisi sendi menutup saat


beristirahat. B, Pada posisi translasi maksimum, discus telah berotasi secara
posterior pada condil sejauh dibolehkan pada capsular ligament anterior. C, Jika
mulut dipaksa membuka lebih lebar, discus ditarik kedepan oleh ligament
capsular anterior melalui ruang discus. Pada saat condil bergerak secara superior,
ruang discus mengkerut, menjebak discus ke depan.

Hal yag penting, dokter sebaiknya mencatat bahwa dislokasi secara spontan dapat
terjadi pada TMJ yang dipaksa melewati batas maksimum pembukaan. Bagimanapun
juga, hal ini biasanya terjadi di dalam sebuah sendi yang menunjukkan kecenderungan
terjadinya subluksasi. Dislokasi spontaneous bukan merupakan hasil kondisi patologis.
Hal ini merupakan keadaan sendi normal yang telah digerakkan melewati batas normal.

Gambar 8-16 Dislokasi spontaneous (dengan dislokasi discus secara posterior).


A, hubungan normal discus condil dalam posisi istirahat sendi tertutup. B, Pada
posisi translasi maksimum, discus telah berotasi secara posterior mengelilingi
condil sejauh yang dibolehkan oleh ligament capsular anterior. C, Jika mulut
dipaksa utnuk membuka lebih lebar, condil dipaksa melewati discus, dislokasi
posterior terhadap condil. Pada saat condil bergerak secara superior, ruang discus
menjadi mengecil, menjebak discus secara posterior.

8.3.3.3 Faktor predisposisi terjadinya kerusakan discus


Beberapa karakteristik anatomi sendi mungkin menjadi predisposisi seorang
pasien mengalami gangguan kerusakan discus. Meskipun mereka mungkin tidak dapat
diubah, pengetahuan mengenai ini dapat menjelaskan mengapa beberapa sendi
tampaknay lebih sering mengalami gangguan dari pada yang lain.

Gambar 8-17

A dan B, transalsi sendi dengan eminensia artikular yang dangkal. Yang perlu
dicatat adalah derajat gerakan rotasi yang terjadi diantara condil dan discus
artikular. C dan D, eminensia artikular yang tajam. Derajat gerakan rotasi antara
condil dan discus lebih besar di dalam sendi dengan eminensia artikular yang
dangkal. (Dimodifikasi oleh Bell WE: Temporomandibular disorders, ed2,
Chicago, 1986, Buku Kedoteran Tahunan.)

8.3.3.1 Kedalaman eminensia artikularis


Seperti yang didiskusikan di Bab 6, kedalaman slope posterior eminensia
artikularis bervariasi dari pasien ke pasien. Derajat kedalaman slope posterior secara
besar mempengaruhi fungsi discus condil. Pada pasien dengan eminensia yang datar,
terdapat jumlah rotasi posterior yang minimum pada discus di atas condil selama
pembukaan. Pada saat kedalaman meningkat, gerakan rotasi yang lebih banyak
dibutuhkan diantara discus dan condil selama gerakan transalasi condil kedepan (Gambar
8-17). Dari itu pasien dengan kedalaman eminensia mungkin lebih cepat menunjukkan
gerakan discus-condil selama berfungsi. Gerakan berlebihan condil discus ini mungkin
meningkatkan resiko perpannjangan ligamnet yang mengarah pada gangguan kerusakan.
Meskipun beberapa studi telah menemukan hubungan yang benar, yang lainnya belum
menemukannya. Boleh jadi faktor predisposisi ini tidak signifikan ketika
dikombinasikan dengan yang faktor yang lain yang berhubungan dengan jumlah fungsi
sendi dan beban muatan.

8.3.3.3.2 Morfologi condil dan fossa


Bukti dari studi otopsi menyarankan bahwa bentuk anatomi condil dan fossa
mungkin menjadi faktor predisposisi berpindahnya discus. Condil yang datar atau
berbentuk segitiga yang artikulasinya melawan komponen temporal inverted berbentuk-V
tampaknya meningkatkan insiden gangguan pergeseran discus dan penyakit degenerative
sendi. Hal ini mungkin terjadi lebih datar, meluaskan distribusi tenaga condil yang lebih
baik, mengarahkan ke masalah beban muatan yang lebih sedikit.

8.3.3.3.3 Kelemahan sendi


Seperti yang dinyatakan pada Bab 1, ligament bertindak sebagai kawat penuntun
untuk membatasi gerakan sendi. Meskipun tujuan ligament adalah untuk menahan
gerakan, kualitas dan integritas serat kolagen ini bervariasi dari pasien ke pasien.
Sebagai hasil, beberapa sendi akan terlihat lebih lurus dan lebih bebas atau lemah dari
yang lain. Beberapa kelemahan umum yang lain mungkin disebabkan oleh peningkatan
tingkat estrogen. Sebagai contoh, sendi wanita secara umum lebih fleksibvel dan laki-
laki lebih lemah. Beberapa studi menunjukkan bahwa wanita dengan kelemahan sendi
secara umum memiliki insiden kliking TMJ yang lebih tinggi daripada wanita tanpa sifat
ini. Meskipun studi lain menemukan tidak adanya hubungan. Meskipun hubungan ini
belum jelas, hal ini mungkin menunjukkan satu dari banyak faktor yang mungkin
membantu menjelaskan insiden TMDs wanita yang lebih tinggi dari pada laki-laki.

8.3.3.3.4 Faktor Hormonal


Faktor studi yang lain berhubungan dengan perubahan hormonal dihubungkan
dengan menstruasi. Hal ini telah didemonstrasikan ,bahwa fase premenstruasi tampaknya
berhubungan dengan peningkatan aktivitas EMG yang berhubungan dengan nyeri.
Penggunaan kontrasepsi oral juga telah dihubungkan dengan peningkatan gejalai TMD.
Estrogen telah ditemukan menjadi faktor penting pada terjadinya nyeri, menyrankan
bahwa tingakat estrogen yang tinggi mungkin merubah beberapa transimisi nociceptif.

8.3.3.3.5 Perlekatan otot pterygoid superior lateral


Bab 1 menyatakan bahwa otot pterygoid superior lateral dimulai pada permukaan
infra temporal pada sayap sphenoid dan melekat pada discus articular dan leher condil.
Persentase pasti perlekatan discus dan condil telah diperdebatkan dan persentase ini
merupakan variabel yang jelas. Bagaimanapun juga, hal ini mungkin beralasan untuk
mengasumsikan bahwa jika perlekatan otot lebih banyak ke leher condil (dan sedikit ke
discus) ,fungsi otot akan memiliki fungsi yang paling sedikit pada posisi discus.
Kebalikannya, jika perlekatan lebih banyak ke discus (dan sedikit ke leher condil), fungsi
otot akan mempengaruhi posisi discus lebih banyak. Variasi anatomi ini mungkin
membantu menjelaskan mengapa pada beberapa pasien discus tampaknya ditempatkan
secara cepat, meskipun dislokasi, tanpa adanya riwayat sebagian atau penemuan klinis
yang lain.

8.3.3.4 Gangguan inflamasi sendi


Gangguan inflamasi sendi merupakan sebuah kelompok gangguan dimana variasi
jaringan yang merubah struktur sendi mengalami inflamasi sebagai hasil kerusakan.
Setiap atau semua struktur sendi mungkin dilibatkan. Gangguan yang terikat pada
kategori ini antara lain synovitis, capsulitis, retrodisctis dan arthritides. Gangguan
beberapa inflamasi yang juga berkaitan dengan struktur yang berhubungan dengan TMJ.
Tidak seperti gangguan kerusakan discus, nyeri yang sering terjadi bersifat sesaat
dan berhubungan dengan gerakan sendi, gangguan inflaamsi dikarakteristikan oleh nyeri
yang konstan, tumpul, sakit yang ditonjolkan oleh gerakan sendi.

8.3.3.4.1 Synovitis
Ketika jaringan synovial yang yang mengelilingi sendi mengalami inflamasi, kondisi
ini disebut synovitis. Jenis nyeri ini dikarakteristikan oleh nyeri intracapsular yang
konstan yang dipertinggi oleh gerakan sendi. Sinovitis umumnya disebabkan oleh
kondisi iritasi di dalam sendi. Hal ini mungkin terjadi pada fungsi yang tidak biasanya
atau trauma. Gangguan inflamasi ini sulit untuk dibedakan secara klinis dari satu sama
lain karena presentasi klinis yang sama. Sebagai contoh, synovitis dan capsulitis tidak
mungkin dibedakan secara klinis. Seringkali, diagnose banding merupakan hal yang
paling penting jika perawatan berbeda, seperti yang didiskusikan pada bab berikutnya.

8.3.3.4.2 Capsulitis
Ketika terjadi inflamasi pada ligament capsular, kondisi ini ddisebut capsulitits.
Secara klinis bagian kolateral condil terasa keras saat dipalpasi. Capsulitis menghasilkan
nyeri meskipun sendi berada pada posisi statis, tapi gerakan sendi secara umum
meningkatkan nyeri. Meskipun jumlah faktor etiologi dapat menyebabkan capsulitis, hal
yang paling umum adalah makrotrauma (terutama saat injuri mulut terbuka). Dengan
demikian, ketika ligament capsular diperpanjang dan respon inflamasi dideteksi, hal ini
mungkin bahwa trauma akan ditemukan pada riwayat pasien. Capsulitis juga dapat
berkembang pada jaringan rusak dan inflamasi disekitarnya.
8.3.3.4.3 Retrodiscitis
Jaringan retrodiscal memiliki vaskularisasi dan innervasi yang tinggi. Dengan
demikian mereka tidak dapat mentoleransi beban yang lebih banyak. Jika condil
melewati jaringan ini, kerusakan dan inflamasi dapat terjadi. Seperti dengan gangguan
inflamasi yang lain, inflamasi jaringan retrodiscal (retyridicitis) dikarakteristukan oleh
nyeri yang konstan, tumpul dan sakit yang sering ditingkatkan oleh cengkerama. JIka
inflamasi menjadi parah, pembengkakan mugkin terjadi dan memaksa condil untuk
bergerak ke depan bawah slope posterior dari eminensia artikularis. Perubahan ini dapat
menyebabkan sebuah maloklusi akut. Secara klinis sebuah akut oklusi dilihat sebagai
lepasan gigi posterior ipsi lateral dan kontak yang berat antara kontralateral kaninus.
Seperti dengan capsulitis, trauma merupakan faktor etilogoi mayor terjadinya
retrodiscitis. Makrotrauma mulut terbuka (sebuah pukulan pada dagu) secara tiba-tiba
dapat memaksa condil masuk ke jaringan retrodiscal. Mikrotrauma juga dapat menjadi
faktor dan biasanaya berhubungan dengan pergeseran discal. Pada saat discus menjadi
pendek dan ligament memanjang, codil memulai utnuk melewati jaringan retrodiscal.
Area yang pertama kali rusak adalah lamina retrodiscal inferior, yang mana memudahkan
terjadinya pergeseran discal. Dengan kerusakan yang berlanjut,discolorisasi discus
terjadi dan memaksa keseluruhan condil untuk berartikulasi pada jaringan retrodiscal.
Jika beban muatan terlalu besar untuk jaringan retrodiscal, kerusakan berlanjut dan
perforasi dapat terjadi. Dengan perfiorasi jaringan retrodiscal, condil mungkin akhirnya
bergerak melalui jaringan-jaringan ini dan berartikulasid dengan fossa.

8.3.3.4.4 Arthritides
Arthtitides sendi menunjukkan sekelompk gangguan dimana terlihat perubahan
berupa penghancuran tulang. Satu jenis yang paling umum dari arthritides TMJ adalah
osteoarthritis (kadang-kadang disebut penyakit degenerative sendi). Osteoartritis
menujukkan sebuah proses kerusakan yang mana permukaan artikular tulang condil dan
fossa menjadi mengalami perubahan. Hal ini secara umum dipertimbangkan sebagai
respon tubuh untuk meningkatkan beban sendi. Pada saat beban muatan dipaksa untuk
berlanjut, permukaan artikular menjadi halus (chondromalacia) dan tulang subartikular
memulai untuk diresorbsi. Degenerasi progresif pada akhirnya menghilangkan lapisan
subcondral cortical, erosi tulang dan bukti subsequent radiografi osteoarthritis. Hal yang
penting, dokter sebaiknya mencatat bahwa perubahan radiografi yang hanya terlihat pada
tahap osteoartriits dan mungkin tidak merefleksikan penyakit itu secara akurat (Lihat
Gambar 9).
Osteoartristis biasanya bersifat nyeri dan gerakan rahang merupakan gejala yang
menonjol. Krepitasi (suara sendi seperti parutan) merupakan hal yang seringa ditemukan
menyertai penyakit ini. Osteoartritis dapat terjadi pada setiap waktu sendi menerima
kelebihan beban tapi umumnya berhubungan dengan dislokasi discus atau perforasi. Satu
saat diskus mengalami dislokasi dan jaringan retrodiskal mengalami kerusakan, condil
memulai untuk berartikulasi secara langsung dengan fossa, berakselerasi mempercepat
proses kerusakan. Pada saat permukaan dense fibrous artikular dirusak, dan terjadila
perubahan tulang. Secara radiografis, permukaan tampak erosi dan datar. Setiap
pergerakan permukaan ini menghasilkan rasa nyeri sehingga fungsi sendi menjadi
terbatas. Meskipun osteoarthritis merupakan kategori gangguan inflaamasi, hal ini bukan
merupakan kondisi inflamasi yang sesungguhnya. Pada saat beban muatan diturunkan,
kondisi arthritis dapat beradaptasi. Tahap adaptasi telah mengarah kepada osteoarthritis.
(Sebuah gambaran yang lebih terperinci mengenai osteoarthritis/osteoartrosis di sediakan
pada Bab 13).
Jenis arthritis yang lain secara pasti mempengaruhi TMJ. Kondisi-kondisi ini akan
dibahas pada bab berikutnya.

8.3.4 Ringkasan kesatuan


Gangguan TMJ mungkin mengikuti sebuah bentuk kejadian yang progresif, sebuah
kesatuan, dari tanda awal disfungsi hingga menjadi oseoartritis. Mereka dirangkum
dalam Gambar 8-18 dan sebagai berikut;
1. Sendi normal yang sehat
2. Kehilangan fungsi normal condil/discus yang disebabkan oleh satu dari berikuti
ini:
a. makrotrauma yang menghasilkan perpanjangan ligament atau
b. mikrotrauma yang menghasilkan perubahan permukaan artikular,
menurunkan gerakan pergesekan diantara permukaan artikular
3. Gerakan translator abnormal yang dimulai diantara diskus dan condil
4. Batas posterior discus menjadi lebih kecil
5. Elongasi discal yang lebih jauh dari discal dan ligament retrodiscal inferior
6. Discus secara fungsional mengalami pergeseran
a. dislokasi disertai penurunan (menjepit)
b. dislokasi tanpa penurunan (penguncian tertutup)
7. Discus secara fungsional mengalami pergeseran
a. klik tunggal
b. reciprocal klik
8. Reyrodiscitis
9. Osteoartritis
10. Meskipun kesatuan ini bersifat logis, pertanyaan harus diberikan apakah kejadian
ini selalu bersifat progresif. Pertanyaan ini sangatlah signifikan karena jika
semua pasien mengalami kejadian yang progresif dalam aturan ini, tahap-tahap
harus diambil untuk menghilangkan setiap gejala sendi sesegera mungkin pada
saat pertama kali terjadi. Rangkaian kerusakan ini bersifat logis dan telah
mendapatkan dukugan klinis. Faktor seperti trauma, bagaimanpun juga mungkin
mengubahnya. Pertanyaan yang secara nyata signifikan adalah apakah
rangakaian ini bersifat progresif yang berlajut untuk setiap pasien. Secara klinis
hal ini tampak bahwa beberapa pasien akan mengalami dalam satu tahap tapi
mungkin tidak berlanjut. Pada satu tahap kerusakan discus, pasien mungkin
mencapai tingkat adaptasi dan lebih jauh lagi kerusakan akan terjadi. Hal ini
dapat didukung oleh riwayat tidak bergejala dan reciprocal klik untuk beberapa
tahun. Hal ini juga diimplikasikan bahwa tidak semua pasien dengan suara sendi
membutuhkan perawatan. Barangkali kunci dari perawatan pada proses yang
nyata dari satu tahap ke tahap berikutnya. Juga, adanya rasa nyeri merupakan hal
yang penting karena hal ini mengimplikasikan kerusakan yang berlanjut (Bab
berikutnya membahas pertimbangan perawatan untuk gangguan-gangguan ini).

Gambar 8-18 Variasi tahap kerusakan internal dari sendi temporomandibular

A, Sendi normal, B, pergeseran fugsional discus C, dislokasi fungsional dari


discus. D, berhubungan dengan jaringan retrodiscal. E, kerusakan retrodiscal dan
jaringan. F, osteoarthritis (Dimodifikasi dari Farrar WB, Mc Carty WL: A clinical
outline of temporomandibular joint diagnosis and treatment, ed 7, Montgomery,
Ala,1983, Normandie Publications, p 72.)

8.4 Gangguan fungsional gigi geligi


Seperti sendi dan otot, gigi geligi dapat menunjukkan tanda dan gejala kerusakan
fungsional. Hal ini secara normal berhubungan dengan kerusakan yang dihasilkan dari
tekanan oklusan yang berat ke struktur pendukung gigi geligi. Tanda kerusakan dalam
gigi geligi adalah umum, namun hanya pada saat terjadi pasien mengeluhkan gejaala ini.

8.4.1 Kegoyangan
Salah satu tempat terjadinya kerusakan gigi adalah struktur pendukung gigi geligi.
Ketika hal ini terjadi, tanda klinis adalah kegoyangan gigi, diobservasi secara klinis
sebagai derajat kegoyangan yang tidak biasa di dalam soket gigi.
Dua faktor yang dapat mengarah kepada kegoyangan gigi : hilangnya tulang
pendukung dan tekanan oklusal yang besar.
Pada saat penyakit periodontal kronis menurunkan tulang yang mendukung gigi,
mobilitas terjadi. Jenis kegoyangan ini terjadi berdasarkan tekanan oklusal yang
ditempatkan di atas gigi (meskipun tekanan besar mungkin mempertinggi derajatnya).
Kehilangan tulang pendukung secara utama merupakan hasil penyakit periodontal
(Gambar 8-19).
Faktor kedua yang menjadi penyebab kegoyangan gigi adalah tekanan oklusal yang
besar. Jenis kegoyangan ini sangat berhubungan dengan hiperaktifitas otot dan demikian
menjadi tanda adanya gangguan fungsional system mastikasi. Pada saat mendapatkan
tekanan yang besar (terutama secara horizontal) ditempatkan di atas gigi geligi, ligament
periodontal tidak dapat sempurna menerima distribusi tekanan ke tulang. Ketika tekanan
horizontal besar diaplikasikan ke tulang, sisi akar yang mendapat tekanan menunjukkan
tanda kerusakan selular, sedangakan sisi yang berlawanan (sisi tekan) menunjukkan tanda
dilatasi vaskulasrisasi dan perpanjangan ligament periodontal. Hal ini meningkatkan
kedalaman ruang periodontal pada kedua sisi gigi; ruang ini pada awalnya diisi dengan
jaringan granulasi yang halus, tapi saat kondisi ini menjadi kronis, meninggalkan
peningkatan ruang periodontal. Peningkatan kedalaman ruang periodontal ini
menimbulkan kegoyangan gigi (Gambar 8-19 B).

Gambar 8-19 Kegoyangan gigi


Kegoyangan gigi yang disebabkan oleh kehilangan struktur periodontal (traumatic
oklusi kedua) (A) atau tekanan oklusal yang tidak biasa (primary traumatic
oklusi) (B). (Kedalaman ligament periodontal dibesarkan untuk tujuan ilustrasi)

Jumlah kegoyangan gigi bergantung pada durasi dan derajat tekanan yang
diaplikasikan di atas gigi. Terkadang sebuah gigi dapat menjadi sangat goyang dan akan
keluar dari jalurnya, mebiarkan tekanan yang besar berada di atas gigi geligi yang lain.
Sebagai contoh selama gerakan laterotrusive, kontak yang berat terjadi pada gigi
premolar pertama rahang bawah, yang mana tidak memasukkan gigi caninus. Jika
tekanan ini terlalu besar untuk gigi, maka akan terjadi kegoyangan. Pada saat kegoyangan
meningkat, gerakan lanjutan laterotrusif menggeser gigi premolar, menghasilkan kontak
dengan gigi caninus. Gigi caninus secara structural menghasilkan suara gigi dan dapat
bertoleransi terhadap gigi. Dari itu jumlah kegoyangan gigi premolar terbatas pada
derajat dan jarak kontak sebelum hal ini dipindah oklusikan oleh caninus.
Karena dua faktor independen menyebabkan gigi goyang (penyakit periodontal
dan tekanan oklusal), pertanyaan yang timbul: bagaimana, mereka semua dapat
berinteraksi ? Yang lebih spesifik, dapatkah tekanan oklusal menyebabkan penyakit
periodontal? pertanyaan ini telah diteliti dan didebatkan oleh beberapa orang dan belum
dipecahkan secara keseluruhan. Hal ini secaras luas telah diterima bahwa tekanan
oklusal dapat menyebabkan resorpsi lateral tulang pendukung gigi tapi tidak
menyebabkan kerusakan serat supracrestal ligament periodontal. Dengan kata lain,
tekanan oklusal yang besar tidak membuat migrasi apical perlekatan epithelial gingival.
Dengan perlekatan sehat yang masih tersisa, perubahan patologis terjadi hanya pada
tingkat tulang. Pada saat tekanan oklusal yang besar dihilangkan, jaringan tulang
diperbaiki dan menurunkan kegoyangan gigi ke tingkat yang normal. Dari itu tidak ada
perubahan permanen dalam perlekatan gingival atau struktur pendukung gigi dapat
terjadi.
Bagaimanapun juga, rangkaian kerusakan berbeda yang terjadi ketika reaksi
inflamasi untuk plak juga terjadi (gingivitis). Adanyan gingivitis menyebabkan
hilangnya perlekatan epithelial gingiva. Hal ini menandai dimulainya penyakit
periodontal, tanpa memperhatikan tekana oklusal. Ketika perlekatan hilang dan inflamasi
dekat dengan tulang, hal ini terjadi bahwa tekana oklusal dapat memainkan peran yang
signifikan di dalam kerusakan jaringan pendukung. Dengan kata lain, penyakit
periodontal berpasanagn dengan tekanan oklusal yang berat cenderung menyebabkan
hilangnya jaringan tulang yang cepat. Tidak seperti kegoyangan tanpa inflamasi,
kegoyangan yang disertai dengan hilangnya tulang bersifat irreversible. Meskipun bukti
cenderung mendukung konsep ini, beberapa penelitian tidak memperkuat hal ini.
Spesifik terminology digunakan untuk menggambarkan kegoyangan yang
berhubungan dengan inflamasi dan stress oklusal yang besar. Primary traumatic oklusal
adalah kegoyangan yang dihasilkan dari tekanan oklusal yang berat yang diaplikasikan ke
gigi dengan struktur periodontal pendukung yang dasarnya normal. Jenis ini biasanya
bersifat reversible ketika tekanan oklusal dieliminasi. Traumatik oklusi kedua dihasilkan
dari tekanan oklusal, yang mana mungkin normal atau berat, beretindak untuk
melemahkan struktur pendukung jaringan periodontal. Dengan jenis ini, penyakit
periodontal terjadi dan perlu untuk dirawat.
Fenomena asli menarik lainnya yang dipikirkan berhubungan dengan beban
muatan yang besar pada gigi geligi adalah perkembangan mandibula. Studi telah
menemukan hubungan yang spesifik antara adanya mandibulatori pada populasi TMD,
yang dibandingkan dengan kelompok control.
Bagaimanapun juga, tidak ada penemuan yang membantu untuk menjelaskan
hubungan ini. Hal yang lebih dipikirkan saat ini adalah bahwa etilogogi dari
mandibulatori yang berkaitan dengan sebuah pengaruh antara faktor genetic dan kondisi
lingkungan.

8.4.2 Pulpitis
Gejala lain yang terkadang berhubungan dengan gangguan fungsional gigi geligi
adalah pulpitis. Beban yang berat pada aktivitas para fungsional, terutama ketika
ditempatkan di atas beberapa gigi, dapat menimbulkan gejala pulpitits. Menurut jenisnya
pasien mengeluh terhadap sensitivitas dingin dan panas. Rasa nyeri biasanya terjadi
dalam durasi yang singkat dan dikarakteristikan sebagai pulpitis reversible. Pada kasus
yang parah trauma yang cukup besar yang dapat mencapai pulpa disebut pulpitis
irreversible, dan menyebsbkan nekrosis pada pulpa.
Beberapa ahli telah mengatakan bahwa sebuah etiologi pulpitis adalah aplikasu
kronis dari tekanan berat pada gigi. Beban yang berlebihan ini dapat merubah aliran
darah melalui foramen apical. Perubahan suplai darah terhadap pulpa memberikan
peningkatan gejala pulpitis. Jika suplai darah diubah secara besar-besaran atau jika
tekanan lateral cukup besar untuk menutupi secara keseluruhan atau memutuskan arteri
kecil yang melewati foramen apical, nekrosisi pulpa mungkin terjadi (Gambar 8-20).

Gambar 8-20

Gigi premolar pertama rahang atas yang non votal karena tekanan oklusal yang
besar. Kondisi ini dimulai ketika mahkota ditempatkan pada gigi caninus rahang
atas. Petunjuk lateroprotrusif tidak didirikan kembali pada mahkota, menghasilkan
konbtak lateroprotrusif pada gigi premolar (traumatic oklusi). Akar Gigi caninus
memiliki ukuran yang baik untuk menerima tekanan lateral (horizontal) daripada
pada akar gigi premolar yang lebih kecil.

Pulpitis dapat juga disebabkan oleh faktor etiologi lain, seperti karies atau
prosedur perawatn gigi. Pemeriksaan klinis dan radiografi membantu dalam mengetahui
faktor ini. Ketika faktor yag lain telah diketahui, trauma oklusal sebaiknya
dipertimbangkan. Seringkali melalui riwayat membantu utuk mengidentifikasi diagnose
yang sering kali mengalami kesalahan.
8.4.3 Tooth wear
Lebih jauh lagi, tanda utama yang berhubungan dengan gangguan fungsional gigi
geligi adalah tooth wear. Hal ini diobservasi sebagai daerah datar yang berkilau pada
gigi yang tidak sesuai dengan oklusi sebenarnya dari gigi. Sebuah area yang disebut
wear facet. Meskipun wear facet merupakan sebuah penemuan yang ekstrim pada
pasien, gejalanya jarang dilaporkan. Mereka yang dilaporkan biasanya terkonsentrasi
pada daerah estetik dan perasaan tidak nyaman.
Etiologi utama dari tooth wear adalah aktivitas para fungsional. Hal ini dapat
bervariasi dengan mengobservasi lokasi yang paling banyak memiliki wear facets. Jika
tooth wear dihubngkan dengan aktivitas fungsional, secara logis dapat ditemukan pada
permukaan fugsional gigi (mis cups palatinal gigi rahang atas dan cups buccal gigi
rahang bawah). Setelah memeriksa pasien hal ini dapat menjadi bukti bahwa
kebanayakan tooth wear dihasilkan dari kontak eksentrik gigi yang dihasilkan oleh
gerakan jenis bruksisem (Gambar 8-22). Satu-satunya jalan untuk menjelaskan adanya
facets ini adalah melalui pertimbangan posisi eksentris yang diasumsikan selama
nocturnal bruksisem.

Gambar 8-21
Tooth wear selama gerakan protrusive

Gambar 8-22

Tooth wear selama gerakan lateroprotrusif. Ketika wear facet diposisikan


berlawanan dengan satu sama lain, gigi posterior melewati setiap daerah fungsional.

Pada pemeriksaan yang hati-hati dari 168 pasien gigi umum, 95% diobservasi
memiliki beberapa bentuk tooth wear. Penemuan ini menyarankan bahwa hampir
seluruh pasien memiliki pengalaman aktivitas para fungsional selama hidup mereka.
Hal ini lebih jauh disarankan bahwa aktivitas para fungsional merupakan proses
normal, tetapi secara pasti tidak disertai dengan komplikasi pada beberapa pasien.
Tooth wear dapat menjadi proses yang menghancurkan dan mungkin pada akhirnya
mengarahkan kepada masalah fungsional (Gambar 8-23). Untuk bagian yang paling
banyak, bagaimanapun juga, tooth wear merupakan gejala normal dan dari tiu bisa
jadi merupakan bentuk yang paling mentoleransi kerusakana pada system mastikasi.
Tooth wear belum ditemukan secara kuat berhubungan dengan gejala TMD.

Gambar 8-23

Tooth wear yang parah terhadap bruksisem, yang mana mengkompromikan aktivitas
fungsional dari system mastikasi

Beberapa wear facet ditemukan berada di dekat daerah perhentian centric oklusal
gigi yang berlawanan. Hal ini umumnya terjadi di region anterior. Meskipun hal ini
mungkin merupakan hasil aktivitas para fungsi, beberapa dokter telah menyarabkan
bahwa jenis tooth wear ini dihasilkan ketika struktur gigi melanggar gerakan fungsional
envelope. Disisi lain, hal ini mungkin dihasilkan lebih banyak pada pasien yang memiliki
kontak gigi anterior lebih berat dibandingkan dengan gigi posterior dalam perubahan
posisi makanan. Ketika kondisi ini terjadi, aktivitas fungsional mengunyah menghasilkan
kontak gigi anterior yang berat. Jika hal ini terus berlanjut, akan menghasilkan wear
tooth.
Perbedaan antara kedua jenis tooth wear ini penting karena etiologi sangat
berbeda. Secondary tooth wear ke bruksisem nocturnal secara terpusat diiduksi (lihat
Bab 7) dan perlu dimanajemen dengan percobaan mekanisme kontrol pusat (mis
manajemen stres) dan atau melindungi gigi dengan alat-alat oklusal. Di sisi lain, tooth
wear secondary ke struktur gigi yang melangar gerakan fungsional envelope mungkin
dirawat dengan penyesuaian gigi untuk menghasilkan lebih banyak kebebasan selama
gerakan fungsional. Pada waktu ini data setiap subjek masih sedikit. Apakah perbedaan
ini secara pasti terjadi dan bagaimana salah satunya dapat dibedakan untuk perawatan
terpilih yang sesuai belum ditentukan.

8.5 Tanda dan gejala lain yang berhubungan dengan gangguan


temporomandibula
8.5.1 Sakit kepala
Sakit kepala merupakan salah satu nyeri yang paling umum berhubungan dengan
penderitaan manusia. Nuprin melaporkan bahwa 73% populasi dewasa mengalami
paling tidak sekali rasa sakit kepala alam 12 bulan yang lalu. Studi yang sama juga
melaporkan bahwa 5% hingga 10% populasi umum meminta saran medis untuk
mengatasi nyeri sakit kepala yang parah. Para dokter sebaiknya mengethaui bahwa sakit
kepala bukan merupakan sebuah gangguan tetapi justru sebuah tanda yang dihasilkan dari
sebuah gangguan. Para ahli terapi harus mampu untuk mengidentifikasi gangguan pasti
yang menyebabkan rasa sakit kepala sebelum melakukan perawatan yang efektif
dilakukan.
Ketika rasa saki kepala meningkat dari struktur mastikasi, dokter gigi dapat
memainkan peran penting dalam menyembuhkan nyeri tersebut. Banyak studi yang
menyatakan bahwa sakit kepala merupakan gejala umum yang berhubungan dengan
TMDs. Studi lain menunjukkan bahwa variasi perawatan TMD secara signifikan dapat
menurunkan nyeri sakit kepala. Jika, bagaimanapun juga, sakit kepala yang bukan
berasal dari struktur mastikasi, dokter gigi mungkin memiliki sedikit kemampuan untuk
mengatasi rasa nyeri. Dokter gigi, dari itu, perlu untuk mampu membedakan sakit
kepala yang mungkin membutuhkanrespon dokter gigi dari mereka yang bukan.
Pengetahuan seorang dokter gigi seharusnya mampu utnuk menentukan hubungan
sebelum perawatan dimulai sehingga dapat menghindari prosedur yang tidak diperlukan.
Kebanyakan jenis sakit kepala yang berbeda berasal dari variasi pertimbangan
logika yang berbeda. The International Headache Society telah menawarkan sebuah
klasifikasi sakit kepala yang memasukkan lebih dari 230 jenis dalam 13 kategori. Sakit
kepala sebenarnya merupakan masalah yang kompleks dan signifikan untuk kebanyakan
orang. Beberapa sakit kepala merupakan hasil dari masalah struktur cranial, seperti
tumor batang otak atau meningkatnya tekanan intracranial. Karena jenis sakit kepala ini
dapat menunjukkan sebuah maslah yang serius, sakit kepala seharusnya dapat
diidentifikasi secara cepat dan diarahkan untuk mendapatkan perawatan yang sesuai.
Biasanya jenis sakit kepala ini diikuti oleh gejala sistemik lain yang membantu dokter
gigi mengidentifikasi kondisi ini. Gejala lain ini mungkin berupa kelemahan otot,
paralisis, paraestesia, aktivitas serangan atau hilangnya kesadaran. Ketika gejala-gejala
ini menyertai sakit kepala, pasien sebaiknya secara cepat diarahkan ke dokter ahli yang
tepat.
Hal yang menguntungkan, sakit kepala dihasilkan oleh gangguan struktur
intracranial yang menunjukkan hanya sebagian kecil nyeri sakit kepala. Kebanyakan
sakit kepala ditunjukkan sebagai rasa nyeri heterotopic yang dihasilkan oleh struktur
yang berhubungan atau struktur yang kecil. Dua dari struktur paling umum yang
menghasilkan nyeri heterotopic ini adalah jaringan pembuluh darah dan jaingan otot.
Nyeri sakit kepala yang berasal dari struktur vaskualrisasi itu sendiri disebut migraine.
Studi telah melaporkan bahwa migraine merupakan hasil aktivitas neurologi atau struktur
vascularisasi intracranial. Dari itu migraine lebih baik diklasifikasikan sebagai nyeri
neurovascular.
Nyeri sakit kepala yang berasal dari jaringan otot sendiri sebelumnya diarahkan
sebagai as muscle tension headacheor muscle contraction headache. Baik istilah,
bagaimanapun juga, tidaklah tepat karena terdapat peningkatan signifikan dari aktivitas
EMG yang berhubungan dengan otot. Jenis nyeri sakit kepala yang awalnya berasal dari
struktur otot mengarahkan ke kategori jenis tekanan sakit kepala. Yang perlu dicatat
bahwa tidak semua jenis ketegangan sakit kepala berasal dari sumber otot. Beberapa
sumber dapat menghasilkan jenis ketegangan sakit kepala. Pada teks ini, bagaimanapun
juga, istilah jenis ketegangan sakit kepala digunakan untuk menggambarkan nyeri sakit
kepala yang berasal dari jaringan otot.
Secara pasti migraine dan ketegangan sakit kepala dilaporkan untuk nyeri sakit
kepala yang luas yang dialami oleh populasi secara umum. Diantara dua jenis ini, hal ini
diperkirakan bahwa jenis ketegangan sakit kepala merupakan hal yang paling umum,
terjadi sekitar 80% dari semua sakit kepala. Karena sakit kepala neurovascular dan jenis
ketegangan sakit kepala terjadi dengan gejala klinis yang berbeda, hal ini dipercaya
bahwa mekanisme dimana mereka memproduksi sakit kepala sangat berbeda. Meskipun
hal ini pada dasarnya sama, beberapa menyarankan sebuah mekanisme yang umum.
Karena manajemen sakit kepala neurovascular dan ketegangan sakit kepala sangat
berbeda, mereka membutuhkan perbedaan secara klinis.

8.5.1.1 Sakit kepala neurovascular (migrain)


Sakit kepala neurovascular biasanya terjadi sebagai nyeri yang berat, berdenyut,
unilateral yang sangat mengurangi tenaga. Keadaan yang juga menyertai nyeri ini adalah
nausea, fotophobia, dan phonophobia. Dua pertiga pasien yang memiliki pengalaman
merasakan nyeri migraine dilaporkan memiliki rasa nyeri unilateral. Menurut jenisnya
periode migraine dilaporkan terjadi dari 4 hingga 72 jam dan biasanya hilang dengan
tidur. Beberapa pasien melaporkan sebuah aura 5 hingga 15 menit sebelum nyeri
dimulai. Aura umumnya menghasilkan gejala neurologi sementara seperti paraestesia,
gangguan penglihatan atau sensasi luminous seperti cahaya, spark, zigzag sebelum mata
(teichopsia). Pada zama dulu, migraine dengan aura telah disebut sebagai klasik
migraine, sedangkan migrai tidak disertai aura disebut migraine biasa.
Etiologi sakit kepala neurovascular belum begitu dipahami. Studi lebih awal
menyarankan sebuah spasme cerebrovaskular, sedangkan yang lain menyarankan sebuah
gangguan platelet darah. Teori lain menyarankan bahwa beberapa jenis dysnociception
biochemical. Perubahan aliran darah cerebral regional telah ditunjukkan selama serangan
migraine, yang mana secara pasti menyarankan sebuah hubungan terhadap nyeri. Konsep
yang lebih terbaru mengenai inflamasi pembuluh darah cerebral telah memberikan
keuntungan. Sebuah faktor gentik secara jelas terlihat di dalam migraine, dengan wanita
lebih banyak menderita dibandingkan pria.
Migrain sering dihubungkan dengan faktor pasti yang tampaknya memicu
terjadinya serangan sakit kepala. Faktor inisiasi sederhana yang mungkin antara lain
paparan terhadap makanan yang berbeda, seperti coklat, anggur merah atau keju asli.
Beberapa penderita migraine akan mengalami pengalaman serangan migrain yang diikuti
paparan bau busuk seperti rokok atau parfum. Adanya aktivitas parafungsional seperti
noktural bruksisem, telah dihubungkan dengan migraine pada pagi hari, barangkali
seperti mekanisme memicu. Ketika mekanisme pemicu ini dipelajari, pasien mungkin
mampu mengontrol frekuensi serangan dengan menghindari faktor pemicu. Hal yag tidak
meguntungkan utuk pasien lain, mekanisme faktor pemicu ini tidak mudah dikontrol.
untuk beberapa penderita, migraine mungkin ditimbulkan oleh beberapa faktor seperti
fatiq, perubahan pola tidur pasien, stress emosional, nyeri dalam, menstruasi atau cahaya
matahari. pasien dengan jenis mekanisme faktor pemicu seperti ini seringkali
menemukan kesulitan untuk mengontrol serangan mereka.
Oleh karena nyeri neurovascular bukan merupakan TMD, perawatannya tidak
didiskusikan pada teks ini. Hubungan yang mungkin ada antara TMD dan migraine
adalah jalan mekanisme penyerangan. Ketika penderita migraine memiliki nyeri
musculoskeletal yang dihubungkan dengan TMD, rasa nyeri mungkin terjadi sebagai
sebuah serangan untuk migraine. Serangan ini mungkin berhubungan dengan kenyataan
bahwa input nociceptive yang berhubungan dengan migraine dihantarkan oleh nervus
trigeminal (terutama divisi optalmikus), seperti nociceptive TMD. Barangkali penjelasan
mengapa beberapa pasien migraine yang juga memiliki nyeri TMD mungkin menemukan
bahwa nyeri TMD mempercepat serangan migraine. Ketika hal ini terjadi, perawatan
TMD yang berhasil mungkin untuk menurunkan jumlah serangan migraine. Satu yang
harus diingat bahwa perawatan TMD tidak menghilangkan rasa sakit migraine. Hal ini
mungkin menurunkan jumlag serangan yang paling baik. Meskipun hal ini mungkin
membantu, pasien sebaiknya diberikan pelajaran mengenai alasan utama untuk
penurunan rasa sakit kepala dan tidak ditunda untuk mendapatkan perawatan tradisional
jika telah diindikasikan. Pasien dengan sakit kepala neurovascular sebaiknya dialihkan
untuk mendapatkan evaluasi medical personal dan perawatan.
8.5.1.2 Sakit kepala tipe ketegangan
Sakit kepala tipe ketegangan menunjukkan sebuah nyeri yang konstan, terus-
menerus dan sakit. Hal ini umumnya digambarkan seperti menggunakan pengikat kepala
yang kencang. Sakit kepala tipe ketegangan tidak selalu diperdebatkan. Dengan kata
lain, pasien akan melaporkan tetap melakukan aktivitas harian mereka meskipun mereka
sedang mengalami sakit kepala. Kebanyakan sakit kepala tipe ketegangan terasa bilateral
dan dapat terjadi untuk beberapa hari ataupun minggu. Sakit kepala tipe nyeri tidak
selalu disertai dengan aura dan nausea tidak selalu terjadi meskipun nyeri bertambah
parah.
Beberapa faktor etiologi mungkin menghasilkan nyeri sakit kepala tipe
ketegangan. Satu sumber yang lebih umum dari sakit kepala adalah nyeri myiofascial.
Ketika trigger point berkembang pada otot, nyeri dalam umumnya dirasakan
menghasilkan nyeri heterotopic yang diekspresikan seperti sakit kepala (lihat diskusi
tentang nyeri myiofascial). Karena jenis sakit kepala mungkin berhubungan dengan
struktur mastikasi, dokter gigi harus mampu untuk membedakan nya dari migraine yang
lain sehingga perawatan yang tepat dapat dilakukan. Diagnosa dan mamanjemen sakit
kepala tipe ketegangan didiskusikan pada bab berikutnya pada bagian nyeri myiofascial.

8.5.2 Gejala otologic


Tanda dan gejala umum TMD telah ditinjau sebelumnya. Bagaimanapun juga
tanda lain sedikit menunjukkan tapi mungkin berhubungan dengan gangguan fungsional
system mastikasi. Beberapa diantaranya adalah keluhan pada telinga seperti rasa nyeri.
Rasa nyeri pada telinga dapat menjadi yeri TMJ yang dirasakan lebih banyak pada bagian
posterior. Hanya pada daerah tipis tulang temporal yang memisahkan TMJ dari meatus
acustikcus external dan telinga bagian tengah. Bagian yang dekat dengan struktur
anatomi, sepanjang phylogenetic heritage yang sama dan innervasi pembuluh saraf,
dapat menyulitkan pasien untuk menentukan lokasi nyeri.
Seseorang juga sering mengeluhkan sensasi kekakuan pada telinga. Gejala ini
dapat dijelaskan dengan meninjau kembali bentuk anatomi. Tube Eustachian
berhubungan dengan cavitas telinga tengah dengan nasopharink (aspek posterior
tenggorokan). Selama menelan palatum dielevasikan, menutup nasopharink. Pada saat
palatum dielevasi, otot tensor palate mengalami kontraksi. Tube mengencangkan tube
Eustachian, menyerupai tekanan air antara telinga tengah dan tenggorokan. Ketika otot
tensor palate gagal untuk mengalami elevasi dan meluruskan tube Eustachian, rasa kaku
dirasakan pada telinga.
Otot tensor tympani, yang mana melekat pada membrane timpani, merupakan otot
lain yang dapat mempengaruhi gejala telinga. Ketika oksigen diabsobsi dari udara oleh
membrane mukosa pada kavitas telinga tengah, tekanan negatif dihasilkan di dalam
kavitas. Penurunan tekanan ini menarik membrane tympani (retraksi) kebelakang, yang
mana mengurangi ketegangan tensor timpani. Penurunan refleksi tonus otot
menyebabkan tensor palate meningkatkan tonus mereka, yang mana kemudian
menyebakan tube Eustachian untuk membuka selama proses menelan berikutnya.
Tinnitus (dengung telinga) dan vertigo (pening) juga telah dilaporkan oleh pasien
yang menderita TMD. Beberapa pasien mengeluhkan perubahan pendengaran sebagai
hasil dari kontraksi protective co-contraction tensor tympani. Ketika otot ini
berkontraksi, gendang telinga difleksikan dan dikencangkan. Tensor tympani, seperti
tensor palate, diinervasi oleh nervus cranial kelima (trigeminal). Dari itu nyeri dalam
dalam tiap struktur dihantarkan oleh nervus trigeminal yang mungkin mampu untuk
mempengaruhi fungsi telinga dan tidak merefleksikan kontraksi otot. Beberapa studi
telah menunjukkan bahwa terapi TMD mungkin menurunkan gejala otologic, sedangkan
studi lain gagal untuk menunjukan hubungan apapun. Korelasi antara gejala telinga dan
TMDs belum didokumentasikan dan menyisakan daerah yang dipertimbangkan masih
kontroversial.

8.6 Referensi
1. Schiffman EL, Fricton JR, Haley DP, Shapiro BL: The prevalence and treatment
needs of subjects with temporomandibular disorders, JAm Dental Assoc 120:295-
303, 1990.
2. Mc Creary CP, Clark GT, Merril RL et al: Psychological distress and diagnostic
subgroups of temporomandibular disorder patients, Pain 44:29-34, 1991.
3. Okeson JP: Bell's orofacial pains, ed 6, Chicago, 2005, Quintessence, pp 287-328.
4. Mense S, Meyer H: Bradykinin-induced sensitization of high-threshold muscle
receptors with slowly conducting afferent fibers, Pain(Suppl):S204, 1981.
5. Keele KD: A physician looks at pain. In Weisenberg M, editor: Pain:clinical and
experimental perspectives, St Louis, 1975, Mosby, pp 45-52.
6. Layzer RB: Muscle pain, cramps and fatigue. In Engel AG, Franzini-Armstrong C,
editors: Myology, New York, 1994, Mc Graw-Hill, pp 1754-1786.
7. Svensson P, Graven-Nielsen T: Craniofacial muscle pain: review of mechanismsand
clinical manifestations, J Orofac Pain 15:117-145, 2001.
8. Lund JP, Widmer CG: Evaluation of the use of surface electromyography in the
diagnosis, documentation, and treatment of dental patients, J Craniomandib Disord
3:125-137, 1989.
9. Lund JP, Widmer CG, Feine JS: Validity of diagnostic and monitoring tests used for
temporomandibular disorders, J Dent Res 74:1133-1143, 1995.
10. Paesani DA, Tallents RH, Murphy WC, Hatala MP, Proskin HM: Evaluation of there
producibility of rest activity of the anterior temporal and masseter muscles in
asymptomatic and symptomatic temporomandibular subjects, J Orofac Pain 8:402-
406, 1994.
11. Carlson CR, Okeson JP, Falace DA et al: Comparison of psychological and
physiological functioning between patients with masticatory muscle pain and
matched controls, J Orofac Pain 7:15-22, 1993.
12. Curran SL, Carlson CR, Okeson JP: Emotional and physiologic responses to
laboratorychallenges: patients with temporomandibular disorders versus matched
control subjects, J Orofac Pain 10:141-150, 1996.
13. Mense S: Considerations concerning the neurobiological basis of muscle pain, Can J
Physiol Pharmacol 69:610-616, 1991.
14. Mense S: Nociception from skeletal muscle in relation to clinical muscle pain, Pain
54:241-289,1993.
15. Travell JG, Rinzler S, Herman M: Pain and disability of the shoulder and arm, JAMA
120:417, 1942.
16. Schwartz LL: A temporomandibular joint pain-dysfunction syndrome, J Chron Dis
3:284-292, 1956.
17. Yemm R: A neurophysiological approach to the pathology and a etiology of
temporomandibular dysfunction, J Oral Rehabil 12:343-353, 1985.
18. Schroeder H, Siegmund H, Santibanez G, Kluge A: Causes and signs of
temporomandibular joint pain and dysfunction: an electromyographical investigation,
J Oral Rehabil 18:301-310, 1991.

19. Flor H, Birbaumer N, Schulte W, Roos R: Stress-relate electromyographic responses


in patients with chronic temporomandibular pain, Pain46:145-152, 1991.
20. Linton SJ, Hellsing AL, Andersson D: A controlled study of the effects of an early
intervention on acute musculo skeletal pain problems, Pain 54:353-359, 1993.
21. Okeson JP: Bell's orofacial pains, ed 6, Chicago, 2005, Quintessence, pp 45-62.
22. Sternbach RA: Pain and ‘hassles’ in the United States: findings of the Nuprin pain
report, Pain 27:69-80, 1986.
23. Selye H: Stress without distress, Philadelphia, 1974, JB Lippincott, p 32.
24. Schiffman EL, Fricton JR, Haley D: The relationship of occlusion, parafunctional
habits and recent life events to mandibular dysfunction in a non-patient population, J
Oral Rehabil 19:201-223, 1992.
25. Grassi C, Passatore M: Action of the sympathetic system on skeletal muscle, Ital J
Neurol Sci 9:23-28, 1988.
26. Passatore M, Grassi C, Filippi GM: Sympathetically-induced development of tension
in jaw muscles: the possible contraction of intrafusal muscle fibres, Pflugers Arch
405:297-304, 1985.
27. McNulty WH, Gevirtz RN, Hubbard DR, Berkoff GM: Needle electromyographic
evaluation of trigger point response to a psychological stressor, Psychophysiology
31:313-316, 1994.
28. Bell WE: Temporomandibular disorders:classification, diagnosis, management, ed 3,
Chicago, 1990, Year Book Medical, pp 60-61.
29. Ashton-Miller JA, McGlashen KM, Herzenberg JE, Stohler CS: Cervical muscle
myoelectric response to acute experimental sternocleidomastoid pain, Spine 15:1006-
1012,1990.
30. Lund JP, Donga R, Widmer CG, Stohler CS: The pain-adaptation model: a discussion
of the relationship between chronic musculoskeletal pain and motor activity, Can J
Physiol Pharmacol 69:683-694, 1991.
31. Lund JP, Olsson KA: The importance of reflexes and their control during jaw
movements, Trends Neuro sci 6:458-463, 1983.
32. Stohler CS, Ash MM Jr: Demonstration of chewing motor disorder by recording
peripheral correlates of mastication, J Oral Rehabil 12:49-57, 1985.
33. Stohler CS, Ash MM: Excitatory response of jaw elevators associated with sudden
discomfort during chewing, J Oral Rehabil 13:225-233, 1986.
34. Smith AM: The coactivation of antagonist muscles, Can J Physiol Pharmacol
59:733-741, 1981.
35. Stohler CS: Clinical perspectives on masticatory and related muscle disorders. In
Sessle
BJ, Bryant PS, Dionne RA, editors:Temporomandibular disorders and related pain
conditions, Seattle, 1995, IASP Press, pp 3,29, 43.
36. Stohler CS, Ashton-Miller JA, Carlson DS: The effects of pain from the mandibular
joint and muscles on masticatory motor behavior in man, Arch Oral Biol 33:175-182,
1988.
37. Watanabe M, Tabata T, Huh JI, Inai T, Tsuboi A et al: Possible involvement of
histamine in muscular fatigue in temporomandibular disorders: animal and human
studies, J Dent Res 78:769-775, 1999.
38. Christensen LV, Mohamed SE, Harrison JD: Delayed onset of masseter muscle pain
in experimental tooth clenching, J Prosthet Dent579-584, 1982.
39. Abraham WM: Factors in delayed muscle soreness, Med Sci Sports 9:11-20, 1977.
40. Tegeder L, Zimmermann J, Meller ST, Geisslinger G: Release of algesic substances
in human experimental muscle pain, Inflamm Res 51:393-402, 2002.
41. Evans WJ, Cannon JG: The metabolic effects of exercise-induced muscle damage,
Exerc Sport Sci Rev 19:99-125, 1991.
42. Byrnes WC, Clarkson PM: Delayed onset muscle soreness and training, Clin Sports
Med 5:605-614, 1986.
43. Bobbert MF, Hollander AP, Huijing PA: Factors in delayed onset muscular soreness
of man, Med Sci Sports Exerc 18:75-81, 1986.
44. Bakke M, Michler L: Temporalis and masseter muscle activity in patients with
anterior open bite and craniomandibular disorders, Scand J Dent Res 99:219-228,
1991.
45. Tzakis MG, Dahlstrom L, Haraldson T: Evaluation of masticatory function before
and after treatment in patients with craniomandibular disorders, J Craniomandib
Disord 6:267-272, 1992.
46. Sinn DP, de Assis EA, Throckmorton GS: Mandibular excursions and maximum bite
forces in patients with temporomandibular joint disorders, J Oral Maxillofac Surg
54:671-679, 1996.
47. High AS, MacGregor AJ, Tomlinson GE: A gnathody-nanometer as an objective
means of pain assessment following wisdom tooth removal, Br J Maxillofac Surg
26:284-290, 1988.
48. Okeson JP:Bell’s orofacial pains, ed 6, Chicago, 2005, Quintessence, pp 63-94.
49. Gonzales R, Coderre TJ, Sherbourne CD, Levine JD: Postnatal development of
neurogenic inflammation in the rat, Neurosci Lett 127:25-27, 1991.
50. Levine JD, Dardick SJ, Basbaum AI, Scipio E: Reflex neurogenic inflammation. I.
Contribution of the peripheral nervous system to spatially remote inflammatory
responses that follow injury, J Neurosci 5:1380-1386, 1985.
51. Carlson CR, Okeson JP, Falace DA, Nitz AJ, Lindroth JE: Reduction of pain and
EMG activity in the masseter region by trapezius trigger point injection, Pain
55:397-400, 1993.
52. Fricton JR, Kroening R, Haley D, Siegert R: Myofascial pain syndrome of the head
and neck: a review of clinical characteristics of 164 patients, Oral Surg Oral Med
Oral Pathol 60:615-623, 1985.
53. Travell JG, Rinzler SH: The myofascial genesis of pain, Postgrad Med 11:425-434,
1952.
54. Laskin DM: Etiology of the pain-dysfunction syndrome, J Am Dent Assoc 79:147-
153, 1969.
55. Simons DG, Travell J: Myofascial trigger points, a possible explanation [letter], Pain
10:106-109, 1981.
56. McMillan AS, Blasberg B: Pain-pressure threshold in painful jaw muscles following
trigger point injection, J Orofac Pain 8:384-390, 1994.
57. Travell J: Introductory comments. In Ragan C, editor: Connective tissues.
Transactions of the fifth conference, New York, 1954, Josiah Macy Jr, pp 12-22.
58. Simons DG, Travell JG, Simons LS: Travell& Simons’ myofascial pain and
dysfunction: the trigger point manual, ed 2, Baltimore, 1999, Lippincott Williams
&Wilkins, pp 67-78.
59. Hubbard DR, Berkoff GM: Myofascial trigger points show spontaneous needle EMG
activity, Spine 18:1803-1807, 1993.
60. Simons DG, Travell JG, Simons LS: Travell& Simons’ myofascial pain and
dysfunction: the trigger point manual, ed 2, Baltimore, 1999, Lippincott Williams
&Wilkins, pp 178-235.
61. Giunta JL, Kronman JH: Orofacial involvement secondary to trapezius muscle
trauma, Oral Surg Oral Med Oral Pathol 60:368-369, 1985.
62. Wright EF: Referred craniofacial pain patterns in patients with temporomandibular
disorder, J Am Dent Assoc 131:1307-1315, 2000.
63. Simons DG: The nature of myofascial trigger points, Clin J Pain 11:83-84, 1995.
64. Hoheisel U, Mense S, Simons DG, Yu XM: Appearance of new receptive fields in rat
dorsal horn neurons following noxious stimulation of skeletal muscle: a model for
referral of muscle pain? Neurosci Lett 153:9-12, 1993.
65. Hong CZ, Simons DG: Pathophysiologic and electrophysiologic mechanisms of
myofascial trigger points, Arch Phys Med Rehabil 79:863-872, 1998.
66. Simons DG, Travell JG, Simons LS: Travell JG, Simons LS: pain and dysfunction:
the triggerpoint manual, ed 2, Baltimore, 1999, Lippincott Williams & Wilkins, pp
110-112.
67. Moldofsky H, Scarisbrick P: Induction of neurasthenic musculo skeletal pain
syndrome by selective sleep stage deprivation, Psychosom Med 38:35-44, 1976.
68. Moldofsky H, Scarisbrick P, England R, Smythe H: Musculoskeletal symptoms and
non- REM sleep disturbance in patients with “fibrositis” and healthy subjects,
Psychosom Med 37:341-349, 1986.
69. Moldofsky H, Tullis C, Lue FA: Sleep related myoclonus in rheumatic pain
modulation disorder (fibrositis syndrome), J Rheumatol 13:614-617, 1986.
70. Molony RR, MacPeek DM, Schiffman PL, Frank M, Neubauer JA et al: Sleep, sleep
apnea and the fibromyalgia syndrome, JRheumatol 13:797-800, 1986.
71. Moldofsky H: Sleep and pain, Sleep Med Rev 5:385-396, 2001.
72. Mease P: Fibromyalgia syndrome: review of clinical presentation, pathogenesis,
outcome measures, and treatment, JRheumatol Suppl 75:6-21, 2005.
73. Marbach JJ, Lennon MC, Dohrenwend BP: Candidate risk factors for
temporomandibular pain and dysfunction syndrome: psychosocial, health behavior,
physical illness and injury, Pain 34:139-151, 1988.
74. Burgess JA, Dworkin SF: Litigation and post-traumatic TMD: how patients report
treatment outcome, JAm Dent Assoc 124:105-110, 1993.
75. Hopwood MB, Abram SE: Factors associated with failure of trigger point injections,
Clin J Pain 10:227-234, 1994.
76. Tauschke E, Merskey H, Helmes E: Psychological defense mechanisms in patients
with pain, Pain 40:161-170, 1990.
77. Marbach JJ, Lund P: Depression, anhedonia and anxiety in temporomandibular joint
and other facial pain syndromes, Pain 11:73-84, 1981.
78. Magni G, Marchetti M, Moreschi C, Merskey H, Luchini SR: Chronic
musculoskeletal pain and depressive symptoms in the National Health and Nutrition
Examination I. Epidemiologic follow-up study, Pain 53:163-168, 1993.
79. Auerbach SM, Laskin DM, Frantsve LM, Orr T: Depression, pain, exposure to
stressful life events, and long-term outcomes in temporomandibular disorder
patients, J Oral Maxillofac Surg 59:628-633, 2001.
80. Dworkin SF: Perspectives on the interaction of biological, psychological and social
factors in TMD, J Am Dent Assoc 125:856-863, 1994.
81. Gallagher RM, Marbach JJ, Raphael KG, Dohrenwend BP, Cloitre M: Is major
depression comorbid with temporomandibular pain and dys functionsyndrome? A
pilot study, Clin J Pain 7:219-225, 1991.
82. Glaros AG: Emotional factors in temporomandibular joint disorders, JIndiana Dent
Assoc 79:20-23, 2000.
83. Parker MW, Holmes EK, Terezhalmy GT: Personality characteristics of patients with
temporomandibular disorders: diagnostic and therapeutic implications, J Orofac Pain
7:337-344, 1993.
84. Vickers ER, Boocock H: Chronic orofacial pain is associated with psychological
morbidity and negative personality changes: a comparison to the general population,
Aust Dent J 50:21-30, 2005.
85. Fine EW: Psychological factors associated with non-organic temporo mandibular
joint pain dysfunction syndrome, Br Dent J 131:402-404, 1971.
86. Haley WE, Turner JA, Romano JM: Depression in chronic pain patients: relation to
pain, activity, and sex differences, Pain 23:337-343, 1985.
87. Hendler N: Depression caused by chronic pain, JClin Psychiatry 45:30-38, 1984.
88. Faucett JA: Depression in painful chronic disorders: the role of pain and conflict
about pain, J Pain Symptom Manage 9:520-526, 1994.
89. Dworkin RH, Richlin DM, Handlin DS, Brand L: Predicting treatment response in
depressed and non-depressed chronic pain patients, Pain 24:343-353, 1986.
90. Fricton JR, Olsen T: Predictors of outcome for treatment of temporomandibular
disorders, J Orofac Pain 10:54-65, 1996.
91. Bowsher D: Neurogenic pain syndromes and their management, Br Med Bull 47:644-
666, 1991.
92. La Motte RH, Shain CN, Simone DA, Tsai EF: Neurogenic
hyperalgesia:psychophysical studies of underlying mechanisms, JNeurophysiol
66:190-211, 1991.
93. Sessle BJ: The neural basis of temporomandibular joint and masticatory muscle pain,
J Orofac Pain 13:238-245, 1999.
94. Simone DA, Sorkin LS, Oh U, Chung JM, Owens C et al: Neurogenic hyperalgesia:
central neural correlates in responses of spinothalamic tract neurons, J Neurophysiol
66:228-246, 1991.
95. Wong JK, Haas DA, Hu JW: Local anesthesia does not block mustard-oil-induced
temporomandibular inflammation, Anesth Analg 92:1035-1040, 2001.
96. Wolfe F, Smythe HA, Yunus MB, Bennett RM, Bombardier C et al: The American
College of Rheumatology 1990 Criteria for the Classification of Fibromyalgia.
Report of the Multicenter Criteria Committee, Arthritis Rheum 33:160-172, 1990.
97. Fricton JR: The relationship of temporomandibular disorders and
fibromyalgia:implications for diagnosis and treatment, Curr Pain Headache Rep
8:355-363, 2004.
98. Rhodus NL, Fricton J, Carlson P, Messner R: Oral symptoms associated with
fibromyalgia syndrome, JRheumatol 30:1841-1845, 2003.
99. Hedenberg-Magnusson B, Ernberg M, Kopp S: Presence of orofacial pain and
temporomandibular disorder in fibromyalgia. A study by questionnaire, Swed Dent J
23:185-192, 1999.
100.Aaron LA, Burke MM, Buchwald D: Overlapping conditions among patients with
chronic fatigue syndrome, fibromyalgia, and temporom and ibulardisorder, Arch
Intern Med 160:221-227, 2000.
101.Hedenberg-Magnusson B, Ernberg M, Kopp S: Symptoms and signs of
temporomandibular disorders in patients with fibromyalgia and local myalgia of the
temporomandibular system. A comparative study, Acta Odontol Scand 55:344-349,
1997.
102.Plesh O, Wolfe F, Lane N: The relationship between fibromyalgia and
temporomandibular disorders: prevalence and symptom severity, JRheumatol
23:1948-1952, 1996.
103.Korszun A, Papadopoulos E, Demitrack M, Engleberg C, Crofford L: The
relationship between temporomandibular disorders and stress-associated syndromes,
Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod 86:416-420, 1998.
104.Aaron LA, Burke MM, Buchwald D: Overlapping conditions among patients with
chronic fatigue syndrome, fibromyalgia, and temporomandibular disorder [see
comments], Arch Intern Med 160:221-227, 2000.
105. Bell WE: Management of temporomandibular joint problems. In Goldman HM et al,
editors: Current therapy in dentistry, St Louis, 1970, Mosby, pp 398-415.
106. Eriksson L, Westesson PL, Rohlin M: Temporomandibular joint sounds in patients
with disc displacement, Int J Oral Surg 14:428-436, 1985.
107. Guler N, Yatmaz PI, Ataoglu H, Emlik D, Uckan S: Temporomandibular internal
derangement: correlation of MRI findings with clinical symptoms of pain and joint
sounds in patients with bruxing behavior, Dento maxillofac Radiol 32:304-310,
2003.
108. Taskaya-Yylmaz N, Ogutcen-Toller M: Clinical correlation of MRI findings of
internal derangements of the temporomandibular joints, Br J Oral Maxillofac Surg
40:317-321, 2002.
109. Westesson PL, Bronstein SL, Liedberg J: Internal derangement of the
temporomandibular joint: morphologic description with correlation to joint function,
Oral Surg Oral Med Oral Pathol 59:323-331, 1985.
110. Farrar WB, McCarty WL Jr: The TMJ dilemma, JAla Dent Assoc 63:19-26, 1979.
111. Wilkinson TM: The relationship between the disk and the lateral pterygoid muscle
in the human temporomandibular joint, J Prosthet Dent 60:715-724, 1988.
112. Tanaka TT: Head, neck and TMDmanagement, San Diego, 1989, Clinical Research
Foundation.
113. Tanaka TT: TMJ microanatomy: an approach to current controversies, Chula Vista,
Calif, 1998, Terry T. Tanaka (DVD).
114. Luder HU, Bobst P, Schroeder HE: Histometric study of synovial cavity dimension
of human temporomandibular joints with normal and anterior disc position, J Orofac
Pain 7:263-274, 1993.
115. Roberts CA, Tallents RH, Espel and MA, Handelman SL, Katzberg RW:
Mandibular range of motion versus arthrographic diagnosis of the
temporomandibular joint, Oral Surg Oral Med Oral Pathol 60:244-251, 1985.
116. Tallents RH, Hatala M, Katzberg RW, Westesson PL: Temporomandibular joint
sounds in asymptomatic volunteers, J Prosthet Dent 69:298-304, 1993.
117. Dibbets JMH, van der Weele LT: The prevalence of joint noises as related to age
and gender, J Craniomandib Disord 6:157-160, 1992.
118. Katzberg RW, Westesson PL, Tallents RH, Drake CM: Anatomic disorders of the
temporomandibular joint disc in asymptomatic subjects, J Oral Maxillofac Surg
54:147-153, 1996.
119. Isberg A, Isacsson G, Johansson AS, Larson O: Hyperplastic soft-tissue formation in
the temporomandibular joint associated with internal derangement. A radiographic
and histologic study, Oral Surg Oral Med Oral Pathol 61:32-38, 1986.
120. Holumlund AB, Gynther GW, Reinholt FP: Disk derangement and inflammatory
changes in the posterior disk attachment of the temporomandibularjoint, Oral Surg
Oral Med Oral Pathol 73:9-18, 1992.
121. Harkins SJ, Marteney JL: Extrinsic trauma: a significant precipitating factor in
temporomandibular dysfunction, J Prosthet Dent 54:271-272, 1985.
122. Moloney F, Howard JA: Internal derangements of the temporomandibular joint. III.
Anterior repositioning splint therapy, Aust Dent J 31:30-39, 1986.
123. Weinberg S, Lapointe H: Cervical extension-flexion injury (whiplash) and internal
derangement of the temporomandibular joint, J Oral Maxillofac Surg 45:653-656,
1987.
124. Pullinger AG, Seligman DA: Trauma history in diagnostic groups of
temporomandibular disorders, Oral Surg Oral Med Oral Pathol 71:529-534, 1991.
125. Westling L, Carlsson GE, Helkimo M: Background factors in craniomandibular
disorders with special reference to general joint hypermobility, parafunction, and
trauma, J Craniomandib Disord 4:89-98, 1990.
126. Pullinger AG, Seligman DA: Association of TMJ subgroups with general trauma
and MVA, J Dent Res 67:403-414, 1988.
127. Pullinger AG, Monteriro AA: History factors associated with symptoms of
temporomandibular disorders, J Oral Rehabil 15:117-124, 1988.
128. Skolnick J, Iranpour B, Westesson PL, Adair S: Prepubertal trauma an mandibular
asymmetry in orthognathic surgery and orthodontic patients, Am J Orthod
Dentofacial Orthop 105:73-77, 1994.
129. Braun BL, Di Giovanna A, Schiffman E et al: A cross-sectional study of
temporomandibular joint dysfunction in post-cervical trauma patients, J
Craniomandib Disord 6:24-31, 1992.
130. Burgess J: Symptom characteristics in TMD patients reporting blunt trauma and/or
whiplash injury, J Craniomandib Disord 5:251-257, 1991.
131. De Boever JA, Keersmaekers K: Trauma in patients with temporomandibular
disorders: frequency and treatment outcome, J Oral Rehabil 23:91-96, 1996.
132. Yun PY, Kim YK: The role of facial trauma as a possible etiologic factor in
temporomandibular joint disorder, J Oral Maxillofac Surg 63:1576-1583, 2005.
133. Seals RR Jr, Morrow RM, Kuebker WA, Farney WD: An evaluation of mouthguard
programs in Texas high school football, JAm Dent Assoc 110:904-909, 1985.
134. Garon MW, Merkle A, Wright JT: Mouth protectors and oral trauma: a study of
adolescent football players, JAm Dent Assoc 112:663-665, 1986.
135. Luz JGC, Jaeger RG, de Araujo VC, de Rezende JRV: The effect of indirect trauma
on the rat temporomandibular joint, Int J Oral Maxillofac Surg 20:48-52, 1991.
136. Knibbe MA, Carter JB, Frokjer GM: Postanesthetic tempo-romandibularjoint
dysfunction, Anesth Prog 36:21-25, 1989.
137. Gould DB, Banes CH: Iatrogenic disruptions of right temporomandi bular joints
during orotracheal intubation causing permanent closed lock of the jaw, Anesth
Analg 81:191-194, 1995.
138. Oofuvong M: Bilateral temporomandibular joint dislocations during induction of
anesthesia and orotracheal intubation, JMed Assoc Thai 88:695-697, 2005.
139. Mangi Q, Ridgway PF, Ibrahim Z, Evoy D: Dislocation of the mandible, Surg
Endosc 18:554-556, 2004.
140. Barnsley L, Lord S, Bogduk N: Whiplash injury; a clinical review, Pain 58:283-307,
1994.
141. Kronn E: The incidence of TMJ dysfunction in patients who have suffered a cervical
whiplash injury following a traffic accident, J Orofac Pain 7:209-213, 1993.
142. Goldberg HL: Trauma and the improbable anterior displacement, Craniomandib
Disord 4:131-134, 1990.
143. McKay DC, Christensen LV: Whiplash injuries of the temporomandibular joint in
motor vehicle accidents: speculations and facts, J Oral Rehabil 25:731-746, 1998.
144. Kasch H, Hjorth T, Svensson P, Nyhuus L, Jensen TS: Temporomandibular
disorders after whiplash injury: a controlled, prospective study, J Orofac Pain
16:118-128, 2002.
145. Klobas L, Tegelberg A, Axelsson S: Symptoms and signs of temporomandibular
disorders in individuals with chronic whiplash-associated disorders, Swed Dent J
28:2 9-36,2004.
146. Howard RP, Hatsell CP, Guzman HM: Temporomandibular joint injury potential
imposed by the low-velocity extension-flexion maneuver, J Oral Maxillofac Surg
53:256-262, 1995.
147. Howard RP, Benedict JV, Raddin JH Jr, Smith HL: Assessing neck extension-
flexion as a basis for temporomandibular joint dysfunction, J Oral Maxillofac Surg
49:1210-1213, 1991.
148. Szabo TJ, Welcher JB, Anderson RD et al: Human occupant kinematic response to
low speed rear-end impacts. In Society of Automotive Engineers: Occupant
containment and methods of assessing occupant protection in the crash environment,
Warrendale, Pa, 1994, SAE, p SP-1045.
149. Heise AP, Laskin DM, Gervin AS: Incidence of temporomandibular joint symptoms
following whiplash injury, J Oral Maxillofac Surg 50:825-828, 1992.
150. Probert TCS, Wiesenfeld PC, Reade PC: Temporomandibular pain dysfunction
disorder resulting from road traffic accidents—an Australian study, Int J Oral
Maxillofac Surg 23:338-341, 1994.
151. Stegenga B: Temporomandibular join tosteoarthrosis and internal derangement:
diagnostic and therapeutic outcome assessment, Groningen, The Netherlands, 1991,
Drukkerij Van Denderen BV, p 500.
152. Dijkgraaf LC, de Bont LG, Boering G, Liem RS: The structure, biochemistry, and
metabolism of osteoarthritic cartilage: a review of the literature, J Oral Maxillofac
Surg 53:1182-1192, 1995.
153. Nitzan DW, Nitzan U, Dan P, Yedgar S: The role of hyaluronic acid in protecting
surface-active phospholipids from lysis by exogenousphos pholipase A(2),
Rheumatology (Oxford) 40:336-340, 2001.
154. Nitzan DW: The process of lubrication impairment and its involvement in
temporomandibular joint disc displacement: a theoretical concept, J Oral Maxillofac
Surg 59:36-45, 2001.
155. Nitzan DW, Marmary Y: The “anchored disc phenomenon”: a proposedetiology for
sudden-onset, severe, and persistent closed lock of the temporomandibular joint, J
Oral Maxillofac Surg 55:797-802, 1997; discussion 802-803.
156. Zardeneta G, Milam SB, Schmitz JP: Iron-dependent generation of free radicals:
plausible mechanisms in the progressive deterioration of the temporomandibular
joint, J Oral Maxillofac Surg 58:302-308, 2000; discussion 309.
157. Nitzan DW, Etsion I: Adhesive force: the underlying cause of the discan chorage to
the fossa and/or eminence in the temporomandibular joint—a new concept, Int J
Oral Maxillofac Surg 31:94-99, 2002.
158. Nitzan DW: ‘Friction and adhesive forces’—possibleunderlying causes for
temporomandibular joint internal derangement, Cells Tissues Organs 174:6-16,
2003.
159. Tomida M, Ishimaru JI, MurayamaK, Kajimoto T, Kurachi M et al: Intra-articular
oxidative state correlated with the pathogenesis of disorders of the
temporomandibular joint, Br J Oral Maxillofac Surg 42:405-409, 2004.
160. Dan P, Nitzan DW, Dagan A, Ginsburg I, Yedgar S: H2O2 renders cells accessible
to lysis by exogenous phospholipase A2: a novel mechanism for cell damage in
inflammatory processes, FEBS Lett 383:75-78, 1996.
161. Milam SB, Schmitz JP: Molecular biology of temporomandibular joint disorders:
proposed mechanisms of disease, J Oral Maxillofac Surg 53:1448-1454, 1995.
162. Milam SB, Zardeneta G, Schmitz JP: Oxidative stress and degenerative
temporomandibular joint disease: a proposed hypothesis, J Oral Maxillofac Surg
56:214-223, 1998.
163. Aghabeigi B, Haque M, Wasil M, Hodges SJ, Henderson B et al: The role of oxygen
free radicals in idiopathic facial pain, Br J Oral Maxillofac Surg 35:161-165, 1997.
164. Yamaguchi A, Tojyo I, Yoshida H, Fujita S: Role of hypoxia and interleuk in-1beta
in gene expressions of matrix metallo proteinases in temporomandibular joint disc
cells, Arch Oral Biol 50:81-87, 2005.
165. Israel HA, Diamond B, Saed-Nejad F, Ratcliffe A: The relationship between
parafunctional masticatory activity and arthroscopically diagnosed
temporomandibular joint pathology, J Oral Maxillofac Surg 57:1034-1039, 1999.
166. Nitzan DW: Intraarticular pressure in the functioning human temporomandibular
joint and its alteration by uniform elevation of the occlusal plane, J Oral Maxillofac
Surg 52:671-679, 1994.
167. Milam SB, Schmitz JP: Molecular biology of temporomandibular joint disorders:
proposed mechanisms of disease, J Oral Maxillofac Surg 12:1448-1454, 1995.
168. Monje F, Delgado E, Navarro MJ, Miralles C, Alonso del Hoyo JR: Changes in
temporomandibular joint after mandibular sub condylar osteoto my: an experimental
study in rats, J Oral Maxillofac Surg 51:1221-1234, 1993.
169. Shaw RM, Molyneux GS: The effects of induced dental malocclusion on the fibro
cartilage disc of the adult rabbit temporomandibular joint, Arch Oral Biol 38:415-
422, 1993.
170. Isberg A, Isacsson G: Tissue reactions associated with internal derangement of the
temporomandibular joint. A radiographic, cryomorphologic, and histologic study,
Acta Odontol Scand 44:160-164, 1986.
171. Wright WJ Jr: Temporomandibular disorders: occurrence of specific diagnoses and
response to conservative management. Clinical observations, Cranio 4:150-
155,1986.
172. Seligman DA, Pullinger AG: Association of occlusal variables among refined TM
patient diagnostic groups, J Craniomandib Disord 3:227-236, 1989.
173. Solberg WK, Bibb CA, Nordstrom BB, Hansson TL: malocclusion associated with
temporomandibular joint changes in young adults at autopsy, Am J Orthod 89:326-
330, 1986.
174. Tsolka P, Walter JD, Wilson RF, Preiskel HW: Occlusal variables, bruxism and
temporomandibular disorder: a clinical and kinesio graphic assessment, J Oral
Rehabil 22:849-956, 1995.
175. Celic R, Jerolimov V: Association of horizontal and vertical overlap with prevalence
of temporomandibular disorders, J Oral Rehabil 29:588-593, 2002.
176. Williamson EH, Simmons MD: Mandibular asymmetry and its relation to pain-
dysfunction, Am J Orthod 76:612-617, 1979.
177. De Boever JA, Adriaens PA: Occlusal relationship in patients with pain-dysfunction
symptoms in the temporomandibular joint, J Oral Rehabil 10:1-7, 1983.
178. Brandt D: Temporomandibular disorders and their association with morphologic
malocclusion in children. In Carlson DS, McNamara JA, Ribbens KA, editors:
Developmental aspects of temporomandibular joint disorders, Ann Arbor, 1985,
University of Michigan Press, pp 279-291.
179. Bernal M, Tsamtsouris A: Signs and symptoms of temporomandibular joint
dysfunction in 3 to 5 year old children, JPedod 10:127-140, 1986.
180. Nilner M: Functional disturbances and diseases of the stomatognathic system. A
crosssectional study, JPedod 10:211-238, 1986.
181. Stringert HG, Worms FW: Variations in skeletal and dental patterns in patients with
structural and functional alterations of the temporomandibular joint: a preliminary
report, Am J Orthod 89:285-297, 1986.
182. Gunn SM, Woolfolk MW, Faja BW: malocclusion and TMJ symptoms in migrant
children, J Craniomandib Disord 2:196-200, 1988.
183. Dworkin SF, Huggins KH, LeResche L, Von Korff M, Howard J et al:
Epidemiology of signs and symptoms in temporomandibular disorders: clinical signs
in cases and controls, J Am Dent Assoc 120:273-281, 1990.
184. Glaros AG, Brockman DL, Acherman RJ: Impact of overbite on indicators of
temporomandibular joint dysfunction, J Craniomandib Pract 10:277-289, 1992.
185. McNamara JA Jr, Seligman DA, Okeson JP: Occlusion, orthodontic treatment, and
temporomandibular disorders: a review, J Orofac Pain 9:73-90, 1995.
186. Ronquillo HI, Guay J, Tallents RH, Katzberg R, Murphy W et al: Comparison of
internal derangements with condyle-fossa relationships, horizontal and vertical
overlap, and angle class, J Craniomandib Disord 2:137-140, 1988.
187. Pullinger AG, Seligman DA, Solberg WK: Temporo mandibular disorders. Part II:
occlusal factors associated with temporom andibular joint tenderness and
dysfunction, J Prosthet Dent 59:363-367, 1988.
188. Pullinger AG, Seligman DA: Overbite and over jet characteristics of refined
diagnostic groups of temporomandibular disorders patients, Am J Orthod Dentofac
Orthop 100:401-409, 1991.
189. Hirsch C, John MT, Drangsholt MT, Mancl LA: Relationship between
overbite/overjet and clicking or crepitus of the temporomandibular joint, J Orofac
Pain 19:218-225, 2005.
190. John MT, Hirsch C, Drangsholt MT, Mancl LA, Setz JM: Overbite and overjet are
not related to self-report of temporomandibular disorder symptoms, J Dent Res
81:164-169, 2002.
191. Ohta M, Minagi S, Sato T, Okamoto M, Shimamura M: Magnetic resonance
imaging analysis on the relationship between anterior disc displacement and
balancing-side occlusal contact, J Oral Rehabil 30:30-33, 2003.
192. Farrar WB, McCarty WL: A clinical outline of temporomandibular joint diagnosis
and treatment, Montgomery, Ala, 1983, Normandie Publications.
193. Wilson HE: Extraction of second permanent molars in orthodontic treatment,
Orthodontist 3:18-24,1971.
194. Witzig JW, Spahl TH: The clinical management of basic maxillofacial orthopaedic
appliances, Littleton, Mass, 1987, PSG Publishing.
195. Witzig JW, Yerkes IM: Functional jaw orthopedics: mastering more technique. In
Gelb H, editor: Clinical management of head, neck and TMJ pain and dysfunction,
Philadelphia, 1985, Saunders, pp 207-235.
196. Sadowsky C, BeGole EA: Long-term status of temporomandibular joint function
and functional occlusion after orthodontic treatment, Am J Orthod 78:201-212, 1980.
197. Larsson E, Ronnerman A: Mandibular dysfunction symptoms in orthodontically
treated patients ten years after the completion of treatment, Eur J Orthod 3:89-94,
1981.
198. Sadowsky C, Polson AM: Temporomandibular disorders and functional occlusion
after orthodontic treatment: results of two long-term studies, Am J Orthod 86:386-
390, 1984.
199. Dibbets JM, van der Weele LT: Orthodontic treatment in relation to symptoms
attributed to dysfunction of the temporomandibular joint. A 10-year report of the
University of Groningen study, Am J Orthod Dentofacial Orthop 91:193-199, 1987.
200. Dahl BL, Krogstad BS, Ogaard B, Eckersberg T: Signs and symptoms of
craniomandibular disorders in two groups of 19-year-old individuals, one treated
orthodontically and the other not, Acta Odontol Scand 46:89-93, 1988.
201. Wadhwa L, Utreja A, Tewari A: A study of clinical signs and symptoms of
temporomandibular dysfunction in subjects with normalocclusion, untreated, and
treated malocclusions, Am J Orthod Dentofac Orthop 103:54-61, 1993.
202. Henrikson T, Nilner M: Temporomandibular disorders and the need for
stomatognathic treatment in orthodontically treated and untreated girls, Eur J Orthod
22:283-292, 2000.
203. Henrikson T, Nilner M, Kurol J: Signs of temporomandibular disorders in girls
receiving orthodontic treatment. A prospective and longitudinal comparison with
untreated Class II malocclusions and normalocclusion subjects, Eur J Orthod
22:271-281, 2000.
204. Conti A, Freitas M, Conti P, Henriques J, Janson G: Relationship between signs and
symptoms of temporomandibular disorders and orthodontic treatment: a cross-
sectional study, Angle Orthod 73:411-417, 2003.
205. Kim MR, Graber TM, Viana MA: Orthodontics and temporomandibular disorder:a
meta-analysis, Am J Orthod Dentofacial Orthop 121:438-446, 2002.
206. How CK: Orthodontic treatment has little to do wit temporomandibulardisorders,
Evid Based Dent5:75, 2004.
207. Henrikson T, Nilner M: Temporomandibular disorders, occlusion an orthodontic
treatment, J Orthod 30:129-137, 2003; discussion 127.
208. Dibbets JM, van der Weele LT: Extraction, orthodontic treatment, an
craniomandibular dysfunction, Am J Orthod Dentofacial Orthop 99:210-219, 1991.
209. Dibbets JM, van der Weele LT: Long-term effects of orthodontic treatment,
including extraction, on signs and symptoms attributed to CMD, Eur J Orthod 14:16-
20, 1992.
210. Dibbets JM, van der Weele LT, Meng HP: The relationships between orthodontics
and temporomandibular joint dysfunction. A review of the literature and longitudinal
study, Schweiz Monatsschr Zahnmed 103:162-168, 1993.
211. Katzberg RW, Westesson PL, Tallents RH, Drake CM: Orthodontics and
temporomandibular joint internal derangement, Am J Orthod Dentofacial Orthop
109:515-520, 1996.
212. Sadowsky C, Theisen TA, Sakols EI: Orthodontic treatment and temporomandibular
joint sounds—a longitudinal study, Am J Orthod Dentofacial Orthop 99:441-447,
1991.
213. Beattie JR, Paquette DE, Johnston LE Jr: The functional impact of extraction and
nonextraction treatments: a long-term comparison in patients with borderline, equally
susceptible Class II malocclusions, Am J Orthod Dentofacial Orthop 105:444-449,
1994.
214. Luppanapornlarp S, Johnston LE Jr: The effects of premolar-extraction: a long-term
comparison of outcomes in clear-cut extraction and nonextraction Class II patients,
Angle Orthod 63:257-272, 1993.
215. Kremenak CR, Kinser DD, Harman HA, Menard CC, Jakobsen JR: Orthodontic risk
factors for temporomandibular disorders (TMD). I: premolar extractions, Am J
Orthod Dentofacial Orthop 101:13-20, 1992.
216. Kundinger KK, Austin BP, Christensen LV, Donegan SJ, Ferguson DJ: An
evaluation of temporomandibular joints and jaw muscles after orthodontic treatment
involving premolar extractions, Am J Orthod Dentofacial Orthop 100:110-115, 1991.
217. Nitzan DW, Dolwick MF: An alternative explanation for the genesis of closed-lock
symptoms in the internal derangement process, J Oral Maxillofac Surg 49:810-815,
1991.
218. Nitzan DW, Mahler Y, Simkin A: Intra-articular pressure measurements in patients
with suddenly developing, severely limited mouth opening, J Oral Maxillofac Surg
50:1038-1042, 1992.
219. Murakami K, Segami N, Moriya Y, Iizuka T: Correlation between pain and
dysfunction and intra-articular adhesions in patients with internal derangement of the
temporomandibular joint, J Oral Maxillofac Surg 50:705-708, 1992.
220. Bell WE: Temporomandibular disorders: classification, diagnosis, management, ed
3, Chicago, 1990, Year Book Medical, p 395.
221. Kavuncu V, Sahin S, Kamanli A, Karan A, Aksoy C: The role of systemic
hypermobility and condylar hypermobility in temporomandibular joint dysfunction
syndrome, Rheumatol Int 26:257-260, 2006.
222. Bell WE: Temporomandibular disorders: classification, diagnosis, management, ed
3, Chicago, 1990, Year Book Medical, p 158.
223. Kai S, Kai H, Nakayama E, Tabata O, Tashiro H et al: Clinical symptoms of open
lock position of the condyle. Relation to anterior dislocation of the
temporomandibular joint, Oral Surg Oral Med Oral Pathol 74:143-148, 1992.
224. Nitzan DW: Temporomandibular joint “open lock” versus condylar dislocation:
signs and symptoms, imaging, treatment, and pathogenesis, J Oral Maxillofac Surg
60:506-511, 2002; discussion 512-513.
225. Bell WE: Temporomandibular disorders: classification, diagnosis, management, ed
3, Chicago, 1990, Year Book Medical, p 77.
226. Hall MB, Gibbs CC, Sclar AG: Association between the prominence of the
articulareminence and displaced TMJ disks, Cranio 3:237-239, 1985.
227. Kerstens HC, Tuinzing DB, Golding RP, Van der Kwast WA: Inclination of the
temporomandibular joint eminence and anterior disc displacement, Int J Oral
Maxillofac Surg18:228-232, 1989.
228. Ren YF, Isberg A, Wesetessen PL: Steepness of the articular eminence in the
temporomandibular joint, Oral Surg Oral Med Oral Pathol 80:258-266, 1995.
229. Galante G, Paesani D, Tallents RH, Hatala MA, Katzberg RW et al: Angle of the
articular eminence in patients with temporomandibular joint dysfunction and
asymptomatic volunteers, Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod
80:242-249, 1995.
230. Alsawaf M, Garlapo DA, Gale EN, Carter MJ: The relationship between condy
larguidance and temporomandibular joint clicking, J Prosthet Dent 61:349-356,
1989.
231. Solberg WK, Hansson TL, Nordstrom B: The temporomandibular joint in young
adults at autopsy: a morphologic classification and evaluation, J Oral Rehabil
12:303-310, 1985.
232. Maeda Y, Korioth T, Wood W: Stress distribution on simulated mandibular
condyles of various shapes, J Dent Res 69:337, 1990 (abstract).
233. Gage JP: Collagen biosynthesis related to temporomandibular joint clicking in
childhood, J Prosthet Dent 53:714-717, 1985.
234. Aufdemorte TB, Van Sickels JE, Dolwick MF, Sheridan PJ, Holt GR et al: Estrogen
receptors in the temporomandibular joint of the baboon (Papiocynocephalus): an auto
radiographic study, Oral Surg Oral Med Oral Pathol 61:307-314, 1986.
235. Milam SB, Aufdemorte TB, Sheridan PJ, Triplett RG, Van Sickels JE et al: Sexual
dimorphism in the distribution of estrogen receptors in the temporomandibular joint
complex of the baboon, Oral Surg Oral Med Oral Pathol 64:527-532, 1987.
236. Mc Carroll RS, Hesse JR, Naeije M, Yoon CK, Hansson TL: Mandibular border
positions and their relationships with peripheral joint mobility, J Oral Rehabil
14:125-131, 1987.
237. Bates RE Jr, Stewart CM, Atkinson WB: The relationship between internal
derangements of the temporomandibular joint and systemic joint laxity, J Am Dent
Assoc 109:446-447, 1984.
238. Waite PD: Evaluation of 49 mitral valve prolapse patients for maxillofacial skeletal
deformities and temporomandibular joint dysfunction, Oral Surg Oral Med Oral
Pathol 62:496-499, 1986.
239. Westling L: Craniomandibular disorders and general joint mobility, Acta Odontol
Scand 47:293-299, 1989.
240. Plunkett GA, West VC: Systemic joint laxity and mandibular range of movement,
Cranio 6:320-326,1988.
241. Johansson AS, Isberg A: The anterosuperior insertion of the temporomandibular
joint capsule and condylar mobility in joints with and with out internal derangement:
a double-contrast arthrotomographic investigation, J Oral Maxillofac Surg 49:1142-
1148, 1991.
242. Buckingham RB, Braun T, Harinstein DA, Oral K, Bauman D et al:
Temporomandibular joint dysfunction syndrome: a close association with systemic
joint laxity (the hypermobile joint syndrome), Oral Surg Oral Med Oral Pathol
72:514-519, 1991.
243. Westling L, Mattiasson A: General joint hypermobility and temporomandibular joint
derangement in adolescents, Ann Rheum Dis 51:87-90, 1992.
244. Adair SM, Hecht C: Association of generalized joint hypermobility with history,
signs, and symptoms of temporomandibular joint dysfunction in children, Pediatr
Dent 15:323-326, 1993.
245. Perrini F, Tallents RH, Katzberg RW, Ribeiro RF, Kyrkanides S et al: Generalized
joint laxity and temporomandibular disorders, J Orofac Pain 11:215-221, 1997.
246. De Coster PJ, Van den Berghe LI, Martens LC: Generalized joint hypermobility and
temporomandibular disorders: inherited connective tissue disease as a model with
maximum expression, J Orofac Pain 19:47-57, 2005.
247. Chun DS, Koskinen-Moffett L: Distress, jaw habits, and connective tissue laxity as
predisposing factors to TMJ sounds in adolescents, J Craniomandib Disord 4:165-
176, 1990.
248. Blasberg B, Hunter T, Philip S: Peripheral joint hypermobility in individuals with
and without temporomandibular disorders, J Dent Res 70:278, 1991 (abstract).
249. Dijkstra PU, de Bont LGM, Stegenga B, Boering G: Temporomandibular joint
osteoarthrosis and generalized joint hypermobility, J Craniomandib Pract 10:221-
232, 1992.
250. Dijkstra PU, de Bont LGM, de Leeuw R, Stegenga B, Boering G: Temporomandi
bular
joint osteoarthrosis and temporomandibular joint hypermobility, J Craniomandib Pract
11:268-275, 1993.
251. Khan FA, Pedlar J: Generalized joint hypermobility as a factor in clicking of the
temporomandibular joint, Int J Oral Maxillofac Surg 25:101-104, 1996.
252. Winocur E, Gavish A, Halachmi M, Bloom A, Gazit E: Generalized joint laxity and
its relation with oral habits and temporomandibular disorders in adolescent girls, J
Oral Rehabil 27:614-622, 2000.
253.Elfving L, Helkimo M, Magnusson T: Prevalence of differenttemporomandibular
joint sounds, with emphasis on disc-displacement, in patients with
temporomandibular disorders and controls, Swed Dent J 26:9-19, 2002.
254. Conti PC, Miranda JE, Araujo CR: Relationship between systemic joint laxity, TMJ
hypertranslation, and intra-articular disorders, Cranio 18:192-197, 2000.
255. Dickson-Parnell B, Zeichner A: The premenstrual syndrome: psychophysiologic
concomitants of perceived stress and low back pain, Pain 34:161-173, 1988.
256. Olson GB, Peters CJ, Franger AL: The incidence and severity of premenstrual
syndrome among female craniomandibular pain patients, Cranio 6:330-338, 1988.
257. Wardrop RW, Hailes J, Burger H, Reade PC: Oral discomfort at menopause, Oral
Surg Oral Med Oral Pathol 67:535-544, 1989.
258. Le Resche L, Mancl L, Sherman JJ, Gandara B, Dworkin SF: Changes in
temporomandibular pain and other symptoms across the menstrual cycle, Pain
106:253-261,2003.
259. Le Resche L, Saunders K, Von Korff MR, Barlow W, Dworkin SF: Use of
exogenous hormones and risk of temporomandibular disorder pain, Pain69:153-160,
1997.
260. Mogil JS, Sternberg WF, Kest B, Marek P, Liebeskind JC: Sex differences in the
antagonism of swim stress-induced analgesia: effects of gonadectomy and estrogen
replacement, Pain 53:17-25, 1993.
261. Flake NM, Bonebreak DB, Gold MS: Estrogen and inflammation increase the
excitability of rat temporomandibular joint afferent neurons, JNeurophysiol 93:1585-
1597, 2005.
262. Kiliaridis S et al: Endurance test and fatigue recovery of the masticatory system, J
Dent Res 70:342, 1991 (abstract).
263. Wongwatana S, Kronman JH, Clark RE, Kabani S, Mehta N: Anatomic basis for
disk displacement in temporomandibular joint (TMJ) dysfunction, Am J Orthod
Dentofacial Orthop 105:257-264, 1994.
264. Stegenga B, de Bont LG, Boering G, van Willigen JD: Tissue responses to
degenerative changes in the temporomandibular joint: a review, JO ral Maxillofac
Surg 49:1079-1088, 1991.
265. Gynther GW, Holmlund AB, Reinholt FP: Synovitis in internal derangement of the
temporomandibular joint: correlation between arthroscopic and histologic findings, J
Oral Maxillofac Surg 52:913-917, 1994.
266. Holmlund A, Hellsing G, Axelsson S: The temporomandibular joint: a comparison
of clinical and arthroscopic findings, J Prosthet Dent 62:61-65, 1989.
267. Holmlund AB, Gynther GW, Reinholt FP: Disk derangement and inflammatory
changes in the posterior disk attachment of the temporomandibular joint. A
histologic study,
Oral Surg Oral Med Oral Pathol 73:9-12, 1992.
268. Luder HU, Bobst P, Schroeder HE: Histometric study of synovial cavity dimensions
of human temporomandibular joints with normal and anterior disc position, JO rofac
Pain 7:263-74, 1993.
269. Stegenga B, de Bont LG, Boering G: Osteoarthrosis as the cause o craniomandibular
pain and dysfunction: a unifying concept, J Oral Maxillofac Surg 47:249-256, 1989.
270. De Bont LGM, Boering G, Liem RSB, Eulderink F, Westesson PL:Osteoarthritis
and internal derangement of the temporomandibular joint: a light microscopic study,
J Oral Maxillofac Surg 44:634-643, 1986.
271. Mills DK, Daniel JC, Herzog S, Scapino RP: An animal model for studying
mechanisms in human temporomandibular joint disc derangement, J Oral Maxillofac
Surg 52:1279-1292, 1994.
272. Helmy E, Bays R, Sharawy M: Osteoarthrosis of the temporomandibular joint
following experimental disc perforation in Macaca fascicularis, J Oral Maxillofac
Surg 46:979-990, 1988.
273. Boering G:Temporomandibular joint arthrosis: a clinical and radiographic
investigation: thesis, Groningen, The Netherlands, 1966, University of Groningen.
274. Farrar WB, Mc Carty WL:A clinical outline of temporomandibular joint diagnosis
and treatment, Montgomery, Ala, 1983, Normandie Publications, pp 191-201.
275. Mc Carty WL, Farrar WB: Surgery for internal derangements of the
temporomandibular joint, J Prosthet Dent 42:191-196, 1979.
276. Wilkes CH: Arthrography of the temporomandibular joint in patients with the TMJ
paindysfunction syndrome, Minn Med 61:645-652, 1978.
277. Bell WE: Temporomandibular disorders: classification, diagnosis, management, ed
3, Chicago, 1990, Year Book Medical, pp 182-195.
278. Akerman S, Kopp S, Rohlin M: Histological changes in temporomandibular joints
from elderly individuals. An autopsy study, Acta Odontol Scand 44:231-239, 1986.
279. Kircos LT, Ortendahl DA, Mark AS, Arakawa M: Magnetic resonance imaging of
the TMJ disc in asymptomatic volunteers, J Oral Maxillofac Surg 45:852-854, 1987.
280. Zander HA, Muhlemann HR: The effects of stress on the periodontal structures,
Oral Surg Oral Med Oral Pathol 9:380-387, 1956.
281. Glickman I: Inflammation and trauma from occlusion, JPeriodontol 34:5-15, 1963.
282. Ramfjord SP, Ash MM: Occlusion, ed 3, Philadelphia, 1983, Saunders.
283. Svanberg G, Lindhe J: Experimental tooth hypermobility in the dog: methodologic
study, Odontol Rev 24:269-277, 1973.
284. Ericsson I, Lindhe J: Effect of longstanding jiggling on experimental marginal
periodontitis in the beagle dog, JClin Periodontol 9:497-503, 1982.
285. Polson AM, Meitner SW, Zander HA: Trauma and progression of marginal
periodontitis in squirrel monkeys. III. Adaption of interproximal alveolar bone to
repetitive injury, JPeriodontal Res 11:279-289, 1976.
286. Ettala-Ylitalo UM, Markkanen H, Yli-Urpo A: Influence of occlusal interferences
on the periodontium in patients treated with fixed prosthesis, J Prosthet Dent 55:252-
255, 1986.
287. Kenney EB: A histologic study of incisal dysfunction and gingival inflammation in
the rhesus monkey, JPeriodontol 11:290, 1972.
288. Sirirungrojying S, Kerdpon D: Relationship between oral tori and
temporomandibular disorders, Int Dent J49:101-104, 1999.
289. Clifford T, Lamey PJ, Fartash L: Mandibular tori, migraine and temporomandibular
disorders, Br Dent J 180:382-384, 1996.
290. Jainkittivong A, Langlais RP: Buccal and palatal exostoses: prevalence and
concurrence with tori, Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod 90:48-53,
2000.
291. Ikeda T, Nakano M, Bando E: The effect of traumatic occlusal contact on tooth pain
threshold, J Dent Res 70:330, 1991 (abstract).
292. Ramfjord SP, Ash MM: Occlusion, ed 3, Philadelphia, 1983, Saunders, pp 313-314.
293. Okeson JP, Kemper JT: Clinical examination of 168 general dental patients in 1982
(unpublished).
294. Pullinger AG, Seligman DA: The degree to which attrition characterizes
differentiated patient groups of temporomandibular disorders, J Orofac Pain 7:196-
208, 1993.
295. Kois JC, Phillips KM: Occlusal vertical dimension: alteration concerns, Compend
Contin Educ Dent 18:1169-1174, 1176-1177, 1997; quiz 1180.
296. Cook NR, Evans DA, Funkenstein HH, Scherr PA, Ostfeld AM et al: Correlates of
headache in a population-based cohort of elderly, Arch Neurol 46:1338-1344, 1989.
297. Sternbach RA: Survey of pain in the United States: the Nuprin Pain Report, Clin J
Pain 2:49-53, 1986.
298. Cacchiotti DA, Plesh O, Bianchi P, Mc Neill C: Signs and symptoms in samples
with and without temporomandibular disorders, J Craniomandib Disord 5:167-172,
1991.
299. Gelb H, Tarte J: A two-year clinical dental evaluation of 200 cases of chronic
headache: the craniocervical mandibular syndrome, JAm Dent Assoc 91:1230-1239,
1975.
300. Kreisberg MK: Headache as a symptom of cranio mandibular disorders.
II:management, Cranio 4:219-228, 1986.
301. Schokker RP, Hansson TL, Ansink BJ: Craniomandibular disorders in patients with
different types of headache, J Craniomandib Disord 4:47-51, 1990.
302. Jensen R, Rasmussen BK, Pedersen B, Lous I, Olesen J: Prevalence
oforomandibular dysfunction in a general population, J Orofac Pain 7:175-182,
1993.
303. Wanman A, Agerberg G: Recurrent headaches and craniomandibular disorders in
adolescents: a longitudinal study, J Craniomandib Disord 1:229-236, 1987.
304. Reik L Jr, Hale M: The temporomandibular joint pain-dysfunctionsyndrome: a
frequent cause of headache, Headache 21:151-156, 1981.
305. Graff-Radford SB: Oromandibular disorders and headache. A critical appraisal,
Neurol Clin 8:929-945,1990.
306. Forssell H, Kangasniemi P: Correlation of the frequency and intensity of headache
to mandibular dysfunction in headache patients, Proc Finn Dent Soc 80:223-226,
1984.
307. Forssell H, Kirveskari P, Kangasniemi P: Response to occlusal treatment in
headache patients previously treated by mock occlusal adjustment, Acta Odontol
Scand 45:77-80, 1987.
308. Nassif NJ, Talic YF: Classic symptoms in temporomandibular disorder patients: a
comparative study, Cranio 19:33-41, 2001.
309. Ciancaglini R, Radaelli G: The relationship between headache and symptoms of
temporomandibular disorder in the general population, J Dent 29:93-98, 2001.
310. Liljestrom MR, Le Bell Y, Anttila P, Aromaa M, Jamsa T et al: Headache
childrenwith temporomandibular disorders have several types of pain and other
symptoms, Cephalalgia 25:1054-1060, 2005.
311. Bernhardt O, Gesch D, Schwahn C, Mack F, Meyer G et al: Risk factors for
headache, including TMD signs and symptoms, and their impact on quality of life.
Results of the Study of Health in Pomerania (SHIP), Quintessence Int 36:55-64,
2005.
312. Kemper JT Jr, Okeson JP: Craniomandibular disorders and headaches, J Prosthet
Dent 49:702-705, 1983.
313. Schokker RP, Hansson TL, Ansink BJ: The result of treatment of the masticatory
system of chronic headache patients, J Craniomandib Disord 4:126-130, 1990.
314. Vallerand WP, Hall MB: Improvement in myofascial pain and headaches following
TMJ surgery, J Craniomandib Disord 5:197-204, 1991.
315. Vallon D, Ekberg EC, Nilner M, Kopp S: Short-term effect of occlusal adjustment
on craniomandibular disorders including headaches, Acta Odontol Scand 49:89-96,
1991.
316. Vallon D, Ekberg E, Nilner M, Kopp S: Occlusal adjustment in patients with
craniomandibular disorders including headaches. A 3- and 6-monthfollow-up, Acta
Odontol Scand 53:55-59, 1995.
317. Quayle AA, Gray RJ, Metcalfe RJ, Guthrie E, Wastell D: Soft occlusal splint
therapy in the treatment of migraine and other headaches, J Dent 18:123-129, 1990.
318. Magnusson T, Carlsson GE: A 2/1½2-yearfollow-up of changes in headache and
mandibular dysfunction after stomatognathic treatment, J Prosthet Dent 49:398-402,
1983.
319. Haley D, Schiffman E, Baker C, Belgrade M: The comparison of patients suffering
from temporomandibular disorders and a generalheadache population, Headache
33:210-213, 1993.
320. Ekberg E, Vallon D, Nilner M: Treatment outcome of headache after occlusal
appliance therapy in a randomized controlled trial among patients with
temporomandibular disorders of mainly arthrogenous origin, Swed Dent J 26:115-
124, 2002.
321. Jokstad A, Mo A, Krogstad BS: Clinical comparison between two different splint
designs for temporomandibular disorder therapy, Acta Odontol Scand 63: 218-226,
2005.
322. Olesen J: The International Classification for Headache Disorders, Cephalalgia
24(suppl1):1-160, 2004.
323. Okeson J:Orofacial pain: guidelinesfor classification, assessment, and management,
Chicago, 1996, Quintessence, pp 53-60.
324. Okeson JP: Bell's orofacial pains, ed 6, Chicago, 2005, Quintessence, pp 141-196.
325. Hudzinski LG, Lawrence GS: Significance of EMG surface electrode placement
models and headache findings, Headache 28:30-35, 1988.
326. Pritchard DW: EMG cranial muscle levels in headache sufferers before and during
headache, Headache 29:103-108, 1989.
327. Van Boxtel A, Goudswaard P, Janssen K: Absolute and proportional resting EMG
levels in muscle contraction and migraine headache patients, Headache 23:215-
222,1983.
328. Rugh JD, Hatch JP: The effects of psychological stress on electromyographic
activity and negative affect in ambulatorytension-type headache patients, Headache
30:216-219, 1990.
329. Diamond S: Muscle contraction headaches. In Dalessio D, editor: Wolff'sheadache
and other head pain, New York, 1987, Oxford University Press, pp 172-189.
330. Olesen J: Clinical and pathophysiological observations in migraine and tension-type
headache explained by integration of vascular, supra spinal and myofascial inputs,
Pain 46:125-132, 1991.
331. Okeson JP: Bell's orofacial pains, ed 6, Chicago, 2005, Quintessence, pp 401-448.
332. Wolff HG: Headache and other head pain, New York, 1963, Oxford University
Press, pp 35-47.
333. Hanington E, Jones RJ, Amess JA, Wachowicz B: Migraine: a platelet disorder,
Lancet 2:720-723,1981.
334. Sicuteri F: Migraine, a central biochemical dysnociception, Headache 16:145-159,
1976.
335. Olesen J, Edvinsson L: Basicmechanisms of headache, Amsterdam, 1988, Elsevier,
pp 223-227.
336. Moskowitz MA: Neurogenic inflammation in the pathophysiology and treatment
ofmigraine, Neurology 43:S16-20, 1993.
337. Rasmussen BK, Jensen R, Schroll M, Olesen J: Epidemiology of headache in a
general population—a prevalence study, JClin Epidemiol 44:1147-1157, 1991.
338. Lance JW, Anthony M: Some clinical aspects of migraine, Arch Neurol 15:356-361,
1966.
339. Selby G, Lance JW: Observations on 500 cases of migraine and allied vascular
headache, J Neurol Neurosurg Psychiatry 23:23-32, 1960.
340. Steele JG, Lamey PJ, Sharkey SW, Smith GM: Occlusal abnormalities, pericranial
muscle and joint tenderness and tooth wear in a group of migraine patients, J Oral
Rehabil 18:453-458, 1991.
341. Jensen R, Rasmussen BK, Pedersen B, Olesen J: Prevalence of oromandibular
dysfunction in a general population, J Orofac Pain 7:175-182, 1993.
342. Kuttila S, Kuttila M, Le Bell Y, Alanen P, Jouko S: Aural symptoms and signs of
temporomandibular disorder in association with treatment need and visits to a
physician, Laryngoscope 109:1669-1673, 1999.
343. Ciancaglini R, Loreti P, Radaelli G: Ear, nose, and throat symptoms in patients with
TMD: the association of symptoms according to severity of arthropathy, J Orofac
Pain 8:293-297, 1994.
344. Brookes GB, Maw AR, Coleman MJ: ‘Costen's syndrome’—correlationor
coincidence: a review of 45 patients with temporomandibular joint dysfunction,
otalgia and other aural symptoms, Clin Otolaryngol 5:23-36, 1980.
345. Gelb H, Calderone JP, Gross SM, Kantor ME: The role of the dentist and the
otolaryngologist in evaluating temporomandibular joint syndromes, J Prosthet Dent
18:497-503, 1967.
346. Du Brul EL: Sicher's oralanatomy, St Louis, 1980, Mosby, pp 531-532.
347. Malkin DP: The role of TMJ dysfunction in the etiology of middle ear disease, Int J
Orthod 25:20-21, 1987.
348.Williamson EH: Interrelationship of internal derangements of the
temporomandibular joint, headache, vertigo, and tinnitus: a survey of25 patients,
Cranio 8:301-306, 1990.
349. Parker WS, Chole RA: Tinnitus, vertigo, and temporomandibular disorders, Am J
Orthod Dentofacial Orthop 107:153-158, 1995.
350. Vernon J, Griest S, Press L: Attributes of tinnitus that may predict
temporomandibular joint dysfunction, Cranio 10:282-287, 1992.
351. Kelly HT, Goodfriend DJ: Medical significance of equilibration of the masticating
mechanism, J Prosthet Dent 10:496-515, 1960.
352. Kelly HT, Goodfriend DJ: Vertigo attributable to dental and temporomandibular
joint causes, J Prosthet Dent 14:159-173, 1964.
353. Myrhaug H: The theory of otosclerosis and morbus meniere (labyrinthine vertigo)
being caused by the same mechanism: physical irritants, an oto-gnathic syndrome:
thesis, Bergen, Norway, 1969, Staudia.
354. Myrhaug H: Para functions in gingival mucosa as cause of an oto dental syndrome,
Quintessence Int 1:81-94, 1970.
355. Rubinstein B, Axelsson A, Carlsson GE: Prevalence of signs and symptoms of
craniomandibular disorders in tinnitus patients, J Craniomandib Disord 4:186-192,
1990.
356. Ren YF, Isberg A: Tinnitus in patients with temporomandibular joint internal
derangement, Cranio 13:75-80, 1995.
357. Bernhardt O, Gesch D, Schwahn C, Bitter K, Mundt T et al: Signs of
temporomandibular disorders in tinnitus patients and in a population-based group of
volunteers: results of the Study of Health in Pomerania, J Oral Rehabil 31:311-319,
2004.
358. Upton LG, Wijeyesakere SJ: The incidence of tinnitus in people with disorders of
the temporomandibular joint, Int Tinnitus J 10:174-176, 2004.
359. Camparis CM, Formigoni G, Teixeira MJ, de Siqueira JT: Clinical evaluation of
tinnitus in patients with sleep bruxism: prevalence and characteristics, J Oral Rehabil
32:808-814, 2005.
360. Penkner K, Kole W, Kainz J, Schied G, Lorenzoni M: The function of tensorveli
palatine muscles in patients with aural symptoms and temporomandibular disorder.
An EMG study, J Oral Rehabil 27:344-348, 2000.
361. Rubenstein B, Carlsson GF: Effects of stomato gnathic treatment of tinnitus: are
trospective study, J Craniomandib Pract 5:254-259, 1987.
362. Bush FM: Tinnitus and otalgia in temporomandibular disorders, J Prosthet Dent
58:495-498, 1987.
363. Marasa FK, Ham BD: Case reports involving the treatment of children with chronic
otitis media with effusion via craniomandibular methods, Cranio 6:256-270,1988.
364. Kempf HG, Roller R, Muhlbradt L: Correlation between inner ear disorders and
temporomandibular joint diseases (see comments), HNO 41:7-10, 1993.
365. Wright EF, Bifano SL: Tinnitus improvement through TMD therapy, JAm Dent
Assoc 128:1424-1432, 1997
366. Gelb H, Gelb ML, Wagner ML: The relationship of tinnitus to
craniocervicalmandibular disorders, Cranio 15:136-143, 1997.
367. Steigerwald DP, Verne SV, Young D: A retrospective evaluation of the impact of
temporomandibular joint arthroscopy on the symptoms of headache, neckpain,
shoulder pain, dizziness, and tinnitus, Cranio 14:46-54, 1996.
368. Wright EF, Syms CA, Bifano SL: Tinnitus, dizziness, and nonotologic otalgia
improvement through temporomandibular disorder therapy, Mil Med 165:733-736,
2000.
369. Loughner BA, Larkin LH, Mahan PE: Discomalleolar and anterior malleolar
ligaments: possible causes of middle ear damage during temporomandibular joint
surgery, Oral Surg Oral Med Oral Pathol 68:14-22, 1989.
370. Turp JC: Correlation between myoarthropathies of the masticatory system and ear
symptoms (otalgia, tinnitus), HNO 46:303-310, 1998.
371. Toller MO, Juniper RP: Audiological evaluation of the aural symptoms in
temporomandibular joint dysfunction, JCraniomaxillofac Surg 21:2-8, 1993.
372.Lam DK, Lawrence HP, Tenenbaum HC: Aural symptoms in temporomandibular
disorder patients attending a craniofacial pain unit, J Orofac Pain 15:146-157, 2001.
BAB 9 RIWAYAT DAN PEMERIKSAAN KELAINAN
TEMPOROMANDIBULAR

“Tidak ada yang lebih penting dalam keberhasilan yang diawal dengan data yang
lengkap.”

-JPO

Tanda dan gejala kelainan temporomandibular (TMD) sering ditemukan.


Penelitian epidemiologi yang diuraikan pada Bab 7 menunjukkan bahwa 50% hingga
60% populasi umum memiliki beberapa tanda gangguan fungsional pada sistem
pengunyahan. Beberapa tanda tersebut tampak sebagai gejala signifikan yang memicu
pasien untuk mencari perawatan. Namun, sebagian besar gejala tersebut hanya terjadi
secara halus dan bahkan tidak dirasakan secara klinis oleh pasien. Seperti yang dijelaskan
sebelumnya, tanda yang tidak dirasakan oleh pasien disebut subklinis. Beberapa tanda
subklinis dapat menjadi jelas dan menyebabkan gangguan fungsional yang signifikan jika
tidak dirawat. Sebab itu, sangat penting untuk mengidentifikasi seluruh tanda dan gejala
gangguan fungsional pada seluruh pasien.

Tidak seluruh tanda dan gejala mengindikasikan kebutuhan perawatan. Tanda dan
etiologi, sertap prognosis kelainan, adalah faktor yang menentukan kebutuhan perawatan.
Namun, tanda penyakit tidak dapat diperiksa hingga tanda tersebut dapat diketahui.
Karena terdapat sejumlah besar tanda yang terjadi secara subklinis, maka sebagian besar
kelainan dapat berkembang dan tidak terdiagnosa dan sebab itu tidak dirawat oleh dokter.
Efektivitas dan keberhasilan perawatan bergantung pada kemampuan dokter untuk
menetapkan diagnosis yang tepat. Hal ini dapat dicapai dengan pemeriksaan tanda dan
gejala gangguan fungsional pasien. Tiap-tiap tanda merupakan bagian informasi yang
diperlukan untuk menegakkan diagnosis yang tepat. Sebab itu, tiap tanda dan gejala perlu
diidentifikasi melalui riwayat dan pemeriksaan. Hal ini sangat penting untuk keberhasilan
perawatan.
Tujuan riwayat dan pemeriksaan adalah untuk mengetahui daerah atau struktur
sistem pengunyahan yang menunjukkan kerusakan atau perubahan patologis. Untuk
melakukan pemeriksaan yang efektif, pemeriksa harus memahami dengan baik tampilan
klinis dan fungsi sistem pengunyahan yang sehat (lihat Bab 1). Kerusakan sistem
pengunyahan secara umum ditndai oleh sakit dan/atau disfungsi. Riwayat dan
pemeriksaan sebaiknya diarahkan ke arah identifikasi rasa sakit dan disfungsi
pengunyahan.

Jika keluhan utama pasien adalah rasa sakit, maka sangat penting untuk
mengidentifikasi sumber masalah. Peranan utama dokter gigi dalam terapi adalah
perawatan nyeri pengunyahan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnhya, nyeri
pengunyahan memiliki sumber dan berasal dari struktur penguyahan. Struktur
penguyahan adalah gigi, periodontium, jaringan pendukung gigi, temporomandibular
joint (TMJ) dan otot yang menggerakan rahang bawah. Dengan pelatihan yang baik,
dokter gigi adalah orang yang paling sesuai untuk perawatan struktur tersebut. Namun,
kelainan kepala dan leher terkadang menyebabkan rasa sakit heterotopic yang dirasakan
dalam struktur pengunyahan tapi tidak memiliki sumber di dalam struktur penguyahan
(lihat Bab 2). TIpe nyeri ini harus diidentifikasi dengan tepat selama pemeriksaan
sehingga diagnose yang akurat dapat ditegakkan. Agar efektif, perawatan sebaiknya
diarahkan pada sumber sakit dan bukan pada daerah sakit. Agar perawatan gigi efektif,
rasa sakit harus berasal dari sistem pengunyahan.

Sebuah aturan utama dalam mengidentifikan rasa sakit penguyahan adalah fungsi
rahang terkadang memperburuk atau menekankan masalah yang terjadi. Dengan kata
lain, aktivitas fungsional penguyahan dan berbiasa akan meningkatkan rasa sakit. Namun,
aturan ini tidak selalu benar karena pada beberapa nyeri yang bukan berasal dari sistem
pengunyahan dapat menyebabkan hiperalgesia sekunder pada struktur pengunyahan, dan
sebab itu gerakan fungsional akan meningkatkan rasa akit. Sebaiknya dokter memberikan
perhatian lebih bagi asien yang melaporkan rasa sakit pada TMJ atau otot pengunyahan
namun riwayat dan pemeriksaan tidak menunjukkan perubahan dalam pergerakan rahang
atau peningkatan rasa sakit pada saat melakukan gerakan fungsional. Jika hal ini terjadi,
terapi yang diarahkan pada struktur pengunyahan tidak akan bermanfaat. Pemeriksa harus
menemukan sumber rasa sakit yang asli sebelum perawatan efektif dapat diberikan.

8.1. SCREENING RIWAYAT DAN PEMERIKSAAN

Karena prevalensi TMD yang tinggi, maka tiap pasien yang datang di klinik gigi
dianjurkan untuk menjalani pemeriksaan TMD, meskipun pasien tampak membutuhkan
atau tidak membutuhkan perawatan tersebut. TUjuan dilakukannya screening riwayat dan
pemeriksaan adalah untuk mengidentifikasi pasien dengan tanda subklinis, serta gejala
yang tidak dapat pasien hubungkan tapi secara umum berhubungan dengan gangguan
fungsional sistem pengunyahan (yaitu sakit kepala, gejala pada telinga). Screening
riwayat meliputi sejumlah pertanyaan yang akan membantu mengorientasikan dokter ke
arah TMD. Pertanyaan ini dapat ditanyakan langsung oleh klinis atau dapat dimasukkan
dalam kuisioner kesehatan dan gigi umum yang diisi oleh pasien sebelum bertemu
dengan dokter gigi.

Berikut ini adalah pertanyaan yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi gangguang
fungsional:


Apakah anga mengalami kesulitan dan/atau rasa sakit pada saat membuka
mulut, contohnya, pada saat menguap?


Apakah rahang anda terasa “melekat” atau “terkunci” atau “terlepas”?


Apakah anda mengalami kesulitan dan/atau rasa sakit pada saat mengunyah,
berbicara, atau menggunakan rahang anda?


Apakah anda merasakan bunyi pada sendi rahang anda?


Apakah rahang anda sering terasa keras, kaku atau lemah?


Apakah anda merasakan rasa sakit pada atau sekitar daerah telinga, pelipis,
atau pipi?


Apakah anda sering merasa sakit kelapa, sakit leher, atau sakit gigi?

Apakah anda baru-baru ini mengalami cedera pada kelapa, leher, atau rahang
anda?


Apakah anda merasa terjadi perubahan gigitan anda?


Apakah anda pernah menjalani perawatan untuk rasa wajah atau sendi rahang
yang tidak diketahui penyebabnya?

Screening riwaya disertai dengan pemeriksaan screening singkat. Pemeriksaan ini


berlangsung singkat dan mencoba untuk mengidentifikasi variasi dari anatomi dan fungsi
normal. Pemeriksaan dimulai dengan pemeriksaan simetri wajah. Variasi dari simetri
bilateral umum harus dicuriai dan mengindikasikan pemeriksaan lebih lanjut.
Pemeriksaan screening juga meliputi pemeriksaan pergerakan rahang. Keterbatasan
pergerakan atau pergerakan rahang bawah yang tidak teratur adalah indikasi
dilakukannya pemeriksaan lebih lanjut.

Beberapa struktur penting dalam sistem pengunyahan dapat dipalpasi untuk rasa
sakit atau rasa nyeri pada pemeriksaan screening. Otot temporal dan massetes dapat
dipalpasi secara bilateral sepanjang aspek lateral TMJ. Rasa sakit atau nyeri sebaiknya
dianggap sebagai indicator TMD potensial.

Jika screening riwayat dan pemeriksaan menunjukkan temuan positif, maka


sebaiknya dilakukan pemeriksaan TMD lebih lanjut. Tiga struktur dasar yang perlu
diperiksa untuk rasa sakit dan/atau disfungsi: otot, TMJ, dan gigi. Sebelum pemeriksaan
dilakukan, riwayat gangguan sebelum dan sekarang perlu diperoleh dari pasien.

9.2. RIWAYAT UNTUK KELAINAN TEMPOROMANDIBULAR

Pemeriksaan riwayat tidak dapat diabaikan. Pada saat dokter memeriksa pasien
untuk penyakit gigi (yaitu karies), riwayat hanya akan memberikan informasi dalam
persentase yang relatif kecil untuk penegakan diagnosis; sebagian besar informasi akan
diperoleh dari pemeriksaan. Namun, diagnose rasa sakit cukup berbeda. Dengan kelainan
nyeri, hampir 70% hingga 80% informasi yang diperlukan untuk penegakkan diagnosis
berasal dari riwayat, dimana pemeriksaan hanya berperan kecil dalam penegakan
diagnosa.

Sebagian besar pasien akan memberikan informasi penting yang tidak dapat
diperoleh dari prosedur pemeriksana. Riwayat adalah kunci utama dalam menegakkan
diagnosis yang akurat, dan terkadang pasien akan memberitahukan diagnose kepada
pemeriksaan tetapi dengan kata lain.

Terdapat dua metode untuk mendapatkan riwayat pasien. Beberapa dokter secara
langsung mengubah riwayat masalah pasien. Hal ini memungkinkan klinis untuk
memberikan pertanyaan langsung yang sesuai dengan respon pasien sebelumnya.
Meskipun metode untuk mencari fakta vital ini efektif, namun metode ini sangat
bergantung pada kemampuan dokter untuk memeriksa seluruh daerah keluhan pasien.
Riwayat yang lebih teliti dan konsisten dapat diperoleh melalui kuisioner tertulis yang
mencakup seluruh daerah pemeriksaan. Metode ini memastikan seluruh informasi yang
diperlukan dapat diperoleh. Meskipun metode ini lebih lengkap, beberapa pasien
mengalami kesulitan dalam mengutarakan masalah mereka dalam bentuk standar. Sebab
itu, pada sebagian kasus, pemeriksaan riwayat terbaik adalah meminta pasien untuk
mengisi kuisioner sehingga klinis dapat memeriksa kuisioner dengan pasien dan
membahas hasilnya.

Pasien sebaiknya mengisi kuisioner di ruangan yang tenang tanpa batasan waktu.
Karena dokter perlu menguraikan kuisioner dengan pasien, gangguan atau keluhan utama
dapat dibahas dengan pasien untuk mendapatkan informasi tambahan. Pada saat ini,
pasien diperbolehkan untuk mengutarakan hal yang tidak dikatakan dalam kuisioner.
Riwayat dimulai dengan kuisioner medis lengkap yang mengidentifikasi masalah medis
mayor pasien. Masalah medis mayor dapat memegang peranan penting dalam gangguang
fungsional. Sebagai contoh, kondisi arthritic generalized pasien juga dapat
mempengaruhi TMJ. Gejala yang tidak berhubungan dengan masalah medis mayor juga
dapat memegang peranan penting dalam pemilihan metode perawatan.
Riwayat efektif merupakan pusat dari keluhan utama pasien. Hal ini menjadi titik
awal yang baik untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan. Pasien diizinkan
menjelaskan keluhan utama mereka dalam katanya sendiri. Jika pasien memiliki lebih
dari satu keluhan, tiap-tiap keluhan diawali dengan informasi lengkap yang dikumpulkan
secara terpiah. Riwayat lengkap mencakup informasi dalam daerah spesifik berikut.

9.2.1. SAKIT

Jika rasa sakit terjadi, maka rasa sakit diperiksa berdasarkan penjelasan keluhan
utama pasien; lokasi; onset; karakteristik; faktor pemicu dan pereda rasa sakit; perawatan
sebelumnya; dan hubungannya dengan keluhan lain seperti lokasi, perilaku, kualitas,
durasi dan derajat sakit. Faktor-faktor ini akan dibahas dalam bab ini dan ditampilkan
pada Kotak 9-1.

9.2.1.1. Keluhan utama

Titik awal yang baik dalam pemeriksaan riwayat adalah mendapatkan penjelasan
yang akurat mengenai keluhan utama pasien. Hal ini pertama kali dilakukan
menggunakan penjelasan pasien dan kemudian dinyatakan ulang dalam bahasa teknis
seperti yang diindikasikan. Jika pasien memiliki lebih dari satu keluhan, tiap-tiap keluhan
harus diperhatikan dan, jika memungkinkan, diurutkan berdasarkan pengaruhnya
terhadap pasien. Masing-masing keluhan perlu diperiksa berdasarkan faktor-faktor yang
diutarakan dalam riwayat. Setelah itu, keluhan rasa sakit perlu diperiksa berdasarkan
hubungannya terhadap keluhan lain. Beberapa keluhan dapat disebabkan oleh keluhan
lain, sedangkan keluhan lain dapat bersifat independent. Penentuan hubungan ini adalah
dasar dari perawatan pasien.

9.2.1.2. Lokasi sakit

Kemampuan pasien untuk melokalisasi rasa sakit dengan akurat memberikan nilai
diagnostic. Namun, pemeriksa sebaiknya berhati-hati dalam asumsi bahwa daerah sakit
merupakan sumber sakit utama - struktur yang merupakan sumber rasa sakit. Penjelasan
pasien mengenai lokasi keluhan utama pasien hanya menunjukkan daerah sakit.
Merupakan tanggung jawab pasien untuk menentukan apakah daerah tersebut juga
merupakan sumber sakit utama. Terkadang, apa yang tampak jelas menjadi penyebab
daerah sakit dapat menyebabkan kesalahan diagnose bagi pasien dan dokter, seperti lesi
herpetic superficial yang tampak pada daerah yang juga merupakan daerah yang
mengalami rasa sakit yang berasal dari daerah cervical. Dokter perlu melakukan uji
diagnose yang diperlukan untuk menentukan sumber sakit utama (lihat Bab 10).

Kotak 9-1.

Gambar kepala dan leher dapat membantu pasien untuk menguraikan lokasi rasa
sakit (Gbr. 9-1). Hal ini memungkinkan pasien mengutarakan seluruh daerah sakit
dengan cara pasien. Pasien juga dapat menarik panah yang menunjukkan pola refer pain.
Gambaran ini memberikan gambaran bagi pasien mengenai lokasi dan tipe rasa sakit
yang dialami pasien.

Gbr. 9-1.

9.2.1.1.2. Onset rasa sakit

Pemeriksaan kondosi yang berhubungan dengan onset awal keluhan sakit sangat
penting. Kondisi ini dapat dicurigai sebagai penyebab rasa sakit. Sebagai contoh, pada
kasus rasa sakit yang terjadi setelah kecelakaan kendaraan bermotor. Trauma merupakan
penyebab utama dari rasa sakit dan tidak hanya memberikan pemahaman mengenai rasa
sakit tapi juga pertimbangan kondisi sakit lainnya yang berhubungan dengan penyakit
sistemik atau fungsi rahang, atau dapat berupa rasa sakit spontan. Dengan mengetahui
kondisi terbaru pasien yang berhubungan dengan onset awal rasa sakit secara kronologis
sangat penting untuk menghubungan pemeriksaan yang telah dilakukan.

Sangat penting untuk menanyakan hal yang diyakini oleh pasien yang dapat
menyebabkan rasa sakit. Hal ini memberikan pemahaman mengenai pandangan pasien
terhadap rasa sakit tersebut. Pada sejumlah kasus, pasien mengetahui dengan tepat apa
yang menyebabkan rasa sakit tersebut. Meskipun pasien kurang mengetahup
penyebabnya, pemeriksa dapat memperoleh informasi yang berharga yang berguna dalam
perawatan. Sebagai contoh, pertanyaan ini dapat menunjukkan emosi pasien terhadap
rasa sakit. Yang terpenting, pemeriksa harus mengetahui apakah pasien merasa jika
kesalahan perawatan atau praktisi lain yang menyebabkan rasa sakit. Tipe emosi ini
sangat mempengaruhi hasi perawatan selanjutnya.

9.2.1.1.3. Karakteristik rasa sakit

Karakteristik rasa sakit perlu dijelaskan dengan tepat oleh pasien berdasarkan
kualitas, sifat, intensitas, gejala yang menyertai dan manner of flow.

9.2.1.1.3.1 Kualitas sakit

Kualitas sakit diklasifikasikan berdasarkan bagaimana pasien rasakan. Klasifikasi


ini biasanya disebut nyeri tumpul atau tajam. Jika rasa sakit menimbulkan efek stimulasi
bagi pasien, maka rasa sakit tersebut diklasifikasikan sebagai sakit tajam. Jika rasa sakit
memberikan efek depresi yang sehingga pasien tampak menarik diri, maka
diklasifikasikan sebagai rasa sakit tumpul. Penilaian tersebut tidak bergantung pada
intensitas sakit , variabilitas sakit , karakteristik temporal atau disertai rasa nyeri yang
dapat memperburuk rasa sakit tersebut.

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai kualitas sakit untuk


mengklasifikasikan rasa sakit berupa sakit pricking, itching, stingging, burning, aching
atau pulsating. Sejumlah rasa sakit membutuhkan lebih dari satu petunjuk. Rasa sakit
tajam tingling dapat diklasifikasikan sebagai sakit pricking, khususnya jika rasa sakit
yang terjadi ringan dan mengstimulasi. Rasa tidak nyaman superficial yang tidak
mencapai ambang batas intensitas sakit dapat dijelaskan sebagai sakut itching. Jika
intensitas meningkat, maka rasa sakit yang dirasakan dapat berupa pricking, stinging,
aching atau burning. Rasa tidak nyaman yang terjadi tetapi belum mencapai intensitas
ambang batas sakit dapat disebut rasa sakit samar, rasa tertekan terdifusi, rasa hangat atau
nyeri. Jika intensitas meningkat, rasa sakit yang terjadi dapat berupa rasa sakit sore,
aching, throbbing atau burning. Jika rasa tidak nyaman telah menganggu pasien, rasa
sakit yang dirasakan pasien dapat berupa panas, lecet atau kaustik, rasa sakit ini biasanya
dijelaskan sebagai burning. Sebagian besar rasa sakit memiliki kualitas sakit. Beberapa
rasa sakit dapat dirasakan seiring detak jantung dan disebut pulstating atau throbbing.

9.2.1.1.3.2. Sifat sakit

Sifat sakit biasanya diperiksa berdasarkan frekuensi atau sifat temporal, serta
durasi dan lokalisasinya.

9.2.1.1.3.3. Sifat Temporal

Sifat temporal menceminkan frekuensi sakit, serta periode diantara terjadinya


sakit. Jika rasa sakit terjadi selang seling, sehingga terdapat interval waktu dimana tidak
terasa sakit, maka diklasifikasikan sebagai intermittent. Jika tidak terdapat interval waktu
dimana tidak terasa sakit, maka rasa sakit diklasifikasikan sebagai continuous. Sakit
intermitten sebaiknya tidak disamakan dengan variabilitas, dimana rasa sakit tersebut
ditandai oleh periode rasa sakit tingkat tinggi dan rendah. Sakit intermitten menunjukkan
terjadinya periode istirahat atau tanpa-sakit. Sifat temporal ini sebaiknya ditak disamakan
dengan efek medikasi yang memicu periode tanpa sakit melalui reaksi analgesic. Jika
rasa sakit terjadi secara continouos atau intermittent, yang dipisahkan oleh periode tanpa
rasa sakit, yang dilanjutkan oleh episode rasa sakit yang serupa, sindrom ini disebut
rekurent.

9.2.1.1.3.4. Durasi sakit

Durasi sakit individual merupakan tampilan desktriptif penting yang membantu


dalam identifikasi sakit. Sakit disebut momentary jika durasi terjadinya sakit dalam
hitungan detik. Rasa sakit yang lebih lama diklasifikasikan dalam menit, jam, atau hari.
Rasa sakit yang terus terjadi selama beberapa hari disebut protracted.

9.2.1.1.3.5. Lokalisasi

Sifat lokalisasi sakit sebaiknya dimasukkan dalam penjelasan sakit. Jika pasien
dapat menjelaskan rasa sakit yang terjadi pada lokasi anatomis yang tepat, maka rasa
sakit diklasifikasikan sebagai sakit localized. Jika lokasi sakit kurang dapat ditunjukkan
oleh pasien, dan terasa sama-sama dan memiliki lokasi anatomis yang bervariasi, maka
disebut sakit diffuse. Rasa sakit yang cepat berubah disebut rasa sakit radiating.
Ekaserbasi luka potong sementara biasanya disebut sakit menusuk. Rasa sakit yang
mengalami perubahan secara perlahan disebut rasa sakit yang menyebar, dan jika rasa
sakit mencapai daerah anatomis disekitarnya, maka rasa sakit disebut enlarging. Jika rasa
sakit berpindah-pindah dari satu lokasi ke lokasi lain, maka keluhan disebut migrating.
Referred pain dan hiperalgesia sekunder adalah tanda klinis dari sakit sekunder atau
heteropic.

9.2.1.1.3.6. Intensitas sakit

Intensitas sakit sebaiknya diperiksa dengan membedakan antara sakit ringan dan
berat. Hal ini dapat dilakukan berdasarkan bagaimana pasien bereaksi terhadap rasa sakit
yang dialami. Sakit ringan berhubungan dengan rasa sakit yang dijelaskan oleh pasien,
tapi tidak tampak reaksi fisik. Sakit berat berhubungan dengan reaksi pasien yang
signifikan terhadap provokasi pada daerah yang sakit. Salah satu metode terbaik untuk
memeriksa intensitas sakit adalah dengan menggunakan visual analog scale. Pasien
diberikan garis dengan tanda “tidak sakit” yang tertulis pada salah satu ujung garis dan
“Sangat sakit” pada ujung garis yang lainnya. Pasien diminta untuk memberikan tanda
pada lokasi garis yang menjelaskan rasa sakit yang dialaminya. Skala 0 hingga 5 atau 0
hingga 0 dapat digunakan untuk memeriksa intensitas sakit, 0 dianggap tidak sakit dan 10
adalah sangat sakit. Skala ini tidak hanya membantu untuk pemeriksaan sakit awal tapi
juga berguna pada kunjungan follow-up untuk memeriksa keberhasilan atau kegagalan
terapi.

9.2.1.1.3.7. Gejala yang menyertai

Seluruh gejala yang menyertai seperti efek sensoris, motoris, atau autonomic yang
menyertai rasa sakit juga perlu diperiksa. Sensasi seperti hyperesthesia, hypoesthesia,
anesthesia, paresthesia atau dysesthesia perlu diperiksa. Perubahan fungsi indra khusus
mempengaruhi penglihatan, pendengaran, penciuman, dan pengecapan perlu diperiksa.
Perubahan motoris yang tampak berupa kelemahan otot, kontraksi muscular, atau spasme
juga perlu diperiksa. Gejala autonomic lokal perlu diperiksa dan diuraikan. Gejala ocular
dapat meliputi lacrimasi, injeksi conjunctiva, perubahan papillary, dan edema kelompak
mata. Gejala pada nasal dapat meliputi sekresi nasal dan hidung tersumbat. Gehala
kutaneous meliputi peningkatan temperature kulit, warna pada kulit, keringan dan
piloereksi. Gejala gastik meliputi nausea dan gangguan pencernaan.

9.2.1.1.3.8. Manner of flow sakit

Manner of flow mencakup informasi penting dengan menentukan apakah rasa


sakit individual bersifat tetap atau paroxysmal. Meskipun memiliki intensitas yang
bervariasi atau intermittent, sakit flowing sering dijelaskan berupa sakit tetap. Rasa sakit
tersebut dapat dibedakan dengan sakit paroxysmal, yang memiliki tanda khas berupa
volley atau jabs. Volley dapat memiliki intensitas dan durasi yang bervariasi. Jika terjadi,
maka rasa sakit dapat terjadi secara terus-menerus.

9.2.1.1.4. Faktor pemicu dan pereda sakit

9.2.1.1.4.1. Pengaruh aktivitas fungsional

Pengaruh aktivitas fungsional perlu diperiksa dan diuraikan. Fungsi biomekanis


umum meliputi aktivitas pada saat pergerakan wajah, rahang atau lidah dan efek saat
menelan, posisi kepala, dan posisi tubuh. Pengaruh aktivitas seperti berbicara,
mengunyah, menguap, menyikat gigi, bercukur, mencuci wajah, menolehkan kepala,
membungkuk atau berbaring juga perlu diperiksa. Pengaruh stress emosional, kelelahan,
dan waktu juga perlu diperiksa.

Rasa sakit dapat dipicu oleh stimulasi superficial minor seperti sentuhan atau
pergerakan kulit, bibir, wajah, lidah atau tenggorokan. Jika rasa sakit terpicu oleh
aktivitas tersebut, maka sebaiknya pemeriksa membedakan antara stimulasi jaringan yang
secara tidak sengaja terstimulasi dan menyebabkan gerakan fungsional sendi atau otot itu
sendiri. Stimulasi superficial minor merupakan pemicu sakit nyata, sedangkan pergerakan
fungsional tersebut adalah induksi sakit. Perbedaan ini dapat ditegakkan dengan
mengstabilkan sendi dan otot dengan menggunakan bite block untuk mencegah
pergerakan sendi pada saat menggerakkan atau mengstimulasi struktur lain. Jika masih
meragukan, pemeriksaan dapat dilakukan dengan menggunakan anastesi lokal. Anastesi
topical pada tenggorokan dapat secara efektif menahan rasa sakit pada nervu
glossopharyngeal. Anastesi block mandibula dapat menahan rasa sakit pada bibir bawah
dan lidah. Anastesi infraorbital dapat menahan rasa sakit pada bibir atas dan kulit rahang
atas. Seluruh prosedur anastesi ini tidak dapat mencegah rasa sakit pengunyahan.

Aktivitas parafungsional juga perlu diperiksa. Pasien perlu ditanyakan mengenai


bruxism, clenching, atau kebiasaan oral lainnya. Dokter perlu mengingat bahwa
terkadang aktivitas ini terjadi tanpa disadari dan pasien tidak dapat melaporkannya secara
akurat (yaitu clenching dan bruxism). Kebiasaan lain yang dapat dilaporkan dengan baik
antara lain menggigit benda, seperti pipa, pensil atau peralatan pekerjaan. Kebiasaan yang
menimbulkan tekanan ekstraoral juga perlu diperiksa, seperti menahan telepon di antara
dagu dan bahu, menopang rahang bawah dengan tangan pada saat duduk di atas meja,
atau bermain alat music tertentu. Tekanan pada rahang (baik intraoral atau ekstraoral)
harus diperiksa karena dapat menjadi faktor yang menyebabkan gangguan fungsional.

9.2.1.1.4.2. Pengaruh tindakan fisik

Pasien perlu ditanyakan mengenai efek panas atau dingin terhadap rasa sakit.
Pasien perlu ditanyakan apakah pasien pernah melakukan perawatan lain seperti pijatan
atau terapi TENS (transcutaneous electrical neural stimulation), dan jika ya, bagaimana
hasil yang diperoleh. Hasil terapi terseut dapat memberikan informasi mengenai tipe dan
responsivitas terapi terhadap rasa sakit.

9.2.1.1.4.3. Medikasi

Pasien perlu menguraikan seluruh medikasi yang dikonsumsi sebelumnya dan


saat ini untuk mengobati rasa sakit. Dosis, frekuensi konsumsi dan efektivitas obat dalam
mengobati keluhan utama perlu dilaporkan. Selain itu, orang yang meresepkan obat juga
perlu diketahui karena dapat menjadi informasi mengenai rasa sakit yang dialami.
Meskipun belum jelas, medikasi yang umum digunakan seperti kontrasepsi oral dan obat
pengganti estrogen dapat menyebabkan rasa sakit.
9.2.1.1.4.4. Stress emosional

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, stress emosional dapat memegang peranan


signifikan dalam gangguan fungsional sistem pengunyahan. Pada saat memeriksa riwayat
pasien, dokter sebaiknya mencoba untuk memeriksa tingkat stress emosional yang
dialami oleh pasien. Hal ini terkadang sulit untuk dilakukan. Belum terdapat kuisioner
yang meyakinkan yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi apakah tingkat stress
emosional yang tinggi ini berhubungan dengan masalah pasien atau apakah pemeriksaan
stress emosional dapat digunakan untuk membantu dalam mendiagnosa atau menentukan
perawatan yang efektif. Terkadang, gejala juga dapat membantu dalam perawatan. Jika
gejala terjadi secara periodic, pasien sebaiknya ditanyakan mengenai hubungan antara
gejala dan tingkat stress emosional tinggi. Korelasi positif merupakan temuan penting
dan akan mempengaruhi diagnosis dan perawatan. Hal ini menunjukkan faktor lain yang
hanya dapat diidentifikasi melalui pemeriksaan riwayat pasien. Pengaruh stress
emosional terhadap pasien juga dapat diketahui dengan menanyakan adanya kelainan
psikofisiologis lainnya (yaitu gastritis, hipertensi, colitis). Terjadinya kelainan ini
membantu untuk mengetahui pengaruh stress terhadap pasien.

9.2.1.1.4.5. Kualitas tidur

Terdapat hubungan antara beberapa rasa sakit dan kualitas tidur pasien. Sebab itu,
sangat penting untuk memeriksa kualitas tidur pasien. Pasien yang melaporkan kualitas
tidur yang buruk sebaiknya dicurigai mengenai hubungan kualitas tidur tersebut dengan
rasa sakit. Catatan khusus perlu dilakukan jika pasien melaporkan terbangun pada malam
hari dan merasa sakit atau jika rasa sakit terjadi sehingga membangunkan pasien.

9.2.1.1.4.6. Proses pengadilan dan kecacatan

Selama wawancara, sangat penting untuk mengetahui apakah pasien terlibat


dalam proses pengadilan yang berhubungan dengan keluhan sakit. Informasi ini dapat
membantu dokter agar dapat memperkirakan seluruh kondisi yang dapat berhubungan
dengan rasa sakit tersebut. Proses pengadilan tampak tidak berhubungan langsung dengan
rasa sakit, tapi kasus ini juga dapat terjadi.
Kondisi yang serupa juga dapat terjadi pada pasien yang mengalami kecacatan.
Jika pasien mengalami kecacatan yang tidak memungkinkannya untuk bekerja sehingga
tidak mendapatkan gaji, maka hal ini akan memberikan pengaruh kuat terhadap keinginan
pasien untuk sembuh dan kembali bekerja. Efek sekunder dapat memiliki efek langsung
terhadap keberhasilan atau kegagalan perawatan.

9.2.1.1.5. Konsultasi dan Perawatan Sebelumnya

Selama wawancara, seluruh konsultasi dan perawatan sebelumnya perlu dibahas


dan diuraikan. Informasi ini sangat penting sehingga pemeriksaan dan terapi ulang dapat
dihindari. Jika informasi tidak lengkap atau tidak jelas, sebaiknya dilakukan diskusi
dengan dokter yang melakukan perawatan sebelumnya dan meminta informasi yang
dibutuhkan. Catatan klinis dari dokter yang melakukan perawatan sebelumnya dapat
sangat membantu dalam menetapkan perawatan selanjutnya.

Jika pasien melaporkan telah menjalani perawatan sebelumnya seperti alat


oklusal, pasien sebaiknya diminta untuk membawa alat tersebut untuk pemeriksaan
lanjut. Keberhasilan dengan menggunakan perawatan tersebut perlu dilaporkan dan
dilakukan pemeriksaan alat. Pemeriksaan ini dapat memberikan informasi dalam
pertimbangan perawatan selanjutnya.

9.2.1.1.6. Hubungan dengan Keluhan Sakit Lainnya

Seperti yang diuraikan sebelumnya, beberapa pasien dapat melaporkan lebih dari
satu keluhan sakit. Jika terdapat lebih dari satu keluhan, dokter perlu memeriksa tiap
aspek dari tiap-tiap keluhan secara terpisah. Setelah tiap-tiap keluhan diperiksa
berdasarkan criteria yang telah disebutkan di sebelumnya, hubungan satu keluhan dengan
keluhan lain perlu ditetapkan. Terkadang, suatu keluhan sakit dapat disebabkan oleh
keluhan lain. Pada kasus ini, perawatan keluhan sakit primer yang efektif juga akan
mengobati keluhan sakit sekunder. Pada kasus lain, satu keluhan tidak bergantung dengan
keluhan lain. Jika hal ini terjadii, terapi individual perlu dilakukan untuk masing-masing
keluhan. Pemeriksaan hubungan antara keluhan ini sangat penting dan sangat bergantung
pada riwayat pasien.
9.2.1.2. Riwayat Medis

Karena rasa sakit dapat berupa gejala yang berhubungan dengan sejumlah
penyakit dan kelainan fisik, maka pemeriksaan kondisi medis dahulu dan sekarang sangat
penting. Penyakit serius yang pernah diderita, rawat inap, operasi, medikasi atau
perawatan signifikan lainnya perlu dibahas dalam hubungannya dengan keluhan sakit saat
ini. Jika diindikasikan, dokter yang melakukan perawatan perlu dihubungi untuk
mendapatkan informasi tambahan. Selain itu, perawatan yang dianjurkan bagi pasien
dapat didiskusikan dengan dokter pasien jika pasien menderita masalah kesehatan
signifikan.

9.2.1.3. Pemeriksaan sistem tubuh

Riwayat lengkap juga perlu mencakup pertanyaan mengenai status sistem tubuh
umum pasien. Pertanyaan yang diberikan sebaiknya memeriksa mengenai status
kesehatan pasien saat ini yang meliputi sistem tubuh berikut ini: cardiovascular (meliputi
paru-paru), pencernaan, ginjal, hati, dan sistem nervus perifer dan pusat. Kelainan dalam
sistem perlu dicata, dan dilakukan pemeriksaan hubungan kelainan tersebut dengan
keluhan sakit pasien.

9.2.1.4. Pemeriksaan Psikologis

Jika rasa sakit menjadi kronis, maka umumnya terjadi faktor psikologis yang
berhubungan dengan keluhan sakit. Pemeriksaan psikologis rutin tidak diperlukan pada
sakit akut; namun, pada sakit kronis, pemeriksaan ini sangat penting. Terkadang sangat
sulit bagi praktisi umum untuk memeriksa faktor psikologis dengan baik. Untuk itu,
perawatan pasien dengan sakit kronis yang terbaik dilakukan dengan melakukan
pendekatan multidisiplin.

Berbagai alat pemeriksaan dapat digunakan untuk memeriksa status psikologis


pasien. Turk dan Rudy telah mengembangkan Multidimensional Pain Inventory (MPI).
Skala ini memeriksa bagaimana rasa sakit mempengaruhi pasien. Skala ini
mengklasifikasikan pasien menjadi tiga profil sakit: adaptive coping, interpersonal
distress, dan dysfunctional chronic pain. Disfuctional chronic pain adalah profil sakit
berat, disabilitas fungsional, gangguan psikologis dan kontrol kehidupan yang rendah.

Alat lain yang dapat digunakan adalah Symptom Check List 90 (SCL-90).
Pemeriksaan ini mencakup pemeriksaan delapan kondisi psikologis: somatisasi, perilaku
obsesif-kompulsif, sensitivitas interpersonal, depresi, anxietas, hostilitas, anxietas phobic,
ideasi paranoid, dan psychoticism. Pemeriksaan faktor ini penting dalam memeriksa
pasien dengan sakit kronis.

Terkadang, praktisi umum tidak dapat memiliki akses langsung untuk bantuan
pemeriksaan psikologis. Pada kasus ini, praktisi dapat menggunakan IMPATH atau skala
TMJ. KEdua skala ini telah dikembangkan untuk digunakan dalam praktek gigi pribadi
untuk membantu pemeriksaan faktor psikologis klinis dan tertentu yang berhubungan
dengan nyeri orofacial. Skala ini dapat membantu dokter gigi untuk mengidentifikasi
apakah masalah psikologis merupakan aspek penting dari kondisi sakit pasien. Meskipun
skala ini membantu, namun skala ini kurang lengkap dibandingkan uji psikologis yang
disebutkan sebelumnya dan tentu saja tidak dapat menggantikan pemeriksaan dari ahli
psikologis.

9.3. PEMERIKSAAN KLINIS

Setelah riwayat diperoleh dan dibahas dengan pasien, maka dilakukan


pemeriksaan klinis. Pemeriksaan klinis harus dapat mengidentifikasi variasi dari
kesehatan dan fungsi normal sistem pengunyahan.

Karena kompleksitas kelainan kepala dan leher, maka struktur non-pengunyahan


tertentu harus diperiksa dengan teliti untuk memastikan tidak terjadinya kelainan lain.
Bahkan sebelum melakukan pemeriksaan struktur penguyahan, sangat penting untuk
memeriksa fungsi nervus cranial dan mata, telinga dan leher. Jika ditemukan kondisi
abnormal, maka sebaiknya segera dilakukan konsul pada specialist yang tepat.

9.3.1. PEMERIKSAAN NERVUS CRANIAL


Terdapat 12 nervus cranial yang mengsuplai informasi sensory kepada dan
mendapatkan impuls motoris dari otak. Gangguan fungsi harus diperiksa sehingga
kondisi abnormal dapat dirawat dengan tepat dan cepat. Perawatan gangguan neurologis
dengan tehnik dental bukan hanya tidak dapat mengatasi masalah tetapi juga cenderung
berbahaya karena perawatan yang tepat terlambat dilakukan. Dokter gigi tidak perlu
mendapatkan pelatihan neurologist. Karena pemeriksaan nervu cranialis tidak
membutuhkan pemeriksaan yang kompleks. Ahli terapi yang sering melakukan
pemeriksaan dapat melakukan pemeriksaan fungsi nervus cranial tertentu untuk
memastikan tidak terjadinya kelainan neurologis. Prosedur pemeriksaan sederhana dapat
digunakan untuk memeriksa masing-masing nervus.

9.3.1.1. Nervus Olfactorius (I)

Nervus cranial pertama memiliki fiber sensoris yang berasal dalam membrane
mucous rongga hidung dan memberikan sensasi penciuman. Nervus ini diperiksa dengan
meminta pasien untuk mendeteksi perbedaan antara bau peppermint, vanilla, dan coklat.
(Sebaiknya bahan ini tersedia di klinis sehingga dapat membantu pemeriksaan). Dokter
juga harus menentukan apakah hidung pasien tersumbat atau tidak. Hal ini dapat
dilakukan dengan meminta pasien untuk bernafas melalui hidung ke arah kaca. Embun
yang terbentuk pada kaca dari kedua lubang hidung menunjukkan aliran udara yang
adekuat.

9.3.1.2. Nervus opticus (II)

Nervus cranial kedua, juga merupakan nervus sensoris, dengan fiber yang berasal
dalam retina, memberikan indra penglihatan. Nervus ini dapat diuji dengam meminta
pasien untuk menutup salah satu mata dan membaca beberapa kalimat. Mata yang
satunya diperiksa dengan cara yang sama. Bidang pandangan juga diperiksa dengan
berdiri dibelakang pasien dan dengan perlahan menggerakkan jari anda dari belakang di
sekeliling pandangan (Gbr. 9-2). Pasien memberitahukan jika telah melihat jari anda.
Secara normal, tidak terdapat perbedaan pandangan kanan dan kiri.

Gbr. 9-2. Pemeriksaan bidang pandangan pasien (yaitu nervus opticus)


Pasien memandang ke depan, jari pemeriksa digerakkan ke depan dari belakang
pasien. Posisi awal dimana jari terlihat merupakan bidang penglihatan. Secara normal,
bidang kanan dan kiri seharusnya seimbang.

9.3.1.3. Nervus oculomotoris, trochear, dan abducent (III, IV, VI)

Nervus cranial ketiga, keempat, dan keenam, mengsuplai fiber motoris pada otot
ekstraocular, diperiksa dengan meminta pasien untuk mengikuti jari pasien dimana dokter
menggerakkan tangan membentuk huruf X (Gbr. 9-3). Kedua mata seharusnya bergerak
secara perlahan dan serentak pada saat mengikuti gerakan jari. Pupil memiliki ukuran
seimbang, bulat dan bereaksi dengan cahaya dengan cara konstriksi. Refleks akomodasi
diuji dengan meminta pasien untuk mengubah focus dari objek jauh ke objek dekat. Pupil
seharusnya berkontriksi jika objek (jari) mendekati wajah pasien. Pupil tidak hanya
berkontriksi terhadap cahaya langsung, tapi juga berkontruksi terhadap cahaya yang
diarahkan pada mata lain (reflex cahaya konsensual) (Gbr. 9-4).

Gbr. 9-3. Pemeriksaan otot ekstraokular pasien

Dengan tidak menggerakkan kepala pasien, pemeriksa meminta pasien untuk


mengikuti jari pemeriksaan yang bergerak membentuk huruf X di depan pasien.
Perbedaan gerakan mata kanan atau kiri sebaiknya dicatat.

9.3.1.4. Nervus Trigeminal (V)

Nervus cranial kelima adalah nervus sensoris (dari wajah, kulit kepala, hidung
dan mulut) dan motoris (otot pengunyahan). Input sensoris diuji dengan mengesekkan
wajah dengan cotton tip secara bilateral pada tiga regio: dahi, pipi dan rahang bawah
(Gbr. 9-5). Pemeriksaan ini akan gambaran kasar mengenai fungsi cabang ophithalmic,
maksilaris, dan mandibularis dari nervus trigeminal. Pasien seharusnya memberikan
penjelasan sensasi yang serupa pada tiap-tiap sisi. Nervus trigeminal juga memiliki fiber
sensoris dari kornea. Refleks kornea dapat diuji dengan memeriksa kedipan respon pasien
terhadap sentuhan ringan pada kornea dengan cotton pellet steril atau tissue. Input
motoris kasar diuji dengan meminta pasien menggigitkan rahang dan memeriksa otot
masseter dan temporal (Gbr. 9-6). Otot seharusnya memberikan kontraksi seimbang
secara bilateral.

Gbr. 9-4

Kontriksi pupil dapat terlihat jika cahaya diarahkan ke mata. Pupil mata tetangga
juga berkontrksi, menunjukkan reflex cahaya consensual.

Gbr. 9-5.

Aplikator cottin tip digunakan untuk membantikan perbedaan sentuhan ringan


antara cabang rahang atas kanan dan kiri dari nervus trigeminal. Cabang ophthalmic dan
mandibula juga diperiksa.

Gbr. 9-6.

Fungsi motoris nervus trigeminal diuji dengan memeriksa kekuatan kontraksi otot
masseter. Pasien diminta untuk mengigit pada saat dokter memeriksa keseimbangan
kontraksi otot masseter kanan dan kiri. Pemeriksaan ini juga dilakukan untuk otot
temporalis.

9.3.1.5. Nervus Facial (VII)

Nervus cranial ketujuh adalah nervus sensoris dan motoris. Bagian sensoris,
mengsuplai sensasi pengecapan dari bagian anterior lidah, diuji dengan meminta pasien
untuk membedakan garam dan gula dengan menggunakan ujung lidah. Bagian motoris,
yang menginervasi otot ekspresi facial, diuji dengan meminta pasien untuk mengangkat
kedua alis mata, tersenyum, dan menunjukkan gigi bawah. Pada saat pergerakan ini,
perbedaan bilateral harus dicatat.

9.3.1.6. Nervus akustik (VIII)

Nervus ini juga disebut vestibulocochlear, nervus cranial kedelapan yang


mengsuplai keseimbangan dan pendengaran. Pasien ditanyakan mengenai perubahan
dalam sikap berdiri atau dalam pendengaran, khususnya jika berhubungan dengan
gangguan yang menyebabkan pasien mencari perawatan. Jika terdapat keraguan
mengenai keseimbangan pasien, pasien diminta untuk berjalan mengikuti garis lurus.
Pendegaran diperiksa dengan menggosokkan rambut pasien dengan menggunakan ibu
jari dan jari telunjuk didekat telinga pasien dan perbedaan sensitivitas kanan dan kiri
sebaiknya dicatat (Gbr. 9-7).

Gbr. 9-7

Pendengaran dapat diperiksa dengan menggosokkan rambut dengan jari dan ibu
jari di dekat telinga pasien dan memeriksa sensitivitas pendengaran kanan dan kiri.

9.3.1.7. Nervus Glossopharyngeal dan Vagus (IX, X)

Nervus cranial kesembilan dan kesepuluh diperiksa secara bersamaan karena


kedua nervus memiliki fiber yang mengsuplai tenggorokan. Pasien diminta untuk
mengucapkan kata “ah”, dan palatum molle diperiksa apakah terjadi elevasi simetris.
Refleks muntah diuji dengan menyentuh kedua sisi faring.

9.3.1.8. Nervus Aksesoris (XI)

Nervus aksesoris spinalis mengsuplai fiber ke otot trapezius dan


sternocleidomastoid (SCM). Input motoris pada trapezius diuji dengan meminta pasien
untuk mendorong bahu yang telah diberikan resistensi. SCM diuji dengan meminta
pasien untuk menggerakkan kepala ke kanan dan kemudian ke kiri untuk melawan
resistensi (Gbr. 9-8). Dokter harus mencatat perbedaan kekuatan otot.

9.3.1.9. Nervus Hypoglossal (XII)

Nervus cranial kedua mengsuplai fiber motoris ke lidah. Untuk menguji nervus
ini, minta pasien untuk mendorong lidah dan perhatkan jika terjadi deviasi lateral yang
tidak terkontrol atau konsisten. Kekuatan lidah juga dapat diperiksa dengan meminta
pasien untuk mendorong tongue blade ke lateral.

Gbr. 9-8.
Fungsi nervus aksesoris spinal (motoris) pada sternocleidomastoid diuji dengan
meminta pasien untuk menggerakkan kepala yang telah diberi resistensi ke arah kanan
dan kiri. Sisi kanan dan kiri seharusnya memiliki kekuatan yang seimbang.

9.3.2. PEMERIKSAAN MATA

Pasien ditanyakan mengenai penglihatannya dan jika terjadi perubahan,


khususnya yang berhubungan dengan alasan mengapa pasien mencari perawatan. Sama
seperti pemeriksaan nervus cranial, tehnik sederhana akan cukup untuk pemeriksaan
penglihatan. Mata kiri pasien ditutu, dan pasien diminta untuk beberapa kalimat di kertas.
Mata lain diperiksa dengan cara yang serupa. Pandangan yang diplopia atau buram
diperiksa, serta apakah hal ini berhubungan dengan rasa sakit yang dialami pasien. Rasa
sakit yang dirasakan di atau sekeliling mata dan apakah membaca mempengaruhi rasa
sakit diperiksa. Kemerahan conjunctive sebaiknya periksa serta apakah terjadi robekan
atau pembengkakan kelopak mata.

9.3.3. PEMERIKSAAN TELINGAN

Sekitar 90% pasien dengan keluhan nyeri TMJ juga mengeluhkan gangguan
telinga. Jarak telinga yang dekat dengan TMJ dan otot pengunyahan, serta innervasi
trigeminal yang sama, menyebabkan seringnya terjadi referred pain. Meskipun hanya
beberapa dari pasien ini yang juga menderita penyakit telinga, maka sangat penting utnuk
memeriksa penyakit tersebut dan mengkonsul pasien untuk menjalani perawatan yang
tepat. Dokter gigi yang merawat TMD sebaiknya terampil dalam memeriksa telinga
untuk mendeteksi patologi umum. Pendengaran diperiksa dalam pemeriksaan nervus
cranial kedelapan. Infeksi meatus auditorius eksternal (otitis ekstrernal) dapat
diidentifikasi dengan menekan tragus. Jika penekanan ini menimbulkan rasa sakit, maka
diperiksa terjadi infeksi telinga eksternal dan pasien sebaiknya dikonsul pada
otolaryngologist. Otoscope diperlukan untuk melihat membrane tympani untuk
memeriksa terjadinya inflamasi, perforasi atau cairan (Gbr. 9-9).

Gbr. 9-9.
Otoscope digunakan untuk melihat saluran telinga eksternal dan membrane
tympani. Jika dicurigai terjadi hal abnormal, pasien sebaiknya dikonsul pada
otolaryngologist untuk pemeriksaan lebih lanjut.

Perlu diingat bahwa peranan dokter gigi hanya semata-mata untuk melakukan
pemeriksaan penyakit telinga dengan pemeriksaan otologis. Temuan yang meragukan
sebaiknya dikonsul pada otolaryngologist untuk pemeriksaan lebih lanjut. Sebaliknya,
temuan normal dari pemeriksaan otologic dapat dianggap sebagai dukungan untuk
mencari sumber sakit atau disfungsi utama.

9.3.4. PEMERIKSAAN SERVIKAL

Seperti yang dijelaskan dalam Bab 2, nyeri dan disfungsi cervicospinal dapat
disebabkan oleh struktur pengunyahan. Karena hal ini sering terjadi, maka sangat penting
untuk memeriksa leher untuk rasa sakit atau kesulitan pergerakan. Pemeriksaan screening
sederhana untuk kelainan craniocervical dapat dengan mudah dilakukan, Mobilitas leher
diperiksa untuk kisaran gerakan dan gejala. Pasien diminta untuk melihat ke sebelah
kanan dan kemudian ke kiri (Gbr. 9-10A). Rotasi yang terjadi minimal sebesar 70 derajat.
Kemudian pasien diminta untuk melihat ke atas sejauh mungkin (ekstensi) (Gbr. 9-10B)
dan kemudian ke bawah mungkin (fleksi) (Gbr. 9-10 C). kepala secara normal bergerak
ke bawah sebesar 60 derajat dan ke atas sekitar 45 derajat. Akhirnya, pasien diminta
untuk membengkokkan leher ke kanan dan kiri (Gbr. 9-10D). Gerakan ini secara normal
dilakukan kurang lebih 40 derajat. Jika terjadi sakit, dan keterbatasan pergerakan, maka
dilakukan pemeriksaan teliti untuk menentukan apakah sumber sakit berasal dari otot
atau tulang belakang. Jika pasien dengan keterbatasan pergerakan dapat diregangkan
secara pasien hingga menghasilkan gerakan yang lebih luas, hal ini mungkin disebabkan
oleh muscular. Pasien dengan gangguan tulang belakang umumnya tidak dapat
diregangkan. Jika dokter mencurigai bahwa pasien menderita gangguan craniocervical,
maka konsul untuk pemeriksaan lengkap (cervicospinal) diindikasikan. Hal ini penting
karena kelainan craniocervikal sangat berhubungan dengan gejala TMD.
Setelah nervus cranial, telinga dan daerah cervicospinal diperiksa, maka
dilakukan pemeriksaan sistem pengunyahan. Pemeriksaan pengunyahan meliputi
pemeriksaan tiga struktur utama: otot, sendi dan gigi. Pemeriksaan otot digunakan untuk
memeriksa kesehatan dan fungsi otot. Pemeriksaan TMJ digunakan untuk memeriksa
kesehatan dan fungsi sendi. Dan pemeriksaan oklusal digunakan untuk memeriksa
kesehatan dan fungsi gigi dan struktur pendukungnya.

9.3.5. PEMERIKSAAN OTOT

Rasa sakit tidak berhubungan dengan fungsi normal atau palpasi otot sehat.
Sebaliknya, tanda klinis gangguan jaringan otot yang paling sering terjadi adalah sakit.
Kondisi yang menyebabkan gangguan atau jaringan otot tidak sehat adalah penggunaan
otot yang berlebihan atau trauma fisik seperti peregangan yang berlebihan atau benturan
pada jaringan otot itu sendiri. Sering kali, otot pengunyahan terganggu oleh karena
peningkatan aktivitas. Jika jumlah dan durasi kontraksi meningkat, maka kebutuhan
fisiologis jaringan otot juga meningkat. Namun, peningkatan tonisitas otot atau
hiperaktivitas dapat menyebabkan penurunan aliran darah dalam jaringan otot,
menurunkan aliran substansi nutrisi yang diperlukan untuk fungsi sel normal serta produk
sisa metabolit akan berakumulasi dalam otot. Akumulasi produk sisa metabolit ini dan
substansi algogenik lainnya dianggap menyebabkan sakit pada otot. Saat ini, diketahui
bahwa sistem nervus sentralis dapat menyebabkan myalgia dengan inflamasi neurogenik

Gbr. 9-10. PEMERIKSAAN KELAINAN CRANIOCERVICAL

Pasien diminta untuk melihat kanan dan kiri (A), pasien diminta untuk melihat ke
atas (B), melihat ke bawah (C), dan melengkungkan leher ke kanan dan kiri (D).

Dalam myalga tahap awal hanya tampak selama gerakan fungsi otot. Jika
hiperaktivitas terus terjadi, maka myalgia dapat terjadi dalam waktu dalam waktu lama
dan menyebabkan rasa sakit aching tumpul yang terkadang menyebar pada seluruh otot.
Rasa sakit dapat membatasi pergerakan fungsional mandibula. Derajat dan lokasi sakit
dan nyeri otot dapat diketahui pada saat pemeriksaan otot. Otot dapat diperiksa dengan
palpasi langsung atau dengan manipulasi fungsional.
9.3.5.1. Palpasi Otot

Metode yang paling sering digunakan dalam pemeriksaan nyeri dan sakit otot
adalah dengan palpasi digital. Otot yang sehat tidak menunjukkan nyeri atau sakit jika
dipalpasi. Deformasi jaringan otot rusak pada saat palpasi otot spesifik, dapat
menunjukkan bahwa otot jaringan tersebut mengalami gangguan oleh karena trauma atau
kelelahan.

Palpasi otot umumnya dilakukan dengan permukaan palmar jari tengah, dengan
jari telunjuk memeriksa daerah di sekitar otot. Tekanan pelan tapi kuat diaplikasikan pada
otot yang ingin diperiksa, dengan jari menekan jaringan di sekitar dengan gerakan
memutar. Satu tekanan dengan durasi 1 atau 2 detik biasanya lebih baik dibandingkan
beberapa tekanan ringan. Selama palpasi, pasien ditanyakan apakah merasa sakit atau
tidak.

Untuk pemeriksaan otot bermanfaat, derajat rasa tidak nyaman terhadap pasien
diperiksa dan direkam. Hal ini terkadang sulit dilakukan. Rasa sakit bersifat subjektf dan
dirasakan dan ditunjukkan secara berbeda dari satu pasien dengan pasien yang lain.
Namun derajat ketidaknyamanan dalam struktur sangat penting untuk mengetahui
gangguan sakit pasien, serta merupakan metode yang sangat bail untuk memeriksa efek
perawatan. Sebab itu pemeriksaan dilakukan bukan hanya untuk mengidentifikasi otot
yang sakit tapi juga untuk mengklasifikasikan tingkat rasa sakit. Jika otot dipalpasi,
respon pasien dikelompokkan menjadi empat kategori. Nol (0) diberikan jika otot
dipalpasi dan tidak terdapat rasa sakit atau nyeri yang dilaporkan oleh pasien. Angka 1
diberikan jika pasien mengatakan bahwa palpasi memberikan rasa tidak nyaman (nyeri
atau sakit). Angka 2 diberikan jika pasien merasakan rasa tidak nyaman yang cukup
menganggu pasien. Angka 3 diberikan jika pasien menunjukkan reaksi menghindar atau
mengeluarkan air mata atau menolak untuk melakukan palpasi pada daerah tersebut. Rasa
sakit atau nyeri tiap-tiap otot direkam pada lembar pemeriksaan, yang akan membantu
diagnosis dan kemudian digunakan dalam pemeriksaan dan perkembangan perawatan.
Pemeriksaan otot lengkap sebaiknya tidak hanya mengidentifikasikan nyeri dan
sakit otot secara umum tapi juga titik picu hipersensitif kecil yang berhubungan dengan
nyeri myofascial. Seperti yang dikatakan pada Bab 2 dan 8, titik picu berperan sebagai
sumber rasa sakit dalam yang dapat menghasilkan efek eksitatori sentralis. Daerah ini
harus diperiksa dan dicatat. Untuk melokalisasi titik picu, pemeriksa melakukan palpasi
pada seluruh otot. Nyeri otot generalized biasanya tidak terjadi pada otot dengan titik
picu. Pada saat pencatatan hasil pemeriksaan, sangat penting untuk membedakan antara
sakit otot generalized dan sakit titik picu karena terkadang diagnosis dan perawatan yang
berbeda.

Jika titik picu diketahui, pemeriksa sebaiknya menentukan apakah terdapat pola
referred pain. Tekanan dapt diaplikasikan pada titik picu selama 4 hingga 5 detik, dan
pasien ditanyakan apakah rasa sakit yang dirasakan menyebar. Jika pola referred pain
dilaporkan, maka perlu dituliskan pada gambar wajah untuk acuan perawatan selanjutnya.
Pola referred pain sering membantu dalam mengidentifikasi dan mendiagnosa konsidi
sakit tertentu.

Pemeriksaan otot rutin meliputi palpasi otot atau kelompok otot berikut ini:
temporalis, masseter, sternocleidomastoideus, dan cervical posterior (yaitu splenius
capitis dan trapezius). Untuk peningkatan efisiensi pemeriksaan, otot kanan dan kirir
dipalpasi secara bersama-sama. Tehnik palpasi masing-masing otot akan dijelaskan.
Pemahamanan anatomy dan fungsi otot sangat penting untuk palpasi yang tepat (lihat
Bab 1).

Pemeriksaan otot meliputi pemeriksaan pteryfoid medial dan lateral melalui


manipulasi fungsional. Tehnik ini digunakan untuk otot yang tidak memungkinkan atau
hampir tidak mungkin dipalpasi secara manual.

9.3.5.1.1. Temporalis

Otot temporalis dibagi menjadi tiga daerah fungsional, dan sebab itu masing-
masing daerah dipalpasi secara terpisah. Regio anterior dipalpasi di atas lengkung
zygomatic dan anterio dari TMJ (Gbr. 9-11A). Otot pada regio ini berjalan dalam arah
vertical. Regio tengah dipalpasi langsung di atas TMJ dan superior dari lengkung
zygomatic (Gbr. 9-11B). Otot pada regio ini berjalan dalam arah oblique melintasi aspek
lateral tengkorak. Regio posterior dipalpasi di atas dan dibelakang telinga (Gbr. 9-11C).
Otot ini berjalan ke arah horizontal.

Jika terdapat keraguan mengenai penempatan jari yang tepat, pasien diminta
untuk mengatupkan rahang. Otot temporalis akan berkontraksi dan serat otot dapat
dirasakan dengan ujung jari. Hal ini akan membantu dalam penempatan jari di belakang
pasien dan penggunaan tangan kanan dan kiri untuk melakukan palpasi daerah otot secara
serempak. Pada saat palpasi, pasien ditanyakan apakah merasa sakit atau tidak nyaman,
dan respon pasien diklasifikasikan sebagai 0, 1, 2, dan 3, berdasarkan criteria yang telah
diuraikan sebelumnya. Jika titik picu ditemukan, maka hal ini harus dicatat dalam lembar
pemeriksaan disertai dengan pola referred pain.

Pada saat pemeriksaan otot temporalis, sangat penting juga untuk melakukan
palpasi tendon otot. Serat otot temporalis berjalan ke inferior untuk menutup tendon yang
melekat pada prosesus coronoid mandibula. Beberapa TMD umumnya menyebabkan
tendonit temporalis yang dapat menyebabkan rasa sakit pada bodilus mandibula, serta
referred pain di sekitar matas (nyeri retroorbital). Tendon temporalis terpalpasi dengan
meletakkan jari tangan secara intraoral pada tepi anterior ramus dan jari lain secara
ekstraoral pada daerah yang sama. Jari intraoral bergerak ke atas mengarah ke tepi
anterior ramus hingga prosesus coronoid dan tendon terpalpasi (Gbr. 9-12). Pasien
ditanyakan apakah merasa sakit atau tidak nyaman.

Gbr. 9-11.

Palpasi regio posterior (A), tengah (B) dan anterior (C) otot temporalis.

9.3.5.1.2. Masseter

Otot masseter terpalpasi secara bilateral pada perlekatan superior dan inferior
otot. Pertama-tama, jari diletakkan pada lengkung zygomatic (tepat di anterior dari TMJ).
Jari diturunkan sedikit ke bagian masseter yang melekat pada lengkung zygomatic, tepat
dianterior dari sendi (Gbr. 9-13). Setelah bagian ini (masseter dalam) terpalpasi, jari
diturunkan ke perlekatan inferior pada tepi interior ramus. Daerah palpasi diarahkan
langsung di atas perlekatan masseter (yaitu masseter superficial) (Gbr. 9-13). Respon
pasien direkam.

Gbr. 9-12. PALPASI TENDON TEMPORALIS

Jari digerakkan ke tepi ramus hingga pemeriksa merasakan prosesus coronoid dan
perlekatan tendon temporalis.

9.2.5.1.3. Sternocleidomastoideus

Meskipun SCM tidak berfungsi secara langsung dalam pergerakan rahang bawah,
otot ini juga dibahas karena sering menjadi simptomatik dengan TMD dan mudah
terpalpasi. Palpasi dilakukan secara bilateral dekat daerah insersi otot pada permukaan
luar fossa mastoid, dibelakang telinga (Gbr. 9-14A). Seluruh panjang otot dipalpasi,
menurun hingga hampir mendekati clavicula (Gbr. 9-14B). Pasien diminta untuk
melaporkan jika merasa tidak nyaman selama prosedur.

Selain itu, titik picu yang ditemukan pada otot ini perlu dicatat karena sering
menjadi sumber referred pain pada daerah temporal, sendi dan telinga.

9.3.5.1.4. Otot Cervical Posterior

Otot cervical posterior (trapezius, longissimus [capitis dan cervicis]), splenius


[capitis dan cervicis], dan levator scapulae) tidak secara langsung mempengaruhi
pergerakan rahang bawah; namun, otot ini menjadi simptomatik pada TMD tertentu dan
sebab itu sebaiknya dilakukan palpasi secara rutin. Otot ini berasal dari daerah occipital
posterior dan berjalan ke inferior sepanjang regio cervicospinal. Karena otot ini saling
tumpang tindih, maka otot ini terkadang sulit diperiksa secara terpisah.

Pada saat melakukan palpasi otot ini, jari pemeriksa bergeser ke belakang kepala
pasien. Jari tangan kanan melakukan palpasi pada daerah occipital kanan, dan jari tangan
kiri melakukan palpasi daerah kiri (Gbr. 9-15A) yang merupakan titik awal otot. Pasien
ditanyakan mengenai rasa tidak nyaman yang dirasakan. Jari bergerak ke bawah
sepanjang otot leher melalui daerah cervical (Gbr. 9-15B), dan dilakukan pencatatan
seluruh rasa tidak nyaman yang dirasakan pasien. Sangat penting untuk memeriksa titik
picu pada otot ini karena sering menjadi sumber sakit kepala frontal.

Gbr. 9-13

A.Palpasi otot masseter pada perlekatan superior terhadap lengkung zygomatic. B,


palpasi otot masseter superior di dekat tepi bawah rahang bawah.

SLenius capitis dipalpasi untuk rasa sakit atau nyeri umum, serta untuk titik picu.
Perlekatan otot pada tengkorak berupa daerah cekungan di posterior perlekatan SCM
(Gbr. 9-16). Palpasi dimulai pada titik ini dan bergerak ke inferior hingga otot menyatu
dengan otot leher lainnya. Rasa sakit, nyeri atau titik picu direkam.

Gbr. 9-14

Palpasi otot sternocleidomastoideus dekat prosesus mastoid (A) dan dekat


clavicula ( B).

Otot trapezius merupakan otot yang sangat besar pada daerah punggung, bahu dan
leher yang (sama seperti SCM dan splenius) tidak secara langsung mempengaruhi fungsi
rahang tapi sering menjadi sumber sakit kepala dan mudah terpalpasi. Tujuan utama
palpasi otot ini bukan untuk memeriksa fungsi bahu tapi untuk mencari titik picu aktif
yang dapat menyebabkan terjadinya referred pain. Otot trapezius umumnya memiliki titik
picu yang menyebakan refer pain pasa wajah. Jika nyeri facial adalah keluhan utama
pasien, otot ini sebaiknya menjadi salah satu otot yang harus diperiksa. Bangan atas
dipalpasi dari belakang SCM, secara inferolateral dari bahu (Gbr. 9-17), dan titik picu
yang ditemukan sebaiknya dicatat.

Gbr. 9-15
A, Palpasi perlekatan otot pada regio occipital leher. B, Jari digerakkan secara
inferior ke daerah cervical, dan otot dipalpasi untuk rasa sakit dan nyeri.

9.3.1.5. Makna Klinis Titik Picu

Seperti yang dibahas pada Bab 2, titik picu dapat berada dalam kondisi aktif atau
laten. Jika aktif, titik picu tampak secara klinis berupa daerah hipersensitif spesifik dalam
jaringan otot. Titik picu dapat berupa ikatan otot kecil, kuat dan keras. Jika dalam kondisi
latent, titik picu tidak dapat terdeteksi. Titik picu aktif sering menjadi sumber sakit dalam
dan menghasilkan efek eksitatori sentral. Sebab itu, jika terdeteksi referred pain
(heterotropic) maka hal ini sangat bergantung pada kondisi titik picu (sumber sakit). Hal
ini berarti bahwa jika titijj picu aktif distimulasi, referred pain akan meningkat, yang akan
menjadi tanda diagnostic signifikan dalam menghubungkan keluhan sakit dengan
sumbernya. Sebagai contoh, jika keluhan utama pasien sakit kepala, palpasi otot leher
untuk memeriksa titik picu akan menunjukkan sumber sakit tersebut. Jika titik picu
ditemukan, tekanan pada daerah tersebut akan meningkatkan sakit kepala (referred pain).

Gbr. 9-16.

Splenius capitis dipalpasi pada daerah perlekatannya pada tengkorak tepat di


posterior dari perlepatan sternocleidomastoideus

Pola spesifik dari referred pain dari berbagai lokasi titik picu telah diuraikan oleh
Travell dan Simons (lihat Bab 8). Pemahaman daerah referral dapat membantu dokter
yang mencoba untuk mendiagnosa masalah nyeri facial. Seperti yang dibahas dalam
dalam Bab 10, blok anastesi pada titik picu terkadang dapat menghilangkan sakit kepala
referred pain dan sebab itu sangat membantu dalam diagnostic.

Gbr. 9-17.

Otot trapeziuz dipalpalsi pada saat otot berjalan ke struktur leher.

9.2.5.2. Manipulasi Fungsional


Terdapat tiga otot yang menopang pergerakan rahang yang tidak memungkinkan
atau hampir tidak dapat dipalpasi adalah pterygoid lateral superior, pterygoid lateral
superior dan pterygoid medial. Pterygoid lateral inferior dan superior berada di dalam
tengkorak, yang berasal dari sayap lateral tulang sphenoid dan tuberositas maksilaris dan
menginsersi pada leher kondil mandibular dan kapsula TMJ. Pterygoid medial memiliki
berasal dari daerah yang sama, tapi berjalan menurun dan lateral untuk menginsersi pada
permukaan median angulus mandibula. Meskipun pterygoid medial dapat dipalpasi
dengan menggerakkan jari pada aspek lateral dinding pharyngeal tenggorokan, palpasi ini
sulit dilakukan dan terkadang tidak nyaman bagi pasien. Ketiga otot ini mendapatkan
innervasi dari cabang mandibula nervus trigeminal (V).

Sebelumnya, tehnik intraoral dianjukan untuk palpasi pterygoid lateral, tapi tehnik
ini tidak terbukti efektif. Karena lokasi otot yang tidak memungkinkan untuk terpalpasi,
metode kedua untuk memeriksa gejala otot, disebut manipulasi fungsional,
dikembangkan berdasarkan prinsip dimana otot menjadi lelah dan simptomatik, gerakan
fungsional selanjutnya akan menimbulkan rasa sakit. Sebab itu otot yang disertai dengan
aktivitas berlebihan akan menimbulkan rasa sakit baik pada saat kontraksi dan jika
diregangkan, dan dalam kasusini, manipulasi fungsional merupakan satu-satunya tehnik
pemeriksaan yang dapat menunjukkan apakah otot tersebut merupakan sumber sakit.

Pada beberapa kasus, palpasi pada regio pterygoid lateral dan medial dapat
menimbulkan rasa sakit, tapi manipulasi fungsional tidak menimbulkan rasa sakit.
Sebuah penelitian yang membandingkan palpasi dan manipulasi fungsional pterygoid
lateral inferior menunjukkan bahwa 27% kelompok kontrol memiliki rasa sakit pada
palpasi intraoral, tapi tidak ada pasien yang memiliki gejala setelah manipulasi
fungsional. Hal ini menunjukkan bahwa 27% hasil positif-palsu dilaporkan pada palpasi.
Pada penelitian yang sama, sebuah kelompok pasien dengan nyeri orofacial menjalani
pemeriksaan serupa. 69% pasien menderita rasa sakit pterygoid lateral dengan tehnik
palpasi, namun hanya 27% pasien yang menderita rasa sakit dengan manipulasi
fungsional. Pada kasus ini, ditunjukkan bahwa jika palpasi digunakan, pterygoid lateral
dapat menunjukkan rasa sakit sebesar 42% meskipun bukan merupakan sumber sakit
utama. Tidak terdapat pertanyaan bahwa jika daerah posterior dari tuberositas maksilaris
dipalpasi, terjadi insidensi sakit yang tinggi; manipulasi fungsional menunjukkan bahwa
rasa sakit ini tidak berasal dari pterygoid lateral, tapi berasal dari struktur lain.

Pada saat manipulasi fungsional, masing-masing otot berkontraksi dan kemudian


meregang. Jika otot tersebut merupakan sumber sakit utama, kedua aktivitas ini akan
meningkatkan rasa sakit. Bagian selanjutnya akan membahas tehnik manipulasi
fungsional untuk pemeriksaan tiga otot yang sulit dipalpasi: pterygoid lateral inferior,
pterygoid lateral superior, dan pterygoid medial.

9.3.5.2.1. Manipulasi Fungsional Otot Pterygoid Lateral Inferior

9.3.5.2.1.1. Kontraksi

Jika otot pterygoid lateral inferior berkontraksi, rahang bawah berprotrusi


dan/atau mulut terbuka. Manipulasi fungsional dapat dilakukan dengan meminta pasien
untuk melakukan pergerakan protrusive karena otot ini merupakan otot protrusive primer.
Otot ini juga aktif pada saat membuka mulut, tapi gerakan ini juga mengaktifkan otot lain
sehingga dapat menyulitkan pemeriksaan. Sebab itu, manipulasi paling efektif adalah
meminta pasien untuk melakukan gerakan protrusive terhadap tekanan yang diberikan
oleh pemeriksa (Gbr. 9-18). Jika pterygoid lateral inferior merupakan sumber sakit,
aktivitas ini akan meningkatkan rasa sakit.

9.3.5.2.1.2. Peregangan

Otot pterygoid lateral inferior meregang jika gigi berada dalam posisi intercuspal
maksimus. Sebab itu, jika otot ini merupakan sumber sakit jika pasien menggigit, maka
rasa sakit akan meningkat. Jika tongue blade diletakkan di antara gigi posterior, posisi
intercuspal (ICP) tidak dapat dilakukan dan sebab itu pterygoid lateral inferior tidak
meregang sepenuhnya. Sebab itu, penggigitan separator tidak akan meningkatkan rasa
sakit tapi bahkan menurunkan atau menghilangkan rasa sakit.

9.3.5.2.2. Manipulasi Fungsional Otot Pterygoid Lateral Superior


9.3.5.2.2.1. Kontraksi

Otot pterygoid lateral superior berkontraksi dengan otot elevator (temporalis,


masseter, dan pterygoid medial), khsusunya pada saat power stroke (menggertakkan
gigi). Sebab itu, jika otot ini merupakan sumber sakit, menggertakkan gigi akan
meningkatkan rasa sakit. Jika tongue blade diletakkan di antara gigi posterior secara
bilateral (Gbr. 9-19) dan pasien diminta untuk menggigit separator, rasa sakit akan
meningkat seiring kontraksi otot pterygoid lateral superior. Pemeriksaan ini sama untuk
otot elevator. Peregangan diperlukan untuk dapat membedakan sakit otot pterygoid
lateral superior dengan sakit dari otot elevator.

Gbr. 9-18 Manipulasi fungsional pterygoid lateral inferior

Pasien diminta untuk melakukan gerakan protrusi terhadap dorongan yang


diberikan oleh pemeriksa.

Gbr. 9-19

Manipulasi fungsional otot pterygoid lateral superior dilakukan dengan meminta


pasien untuk menggigit tongue blade secara bilateral.

9.3.4.2.2.2. Peregangan

Sama seperti otot pterygoid lateral, peregangan otot pterygoid lateral superior
terjadi pada posisi intercuspasi maksimum. Sebab itu, peregangan dan kontraksi otot ini
terjadi pada aktivitas yang sama, yaitu menggertakkan gigi. Jika pterygoid lateral
superior merupakan sumber sakit, menggertakkan gigi akan meningkatkan rasa sakit
tersebut. Pterygoid lateral superior dapat dibedakan dari sakit otot elevator dengan
meminta pasien untum membuka mulut lebar. Gerakan ini akan meregangkan otot
elevator tapi tidak meregangkan otot pterygoid lateral. Jika pembukaan mulut tidak
menimbulkan rasa sakit, maka rasa sakit saat menggertakkan berasal dari pterygoid
lateral superior. Jika rasa sakit meningkat pada saat membuka mulut, maka rasa sakit
dapat berasal dari otot pterygoid lateral superior dan elevator. Pembedaan rasa sakit
sering sulit dilakukan kecuali pasien dapat membedakan lokasi otot yang sakit.
9.3.5.2.3. Manipulasi Fungsional Otot Pterygoid Medial

9.3.5.2.3.1. Kontraksi

Otot pterygoid medial adalah otot elevator dan sebab itu berkontraksi pada saat
gigi bertemu. Jika otot ini merupakan sumber sakit, menggertakkan gigi akan
meningkatkan rasa sakit. Jika tongue blade diletakkan di antara gigi posterior dan pasien
diminta untuk menggigitnya, rasa sakit masih akan meningkat karena otot elevator masih
berkontraksi.

9.3.5.2.3.2. Peregangan

Otot pterygoid medial juga meregang jika mulut dibuka lebar. Sebab itu, jika otot
ini merupakan sumber sakit, pembukaan mulut dengan lebar akan meningkatkan rasa
sakit.

Manipulasi fungsional otot yang tidak dapat dipalpasi dapat memberikan


informasi akurat mengenai sumber sakit pengunyahan. Seluruh informasi yang
diperolehkan dapat diperoleh dengan meminta pasien untuk membuka mulut lebar,
melakukan gerakan protusi terhadap tahanan, menggertakkan gigi, dan menggigit
separator. Respon tiap otot terhadap manipulasi fungsional ditampilkan pada Tabel 9-1.

Jika sumber otot merupakan sumber sakit utama, manipulasi fungsional akan
membantu dalam mengidentifikasi sumber ini. Namun, rasa sakit yang dihasilkan selama
manipulasi fungsional tidak selalu berarti bahwa sumber sakit telah diketahui. Gejala
referred pain seperti hiperalgia sekunder dapat menyebabkan gejala sakit pada saat fungsi
otot. Pada kasus ini, manipulasi fungsional hanya mengidentifikasi daerah sakit, dan
bukan sumber sakit. Block anastesi dapat diperlukan untuk membedakan sumber sakit
dari daerah tertentu (lihat Bab 10).

Tabel 9-1. Manipulasi Fungsional oleh Otot

9.3.5.2.4. Kelainan Intracapsular


Sumber sakit lain dapat mempersulit hasil dari manipulasi fungsional ini.
Kelainani ntracapsular TMJ (yaitu dislokasi fungsional lemping sendi, kelainan
inflamasi) dapat menimbulkan rasa sakit seiring peningkakatan tekanan dan pergerakan
interarticular. Manipulasi fungsional meningkatkan tekanan interarticular dan juga
menggerakkan kondil. Sebab itu, rasa sakit ini sulit dibedakan dengan sakit otot. Sebagai
contoh, jika terjadi kelainan inflamasi dan pasien membuka mulut lebar, rasa sakit
meningkat oleh karena pergerakan dan fungsi struktur yang mengalam inflamasi. Jika
mandibula diprotrusikan terhadap tahanan, rasa saki juga meningkat karena pergerakan
dan tekanan interarticular yang menyebabkan tekanan yang diaplikasikan pada struktur
yang mengalami inflamasi. Jika gigi digertakkan, rasa sakit juga meningkat karena
peningkatan tekanan interarticular dan tekanan pada struktur yang mengalami inflamasi.
Namun, jika pasien menggertakkan gigi secara unilateral dengan menggunakan separator,
tekanan interarticular menurun pada daerah ipsilateral dan rasa sakit pada sendi tersebut
akan menurun.

Hasil ini tampak logis tapi membingungkan karena hasil yang diperoleh serupa
jika otot pterygoid lateral inferior yang menjadi daerah sakit. Sebab itu, uji kelima harus
dilakukan untuk membedakan otot pterygoid lateral inferior dari sakit intracapsular. Hal
ini dapat dilakukan dengan meletakkan separator di antara gigi posterior di sisi yang
sakit. Pasien diminta untuk menggigit separator dan kemudian melakukan gerakan
protrusi untuk mendorong tahanan. Jika kelainan intracapsular merupakan daerah sakit,
rasa sakit tidak akan meningkat (atau mungkin akan menurun) karena penggigitan
separator akan menurunkan tekanan interarticular dan akan menurunkan tekanan pada
struktur yang mengalami inflamasi. Namun, lontraksi pterygoif lateral inferior akan
meningkat pada saat pergerakan protrusif dan sebab itu rasa sakit akan meningkat jika
otot ini merupakan sumber sakit.

Empat pemeriksaan manipulasi fungsional dasar, serta pemeriksaan yang


diperlukan untuk membedakan sakit intracapsular, ditampilkan pada Tabel 9-2 (lihat juga
Tabel 9-1). Daerah potensial atau sumber sakit juga ditampilkan, serta bagaimana
masing-masing otot akan bereaksi terhadap manipulasi fungsional.
9.3.5.3. Jarak Interincical Maksimum

Pemeriksaan otot tidak lengkap hingga efek fungsi otot terhadap rahang bawah
telah diperiksa. Kirasan normal pembukaan otot jika diukur secara interinsisal adalah
antara 53 dan 58 mm. Anak usia 6 tahun dapat melakukan pembukaan mulut maksimum
sebesar 40 mm atau lebih. Karena gejala otot sering meningkat pada saat gerakan
fungsional, maka terkadang diasumsikan sebagai keterbatasan pergerakan mulut. Pasien
diminta untuk membuka mulut secara perlahan hingga sakit dirasakan untuk pertama kali
(Gbr. 9-20A). PAda titik ini, jarak antara tepi insisal gigi anterior atas dan bawah diukur.
Jarak ini adalah batas pembukaan mulut yang nyaman bagi pasien. Kemudian pasien
diminta untuk membuka mulut secara maksimal (Gbr. 9-20B). Jarak ini dianggap
pembukaan mulut maksimum. TIdak tidak terjadi rasa sakit m maka jarak pembukaan
mulut yang nyaman bagi pasien dan pembukaan mulut maksimal akan sama.

Keterbatasan pembukaan mulut dianggap sebagai jarak kurang dari 40 mm.


Hanya 1.2% subjek dewasa muda yang dapat membuka mulut kurang dari 40 mm.
Namun, perlu diketahui bahwa 15% populasi lanjut usia sehat membuka mulut kurang
dari 40 mm. Sebab itu pembukaan mulut kurang dari 40 mm merupakan titik baik untuk
menunjukkan keterbatasan gerakan, tapi hal ini juga membutuhkan pertimbangan usia
dan ukuran tubuh pasien. Jarak ini dikur dengan mengukur tepi insisial gigi insisivus
sentralis rahang bawah yang bergerak menjauhi posisi pada saat intercuspasi maksimum.
Jika pasien memiliki overlap vertikal gigi anterior 5-mm dan jarak interincisal maksimum
adalah 57 mm, rahang bawah dapat bergerak 62 mm pada saat membuka mulut. Pada
subjek yang memiliki deep bite yang dalam, hal ini perlu ditimbangkan pada saat
penentuan kisaran pergerakan normal.

Tabel 9-2. Manipulasi Fungsional berdasarkan Aktivitas

Jika terjadi keterbatasan pembukaan mulut, maka sebaiknya dilakukan


pemeriksaan “end feel”. End feel menjelaskan karakteristik keterbatasan pergerakan yang
membatasi pergerakan sendi. End feel dapat diperiksa dengan meletakkan jari di antara
gigi atas dan bawah pasien dan mengaplikasikan tekanan yang pelat tapi kuat untuk
mencoba meningkatkan jarak interincisal secara pasif (Gbr. 9-21). Jika end feel terasa
lunak, peningkatan pembukaan mulut dapat dilakukan tapi secara perlahan. Soft end feel
menunjukkan keterbatasan gerakan yang disebabkan oleh otot. Jika peningkatan
pembukaan mulut tidak dapat dilakukan, end feel terasa “keras”. End feel yang keras
lebih cenderung berhubungan dengan sumber intracapsular (yaitu dilokasi lemping TMJ).

Gbr. 9-20 Pengukuran pembukaan mulut.

A. Pasien diminta untuk membuka mulut hingga merasakan sakit untuk pertama
kali. Pada titik ini, jarak antara tepi insisal gigi anterior diukur. Pengukuran ini disebut
pembukaan mulut maksimum yang masih terasa nyaman bagi pasien. B, pasien kemudian
diminta untuk membuka mulut selebar mungkin meskipun terasa sakit. Pengukuran ini
disebut pembukaan mulut maksimum.

Gbr. 9-21. Pemeriksaan “End Feel”

Tekanan yang pelan tapi kuat diberikan pada insisivus bawah sekitar 10 hingga 15
detik. Peningkatan pembukaan rahang bawah menunjukkan end feel lunak (biasanya
berhubungan dengan kelainan otot pengunyahan).

Kemudian pasien diinstruksikan untuk menggerakkan rahang bawah ke lateral.


Pergerakan lateral yang kurang dari 8 mm dianggap sebagai keterbatasan pergerakan
(Gbr. 9-22). Pergerakan protrusif juga diperiksa dengan cara yang sama.

Jalur garis median rahang bawah selama pembukaan maksimum juga diperiksa.
Pada sistem pengunyahan yang sehat, tidak terdapat perubahan dalam jalur pembukaan
mulut yang lurus. Perubahan dalam pembukaan mulut juga dicatat. Terdapat dua jenis
perubahan yang dapat terjadi: deviasi dan defleksi. Deviasi adalah pergeseran garis
median rahang bawah selama pembukaan mulut yang tidak terjadi seiring pergerakan
rahang bawah (kembali ke garis median) (Gbr. 9-23). Kelainan ini biasanya disebabkan
oleh kerusakan lemping TMJ pada satu atau kedua sendi dan disebbakan oleh pergerakan
kondil yang harus melalui lemping TMJ pada saat tranlasi. Setelah kondil dapat
mengatasi gangguan ini, garis median akan lurus kembali. Defleksi adalah pergeseran
garis median pada satu sisi yang semakin besar seiring pembukaan mulut dan tidak hilang
pada pembukaan mulut maksimum (tidak kembali ke garis median) (Gbr. 9-23). Hal ini
disebabkan oleh keterbatasan pegerakan pada salah satu sendi. Penyebab hal ini tampak
bervariasi dan perlu diperiksa

Gbr. 9-22. Pemeriksaan Pegerakan Lateral Mandibula

A. Psien diperiksa pada posisi intercuspal maksimum, dan daerah insisivus bawah
tepat di bawah garis median antara insisivus sentralis atas. Lokasi ini dapat ditandai
dengan pensil. B, pasien melakukan pergerakan ke kiri secara maksimum dan kemudian
pergerakan laterotrusif kanan maksimum, dan jarak antara tanda dan garis median diukur.
Hal ini akan menunjukkan jarak pergerakan rahang bawah.

Gbr. 9-23. Perubahan dalam Jalur Pembukaan Mulut

A. Deviasi. Jalur pembukaan mulut berubah tapi kembali ke hubungan garis


median normal pada pembukaan mulut maksimum. B, Defleksi. Jalur pembukaan mulut
bergeser ke salah satu sisi dan semakin tampak jika mulut semakin lebar. Pada
permukaan maksimum, pergeseran garis median bergeser mencapai maksimum.

Keterbatasan pergerakan rahang bawah disebabkan oleh sumber ekstracapsular


atau intracapsular. Sumber ekstracapsular secara umum disebabkan oleh otot, dan sebab
itu berhubungan dengan kelainan otot. SUmber intracapsular secara umum berhubungan
dengan fungsi kondil-lemping dan ligamentum di sekitarnya dan sebab itu biasanya
berhubungan dengan kelainan susunan lemping. Keterbatasan pergerakan ekstracapsular
dan intracapsular memiliki karakteristik yang berbeda.

9.3.5.3.1. Keterbatasan Ekstracapsular

Keterbatasan ekstracapusal secara khas terjadi dengan spamse otot elevator. Otot
ini cenderung membatasi translasi dan sebab itu membatasi pembukaan mulut. Namun,
rasa sakit pada otot elevator tidak membatasi pergerakan lateral dan protrusif. Sebab itu
pada tipe keterbatasan ini, tampak pergerakan eccentric normal tapi pembukaan mulut
yang terbatas, umumnya karena rasa sakit. Titik keterbatasan dapat berkisar dari 0 hingga
40 mm secara interinsical. Pada tipe keterbatasan ini, pasien biasanya mampu untuk
meningkatkan pembukaan mulut secara perlahat, tapi rasa sakit akan semakin meningkat
(end feel lunak).

Keterbatasan ekstracapsular sering menyebabkan defleksi jalur insisal pada saat


membuka mulut. Arah defleksi bergantung pada lokasi otot yang menyebabkan
keterbatasan pergerakan. Jika otot tersebut berada di lateral sendi (sama seperti otot
masseter), defleksi selama pembukaan mulut akan menuju ke arah ipsilateral. Jika otot
berada pada medial (sama seperti otot ptergyoid), defleksi akan menuju ke arah
kontralateral.

9.3.5.3.2. Keterbatasan Intracapsular

Keterbatasan intracapsular menunjukkan pola khas yang berbeda. Kelainan


susunan lemping (yaitu dislokasi fungsional) akan sangat membatasi translasi sendi
tersebut. Ketebatasan pergerakan ini hanya tampak pada satu sendi dan membatasi
pembukaan rahang bawah pada sendi tersebut khususnya dalam pergerakan rotasi (25
hingga 30 mm secara interinsisal). Pada titik ini, pergerakan selanjutnya akan terbatasi
bukan karena rasa sakit tapi karena resistensi struktural dalam sendi. Jika terjadi
keterbatasan intracapsular, defleksi jalur insisal selama pembukaan mulut akan selalu
mengarah ke sisi ipsilateral (yang mengalami kelainan).

9.3.6. PEMERIKSAAN TEMPOROMANDIBULAR JOINT

TMJ diperiksa untuk tanda atau gejala yang berhubungan dengan sakit dan
disfungsi. Rafiografi atau tehnik penggambaran lain juga dapat dignakan (lihat
Pemeriksaan DIagnostik Tambahan).

9.3.6.1. Sakit Temporomandibular Joint

Rasa sakit atau nyeri TMJ ditentukan oleh palpasi digital sendi pada saat rahang
bawah tidak bergerak dan selama pergerakan dinamik. Ujung jari diletakkan di atas aspek
lateral kedua daerah sendi secara serempak. Jika terdapat keragu-raguan mengenai posisi
jari yang tepat, pasien diminta untuk membuka dan menutup rahang selama beberapa
kali. Ujung jari dapat merasakan kutub lateral kondil yang berjalan menurun dan depan
melintasi articular eminences. Setelah posisi jari di atas sendi telah tepat, pasien diminta
untuk mengendurkan otot dan tekanan medial diaplikasikan pada daerah sendi (Gbr. 9-
24A). Pasien diminta untuk melaporkan gejala yang dialami, dan gejala tersebut dicatat
dalam kode numerik yang sama seperti yang digunakan untuk otot. Setelah gejala
diperiksa dalam posisi statik, pasien diminta untuk membuka dan menutup mulut, dan
gejala yang berhubungan dengan pergerakan ini juga direkam (Gbr. 9-24B). Pada saat
pasien membuka mulut secara maksimal, jari pemeriksa sebaiknya berotasi sedikit ke
posterior untuk memberikan tekanan pada aspek posterior kondil (Gbr. 9-24C). Capsulitis
posterior dan retrodiscitis dapat diperiksa dengan menggunakan metode ini.

Untuk memeriksa TMJ secara efektif, pemeriksa harus memiliki pemahaman


yang baik mengenai anatomi regio TMJ. Jika jari ditelakkan tepat di atas kutub lateral
kondil dan pasien diminta untuk menggertakkan gigi, maka pemeriksa akan merasakan
sedikit atau tidak ada gerakan sama sekali. Namun, jika jari diletakkan 1 cm anterior dari
kutub lateral dan pasien diminta untuk menggertakkan gigi, maka pemeriksa dapat
merasakan kontraksi pada bagian dalam otot masseter. Perbedaan kecil dalam
penempatan jari ini dapat mempengaruhi interpretasi pemeriksa mengenai penyebab
sakit. Dokter juga harus mengetahui bahwa bagian kelenjar parotid meluas pada regio
sendi dan gejala sakit parotid dapat berasal dari daerah ini. Pemeriksa harus pandai dalam
mengidentifikasi apakah gejala sakit berasal dari sendi, otot atau kelenjar. Pemeriksaan
ini akan menentukan dasar perawatan pasien.

Gbr. 9-24 Palpasi Temporomandibular Joint

A. Aspek lateral sendi dengan mulut tertutup. B, Aspek lateral sendi selama
pembukaan dan penutupan mulut. C, Pada saat mulut terbuka penuh, jari digerakkan di
belakang kondil untuk melakukan palpasi aspek posterior sendi.

9.3.6.2. Disfungsi Temporomandibular Joint

Disfungsi TMJ dapat dibedakan menjadi dua tipe: bunyi sendi dan keterbatasan
sendi.
9.3.6.2.1. Bunyi Sendi

Seperti yang diuraikan dalam Bab 8, bunyi sendi dapat berupa click atau crepitasi.
Bunyi click adalah bunyi tunggal dalam durasi sinkat. Bunyi ini relatif keras, yang
terkadang disebut pop. Krepitasi adalah bunyi yang menyerupai kerikil yang disebut
grating dan complicated. Crepitasi umumnya berhubungan dengan perubahan
osteoarthritic permukaan articular sendi.

Bunyi sendi dapat diperiksa dengan meletakkan ujung jari di atas permukaan
lateral sendi dan meminta pasien untuk membuka dan menutup mulu. Bunyi ini
terkadang dapat dirasakan oleh ujung jari. Pemeriksaan yang lebih teliti dapat dilakukan
dengan menempatkan stethoscope di atas daerah sendi. Jika stethescope digunakan,
dokter harus mengetahui bahwa alat tersebut dapat mendeteksi lebih banyak suara
dibandingkan palpasi dan suara tersebut perlu diperiksa. Tidak semua bunyi sendi perlu
dianggap sebagai gangguan yang membutuhkan perawatan (lihat Bab 13). Pada sebagian
besar kasus, tehnik palpasi sudah cukup untuk merekam bunyi sendi.

Tidak hanya karakter bunyi sendi yang direkam (yaitu clicking, crepitasi), tapi
derajat pembukaan mulut juga harus diperiksa (yaitu jarak interincisal) yang berhubungan
dengan bunyi. Yang terpenting adalah apakah bunyi sendi terjadi selama pembukaan atau
penutupan mulut atau dapat didengar (atau dirasakan) selama kedua pergerakan tersebut
(yaitu reciprocal click, lihat Bab 8).

Pemeriksaan bunyi sendi dengan meletakkan jari pada telinga pasien sebaiknya
tidak dilakukan. Telah ditunjukkan bahwa tehnik ini dapat menghasilkan bunyi sendi
yang tidak terjadi selama fungsi sendi normal. Dianggap bahwa tehnik ini menenkan
kartilago saluran telinga terhadap aspek posterior sendi dan jaringan ini menghasilkan
suara atau tekanan akan menggeser lemping, yang menghasilkan bunyi tambahan.

Ada atau tidaknya bunyi sendi memberikan pengetahuan mengenai posisi


lemping. Namun, dokter harus menyadari bahwa tidak adanya bunyi sendi tidak selalu
berarti bahwa posisi lemping normal. Pada sebuah penelitian, 15% sendi asimptomatik
tanpa bunyi sendi tampak mengalami pergeseran lemping pada arthrogram. Informasi
yang diperoleh pada saat pemeriksaan sendi perlu diperiksa dengan mempertimbangkan
seluruh hasil pemeriksaan lainnya.

9.3.6.2.2. Keterbatasan Sendi

Pergerakan dinamik mandibula diperiksa untuk adanya ketidakteraturan atau


keterbatasan pergerakan. Karakteristik dari keterbatasan intracapsular telah diuraikan
dalam hubungannya dengan pemeriksaan otot. Pergerakan mandibula yang terbatas atau
memiliki karakteristik jalur yang tidak lazim perlu dicatat.

Hasil dari pemeriksaan otot dan TMJ dicatat lembar hasil perawatan (Gbr. 9-25).
Lembar ini memiliki ruangan yang tersedia untuk mencatatan infomasi yang diperoleh
pada kunjungan berikutnya setelah terapi dilakukan, sehingga memungkinkan ahli terapi
untuk melakukan pemeriksaan mengenai efek perawatan terhadap gejala yang terjadi.

9.3.7. PEMERIKSAAN GIGI

Dalam pemeriksaan pasien untuk TMD, struktur gigi harus diperiksa dengan teliti.
Tampilan yang paling penting untuk pemeriksaan gigi adalah stabilitas orthopedic antara
ICP gigi dan posisi TMJ. Pemeriksaan struktur gigi untuk kerusakan yang dapat
menunjukkan adanya gangguan fungsional juga penting dalam perawatan pasien.

Untuk memeriksa kondisi oklusal pasien, sangat penting untuk mengetahui


kondisi normal (lihat Bab 1, 3, 4, dan 6) dan hal yang optimal secara fungsional (lihat
Bab 5). Seperti yang diuraikan dalam Bab 7, dua kondisi ini tidak sama. Sebagai contoh,
seorang pasien dapat memiliki satu gigi posterior yang berkontak jika mandibula berada
dalam relasi centric (CR). Hal ini sering terjadi jika dokter melakukan retrusi mandibula
selama pemeriksaan. Selain itu juga dapat terjadi pergeseran 2-mm dari posisi CR ke ICP
(intercuspasi maksimum). Meskipun kondisi ini sering terjadi, namun hal ini tidak
dianggap ideal secara fungsional. Pertanyaan yang tidak dapat dijawab selama
pemeriksaan oklusal adalah apakah perbedaan antara optimal dan normal adalah faktor
yang berperan dalam gangguan yang dialami. Meskipun beberapa penelitian telah
menunjukkan hubungan antara tipe dan keparahan maloklusi dan gejala TMD, penelitian
lain tidak dapat menentukan pengaruhnya terhadap fungsi sistem pengunyahan.

Jika pasien menunjukkan kondisi oklusal yang tidak optimal maupun normal,
maka sering diasumsikan bahwa hal ini merupakan faktor yang menyebabkan gangguan
tersebut. Meskipun hal ini tampak logis, namun asumsi ini tidak didukung oleh
penelitian. Sebab itu, pada saat pemeriksaan oklusal, dokter dapat mengamati hubungan
gigi dan mencatat hasil yang ditemukan relatif terhadap kondisi normal dan optimal.
Hasil ini harus disertai dengan hasil pemeriksaan lain untuk menentukan hubungannya
terhadap TMD.

Pemeriksaan gigi dimulai dengan pemeriksaan gigi dan struktur pendukungnya


untuk indikasi terjadinya kerusakan. Tanda dan gejala umum adalah mobilitas gigi,
pulpitis, dan keausan gigi.

9.3.7.1. Mobilitas

Mobilitas gigi dapat disebabkan oleh dua faktor: kehilangan pendukung tulang
(penyakit periodontal) dan tekanan oklusal besar (traumatic occluson). Jika hal ini terjadi,
kedua faktor perlu dipertimbangkan. Mobilitas gigi diperiksa dengan mengaplikasikan
tekanan bukal dan lingual secara intermittent pada tiap-tiap gigi. Hal ini dapat dilakukan
dengan menggunakan dua pegangan kaca mulut atau satu pengangan kaca mulut dan jari
(Gbr. 9-26). Umumnya, dua jari tidak akan memberikan pemeriksaan yang baik. Sebuah
pengangan kaca mulut diaplikasikan pertama kali ke arah lingual dan kemudian ke bukal.
Gigi diperiksa apakah mengalami pergerakan.

Perlu diketahui, seluruh gigi menunjukkan derajat mobilitas kecil. Hal ini sering
ditemukan pada insisivus rahang bawah. Pergerakan gigi tersebut dapat lebih dari 0.5
mm. Klasifikasi yang sering digunakan untuk mobilitas menggunakan penilaian dari 1
hingga 3. Nilai 1 diberikan jika mobilitas gigi lebih dari nilai normal. Penilaian 2
diberikan jika terjadi pergerakan lebih dari 1 mm dari posisi normal. Penilaian 2
diberikan jika mobilitas lebih dari 1 mm. Jika mobilitas terjadi, maka sangat penting
untuk memeriksa kesehatan perodontal dan perlekatan gingiva gigi. Informasi ini
menentukan penentukan apakah terjadi traumatic occlusion primer atau sekunder.
Traumatic occlusion primer terjadi jika terjadi tekanan oklusal berat yang melebihi
resistensi periodontium sehat, sehingga menyebabkan mobilitas. Traumatic occlusion
sekunder terjadi jika tekanan ringan hingga normal melebihi resistensi periodontium yang
lemah, sehingga menyebabkan mobilitas. Kondisi periodontium lemah disebabkan oleh
kehilangan tulang.

Gbr. 9-25. Lembar pemeriksaan otot dan temporomandibular joint dan hasil
perawatan

Pemeriksaan objektif direkam pada kunjungan awal dan pada kunjungan


berikutnya. Lembaran ini membantu dalam pemeriksaan efek perawatan. Skor sakit (0, 1,
2, dan 3) dicatat beserta jasrak interincical (dalam milimeter). TItik picu yang ditemukan
dalam otot ditulis TP. TMJ, Temporomandibular Joint.

Gbr. 9-26. Pemeriksaan mobilitas gigi

Tekanan oklusal yang besar terkadang menyebabkan perubahan radiografi pada


gigi dan struktur pendukungnya. Radiografi periapikal standar dapat dilakukan untuk
pemeriksaan tiga tanda yang sering berhubungan dengan tekanan oklusal besar dan/atau
mobilitas. Peleparan ruang periodontal, condensing osteitis (osteosclerosis), dan
hipersementosis. Perlu diperiksa bahwa perubahan tersebut tidak menyebabkan tekanan
oklusal traumatik. Perubahan ini harus dihubungkan dengan temuan klinis untuk
membantu menetapkan diagnosis yang tepat.

9.3.7.1.1. Pelebaran Ruang Periodontal

Peningkatan mobilitas secara langsung berhubungan dengan resorbsi aspek lateral


tulang pendukung gigi. Resorbsi ini menyebabkan daerah yang lebih luas untuk
ligamentum periodontal, tampak pada radiografi berupa pelebaran ruang periodontal.
Pelebaran ini secara normal lebih besar dibandingkan daerah tulang crestal dan mengecil
pada apikal, dan efek ini disebut funneling tlang (Gbr. 9-27).

9.3.7.1.2. Osteosclerosis
Secara umum, jika jaringan diberikan tekanan yang kuat, maka akan terjadi satu
atau dua proses. Proses tersebut berupa kerusakan, dan menjadi atrophic, atau
memberikan respon terhadap iritasi dengan menjadi hipertropik. Proses yang sama terjadi
pada struktur tulang pendukung gigi. Tulang dapat hilang, menyebabkan pelebaran ruang
periodontal. Pada kasus lain, hal ini dapat memberikan respon dengan aktivitas
hipertrophic dan menyebabkan osteosclerosis. Osteosclerosis adalah peningkatan densitas
tulang dan tampak berupa daerah tulang yang lebih radiopaque. (Gbr. 9-28).

Gbr. 9-27. Pelebaran Ruang Periodontal

Aspek mesial insisivus sentral rahang bawah menunjukkan pola “funnelling”.

9.3.7.1.3. Hipersementosis

Aktivitas hipertropik juga dapat terjadi pada tingkat sementum, dengan proliferasi
sementum. Hal ini dapat tampak secara radiografis sebagai pelebaran daerah apikal akar
(Gb. 9-29).

9.3.7.2. Pulpitis

Keluhan yang paling sering ditemukan pada pasien yang datang di klinik gigi
adalah sensitivitas gigi atau pulpitis. Sejumlah faktor kausatif mayor dapat menyebabkan
terjadinya gejala ini. Yang paling sering ditemukan adakan berkembangnya karies gigi ke
arah jaringan pulpa. Sebab itu, sangat penting untuk membedakan faktor ini dengan
pemeriksaan gigi dan radiografi yang tepat. Namun, terkadang pasien datang dengan
pulpitis yang tidak menunjukkan etiologi dental atau periodontal yang jelas. Pasien
mengeluhan sensitivitas terhadap perubahan suhu, khususnya dingin. Jika seluruh faktor
kausatif lain telah dikeluarkan, maka dokter harus mempertimbangkan tekanan oklusal
yang besar. Mekanisme dimana tekanan oklusan besar menyebabkan pulpitis masih
belum jelas. Telah ditunjukkan bahwa tekanan besar yang diaplikasikan pada gigi dapat
meningkatkan tekanan darah dan kongesti pasif dalam pulpa, sehingga menyebabkan
pulpitis. Pulpitis kronis dapat menyebabkan nekrosis pulpa. Meskipun beberapa
penelitian lain tidak mendukung konsep ini, namun penelitian klinis menunjukkan
hubungan antara pulpitis dan tekanan oklusal besar.

Gbr. 9-28. Osteosclerosis

TUlang di sekitar setengah apikal akar insisivus lateral bawah mengalami


penurunan densitas. Hal ini disebut osteosclerosis.

Gbr. 9-29. Hipersementosis

Peningkatan jumlah cementum pada akar premolar kedua rahang bawah.

Diagnosis membingungkan lain yang menyerupai gejala pulpa adalah fraktur


kecil atau retakan pada gigi. Tipe fraktur ini sangat jarang terlihat secara radiografi dan
sebab itu sering terabaikan. Meskipun sensitivitas merupakan keluhan umum, tanda lain
dapat membantu dalam melokalisasi masalah. Pasien diminta untuk menggigit separator
kayu kecil yang menyentuh seluruh cusp sehingga akan menimbulkan efek shearing pada
daerah fraktur dan menimbulkan sakit tajam. Uji diagnostik ini membantu untuk
membedakan fraktur akar.

Pemeriksa harus mengetahui bahwa sakit gigi dapat terjadi meskipun tidak berasal
dari gigi itu sendiri. Jika pasien melaporkan sakit gigi dan pemeriksa tidak dapat
menemukan penyebab lokal, daerah penyebab yang jauh perlu dipertimbangkan. Sakit
gigi yang tidak berasal dari gigi dapat berasal dari otot, vaskular, neural atau sinus.
Sebagian besar sumber non-dental berasal dari otot. Titik picu yang terjadi pada otot
tertentu dapat menimbulkan efek eksitasi yang menimbulkan sakit pada gigi. TIga otot
yang dapat menyebabkan referred pain pada gigi: temporalis, masseter, dan bagian
anterior digastric. Seperti yang ditampilkan pada Gbr. 9-30 A, B, dan C, masing-masing
otot memiliki pola referred pain spesifik. Temporalis biasanya menyebabkan sakit pada
gigi rahang atas tapi juga pada gigi anterior dan posterior, bergantung pada lokasi titik
picu. Masseter hanya menimbulkan referred pain pada gigi posterior tapi juga pada
gigi rahang atas atau bawah, bergantung pada lokasi titik picu. Digastric anterior
menimbulkan referred pain pada gigi anterior bawah saja.
Gbr. 9-30. Refered pain titik picu myofascial pada gigi

A. Temporalis hanya menimbulkan referred pain pada gigi rahang atas. B,


Masseter hanya menimbulkan referred pain pada gigi posterior. C, Digastricus anterior
menimbulkan referred pain hanya pada insisivus bawah (Dari Travell JG, Simons DG;
Myofascial pain and dysfunction. Panduan titik picu, Baltimore, 1983, Williams &
Wilkins, pp 220, 237 dan 274).

Kunci untuk mengidentifikasi referred pain pada gigi adalah provokasi lokal gigi
sakit tidak meningkatkan gejala yang terjadi. Dengan kata lain, panas, dingin, dan/atau
gigitan pada gigi tidak meningkatkan atau merubah sakit. Namun, provokasi lokal titik
picu aktif akan meningkatan gejala sakit gigi. jika pemeriksa mencurigai referred pain
pada gigi, block anastesi gigi dan/atau otot dapat membantu dalam menegaskan diagnosis
(seperti yang dibahasa pada Bab 10). Infiltrasi anastesi lokal di sekitar gigi yang sakit
tidak akan menurunkan rasa sakit, tapi block anastesi titik picu dengan anastesi akan
menganastesi titik picu dan menghilangkan sakit gigi.

9.3.7.3. Keausan gigi

Keausan gigi bukan merupakan tanda kerusakan gigi. Hal ini lebih sering
ditemukan pada kasus gangguan fungsional lain pada sistem pengunyahan. Sebagian
besar keausan gigi disebabkan langsung oleh aktivitas parafunsional. Jika ditemukan,
aktivitas fungsional atau parafungsional harus diperiksa. Hal ini dilakukan dengan cara
memeriksa permukaan gigi yang aus (Gbr. 9-31).

Keausan fungsional biasaya terjadi di dekat daerah fossa dan ujung cusp centic.
Permukaan aus ini terjadi pada dataran yang memandu rahang bawah dalam tahap
pengunyahan akhir. Keausan yang ditemukan pada saat pergerakan eccentric sebagian
besar disebabkan oleh aktivitas parafungsional. Untuk mengidentifikasi tipe keausan ini,
maka pasien diminta untuk menutup permukaan aus dan memeriksa posisi rahang bawah
(Gbr. 9-32). Jika posisi rahang bawah dekat dengan ICP, maka keausan itu cenderung
berupa keausan fungsional. Namun, jika posisi eccentric dapat dilakukan oleh pasien,
penyebab keausan lebih cenderung berupa aktivitas parafungsional.
Jika keausan gigi terjadi tapi gigi tetangga yang aus tidak dapat berkontak,
maka perlu dipertimbangkan faktor etiologi lain. Pasien sebaiknya ditanyakan mengenai
kebiasaan oral seperti mengigit pipa atau peniti (Gbr. 9-33A). Dokter juga harus
mengetahui bahwa beberapa gigi tampak aus, namun sebenarnya gigi tersebut mengalami
abrasi kimia. Dengan menyimpan buah asam citric kuat (yaitu lemon) di dalam mulut
atau regurfitasi asam kronis (asam lambung) dapat menyebabkan abrasi kimia (Gbr. 9-33,
B dan C).

Gbr. 9-31. Pola aus khas

A. Kaninus yang telah rata dibandingkan dengan bentuk aslinya. B, Permukaan


aus pada sejumlah mahkota.

Gbr. 9.32. Jika pasien menutup permukaan aus, maka diperoleh posisi laterotrusif rahang
bawah. Hal ini menunjukkan aktivitas parafungsional

Pasien perlu ditanyakan mengenai adanya aktivitas parafungsional (bruxism).


Pasien yang memiliki kebiasaan bruxism diurnal dapat mengetahui hal tersebut, tapi
bruxism nocturnal terkadang tidak mengetahui kondisi yang dideritanya. Penelitian
menunjukkan korelasi buruk antara kesadaran bruxism dan keparahan keausan gigi.
Sebab itu pemeriksaan menjadi bagian yang penting dalam diagnosis. Namun, adanya
keausan gigi tidak berarti bahwa pasien menderita bruxism. Keausan gigi dapat terjadi
beberapa tahun lalu. Sebab itu riwayat gejala dan hasil pemeriksaan perlu digabungkan
untuk memeriksa tingkat bruxism pasien. Seperti yang diketahui, bruxism bukan
merupakan diagnosa yang mudah ditegakkan.

9.3.7.4. Abfraksi

Abfraksi adalah lesi servikal nonkaries atau defek yang berbentuk baji pada gigi
(Gbr. 9-34). Sebagian besar abfrakti tampak pada daerah servikal facial atau buka
premolar pertama yang diikuti oleh premolar kedua. Gigi rahang atas dan bawah tampak
mengalami abfraksi dengan tingkat yang sebanding, dengan pengecualian pada kaninus
bawah. Prevalensi berkembangannya abfraksi secara umum meningkat seiring
peningkatan usia. Etiologi abfraksi masih diperdebatkan. Beberapa peneliti mengatakan
bahwa abfraksi disebabkan oleh cekungan akar pada regio servikal dimana pada saat gigi
mendapatkan tekanan oklusal yang besar. Jika hal ini benar, maka aktivitas bruxism akan
cenderung menyebabkan abfraksi. Namun, peneliti lain tidak menemukan korelasi kuat
antara beban oklusal dan abfraksi. Beberapa peneliti menyakini bahwa abfraksi
disebabkan oleh penyikatan gigi yang terlalu kuat. Karena penyebab abfraksi masih
belum jelas, penanganan kasus ini masih belum dapat ditegakkan. Namun, jika pasien
menunjukkan permukaan aus yang luas pada gigi yang juga mengalami abfraksi, maka
dapat dicurigai terjadi hubungan antara kedua kasus tersebut. Dalam kondisi ini, dapat
dipertimbangkan untuk melindungi gigi dengan mengurangi tekanan pada gigi tersebut
(terapi alat oklusal).

Gbr. 9-33.

Pada kasus tertentu, gigi tetangga yang aus tidak dapat berkontak. Jika hal ini
terjadi, maka dapat dicurigai adanya sumber keausan lain. A, Cekungan pada tepi insisal
insisivus sentralis kanan dibentuk oleh kebiasaan membuka tutup botol dengan gigi ini. B
dan C, Abrasi kimia. Pasien ini sering mengisap lemon dan asam citric telah mengabrasi
email secara kimia.

Gbr. 9-34. Defek atau abfraksi pada regio servikal kaninus rahang atas dan premolar
pertama yang dianggap oleh beberapa peeliti disebabkan oleh beban oklusal yang besar.

9.3.7.5. Pemeriksaan Oklusal

Pola kontak oklusal gigi diperiksa pada seluruh posisi dan pergerakan mandibula:
posisi CR, ICP, pergerakan protrusig, dan pergerakan laterotrusif kanan dan kiri. Dalam
pemeriksaan kondisi oklusal, perlu diketahui kriteria untuk oklusi fungsional optimal
(lihat Bab 5). Variasi dari oklusi fungsional optimal tersebut dapat (tapi tidak selalu)
berperan sebagai faktor penyebab gangguan fungsional.

Sejumlah tehnik dapat digunakan untuk menentukan kontak oklusal pada gigi.
Terkadang, tampak sangat membantu untuk menanyakan pasien mengenai adanya dan
lokasi kontak gigi. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan untuk menegaskan jawaban pasien
dengan memberikan tanda kontak dengan articulating paper atau ribbon. Jika articulating
paper digunakan, maka sebaiknya gigi dikeringan dengan baik sebelum pemberian tanda
sehingga articulating paper akan memberikan tanda yang baik. Shim stock (Mylar strip
dengan ketebalan 0.0005-inchi) juga membantu dalam mengidentifikasi adanya kontak
oklusal. Tehnik ini dijelaskan dalam bagian Kontak Mediotrusif.

Pada saat pemeriksaan oklusal, perlu diingat bahwa sistem pengunyahan terdiri
dari jaringan yang mampu melengkung, tertekan, dan mengalami perubahan posisi jika
diberikan tekanan. Pemeriksaan model diagnostik pada articulator rigid menyebabkan
dokter gigi meyakini bahwa sistem pengunyahan bersifat rigid.

Namun, hal tersebut bukan merupakan asumsi yang tepat. Kontak oklusal
menyebabkan gigi sedikit bergerak karena ligamentum periodontal dan tulang tertekan.
Sebab itu, untuk memeriksa kondisi oklusal dengan akurat, pemeriksa harus meminta
pasien menutup mulut dengan teliti hingga mencapai titik kontak gigi dan kemudian
melakukan pemeriksaan. Semakin besar tekanan yang diberikan, kontak gigi awal dapat
bergeser. Hal ini akan memungkinkan kontak gigi multipel, yang akan menyamarkan
kontak awal dan tidak memungkinkan untuk menentukan lokasi titik oklusi awal,
khususnya pada CR.

9.3.7.5.1. Kontak Relasi Centric

Pemeriksaan oklusal dimulai dengan pemeriksaan kontak oklusal dimana kondil


berada dalam relasi fungsional optimal. Hal ini dicapai pada saat kondil berada dalam
posisi muskuloskeletal (MS) stabil, terletak pada bagian paling superoanterior dalam
fossa mandibula dan tertahan pada slope posterior articular eminence, dengan lemping
berada dalam interposisi (CR) yang tepat. Rahang bawah dapat dirotasi, dibuka dan
ditutup kurang lebih 20 mm secara interinsisal sementara kondil tetap berada dalam
posisi MS. Posisi MS diketahui dan rahang bawah ditutup untuk mengidentifikasi relasi
oklusal gigi pada posisi sendi ini (CR).

9.3.7.5.1.1. Penentuan posisi relasi centric


Penentuan posisi CR terkadang sulit dilakukan. Untuk memandu rahang bawah ke
dalam posisi ini, pemeriksa harus memahami bahwa sistem kontrol neuromuskal
mengendalikan seluruh pergerakan. Konsep fungsional yang dipertimbangkan adalah
sistem neuromuscular juga bersifat protektif jika gigi dianggap terancam oleh kontak
yang merusak. Karena pada beberapa kasus, penutupan mandibula dalam CR
menyebabkan kontak gigi tunggal pada inklinasi cuspal, sisten kontrol neuromuscular
menganggap kontak ini berpotensi untuk merusak gigi tersebut. Sebab itu, diperlukan
ketelitian dalam penentulan posisi mandibula untuk memastikan tidak terjadiya sisten
neuromuscular yang bersifat merusak.

Untuk mencoba penentuan CR, pasien harus merasa santai. Hal ini dapat dibantu
dengan memposisikan pasien untuk berbaris dengan santai di kursi unit. Pilihan kata
orang lain juga dapat membantu. Pemintaan “bersantai” dalam bahasa lazim tidak bersifat
mendukung. Pasien menjalani pendekatan secara perlahan, lemah-lembuh,
menenteramkan hati pasien dan mudah dipahami. Pujian diberikan jika pemeriksaan
berhasil dilakukan.

Dawson telah menjelaskan tehnik efektif untuk panduan mandibula ke dalam CR.
Tehnik tersebut dimulai dengan meminta pasien untuk berbaring dengan dagu mengarah
ke depan (Gbr. 9035). Pengangkatan dagu ke depat menyebabkan kepala dalam posisi
yang paling mudah untuk pemeriksaan posisi CR.

Dokter gigi duduk di belakang pasien, dan empat jari pada masing-masing tangan
diletakkan di tepi bawah mandibula dengan jari kelingking berada di belakang angulus
mandibula. Hal ini sangat penting karena jari dapat ditempaktkan di atas tulang dan
bukan pada jaringan lunak leher (Gbr. 9-35 B dan C). Kemudian, kedua ibu jari
diletakkan di atas symphysis dagu sehingga kedua ibu jari bersentuhan di antara dagu dan
bibir bawah (Gbr. 9-35 D dan E). Pada saat tangan berada dalam posisi ini, mandibula
dipandu oleh tekanan ke depan yang diberikan pada tepi mandibula dan angulus
mandibula dengan jari, pada saat bersamaan, ibu jari menekan ke bawah dan ke belakan
pada dagu. Seluruh tekanan pada mandibula diarahkan sehingga kondil akan duduk di
dalam posisi paling superioanterior tertahan pada slope posterior eminences (Gbr. 9-36).
Tekanan kuat tapi pelan diberikan untuk memandu mandibula sehingga tidak
menimbulkan refleks protektif.

Penentuan lokasi CR dimulai dengan gigi anterior dengan jarak tidak lebih dari 10
mm untuk memasitkan bahwa ligamentum temporomandibular tidak mengalami translasi
kondil yang berlebihan (lihat Bab 1). Mandibula diposisikan dengan arcing lemah hingga
dapat berotasi dengan bebas dalam posisi MS (CR). Arcing ini terdiri dari pergerakan
pendek sebesar 2 hingga 4 mm. Setelah mandibula dapat berotasi dalam posisi CR,
tekanan kuat diberikan oleh jari untuk mendudukan kondil pada posisi paling
superoanterior.

Dalam posisi superoanterior ini, kompleks kondil-lemping berada dalam relasi


yang tepat untuk menahan tekana. Jika relasi tersebut tercapai, pemanduan mandibula ke
posisi CR tidak akan menimbulkan rasa sakit. Jika rasa sakit terjadi, maka cenderung
trjadi kelainan intracapsular. Gejala TMJ pada saat manipulasi manual bilateral
cenderung disebabkan oleh tekanan pada jaringan retrodiscal oleh karena pergeseran
lemping fungsional atau dislokasi lemping. Kelainan inflamasi TMJ juga dapat
menimbulkan rasa sakit jika, pada saat memandu mandibula, tekanan diaplikasikan pada
struktur yang mengalami inflamasi. Jika kondisi ini terjadi, posisi CR akurat yang
reproduksibel cenderung tidak dapat dicapai. Karena gejala ini membantu dalam
penegakan diagnosa yang tepat, maka gejala tersebut sangat penting dan sebab itu perlu
dicatat.

Gbr. 9-35

A, Pemanduan mandibula yang berhasil dilakukan hingga mencapai relasi centric


dimulai dengan meminta pasien untuk berbaring dan mengarahkan dagu ke depan. B dan
C, Empat jari dari masing-masing tangan diletakkan sepanjang tepi bawah mandibula
dengan jari kelingkin berada di belakang angulus mandibula. Jari tersebut sebaiknya
ditempatkan pada tulang dan bukan pada jaringan lunak leher. D dan E, ibu jari bertemu
di atas symphysis dagu.
Metode lain untuk mendapatkan posisi MS (CR) adalah dengan menggunakan
otot itu sendiri untuk mendudukkan kondil. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan
leafe gauge (Gbr. 9-37 A dan B). Konsep penggunaan leaf gauge adalah jika gigi anterior
beroklusi (membuka gigi posterior, tekanan direksional yang diberikan oleh otot elevator
(temporalis, masseter, pterygoid medial) dapat mendudukan kondil dalam posisi
superoanterior di dalam fossa. Stop anterior yang dihasilkan oleh leaf gauge berperan
sebagai fulcrum, sehingga memungkinkan kondil berputar pada posisi MS di dalam
fossa. Leaf gauge harus digunakan dengan teliti sehingga kondil tidak terdorong keluar
dari posisi CR. Jika leaf gauge terlalu kaku, maka dapat memberikan slope posterior,
yang mendorong mandibula ke posterior jika otot elevator berkontraksi. Kesalahan lain
yang dapat terjadi jika pasien mencoba untuk mengigit leaf gauge dalam posisi sedikit ke
depat seperti menggigit sandwich. Hal ini akan menyebabkan protrusi mandibula dari
posisi CR.

Gb. 9-36.

Jika tekanan ke bawah diaplikasikan pada dagu (ibu jari) (panah) dan tekanan ke
atas diaplikasikan pada angulus mandibula (jari), kondil akan didudukkan dalam posisi
superoanterior dalam fossa.

Gbr. 9-37

A, Leaf gauge. B, Leaf gauge digunakan untuk menentukan posisi


muskuloskeletal (MS) stabil. Pasien diminta untuk menutup mulut, dan leaf gauge
secukupnya diletakkan di antara gigi anterior untuk sedikit memisahkan gigi posterior.
Jika pasien mencoba untuk mengigitkan gigi posterior, kondil akan bergerak ke posisi
relasi sentrik (CR). Diperlukan ketelitian sehingga pasien tidak berprotrusi pada saat
menutup mulut atau leaf gauge tidak memberikan tekanan retrusi pada kondil. Setelah
posisi telah ditentukan, seluruh leaf gauge dilepaskan sehingga kontal awal pada CR
dapat diidentifikasi. C, Jig anterior dapat digunakan untuk membantu menentukan posisi
MS. D, Tampilan lateral jig dan gigi posterior yag mengalami disoklusi.
Untuk penggunaan leaf gauge efektif, pasien harus menutup gigi posterior dengan
tekanan ringan. Leaf gauge secukupnya diletakkan di antara gigi anterior untuk sedikit
memisahkan gigi posterior. Pasien diintruksikan untuk menutup mulut dengan mencoba
untuk menggunakan otot temporal saja, sehingga menghindari kontraksi masseter yang
berat. Pada saat pertama kali, pemeriksaan ini sangat sulit untuk dilakukan tapi dengan
meminta pasien untuk meletakkan dua jari di atas otot tersebut, pemeriksa dapat
menunjukkan bagaimana jika otot tersebut berkontraksi. Pasien akan belajar dengan lebih
cepat untuk mengkontraksikan otot temporal secara lebih domina, yang akan
meminimalkan tekanan protrusif. Setelah gerakan ini dapat dikuasai, leaf gauge
dilepaskan satu per-satu hingga terjadi kontak gigi. Kontak gigi pertama adalah kontak
CR pertama.

Metode lain untuk mendapatkan posisi MS adalah dengan menggunakan jig


anterior (lihat Bab 9-37, C dan D). Jig anterior adalah potongan akrilik kecil yang
disesuaikan dengan gigi anterior atas, memberikan stop oklusal untuk insisivus bawah.
Stop perlu dibentuk sehingga berbentuk rata dan tegak lurus terhadap panjang aksis
insisivus bawah sehingga tidak membelokkan posisi mandibula jika tekanan diberikan.
Jika pasien diminta untuk menggigit pada gigi posterior, kontak gigi anterior pada jig
akan menghentikan rahang bawah dari penutukan sempurna dan kondil akan diposisikan
dalam posisi MS oleh otot elevator. Tehnik ini dapat disertai dengan tehnik manipulasi
mandibula bilateral yang telah dibahas sebelumnya. Kombinasi tehnik manipulasi manual
bilateral dan jig anterior sangat membantu dalam menghasilkan rekam oklusal untuk
pemasangan model pasien dalam artikulator pada daerah articular (lihat Bab 18).

9.3.7.5.1.2. Identifikasi kontak relasi sentris awal

Setelah posisi MS diketahui, mandibula ditutup sehingga oklusi dapat diperiksa.


Perlu diingat bahwa kontal awal dalam CR dapat dianggap sebagai gerakan merusak oleh
sistem kontrol neuromuskular, sehingga dapat mengaktifkan refleks protektif untuk
mendapatkan posisi yang lebih stabik (yaitu intercuspasi maksimum). Sebab itu
mandibula diangkat perlahan hingga terjadi kontak gigi ringan pertama. Pasien diminta
untuk menunjukkan lokasi kintak ini. Gigi pada sisi tersebut dikeringkan. Articulating
paper diposisikan antara gigi dan mandibula dipandu lagi dan ditutup hingga kontak
terbentuk kembali.

Gbr. 9-38

Untuk membantu menentukan lokasi kontak awal dalam relasi sentrik, pemeriksa
menempatkan articulating paper (dipegang dengan forcep [tang]) di antara gigi pada saat
menutup gigi.

Setelah kontak diketahui, tekanan ringan dapat diaplikasikan oleh pasien untuk
membantu untuk menandai kontak dengan articulating paper. Forcep (tang) digunakan
untuk menahan kertas atau pita penanda (Gbr. 9-38). Jika pasien diminta untuk menutup
mulut, kondil harus dipertahankan dalam posisi paling superioanterior dan pasien dapat
dibantu dengan menuntun gigi hingga berkontak.

Jika kontak awal terjadi, prosedur diulangi untuk membuktikan atau menegaskan
kontak tersebut. Hasil yang diperoleh harus bersifat reproduksibel. Jika kontak terjadi
pada gigi lain, maka CR yang diperoleh tidak akurat dan sebaiknya prosedur diulangi
hingga diperoleh kontak yang reproduksibel. Setelah kontak awal telah akurat, rekam gigi
yang mengalami kontak serta lokasi kontak dicatat. Kontak ini disebut kontak CR awal.

Setelah kontak CR awal dicatat, kondil direposisikan kembali dalam posisi CR


dan rahang bawah ditutup dengan kontak tersebut. Pasien menahan agar rahang bawah
tetap berkontak, dan relasi gigi rahang atas dan bawah diperiksa. Kemudian pasien
diminta untuk memberikan tekanan pada gigi, dan pergeseran rahang bawah diperiksa.
Jika oklusi tidak stabil dalam posisi CR, pergeseran mandibula akan terjadi yang
menyebabkan kondil menjauhi posisi MS untuk bergerak ke dalam posisi ICP stabil
maksimum. Pergeseran ini disebut pergeseran sentris dan menunjukkan stabilitas ortopedi
yang kurang. Literatur mengatakan bahwa jika posisi retrusi mandibula digunakan,
pergeseran akan terjadi pada 8 dari 10 pasien, dengan jarak rata-rata 1 hingga 1.5 mm.
Seperti yang dibahas pada Bab 5, posisi mandibula paling retrusi sudah tidak digunakan
lagi, namun menggunakan konsep posisi MS sebagai CR. Saat ini, kami tidak memiliki
penelitian populasi umum yang memeriksa jumlah pergeseran dari posisi MS ke ICP.
Pendapat saya adalah pergeseran ini akan lebih kecil dibandingkan dari posisi retrusi
karena metode ini yang digunakan untuk menetapkan stabilitas orthopedi dalam sistem
pengunyahan. Namun, jika pergeseran sentrik diperiksa, maka terjadi ketidakstabilan
orthopedic.

Pemeriksaan komponen pergeseran horizontal dan vertikal sangat penting.


Beberapa pergeseran terjadi dalam arah aterosuperior lurus ke posisi ICP. Pergeseran lain
memiliki komponen lateral. Beberapa laporan menunjukkan bahwa pergeseran yang
membelokkan rahang bawah ke kanan atau kiri lebih sering berhubungan dengan
disfungsi dibandingkan pergeseran yang menyebab pergerakan anterovertikal lurus.
Kecuraman vertikal ini dapat menjadi tampilan yang signifikan dalam menentukan
perawatan jika terapi diindikasikan. Jika pasien diminta untuk memberikan tekanan pada
gigi dan tidak terjadi pergeseran, ICP dapat dianggap sama dengan CR.

9.3.7.5.2. Posisi Intercuspal

Sejumlah karakterisik ICP sebaiknya diperiksa dengan teliti: maloklusi akut,


stabilitas oklusal, integritas lengkung, dan dimensi vertikal.

9.3.7.5.2.1. Maloklusi Akut

Maloklusi akut adalah perubahan ICP cepat yang secara langsung berhubungan
dengan kelainan fungsional. Pasien mengetahui perubahan ini dan melaporkannya
berdasarkan keinginan sendiri. Maloklusi akut dapat dipicu oleh kelainan otot dan
kelainan intracapsular.

Spasme otot dapat merubah posisi postural mandibula. Jika hal ini terjadi dan gigi
berkontak, kondisi oklusal yang mengalam perubahan dapat dirasakan oleh pasien.
Spasme otot pterygoid lateral inferior dapat menyebabkan kondil pada sisi terssebut
tertarik ke anterior dan medial, menyebabkan disoklusi gigi posterior pada sisi ipsilateral
dan kontak gigi anterior berat pada sisi kontralateral (Gbr. 9-39). Spasme sempurna otot
elevator menyebabkan pasien tidak dapat membuka mulut, namun, spamse parsial otot
elevator hanya memberikan efek ringan. Spasme parsial otot elevator hanya
menyebabkan sedikit perubahan yang dapat tidak terlihat secara klinis. Meskipun tidak
tampak secara klinis, pasien sering mengeluhkan bahwa “giginya tidak sesuai”.

Kelainan intracapsular yang menyebabkan perubahan dalam relasi permukaan


articular sendi dengan cepat dapat menyebabkan maloklusi. Perubahan tersebut dapat
berupa pergeseran fungsional dan dislokasi fungsional lemping, retrodiscitis, dan
perubahan tulang akut. Jika perubahan ini menyebabkan kondisi yang memungkinkan
struktur tulang bersatu, sama seperti lemping yang mengalami dislokasi fungsional atau
kehilangan tulang yang disebabkan osteoarthritis, gigi posterior ipsilateral akan berkontak
kuat (Gbr. 9-40). Jika perubahan tersebut menyebabkan kondisi yang memisahkan
struktur tulang, seperti retrodiscitis atau injeksi cairan pada sendi (yaitu arthrography),
gigi posterior kontralateral akan berkontak kuat.

Dokter perlu mengetahui bahwa tehnik manipulasi fungsional juga membantu


dalam mengidentifikasi penyebab maloklusi akut.

9.3.7.5.2.2. Stabilitas intercuspal maksimum versus stabilitas sendi

Tidak terdapat perbedaan antara posisi MS sendi dan ICP gigi stabil. Telah
disebutkan bahwa perbedaan kecil (1 hingga 2 mm) umumnya terjadi antara CR dan ICP.
Meskipun hal ini tidak menganggu stabilitas mandibula, namun perbedaan yang lebih
besar dapat menimbulkan gangguan stabilitas mandibula.

Gbr. 9-39. Maloklusi posterior akut

Perubahan ini disebabkan oleh spamse unilateral otot pterygoid lateral inferior.
Pasien menjelaskan kehilangan kontak gigi pada gigi posterior ipsilateral dan kontak
berat pada kaninus kontralateral.

Stabilitas oklusal diperiksa dengan memposisikan pasien dalam posisi tegak dan
santai. Pasien menutup mulut secara perlahan hingga kontak gigi pertama. Posisi ini
dipertahankan semetara dokter memeriksa relasi oklusal. Kemudian pasien diminta untuk
menggertakkan gigi. Jika terjadi pergeseran signifikan dalam posisi mandibular dari
kontak gigi ringan ke posisi menggetakkan gigi, maka perlu dicurigai terjadi kekurangan
stabilitas antara sendi dan posisi gigi. Karena pergeseran bergantung pada berbagai
tampilan yang dikendalikan pasien, seperti posisi kepala, dan sikat badan, maka
pemeriksaan sebaiknya diulangi beberapa kali untuk verifikasi hasil. Kurangnya stabilitas
antara posisi intercuspasi dan sendi dapat menjadi faktor yang berperan penting dalam
kelainan susunan lemping. Jika pemeriksaan ini menunjukkan ketidakstabilan orthopedic,
maka hal tersebut harus dibuktikan dengan tehnik pemeriksaan lain yang telah dibahas
sebelumnya. Meskipun tehnik ini dapat membantu, namun sebaiknya dokter tidak terlalu
bergantung pada tehnik ini dalam mendiagnosa ketidakstabilan orthopedic.

Gbr. 9-40. Oklusi acutemal

A, Kehilangan pendukung articular tulang pada kondil kiri yang disebabkan oleh
osteoarthritis. Hal tersebut menyebabkan terjadinya maloklusi. Pasien mengeluhkan
bahwa pasien hanya dapat merasakan kontak satu gigi posterior kiri. Dengan terjadinya
kehilangan dukungan kondilar, rahang bawah telah bergeser dan terjadi kontak berat pada
sisi tersebut. Daerah tersebut berperan sebagai titik tumpu, memutar mandibula dan
memisahkan gigi posterior pada sisi berlawanan. B, Tampilan sisi kanan. Tidak tampak
kontak gigi posterior.

9.3.7.5.2.3. Integritas lengkung

Kualitas ICP perlu diperiksa selanjutnya. Kehilangan integritas lengkung (melalui


kehilangan gigi atau kehilangan struktur gigi oleh karies) perlu diperiksa (Gbr. 9-41).
Drifting, tipping, atau supererupsi gigi juga dicatat.

Gbr. 9-41. Intergitas dan stabilitas rahang yang buruk

Kehilangan gigi dan drifting gigi tetangga.

9.3.7.5.2.4. Dimensi vertikal oklusi

Dimensi vertikal oklusi merupakan jarak antara lengkung rahang atas dan bawah
pada saat gigi beroklusi. Jarak tersebut dapat dipengaruhi oleh kehilangan gigi, karies,
drifting, dan keausan oklusal. Kondisi umum yang menyebabkan kehilangan dimensi
vertikal terbentuk jika terjadi kehilangan gigi posterior dalam jumlah yang signifikan dan
gigi anterior berperan sebagai stop fungsional untuk penutupan rahang bawah. Gigi
anterior atas tidak dirancang untuk menerima tekanan oklusal berat, dan terkadang gigi
tersebut akan miring ke labial. Ruang terbentuk antara gigi anterior jika dimensi vertikal
menurun (Gbr. 9-42). Hal ini disebut posterior bite collapse dan dapat berhubungan
dengan kelainan fungsionjal. Terkadang, dimensi vertikal mengalami peningkatan
iatrogenic oleh karena restorasi yang terlalu tinggi. Perubahan dalam dimensi vertikal
oklusi, apakah terjadi peningkatan atau penurunan selama pemeriksaan.

Gbr. 9-42. Kehilangan dimensi vertikal kronis

(yaitu posterior bite collapse). A, Gigi anterior akan miring ke labial. Hal ini
menyebabkan peningkatan ruang interdental. B, Kemiringan labial gigi anterior atas dan
menyebabkan peningkatan ruang interdental.

9.3.7.5.3. Kontak Oklusal Eccentric

Pergerakan tipe eccentric superior rahang bawah diarahkan oleh permukaan


oklusal gigi. Untuk sebagian besar pasien, gigi anterior mempengaruhi atau memandu
rahang bawah pada saat pergerakan eccentric. Karakteristik panduan perlu diperiksa
dengan baik.

Gbr. 9-43. Panduan anterior yang tidak efektif

A, Kondisi oklusal yang relatif normal. Namun, posisi dan relais oklusal kaninus
atas kanan perlu diperiksa. B, Selama pergerakan laterotrusive kanan, kaninus tidak dapat
memberikan panduan anterior, sehingga menyebabkan kontak mediotrusif pada sisi
kontralateral

Jika gigi anterior beroklusi pada saat pergerakan mandibula eccentric, gigi
anterior terkadang memberikan panduan langsung untuk gigi lainnya. Pada sebagian
besar kasus, gigi tidak berkontak dalam intercsupasi maksimum (open bite anterior).
Sebab itu panduan eccentric diberikan oleh gigi posterior. Jika gigi tersebut berkontak
pada ICP. Ovelap horizontal dan vertikal gigi menentukan efektivitas panduan.
Panduan harus diperiksa untuk efisiensinya dalam disoklusi gigi posterior pada
saat pergerakan eccentric (Gbr. 9-41). Pada beberapa kasus, overlap vertikal tampak
adekuat, tapi terjadi overlap horizontal signifikan yang menahan gigi anterior untuk
berkontak dalam intercuspasi maksimum. Kemudian, rahang bawah harus bergerak
sebelum gigi anterior beroklusi dan panduan dapat dicapai. Panduan pada pasien tersebut
tidak langsung dapat diperoleh dan sebab itu, tidak dianggap efektif (lihat Bab 5).
Efektiitas panduan eccentric dicatat.

9.3.7.5.3.1. Kontak protrusif

Pasien diminta untuk menggerakkan rahang bawah dari posisi ICP menjadi posisi
protrusif. Kontak oklusal diperiksa hingga gigi anterior bawah melewati tepi insisival gigi
anterior atas sepenuhnya atau jarak 8 hingga 10 mm (Gbr. 9-44). Articulating paper dua
warna dapat membantu dalam mengidentifikasi kontak tersebut. Kertas biru dapat
diletakkan di antara gigi dan pasien diminta untuk menutup mulut dan melakukan
gerakan protrusif beberapa kali. Kemudian, kertas mera diletakkan dan pasien sekali lagi
diminta untuk menutup mulut dan menggerakkan gigi dalam posisi ICP. Tanda merah
akan menunjukkan kontak oklusal centric, dan tanda biru yang tidak tertutupi oleh tanda
merah akan menunjukkan kontak protrusif. Seluruh posisi kontak protrusif direkam.

9.3.7.5.3.2. Kontak laterotrusif

Pasien diminta untuk menggerakkan rahang bawah ke lateral hingga kaninus


bergerak melewati relasi end-to-en atau 8 hingga 10 mm. Kontak laterotrusif bukal-ke-
bukal dapat dengan mudah terlihat, dan tipe panduan laterotrusif dicatat (yaitu panduan
kaninus, fungsi kelompok, gigi posterior saja) (Gbr. 9-45). Kontak laterotrusif pada cusp
lingual juga diperiksa. Hal ini tidak dapat terlihat secara klinis dan sebab itu harus
diperiksa dengan articulating paper merah dan biru atau dengan memeriksa model
diagnostik pada artikulator. Seluruh kontak laterotrusif direkam.

Gbr. 9-44. Kontak protrusif


Pasien diminta untuk melakukan gerakan protrusif hingga gigi anterior mencapai
relasi end-to-end. Lokasi kontak protrusif diperiksa. Kontak protrusif posterior harus
diperiksa dengan baik.

Gbr, 9-45. Kontak Laterotrusif

Pasien diminta untuk menggerakkan rahang bawah ke lateral hingga melalui relasi
end-to-end kaninus. Tipe panduan diperiksa. Pasien ini menunjukkan panduan kaninus
yang membuka gigi posterior.

9.3.7.5.3.3. Kontak mediotrusif

Beberapa ahli menunjukkan bahwa kontak mediotrusif berperan secara signifikan


dalam gangguan fungsional. Sebab itu, kontak ini harus diperiksa dengan teliti. Kontak
tersebut dapat dengan mudah diabaikan oleh pemeriksaa yang disebabkan oleh sisten
kontrol neurmuskular. Jika rahang bawah bergerak dalam arah lateral, kontak mediotrusif
akan dianggap oleh sistem neuromuskular sebagai tekanan yang merusakan dan sebab itu
terjadi pergerakan refleks yang mencoba untuk melepaskan gigi tersebut. Putaran kondil
akan menurun untuk menghindari kontak mediotrusif.

Jika daerah kontak antara gigi yang terjadi berukuran kecil, sistem neuromuskular
dapat dengan mudah menghindari kontak tersebut. Namun, jika daerah tersebut besar,
gerakan refleks tersebut kurang efektif dan kontak akan terjadi (Gbr. 9-46). Karena
kontak ini dapat memegang peranan penting dalam gangguang fungsional, maka sangat
penting untuk mengidentifikasi kontak tersebut dan tidak disamarkan oleh sistem
neuromuskular.

Kontak mediotrusif sebaiknya diperiksa pertama kali dengan meminta pasien


untuk menggerakkan rahang bawah dalam arah mediotrusif yang tepat. Kontak yang
ditemukan pada pergerakan ini dianggap sebagai kontak mediotrusif unassisted.
Kemudian, tekanan kuat diberikan pada angulus mandibula dalam arah supero medial dan
pasien sekali lagi diminta untuk menggerakkan rahang bawah dalam arah mediotrusif
(Gbr. 9-47). Tekanan ini terkadang dianggap cukup untuk mengatasi perlindungan
neuromuskular, sehingga menunjukkan kontak mediotrusif yang tidak ditemukan pada
saat pergerakan sendiri. Kontak ini disebut kontak mediotrusif assisted.

Gbr. 9-46. Kontak mediotrusif

A, antara molar kedua bawah dan atas. B, Terkadang, memberikan panduan


mandibula eccentrik. Pada pasien ini, pemeriksaan sekilas akan menunjukkan adanya
panduan kaninus. Namun, pemeriksaan yang teliti menunjukkan bahwa kaninus atas dan
bawah tidak berkontak pada saat pergerakan laterotrusif ini. Panduan ini hanya diberikan
oleh kontak mediotrusif pada molar ketiga bawah kanan.

Dalam sebuah penelitian yang meneliti 103 pasien (206 sisi), hanya 29.9% yang
menunjukkan kontak mediotrusif unassisted. Jika pergerakan assisted, maka akan
meningkat hingga 87.8%. Kontak mediotrusif assisted dan unassisted perlu diidentifikasi
karena memberikan pengaruh yang berbeda pada fungsi pengunyahan.

Gbr. 9-47.

Pergerakan mandibula assisted dapat membantu dalam mengidentifikasi kontak


mediotrusif.

Kontak mediotrusif unassisted kasar tampak memberikan pengaruh buruk


terhadap fungsi pengunyahan dan sebab itu menjadi faktor etiologi potensial dalam
kelainan fungsional. Sebaliknya, kontak mediotrusif yang hanya terjadi dengan tekanan
assisted dapat melindungi sendi ipsilateral pada saat menerima beban berat, seperti pada
saat bruxism, atau pada saat tidur di atas perut. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa
subjek dengan kontak mediotrusif assisted memiliki bunyi sendi yang lebih sedikit
dibandingkan dengan kelompok yang tidak memiliki kontak mediotrusif. Pada penelitian
lain, kontak mediotrusif tampak lebih sering ditemukan pada kelompok kontrol
dibandingkan kelompok dengan gejala TMD. Gagasan yang mengatakan bahwa kontak
mediotrusif assited dan unassisted memberikan pengaruh berbeda terhadap fungsi
pengunyahan tidak menjadi bahan yang menarik penelitian kedokteran gigi. Konsep ini
membutuhkan penelitian lebih lanjut karena ramifikasi perawatan yang luas.
Kontak mediotrusif dapat diidentifikasi dengan menanyakan pasien, tapi kontak
tersebut harus dibuktikan dengan menggunakan articulating paper (tehnik merah dan
biru). Shim stock atau Mylar strip juga dapat membantu pemeriksaan. Alat ini diletakkan
di antara gigi posterior dan pasien diinstruksikan untuk menggertakkan gigi. Dengan
tekanan tarikan yang kontak diberikan pada shim stock, pasien bergerak dalam arah
mediotrusif (Gbr. 9-48). Jika mandibula bergerak kurang dari 1 mm dan shim stock
terlepas, tidak terdapat kontak mediotrusif. Jika shim stock tetap berikatan dan mandibula
bergerak lebih dari 1 mm, maka terjadi kontak mediotrusif. Tehnik ini dapat digunakan
untuk seluruh gigi posterior. Kontak mediotrusif yang terjadi dicatat pada lembar
pemeriksaan oklusal.

Gbr. 9-48

Shim stock atau Mylar strip dapat membantu dalam pemeriksaan kontak
mediotrusif.

9.3.8. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK TAMBAHAN

Informasi yang paling penting untuk menegakkan diagnosis TMD berasal dari
riwayat dan pemeriksaan. Setelah informasi ini dikumpulkan, diagnosis klinis dapat
ditegakkan. Terkadang, pemeriksaan diagnostik lainnya dapat memberikan informasi
tambahan yang dapat membantu membuktikan atau menentang diagnosis klinis yang
telah ditetapkan. Perlu diingat bahwa pemeriksaan tambahan ini hanya digunakan untuk
mendapatkan informasi tambahan dan tidak pernah bertujuan untuk menegakkan
diagnosis.

9.3.8.1. Penggambaran Temporomandibular Joint

Berbagai jenis tehnik penggambaran dapat digunakan untuk mendapatkan


gambaran mengenai kesehatan dan fungsi TMJ. Jika gejala sakit berasal dari sendi dan
maka dapat diyakini bahwa terjadi kondisi patologis, maka radiografi TMJ sebaiknya
dilakukan. Radiografi akan memberikan informasi mengenai (1) karakteristik morfologis
komponen tulang sendi , dan (2) informasi hubungan fungsional tertentu antara kondil
dan fossa.

9.3.8.1.1. Tehnik Radiografi

Radiografi TMJ dipersulit oleh anatomis dan kondisi teknik yang menghalangan
visualiasi sendi yang jelas dan tidak terhalang. Tampilan lateral murni kondisil tidak
memungkinkan dengan peralatan sinar-X konvensonal karena superimposisi struktur
tulang wajah tengah (Gbr. 9-49). Sebab itu, untuk mendapatkan proyeksi TMJ yang
berhasil, sinar-X harus diarahkan melintasi kepala baik dari bawah wajah tengah dalam
arah superior (tampilan infracranial atau transpharyngeal) atau melalui tengkoral yang
diarahkan inferior di atas wajah tengah pada kondil (transcranial). Dengan menggunakan
proyeksi tomography khusus dapat menghasilkan tampilan lateral murni kondil.

Gbr. 9-49. Tehnik Radiografi Konvensional yang Digunakan untuk Melihat Kondil

Tampilan lateral murni terhalangi oleh struktur tulang wajah tengah.


Namun, proyeksi dapat diperoleh dengan melewatkan sinar-X dari posisi superior
melintasi cranium ke kondil (yaitu tampilan transcranial). Proyeksi lain dapat diperoleh
dengan melewatkan sinar secara inferior di bawah sisi yang berlawanan atau di antara
prosesus coronoid dan leher kondil pada sisi yang berlawanan (uaoti tampilan
transpharyngeal atau infracranial).

Gbr. 9-50

A. Penempatan pasien. B, Proyeksi khas yang menunjukkan tampilan screening


yang baik untuk seluruh gigi dan struktur di sekitarnya. Kondil juga tampak jelas.

Empat tehnik radiografi dasar yang dapat digunakan dalam klinik gigi untuk
pemeriksaan TMJ: (1) panoramik, (2) transcranial lateral, (3) transpharyngeal, dan d(4)
transmaksilaris (anteroposterior [AP]). Selain itu, tehnik terbaru dapat digunakan jika
membutuhkan informasi tambahan.

9.3.8.1.1.1. Tampilan Panoramik


Radiografi panoramik telah umum digunakan dalam klinik gigi. Dengan variasi
kecil dalam tehnik standar, radiografi panoramik dapat memberikan screening kondil
(Gbr. 9-50). Tehnik ini merupakan alat screening yang baik karena memberikan tampilan
gambar dengan superimposisi struktur minimal di atas kondil.

Meskipun struktur tulang kondil dapat diperiksa dengan baik, tampilan panoramic
memiliki beberapa keterbatasan. Untuk dapat melihat kondil dengan baik, terkasang
pasien diminta untuk membuka mulut secara maksimal sehingga struktur fossa articularis
tidak akan menghalangi kondil. Jika pasien mengalami keterbatasan pembukaan mulut,
superimposisi akan terjadi. Dengan tehnik ini, kondil merupakan satu-satunya struktur
yang dapat terlihat dengan baik. Fossa articularis terkadang hanya tampak setengah,
namun lebih sering tertutup seluruhnya.

Karena radiografi panoramik adalah tampilan infracranial, kutub lateral kondil


akan ter-superimposisi di atas kepala kondil. Sebab itu daerah yang tampak menunjukkn
permukaan subarticular superior kondil sebenarnya adalah permukaan subarticular kutub
medial (Gbr. 9-51). Hal ini perlu dipahami sebelum melakukan interpretasi.

9.3.6.1.1.2. Tampilan transcranial lateral

Tampilan transcranial lateral dapat memberikan visualisasi yang baik pada kondil
dan fossa. Dalam beberapa tahun lali, tehnik ini sangat terkenal karena biaya yang
minimal, tehnik ini dapat diadaptasikan dengan sebagian besar tehnik radiografi gigi
umum.

Gbr. 9-51. Proyeksi transpharyngeal (infracranial)

Daerah yang tampak berupa permukaan subarticular superior kondil sebenarnya


adalah kutub medial. Kutub lateral mengalami superimposisi inferior di atas bodili
kondil. FOssa juga mengalami superimposisi di atas kondil, yang akan mempersulit
interpretasi radiografi.

Pasien diposisikan, dan sinar-X diarahkan secara inferior melintasi tenkorak (di
atas wajah tengah) ke TMJ kontralateral dan direkam (Gbr. 9-52). Biasanya sejumlah
proyeksi dilakukan untuk tiap sendi sehingga fungsi sendi dapat diperiksa. Sebagai
contoh, satu proyeksi diperoleh dengan gigi berkontak dalam posisi intercuspasi
maksimum, dan proyeksi lain dengan mulut terbuka maksimal. Interpretasi tampilan
transcranial dimulai dengan memahami sudut yang dibentuk oleh proyeksi.

Gbr.9-52. Proyeksi Transcranial

A. GIgi berkontak, B, Posisi mulut terbuka lebar. C, Kondil dapat terlihat dalam
fossa dengan eminensia articularis mengarah ke anterior. Posterior dari kondil tampak
daerah yang relatif bulat (gelap) adalah meaut auditorius eksternal. Kondil keluar dari
fossa selama pembukaan mulut.

Karena sinar-X berjalan ke bawah melintasi tengkorak, angulasi ini akan


menyebabkan superimposisi kutub medial kondil di bawah permukaan subarticular
sentralis dan kutub lateral (Gbr. 9-53). Sebab itu, jika film diperiksa, tampak permukaan
subarticular superior kondil yang sebenarnya adakah aspek lateral kutub lateral. Namun,
proyeksi ini lebih baik dibandingkan tampilan infracranial untuk melihat fossa articular.

Gbr. 9-53 Proyeksi Transcranial

Daerah yang tampak seperti permukaan subarticular superior kondil sebenarnya


adalah kutub latera. Kutub medial mengalami superimposisi secara inferior di atas bodili
kondil. Dalam proyeksi ini, fossa tidak mengalami superimposisi di atas kondil; sebab itu
dapat diperoleh tampilan kondil yang lebih jelas.

Gbr. 9-54. Proyeksi Transpharyngeal

A. Pasien diposisikan untuk melihan temporomandibulr joint kiri. B, tampilan


khas kondil.

9.3.8.1.1.3. Proyeksi Transpharyngeal

Tampilan ini sama seperti tampilan panoramik. Namun, karena sinar-X diarahkan
dari bawah angulus mandibula atau melalui sigmoid notch, sudut yang dapat
memperoyeksikan kondil tidak sebesar seperti pada tampilan panoramik. Hal ini berarti
bahwa proyeksi yang dihasilkan hampir menyerupai tampilan lateral murni (Gbr. 9-54).
Meskipun tehnik ini dapat menampilkan kondil dengan baik, fossa mandibula biasanya
tidak dapat terlihat sama seperti pada tampilan transcranial.

Gbr. 9-55. Radiografi Transmaksilaris Anteroposterior

A, Posisi pasien untuk temporomandibular joint kiri. B, Tampilan lateral kondil.


Dalam proyeksi ini, kutun medial (MP) dan lateral (LP) dapat dengan mudah terlihat
sepanjang permukaan subarticular superior (SSS) kondil.

9.3.8.1.1.4. Proyeksi transmaksilaris anteroposterior

Tampilan ini juga dapat membantu pemeriksaan. Tampilan ini diperoleh dari
anterior ke posterior dengan mulut terbuka lebar dan kondil keluar dari fossa (Gbr. 9-55).
Jika kondl tidak dapat crest eminensia, maka akan terjadi superimpoisisi tulang
subarticular dan radiografi ini tidak berguna. Jika proyeksi ini dapat dilakukan dengan
baik, maka akan memberikan tampilan tulang subarticular superior kondil dengan baik,
serta kutub medial dan lateral. Proyeksi AP juga memberikan hasil yang baik untuk
pemeriksaan fraktur pada leher kondil.

Gbr. 9-56. Pasien didudukkan di atas unit tomography dengan posisi yang tepat untuk
tomogram temporomandibular joint lateral.

Gbr. 9-57. Tampilan tomohraphy lateral temporomandibular joint

A. Posisi tertutup. B, Posisi terbuka. C, Tomogram anteroposterior. Tomography


menghasilkan gambar jelas.

9.3.8.1.1.5. Tomography

Tehnik penggambaran yang sebelumnya diuraikan dapat digunakan sebagai


prosedur klinik gigi rutin dan sangat membantu dalam pemeriksaan strutkur sendi.
Namun, terkadang, radiografi tersebut tidak dapat memberikan informasi yang cukup dan
sebab itu diperlukan tehnik yang lebih canggih. Tampilan tomographic lateral
memberikan tampilan TMJ yang lebih akurat. Tehnik ini menggunakan pergerakan
kepala tube sinar-X yang terkontrol dan film untk mendapatkan radiografi struktur yang
diinginkan dengan mengaburkan struktur lain (Gbr. 9-56). Radiografi ini bukan
merupakan proyeksi infracranial atau transcranial tapi berupa proyeksi lateral murni
(Gbr. 9-57 A dan B). Tampilan AP juga dapat dilakukan dengan tomograpny,
menampilkan kutub lateral dan medial tanpa superimposisi (Gbr. 9-57 C). Tampilan ini
juga membantu dalam pemeriksaan permukaan articular kondil.

Tomogram dapat diperoleh pada interval sagital yang tepat, sehingga potongan
sendi dapat terlihat (kutub lateral, tengah dan medial). Perubahan tulang dan hubungan
fungsional sendi juga dapat terlihat dengan mudah.

Keuntungan tomography adalah tehnik ini lebih akurat dibandingkan radiografi


panoramic atau transcranial untuk mengidentifikasi abnormamlitas atau perubahan
tulang. Karena merupakan tampilan sagital murni, maka dapat dilakukan pemeriksaan
posisi kondil dalam fossa secara lebih akurat dibandingkan dengan tampilan transcranial.
Kerugian dari tomography adalah biaya yang malah dan tidak nyaman bagi pasien.
Meskipun beberapa dokter gigi memiliki unit tomorgraphi di kliniknya, biaya yang
diperlukan sangat tinggi dan terkadang sulit disesuaikan dalam praktek umum. Sebab itu
pasien harus dikirim ke klinik rawat jalan atau rumah sakit untuk melakukan tomography.
Kerugian lain adalah pasien terpapar oleh tingkat radiasi yang lebih tinggi dibandingkan
tehnik lain. Namun, kerugian ini tampak minimal dibandingkan informasi tambahan yang
diperoleh untuk membantu diagnosis. Jika perlu, tomogram biasanya merupakan tehnik
radiografi yang pertama kali dilakukan.

9.3.8.1.1.6. Arthrography

Arthrography adalah tehnik radiografi yang digunakan dengan medium kontras


yang dimasukkan ke dalam ruang sendi untuk menggambarkan struktur jaringan lunak
penting. Tehnik ini menjadi populer pada pertengahan 1980 pada saat pemeriksaan
jaringan lunak (khususnya posisi lemping). Tehnik radiografi rutin dan tomograpny
hanya menggambarkan struktur tulang dan interrelasinya, tanpa menampilkan jaringan
lunak. Dengan analisis ruang sendi yang digambarkan oleh medium kontras, posisi dan
terkadanag kondisi lemping articular dapat diketahui (Gbr. 9-58). Karena arthrography
menggunakan fluoroscope, maka dapat dilakukan pemeriksaan pergerakan dinamik
lemping dan kondil, dimana hal ini akan membantu dalam mengidentifikasi disfungsi
kondil-lemping dan perforasi lemping. Namun, prosedur ini membutuhkan tehnik yang
sensitif, dan dengan ditemukannya tehnik penggambaran jaringan lunak yang lebih baik
(magnetic resonance imaging [MRI]), arthrogram sudah tidak digunakan lagi.

9.3.8.1.1.7. Computed tomography

Tehnik lain yang telah dikembangkan dalam dekade terakhir ini adalah computed
tomographic (CT) scanning. CT scanner menghasilkan transmisi digital melalui berbagai
jaringan. Data ini dapat diubah ke dalam skala densitas dan digunakan untuk membentuk
atau menyusun gambar visual (Gbr. 9-59A). Teknologi ini dapat merekonstruksi TMJ
dalam gambar tiga-dimensi yang dapat memberikan informasi diagnostik yang lebih baik
(Gbr. 9-59B).

Perkembangan terbaru dari teknologi ini disebut cone beam tomography. Cone
beam tomography dapat menampilkan kondil dalam dataran multipel sehingga seluruh
permukaan dapat terlihat (Gbr. 9-60). Teknologi ini juga mampu melakukan rekonstruksi
gambar tiga-dimensi pasien yang dapat dirotasi pada layar komputer untuk tampilan yang
lebih lengkap (Gbr. 9-61). Cone beam tomography dapat menggambarkan jaringan keras
dan lunak; sebab itu relasi lemping-kondil dapat terlihat dan diperiksa tanpa terganggu
oleh relasi anatomis lainnya.

Namun, CT scan memiliki beberapa kekurangan. Peralatan yang relatif mahal dan
sebba itu tidak selalu dapat terjangkai. CT scan memaparkan lebih banyak radiasi bagi
pasien dibandingkan film yang lebih lebih sederhana, tapi teknologi cone beam baru
memberikan gambar yang lebih baik dengan radiasi yang lebih kecil. Teknologi ini
memberikan berbagai tampilan untuk membantu dokter agar dapat memahami kondisi
pasien dengan lebih baik.

9.3.8.1.2. Magnetic Resonance Imaging


MRI menjadi standar emas untuk pemeriksaan jaringan lunak TMJ, khususnya
posisi lemping. MRI menggunakan bidang magnetik kuat untuk menciptakan perubahan
tingkat energi molekul jaringan lunak (prinsip ion hidrogen). Perubahan dalam tingkat
energi ini menciptakan gambar dalam kompoter yang sama seperti CT scan. MRI TMJ
(Gbr. 9-62) menunjukkan visualisasi jaringan lunak yang lebih baik dibandingkan CT
scan dan memiliki keuntungan utama yaitu tidak memberikan radiasi yang dapat
menyebabkan kerusakan jaringan bagi pasien. Sebab itu tidak menunjukkan efek yang
merugikan.

Kerugian MRI adalah sama seperti CT scan. Unit MRI biasanya cukup mahal dan
tidak tersedia dalam klinik gigi tradisional. Teknologi ini juga dapat bervariasi dan sebab
itu kualitas gambar dapat berbeda. Kerugian lain dari MRI adalah umumnya memberikan
gambar statik, meskipun telah ditemukan cine MRI yang memebrikan informasi
mengenai pergerakan lemping dan sendi. Teknologi ini meningkatkan kualitas teknologi
sebelumnya dan dapat mengantikan sejumlah metode penggambaran sebelumnya.

Gbr. 9-58. Proyeksi Arthrographic

Medium kontras radiopaque telah diinjeksikan ke dalam ruang sendi inferior yang
menggambarkan permukaan inferior lemping articular dalam sendi normal. Pada posisi
mulut tertutup sendi normal (A), medium kontras dapat terlihat di ruang sendi inferior.
Jika mulut terbuka (B), lemping berotasi ke posterior, menekan medium kontras ke dalam
regio posterior ruang sendi inferior. Jika mulut dibuka penuh (C), lemping berotasi ke
posisi posterior maksimum di atas kondil, menekan medium kontras keluar dari regio
anterior ruang sendi. Pada posisi ini, medium kontras hanya terlihat dalam regio posterior
ruang sendi inferior. D hingga F, lemping yang terdislokasi anterio tanpa reduksi. Pada
saat pembukaan mulut, medium kontras masih tertinggal dalam bagian anterior ruang
sendi inferior. Medium masih tertinggal karena lemping mengalami dislokasi dan tidak
dapat berotasi ke posterior kondil.

Gbr. 9-59. Computed tomography (CT) scan


A. Proyeksi CT khas pada sendi temporomandibular. Jaringan keras (tulang)
terlihat lebih baik dibandingkan jaringan lunak. B, Rekonstruksi CT tiga dimensi pada
pasien edentulous

Gbr, 9-60. Cone Beam Tomographic Scan

Teknologi ini dapat menampilkan kondil dalam plane multipel.

Dokter perlu mengetahui bahwa terjadinya pergeseran lemping dalam MRI bukan
menunjukkan temuan patologis. Ditunjukkan bahwa antara 26% dan 38% subjek
asimptomasi normal menunjukkan posisi lemping abnormal pada MRI. Penelitian
tersebut menunjukkan bahwa positif palsu dan negatif palsi sering ditemukan dengan
tehnik penggambaran ini, dan sebab itu interpretasi hasil sebaiknya dilakukan dengan
teliti.

9.3.8.1.3. Scanning Tulang

Pada kondisi klinis tertentu, terkadang perlu untuk mengetahui apakah terjadi
proses inflamasi aktif dalam TMJ. Radiografi standar dapat menunjukkan bahwa
morfologi kondil telah berubah, tapi radiografi tersebut tidak membantu dalam
menentukan apakah proses tersebut bersifat aktif (osteoarthritis) atau tidak aktif
(osteoarthrosis). Jika informasi ini penting untuk perawatan, scan tulang dapat membantu
dalam pemeriksaan. Scan tulang diperoleh dengan menginjeksikan materi radiolabeled ke
dalam aliran darah yang dapat berkonsentrasi pada daerah tulang yang cepat mengalami
pergantian (Gbr. 9-63). Setelah materi bergerak ke daerah dengan aktivitas tulang tinggi,
maka emisi gambar dilakukan. Tehnik yang digunakan menyerupai singlephoton
emission tunggal compoted tomography (SPECT) untuk mengidentifikasi daerah dengan
peningkatan aktivitas tulang. Namun, tehnik ini tidak dapat membedakan antara
remodeling dan degenerasi tulang. Sebab itu, informasi yang diperoleh harus
digabungkan dengan temuan klinis lainnya.

Gbr. 9-61.
Gambar ini telah direkonstruksi menggunakan teknologi cone beam. Gambar tiga
dimensi ini dapat dirotasi di layar komputer sehingga dokter dapat melihat daerah yang
ingin diperiksa.

9.3.8.1.4. Interpretasi Radiografi

Agar radiografi dapat difunakan dalam diagnosis dan perawatan TMD,


interpretasi akurat sangat penting. Namun, karena variasi kondisi sendi dan keterbatasan
tehnik, radiografi TMJ sering mengalami kesalahan interpretasi atau bahkan
overinterpretasi.

9.3.8.1.4.1. Kondisi yang penghalang

Tiga kondisi yang penghalang yang perlu dipertimbangkan sebelum interpretasi


radiografi standar dilakukan: (1) tidak adanya permukaan articular, (2) superimposisi
permukaan subarticular, dan (3) variasi normal.

Gbr. 9-62. Magnetic Resonance Image

A, Jika mulut ditutup, lemping articular (daerah gelap yang dikelilingi oleh
panah) mengalami dislokasi anterior dari kondil. B, Pada saat membuka mulut, lemping
(panah) kembali ke dalam posisi normal di dalam kondil.

Struktur primer terlihat dengan radiografi terbesar adalah komponen tulang dalam
sendi. Bentuk karakteristik struktur tulang dapat menampilkan patologi sendi, namun,
dokter harus mengingat bahwa perubahan dalam bentuk tulang tidak selalu menunjukkan
patologi.

Gbr. 9-63. Scan tulang kepala dan leher menunjukkan konsentrasi konsentrasi materi
radio-labeled tinggi pada temporomandibular joint dan regio maksilaris. Hasil ini
menunjukkan peningkatan aktivitas selular dalam regio tersebut. LP.

9.3.8.1.4.2. Tidak adanya permukaan articular


Permukaan articular seluruh sendi normalnya tampak kasar dan konsisten. Jika
ditemukan iregularitas, maka harus dicurigai bahwa terjadi perubahan patologis. Namun,
permukaan artciular kondil, lemping dan fossa tidak dapat terlihat pada radiografi
standar. Permukaan kondil dan fossa terbuat dari jaringan ikat fibrous padat yang
didukung oleh daerah mesenchyme yang tidak terdiferensiasi kecil dan kartilgo
pertumbuhan, yang tidak tampak secara radiografi. Permukaan yang tampak adalah
tulang subarticular. Demikian juga, lemping articular tersusun dari jaringan ikat fibrous
padat, yang juga tidak tampak pada radiografi standar. Sebab itu, permukaan yang
tampak adalah tulang subarticular kondil dan fossa, dengan ruang di antara struktur.
Ruang ini, disebut ruang sendi radiografi, yang mengandung jaringan lunak vital yang
sangat penting untuk fungsi dan disfungsi sendi. Sebab itu radiografi sendi rutin tidak
memberikan informasi mengenai kesehatan dan fungi jaringan tersebut.

9.3.8.1.4.3. Superimposisi permukaan subarticular

Superimposisi permukaan subarticular dapat membatasi kegunaan radiografi.


Karena sebagian besar proyeksi rutin TMJ adalah gambar tunggal yang diambil pada
sudut untuk menghindari struktur wajah tengah (kecuali tomogram, CT scan, dan MRI),
hal ini disebut plat datar dapat memiliki permukaan subarticular yang mengalami
superimposisi pada kepala kondil (lihat Gbr. 9-51 dan Gbr. 9-53).

Gbr. 9-64.

Pada saat melakukan interpretasi radiografi temporomandibular joint, maka perlu


diketahui proyeksi yang digunakan untuk mendapatkan gambar. Tulang subarticular yang
tampak pada permukaan articular superior kondil dalam tampilan trancranial (A) adalah
kutub lateral kondil (LP), sedangkan dalam tampilan transpharyngeal (B), adalah
tampilan medial (MP).

Dalam menginterpretasi radiografi tersebut, perlu diketahui bahwa seluruh


permukaan subarticular kondil tidak terletak di samping ruang sendi seperti jika
dilakukan dari tampilan lateral lurus. Dalam tampilan transcranial permukaan subarticular
yang di samping ruang sendi adalah aspek lateral kutub lateral. Dalam tampilan
panoramik atau infracranial, struktur tersebut adalah aspek medial kutub medial (Gbr. 9-
64). Jika tomogram dilakukan, tampilan tersebut adalah proyeksi lateral murni. Struktur
tersebut adalah tampilan penting untuk dipahami pada saat melakukan interpretasi
radiografi tersebut. Gbr. 9-65 membandingkan tampilan berbeda tersebut pada pasien
yang sama, menunjukkan bahwa hasil yang diperoleh berbeda bergantung pada lokasi
patologi.

Gbr. 9-65

Radiografi ini membandingkan temporomandibular kanan yang sama dengan


menggunakan tiga tehnik. A, Tampilan panoramik (yaitu transpharyngeal). Massa tulang
dapat diperiksa pada regio anterior kondil. B, Sendi yang sama dalam tampilan
transcranial. Dalam tampilan ini tidak ditemukan kelainan. C, Tomogram sendi yang
sama. Tampilan lateral murni ini menunjukkan bahwa terdapat kelainan tulang anterior
dari kondil. Kelainan ini berada pada aspek medial kondil dan sebab itu tidak tampak
pada tampilan transcranial. Gambari ni menunjukkan perlunya beberapa radiografi jika
dicurigai terjadi patologi.

9.3.8.1.4.4. Variasi normal

Pada saat memeriksa radiografi, pemeriksa cenderung untuk menilai seluruh


tampilan yang tidak menunjukkan morfologi normal sebagai abnormal dan sebab itu
adalah patologi. Meskipun hal ini terkadang benar, namun pemeriksa harus
mempertimbangkan derajat variasi dari masing-masing pasien yang merupakan sendi
normal dan sehat. Variasi dari kondisi normal tidak menunjukkan kondisi patologi.
Angulasi radiografi, posisi kepala, dan rotasi anatomis kondil normal dapat
mempengaruhi gambar yang diproyeksikan. Dengan variasi anatomi, pemeriksa harus
berhati-hati dalam menginterpretasikan radiografi.

Keterbatasan radiografi TMJ adalah kesulitan dilakukan interpretasi sendi akurat.


Radiografi sebaikya tidak digunakan untuk mendiagnosa TMD. Namun, radiografi
sebaiknya digunakan sebagai sumber informasi tambahan untuk mendukung atau
menolak diagnosis klinis yang telah ditegakkan.
9.3.8.1.4.5. Interpretasi struktur tulang

Setelah dipahami bahwa jaringan lunak tidak dapat terlihat dalam radiografi,
morfologi komponen tulang sendi dapat diperiksa. Tampilan radiografi permukaan tulang
sendi normalnya halus. Kelainan yang ditemukan sebaiknya dicurigai bahwa perubahan
tulang telah terjadi. Fossa articular dan kondil sebaiknya diperiksa karena perubahan
dapat terjadi pada kedua struktur tersebut.

Sejumlah perubahan sering terjadi pada permukaan subarticular kondil dan fossa.
Erosi tampak seperti kontur permukaan tulang yang bintik-bintik dan yang tidak teratur
(Gbr. 9-66). Seiring perkembangan kelainan, dapat terlihat cekungan yang lebih besar.
Pada beberapa kasus, struktur tulang akan rata (Gbr. 9-67). Jika kondil telah menjadi rata,
kondisi ini disebut lipping dan proyeksi tulang kecil (osteophyte) dapat terbentuk (Gbr. 9-
68 dan Gbr. 9-69). Terkadang, tulang subarticular akan menebal dan osteosclerosis dapat
terlihat di sekitar permukaan articular sendi. Kista subchondral juga dapat tampak seperi
daerah radiolucent pada tulang subarticular.

Seluruh temuan radiografi ini sering dihubungkan dengan perubahan


osteoarthritic sendi.

Meskipun perubahan tersebut sering mengindikasikan terjadinya pathosis, bukti


menunjukkan bahwa perubahan osteoarthritic sering terjadi pada pasien dewasa. TMJ
mampu mengalami perubahan beradasarkan tekanan kronis yang diaplikasikan pada
struktur tersebut. Perubahan ini disebut remodeling, dan remodeling dapat terjadi dalam
bentuk penambahan tulang (disebut remodeling progresif) atau pengurangan tulang
(remodeling regresif). Sebab itu, jika perubahan osteoarthritic tampak pada radiografi,
maka sangat sulit untuk menentukan apakah kondisi tersebut bersifat destruktif (sama
seperti osteoarthritis) atau proses remodeling normal (Gbr. 9-70).

Gbr. 9-66 Erosi Permukaan Articular Kondil (panah)

A, Tampilan tomography anteroposterior. B, Kutub lateral kondil (yaitu tampilan


transcranial).
Dengan mengasumsikan bahwa remodeling terjadi oleh karena tekanan ringan
yang diaplikasikan dalam periode waktu lama dianggap lofis. Jika tekanan tersebut terlalu
besar, remodeling akan berhenti dan perubahan destruktif disertai dengan osteoarthritis
akan terjadi. Terkadang perubahan ini juga dapat disertai dengan nyeri sendi. Sangat sulit
untuk menentukan apakah proses tersebut aktif atau disebabkan oleh kondisi sebelumnya
yang telah sembuh dan hanya tersisa bentuk abnormal (osteoarthrosis). Rangkaian
radiografi yang diperoleh dapat membantu menentukan aktivitas perubahan. Perubahan
radiogrhafi dalam bentuk kondil atau fossa hanya dapat memiliki hubungan yang kecil
terhadap gejala.

Gbr. 9-67. Permukaan artikular kondil yang rata

A, Tampilan transpharyngeal. B, Proyeksi tomographic lateral.

Gbr. 9-68.

A, Osteophyte kondil (lipping) pada kutub lateral. B, Tampilan transcranial


menunjukkan pemerataan permukaan articular. Kondisi ini dapat terlihat dengan baik
pada posisi sendi terbuka. C, Tampilan panoramik kondil kanan dengan perubahan
osteoarthritic.

Gbr. 9-69

Osteophyte kondil seperti yang ditampilkan dalam tampilan panoramik (A) dan
dalam tampilan tomographic (B).

Gbr. 6-70

Perubahan osteoarthritic ditampilkan pada tomogram.

Beberapa pemeriksaan struktur lain dapat diakukan pada saat melakukan


pemeriksaan radiografi. Eminence articular yang curam dapat dengan mudah diperiksa
pada radiografi transcranial. Hal ini dilakukan dengan menarik garis melalui
supraarticular crest zygoma, yang hampir paralel dengan plane horizontal Frankfort.
Kecuraman eminence ditentukan oleh sudut yang terbentuk oleh garis referensi ini
dengan garis yang ditarik melalui slpoe posterior eminence (Gbr. 9-71). Seperti yang
dibahas sebelumnya, sudut eminence yang lebih semakin curam, maka semakin besar
pula pergerakan rotasional lemping pada kondil pada saat pembukaan mulut. Beberapa
penulis menemukan tampilan ini berhubungan dengan kelainan susunan lemping tertentu,
sedangkan penelitian lain tidak menemukan hubungan yang berarti. Sebab itu, tampilan
ini tidak dapat selalu dihubungkan dengan gejala klinis, dan diperlukan ketelitian dalam
diagnosis dan perencanaan perawatan.

Gbr. 9-71

Perbedaan yang menonjol dalam kecuraman articular eminences pada empat


pasien. A dan B, Proyeksi Transcranial. C dan D, Proyeksi tomographic. Kecuraman
dapat menyebabkan kelainan susunan lemping tertentu.

Kelainan tulang lain yang dapat dengan mudah diketahui adalah ukuran relatif
kondil terhadap fossa (Gbr. 9-72). Kondil yang lebih kecil kurang mampu menahan
beban yang besar dan sebab itu lebih cenderung menunjukkan perubahan osteoarthritic.
Namun, kondil yang kecil tidak menunjukkan kondisi patologis. Hasil ini harus
dihubungkan dengan temuan klinis.

Radiografi juga sangat membantu dalam screening jaringan tulang untuk kelainan
structural yang dapat menimbulkan gejala, yang menyerupai TMD. Tampilan panoramic
sangat berguna untuk hal ini. Kista dan tumor gigi dan tulang dapat terlihat. Sinus
maksilaris juga dapat terlihat. Prosesus styloid dapat terlihat, khususnya dengan panjang
tidak tidak lazim. Terkadang, ligament styloid akan mengalami kalsifikasi dan secara
radiografi tampak cukup panjang (Gbr. 9-73). Prosesus styloid yang memanjang akan
menimbulkan gejala sakit jika prosesus tersebut menekan jaringan lunak leher pada saat
pergerakan kepala normal. Kondisi ini disebut sindrom Eagle dan dapat menyerupai
gejala TMD.

9.3.8.1.4.6. Interpretasi posisi kondil


Karena jaringan lunak sendi tidak dapat terlihat pada radiografi, maka ruang sendi
tampak antara permukaan subarticular kondil dan fossa. Dalam proyeksi transcranial,
ruang sendi dapast dengan mudah terlihat. Beberapa ahli menganjurkan bahwa kondil
seharusnya berada di tengah fossa articular. Hal ini menunjukkan bahwa ruang sendi
radiografi harus memiliki dimensi yang seimbang pada regio anterior, tengah, dan
posterior. Telah dianjurkan bahwa perawatan sebaiknya dilakukan pada pasien jika ruang
sendi tidak seimbang sehingg konsentris sendi dapat dicapai. Namun, hanya terdapat
sedikit bukti untuk mendukung penyataan bahwa ruang sendi yang seimbang adalah
normal. Berdasarkan fakta, bukti menunjukkan bahwa ketebalan jaringan fibrous padat
yang menutupi permukaan articular kondil dapat bervariasi secara signifikan. Karena
jaringan ini tidak tampak secara radiografis, tulang subarticular dapat tampak lebih dekat
atau lebih jauh dari fossa bergantung pada ketebalan jaringan. Selain itu juga tampak
bahwa variasi anatomis dapat terjadi pada pasien, yang menunjukkan bahwa sebaiknya
untuk tidak terlalu menekankan posisi kondil dalam fossa. Lebih lanjut, proyeksi
transcranial kondil dapat digunakan untuk pemeriksaan ruang sendi lateral saja dan sebab
itu dapat menyebabka kesalahan pemeriksaan untuk seluruh sendi.

Gbr. 9-72

Tomogram menunjukkan perbedaan ukuran kondil dan fossa. Ukuran kondil


dapat berbeda namun tidak menunjukkan patologi. Hasil pemeriksaan ini harus
dihubungkan dengan temuan klinis.

Gbr. 9-73. Sindrom Eagle

A, Prosesus styloid yang sangat panjang dan terkalsifikasi tampak dalam proyeksi
panoramic ini. Pasien ini menderita sakit leher submandibula, khususnya pada saat
pergerakan kepala. B, Dalam proyeksi panoramic ini, prosesus styloid besar mengalami
fraktur. Radiolusensi besar pada regio molar bawah disebabkan oleh luka tembak.

Gbr. 9-74 Radiografi ruang sendi


Dalam proyeksi transcranial, sudut dimana kondil diproyeksikan terhadap sinar-X
memiliki efek signifikan terhadap lebar ruang sendi radiografi. Angulasi ini diubah
dengan menempatkan beberapa uni transcranial dan lebih umumnya dengan
memposisikan kepala dalam unit. Dua proyeksi transcranial pada sendi yang sama
dengan gigi dioklusikan agar tidak terjadi pergerakan kondil. Variasi dalam ruang sendi
radiografi disebabkan oleh pergerakan kepala ke arah film sebesar 7-derajat. Perubahan
kecil ini tidak dapat dirasakan oleh teknisi.

Faktor lain yang perlu dipertimbangkan adalah posisi kepala. Perubahan


posisional kepala kecil dapat merubah ruang sendi radiografi (Gbr. 9-74). Variasi dalam
anatomi kutub lateral juga dapat mempengaruhi ruang sendi karena struktur tersebut yang
menyebabkan terbentuknya ruang kondil tersebut. Sebab itu, pemeriksaan ruang sendi
pada radiografi transcranial memiliki nilai diagnostic yang terbatas.

Dalam proyeksi tomographic, posisi lateral murni dapat mendapatkan seluruh


daerah sendi yang diinginkan. Dengan tehnik ini, ruang sendi dapat diperiksa secara lebih
akurat (Gbr. 9-75). Namun, meskipun menggunakan tomography, terdapat variasi di
antara subjek normal.

Dalam sebuah penelitian, terdapat korelasi signifikan antara pengecilan ruang


sendi posterior (pergeseran kondil posterior) dan terjadinya kelainan susunan lemping.
Hubungan ini tidak ditemukan pada kelainan otot, yang dapat menunjukkan bahwa
tomogram dan kemungkinan CT scan dapat membantu dalam mengidentifikasi
pergeseran posterior kondil. Meskipun kesimpulan tersebut dapat diterima secara klinis,
dokter sebaiknya tidak menginterpretasikan radiografi tersebut secara berlebihan.
Radiografi digunakan untuk menegaskan diagnosis klinis yang telah ditegakkan
sebelumnya dan bukan untuk menegakkan diagnosis. Dokter yang dipandu oleh
radiografi akan memiliki persentase kesalahan diagnosis tinggi. Informasi yang diperoleh
dari radiografi harus diperiksa dengan teliti.

9.3.8.1.4.7. Interpretasi Fungsi Sendi


Beberapa radiografi (yaitu tampilan transcranial) dapat digunakan untuk
memeriksa fungsi sensi. Hal ini dilakukan dengan membandingkan posisi kondil dalam
posisi sendi tertutup dengan posisi sendi terbuka.

Gbr. 9-75

Posisi satu kondil tampak lebih ke posterior di dalam fossa (A), sedangkan posisi
kondil lainnya tampak lebih ke anterior (B). Meskipun tomogram ini menunjukkan
tampilan lateral murni, perbedaan ruang sendi tidak selalu menunjukkan posisi kondil
patologis. Ketebalan lemping (tidak terlihat) dapat menunjukkan ruang sendi yang tidak
seimbang. Hasil ini harus dihubungkan dengan gejala klinis.

Dalam TMJ yang berfungsi normal, kondil tampak berjalan menurun dari
articular eminence hingga ke tinggi crast dan, pada sejumlah kasus, bahkan melebihi titik
tersebut. Jika kondil tidak dapat bergerak hingga mencapai titik tersebut, maka dapat
dicurigai terjadinya beberapa tipe keterbatasan pergerakan. Hal ini dapat disebabkan dari
sumber ekstracapsular (yaitu otot) atau sumber intracapsular (yaitu ligamen, lemping).

Bukti radiografi keterbatasan ekstracapsular biasanya berasal di dalam otot.


Keterbatasan ini dapat disebabkan oleh ko-kontraksi atau spasme otot elevator, yang
mencegah pembukaan mulut maksimal. Namun, keterbatasan otot elevator tidak
menghalangi pergerakan lateral. Sebab itu, kondil akan tampak mengalami keterbatasan
pergerakan pada radiografi pada saat membuka mulut tapi tampak bergerak dalam batas
normal dalam pergerakan lateral dan gerakan lain.

Bukti radiografi keterbatasan intracapsular biasaya disebabkan oleh keilangan


fungsi kondil-lemping normal. Terkadang, kelainan susunan lemping membatasi
pergerakan translatori sendi. Sebab itu, pada sendi tersebut, akan tampak sedikit
pergerakan maju pada kondil antara posisi sendi tertutup dan terbuka. Pada sisi normal
akan tampak kondil normal. Tidak seperti keterbatasan ekstracapsular, keterbatasan
intracapsular akan menunjukkan pola keterbatasan pergerakan pada radiografi pergerakan
lateral sama seperti radiografi mulut terbuka.
Terkadang, radiografi transcranial fungsional dapat membantu dalam menegaskan
lemping yang mengalami dislokasi anterior. Pada sendi normal, lemping berada di antara
kondil dan fossa, dan menghasilkan ruang sendi pada posisi tertutup dan terbuka. Namun,
jika lemping mengalami dislokasi anterior dan medial, kondil akan terdorong untuk
melakukan translasi, menahan lemping pada slope posterior eminence. Jika kondil terus
menahan lemping, maka lemping akan mengalami dislokasi keluar dari eminence. Hal ini
menyebabkan peningkaran ruang sendi anterior radiografis. Diagnosa lemping yang
mengalami dislokasi anterior dapat dibantu dengan radiografi dengan membandingkan
ruang sendi anterior dalam posisi tertutup dan terbuka. Jika ruang sendi mengalami
peningkatan dalam posisi terbuka, maka dapat dicurigai terjadi dislokasi anterior pada
lemping.

Yang terpenting, posisi kepala pasien harus tetap konstan baik pada saat
pemaparan radiografi pada posisi terbuka dan tertutup untuk memastikan bahwa tidak
terjadi variasi dalam ruang sendi.

Keterbatasan intracapsular juga dapat terbentuk oleh ankylosis atau fibrosis


capsular. Tipe keterbatasan ini mengikat kondil dengan kuat pada fossa mandibula dan
umumnya menyebabkan keterbatasan seluruh pergerakan kondil. Sebab itu, kondil tidak
menunjukkan perubahan posisional secara radiografi dalam pergerakan maju atau lateral.
Dengan demikian, tidak terjadi perubahan dalam ruang sendi.

Temuan radiografi keterbatasan sendi ini hanya bersifat membantu dan bukan
berperan dalam diagnosis. Riwayat dan temuan klinis sebaiknya digabungkan dengan
temuan radiografi untuk menegakkan diagnosis. Pergerakan kondil yang kecil pada
radiografi tidak akan berarti tampak temmuan klinis ini. Sebagai contoh, pasien yang
menderita sakit otot berat yang meningkat pada saat membuka mulut. Radiografi TMJ
menunjukkan pergerakan kondil yang kecil. Bukti radiografi saja tidak menunjukkan
keterbatasan sendi jika seandainya terdapat sendi sehat normal yang terhalangi oleh
kelainan otot.
Pasien kedua dapat menderita ankylosis fibrotic kondil yang membatasi
pergerakan TMJ. Karena unit fibrous ini terdiri dari jaringan lunak dan tidak dapat
terlihat secara radiografi, maka radiografi tampak sama seperti pasien pertama. Temuan
klinis merupakan tanda satu-satunya yang dapat membedakan keterbatasan sendi nyata
(intracapsular) pada pasien kedua dari sendi normal dengan keterbatan ekstracapsular
pada pasien pertama.

Pada saat pemeriksaan fungsi sendi, sangat membantu untuk membandingkan sisi
kanan dan kiri pasien. Pergerakan seharusnya sama. Pada ankylosis atau lemping yang
mengalami dislokasi anterior, sisi yang mengalami kelainan akan menunjukka pergerakan
yang lebih kecil dibandingkan sisi normal. Namun, salah satu kesalahan umum pada
tehnik radiografi akan menyebabkan pembacaan pergerakan fungsional positif-palsu.
Selama tehnik radiografi, pasien diinstruksikan untuk membuka mulut lebat untuk
pemaparan TMJ kanan. Pembukaan mulut lebar ini dapat meningkatkan rasa sakit.
Kemudian, posisi kepala diubah sehingga dapat dilakukan pemaparan sisi kiri dapat
dilakukan. Sekali lagi, pasien membuka mulut lebar. Namun, karena pasien mengetahui
bahwa rasa sakit akat terjadi, maka pasien cenderung membuka mulut kurang lebar pada
saat pemaparan sisi kiri. Jika pemeriksa tidak menyadari alasan untuk variasi ini,
pergerakan kondil kiri secara radiografis akan tampak lebih terbatas dibandingkan sisi
kanan padahal sebenarnya tidak terdapat perbedaan. Untuk menghindari terjadi
perbedaan ini, separator standar dapat diletakkan di antara gigi pada saat pemaparan
sehingga dapat diperoleh pergerakan kondil yang seimbang dan sebab itu memungkinkan
dilakukannya perbandingan radiografi kedua sisi.

Keterbataan pergerakan sendi akan ditegaskan oleh hasil pemeriksaan klinis. Jika
salah satu sendi mengalami keterbatasan, pembukaan rahang bawah akan membelokkan
rahang bawah ke arah sisi yang mengalami keterbatasan pergerakan. Jika keterbatasan
gerakan ini tampak secara radiografis, sebaiknya pasien menjalani pemeriksaan untuk
tipe pergerakan ini.

9.3.8.1.5. Ringkasan Penggunaan Penggambaran Temporomandibular Joint


Radiografi memiliki keterbatasan penggunaan dalam identifikasi dan perawatan
TMD. Hanya dengan penggabungan dengan temuan klinis dan riwayat, maka temuan
radiografi dapat berarti. Jika hal ini menjadi alasan bahwa terjadi patosis sendi organik,
radiografi TMJ perlu dilakukan. Tampilan transcranial dan panoramik yang digunakan
sebagai alat screening untuk pemeriksaan umum kelainan tulang dan perubahan
osteoarthritic. Pergerakan fungsional juga diperiksa dan dihubungkan dengan temuan
klinis. Tomography dilakukan pada pasien dimana radiogari screening menunjukkan
kemungkinan terjadinya kelainan yang membutuhkan visualisasi dan pemeriksaan yang
lebih mendalam. CT, MRI dan scan tulang dilakukan jika informasi tambahan akan
meningkatkan diagnosis dan perencanaan perawatan secara signifikan.

Yang terpenting, dokter harus mengingat bahwa temuan radiologi abnormal harus
diperiksa dengabn teliti. Sebuah penelitian klinis menunjukkan hubungan signifikan
secara statistik antara temuan radiografi dan gejala klinis. Selain itu, informasi yang
diperoleh dari interupsi radiografi tampak tidak bermanfaat dalam menentukan hasil
perawatan.

9.3.8.2. Model pada artikulator

Jika selama pemeriksaan, dokter mengidentifikasi ketidakstabilan ortopedic


signifikan, model study yang dipasangkan pada artikulator dapat membantuk
pemeriksaan kondisi oklusal lebih lanjut. Model artikulator tidak diindikasikan pada
seluruh pasien yang menjalani pemeriksaan TMD. Model artikulator diperlukan jika akan
dilakukan perawatan gigi selanjutkan (yaoti prosthodontik, orthodontik). Model study
gigi dapat bermanfaat sebagai rekam awal gigi dan relasi rahang tapi juga untuk
pemeriksaan efek bruxism. Dokter perlu mengingat bahwa sakit otot dan sendi akut dan
edema sendi dapat menurunkan akurasi pemasangan model pada artikulator. Sebab itu,
analisis oklusal sebaiknya dilakukan setelah proses penyakit akut telah sembuh.

Karena hubungan antara oklusi dan gejala TMD kurang dapat memberikan hasil
akurat pada pemeriksaan awal (lihat Bab 7), model artikulator tidak terlalu bermanfaat
dalam diagnosa TMD awal atau bentuk nyeri orofacial lainnya. Peranan kondisi oklusal
sebagai faktor yang berperan dalam TMD dapat ditegaskan dengan uji terapi (dibahas
dalam bab selanjutnya). Untuk itu, sebagian besar model artikulator dilakukan jika dokter
menemukan bukti klinis signifikan yang menunjukkan bahwa kondisi oklusal
berhubungan dengan gejala TMD.

Jika model artikulator diindikasikan, model sebaiknya dipasangkan pada


artikulator semiadjustable atau articulator fully adjustable. Model artikulator memberikan
tampilan kontak oklusal yang lebih baik (khususnya pada tampilan lingual) dan
menghilangkan pengaruh kontrol neuromuskular dari pergerakan eccentric. Model
sebaiknya dipasangkan dengan dengan bantuan facebow transfer dan rekam CR. Model
diagnostik selalu dipasangkan pada posisi MS (CR) sehingga kisaran pergerakan rahang
bawah penuh dapat diperiksa pada artikulator (lihat Bab 18).

9.3.8.3. Electromygraphy

Dalam beberapa tahun terakhir, peneliti mulai tertarik menggunakan rekam


electromygrahic (EMG) dalam diagnosis dan perawatan TMD. Para ahli awalnya
menyakini bahwa otot sakit berada dalam kondisi spasme, peningkatan aktivitas EMD
dapat terlihat dari otot tersebut. Meskipun hal ini dapat dikatakan tepat untuk
myospamse, penelitian saat ini menunjukkan bahwa sakit otot sering tidak berhubungan
dengan peningkatan aktivitas EMG yang signifikan. Sebagian besar sakit otot tampak
disebabkan oleh kekakuan otot lokal, nyri myofascial, atau myalgia sentralis. Seperti
yang diuraikan pada Bab 8, kondisi ini tidak berhubungan secara langsung dengan
kontraksi otot (dan kontraksi otot tidak menghasilkan peningkatan aktivitas EMG).
Meskipun beberapa penelitian menunjukkan bahwa pasien dengan sakit otot memiliki
aktivitas EMG yang lebih tinggi dibandingkan kontrol, namun sebagian besar penelitian
menunjukkan perbedaan yang kecil. Berdasarkan fakta, perbedaan tersebut kurang dari
variasi yang terjadi antara pasien (yaitu pria dibandingkan wanita, pasien kurus
dibandingkan pasien kelebihan berat badan).

Selain itu, ditunjukkan juga bahwa variasi yang relatif kecil dalam pemasangan
electrode dapt merubah perekaman EMG secara signifikan. Hal ini berarti bahwa
perekaman yang dilakukan pada kunjungan berulang tidak dapat dibandingkan kecuali
pemasangan electrode dilakukan secara teliti pada lokasi yang sama untuk tiap kali
perekaman. Dengan perbedaan kecil dan variasi yang besar ini, perekaman EMG
sebaiknya tidak digunakan untuk mendiagnosa dan memantai perawatan TMD. Hal ini
tidak menunjukkan bahwa rekam EMG tidak vali atau tidak berguna. Electromyography
dapat memberikan informasi yang sangat baik mengenai fungsi otot dalam kondisi
penelitian. Metode ini juga berguna dengan berbagai tehnik biofeedback untuk
memungkinkan pasien untuk memeriksa tegangan otot selama pelatihan relaksasi. Tehnik
ini dibahas pada Bab 11.

9.3.8.4. Alat Pelacak Mandibula

TMD tertentu dapat menghasilkan perubahan dalam pergerakan mandibula


normal. Salah satu kelainan tersebut adalah pergeseran lemping dengan reduksi. Pada
saat membuka mulut, kondil dan lemping bergerak bersama-sama hingga lemping
berkurang. Selama pengurangan ini, bunyi click terkadang dapat dirasakan (lihat Bab 8),
dan jalur pembukaan mandibula akan mengalami deviasi (lihat Bab 9). Jika alat pelacak
mandibula digunakan, pergerakan mandibula yang tepat dapat drekam. Beberapa ahli
mengatakan bahwa alat pelacak ini dapat digunakan untuk mendiagnosa dan memantau
perawatan TMD. Namun, sejumlah kelainan intracapsular dan ekstracapuslar
tmenyebabkan deviasi dan defelski dalam jalur pergerakan mandibula. Karena deviasi
khas dapat tidak spesifik untuk kelainan tertentu, informasi ini sebaiknya hanya
digunakan jika disertai dengan riwayat dan hasil pemeriksaan. Tidak terdapat bukti yang
menunjukkan bahwa sensitivitas dan spesifitas alat pelacak rahang cukup terpercaya
untuk digunakan dalam mendiagnosa dan perawatan.

9.3.8.5. Sonography

Sonography adalah tehnik perekaman dan menampilkan bunyi sendi secara grafik.
Beberapa tehnik menggunakan alat pengeras suara, sedangkan tehnik lain bergantung
pada rekaman echo ultrasound (ultrasonography Doppler). Meskipun alat ini dapat
merekam bunyi sendi secara akurat, namun peranan bunyi ini belum dapat dibuktikan
dengan baik. Seperti yang dibahas pada Bab 8, bunyi sendi sering berhubungan dengan
kelainan lemping spesifik dan sebab itu bunyi sendi dapat menjadi tanda. Sebaliknya,
adanya bunyi sendi terkadang tidak menunjukkan terjadiya masalah. Sejumlah sendi
sehat dapat menghasilkan bunyi sendi pada saat melakukan gerakan tertentu. Agar
sonografi dapat digunakan dengan baik, alat tersebut harus dapat membedakan suara
yang memiliki peranan terhadap perawatan dengan suara yang tidak mempengaruhi
perawata. Saat ini, sonography tidak memberikan informasi diagnostik tambahan
dibandingkan pemeriksaan palpasi manual atau stethoscopic.

9.3.8.6. Analisis Getaran

Analisi getaran dapat membantu dalam diagnosis TMD intracapsular, dan


kelainan internal tertentu. Tehnik ini mengukur getaran kecil yang dihasilkan oleh kondil
pada saat kondil mengalami translasi dan metode ini telah terbukti dapat diandalkan.
Beberapa parameter analisis getaran spesifik tampak sensitif dan spesifik untuk
mengidentifikasi pasien dengan pergeseran lemping dibandingkan dengan pasien TMD
lainnya.

Hasil analisis negatif memiliki akurasi tinggi untuk mengidentifikasi sendi


normal, dan hasil positif lebih akurat untuk mengidentifikasi pergeseran lemping yang
telah mengalami reduksi dibandingkan pemeriksaan klinis untuk bunyi sendi atau
persepsi pasien mengenai bunyi sendi. Meskipun demikian, tehnik ini dapat mendiagnosa
hingga 25% pasien normal sebagai menderita kelainan dan salah menilai sendi yang
mengalami kelainan sebagai normal, khususnya jika bunyi sendi tidak dapat terdengar
atau jika kelainan belum mencapai tahap non-reduksi. Meskipun beberapa penelitian
melaporkan tingkat akurasi yang baik dalam mendeteksi getaran sendi, data menunjukkan
bahwa analisis getaran dapat menjadi pemeriksaan tambahan yang bermanfaat dalam
pemilihan terapi pasien yang baik. Sebab itu, biaya harus menjadi salah satu
pertimbangan dalam penggunaan alat tersebut. Sebab itu, pada saat ini, analisis getaran
tidak menjadi pemeriksaan pilihan pada kasus yang dicurigai terjadi kelainan internal.

9.3.8.7. Thermography
Thermography adalah tehnik yang merekam dan mengilustrasikan secara grafik
permukaan suhu kulit. Berbagai suhu direkam dengan warna berbeda, menghasilkan peta
yang menggambarkan permukaan yang diteliti. Telah ditunjukkan bahwa subjek normal
memiliki thermogram bilateral simetris. Dari konsep ini, beberapa penelitian mengatakan
bahwa thermogram tidak simetris menunjukkan adanya masalah seperti TMD. Meskipun
beberapa penelitian menunjukkan abhwa themogram yang tidak simetris berhubungan
dengan TMD, namun beberapa penelitian lain tidak menunjukkan hal tersebut. Sebuah
penelitian lain menunjukkan adanya variabilitas yang tinggi pada suhu permukaan wajah
normal pada kedua sisi. Sensitivitas dan spesifitas dalam mengidentifikasi titik picu
myofascial dengan thermography masih belum terpercaya. Variasi yang besar antara
kedua sisi, pasien dan laporan menunjukkan bahwa, untuk saat ini, thermography bukan
merupakan tehnik yang bermanfaat untuk diagnosis dan penanganan TMD.
BAB 11. Pertimbangan Umum dalam Perawatan
Temporomandibula Disorders

“TMD merupakan kondisi yang kompleks dan multifactorial, demikian juga pasien
kami.”

11.1 Keterkaitan dari berbagai Temporomandibula disorders

Keakuratan diagnosis dan penanganan temporomandibula disorders (TMDs)


dapat menjadi tugas yang sulit dan membingungkan. Hal ini sering berlaku terutama
karena gejala pasien tidak selalu sesuai pada satu klasifikasi. Dalam banyak kasus
beberapa klasifikasi terlihat sesuai karena dalam kenyataannya pasien menderita lebih
dari satu penyakit. Pada kebanyakan pasien satu penyakit berkontribusi dengan penyakit
lainnya. Oleh karena itu hal ini tepat ketika muncul lebih dari satu penyakit yang
berusaha dibuat untuk membedakan penyakit utama dari penyakit sekunder. Sebagai
contoh, keluhan pasien nyeri pada temporomandibula kanan2 minggu setelah jatuh yang
melukai sendi. Nyeri muncul selama 12 hari, namun saat minggu terakhir diperparah
dengan penurunan buka mulut berhubungan dengan ketidaknyamanan otot. Diagnosis
utama adalah cedera traumatic pada sendi, sedangkan diagnosis sekunder yakni otot co-
contraksi dan nyeri berhubungan dengan pergerakan yang terbatas pada sendi yang sakit.
Selama perawatan kedua diagnosis harus diperhatikan dan di atur dengan tepat.

Keterkaitan dari berbagai TMDs harus selalu dipertimbangkan dalam evaluasi dan
perawatan pasien. Kadang-kadang hampir mustahil untuk mengidentifikasi penyakit
mendahului yang lain. Sering kali bukti untuk menentukan seperti itu hanya melalui
riwayat menyeluruh. Contoh-contoh berikut menunjukkan keterkaitan yang komplek
antara beberpa TMDs.

Seorang pasien yang menderita gangguan otot pengunyahan seperti nyeri otot
local atau nyeri myofascial biasanya akan memberitahu keluhan utama myalgia. Kondisi
otot cenderung meningkatkan tonisitas otot-otot elevator, menciptakan peningkatan
tekanan interartikular sendi. Kondisi ini dapat diperburuk dengan hiperaktivitas dari otot
pterigoid superior lateral (bruxism), yang dapat menonjolkan gangguan subklinis disc
derangement.

Gangguan Otot Gangguan Disc

Pengunyahan Derangement

Pasien lain mengeluhkan gangguan awal disc derangement. Jika nyeri


berhubungan dengan hal itu, otot co-kontraksi sekunder dapat menghasilkan upaya untuk
mencegah gerkan yang menyakitkan. Jika otot co kontraksi menjadi berlarut-larut, nyeri
otot local dapat terjadi. Pada kasus ini gangguan disc derangement telah membuat
gangguan otot pengunyahan.

Gangguan Disc Gangguan Otot

Derangement Pengunyahan
Ketika beberapa gangguan disc derangement meningkat, permukaan articular
tulang sendi mengalami perubahan. Dengan kata lain, gangguan disc derangement dapat
menyebabkan inflamasi sendi.

Gangguan Disc Gangguan Otot

Derangement Pengunyahan

Gangguan Inflamasi

Ketika gangguan otot pengunyahan menetap, gerakan mandibula menjadi terbatas


yang dapat menyebabkan gangguan hipomobiliti mandibula kronis. Demikian juga
gangguan inflamasi dapat juga menyebabkan gangguan hipomobiliti mandibula kronis.

Gangguan Disc Gangguan Otot

Derangement Pengunyahan

Gangguan Gangguan

Inflamasi Hipomobiliti mandibula

Trauma adalah kondisi lain yang mempengaruhi seluruh gangguan. Trauma pada
setiap struktur sistem pengunyahan dapat menyebabkan atau berkontribusi pada sebagian
besar TMDs lainnya.

Gangguan Disc Gangguan Otot


Derangement Pengunyahan

Trauma

Gangguan Gangguan

Inflamasi Hipomobiliti mandibula

Diagram ini mulai menggambarkan keterkaitan yang rumit yang mungkin terjadi
antara berbagai TMDs. Hal ini menunjukkan mengapa banyak pasien memiliki gejala
yang berhubungan dengan lebih dari satu gangguan dan bagaimana hubungan ini dapat
membuat suatu diagnosis dan keputusan perawatan yang sulit.

11.2 Perawatan Temporomandibula disorders

Perawatan yang telah disarankan untuk TMDs sangat bervariasi pada spectrum
modalitas yang besar. Agar dokter dapat percaya diri memilih perawatan yang tepat, ia
harus menuntut bukti ilmiah untuk mendukung penggunaannya. Dukungan ini harus
menemukan bukti literature yang mencatat kesuksesan dan kegagalan perawatan.
Sayangnya, hal ini tidak selalu terjadi. Banyak artikel yang dipublikasikan menunjukkan
keberhasilan berbagai pilihan perawatan yang mungkin tidak diperkuat dengan bukti
ilmiah. Mungkin ini sebabnya mengapa para ahli bingung tentang penanganan TMD.

Hal ini juga menarik untuk dicatat bahwa popularitas metode perawatan tertentu
dapat ditemukan secara geografis regional. Hal ini mungkin sangat tepat karena
penelitian epidemiologi tidak melaporkan regionalisasi tiap TMD tertentu. Hal ini juga
dapat dicatat bahwa pilihan perawatan berkorelasi kuat dengn spesialisasi dokter tempat
pasien berkonsultasi. Jika pasien dating ke spesialis ortodontik, perawatan ortodontik
mungkin akan diberikan, jika ke dokter bedah mulut, prosedur pembedahan akan
diberikan, jika ke dokter prostodonsi, terapi oklusal. Tidak ada alasan yang menunjukkan
bahwa pasien dengan masalah yang sama harus menerima perawatan yang berbeda pada
tiap daerah. Juga tidak ada alasan mengapa pasien dengan masalah yang sama dirawat
secara berbeda dengan dokter spesialis yang berbeda.

Pengamatan lain yang menarik bahwa perawatan yang diberikan secara baru dan
revolusioner benar-benar ditunjukkan para ahli tahun sebelumnya dan ditemukan sedikit
tanpa nilai. Hal ini terlihat bahwa satu generasi telah lewat, seseorang menemukan
kembali perawatan dan memperkenalkan sebagai yang baru. Kemudian dokter menerima
ide dan mulai merawat pasien mereka. Hal ini tentunya kurang menguntungkan bagi
pasien karena mereka harus menderita dan menanggung biaya tambahan dan kadang-
kadang prosedur gigi tidak dapat kembali lagi bila telah gagal.

Pertanyaan yang harus ditanyakan adalah bagaimana dengan begitu banyak terapi
yang sudah dipublikasikan yang menyarankan mereka untuk menangani TMDs. Tidak
ada jawaban yang mudah untuk pertanyaan ini. Namun, pertimbangan tertentu dapat
membantu menjelaskan kontroversi ini. Berikut adalah beberapa diantaranya:


Bukti ilmiah yang memadai terdengar menghubungkan terapi dengan efek
perawatan yang kurang. Meskipun banyak penelitian yang telah menyelidiki
TMDs, kebanyakan secara metodologi gagal. Hanya baru-baru ini ahli gigi mulai
memberi bukti dasar metodologi. Terkontrol, dua arah, uji klinis adalah standar
untuk penelitian klinis dan penelitian ini langka di bidang TMD. Para ahli harus
mendorong lebih banyak penelitian untuk memajukan pengetahuan dalam bidang
ini 1

Upaya penelitian yang signifikan hanya dapat dimulai dengan kesepakatan
mengenai kategori diagnostic spesifik TMDs. Seperti telah ditekankan dalam teks
ini, tugas yang paling penting dari dokter adalah menegakkan diagnosis yang
tepat. Gangguan yang berbeda merespon secara berbeda terhadap perawatan
berbeda. Oleh karena itu hanya dengan diagnosis yang tepat dapat dipilih terapi
yang tepat. Pada kenyataannya membuat diagnosis sangat penting. Pada banyak
studi masa lalu menggambarkan kelompok perawatan sebagai pasien TMJ.
Deskripsi yang luas ini tidak meningkatkan pengetahuan karena terapi diselidiki
dapat mempengaruhi satu sub kategori dan lainnya. Dalam mengevaluasi dampak
perawatan tertentu, terapi ini harus diuji dalam kelompok pasien dengan diagnosis
umum. Ketika dokter mengevaluasi penelitian saat ini, dia butuh bersikap kritis
pada kelompok pasien uji dalam penelitian.1


Beberapa faktor-faktor etiologi yang berkontribusi pada TMDs sulit untuk di
kendalikan atau di hilangkan (mis stress emosional). Ketika faktor ini muncul,
efek perawatan gigi diminimalkan. Metode perawatan yang lebih efektif harus di
kembangkan untuk faktor ini.


Beberapa faktor yang menyebabkan TMD belum diidentifikasi dan mungkin
dipengaruhi dengan metode parawatan. Jadi gejala menetap setelah perawatan.
Sebagai faktor tambahan yang diidentifikasi, seleksi dan efektivitas perawatan
akan sangat meningkat.


Sering kali intensitas nyeri gangguan muckuloskeletal bermacam-macam dari
waktu ke waktu. Dengan kata lain, beberapa mungkin sangat nyeri dan pasien
yang lain hanya merasa sedikit nyeri. Variasi ini mungkin terjadi selama
berbulan-bulan. Dengan gejalan yang bervariasi, kebutuhan perawatan pasien
dirasakan dapat berubah. Pasien akan sering mencari perawatan untuk kondisi
saat sering muncul gejala. Pada saat ini dokter gigi menawarkan perawatan dan
gejala mulai di tangani. Pertanyaan yang harus diajukan adalah “Apakah gejala-
gejala pasien hilang karena efek terapi perawatan, atau hilang karena kembali ke
tingkat dasar yang berhubungan dengan fluktuasi tingkat gejala?”. Ini adalah
konsep yang penting dan disebut regresi dengan rata-rata.2 Setelah konsep ini di
hargai, akan terlihat jelas bahwa banyak perawatan dapat muncul dengan berhasil
ketika tidak memiliki nilai terupetik.Dalam mempelajari nilai sebenarnya dari
terpai perawatan, harus dibandingkan terus-menerus dengan yang tanpa
perawatan sama sekali. Inilah sebabnya mengapa kontrol uji klinis diperlukan.
Sayangnya, penelitian jenis ini kurang pada TMD. Konsep regresi akan dibahas
lebih rinci pada bab 15.

Tabel 11-1 dan tabel 11-2 memperlihatkan hasil dari kelompok penelitian jangka
panjang 3-43 untuk perawatan TMDs yang bervariasi. Penelitian perawatan jangka panjang
memberi informasi yang akurat mengenai efektivitas perawatan. Penelitian telah
ditempatkan dalam salah satu dari dua kategori:yang tersedia lebih konservatif, terapi
reversible dan yang tersedia non konvensional, terapi irreversible.

Ketika meninjau penelitian ini, orang harus ingat bahwa jenis pasien, kriteria
diagnosis, dan tingkat keberhasilan bervariasi sehingga penelitian sulit di bandingkan.
Sebuah pengamatan umum yang menarik, namun hal ini konservatif dan tidak konservatif
terlihat melaporkan tingkat kesuksesan secara jangka-panjang (70%-85%). Meskipun
terdapat kenungkinan bawaha populasi pasien diantara kelompok itu sangat berbeda,
perawatan konservatif dan non konservatif telah sukses secara jangka panjang. Oleh
karena itu terlihat bahwa pendekatan logis untuk manajemen pasien dilakukan pertama
dengan terapi konservatif dan mempertimbangkan terapi non konservatif hanya jika
perawatan konservatif gagal menangani gangguan tersebut.44,45 Filosofi ini berdasarkan
penanganan TMD, serta jenis gangguan lainnya.

Seluruh metode perawatan digunakan untuk TMDs dapat dikategorikan dalam


satu atau dua jenis: prawatan definitif atau terapi supertif. Perawatan definitive yakni
metode yang langsung mengontrol dan menghilangkan faktor penyebab yang
menyebabkan gangguan tersebut. Terapi suportif yakni metode perawatan yang langsung
menangani gejala pasien.
Tabel 11-1 Penelitian terapi konservatif (reversible) jangka panjang

%
Penulis Diagnosis Perawatan Jumlah Tahun Kesuksesan
      Pasien Perawatan  
Greene and Laskin Otot Exercise, meds, PT, appliances 135 0.5-8.0 76,0
Greene and Sendi Exercise, meds, PT, appliances 32 0.5-3.0 84,0
Markovic  
Carlsson and Gale Otot dan Sendi Biofeedback 11 0.4-1.3 73,0
Carraro and Otot Appliances 27 0.5-4.0 85,0
Caffesse  
  Sendi Appliances 20 0.5-4.0 70,0
  Otot dan Sendi Counsel, exercise, meds 40 0.5-12.0 76,0
Cohen Otot dan Sendi Counsel, exercise, meds 118 0.5-12.1 85,0
Dohrmann and Otot Biofeedback 16 1,0 75,0
Laskin  
Nel Otot Meds, exercise, SG, appliances 127 2.5 95,0
Heloe and Heiberg Otot Counsel, meds, appliances, SG 108 1.5 81,0
Wessberg et al. Otot dan Sendi TENS, appliances 21 1,0 8,60
Green and Laskin Otot Biofeedback, meds, relax, 175 5,0 90,0
  appliances  
Magnusson and Otot dan Sendi Counsel, exercise, appliances 52 2.5 76,0
Carlsson  
Wedel and Carlsson Otot dan Sendi Exercise, appliances, SG 350 2.5 75,0
Strychalsky et al. Otot dan Sendi Exercise, appliances 31 2,0-3,0 72,0
Okeson and Hayes Otot dan Sendi Meds, relax, appliances, SG 110 4,0-5,0 85,0
Randolph et al. Otot dan Sendi Counsel, appliances, meds, 110 2,0 88,0
  TENS, PT  
Okeson Sendi Appliances 40 2,5 75,0
Williamson Sendi Appliances 160 0.3 89,4
Kurita Otot dan Sendi Appliances 232 0.16 84,0
Sato Sendi None 22 1.5 68,2
Meds, Resep obat; PT, Terapi Fisik; SG, selektif grinding; TENS, stimulasi nervus
elektrikal transcutaneous

Diagnosis menunjukkan populasi tiap pasien pada otot dengan gangguan otot
ektracapsular atau gangguan intracapsular sendi.

11.2.1 Perawatan definitive

Terapi definitive ditujukan langsung pada pengurangan atau perubahan faktor


etiologi yang berhubungan dengan gangguan. Sebagai contoh, perawatan definitive untuk
dislokasi anterior disc articular akan terbentuk kembali dengan hubungan condyle-disc.
Karena diarahkan langsung pada etiologi , diagnosis yang akurat sangat penting.
Diagnosis yang tidak tepat menyebabkan perawatan yang tidak tepat. Perawatan
definitive tiap TMD didiskusikan pada bab berikut. Pada bab ini etiologi umum dan
faktor yang predisposisi akan dipertimbangkan.

Seperti yang tercantum dalam Bab 7, hasil TMD pada keadaan normal dari sistem
pengunyahan terganggu dalam suatu keadaan (gambar 11-1). Kejadian itu adalah
etiologinya. Terpai definitive dimaksudkan utnuk mengurangi kejadian ini atau
konsekuensinya. Kejadian umum yang mungkin adalah lokal trauma pada jaringan atau
peningkatan stress emosional. Kejadian yang akut mengubah input sensory ke struktur
pengunyahan (perubahan akut pada oklusi). Seperti yang dibahas pada Bab 7, hal ini
merupakan suatu mekanisme dimana oklusi dapat menyebabkan TMD tertentu.
Tabel 11-2 Penelitian Jangka Panjang Terapi Nonkonservatif (ireversibel)

%
Penulis Diagnosis Perawatan Jumlah Tahun Kesuksesan
      Pasien Perawatan  
Zarb and Thompson Otot dan Sendi Appliance, SG, 56 2,5-3,0 0,0
  Reconstruction 80,0
Banks and Sendi Condylotomy 174 1,0-20,0 73,0
Mackenzie  
Cherry and Frew Sendi High condylectomy 55 0,4-4,0 77,0
Brown Sendi Meniscectomy 214 0,3-15,0 80,0
Bjornland and Sendi Discectomy 15 3,0 73,0
Larheim  
Marcianini and Sendi TMJ surgery 51 2,9 77,0
Ziegler  
Merjesjo and Otot dan Sendi Counsel, appliances, SG, 154 7,0 80,0
Carlsson reconstruction  
Upton et al. Sendi Ortho, ortho-surg 55 2,0-5,0 78,0
Benson and Keith Sendi Plica, high condylotomy 84 2,0 88,0
Eriksson and Sendi Discectomy 69 0,5-20,0 74,0
Westesson  
Silver Sendi Meniscectomy 224 1,0-20,0 85,0
Holmlund et al. Sendi Discectomy 21 1,0 86,0
  Sendi Plica, high condylectomy 68 2,5 90,0
Moses and Poker Sendi Arthroscopy 237 0,0-9,0 92,0
Murakami et al. Sendi Arthroscopy 15 3,0-5,0 93,3
Kirk Sendi Arthrotomy and arthroplasty 210 4,0-9,0 90,1
Murakami Sendi Arthroscopy 41 5,0 70,0
Gynther Sendi Arthroscopy 23 1,0 74,0
Summer Sendi Reconstruction 75 1,0 - 6,0 84,0-92,0
Sato Sendi Arthrocentesis, HA acid 26 0,5 71,3
Nitzan Sendi Arthrocentesis 39 1,4 95
Rosenberg Sendi Arthrocentesis 90 2,5 82,0
Carvajal Sendi Arthrocentesis 26 4,0 88,0
HA, Hyaluronic;ortho-surg, pembedahan ortho;plica, plication;SC, slektif
grinding;TMI,sendi temporomandibula

Diagnosis menunjukkan populasi tiap pasien pada otot dengan gangguan otot
ekstracapsular atau gangguan intracapsular sendi

Gambar 11-1 Hubungan etiologi dan pendukung Fac-torsthat yang menyebabkan


gangguan temporomandibula

Fungsi normal +Kejadian > Toleransi fisiologi Gejala gangguan temporomandibula

(Seperti yang didiskusikan dalam Bab 7). Perawatan definitive yang menyebabkan
faktor-faktor berhubungan dengan kejadian yang memiliki fungsi normal dalam sistem
pengunyahan.

Pengaruh kedua efek oklusi berasal dari ketidakstabilan ortopedi. Seperti diskusi
sebelumnya, ketidakstabilan ortopedi saja tidak berperan penting pada TMDs. Masalah
yang muncul ketika ketidakstabilan ortopedi di kombinasikan dengan kekuatan yang
berhubungan dengan beban. Oleh karena ketidakstabilan ortopedi dianggap sebagai salah
satu komponen yang mempengaruhi toleransi psikologi pasien. Oklusi dapat
mempengaruhi TMDs dalam dua cara. Riwayat dan pemeriksaan sangat penting dalam
memahami peran kondisi oklusal pada TMD. Salah satu yang harus selalu diingat bahwa
adanya gangguan oklusal tidak menunjukkan etiologi. Hampir semua individu memiliki
gangguan oklusal. Kondisi oklusal bukan saja etiologi dari TMDs. Kondisi oklusal dapat
berubah atau mewakili ketidakstabilan ortopedi. Ketika oklusi bukan merupakan faktor
etiologi, perawatan oklusal menjadi terapi definitif.
Etiologi TMD yang lain yakni peningkatan stress emosional. Ketika kondisi ini di
curigai, terapi yang digunakan untuk mengurangi stress dipertimbangkan sebagai
perawatan definitif.

Meskipun trauma juga dapat menyebabkan TMDs, trauma mewakili kejadian


tunggal dengan etiologi yang tidak terlalu terlihat saat pasien mencari p.erawatan.
Perawatan pada jaringan yang terkena trauma hanya dapat dilakukan dengan terapi
suportif. Dilain pihak, jika trauma adalah hasil mikrotrauma yang berulang, sebagai
contoh aktivitas fungsional dengan adanya perpindahan sendi maka perawatan definitif
menjadi terapi yang akan lebih menguntungkan untuk beban.

Seperti pembahasan dalam bab 7, setiap sumber nyeri berperan dalam


menyebabkan TMD. Nyeri yang dalam dapat menyebabkan sakit pada wajah dan juga
menyebabkankontraksi otot pelindung. Ketika sumber nyeri muncul, hal ini perlu
dihilangkan sehingga rasa sakit sekunder dan respon otot akan terselesaikan.
Penghilangan rasa sakit dianggap terapi definitif.

Etiologi terakhir yang dibahas dalam bab 7 yakni aktivitas parafungsional.


Apakah ini diurnal atau nonturnal, bruksism atau clenching, tipe aktivits otot ini berperan
untuk gejala TMD. Ketika muncul, terapi definitive ditujukan untuk menghilangkan
aktivitas otot ini.

Dalam bagian ini masing-masing dari 5 jenis pertimbangan etiologi dibahas dan
perawatan definitive masing-masing jenis. Memastikan faktor etiologi yang paling
penting yang menyebabkan TMD sering sulit, khususnya pada kunjungan awal. Oleh
karena itu adalah bijaksana berhati-hati dengan perawatan dan menghindari perawatan
yang agresif pada awalnya. Dengan alasan ini, pernyataan berikut dibuat: Seluruh
perawatan awal harus konservatif, reversible dan non invasive.

11.2.1.1 Pertimbangan terapi definitive pada faktor oklusal

Terapi oklusal dianggap perawatan yang dilakukan untuk mengubah posisi


mandibula dan pola kontak oklusi gigi. Ini dapat dibagi menjadi dua jenis: reversible dan
irreversible.

11.2.1.1.1 Terapi Oklusal Reversible

Terapi oklusal reversible mengubah kondisi oklusal pasien hanya sementara dan
yang terbaik dilakukan dengan piranti oklusal. Ini merupakan piranti aklirik yang
dipasang diatas gigi pada satu lengkung yang memiliki permukaan antagonis yang
membuat dan mengubah posisi mandibula dan pola kontak gigi (gbr 11-2)

Gambar 11-2

Piranti maksilaoklusal penuh, jenis terapi oklusal reversible

Posisi mandibula dan oklusi yang tepat akan tergantung pada etiologi dari
gangguan. Ketika aktivitas parafungsional di tangani, piranti menyediakan posisi
mandibula dan oklusi yang sesuai dengan kriteria hubungan oklusal yang optimum (lihat
bab 5). Dengan demikian ketika piranti sedang digunakan, pola kontak oklusi yang
harmonis dengan hubungan sendi fosa kondil optimum pasien terbentuk. Oleh karena itu
piranti memberikan stabilitas ortopedi. Jenis piranti ini telah digunakan untuk
mengurangi gejala yang berhubungan dengan berbagai TMDs 6,46-48
serta menurunkan
aktivitas parafungsional 49-60.
Tentunya, stabilitas ortopedi dipertahankan hanya melalui
piranti yang sedang digunakan dan oleh karena itu dianggap sebagai perawatan revrsibel.
Ketika dihilangkan, kondisi awal kembali. Piranti oklusal yang menggunakan posisi
musculoskeletal kondil disebut sebagai piranti stabilitas.

11.2.1.1.2 Terapi Oklusal Irreversible

Terapi oklusal irreversible adalah perawatan yang permanen yang mengubah


kondisi oklusal atau posisi mandibula. Contohnya yakni dengan selektif grinding pada
gigi dan prosedur restorative yang memodifikasi kondisi oklusal (gbr 11-3). Contoh
lainnya yakni perawatan ortodontik dan prosedur pembedahan yang dilakukan untuk
mengubah oklusi atau posisi mandibula. Piranti yang dibuat untuk mengubah reposisi
permanen mandibula dan pertumbuhannya juga di anggap sebagai terapi oklusal
irreversible. Perawatan ini dibahas pada bagian IV dalam teks ini.

Ketika mengobati pasien,salah satu yang seharusnya di perhatikan adalah


kompleksitas TMDs. Sering kali, khususnya ketika terjadi hiperaktivitas otot, mustahil
untuk menjadi faktor etiologi utama. Oleh karena itu terapi reversible selalu diindikasikan
sebagai perawatan awal pada pasien TMDs. Sukses atau gagalnya perawatan ini mungkin
dapat membantu dalam menentukan kebutuhan terapi oklusal irreversible. Ketika seorang
pasien berhasil dengan terapi oklusal reversible (piranti stabilitas), tampaknya ada
indikasi bahwa terapi oklusal irreversible juga dapat membantu. Korelasi ini kadang-
kdang benar, tetapi tentu tidak selalu benar. Piranti oklusal dapat mempengaruhi fungsi
pengunyahan dalam berbagai cara (lihat bab 15)
Gambar 11-3

Rekontruksi gigi lengkap, jenis terapi oklusal irreversible

11.2.1.2 Pertimbangan Terapi Definitif untuk Stres Emosional

Beberapa TMds secara etiologi berhubungan dengan emosional 61,62.


Stres
emosional adalah salah satu faktor psikologi yang perlu dipertimbangkan.

Peningkatan level stress emosional dapat mengakibatkan fungsi otot


meningkatkan aktivitas istirahat 63,64.
(co- kontraksi pelindung), meningkatnya bruksism
atau keduanya. Peningkatan levelstres emosional juga mengaktifkan sistem nervus
simpatik, yang mungkin dengan sendirinya menjadi sumber nyeri otot 65,66
. Aktivasi dari
sistem nervus juga berhubungan dengan gangguan psikopsikologi yang terkait dengan
TMS, seperti sindrom iritasi usus, sindrompremenstrusi dan interstitial cystitis 67 . Hal ini
sangat penting bagi dokter utnuk mengetahui hubungan dan perawatan yang tepat.
Sayangnya dokter gigi tidak sering di latih dengan baik dalam bidang kedokteran dan
karena itu tidah berkompeten. Namun demikian, dokter gigi yang merawat TMD harus
diberi penghargaan untuk masalah ini, jika diindikasikan, arahan yang tepat dapat dibuat.
Hal berikut akan berfungsi sebagai tinjauan singkat tentang ciri0ciri kepribadian
dan keadaan emosional yang dpat mempengaruhi gejala TMD. Sebuah tinjauan yang
lebih luas tersedia dalam teks yang ditulis secara khusus tentang subjek.

11.2.1.2.1 Sifat umum Kepribadian

Sifat kepribadian yang dianggap sebagai fitur yang relative permanen pada
indiviidu. Hal ini menjadi signifikan dan membantu dalam menegakkan diagnosis jika
sifat-sifat tertntu yang umum ditemukan pada TMDs. Banyak penelitian 68-75
telah
berusaha untuk mengklasifikasikan sifat umum kepribadian. Beberapa74,75 telah
menyimpulkan bahwa pasien TMD umumnya perfeksionis, kompulsif dan dominan.
Penelitian lain76 melaporkan bahwa pasien TMD lebih tertutup dan dengan kecemasan
yang tinggi. Salah satu penelitian menunjukkan kepribadian tipe A terlihat lebih umum
pada pasien TMD dibandingkan kepribadian tipe B77. Yang lain68,69 telah dijelaskan
bahwa pasien ini bertanggung jawab dan murah hati. Penelitian lain 73 telah menunjukkan
bahwa pada umumnya kurang bahagia, kurang puas dan merusak diri-sendiri. Peneliti
lain76 juga menunjukkan bahwa pasien TMD memiliki kepribadian yang lebih rentan
terhadap tekanan hidup daripada pasien tanpa TMD. Namun penelitian lain 78-80
melaporkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara kelompok TMD, kelompok pasien
nyeri, kelompok pasien kontrol dalam tipe kepribadian, respon terhadap penyakit dan
cara-cara untuk mengatasi stress. Sebagai penelitian lanjutan, mereka terlihat banyak
konflik. Dengan demikian kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa variasi besar
dalam sifat kepribadian populasi pasien mencegah sifat umum dalam membantu
mengidentifikasi faktor etiologi TMDs.

11.2.1.2.2 Kondisi Emosional Umum


Tidak seperti sifat kepribadian, kondisi emosional dapat memiliki efek jangka
pendek pada perilaku manusia. Ketika kelompok pasien TMD diteliti kondisi emosional
umum, di laporkan memiliki hasil konsisten. Pada banyak penelitian63-90 kecemasan tinggi
tampaknya umum. Hal ini tidak ditentukan apakah tingkat yang tinggi adalah penyebab
gejala atau apakah adanya gejala yang meningkatkan kecemasan. Sangat mungkin kedua
kondisi ada. Kondisi emosional yang umum dilaporkan adalah kekuatiran, frustasi,
permusuhan, kemarahan dan ketakutan.*

Input gabungan dari kondisi emosional menentukan tingkat stress yang dialami
oleh pasien. Beberapa bukti49-95 yang menunjukkan bahwa tingakat yang lebih besar dari
stress emosional dapat menyebabkan aktivitas parafungsional meningkat dalam sistem
pengunyahan. Aktivitas otot yang meningkat tidak hanya berhubungan dengan clinching
atau bruksism tetapi hanya dapat mewakili peningkatan openingkatan tingkattot. 63
Dengan demikian korelasi dapat ditarik antara peningkatan tingkat kecemasan, ketakutan,
frustrasi dan kemarahan dan hiperaktivitas otot. Oleh karena itu penting untuk berhati-
hati pada kondisi pasien. Sayangnya, bagaimanapun, tidak adanya tes psikologi yang
dapat diberikan untuk menentukan apakah keadaan emosional berkontribusi terhadap
hiperaktivitas otot96,97. Penting, bahwa tidak semua penelitian menemukan hubungan yang
jelas antara peningkatan tingkat stress emosional dan peningkatan level aktivitas
parafungsional97,98

Fakta bahwa kelompok pasien pada tingkat kecemasan tinggi tidak sendirinya
berarti bahwa pasien yang diberi skor kecemasn tinggi selalu mengalami hiperaktivitas
otot karena kecemasannya. Menyadari hal ini hubungan antara stress emosional dan
hiperkativitas otot adalah penting sehingga dapat dipertimbangkan dalam memilih
perawatan yang tepat. Jika peningkatan tingkat stress emosional dan kecemasan
berhubungan dengan peningkatan hiperaktivitas otot, maka akan diharapkan terlihat
gangguan otot daripada gangguan intracapsular yang behubungan dengan stress
emosional. Dokter melihat banyak gangguan otot, jadi ini ternyata benar. Pasien yang
menderita gangguan otot melaporkan tingginya tingkat stress emosional dibandingkan
dengan pasien yang menderita gangguan derangement sendi.61,87,99-101.

Kondisi emosional lain yang berhubungan dengan TMDs adalah depresi61,73,96,102-


107
Meskipun beberapa penelitian108,109 menunjukkan secara berbeda, depresi mungkin
memainkan peranan penting pada TMDs. Depresi tidak mungkin menyebabkan TMD,
namun pasien yang menderita nyeri kronik mengalami depresi104,110-115. Ketika gejala
TMD dan depresi muncul, pasien merespon baik terhadap terapi yang ditujukan untuk
faktor gigi dan depresi.116 Hal ini benar terlepas dari hubungan sebab akibat. Saran telah
dibuat 117 pasien dengan gangguan otot pengunyahan tidak merespon terapi konvensional
dapat masuk ke kategori depresi klinis dam butuh dirawat untuk gangguan ni. Jika hal ini
benar, maka dapat membantu memprediksi kemajuan perawatan berdasarkan kesehatan
emosional. Saat ini, bagaimanapun, penelitian yang berusaha untuk menjawab hal ini
belum berhasil100,118-120 Oleh karena itu dengan kondisi emosional lainnya, tidak ada tes
yang tersedia yang mampu membantu menentukan lebih jauh perawatan akan berhasil121

Pertimbangan psikologi lain yang muncul secara signifikan terkait dengan nyeri
wajah kronis adalah riwayat kekerasan fisik atau seksual. Penelitian 122-128 melaporkan
bahwa wanita yang menderita nyeri wajah kronis, nonresponsive dan askit kepala
memiliki insiden yang lebih tinggi secara signifikan pada kekerasan fisik atau seksual.
Pada beberapa pasien dengan riwayat kekerasan mengalami gangguan stress posttrauma,
kondisi psikologi yang merupakan peningkatan respon sistem nervus anatomi. Regulasi
sistem nervus anatomi yang tinggi terlihat mengubah kemampuan tubuh untuk mengatasi
tantangan baru, baik fisik atau psikologi. Pada kenyataannya pengalaman sebelumnnya
terkait dengan nyeri wajah, dokter gigi dapat ditempatkan pada kondisi yang
menguntungkan. Banyak pasien yang dating ke dokter gigi untuk perawatan nyeri wajah
tidak mengetahui adanya hubungan emosional traumatic dan oleh karena itu tidak
memberitahu ke dokter gigi tentang pengalaman tersebut. Jika kekerasan fisik atau
seksual masa lalu merupakan bagian penting dari masalah nyeri kronis, dokter gigi
mungkin gagal untuk merawat nyeri tersebut dengan terapi gig. Disisi lain, dokter gigi
harus berhati-hati dalam mendekati hal ini karena kepekaan dan karena pasien mungkin
tidak sadar akan hubungan kekerasan itu terhadap masalah nyeri. Ketika kekerasan fisik
atau seksual diduga, hal yang terbaik bagi dokter gigi untuk merujuk pasien ke dokter
psikologi atau psikiater untuk evaluasi dan terapi yang tepat. Namun, dokter gigi mampu
membantu perawatan pasien dengan mengintruksikan individu dengan teknik yang akan
membantu dalam menurunkan regulasi sistem nervus autonomi. Teknik ini akan
dijelaskan kemudian pada bab ini.

Masih kondisi emosional lain yang kadang-kadang harus diatasi untuk merawat
pasien dengan nyeri wajah kronis dikenal sebagai tambahan sekunder. Untuk beberapa
pasien, pengalaman nyeri melengkapi manfaat yang dibutuhkan. Hal ini dapat memberi
perhatian dan penghiburan dari pasangan atau teman-teman. 129-130. Hal ini juga dapat
digunakan sebagai alasan dari pekerjaan atau kewajiban yang tidak menyenangkan.
Meskipun tidak menjadi perhatian utama dalam perawatan pasien TMD, tambahan
sekunder dianggap sebagai faktor yang mungkin bagi kegagalan perawatan kronik 131.
Ketika pasien menerima tambahan sekunder dari nyeri, mungkin merupakan perawatan
yang akan gagal.

Ketika penelitian terpisah pasien dengan gangguan otot pengunyahan dari orang-
orang dengan keluhan intracapsular, beberapa perbedaan terlihat61,87,132. Pasien nyeri otot
memperlihatkan derajat tinggi nyeri dan sakit dibandingkan pasien itracapsular. 133
Mereka juga memperlihatkan perhatian yang lebih untuk fungsi bodily dan sakit.
Penelitian lain memperlihatkan tidak ada perbedaan pasien dengan nyeri otot dan sendi
ketika evaluasi stress dan kecemasan tetapi menemukan bahwa pasien nyeri otot secara
umum merasakan bahwa mereka lepas kendali terhadap situasi hidup mereka. 64,84. Hal ini
didukung dengan penelitian lain134 yang mengungkapkan tidak ada perbedaan pada
depresi diri sendiri dan kecemasan antara pasien TMD dan kontrol: namun, pasien
merasa kurang mampu mengontrol masalah mereka. Mungkin perasaan diluar kendali
akan terbukti menjadi faktor yang signifikan dalam TMD. JIka hal ini benar, mengajar
pasien kami dengan metode lebih baik untuk mengontrol kondisi hidup mereka
seharusnya secara signifikan mempengaruhi jumlah pasien yang mencari perawatan.

11.2.1.2.3. Ringkasan sifat kepribadian dan kondisi emosional

Kesimpulan berikut dapat dibuat mengenai pasien yang memiliki faktor


emosional yang berkontribusi terhadap TMD mereka:


Tidak ada sifat kepribadian tunggal yang tampaknya umu dalam kelompok pasien
ini. Sebaliknya, variasi sifat ditemukan. Tidak ada bukti penelitian yang
menunjukkan pasien baik neurotic atau psikotok. Sejumlah besar pasien TMD
memiliki karakteristik kepribadian atau kondisi emosional yang membuat atau
menyerupai situasi hidup yang sulit99,135-138 Tidak ada tes kepribadian yang efektif
membantu dalam memilih perawatan yang tepat untuk diberikan pada individu.


Tampaknya pasien TMD, khususnya kondisi kronis, pengalaman secara umum
dan laporan peningkatan tingkat kecemasan, frustasi dan kemarahan. Adanya
kondisi emosional cenderung meningkatkan tingkat stress emosional yang dapat
berkontribusi pada TMD139-140 Depresi dan kecemasan berhubungan dengan
peristiwa besar dalam hidup yang dapat mengubah persepsi pasien dan toleransi
gejala, menyebabkan pasien mencari perawatan yang lebih.72,141-143 Tidak ada bukti
yang menunjukkan bahwa pengujian individu untuk tingkat kondisi emosionalnya
akan berguna pada pemilihan perawatan yang tepat.

11.2.1.2.4 Tipe-tipe Terapi Stress Emosional

Ketika menangani pasien dengan gejala TMD, khususnya gangguan otot


pengunyahan, salah satu yang harus selalu diperhatikan adalah stress emosional sebagai
faktor etiologi. Namun, tidak ada cara untuk meyakini bahwa stress emosional berperan
pada gangguan ini. Seperti disebutkan sebelumnya, terapi oklusal reversible membantu
dalam faktor etiologi lainnya dan dengan demikian membantu dalam diagnosis faktor
stress emossional. Ketika tingkat tinggi stress emosional di curigai, perawatan diarahkan
pada penurunan tingkat emosional.

Banyak dokter gigi yang merasa tidak nyaman memberikan perawatan untuk
stress emosional. Hal ini dibenarkan karena pendidikan gigi tidak memberi pengetahuan
yang memadai untuk perawatan tersebut. Setelah itu, dokter gigi bertanggung jawab
untuk kesehatan mulut, bukan psikologis pasien. Namun, TMDs adalah salah satu bidang
kedokteran gigi yang erat kaitannya dengan keadaan emosional pasien. Dokter gigi
mungkin tidak dapat memberikan terapi psikologi, tetapi harus memperhatikan hubungan
itu dan dapat menghubungkan dengan informasi dari pasien. Ketika terapi psikologi
diindikasikan, pasien seharusnya dirujuk ke terapis yang handal. Pada banyak kasus,
pasien mengalami tingkat stress emosional tinggi dari rutinitas sehari-hari mereka. Ketika
dicurigai, jenis terapi stress emosional sederhana di gunakan.

11.2.1.2.4.1 Kesadaran Pasien

Banyak orang yang memiliki gangguan fungsi, nyeri orofasial sistem


pengunyahan tidak sadar hubungan yang mungkin antara masalah mereka dan stress
emosional. Ini akan mengejutkan untuk berpikir secara berbeda karena gejala yang
muncul dari struktur sistem pengunyahan. Oleh karena itu pasien yang dating ke dokter
gigi dengan gejala yang berkaitan dengan hiperaktivitas otot, perawatan pertama adalah
mengedukasi pasien mengenai hubungan stress emosional, hiperaktivitas otot dan
masalah mereka. Kesadaran tentang hubungan ini harus dilakukan sebelum perawatan
apapun dimulai. Ingat juga bahwa aktivitas parafungsional muncul hamper seluruhnya
dibawah alam sadar dan pasien umumnya tidak menyadari hal itu. Mereka umumnya
menyangkal adanya tingkat stress tinggi dalan kehidupan mereka. Oleh karena itu kita
harus yakin bahwa pasien menyadari bahwa stress adalah pengalaman sehari-hari yang
umum dan bukan gangguan neurotic atau psikotik. Konsep ini baru untuk pasien dan
kadang-kadang terselesaikan dengan waktu.

Pasien seharusnya mencoba untuk menyadari setiap saat gigi berkontak sewaktu
mengunyah, menelan dan berbicara. Seringkali pasien menyangkal bahwa salah satu
kontak gigi nonfungsional terjadi sampai mereka aktif mencoba untuk
mengidentifikasinya. Pasien akan sering kembali pada kunjungan kedua dengan
apresiasi yang lebih baik untuk jumlah kontak ggi nonfungsional yang terjadi selama
waktu lalu yang tidak disadari. Membangun kesadaran kontak gigi nonfungsional,
hiperaktivitas otot dan stress penting dalam perawatan.

11.2.1.2.4.2 Membatasi Penggunaan

Nyeri pada sistem pengunyahan sering membatasi fungsi gerakan mandibula.


Mungkin, gerakan-gerakan yang menyakitkan harus dihindari karena sering
meningkatkan co-kontraksi otot pelindung. Selain itu, gerakan-gerkan ini harus dihindari
karena dapat meningkatkan gejala gangguan melalui pusat efek dan nyeri otot siklik.

Pasien diintruksikan untuk berfungsi dalam kisaran gerakan yang menyakitkan.


Dengan aturan umum, “Jika sakit jangan lakukan.” Ini biasanya berarti bahwa makanan
harus diubah. Pasien dianjurkan untuk mengkonsumsi makanan lunak, melakukan gigitan
kecil dan mengunyah perlahan. Kesadaran akan aktivitas rongga mulut dikembangkan
dan upaya yang dilakukan untuk menghentikannya

Meskipun tampaknya menjadi penyataan yang jelas, seluruh pasien membutuhkan


intruksi dalam membatasi penggunaan mandibula mereka dalam kisaran yang
menyakitkan. Latihan yang kurang membuat pasien mungkin terus menyalahgunakan
rahang mereka dengan makanan yang ada atau aktivitas rongga mulut (mis mengunyah
permen karet, clenching). Pada banyak kasus fiksasi berkepanjangan lengkung rahang
kontraindikasi karena kontraktur miostatik otot elevator di temukan.

11.2.1.2.4.3 Penghindaran Sukarela

Ketika pasien sadar kontak gigi nonfungsional, perawatan hiperaktivitas otot


dimulai. Pasien diintruksikan bahwa setiap kali gigi berkontak, selain mengunyah,
menelan dan berbicara, pasien harus segera melepaskannya. Hal ini mudah dicapai
dengan sedikit udara antara bibir dan gigi, yang memungkinkan rahang untuk
ditempatkan pada posisi istirahat. Bibir pasif dan gigi tetap agak berpisah. Ini adalah
posisi paling santai pada rahang dan merupakan posisi mandibula saat pasien tidak
mengunyah, menelan atau berbicara. Posisi istrirahat ini tidak akan menurunkan aktivitas
otot dan nyeri otot tetapi juga meminimalkan tekanan interartikular yang membantu
perbaikan sendi. Latihan sederhana ini harus diulang tiap hari sampai terbiasa sehingga
dapat mempertahankan mandibula pada posisi istirahat tiap hari.

Kebiasaan rongga mulut lainnya yakni menggigit benda (pensil) atau menaruh
telepon antara mandibula dan bahu yang dapat memperburuk gejala TMD. Kebiasaan ini
perlu diidentifikasi dan tidak dilanjutkan.144 Aktivitas parafungsional yang terjadi di
bawah alam sadar khususnya saat tidur, sulit untuk dikontrol sendiri dan untuk itu terapi
lain seperti piranti oklusal diindikasikan.

Stres emosional dapat juga dikontrol sendiri hingga batas tertentu. Stelah stress
diidentifikasi, pasien dianjurkan untuk menghindarinya. Sebagai contoh, Jika stress
meningkat saat berkendara dijalan yang padat, rute alternative dapat dilakukan untuk
menghindari kemacetan. Ketika stress disebabkan oleh pekerjaan, harus dihindari. Jelas,
seluruh penyebab stress tidak dapat dan tidak harus dihindari. Seperti dibahas dalam Bab
7, beberapa hal positif dan membantu memotivasi individu mencapai tujuannya. Hans
Selye145,menyatakan kebebasan penuh dari stress adalah kematian”. Ketika penyebab
stress tidak dapat dihindari sepenuhnya, frekuensi dan durasi stress harus dikurangi.

11.2.1.2.4.4. Terapi Relaksasi

Dua jenis terapi relaksasi dapat di kembangkan untuk mengurangi tingkat stress
emosional: substitusi dan aktif

Terapi relaksasi substitusi dapat berupa substitusi penyebab stress atauupaya


untuk mengurangi dampak terhadap pasien. Hal ini lebih akurat digambarkan dalam
modifikasi perilaku dan setiap kegiatan yang dinikmati pasien akan menghilangkan
situasi stresnya. Pasien dianjurkan bila memungkinkan untuk menjauhkan diri dari stress
dan melakukan kegiatan yang dinikmatinya seperti melakukan olahraga, hobi dan
aktivitas rekreasi. Untuk beberapa pasien mungkin dapat mengambil waktu sendiri. Ini
harus menjadi waktu yang menyenangkan dan kesempatan melupakan penyebab stress.
Kegiatan tersebut menjadi pelepas stress dan mengarah pada menurunnya stress
emosional pasien146

Olahraga teratur juga dapat menjadi pelepas stress, yang mendorong pasien untuk
merasa senang. Tentu saja tidak akan sesuai untuk seluruh pasien dan kondisi tubuh
umum dan kesehatan harus selalu dipertimbangkan sebelum menasihatkan pasien
memulai program latihan aktif.

Terapi relaksasi aktif dapat mengurangi aktivitas otot. Salah satu keluhan umum
pasien dengan gangguan fungsional adalah nyeri otot. Nyeri otot local berasal dari
jaringan otot yang mengikuti peningkatan co-kontraksi. Jika pasien dilatih untuk
mengendurkan otot-otot, fungsi normal dapat diperoleh.

Pelatihan pasien untuk mengendurkan otot-otot secara efektif mengurangi gejala


dalam dua cara berbeda. Pertama, memerlukan waktu tenang jauh dari penyebab stress.
Sesi latihan ini sendiri merupakan terapi relaksasi substitusi. Kedua, membantu dalam
pembentukan fungsi normal dan kesehatan jaringan otot. Otot yang kronis dan kadang-
kadang hiperaktif sering kelelahan. Ketika pasien dilatih untuk mengendurkan otot secara
sukarela, aliran darah ke jaringan terjadi dan zat sisa metabolism yang merangsang
nociseptor (reseptor nyeri) akan dieliminasi. Hal ini kemudian mengurangi sakit. Oleh
karena itu terapi relaksasi dianggap baik untuk perawatan definitive untuk mengurangi
stress emosional dan perawatan suportif untuk mengurangi gejala otot.

Latihan pasien untuk bersantai secara efektif dapat dilakukan dengan


menggunakan beberapa teknik. Pertama yang telah diteliti dengan baik adalah relaksasi
progresif. Banyak dari teknik ini adalah modifikasi dari metode Jacobson 147 yang
dikembangkan tahun 1968. Otot-otot pasien menjadi tegang dan kemudian rileks hingga
kondisi rileks dapat di rasakan dan dipertahankan. Pasien diintruksikan untuk untuk
berkonsentrasi pada daerah perifer (tangan dan kaki) dan untuk menggerakkan secara
terpusatke daerah perut, dada dan wajah. Hasil ini dapat ditingkatkan dengan
memperoleh relaksasi pasien, sebaiknya dengan berbaring148 dalam keadaan nyaman
dengan mata tertutup (gbr 11-4). Prosedur relaksasi secara perlahan dijelaskan dalam
keadaan tenang dan dengan suara yang menenangkan.

Rekaman suara dari prosedur dapat dikembangkan untuk membantu dalam teknik
ini. Pasien mendengar rekaman di sesi latihan dikantor dan setelah mengerti apa yang
harus dicapai, lalu mengambil rekaman rumah dengan intruksi yakni mendengarkan
setidaknya sekali sehari untuk membuat otot relaks. Gejala otot umumnya menurun
ketika indivdu memiliki keterampilan teknik ini.

Gambar 11-4 Prosedur relaksasi

Selama 20 menit setiap hari pasien disarankan untuk berbaring dan bersantai
dalam tempat yang nyaman dan tenang. Rekaman suara teknik relaksasi progresif di
sediakan dan membantu dalam mencapai relaksasi. Hal ini dapat membantu banyak
pasien menurunkan gejala otot mereka.

Teknik relaksasi telah terbukti efektif dalam beberapa penelitian149-158. Teknik ini
menjadi yang terbaik bagi terapis selama kunjungan untuk membantu dan mendorong
kebiasaan relaksasi yang tepat. Meskipun tidak berbahaya untuk membiarkan pasien
belajar teknik ini dirumah sendirian, sangat kecil kemungkinan hasil yang bagus akan
dicapai dengan penjelasan sederhana prosedur relaksasi. 159 Juga, hasil terbaik dapat
dicapai dalam sebulan latihan dan bukan hanya hitungan hari atau minggu.
Bentuk relaksasi progresif lain menggunakan pendekatan sebaliknya. Disamping
meminta pasien untuk mengkontraksikan otot dan kemudian rileks, otot-otot secara pasif
mereganf dan kemudian relaks.160-162 Tampaknya teknik ini juga efektif dalam mengajar
relaksasi progresif memiliki satu keuntungan besar pada teknik Jacobson. Pasien dengan
gangguan otot pengunyahan sering melaporkan rasa nyeri kektika diminta untuk
mengkontraksikanotot mereka. Peningkatan nyeri ini membuat relaksasi lebih sulit.
Sebaliknya, peregangan otot tampaknya membantu relaksasi. Banyak pasien menemukan
teknik ini lebih sesuai daripada teknik Jacobson.

Teknik relaksasi progresif adalah metode yang paling umum untuk


mempromosikan relaksasi yang digunakan dalam kedokteran gigi. Metode pelatihan
lainnya juga membantu relaksasi tetapi digunakan untuk derajat yang lebih rendah. Self-
hipnosis, meditasi dan yoga semua mempromosikan relaksasi dan dapat membantu
mengurangi tingkat stress emosional, serta gejala yang berhubungan dengan
hiperaktivitas otot.163-165 Hal ini juga sebaiknya dipelajari dan diterapkan dengan bantuan
dari terapis terlatih. Hipnosis dilakukan oleh terapis terlatih juga terbukti sangat
membantu dalam mengurangi nyeri TMD166-168

Meskipun otot relaksasi terlihat menjadi prosedur yang sederhana, kadang juga
tidak. Pasien, terutama mereka yang menderit nyeri otot, sering merasa kesulitan untuk
belajar meregangkan otot mereka secara efektif. Mereka kadang-kadang bisa
mendapatkan keuntungan dari feedback sementara keberhasilan atau kegagalan usaha
mereka.

Salah satu metode untuk mencapai hal ini yakni dengan teknik biofeedback 158,169-
173
Yang membantu pasien dalam mengatur fungsi tubuh yang umumnya dikendalikan
secara tak sadar. Hal ini telah digunakan untuk membantu pasien mengubah fungsi
seperti tekanan darah, aliran darah, aktivitas gelombang otak serat relaksasi otot.
Dilakukan dengan elektromyographically memantau keadaan kontraksi atau relaksasi otot
melalui elektroda yang ditempatkan diatas otot-otot yang akan dipanatau. Diantara otot
wajah, otot maseter sering terpilih (gbr 11-5). Ketika seluruh tubuh relaksasi itu adalah
tujuannya, otot frontal sering dipantau.

Elektroda dihubungkan dengan sistem monitor yang memungkinkan pasien


melihat aktivitas listrik spontan pada otot. Monitor tersebut menyediakan umpan baik
dengan skala atau pembacaan secara digital atau kadang-kadang bahkan dengan
mekanisme cahaya. Kebanyakan alat biofeedback juga memberi feedback pendengaran,
yang bermanfaat bagi pasien yang bersantai dengan mata tertutup. Ketika pasien clench,
pembacaan tinggi muncul pada skala atau nada tinggi terdengar. Ketika otot berelaksasi,
sinyal menjadi lebih lemah. Pasien mencoba menurunkan hasil atau nada. Hal ini dapat
dicapai dengan teknik relaksasi, tetapi relaksasi progresif dianjurkan karena mudah
dilakukan saat alat biofeedback tidak tersedia.

Gambar 11-5 Latihan Biofeedback


Pasien dianjurkan untuk mengambil posisi relaksasi dalam keadaan nyaman, dan
tenang. Sensor grafik elekromyo ditempatkan pada otot maseter. Sensor jari juga
digunakan untuk memantau suhu atau respon kulit galvanic. Pasien dintruksikan untuk
merelakskan otot sebanyak mungkin. Monitor computer menyediakan feedback langsung
mengenai keberhasilan dalam mengurangi aktivitas otot. Setelah beberapa sesi latihan
pasien menjadi sadar akan relaksasi efektif dan dianjurkan untuk memperolehnya tanpa
alat biofeedback. Relaksasi efektif otot mengurangi gejala –gejala otot.

Setelah pasien mencapai tingkat rendah aktivitas otot, instruksi selanjutnya adalah
terbiasa dengan rasa atau perasaan relaks. Saat telah dicapai dan rendahnya tingkat
aktivitas otot dirasakan cukup, pasien dapat lebih efektif untuk mendapatkan kembali
waktu bahkan tanpa alat biofeedback dan dianjurkan bekerja untuk mencapai tujuan itu.
Relaksasi progresif dapat membantudalam latihan ini.

Metode lain dalam mengurangi hiperaktivitas otot yakni biofeedback negatif.


Dalam teknik ini elektroda ditempatkan pada otot maseter dan penting untuk alat
monitor. Alat monitor itu dihubungkan dengan sistem suara. Ambang batas untuk
feedback disesuaikan sedemikian rupa sehingga aktivitas fungsi berbicara dan menelan
dapat terjadi tanpa respon apapun. Namun jika clenching atau bruksism terjadi,
mekanisme feedback aktif dan suara keras terdengar. Perangkat ini kecil dan dapat
dipakai siang dan malam. Selama itu pasien diberitahu bahwa setiap suara dari alat
mengindikasikan clenching atau brukxixm dan aktivitas ini harus dihentikan segera. Alat
feedback membawa aktivitas parafungsional pada tigkat sadar dan menjadi lebih mudah
dikontrol. Pada malam hari volume suara meningkat sampai membangunkan pasien saat
aktivitas parafungsional mulai. Sekali lagi, pasien diberitahu bahwa jika terbangun oleh
suara, clenching dan bruksism terjadi dan upaya yang harus dilakukan untuk
menghentikannya. Meskipun biofeedback positif muncul untuk menurunkan aktivitas
parafungsional secara sukses, tampaknya memiliki efek jangka panjang154,174,175. Setelah
feedback dihentikan, aktivitas parafungsional kembali. Hal ini terutama berlaku pada
bruksism nonturnal.

Oleh karena itu kebanyakan biofeedback efektif untuk perawatan gejala yang
berhubungan dengan aktivitas parafungsional yang membantu pasien mempelajari
relaksasi otot simptomatik. Hal ini penting untuk diingat bahwa biofeedback hanya untuk
membantu pasien dalam mempelajari teknik yang membantu meringankan gejala.

11.2.1.2.4.5 Pertimbangan penting dalam penggunaan terapi stress emosional

Sebelum diskusi tentang terapi stress emosional menyimpulkan, empat


pertimbangan umum perlu disebutkan:


Evaluasi tingkat stress emosional dalam hidup pasien sangat sulit. Banyak variasi
dari pasien ke pasien dan bahkan sering seluruh riwayat gagal untuk
mengungkapkan faktor yang signifikan. Bahkan ketika penyebab stress muncul,
signifikasinya tidak diketahui. Ingat, bahwa jumlah penyebab stress pada
pengalaman pasien signifikan tetapi dampak penyebab stress terhadap kesehatan
dan fungsi pasien.


Ketika stress emosional tingkat tinggi dicurigai sebagai faktor etiologi yang
berkontribusi pada gangguan, terapi pengurangan stress seharusnya dimulai. Ini
terdiri dari prosedur yang sederhana dan invasive. Jika seorang pasien tidak
melakukan terapi ini, anggota terapi psikologi dan modifikasi perilaku
dikonsultasikan. Pasien yang tidak merespon mungkin menderita gangguan yang
baik dilakukan oleh professional kesehatan.


Salah satu metode yang efektif untuk mengurangi stress adalah dengan
membangun hubungan positif dokter dan pasien. Ini dimulai dengan apresiasi
fakta bahwa pasien telah dating ke kantor dengan nyeri dan disfungsi. Nyeri,
khususnya yang krinik, menginduksi stre yang berpontensial menjadi masalah.
Ketidak pastian pasien mengenai keparahan dari masalah dan perawatan yang
tepat dapat juga meningkatkan tingkat stress emosional. Dokter harus
berkomunikasi dengan sikap yang angat, ramah dan meyakinkan, yang akan
meningkatkan rasa percaya diri. Pasien ditawarkan penjelasan menyeluruh
gangguan itu dan diyakinkan (bila perlu) bahwa hal itu tidak seserius yang
dipikirkan. Cara hubungan dokter dan pasien dikembangkan dan sangat penting
untuk hasil perawatan (gbr 11-6). Usaha besar dilakukan dokter untuk
meminimalkan kekawatiran pasien, frustasi, permusuhan, kemarahan dan
ketakutan.


Karena stress emosional merupakan faktor yang sulit untuk menilai, dengan
mudah dapat menjadi kambing hitam untk perawatan yang gagal. Terlalu
seringnya praktisi menyimpulkan bahwa stress adalah faktor utama yang
berkontribusiketika perawatan yang disarankan gagal untuk menangani masalah
pasien: sebenarnya baik tujuan perawatan mereka tidak terpenuhi atau
menegakkan diagnosis yang tidak tepat. Seseorang tidak dapat menekankan
perlunya riwayat menyeluruh dan pemeriksaan sehingga diangnosa yang tepat
dapat ditegakkan. Karena kesulitan dalam mengevaluasi stress emosional, terapi
emosional yang luas harus dipertimbangkan setelah semua etiologi lain
dikesampingkan.

Gambar 11-6

Perawatan yang berhasil pada gangguan temporomandibula mulai melalui penjelasan


masalah pasien. Hubungan dokter dan pasien dapat sangat penting untuk keberhasilan
perawatan.

11.2.1.3 Pertimbangan Terapi Definitif untuk Trauma

Truma merupakan salah satu dari lima faktor etiologi yang dapat menyebabkan
TMD. Seperti dijelaskan sebelumnya trauma dapat terjadi dalam dua bentuk:
makrotrauma dan mikrotrauma. Pada kasus makrotrauma, terapi definitive bermakna
sedikit karena trauma biasanya tidak lagi muncul. Sekali makrotrauma mengalami cedera
jaringan, hanya terapi yang dapat membantu menyelesaikan respon jaringan dengan
terapi suportif. Namun, pada kasus makrotrauma, tindakan preventif harus selalu
dipertimbangkan. Ketika kemungkinan makrotrauma, seperti ketika berpartisipasi dalam
acara olahraga176 proteksi yang tepat struktur pengunyahan harus dipertimbangkan. Cara
yang sederhana dan efektif untuk meminimalkan cedera yang berhubungan dengan
makrotrauma yang memakai alat oklusal lunak atau mouth guard. Ketika alat dipasang,
mandibula stabil dengan maksila yang meminimalkan cedera struktur pengunyahan
selama makrotrauma177,178 Atlet seharusnya melindungi diri dengan alat lunak, saat
makrotrauma mungkin terjadi. Sayangnya fakta pada kebanyakan pasien yang
memberitahu ke klinik gigi dengan cedera trauma tidak pernah menyangka akan terjadi
trauma. Contoh umumnya yakni kecelakaan sepeda motor.

Kadang-kadang cedera adalah bukan hasil yang tiba-tiba dari makrotrauma tetapi
setidaknya sejumlah tekanan yang berulang selama jangka waktu panjang. Kondisi ini
disebut mikrotrauma dan saat ini terapi definitive diindikasikan untuk mengurangi
trauma. Mikrotrauma mungkin hasil berulang tekanan pada struktur sendi seperti
bruksism atau clenching. Dalam kondisi ini, terapi definitive terdiri dari pengurangan
atau penghilangan aktivitas parafungsional. Pada situasi lain mikrotrauma merupakan
hasil dari fungsi normal tekanan tetapi tekanan terjadi pada jaringan retrodiscal karena
perpindahan sendi secara anterior. Pada kasus ini, terpai definitive dilakuakn untuk
membangun hubungan kondilus/ sendi yang tidak menekan jaringan retrodiscal dan
sendi. Hal ini dapat diperoleh dengan alat oklusal (lihat Bab 13)

11.2.1.4 Pertimbangan terapi definitive pada Nyeri Hebat

Mungkin faktor etiologi yang paling sering terabaikan berhubugan dengan TMD
adalah sumber nyeri hebat. Terlalu sering dokter berasumsi pasien mengalami nyeri
wajah merupakan masalah yangbanyak pada TMD. Asumsi ini menyebabkan kegagalan
perawatan. Seperti yang dibahas pada bab sebelumnya, nyeri orofacial kompleks. Banyak
struktur kepala dan leher dapat menghasilkan keluhan nyeri menyerupai TMD.
Kebingungan bertambah yakni pain referral (lihat Bab 2) Sperti yang ditekankan dalam
bab-bab sebelumnya, tugas paling penting dari klinisi adalah untuk menetapkan diagnosis
yang bear. Tanpa hal itu perawatan pasti gagal. Sebelum memulai perawatan TMD dokter
harus memastikan bahwa riwayat dan pemeriksaan pendukung diagnosis spesifik jenis
TMD. Jika klinisi tidak dapat menemukan bukti bahwa nyeri ororfacial bersumber dari
strukturmuskuloskeletal sistem pengunyahan, sumber utama yang paling benar sebelum
terapi dapat dipilih. Jika sumber sakit tidak jelas rujukan dokter gigi lain atau ahli
kesehatan mungkin membantu dalam menegakkan diagnosis.

Dokter juga harus ingat bahwa beberapa TMDs sebenarnya mungkin menjadi
sumber sekunder atau lainnya dari nyeri hebat (lihat bab 2). Pada pasien TMD
diidentifikasi riwayat dan pemeriksaan tetapi TMD ditrawat tanpa menangani nyeri
hebat, perawatan akan gagal. Contoh yang terlah dibahas adalah pasien yang mengalami
cedera serviks dan nyeri hebat dari struktur servikal menghasilkan nyeri yang disebut
nyeri wajah dan co kontraksi protektif otot pengunyahan sekunder. JIka dokter hanya
mengetahui gangguan otot pengunyahan dan merawatnya tanpa memperhatikan rasa sakit
servikal, perawatan akan gagal. Namun, jika klinisi tidak mengetahui nyeri servikal dan
hubungan nyeri otot pengunyahan dan menanganinya dengan tepat (mis rujukan ke terapi
fisik) perawatan yang tepat pada otot pengunyahan akan berhasil. Kedua perawatan
tersebut di lakukan pada waktu yang sama akan memberikan kesuksesan perawatan pada
pasien.

Penting ketika sekunder TMD sumber nyeri lain berhasil ditangani, biasanya tidak
perlu untuk kontrol ke terapi gigi. Alasan untuk ini adalah karena penyebab TMD itu
bukan oklusal tetapi sekunder dari sumber nyeri hebat. Setelah sumber nyeri hebat diatas,
TMD akan terselesaikan. Pada waktu lalu banyak dokter gigi akan mengubah oklusi
pasien. Pemahaman TMD jauh lebih baik sekarang, dan dokter harus dapat mengetahui
bahwa TMD adalah sumber sekunder untuk nyeri hebat.

11.2.1.5 Pertimbangan terapi definitive untuk aktifitas parafungsional


Selama bertahun-tahun dokter gigi yakin bahwa bruksism dan clinching gigi
adalah faktor kausatif utama yang menyebabkan TMDs. Meskipun hal ini sesuai untuk
beberapa pasien namun tidak pada semua individu. Kenyataannya, penelitian waktu tidur
mengungkapkan bahwa kontak gigi saat tidur pada keadaan sehat, subjek bebas nyeri
bukan umum namun normal. Kontak gigi terjadi selama waktu tidur.179-181 dan bahakan
dapat terjadi saat lampu menyala di depan pasien atau membuat suara yang
membangunkan pasien.182 Bruksism terjadi pada individu tanpa gejala TMD,
sebagaimana tercermin pada pasien dengan penggunaan gigi yang signifikan tetapi tidak
nyeri. Klinisi gigi mengevaluasi kembali hubungan antara bruksism dan TMD. Namun,
dengan penelitian akhir ini sudah jelas bahwa bruksism dan clenching gigi terkait dengan
etiologi beberapa pasien TMD.

Mekanisme yang tepat mengaktifkan hiperaktivitas otot belum secara jelas di


paparkan. Dalam diskusi Bab 7, banyak faktor termasuk stress emosional yang
mempengaruhi tingkat aktivitas. Pengaruh faktor-faktor ini bagaimanapun bervariasi
tidak hanya pada pasien tetapi juga pada jenis kativitas aktivitas. Seperti tercantum dalam
Bab 7, ada beberapa jenis aktivitas parafungsional tetapi bruksism dan clenching terlihat
lebih signifikan. Dapat diurnal atau nonturnal183 Karakteristik dan faktor kontrol
cenderung berbeda. Aktivitas diurnal lebih erat kaitannya dengan perubahan akut pada
kondisi oklusal, peningkatan level stress emosional atau keduanya. Karena aktivitas
diurnal biasanya dibawa ketingkat kesadaran pasien, sering terlaksana baik dengan
pendidikan pasien dan strategi kesadaran kognitif.

Pendidikan pasien dimulai dengan memberitahu pasien bahwa gigi seharusnya


berkontak selama mengunyah, berbicara dan menelan. Selama waktu itu rahang harus
diposisikan dengan gigi diantaranya. Kebanyakan pasien tidak menyadari kontak gigi dan
membuat mereka sadar, langkah pertama untuk mengontrol kontak gigi yang berlebihan.
Ketika pasien sadar kontak giginya ia harus sadar menjaga gigi selama waktu berjalan 184
Informasi pendidikan pasiendi bahas dalam Bab 12.

Bruksism nocturnal tampaknya berbeda. Hal ini tampaknya dipengaruhi oleh


kurangnya kontak gigi183 dan tingkat stress emosional yang tinggi.77,93,185,186 dan pola
tidur179-182,187-190. Karena perbedaan tersebut bruksism nocturnal merespon dengan buruk
pada pendidikan pasien, teknik relaksasi dan biofeedback dan perubahan oklusal 191. Pada
banyak kasus hal ini dapat berkurang secara efektif (setidaknya selama periode waktu
singkat) dengan terapi perangkat oklusal50-52,81 Mekanisme dengan perangkat oklusal yang
mengurangi bruksism tidak jelas. (Penjelasan lebih menyeluruh pada Bab 15

Karena aktivitas parafungsional diurnal dan nocturnal mungkin berbeda dalam


karakter da nasal, adalah penting bahwa hal itu diidentifikasi dan dipisahkan. Sering kali
diferensisasi dapat dibuat melalui riwayat gejala (yaitu nyeri pagi dengan bruksism
nocturnal) Mengidentifikasi jenis aktivitas parafngsional memungkinkanselekasi
pengobatan yang lebih efektif.

11.2.2 Terapi Suportif

Terapi suportif dilakukan untuk mengurangi gejala pasien dan sering tidak ada
efek penyebab gangguan tersebut. Contoh sederhana adalah memberikan aspirin pada
pasien sakit kepala yang menyebabkan kelaparan. Pasien yang merasa lega dari sakit
kepala, tetapi tidak ada perubahan pada faktor kausatif (kelaparan) menciptakan gejala
ini. Karena banyak pasien sangat menderita karena TMDs, terapi suportif sering
membantu memberi bantuan langsung pada gejala. Selalu ingat, bagaimanapun, bahwa
terapi suportif hanya simptomatik dan bukan pengganti terapi definitive. Faktor etiologi
dibutuhkan untuk diatasi dan dihilangkan dengan kesuksesan perawatan jangka panjang
ynag dicapai. Terapi suportif dilakukan untuk mengurangi nyeri dan disfungsi. Dua tipe
umum terapi suportif yakni terapi farmakologi dan terapi fisik.
11.2.2.1 Terapi Farmakologi

Terapi farmakologi dapat menjadi metode yang efektif untuk menangani gejala
yang berhubungan dengan TMDs. PAsien seharusnya sadar obat tidak selalu
menawarkan solusi atau kesembuhan untuk masalah mereka. Namun, obat-obatan
berhubungan dengan terapi fisik yang tepat dan pengobatan definitive yang menawarkan
pendekatan yang lebih lengkap untuk banyak masalah.

Perawatan harus disesuaikan dengan jenis dan cara pemberian obat. Karena
banyak gejala TMDs yang muncul secara periodic atau siklik ada kecenderungan untuk
meresepkan obat “seperlunya”(atau prn). Jenis manajemen ini mendorong pasien
menyalahgunakan obat.192-195 yang menyebabkan ketergantungan fisik atau psikologis.
Obat yang paling sering disalahgunakan oleh pasien adalah analgesic narkotika dan obat
penenang. Ini memberikan waktu singkat euphoria atau perasaan senang dan kadang
dapat menjadi tidak sadar dengan yeri itu. Penggunaan prn obat menyebabkan siklus sakit
yang lebih sering dan efektivitas obat berkurang. Saran umum adalah bahwa ketika obat
diindikasikan untuk TMD, harus diresepkan secara berkala untuk jangka waktu tertentu
(mis tiga kali sehari selama 10 hari). Akhirnya diharapkan bahwa perawatan tidak
diperlukan. Hal ini terutama berlaku bagi narkotik analgesic dan obat penenang.

Kebanyakan agen farmakologi yang digunakan untuk perawatan TMD meliputi


analgesic, obat anti inflamasi nonstreoid (NSAIDs), kortikosteroid, ansiolitik, relaksan
otot, antidepresan dan local anastesi. Analgesik, kortikosteroid dan ansiolitik
diindikasikan untuk nyeri TMD akut; NSAIDs, relaksan otot dan local anatesi digunakan
untuk kondisi akut dan kronik dan antidepresan trisiklik terutama diindikasikan untuk
perawatan nyeri orofasial kronik.
11.2.2.1.1 Analgesik

Obat-obatan analgesik merupakan bagian penting dari terapi suportif TMDs. Pada
gangguan nyeri yang berat sebenarnya penyebab dari gangguan (nyeri otot siklik),
analgesic mewakili terapi definitive. Analgesik baik opiate atau nonopiate. Analgesic non
opiat yakni kelompok senyawa heterogen yang membagi aksi teraupetik dan efek
samping. Efektifitasnya untuk nyeri ringan hingga sedang berhubungan dengan TMD..
Salah satu obat untuk nyeri sedang yakni Tylenol (asetaminofen). 196 obat ini biasanya
ditoleransi baik oleh pasien dengan efek samping yang kecil. Aspirin (salisilat) yang
menghambat sistesis prostaglandin adalah prototype untuk senyawa analgesic. Semua
obat salisilat adalah antipiuretik, analgesic dan antiinflamasi tetapi ada perbedaan penting
pada efeknya. Jika pasien sensitive terhadap aspirin , aspirin nonasetil, trisalisilat
magnesium kolin (Trilisat), atau salsalat (Disalcid) mungkin efektif. Efek terupetik
narkotik opoid bekerja pada opiate spesifik reseptor dalam sistem saraf pusat dan perifer.
Obat-obat ini memiliki kualitas dan sifat kecanduan sistem saraf pusat. Dipertimbangkan
untuk penggunaan jangka pendek untuk nyeri akut sedang hingga berat.197

Pada keadaan yang jarang analgesic kuat mungkin diperlukan. Dalam kasus ini,
kodein atau hydrocodone dikombinasikan dengan salisilat dan asetaminofen dapat
membantu. Efek terupetik narkotik opoid bekerja pada reseptor opiate pada sistem saraf
pusat dan perifer. Obat ini memiliki kualitas dan kecanduan sistem saraf pusat.
Dipertimbangkan untuk penggunaan jangka pendek untuk nyeri akut sedang hingga
berat.197 Jika obat yang diperlukan, harus diresepkan dalam dosis teratur selama periode
singkat untuk meminimalkan penyalahgunaan. Obat yang sangat adiktif (mis morfin)
kontraindikasi umum untuk nyeri musculoskeletal.

11.2.2.1.2 Obat-obat antiinflamasi nonsteroid


NSAIDs berguna bagi kebanyakan nyeri TMD. Obat-obat ini efektif untuk
kondisi inflamasi ringan hingga sedang dan nyeri akut postoperative. 197 Melalui banyak
review NSAIDs, sumber farmakologi yang lengkap diteruskan.197-199 NSAIDs dapat juga
memberikan perawatan yang baik untuk nyeri musculoskeletal yang berhubungan dengan
TMD. Namun, seperti obat lainnya, obat ini hanya mengatasi simptomatik dan bukan
untuk menahan perkembangan cedera jaringan patologis dengan pengecualian penyakit
inflamasi aktif sendi.

Dengan adanya cedera jaringan, mediator kimia tertentu dilepaskan kedaerah


cedera. Salah satu mediator kimia yang penting yakni prostaglandin. Mediator kimia ini
meningkatkan nosiseptor yang mengakibatkan rasa sakit. NSAID bekerja dengan
menghambat aksi siklosigenase (COX), yang merupakan enzim yang digunakan untuk
mensintesis prostaglandin dari asam arakidonat. NSAID dapat dibagi menjadi dua
kelompok: senyawa: 1. Indoles (indometasin adalah prototype) yang termasuk sulindac
(Clinoril) dan Tolmetin sodium (Tolectin) dan 2) derivate asam propionik dengan waktu
paruh yang pendedk ( mis ibuprofen [motrin], naproxen [Naprosyn] dan fenoprenon
[Nalfon]. Agen ini, ketika diresepkan untuk efek antiinflamsi, harus diminum selama
minimal 2 minggu pada waktu yang tepat.

Ibuprofen (mis Motrin, Advil, Nuprin) telah terbukti efektif mengurangi nyeri
musculoskeletal. Dosis umu 600 hingga 800 mg tiga kali sehari akan mengurangi nyeri
dan menghentikan efek siklik nyeri yang berat. Jumlah NSAIDs lainnya tersedia, dan jika
ibuprofen tidak mengurangi nyeri, lainnya dapat dicoba.

Pasien dapat merespon secara berbeda terhadap obat. Pengunaan berlanjut


menghasilkan iritasi perut atau bahkan ulserasi.200,201 sehingga pasien harus ditanyakan
tentang masalah perut sebelum digunakan dan dimonitor selama pengobatan. Obat-obat
harus diminum dengan makanan untuk mengurangi kemungkinan iritasi lambung.

Klas yang relative baru obat NSAIDs adalah inhibitor COX-2. Seperti disebutkan
sebelumnya, siklooksogenase (COX) adalah enzim yang digunakan untuk mensisntesis
prostaglandin dari asam arakidonat. COX menghambat sistesis prostaglandin dalam dua
arah. Hal ini dikenal sebagai COX-1 dan COX-2. COX-1 terlibat dalam merpertahankan
fungsi hemostatic termasuk pemeliharaan integritas lambung dan ginjal. Jalur COX-2
memiliki besar efek pada respon inflamasi. Kebanyakan NSAIDs menghambat dua jalur,
oleh karena itu mengurangi inflamasi tetapi pada waktu yang sama sekresi lambung
melindungi dinding perut. Hasilnya sering pengurangan nyeri tetapi juga iritasi perut.
Inhibitor COX 2 yang baru hanya mempengaruhi jalur COX-2, yang mengurangi respon
inflamasi tanpa mempengaruhi fungsi lambung dan ginjal.202

Inhibitor COX-2 yang ada pada penulisan ini yakni celecoxib (Celebrex). Obat ini
tidak hanya keuntungan dari efek samping lambung yang kurang tetapi juga
membutuhkan di minum hanya satu atau dua kali sehari. Penelitian akhir-akhir ini
menunjukkan bahwa obat ini dapat membantu dalam mengelola nyeri TMD 203 tetapi
mungkin lebih daripada naproxen204

Metode lain pemberian NSAID adalah dengan gel topical atau salep. Beberapa
penelitian melaporkan bahwa aplikasi topical NSAID seperti ketoprofen, memiliki efek
yang lebih besar untuk mengurangi nyeri daripada gel placebo. 205,206. Sayangnya, pada
waktu ini data masih bercampur dengan efektivitas utama topical NSAIDs.

11.2.2.1.3 Agen Antiinflamasi


Ketika kondisi inflamasi muncul, antiinflamasi dapat berguna untuk mengubah
gangguan tersebut. Agen menekan respon keseluruhan tubuh terhadap iritasi. Agen
antiinflamasi dapat diberikan secara oral atau dengan suntikan.

NSAIDs oral telah dibahas dibawah kategori analgesic. Ketika diminum teratur,
obat ini berguna untuk mengelola gangguan inflamasi sendi, serta chronic centrally
mediated myalgia. Aspirin atau ibuprofen dapat bermanfaat dalam kapasitas ini sambil
memberikan efek analgesic. Banyak antiinflamasi oral yang lain tersedia (mis naproxen,
flurbiprofen, nabumetone, ketoprofen). Ingat, meskipun, obat ini sering tidak segera
mencapaitingkat tekanan darah baik dan oleh karena itu harus diminum teratur selama
minimal 3 minggu. Kesehatan umum dan kondisi pasien harus selalu di pertimbangkan
sebelum obat ini di resepkan dan sering pada kasus, mungkin perlu berkonsultasi dengan
dokter mengenai kalayakan terapi obat. Jika iritasi perut menjadi masalah, inhibitor
COX-2 mungkin dipertimbangkan.

11.2.2.1.4 Kortokosteroid

Kortikosteroid adalah anti inflamasi ampuh yang tidak umum diresepkan untuk
penggunaan sistemik pada perawatan TMDs karena efek sampingnya. Pengecualian
untuk inflamasi sendi dan otot akut, general berhubungan dengan polyarthritis.
Kortikosteroid dapat diberikan secara oral atau injeksi.

Kortikosteroid oral dapat diberikan dalam satu paket yang memberikan pasien
dengan dosis signifikan pada periode perawatan dan kemudian diikuti dengan
pengurangan dosis hingga obat dihentikan. Hal ini adalah cara paling aman untuk
menggunakan kortikosteroid untuk mencegah infeksi sekunder.
Injeksi antiinflamasi seperti hidrokortioson pada sendi telah di anjurkan 207-211
untuk mengurangi nyeri dan gerakan terbatas. Injeksi tunggal intraartikular terlihat
berguna bagi pasien usia lanjut namun terlihat kurang berhasil209 pada pasien muda
hingga usia 25 tahun. Meskipun injeksi tunggal kadang membantu, beberapa penelitian
212-214
melaporkan bahwa injeksi multiple dapat membahayakan struktur sendi dan harus
dihindari. Tindak lanjut jangka panjang injeksi kortikosteroid intraartikular juga
dilaporkan meningkatkan gejala TMJ akut karena arthritis reumatik tanpa gejala jangka
panjang yang merugikan.211

Solusi injeksi lain yang digunakan untuk injeksi intracapsular adalah sodium
hyaluronate. Meskipun ini bukan local anestesi, sodium hyaluronate di sarankan untuk
perawatan penyakit TMJ artikular215,210. Penelitian tentang perawatan perpindahan sendi
dan dislokasi sendi tanpa pengurangan menjanjikan 216-218. Beberapa penelitian 39,219,220

telah ditemukan bahwa penggunaan sodium hyaluronate mengikuti arthrocentesis TMJ


yang berguna dalam mengurangi nyeri (lihat BAB 13) Penggunaan sodium hyaluronate
pada TMJ terbatas karena belum menerima persetujuan untuk digunakan di Amerika
Serikat.

11.2.2.1.5 Agen Anxiolitik

Ketika stress emosional tingkat tinggi dianggap berkontribusi pada TMD, agen
anxiolitik (antianxiety) mungkin membantu dalam mengelola gejala221,222 Ingat bahwa
agen anxiolitik tidak meghilangkan stress, tetapi hanya mengubah persepsi pasien atau
reaksi stress. Penggunaan agen anxiolitik kerena itu merupakan terapi suportif. Kelompok
umu dari anxiolitik yakni benzodiazepine seperti diazepam (Valium) yang memperoleh
perhatian lebih. Obat ini dapat diresepkan setiap hari karena depedensi pontensial, tidak
digunakan lebih dari 7 hari berturut-turut. Dosis tunggal (2.5 – 5 mg) diazepam dapat
membantu pada waktu tidur untuk mengendurkan otot-otot dan mungkin mengurangi
aktivitas dari parafungsional nocturnal.183,223 Bila hanya dosis tunggal yang diresepkan,
durasi penggunaannya dapat diperpanjang 2 minggu.

Dua obat benzodiazepine yang digunakan pada gangguan otot pengunyahan yakni
clonazepam (Klonopin)224-226 dan alprazolam (Xanax)227. Agen ini dapat berguna dalam
mengelola gejala akut, khususnya yang berhubungan dengan kecemasan dan
kemungkinan bruksism nocturnal tetapi Valium, potensi adiktif dan efek sedatif
kontraindikasi jangka panjang dengan kondisi kronik.221

11.2.2.1.6 Relaksan Otot

Selama bertahun-tahun relaksan otot diresepkan pada pasien TMD, meskipun


kebanyakan dokter setuju bahwa efek gejala minimal. Mungkin berada dibawah standar
peningkatan aktivitas otot (lihat Bab 8). Relaksan otot memiliki efek pusat yang
menenangkan pasien. Mungkin sedasi ini adalah penjelasan utama untuk respon positif
beberapa pasien.

Mephenesin adalah protoipe untuk mayoritas relaksan otot mulut, yang termasuk
propanediols (mis carisoprodol [Soma], methocarbamol [Robaxin] dan secara kimia
terkait dengan chloraxazome [Paraflex, Parafon])228 Secara eksperimental, relaksan otot
menekan reflex tulang belakang polysynaptic selama reflex monosinaptik. Senyawa ini
mempengaruhi aktivitas neuronal berhubungan dengan reflex peregangan otot, terutama
dilateral daerah batang otak. Dosis oral semua obat ini jauh dibawah level yang
dibutuhkan untuk memperoleh aktivitas relaksan otot eksperimental. 229 Relaksan otot
yang memiliki efek sentral lebih kecil yakni metaxalone (Skelaxin). Obat ini lebih sesuai
untuk pasien yang harus bekerja sambil relaksan otot.
Perlu dicatat untuk beberapa relaksan otot untuk mencapai efek terapi pada otot-
otot pengunyahan, dosis sering kali harus dinaikkan ke tingkat yang tidak memungkinkan
pasien untuk melakukan aktivitas normal. Pasien yang melakukan relaksan otot harus
diingatkan pada efek sedasi dan diberitahu tidak mengendarai kendaraan atau melakukan
pekerjaan berat.

Beberapa relaksan otot skeletal pusat tersedia dalam kombinasi dengan analgesic
(mis carisoprodol dengan fenacetin dan kafein [Soma Compound], chlorzoxazone dengan
acetaminophen [Parafon Forte], orphenadrine sitrat dengan aspirin dan kafein [Norgesic
Forte], methocarbamol dengan aspirin [Robaxisal])

Relaksan otot tampaknya memberi efek positif pada berbagai nyeri otot, seperti
TMDs, yakni cyclobenzaprine [Flexeril] 230-223 Obat ini adalah senyawa yang mirip dengan
antidepresantrisiklik dan dapat bekerja dengan cara yang sama. Dosis tunggal 5 – 10 mg
sebelum tidur dapat mengurangi nyeri otot, khususnya di pagi hari. Dosis lainnya 5-10
mg selama siang hari berguna untuk nyeri, tetapi sering pasien menemukan bahwa hal itu
membuat mengantuk.

11.2.2.1.7 Antidepresan

Meskipun antidepresen trisiklik awalnya dikembangkan untuk penanganan


depresi, perkembangan terbaru dari inhibitor reuptake serotonin (SSRIs) terbukti jauh
lebih efektif. Saat ini antidepresan trisiklik jarang digunakan untuk depresi. Namun,
trisiklik telah ditemukan nilai baru dalam penanganan variasi kondisi nyeri kronik 222,234-242
Hal ini terutama terjadi pada kasus dengan nyeri neuropatik 234 telah diperlihatkan244-251
bahwa dosis rendah amitriptyline (10 mg) sebelum tidur dapat memiliki efek analgesic
pada nyeri kronis tetapi memiliki pengaruh yang kecil pada nyeri akut 252,253. Efek klinis
tidak berkaitan dengan aksi antidepresi karena dosis antidepresi dari 10 hingga 20 kali
lebih tinggi. Efek teraupetik obat ini diduga berkaitan dengan kemampuan untuk
meningkatkan serotonin dan norepinefrin amina biogenik dan norepineprin di pertemuan
sinapsis pada sistem saraf pusat. Antidepresan trisiklik yang bermanfaat dalam dosis 10
mg untuk perawatan tekanan nyeri kepala dan nyeri muskuloskeletal 234-254 Obat ini
mengurangi kesadaran, meningkatkan stadium IV (delta) tidur dan nyata mengurangi
waktu yang dihabiskan pada rapid eye movement (REM) tidur. Untuk alasan ini,
berpotensial dalam perawatan beberapa jenis albruksism noctrun, untuk meningkatkan
kualitas tidur255 Amitriptyline dapat membantu dalam penanganan gangguan tidur yang
berhubungan dengan nyeri muskuloskeletal256-259 Amitriptyline menjadi bagian penting
dari penanganan fibromyalgia260-264 (lihat Bab 12)

Ketika digunakan sebagai antidepressant, yang membutuhkan peningkatan dosis


terapi, obat-obatan ini seharusnya hanya diresepkan oleh dokter yang spesialis dalam
diagnosis dan perawatan depresi.

11.2.2.1.8. Lokal Anestesi

Lokal anestesi dapat berguna untuk diagnosis dan bahkan penanganan variasi
TMDs. Salah satu yang penggunaan yang paling penting adalah untuk menegakkan
diagnosis yang tepat. Lokal anestesi dapat digunakan untuk membedakan rasa nyeri
utama dari bangian nyeri (LIhat Bab 10). Ketika sumber nyeri muncul pada sendi atau
otot, menyuntikkan lokal anestesi ke sumber nyeri akan menghilangkan nyeri,
membenarkan diagnosis265

Anestesi lokal juga dapat digunakan sebagai terapi untuk gangguan tertentu. 266
Sebagai contoh, injeksi anestesi lokal ke trigger point myofasial dapat menghasilkan
pengurangan nyeri yang signifikan setelah anestesi di metabolis. 267-271 Konsep dan
rasional untuk penggunaan
Injeksi anestesi local untuk penanganan nyeri myofasial dibahas dalam Bab 12.

Penggunaan lain anestesi local dalam penanganan TMDs kronik berhubungan


dengan penanganan nyeri272 Efek terupetik diperoleh dengan pemisahan siklus nyeri.
Setelah sumber rasa nyeri dihilangkan (sementara), neuron pusat memiliki kesempatan
untuk kembali kebentuk normal273 Jika nyeri dapat dihilangkan selama periode waktu,
noniceptive membuat pasien menunjukkan pengurangan nyeri yang signifikan 274
Pengurangan nyeri ini berlangsung selama berjam-jam bahkan berhari-hari. Dalam hal ini
anestesi lokal memiliki efek terupetik untuk pengalaman nyeri.

Dua obat paling umum anestesi local yang digunakan untuk durasi pendek
pengurangan nyeri pada TMDs yakni 2% lidokain (Xylocaine) dan 3% mepivikain
(Carbocaine)275 Meskipun Prokain di anjurkan untuk injeksi trigger point myofasial276 Ini
bukan lagi di kemas dalam karpul dan dengan demikian kurang nyaman digunakan
dengan jarum suntik standar. Untuk injeksi otot, solusi tanpa vasokonstriktor harus
digunakan.277 Ketika anstesi durasi panjang diindikasikan, 0,5 % bupivikain (Marcaine)
digunakan278 Meskipun bupivikain kadang-kadang diindikasikan untuk nyeri sendi (blok
nervus auriculotemporalrena myotoksisiti) , tidak harus secara rutin digunakan injeksi
otot karena miotoksisitinya279

Solusi injeksi lain yang digunakan untuk injeksi intracapsuler yakni sodium
hyaluronate. Meskipun obat ini bukan anestesi local, sodium hyaluronate dianjurkan
untuk perawatan penyakit TMJ artikular 215,210 Penelitian dalam perawatan displacement
sendi dan dislokasi sendi tanpa pengurangan menjajikan216-218,280 Beberapa
penelitian39,219,220 yang telah ditemukan bahwa penggunaan sodium hyaluronate pada
arthrosentesis TMJ dapat berguna untuk pengurangan nyeri (lihat Bab 13). Penggunaan
sodium hyaluronate pada TMJ dibatasi saat ini tetapi terlihat menjajikan281
11.2.2.2 Terapi Fisik

Terapi fisik merupakan kelompok tindakan suportif yang biasanya di satukan


dalam hubungannya dengan perawatn definitive. Ini merupakan bagian penting dalam
kesuksesan penanganan TMDs282-284 Meskipun terapi fisik digunakan untuk mengurangi
gejala yang berhubungan dengan TMD, bukti yang mendukung perawatan belum di
tetapkan285 Karena teknik terapi fisik biasanya cukup konservatif, dokter merasa relatif
lebih nyaman tanpa bukt data.

Kebanyakan terapi fisik masuk dalam salah satu dari dua kategori umum: teknik
modalitas dan manual. Meskipun kategori-kategori ini dibahas terpisah, namun dapat
bekerja bersama ketika dipilih dan dikombinasikan dengan tepat untuk kebutuhan
individu pasien. Pemilihan paling tepat teknik modalitas dan manual untuk setiap pasien
mungkin sulit bagi dokter gigi karena dokter gigi tidak diajarkan dalam penangannanya.
Dokter yang sering mengobati pasien TMD harus membangun hubungan kerja dengan
ahli terapi fisik yang juga memiliki minat pada TMD. Membangun hubungan ini akan
bermanfaat bagi pasien dan dokter.

Gambar 11-7
Hangat-hangat di aplikasikan untuk otot simptomatik sering dapat mengurangi tingkat
nyeri dan rasa tidak nyaman. Secara komersial tersedia pad hangat dapat dihangatkan
dalam microwave. Handuk hangat juga dapat digunakan.

Gambar 11-8 Terapi Dingin

Kompres es diaplikasikan pada daerah yang nyeri selama 2-4 menit atau sampai jaringan
kram. Kemudian jaringan di kompres hangat lagi. Hl ini dapat diulang sesuai kebutuhan.
Es tidak harus dibiarkan pada wajah lebih dari 5-7 menit atau cedera jaringan dapat
terjadi.

11.2.2.2.1 Modalitas Terapi Fisik


Modalitas terapi fisik merupakan perawatan fisik yang dapat diaplikasikan pada
pasien286-288 Dapat dibagi dalam tipe berikut: Termoterapi, Terapi dingin, Ultrasound,
Phonophoresis, Iontophoresis, Terapi stimulasi elektrogalvanic (EGS), stimulasi nervus
transcutaneous electrical (TENS), Akupuntur, dan Laser.

11.2.2.2.1.1 Termoterapi

Termoterapi menggunakan panas sebagai mekanisme utama dan didasarkan


bahwa panas meningkatkan sirkulasi pada daerah yang diaplikasikan. Meskipun asal
nyeri otot tidak jelas dan kompleks, kebanyakan teori berpendapat bahwa kondisi awal
dari penurunan aliran darah ke jaringan bermanfaat untuk myalgia yang berhubungan
dengan nyeri otot local. Termoterapi beraksi terhadap nyeri dengan menciptakan
vasodilatasi pada jaringan, menyebabkan pengurangan gejala.

Panas diaplikasikan dengan meletakkan handuk panas, hangat pada daerah gejala
(gbr 11-7).289 Botol air panas diatas handuk akan membantu menjaa panas. Kombinasi ini
harus selama 10-15 menit, tidak lebih dari 30 menit. Sebuah pad panas elektrik
digunakan, tetapi harus berhati-hati untuk tidak meninggalkannya tanpa pengawasan.
Tertidur saat pemanasan pad dapat menyebabkan luka bakar serius.

11.2.2.2.1.2 Terapi Dingin

Seperti termoterapi, terapi dingin telah terbukti menjadi metode yang sederhana
dan sering efektif mengurangi nyeri (gbr 11-8)290 Saran telah dibuat 291-292
bahwa dingin
dapat mendorong relaksasi otot yang kejang dan mengurangi nyeri . Es seharusnya
diaplikasikan langsung pada daerah yang terkena dan dengan gerakan melingkar tanpa
tekanan ke jaringan. Pasien akan merasa tidak nyaman yang secara cepat akan berubah ke
sensasi aburning. Sakit berlanjut akan menghasilkan sakit ringan dan kemudian mati
rasa293 Ketika mati rasa mulai, es dipindahkan. Es tidak dibiarkan pada jaringan lebih dari
5-7 menit. Setelah periode pemanasan aplikasi kedua yakni didinginkan. Diperkirakan
bahwa selama pemanasan terjadi peningkatan aliran darah ke jaringan yang membantu
perbaikan jaringan.

Gambar 11-9 Terapi Dingin

Spray Fluorometan diaplikasikan pada daerah yang nyer kira-kira 5 detik. Otot
diregangkan dengan lembut. Hal ini diulang beberapa kali selama kunjungan. Mata,
hidung dan telinga di lindungi dari spray.

Metode sederhana dalam penggunaan terapi es dapat dilakukan pasien dengan


gelas Styrofoam berisi air dalam lemari pendingin. Setelah membeku dapat dikeluarkan
dan dibawah gelas dirobek sehingga es terlihat. Sisa gelas dapat digunakan sebagai
dudukan yang nyaman untuk jari pasien sehingga tidak terlalu dingin. Gelas juga dapat
ditempatkan dalam kantong plastic sehingga es mencair, air terisi dalam kantung dan
tidak pada pasien. Metode lain terapi dingin menggunakan kantung sayur (jagung atau
kacang). Kantung dapat dengan mudah dibentuk sehingga dapat didinginkan dan
dibiarkan. Karena bila hangat dapat didinginkan lagi dan digunakan lagi.

Terapi dingin yang umum menggunakan spray uap. Dua spray yang paling umum
digunakan adalah etil klorida dan fluorometan. Pada penelitian awal291,292 ethil klorida
pada umumnya digunakan, tetapi ditemukan mudah terbakar dan depresan cardiac. Jadi
fluoromethane dianjurkan baru-baru ini267 karena tidak menimbulkan resiko. Spray
vapocoolant diaplikasikan pada area yang diinginkan dari jarak 1 atau 2 kaki (Gabr.11-9)
sekitar 5 detik. Setelah jaringan dihangatkan kembali, prosedur dapat diulang. Perawatan
harus dilakukan tanpa spary terkena mata, telinga, hidung dan mulut. Handuk dapat
digunakan untuk melindungi daerah tersebut. Spary vapocoolant tidak menembus
jaringan seperti es dan oleh karena itu kemungkinan mengurangi nyeri berhubungan
dengan stimulasi fiber nervus kutaneus yang menutup fiber nyeri yang lebih kecil (fiber
C). yang dibahas dalam Bab 12. Tipe pengurangan nyeri ini berkaitan dengan durasi yang
pendek

Ketika nyeri myofasial (trigger point) muncul, teknik dijelaskan sebagai sparay
dan stretch” digunakan267,294,295 Ini melibatkan spary jaringan diatas otot dengan trigger
point dan kemudian secara pasief meregangkan otot. Teknik di bahas penuh dalam Bab
12

Gambar 11-10
Terapi ultrasound dapat berguna secara signifikan bagi gejala dari banyak pasien. Hal ini
meningkatkan temperature antar jaringan dan memberikan panas yang dalam.

11.2.2.2.1.3 Terapi Ultrasound

Ultrasound adalah metode yang menghasilkan peningkatan temperature antar


jaringan dank arena itu mempengaruhi jaringan lebih dalam dari permukaan yang panas
(Gbr 11-10)296. Bukan hanya meningkatkan aliran darah pada jaringan yang dalam tetapi
juga tampak memisahkan serat kolagen. Hal ini meningkatkan fleksibilitas dan
ekstensibilitas jaringan konektif297 Beberapa ahli telah menganjurkan298,299 bahwa
permukaan panas dan ultrasound digunakan bersama, khususnya ketika menangani pasien
posttrauma. Meskipun modalitasnya telah digunakan selama bertahun-tahun dngan
kesuksesan klinis, data tentang efektifitasnya digabungkan300

11.2.2.2.1.4 Phonophoresis

Ultrasound juga digunakan 301-304 untuk mengatur obat melalui kulit dengan proses
phonophoresis. Sebagai contoh, 10% krem hidrokortison diaplikasikan ke sendi yang
meradang dan ultrasound transuder diarahkan pada sendi. Efek dari salisilat dan anestesi
topical lain juga dapat ditingkatkan dengan cara ini.

11.2.2.2.1.5 Iontophoresis

Iontophoresis, seperti phonophoresis adalah teknik dimana obat tertentu dapat di


berikan pada jaringan tanpa mempengaruhi organ lain305,306 Dengan iontophoresis obat
ditempatkan pada pad dan pad ditempatkan pada daerah jaringan yang diinginkan (gbr
11-11). Kemudian arus listrik rendah melewati pad, dan obat menuju kejaringan 307
Anestesi local dan antiinflamasi adalah obat-obat yang umum digunakan dengan
iontophoresis288,298,308-310. Tidak semua studi menunjukkan effisiensi modalias311

Gambar 11-11 Perawatan Iontophoresis

Obat-obat ditempatkan pada pad dan kemudia arus listrik rendah melewati pad,
membawa obat ke jaringan. Anestesi local dan antiinflamasi adalah obat umum yang
digunakan dengan iontophoresis.

11.2.2.2.1.6 Terapi stimulasi elektrogalvanic

EGS312,313 menggunakan prinsip bahwa stimulasi listrik dari otot menyebabkannya


kontraksi. EGS menggunakan tegangan tinggi, arus rendah, monophasic dengan
frekwensi bervariasi. Impuls listrik diaplikasikan pada otot, menciptakan kontraksi dan
relaksasi. Intensitas dan frekwensi tersebut dapat bervariasi sesuai efek yang diinginkan
dan dapat membantu untuk memcah myospasme serta peningkatan aliran darah ke otot.
Efek- efek itu menyebabkan pengurangan nyeri pada jaringan otot. Namun jika
rangsangan motoric yang signifikan terjadi bersamaan, dapat merusak efek analgesic dan
memperburuk nyeri otot akut.314 Stimulasi elektrikal mikrocurrent mengunakan
mikrovoltage pada kisaran yang terjadi pada pertemuan sinapsis. Telah digunakan
terutama untuk mengontrol rasa sakit. Saat ini, hanya beberapa bukti yang mendukung
penggunaan EGS pada perawatan nyeri TMD otot. Beberapa dokter percaya bahwa
setelah rasa sakit berkurang, posisi mandibula ideal dapat ditempatkan dengan stimulasi
dan perubahan gigi. Konsep ini sangat besar kesalahan dan tidak berdasar bukti (lihat Bab
5). Bidang ini perlu penelitian yang cukup.

11.2.2.2.1.7 Stimulasi Nervus Elektrikal Transcutaneus

TENS,315-317 seperti yang dijelaskan dalam Bab 12, dihasilkan melalu stimulasi
terus menerus dari fiber nervus kutaneus pada level nyeri318 Ketika unit TENS
ditempatkan pada jaringan yang sakit, aktivitas elektrik mengurangi persepsi nyeri. TENS
menggunakan tegangan rendah, arus rendah, biphasic frekwensi bervariasi dan dirancang
terutama untuk stimulasi sensori berlawanan pada gangguan nyeri319-321

Ketika intensitas unit TENS meningkatkan hingga titik serat motoric diaktifkan,
unit TENS menjadi unit EGS yang tidak lagi digunakan untuk koktrol nyeri tetapi untuk
relaksasi otot seperti yang dijelaskan sebelumnya. Pertukaran ini sering membingungkan
dokter.

Protable TENS telah dikembangkan untuk penggunaan jangka panjang pada


pasien dengan nyeri kronik322 (gbr 11-12 dan efektif pada variasi TMDs11,56,299,320,323-327

11.2.2.2.1.8 Akupuntur
Teknik lain untuk modulasi nyeri, akupuntur (lihat gambar 2), penggunaan sistem
antinociceptive tubuh sendiri untuk mengurangi tingkat nyeri. Stimulasi daerah tertentu
(atau titik akupuntur) muncul yang menyebabkan pelepasan endorphin, yang mengurangi
sensasi nyeri melalui interneuron afferent dengan stimuli n subthreshold (gambar 11-13).
Hal ini secara efektif menutup transmisi impuls noxious dan kemudian mengurangi
sensasi nyeri. Stimulasi intermiten sekitar dua puls per detik terlihat lebih efektif dalam
mengurangi ketidaknyamanan berhubungan dengan disfungsi mastikasi 328 Akupuntur
telah sukses untuk beberapa gejala TMD54,329-332 meskipun pasien lebih memilih
perawatan tradisional333 Akupuntur muncul dengan modalitas yang menjanjikan
meskipun mekanisme kerjanya belum dipahami dengan baik. Penelitian lebih lanjut tentu
diindikasikan.

Gambar 11-12 Stimulasi Nervus Elektrik Transkutaneus (TENS)

Unit portable TENS ditempatkan pada daerah yang sakit dapat membantu mengurangi
gejala. Hal ini dicapai dengan stimulasi elektik ringan nervus sensori kutaneus
Gambar 11-13

Jarum akupuntur ditempatkan pada wajah untuk mengurangi nyeri. Jarum ini di
pertahankan pada posisiya kira-kira 30 menit, dimana diputa-putar (stimulasi) tiap 5
hingga 10n enit.

Meskipun akupuntur dan TENS tampaknya menggunakan mekanisme yang


sama,beberapa bukti menunjukkan perbedaan fisiologi. Akupuntur tampak menggunakan
endorphin untuk modulasi nyeri, sedangkan TENS tidak335

11.2.2.2.1.9 Laser dingin


Pada beberapa tahun terkahir laser dingan atau lembut di selidiki untuk
menyembuhkan luka dan nyeri. Saat ini, tidak dianggap sebagai modalitas terapi fisik
yang rutin tetapi termasuk dalam bagian ini sebagai pelengkap. Kebanyakan penelitian
tentang laser dingin melaporkan penggunaannya pada kondisi musculoskeletal kronik,
rematik dan nyeri neurologik336-345 Laser dingin diperkirakan untuk mempercepat sistesis
kolagen, meningkatkan vaskularitas penyembuhan jaringan, mengurangi jumlah
mikroorganisme dan mengurangi nyeri

Beberapa stusi kasus dimana laser dingin digunakan pada nyeri TMJ persisten
telah di publikasikan282,330,346-349 Meskipun hasil penelitian ini telah menguntungkan,
penelitian kurang kontrol dan ukuran sampel yang memadai. Penyelidikan lebih lanjut
akan diperlukan sebelum laser terapi menjadi modalitas rutin dalam kedokteran gigi.

11.2 2 2 2 Teknik Manual

Teknik manual atau terapi “hands-on” dilakukan oleh terapi fisik untuk
mengurangi nyeri dan disfungsi. Teknik manual dibagi dalam tiga kategori: mobilisasi
jaringan dan kondisi otot.

11.2.2.2.2.1 Mobilisasi Jaringan lunak

Terapi fisik dapat membantu dalam memperoleh kembali fungsi normal dan
mobilitas luka atau jaringan yang sakit. Mobilisasi jaringan lunak pada kondisi nyeri otot
dan dilakukan pemijatan yang dalam dan luar. Pada diskusi sebelumnya, stimulasi ringan
nervus sensori kutaneus mempengaruhi inhibitor nyeri.318,350 Dengan demikian pemijatan
lembut pada jaringan daerah yang sering sakit dapat mengurangi persepsi nyeri. Pasien
dapat diajarkan teknik pemijatan lembut dan didorong untuk melakukannya selama
diperlukan untuk pengurangan nyeri. Teknik ini dengan pergangan otot dapat membantu
dalam mengurangi nyeri. Teknik ini juga membuat pasien secara aktif terlibat dalam
perawatan yang dapat memberi pasien perasaan penting dalam kontrol(gbr 11-14)

Pemijatan dalam dapat lebih membantu daripada pijatan lembut dalam


membangun kembali fungsi otot normal. Pijatan dalam namun, harus dilakukan oleh
individu lain yakni terapi fisik. Pijatan dalam dapat membantu dalam mobilisasi jaringan,
meningkatkan aliran darah kedaerah sakit dan mengeliminasi titik pemicu 351 Dalam
meningkatkan efektifvitas pijatan dalam, pasien harus menerima 10 hingga 15 menit
pemanasan sebelum pemijatan. Pemanasan cenderung untuk mengendurkan jaringan otot,
mengurangi nyeri dan meningkatkan efektivitas pijatan dalam

Gambar 11-14 Terapi Pijatan

Ketika nyeri otot merupakan keluhan utama, pijatan dapat membantu. Pasien didorong
untuk melakukan pijata lembut kedaerah yang sakit secara teratur sepanjang hari. Hal ini
dapat menstimulasi nervus sensori kutaneus untuk penghambatan inhibitor nyeri. Jika
nyeri meningkat, hal ini harus dihentikan
Gambar 11-15 Distraksi Sendi pada Sendi Temporo Mandibula

Hal ini dapat dicapai dengan menempatkan ibu jari pada mulut pasien sepanjang gigi
molar kedua mandibula pada sisi yang terganggu. Sementara kepala di stabilkan dengan
tangan lain, ibu jari memberi tekanan ke bawah pada gigi molar.

11.2.2.2.2.2 Mobilisasi sendi

Mobilisasi TMJ berguna untuk mengurangi tekanan interartikular, serta


meningkatkan berbagai gerakan sendi. Gangguan sendi dapat menyebabkan penurunan
adeshi sementara dan bahkan mungkin mobilisasi sendi. Dalam berbagai kasus ganguan
sendi berguna dalam menangani dislokasi sendi akut tanpa reduksi (lihat Bab 13).
Distraksi pasif diperkirakan menghambat aktivitas otot yang menarik sendi. Distraksi
TMJ diperoleh dengan menempatkan ibu jari dalam mulut pasien sepanjang gigi molar
kedua mandibula yang terganggu. Dengan kepala distabilkan menggunakan tangan
lainnya, ibu jari memberi tekanan kebawah pada gigi molar sebagai sandaran dari tangan
yang sama menahan pada bagian anterior mandibula (dagu)(Gbr 11-15). Distraksi otot
yang relaksasi tidak memerlukan translasi sendi tetapi hanya posisi sendi yang tertutup.
Distraksi dipertahankan selama beberapa detik dan kemudian dilepas. Hal ini dapat
diulang beberapa kali. Ketika mmobilisasi sendi bermasalah, distraksi digabungkan
dengan translasi manual dari sendi.

Catatan penting bahwa distraksi ringan pada sendi normal tidak menyebabkan
nyeri. Jika nyeri timbul, terapis harus curiga gangguan inflamasi sendi dan menghentikan
prosedur distraksi.

Distraksi tulang belakang juga membantu beberapa pasien dengan keluhan nyeri
ororfasial. Hal ini harus di buat dan dipantau oleh seorang spesialis terlatih dalam fungsi
servikospinal. Dokter gigi tidak dilatih secara normal untuk terapi traksi servikal dan oleh
karena itu tidak merekomendasikan jenis terapi ini. Namun, dokter gigi mengobati nyeri
orofasial pasien yang menggunakan traksi servikal yang direkomendasikan oleh dokter
mereka untuk gangguan servikal.

Ketika traksi servikal digunakan, perawatan harus dilakukan dengan tidak


menempatkan terlalu banyak tekanan pada TMJ. Beberapa alat traksi servikospinal
cenderung menggerakkan mandibula, meningatkan gangguan derangement sendi. Pasien
yang secara aktif menjalani traksi servikal harus di beritahu tentang potensi resiko cedera
TMJ. Mereka harus diberitahu untuk selalu menjaga gigi mereka selama menjalani traksi.
Hal ini cenderung menstabilkan dan mengontrol struktur sendi. Dokter harus selali
merekomendasikan bahwa pasien dapat membeli alat atletik yang dapat dipakai selama
periode traksi. Jenis alat ini dapat memberikan stabilitas yang lebih, meminimalkan
cedera potensial pada TMJ.

11.2.2.2.2.3 Kondisi Otot


Pasien yang mengalami pengalan gejala TMD sering mengurangi penggunaan
rahang mereka karena nyeri. Jika hal ini berkepanjangan maka otot akan menjadi pendek
dan artrofi. Pasien seharusnya di instruksikan latihan sendiri yang dapat membantu dalam
mengembalikan fungsi normal dan jangkauan gerakan. Empat jenis program latihan yang
dapat di buat oleh terapi fisik dan dokter gigi : peregangan otot pasif, peregangan otot
bantuan, latihan ketahanan dan latihan postural.

11.2.2.2.2.4 Peregangan otot pasif

Peregangan otot pasif nyeri, otot memendek dapat efektif menangani beberapa
TMDs352,353. Peregangan otot berlawanan dengan otot yang memendek yang berkontribusi
untuk mengurangi aliran darah dan akumulasi dari substansi algogenik yang
bertanggungjawab pada nyeri otot. Seringnya peregangan otot pasif dapat membantu
dalam membangun panjang otot normal dan fungsinya. Pasien searusnya di instruksikan
dengan perlahan dan membuka mulut hingga nyeri dirasakan. Nyeri harus dihindari
karena dapat menyebabkan nyeri otot siklik. Kadang-kadang dapat membantu pasien
yang mengalami nyeri otot untuk mengamati pembukaan mulut mereka dicermin
sehingga mereka dapat berjalan baik tanpa cacat atau diviasi ( Gbr 11-16). Gerakan
eksentrik lateral dan gerakan protrusi harus dilakuakn dalam rentang nyeri.

Gambar 11-16 Latihan Pasif


Pasien dengan gerakan disfungsi rahang dapat dilatih untuk membatasi gerakan dengan
melihat diri sendiri dicermin. Pasien di dorong untuk membuka mulut. Dalam banyak
kasus, jika hal ini dapat dicapai mengikuti bentuk rasional dengan translasi yang kecil,
gangguan derangement sendi akan dihindari.

Dengan gangguan intracapsular membuka mulut menjadi tidak mungkin ata tidak
diinginkan. Meminta pada pasien dengan dislokasi sendi atau ketidak sesuaian structural
untuk membuka mulut sebenarnya dapat memperburuk kondisi nyeri. Pasien harus
diintruksikan untuk membuka mulut lebar dengan nyaman yang menyebabkan sedikit
perlawanan dari gangguan sendi. Kadang-kadang defleksi pada saat membuka telah
dipelajari oleh pasien dan upaya untuk memperbaiki hal ini benar-benar dapat
memperburuk kondisi.

Gambar 11-17
Latihan peregangan sering digunakan untuk mendapatkan kembali buka mulut normal.
PAsien diinstruksikan untuk melakukan tekanan pereangan secara lembut dan perlahan-
lahan pada otot elevator dengan jari. Nyeri tidak boleh terjadi. Jika ada nyeri, tekanan
harus dikurangi atau latihan dihentikan.

Peregangan otot pasif dapat membantu dalam laihan pasien untuk melakukan
gerakan yang akan mengatasi disfungsi354 Sebagai contoh, selama gerakan membuka,
pasien dengan suara pada sendi sering mentranslasi kondilus kedepan sebelum berputar.
Pssien dengan jenis masalah ini didorong untuk mengvisualisaskan gerakan mandibula
mereka di cermin dan untuk berputar sebelum translasi. Sekali lagi, diagnosis adalah
kunci untuk pemilihan perawatan yang tepat.

Kadang-kadang peregangan pasif pada otot dapat di bantu dengan menggunakan


vapocoolant spray. Vapocoolant spray dapat mengurangi nyeri, yang memungkinkan
pasien mencapai buka mulut yang lebih besar tanpa rasa sakit. Hal ini mungkin sangat
membantu dalam mengobati titik pemicu yang berhubungan dengan nyeri myofasial
( lebih jelas pada bab berikut)

11.2.2.2.2.5 Peregangan Bantuan Otot

Peregangan bantuan otot digunakan ketika ada kebutuhan untuk memperole


kembali panjang otot. Peregangan tidak boleh tiba-tiba atau terlalu kuat. Sebalinya, hal
itu harus dilakukan dengan lembut dan perlahan-lahan yang berangsur-angsur meningkat.
Pasien dapat membantu melakukan peregangan sendiri karena tidak mungkin melakukan
peregangan yang berlebihan atau trauma jaringan (gbr 11-17). Ketika seseorang
membantu pada latihan peregangan, pasien harus disarankan untuk memberitahu
ketidaknyamanannya. Jika rasa sakit timbul maka jumlah tenaga dikurangi.

Peregangan bantuan otot merupakan perawatan penting dalam menangani nyeri


myofasial352 Simon dan Travell351 telah menjelaskan teknik spray dan peregangan yang
paling umum digunakan untuk menghilangkan titik pemicu. Teknik yang menggunakan
spary fluorometan sebagai iritan lawan sebelum peregangan otot. Spray fluorometan
diaplikasikan pada daerah titik pemicu dan kemudian langsung pada daerah yang nyeri.
Spray kemudian dihentikan dan semprotan spray lainnya di ulangi dengan cara yang
sama. Setelah tiga atau empat semprotan spray, otot secara aktif meregang hingga
panjang fungsional maksimum.

Sekali otot telah meregang, dapat dihangatkan dengan tangan dan prosedur
diulang dua hingga tiga kali. Hal ini diasumsikan bahwa titik pemicu dihilangkan dengan
peregangan aktif pada otot. Spray digunakan hanya sebagai iritan sementara mengurangi
nyeri sehingga otot dapat diregangkan tanpa rasa sakit (teori gate kontrol 350). Jika nyeri
muncul selama peregangan, otot akan berkontraksi, yang mengurangi efektivitas teknik
ini. Produksi nyeri dapat juga menyebabkan nyeri otot siklik.

Penggunaan lain latihan bantuan setelah pembedahan TMJ. Seringkali setelah


pembedahan TMJ dapat meningkatkan adhesi atau ligament kapsular dapat fibrose dan
kencang. Hal ini dapat membatasi terbukanya mulut. Panelitian 355,356 menyarankan bahwa
latihan aktif mengikuti arthroscopy dan anthrotomy membantu dalam mencapai
jangkauan yang lebih baik pada gerakan mandibula. Latihan bantuan juga membantu
dalam berbagai peningkatan gerakan pada pasien yang mengalami dislokasi sendi
permanen tanpa pengurangan357-360

11.2.2.2.2.6 Latihan Resisten

Latihan resisten361 menggunakan konsep relaksasi reflex atau inhibisi resiprokal.


Ketika pasien mencoba untuk membuka, depressor mandibula aktif. Otot elevator yang
dengan pelan relaks, menjaga mandibula dari jatuh secara tiba-tiba. Jika otot depressor
mengalami resisten, pijatan neurologic dikirim ke otot antagonis (elevator) untuk relaks
penuh. Konsep ini dapat digunakan dengan mengintruksikan pasien untuk menempatkan
tahanan dibawah dagu dan membuka mulut pelan terhadap resisten (gbr 11-18,A). Jika
gerakan eksentrik dibatasi, pasien dapat diminta untuk menggerakkan mandibula pada
posisi eksentrik terhadap sedikit resisten (Gbr 11-18,B). Latihan ini di ulangi 10 kali tiap
sesi, 6 sesi tiap hari. Jika menimbulkan rasa sakit, maka dihentikan. Latihan ini hanya
berguna jika pembukaan mulut terbatas yakni sekunder untuk kondisi otot dan tidak
boleh digunakan untuk batasan intrakapsular yang menyakitkan. Hal ini penting bahwa
gerakan tidak menyebabkan nyeri, yang dapat menyebabkan nyeri otot. siklik.

Latihan Isometrik (latihan resisten) dapat berguna pada pasien muda dengan nyeri
clicking awal. Hal ini telah mengemukakan bahwa struktur sendi pada usia ini membantu
dalam memperkuat ligament dan permukaan artikular 362 Latihan isometric juga
memperkuat otot-otot yang mendukung sendi, meningkatkan fungsi dan resisten terhadap
displacement.

Gambar 11-18

Latihan resisten menggunakan konsep relaksasi reflex untuk meningkatkan pembukaan


mandibula. A. Pasien diinstruksikan untuk membuka mulut melawan resisten dengan jari.
Hal ini akan meningkatkan relaksasi otot elevator, sehingga memungkinkan peningkatan
pembukaan mandibula. B, Ketika gerakan eksentrik terbatas, pasien dapat diminta untuk
menggerakkan posisi eksentrik dengan resisten pelan dari jari. Latihan ini diulangi 10
kali setiap sesi, 6 sesi tiap hari. Jika nyeri muncul, dapat dihentikan.

11.2.2.2.2.7 Latihan postural

Meskipun terdapat bukti bahwa gangguan serviks sangat erat kaitannya dengan
gejala TMD. Hubungan yang tepat tidak sepenuhnya jelas. Tentu saja efek nyeri alihan
disebabkan oleh eksitasi sentral sebagai penyumbang utama ( lihat Bab 2). Beberapa
dokter363,364 juga telah menyarankan bahwa postur kepala, leher, dan bahu dapat
berkontribusi pada gejala TMD. Meskipun hal ini mungkin logis, bukti ilmiah lemah 365,366
dan beberapa kasus tidak mendukung367-369 Postur kepala kedepan telah menarik
perhatian. Telah dijelaskan bahwa jika kepala dalam posisi maju, pasien harus memutar
kepala keatas untuk melihat dengan baik. Posisi kepala kedepan dan berputar
menghasilkan elongasi otot suprahyoid dan otot infrahyoid dan juga menutup ruang
posterior antara atlas dan axis. Telah di kemukakan bahwa mempertahankan posisi ini
sering menyebabkan gejala otot dan servikal. Pada pasien TMD dengan nyeri otot yang
juga memiliki postur kepala kedepan, latihan pasien untuk menjaga kepala pada
hubungan normal dengan bahu dapat mengurangi gejala TMD370

Latihan telah disarankan pada pasien untuk meningkatkan postru kepala dan
servikal367,370. Karena latihan sederhana dan tidak invasive, dapat di presentasikan kepada
semua psien dengan posisi kepala kedepan dan nyeri TMD. Efektivitas latihan ini belum
ditetapkan. Penelitian ilmiah pada area ini diperlukan.

Dari catatan bahwa efektivitas modalitas terapi fisik dan teknik perlu dievaluasi
lebih menyeluruh dalam uji klinis terkontrol. Sebagian besar dari gaya manajemen telah
dikembangkan, dengan penelitian berbasis bukti285,300,357,371,372 Karena kebanyakan terapi
konservatif, ada kemungkinan bahwa tidak ada salahnya dilakukan. Disisi lain, pada
masyarakat secara finansial, efektivitas perlu dipertimbangkan.

11.3 Konsep Self – Regulasi Fisik

Ketika TMD akut, terapi segera diarahkan pada etiologi yang biasanya cukup
untuk mengurangi dan menghilangkan gejal. Namun, ketika gejala berkepanjangan,
penanganan menjadi lebih sulit. TMD kronik sering tidak diselesaikan dengan prosedur
perawatan gigi sederhana (mis alat oklusal). Hal ini mungkin karena adanya faktor-faktor
penting lainnya yang tidak terkait dengan kondisi gigi. Beberapa faktor memiliki masalah
psikososial yang terkait dengan perubahan karakteristik kontrol otak. Dalam sebuah studi
yang menarik oleh Phillips,dkk140 pasien dengan gejala TMD akut di evaluasi secara
psikososial tetapi tidak memberikan perawatan formal. Individu ini kemudian
diingatkandalam 6 bulan untuk menjelaskan status gejala TMD mereka. Phillips
melaporkan bahwa individu yang terus mengalami gejala TMD, berbeda dalam
pertimbangan psikososial dari mereka yang tidak memiliki gejala yang lama. Individu
TMD kronik mengalami gangguan kecemasan dan depresi yang lebih daripada mereka
yang telah sembuh. Perbedaan juga dilaporkan antara pria dan wanita. Pria yang
menderita TMD kronik lebih cenderung menunjukkan gangguan kepribadian sedangkan
wanita lebih menunjukkan tingkat yang signifikan pada psikopatologi utama. Hal itu
merupakan pemikiran penting bahwa individu mungkin memiliki masalah psikososial
tertentu dan diubah dengan respon fisiologis terhadap rangsangan yang membuat mereka
lebih rentan mengalami TMD kronis. Seperti yang disebutkan dalam bab ini, trauma
emosional yang sebelumnya dialami oleh seseorang individu yang kronis bias
meningkatkan sistm saraf ototnom. Upregulasi dan psikologi terganggu dapat membuat
lebih sulit bagi individu untuk pulih dari cedera tau gejala, sehingga mengacu ke kondisi
kronis. Inilah sebabnya mengapa TMD menjadi pedekatan kronik yang harus di
pertimbangkan. Minimal kelompok untuk TMD kronik adalah dokter gigi, psikologi, dan
terapi fisik atau praktisi yang memiliki kombinasi keterampilan dalam tiap disiplin ilmu.

Pendekatan perawatan yang benar dalam menangani nyeri TMD dan nyeri
orofasial yakni mengembangkan intervensi yang mengatasi karakteristik spesifik umum
yang ditemukan pada pasien TMD kronik. Penelitian laboratorium Universitas Kentucky
telah mengembangkan program penelitian85,373 yang menyarankan seseorang dengan nyeri
ororfasial kronik otot dibedakan melalui lima karakteristik:


Individu melaporkan intensitas nyeri signifikan bila dibandingkan dengan pasien
nyeri yang lain, dan mereka juga lebih sensitive terhadap stimuli nyeri pada
region trigeminal. Sensitivitas pada stimuli nyeri adalah konsisten dengan
penelitian pada nyeri ororfasial lain374,375


Pasien nyeri melaporkan tingkat signifkan kelelahan yang merusak fungsi normal.
Kelelahan ini berkaitan erat dengan karakteristik penting ketiga, depresi


Depresi umum terjadi di antara pasien dengan nyeri orofasial otot kronik. Namun
komponen signifikan dari kelelahan tidak dikaitkan dengan depresi itu sendiri.

Bentuk pernapasan terganggu sehingga tingkat karbondioksida yang rendah pada
pasien daripada kelompok kontrol. Penemuan ini menunjukkan bahwa pola
pernapasan mungkin berkontribusi pada disregulasi fisik yang dilaporka pasien.


Pasien yang sakit melaporkan gangguan tidur yang signifikan yang melibatkan
sulit tidur atau terbangun

Kelima karakteristik mewakili gejala yang menunjukkan “disregulasi autonomic”


dan memberikan arahan untuk penerapan strategi intervensi khusus dalam menangani
gangguan fisiologis yang dapat berkontribusi pada penanganan gangguan nyeri.

Berikut ini adalah pendekatan perawatan nyeri orofasial kronis yang didasarkan
pada interpretasi dari hasil penelitian yang di kembangkan oleh Drs. Peter Bertarand dan
Charles Carlson pada tahun 1993. Fokus perawatan ini yakni 1) mengatasi rasa sakit dan
kelelahan sebagai gangguan fisiologis yang membutuhkan perawatan ini, 2) menangani
disregulasi autonomi, 3) mengubah pola pernapasan disfungsional,4) meningkatkan tidur.
Karena pendekatan ini melibatkan keterampilan khusus untuk mengubah parameter
fisiologis, pendekatn ini disebut “physical self-regulation” (PSR). Latihan manual dari
PSR dikembangkan oleh Drs. Crlson dan Berrand tahun 1995 untuk menyusun dan
menstandarisasi prosedur itu376 Pada tahun 1997 Drs. Bertrand dan Carlson melakukan uji
acak, kontrol klinis pada PSR pada sampel pasien nyeri orofasial di Nasional Naval
Dental Center di Bethesda, Maryland377 Uji klinis termasuk pengacakan dari 44 pasien
dengan usia rata-rata 34,6 tahun dan dengan nyeri yang berlangsung selama 52 bulan
pada kelompok dengan PSR atau kelompok dengan standar perawatan gigi (SDC) yang
termasuk stablisasi suatu alat. Kedua perlakuan mengakibatkan penurunan yang
signifikan dalam intensitas nyeri dan interfensi dari 6 minggu setelah perawatan dimulai.
Pada 6 bulan follow up, bagaimanapun, kelompok PSR melaporkan nyeri yang rendah
disbanding kelompok SDC. Pembukaan mulut yang nyaman dan maksimumditingkatkan
untuk kelompok awal. Pada 6 bulan follow up, kelompok PSR membuka mulut lebih
nyaman dan maksimum dibandingkan dengan kelompok SDC. HAsil ini didukung
dengan penggunaan evaluasi pendekatan PSR untuk menangani nyeri orofasial.
Pendekatan PSR terdiri dari 8 area pendidikan dan pelatihan. Pertama, pasien
disediakan dengan penjelasan tentang kondisi mereka dan kesempatan untuk
mengembangkan masalah pribadi. Kedua, pasien diberi instruksi menegnai posisi struktur
region ororfasial378 dan pentingnya mengurangi aktivasi otot dengan mengenali apakah
otot kepala atau leher merespon. Ketiga, keterampilan spesifik disediakan untuk
meningkatakan kesadaran pada posisi postural, khususnya region kepala dan leher.
Bentuk ini disebut pendidikan proprioceptive dan alasan untuk hal ini lebih jauh
dijelaskan oleh Carlson dkk377. Keempat keterampilan untuk ketegangan yang relaks juga
disampaikan pasien melali latihan yang melibatkan posisi struktur tubuh yang dilakukan
pasien, melibatkan gerakan pelan pada kelompok otot rhomboid. Kelima, relaksasi
progresif melibatkan posisi struktur tubuh diberikan pada pasien, bersama dengan
instruksi yang mengambil setidaknya dua periode selama aktivitas sehari-hari untuk
relaksasi otot yang dalam dan mengurangi tegangan. Latihan ini diikuti dengan
diagfragma yang pelan, relaksasi ketika otot skeletal tidak merespon stimuli. Ketujuh,
pasien diberi instruksi untuk mulai tidur pada posisi relaks dengan rekomendasi tidur
yang nyaman. Terakhir, pasien di beri petunjuk tentang asupan cairan, nutrisi dan latihan
untuk restorasi fungsi normal. Program PSR seluruhnya disajikan dalam kerangka kerja
yang berfokus pada pemahaman nyeri sebagai gangguan fisiologis yang baik dikelola
oelh orang-orang yang mengatasi gangguan melalui istirahat, nutrisi dan perbaikan
jaringan, regulasi perilaku fungsi autonomic dan aktivitas yang tepat. Pendekatan PSR
berfokus pada pembatasan aktivitas yang meningkatkan rasa tidak nyaman atau nyeri
untuk mengembangakn fungsi bebas nyeri.

Pengalaman klinis PSR lebih dari 13 tahun menunjukkan perawatan yang


berharga untuk berbagai nyeri orofasial. Meskipun pada walanya dirancang untuk
gangguan nyeri otot pengunyahan, hal itu juga membantu dalam menangani banyak
gangguan intrakapsular. PSR membantu dalam menangani gangguan itrakapsular dengan
memungkinkan aktivitas otot dapat menyebabkan kontraksi dan co-kontraksi dan inhibisi
difusi cairan synovial kedalam sendi yang sebelumnya kelebihan tekanan. Dengan
mengurangi beban otot, PSR membantu mengembalikan fungsi normal bebas nyeri. PAda
kenyataannya PSR membantu dalam kondisi nyeri karena kemampuan pasien untuk
mengontrol fungsi psikologi dan sebaliknya “disregulasi” sistem psikologinya. Bagi
mereka yang tertarik dalam pendekatan praktek klinis mereka, penjelasan lebh rinci
tentang pendekatan PSR dapat diperoleh.376,377,379 Meskipun uji klinis diperlukan untuk
mengevaluasi lebih lanjut pendekatan pSR, data saat ini dari penelitian terkontrol studi
ilmiah dan partik klinis mengindikasikan bahwa pasien dapat menerima manfaat besar
dari latiahan PSR.

11.4 Referensi


Albino JEN, Commiakutttee Chairperson: The National Institutes of Health
Technology Assessment Conference Statement on the Management evaluation of
conservative treatment for myofascial pain-dysfunction, 1996.

Whitney CW, Von Korff M: Regression to the mean in treated versus untreated
chronic pain, Pain 50:281-285, 1992.

Greene CS, Laskin DM: Long-term evaluation of conservative treatment for
myofascial pain-dysfunction syndrome, J Am Dent Assoc 89:1365-1368, 1974.

Greene CS, Markovic MA: Response to nonsurgical treatment of patients with
positive radiographic findings in the temporomandibula joint, J Oral Surg 34:692-
697, 1976.

Carlsson SG, Gale EN: Biofeedback in the treatment of long-term
temporomandibula joint pain: an outcome study, Biofeedback Self Regul 2:161-
171, 1977.

Carraro JJ, Caffesse RG: Effect of occlusal splints on TMJ symptomatology, J
Prosthet Dent 40:563-566, 1978.

Cohen SR: Follow-up evaluation of 105 patients with myofascial pain-
dysfunction syndrome, J Am Dent Assoc 97:825-828, 1978.

Dohrmann RJ, Laskin DM: An evaluation of electromyographic biofeedback in
the treatment of myofascial pain-dysfunction syndrome, J Am Dent Assoc 96:656-
662, 1978.

Nel H: Myofascial pain-dysfunction syndrome, J Prosthet Dent 40:438-441,
1978.

Heloe B, Heiberg AN: A follow-up study of a group of female patients with
myofascial pain-dysfunction syndrome, Acta Odontol Scand 38:129-134, 1980.

Wessberg GA, Carroll WL, Dinham R, Wolford LM: Transcutaneous electrical
stimulation as an adjunct in the management of myofascial pain-dysfunction
syndrome, J Prosthet Dent 45:307-314, 1981.

Greene CS, Laskin DM: Long-term evaluation of treatment for myofascial
paindysfunction syndrome: a comparative analysis, J Am Dent Assoc 107:235-
238, 1983.

Magnusson T, Carlsson GE: A 21 ½2-yearfollow-up of changes in headache and
mandibula dysfunction after stomatognathic treatment, J Prosthet Dent 49:398-
402, 1983.

Wedel A, Carlsson GE: Retrospective review of 350 patients referred to a TMJ
clinic, Community Dent Oral Epidemiol 11:69-73, 1983.

Strychalski ID, Mohl ND, McCall WD Jr, Uthman AA: Three year follow-up
TMJ patients: success rates and silent periods, J Oral Rehabil 11:71-78, 1984.

Okeson JP, Hayes DK: Long-term results of treatment for temporomandibula
disorders: an evaluation by patients, J Am Dent Assoc 112:473-478, 1986.

Randolph CS, Greene CS, Moretti R, Forbes D, Perry HT: Conservative
management of temporomandibula disorders: a posttreatment comparison
between patients from a university clinic and from private practice, Am J Orthod
Dentofacial Orthop 98:77-82, 1990.

Okeson JP: Long-term treatment of disk-interference disorders of the
temporomandibula joint with anterior repositioning occlusal splints, J Prosthet
Dent 60:611-616, 1988.

Williamson EH, Rosenzweig BJ: The treatment of temporomandibula disorders
through repositioning splint therapy: a follow-up study, Cranio 16:222-225, 1998.

Kurita H, Kurashina K, Kotani A: Clinical effect of full coverage occlusal splint
therapy for specific temporomandibula disorder conditions and symptoms, J
Prosthet Dent 78:506-510, 1997.

Sato S, Kawamura H, Nagasaka H, Motegi K: The natural course of anterior disc
displacement without reduction in the temporomandibula joint:follow-up at 6, 12,
and 18 months, J Oral Maxillofac Surg 55:234-238; discussion 238-239, 1997.

Zarb GA, Thompson GW: Assessment of clinical treatment of patients with
temporomandibula joint dysfunction, J Prosthet Dent 24:542-554, 1970.

Banks P, Mackenzie I: Condylotomy. A clinical and experimental appraisal of a
surgical technique, J Maxillofac Surg 3:170-181, 1975.

Cherry CQ, Frew A Jr: High condylectomy for treatment of arthritis of the
temporomandibula joint, J Oral Surg 35:285-288, 1977.

Brown WA: Internal derangement of the temporomandibula joint: review of 214
patients following meniscectomy, Can J Surg 23:30-32, 1980.

Bjornland T, Larheim TA: Synovectomy and diskectomy of the
temporomandibula joint in patients with chronic arthritic disease compared with
diskectomies in patients with internal derangement. A 3-year follow-up study, Eur
J Oral Sci 103:2-7, 1995.

Marciani RD, Ziegler RC: Temporomandibula joint surgery: a review of fifty-one
operations, Oral Surg Oral Med Oral Pathol 56:472-476, 1983.

Mejersjo C, Carlsson GE: Analysis of factors influencing the long-term effect of
treatment of TMJ-pain dysfunction, J Oral Rehabil 11:289-297, 1984.

Upton LG, Scott RF, Hayward JR: Major maxillomandibula malrelations and
temporomandibula joint pain-dysfunction, J Prosthet Dent 51:686-690, 1984.

Benson BJ, Keith DA: Patient response to surgical and nonsurgical treatment for
internal derangement of the temporomandibula joint, J Oral Maxillofac Surg
43:770-777, 1985.

Eriksson L, Westesson PL: Results of temporomandibula joint diskectomies in
Sweden 1965-85, Swed Dent J 11:1-9, 1987.

Silver CM: Long-term results of meniscectomy of the temporomandibula joint,
Cranio 3:46 57, 1984.

Holmlund A, Gynther G, Axelsson S: Efficacy of arthroscopic lysis and lavage in
patients with chronic locking of the temporomandibula joint, Int J Oral
Maxillofac Surg 23:262-265, 1994

Moses JJ, Poker ID: TMJ arthroscopic surgery: an analysis of 237 patients, J Oral
Maxillofac Surg 47:790-794, 1989.

Murakami K, Moriya Y, Goto K, Segami N: Four-year follow-up study of
temporomandibula joint arthroscopic surgery for advanced stage internal
derangements, J Oral Maxillofac Surg 54:285-290, 1996.

Kirk WS Jr: Risk factors and initial surgical failures of TMJ arthrotomy and
arthroplasty: a four to nine year evaluation of 303 surgical procedures, Cranio
16:154-161, 1998.

Murakami KI, Tsuboi Y, Bessho K, Yokoe Y, Nishida M et al: Outcome of
arthroscopic surgery to the temporomandibula joint correlates with stage of
internal derangement: five-year follow-up study, Br J Oral Maxillofac Surg
36:30-34, 1998.

Summer JD, Westesson PL: Mandibula repositioning can be effective in treatment
of reducing TMJ disk displacement. A long-term clinical and MR imaging follow-
up, Cranio 15:107-120, 1997.

Sato S, Ohta M, Ohki H, Kawamura H, Motegi K: Effect of lavage with injection
of sodium hyaluronate for patients with nonreducing disk displacement of the
temporomandibula joint, Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod
84:241-244, 1997.

Nitzan DW, Samson B, Better H: Long-term outcome of arthrocentesis for
sudden-onset, persistent, severe closed lock of the temporomandibula joint, J Oral
Maxillofac Surg 55:151 157; discussion 157-158, 1997.

Rosenberg I, Goss AN: The outcome of arthroscopic treatment of
temporomandibula joint arthropathy, Aust Dent J 44:106-111, 1999.

Carvajal WA, Laskin DM: Long-term evaluation of arthrocentesis for the
treatment of internal derangements of the temporomandibula joint, J Oral
Maxillofac Surg 58:852-855; discussion 856-857, 2000.

Hall HD, Navarro EZ, Gibbs SJ: One-and three-year prospective outcome study
of modified condylotomy for treatment of reducing disc displacement, J Oral
Maxillofac Surg 58:7-17, 2000.

De Boever JA, Carlsson GE, Klineberg IJ: Need for occlusal therapy and
prosthodontics treatment in the management of temporomandibula disorders. Part
II: tooth loss and prosthodontic treatment, J Oral Rehabil 27:647-659, 2000.

Yatani H, Minakuchi H, Matsuka Y, Fujisawa T, Yamashita A: The long-term
effect of occlusal therapy on self-administered treatment outcomes of TMD, J
Orofac Pain 12:75-88, 1998.

Ramfjord SP, Ash MM: Occlusion, ed 3, Philadelphia, 1983, Saunders, p 500.

Franks AST: Conservative treatment of temporomandibula joint dysfunction: a
comparative study, Dent Pract Dent Rec 15:205-210, 1965.

Okeson JP, Kemper JT, Moody PM: A study of the use of occlusion splints in the
treatment of acute and chronic patients with craniomandibula disorders, J
Prosthet Dent 48:708-712, 1982.

Clark GT, Beemsterboer PL, Solberg WK, Rugh JD: Nocturnal
electromyographic evaluation of myofascial pain dysfunction in patients
undergoing occlusal splint therapy, J Am Dent Assoc 99:607-611, 1979.

Solberg WK, Clark GT, Rugh JD: Nocturnal electromyographic evaluation of
bruxism patients undergoing short term splint therapy, J Oral Rehabil 2:215-223,
1975.

Fuchs P: The muscular activity of the chewing apparatus during night sleep. An

examination of healthy subjects and patients with functional disturbances, J Oral
Rehabi l2:35-48, 1975.

Okeson JP: The effects of hard and soft occlusal splints on nocturnal bruxism, J
Am Dent Assoc 114:788-791, 1987.

Brown DT, Gaudet EL Jr: Outcome measurement for treated and untreated TMD
patients using the TMJ scale, Cranio 12:216-222, 1994.

Dahlstrom L: Conservative treatment methods in craniomandibula disorder, Swed
Dent J 16:217-230, 1992.

Yustin D, Neff P, Rieger MR, Hurst T: Characterization of 86 bruxing patients
with long-term study of their management with occlusal devices and other forms
of therapy, J Orofac Pain 7:54-60, 1993.

Linde C, Isacsson G, Jonsson BG: Outcome of 6-week treatment with
transcutaneous electric nerve stimulation compared with splint on symptomatic
temporomandibula joint disk displacement without reduction, Acta Odontol Scand
53:92-98, 1995.

Garefis P, Grigoriadou E, Zarifi A, Koidis PT: Effectiveness of conservative
treatment for craniomandibula disorders: a 2-year longitudinal study, J Orofac
Pain 8:309-314, 1994.

Wright E, Anderson G, Schulte J: A randomized clinical trial of intraoral soft
splints and palliative treatment for masticatory muscle pain, J Orofac Pain 9:192-
199, 1995.

Yap AU: Effects of stabilization appliances on nocturnal parafunctional activities
in patients with and without signs of temporomandibula disorders, J Oral Rehabil
25:64-68, 1998.

Ekberg EC, Vallon D, Nilner M: Occlusal appliance therapy in patients with
temporomandibula disorders. A double-blind controlled study in a short-term
perspective, Acta Odontol Scand 56:122-128, 1998.

Kight M, Gatchel RJ, Wesley L: Temporomandibula disorders: evidence for
significant overlap with psychopathology, Health Psychol 18:177-182, 1999.

Wexler GB, Steed PA: Psychological factors and temporomandibula outcomes,
Cranio 16:72-77, 1998.

Carlson CR, Okeson JP, Falace DA, Nitz AJ, Curran SL et al: Comparison of
psychologic and physiologic functioning between patients with masticatory
muscle pain and matched controls, J Orofac Pain 7:15-22, 1993.

De Leeuw J, Steenks MH, Ros WJ, Bosman F, Winnubst JA et al: Psychosocial
aspects of craniomandibula dysfunction. An assessment of clinical and
community findings, J Oral Rehabil 21:127-143, 1994.

Grassi C, Passatore M: Action of the sympathetic sistem on skeletal muscle, Ital J
Neurol Sci9:23-28, 1988.

Passatore M, Grassi C, Filippi GM: Sympathetically-induced development of
tension in jaw muscles: the possible contraction of intrafusal muscle fibres,
Pflugers Arch 405:297-304, 1985.

Korszun A, Papadopoulos E, Demitrack M, Engleberg C, Crofford L: The
relationship between temporomandibula disorders and stress-associated
syndromes, Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod 86:416-420,
1998.

Lupton DE: A preliminary investigation of the personality of female
temporomandibula joint dysfunction patients, Psychother Psychosom 14:199-216,
1966.

Grieder A: Psychologic aspects of prosthodontics, J Prosthet Dent 30:736-744,
1973.

Solberg WK, Flint RT, Brantner JP: Temporomandibula joint pain and
dysfunction: a clinical study of emotional and occlusal components, J Prosthet
Dent 28:412-422, 1972.

Gross SM, Vacchiano RB: Personality correlates of patients with
temporomandibula joint dysfunction, J Prosthet Dent 30:326-329, 1973.

Molin C, Edman G, Schalling D: Psychological studies of patients with
mandibula pain dysfunction syndrome. 2. Tolerance for experimentally induced
pain, Sven Tandlak Tidskr 66:15-23, 1973.

Engle GL: Primary atypical facial neuralgia, Psychosom Med 13:375-396, 1951

Moulton R: Psychiatric considerations in maxillofacial pain, J Am Dent Assoc
51:408-414, 1955.

Lesse S: Atypical facial pain syndrome of psychogenic origin, J Nerv Ment Dis
124:346-351, 1956.

Southwell J, Deary IJ, Geissler P: Personality and anxiety in temporomandibula
joint syndrome patients, J Oral Rehabil 17:239-243, 1990.

Pingitore G, Chrobak V, Petrie J: The social and psychologic factors of bruxism, J
Prosthet Dent 65:443-446, 1991.

Schnurr RF, Brooke RI, Rollman GB: Psychosocial correlates of
temporomandibula joint pain and dysfunction [see comments], Pain 42:153-165,
1990.

Marbach JJ: The ‘temporomandibula pain dysfunction syndrome'personality: fact
or fiction? J Oral Rehabil 19:545-560, 1992.

Michelotti A, Martina R, Russo M, Romeo R: Personality characteristics of
temporomandibula disorder patients using M. M. P. I., Cranio 16:119-125, 1998.

Solberg WK, Rugh JD: The use of bio-feedback devices in the treatment of
bruxism, J South Calif Dent Assoc 40:852-853, 1972.

Kydd WL: Psychosomatic aspects of temporomandibula joint dysfunction, J. Am
Dent Assoc 59:31-44, 1959.

McCal CMJ, Szmyd L, Ritter RM: Personality characteristics in patients with
temporomandibula pain and dysfunction syndrome: psychosocial, health
behavior, physical illness and injury, J Am Dent Assoc 62:694-698, 1961.

Marbach JJ, Lennon MC, Dohrenwend BP: Candidate risk factors for
temporomandibula pain and dysfunction syndrome: psychosocial, health
behavior, physical illness and injury, Pain 34:139-151, 1988.

Carlson CR, Reid KI, Curran SL, Studts J, Okeson JP et al: Psychological and
physiological parameters of masticatory muscle pain, Pain 76:297-307, 1998.

Madland G, Feinmann C, Newman S: Factors associated with anxiety and
depression in facial arthromyalgia, Pain 84:225-232, 2000.

Glaros AG: Emotional factors in temporomandibula joint disorders, J Indiana
Dent Assoc 79:20-23, 2000.

Mongini F, Ciccone G, Ibertis F, Negro C; Personality characteristics and
accompanying symptoms in terporpmandibula joint dysfunction, headache, and
facial pain, J Orofac Pain 14:52-58, 2000.

De Leeuw R, Bertoli E, Schmidt JE, Carlson CR: Prevalence of post-traumatic
stress disorder symptoms in orofacial pain patients, Oral Surg Oral Med Oral
Pathol Oral Radiol Endod 99:558-568, 2005.

Sherman JJ, Carlson CR, Wilson JF, Okeson JP, McCubbin JA: Post-traumatic
stress disorder among patients with orofacial pain, J Orofac Pain 19:309-317,
2005.

Kinney RK, Gatchel RJ, Ellis E, Holt C: Major psychological disorders in chronic
TMD patients: implications for successful management [see comments], J Am
Dent Assoc 123:49-54, 1992.

Meldolesi G, Picardi A, Accivile E, Toraldo di Francia R, Biondi M: Personality
and psychopathology in patients with temporomandibula joint pain-dysfunction
syndrome. A controlled investigation, Psychother Psychosom 69:322-328, 2000.

Rugh JD, Solberg WK: Electromyographic studies of bruxist behavior before and
during treatment, J Calif Dent Assoc 3:56-59, 1975.

Rugh JD, Solberg WK: Psychological implications in temporomandibula pain and
dysfunction, Oral Sci Rev 7:3-30, 1976.

Van Selms MK, Lobbezoo F, Wicks DJ, Hamburger HL, Naeije M:
Craniomandibula pain, oral parafunctions, and psychological stress in a
longitudinal case study, J Oral Rehabil 31:738 745, 2004.

Moss RA, Adams HE: The assessment of personality, anxiety and depression in
mandibula pain dysfunction subjects, J Oral Rehabil 11:233-235, 1984. J Orofac
Pain 9:51-56, 1995.

Watanabe T, Ichikawa K, Clark GT: Bruxism levels and daily behaviors: 3 weeks
of measurement and correlation, J Orofac Pain 17:65-73, 2003.

Eversole LR, Stone CE, Matheson D, Kaplan H: Psychometric profiles and facial
pain, Oral Surg Oral Med Oral Pathol 60:269-274, 1985.

Pierce CJ, Gale EN: Prediction of outcome for bruxing treatment, J Dent Res
65:233, 1986 (abstract).

Lindroth JE, Schmidt JE, Carlson CR: A comparison between masticatory
muscle pain patients and intracapsular pain patients on behavioral and
psychosocial domains, J Orofac Pain 16:277-283, 2002.

Fine EW: Psychological factors associated with non-organic temporomandibula
joint pain dysfunction syndrome, Br Dent J 131:402-404, 1971.

Haley WE, Turner JA, Romano JM: Depression in chronic pain patients: relation
to pain, activity, and sex differences, Pain 23:337-343, 1985.

Bassett DL, Gerke DC, Goss AN: Psychological factors in temporomandibula
joint dysfunction: depression, Aust Prosthodont J 4:41-45, 1990.

Rugh JD, Woods BJ, Dahlstrom L: Temporomandibula disorders: assessment of
psychological factors, Adv Dent Res 7:127-136, 1993.

Magni G, Moreschi C, Rigatti-Luchini S, Merskey H: Prospective study on the
relationship between depressive symptoms and chronic musculoskeletal pain,
Pain 56:289-297,1994.

Auerbach SM, Laskin DM, Frantsve LM, Orr T: Depression, pain, exposure to
stressful life events, and long-term outcomes in temporomandibula disorder
patients, J Oral Maxillofac Surg 59:628-633, 2001.

Marbach JJ, Lund P: Depression, anhedonia and anxiety in temporomandibula
joint and other facial pain syndromes, Pain 11:73-84, 1981.

Olson RE, Schwartz RA: Depression in patients with myofascial pain-
dysfunction syndrome, J Dent Res 56:160, 1977 (abstract).

Tauschke E, Merskey H, Helmes E: Psychological defense mechanisms in
patients with pain, Pain 40:161-170, 1990.

Gamsa A: Is emotional disturbance a precipitator or a consequence of chronic
pain? Pain 42:183-195, 1990.

Magni G, Marchetti M, Moreschi C, Merskey H, Luchini SR: Chronic
musculoskeletal pain and depressive symptoms in the National Health and
Nutrition Examination I. Epidemiologic follow-up study, Pain 53:163-168, 1993.

Von Korff M, Le Reschle L, Dworkin SF: First onset of common pain
symptoms: a prospective study of depression as a risk factor, Pain 55:251-258,
1993.

Yap AU, Dworkin SF, Chua EK, List T, Tan KB et al: Prevalence of
temporomandibula disorder subtypes, psychologic distress, and psychosocial
dysfunction in Asian patients, J Orofac Pain 17:21-28, 2003.

Manfredini D, di Poggio AB, Romagnoli M, Dell'Osso L, Bosco M: Mood
spectrum in patients with different painful temporomandibula disorders, Cranio
22:234-240, 2004.

Tversky J, Reade PC, Gerschman JA, Holwill BJ, Wright J: Role of depressive
illness in the outcome of treatment of temporomandibula joint pain-dysfunction
syndrome, Oral Surg Oral Med Oral Pathol 71:696-699, 1991.

Gessel AH: Electromyographic biofeedback and tricyclic antidepressants in
myofascial pain-dysfunction syndrome: psychological predictors of outcome, J
Am Dent Assoc 91:1048-1052, 1975.

Schwartz RA, Greene CS, Laskin DM: Personality characteristics of patients
with myofascial pain-dysfunction (MPD) syndrome unresponsive to
conventional therapy, J Dent Res 58:1435-1439, 1979.

Millstein-Prentky S, Olson RE: Predictability of treatment outcome in patients
with myofascial pain-dysfunction (MPD) syndrome, J Dent Res 58:1341-1346,
1979.

Dworkin SF: Benign chronic orofacial pain. Clinical criteria and
therapeuticapproaches, Postgrad Med 74:239-242, 245, 247-248, 1983.

Schulte J, Anderson G, Hathaway KM: Psychometric profile and related pain
characteristics of temporomandibula disorders patients, J Orofac Pain 7:247-
253, 1993.

Wurtele SK, Kaplan GM, Keairnes M: Childhood sexual abuse among chronic
pain patients, Clin J Pain 6:110-113, 1990.

Domino JV, Haber JD: Prior physical and sexual abuse in women with chronic
headache: clinical correlates, Headache 27:310-314, 1987.

Curran SL, Sherman JJ, Cunningham LL, Okeson JP, Reid KI et al: Physical and
sexual abuse among orofacial pain patients: linkages with pain and psychologic
distress, J Orofac Pain 9:340-346, 1995.

Toomey TC, Hernandez JT, Gittelman DF, Hulka JF: Relationship of sexual and
physical abuse to pain and psychological assessment variables in chronic pelvic
pain patients, Pain 53:105-109, 1993.

Haber JD, Roos C: Effects of spouse abuse and/or sexual abuse in the
development and maintenance of chronic pain in women, Adv Pain Res Ther
9:889-894, 1985.

Riley JL III, Robinson ME, Kvaal SA, Gremillion HA: Effects of physical and
sexual abuse in facial pain: direct or mediated? Cranio 16:259-266, 1998.

Campbell LC, Riley JL III, Kashikar Zuck S, Gremillion H, Robinson
ME:Somatic, affective, and pain characteristics of chronic TMD patients with
sexual versus physical abuse histories, J Orofac Pain 14:112-119, 2000.

Romano JM, Turner JA, Friedman LS, Bulcroft RA, Jensen MP et al: Sequential
analysis of chronic pain behaviors and spouse responses, J Consult Clin Psychol
60:777-782, 1992.

Stenger EM: Chronic back pain: view from a psychiatrist's office, Clin J Pain
8:242-246, 1992.

Burgess JA, Dworkin SF: Litigation and post-traumatic TMD: how patients
report treatment outcome, J Am Dent Assoc 124:105-110, 1993.

De Leeuw J, Ros WJ, Steenks MH, Lobbezoo-Scholte AM, Bosman F et al:
Multidimensional evaluation of craniomandibula dysfunction. II: pain
assessment, J Oral Rehabi l21:515-532, 1994.

McCreary CP, Clark GT, Merril RL, Flack V, Oakley ME: Psychological
distress and diagnostic subgroups of temporomandibula disorder patients, Pain
44:29-34, 1991.

Stockstill JW, Callahan CD: Personality hardiness, anxiety, and depression as
constructs of interest in the study of temporomandibula disorders, J
Craniomandib Disord 5:129-134, 1991.

Rugh JD, Solberg WK: Psychological implications in temporomandibula pain
and dysfunction. In Zarb GA, Carlsson GE, editor: Temporomandibula joint
function and dysfunction, Copenhagen, 1979, Munksgard, pp 239-268.

Duinkerke AS, Luteijn F, Bouman TK, de Jong HP: Relations between TMJ pain
dysfunction syndrome (PDS) and some psychologic and biographic variables,
Community Dent Oral Epidemiol 13:185-189, 1985.

Suvinen TI, Hanes KR, Reade PC: Outcome of therapy in the conservative
management of temporomandibula pain dysfunction disorder, J Oral Rehabil
24:718-724, 1997.

Epker J, Gatchel RJ: Coping profile differences in the biopsychosocial
functioning of patients with temporomandibula disorder, Psychosom Med 62:69-
75, 2000.

Hagberg C, Hagberg M, Kopp S: Musculoskeletal symptoms and psychosocial
factors among patients with craniomandibula disorders, Acta Odontol Scand
52:170-177, 1994.

Phillips JM, Gatchel RJ, Wesley AL, Ellis E III: Clinical implications of sex in
acute temporomandibula disorders, J Am Dent Assoc 132:49-57, 2001.

Malow RM, Olson RE, Greene CS: Myofascial pain dysfunction syndrome: a
psychophysiological disorder. In Golden C, Alcaparras S, Strider F, Graber B,
editors: Applied techniques in behavioral medicine, New York, 1981, Grune
&Stratton, pp 101-133.

Melzack R: Neurophysiological foundations of pain. In Sternback RA, editor:
The psychology of pain, New York, 1986, Raven, pp 1-25.

Rugh JD: Psychological components of pain, Dent Clin North Am 31:579-594,
1987.

Gramling SE, Neblett J, Grayson R, Townsend D: Temporomandibula disorder:
efficacy of an oral habit reversal treatment program, J Behav Ther Exp
Psychiatry 27:245-255, 1996

Selye H: Stress without distress, Philadelphia, 1974, JB Lippincott, p 32.

Oakley ME, McCreary CP, Clark GT, Holston S, Glover D et al: A cognitive-
behavioral approach to temporomandibula dysfunction treatment failures: a
controlled comparison, J Orofac Pain 8:397-401, 1994.

Jacobson E: Progressive relaxation, Chicago, 1968, University of Chicago Press,
pp 69-87.

Moller E, Sheik-Ol-Eslam A, Lous I: Deliberate relaxation of the temporal and
masseter muscles in subjects with functional disorders of the chewing apparatus,
Scand J Dent Res 79:478-482, 1971.

Gessel AH, Alderman MM: Management of myofascial pain dysfunction
syndrome of the temporomandibula joint by tension control training,
Psychosomatics 12:302-309, 1971.

Goldberg G: The psychological, physiological and hypnotic approach to bruxism
in the treatment of periodontal disease, J Am Soc Psychosom Dent Med 20:75-91,
1973.

Reading A, Raw M: The treatment of mandibula dysfunction pain. Possible
application of psychological methods, Br Dent J 140:201-205, 1976.

Blanchard F, Andrasik F, Evans D, Neff D, Applebaum K et al: Behavioral
treatment of 250 chronic headache patients: a clinical replication series, Behavior
Ther 16:308-327, 1985.

Larsson B, Melin L: Chronic headaches in adolescents: treatment in a school
setting with relaxation training as compared with information-contact and self-
registration, Pain 25:325-336, 1986.

Dahlstrom L, Carlsson SG: Treatment of mandibula dysfunction: the clinical
usefulness of biofeedback in relation to splint therapy, J Oral Rehabil 11:277-
284, 1984.

Lacroix JM, Clarke MA, Bock JC, Doxey NC: Muscle-contraction headaches in
multiple pain patients: treatment under worsening baseline conditions, Arch Phys
Med Rehabil 67:14-18, 1986.

Hijzen TH, Slangen JL, van Houweligen HC: Subjective, clinical and EMG
effects of biofeedback and splint treatment, J Oral Rehabil 13:529-539, 1986.

Raft D, Toomey T, Gregg JM: Behavior modification and haloperidol in chronic
facial pain, South Med J 72:155-159, 1979.

Erlandson PM Jr, Poppen R: Electromyographic biofeedback and rest position
training of masticatory muscles in myofascial pain-dysfunction patients, J
Prosthet Dent 62:335-338, 1989.

Okeson JP, Moody PM, Kemper JT, Haley JV: Evaluation of occlusal splint
therapy and relaxation procedures in patients with temporomandibula disorders,
J Am Dent Assoc 107:420 424, 1983.

Carlson CR, Ventrella MA, Sturgis ET: Relaxation training through muscle
stretching procedures: a pilot case, J Behav Ther Exp Psychiatry 18:121-126,
1987.

Carlson CR, Collins FL Jr, Nitz AJ, Sturgis ET, Rogers JL: Muscle stretchingas
analternative relaxation training procedure, J Behav Ther Exp Psychiatry 21:29-
38, 1990.

Carlson CR, Okeson JP, Falace DA, Nitz AJ, Anderson D: Stretch-based
relaxation and the reduction of EMG activity among masticatory muscle pain
patients, J Craniomandib Disord 5:205-212, 1991.

Shaw RM, Dettmar DM: Monitoring behavioural stress control using a
craniomandibula index, Aust Dent J 35:147-151, 1990.

Manns A, Zuazola RV, Sirhan RM, Quiroz M, Rocabado M: Relationship
between the tonic elevator mandibula activity and the vertical dimension during
the states of vigilance and hypnosis, Cranio 8:163-170, 1990.

Gerschman J, Burrows G, Reade P: Hypnotherapy in the treatment of oro-
facialpain, Aust Dent J 23:492-496, 1978.

Simon EP, Lewis DM: Medical hypnosis for temporomandibula disorders:
treatment efficacy and medical utilization outcome, Oral Surg Oral Med Oral
Pathol Oral Radiol Endod 90:54-63, 2000.

Stam HJ, McGrath PA, Brooke RI, Cosier F: Hypnotizability and the treatment
of chronic facial pain, Int J Clin Exp Hypn 34:182-191, 1986.

Dubin LL: The use of hypnosis for temporomandibula joint (TMJ), Psychiatr
Med 10:99-103, 1992.

Flor H, Birbaumer N: Comparison of the efficacy of electromyographic
biofeedback, cognitive-behavioral therapy, and conservative medical
interventions in the treatment of chronic musculoskeletal pain, J Consult Clin
Psychol 61:653-658, 1993.

Santoro F, Maiorana C, Campiotti A: [Neuromuscular relaxation and CCMDP.
Biofeedback and TENS. 4], Dent Cadmos 57:88-89, 1989.

Crider AB, Glaros AG: A meta-analysis of EMG biofeedback treatment of
temporomandibula disorders, J Orofac Pain 13:29-37, 1999.

Mishra KD, Gatchel RJ, Gardea MA: The relative efficacy of three cognitive-
behavioral treatment approaches to temporomandibula disorders, J Behav Med
23:293-309, 2000.

Grazzi L, Bussone G: Effect of biofeedback treatment on sympathetic function in
common migraine and tension-type headache, Cephalalgia 13:197-200, 1993.

Funch DP, Gale EN: Factors associated with nocturnal bruxism and its treatment,
J Behav Med 3:385-397, 1980.

Cassisi JE, McGlynn FD, Belles DR: EMG-activated feedback alarms for the
treatment of nocturnal bruxism: current status and future directions, Bio feedback
Self Reg 12:13-30, 1987.

Lee-Knight CT, Harrison EL, Price CJ: Dental injuries at the 1989 Canada
games: an epidemiological study, J Can Dent Assoc 58:810-815, 1992.

Garon MW, Merkle A, Wright JT: Mouth protectors and oral trauma: a study of
adolescent football players, J Am Dent Assoc 112:663-665, 1986.

Seals RR Jr, Morrow RM, Kuebker WA, Farney WD: An evaluation of
mouthguard programs in Texas high school football, J Am Dent Assoc 110:904-
909, 1985.

Okeson JP, Phillips BA, Berry DT, Cook Y, Paesani D et al: Nocturnal bruxing
events in healthy geriatric subjects, J Oral Rehabil 17:411-418, 1990.

Okeson JP, Phillips BA, Berry DT, Cook YR, Cabelka JF: Nocturnal bruxing
events in subjects with sleep-disordered breathing and control subjects, J
Craniomandib Disord 5:258-264, 1991.

Okeson JP, Phillips BA, Berry DT, Baldwin RM: Nocturnal bruxing events: a
report of normative data and cardiovascular response, J Oral Rehabil 21:623-
630, 1994.

Satoh T, Harada Y: Electrophysiological study on tooth-grinding during sleep,
Electroencephalogr Clin Neurophysiol 35:267-275, 1973.

Rugh JD, Robbins JW: Oral habits disorders. In Ingersoll B, editor:Behavioral
aspects in dentistry, New York, 1982, Appleton-Century-Crofts, 1982, pp 179-
202.

Turk DC, Rudy TE, Kubinski JA, Zaki HS, Greco CM: Dysfunctional patients
with disorders: evaluating the efficacy of a tailored treatment protocol, J Consult
Clin Psychol 64:139-146, 1996.

Clarke NG: Occlusion and myofascial pain dysfunction: is there a relationship? J
Am Dent Assoc 104:443-446, 1982.

Hicks RA, Conti P: Nocturnal bruxism and self reports of stress-related
symptoms, Percept Mot Skills 72:1182, 1991.

Clarke NG, Townsend GC: Distribution of nocturnal bruxing patterns in man, J
Oral Rehabil 11:529-534, 1984.

Lavigne GI, Montplaisir JY: Bruxism: epidemiology, diagnosis,
pathophysiology, and pharmacology. In Fricton JR, Dubner RB,
editors:Orofacial pain and temporomandibula disorders, New York, 1995,
Raven, pp 387-404.

Miguel AV, Montplaisir J, Rompre PH, Lund JP, Lavigne GJ: Bruxism and other
orofacial movements during sleep, J Craniomandib Disord 6:71-81, 1992.

Westrup DA, Keller SR, Nellis TA, Hicks RA: Arousability and bruxism in male
and female college students, Percept Mot Skills 75:796-798, 1992.

Bailey JO, Rugh JD: Effects of occlusal adjustment on bruxism as monitored by
nocturnal EMG recordings, J Dent Res 59:317, 1980.

Fordyce WE: Behavior methods for chronic pain and illness, St Louis, 1976,
Mosby, p 500.

Black RG: The chronic pain syndrome, Surg Clin North Am 55:999-1011, 1975.

Turk DC, Brody MC: Chronic opioid therapy for persistent noncancer
pain:panacea or oxymoron? Am Pain Soc Bull 1:4-7, 1993.

Fordyce WE: On opioids and treatment targets, Am Pain Society Bull 1:1-13,
1991.

Abbadie C, Besson JM: Chronic treatments with aspirin or acetaminophen
reduce both the development of polyarthritis and Fos-like immunoreactivity in
rat lumbar spinal cord,Pain 57:45-54, 1994.

Hargreaves KM, Troullos ES, Dionne RA: Pharmacologic rationale for the
treatmentof acute pain, Dent Clin North Am 31:675-694, 1987.

Ekberg EC, Kopp S, Akerman S: Diclofenac sodium as an alternative
treatmentof temporomandibula joint pain, Acta Odontol Scand 54:154-159,
1996.

Dionne RA, Berthold CW: Therapeutic uses of non-steroidal anti-inflammatory
drugs in dentistry, Crit Rev Oral Biol Med 12:315-330, 2001.

Garcia RLA, Jick H: Risk of upper gastrointestinal bleeding and perforation
associated with individual non-steroidal anti-inflammatory drugs [published
erratum appears in Lancet 343:1048, 1994], Lancet 343:769-772, 1994.

Langman MJ, Weil J, Wainwright P, Lawson DH, Rawlins MD et al: Risks of
bleeding peptic ulcer associated with individual non-steroidal anti-inflammatory
drugs [see comments] [published erratum appears in Lancet 343:1302,1994],
Lancet 343:1075-1078, 1994.

Cicconetti A, Bartoli A, Ripari F, Ripari A: COX-2 selective inhibitors: a
literature review of analgesic efficacy and safety in oral-maxillofacial surgery,
Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod 97:139-146, 2004.

Quinn JH, Kent JH, Moise A, Lukiw WJ: Cyclooxygenase-2 in synovial tissue
and fluid of dysfunctional temporo-mandibula joints with internal derangement,
J Oral Maxillofac Surg 58:1229-1232, 2000.

Ta LE, Dionne RA: Treatment of painful temporo-mandibula joints with a
cyclooxygenase-2 inhibitor: a randomized placebo-controlled comparison of
celecoxibn to naproxen, Pain 111:13-21, 2004.

Svensson P, Houe L, Arendt-Nielsen L: Effect of sistemic versus topical
nonsteroidal anti-inflammatory drugs on postexercise jaw-muscle soreness: a
placebo-controlled study, J Orofac Pain 11:353-362, 1997.

Airaksinen O, Venalainen J, Pietilainen T: Ketoprofen 2.5% gel versus placebo
gel in the treatment of acute soft tissue injuries, Int J Clin Pharmacol Ther
Toxicol 31:561-563, 1993.

Henny FA: Intra-articular injection of hydrocortisone into the temporomandibula
joint, J Oral Surg 12:314-319, 1954.

Toller PA: Osteoarthrosis of the mandibula condyle, Br Dent J 134:223-231,
1973.

Toller P: Non-surgical treatment of dysfunctions of the temporo-mandibula joint,
Oral Sci Rev 7:70-85, 1976.

Kopp S, Carlsson GE, Haraldson T, Wenneberg B: Long-term effect of intra-
articular injections of sodium hyaluronate and corticosteroid on
temporomandibula joint arthritis, J Oral Maxillofac Surg 45:929-935, 1987.

Wenneberg B, Kopp S, Grondahl HG: Long-term effect of intra-articular
injections of a glucocorticosteroid into the TMJ: a clinical and radiographic 8-
year follow-up, J Craniomandib Disord 5:11-18, 1991.

Poswillo D: Experimental investigation of the effects of intra-articular
hydrocortisone and high condylectomy on the mandibula condyle, Oral Surg
Oral Med Oral Pathol 30:161-173, 1970.

Zarb GA, Spech JE: The treatment of mandibula dysfunction. In Zarb GA,
Carlsson GE, editors: Temporomandibula joint: function and dysfunction, St
Louis, 1979, Mosby.

Schindler C, Paessler L, Eckelt U, Kirch W: Severe temporomandibula
dysfunction and joint destruction after intra-articular injection of triamcinolone, J
Oral Pathol Med 34:184-186, 2005.

Kopp S, Wenneberg B, Haraldson T, Carlsson GE: The short-term effect of
intraarticular injections of sodium hyaluronate and corticosteroid on
temporomandibula joint pain and dysfunction, J Oral Maxillofac Surg 43:429-
435, 1985.

Bertolami CN, Gay T, Clark GT, Rendell J, Shetty V et al: Use of sodium
hyaluronate in treating temporomandibula joint disorders: a randomized, double-
blind, placebocontrolled clinical trial, J Oral Maxillofac Surg 51:232-242, 1993.

Alpaslan C, Bilgihan A, Alpaslan GH, Guner B, OzgurYis M et al: Effect of
arthrocentesis and sodium hyaluronate injection on nitrite, nitrate, and
thiobarbituric acid-reactive substance levels in the synovial fluid, Oral Surg Oral
Med Oral Pathol Oral Radiol Endod 89:686-690, 2000.

Hirota W: Intra-articular injection of hyaluronic acid reduces total amounts of
leukotriene C4, 6-keto-prostaglandin F1alpha, prostaglandin F2alpha and
interleukin-1beta in synovial fluid of patients with internal derangement in
disorders of the temporomandibula joint, Br J Oral Maxillofac Surg 36:35-38,
1998.

Sato S, Sakamoto M, Kawamura H, Motegi K: Disc position and morphology in
patient with nonreducing disc displacement treated by injection of sodium
hyaluronate, Int J Oral Maxillofac Surg 28:253-257, 1999.

Alpaslan GH, Alpaslan C: Efficacy of temporomandibula joint arthrocentesis
with and without injection of sodium hyaluronate in treatment of internal
derangements, J Oral Maxillofac Surg 59:613-618, 2001.

Dellemijn PL, Fields HL: Do benzodiazepines have a role in chronic pain
management? Pain 57:137-152, 1994.

Denucci DJ, Dionne RA, Dubner R: Identifying a neurobiologic basis for drug
therapy in TMDs, J Am Dent Assoc 127:581-593, 1996.

Rugh JD, Harlan J: Nocturnal bruxism and temporomandibula disorders. In
Jankovic J, Tolosa E, editors: Facial dyskinesias, New York, 1988, Raven, pp
329-341.

Harkins S, Linford J, Cohen J, Kramer T, Cueva L: Administration of
clonazepam in the treatment of TMD and associated myofascial pain: a double-
blind pilot study, J Craniomandib Disord 5:179-186, 1991.

McQuay H, Carroll D, Jadad AR, Wiffen P, Moore A: Anticonvulsant drugs for
management of pain: a sistematic review, Br Med J 311:1047-1052, 1995.

Wiffen P, Mc Quay H, Carroll D, Jadad A, Moore A: Anticonvulsant drugs for
acute and chronic pain, Cochrane Database Syst Rev CD001133, 2000.

Nemcovsky CE, Gross MD: A comparative study of the stereognathic ability
between patients with myofascial pain dysfunction syndrome and a control
group, Cranio 9:35-38, 1991.

Stanko JR: Review of oral skeletal muscle relaxants for the craniomandibula
disorder (CMD) practitioner, Cranio 8:234-243, 1990.

Tseng TC, Wang SC: Locus of action of centrally acting muscle relaxants,
diazepam and tybamate, J Pharmacol Exp Ther 178:350-360, 1971.

DG, Lacks S, Wiesel SW: Cyclobenzaprine and naproxen versus naproxen alone
in the treatment of acute low back pain and muscle spasm, Clin Ther 12:125-131,
1990.

Reynolds WJ, Moldofsky H, Saskin P, Lue FA: The effects of cyclobenzaprine
on sleep physiology and symptoms in patients with fibromyalgia, J Rheumatol
18:452-454, 1991.

Hamaty D, Valentine JL, Howard R, Howard CW, Wakefield V et al: The
plasma endorphin, prostaglandin and catecholamine profile of patients with
fibrositis treated with cyclobenzaprine and placebo: a 5-month study, J
Rheumatol Suppl 19:164-168, 1989.

Herman CR, Schiffman EL, Look JO, Rindal DB: The effectiveness of adding
pharmacologic treatment with clonazepam or cyclobenzaprine to patient
education and self-care for the treatment of jaw pain upon awakening:a
randomized clinical trial, J Orofac Pain 16:64 70, 2002.

Kreisberg MK: Tricyclic antidepressants: analgesic effect and indications in
orofacial pain, J Craniomandib Disord 2:171-177, 1988.

Lascelles RG: Atypical facial pain and depression, Br J Psychiatry 112:651-659,
1966.

Brown RS, Bottomley WK: Utilization and mechanism of action of tricyclic
antidepressants in the treatment of chronic facial pain: a review of the literature,
Anesth Prog 37:223-229, 1990.

Philipp M, Fickinger M: Psychotropic drugs in the management of chronic pain
syndromes, Pharmacopsychiatry 26:221-234, 1993.

Ward N, Bokan JA, Phillips M, Benedetti C, Butler S et al: Anti depressants in
concomitant chronic back pain and depression: doxepin and desipramine
compared, J Clin Psychiatry 45:54-59, 1984.

Dionne RA: Pharmacologic treatments for temporomandibula disorders, Oral
Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod 83:134-142, 1997.

Brazeau GA, Gremillion HA, Widmer CG, Mahan PE, Benson MB et al: The
role of pharmacy in the management of patients with temporomandibula
disorders and orofacial pain, J Am Pharm Assoc (Wash) 38:354-361, 1998.

Pettengill CA, Reisner-Keller L: The use of tricyclic antidepressants for the
control of nchronic orofacial pain, Cranio 15:53-56, 1997.

Plesh O, Curtis D, Levine J, McCall WD Jr: Amitriptyline treatment of chronic
pain in patients with temporomandibula disorders, J Oral Rehabil 27:834-841,
2000.

Saarto T, Wiffen PJ: Antidepressants for neuropathic pain, Cochrane Database
Syst Rev CD005454, 2005.

Sharav Y, Singer E, Schmidt E, Dionne RA, Dubner R: The analgesic effect of
amitriptyline on chronic facial pain, Pain 31:199-209, 1987.

Fields HL: Pain II: new approaches to management, Ann Neurol 9:101-106,
1981.

Spiegel K, Kalb R, Pasternak GW: Analgesic activity of tricyclic
antidepressants, Ann Neurol 13:462-465, 1983.

Zitman FG, Linssen AC, Edelbroek PM, Stijnen T: Low dose amitriptyline in
chronic pain: the gain is modest, Pain 42:35-42, 1990.

Benoliel R, Eliav E, Elishoov H, Sharav Y: Diagnosis and treatment of persistent
pain after trauma to the head and neck, J Oral Maxillofac Surg 52:1138-1147,
1994.

Egbunike IG, Chaffee BJ: Antidepressants in the management of chronic pain
syndromes, Adv Pain Res Ther 10:262-270, 1990.

Tura B, Tura SM: The analgesic effect of tricyclic antidepressants, Brain Res
518:19-22, 1990.

Rizzatti-Barbosa CM, Nogueira MT, de Andrade ED, Ambrosano GM, de
Barbosa JR: Clinical evaluation of amitriptyline for the control of chronic pain
caused by temporomandibula joint disorders, Cranio 21:221-225, 2003.

Kerrick JM, Fine PG, Lipman AG, Love G: Low-dose amitriptyline as an
adjunct to opioids for postoperative orthopedic pain: a placebo-controlled trial,
Pain 52:325-330, 1993.

Harris M: Medical versus surgical management of temporomandibula joint pain
and dysfunction, Br J Oral Maxillofac Surg 25:113-120, 1987

Moja PL, Cusi C, Sterzi RR, Canepari C: Selective serotonin re-uptake inhibitors
(SSRIs) for preventing migraine and tension-type headaches, Cochrane
Database Syst Rev CD002919, 2005.

Ware JC: Tricyclic antidepressants in the treatment of insomnia, J Clin
Psychiatry 44:25 28, 1983.

Wilke WS, Mackenzie AH: Proposed pathogenesis of fibrositis, Cleve Clin Q
52:147-154, 1985.

Treadwell BL: Fibromyalgia or the fibrositis syndrome: a new look, N Z Med J
94:457-459, 1981.

Moldofsky H, Scarisbrick P, England R, Smythe H: Musculoskeletal symptoms
and non REM sleep disturbance in patients with fibrositis syndrome and healthy
subjects, Psychosom Med 37:341-351, 1975.

Moldofsky H, Scarisbrick P: Induction of neurasthenic musculoskeletal
painsyndrome by selective sleep stage deprivation, Psychosom Med 38:35-44,
1976.

Carette S, McCain GA, Bell DA, Fam AG: Evaluation of amitriptyline in
primary fibrositis. A double-blind, placebo-controlled study, Arthritis Rheum
29:655-659, 1986.

Goldenberg DL, Felson DT, Dinerman H: A randomized, controlled trial of
amitriptyline and naproxen in the treatment of patients with fibromyalgia,
Arthritis Rheum 29:1371-1377, 1986.

Wolfe F: The clinical syndrome of fibrositis, Am J Med 81:7-14, 1986.

Goldenberg DL: A review of the role of tricyclic medications in the treatment of
fibromyalgia syndrome, J Rheumatol Suppl 19:137-139, 1989.

Gendreau RM, Thorn MD, Gendreau JF, Kranzler JD, Ribeiro S et al: Efficacy
of milnacipran in patients with fibromyalgia, J Rheumatol 32:1975-1985, 2005.

Okeson JP: Bell's orofacial pains, ed 6, Chicago, 2005, Quintessence, pp 141-
196.

Tremont-Lukats IW, Challapalli V, McNicol ED, Lau J, Carr DB: Sistemic
administration of local anesthetics to relieve neuropathic pain: a sistematic
review and meta-analysis, Anesth Analg 101:1738-1749, 2005.

Simons DG, Travell JG, Simons LS: Travell& Simons' myofascial pain and
dysfunction: the trigger point manual, ed 2, Baltimore, 1999, Lippincott
Williams & Wilkins.

Fine PG, Milano R, Hare BD: The effects of myofascial trigger point injections
are naloxone reversible, Pain 32:15-20, 1988

Hameroff SR, Crago BR, Blitt CD, Womble J, Kanel J: Comparison of
bupivacaine, etidocaine, and saline for trigger-point therapy, Anesth Analg
60:752-755, 1981.

Graboski CL, Gray DS, Burnham RS: Botulinum toxin A versus bupivacaine
trigger point injections for the treatment of myofascial pain syndrome: a
randomised double blind crossover study, Pain 118:170-175, 2005.

Kamanli A, Kaya A, Ardicoglu O, Ozgocmen S, Zengin FO et al: Comparison of
lidocaine injection, botulinum toxin injection, and dry needling to trigger points
in myofascial pain syndrome, Rheumatol Int 25:604-611, 2005.

Danzig W, May S, McNeill C, Miller A: Effect of an anesthetic injected into the
temporomandibula joint space in patients with TMD, J Craniomandib Disord
6:288-295, 1992.

Gracely RH, Lynch SA, Bennett GJ: Painful neuropathy: altered central
processing maintained dynamically by peripheral input [published erratum
appears in Pain 52:251-253, 1993] [see comments], Pain 51:175-194, 1992.

Black RG, Bonica JJ: Analgesic blocks, Postgrad Med 53:105-110, 1973.

Ernest EA: Temporomandibula joint and craniofacial pain, Montgomery, Ala,
1983, Ernest Publications, pp 105-113.

Travell J: Temporomandibula joint pain referred from muscles of the head and
neck, J Prosthet Dent 10:745-763, 1960.

Bell WE: Temporomandibula disorders: classification, diagnosis, management,
ed 3, Chicago, 1990, Year Book Medical, pp 215-218.

Laskin JL, Wallace WR, DeLeo B: Use of bupivacaine hydrochloride in oral
surgery—a clinical study, J Oral Surg 35:25-29, 1977.

Guttu RL, Page DG, Laskin DM: Delayed healing of muscle after injection of
bupivacaine and steroid, Ann Dent 49:5-8, 1990.

Hepguler S, Akkoc YS, Pehlivan M, Ozturk C, Celebi G et al: The efficacy of
intraarticular sodium hyaluronate in patients with reducing displaced disc of the
temporomandibula joint, J Oral Rehabil 29:80-86, 2002.

Guarda-Nardini L, Tito R, Staffieri A, Beltrame A: Treatment of patients with
arthrosis of the temporomandibula joint by infiltration of sodium hyaluronate: a
preliminary study, Eur Arch Otorhinolaryngol 259:279-284, 2002.

Gray RJ, Quayle AA, Hall CA, Schofield MA: Physiotherapy in the treatment of
temporomandibula joint disorders: a comparative study of four treatment
methods, Br Dent J 176:257-261, 1994.

Heinrich SD, Sharps CH: Lower extremity torsional deformities in children: a
prospective comparison of two treatment modalities, Orthopedics 14:655-659,
1991.

Di Fabio RP: Physical therapy for patients with TMD: a descriptive study of
treatment, disability, and health status, J Orofac Pain 12:124-135, 1998.

McNeely ML, Armijo Olivo S, Magee DJ: A sistematic review of the
effectiveness of physical therapy interventions for temporomandibula disorders,
Phys Ther 86:710-725, 2006.

Hall LJ: Physical therapy treatment results for 178 patients with
temporomandibula joint syndrome, Am J Otol 5:183-196, 1984.

Heinrich S: The role of physical therapy in craniofacial pain disorders: an
adjunct to dental pain management, Cranio 9:71-75, 1991.

Murphy GJ: Physical medicine modalities and trigger point injections in the
management of temporomandibula disorders and assessing treatment outcome,
Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod 83:118-122, 1997.

Nelson SJ, Ash MM Jr: An evaluation of a moist heating pad for the treatment of
TMJ/ muscle pain dysfunction, Cranio 6:355-359, 1988.

Burgess JA, Sommers EE, Truelove EL, Dworkin SF: Short-term effect of two
therapeutic methods on myofascial pain and dysfunction of the masticatory
sistem, J Prosthet Dent 60:606 610, 1988.

Schwartz LL: Ethyl chloride treatment of limited painful mandibula movement, J
Am Dent Assoc 48:497-507, 1954.

Travell J: Ethyl chloride spray for painful muscle spasms, Arch Phys Med
Rehabil 33:291 298, 1952.

Satlerthwaite JR: Ice massage, Pain Management 2:116, 1989.

Travell JG, Rinzler SH: The myofascial genesis of pain, Postgrad Med 11:425-
434, 1952.

Jaeger B, Reeves JL: Quantification of changes in myofascial trigger point
sensitivity with the pressure algometer following passive stretch, Pain 27:203-
210, 1986.

Esposito CJ, Veal SJ, Farman AG: Alleviation of myofascial pain with ultrasonic
therapy, J Prosthet Dent 51:106-108, 1984.

Griffin JE, Karselis TC: Physical agents for physical therapists, ed 2, Spring
field, III, 1982, Charles C Thomas, pp 279-312.

Kahn J: Iontophoresis and ultrasound for postsurgical temporomandibula trismus
and paresthesia, Phys Ther 60:307-308, 1980.

Phero JC, Raj PP, McDonald JS: Transcutaneous electrical nerve stimulation
and myoneural injection therapy for management of chronic myofascial pain,
Dent Clin North Am 31:703-723, 1987.

Van der Windt DA, van der Heijden GJ, van den Berg SG, ter Riet G, de Winter
AF et al: Ultrasound therapy for musculoskeletal disorders: a sistematic review,
Pain 81:257-271, 1999.

Kleinkort JA, Wood F: Phonophoresis with 1 percent versus 10 percent
hydrocortisone, Phys Ther 55:1320-1324, 1975.

Cameron MH, Monroe LG: Relative transmission of ultrasound by media
customarily used for phonophoresis [see comments], Phys Ther 72:142-148,
1992.

Shin SM, Choi JK: Effect of indomethacin phonophoresis on the relief of
temporomandibula joint pain, Cranio 15:345-348, 1997.

Klaiman MD, Shrader JA, Danoff JV, Hicks JE, Pesce WJ et al: Phonophoresis
versus ultrasound in the treatment of common musculoskeletal conditions, Med
Sci Sports Exerc 30:1349-1355, 1998.

Banta CA: A prospective, nonrandomized study of iontophoresis, wrist splinting,
and antiinflammatory medication in the treatment of early-mild carpal tunnel
syndrome, J Occup Med 36:166-168, 1994.

Kahn J: Iontophoresis and ultrasound for postsurgical temporomandibula tissues
and paresthesias, Phys Ther 60:307-308, 1980.

Lark MR, Gangarosa LP Sr: Iontophoresis: an effective modality for the
treatment of nflammatory disorders of the temporomandibula joint and
myofascial pain, Cranio 8:108-119, 1990.

Gangarosa LP: Iontophoresis in dental practice, Chicago, 1983, Quintessence,
pp 35-39.

Braun BL: Treatment of an acute anterior disk displacement in the
temporomandibula joint. A case report, Phys Ther 67:1234-1236, 1987.

Schiffman EL, Braun BL, Lindgren BR: Temporomandibula joint iontophoresis:
a double-blind randomized clinical trial, J Orofac Pain 10:157-165, 1996.

Reid KI, Dionne RA, Sicard-Rosenbaum L, Lord D, Dubner RA: Evaluation of
iontophoretically applied dexamethasone for painful pathologic
temporomandibula joints, Oral Surg Oral Med Oral Pathol 77:605-609, 1994.

Jankelson B, Swain CW: Physiological aspects of masticatory muscle
stimulation:the myomonitor, Quintessence Int 3:57-62, 1972.

Murphy GJ: Electrical physical therapy in treating TMJ patients, J
Craniomandib Pract 1:67-73, 1983.

Mohl ND, Ohrbach RK, Crow HC, Gross AJ: Devices for the diagnosis and
treatment of temporomandibula disorders. Part III: thermography, ultrasound,
electrical stimulation, and electromyographic biofeedback, J Prosthet Dent
63:472-477, 1990.

Kane K, Taub A: A history of local electrical analgesia, Pain 1:125-138, 1975.

Long DM, Hagfors N: Electrical stimulation in the nervous sistem: the current
status of electrical stimulation of the nervous sistem for relief of pain, Pain
1:109-123, 1975.

Sternback RH, Ignelzi RJ, Deems LM, Timmermans G: Transcutaneous
electrical analgesia: a follow-up analysis, Pain 2:35-41, 1976.

Wall PD: The gate control theory of pain mechanisms: a reexamination and
restatement, Brain 101:1-18, 1978.

Dubner R: Neurophysiology of pain, Dent Clin North Am 22:11-30, 1978.

Moystad A, Krogstad BS, Larheim TA: Transcutaneous nerve stimulation in a
group of patients with rheumatic disease involving the temporomandibula joint, J
Prosthet Dent 64:596-600, 1990.

Marchand S, Charest J, Jinxue L, Chenard JR, Lavignolle B et al: Is TENS
purely a placebo effect? A controlled study on chronic low back pain, Pain
54:99-106, 1993.

Jay GW, Brunson J, Branson SJ: The effectiveness of physical therapy in the
treatment of chronic daily headaches, Headache 29:156-162, 1989.

Lapeer GL: High-intensity transcutaneous nerve stimulation at the Hoku
acupuncture point for relief of muscular headache pain. Literature review and
clinical trial, Cranio 4:164-171, 1986.

Black RR: Use of transcutaneous electrical nerve stimulation in dentistry, J Am
Dent Assoc 113:649-652, 1986

Ghia JN, Mao W, Toomey TC, Gregg JM: Acupuncture and chronic pain
mechanisms, Pain 2:285-299, 1976.

Graff-Radford SB, Reeves JL, Baker RL, Chiu D: Effects of transcutaneous
electrical nerve stimulation on myofascial pain and trigger point sensitivity, Pain
37:1-5, 1989.

Dos Santos J Jr: Supportive conservative therapies for temporomandibula
disorders, Dent Clin North Am 39:459-477, 1995.

Raustia AM, Pohjola RT: Acupuncture compared with stomatognathic treatment
for TMJ dysfunction. Part III: effect of treatment on mobility, J Prosthet Dent
56:616-623, 1986.

Johansson A, Wenneberg B, Wagersten C, Haraldson T: Acupuncture in
treatment of facial muscular pain, Acta Odontol Scand 49:153-158, 1991.

Wang K: A report of 22 cases of temporomandibula joint dysfunction syndrome
treated with acupuncture and laser radiation, J Tradit Chin Med 12:116-118,
1992.

Elsharkawy TM, Ali NM: Evaluation of acupuncture and occlusal splint therapy
in the treatment of temporomandibula joint disorders, Egypt Dent J 41:1227-
1232, 1995.

Goddard G: Short term pain reduction with acupuncture treatment for chronic
orofacial pain patients, Med Sci Monit 11:CR71-74, 2005.

List T, Helkimo M, Karlsson R: Pressure pain thresholds in patients with
craniomandibula disorders before and after treatment with acupuncture and
occlusal splint therapy: a controlled 334. Rosted P: The use of acupuncture in
dentistry: a review of the scientific validity of published papers, Oral Dis 4:100-
104, 1998.

Rosted P: The use of acupuncture in dentistry: a review of the scientific validity
of published papers, Oral Dis 4:100-104, 1998.

Hansson P, Ekblom A, Thomsson M, Fjellner B: Influence of naloxone on relief
of acute oro-facial pain by transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS) or
vibration, Pain 24:323-329, 1986.

Kleinkort JA, Foley R: Laser acupuncture. Its use in physical therapy, Am J
Acupunct 12:51-55, 1984.

Snyder-Mackler L, Bork CE: Effect of helium-neon laser irradiation on
peripheral sensory nerve latency, Phys Ther 68:223-225, 1988.

Walker J: Relief from chronic pain by low power laser irradiation, Neurosci Lett
43:339 344, 1983.

Bliddal H, Hellesen C, Ditlevsen P, Asselberghs J, Lyager L: Soft-laser therapy
of rheumatoid arthritis, Scand J Rheumatol 16:225-228, 1987.

Roynesdal AK, Bjornland T, Barkvoll P, Haanaes HR: The effect of soft-laser
application on postoperative pain and swelling. A double-blind, crossover study,
Int J Oral Maxillofac Surg 22:242-245, 1993.

Hall G, Anneroth G, Schennings T, Zetterqvist L, Ryden H: Effect of low level
energy laser irradiation on wound healing. An experimental study in rats, Swed
Dent J 18:29-34, 1994.

Gam AN, Thorsen H, Lonnberg F: The effect of low-level laser therapy on
musculoskeletal pain: a meta-analysis, Pain 52:63-66, 1993.

Bertolucci LE, Grey T: Clinical analysis of mid-laser versus placebo treatment of
arthralgic TMJ degenerative joints, Cranio 13:26-29, 1995.

Bertolucci LE, Grey T: Clinical comparative study of microcurrent electrical
stimulation to mid-laser and placebo treatment in degenerative joint disease of
the temporomandibula joint, Cranio 13:116-120, 1995.

Nunez SC, Garcez AS, Suzuki SS, Ribeiro MS: Management of mouth opening
in patients with temporomandibula disorders through low-level laser therapy and
transcutaneous electrical neural stimulation, Photomed Laser Surg 24:45-49,
2006.

Hanson TL: Infrared laser in the treatment of craniomandibula arthrogenous
pain, J Prosthet Dent 61:614-617, 1989.

Palano D, Martelli M: A clinical statistical investigation dysfunction of the
temporomandibula joint (TMJ), Med Laser Rep 2:21-29, 1985.

Bezuur NJ, Habets LL, Hansson TL: The effect of therapeutic laser treatment in
patients with craniomandibula disorders, J Craniomandib Disord 2:83-86, 1988.

Conti PC: Low level laser therapy in the treatment of temporomandibula
disorders (TMD): a double-blind pilot study, Cranio 15:144-149, 1997.

Melzack R, Wall PD: Pain mechanisms: a new theory, Science 150:971-979,
1965.

Simons DG, Travell JG, Simons LS: Travell& Simons' myofascial pain and
dysfunction: the trigger point manual, ed 2, Baltimore, 1999, Lippincott
Williams &Wilkins, pp 126-173.

Magnusson T, Syren M: Therapeutic jaw exercises and interocclusal appliance
therapy. A comparison between two common treatments of temporomandibula
disorders, Swed Dent J 23:27-37, 1999.

Maloney GE, Mehta N, Forgione AG, Zawawi KH, Al-Badawi EA et al: Effect
of a passive jaw motion device on pain and range of motion in TMD patients not
responding to flat plane intraoral appliances, Cranio 20:55-66, 2002.

Nicolakis P, Erdogmus B, Kopf A, Djaber Ansari A, Piehslinger E et al: Exercise
therapy for craniomandibula disorders, Arch Phys Med Rehabil 81:1137-1142,
2000.

Wilk BR, McCain JP: Rehabilitation of the temporomandibula joint after
arthroscopic surgery, Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod
73:531-536, 1992.

Austin BD, Shupe SM: The role of physical therapy in recovery after
temporomandibula joint surgery, J Oral Maxillofac Surg 51:495-498, 1993.

Kropmans TJ, Dijkstra PU, Stegenga B, de Bont LG: Therapeutic outcome
assessment in permanent temporomandibula joint disc displacement, J Oral
Rehabil 26:357-363, 1999.

Casares G, Benito C, de la Hoz JL: Treatment of TMJ static disk with
arthroscopic lysis and lavage: a comparison between MRI arthroscopic findings
and clinical results, Cranio 17:49-57, 1999.

Chung SC, Kim HS: The effect of the stabilization splint on the TMJ closed lock,
Cranio 11:95-101, 1993.

Nicolakis P, Erdogmus B, Kopf A, Ebenbichler G, Kollmitzer J et al:
Effectiveness of exercise therapy in patients with internal derangement of the
temporomandibula joint, J Oral Rehabil 28:1158-1164, 2001.

Chayes CM, Schwartz LL: Management of mandibula dysfunction: general and
specific considerations. In Schwartz LL, Chayes CM, editors: Facial pain and
mandibula dysfunction, Philadelphia, 1968, Saunders.

Gage JP: Collagen biosynthesis related to temporomandibula joint clicking in
childhood, J Prosthet Dent 53:714-717, 1985.

Rocabado M: Diagnosis and treatment of abnormal craniocervical and
craniomandibula mechanics. In Solberg WK, Clark GT, editors:Abnormal jaw
mechanics, Chicago, 1984,Quintessence, pp 141-159.

Darnell MW: A proposed chronology of events for forward head posture, J
Craniomandib Pract 1:49-54, 1983.

Lee WY, Okeson JP, Lindroth J: The relationship between forward head posture
and temporomandibula disorders, J Orofac Pain 9:161-167, 1995.

Komiyama O, Kawara M, Arai M, Asano T, Kobayashi K: Posture correction as
part of behavioural therapy in treatment of myofascial pain with limited opening,
J Oral Rehabil 26:428-435, 1999.

Clark GT, Green EM, Dornan MR, Flack VF: Craniocervical dysfunction
levelsin a patient sample from a temporomandibula joint clinic, J Am Dent Assoc
115:251-256, 1987.

Darlow LA, Pesco J, Greenberg MS: The relationship of posture to myofascial
pain dysfunction syndrome, J Am Dent Assoc 114:73-75, 1987.

Munhoz WC, Marques AP, de Siqueira JT: Evaluation of body posture
inindividuals with internal temporomandibula joint derangement, Cranio 23:269-
277, 2005.

Wright EF, Domenech MA, Fischer JR Jr: Usefulness of posture training for
patients with temporomandibula disorders [see comments], J Am Dent Assoc
131:202-210, 2000.

Feine JS, Lund JP: An assessment of the efficacy of physical therapy and
physical modalities for the control of chronic musculoskeletal pain, Pain 71:5-
23, 1997.

Feine JS, Widmer CG, Lund JP: Physical therapy: a critique [see comments],
Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod 83:123-127, 1997.

Curran SL, Carlson CR, Okeson JP: Emotional and physiologic responses to
laboratory challenges: patients with temporomandibula disordersversus matched
control subjects, J Orofac Pain 10:141-150, 1996.

Maixner W, Fillingim R, Booker D, Sigurdsson A: Sensitivity of patients with
painful temporomandibula disorders to experimentally evoked pain, Pain
63:341-351, 1995.

Svensson P, Arendt-Nielsen L, Nielsen H, Larsen JK: Effect of chronic and
experimental jaw muscle pain on pain-pressure thresholds andstimulus-response
curves, J Orofac Pain 9:347 356, 1995.

Carlson CR, Bertrand P: Self-regulation training manual, Lexington, Ky, 1995,
University Press.

Carlson C, Bertrand P, Ehrlich A, Maxwell A, Burton RG: Physical self-
regulation training for the management of temporomandibula disorders, J Orofac
Pain 15:47-55, 2001.

Carlson CR, Sherman JJ, Studts JL, Bertrand PM: The effects of tongue position
on mandibula muscle activity, J Orofac Pain 11:291-297, 1997.

Bertrand PM: The management of facial pain, American Association of Oral and
Maxillofacial Surgery Knowledge Update Series, Bethesda, Md, 2002, Bethesda
Press.

*Referensi 71,72,74,82,91,92
BAB 12 Perawatan Gangguan Otot Pengunyahan
Sistem klasifikasi yang digunakan untuk mendiagnosis gangguan
temporomadibular

Bagian yang ditebalkan menunjukkan gangguan yang dibahas dalam bab ini

Gangguan otot Pengunyahan (Bab 12)


Protective co-contarction


Nyeri otot lokal


Myospasme


Nyeri Myofascial


Centrally mediated myalgia


Fibromyalgia


Gangguan Centrally mediated motoric


Gangguan Temporo mandibula joint (Bab 13)


Deragement of condyle-disc kompleks


Disdisplacement


Disdislokasi dengan reduksi


Disdislokasi tanpa reduksi


Ketidaksesuaian struktur permukaan articular


Penyimpangan dalam bentuk


Disc

Kondil


Fosa


Adherences dan Adhesi


Disc ke kondil


Disc ke fosa


Subluksasi


Dislokasi spontan


Gangguan inflamasi TMJ


Synovitis dan capsulitis


Retrodiscitis


Arthritides


Osteoarthritis


Osteoarthrosis


Polyarthritides


Traumatic arthritis


Infeksi arthritis


Rheumatoidarthritis


Hyperuricemia


Psoriatic arthritis


Ankylosingspondylitis

Gangguan inflamasi yang berhubungan dengan struktur


Temporal tendonitis


Inflamasi ligament Stylomandibula


Pertimbangan umum ketika merawat trauma akut pada TMJ


Hipomobiliti mandibula kronik (Bab 140)


Ankilosis


Capsularfibrosis


Bony


Kontraktur otot


Myositis

a. Peregangan pasif

b. Latihan buka mulut resiten

2. Coronoid proses impedance

IV. Gangguan pertumbuhan (Bab 14)


Gangguan kongenital dan perkembangan tulang


Agenesis


Hypoplasia


Hiperplasia


Neoplasia


Gangguan kongenital dan perkembangan otot

Hipotrofi


Hipertrofi


Neoplasia

“Nyeri otot pengunyahan adalah gejala umum terbanyak TMD. Jadi mengapa banyak
dokter menyebutnya ‘TMJ’?

Ini merupakan bagian pertama dari tiga bab yang akan membahas perawatan
berbagai gangguan temporomandibula (TMDs). Setiap bab dikhususkan untuk masing-
masing gangguan utama. Tiap bab subklas secara singkat diuraikan menurut penyebab,
sejarah, dan temuan klinis (Penjelasan lebih rinci telah dibahas pada bab 8 dan 10).
Berikut ulasannya, terapi definitif dan suportif yang tepat dibahas. Akhirnya, pada setiap
akhir bab, beberapa laporan klinis di laporkan.

Keluhan utama pasien dengan gangguan otot pengunyahan yakni myalgia. Hal ini
sering dilaporkan sebagai keadaan tiba-tiba dan berulang. Nyeri yang berasal dari otot
dan karena itu terbatasnya pergerakan mandibula disebabkan nyeri muscular
ekstrakapsular. Seluruh gangguan otot pengunyahan tidak sama secara klinis. Seperti
dibahas dalam bab 8, terdapat sedikitnya 5 tipe yang berbeda dan membedakannya
merupakan hal penting karena perawatan tiap tipe berbeda. Kelima tipe tersebut adalah 1)
protective co-contraction (splinting otot), 2) nyeri otot lokal, 3) nyeri myofascial (titik
pemicu), 4) myospasme, dan 5) chronic centrally mediated myalgia. Dua tipe akan di
bahas dalam bab ini yakni gangguan centrally mediated motoric dan fibromyalgia. Tiga
keadaan pertama (protective co-contraction, nyeri otot lokal dan nyeri myofascial) sering
didapati di klinik gigi. Tiga tipe lainnya jarang ditemukan.

Beberapa gangguan otot terjadi dan sembuh terjadi. Dalam waktu yang relatif
singkat (co-contrantion dan nyeri otot lokal). Ketika keadaan ini tidak dapat sembuh,
gangguan nyeri kronik dapat terjadi. Gangguan otot pengunyahan kronik menjadi lebih
rumit dan perawatan umumnya terorientasi berbeda dibandingkan masalah akut. Dengan
waktu system saraf pusat dapat (CNS) dapat berperan penting dalam mempertahankan
gangguan otot (nyeri myofascial, myospams, chronic centrally mediated myalgia dan
gangguan centrally mediated motorik). Oleh karena itu menjadi hal penting bahwa dokter
dapat mengidentifikasi gangguan otot akut sehingga terapi yang tepat dapat diberikan.
Fibromialgia adalah gangguan myalgia kronik yang merupakan nyeri musculoskeletal
sistemik yang harus di ketahui dokter gigi dan perawatan terbaik dengan rujukan tenaga
medis yang benar.

12.1 Protective co-contraction (splinting otot)

Protective co-contraction adalah respon awal dari otot untuk mengubah input
sensori dan proprioseptif atau cedera (atau ancaman luka). Respon ini disebut protective
muscle splinting1 atau coaktivasi2. Kondisi ini di demonstrasi oleh beberapa peneliti.3-7 co-
contraction adalah fenomena umum dan dapat diamati selama kegiatan fungsional normal
seperti lengan saat mencapai tugas dengan jari.2 dengan adanya input sensoris atau nyeri,
kelompok otot antagonis tampaknya muncul selama pergerakan dalam upaya untuk
melindungibagian yang terluka. Oleh karena itu nyeri system pengunyahan dapat
menghasilkan protective co-contraction nyeri pengunyahan3 Secara klinis hasil
meningkatkan aktivitas otot rahang selama penutupan mulut, serta peningkatan aktivitas
penutupan otot selama pembukaan mulut. Orang harus ingat bahwa protective co-
kontraksi bukanlah kondisi patologis tetapi respon fisiologis normal system
muskuloskeletal.7

12.1.1 Penyebab

Berikut keadaan yang bertanggung jawab untuk protective co-contraction:


Perubahan input sensori dan proprioceptive


Adanya input nyeri dalam konstan


Peningkatan stress emosional
12.1.2 Riwayat

Kunci untuk mengidentifikasikan protective co-contraction adalah bahwa segera


mengikuti keadaan dan oleh karena itu sejarah penting. Protective co-contraction hanya
bertahan beberapa hari. Jika tidak diselesaikan, nyeri otot lokal kemungkinan akan
mengikut. Sejarah akan mengungkapkan salah satu berikut:


Sebuah perubahan terbaru dalam struktur lokal


Sebuah sumber baru-baru ini nyeri dalam konstan


Peningkatan terbaru pada stress emosional

12.1.3 Karakteristik klinis

Karekteristik klinis berikut dengan prot ctive co-contraction:


Disfungsi structural: pengurangan gerakan, tetapi pasien dapat mencapai kisaran
relatif normal ketika diminta melakukannya


Minimal nyeri saat istirahat


Peningkatan nyeri dengan fungsi


Perasaan lemah otot

12.1 4 Perawatan defenitif

Penting, dokter harus ingat bahwa protective co-contraction adalah respon normal
CNS dan oleh karena itu tidak terdapat indikasi untuk merawat kondisi otot itu sendiri.
Perawatan sebaliknya hanya diarahkan pada alasan untuk co-contraction. Ketika hasil co-
contraction dari trauma, perawatan definitif tidak diindikasikan karena penyebabnya lebih
besar.

Ketika hasil co-contraction dari restorasi yang buruk, perawatan definitif terdiri
dari perubahan restorasi untuk menyelaraskan dengan oklusi yang ada, Perubahan kondisi
oklusal untuk menghilangkan co-contraction diarahkan hanya pada restorasi yang
bersinggungan dan keseluruhan pertumbuan gigi. Setelah restorasi yang bersinggungan di
hilangkan, kondisi oklusal sebelumnya yang menyelesaikan gejala (gbr 12-1)

Jika co-contraction adalah hasil dari sumber nyeri dalam, nyeri harus ditangani
dengan tepat. Peningkatan stress emosional adalah penyebab, manajemen stress yang
tepat seperti teknik pegaturan fisik (PSR) di lakukan.

12.1.5 Terapi Suportif

Ketika penyebab protective co-contraction adalah cedera jaringan, terapi suportif


sering hanya merupakan jenis perawatan yang diberikan. Ini dimulai dengan
mngintruksikan pasien untuk membatasi penggunaan mandibula untuk ambang sakit.
Makanan lunak direkomendasikan hingga rasa nyeri reda. Obat untuk nyeri rendah (obat
nonsteoidal antiinflamasi [NSAIDs]) diindikasikan. Teknik PSR sederhana (lihat Bab 11)
dapat juga dinisiasi. Umumnya latihan otot dan terapi fisik lain tidak diindikasikan. Co-
contraction biasanya durasi singkat jika penyebab di kontrol, gejala akan sembuh
beberapa hari (gbr 12-2)

Gambar 12-1
Pendahuluan kontak oklusal yang berat dapat memulai protective co-contarction. A.
Kontak oklusal berat terdapat di fosa sentral pada mahkota (tanda panah). B, Kontak hati-
hati diubah untuk mengoklusikan secara stimultan dengan gigi ttanga pada lengkung. C
Setelah penyesuaian, kontal oklusal sama pada semua gigi.

Gambar 12-2 Ulser apthous akut yang menyebabkan nyeri ketika rubbed terhadap gigi
molar tetangganya
Nyeri ini cenderung co-contraction. Terapi suportif yang tepat di inisiasikan untuk
meminimalkan nyeri dan kemudian menurunkan gejala co-contraction.

12.2 Nyeri otot lokal (Myalgia yang tidak inflamasi)

Nyeri otot lokal adalah gangguan primer, tidak inflamasi, nyeri myogenous. Ini
merupaka respon awal dari jaringan otot untuk berlanjut menjadi protective co-
contraction. Meskipun co-contraction merupakan respon otot CNS yang diinduksi, nyeri
otot lokal merupakan perubahan lokal lingkungan jaringan otot. Merupakan respon awal
terhadap penggunaan berlebihan yang dianggap fatique.

12.3 Penyebab

Kondisi berikut menyebabkan nyeri otot lokal:


Protective co-contraction sekunder yang berkepanjangan menjadi perubahan
struktur lokal atau sumber nyeri dalam yang terus-menerus


Taruma jaringan lokal atau penggunaan otot yang tak biasa


Peningkatan stress emosional
12.4 Riwayat

Riwayat yang dilaporkan oleh pasien nyeri otot lokal akan mencakup satu dari hal
berikut:


Nyeri mulai beberapa jam/hari seteah tindakan yang berhubungan dengan
protective co-contraction


Nyeri mulai berhubungan dengan cedar jaringan (injeksi, buka mulut yang luas
atau penggunaan otot yang tak biasa sehingga reaksi nyeri terlambata)


Nyeri mulai sekunder hingga sumber nyeri dalam


Terdapat kelanjutan peningkatan stress emosional

12.5 Karateristik klinis

Nyeri otot lokal menunjukkan karakter klinis berikut:


Disfungsi struktur: penurunan tajam dalam kecepatan dan jangkauan gerkan
mandibula (berbagai macam gerakan tidak dapat dicapai oleh pasien)


Nyeri minimum saat istirahat


Peningkatan nyeri dengan fungsi


Kelemahan otot muncul


Nyeri lokal ketika otot-otot yang terlibat di palpasi

12.6 Perawatan definitif

Karena nyeri otot lokal menghasilkan nyeri dalam yang sering menimbulkan
protective co-contraction sekunder dengan nyeri otot siklik. Oleh karena itu tujuan utama
dalam merawat nyeri otot lokal untuk mengurangi input sendory (seperti nyeri) hingga
CNS. Tahap berikut menurunkan input sensori:

Menghilangkan input sensori atau proprioseptif yang berlangsung


Menghilangkan sumber yang berkelanjutan sumber input nyeri dalam (baik gigi
atau lainnya)


Memberikan pasien pendidikan dan informasi manajemen diri (PSR). Empat
daerah yang harus ditekankan:


Menyarankan pasien untuk membatasi penggunaan mandibula hingga batas
nyer. Setiap kali penggunaan mandibula menyebabkan nyeri, co-contraction di
bentuk kembali. Oleh karena itu pasien seharusnya diintruksikan tidak
membuka mulut hingga titik nyeri. Makanan lunak dianjurkan dengan gigitan
kecil dan pengunyahan pelan.


Pasien dianjurkan menggunakan rahangnya hingga batas nyeri sehingga
proprioseptor dan mechanoseptor pada system musculoskeletal distimulasi.
Aktivitas ini mendorong kembali ke fungsi otot normal. 9 Oleh karena itu
kehati-hatian dan kesengajaan menggunakan otot dapat menyebabkan resolusi
nyeri otot lokal. Pasien dianjurkan untuk menggunakan otot tetapi hanya
samapi batas nyeri. Penggunaan otot yang sempurna tidak sesuai untuk pasien
dengan pengalaman nyeri otot lokal.


Pasien dianjurkan untuk mengurangi kontak gigi nonfungsional. Ini mulai
dengan meminta pasien untuk lebih sadar ketika gigi berkontak dan
mengembangkan teknik untuk menghilangkan kontak (kesadaran kognitif)10,11
Pasien diintruksikan untuk menjaga bibir dan gigi terpisah. Kebanyakan
pasien dapat mengembangkan keterampilan yang diperlukan untuk
membebaskan gigi selama sadar.


Pasien seharusnya disadarkan hubungan antara peningkatan level stress
emosional dan kondisi nyeri otot. Ketika stress emosional tampaknya menjadi
kontributor signifikan pada nyeri otot lokal, teknik yang mengurangi stress
dan medukung relaksasi seharasunya dianjurkan12

Meskipun pasien sering mengontrol kontak gigi di siang hari, sebagian besar
memiliki seedikit kontrol atas kontak nocturnal gigi 13 Ketika clenching malam
hari atau bruksism dicurigai ( nyeri pagi hari), hal ini tepat untuk membuat suatu
alat oklusal untuk malam hari14-19 Alat oklusal ini terbuat dari aklirik yang
menutup gigi dalam lengkung rahang dan memberi kontak oklusal tepat dalam
lengkung berlawanan (Gbr.12-3). Alat stabilisasi (mis relasi sntrik (CR)) akan
memberikan kontak oklusal ketika kondilus berada pada posisi anterosuperior
bahkan kontak artikular terhadap eminensia articular (musculoskeletal). Penuntun
eksentrik diperoleh dari kaninus saja. Pasien diintruksikan untuk menggunakan
alat pada malam hari selama tidur dan kadang-kadang pada siang hari untuk
membantu mengurangi nyeri. Penggunaan paruh waktu dari alat ini untuk nyeri
otot lokal telah terbukti dalam mengurang nyeri otot daripada dalam waktu
penuh20 Fabrikasinya dibahas dalam Bab 15

Gambar 12-3


Alat stabilisasi, B, kontak oklusal ditandai. Catatan bahwa posisi musculoskeletal
yang stabil dari kondilus (hubungan sentris) bahkan ada dan simultan dari kontak gigi
posterior (ujung cusp berkontak pada permukaan datar). Penuntun eksentris diberikan
oleh gigi kaninus.

Alat oklusal dianjurkan oleh dokter gigi selama bertahun-tahun dan data
menyarankan hal itu dapat membantu untuk mengurangi gangguan nyeri otot
pengunyahan19,21-24 Namun karena profesi menuntut penelitian berbasis bukti, alat oklusal
mungkin tidak dapat membantu.25,26 Perlu disarankan uji coba untuk lebih memahami
dampak dari alat untuk gejala TMD. Namun, karena alat stabilitas dibuat untuk terapi
reversible dengan sedikit efek samping negative, dapat dipertimbangkan untuk
menangani nyeri otot lokal.


Jika terapi yang disebutkan sebelumnya gagal untuk mengatasi kondisi sakit,
dokter mungkin mempertimbangkan penggunaan analgesic ringan atau mungkin
relaksan otot27 farmako terapi akan membantu mengurangi input nyeri dalam yang
menghasilkan nyeri otot siklik dank arena itu dianjurkan terapi definitif dan
suportif

12.7 Terapi Suportif

Terapi suportif untuk nyeri otot lokal diarahkan untuk mengurangi rasa nyeri dan
meulihkan fungsi otot normal. Pada banyak kasus, nyeri dapat dengan mudah dikontrol
dengan terapi definitif. Namun, jika nyeri berlanjut, biasanya di kontrol dengan analgesik
ringan seperti aspirin, asetaminofen atau NSAID (mis ibuprofen). Pasien harus
dianjurkan untuk minum obat secara teratur sehingga nyeri dapat dikontrol. Jika pasien
tidak minum teratur, efek siklik input nyeri tidak dapat dihentikan. Pasien harus
diintruksikan minum obat selama 4 – 6 jam untuk 5 -7 hari sehingga nyeri dapat
dihilangkan dan berhenti. Setelah itu pasien tidak membutuhkan obat lagi.

Teknik terapi fisik manual seperti stretching otot pasif dan pijatan lembut juga
sangat membantu. Terapi relaksasi juga membantu jika peningkatan stress emosional
dicurigai.

Nyeri otot lokal harus merespon terapi selama 1 – 3 minggu. Ketika terapi ini
tidak efektif. Dokter harus mempertimbangkan kemungkinan diagnosis yang salah. Jika
evaluasi ulang kondisi nyeri memperkuat gangguan otot pengunyahan, salah satu
gangguan myalgia yang sulit harus dipertimbangkan.

Dari catatan bahwa aktivitas dalam CNS mempengaruhi kondisi empat otot
berikut: myospasme, nyeri myofascial, chronic centrally mediated myalgia dan
fibromyalgia. Apresiasi dokter terhadap peranan CNS adalah penting. Myospasme adalah
gangguan lokal akut, sedangkan nyeri myofascial dan chronic centrally mediated myalgia
adalah gangguan regional kronik. Fibromyalgia adalah gangguan nyeri sistemik kronik
(global)

12.8 Myospasme (Tonic Contraction Myalgia)

Myospasme yakni spontan, diinduksi CNS, kontraksi otot tonik sering


berhubungan dengan kondisi metabolis lokal dalam jaringan otot. Meskipun kondisi ini
tentu dapat mempengaruhi otot-otot pengunyahan, ini bukan pemikiran yang biasa.

12.9 Penyebab

Kondisi berikut dapat menyebabkan myospasme:


Lnajutan input nyeri yang dalam


Faktor metabolic lokal dalam jaringan otot berhubungan dengan fatique atau
penggunaan berlebih28


Mekanisme myospasme idiopatik

12… Riwayat

Pasien melaporkan tiba-tiba mengalami gerakan tahang yang terbatas biasanya


disertai denga kekakuan otot.

12… Karateristik klinis

Berikut karakteristik klinis yang berhubungan dengan myospasme:


Disfungsi struktur, pembatsan ditandai dengan rentang pergerakan mandibula
berdasarkan otot yang terlibat; maloklusi akut biasa


Minimum nyeri saat istirahat

Peningkatan nyeri saat berfungsi


Otot yang berpengaruh kaku dan nyeri saat dipalpasi


Otot terasa keras

12.. Perawatan definitif

Dua perawatan yang dianjurkan untuk myospasme akut. Yang pertama langsung
untuk mengurangi spasme itu sendiri, sedangkan yang lain membahas penyebabnya:


Myospasme paling baik ditangani dengan mengurangi rasa sakit dan kemudian
pemanjangan dan penrengangan pasif otot yang terlibat. Pengurangan nyeri dapat
diperoleh dengan pijatan manual (gambar 12-4, spary vapo-coolant, es atau
injeksi lokal anestesi ke otot yang spasme. Sekali nyeri berkurang, otot akan
memanjang. Jika injeksi digunakan (sering merupakan cara yang efektif untuk
menghentikan kejang persisten), 2% lidokain tanpa vasokontriktor
direkomendasikan)


Bila penyebab yang jelas muncul ( mis input nyeri dalam), upaya arus dilakukan
untuk menghilangkan faktor-faktor sehingga mengurangi kemungkinan
myospasme berulang. Ketika myospasme sekunder ke fatique dan penggunaan
berlebih (latihan panjang), pasien disarankan untuk mengistirahatkan otot dan
membentuk kembali keseimbangan elektrolit normal.

Gambar 12-4
Nyeri akibat myospasme akut dapat dikurangi dengan pijatan lembut pada otot. Efek ini
di hasilkan oleh perubahan input sensori.

Kadang-kadang myospasme terjadi berulang kali tanpa penyebab yang dapat


diidentifikasi. Ketika terjadi, pada otot yang sama, kondisi mewakili oromandibula
dystonia. Distonia yang berulang, kontraksi otot ang tidak terkontrol sering dianggap
sebagai etiologi utama. Distonia ditangani secara berbeda dibandingkan dengan
myospasme akut dan sesekali dan dibahas terpisah pada akhir bab ini.

12… Terapi Suportif

Sering kali terapi fisik adalah kunci untuk menangani myospasme. Mobilisasi
jaringan lunak seperti pijatan dan peregangan pasif adalah dua perawatan langsung yang
penting. Sekali myospasme berkurang, terapi fisik lain dapat membantu dalam
menangani faktor-faktor lokal dan sistemik seperti latihan otot dan teknik relaksasi.
Terapi farmakologi tidak diindikasikan karena kondisi akut.

12….. Nyeri Myofascial (Trigger point Myalgia)

Nyeri Myofascial adalah kondisi nyeri myogenous yang ditandai dengan area
kaku, hipersensitif jaringan otot yang disebut trigger point29. Kondisi ini juga disebut
nyeri myofascial trigger point. Adanya efek rangsang biasanya dengan gangguan
myalgia. Efek yang sering muncul yakni nyeri, sering digambarkan pasien seperti
ketegangan pada kepala.

12.14.1 Penyebab

Meskipun pemahaman lengkap dari gangguan ini kurang, penyebab berikut


berkaitan dengan nyeri myofascial:


Lanjutan sumber nyeri dalam30,31


Peningkatan stress emosional32


Adanya gangguan tidur33,34


Faktor lokal yang meningkatkan aktivitas otot seperti kebiasaan, posisi tubuh,
tegang otot atau bahkan pengalaman menakutkan


Faktor sistmik seperti kekurangan gizi35, kondisi tubuh yang lemah, fatigue 30dan
infeksi virus


Idiopatik mekanisme trigger poin

12.14.2 Riwayat

Keluhan utama pasien sering nyeri heterotopic dan bukan sumber nyeri yang
sebenarnya (titik pemicu). Oleh karena itu pasien akan mengarahkan dokter pada sakit
kepala atau protective co-contraction. Jika dokter tidak berhati-hati, dapat mengarahkan
perawatan pada nyeri sekunder yang tentunya akan gagal. Dokter harus memiliki
pengetahuan diagnostic untuk mengidentifikasi sumber utama nyeri sehingga perawatan
yang tepat dapat diberikan.

12.14.3 Karakeristik Klinis

Penderitaan individu dengan nyeri myofascial umumnya memperlihatkan


karakteristik berikut:


Disfungsi struktur; Penurunan dalam kecepatan dan jangkauan pergerakan
mandibula tergantung pada lokasi dan intensitas dari titik pemicu. Disfungsi
struktur ringan yakni sekunder terhadap efek inhibitor nyeri (protective co-
contraction)


Nyeri heterotopikyang dirasakan bahkan saat istirahat


Peningkatan nyeri saat berfungsi


Ketika di gunakan, otot kaku dengan titik pemicu yang meningkatkan nyeri
heterotopic

12.14.4 Perawatan definitif

Perawatan nyeri myofascial diarahkan pada penghilangan atau pengurangan


penyebab. Dokter dapat melakukannya dengan perwatan berikut:


Menghilangkan sumber nyeri dalam dengan cara yang tepat sesuai dengan
penyebab


Mengurangi faktor-faktor lokal dan sistemik yang mempengaruhi nyeri
nyofascial. Perawatan ini individual dengan kebutuhan pasien. Sebagai contoh,
jika stress emosional merupakan bagian penting dari gangguan, teknik
penanganan stress diindikasikan. Ketika posisi tubuh atau kerja mempengaruhi
nyeri myofascial, upaya yang harus dilakukan dengan memperbaiki kondisi.
Teknik PSR (lihat Bab 11) berguna dalam menangani nyeri myofascial.

Jika gangguan tidur dicurigai, evaluasi yang tepat dan rujukan harus dibuat.
Sering kali dosis rendah antidepresan trisiklik seperti 10 – 20 mg amitriptyline
sebelum tidur dapat membantu (lihat Bab 13).


Salah satu pertimbangan yang penting dalam menangani nyeri myofascial adalah
menghilangkan titik pemicu. Hal ini dilakukan dengan peregangan otot tanpa rasa
nyeri yang terdapat titik pemicu. Teknik berikut dapat digunakan untuk mencapai
hal ini.

12.14.4.1 Semprotan dan Regangan

Salah satu metode yang paling umum dan konservatif dalam menghilangkan titik
pemicu adalah dengan teknik spray dan regangan 37,38 Teknik ini terdiri dari semprotan
spary vapo coolant (mis fluorometan) pada jaringan otot atasnya dengan titik pemicu dan
kemudianperegangan aktif otot. Spray vapocoolant memberi stimulasi saraf kutaneus ang
sementara mengurangi persepsi nyeri didaerah itu (lihat Bab 2). Setelah jaringan di
semprot otot diregangkan tanpa rasa nyeri (Gambar 12-5). Spray vapocoolant
diaplikasikan dari jarak sekitar 18 inci dan pada tempat gejala. Penting, peregangan pasif
dilakukan tanpa nyeri. Jika rasa nyeri timbul, otot akan protective co –contraction,
menghasilkan aktivitas otot yang berlebih (nyeri otot siklik). Teknik yang tepat untuk tiap
otot di jelaskan oleh Simon dan Travell39

Teks ini harus menjadi bagian penting dari armamentarium semua dokter dalam
menangani nyeri myofascial.

12.14.4.2 Tekanan dan Pijatan

Dalam beberapa kasus pijatan atau manipulasi titik pemicu dapat menyebabkan
hal itu hilang. Perawatan harus dilakukan, bagaimanapun tanpa nyeri. Beberapa ahli
menyarankan37 bahwa peningkatan tekanan dilakukan pada titi pemicu juga teknik yang
efektif dapat meghilangkan nyeri. Tekanan dinaikkan kira-kira 20 lb dan dipertahankan
30-60 detik. Jika teknik ini menimbulkan nyeri, harus dihentikan karena nyeri dapat
memperkuat nyeri otot siklik.

Gambar 12-5 Teknik Semprotan dan peregangan


Spary Vapocoolant diaplikasikan pada otot trapezius atas dan otot servikal yang
menghilangkan titik pemicu myofascial. Mata, hidung, mulut dan telinga dilindungi
dari semprotan. B Segera setelah semprotan, otot diregangkan tanpa nyeri.

12.14.4.3 Stimulasi Ultrasound dan Elektrogalvanik

Modalitas terapi fisik seperti ultrasound dan stimulasi elektrogalvanik (EGS)


kadang-kadang berguna dalam menangani titik pemicu. Ultrasound menghasilkan panas
yang tinggi pada area titik pemicu menyebabkan relaksasi otot lokal40 Tegangan rendah
EGS digunakan untuk stimulasi atau tegangan otot. Terapi ini menyebabkan penurunan
aktivitas otot dan relaksasi otot41,42. Meskipun ada sedikit penelitian untuk mengverifikasi
afektifitas teknik ini, umumnya konservatif dan mungkin berguna.

12.14.4.4 Injeksi dan Peregangan

Metode lain yang efektif dalam menghilangkan titik pemicu dengan teknik injeksi
(gambar 12-6). Paling umum anestesi lokal diinjeksikan dan otot diregangkan tanpa
nyeri43,44> Meskipun anestesi berguna mengurangi nyeri45tampaknya bukan faktor yang
paling penting dalam menghilangkan titik pemicu46,47 Sebaliknya gangguan mekanik pada
titik pemicu dari jarum tampaknya memberikan efek terapi.
Gambar 12-6 Injeksi titik pemicu

Titik pemicu pada otot maseter kanan berada, diantara kedua jari dan disuntikkan
(dengan jarum gauge 27 pendek)

Anestesi lokal digunakan untuk dua alasan: 1. Menghilangkan nyeri sedang,


memungkinkan peregangan otot tanpa nyeri dan 2) diagnostic (mis titik pemicu
dianestesi bukan hanya nyeri lokal dikurangi tetapi nyeri alih juga dihilangkan). Jadi
dokter dapat memperoleh informasi mengenai sumber nyeri alih. Sebagai contoh, injeksi
anestesi dar titik pemicu pada sternocleidomastoid akan menghilangkan sakit kepala
temporal dan memungkinkan sumber sebenarnya dari sakit kepala untuk diidentifikasi.
Penghilangan nyeri sedang berkaitan dengan efek rangsang pusat diproduksi oleh nyeri
yang dalam (titik pemicu). Penekanan nyeri mungkin terkait dengan system endorfin48
Ketika injeksi anestesi lokal diindikasikan, 1% lidokain tampaknya menjadi
myotoksis yang sedikit. Namun, obat ini tidak lagi dikemas untuk digunakan dengan
jarum suntik, sehingga ketika jarum digunakan, lidokain 2% adalah tepat.
Vasokonstriktor tidak boleh digunakan untuk injeksi otot. Anestesi jangka panjang
seperti bupivikain (Markain) tidak diindikasikan untuk injeksi otot karena peningkatan
miotoksisitas khususnya ketika menggunakannya dengan steroid49 Hanya jumlah kecil
lidokain penting untuk menangani titik pemicu. Satu karpul cukup untuk dua atu bahkan
tiga injeksi titik pemicu tergantung dari ukuran otot yang diinjeksi. Sebagian karpul
diindikasikan untuk titik pemicu trapezius kurang dari sepertiga adalah adekuat untuk
titik pemicu temporalis.

Injeksi titik pemicu mungkin merupakan perawatan yang tepat untuk nyeri
myofascial bila ditemukan bahwa injeksi memberi kelegaan pada pasien, bahakan setelah
efek anestesi hilang. Injeksi ulang diindikasikan jika perode nyeri terus menerus antara
tiap injeksi. Jika injeksi titik pemicu gagal memberi pengurangan nyeri, tidak ada indikasi
untuk mengulang prosedurnya.

Seperti dengan injeksi, empat aturan yang dijelaskan dalam Bab 10 harus selalu
diikuti. Pertimbangan anatomi dan teknik injeksi untuk setiap otot dijelaskan oleh Simons
dan Travell43 dan dalam teks berkonsultasi dengan dokter menarik dalam menangani
nyeri myofascial dengan injeksi titik pemicu.

12.14.5 Terapi Suportif

Seperti yang telah dibahas, modalitas terapi fisik dan berbagai teknik manual yang
digunakan untuk mengobati nyeri myofascial. Teknik ini tercatat dibawah perawatan
definitif karena mengeliminasi titik pemicu. Hal yang penting dari mobilisasi jaringan
lunak dan teknik kondisi otot.

Terapi farmakologi seperti relaksan otot dapat membantu, tetapi biasanya tidak
menghilangkantitik pemicu. Obat seperti cyclobenzaprine (Flexeril) 10 mg sebelum
tiduer dapat mengurangi nyeri tetapi titik pemicu masih ditangani dibahas sebelumnya.
Relaksan otot membantu mengubah titik pemicu aktif menjadi titik pemicu laten atau
tidak aktif, tetapi mungkin belum tentu meghilangkannya. Analgesik mungkin juga
membantu dalam mempengaruhi efek siklik nyeri.

Postur merupakan contributor lain pada beberapa pasien dengan nyeri


myofascial29 Otot yang dipertahankan pada rentang yang pendek cenderung
meningkatkan titik pemicu dibandingkan yang lain. Peregangan harian otot dapat
bermanfaat dalam mempertahankan hingga bebas nyeri. Hal ini terutama berlaku pada
daerah leher dan bahu. Latihan teratur harus selalu di anjurkan30,50,51

12… Centrally Mediated Myalgia (Chronic Myositis)

Centrally Mediated Myalgia adalah kronik, nyeri gangguan otot kronis berasal
didominasi dari efek CNS yang dirasakan pada jaringan otot perifer.Gangguan ini secara
klinis menimbulkan gejala yang sama dengan kondisi inflamasi jaringan otot dan oleh
karena itu kadang disebut myositis.

12.15.1 Penyebab

Penyebab centrally mediated myalgia seperti namanya CNS dan umunya tidak
terkait struktur dari system pengunyahan. Sebagai CNS menjadi masukan nosiseptif
berkepanjangan, jalur batang otak fungsional dapat berubah. Hal ini dapat mengakibatkan
efek neuron afern perifer. Dengan kata lain, neuron yang biasanya hanya membawa
informasi dari perifer ke CNS dapat membawa informasi sebaliknya dari CNS ke
jaringan perifer. Hal ini mungkin terjadi melalui transportasi system akson 52 Ketika
terjadi hal ini neuron aferen pada perifer dapat melepas neurotransmitter nosiseptor
seperti substansi P dan bradikinin yang menyebabkan nyeri jaringan perifer. Proses ini
disebut inflamasi neurogenik53-57

Konsep penting untuk diingat bahwa nyeri otot diungkapkan pasien dengan
centrally mediated myalgia kronik tidak dapat dirawat dengan menangani jaringan otot
yang nyeri. Perawatan harus diarahkan ke mekanisme pusat, suatu proses berpikir yang
dapat menjadi asing bagi dokter gigi.
Centrally mediated myalgia kronik dapat disebabkan oleh input nyer otot yang
berhubungan dengan nyeri otot lokal atau nyeri myofascial. Dengan kata lain, semakin
lama pasien mengeluh nyeri myogenous, semakin besar kemungkinan centrally mediated
myalgia kronik. Namun mungkin bahwa mekanisme sentral lain mungkin memainkan
perananpenting dalam menyebabkan centrally mediated myalgia seperti upregulasi kronik
system nervus autonomic, stress emosional kronik atau sumber lain nyeri dalam (gbr 12-
7)

Gambar 12-7 Centrally mediated myalgia

Beberapa gangguan otot berasal dari system nervus pusat meskipun nyeri dirasakan pada
otot perifer. Ilustrasi ini menggambarkan aktivasi hipotalamus pusat, struktur limbic, dan
korteks dapat bergabung menghasilkan efek antidromik pada jaringan otot. Ketika hal itu
terjadi, kunci sukses dalam perawatan nyeri ini terletak pada mekanisme sentral dan tidak
mengubah struktur perifer (gigi, otot, atau sendi)

12.15.2 Riwayat

Laporan pasien konstan, primer, kondisi nyeri myogenous biasanya berhubungan


dengan riwayat berkepanjangan dari keluhan otot (bulan dan bahkan tahun)
12.15.3 Karakteristik klinis

Berikut ini enam karateristik klinis dengan centrally mediated myalgia:


Disfungsi struktur: pasien mengalami centrally mediated myalgia dengan
penurunan yang signifikan pada kecepatan dan jangkauan pergerakan mandibula


Nyeri signifikan saat istirahat


Peningkatan nyeri saat fungsi


Perasaan kaku otot


Nyeri signifikan pada palpasi otot


Saat centrally mediated myalgia menjadi berlarut-larut, hal itu dapat
menyebabkan atrofi dan atau kontraktor myostatik atu myofibrotik

12.15.4 Perawatan definitif

Dokter seharusnya mengetahui kondisi centrally mediated myalgia kronik karena


hasil terapi tidak akan langsung mengobati nyeri otot lokal. Inflamasi neurogenic jaringan
otot, serta central sensitisasi kronis dihasilkan, seringkali membutuhkan waktu untuk
diselesaikan. Ketika diagnosis Centrally mediated myalgia ditegakkan, dokter seharusnya
berdiskusi dengan pasien hasil yang diharapkan dan jadwalnya. Pasien harus diberitahu
bahwa pengurangan gejala awalnya lambat dan tidak dramatis. Pasien harus menyadari
hal ini sehingga dapat meminimalkan keecewaan dalam hasil pengobatan. Sebagai
penyebab yang dikontrol, inflamasi neurogenic akan di sembuhkan dan gejala perlahan-
lahan akan berkurang.

Seperti halnya dengan nyeri otot lokal, empat strategi perawatan umum dilakukan
pasien dengan centrally mediated myalgia kronik. Namun, meskipun agak mirip, mereka
tidak identic. Bahkan, terapi untuk nyeri otot lokal sering memperburuk centrally
mediated myalgia kronik. Oleh karena itu jika dokter dalam merawat nyeri otot lokal dan
gejala menjadi lebih parah, kemungkinan kondisi sebenarnya centrally mediated myalgia.
Berikut regimen yang seharusnya digunakan:


Batasi penggunaan mandibula hingga batas nyeri. Menggunakan otot yang nyeri
memperparah kondisi. Pasien seharusnya menjaga rahang tidak bergerak untuk
mengurangi nyeri. Makanan yang lunak di anjurkan, dengan gigitan pelan dan
gigitan kecil. Jika nyeri fungsional tidak dikontrol, makanan cair diperlukan.
Makanan cair harus dipertahankan cukup lama untuk mengurangi nyeri sehingga
pasien dapat kembali mengonsumsi makanan lunak tanpa rasa nyeri.


Hindari olahraga atau injeksi. Karena jaringan otot inflamasi neurogenic, setiap
penggunaan menyebabkan nyeri. Pasien seharusnya mengistirahatkan otot
sebanyak mungkin. Injeksi anestesi lokal harus dihindari karena trauma
menyebabkan inflamasi jaringan. Anestesi lokal memblokir centrally mediated
myalgia yang seringditandai peningkatan nyeri setelah anestesi di metabolism.
Fitur klinis membantu menegakkan diagnosis.


Membebaskan gigi. Seperti pada nyeri otot lokal, penanganan centrally chronic
mediated myalgia dibantu dengan membebaskan gigi baik secara sukarela atau
tanpa sadar. Pembebasan sukarela dilakukan dengan teknik PSR yang dibahas
dalam Bab 11. Pembebasan tak terkendali dari gigi (bruksism nocturnal) dicapai
dengan stabilisasi alat dengan cara yang sama seperti pada nyeri otot lokal


Mulai mengonsumsi obat antiinflamsi. Karena jaringan otot lokal inflamasi,
merupakan hal tepat meresepkan antiinflamasi. NSAID seperti ibuprofen adalah
pilihan tepat dan seharusnya diberikan secara teratur (600 mg empat kali sehari)
selama 2 minggu sehingga peningkatan darah yang meningkat mencapai efek
klinis. Dosis tidak teratur tidak akan mencapai efek yang diinginkan. Ibuprofen
juga anlgesik dan dengan demikian dapat membantu mengurangi nyeri otot siklik
yang dapat menyebabkan centrally mediated myalgia kronik, seperti diskusi
sebelumnya, pasien harus ditanyai setiap riwayat keluhan perut dan memantau
gejala iritasi lambung selama pengobatan. Jika gejala muncul, inhibitor
cyclooxygenase-2 (COX-2) harus dipertimbangkan )lihat Bab 11)

12.15.5 Terapi Suportif

Pada awal perawatan centrally mediated myalgia kronik, modalitas terapi fisik
harus digunakan hati-hati karena manipulasi dapat meningkatkan nyeri. Kadang-kadang
panas lembab dapat membantu (Gbr. 12-8) Untuk pasien lainnya, es tampak lebih
bermanfaat. Pasien akan berhubungan baik dengan itu. Jika gejala mulai terselesaikan
terapi ultrasound dan peregangan lembut dimulai. Jika nyeri meningkat dengan terapi,
intensitasnya harus diturunkan.

Karena perawatan centrally mediated myalgia kronik sering lebih lama, dua
kondisi yang berbeda dapat berkembang: perubahan hipotropik dan kontraktur miostatik.
Hal ini terjadi sebagai akibat dari kurangnya penggunaan otot elevator (temporalis,
maseter, pterigoideus medialis). Setelah gejala akut reda, aktivitas otot perlahan-lahan
dimulai. Beberapa latihan rahang isometric juga membantu dalam mendapatkan kembali
panjang dari otot elelvator ( lihat Bab 11). Ingat, perawatan centrally mediated myalgia
kronik adalah proses yang lambat dan tidak dapat terburu-buru. Jika terapi fisik di
perkenalkan terlalu cepat, centrally mediated myalgia kronik dapat menjadi buruk.

12…. Fibromyalgia (Fibrositis)

Fibromyalgia adalah gangguan kronik, global, nyeri muskuloskeletal58 Menurut


laporan awal59 fibromyalgia adalah gangguan nyeri muskuloskeletal yang meluas 11
hingga 18 bagian dalam tubuh. Fibromyalgia adalah gangguan nyeri pengunyahan dan
karena itu perlu di ketahui dan disebut dengan tepat secara medis.

Gambar 12-8
Aplikasi panas atau dingin dapat membantu dalam centrally mediated myalgia kronik. A,
Bantalan panas diaplikasikan pada otot maseter selama 15-20 ment dan diulang sesering
munkin sepanjang hari. B, ketika panas tidak efektif, dingin dapat dicoba. Bantalan es
ditempatkan pada otot simptomatik hingga jaringan terasa kram (tidak lebih dari 5-7
menit). Otot secara bertahap dihangatkan lagi. Jika nyeri berkurang, prosedur dapat
diulangi.

Gambar 12-9
Latihan rahang isometric yang lembut membantu dalam meningkatkan kekuatan otot
hipotropik. A, Tujuannya adalah untuk menahan sedikit pembukaan mulut. B, Pasien
menggerakkan rahang secara lateral saat melawan gerakan jari. Hal ini dilakukan 3 – 5
detik selama membuka, gerakan kekiri, kanan serta gerakan kedepan. Latihan ini diulang
sepanjang hari.

12.16.1 Penyebab

Etiologi dari fibromyalgia tidak dicatat dengan baik. Hal ini mungkin berkaitan
dengan perubahan pada proses perifer (muskuloskeletal) oleh CNS. Sistem inhibitor,
aksis hipotalamik-pituitari adreal (HPA) dan system imun, diimplikasikan 60-64 Tentu saja
kondisi yang tak dikenal ini juga menyebabkan adanya fibromyalgia58 Meskipun
penyebab fibromyalgia berbeda dari gangguan nyeri otot, kedua kondisi ini ada pada
beberapa pasien kronik.65-74

12.16.2 Riwayat

Pasien yang mengalami fibromyalgia melaporkan keluhan nyeri muskuloskeletal


kronik dan luas pada tiga dari empat bagian tubuh yang muncul selama 3 bulan atau
lebih. Keluhan pasien nyeri arthralgic tidak ada bukti gangguan pengucapan. Gangguan
tidur biasanya ditemukan dengan kondisi fisik yang menetap dan depresi klinis.

12.16.3 Karakteristik Klinis

Fibromyalgia melibatkan setidaknya 11-18 titik yang tidak menghasilkan nyeri


heterotopic. Pasien biasanya muncul dengan kondisi fisik yang menetap.

PAsien yang menderita fibromyalgia memperlihatkan karakteritik klinis berikut:


Disfungsi klinis: jika otot pengunyahan terlibat, ada penurunan yang signifikan
dari kecepatan dan jangkauan gerkan mandibula.


Nyeri myogenous yang luas saat istrirahat berfluktuasi dari waktu ke waktu
dengan keluhan fibromyalgic

Nyeri yang meningkat saat berfungsi dari otot-otot yang terlibat


Pasien yang mengalami fibromyalgia melaporkan kondisi umum seperti
kelemahan otot. Mereka juga melaporkan fatigue kronik yang luas.


Fibromyalgia ditandai dengan titik yang banyak dari kuadran tubuh. Titik tender
tidak menghasilkan nyeri heterotopic saat di palpasi. Penemuan ini
memperlihatkan perbedaan klinis antara nyeri fibromyalgia dan nyeri myofascial.
Menurut kriteria yang ditetapkan59 Pasien fibromyalgia harus memperlihatkan
nyeri paling tidak 11- 18 bagian setidaknya tiga dari 4 kuadran tubuh.


Pasien dengan fibromyalgia umumnya kondisi fisiknya berkurang. Karena fungsi
otot meningkatakan nyeri, pasien fibromyalgia sering menolak latihan. Hal ini
mejadi kondisi tetap karena kondisi fisik menetap dapat menjadi faktor
predisposisi fibromyalgia.

12.16.4 Perawatan Definitif

Karena pengetahuan fibromyalgia terbatas, perawatan harus konservatif dan


diarahkan pada faktor-faktor penyebab dan tetap. Dokter harunya ingat bahwa
fibromyalgia bukan gangguan otot pengunyahan primer. Oleh karena itu dokter gigi harus
mengasumsikan peran utama terapis. Sebaliknya, dokter gigi perlu mengenali
fibromyalgia dan membuat rujukan yang tepat. Gejala pengunyahan yang signifikan
muncul, dokter gigi harus menangani gejala dengan tim professional kesehatan.
Profesional kesehatan yang lain yang dapat menangani masalah ini berasal dari bidang
rheumatologi, obat rehabilitasi, psokologi dan terapi fisik75. Perawatan berikut ini harus
dipertimbangkan:


Ketika gangguan otot pengunyahan lainnya juga muncul, terpai harus diarahkan
pada gangguan tersebut.


Ketika kondisi tetap dibahas dalam Bab 8 muncul, harus ditangani dengan tepat.

NSAID tampaknya bermanfaat untuk gejala fibromyalgia dan harus diberikan
dengan cara yang sama seperti centrally mediated myalgia kronik


Jika gangguan tidur diidentifikasi, harus ditangani. Dosis rendah antidepresan
trisiklik seperti 10 – 50 mg amitriptyline pada saat tidur dapat membantu
mengurangi gejala yang berhubungan dengan fibromyalgia 76-78 Mekanisme ini
diduga berkaitan dengan peningkatan kualitas tidur76,77,79 atau efek positif dari
system inhibitor. Cyclobenzaprine (Flexril), 10 mg saat tidur, juga bermanfaat
saat tidur dan mengurangi nyeri80,82


Jika depresi muncul, harus ditangani dengan professional kesehatan yang tepat.

12.16.5 Terapi Suportif

Modalitas terapi fisik dan teknik manual dapat bermanfaat pada pasien
fibromyalgia. Tekniknya terdiri dari terapi panas, pijatan lembut, peregangan pasif dan
latihan relaksasi yang berguna. Disamping itu, kondisi otot dapat berperan penting dalam
perawatan. Program latihan terkontrol dan ringan seperti berjalan tau berenang dapat
membantu dalam mengurangi nyeri otot yang berhubungan dengan fibromyalgia50,83
Perawatn harus dilakukan untuk mengembangkan program individual pada tiap pasien.

12….. Gangguan Centrally Mediated Motorik

Terdapat dua kondisi yang dapat mempengaruhi fungsi motorik otot-otot


pengunyahan. Keduanya sangat dipengaruhi oleh CNS. Hal itu adalah bruksism nocturnal
dan dystonia oromandibula. Bruksism nocturnal merupakan fenomena umum sedangkan
dystonia oromandibula relatif jarang. Keduanya dibahas dalam bagian ini

12.17.1 Bruksism Nocturnal

Faktor yang dapat menyebabkan atau berkontribusi pada gangguan otot


pengunyahan adalah hiperaktivitas otot dan perhatian terbesar dokter gigi adalah
bruksism nocturnal dan clenching. Aktivitas ini lebih sulit dikontrol. Pada satu waktu
keyakinan yang luas kedokteran gigi bahwa maloklusi menyebabkan bruxism nocturnal 84-
91
Namun penelitian terkontrol 92,93
telah disarankan bahwa kondisi oklusal memberikan
pengaruh kecil terhadap aktivitas otot nocturnal. Peningkatan stress emosional tampaknya
memiliki peningkatan yang lebih besar.94,95 Namun telah berulang kali diperlihatkan14,15,94-
101
bahwa alat oklusal menurunkan tingkat aktivitas otot nocturnal, setidaknya dalam
jangka pendek.

Awalnya para ahli berpikir bahwa ala oklusal efektif karena secara langsung
memberikan kondisi oklusal yang ideal dan ketika digunakan, maloklusi di hilangkan.
Secara logis menyarankan bahwa lat oklusal menyebabkan penurunan gejala otot, faktor
maloklusi yang menjadi penyebab dan selektif grinding gigi diindikasikan ntuk
mengoreksi kondisi secara permanen. Selektif grinding, tidak mengurangi bruksism 93,102
Alasan mengapa alat oklusal dapat mengurangi gejala TMD jauh lebih rumit dari hanya
bagaimana mengubah kondisi oklusal. Setidaknya ada enam faktor lain yang meungkin
bertanggung jawab untukmenurunkan gejala ini (lihat Bab 15 untuk diskusi lengkap).

Salah satu dari faktor-faktor tersebut bahwa alat oklusal memberikan input sensori
perifer ke CNS yang mengaktifkan mekanisme umpan balik negative yang menahan
aktivitas otot yang berat. Dengan kata lain, alat itu dapat mempertahankan ambang batas
normal untuk aktivitas reflex protektif pada system neuromuscular. Ketika aktivitas
reflex normal muncul, kekuatan bruksism cenderung meningkat ke kerusakan struktur
dadn gejala.

12.17.1.1 Pertimbangan Penanganan Bruksism Nocturnal

Saat ini tidak ada metode pengobatan yang diketahui untuk menghilangkan
bruksism secara permanen. Meskipun alat oklusal dapat mengurangi efek berbahaya dari
penggunaan gigi dan dapat mengurangi nyeri muskuloskeletal, namun tidak dapat
mengobati pasien dati bruksism103 Pada kebanyakan kasus ketika alat dilepas, bahkan
setelah terapi jangka panjang dengan alat oklusal, bruksism kembali13

Penelitian Inone104 memperlihatkan bahwa 1 mg clonazepam sebelum tidur


mengurangi tingkat bruksism lebih besar dari obat plasebo. Beberapa
penelitian105mengindikasikan dosis rendah antidepresan trisiklik (10 hingga 20 mg
amitriptyline setiap malam) sebelum tidur dapat mengubah siklus tidur dan menurunkan
nyeri otot dipagi hari. Amitriptylin106,107 dan cyclobenzaprine108 tampaknya mengurangi
gejala TMD, tetapi efeknya mungkin tidak secara langsung terkait dengan penurunan
aktivitas bruksism.

Karena pengobatan bruksism tidak diketahui, dokter gigi harus selalu memilih
terapi konservatif reversible. Alat stabilisasi seperti modalitas (efek spesifik system
pengunyahan dibahas secara lengkap dalam Bab 15)

12.17.2 Dystonia Oromandibula

Menurut definisi, dystonia berarti “gangguan tonisitas otot” 109 Secara klinis dapat
diamati tiba-tiba dan kontraksi otot tak terkendali. Kontraksi tunggal berkelanjutan
disebut myospasme (diskusi pada awal bab). Namun, ketika myospasme yang tak
terkendali terulang, itu dianggap sebagai dystonia. Beberapa pasien yang menderita
dengan dystonia terdapat dalam beberapa kelompok otot. Ketika dystonia hanya
melibatkan otot tertentu atau kelompok otot. Kondisi ini disebut sebagai focal dystonia.
Dystonia Orormandibula adalah focal dystonia berulang atau spasme yang terjadi pada
otot pengunyahan, fasial atu lingual. Spasme menghasilkan nyeri pembukaan rahang,
penutupan rahang, pemunduran rahang dan kombinasi aksi tersebut.110-112

Dstonia oromandibula mempengaruhi sekitar 6.9/100.000 orang di Amerika


Serikat113 Beberapa penelitian menyarankan bahwa dystonia oromandibula menyerang
permpuan dan laki-laki dengan kisaran usia rata-rata antara 31 dan 58 tahun 114-116.
Meskipun bukti mengindikasikan bahwa predisposisi genetic merupakan faktor dari
beberapa pasien dystonia111,117 pada kebanyakan kasus penyebab tidak diketahui. Dystonia
oromandibula kemungkinan disebabkan oleh mekanisme otak tengah/batang otak yang
menyebabkan otot-otot yang terlibat berkontraksi. Pasien biasanya melaporkan episode
pertama dystonia oromandibula. Dalam penelitian oleh Tan dan Jankovic 114 mayoritas
kasus, penyebabnya idiopatik, berjumlah 63% kasus yang dilaporkan. Kasus mungkin
yang lainnya termasuk induksi obat (22,8%), induksi perifer (9,3%), postanoksia (2,5%),
hubungan gangguan neurodegenerative (1,8%) dan hubungan cedera kepala (0,8%).114

Gambar 12-10

Pasien ini mengalami pembukaan rahang dystonia oromandibula. Datang ke klinik


dengan mulut terbuka lebar dan tidak dapat ditutup. Berada pada posisi ini selama 36 jam
lalu.

Karakteristik klinis dystonia oromandibula diklasifikasikan menurut otot tang


terkena. Otot yang terlibat dapat otot pengunyahan, ekspresi wajah atau 118 atau lidah.
Pasien mungkin hadir dengan rahang terbuka, rahang tertutup, tahang miring, rahang
kebelakang atau kombinasi dari banyak dystonia (gbr 12-10). Mandibula tidak terkendali
atau gerakan berulang-ulang.114 Demikian pula, distonik spasme menghasilkan kontraksi
hidung, wajah yang teriris, bibir mengerut, mengisap bibir atau terpukul, mengunyah,
bruksism, dyskinesia lidah, retraksi sudut mulut, dan kontraksi platysma 11,119,120 Gejala
yang berhubungan lainnya termasuk kesulitan mengunyah, dysarthria,
disfagia,disfonia,kesulitan bernafas dan perubahan suara tergantung dari otot yang
terlibat. Pasien sering melaporkan faktor pemicu atau faktor yang memperburuk seperti
stress emosional, depresi, cahaya, menonton televises, mengemudi,membaca, berbicara,
berdoa, fatigue dan menelan110-112,116,121 Pasien sering melaporkan bahwa mereka belajar
“sensory tricks” yang membantu mengurangidystonia seperti tidur, relaksasi,
menyanyi,bersenandung, menggigit bibir, letak lidah,menelan, mengunyah permen karet
dan minum alkohol116,122

12.17.2.1 Pertimbangan Perawatan Distonia Oromandibula

Tidak terdapat pengobatan dystonia oromandibula. Strategi perawatan bervariasi


dan kebanyakan efektif bila difokuskan pada penyebab yang mendasari atau pemicu. 123
Variasi obat biasanya dicoba untuk terapi pertama pada dystonia oromandibula.
Meskipun beberapa obat bermanfaat pada individu, tidak secara luas efektif124 Tidak ada
bukti informasi tentang efisiensi metode yang berbeda pada pilihan farmakologis saat ini
yang diterapkan pada distonia125 Obat yang diresepkan pada tahap awal dan memiliki
efek dalam mengendalikan pergerakan distonik. Kurangnya pengetahuan tentang
patofisiologis distoni yang tepat telah membuat terapi farmakologis menjadi sulit. Terapi
farmakologi sistemik bermanfaat kira-kira sepertiga dari pasien dan terdiri dari obat yang
bervariasi seperti kolinergik, benzodiasepam, obat antiparkinson, antikonvulsan,
baclofen, karbamazepin dan litium126 Selain obat-obatan, gabapentin dilaporkan dapat
mengurangi gejala lebih dari sepertiga dari pasien 127 Meskipun kebanyakan obat oral
memiliki keberhasilan rendah, obat antikolinergik ditemukan sebagai obat yang lebih
efektif untuk perawatan distonia128

Injeksi toksin botuminum merupakan pengobatan untuk kebanyakan focal


dystonia.114,118,129,130. Neurotoksin Botulinum toksin A, saat diinjeksikan kedalam otot,
menyebabkan blockade presinaptik dari pelepasan asetilkolin pada akhir motorik 131 Hasil
akhirnya yakni otot tidak dat berkontraksi lama (paralysis). Proses normal mengambil
waktu 1 hingga 2 minggu hingga efeknya secara klins terlihat. Setelah terjadi,
neuromuscular bereaksi dengan kolateral akson yang mengembalikan kondisi yang ada.
Secara normal, aktivitas motor end plate secara total pulih selama 3 hingga 4bulan.
Dengan kata lain, bukti menganjurkan bahwa efek botulinum toksin A pada otot
sepenuhnya kembali.
Sejumlah penelitian telah dikonfirmasi dengan rata-rata respon 90% hingga 95%
untuk injeksi botulinum toksin pada pasien dystonia orofasial131 Namun, karena efek
botulinum toksin hanya berlangsung 3 hingga 4 bulan, harus diulang pada pasien
dystonia oromandibula. Pada kesempatan ini cenderung masalah muncul karena
neurotoksin botulinum yang imunogenik132 Insiden resisten antibody mediated dari
botulinum toksin A, ditunjukkan dengan uji letal, yang dilaporkan antara 3% dan 10%
dan secara umum sekitar 5%133 Gejala yang jelas dari perkembangan antibody adalah
kurangnya respon terhadap injeksi lebih lanjut.

Penggunaan serotip (F atau B) dapat bermanfaat bagi pengembangan resiten


antibody. Namun demikian, hanya terdapat laporan pasien dengan dystonia oromandibula
yang dirawat dengan botulinum toksin A menjadi imunoresisten. Pada satu kejadian 86
pasien dengan dystonia servikal dan kranial, satu psien dengan dystonia orormandibula
memiliki tes positif terhadap serum antibody botulinum A.

Ketika perawatan pasien focal dystonia oromandibula, pertimbangan pertama


yang diidentifikasi adalah otot sesifik atau otot dengan pengaruh kondisi yang terbentuk.
Pada dystonia penutupan rahang otot yang diperhatikan adalah otot elevator seperti otot
maseter dan temporalis. Hal ini secara normal memudahkan untuk identifikasi dengan
palpasi sederhana. Pterigoid medial juga berpengaruh pada dystonia penutupan rahang
dan lebih sulit diidentifikasi. Pada dystonia pembukaan rahang otot pterigoid lateral
inferior sering bersinggungan. PAsien dengan dystonia otot pterigoid lateral unilateral,
rahang akan berpindah kelateral sisi berlawanan. Identifikasi otot yang tepat dan terlibat
penting untuk memastikan bahwa botulinum toksin Adiinjeksikan ke dalam otot yang
tepat untuk efek maksimum

Setelah otot distonik spesifik telah diidentifikasi, maka dapat diinjeksikan


botulinum toksin. Aturan yang sama untuk menyuntikkan anestesi lokal dibahas dalam
Bab 10 yang sesuai untuk menyuntikkan botulinum toksin. Botulinum toksin diinjeksikan
menggunakan jarum gauge 30 seperti yang digunakan dengan jarum tuberculin. Lokasi
dan kemudahan akses membuat otot maseter dan temporalis mudah diinjeksikan 134 Kira-
kira 25 U botulinum toksin A secara normal tepat untuk tiap otot. Jumlah motor end plate
yang erbesar ditemukan pada tengah otot (setengah antara sisipan dan asal). Oleh karena
itu daerah harus menerima kira-kira 50% unit dari botulinum toksin A pada beberapa
injeksi dan toksin botulinum A yang tersisa harus didistribusikan keseluruh bagian otot.

Kadang-kadang sasaran otot sulit untuk dilokasikan dan dipalpasi (miso otot
pterygoid lateral inferior dan pterigoid medial). Meskipun dokter gigi harus mengetahui
jelas dimana otot terbebut terletak ketika akan diinjeksi sulit untuk mengetahui lokasi
yang tepat pada ujung jarum. Oleh karena itu otot diinjeksi, jarum electromyogram
digunakan. Teknik ini dapat memastikan bahwa botulinum toksin di alirkan ke otot yang
tepat (Gbr 12-11)

Gambar 12-11

A, Teknik untuk injeksi botulinum toksin ke otot pterigoid lateral inferior. Perhatikan
terdapat elektroda pada dagu dan kawat yang melekat pada jarum sehingga aktivitas
elektromiografi dapat dipantau pada ujung jarum. B, Setelah jarum ditempatkan dengan
kedalaman yang tepat, pasien diminta untuk menekan balik resiten yang diberikan
operator. Jika jarum ditempatkan dengan tepat pada otot pterigoid lateral inferior,
electromyogram akan meningkat dalam monitor. Setelah posisi yang tepat dipastikan,
botulinum toksin diinjeksikan.

12.17.2.2 Penggunaan lain Injeksi Botulinum Toksin

Botulinum toksin dapat memberi terapi yang sangat baik pada pasien dystonia
oromandibula. Namun, sebagai dokter harus mengamati lebih luas efek klinisnya, terlihat
jelas bahwa gangguan lain juga memperoleh manfaat dari botulinum toksin. PAda area
TMD, beberapa gangguan nyeri otot kronik menjadi pilihan yang baik untuk injeksi
botulinum toksis. Namun, botulinum toksin tentunya bukan pilihan pertama perawatan
untuk nyeri otot pada kebanyakan nyeri otot pengunyahan. Salah satu yang herus diingat
bahwa toksin botulinum toksin tidak secara permanen mengendurkan otot dank arena itu
tidak dianggap sebagai terapi definitif. Setiap kali dokter dapat menghilangkan etiologi
gangguan nyeri, hal itu harus dilakukan. Ini merupakan cara yang tepat dan efekti untuk
menangani tiap gangguan. Oleh karena itu kondisi myalgia akut seperti protective co-
contraction dan nyeri otot lokal bukan pilihan untuk botulinum toksin. Bahkan nyeri
myofascial harus ditangani pertama dengan teknik yang dibahas pada awal bab ini.
Namun, pada kasus dimana nyeri otot tetap ada bahkan setelah terapi awal dilakukan,
botulinum toksin di pertimbangkan. Penanganan nyeri myofascial kronik dengan injeksi
botulinum toksin telah didukung perkembangannya135-149 beberapa penelitian
bagaimanapun mengungkapkan injeksi botulinum toksin lebih efektif daripada injeksi
plasebo150,151

Dukungan juga erkembang untuk penggunaan botulinum toksin dalam menangani


sakit kepala refraktori152-155 Pada kenyataannya, bukti yang mendukung penggunaan
botulinum toksik untuk migrain 156-158 dan tipe sakit kepala 159
Tidak semua penelitian
adalah positif160 Kadang dipertanyakan apakah relaksasi otot memiliki efek positif
terhadap sakit kepala. Bukti terakhir menunjukkan botulinum toksin memiliki efek
biologik yang sangat besar hanya dengan relaksasi otot. Hal ini menunjukkan bahwa
botulinum toksin dapat mengurangi inflamasi neurogenik161,162 pada jaringan perifer
seperti efek CNS pada ganglion dorsal dan batang otak. Dengan bukti ini, botulinum
toksin memiliki dampak pada gangguan nyeri neuropatik163

Kesimpulan, injeksi botulinum toksin ke otot menunjukkan hasil yang


menjanjikan. Ini bukan merupakan perawatan pertama karena bukan perawatan definitif.
Juga, otulinum toksin relatif lebih mahal dan tidak sesuai sebagai pilihan perawatan
untuk seluruh pasien. Namn, pada gangguan kronis, berulang, kondisi nyeri otot, sakit
kepala refraktori dan nyeri neuropatik, dapat dipertimbangkan.

12.17.2.2.1 Laporan Kasus

Kasus 1

Seorang pedangang 41 tahun datang ke klinik gigi mengeluhkan nyeri maseter dan
temporalis kanan yang telah muncul selama 2 hari dan dmulai tak lama setelah restorasi
amalgam ditumpat. Nyeri meningkat dengan penggunaan rahang dan hilang dengan tidak
menggerakkan mulut.

Pemeriksaan klinis menunjukkan nyeri temporalis kanan (nilai, 1) dan nyeri pada maseter
kanan (nilai, 2). Buka mulut yang nyaman yakni 32 mm edngan maksimum buka mulut
52 mm. Pemeriksaan sendi temporo mandibula(TMJ) menunjukkan tidak ada rsa nyeri
atau sakit. Bunyi pada rahang kanan didapati 24 mm setelah buka mulut. Hal ini
asimptomatik dan pasien memberitahu bahwa ini sudah terjadi selama 15 tahun.
Pemeriksaan oklusal menunjukkan gigi lengkap, dalam keadaan baik. Selain dari tanda
yang mengkilap dari restorasi tidak ada tanda klinis yang didapat.

Diagnosis: Protective co-contraction sekunder pada penempatan restorasi yang tinggi.

Perawatan: Restorasi amalgam telah disesuaikan untuk berkontak rata dan bersamaan
dengan gigi yang tetangga dan sekitarnya. Pasien diintruksikan untuk membatasi
pergerakan dalam rentang nyeri hingga nyeri mereda. Juga diinstruksikan untuk kembali
keklinik 3 hari dan jika nyeri semakin memburuk harus segera menghubungi. Jika pasien
kembali, nyeri harus reda dan tidak ada gejala yang muncul.

Kasus 2

Mahasiswa perempuan usia 19 tahun mengeluhkan ke klinik gigi nyeri ototyang luas di
sisi kiri wajahnya. Nyeri terasa bila mengunyah. Sudah muncul selama sekitar 1 minggu.
Dalam diskusi masalah dia mengungkapkan bahwa nyeri muncul beberapa waktu lain,2,6
dan 8 bulan lalu. Dia tidak melaporkan setiap perubahan pada oklusinya tetapi merasa
bahwa nyeri membatasi pembukaan mandibula. Pertanyaan lebih lanjut mengungkapkan
bahwa masing-masing dari tiga keadaan nyeri seperti keadaan ini disertai pemeriksaan
kuliahnya.

Pemeriksaan klinis menunjukkan nyeri pada otot maseter kiri dan kanan (nilai,1 ) dan
otot temporalis kiri (nilai, 1) . Manipulasi fungsi dari pterigoid lateral inferior kiri
menimbulkan ketidaknyamanan yang signifikan (nilai, 3). Pembukaan interinsisal yang
nyaman yakni 22 mm. Dia bisa membuka maksimal menjadi 33 mm, tapi hal ini
menyakitkan. Pembukaan pasif oleh dokter dengan mencapai 45 mm (lembut).
Pemeriksaan TMJ negative dengan nyeri atau bunyi. Tidak ada penemuan yang
signifikan yang ada selama pemeriksaan klinis.

Diagnosis: Nyeri otot lokal sekunder meningkatkan stress emosional berhubungan


pemeriksaan kampus.

Perawatan. Pasien harus lebih memperhatikan selama stress emosional, aktivitas


parafungsional dan gejala yang muncul. Dia diintruksikan untuk membatasi pergerakan
rahang hingga batas nyeri dan mungkin untuk mengontrol aktivitas parafungsional.
Intruksi dilakukan dengan teknik PSR untuk dilakukan selama sehari-hari. Alat stabilisasi
dibuat dan dianjurkan untukdipakai pada malam hari saat tidur. Pasien kembali dalam 1
minggu untuk evaluasi ulang dan nyeri yang menurun secara signifikan. Teknik PSR
diperkuat dan alat disesuaikan untuk memberikan kontak oklusal dalam hubungan
ortopedi yang stabil. Ketika dia kembali dalam 3 minggu, gejala tidak muncul lagi.
Masalah ini tidak diindikasikan untuk tiap terapi gigi.
Kasus 3

Seorang guru usia 38 tahun dating ke klinik gigi mengelukan pembukaan mandibula yang
terbatas dan nyeri fasial kiri. Kondisi ini telah muncul selama 10 hari. Riwayat
mengungkapkan bahwa gejala telah mulai setelah kunjungan gigi dimana dia menerima
injeksi anestesi lokal. Enam jam setelah bagian yang diinjeksi menjadi nyeri, terbatasnya
kemampuan membuka mulut yang nyaman. Pasien tidak dirawat saat itu dan sejak itu
perlahan-lahan membururk. Rasa nyeri terbesar pada pagi hari.

Pemeriksaan klinis menunjukkan nyeri pada ptrygoid medial kiri (nilai, 2) Temporalis
kiri dan kanan dipalpasi lembut (nilai, 1). Buka mulut yang nyaman kira-kira 26 mm.
Pemeriksaan TMJ negative untuk nyeri dan disfungsi. Tidak ada tanda klinis yang
ditemukan pada bagian yang di injeksi anestesi lokal. Radiografi panoramic biasa saja.
Tidak ada penemuan klinis yang signifikan.

Diagnosis Nyeri otot lokal sekunder menuju protacted co-contractiom yang berhubungan
dengan trauma setelah injeksi

Perawatan Karena tidak ada bukti inflamasi didaerah injeksi, tidak ada perawatan yang
diindikasikan pada derah ini.Ternyata trauma setelah injeksi telah sembuh, dan nyeri otot
lokal menjadi tetap (nyeri otot siklik). Nyeri otot lokal dirawat dengan alat stabilisasi
selama tidur untuk bruksism disertai dengan instruksi membatasi penggunaan mandibula.
Penggunaan ibuprofen diatur (600 mg tiga kali sehari). Pijatan dan terapi suhu juga
dimulai. Setelah 1 minggu pasien kembali dan melaporkan 60% gejala reda. Terapi yang
sama dilanjutkan dan 1 minggu kemudian gejala tidak muncul sama sekali.

Kasus 4

Seorang perempuan iburumah tangga usia 36 tahun dating ke klinik gigi dengan riwayat
3 minggu nyeri pada otot sebelah kanan wajahnya. Nyeri relatif konstan. Pasien
melaporkan bahwa telah mengalami kejadian berulang nyeri yang sana, tetapi tidak
seburuk ini atau berlangsung lama. Riwayat mengungkapkan tidak ada trauma, tetapi
gejala biasanya berhubungan dengan stress merawat kedua anak yang masih kecil. Nyeri
yang terbesar saat bangun.

Pemeriksaan klinis menunjukkan palpasi yang lembut pada otot temporalis dan
sternocleidomastoideus kanan (nilai, 1) dan nyeri yang parah pada otot maseter (nilai, 3).
Pembukaan mandibula maksimum yang nyaman hanya 18 mm dengan nyeri yang
signifikan ketika mencoba membuka lebih besar. Pemeriksaan TMJ gagal
memperlihatkan rasa nyeri atau disfungsi. Selama pemeriksaan oklusal dicatat bahwa gigi
molar pertama mandibula telah dicabut dan gigi molar kedua miring kedaerah yang
kosong karena pergeseran lateral mandibula dari posisi stabil muskuloskeletal (CR)
terhadap kondilus ke posisi maksimum intercusp (ICP). Pemeriksaan klinis tidak
menunjukkan penemuan yang signifikan.

Diagnosis. Centrally mediated myalgia kronik sekunder ke nyeri otot lokal. Aktivitas
parafungsional merupakan faktor yang mungkin berhubungan dengan stress emosional.

Perawatan. Pasien disadarkan hubunganstres emosional, aktivitas parafungsi dan


gejalanya. Pasien juga diberitahu bahwa kondisi oklusalnya tidak normal dan
berhubungan dengan keluhannya. Instruksi teknik PSR di anjurkan. Sebuah alat
stabilisasidi letakkan dibuat untuk penggunaan malam hari dan diberi instruksi untuk
menjaga agar gigi terpisah pada siang hari. Terapi stres emosional diatur oleh seorang
psikolog. Pasien dirujuk untuk terapi fisik dengan perawatan ultrasound tiga kali
seminggu. Setelah 2 minggu gejala 50% berkurang. Pada minggu ketiga latihan pasif di
atur untuk mendapat kembali kenyamanan maksimum pembukaan mandibula. Pada
minggu keenam hampir semua gejal telah sembuh, dan latihan peregangan ditambahkan
untuk memperoleh kemabali gerakan normal. Setelah 10 minggu pasien bebas dari gejala.
Peregangan pasif dilanjutkan hingga batas norma buka mulut diperoleh.

Setelah seluruh gejala hilang, pentingnya kondisi oklusal dibahas dengan pasien. Pasien
disarankan mengganti gigi molar yang hilang sehingga lengkung dapat stabil dan kondisi
oklusal membaik. Dokter menunjukkan bahwa dengan selesainya perawatan tidak
menjamin bahwa gejala tidak akan kembali, tetapi ni stress dengan peningkatan stabilitas
diharapkan akan mengurangi kemungkinan hal tersebut. Pasien diingatkan mengenai
faktor stress emosional dan bagaimana menangani stress yang dapat mengembalikan
gejala. Keuntungan lain tentang gigi pengganti dibahas dan pasien dianjurkan menerima
perawatan.Gigi molar kedua kiri dan kanan dilakukan ortodontk dan posterior implant
dengan mahkota mengganti gigi molar pertam yang hilang. Kondisi oklusal diperbaiki
untuk berkontak simultan dengan protesa tetap ketika kondilus berapa pada posisi stabil
muskuloskeletal (CR). Kontak laterotrusif yang adekuat pada gigi anterior tidak
berkontak dengan gigi posterior selama gerakan eksentrik. Tahun 1 dan 2 kunjungan
berikut gejala tidak muncul lagi.

Kasus 5

Seorang sekretaris perempuan usia 27 tahun mengeluhkan ke klinik gigi kekauan otot
rahang dan sakit kepala konstan. Sakit kepala berasal dari area pelipis bilateral. Sakit
kepala muncul selama 4 bulan dan menjadi buruk saat sore hari setelah mengetik
sepanjang hari. Kekauan otot rahang meningkat saat mengunyah namun tidak
memperburuk sakit kepala. Namun gerak leher dan kaku bahu tidak terlihat
meningkatkan nyeri kepala.

Pemeriksaan klinis menunjukkan pembukaan mandibula 24 mm dengan maksimum 39


mm. Kisaran normal gerakan eksentrik juga muncul. Tidak ada nyeri atau suara yang
didapat. Nyeri maseter bilateral lunak (nilai 1). Meskipun sakit kepala dirasakan pada
daerah temporal, otot temporalis tidak lunak untuk dipalpasi. Palpasi leher posterior dan
otot trapezius menunjukkan beberapa titik pemicu. Tekanan di lakukan pada trapezius
menekan sakit kepala pada area temporal. Pemeriksaan klinis menunjukkan tidak ada
temuan yang signifikan.

Diagnosis. Nyeri myofascial servikal posterior dan otot trapezius engan yeri alih (tipe
sakit kepala) pada region temporal dengan co-contraction sekunder dan nyeri otot lokal
pada otot maseter.

Perawatan. Penjelasan diberikan pada pasien mengenai nyeri myofascial dan penyebab
umumnya. Pasien diberitahu mengenai hubungan nyeri myofascial dan stress emosional.
Efek yang mungkin dari posisi mengetik juga dibahas dan saran diberikan untuk
meningkatkan ergonomic selama mengetik. Intruksi teknik PSR dianjurkan. Titik pemicu
pada otot trapezius dan otot leher posterior di spary dan diregangkan. Pasien pulang
rumah dengan rekomendasi untuk peregangan pasif dan panas pada otot leher dan bahu.
Pasien kembali 1 minggu kmudian dan melaporkan penurunan yang signifikan sakit
kepalanya. Pembukaan mandibula yang nyaman sekarang 35 mm dengan rata-rata
maksimum 44 mm. Meskipun kebanyakan titik pemicu telah diselesaikan. Titik pemicu
di injeksikan dengan 1 ml lidokain 2% (tidak ada vasokonstriktor) dan otot diregangkan.
Injeksi langsung menghilangkan keluhan sakit kepala. Pasien kembali ke klinik gigi
setelah 1 minggu dan melaporkan tidak ada sakit kepala lagi. Pasien dianjurkan untuk
melanjutkan untuk memantau ergonomic mengetiknya dan melanjutkan teknik PSR.

Kasus 6

Seorang lelaki usia 27 tahun mengeluhkan di klinik gigi bahwa ia “tidak bias menggigit
dengan giginya bersama-sama”. Pasien melaporkan bahwa dia tidak dapat membuka
mulut lebar dan rahangnya tampak kekiri. Kondisi ini telah muncul sejak ia bangun pagi
2 jam sebelumnya. Pasien melaporkan hanya sakit ringan ketika rahang beristirahat tetapi
ketika mencoba untuk memakai gigi bersama-sama nyeri meningkat pda bagian kanan.
Tidak ada riwayat trauma terjadi.

Pemeriksaan menunjukkan maloklusi akut yang signifikan dengan posisi mandibula ke


kiri kira-kira 10 mm. 2- 3 mm open bite posterior pada sisi kanan dengan kontak berat
selama menutup gigi kaninus kiri. Kenyamanan membuka mulut pasien hanya 30mm dan
defleksi didapat pada bagian kiri. Manipulasi fungsi mengungkapkan bahwa sisi kanan
nyeri terhadap resisten. Tidak ada bunyi atau nyeri sendi yang signifikan. Radiografi
panoramic biasa saja. Tidak ada temuan klinis yang signifikan

Diagnosis. Myospasme akut pada otot pterigoid lateral inferior kanan.

Perawatan. Es diaplikasikan pada sisi kanan wajah pada area otot pterigoid lateral, diikuti
dengan manipulasi lembut pada mandibula ke oklusi yang tepat(peregangan lembut pada
otot pterigoid lateral inferior kanan). Hal ini terlihat meningkatkan kondisi ini. Otot
pterigoid lateral kanan di injeksikan 1 ml lidokain 2% ( tidak ada epinefrin). Dalam
waktu 5 menit kondisi teratasi dan oklusi normal dibentuk kembali. Pasien diintruksikan
untuk mengurangi fungsi rahang selama 2 – 3 hari dan manganjurkan makanan lunak.
Pasien diminta untuk menghubungi segera jika kondisi kembali. Pasien terlihat
melakukan perawatan gig rutin dua bulan kemudian dan melaporkan hilangnya gejala.

Kasus 7

Seorang wanita usia 45 tahun melaporkan ke klinik gigi keluhan sakit kepala. Nyeri ini
dirasakan pada seluruh kepala dan muncul kurang lebih dari 2 bulan. Pasien mampu
bekerja, tetapi nyeri mengurangi efektivitasnya. Nyeri bilateral dan menuju ke leher.

Pertanyaan lebih lanjut pada pasien menunjukkan keluhan pada bahu, punggung dan
lengan. Pasien melaporkan kualitas tidur yang kurang dan energy yang rendah. Masalah
nyeri menurunkan kualitas hidupnya dan menjadi depresi. Tidak ada riwayat trauma atau
gangguan pada gigi.

Pemeriksaan klinis menunjukkan otot lunak pada leher dan kepala. Palpasi pada area
lunak tidak memperburuk atau menambah sakit kepala. Rata-rata gerakan mandibula
hanya sebatas 38 mm dan tidak ada nyeri atau bunyi sendi. Kondisi oklusalnya stabil
pada posisi stabil muskuloskeletal manidbula. Radiografi panoramic biasa saja.

Diagnosis. Diagnosis sementara fibromyalgia dengan gejala pengunyahan sekunder.

Perawatan. Diagnosis sementara dijelaskan pada pasien. Pasien dirujuk ke reumatologis


yang menunjukkan diagnosis fibromyalgia. Tidak ada perawatan pengunyahan
diindikasikan sekarang. Pasien ditangani dibawah perawatan reumatologis dengan
NSAID, amitriptilin (25 mg malam hari) dan terapi fisik. Pasien dianjurkan untuk
meningkatkan latihan dengan perlahan dan menasihatkan perawatan psikologi untuk
kondisi nyeri kronik. Karena riwayatnya meningkatkan nyeri pengunyahan pada pagi hari
dengan bruksism, alat stabilisasi dibuat untuk penggunaan malah hari. Dalam 4 minggu
pasien melaporkan penurunan 50% gejala. Lebih dari 6 bulan pasien melanjutkan
perawatan yang sama dan melaporkan pengurangan gejala. Pasien berhubungan dengan
periode remisi dan eksaserbasi. Perawatan lanjut pasien di pantau oleh reumatologis.

Kasus 8

Seorang wanita usia 37 tahun melaporkan ke klinik dengan keluhan pembukaan rahang
yang spontan. Kejadian ini mulai 4 tahun lalu dan menjadi lebih sering selama 6 bulan
lalu. Selama kejadian ini pasien melaporkan “pembukaan terkunci” selama beberapa jam.
Pasien secara rutin kerumah sakit gawat darurat untuk dibius dan mulutnya dipaksa
tertutup. Pasien dsudah pernah kebebrapa dokter gigi untuk masalah ini dan menjalani
pembedahan TMJ (eminektomi) 2 tahun lalu. Pembedahan ini hanya membantu selama 2
bulan, dan kemudian masalah kembali. Saat ini kejadian berulang tiap 2 hingga 3 minggu
dan berhubungan dengan nyeri yang signifikan. Antara kejadian kadang berfungsi normal
tanpa nyeri. Baru-baru ini dokter gigi merawatnya dengan valium dan memberi kawat
giginya selama 2 – 3 minggu selama kejadian. Pasien dirujuk kedokter gigi untuk
dievaluasi.

Kunjungan awal pasien terjadi antara kejadian keluhan terkunci rahang. Oleh karena itu
pemeriksaan menunjukkan tidak ada temuan yang tidak biasa. Pemeriksaan nervus
kranial dalam batas normal seperti pemeriksaan servikal. Palpasi pada otot kepala dan
leher gagal menunjukkan nyeri. Kisaran normal pergerakan rahang ada, meskipun pasien
tidak mau membuka mulut penuh karena kejadian pembukaan rahang gagal yang lalu.
Hubungan olusal ditemukan pada posisi stabil muskuloskeletal. Radiografi panoramic
biasa saja dengan pengecualian eminensia artikularis yang terlihat sekunder untuk operasi
sebelumnya. Braket ortodontik dilakukan pada gigi posterior untuk digunakan sebagai
kawat menutup mulut selama kejadian.

Diagnosis. Dystonia orormandibula pembukaan rahang (dengan riwayat)

Perawatan. Pasien diberitahu tentang diagnosis dan penjelasan tentang etiologi dan
pilihan yang tersedia. Pasien diberi gabapentin sebagai percobaan dalam upaya untuk
mencegah kejadian lebih lanjut. Pasien dintruksikan untuk kembali ke klinik jika kejadian
kembali. Pasien tidak mengalami kejadian selama 1 bulan dan kemudian melaporkan ke
klinik jika kesulitan dan rasa nyeri mulut saat terkunci. Pasien segera diberi injeksi pada
otot pterigoid lateral kiri dan kanan dengan lidokain 2 % ( tidak ada vasokonstriktor).
Dalam waktu 5 menit nyeri berkurang 75 %. Pada waktu itu mulut bias dipaksa menutup
dan gigi yang di kawat bersama menggunakan braket ortodontik. Pasien dihentikan resep
obat cyclobenzaprine dan obat nyeri. Satu minggu kemudian pasien kembali dan
melaporkan bahwa “tarikan” hampir teratasi dan kemudian relatif nyaman. Selama
kunjungan 40 U botulinum toksin A diinjeksikan pada tiap otot pterigoid lateral kiri dan
kanan menggunakan jarum elektromiogram. Pasien diberhentikan memakai kawat. Psien
kembali dalam 1 minggu dan kawat lengkung dilepas. Pasien diminta untuk kembali 3
bulan untuk dievaluasi atau jika sensasi terkunci muncul lagi. Selama 3 bulan pasien
kembali dan melaporkan kejadian terkunci. Pasien senang karena kejadian yang tak
muncul selama lebih dari setahun. Pasien tidak lagi mencatat bahwa selama seminggu
yang lalu merasa “kejang atau tertarik” pada area otot pterigoid lateral. Injeksi botulinum
toksin A diulang pada waktu itu. Pasien dihentikan dan dijadwal ulang untuk evaluasi
kembali dalam 4 bulan. Pasien diminta untuk melaporkan segera ke klinik jika gejala
kembali. Setiap saat kembali ke klinik tiap 4 hingga 5 bulan untuk mengulangi injeksi
botulinum toksin A.


Referensi

Bell WE: Temporomandibula disorders: classification, diagnosis, management,
ed 3, Chicago, 1990, Year Book Medical, pp 60-61.

Smith AM: The coactivation of antagonist muscles, Can J Physiol Pharmacol
59:733, 1981.

Lund JP, Olsson KA: The importance of reflexes and their control during jaw
movements, Trends Neurosci 6:458-463, 1983.

Finger M, Stohler CS, Ash MM Jr: The effect of acrylic bite plane splints and
their vertical dimension on jaw muscle silent period in healthy young adults, J
Oral Rehabil 12:381-388, 1985.

Ashton-Miller JA, McGlashen KM, Herzenberg JE, Stohler CS: Cervical muscle
myoelectric response to acute experimental sternocleidomastoid pain, Spine
15:1006-1012,1990.

Stohler CS: Clinical perspectives on masticatory and related muscle disorders. In
Sessle BJ, Bryant PS, Dionne RA, editors: Temporomandibula disorders and
related pain conditions, Seattle, 1995, IASP Press, pp 3-29.

Lund JP, Donga R, Widmer CG, Stohler CS: The pain-adaptation model: a
discussion of the relationship between chronic musculoskeletal pain and motor
activity, Can J Physiol Pharmacol 69:683-694, 1991.

Tzakis MG, Dahlstrom L, Haraldson T: Evaluation of masticatory function before
and after treatment in patients with craniomandibula disorders, J Craniomandib
Disord 6:267-272, 1992.

Bell WE: Temporomandibula disorders: classification, diagnosis, management,
ed 3, Chicago, 1990, Year Book Medical, p 280.

Rosen JC: Self-monitoring in the treatment of diurnal bruxism, J Behav Ther Exp
Psychiatry 12:347-350, 1981.

Bornstein PH, Hamilton SB, Bornstein MT: Self-monitoring procedures. In
Ciminero AR, Calhoun KS, Adams HE, editors: Handbook of behavioral
assessment, ed 2, New York, 1986, Wiley, pp 176-222.

Turk DC, Zaki HS, Rudy TE: Effects of intraoral appliance and
biofeedback/stress management alone and in combination in treating pain and
depression in patients with temporomandibula disorders, J Prosthet Dent 70:158-
164, 1993

Pierce CJ, Gale EN: A comparison of different treatments for nocturnal bruxism,
J Dent Res 67:597-601, 1988.

Solberg WK, Clark GT, Rugh JD: Nocturnal electromyographic evaluation of
bruxism patients undergoing short term splint therapy, J Oral Rehabil 2:215-223,
1975.

Clark GT, Beemsterboer PL, Solberg WK, Rugh JD: Nocturnal
electromyographic evaluation of myofascial pain dysfunction in patients
undergoing occlusal splint therapy, J Am Dent Assoc 99:607-611, 1979.ra>

Yap AU: Effects of stabilization appliances on nocturnal parafunctional activities
in patients with and without signs of temporomandibula disorders, J Oral Rehabil
25:64-68, 1998.

Kurita H, Kurashina K, Kotani A: Clinical effect of full coverage occlusal splint
therapy for specific temporomandibula disorder conditions and symptoms, J
Prosthet Dent 78:506-510, 1997.

Kreiner M, Betancor E, Clark G: Occlusal stabilization appliances: evidence of
their efficacy, J Am Dent Assoc 132:700-717, 2001.

Ekberg E, Nilner M: Treatment outcome of appliance therapy in
temporomandibula disorder patients with myofascial pain after 6 and 12 months,
Acta Odontol Scand 62:343-349, 2004.

Wilkinson T, Hansson TL, McNeill C, Marcel T: A comparison of the success of
24- hour occlusal splint therapy versus nocturnal occlusal splint therapy in
reducing craniomandibula disorders, J Craniomandib Disord 6:64-73, 1992.

Kuttila M, Le Bell Y, Savolainen-Niemi E, Kuttila S, Alanen P: Efficiency of
occlusal appliance therapy in secondary otalgia and temporomandibula disorders,
Acta Odontol Scand 60:248-254, 2002.

Ekberg E, Nilner M: A 6- and 12-month follow-up of appliance therapy in TMD
patients: a follow-up of a controlled trial, Int J Prosthodont 15:564-570, 2002.

Ekberg E, Vallon D, Nilner M: The efficacy of appliance therapy in patients with
temporomandibula disorders of mainly myogenous origin. A randomized,
controlled, short-term trial, J Orofac Pain 17:133-139, 2003.

Forssell H, Kalso E, Koskela P, Vehmanen R, Puukka P et al: Occlusal treatments
in temporomandibula disorders: a qualitative systematic review of randomized
controlled trials, Pain 83:549-560, 1999

Al-Ani MZ, Davies SJ, Gray RJ, Sloan P, Glenny AM: Stabilization splint
therapy for temporomandibula pain dysfunction syndrome, Cochrane Database
Syst Rev CD002778, 2004.

Wassell RW, Adams N, Kelly PJ: Treatment of temporomandibula disorders by
stabilising splints in general dental practice: results after initial treatment, Br Dent
J 197:35-41; discussion 31; quiz 50-51, 2004.

VanHelder WP: Medical treatment of muscle soreness [editorial; comment], Can
J Sport Sci 17:74-79, 1992.

Kakulas BA, Adams RD: Diseases of muscle, Philadelphia, 1985, Harper & Row,
pp 725-727.

Simons DG, Travell JG, Simons LS: Travell& Simons' myofascial pain and
dysfunction: the trigger point manual, ed 2, Baltimore, 1999, Lippincott Williams
& Wilkins, pp 19-30.

Simons DG, Travell JG, Simons LS: Travell& Simons' myofascial pain and
dysfunction: the trigger point manual, ed 2, Baltimore, 1999, Lippincott
Williams& Wilkins, pp 178-186.

Sarlani E, Grace EG, Reynolds MA, Greenspan JD: Evidence for up-regulated
central nociceptive processing in patients with masticatory myofascial pain, J
Orofac Pain 18:41-55, 2004.

Simons DG, Travell JG, Simons LS: Travell& Simons' myofascial pain and
dysfunction: the trigger point manual, ed 2, Baltimore, 1999, Lippincott Williams
&Wilkins, pp 220-222.

Simons DG, Travell JG, Simons LS: Travell& Simons' myofascial pain and
dysfunction: the trigger point manual, ed 2, Baltimore, 1999, Lippincott Williams
&Wilkins, pp 226-227.

Moldofsky H, Scarisbrick P: Induction of neurasthenic musculoskeletal pain
syndrome by selective sleep stage deprivation, Psychosom Med 38:35-44, 1976.

Simons DG, Travell JG, Simons LS: Travell& Simons’ myofascial pain and
dysfunction: the trigger point manual, ed 2, Baltimore, 1999, Lippincott Williams
&Wilkins, pp 186-220.

Simons DG, Travell JG, Simons LS: Travell& Simons' myofascial pain and
dysfunction: the trigger point manual, ed 2, Baltimore, 1999, Lippincott Williams
&Wilkins, pp 223-226.

Simons DG, Travell JG, Simons LS: Travell& Simons' myofascial pain and
dysfunction: the trigger point manual, ed 2, Baltimore, 1999, Lippincott Williams
&Wilkins, pp 127-142.

Jaeger B, Reeves JL: Quantification of changes in myofascial trigger point
sensitivity with the pressure algometer following passive stretch, Pain 27:203-
210, 1986.

Simons DG, Travell JG, Simons LS: Travell& Simons' myofascial pain and
dysfunction: the trigger point manual, ed 2, Baltimore, 1999, Lippincott Williams
&Wilkins, pp 138-142.

Zohn DA, Mennell JM: Musculoskeletal pain: diagnosis and physical treatment,
Boston, 1976, Little, Brown, pp 126-137.

Bonica JJ: Management of myofascial pain syndromes in general practice, JAMA
164:732-738, 1957.

Kamyszek G, Ketcham R, Garcia R Jr, Radke J: Electromyographic evidence of
reduced muscle activity when ULF-TENS is applied to the 5th and 7th cranial
nerves, Cranio 19:162-168, 2001.

Simons DG, Travell JG, Simons LS: Travell& Simons' myofascial pain and
dysfunction: the trigger point manual, ed 2, Baltimore, 1999, Lippincott Williams
&Wilkins, pp 150-173.

Pippa P, Allegra A, Cirillo L, Doni L, Rivituso C: Fibromyalgia and trigger
points, Minerva Anestesio l60:281-283, 1994.

Carlson CR, Okeson JP, Falace DA, Nitz AJ, Lindroth JE: Reduction of pain and
EMG activity in the masseter region by trapezius trigger point injection, Pain
55:397-400, 1993.

Hong CZ: Lidocaine injection versus dry needling to myofascial trigger point.
The importance of the lokal twitch response, Am J Phys Med Rehabil 73:256-263,
1994.

Scicchitano J, Rounsefell B, Pilowsky I: Baseline correlates of the response to the
treatment of chronic lokalized myofascial pain syndrome by injection of lokal
anaesthetic, J Psychosom Res 40:75-85, 1996.

Fine PG, Milano R, Hare BD: The effects of myofascial trigger point injections
are naloxone reversible, Pain 32:15-20, 1988.

Guttu RL, Page DG, Laskin DM: Delayed healing of muscle after injection of
bupivacaine and steroid, Ann Dent 49:5-8, 1990.

McCain GA: Role of physical fitness training in fibrosis/fibromyalgia syndromes,
Am J Med81(suppl 3A): 73-77, 1986.

Zeno E, Griffin J, Boyd C, Oladehin A, Kasser R: The effects of a home exercise
program on pain and perceived dysfunction in a woman with TMD: a case study,
Cranio 19:279-288, 2001.

Okeson JP: Bell's orofacial pains, ed 6, Chicago, 2005, Quintessence, pp 45-62.

Bowsher D: Neurogenic pain syndromes and their management, Br Med Bull
47:644-666, 1991.

La Motte RH, Shain CN, Simone DA, Tsai EF: Neurogenic
hyperalgesia:psychophysical studies of underlying mechanisms, J Neurophysiol
66:190-211, 1991.

Sessle BJ: The neural basis of temporomandibula joint and masticatory muscle
pain, J Orofac Pain 13:238-245, 1999.

Simone DA, Sorkin LS, Oh U, Chung JM, Owens C et al: Neurogenic
hyperalgesia: central neural correlates in responses of spinothalamic tract neurons,
J Neurophysiol 66:228-246, 1991.

Wong JK, Haas DA, Hu JW: Lokal anesthesia does not block mustard-oil-induced
temporomandibula inflammation, Anesth Analg 92:1035-1040, 2001.

McCain GA, Scudds RA: The concept of primary fibromyalgia (fibrositis):clinical
value, relation and significance to other chronic musculoskeletal pain syndromes,
Pain 33:273-287, 1988.

Wolfe F, Smythe HA, Yunus MB, Bennett RM, Bombardier C et al: The
American College of Rheumatology 1990 Criteria for the Classification of
Fibromyalgia. Report of the Multicenter Criteria Committee [seecomments],
Arthritis Rheum 33:160-172, 1990.

Korszun A, Young EA, Singer K, Carlson NE, Brown MB et al: Basal circadian
cortisol secretion in women with temporomandibula disorders, J Dent Res
81:279-283, 2002.

McLean SA, Williams DA, Harris RE, Kop WJ, Groner KH et al: Momentary
relationship between cortisol secretion and symptoms in patients with
fibromyalgia, Arthritis Rheum 52:3660-3669, 2005.

Crofford LJ, Demitrack MA: Evidence that abnormalities of central
neurohormonal systems are key to understanding fibromyalgia and chronic
fatigue syndrome, Rheum Dis Clin North Am 22:267-284, 1996.

Crofford LJ, Pillemer SR, Kalogeras KT, Cash JM, Michelson D et al:
Hypothalamicpituitary- adrenal axis perturbations in patients with fibromyalgia,
Arthritis Rheum 37: 1583-1592, 1994.

McBeth J, Chiu YH, Silman AJ, Ray D, Morriss R et al: Hypothalamic-pituitary-
adrenal stress axis function and the relationship with chronic widespread pain and
its antecedents, Arthritis Res Ther 7:R992-R1000, 2005.

Cimino R, Michelotti A, Stradi R, Farinaro C: Comparison of clinical and
psychologic features of fibromyalgia and masticatory myofascial pain, J Orofac
Pain 12:35-41, 1998.

Dao TT, Reynolds WJ, Tenenbaum HC: Comorbidity between myofascial pain of
the masticatory muscles and fibromyalgia, J Orofac Pain 11:232-241, 1997.

Goldenberg DL: Fibromyalgia, chronic fatigue syndrome, and myofascial pain
syndrome, Curr Opin Rheumatol l5:199-208, 1993.

Hedenberg Magnusson B, Ernberg M, Kopp S: Symptoms and signs of
temporomandibula disorders in patients with fibromyalgia and lokal myalgia of
the temporomandibula system. A comparative study, Acta Odontol Scand 55:344-
349, 1997.

Hedenberg-Magnusson B, Ernberg M, Kopp S: Presence of orofacial pain and
temporomandibula disorder in fibromyalgia. A study by questionnaire, Swed Dent
J 23:185-192, 1999.

Hedenberg-Magnusson B, Ernberg M, Kopp S: Symptoms and signs of
temporomandibula disorders in patients with fibromyalgia and lokal myalgia of
the temporomandibula system. A comparative study, Acta Odontol Scand 55:344-
349, 1997.

Plesh O, Wolfe F, Lane N: The relationship between fibromyalgia and
temporomandibula disorders: prevalence and symptom severity, J Rheumatol
23:1948-1952, 1996.

Yunus MB, Kalyan-Raman UP, Kalyan-Raman K: Primary fibromyalgia
syndrome and myofascial pain syndrome: clinical features and muscle pathology,
Arch Phys Med Rehabil 69:451-454, 1989.

Rhodus NL, Fricton J, Carlson P, Messner R: Oral symptoms associated with
fibromyalgia syndrome, J Rheumatol 30:1841-1845, 2003.

Manfredini D, Tognini F, Montagnani G, Bazzichi L, Bombardieri S et al:
Comparison of masticatory dysfunction in temporomandibula disorders and
fibromyalgia, Minerva Stomatol 53:641-650, 2004.

Bennett R, Campbell S, Burckhardt C, Clark S, O'Reilly C et al: A
multidisciplinary approach to fibromyalgia management, J Musculoskel Med
8:21-32, 1991

Carette S, McCain GA, Bell DA, Fam AG: Evaluation of amitriptyline in primary
fibrositis. A double-blind, placebo-controlled study, Arthritis Rheum 29:655-659,
1986.

Goldenberg DL, Felson DT, Dinerman H: A randomized, controlled trial of
amitriptyline and naproxen in the treatment of patients with fibromyalgia,
Arthritis Rheum 29:1371-1377, 1986.

Crofford LJ: Meta-analysis of antidepressants in fibromyalgia, Curr Rheumatol
Rep 3:115-122, 2001.

Goldenberg DL: A review of the role of tricyclic medications in the treatment of
fibromyalgia syndrome, J Rheumatol Suppl 19:137-139, 1989.

Reynolds WJ, Moldofsky H, Saskin P, Lue FA: The effects of cyclobenzaprine on
sleep physiology and symptoms in patients with fibromyalgia, J Rheumatol
18:452-454, 1991.

Hamaty D, Valentine JL, Howard R, Howard CW, Wakefield V et al: The plasma
endorphin, prostaglandin and catecholamine profile of patients with fibrositis
treated with cyclobenzaprine and placebo: a 5-month study, J Rheumatol Suppl
19:164-68, 1989.

Tofferi JK, Jackson JL, O'Malley PG: Treatment of fibromyalgia with
cyclobenzaprine: a meta-analysis, Arthritis Rheum 51:9-13, 2004.

Granges G, Littlejohn GO: A comparative study of clinical signs in fibromyalgia/
fibrositis syndrome, healthy and exercising subjects, J Rheumatol 20:344-351,
1993.

Ramfjord SP: Dysfunctional temporomandibula joint and muscle pain, J Prosthet
Dent 11:353-362, 1961.

Ramfjord S: Bruxism: a clinical and electromyographic study, J Am Dent Assoc
62:21-28, 1961.

Randow K, Carlsson K, Edlund J, Oberg T: The effect of an occlusal interference
on the masticatory system. An experimental investigation, Odontol Rev 27:245-
256, 1976.

Arnold M: Bruxism and the occlusion, Dent Clin North Am 25:395-407, 1981.

Ramfjord SP, Ash MM: Occlusion, ed 3, Philadelphia, 1983, Saunders, p 342.

Graf H: Bruxism, Dent Clin North Am 13:659-665, 1969.

Shore NA: Occlusal equilibration and temporomandibula joint dysfunction,
Philadelphia, 1959, Lippincott, p 500.

Posselt U: The temporomandibula joint syndrome and occlusion, J Prosthet Dent
25:432-438, 1971.

Rugh JD, Barghi N, Drago CJ: Experimental occlusal discrepancies and nocturnal
bruxism, J Prosthet Dent 51:548-553, 1984.

Bailey JO, Rugh JD: Effects of occlusal adjustment on bruxism as monitored by
nocturnal EMG recordings, J Dent Res 59(special issue):317, 1980.

Rugh JD, Solberg WK: Electromyographic studies of bruxist behavior before and
during treatment, J Calif Dent Assoc 3:56-59, 1975.

Solberg WK, Flint RT, Brantner JP: Temporomandibula joint pain and
dysfunction: a clinical study of emotional and occlusal components, J Prosthet
Dent 28:412-422, 1972.

Franks AST: Conservative treatment of temporomandibula joint dysfunction: a
comparative study, Dent Pract Dent Rec 15:205-210, 1965.

Okeson JP, Moody PM, Kemper JT, Haley JV: Evaluation of occlusal splint
therapy and relaxation procedures in patients with temporomandibula disorders, J
Am Dent Assoc 107:420-424, 1983.

Okeson JP, Kemper JT, Moody PM: A study of the use of occlusion splints in the
treatment of acute and chronic patients with craniomandibula disorders, J
Prosthet Dent 48:708-712, 1982.

Okeson JP: The effects of hard and soft occlusal splints on nocturnal bruxism, J
Am Dent Assoc 114:788-791, 1987.

Fuchs P: The muscular activity of the chewing apparatus during night sleep. An
examination of healthy subjects and patients with functional disturbances, J Oral
Rehabil 2:35-48, 1975.

Sheikholeslam A, Holmgren K, Riise C: A clinical and electromyographic study
of the long-term effects of an occlusal splint on the temporal and masseter
muscles in patients with functional disorders and nocturnal bruxism, J Oral
Rehabil 13:137-145, 1986.

Tsukiyama Y, Baba K, Clark GT: An evidence-based assessment of occlusal
adjustment as a treatment for temporomandibula disorders, J Prosthet Dent
86:57-66, 2001.

Holmgren K, Sheikholeslam A, Riise C: Effect of a full-arch maxillary occlusal
splint on parafunctional activity during sleep in patients with nocturnal bruxisn
and signs and symptoms of craniomandibula disorders, J Prosthet Dent 69:293-
297, 1993.

Saletu A, Parapatics S, Saletu B, Anderer P, Prause W et al: On the
pharmacotherapy of sleep bruxism: placebo-controlled polysomnographic and
psychometric studies with clonazepam, Neuropsychobiology 51:214-225, 2005.

Ware JC: Tricyclic antidepressants in the treatment of insomnia, J Clin
Psychiatry 44:25-28, 1983.

Rizzatti-Barbosa CM, Nogueira MT, de Andrade ED, Ambrosano GM, de
Barbosa JR: Clinical evaluation of amitriptyline for the control of chronic pain
caused by temporomandibula joint disorders, Cranio 21:221-225, 2003.

Plesh O, Curtis D, Levine J, McCall WD Jr: Amitriptyline treatment of chronic
pain in patients with temporomandibula disorders, J Oral Rehabil 27:834-841,
2000.

Herman CR, Schiffman EL, Look JO, Rindal DB: The effectiveness of adding
pharmacologic treatment with clonazepam or cyclobenzaprine to patient
education and self-care for the treatment of jaw pain upon awakening:a
randomized clinical trial, J Orofac Pain 16:64-70, 2002.

Dorland's illustrated medical dictionary, ed 30, Philadelphia, 2003, Saunders, p
579.

Tolosa E, Marti MJ: Blepharospasme-oromandibula dystonia syndrome
(Meige'ssyndrome): clinical aspects, Adv Neurol 49:73-84, 1988.

Jankovic J: Etiology and differential diagnosis of blepharospasme and
oromandibula dystonia, Adv Neurol 49:103-116, 1988.

Cardoso F, Jankovic J: Peripherally induced tremor and parkinsonism, Arch
Neurol 52:263-270, 1995.

Nutt JG, Muenter MD, Aronson A, Kurland LT, Melton LJ III: Epidemiology of
focal and generalized dystonia in Rochester, Minnesota, Mov Disord 3:188-194,
1988.

Tan EK, Jankovic J: Botulinum toxin A in patients with oromandibula dystonia:
longterm follow-up, Neurology 53:2102-2107, 1999.

Bakke M, Werdelin LM, Dalager T, Fuglsang-Frederiksen A, Prytz S et al:
Reduced jaw opening from paradoxical activity of mandibula elevator muscles
treated with botulinum toxin, Eur J Neurol 10:695-699, 2003.

Sankhla C, Jankovic J, Duane D: Variability of the immunologic and clinical
response in dystonic patients immunoresistant to botulinum toxin injections, Mov
Disord 13:150-154, 1998.

Waddy HM, Fletcher NA, Harding AE, Marsden CD: A genetic study of
idiopathic focal dystonias, Ann Neurol 29:320-324, 1991.

Behari M, Singh KK, Seshadri S, Prasad K, Ahuja GK: Botulinum toxin A in
blepharospasme and hemifacial spasme, J Assoc Physicians India 42:205-208,
1994.

Tan EK, Jankovic J: Tardive and idiopathic oromandibula dystonia: a clinical
comparison, J Neurol Neurosurg Psychiatry 68:186-190, 2000.

Singer C, Papapetropoulos S: A comparison of jaw-closing and jaw-opening
idiopathic oromandibula dystonia, Parkinsonism Relat Disord 12:115-118, 2006.

Gray AR, Barker GR: Idiopathic blepharospasme-oromandibula dystonia
syndrome (Meige's syndrome) presenting as chronic temporomandibula joint
dislocation, Br J Oral Maxillofac Surg 29:97-99, 1991.

Evans BK, Jankovic J: Tuberous sclerosis and chorea, Ann Neurol 13:106-107,
1983.

Goetz CG, Horn SS: Treatment of tremor and dystonia, Neurol Clin 19:129-144,
vi-vii, 2001.

Vazquez-Delgado E, Okeson JP: Treatment of inferior lateral pterygoid muscle
dystonia with zolpidem tartrate, botulinum toxin injections, and physical self-
regulation procedures: a case report, Cranio 22:325-329, 2004.

Balash Y, Giladi N: Efficacy of pharmacological treatment of dystonia:evidence-
based review including meta-analysis of the effect of botulinum toxin and other
cure options, Eur J Neurol 11:361-370, 2004.

Goldman JG, Comella CL: Treatment of dystonia, Clin Neuropharmacol 26:102-
108, 2003.

Wessberg G: Management of oromandibula dystonia, Hawaii Dent J 34:15-16,
2003.

Bressman SB: Dystonia update, Clin Neuropharmacol 23:239-251, 2000

Jankovic J, Orman J: Botulinum A toxin for cranial-cervical dystonia: a double-
blind, placebo-controlled study, Neurology 37:616-623, 1987.

Poungvarin N, Devahastin V, Chaisevikul R, Prayoonwiwat N, Viriyavejakul
A:Botulinum A toxin treatment for blepharospasme and Meige syndrome:report
of 100 patients, J Med Assoc Thai 80:1-8, 1997.

Jankovic J, Brin MF: Therapeutic uses of botulinum toxin, N Engl J Med
324:1186-1194, 1991.

Zuber M, Sebald M, Bathien N, de Recondo J, Rondot P: Botulinum antibodies
in dystonic patients treated with type A botulinum toxin: frequency and
significance, Neurology 43:1715 1718, 1993.

Jankovic J, Schwartz K: Response and immunoresistance to botulinum toxin
injections, Neurology 45:1743-1746, 1995.

Clark GT: The management of oromandibula motor disorders and facial spasmes
with injections of botulinum toxin, Phys Med Rehabil Clin N Am 14:727-748,
2003.

Gobel H, Heinze A, Reichel G, Hefter H, Benecke R: Efficacy and safety of a
single botulinum type A toxin complex treatment (Dysport) for the relief of
upper back myofascial pain syndrome: results from a randomized double-blind
placebo-controlled multicentre study, Pain 125:82-88, 2006.

Kamanli A, Kaya A, Ardicoglu O, Ozgocmen S, Zengin FO et al: Comparison of
lidocaine injection, botulinum toxin injection, and dry needling to trigger points
in myofascial pain syndrome, Rheumatol Int 25:604-611, 2005.

Royal MA: Botulinum toxins in pain management, Phys Med Rehabil Clin N
Am14:805-820, 2003.

Lang AM: A preliminary comparison of the efficacy and tolerability of
botulinum toxin serotypes A and B in the treatment of myofascial pain
syndrome: a retrospective, openlabel chart review, Clin Ther 25:2268-2278,
2003.

De Andres J, Cerda-Olmedo G, Valia JC, Monsalve V, Lopez A et al: Use of
botulinum toxin in the treatment of chronic myofascial pain, Clin J Pain 19:269-
275, 2003.

Lang AM: Botulinum toxin type A therapy in chronic pain disorders, Arch Phys
Med Rehabil 84:S69-73; quiz S74-75, 2003.

Porta M: A comparative trial of botulinum toxin type A and methylprednisolone
for the treatment of myofascial pain syndrome and pain from chronic muscle
spasme, Pain 85:101-105, 2000.

Cheshire WP, Abashian SW, Mann JD: Botulinum toxin in the treatment of
myofascial pain syndrome, Pain 59:65-69, 1994.

Freund B, Schwartz M, Symington JM: The use of botulinum toxin for the
treatment of temporomandibula disorders: preliminary findings, J Oral
Maxillofac Surg 57:916-920, 1999.

Freund B, Schwartz M, Symington JM: Botulinum toxin: new treatment for
temporomandibula disorders, Br J Oral Maxillofac Surg 38:466-471, 2000.

Daelen B, Thorwirth V, Koch A: Treatment of recurrent dislocation of the
temporomandibula joint with type A botulinum toxin, Int J Oral Maxillofac Surg
26:458-460, 1997.

Ivanhoe CB, Lai JM, Francisco GE: Bruxism after brain injury: successful
treatment with botulinum toxin-A, Arch Phys Med Rehabil 78:1272-1273, 1997.

Moore AP, Wood GD: The medical management of masseteric hypertrophy with
botulinum toxin type A, Br J Maxillofac Surg 32:26-28, 1994.

Moore AP, Wood GD: Medical treatment of recurrent temporomandibula joint
dislocation using botulinum toxin A, Br Dent J 183:415-417, 1997.

Sankhla C, Lai EC, Jankovic J: Peripherally induced oromandibula dystonia, J
Neurol Neurosurg Psychiatry 65:722-728, 1998.

Ojala T, Arokoski JP, Partanen J: The effect of small doses of botulinum toxin A
on neck-shoulder myofascial pain syndrome: a double-blind, randomized, and
controlled crossover trial, Clin J Pain 22:90-96, 2006.

Graboski CL, Gray DS, Burnham RS: Botulinum toxin A versus bupivacaine
trigger point injections for the treatment of myofascial pain syndrome: a
randomized double blind crossover study, Pain 118:170-175, 2005.

Raj PP: Botulinum toxin therapy in pain management, Anesthesiol Clin North
America 21:715-731, 2003.

Aoki KR: Evidence for antinociceptive activity of botulinum toxin type A in pain
management, Headache 43(suppl 1):S9-15, 2003.

Gobel H: Botulinum toxin in migraine prophylaxis, J Neurol 251(suppl 1):I8-11,
2004.

Gobel H, Heinze A, Heinze-Kuhn K, Jost WH: Evidence-based medicine:
botulinum toxin A in migraine and tension-type headache, J Neurol 248(suppl
1):34-38, 2001.

Binder WJ, Brin MF, Blitzer A, Schoenrock LD, Pogoda JM: Botulinum toxin
type A (BOTOX) for treatment of migraine headaches: an open-label study,
Otolaryngol Head Neck Surg 123:669-676, 2000.

Silberstein S, Mathew N, Saper J, Jenkins S: Botulinum toxin type A as a
migraine preventive treatment. For the BOTOX Migraine Clinical Research
Group, Headache 40:445-450,2000.

Smuts JA, Schultz D, Barnard A: Mechanism of action of botulinum toxin type
A in migraine prevention: a pilot study, Headache 44:801-805, 2004.

Dodick DW, Mauskop A, Elkind AH, DeGryse R, Brin MF et al: Botulinum
toxin type A for the prophylaxis of chronic daily headache: subgroup analysis of
patients not receiving other prophylactic medications: a randomized double-
blind, placebocontrolled study, Headache 45:315-324, 2005.

Rollnik JD, Dengler R: Botulinum toxin (DYSPORT) in tension-type headaches,
Acta Neurochir Suppl 79:123-126, 2002.

Mense S: Neurobiological basis for the use of botulinum toxin in pain therapy, J
Neurol 251(suppl 1):1-7, 2004

Argoff CE: A focused review on the use of botulinum toxins for neuropathic
pain, Clin J Pain 18:S177-181, 2002.

Liu HT, Tsai SK, Kao MC, Hu JS: Botulinum toxin A relieved neuropathic pain
in a case of postherpetic neuralgia, Pain Med 7:89-91, 2006.
BAB 15 TERAPI ALAT OKLUSAL

“ Alat oklusal: suatu alat bantu untuk menangani TMD.”

Suatu alat oklusal (sering disebut splint) adalah suatu alat lepasan, biasanya dibuat dari
akrilik keras, yang didudukkan diatas permukaan oklusal dan incisal dari gigi dalam satu
lengkung, menciptakan kontak oklusal tepat dengan gigi dari lengkung yang berlawanan
(Gbr. 15-1). Itu secara umu berkenaan sebagai bite guard, night guard, interalat oklusal,
atau bahakan suatu perangkat orthopedic (contoh; orthotic). Alat oklusal mempunyai
beberapa kegunaan, satu diantaranya adalah untuk menyediakan secara sementara suantu
kondisi oklusal yang mengizinkan TMJ untuk menerima posisi sendi paling stabil secara
ortophedik. Mereka juga dapat digunakan untuk menperkenalkan kondisi oklusal
optimim yang mengatur kembali aktivitas refkleks, yang kembali mengurangi aktivitas
otot abnormal sambil mendorong fungsi otot lebih normal. Alat oklusal juga digunakan
untuk melindungi gigi dan mendukung struktur dari kekuatan abnormal yang dapat
menciptakan kerusakan dan/atau pemakaian gigi.
PERTIMBANGAN UMUM
Alat-alat terapi mempunyai beberapa kualitas menguntungkan yang membuat itu sangat
membantu untuk menangani berbagai temporomandibular disorders (TMDs). Karena
etiologic dan keterhubungan dari banyak TMDs yang sering kompleks, terapi inisial
biasanya terbalik dan noninvasif. Alat oklusal dapat menawarkan seperti terapi
sementara memperbaiki hubungan fungsional dari system mastikasi. Ketika alat oklusal
secara spesifik didesain untuk mengubah suatu factor penyebab dari TMDs, bahkan
secara sementara, gejala juga diubah. Dalam pengertian ini appliance menjadi
pendiagnosa. Perhatian harus diambil, bagaimanapun tidak menyederhanakan secara
berlebihan hubungan ini. Seperti didiskusikan kemudian dalam bab ini, suatu alat dapat
mempengaruhi gejala pasien dalam beberapa jalan. Ini sangat penting, ketika itu
mengurangi gejala, hubungan tepat sebab-dan-akibat dapat diidentifikasi sebelum terapi
bolak-balik dimulai. Pertimbangan ini penting utnutk menjamin bahwa perawatan yang
lebik ekstensif akan menghasilkan kesuksesan jangka panjang. Alat oklusal sama-sama
membantu dalam beberapa keputusan factor penyebab pasti. Ketika suatu maloklusi
diduga memberi kontribusi terhadap suatu TMD, terapi alat oklusal dapat dengan cepat
dan reversible memperkenalkan suatu kondisi oklusal yang diinginkan. Jika tidak
mempengaruhi gejala, maloklusi mungkin bukan factor penyebab dan tentunya perlu
terapi oklusal bolak-balik ditanyakan.
Kualitas lain yang menguntungkan dari terapi alat oklusal dalam menangani TMDs
adalah bahwa itu membantu dalam mengurangi gejala. Suatu literature kritismenyatakan
bahwa efektivitas antara 70% dan 90%. Bagaimanapun, banyak artikel sekarang
menggunakan Cochrane Database Systematic Review melaporkan bahwa alat oklusal
tidak mempunyai kekuatan atau efek yang dapat diandalkan pada gejala TMD. Ini seperti
suatu reflex dari desain penelitian yang memprihatinkan yang biasanya digunakan dalam
sutdi yang lebih cepat. Mekanisme tepat oleh alat dapat mengurangi gejala TMD sudah
diperdebatkan dan tidak meyakinkan saat ini. Pekerjaan harus menyediakan lebih baik
data berbasis bukti untuk lebih baik mengerti aturan alat dari TMDs. Demikian mereka
sering diindikasikan dalam insial dan beberapa perawatan jangka panjang dari banyak
TMDs.

Gbr. 15-1

Alat oklusal maksila


15.1.1 PEMILIHAN ALAT YANG TEPAT
Beberapa tipe alat digunakan dalam kedokteran gigi. Masing-masing ditujukan pada
mempengaruhi suatu factor penyebab spesifik. Untuk memilih alat yang tepat untuk
pasien, satu harus pertama mengidentifikasi kontiribusi mayor factor penyebab disorder.
Suatu alat yang terbaik mempengaruhi dapat kemudian dipilih. Alat tunggal tidak
berguna dengan semua TMDs. Faktanya, beberapa TMDs tidak berespon terhadap terapi
alat. Seklai lagi, yang terpenting dari melewati sejarah, pemeriksaan, dan diagnose
ditegakkan.

15.1.2 PEMBUATAN DAN PENYESUAIAN ALAT


Satu dari alat tepat sudah dipilih, itu harus dibuat dan disesuaikan seperti tujuan
perawatan akan berhasil. Perawatan harus diambil untuk konstruksi suatu alat yang akan
keduanya cocok dengan jaringan lunak dana menyediakan alternasi tepat dalam
keperluan fungsi untuk menghilangkan penyebab. Pembuatan alat yang tidak tepat akan
tidak hanya mengurangi efek perawatan tetapi juga memperkenalkan keraguan pada
bagian dari kedua pasien dan dokter gigi dalam diagnos dan perawatan akan datang.

15.1.3 KERJASAMA PASIEN


Karena terapi alat bolak balik, itu efektif hanya ketika pasien menggunakan alat. Pasien
harus diinstruksikan mengenai penggunaan yang tepat. Beberapa alat membutuhkan
penggunaan ekstensif, mengingat yang lain membutuhkan hanya penggunaan paruh
waktu. Pasien yang tidak merespon baik terhadap terapi ini sebaiknya ditanya mengenai
pemenuhan mereka dengan penggunaan alat yang tepat. Pemilihan alat secara tepat yang
adalah pembuatan secara akurat akan gagal untukmengurangi gejala pasien yang tidak
memakai alat dengan tepat.

15.2 JENIS-JENIS ALAT OKLUSAL


Banyak jenis dari alat oklusal harus disarankan untuk perawatan TMDs. Dua yang paling
sering digunakan adalah (1) stabilization appliance dan 92) anterior positioning
appliance. Stabilization appliance kadang-kadang disebut alat relaksasi otot karena itu
utamanya digunakan untuk mengurangi sakit otot. Anterior positioning kadang
disebutalat pengembalian kembali orthopaedic karena sasaranya untuk mengubah posisi
dari mandibular dalam hubungan dengan tengkorak. Jenis lain dara perangkat oklusal
adalah anterior bite plane, posterior bite plane , pivoting appliance, dan soft or resilent
appliance. Penggambaran, sasaran perawatan dan indikasi dari alat ini terlihat dalam
tahap mengikuti. Karena stabilization and anterior positioning appliances penting dalam
perawatan dari TMDs, teknik pembuatan dari masing-masing alat dipaparkan.

15.2.1 STABILIZATION APPLIANCE

15.2.1.1 Gambaran dan Tujuan Perawatan


Stabilization appliance secara umum dibuat utntuk lengkung maksila dan menyediakan
hubungan oklusal dianggap optimal untuk pasien (lihat Bab 5). Ketika itu dalam
tempatnya, kondilus dalam posisi musculosketally stabil pada waktu gigi berkontak
dengan rata dan simultan. Disoklusi kaninus dari gigi posterior selama gerakan eksentrik
juga disediakan. Tujuan perawatan dari stabilization appliance adalah untuk
mengeleminasi ketidakstabilan orthopaedic antara posisi oklusal dan posisi
sendi,demikian menghilangkan ketidakstabilan ini sebagai suatu factor penyebab TMD
(lihat bab 7)

15.2.1.2 Indikasi
Stabilization appliance secara umum digunakan untuk merawat penyakit sakit otot.
Penelitian telah menunjukkan bahwa memakainya dapat menurunkan aktivitas
parafungsional yang sering menyertai periode tekanan. Demikian ketika pasien
melaporkan dengan TMD yang berhubungan dengan hiperaktivitas otot seperti bruxism,
stabilization appliance seharusnya dipertimbangkan. Studi yang lebih baru kurang
meyakinkan mengenai mekanisme yang tepat dimana alat oklusal membantu mengurangi
gejala TMD namun penulis sebagian besar masih mendukung penggunaannya. Pasien
dengan rasa sakit otot local atau kronik secara terpusat memediasi myalgia, juga,
mungkin calon yang baik untuk jenis alat ini. Stablization appliances juga membantu
untuk pasien yang mengalami retrodiscitis sekunder terhadap trauma. Alat ini dapat
membantu mengurangi kekuatan untuk menghancurkan jaringan, juga memungkinkan
penyembuhan lebih efisien.

15.2.1.3 Teknik Pembuatan Sederhana


Stablization appliance akrilik keras seluruh lengkung dapat digunakan juga dalam
lengkung, tapi peletakan maskila memberikan beberapa keuntungan. Alat maksila
biasanya lebih stabil dan menutup lebih banyak jaringan lunak, yang mana membuat itu
lebih retentive dan kurang mudah patah. Itu juga lebih serba guna, memungkinkan kontak
antagonis dicapai dalam semua hubungan tulang dan molar. Pada pasien Klas II dan Klas
III, contohnya, pencapaian kontak anterior yang tepat dan panduan sering sulit dengan
alat mandibula. Alat maksila menyediakan peningkatan stabilitas karena semua kontak
mandibula berada di permukaan datar. Ini mungkin tidak mungkin dengan alat
mandibular, khususnya region anterior. Keuntungan lain dari alat maksila adalah
kemampuan fitur tertentu dari alat untuk membantu menemukan hubungan MS dari
kondilus di fossa. Seperti telah dibahas, alat mandibula tidak memberikan beberapa dari
keuntungan ini. Keuntungan utama dari alat mandibula adalah bahwa lebih mudah bagi
pasien untuk berbicara dengan itu dalam tempatnya. Selain itu, untuk beberapa pasien
alat mandibula kurang terlihat dibandingkan alat oklusal lainnya, sehingga mungkin lebih
estetik. Namun, keunggulan ini hanya hadir jika pasien perlu memakai alat selama siang
hari (lihat diskusi selanjutnya). Banyak metode telah diusulkan untuk pembuatan alat
oklusal. Metode yang sering digunakan memulai dengan gips dipasang pada articulator.
Menutup daerah undercut pada maksila, dan alat dibentuk dengan malam. Alat malam
dipendam dan diproses dengan heat cured akrilik dan kemudian disesuaikan untuk
peletakan akhir dalam mulut. Teknik yang lainnya menggunakan cor cetakan dan self-
curing akrilik. Daerah undercut gigi maksila ditutup, bahan separator diterapkan pada
gips, dan garis yang diinginkan dari alat dibatasi dengan tali malam. Monomer akrilik
dan polimernya ditaburi pada cetakan maksila, dan oklusi dibuat dengan menutup cetakan
mandibular kedalam setting akrilik. Panduan eksentrik dan ketebalan dari alat oklusal
dibuat dengan menggunakan pin guide anterior dan meja panduan sebelumnya
dikembangkan (lihat bab 20). Bagian berikut menjelaskan teknik pembuatan alat oklusal
sederhana. Seperti teknik yang lain, itu tidak membutuhkan cetakan mounted. Posisi tepat
mandibular diletakkan dengan asisten langsung dari otot, mengurangi ketidakakuratan
cast-mounting. Alat yang selesai dapat juga dimasukkan pada penunjukkan yang sama
selama cetakan dibuat. Itu sebaiknya selalu diingat, namun, cara di mana suatu alat yang
dibuat tidak penting dalam menyelesaikan gejala. Teknik tersebut hanya pentik untuk
dokter gigi. Menangani gejala adalah mendiri pada bagaimana alat bertemu dengan
tujuan perawatan. Terlepas dari teknik yang digunakan, itu adalah tanggung jawab dari
dokter gigi untuk memastikan bahwa sebelum pasien meninggalkan kantor, alat secara
benar disesuaikan untuk memenuhi kriteria optimal untuk stabilitas ortopedi ulasan pada
Bab 5. Teknik ini ditawarkan sebagai metode sederhana untuk mencapai tujuan
perawatan.
Gbr. 15-2

A, tebal 2 mm, lembar resin disesuaikan dengan tekanan adaptor (contoh


menunjukkan Biostar, Great Lakes Orthodontics Products, Tonawanda, NY). B,
adaptasi lembar resin pada cetakan.
15.2.1.3.1 Pembutan Alat
Pembuatan dai maksila alat oklusal melibatkan beberapa tahap. Bahan cetak alginate
dibuat dari lengkung maksila. Ini harus bebas dari gelembung dan membebaskan atas gigi
dan palatum. Itu dituang dengan segera dengan produk gypsum yang cocok (sebaiknya
die stone). Impression tidak terbalik karena basis besar tidak diperlukan. Ketika stone
secara memadai ditetapkan, para pemain diambil dari impression. Ini harus bebas
gelembung dan kekosongan. Kelebihan stone labial pada gigi dipangkas pada pemangkas
model untuk kedalaman vestibulum. Dengan tekanan vakum adapter (Gbr. 15-2, A), a 2
mm, keras, lembaran resin bersih diadaptasikan ke cetakan (Gbr. 15-2,B). Beberapa
perusahaan menawarkan lembaran resin dua-sisi dengan sisi halus untuk gigi dan sisi
keras yang mana untuk pengembangan oklusi. Produk ini segarusnya dipertimbangkan
karena ini menawarkan retensi yang bagus dan kenyamanan bagi pasien sementara masih
memungkinkan pengembangan skema kontak oklusal yang tepat. Garis luar dari alat
adalah kemudian dipotong dengan disk pemisah. Potongan dibuat pada level papilla
interdental pada permukaan bukal dan labial gigi. Area palatal posterior dipotong dengan
disk pemisah sepanjang garis lurus yang menyambung aspek distal dari molar kedua (Gbr
15-3). Adaptasi resin alat oklusal dihilangkan dari stone cast. Sebuah mesin bubut dengan
roda karet keras dapat digunakan untuk menghilangkan kelebihan resin di daerah palatal
(Gbr. 15-4).

Gbr. 15-3

Struktur maksila dipotong dari cetakan dengan disk pemisah.

Gbr. 15-4
Kelebihan meliputi jaringan palatal dihapus dengan roda karet keras pada mesin
bubut. A, sebelum. B, setelah.

Batas lingual alat di panjangkan 10-12 mm dari batas gingiva melewati porsi lingual dari
lengkung. Bur besar akrilik digunakan untuk menghaluskanbtepi-tepi. Batas labial dari
alat mengakhiri antara incisal dan dan tengah pertiga gigi anterior. (Bats sekitar gigi
posterior mungkin lebih panjang sedikit). Hal ini lebih aman untuk meninggalkan batas
sedikit lebih lama saat ini. Jika alat oklusal tidak sepenuhnya duduk didalam mulut, batas
secara hati-hati dipendekkan sampai pas yang memadai diperoleh. Jumlah sedikit yang
bersih, self-curing, resin akrilik dicambupur dalam dappen dish. Seperti mengental, itu
ditambahkan ke permukaan oklusal dari bagian anterior alat (Gbr. 15-5). Akrilik ini akan
bertindak sebagai pemberhenti anterior. Ini lebarnya sekitar 4 mm dan harus diperluas ke
daerah mana anterior gigi insisivus sentralis mandibular akan berkontak (Gbr. 15-6).

Gbr. 15-5
A, jumlah kecil self-curing akrilik ditambahkan ke bagian anterior alat sebagai
pemberhenti untuk gigi seri bawah. Wilayah ini berhenti sekitar 4 sampai 6 mm.
B, pandangan lateroocclusal pemberhenti anterior ditempatkan pada alat.

Gbr. 15-6
Alat ini ditempatkan di atas gigi rahang atas dan dievaluasi untuk posisi tepat.
Seharusnya nyaman, memberikan retensi yang memadai yang tidak goyang.

15.2.1.3.2 Peletakan Alata ke Gigi Maksila


Alat oklusal kemudian dievaluasi dalam mulut (lihat Gbr. 15-6). Itu sebaiknya terpasang
baik pada gigi maksila, menawarkan retensi dan stabilitas yang adekuat. Gerakan bibir
dan lidah sebaiknya tidak mengganggu. Tekanan diterapkan pada setiap bagian tidak
harus menyebabkan tipping atau melonggarkan.

Jika perbatasan alat telah dipertahankan di dekat persimpangan tengah dan sepertiga
insisal pada permukaan facial dari gigi, retensi yang memadai akan ada. Jika tidak duduk
sepenuhnya, dapat dipanaskan dengan hati-hati di luar mulut dengan pengering rambut
dan didudukkan kembali pada gigi. Hal ini akan membantu mencapai alat yang pas.
Perawatan yang diambil seharusnya tidak terlalu memanasi plastic atau bentuknya bias
hilang.

Pada kesempatan, bila resin tidak beradaptasi dengan baik pada gigi atau retensi miskin,
alat oklusal dapat dilapisi di dalam mulut dengan self-curing akrilik. Hal ini hanya dapat
dicapai bila menggunakan lembaran akrilik yang solid. Ketika lembar permukaan ganda
digunakan (soft / hard side), pelapisan ulang tidak mungkin. Sebelum memulai proses
pelapisan ulang, pasien diperiksa untuk setiap restorasi akrilik (misalnya, mahkota
sementara). Dokter seharus melanjutkan dengan langkah-langkah berikut:
1. Semua restorasi akrilik dilubrikasi baik dengan petroleum untuk mencegah
bonding dengan akrilik baru.
2. Sebuah prosedur pelapisan ulang dilakukan dengan mencampur sejumlah kecil
self-curing akrilik resin dalam dappen dish. Monomer ditambahkan ke dalam alat
oklusal untuk membantu dalam ikatan resin. Satu sampai dua milimeter dari resin
akrilik yang setting ditempatkan pada alat. Akrilik yang setting harus dikeringkan
dengan jarum suntik udara, dan, ketika menjadi melekat, pasien membasahi gigi
rahang atas. Kemudian alat didudukkan di gigi. Pasien tidak harus menggigit di
atasnya.
3. Resin yang setting yang berlebih dihilangkan dari area interproksimal labial.
4. Sebagai resin, alat akan dihilangkan dan diganti beberapa kali untuk menghindari
penguncian resin akrilik yang setting ke dalam daerah undercut.
5. Ketika resin menjadi hangat, alat dipindahkan untuk proses curing di luar
mulut.Gigi pasien segera diperiksa dan dibersihkan dari setiap akrilik yang setting
yang mungkin tertinggal. Setelah akrilik telah di-cure, alat diperiksa dan setiap
tepi yang tajam atau kelebihan sekitar perbatasan dihilangkan. Ketika alat
dipasang kembali pada gigi, retensi dan stabilitas yang memadai sekarang harus
ada.

Ketika alat oklusal sudah dengan adekuat terpasang pada gigi maksila, oklusi
dikembangkan dan disempurnakan.

15.2.1.3.3 Menempatkan Posisi yang Stabil Secara Musculosketal


Untuk alat stabilisasi secara optimal efektif, kondilus harus ditempatkan di posisi paling
MS mereka, yaitu relasi sentris (RS). Dua teknik telah banyak digunakan
untuk menemukan RS.

Yang pertama menggunakan teknik manipulasi bilateral Panduan dijelaskan dalam Bab 9.
DalamTMJ yang normal, ketika kondilus ditempatkan ke posisi cakram MS cakram
secara tepat yang terletak antara kondilus dan fossa artikularis. Jika cakram juga secara
fungsional dipindahkan atau dislokasi, teknik panduan manual mandibular akan jaringan
kondilus retrodiscal. Ketika panduan manual mandibula menghasilkan nyeri pada sendi,
suatu gangguan intracapsular harus dicurigai dan stabilitas posisi ini harus dipertanyakan.
Perawatan harus diarahkan pada sumber rasa sakit intracapsular. Sebuah alat posisi
anterior mungkin terapi yang lebih tepat.
Teknik kedua menggunakan peletakan syop pada region anterior dari alat, dan otot
digunakan untuk melokasikan posisi MS dari kondilus. (Teknik ini mneggunakan prinsip
pekerja yang sama dengan lembar pengukur; lihat bab 9). Dalam posisi berbaring pasien
diminta untuk
menutup pada gigi posterior, yang menyebabkan hanya satu gigi seri rahang bawah
berkontak pada stop anterior dari alat. stop harus memberikan ketebalan yang
mempertahankangigi anterior 3 sampai 5 mm terpisah. Hal ini akan mengakibatkan gigi
posterior yang dipisahkan hanya 1 sampai 3 mm. Gigi posterior mandibula seharusnya
tidak berkontak pada setiap bagian dari alat. Jika gigi posterior berkontak dengan alat,
harus ditipiskan untuk menghilangkan kontak ini.

Kontak pada stop anterior ditandai dengan kertas artikulasi dan disesuaikan sehingga
menyediakan stop yang tegak lurus terhadap sumbu panjang gigi mandibula yang sedang
dikontakkan. Yang penting, tidak ada angulasi ke kontak yang harus terjadi karena
angulasi akan cenderung untuk membelokkan posisi mandibula. Jika inklinasi distal ada
di stop, clenching akan memaksa mandibula secra posterior (retrusif) menjauh dari posisi
MS (Gbr. 15-7). Ini stop anterior tidak harus menciptakan kekuatan retrusif ke
mandibula. Demikian juga, stop anterior tidak boleh cenderung ke mesial dan
menciptakan pergeseran ke depan atau slide dari mandibula karena clenching yang akan
cenderung memposisikan kondilus ke depan, jauh dari posisi paling MS (Gbr. 15-8).
Ketika stop anterior datar dan pasien menutup pada gigi posterior, tarikan fungsional
otot-otot elevator akan memposisikan kondilus dalam posisi yang paling superoanterior
mereka di dasar lereng posterior eminensia artikularis (Gbr. 15-9).

Gbr. 15-7
Jika stop anterior menyediakan inklinasi distal, penutupan rahang akan cenderung
membelokkan mandibula secara posterior, jauh dari posisi musculoskeletally
paling stabil.

Gbr. 15-8

Jika stop anterior menyediakan inklinasi mesial, penutupan rahang akan


cenderung membelokkan mandibular secara anterior, jauh dari posisi
muskoskeletal paling stabil.

Gbr. 15-9
Ketika stop anterior datar dan tegak lurus terhadap sumbu panjang dari kontak
gigi seri mandibula, tarikan fungsional dari otot-otot elevator akan mendudukkan
kondilus dalam posisi yang paling superoanterior di fossa, posisi istirahat
bertentangan dengan posterior lereng eminensia artikularis.

Dalam kedua teknik sangat penting untuk berkomunikasi dengan baik dengan pasien
mengenai posisi tepat mandibula. Karena stop anterior datar, pasien dapat memajukan,
menutup dalam posisi anterior ke posisi MS. Hal ini dihindari dengan meminta pasien
untuk menutup pada gigi posterior. Juga, ketika pasien sedang berbaring di kursi gigi,
gravitasi cenderung memposisikan mandibula secara posterior. Dalam beberapa kasus
akan sangat membantu untuk memiliki pasien meletakkan ujung lidah pada aspek
posterior dari palatum lunak sambil perlahan-lahan menutup.

Mungkin metode yang paling dapat diandalkan dan dapat diulang untuk menemukan
posisi MS dari kondilus adalah dengan menggunakan kedua teknik secara bersamaan.
Dengan alat di tempat dan pasien berbaring, dokter pertama-tama harus menemukan
posisi MS dengan teknik manipulasi bilateral. Dokter harus membawa gigi dekat
bersama-sama dan kemudian meminta pasien untuk berulang kali menutup pada posterior
gigi. Setelah beberapa penutupan, kontak ditandai pada stop anterior harus menjadi
reproduksi, mencerminkan letak posisi mandibula stabil (Gambar 15-10).

15.2.1.3.4 Pengembangan Oklusi


Setelah posisi RC telah ditemukan, pasien harus menjadi akrab dengan itu dengan
memakai alat selama beberapa menit. Instruksi yang diberikan untuk menekan stop
anterior. Ini membantu dalam mempengaruhi sistem kontrol neuromuskular yang telah
mengkoordinasikan kegiatan otot yang terkait dengan kondisi oklusal yang ada. Karena
stop anterior menghilangkan kondisi oklusal yang ada, engrams otot apapun yang terkait
dengan perlindungan neuromuskuler akan dihilangkan, sehingga meningkatkan stabilisasi
dan memungkinkan dudukan yang lebih sempurna dari kondilus dalam posisi MS
mereka. Ketika gangguan otot pengunyahan ada atau kembali posisi RS sulit, mungkin
akan membantu untuk memiliki pasien memakai alat dengan hanya stop anterior selama
24 jam sebelum alat selesai. Namun, meskipun ini kadang-kadang membantu dalam
mengurangi gejala, ada beberapa kelemahan, yaitu dibahas pada bagian selanjutnya.

Gbr.15 -10

A, Kontak dari gigi seri bawah pada berhenti anterior. Tidak ada kontak lain yang
hadir. B,
Kontak anterior ditandai dengan kertas artikulasi dan diamati menjadi datar dan
tegak lurus dengan sumbu panjang gigi seri rahang bawah. Ketika posisi MS telah
diletakkan hati-hati oleh pasien (dengan atau tanpa panduan manual), alat akan
dkeluarkan dari mulut dan self-curing akrilik ditambahkan ke anterior yang tersisa
dan daerah posterior permukaan oklusal (Gambar 15-11). Resin yang cukup harus
ditambahkan untuk menunjukkan lekukan dari setiap gigi mandibula, dan resin
ditambahkan ke daerah labial region anterior sampai gigi kaninus mandibula
untuk jalan panduan masa depan.
Gbr. 15-11

A, Self-curing akrilik ditambahkan ke permukaan oklusal alat. B, Semua


oklusal adalah sebagai, kecuali kontak pada stop anterior, telah ditutup. Akrilik
yang setting dikeringkan dengan jarum suntik udara dan dibilas dengan air hangat
sebelum ditempatkan dalam pasien mulut.

Sebelum alat dikembalikan ke mulut, adalah penting bahwa semua monomer bebas
dihilangkan dengan jarum suntik udara. Setelah akrilik yang setting dikeringkan dari
monomer bebas, alat yang dibilas dengan air hangat. Alat ini kemudian kembali ke mulut,
dan prosedur manipulasi bilateral manual dilakukan. Setelah dokter berkeyakinan bahwa
kondilus sudah terletak tepat, pasien diminta untuk menutup gigi posterior ke dalam
akrilik yang setting (Gambar 15-12).

Gigi mandibula harus tenggelam dalam akrilik yang setting sampai gigi seri berkontak
dengan stop anterior. Setelah 5 sampai 6 detik pasien diinstruksikan untuk membuka
mulut, dan alat akan dilepas. Permukaan oklusal dari alat tersebut divisualisasikan untuk
memastikan semua gigi mandibula telah membuat lekukan di akrilik yang setting dan ada
akrilik labial yang memadai sampai dengan gigi taring untuk pengembangan masa depan
dari panduan eksentrik. Alat tersebut dapat dikembalikan ke mulut beberapa kali, setiap
kali relokasi posisi MS sampai akrilik yang setting menjadi teguh dan memegang
bentuknya. Kemudian alat akan dihapus untuk set terakhir.

Gbr. 15-12

A, Alat dengan akrilik yang setting ditempatkan di mulut, dan rahang bawah
adalah ditutup ke dalam hubungan sentris pada stop anterior. Resin labial yang
adekuat untuk gigi kaninus mandibula memberikan panduan untuk kaninus di
msa depan.

Catatan: Alat harus dikeluarkan jauh sebelum resin menghasilkan panas. Hal ini
kemudian dibiarkan ke bench-cure sampai benar-benar keras. Menempatkan akrilik yang
setting dalam secangkir air hangat dapat mengurangi jumlah gelembung yang
berkembang dalam sebuah alat.

15.2.1.3.5 Menyesuaikan Kontak Relasi Sentris


Permukaan oklusal alat yang terbaik disesuaikan dengan terlebih dahulu menandai
wilayah terdalam dari masing-masing ujung cusp bukal mandibula dan tepi insisal
dengan pensil (Gambar 15-13). Ini mewakili akhir kontak oklusal RS yang akan hadir
bila alat selesai. Sekelililng akrilik tanda pensil dihapus sehingga permukaan oklusal
relatif datar akan memungkinkan kebebasan eksentrik. Hanya daerah yang dipertahankam
seharusnya itu adalah bahwa anterior dan labial masing-masing kaninus mandibula.
Daerah ini akan menciptakan kontak yang dikehendaki selama gerakan mandibula.

Gbr. 15-13

Setelah akrilik telah ditetapkan, jejak dari masing-masing ujung cusp bukal mandibula
dan tepi insisal ditandai dengan pensil. Ini merupakan kontak relasi sentris jadi yang akan
hadir pada alat selesai.

Gbr. 15-14
Kelebihan akrilik sekitar kontak sentris dihapus dengan roda karet keras
mesin bubut. Semua daerah, kecuali labial dengan gigi kaninus rahang bawah,
diratakan ke kontak (pensil) tanda. Daerah ini akan menciptakan bimbingan
eksentrik.
Setiap kelebihan akrilik paling cepat dihapus dengan roda karet keras pada mesin bubut
(Gambar 15-14). Resin diratakan sesuai dengan tanda pensil di semua kecuali anterior
dan bibir dengan gigi kaninus. Sebuah bur besar akrilik dalam slow-speed handpiece
sangat membantu dalam memperbaiki dan merapikan alat setelah mesin bubut. Ketika
alat telah cukup rapi, itu dikembalikan ke mulut dan kontak RS ditandai oleh kertas
artikulasi merah saat pasien menutup. Semua kontak, baik anterior dan posterior, harus
hati-hati disempurnakan sehingga mereka akan terjadi pada permukaan datar dengan
kekuatan oklusal yang sama. Dalam banyak kasus, pengaturan penyusutan normal resin
akan
mendistorsi permukaan oklusal sehingga ujung cusp tidak dapat mencapai kedalaman
jejak dan akan menghasilkan tanda "Doughnutlike. Ketika ini terjadi, resin sekitar jejak
masing-masing harus dikurangi, memungkinkan cusp untuk berkontak sepenuhnya dalam
fossa tersebut. Pasien harus dapat menutup dan merasakan semua gigi yang berkontak
secara merata dan secara simultan pada permukaan datar (Gambar 15-15).
Gbr.15-15 PANDANGAN OKLUSAL DARI WELL-ADJUSTED STABILIZATION
APPLIANCE KETIKA PASIEN MENUTUP POSISI STABIL
IMMUNOSKELETAL (RELASI SENTRIS [RS])

Semua kontak RS dan bahkan pada permukaan datar.

15.2.1.3.6 Menyesuaikan Panduan Eksentrik


Setelah kontak RS diinginkan telah dicapai, panduan anterior disempurnakan. Tonjolan
akrilik labial dengan kaninus mandibula dihaluskan. Mereka harus menunjukkan sekitar
30-sampai 45 derajat angulasi ke bidang oklusal dan memungkinkan kaninus rahang
bawah untuk melewati lebih secara halus dan kontinyu selama protrusif dan laterotrusif
(Gambar 15-16).

Kaninus rahang bawah harus dapat bergerak bebas dan lancar di atas permukaan oklusal
dari alat. Jika angulasi dari tonjolan terlalu curam, kaninus akan membatasi gerakan \
mandibula dan dapat memperburuk gangguan otot yang ada. Kebingungan dapat
dihindari dengan menggunakan kertas artikulasi yang berbeda-warna untuk merekam
kontak eksentrik. Alat dikembalikan ke mulut pasien. Dengan kertas artikulasi biru,
pasien menutup di RS dan bergerak dalam laterotrusive kiri ,laterotrusive kanan, dan
protrusive lurus. Kertas artikulasi biru dihapus dan diganti dengan kertas artikulasi
merah. Mandibula menutup di RS dan kontak tersebut ditandai lagi. Alat ini kemudian
dihapus dan diperiksa. Garis biru pada bagian anterior menggambarkan kontak
laterotrusive dan protrusive dari
kaninus mandibula dan harus halus dan kontinyu. Jika kaninus mengikuti jalur tidak
teratur atau menampilkan gerakan mengejar, jalur butuh penyesuaian (Gambar 15-17).

Gbr 15-16

A, Keunggulan akrilik labial ke (tampilan lateral) kaninus ditunjukkan. B, Selama


gerakan laterotrusive disoklusi gigi kaninus mandibula disoccludes menyisakan
gigi posterior (panduan kaninus).

Panduan kaninus harus memberikan disocclusion halus dan lembut pada gigi posterior.
Kontak apa saja yang ditandai dengan warna biru pada permukaan posterior dari alat
akan telah dibuat oleh gangguan eksentrik posterior dan harus dihilangkan, hanya
menyisakan bekas merah RS. Kontak eksentrik gigi insisivus sentralis dan lateral rahang
bawah juga harus dihilangkan sehingga bahwa tanda dominan adalah dari kaninus
mandibula (Gambar 15-18).

Gbr 15-17
A, Panduan laterotrusive dan protrusive tidak terus menerus, konta mulus-
mengalir. Ini harus disesuaikan untuk menghasilkan yang mulus, jalur terus
menerus seperti yang ditunjukkan di B.

Selama gerakan protrusif, panduan oleh gigi kaninus rahang bawah, bukan gigi incisivus
sentalis dan lateralis mandibula, adalah tujuan. Incisivus mandibula dapat digunakan
untuk membantu dalam gerakan protrusif, tetapi ketika mereka, perawatan harus
dilakukan untuk tidak memberikan seluruh kekuatan seluruh dari protrusive ke gigi
incisivus sentralis. Seringkali sederhana (dan sama-sama dapat diterima) solusi adalah
menempatkan panduan protrusif hanya pada gigi kaninus mandibula, sehingga
memungkinkan untuk penghapusan cepat setiap kontak eksentrik dari gigi insisivus
mandibula. Setelah penyesuaian telah dibuat, alat dikembalikan ke mulut pasien untuk
mengulang tanda-tanda. Penyesuaian harus berlanjut sampai kontak gigi posterior hanya
pada permukaan datar di RS.

Gambar. 15-18 SISI KANAN DARI ALAT DENGAN TANDA KONTAK

OKLUSAL

Para kaninus mandibula menyediakan panduan laterotrusive (LT) dan protrusif


(P). Bagian posterior dari alat harus mengungkapkan hanya kontak relasi sentris
(RS. Alat ini, bagaimanapun, juga mengungkapkan kontak posterior laterotrusive
(LT) dan mediotrusive (MT)yang tidak diinginkan. Ini harus dihilangkan.

Setelah alat stabilisasi telah disesuaikan dalam posisi berbaring, pasien dinaikkan
ke posisi kepala tegak atau sedikit ke depan (Gambar 15-19) dan diperintahkan untuk
menekan ringan pada gigi posterior. Jika kontak anterior lebih berat daripada kontak
posterior, mandibula telah mengambil posisi yang sedikit anterior selama perubahan
postural (lihat Bab 5) dan kontak anterior perlu dikurangi sampai mereka lebih ringan
dari posterior. Sesegera pasien dapat menutup ringan dan merasa kontak posterior
mendominan, penyesuaian tersebut selesai.

Gbr 15-19

Dengan pasien berbaring, alat oklusal disesuaikan. Kemudian pasien dinaikkan


sampai posisi kepala tegak (alert feeding position), dan oklusi dievaluasi. Gigi
anterior tidak harus menghubungi lebih berat daripada gigi posterior. Jika mereka
melakukannya, mereka ditandai dengan kertas artikulasi dan disesuaikan untuk
kontak yang lebih ringan.
Catatan: Pasien dengan mudah dapat memajukan rahang bawah dan hubungi berat pada
anterior bimbingan. Instruksi hati-hati mungkin diperlukan untuk memastikan bahwa
pasien tidak memajukan yang mandibula ketika diminta untuk menutup pada alat. Pasien
harus diminta secara khusus untuk menutup tutup dan menekan pada gigi posterior.

Setelah alat stabilisasi telah benar disesuaikan, itu dihaluskan dan dipoles. Pasien harus
diminta untuk memeriksa dengan lidah nya dan bibir untuk setiap daerah tajam atau tidak
nyaman. Dalam beberapa kasus perluasan akrilik sampai permukaan labial gigi maksila
tidak akan menjadi penting untuk retensi dan tidak akan dibutuhkan untuk panduan
eksentrik. Hal ini dapat dihilangkan dari gigi anterior maksila untuk meningkatkan estetik
dari
alat.

15.2.1.3.7 Kriteria Akhir Untuk Alat Stabilisasi


Delapan kriteria berikut harus dicapai sebelum pasien diberikan alat stabilisasi alat
(Gbr.15-20):

Gbr 15-20

1. Kontak oklusal akhir untuk alat stabilisasi. Ini harus secara akurat sesuai dengan gigi
maksila, dengan stabilitas total dan retensi saat gigi mandibular berkopntak dan
ketika diperiksa dengan palpasi digital.
2. Dalam RS semua cusp bukal mandibula dan tepi insisal harus berkontak pada
permukaan datar dengan bahkan kekuatan.
3. Selama gerakan protrusive dari mandibula harus berkontak dengan alat dengan
kekuatan. Gigi incisivus mandibula juga dapat berkontak tetapi tidak dengan
kekuatan lebih dari kaninus.
4. Dalam setiap gerakan lateral, hanya kaninus mandibula boleh menunjukkan kontak
laterotrusive pada alat.
5. Gigi posterior mandibula harus berkontak dengan alat sedikit lebih berat daripada
gigi anterior selama penutupan.
6. Dalam alert feeding position gigi posterior harus berkontak dengan alat lebih
jelas dibandingkan dengan gigi anterior.
7. Permukaan oklusal alat harus sedatar mungkin tanpa jejak cusp mandibula.
8. Alat oklusal dipoles sehingga tidak akan mengiritasi jaringan lunak yang berdekatan.

15.2.1.3.8 Instruksi dan Penyesuaian


Pasien diinstruksikan dalam insersi yang tepat dan pelepasan alat. Tekanan jari
digunakan untuk menyelaraskan dan menempatkan itu awalnya. Setelah itu telah
didorong ke gigi, mungkin distabilkan dengan kekuatan gigitan. Pelepasan paling mudah
dilakukan dengan memegang alat itu dekat daerah molar pertama
dengan kuku dari jari telunjuk dan menarik ujung distal ke bawah.

Pasien diinstruksikan untuk memakai alat sesuai dengan gangguan yang sedang dirawat.
Ketika seorang pasien melaporkan nyeri otot pada saat tidur, bruxism adalah tersangka
dan penggunaan malam hari adalah penting. Ketika seorang pasien melaporkan sakit saat
petang, aktivitas otot diurnal terkait dengan stres emosional, ergonomi, dan kelelahan
mungkin lebih penting. Untuk pasien alat mungkin tidak diperlukan pada siang hari, dan
teknik self-regulaton fisik dibahas dalam Bab 11 harus digunakan. Alat mungkin awalnya
membantu selama hari itu sebagai pengingat dari apa yang mereka lakukan dengan gigi
mereka (kognitif kesadaran). Sebagai pasien master teknik ini, alat tersebut tidak lagi
diperlukan selama hari itu. Ketika ini retrodiscitis, alat mungkin perlu lebih sering
dipakai. Telah ditunjukkan bahwa gangguan nyeri myogenous terbaik merespon untuk
paruh waktu penggunaan (terutama penggunaan malam hari), sedangkan gangguan
intracapsular lebih baik dikelola dengan penggunaan lebih terus menerus. Jika
penggunaan menyebabkan peningkatan nyeri, pasien harus menghentikan pemakaian dan
melaporkan segera masalah untuk evaluasi dan koreksi.

Awalnya, peningkatan air liur dapat terjadi. Hal ini akan menyelesaikan dalam beberapa
jam. Alat harus disikat segera setelah dibawa keluar dari mulut (dengan air, pasta gigi,
atau mungkin baking soda) untuk mencegah penumpukan plak dan kalkulus, dan pada
saat yang sama hindari setiap yang tidak menyenangkan setelah merasakannya.

Pasien diminta untuk kembali dalam 2 sampai 7 hari untuk evaluasi. Pada waktu itu tanda
oklusal pada alat adalah diulang. Seperti otot-otot rileks dan penyelesaian gejala, posisi
lebih superoanterior pada kondilus tersebut dapat diterima. Perubahan ini harus disertai
dengan penyesuaian ke kondisi optimum oklusal. Pemeriksaan otot dan TMJ yang
berulang
pada setiap kunjungan berikutnya, sehingga dapat ditentukan apakah tanda-tanda dan
gejala sedang dihilangkan.

Ketika gejala ini dihilangkan dengan alat, ada kemungkinan bahwa diagnosa yang tepat
telah dibuat dan pengobatan ternyata berhasil. Jika gejala tidak membaik atau hilang, alat
harus dievaluasi supaya tepat dan kontak oklusal. Jika faktor-faktor ini benar dan pasien
memakai alat seperti yang diperintahkan, sumber gangguan tersebut mungkin sudah tidak
terpengaruh. Entah diagnosis awal tidak benar atau gangguan otot sekunder untuk kondisi
lain. Seperti dibahas sebelumnya pengobatan efektif dari gangguan otot sekunder dapat
terjadi hanya setelah eliminasi dari gangguan nyeri primer.

Pada saat-saat tertentu, membuat alat stabilisasi mandibula mungkin diinginkan.


Bukti menunjukkan bahwa peralatan rahang atas dan bawah mengurangi gejala secara
sama. Keuntungan utama dari jenis mandibula adalah bahwa hal itu sedikit
mempengaruhi cara berbicara dan estetika mungkin menjadi lebih baik. Persyaratan
oklusal dari alat mandibular persis sama dengan yang dari perangkat maksila (Gambar
15-21), namun, karena gigi incisivus maksila yang miring ke labial tidak mungkin untuk
mengembangkan stop anterior pada alat mandibula yang tegak lurus dengan sumbu
panjang gigi incisivus maksila. Oleh karena otot-otot tidak dapat digunakan secara handal
untuk membantu menemukan posisi MS dari kondilus. Ketika membuat alat stabilisasi
mandibula alat, dokter harus mengandalkan pada teknk manipulasi manual bilateral untuk
menemukan posisi sendi yang stabil.

15.2.2 ANTERIOR POSITIONING APPLIANCE

15.2.2.1 Deskripsi dan Rencana Perawatan


Anterior positioning appliance adalah alat interoklusal yang mendorong mandibular ke
anggapan posisi yang lebih anterior dari posisi intercuspal (PIC). Itu mungkin berguna
untuk pengelolaan kekacauan gangguan diskus tertentu karena posisi anterior kondilus
tersebut dapat membantu memberikan hubungan kondilus-diskus yang lebih baik,
sehingga memungkinkan kesempatan yang lebih baik untuk adaptasi atau perbaikan
jaringan. Tujuan perawatan adalah tidak untuk mengubah posisi mandibula secara
permanen tetapi hanya untuk mengubah posisi secara sementara sehingga untuk
menyempurnakan adaptasi dari jaringan retrodiscal. Setelah adaptasi jaringan telah
terjadi, alat tersebut disingkirkan, membiarkan kondilus untuk menganggap posisi MS
dan fungsi tanpa rasa sakit pada jaringan fibrosa adaptif (lihat Bab 13).
Gbr 15-21
A, alat stabilisasi mandibular. B, pandangan oklusal dari alat stabilisasi mandibula
dengan kontak dan panduan eksentrik ditandai dengan kertas artikulasi. Kanan (C)
dan kiri (D) pandangan lateral dalam posisi musculoskeletally stabil. Kanan (E)
dan kiri (F) pandangan lateral selama gerakan eksentrik dari mandibula.
Keberadaan panduan kaninus ditunjukkan.

15.2.2.2 Indikasi
Anterior positioning appliance digunakan terutama untuk mengobati pergeseran dan
dislokasi diskus dengan pengurangan. Pasien dengan bunyi sendi (misalnya, satu klik
atau timbal balik) bisa kadang dibantu olehnya. Penguncian intermiten atau kronis dari
sendi juga dapat diobati dengan itu. Beberapa gangguan inflamasi dikelola dengan alat
ini, terutama ketika penempatan kedua kondilus sedikit anterior lebih nyaman bagi pasien
(misalnya, retrodiscitis).

15.2.2.3 Teknik Pembuatan Sederhana


Seperti alat stabilisasi, anterior positioning appliance adalah perangkat akrilik keras pada
seluruh lengkung yang dapat digunakan dalam salah satu lengkungan. Namun, lengkung
maksila disukai karena panduan jalan dapat lebih mudah dibuat untuk mengarahkan
mandibula ke posisi depan yang diinginkan. Dengan alat mandibula pemandu jalan tidak
mencapai posisi depan dengan mudah dan dengan demikian mandibula tidak dikontrol
baik. Dengan kata lain, pasien bisa lebih mudah memposisikan mandibula ke posterior
dengan alat mandibula.

15.2.2.3.1 Pembuatan dan Pemasangan Alat


Langkah-langkah awal dalam pembuatan alat posisi anterior rahang atas identik dengan
pembuatan stabilization appliance. Stop anterior dibangun, dan alat tersebut dipasang
pada gigi rahang atas. Karena perluasan akrilik sampai permukaan labial
gigi rahang atas tidak diperlukan untuk tujuan oklusal, itu dapat dihilangkan untuk
meningkatkan estetik. Hal ini mungkin penting jika pasien perlu memakai alat selama
siang hari, meskipun penggunaan siang hari jarang terjadi (lihat Bab 13).

15.2.2.3.2 Menempatkan Posisi Anterior yang Benar


Kunci keberhasilan pembuatan anterior positioning appliance adalah menemukan yang
posis yang paling cocok untuk menghilangkan gejala-gejala pasien. Stop anterior
digunakan untuk menemukan itu. Permukaan stop disesuaikan sehingga akan datar dan
tegak lurus terhadap panjang sumbu gigi incisivus mandibula. Stop seharusnya tidak
secara signifikan meningkatkan dimensi vertikal (alat harus setipis mungkin). Seperti
stabilization appliance, pasien berulang kali membuka dan menutup pada stop. Ketika
gigi insisivus beroklusi dengan itu, gigi posterior harus dekat tapi tidak benar-benar
berkontak dengan bagian posterior dari alat. Jika kontak terjadi, bagian posterior perlu
ditipiskan. Setelah ini telah dilakukan, pasien menutup pada stop lagi dan gejala sendi
dievaluasi. Jika gejala mengklik dan nyeri pada berhenti lagi dan gejala sendi dievaluasi.
Jika mengklik dan gejala rasa sakit telah dieliminasi dengan hanya meningkatkan dimensi
vertikal dan perbaikan stabilitas sendi disediakan oleh stop, stabilization appliance harus
dibuat seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

Gambar. 15-22 LOKASI POSISI ANTERIOR YANG DIINGINKAN

A, hubungan dari gigi anterior ke stop anterior dalam relasi sentris. B, pasien
sedikit memajukan hinggan gerakan membuka dan menutup menghilangkan
kekacauan gangguan diskus. Bidang kontak pada stop anterior ditandai dengan
kertas artikulasi dalam posisi ini. C, Dua tanda kontak yang ditunjukkan: relasi
sentris (RS) kontak dan posisi anterior yang diinginkan yang menghilangkan
kekacauan gejala diskus (AP).

Jika nyeri sendi dan bunyi klik belum dihilangkan, pasien diinstruksikan memajukan
sedikit mandibular untuk membuka dan menutup mulut dalam posisi ini (Gbr.15-22).
Sendi dievaluasi kembali untuk gejala, dan posisi anterior yang berhentikan bunyi klik
diletakkan dan ditandai dengan kertas merah penanda sebagai keran pasien di stop. Posisi
yang digunakan harus jarak terpendek posisi anterior dari posisi MS (RS) yang
menghilangkan gejala. Setelah ditandai, alat akan disingkirkan dan bidang kontak yang
beralur sekitar kedalaman 1 mm dengan bur bulat kecil (Gambar 15-23). Ini akan
memberikan lokasi kontak positif untuk gigi incisivus mandibula. Alat ini kemudian
dikembalikan ke mulut dan pasien menempatkan alur dan keran ke dalamnya. Setelah
lokasi yang tepat untuk gigi incisivus telah ditemukan, pasien membuka dan menutup,
kembali ke posisi ini, sementara gejala sendi dievaluasi.Disana seharusnya tidak ada
bunyi sendi selama pembukaan dan penutupan. Nyeri sendi selama mengepalkan juga
harus dikurangi atau dihilangkan. Nyeri Myogenous berasal dari pterygoideus lateral
siperior, Namun, tidak akan dihilangkan karena otot ini aktif selama mengepalkan.
Teknik manipulasi fungsional dapat membantu dalam membedakan rasa sakit ini (lihat
Bab 9).

Gbr 15-23

Kontak pada stop anterior, menandai posisi anterior yang diinginkan, yang dibuat
alur dengan bur bundar kecil. Hal ini akan membantu pasien dalam kembali ke
posisi mandibula yang diinginkan.

Jika tidak ada tanda-tanda atau gejala yang dicatat, posisi ini ditetapkan sebagai posisi
anterior uang benar untukalat. Jika gejala sendi masih ada, posisi tidak memuaskan dan
yang baru harus dipastikan.
Tujuan pengobatan dari anterior positioning appliance adalah untuk menghilangkan suara
sendi dan nyeri. Namun, meskipun menghilangkan suara sendi dapat membantu
menentukan posisi mandibular yang tepati, tidak adanya suara tidak selalu menunjukkan
bahwa kondilus sedang beristirahat di zona intermediate diskus. Kedua arthrography dan
computed tomografi scanning telah diungkapkan bahwa suara sendi bahkan ketika
dieliminasi oleh anterior positioning appliance, beberapa diskus masih salah tempat atau
dislokasi. Itu telah dikemukakan bahwa teknik lebih canggih seperti arthroscopy atau
resonansi magnetik imaging digunakan untuk membantu dalam menemukan posisi
optimal mandibula untuk alat. pasti akan sangat membantu, namun sebagian besar
praktisi akan menemukan teknik-teknik praktis dan terlalu mahal. Oleh karena itu lebih
layak untuk menetapkan posisi awalnya dengan menggunakan suara sendi klinis dan, jika
alat gagal untuk mengurangi gejala, kemudian gunakan teknik yang lebih canggih untuk
bantuan.

Ketika gejala sendi telah dieliminasi dan diperiksa oleh stop anterior, alat diambil keluar
dari mulut pasien dan self-curing akrilik ditambahkan ke sisa permukaan oklusal
sehingga semua kontak oklusal dapat dibentuk (Gambar 15-24).

Gbr. 15-24

Self-curing akrilik ditambahkan ke seluruh area oklusal dari alat kecuali stop
anterior. Sebuah keunggulan dari resin adalah membentuk lingual ke kontak masa
depan gigi anterior mandibula. Ini akan membentuk panduan jalan retrusive.
Akrilik yang setting dikeringkan dengan jarum suntik udara dan kemudian dibilas
dengan air hangat sebelum ditempatkan dalam pasien mulut.

Dokter harus mencatat bahwa stop anterior tidak harus ditutupi oleh akrilik. Sebuah
kelebihan akrilik ditempatkan di daerah anterior palatal, yang akan diletakkan lingual ke
gigi anterior mandibula saat oklusi. Akrilik yang setting dikeringkan dengan jarum suntik
udara dan dibilas dalam air hangat, dan alat ini kemudian dikembalikan ke mulut. Pasien
diminta untuk menutup perlahan ke daerah berlekuk pada stop anterior. Penutupan awal
dapat dibantu oleh menginstruksikan pasien ke dalam posisi yang tepat (Gambar 15-25).
Karena pasien mungkin tidak mampu menutup langsung ke alur, posisi sedikit lebih
anterior didorong, dan, setelah stop anterior disentuh, pasien perlahan-lahan dapat
membawa mandibula ke posterior sampai alur dirasakan. Dengan cara ini, akrilik yang
setting yang akan menjadi panduan jalan anterior akan terganggu. Ketika gigi anterior
mandibula dirasakan berkontak di alur pada stop anterior, posisi diverifikasi dengan
membuka dan menutup beberapa kali (Gambar 15-26). Ketika resin menjadi kuat dan
sebelum panas dihasilkan, alat disingkirkan dan dibiarkan benchcure.

Gbr 15-25

Pasien menggigit ke akrilik yang setting pada posisi anterior yang diinginkan
ditentukan oleh alur.

Gbr 15-26
Ketika gigi anterior mandibula dipisahkan dari akrilik yang setting, jejak yang
dibentuk oleh gigi anterior mandibula dapat dilihat. Resin lingual pada gigi
anterior ditunjukkan. Ini akan memberikan panduan retrusive.

15.2.2.3.3 Penyesuaian Oklusi


Seperti stabilization appliance, alat posisi anterior membutuhkan kontak oklusal yang
datar untuk semua gigi oklusi. Perbedaan dengan alat ini adalah penuntun jalan anterior,
yang mengharuskan mandibula untuk beranggapan posisi yang lebih maju ke PIC
(Gambar 15-27)

Alat dievaluasi, kelebihan kasar dikeluarkan dengan roda karet keras pada bubut. Sebuah
bur akrilik dalam slow-speed handpiece memperhalus resin akrilik. datar kontak oklusal
dikembangkan untuk gigi posterior, dan jalan besar ingual di daerah anterior hanya
dihaluskan. Alat dikembalikan ke mulut, dan pasien menutup di posisi maju. Setelah
beberapa tap di atas kertas artikulasi merah di alat dihapus dan dievaluasi. Bunyi kontak
harus terlihat pada semua ujung cusp. Dalam banyak kasus resin yang setting akan sedikit
menyusut, tidak membiarkan ujung cusp untuk mencapai kedalaman dari jejak, dan
menghasilkan tanda seperti donat. Ketika ini terjadi, resin sekitar jejak masing-masing
harus dikurangi, memungkinkankatup untuk kontak sepenuhnya dalam fossa tersebut.
Well-adjusted appliance memungkinkan kontak pada semua gigi secara merata dan
serentak ditetapkan di posisi depan (Gambar 15-28). Jika pasien ingin meretrusikan
mandibula, jalan panduan menonjol anterior akan menghubungi gigi insisivus mandibula
dan selama gerakan penutupan kembali mandibula ke gigi incisivus mandibula yang
diinginkan dan selama gerakan penutupan kembali mandibula ke posisi yang diinginkan
(Gbr. 15-29). Jalan dikembangkan ke permukaan sliding yang halus agar tidak mengunci
gigi dalam posisi apapun.

15.2.2.3.4 Kriteria Akhir dari Anterior Positioning Appliance


Berikut lima kriteria yang harus dipenuhi oleh anterior positioning appliance sebelum itu
diberikan kepada pasien:
1. Itu harus secara akurat sesuai dengan gigi maksila dengan stabilitas total dan
retensi ketika di kontak dengan gigi mandibula dan ketika diperiksa oleh palpasi
digital.
2. Di posisi depan , semua gigi mandibula harus berkontak bahkan dengan
kekuatan.
3. Posisi yang didirikan oleh alat harus menghilangkan gejala sendi saat membuka
dan menutup ke dan dari posisi itu.
4. Dalam rentang gerakan retrusi, jalan panduan besar ingual retrusive harus
berkontakdan, pada penutupan, mengarahkan mandibula ke posisi terapi.
5. Alat harus dipoles halus dan kompatibel dengan yang berdekatan struktur
jaringan lunak.

Gbr 15-27
A, anterior positioning appliance menyebabkan mandibula untuk mengasumsikan
posisi ke depan, menciptakan hubungan kondilus-diskus yang lebih
menguntungkan. B, Selama penutupan normal kontak gigi depan mandibula
dalam jalan disediakan oleh alat maksila yang. C, mandibula naik ke oklusi, jalan
menyebabkannya bergeser
ke posisi yang diinginkan yang akan menghilangkan kekacauan gangguan diskus.
Pada posisi depan yang diinginkan, semua gigi berkontak untuk menjaga stabilitas
lengkung.

15.2.2.3.5 Instruksi dan Penyesuaian


Seperti stabilization appliance, instruksi mengenai pemasangan dan pelepasan anterior
positioning appliance diberikan, serta saran perawatan yang tepat. Pasien diinstruksikan
untuk memakai alat hanya pada malam hari. Pada siang hari alat tidak boleh dikenakan
sehingga fungsi normal dari kondilus akan mendorong perkembangan jaringan ikat
fibrosis pada jaringan retrodiscal. Jika pasien melaporkan nyeri srharian alat dapat
dipakai untuk jangka waktu yang singkat sepanjang hari untuk mengurangi rasa sakit.
Sesegera rasa sakit ditangani, penggunaan alat ini terbatas hanya malam hari (lihat Bab
13 dan 16).

Beberapa dokter lebih memilih untuk menggunakan alat posisi mandibula anterior karena
mungkin lebih dapat diterima dari sudut pandang fungsional dan estetik. Masalah
fungsional dan estetik hanya penting jika alat tersebut untuk dikenakan pada siang hari.
Seperti hanya disebutkan, ini adalah jarang diperlukan untuk sebagian besar pasien
dengan perpindahan diskus dan dislokasi dengan pengurangan. Jika alat mandibula
digunakan, pasien harus diinstruksikan untuk mempertahankan posisi depan diatur oleh
alat mandibula. Alat maksila terbaik untuk penggunaan malam hari karena pasien tidak
bisa secara sadar mempertahankan posisi depan. Sangat mungkin bahwa selama tidur
mandibula akan retrusi dan alat maksila (dengan jalan retrusive menonjol) yang lebih
baik akan membatasi gerakan ini (Gambar 15-30).

Gbr 15-28
A, Kontak semua gigi dan panduan memotong jalan panduan anterior
diperlihatkan dalam pandangan oklusal dari alat posisi anterior maksila. B,
pandangan frontal dari maxillaty anterior positioning appliance.

Lamanya waktu bahwa alat yang dikenakan akan ditentukan oleh tingkat, jenis, dan
kronisitas gangguan tersebut. Kesehatan dan usia pasien juga adalah faktor dalam
pengobatan (lihat Bab 13).

Gbr 15-29

A, panduan jalan Anterior saat pasien mencoba untuk menutup ke intercusp


maksimum intercuspation. Gigi anterior mandibula berkontak dengan jalan. B,
jalan yang membimbing mandibula maju ke posisi yang akan menghilangkan
kekacauan gangguang diskus.

15.2.3 BITE PLANE ANTERIOR


15.2.3.1 Deskripsi dan Tujuang Perawatan
Bite plane anterior adalah alat akrilik keras dikenakan di atas gigi maksila, yang
menyediakan kontak hanya dengan gigi anterior mandibula (Gambar 15-31). Hal ini
terutama ditujukan untuk memisahkan gigi posterior dan dengan demikian
menghilangkan pengaruh mereka pada fungsi sistem pengunyahan.

15.2.3.2 Indikasi
Bite plane anterior telah diusulkan untuk pengobatan gangguan otot yang berhubungan
dengan ketidakstabilan ortopedi atau perubahan akut dalam kondisi oklusal (Gambar 15-
32). Kegiatan parafungsional juga dapat diobati dengan alat itu untuk waktu yang singkat.
Beberapa komplikasi utama dapat muncul ketika bite plane anterior atau alat yang
mencakup hanya sebagian dari satu lengkungan yang digunakan. Gigi antagonis posterior
memiliki potensi untuk supra erupsi. Jika alat ini dipakai terus menerus atau beberapa
minggu atau bulan, ada kemungkinan besar bahwa gigi antagonis posterior mandibula
akan supra erupsi. Ketika ini terjadi dan alat dilepas, gigi anterior tidak akan kontak lebih
lama dan hasilnya akan menjadi gigitan terbuka anterior.

Gbr 15-30 ALAT POSISI ANTERIOR MANDIBULA

Berbeda dengan stabilization appliance , masing-masing cusp sentris pada alat ini
cocok menjadi depresi kecil atau fossa, yang menentukan posisi depan yang
diinginkan. Alat ini hanya digunakan ketika posisi mandibula siang hari
diperlukan untuk mengurangi gejala. Segera setelah gejala dikendalikan siang
hari, alat tersebut diesingkirkan. Penggunaan malam hari dari alat posisi maksila
dilanjutkan sampai adaptasi jaringan yang memadai terjadi.

Gbr 15-31 BITE PLANE ANTERIOR

A, alat menyediakan kontak oklusal hanyapada gigi anterior

Terapi bite plane anterior harus diawasi secara ketat dan hanya digunakan untuk jangka
pendek. Efek pengobatan yang sama dapat dicapai dengan stabilization appliance , dan
karena ini biasanya adalah pilihan yang lebih baik. Ketika sebuah perangkat lengkung-
penuh ini dibuat dan disesuaikan, supra erupsi tidak bisa terjadi terlepas dari lamanya
waktu alat dipakai.

Baru-baru ini perangkat telah dipasarkan sebagai hal baru dan bermanfaat bagi
manajemen sakit kepala. Stabilization appliance telah ditunjuk oleh inventor45
Ketegangan yang dimiliki oleh Nociceptive Trigeminal Inhibition Tension Suppression
System (NTI TSS) atau NTI. Konsep ini tidak baru, hanya ide yang dibangkitkan dari
literatur tentang bite plane anterior. Pada kenyataannya, itu adalah bite plane plane
anterior yang hanya memungkinkan anterior insisivus sentralis untuk beroklusi. Kertas
awal menyarankan bahwa NTI hanya sedikit lebih efektif daripada terapi alat standar
untuk pengurangan rasa sakit kepala. Namun, penulis studi ini tidak membandingkan NTI
dengan stabilization appliance yang akan memiliki perwakilan standar emas untuk alat
terapi. Sebaliknya, mereka membandingkannya dengan pemutihan belaching tray belum
pernah dievaluasi untuk sakit kepala. Membandingkan dua variabel adalah kesalahan
fatal dalam desain penelitian dan demikian hasil yang valid. Dalam suatu desain yang
lebih ilmiah uji coba parallel secara acak, NTI tidak lebih efektif dibandingkan alat
appliance untuk TMD dan gejala sakit kepala. Al Quran juga menemukan bahwa NTI
tidak lebih efektif dari stabilization appliance untuk TMD. Dalam rancangan baik yang
lainnya, secara acak kontrol studi, NTI itu tidak efektif sebagai stabilization appliance di
hampir semua parameter ukur. Bahkan, sebuah temuan penting yang menarik adalah
bahwa 1 dari 15 pasien mengembangkan gigitan terbuka anterior dengan NTI, sedangkan
tidak ada pasien memakai appliance stabilization memiliki perubahan oklusal. Hal ini
menunjukkan bahwa NTI menimbulkan faktor risiko yang lebih besar secara permanen
mengubah oklusi dibandingkan stabilization appliance.

Ada sedikit keraguan bahwa alat oklusal dapat mengurangi beberapa sakit kepala pada
beberapa individu. Penyelidikan lebiih lanjut apa yang perlu adalah jenis rspon sakit
kepala terhadap jenis alat apa Apa yang perlu penyelidikan lebih lanjut adalah jenis
respon sakit kepala menanggapi apa jenis peralatan. Data sangat kurang saat ini. Alat
yang ideal harus memiliki efektivitas maksimum dengan efek samping minimal dan biaya
yang efektif. Kebutuhan profesi untuk menentukan secara ilmiah alat ini dan tidak cepat
melompat ke klaim tak berdasar orang-orang dengan kepentingan bisnis.

Gbr 15-32
A, pasien ini telah memakai alat mandibula selama 4 bulan yang molar kedua
mandibula tidak termasuk di dalamnya. Sementara alat sedang dipakai, molar
kedua supra erupsi. B, Bila alat telah dilepas dan pasien diminta untuk beroklusi,
hanya molar kedua yang erupsi yang berkontak dengan molar maksila. Memakai
ini telah menciptakan gigita terbuka anterior.

15.2.1 BITE PLANE POSTERIOR

15.2.4.1 Deskripsi dan Tujuan Perawatan


Bite plane posterior biasanya dibuat untuk gigi rahang bawah dan terdiri dari bidang
akrilik keras terletak di atas gigi posterior dan dihubungkan oleh sebuah bar logam cor
lingual (Gambar 15-33). Tujuan pengobatan dari bite plane posterior adalah untuk
mencapai perubahan besar dalam dimensi vertikal dan posisi mandibula.

Gbr 15-33 BITE LANE POSTERIOR

Catatan alat ini hanya menyediakan kontak oklusal pada gigi posterior
15.2.4.2 Indikasi
Bite plane posterior telah dianjurkan dalam kasus berat kehilangan dimensi vertikal atau
ketika ada kebutuhan untuk membuat perubahan besar dalam posisi anterior dari
mandibula. Beberapa terapis telah menyarankan bahwa alat ini dapat digunakan oleh atlet
untuk meningkatkan atletik kinerja. Saat ini, bagaimanapun, bukti ilmiah tidak
mendukung teori ini.

Penggunaan perangkat ini mungkin berguna untuk gangguan kekacauan disc tertentu,
meskipun hal ini alat ini belum diteliti dengan baik untuk kondisi ini. Seperti dengan bite
plane anterior, kekhawatiran utama seputar alat ini adalah bahwa alat itu beroklusi hanya
dengan sebagian dari lengkung gigi dan oleh karena itu memungkinkan potensi supra
erupsi dari gigi antagonis dan / atau gangguan dari oklusi gigi (Gambar 15-34).
Penggunaan konstan dan jangka panjang harus dianjurkan. Pada kebanyakan kasus,
ketika kekacauan
gangguan diskus dirawat, seluruh lengkung harus disertakan, sebagaimana dengan
anterior positioning appliance.

15.2.5 PIVOTING APPLIANCE

15.2.5.1 Deskripsi dan Tujuan Perawatan


Pivoting posterior adalah perangkat akrilik keras yang menutupi satu lengkung dan
biasanya menyediakan kontak tunggal posterior di setiap kuadran (Gambar 15-35).
Kontak ini biasanya dibentuk sejauh mungkin ke posterior. Ketika kekuatan superior
diterapkan di bawah dagu, kecenderungannya adalah untuk mendorong gigi anterior
menutup bersama poros kondilus menurun di sekitar titik pivoting posterior.

Gbr 15-34
Pasien ini telah memakai alat gigitan alat gigitan posterior terus menerus selama
sekitar 1 tahun. A, Dengan alat tersebut di tempat, semua gigi berkontak. B,
Ketika alat ini dilepaskan, itu bisa dengan mudah dilihat bahwa gigi tidak lagi
berkontak dalam posisi intercusp. Alat ini telah mengintrusi gigi atau
memungkinkan potensi supra erupsi dari gigi anterior (atau keduanya). C,
pandangan Anterior dari pasien lain yang telah memakai alat alat gigitan posterior
selama beberapa tahun. Gigi anterior yang beroklusi normal. D, pandangan lateral
dengan alat ini di tempat. E, Bila alat dikeluarkan, hasilnya gigitan terbuka
posterior yang signifikan. Perubahan oklusal tidak diinginkan menggambarkan
kelemahan utama dari jenis alat ini.

Gbr 15-35 POSTERIOR PIVOTING APPLIANCE


A, Banyak dokter percaya bahwa perangkat ini akan menyebabkan gangguan
condilus, namun, hal ini belum didokumentasikan. B, Karena poros adalah
anterior dengan kekuatan otot elevator (masseter dan temporalis), sendi terpasang
ke posisi stabil musculoskeletal sementara gaya yang diterapkan pada gigi
posterior menghubungi poros. Studi menunjukkan bahwa seperti sebuah alat
beban sendi, itu tidak mengalihkan perhatian sendi. gangguan terjadi hanya jika
kekuatan ekstraoral diterapkan ke atas dagu.

15.2.5.2 Indikasi
Pivoting appliance pada awalnya dikembangkan dengan gagasan bahwa hal itu akan
mengurangi tekanan interarticular dan dengan demikian menurunkan permukaan artikular
pada sendi. Hal ini dianggap memungkinkan ketika gigi anterior bergerak mendekat
bersama-sama, menciptakan titik tumpu sekitar molar kedua, Putaran kondilus ke bawah
dan ke belakang jauh dari fossa. Namun, efek seperti itu dapat terjadi hanya jika kekuatan
yang menutup mandibula terletak anterior ke poros. Sayangnya, kekuatan otot elevator
terletak utamanya posterior titik tumpu, yang karenanya melarang tindakan berputar.
Bahwa pada awalnya disarankan bahwa terapi ini akan membantu dalam mengobati
suara sendi, sekarang tampak bahwa anterior positioning appliance lebih cocok untuk
tujuan ini karena memberikan kontrol yang lebih baik dari posisi perubahan. Mungkin
efek yang positif bahwa pivoting appliance mungkin menawarkan dalam perpindahan
diskus atau pasien dislokasi adalah bahwa poros tidak membatasi posisi mandibula dan
oleh karena itu pasien dapat menutup dan posisi mandibula lebih ke bawah dan ke depan
untuk menghindari poros. Jika hal ini terjadi kondilus akan diposisikan diam dalam
jaringan retrodiscal, menyediakan terapi yang berpengaruh pada gangguan tersebut.
Pemikiran ini bersifat spekulatif, dan penelitian ilmiah diperlukan untuk lebih baik
memahami apakah alat ini mempunyai kegunaan dalam kedokteran gigi.

Pivoting appliance juga telah dianjurkan untuk pengobatan gejala yang berkaitan dengan
osteoarthritis TMJs. Ini juga telah disarankan bahwa perangkat dimasukkan dan perban
elastis membungkus dari dagu ke atas kepala untuk mengurangi gaya padasendi.
Pedoman kekuatan ekstraoral ke dagu juga dapat digunakan untuk mengurangi tekanan
intra-artikular.

Studi menunjukkan bahwa pivoting appliance tanpa kekuatan ekstraoral sebenarnya


menampung kondilus dalam posisi anterosuperior di fossa tersebut. Jadi tidak
membongkar TMJs. Namun studi lain, Mocayo menemukan bahwa ketika pasien
menempatkan bibir mereka bersama-sama dan menggigit pada pivoting appliance
bilateral, ada rata-rata 1,3 mm condylar di bawah fossa seperti diungkapkan oleh
tomografi. Studi yang bertentangan ini mengungkapkan kebutuhan untuk penyelidikan
lebih lanjut.

Alat satu-satunya yang secara rutin dapat mengalihkan distraksi dari kondilus fossa
adalah unilateral pivot appliance. Ketika pivot unilateral ditempatkan di wilayah molar
kedua, menutupi mandibula itu akan memuat sendi kontralateral dan sedikit distraksi
satu ipsilateral (yaitu, meningkatkan ruang discal). Biomekanik dari alat ini mungkin
tampak diindikasikan untuk pengobatan dislokasi akut diskus unilateral tanpa
pengurangan. Namun, tidak ada bukti ilmiah saat ini bahwa perawatan semacam ini
efektif dalam mengurangi diskus. Perangkat ini tidak boleh digunakan selama lebih dari 1
minggu karena kemungkinan mengganggu molar kedua yang digunakan sebagai sumbu
(Gambar 15-36).

Gbr 15-36
A, photo Klinis dari mandibula pivoting appliance. Hanya molar pertama maksila
berkontak dengan alat. B, Pasien memakai pivot appliance ini terus menerus
hanya 2 minggu. Ketika itu dilepas, oklusi berubah. Molar pertama maksila yang
terintrusi keluar dari kontak oklusal.

15.2.6 ALAT LUNAK DAN LENTUR

15.2.6.1 Deskripsi dan Tujuan Perawatan


Alat lunak adalah perangkat dibuat dari bahan lentur yang biasanya disesuaikan dengan
gigi maksila. Tujuan pengobatan adalah untuk mencapai bahkan dan kontak simultan
dengan gigi lawan. Banyak kasus hal ini sulit untuk dicapai justru karena sebagian besar
bahan lunak tidak mudah menyesuaikan diri dengan persyaratan yang tepat dari sistem
neuromuskular.

15.2.6.2 Indikasi
Alat lunak telah dianjurkan untuk beberapa kegunaan. Sayangnya sedikit bukti untuk
mendukung banyak dari ini. Tentu saja indikasi yang paling umum dan baik-dibuktikan
adalah sebagai perangkat pelindung untuk orang-orang yang cenderung menerima trauma
pada lengkungan gigi mereka (Gambar 15-37). Splints atletik pelindung mengurangi
kemungkinan kerusakan pada struktur oral ketika trauma diterima.

Alat lunak juga telah direkomendasikan untuk pasien yang menunjukkan tingkat tinggi
dari clenching dan bruxism. Tampaknya masuk akal bahwa mereka harus membantu
menghilangkan beberapa kekuatan beban berat ditemui selama kegiatan parafungsional.
Alat lunak belum terbukti menurunkan aktivitas bruxism aktivitas nocturnal. Bahkan
dalam sebuah penelitian Okeson menunjukkan bahwa Okeson18 nocturnal masseter
aktivitas nocturnal elektromiografi meningkat dalam 5 dari 10 subyek dengan alat lunak.
hal yang sama studi 8 dari 10 subyek memiliki penurunan yang signifikan dari aktivitas
nocturnal elektromiografi dengan alat stabilisasi keras. (Hanya satu subjek menunjukkan
pengurangan aktivitas dengan lunak). Penelitian lain mengevaluasi efektivitas alat keras
dan lunak pada gejala menunjukkan bahwa meskipun alat lunak dapat mengurangi gejala
alat keras tampaknya mengurangi gejala lebih cepat dan efektif. alat keras tampaknya
mengurangi aktivitas elektromiografi dari otot masseter dan otot temporalis lebih
daripada alat lunak sementara mengendalikan dari clenching gigi. Dalam studi saat ini
penggunaan jangka pendek dari alat lunak ini terbukti lebih membantu daripada terapi ini
paliatif dan tidak ada terapi dalam mengurangi gejala TMD . Baru-baru ini Truelove et al.
menunjukkan bahwa alat keras dan lunak keduanya tampaknya mengurangi gejala TMD.

Gbr 15-37 ALAT LUNAK DAN LENTUR

Ini digunakan untuk melindungi selama aktivitas atlit

Bukti ilmiah mendukung penggunaan alat keras untuk mengurangi gejala yang
berhubungan dengan aktivitas clenching dan aktivitas bruxism . Alat lunak telah kurang
didokumentasikan dalam literatur ilmiah namun penelitian yang lebih baru menunjukkan
bahwa beberapa mungkin membantu dalam beberapa pasien untuk penggunaan jangka
pendek.

Peralatan soft telah dianjurkan untuk pasien yang menderita sinusitis kronis atau berulang
mengakibatkan gigi posterior sangat sensitif. Dalam beberapa kasus sinusitis maksila gigi
posterior (dengan akar memluas ke daerah sinus) menjadi sangat sensitif terhadap
kekuatan oklusal. Alat lunak dapat membantu mengurangi gejala, meskipun pengobatan
definitif diarahkan pada sinusitis.

15.3 PENGOBATAN UMUM PERTIMBANGAN ALAT TERAPI

Seperti yang dinyatakan sebelumnya, banyak bukti penelitian menunjukkan bahwa terapi
alat oklusal adalah pengobatan yang berhasil dalam mengurangi gejala pada 70% sampai
90% dari TMD. Namun, ada banyak kontroversi mengenai mekanisme yang tepat di
mana peralatan oklusal mengurangi gejala. Dalam studi sebelumnya banyak penulis
menyimpulkan, bahwa peralatan oklusal mengurangi aktivitas otot (terutama aktivitas
parafungsional). Ketika aktivitas otot menurun, nyeri myogenous menurun. Penurunan
aktivitas otot. Para aktivitas otot berkurang juga mengurangi kekuatan yang ditempatkan
pada TMJs dan struktur lainnya dalam sistem pengunyahan. Ketika struktur ini
diturunkan, gejala yang terkait menurun. Beberapa dari kontroversi yang masih ada
adalah di mana ciri khusus dari alat penurunan aktivitas otot. Sayangnya, banyak dokter
membuat perangkat oklusal dan, sebagai gejala membaik, itu menegaskan kepada mereka
diagnosis yang telah ditetapkan sebelumnya. Mereka kemudian segera mengarahkan
pengobatan permanen menuju fitur dari sistem pengunyahan yang mereka percaya alat
telah mempengaruhi. Dalam beberapa kasus mereka mungkin benar, namun, dalam kasus
lain, pengobatan ini mungkin sangat tidak pantas.

Sebelum setiap terapi permanen dimulai, orang harus menyadari bahwa setidaknya tujuh
fitur umum berlaku umum untuk semua peralatan, yang mungkin menjelaskan mengapa
peralatan oklusal mengurangi gejala terkait dengan TMD. Masing-masing kemungkinan
harus dipertimbangkan sebelum terapi permanen oklusal diupayakan:
1. Perubahan kondisi oklusal: Semua peralatan oklusal sementara mengubah kondisi
oklusal yang sudah ada. Suatu perubahan, terutama terhadap kondisi yang lebih
stabil dan optimal, umumnya menurunkan aktivitas otot, yang dapat
mengakibatkan pengurangan gejala. Konsep ini telah diterima selama bertahun-
tahun dan sering dianggap oleh banyak menjadi cara hanya dengan yang peralatan
oklusal mempengaruhi gejala TMD. Pendekatan ini mencerminkan pandangan
sempit dan
dapat menyebabkan dokter untuk membuat perubahan oklusal yang tidak
permanen Sebelum ada perubahan permanen dimulai, berikut enam pertimbangan
tambahan perlu dipertimbangkan.
2. Perubahan posisi condylar: peralatan kebanyakan mengubah posisi condylar ke
salah satu lebih MS atau posisi yang lebih struktural kompetibel dan fungsional.
Efek pada stabilitas sendi dapat bertanggung jawab untuk penurunan gejala.
3. Peningkatan dimensi vertikal: Semua peralatan interocclusal sementara
meningkatkan dimensi vertikal pasien . Efek ini bersifat universal terlepas dari
tujuan pengobatan. Telah ditunjukkan bahwa peningkatan dimensi vertikal
sementara dapat menurunkan aktivitas otot. Oleh karena itu perubahan ini
mungkin bertanggung jawab untuk pengurangan gejala.
4. Kesadaran kognitif: Pasien yang memakai peralatan oklusal menjadi lebih sadar
dari perilaku fungsional dan parafungsional mereka. Alat bertindak sebagai
pengingat untuk mengubah kegiatan yang dapat mempengaruhi gangguan
tersebut. Sebagai kesadaran kognitif meningkat, faktor yang berkontribusi
terhadap gangguan tersebut diturunkan. Hasilnya adalah penurunan gejala.
5. Efek Placebo: Seperti pengobatan apapun, efek plasebo dapat menghasilkan.
Studi menunjukkan bahwa sekitar 40% dari pasien yang menderita TMD tertentu
merespon menguntungkan untuk pengobatan tersebut. Efek plasebo positif
mungkin menghasilkan dari cara yang kompeten dan meyakinkan di mana dokter
mendekati pasien dan memberikan terapi. Hubungan dokter-pasien yang
menguntungkan, disertai dengan penjelasan tentang masalah dan jaminan bahwa
alat akan efektif, sering mengarah ke penurunan stres emosional yang dialami
oleh pasien, yang mungkin merupakan faktor penting yang bertanggung jawab
untuk efek plasebo.
6. Peningkatan perifer input ke sistem saraf pusat (SSP): Seperti yang telah dibahas
dalam Bab 7, hiperaktivitas otot nokturnal tampaknya memiliki sumbernya dalam
SSP. Setiap perubahan pada masukan sensorik perifer tampaknya memiliki efek
penghambatan pada aktivitas SSP. ketika sebuah alat oklusal ditempatkan antara
gigi, memberikan perubahan sensorik perifer masukan dan dengan demikian
mengurangi SSP-induksi bruxism. Alat tidak menyembuhkan bruxism, hanya
menghambat kecenderungan bruxing saat itu sedang dipakai. Studies19, 90,91
menunjukkan bahwa bahkan setelah jangka panjang penggunaan suatu alat ,
bruxism kembali jika penggunaan perangkat dihentikan. Juga, ketika sebuah
individu memakai sebuah alat setiap malam, mungkin masih ada pengembalian
bruxism sebagai pasien mengakomodasi dengan masukan sensorik diubah.
7. Regresi untuk rerata: Regresi untuk rerata adalah istilah statistik yang membahas
fluktuasi umum gejala yang berhubungan dengan kondisi nyeri kronis. Jika salah
satu berikut gejala pasien TMD dari waktu ke waktu, hal itu akan dicatat bahwa
intensitas nyeri sering bervariasi setiap hari. Beberapa hari akan sangat
menyakitkan, sedangkan hari-hari lain yang lebih ditoleransi. Jika pasien diminta
untuk menilai intensitas nyeri setiap hari pada analog visual skala dengan 0
menjadi tidak ada rasa sakit dan 10 rasa sakit terburuk mungkin pernah, pasien
mungkin melaporkan rata-rata per hari menjadi 3. Hal ini akan mewakili nilai
nyeri rata-rata sesorang. Namun, beberapa hari nyeri dapat mencapai 7 atau 8 tapi
kemudian sering dengan waktu rasa sakit kembali ke tingkat rata-rata 3. Pasien
paling sering melapor ke klinik gigi ketika intensitas nyeri besar karena itu sering
menjadi faktor yang memotivasi mereka untuk mencari pengobatan. Ketika dokter
memberikan terapi (seperti alat oklusal) dan gejala berkurang ke tingkat rata-rata
3, kita harus mempertanyakan apakah pengurangan gejala sebenarnya efek
terapeutik pengobatan atau apakah gejala pasien hanya mundur ke rerata. Faktor
ini dapat membingungkan untuk dokter dan dapat menyebabkan penyesatan
pengobatan di masa mendatang. Studi jangka pendek tak terkontrol yang
melaporkan keberhasilan berbagai terapi berbagai perlu dipertanyakan mengenai
efek sebenarnya. Adalah pengurangan gejala yang disebabkan oleh efek terapi
sebenarnya dari modalitas, atau apakah itu regresi untuk rerata? Pentingnya dar
baik-terkontrol, studi buta menjadi jelas ketika mencoba untuk menjawab
pertanyaan ini.

Ketika gejala-gejala pasien dikurangi dengan terapi alat oklusal, masing-masing dari
tujuh faktor harus dianggap bertanggung jawab atas keberhasilan. Pengobatan permanen
harus ditunda sampai ada bukti yang signifikan untuk menyingkirkan faktor-faktor lain.
Misalnya, seorang pasien melaporkan sakit parah yang berhubungan dengan nyeri otot
pengunyahan. Pemeriksaan klinis menunjukkan kerugian yang jelas dari dimensi vertikal.
Sebuah perangkat yang dibuat untuk membangun kembali dimensi itu. Dalam 1 minggu
pasien melaporkan merasa tidak ada gejala. Awalnya tampak bahwa peningkatan dimensi
vertikal telah bertanggung jawab untuk menghilangkan gejala, tetapi enam faktor lainnya
tidak dapat dikesampingkan. Sebelum perubahan permanen dimensi vertikal dilakukan,
upaya harus dilakukan untuk memverifikasi efek perubahan dimensi vertikal atau
mengesampingkan faktor-faktor lainnya. Perangkat harus secara bertahap menipis sambil
mempertahankan kontak oklusal yang sama dan posisi kondilus. Signifikansi penurunan
dari dimensi vertikal dikonfirmasi jika gejala kembali karena alat sudah ditipiskan.
Meminta pasien terus memakai alat pada dimensi vertikal yang benar selama 4 sampai 6
minggu akan sering mengurangi efek plasebo karena efek ini adalah terbesar selama
kontak awal dengan pasien. Jika pasien tetap nyaman, f sampai 6 minggu terapi alat
dengan tidak ada gejala kembali, pasien harus diminta untuk melepaskan alat selama
beberapa hari. Kambuhnya gejala dapat mengkonfirmasi diagnosis dari penurunan
dimensi vertikal, tetapi tidak mengesampingkan faktor lain seperti kondisi oklusal atau
posisi kondilus. Jika gejala tidak kembali, maka faktor-faktor lain (misalnya, kognitif
kesadaran, efek plasebo, bruxing terkait dengan stres emosional, regresi untuk rerata)
harus dipertimbangkan. Stres emosional sering siklik dan membatasi diri dan dapat
berkontribusi pada eskalasi nyeri otot lokal.

Yang penting, setiap perubahan mendadak dalam penurunan dimensi vertikal tampaknya
memiliki efek positif pada pengurangan banyak gejala TMD (terutama myalgia). Efek
ini, bagaimanapun, mungkin hanya bersifat sementara dan tidak menunjukkan bahwa
perubahan permanen dalam penurunan dimensi vertikal akan terus menyelesaikan gejala
TMD. Studi tidak menunjukkan bahwa penurunan dimensi vertikal merupakan
penyumbang utama untuk TMD. Karena itu, perawatan lebih harus diambil untuk
menetapkan faktor penyebab yang benar sebelum perubahan dalam penurunan dimensi
vertikal dilakukan.

Singkatnya, meskipun peralatan oklusal mungkin memiliki beberapa nilai diagnostik,


kesimpulan tentang alasan untuk kesuksesan mereka tidak harus buru-buru dilakukan.
Sebelum rencana pengobatan permanen dimulai, banyak bukti harus ada bahwa
pengobatan akan bermanfaat bagi pasien. Misalnya, terapi oklusal yang luas pengobatan
yang tepat untuk kegiatan parafungsional terkait dengan tingkat tinggi dari stres
emosional.

15.4 Referensi

1. Wahlund K, List T, Larsson B: Treatment of temporomandibular disorders among


adolescents: a comparison between alat oklusal, relaxation training, and brief
information, Acta Odontol Scand 61:203-211, 2003.
2. Ekberg E, Nilner M: Treatment outcome of appliance therapy in
temporomandibular disorder patients with myofascial pain after 6 and 12 months,
Acta Odontol Scand 62:343-349, 2004.
3. Kuttila M, Le Bell Y, Savolainen-Niemi E, Kuttila S, Alanen P: Efficiency of alat
oklusal therapy in secondary otalgia and temporomandibular disorders, Acta
Odontol Scand 60:248-254, 2002.
4. Ekberg E, Nilner M: A 6- and 12-month follow-up of appliance therapy in TMD
patients: a follow-up of a controlled trial, Int J Prosthodont 15:564-570, 2002.
5. Wassell RW, Adams N, Kelly PJ: The treatment of temporomandibular disorders
with stabilizing splints in general dental practice: one-year follow-up, J Am Dent
Assoc 137:1089-1098, 2006; quiz 1168-1089.
6. Clark GT: Occlusal therapy: alat oklusals. The president's conference on the
examination, diagnosis and management of temporomandibular disorders,
Chicago, American Dental Association, 1983, pp 137-146.
7. Al-Ani MZ, Davies SJ, Gray RJ, Sloan P, Glenny AM: Stabilisation splint
therapy for temporomandibular pain dysfunction syndrome, Cochrane Database
Syst Rev CD002778, 2004.
8. Forssell H, Kalso E, Koskela P, Vehmanen R, Puukka P et al: Occlusal treatments
in temporomandibular disorders: a qualitative systematic review of randomized
controlled trials, Pain 83:549-560, 1999.
9. Ekberg EC, Vallon D, Nilner M: Alat oklusal therapy in patients with
temporomandibular disorders. A double-blind controlled study in a short-term
perspective, Acta Odontol Scand 56:122-128, 1998.
10. Kreiner M, Betancor E, Clark GT: Occlusal stabilization appliances. Evidence of
their efficacy, J Am Dent Assoc 132:770-777, 2001.
11. Yatani H, Minakuchi H, Matsuka Y, Fujisawa T, Yamashita A: The long-term
effect of occlusal therapy on self-administered treatment outcomes of TMD, J
Orofac Pain 12:75-88, 1998.
12. Ekberg E, Vallon D, Nilner M: The efficacy of appliance therapy in patients with
temporomandibular disorders of mainly myogenous origin. A randomized,
controlled, short-term trial, J Orofac Pain 17:133-139, 2003.
13. Shi CS, Wang HY: Postural and maximum activity in elevators during mandible
pre-and post-occlusal splint treatment of temporomandibular joint disturbance
syndrome, J Oral Rehabil 16:155-161, 1989.
14. Solberg WK, Clark GT, Rugh JD: Nocturnal electromyographic evaluation of
bruxism patients undergoing short term splint therapy, J Oral Rehabil 2:215-223,
1975.
15. Clark GT, Beemsterboer PL, Solberg WK, Rugh JD: Nocturnal
electromyographic evaluation of myofascial pain dysfunction in patients
undergoing occlusal splint therapy, J Am Dent Assoc 99:607-611, 1979.
16. Clark GT, Rugh JD, Handelman SL: Nocturnal masseter muscle activity and
urinary catecholamine levels in bruxers, J Dent Res 59:1571-1576, 1980.
17. Fuchs P: The muscular activity of the chewing apparatus during night sleep. An
examination of healthy subjects and patients with functional disturbances, J Oral
Rehabil 2: 35-48, 1975.
18. Okeson JP: The effects of hard and soft occlusal splints on nocturnal bruxism, J
Am Dent Assoc 114:788-791, 1987.
19. Sheikholeslam A, Holmgren K, Riise C: A clinical and electromyographic study
of the long-term effects of an occlusal splint on the temporal and masseter
muscles in patients with functional disorders and nocturnal bruxism, J Oral
Rehabil 13:137-145, 1986.
20. Kurita H, Kurashina K, Kotani A: Clinical effect of full coverage occlusal splint
therapy for specific temporomandibular disorder conditions and symptoms, J
Prosthet Dent 78:506-510, 1997.
21. Dao TT, Lavigne GJ: Oral splints: the crutches for temporomandibular disorders
and bruxism? Crit Rev Oral Biol Med 9:345-361, 1998.
22. Dos Santos JD Jr, de Rijk WG: Vectorial analysis of the equilibrium of forces
transmitted to TMJ and occlusal biteplane splints, J Oral Rehabil 22:301-310,
1995.
23. Askinas SW: Fabrication of an occlusal splint, J Prosth Dent 28:549-551, 1972.
24. Bohannan H, Saxe SR: Periodontics in general practice. In Morris AL, Bohannan
HM, editors: The dental specialties in general practice, Philadelphia, 1969,
Saunders, pp 294-300.
25. Shulman J: Bite modification appliances—planes, plates and pivots, Va Dent J
49:27-30, 1972.
26. Kornfeld M: Mouth rehabilitation, ed 2, St Louis, 1974, Mosby.
27. Becker CM, Kaiser DA, Lemm RB: A simplified technique for fabrication of
night guards, J Prosthet Dent 32:582-589, 1974.
28. Shore NA: A mandibular autorepositioning appliance, J Am Dent Assoc 75:908-
911, 1967.
29. Grupe HE, Gromeh JJ: Bruxism splint, techniques using quick cure acrylic, J
Periodontol 30:156-157, 1959
30. Hunter J: Vacuum formed bite raising appliances for temporomandibular joint
dysfunction, Dent Tech 27:39-40, 1974.
31. Okeson JP: A simplified technique for biteguard fabrication, J Ky Dent Assoc
29:11-16, 1977.
32. Okeson JP: Biteguard therapy and fabrication. In Lundeen HC, Gibbs CH, editors:
Advances inocclusion, Boston, 1982, John Wright PSG, pp 220-226.
33. Ito T, Gibbs CH, Marguelles-Bonnet R, Lupkiewicz SM, Young HM et al:
Loading on the temporomandibular joint with five occlusal conditions, J Prosthet
Dent 56:478-484, 1986.
34. Wilkinson T, Hansson TL, McNeill C, Marcel T: A comparison of the success of
24- hour occlusal splint therapy versus nocturnal occlusal splint therapy in
reducing craniomandibular disorders, J Craniomandib Disord 6:64, 1992.
35. Schumann S et al: Comparative efficacy of maxillary and mandibular splints for
TMD, J Dent Res 70(special issue):1441, 1991 (abstract).
36. Roberts CA, Tallents RH, Katzberg RW, Sanchez-Woodworth RE, Manzione JV
et al: Clinical and arthrographic evaluation of temporomandibular joint sounds,
Oral Surg Oral Med Oral Pathol 62:373-376, 1986.
37. Manco LG, Messing SG: Splint therapy evaluation with direct sagittal computed
tomography, Oral Surg Oral Med Oral Pathol 61:5-11, 1986.
38. Manzione JV, Tallents R, Katzberg RW, Oster C, Miller TL: Arthrographically
guided splint therapy for recapturing the temporomandibular joint meniscus, Oral
Surg Oral Med Oral Pathol 57:235-240, 1984.
39. Moritz M, Behr M, Held P, Dammer R, Niederdellmann H: Comparative study of
results of electronic axiography with results of magnetic resonance imaging
including MRIassisted splint therapy, Acta Stomatol Belg 92:35-38, 1995.
40. Cohen SG, MacAfee KA II: The use of magnetic resonance imaging to determine
splint position in the management of internal derangements of the
temporomandibular joint, Cranio 12:167-171, 1994.
41. Ramfjord SP, Ash MM: Occlusion, ed 3, Philadelphia, 1983, Saunders.
42. Posselt U: Physiology of occlusion and rehabilitation, ed 2, Philadelphia, 1968,
FA Davis.
43. Krogh-Poulsen WG, Olsson A: Management of the occlusion of the teeth. In
Schwartz L, Chayes CM, editors: Facial pain and mandibular dysfunction,
Philadelphia, 1969, Saunders, pp 236-280.
44. Bruno SA: Neuromuscular disturbances causing temporomandibular dysfunction
and pain, J Prosthet Dent 26:387-395, 1971.
45. Boyd J: The NTI TSS appliance (website): http://www.drjimboyd.com. Accessed
2000.
46. Shankland WE II: Migraine and tension-type headache reduction through
pericranial muscular suppression: a preliminary report, Cranio 19:269-278, 2001.
47. Jokstad A, Mo A, Krogstad BS: Clinical comparison between two different splint
designs for temporomandibular disorder therapy, Acta Odontol Scand 63:218-226,
2005.
48. Al Quran FA, Kamal MS: Anterior midline point stop device (AMPS) in the
treatment of myogenous TMDs: comparison with the stabilization splint and
control group, Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod 101:741-747,
2006.
49. Magnusson T, Adiels AM, Nilsson HL, Helkimo M: Treatment effect on signs
and symptoms of temporomandibular disorders—comparison between
stabilisation splint and a new type of splint (NTI). A pilot study, Swed Dent J
28:11-20, 2004.
50. Wright EF, Clark EG, Paunovich ED, Hart RG: Headache improvement through
TMD stabilization appliance and self-management therapies, Cranio 24:104-111,
2006.
51. Bondemark L, Lindman R: Craniomandibular status and function in patients with
habitual snoring and obstructive sleep apnea after nocturnal treatment with a
mandibular advancement splint: a 2-year follow-up, Eur J Orthod 22:53-60, 2000.
52. Ekberg E, Vallon D, Nilner M: Treatment outcome of headache after alat oklusal
therapy in a randomized controlled trial among patients with temporomandibular
disorders of mainly arthrogenous origin, Swed Dent J 26:115-124, 2002.
53. Kemper JT Jr, Okeson JP: Craniomandibular disorders and headaches, J Prosthet
Dent 49:702-705, 1983.
54. Gelb H: Clinical management of head, neck and TMJ pain and dysfunction,
Philadelphia, 1977, Saunders.
55. Bodenham RS: A biteguard for athletic training. A case report, Br Dent J 129:85-
86, 1970.
56. Smith SD: Muscular strength correlated to jaw posture and the
temporomandibular joint, N Y State Dent J 44:278-285, 1978.
57. Schubert MM, Guttu RL, Hunter LH, Hall R, Thomas R: Changes in shoulder and
leg strength in athletes wearing mandibular orthopedic repositioning appliances, J
Am Dent Assoc 108:334-337, 1984.
58. Yates JW, Koen TJ, Semenick DM, Kuftinec MM: Effect of a mandibular
orthopaedic repositioning appliance on muscular strength, J Am Dent Assoc
108:331-333, 1984.
59. Yin X, Zhang D: [Clinical observation of TMJDS treated with pivot splint],
Chung Hua Kou Chiang Hsueh Tsa Chih 31:357-359, 1996.
60. Watts DM: Gnathosonic diagnosis and occlusal dynamics, New York, 1981,
Praeger.
61. Sato H, Ukon S, Ishikawa M, Ohki M, Kitamori H: Tomographic evaluation of
TMJ loading affected by occlusal pivots, Int J Prosthodont 13:399-404, 2000.
62. Christensen LV, Rassouli NM: Experimental occlusal interferences. Part V.
Mandibular rotations versus hemi-mandibular translations, J Oral Rehabil
22:865-876, 1995.
63. Moncayo S: Biomechanics of pivoting appliances, J Orofac Pain 8:190-196,
1994.
64. Stenger JM, Lawson EA Wright JM, Ricketts J: Mouthguards: protection against
shock to head, neck and teeth, J Am Dent Assoc 69:273-281, 1964.
65. Seals RR Jr, Morrow RM, Kuebker WA, Farney WD: An evaluation of
mouthguard programs in Texas high school football, J Am Dent Assoc 110:904-
909, 1985.
66. Garon MW, Merkle A, Wright JT: Mouth protectors and oral trauma: a study of a
dolescent football players, J Am Dent Assoc 112:663-665, 1986.
67. Block SL, Apfel M, Laskin DM: The use of resilient latex rubber bite appliance in
the treatment of MPD syndrome, J Dent Res 57(special issue):92, 1978 (abstract).
68. Nevarro E, Barghi N, Rey R: Clinical evaluation of maxillary hard and resilient
occlusal splints, J Dent Res 57(special issue):1313, 1985 (abstract).
69. Al Quran FA, Lyons MF: The immediate effect of hard and soft splints on the
EMG activity of the masseter and temporalis muscles, J Oral Rehabil 26:559-563,
1999.
70. Wright E, Anderson G, Schulte J: A randomized clinical trial of intraoral soft
splints and palliative treatment for masticatory muscle pain, J Orofac Pain 9:192-
199, 1995.
71. Truelove E, Huggins KH, Mancl L, Dworkin SF: The efficacy of traditional, low-
cost and nonsplint the rapies for temporomandibular disorder: arandomized
controlled trial, J Am Dent Assoc 137:1099-1107, 2006.
72. Clark GT, Beemsterboer PL, Rugh JD: Nocturnal masseter muscle activity and
the symptoms of masticatory dysfunction, J Oral Rehabil 8:279-286, 1981.
73. Carraro JJ, Caffesse RG: Effect of occlusal splints on TMJ
74. Franks AST: Conservative treatment of temporomandibular joint dysfunction: a
comparative study, Dent Pract Dent Rec 15:205-210, 1965.
75. Pettengill CA Growney MR Jr, Schoff R, Kenworthy CR: A pilot study
comparing the efficacy of hard and soft stabilizing appliances in treating patients
with temporomandibular disorders, J Prosthet Dent 79:165-168, 1998.
76. Dawson PE: Evaluation, diagnosis and treatment of occlusal problems, St Louis,
1974, Mosby.
77. Graf H: Bruxism, Dent Clin North Am 13:659-665, 1969.
78. Christensen J: Effect of occlusion-raising procedures on the chewing system,
Dent Pract Dent Rec 10:233-238, 1970.
79. Rugh JD, Drago CJ: Vertical dimension: a study of clinical rest position and jaw
muscle activity, J Prosthet Dent 45:670-675, 1981.
80. Christensen LV, Mohamed SE, Harrison JD: Delayed onset of masseter muscle
pain in experimental tooth clenching, J Prosthet Dent 48:579-584, 1982.
81. Rugh JD, Robbins JW: Oral habits disorders. In Ingersoll B, editor: Behavioral
aspects in dentistry, New York, 1982, Appleton-Century-Crofts, pp179-202.
82. Rugh JD, Solberg WK: Psychological implications in temporomandibular pain
and dysfunction, Oral Sci Rev 7:3-30, 1976.
83. Oakley ME, McCreary CP, Clark GT, Holston S, Glover D et al: A cognitive-
behavioral approach to temporomandibular dysfunction treatment failures: a
controlled comparison, J Orofac Pain 8:397-401, 1994.
84. Mishra KD, Gatchel RJ, Gardea MA: The relative efficacy of three cognitive-
behavioral treatment approaches to temporomandibular disorders, J Behav Med
23:293-309, 2000.
85. Stockstill JW: The placebo effect. The placebo effect in the management of
chronic myofascial pain: a review, J Am Coll Dent 56:14-18, 1989.
86. Dao TT, Lavigne GJ, Charbonneau A, Feine JS, Lund JP: The efficacy of oral
splints in the treatment of myofascial pain of the jaw muscles: a controlled
clinical trial, Pain 1994;56:85-94, 1994.
87. Greene CS, Laskin DM: Meprobamate therapy for the myofascial pain-
dysfunction (MPD) syndrome: a double-blind evaluation, J Am Dent Assoc
82:587-590, 1971.
88. Greene CS, Laskin DM: Splint therapy for the myofascial pain-dysfunction
(MPD) syndrome: a comparative study, J Am Dent Assoc 84:624-628, 1972.
89. Cassisi JE, McGlynn FD, Mahan PE: Occlusal splint effects on nocturnal bruxing:
an emerging paradigm and some early results, Cranio 5:64-68, 1987.
90. Holmgren K, Sheikholeslam A, Riise C: Effect of a full-arch maxillary occlusal
splint on parafunctional activity during sleep in patients with nocturnal bruxism
and signs and symptoms of craniomandibular disorders, J Prosthet Dent 69:293-
297, 1993.
91. Pierce CJ, Gale EN: A comparison of different treatments for nocturnal bruxism,
J Dent Res 67:597-601, 1988.
92. Harada T, Ichiki R, Tsukiyama Y, Koyano K: The effect of oral splint device son
sleep bruxism: a 6-week observation with an ambulatory electromyographic
recording device, J Oral Rehabil 33:482-488, 2006.
93. Whitney CW, Von Korff M: Regression to the mean in treated versus untreated
chronic pain, Pain 50:281-285, 1992.
94. Yaffe A, Tal M, Ehrlich J: Effect of occlusal bite-raising splint on
electromyographic, motor unit histochemistry and myoneuronal dimension in rats,
J Oral Rehabil 18:343-351, 1991.
95. Rivera-Morales WC, Mohl ND: Relationship of occlusal vertical dimension to the
health of the masticatory system, J Prosthet Dent 65:547-553, 1991.

Anda mungkin juga menyukai