Edisi ke-6
Jeffery P. Okeson
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 1 Anatomi Fungsional dan Biomekanika Sistem
1
Mastikasi
“Tidak ada pengetahuan yang paling penting dalam merawat pasien dibandingkan
pengetahuan anatomi”
--JPO
Sistem mastikasi adalah sebuah unit fungsional tubuh yang berfungsi utama untuk
mengunyah, berbicara, dan menelan. Beberapa bagian juga berperan pentig dalam
pengecapan dan pernafasan. Sistem ini terdiri dari tulang, sendi, ligament, gigi dan otot.
Kemudian, sebuah sistem kontrol neurologik mengatur dan mengkoordinasi semua
bagian structural yang disebut di atas.
Sistem mastikasi merupakan sebuah sistem unit yang sangat kompleks dan halus.
Pengertian mendalam terhadap anatomi dan biomekanika fungsionalnya sangat penting
dalam mempelajari oklusi. Bab ini akan membicarakan bagian-bagian anatomi dasar
yang perlu dalam mempelajari fungsi mastikasi. Penjelasan yang lebih rinci dapat
ditemukan dalam berbagai buku-buku teks yang memang khusus membahas anatomi
kepala dan leher.
1.1
ANATOMI FUNGSIONAL
Dalam bab ini, bagian-bagian anatomi yang akan dibiscarakan adalah sebagai berikut:
gigi geligi dan struktur pendukungnya, komponen skeletal, sendi temporomandibular/
temporomandibular joints (TMJs), ligament, dan otot. Setelah bagian-bagian anatomi ini
dijelaskan, dilanjutkan dengan biomekanik TMJ. Pada Bab 2, sistem pengendalian
neurologik kompleks akan dijelaskan dan dilanjutkan dengan fisiologi sistem mastikasi.
1.1.1.
GIGI GELIGI DAN JARINGAN PENDUKUNG
Gigi geligi manusia teridiri dari 32 gigi geligi permanent (Gbr.1-1). Setiap gigi dapat
dibagi menjadi dua bagian dasar: mahkota, bagian yang terlihat di atas jaringan gingival,
dan akar, yang terbenam di dalam dan dikelilingi oleh tulang alveolar. Bagian akar
melekat pada tulang alveolar melalui sejumlah serat dan jaringan ikat yang membentang
dari permukaan sementum akar ke tulang (Gbr 1-2). Serat-serat ini dikenal sebagai
ligamen periodontal. Ligamen periodontal tidak hanya melekatkan gigi dengan kuat ke
kantong tulang tetapi juga membantu menyebarkan gaya yang diberikan ke tulang selama
kontak fungsional gigi geligi. Sehingga, ligamen periodontal dapat disamakan seperti
peredam kejut.
Ke-32 gigi geligi permanent tersebar secara merata pada lengkung tulang alveolar
maksila dan mandibula: 16 gigi maksila tersusun pada prosesus alveolar maksila, yang
melekat pada bagian bawah anterior tengkorak; 16 gigi lainnya tersusun pada prosesus
alveolar mandibula, yang merupakan rahang yang dapat bergerak. Lengkung maksila
sedikit lebih besar daripada lengkung mandibula, yang menyebabkan gigi maksila
bertumpang tindih dengan gigi mandibular baik dalam arah vertikal maupun horisontal
pada saat oklusi (Gbr 1-3). Perbedaan ukuran ini tertutama disebabkan oleh kenyataan
bahwa (1) gigi geligi anterior maksila lebih lebar daripada gigi geligi mandibula, yang
menciptakan lebar lengkung yang lebih besar, dan (2) gigi geligi anterior maksila
mempunyal angulasi fasial yang lebih besar daripada gigi geligi anterior mandibula, yang
menyebabkan tumpang tindih horisontal dan vertikal
Gbr. 1-1
Gigi geligi permanen dapat dikelompokkan menjadi empat klasifikasi sebagai beriku
tmenurut morfologi mahkotanya.
Gigi yang berlokasi pada bagian paling anterior lengkung disebut incisor. Karakteristik
gigi geligi ini adalah berbentuk sekop, dengan tepi insisal. Terdapat empat incisor
maksila dan empat incisor mandibula. Insisor maksila secara keseluruhan lebih besar
daripada incisor mandibula dan, seperti disebutkan sebelumnya, pada umumnya
menumpang tindih mandibula. Fungsi incisor adalah untuk mengiris atau memotong
makanan selama mastikasi.
Gbr. 1-2 GIGI DAN STRUKTUR PENDUKUNG PERIODONTAL
Lebar ligamen periodontal di sini jauh lebih besar untuk tujuan ilustratif
Di sebelah posterior (distal) insisor adalah kaninus. Kaninus terletak pada sudut
lengkung dan merupakan gigi permanen terpanjang, dengan cusp dan akar tunggal
(Gbr.1-4). Gigi geligi ini sangat menonjol pada hewan-hewan seperti anjing, sehingga
dinamakan “kaninus”. Terdapat dua kaninus pada maksila dan dua kaninus pada
mandibula. Pada hewan, fungsi utama kaninus adalah untuk mencabik dan merobek
makanan. Namun, pada gigi geligi manusia, kaninus umumnya berfungsi sama seperti
incisor dan hanya kadang-kadang digunakan untuk mencabik dan merobek.
Gbr. 1-3
Gigi maksila terletak sedikit lebih ke fasial dibandingkan mandibula sepanjang lengkung
Lebih ke bagian posterior lengkung adalah premolar (lihat Gbr. 1-4). Terdapat empat
pada maksila dan empat pada mandibula. Premolar juga desbut bicuspid karena mereka
umumnya mempunyai 2 cusp. Adanya 2 buah cusp sangat meningkatkan permukaan
gigit gigi ini. Premolar maksila dan mandibula beroklusi sedemikan rupa sehingga
makanan dapat ditangkap dan dihancurkan diantaranya. Fungsi utama premolar adalah
untuk memulai penguraian substansi makanan ke ukuran partikel yang lebih kecil secara
efektif.
Gbr. 1-4
Pandangan lateral
Gbr. 1-5
Komponen skeletal yang membentuk sistem mastikasi: maksila, mandibula, dan tulang
temporal.
Kelas terkahir dari gigi geligi, terdapat di bagian posterior premolar, adalah molar (Gbr.
1-4). Terdapat enam pada maksila dan enam pada mandibula. Mahkota dari tiap molar
mempunyai empat atau lima cusp. Adanya cusp ini memberikan permukaan yang besar
dan lebar dimana proses penggilingan makanan dapat terjadi. Fungsi molar terutama
pada tahap lanjut pengunyahan, ketika makanan telah dipecah ke partikel yang lebih kecil
dan cukup mudah untuk ditelan.
Seperti yang telah didiskusikan, setiap jenis gigi berbentuk sangat khusus sesuai dengan
fungsinya. Hubungan rahang yang tepat dan antara gigi geligi di dalam rahang sangat
penting dan mempengaruhi kesehatan dan fungsi sistem mastikasi. Diskusi lebih rinci
mengenai hubungan ini dijelaskan lebih lanjut pada Bab 3.
1.1.2.
KOMPONEN SKELETAL
Sistem mastikasi terdiri atas tiga komponen skeletal besar. Dua komponen mendukung
gigi geligi: yaitu maksila dan mandibula (Gbr. 1-5). Komponen ketiga, tulang temporal,
mendukung mandibula dan artikulasinya dengan kranium.
1.1.2.1
Maksila
Selama proses perkembangan, terdapat dua buah tulang maksila, yang menyatu di sutura
midpalatal (Gbr. 1-6). Tulang-tulang ini membentuk sebagian besar tulang fasial atas.
Batas maksila meluas ke arah superior dan membentuk lantai kavitas nasal, dan juga
lantai untuk tiap orbit. Ke arah inferior, tulang maksila membentuk langit-langit mulut
(palate) dan ridge alveolar, yang mendukung gigi. Karena tulang maksila menyatu
bertautan mengelilingi komponen tulang tengkorak, gigi geligi maksila disebut sebagai
suatu bagian tetap dari tengkorak yang merupakan komponen tambahan sistem mastikasi.
Gbr. 1-6
Sutura midpalatal (A) merupakan hasil bergabungnya dua tulang maksila selama proses
perkembangan
Gbr. 1-7
A. Ramus asendens memanjang ke arah atas membentuk prosesus koronoid (A) dan
kondil (B) B. Pandangan oklusal
1.1.2.2
Mandibula
Mandibula merupakan tulang yang berbentuk U yang mendukung gigi geligi bawah dan
merupakan tulang pembentuk fasial bagian bawah. Tulang ini tidak mempunyai
perlekatan tulang terhadap tengkorak. Tulang ini terpasag di bawah maksila oleh otot,
ligamen, dan jaringan lunak lainnya, sehingga mempunyai mobilitas yang diperlukan
untuk dapat berfungsi bersama-sama dengan maksila.
Aspek superior mandibula yang berbentuk busur terdiri atas prosesus alveolar dan gigi
geligi (Gbr. 1-7). Badan mandibula membentang ke arah posteroinferior membentuk
sudut mandibula dan ke arah posterosuperior membentuk ramus asendens. Ramus
asendens mandibula dibentuk oleh lembaran vertikal tulang yang memanjang ke arah atas
menjadi dua buah prosesus. Bagian anterior tulang ini disebut prosesus koronoid. Untuk
bagian posterior, disebut kondilus.
Kutub medial/medial pole (MP) lebih jelas daripada kutub lateral/lateral pole (LP)
Kondilus tampak sedikit terotasi sedemikan rupa sehingga garis imajinari yang
ditarik melalui kutub lateuiral dan medial akan memanjang kearah medial dan
posterior sampai ke batas anterior foramen magnum
Kondilus ada bagian mandibula yang berartikulasi dengan kranium, dimana gerakan-
gerakan terjadi. Dari pandangan anterior, kondilus mempunyai proyeksi medial dan
lateral, yang disebut kutub (Gbr. 1-8). Kutub medial secara keseluruhan tampak lebih
jelas daripada lateral. Dari atas, sebuah garis yang ditarik melalui tengah kutub kondil
akan memanjang kearah medial dan posterior sampai ke batas anterior foramen magnum
(Gbr. 1-9). Total panjang mediolateral kondil berkisar antara 18 dan 23 mm, dan lebar
anteroposteriornya antara 8 dan 10 mm. Permukaan artikulasi actual kondil melebar kea
rah anterior dan posterior sampai ke bagian paling superior kondil (Gbr. 1-10).
Permukaan artikulasi posterior lebih besar daripada anterior. Permkaan artikulasi kondil
lebih konveks ke arah anteroposterior dan hanya sedikit konveks ke arah mediolateral.
1.1.2.3
Tulang Temporal
Gbr. 1-11
A, Struktur tulang sendi temporomandibular (pandangan lateral). B, Fossa Artikular
(pandangan inferior). AE, Articular eminence; MF Mandibular Fossa; STF,
squamotympanic fissure
Pada dasar kranium kondil mandibular berartikulasi dengan bagian skuamosa tulang
temporal. Bagian dari tulang temporal ini terdiri dari fossa mandibula yang berbentuk
konkaf, dimana kondil berada (Gbr. 1-11) dan disebut juga sebagai articular atau fossa
glenoid. Pada arah posterior fossa mandibula terdapat fisur skuamotimpanik, yang
berlanjut ke arah medio lateral. Fisur ini memanjang ke arah medial, dan kemudian
terbagi menjadi fisur petroskuamos anterior dan fisur petrotimpanik posterior. Tidak jauh
dari bagian anterior fossa terdapat sebuah penonjolan konveks tulang yang disebut
articular eminence (penonjolan artikular). Derajat konveksitas penonjolan ini sangat
bervariasi tetapi penting, karena kesuraman permukaan ini akan menentukan jalan kondil
ketika mandibula pada posisi anterior. Posisi atap fossa mandibula juga agak tipis,
mengindikasikan bahwa daerah tulang temporal ini tidak didisain untuk menahan beban
berat. Penonjolan artikular, ternyata, terdiri dari tulang yang tebal dan padat dan lebih
mungkin dapat mentoleransi gaya yang besar.
1.1.3
SENDI TEMPOROMANDIBULAR
Daerah dimana mandibula berartikulasi dengan kranium, TMJ, adalah salah satu sendi
paling kompleks dalam tubuh. Sendi ini dapat melakukan gerakan menggantung dalam
satu bidang sehingga dapat digolongkan sebagai sendi ginglymoid. Tetapi, sendi ini
dapat pula melakukan gerakan meluncur, yang mengklasifikasikan sendi ini sebagai sendi
arthrodial. Oleh karena itu, secara teknis, sendi ini dapat disebut sebagai sendi
ginglymoarthrodial.
TMJ dibentuk oleh masuknya kondil mandibula ke dalam fossa mandibula pada tulang
temporal. Memisahkan kedua tulang ini dari artikulasi langsung adalah disk artikular.
TMJ diklasifikasikan sebagai sendi campuran. Menurut definisinya, sebuah sendi
campuran memerlukan adanya paling tidak tiga tulang, tetapi TMJ hanya terdiri dari dua
tulang. Menurut fungsi, disk artikular berperan sebagai tulang nonosifikasi yang
memungkinkan terjadinya pergerakan sendi yang kompleks ini. Karena disk artikulasi
berfungsi sebagai tulang ketigalah, maka artikulasi kraniomandibular disebut sebagai
sendi campuran. Fungsi dari disk artikular sebagai tulang nonosifikasi akan dijelaskan
lebih rinci pada bagian biomekanik TMJ nanti dalam bab ini.
Disk artikulasi terbentuk oleh jaringan ikat fibrous yang padat, untuk hampir seluruh
bagiannya tanpa adanya pembuluh darah dan serabut saraf. Namun demikian, tepi disk
yang ekstrim, terinnervasi sedikit. Dalam bidang sagital disk ini dapat dibagi menjadi
tiga regio menurut ketebalannya (Gbr. 1-12). Bagian tengah merupakan bagian yang
paling tipis dan disebut zona intermediat. Disk kemudian menjadi sedikit lebih tebal baik
pada bagian anterior maupun posterior ke arah zona intermediat. Batas posterior
biasanya sedikit lebih tebal dibandingkan anterior. Pada sendi normal permukaan
artikular kondil bertempat pada zona intermediat disk, dibatasi oleh regio anterior dan
posterior yang tebal.
Dari pandangan anterior, disk tampak lebih tebal di mesial daripada lateral, yang
merupakan korespondensi terhadap meningkatnya jarak antara kondil dan fossa artikular
ke arah medial sendi (Gbr. 1-13). Bentuk disk yang tepat ditentukan oleh morfolofi
kondil dan fossa madibular. Selama bergerak disk menjadi agak fleksibel dan
beradaptasi terhadap tuntutan fungsi permukaan artikular. Walaupun demikian,
fleksibilitas dan kemampuan adaptasi ini tidak berarti morfologi disk dapat berubah
selama berfungsi. Disk mempertahankan morfologi yang sama kecuali jika terdapat gaya
destruktif atau terjadi perubahan struktural pada sendi. Jika perubahan-perubahan ini
terjadi, maka morfologi disk akan mengalam perubahan tetap, menghasilkan perubahan
biomekanika selama berfungsi. Hal-hal ini akan didiskusikan di bab yang akan datang.
Bagian posterior disk artikular melekat pada suatu regio jaringan ikat longgar yang
mempunyai pembuluh darah dan serabut saraf (Gbr. 1-14). Jaringan in idikenal sebagai
jaringan retrodiskal atau perlekatan posterior. Pada bagian superior, jaringan ini dibatasi
oleh jaringan ikat yang terdiri atas banyak serat elastik, yaitu lamina retrodiskal superior.
Lamina retrodiskal superior melekatkan disk artikular ke daerah posterior plate timpani.
Pada batas bawah jaringan retrodiskal adalah lamina retrodiskal inferior, yang
melekatkan batas inferior tepi posterior disk ke marjin posterior permukaan artikular
kondil. Lamina retrodiskal inferior sebagian besar terbentuk dari serat kolagen, bukan
serat elastik seperti lamina retrodiskal superior. Bagian lain dari jaringan retrodiskal
melekat ke arah posterior ke sebuah pleksus venus yang besar, yang dipenuhi oleh darah
pada saat kondil bergerak ke depan. Perlekatan superior dan inferior pada daerah anterior
adalah ligamen kapsular, yang sebagaian besar dikelilingi oleh sendi. Perlekatan superior
ke tepi anterior permukaan artikular tulang temporal. Perlekatan inferior ke tepi anterior
permukaan artikular kondil. Kedua perelekatan anterior ini terdiri dari serat-serat
kolagen. Ke arah anterior, dianatara perlekatan oleh ligamen kapsular, disk juga terlekat
oleh serat-serat tendon ke otot pterygoid superior lateral.
Disk artikular melekat pada ligamen kapsular tidak hanya ke arah anterior dan posterior
tetapi juga ke arah medial dan lateral. Hal ini menyebabkan terpisahnyanya sendi ke dua
kavitas yang berbeda. Kavitas bagain atas atau superior dibatasi oleh fossa mandibular
dan permukaan superior disk. Kavitas bagian bawah atau inferior dibatasi oleh kondil
mandibular dan permukaan inferior disk. Permukaan internal kavitas dikekelingi oleh
sel-sel endothelial khusus yang membentuk lapisan sinovial. Lapisan ini, bersama
dengan lapisan luar khusus yang berlokasi pada tepi anterior jaringan retrodiskal,
mengahasilkan carian synovial yang kemudian mengisi kedua kavitas sendi. Sehingga
TMJ merupakan sebuah sendi synovial. Caritan synovial mempunyai dua fungsi. Karena
permukaan artikular sendi bersifat nonvaskular, carirtan sinovial beraksi sebagai medium
untuk menyediakan kebutuhan metabolik jaringan-jaringan ini. Caritan cynovial juga
bekerja sebagai pelumas antara permukaan artikular sealam berfungsi. Permukaan
artikular disk, kondil dan fossa sangat halus, sehingga pergesekan selama gereakan
berlangsungan dapat diminimalkan. Cairan synovial membantuk meminimalkan
pergesakan ini lebih lanjut.
Cairan synovial melumasi permukaan artikular dengan dua jenis mekanisme. Yang
pertama bernama pelumasan tepi, yang terjadi ketika sendi digerakkan dan cairan
synovial didesak keluar dari satu area kavitas ke area yang lain. Caritan synovial
berlokasi dalam area tepi atau perbatasan didesak pada permukaal artikular, sehingga
menyediakan pelumasan. Pelumasan tepi mencegah pergesakan pada sendi yang
bergerak dan merupakan mekanisme primer pelumasan sendi.
Permukaan artikular kondil dan fossa mandibula terdiri atas empat lapis atau zona yang
khas (Gbr. 1-15). Lapisan yang paling superfisial disebut zona artikular. Zona ini
terdapat pada perbatasan kavitas sendi dan membentuk permukaan fungsional paling luar.
Tidak seperti sendi synovial lainnya, lapisan artikular ini terbuat dari jaringan ikat fibrous
padat dan bukan tulang rawan hyalin. Kebanyakan serat kolagen teratur dalam bundelan
dan mengarah hampir pararel dengan permukaan artikular. Serat-serat ini terikat erat dan
dapat menahan gaya pergerakan. Diperkirakan bahwa jaringan ikat fibrous ini
memberikan beberapa keuntungan lebih dibanding tulang rawan hyaline.
BAB 3 Kesejajaran dan Oklusi Gigi Geligi
“ Oklusi merupakan hubungan statis gigi dan dasar seluruh aspek kedokteran gigi”
Kesejajaran dan oklusi dari gigi geligi sangat penting dalam fungsi pengunyahan.
Aktivitas dasar mengunyah, menelan dan berbicara tidak hanya tergantung pada posisi
gigi dalam lengkung gigi tetapi juga hubungan gigi yang berlawanan saat oklusi. Posisi
gigi tidak di tentukan secara kebetulan tetapi oleh banyak faktor kontrol seperti lebar
lengkung dan ukuran gigi. Posisi gigi juga ditentukan oleh jaringan lunak sekitarnya. Bab
ini dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama membahas faktor dan kekuatan yang
menentukan posisi gigi dalam lengkung gigi. Bagian kedua membahas hubungan normal
gigi dalam kesejajaran dengan lengkung (kesejajaran lengkung gigi). Bagian ketiga
membahas hubungan normal antar lengkung rahang dalam oklusi (kesejajaran lengkung
rahang).
Kesejajaran gigi geligi dalam lengkung rahang terjadi akibat kekuatan kompleks
selama dan setelah gigi erupsi. Gigi-gigi yang erupsi diarahkan ke posisinya ketika
kekuatan berlawanan berada dalam keseimbangan. Kekuatan utama yang mempengaruhi
posisi gigi berasal dari otot-otot sekitar. Labial dari gigi adalah bibir dan pipi, yang
memberikan kekuatan lingual relatif ringan dan konstan. Sisi yang berlawanan dari
lengkung gigi adalah lidah yang memberikan kekuatan labial dan bukal ke permukaan
lingual gigi. Kedua kekuatan labial oleh bibir dan pipi, lingual oleh lidah yakni ringan
tetapi konstan, merupakan kekuatan yang dari waktu ke waktu dapat menggerakkan gigi
dalam lengkung gigi.
Kekuatan labiolingual dan bukolingual sama pada posisi gigi dalam rongga mulut.
Hal ini disebut posisi atau ruang netral, tercapainya stabilitas gigi (gambar 3-1). Jika
selama erupsi gigi terlalu jauh ke lingual atau fasial, kekuatan tersebut (lidah jika
linguoversi, pipi dan bibir jika fasiaversi) akan memaksa gigi ke posisi netral. Hal ini
biasanya terjadi ketika ada ruang yang cukup untuk gigi dalam lengkung gigi. Jika ruang
tidak cukup, kekuatan otot sekitarnya biasanya tidak cukup untuk posisi gigi dalam
lengkung yang tepat. Gigi kemudian tetap berada diluar lengkung normal dan terjadi
crowding. Crowding ini tetap hingga kekuatan tambahan disediakan untuk memperbaiki
ukuran gigi dan diskrepansi lebar lengkung ( yaitu ortodonsi)
Bahkan setelah erupsi, setiap perubahan dalam arah atau frekuensi kekuatan otot
cenderung akan menggerakkan gigi ke posisi dimana kekuatan dalam keseimbangan lagi.
Tipe gangguan ini dapat terjadi jika lidah bergerak aktif dan besar. Hal ini dapat
mengakibatkan kekuatan lingual gigi melebihi labial dari bibir. Ruang yang netral tidak
hilang tetapi bergerak kelabial. Hal ini biasanya mengarah ke labial gigi anterior hingga
mencapai posisi labial dan lingual dalam keseimbangan. Secara klinis hal ini yakni
anterior open bite (gambar 3-2). Jika individu dengan kondisi ini diminta untuk menelan,
lidah akan mengisi ruang anterior (gambar 3-2, B dan gambar 3-2D). Awalnya
diasumsikan bahwa kekuatan lidah selama ini berperan dalam perpindahan gigi anterior.
Fakta terakhir tidak membuktikan konsep ini. Pada kenyataannya, semakin besar
kemungkinan bahwa gigi anterior berpindah secara labial karena posisi lidah dan
aktivitas menelan. 1 Lidah yang kedepan selama menelan lebih cenderung berhubungan
dengan upaya pasien menutup mulut untuk penelanan yang efisien.
A, Anterior open bite pada dewasa berhubungan dengan lidah yang besar dan aktif. B,
selama menelan lidah terlihat mengisi bagian anterior sehingga mulut dapat menelan. C,
Seorang individu muda yang telah mengalami anterior open bite berlanjut dengan lidah
yang aktif. D, Selama menelan lidah terlihat mengisi ruang anterior, yang memungkinkan
individu menelan (Courtesy Dr. Preston E. Hicks, University of Kentucky College of
Dentistry, Lexington.)
Ketika melihat lengkung dari anterior lateral, hubungan aksial mesiodistal terlihat.
Jika garis diperluas melalui sumbu panjang akar secara oklusal melewati mahkota (Gbr 3-
5), angulasi gigi dengan hubungan terhadap tulang alveolar dapat di amati. Pada kedua
lengkung mandibula gigi anterior dan posterior cenderung ke mesial, Molar kedua dan
ketiga lebih cenderung miring daripada premolar. Pada lengkung maksila terdapat pola
yang berbeda (Gbr 3-6). Gigi anterior lebih miring ke mesial, dan gigi molar posterior
cenderung ke distal. Jika dari tampakan lateral garis imajinasi di gambarkan melalui
ujung cusp bukal gigi posterior (molar dan premolar), garis lengkung mengikuti dataran
oklusi akan terbentuk (lihat Gbr 3-4, A) yang cembung untuk lengkung maksila dan
cekung untuk lengkung mandibula. Garis cembung dan cekung ini sempurna ketika
lengkung gigi beroklusi. Kurvatura lengkung rahang pertama kali di jelaskan oleh Von
Spee2 dan oleh karena itu disebut kurva Spee.
Gambat 3-3
\
Kehilangan satu gigi dapat memiliki efek yang signifikan terhadap stabilitas
kedua lengkung. Perhatikan bahwa dengan hilangnya gigi molar pertama, gigi molar
kedua dan ketiga mandibula cenderung ke mesial, gigi molar kedua mandibula cenderung
ke distal dan gigi molar maksila ekstrusi.
Perhatikan bahwa gigi-gigi anterior dan posterior lebih miring ke mesial. (From
Dempster WT,
Adams WJ, Duddles RA: Arrangement in the jaws of the roots of the teeth, J Am Dent
Assoc 67:779-797, 1963.)
Perhatikan bahwa seluruh gigi posterior lebih kebukal. (From Dempster WT, Adams WJ,
DÚdales RA: Arrangement ¡n the jaws of the roots of the teeth, J Am DentAssoc 67:779-
797,1963.)
Permukaan oklusal gigi terdiri dari banyak cusp, groove dan sulci. Selama
fungsinya oklusal efektif menghancurkan makanan dan bercampur dengan saliva untuk
membentuk bolus yang mudah ditelan. Untuk tujuan diskusi, permukaan oklusal gigi
posterior dibagi dalam beberapa daerah. Area gigi antara ujung cusp bukal dan cusp
lingual gigi posterior disebut dataran oklusal (gbr 3-9). Kekuatan utama pengunyahan
diaplikasikan pada area ini. Dataran oklusal mewakili sekitar 50%-60% dari total dimensi
bukolingual gigi posterior dan berada diatas sumbu panjang gigi. Hal ini dianggap aspek
dalam gigi karena berada antara ujung cusp. Demikian juga, area oklusal luar ujung cusp
disebut aspek luar. Aspek dalam dan luar gigi berasal dari kemiringan ujung cusp ke
salah satu pusat fosa (CF) atau ketinggian kontur permukaan labial dan lingual gigi. Jadi
kemiringan ini disebut inklinasi luar dan dalam ( Gbr. 3-10). Inklinasi luar dan dalam
diperlihatkan dengan menggambarkan titik puncak cusp. Sebagai contoh, inklinasi dalam
cusp bukal gigi premolar maksila kanan menunjukkan area lengkung gigi. Inklinasi gigi
juga menunjukkan kearah mana arah giginya (mis mesial atau distal). Permukaan yang
lebih ke mesial menunjukkan bagian mesial gigi dan permukaan yang lebih ke distal
menunjukkan bagian distal (br 3-11)
Gambar 3-8 Angulasi gigi-gigi mandibula
Perhatikan bahwa gigi posterior lebih miring ke lingual (From Dempster WT, Adams
WJ, Duddles RA: Arrangement in the jaws of the roots of the teeth, J Am Dent Assoc
67:779-797, 1963.)
Gambar 3-9
Dataran oklusal gigi premolar maksila
Kesejajaran lengkung rahang mengacu pada hubungan gigi pada lengkung yang
satu dengan yang lain. Ketika dua rahang berkontak, yakni saat mandibula menutup,
terjadi hubungan oklusal gigi. Bagian ini menjelaskan karakteristik lengkung normal
maksila dan mandibula saat beroklusi.
Gigi-gigi maksila dan mandibula menutup dengan tepat. Jarak garis yang
terbentuk dimulai dari permukaan distal gigi molar ketiga, di tarik kemesial hingga area
kontak proksimal sepanjang lengkung rahang dan berakhir pada permukaan distal gigi
molar tiga sebelahnya. Kedua lengkung memiliki kira-kira panjang yang sama dengan
lengkung mandibula yang hanya sedikit lebih kecil (lengkung maksila, 128 mm,
lengkung mandibula 126 mm)5. Perbedaan yang kecil ini hasil dari jarak mesiodistal yang
kecil dari gigi insisivus mandibula dibandingkan dengan gigi insisivus maksila. Lebar
lengkung adalah jarak melalui lengkung. Lebar lengkung mandibula sedikit lebih kecil
dari lengkung maksila, sehingga ketka rahang menutup,tiap gigi maksila lebih kefasial
daripada gigi mandibula.
Karena gigi maksila lebih ke fasial (setidaknya memiliki inklinasi fasial),
hubungan oklusal normal gigi posterior yakni untuk cusp bukal mandibula menutup
sepanjang area CF gigi maksila. Demikian pula, cusp lingual maksila menutup sepanjang
area CF gigi mandibula (Gbr 3-12). Hubungan oklusal melindungi jaringan lunak sekitar.
Cusp bukal gigi maksila melindungi mukosa bukal pipi dan bibir dari permukaan oklusal
gigi selama berfungsi. Demikian pula cusp lingual gigi mandibula menjaga lidah terkena
gigi-gigi mandibula dan maksila.
Gambar. 3-10
Gambar. 3-11 Inklinasi mesial (MI) dan inklinasi distal (DI)
Peran lidah, pipi, dan bibir, tentu saja sangat penting selama fungsi karena terus
menerus menempatkan makanan pada permukaan oklusal gigi untuk penghacuran yang
sempurna. Hubungan bukolingual yang normal membantu memaksimalkan efisiensi otot
sementara meminimalisasi trauma pada jaringan lunak (dari tergigitnya pipi atau lidah).
Kadang-kadang karena diskrepansi ukuran lengkung tulang atau pola erupsi, gigi
menutup dengan cara kontak cusp bukal maksila pada area CF gigi mandibula. Hubungan
ini disebut crossbite. (Gbr. 3-13
Cusp bukal gigi posterior mandibula dan cusp lingual gigi posterior maksila
menutup dengan area CF yang berlawanan. Cusps ini disebut, cusp pendukung atau cusp
sentrik dan terutama berperan dalam menjaga jarak antara mandibula dan maksila. Jarak
ini mendukung ketinggian wajah vertikal yang disebut dimensi vertikal oklusi. Cusp ini
juga memainkan peranan penting dalam pengunyahan karena kontak yang terjadi pada
kedua aspek luar dan dalam cusp. Cusp sentrik luas dan bulat. Bila dilihat dari oklusal,
ujungnya terletak sekitar sepertiga dari jarak lebar bukolingual gigi. (Gbr 3-14)
Cusp bukal gigi posterior maksila dan cusp lingual gigi posterior mandibula gigi
disebut cusp non sentrik. Relatif lebih tajam dengan ujung yang terletak sekitar
seperenam jarak lebar bukolingual gigi (lihat gbr 3-14). Area yang sempit pada cusp
nonsentrik dapat memiliki fungsi yang signifkan. Area ini terletak pada iklinasi dalam
cusp nonsentrik yang dekat denga CF gigi dan kontak dengan sebagian kecil aspek luar
cusp sentrik gigi berlawanan.
Area yang sempit dari cusp sentrik (kira-kira 1 mm) adalah satu-satunya area
dimana aspek luar memiliki fungsi yang signifikan. Kemudian area ini dinamakan aspek
fungsional luar. Aspek luar yang sempit pada tiap cusp sentrik dapat berfungsi
berlawanan dengan inklinasi luar cusp nonsentrik (gbr 3-15). Karena area ini membantu
dalam memotong makanan selama pengunyahan, cusp nonsentrik juga disebut cusp
pemotong.
Ketika kondisi ini terjadi, cusp lingual mandibula menutup fosa sentral gigi
maksila dan cusp bukal maksila menutup fosa sentral gigi mandibula.
Posisi ujung cusp sentrik dan non sentrik ditunjukkan dengan keseluruhan lebar
bukolingual gigi.
Peranan utama cusp nonsentrik untuk meminimalkan terkenanya jaringan, dan
untuk mempertahankan bolus makanan pada dataran oklusal selama pengunyahan. Cusp
non sentrik juga memberi kestabilitasan mandibula ketika gigi beroklusi, hasil dari
hubungan oklusal. Hubungan gigi pada intercusp maksimal disebut posisi maksimun
intercusp (ICP). Jika mandibula bergerak ke lateral dari posisi ini, kontak nonsentrik akan
berkontak dan menuntun ke posisi ini, selama pengunyahan cusps ini kemudian mentup,
cusp nonsentrik membantu mandibula kembali pada posisi maksimum intercusp (ICP).
Disamping itu, selama mastikasi cusp mengakhiri kontak yang memberi umpan balik
terhadap system saraf otot yang mengontrol gerak pengunyahan. Oleh karena cusp
nonsentrik juga dapat disebut cusp penuntun.
Gambar 3-15
Aspek fungsi terluar (FOA) dari cusp sentrik hanya pada area kemiringan terluar dengan
fungsi yang penting.
Ketika lengkung gigi dilihat dari oklusal, landmark dapat terlihat, sehingga
membantu memahami hubungan interoklusal gigi.
Jiga garis imajiner di tarik melalui semua ujung cusp bukal gigi posterior
mandibula, garis bukooklusal (BO) terlihat. Dalam lengkung normal garis ini
berjalan dengan tepat dan terus menerus, memperlihatkan bentuk lengkung yang
umum. Ini juga merupakan batas pemisah antara aspek luar dan dalam cusp bukal
(gbr 3-16)
Demikian pula, jika garis imajiner ditarik melalui cusp lingual gigi posterior
maksila, garis linguooklusal (LO) diamati. Garis ini mengungkapkan bentuk
lengkung umum dan memperlihatkan batas pemisah antara aspek luar dan dalam
cusp sentrik (gbr 3-17)
Jika garis imajiner ke tiga ditarik melalui grove developmental pusat gigi
posterior maksila dan mandibula, garis CF teramati. Dalam lengkung normal,
garis ini berlanjut dan memperlihatkan bentuk lengkung (gbr 3-18)
Gambar 3-16
Gambar 3-17
Garis linguooklusal (LO) pada lengkung kanan maksila
Setelah garis CF terbentuk, hal ini berguna untuk mencatat hubungan yang
penting dari area kontak proksimal. Area ini secara umum terletak sedikit bukal ke garis
CF (gbr 3-19), yang memperlihatkan embrasure lingual yang lebih besar dan embrasure
bukal yang lebih kecil. Selama fungsi, embrasure lingual yang lebih besar akan bertindak
sebagai jalan utama makanan selama pengunyahan. Gigi akan berkontak, sebagian besar
makanan akan didorong ke lidah, yang lebih efisien membawa makanan ke dataran
oklusal daripada otot buccinators dan perioral.
Gambar 3-18
Garis fosa sentral (CF) lengkung gigi kiri
Gambar 3-19
Kontak proksimal antara gigi posterior umumnya terletak pada bukal ke garis fosa
sentral.
Seperti yang disebutkan, kontak oklusal terjadi ketika cusp sentrik berkontak
dengan garis CF. Dilihat dari fasial, cusp secara khusus berkontak dengan dua area :1)
area CF dan 2) area marginal ridge dan embrasure.
Kontak antara ujung cusp dan area CF seperti penggilingan alu pada mortar.
Ketika dua permukaan lengkung bertemu, hanya bagian-bagian tertentu yang beroklusi
memberi wktu meninggalkan area bebas kontak untuk bertindak sebagai jalan pada
daerah yang rusak. Mandibula yang bergerak selama pengunyahan, kontak daerah yang
berbeda, menghasilkan jalan yang berbeda. Pergerakan ini menghasilkan efisiensi
pengunyahan.
Cusp lingual (sentrik) gigi maksila beroklusi dengan fosa sentral gigi mandibula.
BO, Bukooklusal; LO, Linguooklusal
Tipe kedua kontak oklusal antara ujung cusp dan marginal ridge. Marginal ridge
adalah area cembung batas mesial dan distal permukaan oklusal yang bersatu dengan
permukan interproksimal gigi. Bagian yang tertinggi dari marginal ridge sedikit
cembung. Oleh karena itu tipe kontak yang terbaik digambarkan oleh kontak ujung cusp
pada permukan yang rata. Hubungan ujung cusp ini dapat menghancurkan makanan
dengan mudah dan jalan tersedia pada seluruh arah. Mandibula bergerak secara lateral,
bidang kontak bergeser, meningkatkan efisiensi gerak pengunyahan. Perhatikan bahwa
ujung cusp tidak berperan dalam kontak oklusal. Daerah sirkular yang mengelilingi ujung
cusp dengan radius sekitar 0,5 mm menyediakan daerah kontak dengan permukaan gigi
antagonis.
Ketika hubungan lengkung gigi normal dilihat dari lateral, dapat dilihat bahwa
tiap gigi beroklusi dengan dua gigi antagonisnya. Namun, terdapat dua pengecualian
untuk hal ini: gigi insisivus pertama mandibula dan gigi molar ketiga maksila. Pada kasus
ini gigi-gigi tersebut beroklusi hanya dengan satu gigi antagonis. Oleh karena itu seluruh
lengkung tiap gigi ditemukan beroklusi dengan lengkung antagonis serta gigi tetangga.
Hubungan satu dua gigi membantu mendistribusikan kekuatan oklusal pada beberapa gigi
dan akhirnya pada seluruh lengkung. Hal ini juga membantu mempertahankan integritas
lengkung, bahakan ketika gigi hilang, karena stabilitas kontak oklusal masih
dipertahankan oleh gigi yang tersisa.
Dalam hubungan normal gigi mandibula diposisikan sedikit lingual dan mesial
pada tempatnya. Hal ini berlaku untuk gigi anterior dan posterior (gbr 3-21). Dalam
pemeriksaan bentuk kontak dalam lengkung rahang, akan sangat membantu gigi posterior
dan gigi anterior secara terpisah.
Hubungan oklusal gigi posterior
Klas I
Cusp mesiobukal gigi molar mandibula beroklusi dengan embrasure antara gigi
premolar kedua dan gigi molar pertama maksila
Cusp mesiobukal gigi molar pertama maksila terletak pada grove bukal gigi molar
pertama mandibula
Cusp mesio lingual gigi molar pertama maksila berada pada daerah CF gigi molar
pertama mandibula.
Hubungan tiap gigi mandibula beroklusi pada tempatnya dan mesial gigi. (sebagai
contoh, gigi premolar kedua mandibula kontak dengan gigi premolar kedua dan pertama
maksila). Kontak antara molar terjadi pada ujung cusp dan fosa dan marginal ridge.
Dua variasi dalam bentuk kontak oklusal dapat menghasilkan daerah marginal
ridge. Dalam beberapa kasus kontak cusp area embrasure ( dan sering kedua marginal
ridge yang bedekatan) secara langsung, menghasilkan dua kontak area pada ujung cusp
(gbr 3-22). Dalam kasus lain ujung cusp diposisikan hanya pada satu marginal ridge,
menghasilkan hanya satu kontak dengan ujung cusp. Situasi terakhir ini digunakan untuk
menjelaskan hubungan molar umum. Gbr.3-23 menggambarkan tampakan bukal dan pola
kontak oklusal secara khusus hubungan molar Klas I.
Klas II
Pada beberapa pasien lengkung maksila besar dan maju lebih anterior dan
lengkung mandibula kecil atau diposisikan lebih posterior. Kondisi ini akan
menghasilkan gigi molar pertama terletak distal dalam hubungan molar Klas II (gbr 3-
24), yang disebut hubungan molar Klas II. Hal ini sering digambarkan dalam
karakteristik berikut:
Cusp mesiobukal gigi molar mandibula beroklusi dengan CF gigi molar maksila.
Cusp mesiobukal gigi molar pertama mandibula berapda pada grove bukal gigi
molar pertama maksila
Cusp distolingual gigi molar pertama maksila beroklusi dengan CF gigi molar
pertama mandibula.
Ketika dibandingkan dengan hubungan Klas I, tiap kontak oklusal berpasangan lebih
kedistal kira-kira lebar mesiodistal premolar.
Gambar 3-22
Beberapa cusp sentrik beroklusi dengan embrasure antara gigi antagonis. Hal ini
menyebabkan dua kontak mengelilingi ujung cusp (atas). Oklusi yang lain pada area
kontak embrasure hanya satu marginal ridge antagonis (bawah)
Klas III
Cusp distobukal gigi molar pertama mandibula terletak pada embrasure antara
gigi premolar kedua dan gigi molar pertama maksila
Cusp mesiobukal gigi molar maksila terletak pada embrasure antara ggi molar
pertama dan kedua mandibula
Cusp mesio lingual gigi molar pertama maksila terletak pada pit mesial gigi molar
kedua mandibula.
Sekali lagi, tiap pasangan kontak oklusal terletak mesial dengan kontak gigi pada
hubungan Klas I, kira-kira lebar premolar.
Hubungan gigi molar Klas I paling sering ditemukan. Meskipun kondisi yang
dijelaskan untuk Klas II dan Klas III jarang, kecenderungan Klas II dan Klass III cukup
biasa terjadi. Klas II atau III cenderung menggambarkan kondisi yang bukan Klas I
namun tidak cukup ekstrim untuk menjelaskan deksripsi Klas II dan III. Gigi anterior dan
kontak oklusal dapat juga dipengaruhi oleh pola pertumbuhan.
Hubungan oklusal gigi anterior
Seperti gigi posterior maksila, gigi anterior maksila biasanya diposisikan lebih ke
labial dari gigi anterior mandibula. Tidak seperti gigi posterior, namun gigi anterior
mandibula dan maksila lebih miring ke labial, berkisar 12 hingga 28 derajat dari garis
referensi vertikal.7 Meskipun sejumlah besar variasi terjadi, hubungan normal akan
memperlihatkan tepi insisal gigi insisivus mandibula berkontak dengan permukaan
lingual gigi insisivus maksila. Kontak ini biasanya terjadi pada fosa lingual gigi insisivus
maksila kira-kira 4 mm dari gingiva ke tepi insisal. Dengan kata lain, ketika dilihat dari
labial, 3 hingga 5 mm gigi anterior mandibula tertutup dengan gigi anterior maksila (gbr
3-26). Karena mahkota gigi anterior mandibula kira-kira 9 mm, sedikit lebih kecil dari
setengah mahkota yang masih terlihat dari labial.
Gambr 3-26
Secara normal gigi anterior maksila tumpang tindih dengan gigi anterior mandibula
hampir setengah ketinggian mahkota mandibula.
Inklinasi labial gigi anterior merupakan indikasi dari fungsi yang berbeda dari
gigi posterior. Seperti yang disebutkan sebelumnya, fungsi utama dari gigi posterior
adalah menghancurkan makanan selama pengunyahan sambil mempertahankan dimensi
vertikal oklusi.
Gigi posterior sedemikian rupa sehingga kekuatan vertikal saat menutup dapat
ditempatkan dengan tidak berefek pada struktur pendukung gigi. Inklinasi labial gigi
anterior maksila dan cara gigi mandibula beroklusi tidak resistensi terhadap tekanan
oklusal yang berat. Jika tekanan berat terjadi pada gigi anterior selama mandibula
menutup, kecenderungan gigi maksila bergeser lebih ke labial. Oleh karena itu dalam
oklusi normal, kontak gigi anterior dalam ICP jauh lebih ringan daripada gigi posterior.
Tidak adanya kontak gigi anterior dengan ICP tidak jarang. Tujuan dari gigi anterior
bukan untuk mempertahankan dimensi vertikal oklusi tetapi untuk mengarahkan
mandibula melalui pergerakan lateral yang bervariasi.
Fungsi penting lainnya dari gigi anterior yakni sebagai awal pengunyahan. Fungsi
gigi anterior untuk memotong makanan dalam mulut. Setelah di potong, kemudian
dibawa ke gigi posterior untuk dihancurkan sempurna. Gigi anterior juga memainkan
peranan penting dalam berbicara, dukungan bibir dan estetik.
Pada beberapa orang hubungan gigi anterior tidak ada. Variasi itu dapat
dihasilkan pola perkembangan dan pertumbuhan yang berbeda. Beberapa hubungan
diidentifikasi dengan penggunaan bentuk spesifik (gbr 3-28). Ketika seseorang memiliki
mandibula yang kurang berkembang (hubungan gigi molar klas II ), gigi anterior
mandibula sering berkontak dengan sepertiga gingiva permukaan lingual gigi maksila.
Hubungan anterior ini disebut deep bite (deep overbite). Jika hubungan klas II gigi
insisivus pertama dan kedua maksila pada inklinasi normal, hal itu disebut divisi 1. Jika
insisivus maksila lebih ke lingual, hubungan anterior disebut Klas II divisi 2. Deep bite
yang dalam menghasilkan kontak dengan jaringan palatal gingiva gigi insisivus maksila.
Pada orang yang lain yang memiliki pertumbuhan mandibula yang lebih, gigi
anterior mandibula sering terletak maju dan berkontak dengan tepi insisisal gigi anterior
maksila (hubungan gigi molar Klas III). Hal ini disebut hubungan end to end (atau edge
to edge). Pada kasus yang ekstrim gigi anterior mandibula dapat terletak jauh kedepan
sehingga tidak berkontak dengan ICP (Klas III)
Gambar 3-27
Hubungan normal lengkung gigi anterior menunjukkan dua tipe overlap. HO, horizontal,
VO, Vertikal
Hubungan anterior gigi yang lain yakni salah satu yang memiliki negative vertikal
overlap. Dengan kata lain, gigi posterior dengan intercusp maksimum, gigi anterior
antagonis tidak overlap atau bahkan berkontka satu sama lain. Hubungan anterior ini
disebut anterior open bite. Pada orang dengan open bite anterior, tidak ada kontak gigi
anterior yang terjadi selama pergerakan mandibula.
Gambar 3-8 A
Gambar 3-28
B, Klas I normal. C, Klas II, divisi 1, deep bite. D, Klas II, divisi 2. E, Klas III, end to
end. F, Klas III. G, anterior openbite.
Kontak oklusal selama pergerakan mandibula
Pada saat ini, hanya hubungan statis gigi anterior dan posterior yang telah
didiskusikan. Ingat, bagaimanapun bahwa system pengunyahan sangat dinamis.
Temporomandibula joint dan hubungan otot mandibula bergerak pada tiga bidang
(sagittal, horizontal dan frontal). Seiring dengan pergerakan ini kontak gigi menjadi
potensial. Pemahaman tentang tipe dan lokasi kontak gigi terjadi selama pergerakan
mandibula adalah penting. Pola eksentrik digunakan untuk menjelaskan gerakan
mandibula dari ICP yang menghasilkan kontak gigi. Tiga gerakan dasar eksentrik
dibahas: 1. Protrusi, 2. Lateroprotrusi, 3. Retrusi
Gambar 3-29
Garis penuntun (GI) gigi maksila adalah permukaan yang bertanggung jawab pada
karakteristik penuntun anterior.
Gambar 3-30
\
Kontak posterior protrusi dapat terjadi antara kemiringan distal gigi maksila dan
kemiringan mesial gigi mandibula.
Gerakan protrusi mandibula terjadi ketika gerakan mandibula jauh dari ICP. Area
gigi yang berkontak dengan gigi antagonisnya selama gerakan protrusi dianggap sebagai
kontak protrusi. Dalam hubungan oklusal normal kontak protrusi terjadi pada gigi
anterior, antara tepi insisal dan labial gigi insisivus mandibula terhadap fossa lingual dan
tepi insisal gigi insisivus maksila. Hal ini dianggap inklinasi penuntun gigi anterior (gbr
3-29). Pada gigi posterior gerakan protrusi menyebabkan cusp sentrik mandibula (bukal)
melewatianterior seluruh permukaan gigi maksila (gbr 3-30). Kontak protrusi posterior
terjadi antara kemiringan distal cusp lingual maksila dan mesial fosa dan tepi marginal
antagonis. Kontak posterior protrusi dapat juga antara kemiringan mesial cusp bukal
mandibula dan distal fosa dan tepi marginal antagonis.
Kontak mediotrusi dapat terjadi antara kemiringan dalam cusp lingual maksila dan
kemiringan dalam cusp bukal mandibula. Ketika mandibula bergerak tepat, kontak yang
sama dapat terjadi pada gigi kontralateral.
Selama gerakan laterotrusi mandibula kanan dan kiri gigi posterior mandibula
bergerak melewati gigi antagonisnya dalam arah berbeda.
Jika, misalnya, mandibula bergerak lebih lateral ke kiri (Gbr 3-31), gigi posterior
mandibula kiri akan bergerak lateral melewati gigi antagonisnya. Namun, gigi posterior
mandibula kanan akan bergerak medial melewati gigi antagonisnya. Kontak potensial
untuk gigi ini berada pada lokasi berbeda dan oleh karena itu dibuat dengan nama
berbeda. Melihat lebih dekat gigi posterior bagian kiri selama gerakan lateral
memperlihatkan bahwa kontak dapat terjadi pada dua area inklinasi. Satu antara
kemiringan dalam cusp bukal maksila dan kemiringan luar cusp bukal mandibula. Salah
satunya antara kemiringan luar cusp lingual maksila dan kemiringan dalam cusp lingual
mandibula. Kedua kontak itu disebut laterotrusi. Untuk membedakan antara cusp lingual
antagonis dari kontak antara cusp bukal antagonis, pola lingual to lingual laterotrusi
digunakan untuk membahas bentuk ini. Bentuk working contact juga biasanya digunkana
untuk kontak laterotrusi. Karena kebanyakan fungsiterjadi pada sisi mana mandibula
bergerak maka working contact tepat.
Selama gerkana lateral kiri sama gigi posterior mandibula kanan melewati arah
medial sepanjang gigi antagonis. Bagian potensial dari kontak oklusal antara kemiringan
dalam cusp lingual maksila dan kemiringan dalam cusp bukal mandibula. Hal ini disebut
kontak mediotrusi. Selama gerakan lateral kiri banyak fungsi yang terjadi pada sisi kiri
dan oleh karena itu sisi kanan di buat menjadi sisi yang tak berkerja. Jadi kontak
mediotrusi juga disebut nonworking contacts. Pada literatur akhir2 ini bentuk balancing
contact digunakan.
Jika mandibula bergerak ke lateral lalu ke kanan, bagian potensial kontak akan di
identikkan dengan lawan dari gerakan lateral kiri. Sisi kanan memiliki kontak laterotrusi
dan sisi kiri kontak mediotrusi. Kontak ini pada kemiringan yang sama dengan gerakan
lateral kiri tetapi lengkung gigi antagonis.
Sebagai kesimpulan, kontak laterotrusi (working) pada gigi posterior terjadi pada
kemiringan dalam cusp bukal maksila berlawanan dengan kemiringan luar cusp bukal
mandibula dan kemiringan luar cusp lingual maksila berlawanan dengan kemiringan
dalam cusp lingual mandibula. Kontak mediotrusi (nonworking) terjadi pada kemiringan
dalam cusp lingual maksila berlawanan dengan kemiringan dalam cusp bukal mandibula.
Gambar 3-32
Kontak retrusi posterior dapat terjadi antara kemiringan mesial gigi maksila dan
kemiringan distal gigi mandibula
Ketika dua gigi posterior antagonis beroklusi normal (cusp lingual maksila
berkontak dengan fosa sentral antagonis dan cusp bukal mandibula berkontak dengan
fosa sentral antagonis). Kontak potensial selama gerakan eksentrik mandibula diprediksi
pada permukaan oklusal gigi. Tiap kemiringan cusp nonsentrik dapat juga berkontak
dengan gigi antagonis selama gerakan eksentrik spesifik (Gbr 3-33) digambarkan kontak
oklusal mungkin terjadi pada gigi molar pertama maksila dan mandibula. Ingat bahwa
area ini hanya area kontak potensial karena seluruh gigi posterior tidak dapat berkontak
selama gerakan mandibula. Pada beberapa kasus, terdapat beberapa kontak gigi selama
gerakan mandibula spesifik, yang tidak beratikulasi dengan gigi yang tersisa.
Bagaimanapun, kontak gigi pada gigi antagonis selama gerakan mandibula spesifik,
diagram ini menggambarkan area kontak tersebut.
Gambar 3-33
Bagian potensial kontak selama gerakan eksentris (tampakan lateral dan
proksimal).
Bagian potensial kontak eksentrik sekitar cusp gigi molar pertama maksila dan
mandibula (tampakan oklusal). Kontak ini ditunjukkan. LT, Laterotrusi; MT,
Mediotrusi; P, Protrusi; R, Retrusi
Gambar 3-34
Bagian umum kontak eksentrik gigi anterior maksila. LT, Laterotrusi; P,Protrusi
Ketika gigi anterior beroklusi dengan biasa, bagian potensial kontak selama
variasi gerakan mandibula juga diprediksi dan digambarkan pada gbr. 3-34
Saran
Ash MM, Nelson SJ: Wheeler's dental anatomy, physiology, and occulsion, ed 8, St
Louis, 2003, Saunders.
Kraus BS, Jordan RE, Abrams L: Dental anatomy and occlusion, Baltimore, 1973,
Waverly.
Moyer RE: Handbook of orthodontics for the student and general practitioner, ed 3,
Chicago, 1973, Year Book Medical.
Referensi
Sarver DM, Proffit WR: Special considerations in diagnosis and treatment
planning. In
Graber T, Vanarsdall R, Vig K, editors: Orthodontics: current principles and
techniques,
ed 4, St Louis, 2005, Mosby, pp 3-70.
Von Spee FG: Prosthetic dentistry, Chicago, 1928, Medico-Dental Publishing, pp
49-54.
Bonwill WGA: Geometrical and mechanical laws of articulation, Trans Odontol
Soc Pa
119-133, 1885.
Monson GS: Applied mechanics to the theory of mandibula movements, Dent
Cosmos
74:1039-1053, 1932.
Ash MM, Nelson SJ:Wheeler's dental anatomy, physiology, and occulsion, ed 8,
St Louis,2003, Saunders, pp 29-64.
Angle EH: Classification of malocclusion, Dent Cosmos 41:248-264, 1899.
Kraus BS, Jordon RE, Abrahams L: Dental anatomy and occlusion, Baltimore,
1973, Waverly, pp 226-230.
BAB 4 Mekanisme Pergerakan Mandibula
"Alam telah menganugerahkan kita dengan sistem pengunyahan yang dinamis, yang
memungkinkan kita untuk mengfungsikannya dan oleh karena itu ada. "
--- JPO
Pergerakan mandibular terjadi sebagai suatu kesatuan yang kompleks dari keterhubungan
tiga dimensi aktivitas rotasi dan translasi. Ini ditentukan oleh kombinasi dan simultasn
aktivitas kedua sendi temporomandibular (TMJs). Meskipun TMJs tidak dapat berfungsi
sepenuhnya secara mandiri dari masing-masing lainnya, mereka juga jarang berfungsi
dengan gerakan identic bersamaan. Untuk mengerti lebih baik kekompleksan pergerakan
mandibular, itu pertama penting untuk mengisolasi pergerakan yang terjadi dengan TMJ
tunggal. Tipe pergerakan yang terjadi didiskusikan terlebih dahulu, dan kemudian
pergerakan ketiga dimensi dari sendi dibagi kedalam pergerakan dengan suatu bidang
tunggal.
Gerakan batas membuka posterior dalam bidang sagittal terjadi sebagai dua tahap
gerakan engsel. Tahap pertama (gbr. 4-7) kondilus distabilisasi pada posisi paling
superior dari fossa artikularis (contoh, posisi engsel terminal). Posisi paling superior dari
kondilus dari pergerakan sumbu engsel dapat terjadi adalah posisi relasi sentrik (RS).
Mandibula dapat diturunkan (membuka mulut) dalam gerakan rotasi murni tanpa translasi
dari kondilus. Gerakan engsel (rotasi murni) dapat dihasilkan dari setiap posisi anterior
mandibular ke RS; untuk ini terjadi, bagaimanapun, kondilus harus distabilisasi jadi
trnaslasi dari sumbu horizontal tidak terjadi. Karena penstabilisasian ini susah untuk
menetukan, gerakan batas membuka posterior yang menggunakan sumbu engsel terminal
adalah hanya pengulangan gerakan sumbu engsel dari mandibula
Gbr. 4-8 Tahap kedua dari gerakan translasi selama membuka. Kondilus translasi turun
eminensia artikularis sebagai mulut berotasi membuka ke batas maksimumnya.
Dalam RS mandibular dapat dirotasi mengelilingi sumbu horizontal ke kejauhan 20
sampai 25 mm diukur antara tepi incisal dari maksila dan incisal mandibular. Pada titik
dari membuka, ligamen temporo mandibular mengencang, setelah membuja berlanut
hasil dalam anterior dan translasi inferior dari kondilus. Sebagai translasi kondilus,
sumbu dari rotasi dari mandibular bergeserke ramus, hasil dalam tahap kedua dari
gerakan batas membuka posterior
(Gbr. 4-8). Lokasi yang tepat dari sumbu rotasi pada ramus seperti menjadi area
perlekatan dari ligament sphenomandibular. Selama tahap ini, mandibular berotasi pada
sumbu horizontal melewati ramus, kondilus bergerakan secara anterior dan inferior dan
porsi anteropr dari mandibulah adalah bergerak secara posterior dan inferior. Membuka
maksimal dicapai ketika kapsular ligament mencegah gerakan lebih lanjut pada kondilus.
Membuka mkasimum berjaran 40 sampai 60 mm ketika diukur antara tepi incisal gigi
mkasila dan incisal gigi mandibular.
Dengan mandibula terbuka secara maksimal, penutupan ditemani oleh kontraksi dari
pterygoid inferior lateral (yang menyimpan posisi kondilus secara anterior) akan
menghasilkan gerakan batas menutup anterior. (Gbr 4-9). Secara teori, jika kondilus
distabilisasi dalam posisi anterior, gerakan murni engsel dapat terjadi sebagai mandibular
menutup dari pembukaan maksimal ke posisi protrusi mkasimal. Karena posisi protrusi
mkasimum ditentukan dalam bagian oleh ligament stylomandibular, sebagai penutupan
terjadi, pengencangan dari ligament menghasilkan gerakan posterior dari kondilus. Posisi
kondilus adalah paling anterior dalam keadaan terbuka maksimal tetapi tidak dalam
keadaan protrusi maksimal. Gerakan posterior dari kondilus dari posisi membuka
maksimal ke posisi protrusi maksimal menghasilkan keanehan dalam gerakan batas
anterior. Demikian itu tidak bukan gerakan engsel murni.
Gbr. 4-10 Hubungan dasar dari gigi ketika kondilus pada posisi relasi sentrik (RS)
Dalam PIC lawan gigi depan biasanya berkontak. Ketika mandibular diprotrusikan dari
intercusp maksimal, kontak antara tepi incisal dari gigi depan mandibula dan inklinasi
lingual dari gigi depan maksila hasilnya adalah agerakan anteroinferior dari mandibula
(Gbr 4-12). Hal ini terus berlanjut hingga gigi maksila dan mandibular memiliki
hubungan edge-to-edge, pada saat dimana jalan horizontal diikuti. Gerakan horizontal
berlanjut hingga tepi incisal gigi mandibular melewati tepi incisal gigi maksila (Gbr 4-
13). Pada titik mandibular bergerak dalam arah superior hingga gigi posterior berkontak
(Gbr 4-14). Permukan oklusal dari gigi posterior kemudian menuntun disana jalan utama
ke gerakan protrusive maksimum, yang mana bergabung dengan posisi paling superior
dari gerakan batas membuka anterior (Gbr 4-15).
Gbr 4-11
Kekuatan diterapkan pada gigi ketika condylesare dalam hubungan sentris (RS) akan
membuat pergeseran superoanterior dari posisi intercusp mandibula (PIC).
Gbr. 4-12
Sebagai mandibular bergerak kedepan, kontakdari tepi incisal dari tepi gigi anterior
mandibular dengan permukaan lingual dari gigi anterior maksila tercipta suatu
gerakan inferior.
Gbr. 4-13 Gerakan horizontal mandibular seperti tepi incisal dari gigi maksila dan
mandibular saling menyilang.
Gbr 4-14 Gerakan terus berlanjut dari mandibular hasil gerakan superior sebagai gigi
anterior melewati posisi end-to-end, hasil kontak gigi posterior.
Gerakan fungsional terjadi selama aktivitas fungsional mandibular. Mereka biasanya
mengambil tempat dalam gerakan batas dan demikian khususnya mulai pada dan
dibawah PIC. Ketika mandibular dalam posisi istirahat, itu ditemukan ditempatkan tepat
2 sampai 4 mm dibawah PIC. Posisi ini telah disebut posisi istirahat klinikal. Beberapa
studi menyarankan bahwa itu cukup bervariasi. Itu juga telah ditentukan bahwa ini juga
disebut posisi istirahat tidak posisi pada saat otot memunyai jumlah paling sedikit dari
aktivitaselektromyographic. Otot pengunyahan rupanya pada level terendah dari aktivitas
ketika mandibular diposisikan tepay 8 mm inferior dan 3 mm anterior ke PIC.
Gbr. 4-15
Gerakan terus berlanjut ditentukan oleh permukaan gigi posterior hingga gerakan
protrusive maksimum, sebagai penetapan oleh ligament, dicapai. Posisi maksimum
sendi terus titik paling superior dari batas gerak membuka anterior.
Gbr. 4-16
Kontak gerakan batas superior ketika kondilus dalam posisi relasi sentrik (RS)
adalah sama seperti posisi intercusp (PIC) gigi.
Pada titik kekuatan dari gravitasi mendorong mandibular turun adalah ekuilibrium
dengan elastisitas dan ketahanan untuk merentangkan dari otot elevator dan jaringan
lunak pendukung mandibula lainnya. Demikian posisi ini adalah gambaran terbaik
sebagai posisi istirahat klinikal. Dalan tekanan interartikular dari sendi menjadi rendah
dan dislokasi didekati. Karena fungsi tidak dapat secara siap terjadi dari posisi, reflex
myotatic, yang meniadakan kekuatan dari gravitasi dan mempertahankan rahang dalam
posisi siap lebih fungsional 2 sampai 4 mm di bawah ICP, di aktifkan. Dalam posisi ini
gigi dapat dengan cepat dan efektif dibawa bersama untuk fungsi segera. Peningkatan
level dari aktivitas otot electromyographic pada posisi ini mengindikasikan reflex
myotatic. Karena ini tidak benar posisi istirahat, posisi dalam yang mana mandibular
dipertahankan lebih tepat disebut posisi postural. Jika tekanan mengunyah diperiksa di
bidang sagittal, gerakan akan terlihat untuk memulai di PIC dan jatuh ke bawah dan
sedikit ke depan ke posisi pembukaan yang diinginkan (Gbr. 4-18). Itu kemudian kembali
dalam suatu jalan yang lebih lurus untuk gerakan membuka (seperti yang digambarkan
pada Bab.2).
Gbr. 4-17 Mandibula dalam posisi postural (PP) diletakkan 2 sampai 4 mm dibawah
posisi intercusp (PIC).
Gbr. 4-18 Pukulan mengunyah dengan gerakan batas dalam bidang sagittal. RS, relasi
sentrik; PIC, posisi intercusp.
Telah dinyatakan bahwa posisi kepala normal selama makan adalah dengan wajah
diarahkan kebawah 30 derajat. Ini disebut sebagai alert feeding position. Di dalamnya
pergeseran mandibula sedikit anterior tegak lurus posisi. Jika otot elevator kontrak
dengan kepala dalam posisi ini, jalan penutupan akan sedikit anterior yang dalam posisi
tegak. Kontak gigi demikian akan terjadi anterior ke PIC maksimal. Seperti perubahan
pada penutupan menyebabkan kontak berat gigi anterior. Posisi alert feeding bisa
menjadi signifikan dalam mengingat hubungan fungsional gigi.
Degan kepala tegak lurus gigi dintingkatkan secara langsung kedalam intercusp
maksimum dari posisi postural. B, dengan kepala mengangkat 45 derajat, posisi postural
dari mandibular menjadi lebih posterior. Ketika gigi dioklusikan, kontak gigi terjadi
posterior ke posisi intercusp (PIC).C, dengan sudut kepala 30 derajat (alert feeding
position), posisi postural dari mandibular menjadi lebih anterior. Ketika gigi beroklusi,
kontak gigi terjadi anterior ke intercusp maksimum. RS, relasi sentrik. 45 derajat ekstensi
kepala adalah juga posisi signifikan karena ini sering postur kepala diasumsikan selama
sedang minum. Dalam postru mandibular dipertahankan lebih posterior ke maksimum
intercusp.
Gothic arch tracer digunakan untuk merekam gerakan batas mandibular dalam bidang
horizontal. Sebagai mandibular bergerak, stylus melekat pada gigi mandibular
menghasilkan jalur di meja perekaman menempel pada gigi maksila.
Gbr. 4-21 Batas gerkan mandibular dalam bidang horizontal. 1, lateral kiri; 2, lateral kiri
dengan protrusi; 3, lateral kanan; 4, RE, relasi sentrik; PIC, posisi intercusp.
Dengan kondilus dalam posisi RS, lpmtraksi dari pterygoid lateral inferior kanan akan
menyebabkan kondilus kanan untuk bergerak secara anterior dan medial (juga inferior).
Jika pterygoid lateral inferior kiri menetap relaksasi, kondilus kiri akan tinggal situasi
dalam RS dan hasilnya akan menjadi gerakan batas lateral (contoh, kondilus kanan
mengorbit pada sumbu frontal dari kondilus kiri). Kondilus kiri demikian disebut
kondilus berotasi karena mandibular berotasi disekitarnya. Kondilus kanan disebut
kondius mengorbit karena mengorbit disekitar kondilus berotasi. Kondilus kiri juga
disebut kondilus kerja karena pada sisi kerja. Juga, kondilus kanan disebut kondilus tidak
bekerja karena itu diletakkan pada sisi tidak bekerja. Selama gerakan ini stylus akan
menghasilkan garis pada rekaman piring yang bertepatan dengan gerakan batas kiri
(Gambar 4-22).
Gbr. 4-22 Gerakan batas kiri lateral dicatat dalam bidang horizontal
Gbr 4-23 Lanjutan gerakan batas lateral kiri dengan protrusi direkam pada bidang
horizontal
Kontrak dari otot pterygoid lateral inferior kiri akan menyebabkan kondilus kiri bergerak
secara anterior dan medial (juga inferior). Jika otot pterygoid lateral inferior kanan
menetap relaksasi, kondilus kanan akan tinggal dalam situasi posisi RS. Hasilnya gerakan
mandibular akan menjadi batas lateral kanan (contoh; kondilus kiri mengorbit pada
sumbu frontal dari kondilus kanan). Kondilus kanan dalam gerakan ini disebut kondilus
berotasi karena mandibular sedang berotasi disekitarnya. Kondilus kiri selama gerakan
ini disebut kondilus mengorbit karena mengorbit disekitar kondilus berotasi. Selama
gerakan ini stylus akan menghasilkan garis pada rekaman piring yang bertepatan dengan
gerakan batas lateral kanan (Gambar 4-24).
Gbr.4-25 Lanjutan gerakan batas lateral kanan dengan protrusi dicatat dalam bidang
horisontal
Gbr. 4-26 BATAS GERAKAN MANDIBULA DALAM BIDANG HORISONTAL
DICATAT PADA BERAGAM DERAJAT DARI MEMBUKA
Gbr. 4-27
Jarak fungsional dalam gerakan batas horizontal. RS, relasi sentrik; EC, area
digunakan dalam tahap cepat dari pengunyahan; EEP, end-to-end position dari
gigi anterior; PIC, posisi intercusp; LC, area digunakan dalam tahap nanti dari
mastikasi hanya sebelum menelan terjadi.
Gbr. 4-28
Batas gerakan mandibular dalam bidang frontal. 1, lateral superior kiri;2, lateral
kiri membuka; 3,lateral superior kanan; 4, lateral kanan membuka; PIC posisi
intercusp;pp posisi postural.
Gbr. 4-29
Gbr. 4-32
Contoh ilustrasi selama gerakan lateral sederhana, gerakan terjadi disekitar sumbu
masing-masing (sagittal, horizontal, dan vertical), dan secara simultan masing-masing
aksis memiringkan untuk menampung gerakang yang terjadi disekitar sumbu lain. Semua
ini terjadi dalam gerakan envelope dan rumit dikontrol oleh sistem neuromuskular untuk
menghindari cedera pada struktur mulut.
4.4 References
1. Dorland's illustrated medical dictionary, ed 30, Philadelphia, 2003, Saunders, p 1643.
2. Lindauer SJ, Sabol G, Isaacaso RJ, Davidovitch M: Condylar movement and
mandibular rotation during jaw opening, Am J Orthod Dentofacial Orthop 107:573-
577, 1995.
3. Posselt U: Movement areas of the mandible, J Prosthet Dent 7:375-385, 1957.
4. Garnick J, Ramfjord SP: An electromyographic and clinical investigation, J Prosthet
Dent 12:895-911, 1962.
5. Schweitzer JM: Oral rehabilitation, St Louis, 1951, Mosby, pp 514-518.
6. Atwood DA: A critique of research of the rest position of the mandible, J Prosthet
Dent 16:848-854, 1966.
7. Rugh JD, Drago CJ: Vertical dimension: a study of clinical rest position and jaw
muscle activity, J Prosthet Dent 45:670-675, 1981.
8. Du Brul EL: Sicher's oral anatomy, St Louis, 1980, Mosby.
9. Mohl ND: Head posture and its role in occlusion, NY State Dent J 42:17-23, 1976.
BAB 6 Faktor Bentuk Oklusal
Di dalam anatomi oklusal gigi berfungsi selaras dengan struktur yg mengendalikan pola
pergerakan mandibula. Struktur yang menentukan pola ini adalah temporomandibular joint
( TMJs) dan gigi anterior. Selama pergerakan yang khas ini hubungan anatomi dari kombinasi
struktur ini menentukan arah yg tepat dan berulang. Untuk memelihara keselarasan kondisi
oklusal, gigi posterior harus tertutup tetapi tidak kontak dengan gigi lawannya selama pergerakan
mandibula. Sangat penting, clinician perlu menguji struktur ini masing-masing secara hati-hati
dan menyadari bagaimana setiap bentuk anatomi dapat menentukan perlunya bentuk oklusal
untuk mencapai suatu hubungan oklusal yang optimum. Struktur yang mengendalikan
pergerakan mandibula dibagi menjadi dua jenis: (1). Yang mempengaruhi pergerakan bagian
posterior mandibula (2). Yang mempengaruhi pergerakan bagian anterior mandibula. TMJs
memperhatikan factor pengendalian poserior ( PCFs), dan gigi anterior memperhatikan faktor
pengendalian anterior ( ACFs). Posisi gigi posterior berada diantara dua faktor pengendali ini
dan dapat diperpengaruhi oleh kedua-duanya dengan berbagai tingkatan.
Biasanya, petunjuk sudut condylar (condylar guidance plane) dihasilkan oleh lintasan rotasi
condyle ketika mandibula bergerak ke lateral lebih besar dari ketika mandibula bergerak secara
protrusi kedepan. Ini disebabkan dinding tengah yang di tengah-tengah
fossa mandibular biasanya lebih curam dibanding articular eminence dari fossa yang secara
langsung di depan dari condyle.
Kedua TMJs memberikan petunjuk pada bagian posterior mandibula dan sebagian besar
menentukan karakter pergerakan mandibular bagian posterior. Hal itu dikenal sebagai PCFs
dari mandibular movement. Petunjuk condyl dipertimbangkan factor tetap karna hal itu tidak
berubah pada kesehatan pasien. Hal itu dapat berubah pada kondisi tertentu (trauma,pathosis
dan proedur bedah).
Petunjuk anterior dianggap sebagai suatu variabel daripada suatu faktor yang menentukan. Itu
dapat diubah oleh dental prosedur seperti restorasi, orthodontia, dan extraksi. [Itu] dapat juga
diubah oleh kondisi pathologis seperti karies, kebiasaan dan gigi aus.
Hubungan gigi posterior kepada faktor pengendalian mempengaruhi ketepatan pergerakan gigi.
Ini menunjukkan kedekatan gigi dengan TMJ, hubungan anatomi yang lebih akan mempengaruhi
pergerakan eksentris dan semakin sedikit hubungan anatomi dari gigi di anterior mempengaruhi
pergerakannya. Demikian juga, yang lebih dekat pada gigi anterior, anatomi yang lebih dari
gigi anterior akan mempengaruhi pergerakannya dan semakin sedikit anatomi dari TMJs akan
mempengaruhi pergerakan itu.
Permukaan oklusal gigi posterior terdiri dari suatu rangkaian cups dengan kedua dimensi
horisontal dan vertical. Cups terdiri dari ridge yg cembung yang berbeda-beda di dalam
kecuraman ( dimensi vertikal) dan arah ( dimensi horisontal).
Pergerakan mandibula mempunyai dua komponen yaitu vertikal dan horisontal, dan hubungan
antara komponen ini atau perbandingannya sangat penting di dalam studi pergarakan
mandibular.
Komponen vertikal berfungsi pergerakan superioinferior pergerakan, dan komponen horisontal
berfungsi untuk pergerakan anteroposterior. Jika pergerakan condyle bergerak ke bawah dua unit
sama dengan bergerak kedepan dua unit, itu bergerak ke arah bidang acuan horisontal dengan
sudut 45 derajat. Jika itu bergerak ke bawah dua unit dan ke depan satu unit, itu bergerak dari
bidang ini pada sudut kira-kira 64 derajat. Sudut penyimpangan dari bidang acuan horisontal
adalah apa yang dipelajari clinicians pada pergerakan mandibular.
Gambar. 6-1 menyajikan mandibula yang bergerak empat unit di dalam bidang horisontal dan nol
unit di dalam bidang vertikal, menghasilkan suatu penyimpang horisontal untuk 0 derajat.
Gambar 6-2 menunjukkan pergerakan mandibula empat unit pada bidang horisontal dan empat
unit pada bidang vertikal. Hasil di sini adalah penyimpangan arah penyimpangan dari horisontal
45 derajat.
Di dalam gambar 6-3 pergerakan mandibula empat unit pada bidan horisontal, tetapi di dalam
bidang vertical PCF bergerak empat unit dan ACF bergerak enam unit. Ini mengakibatkan
pergerakan 45 derajat dari PCF 57 derajat. Nilai antara faktor akan menyimpang oleh perbedaan
jumlah dari bidang horisontal tergantung pada kedekatan pada masing-masing faktor. Kedekatan
suatu nilai PCF, sebagai contoh, pergerakan yang akan mendekati 45 derajat (karena semakin
besar pengaruh pergerakan PCF nya). Demikian juga, kedekatan nilai dari ACF,akan bergerak
mendekati 57 derajat ( karena semakin besar pengaruh kedepan pada waktu yang sama
pergerakan ACF). Sebuah nilai pada factor akan bergerak dari horizontal pada sudut sekitar 51
derajat ( yang mana merupakan pertengahan antara 45 dan 57 derajat), dan 25% penutup ACF
dibanding PCF akan bergerak horisontal pada sudut
54 derajat ( seperempat dari jalan antara 57 dan 45 derajat).
Gambar 6-1
Acuan bidang horizontal ( HRP) dari mandibula pada kedua factor pengendalian bagian posterior
( PCF) dan anterior ( ACF). Mandibula bergerak secara horisontal empat unit dari suatu posisi
yang ditandai dengan garis putus-putus. Tidak terjadi pergerakan vertikal. Garis tebal menyajikan
posisi dari mandibula setelah pergerakan berlangsung.
Gambar 6-2
Pergerkan mandibula empat unit secara horisontal dan empat unit secara vertikal pada kedua
factor pengendali pada bagian posterior ( PCF) dan anterior ( ACF). Ketika mandibula bergerak
empat unit ke bawah, bergerak empat unit karena kedua-duanya PCFs dan ACFs
menyebabkan mandibula bergerak pada sudut 45 derajat dari bidang acuan horisontal pada
akhir penyimpangan mandibula.
Untuk menilai pengaruh segala variasi anatomi pada pola pergerakan mandibula, diperlukan
untuk mengendalikan semua faktor kecuali yang sedang diuji. Mengingat pentingnya dari bagian
anterior dan keberadaan petunjuk condyl berada di dalam hal bagaimana mempengaruh bentuk
gigi posterior. Sebab
permukaan oklusal dapat dipengaruhi di dalam dua cara ( lebar dan tinggi), adalah logis untuk
memisahkan pengaruh struktural pergerakan mandibular ke dalam faktor yang mempengaruhi
komponen vertikal dan komponen horisontal. Anatomi dari permukaan oklusal juga
dipengaruhi oleh hubungannya dengan gigi yang berseberangan selama pergerakan. Oleh
karena itu lokasi gigi pada pusat rotasi juga dibahas.
Gambar 6-3 HASIL PERGERAKAN MANDIBULA KETIKA FAKTOR PENGENDALI TIDAK SAMA.
Faktor pengendali posterior ( PCF) menyebabkan bagian posterior dari mandibula bergerak
empat unit ke depan ( secara horisontal) dan empat unit ke bawah ( secara vertikal).
Bagaimanapun, factor pengendali anterior ( ACF) menyebabkan bagian anterior mandibula
bergerak empat unit ke depan dan enam unit ke bawah. Oleh karena itu bagian posterior
mandibula bergerak menjauh dari bidang acuan pada sudut 45 derajat, dan bagian anterior
bergerak menjauh pada sudut pada sudut 57 derajat. Titik ( x) mempunyai jarak yang sama dari
factor pengendali akan bergerak pada sudut 51 derajat dari bidang acuan. Titik yang lain ( y) itu
adalah seperempat penutup pada ACF dibanding pada PCF akan bergerak pada sudut 54
derajat. Itu dapat dilihat lebih dekat pada titik factor pengendali , jumlah pergerakannya
dipengaruhi oleh factor tersebut.
Pada gambar 6-4 pergerakan condyle dari bidang acuan horisontal pada sudut 45 derajat. Untuk
menyederhanakan visualisasi, petunjuk anterior digambarkan pada sudut yang sama. Ujung cusp
premolar akan bergerak pada acuan bidang pada sudut 45 derajat. Untuk menghindari kontak
eksentrik
antara premolar A dan premolar B pada pergerakan protrusi, inklinasi cusp kurang dari 45
derajat.
Pada gambar 6-5, petunjuk condyl dan petunjuk anterior disajikan bidang acuan horizontal pada
sudut 60 derajat. Dengan faktor penentu kecuraman bidang vertikal, premolar A akan bergerak
dari premolar B pada sudut 60derajat, akibatnya cups lebih panjang. Oleh karena itu sudut
kecuraman dari eminence ( petunjuk condyl) menyebabkan kecuraman cups posterior.
A. Faktor pengendalian posterior dan anterior adalah serupa dan menyebabkan pergerakan
mandibula dari bidang acuan pada sudut 34 derajat. B. Untuk premolar A terjadi kelainan oklusi
dengan premolar B selama pergerakan protrusi, kemiringan cusp harus kurang dari 45 derajat.
Sebab pergerakan mandibular ditentukan oleh besarnya perluasan oleh petunjuk anterior,
perubahan dalam overlap vertical dan horizontal dari gigi anterior menyebabkan perubahan pola
pergerakan vertical.
Peningkatan dalam overlap horisontal mengarahkan pada penurunan sudut petunjuk anterior,
berkurangnya komponen vertical pada pergerakan mandibula, dan cusp cusp posterior lebih
datar. Peningkatan dalam overlap vertikal menghasilkan peningkatan sudut petunjuk
anterior,banyak komponen vertical pada pergerakan mandibula, kecuraman cusp posterior.
Gambar 6-5
A, Faktor kendali posterior dan anterior adalah sama dan menyebabkan pergerakan
mandibuladari bidang acuan pada sudut 60 derajat. B,Pemolar A terjadi kelainan oklusi dari
premolar B selama pergerakan protrusi, kemiringan cusp harus kurang dari 60 derajat. Itu dapat
dilihat kecuraman factor kendali posterior dan anterior yang menyebabkan cups posterior lebih
curam.
Pada gambar 6-7, petunjuk condyl dan petunjuk anterior dikombinasikan untuk menghasilkan
sudut 45 derajat pada pergerakan gigi rahang bawah dibandingkan dengan dataran petunjuk
horizontal. Bagaimanapun, ketika pergerakan 45 derajat dibandingkan dengan suatu dataran
oklusi ( POA), itu dapat dilihat bahwa gigi bergerak pada dataran hanya pada sudut 25 derajat,
yang mengakibatkan dibutuhkannya cups posterior yang lebih datar. Ketika pergerakan gigi
yang dibandingkan dengan dataran oklusi ( POB), itu dapat dilihat dari dataran ini adalah 60
derajat. Oleh karena itu gigi posterior dapat mempunyai cusp yang lebih panjang, dan sudah
menentukan dataran oklusal menjadi lebih hampir paralel kepada sudut dari eminence cups
posterior harus dibuat menjadi lebih pendek.
Gambar 6-6
Sudut petunjuk anterior diubah oleh variasi overlap vertikal dan horisontal. Pada A ke C adalah
variasi overlap horisontal ( HO), sedangkan overlap vertikal ( VO) tetap. Ketika HO meningkat,
sudut petunjuk anterior berkurang. Pada D ke F adalah variasi VO, sedangkan HO tetap. Pada
peningkatan VO, terjadi peningktan suu peunjuk anterior.
Gambar 6-7
A, Faktor kendali anterior dan posterior membuat pergerakan mandibula membentuk sudut 45
derajat dari dataran petunjuk horizontal. B,Pergerakan gigi pada sudut 45 derajat dari dataran
petunjuk ( HRP). Bagaimanapun, jika satu dataran oklusi ( POA) bersudut, gigi akan bergerak
dari dataran petunjuk hanya 25 derajat. Oleh karena cups harus secara relatif datar untuk terjadi
kelainan oklusi selama pergerakan protrusi. Ketika sudut di mana gigi bergerak selama
pergerakan protrusi dibandingkan dengan dataran oklusi yang lain ( POB),ada perbedaan yang
lebih besar dan jelas ( 45+ 15= 60 derajat). Ini memperhitungkan lebih tinggi dan lebih
curamnya cusp posterior.
Orientasi dari kurva Spee, ditentukan oleh hubungan radiusnya terhadap dataran acuan
horisontal, juga akan mempengaruhi bagaimana tingginya cups dari suatu gigi posterior akan
dipengaruhi. Di dalam gambar 6-10, A, radius dari kurva membentuk sudut 90 derajat dengan
dataran acuan horizontal yang tetap. Molar ( yang terletak bagian distal dari radius) akan
mempunyai cusp yang lebih pendek, sedangkan premolar ( terletak pada bagian) akan
mempunyai cusp yang lebih panjang. Di dalam gambar 6-10, B, radius membentuk suatu sudut
60 derajat dengan dataran acuan horizontal ( kurva Spee berputar lebih ke depan). Dengan
pergerakan kurva yang lebih ke depan terhadap dataran horizontal, seseorang dapat melihat
semua semu gigi posterior ( premolar dan molar) akan mempunyai cups lebih pendek. Di dalam
gambar 6-10, C, jika garis tegak dari dataran acuan horisontal yang tetap diputar ke arah
posterior ( kurva Spee ditempatkan lebih posterior), seseorang dapat melihat gigi-gigi posterior
(terutama molar) dapat mempunyai cups yang lebih panjang.
Gambar 6-8 KURVA SPEE.
A, Radius yang lebih panjang menyebabkan dataran oklusal lebih rata. B, Radius yang lebih
pendek menyebabkan dataran oklusi lebih lancip.
Gambar 6-9
Pergerakan mandibula dari suatu dataran acuan horisontal pada sudut 45 derajat. Dataran oklusi
yang lebih rata ( A), yang semakin besar akan membentuk sudut pergerakan gigi-gigi posterior
rahang bawah dari gigi-gigi posterior rahang atas, oleh karena itu cups menjadi lebih tinggi.
Semakin lancip dataran oklusi ( B), yang lebih kecil akan membentuk sudut pada pergerakan gigi
posterior rahang bawah sehingga menjadi lebih rata.
A, Radius yang tegaklurus pada dataran acuan horisontal. Gigi posterior terletak pada distal dari
radius akan memerlukan cups yang lebih pendek dibanding terletak pada mesial dari radius. B,
Jika datran oklusi berputar lbih posterior, ini dapat dilihat banyaknya gigi-gigi posterior akan
diposisikan pada distal yang tegak lurus dari dataran dan dapat mempunyai cusp yang lebih
pendek. C, Jika datran diputar lebih ke anterior, itu dapat dilihat pada banyaknya gigi-gigi
posterior akan diposisikan pada mesial yadan mempunyai cup yang lebih tinggi.
Gambar 6-11
Dengan dekatnya dinding medial dan ligament temporomandibular( TM) yang kencang, tidak
ada penerjemahan pergerakan lateral.
Penerjemahan pergerakan lateral mempunyai tiga atribut: jumlah, pemilihan waktu, dan arah.
Jumlah
dan pemilihan waktu adalah bagian yang ditentukan oleh tingkat dinding medial pada fossa
mandibula yang menyimpang dari tengah dari suatu lengkungan di sekitar sumbu di dalam
perputaran condyl. Mereka adalah juga ditentukan oleh tingkat pergerakan lateral dari
perputaran condyl yang dimungkinkan oleh ligament TM. Dinding yang lebih ke tengah dari
ujung medial dari perputaran condyl, semakin besar jumlah penerjemahan pergeraka ke lateral
(Gambar 6-13); dan kekenduran perlekatan ligament TM pada perputaran condyl, semakin
besar penerjemahan pergerakan lateral. Arah dari penerjemahan pergerakan lateral tergantung
pada arah yang diambil oleh perputaran condyl selama pergerakan secara bentuk fisik (gambar
6-14).
Gambar 6-12
Ketika ada jarak antara dinding medial dan kutub medial dari perputaran condyle dan ligament
temporomandibular ( TM) memungkinkan beberapa pergerakan perputaran condyle,terjadi
penerjemahan pergerakan lateral.
Gambar 6-13
Semakin ke tengah dinding medial dari condyle, semakin besar akan terjadi penerjemahan
pergerakan lateral. Oleh karena itu ketika dinding medial dalam posisi 3, itu akan memungkinkan
banyaknya penerjemahan pergerakan lateral mandibula dibanding dalam posisi 1.
Gambar 6-14
Arah dari penerjemahan pergerakan ditentukan oleh arah yang diambil oleh perputaran condyle.
Ketika perputaran condyle mengikuti alur 1, fossa sentralis dari gigi-gigi akan memerlukan area
yang lebih luas dibanding alur 2 untuk lepas dari gigi-gigi lawannya.
6.4.5.1 Efek dari jumlah penerjemahan pergerakan lateral pada ketinggian cusp
Seperti yang baru dinyatakan, jumlah penerjemahan pergerakan lateral ditentukan oleh
kekencangan dari bagian horisontal dalam dari perlekatan ligament TM terhadap perputaran
condyle, seperti halnya
tingkatan dinding medial dari fossa mandibula yang meninggalkan kutub medial dari perputaran
condyle. Kekenduran ligament ini dan meninggalkannya yang semakin besar, semakin besar
pula jumlah
penerjemahan pergerakan mandibula. Seperti peningkatan penerjemahan pergerakan lateral,
perubahan secara fisik mendiktekan cups posterior menjadi lebih pendek untuk memungkunkan
penerjemahan pergerakan lateral tanpa menciptakan kontak antara gigi-gigi posterior maxilla
dan mandibula (gambar 6-15).
6.4.5.2 Efek dari arah penerjemahan pergerakan lateral pada ketinggian cusp
Arah dari pergeseran dari perputaran condyl selama penerjemahan pergerakan lateral
ditentukan oleh bentuk dan perlekatan ligament dari TMJ yang mengalami perputaran.
Pergerakan terjadi di dalam sudut 60 derajat ( atau lebih sedikit) yang berbentuk kerucut, apex
terletak pada sumbu perputaran (gambar 6-16). Oleh karena itu sebagai penambahan terhadap
pergerakan lateral, perputaran condyle bias juga bergerak ke ( 1) superior, ( 2) inferior, ( 3)
anterior, atau ( 4) arah posterior. Lagipula, kombinasi ini dapat terjadi. Dengan kata lain,
pergeseran bias ke laterosuperoanterior, lateroinferoposterior, dan seterusnya.
Gambar 6-15
Semakin besar penerjemahan pergerakan lateral, cups posterior lebih pendek. Alur 3 akan
memerlukan cups lebih pendek dibanding jalan alur 1.
Gambar 6-16
Perputaran condyl mampu untuk bergerak ke lateral dalam area berbentuk kerucut dengan sudut
60 derajat selama penerjemahan pergerakan lateral
Gambar 6-17
Penerjemahan pergerakan lataral yang lebih ke atas pada perputaran condyl ( 1), cups posterior
lebih pendek. Penerjemahan pergerakan lateral yang lebih ke bawah ( 3), cups posterior lebih
tinggi.
Arti penting sebagai faktor penentu tingginya cups dan kedalaman fossa adalah pergerakan
vertikal dari
perputaran condyl selama penerjemahan pergerakan lateral ( seperti pergerakan ke atas dan
bawah) (gambar . 6-17). Begitupula pergerakan laterosuperior dari perputaran condyl akan
memerlukan
cups posterior yang lebih pendek dibandingkan pergerakan langsung ke lateral; demikian juga,
pergerakan lateroinferior akan memungkinkan cups posterior lebih panjang dibanding
pergerakan lurus ke lateral.
Pemilihan waktu penerjemahan pergerakan lateral adalah suatu fungsi dinding medial yang
bersebelahan pada perputaran condyle dan perlekatam dari ligament TM perputaran condyle.
Dua kondisi ini menentukan ketika terjadi pergerakan ini selama terjadinya penyimpangan ke
lateral. Tentang ke tiga atribut penerjemahan pergerakan lateral ( jumlah, arah, dan pemilihan
waktu), terakhir mempunyai pengaruh yang terbesar pada bentuk oklusal dari gigi posterior. Jika
pemilihan waktu yang terakhir terjadi dan cups maxilla dan mandibula melewati batas fungsinya,
arah dan jumlah penerjemahan pergerakan lateral akan hanya mempunyai sedikit, bila ada,
pengaruh pada bentuk oklusal. Bagaimanapun, jika pemilihan waktuyang lebih awal terjadinya
pergerakan ini l pergerakan aterotrusive, jumlah dan arah penerjemahan pergerakan lateral akan
jelas mempengaruhi bentuk oklusal.
Ketika penerjemahan pergerakan lateral terjadi lebih awal, suatu pergeseran dilihat bahkan
sebelum mulai terjadi penerjemahan pergerakan condyl dari fossa. Ini disebut penerjemahan
pergerakan lateral yang seketika atau pergeseran sisi yang seketika (gambar 6-18). Jika itu
terjadi bersama dengan pergerakan eksentris, pergerakan ini dikenal sebagai penerjemahan
pergerakan lateral yang progresif atau sisi pergeseran yang progresif. Banyaknya pergeseran
sisi yang seketika, gigi posterior jadi lebih pendek.
Alur cups dari gigi mengikuti bagian atas atas gigi lawannya adalah factor jaraknya ( radius) dari
perputaran condyle. Alur mediotrusive ( A) dan alur laterotrusive( B).
Faktor penentu horizontal dari bentuk oklusal meliputi hubungan yang mempengaruhi arah ridge
dan groove permukaan oklusal. Sebab cups yang melewati antara ridge dan permukaan groove
selama pergerakan eksentrik, faktor penentu horisontal juga mempengaruhi penempatan cups.
Setiap ujung cups sentral menghasilkan kedua alur laterotrusive dan mediotrusive yang
melewati gigi lawannya. Setiap alur menghadirkan bagian dari bentuk lengkung yang dibentuk
cups yang berotasi di sekitar prputaran condyl (gambar 6-19). Sudut yang dibentuk oleh alur ini
dapat dibandingkan dan akan ditemukan yang tergantung pada hubungan dari sudut struktur
anatomic tertentu.
6.5.1 EFEK DARI JARAK PERPUTARAN CONDYLE PADA [ARAH RIDGE DAN GROOVE
Sebab posisi suatu gigi bervariasi dalam hubungan dengan sumbu rotasi dari mandibula ( yaitu.,
perputaran condyle), variasi akan terjadi pada sudut yang dibentuk oleh alur laterotrusive dan
mediotrusive. Semakin besar jarak gigi dari sumbu rotasi ( perputaran condyle), sudut yang lebih
luas dibentuk oleh alur laterotrusive dan mediotrusive (gambar 6-20). Ini adalah konsisten
dengan mengabaikan gigi maxillary atau mandibula yang dipandang. Benar-benar, peningkatan
ukuran sudut sebagai jarak dari perptaran condyle ditingkatkan sebab alur mandibular yang
dihasilkan lebih ke mesial ( lihat gambar 6-20, A) dan alur maxilla yang dihasilkan lebih ke distal (
lihat gambar 6-20, B).
Gambar 6-20
Semakin besar jarak gigi dari perputaran condyl, sudut yang lebih luas dibentuk oleh alur
laterotrusive dan mediotrusive. Ini adalah benar untuk kedua-duanya gigi mandibula ( A) dan
maxillary ( B). A, alur mediotrusivel; B, alur laterotrusive.
6.5.2 EFEK JARAK DARI DATARAN MIDSAGITTAL PADA ARAH RIDGE DAN GROOVE
Hubungan suatu gigi terhadap dataran midsagittal akan juga mempengaruhi alur laterotrusive
dan
mediotrusive dihasilkan oleh cups sentral gigi lawanna. [Seperti posisi gigi yang lebih jauh dari
dataran midsagittal, sudut yang dibentuk oleh alur laterotrusive dan mediotrusive akan meningkat
(gambar 6-21)..
Gambar 6-21
Semakin besar jarak gigi dari dataran midsagittal, sudut yang lebih luas dibentuk oleh alur
laterotrusive dan mediotrusive. Ini adalah benar untuk kedua-duanya ( A) gigi mandibula dan ( B)
gigi maxilla. A, alur mediotrusive; B, alur laterotrusive.
6.5.3 EFEK JARAK DARI PERPUTARAN CONDYLES DAN DARI DATARAN MIDSAGITTAL
PADA ARAH RIDGE DAN GROOVE
Telah dipertunjukkan bahwa posisi gigi dalam hubungan dengan perputaran condyl dan dataran
midsagittal mempengaruhi alur laterotrusive dan mediotrusive. Kombinasi dari dua hubungan
menentukan alur yang tepat dari ujung cups sentral. Posisikan gigi dengan jarak lebih besar dari
perputaran condyle, tetapi lebih dekat pada dataran midsagittal, akan menyebabkan faktor
penentu yg terakhir untuk meniadakan pengaruh dari bentuk. Sudut yang lebih besar antara alur
laterotrusive dan mediotrusive akan dihasilkan oleh posisi gigi di dalam lengkung gigi pada jarak
yang besar dari keduanya perputaran condyl dan dataran midsagitta. Dan sebaliknya, sudut
yang paling kecil akan dihasilkan oleh gigi yang lebih dekat kedunya perputaran condyle dan
dataran midsagittal.
Oleh karena itu kurva lengkung gigi, dapat dilihat: Biasanya, seperti jarak pada gigi dari
penurunan dataran midsagittal. Bagaimanapun, jarak dari perputaran condyle biasanya
meningkat lebih cepat disbanding penurunan jarak dari dataran midsagittal, umumnya gigi-gigi
region anterior (seperti premolar) akan mempunyai sudut yang lebih besar antara alur
laterotrusive dan mediotrusive dibanding
gigi yang terletak leih posterior (molar)(gambar 6-22).
Gigi semakin ke anterior dalam lengkung gigi, sudut yang lebih luas dibentuk oleh ( A) alur
mediotrusive dan ( B) alur laterotrusive.
Suatu ringkasan menyangkut faktor penentu vertikan dan horizontal dari bentuk oklusal dapat
ditemukan di dalam Tabel 6-1 dan Tabel 6-2.
Gambar 6-23
Jumlah dari peningkatan penerjemahan pergerakan lateral, sudut antara ( A) alur mediotrusive
dan ( B) alur laterotrusive yang dihasilkan oleh peningkatan ujung cups sentris. Ini adalah benar
untuk kedua-duanya gigi-gigi mandibula ( A) dan maxilla ( B).
Gambar 6-24
Efek penerjemahan pergerakan anterolateral dan posterolateral perputaran condyle. Pergerakan
yang lebih ke anterolateral pada perputaran condyl, semakin kecil sudut yang dibentuk oleh alur
mediotrusive dan laterotrusive( A3 dan B3. Pergerakan yang lebih ke posterolateral pada
perputaran condyle, sudut yang lebih luas dibentuk oleh alur mediotrusive dan laterotrusive ( A1
dan B1). Ini adalah benar untuk kedua-duanya gigi-gigi mandibula ( A) dan maxilla ( B).
Gambar 6-25
Semakin besar jarak intercondylar, semakin kecil sudut yang dibentuk oleh alur cups laterotrusive
dan mediotrusive ( A1 dan B1). Semakin kecil jarak intercondylar, semakin luas sudut antara alur
cups laterotrusive dan mediotrusive ( A2 dan B2).
TABEL 6-1 Faktor penentu vertical dari bentuk oklusal (ketinggian dan kedalaman fossa)
Faktor Kondisi Efek
Petunjuk anterior Overlap vertical lebih besar Cusp posterior lebih tinggi
Overlap horizontal lebih besar Cusp posterior lebih pendek
Dataran oklusi Dataran lebih parallel pada Cusp posterior lebih pendek
Petunjuk condyl
Jarak dari rotasi condyl Jarak lebih besar Sudut yang lebih lebar diantara
alur
Laterotrusif dan mediotrusif
Jarak dari dataran Jaralebih besar Sudut yang lebih lebar diantara
alur
midsagittal Laterotrusif dan mediotrusif
Jarak intercondyl Jarak lebih besar Sudut yang lebih kecil diantara
alur
Laterotrusif dan mediotrusif
Bagaimanapun, bukti ilmiah untuk mendukung suatu korelasi antara ACFs dan PCFs adalah
tidak berarti. Sebagai gantinya, studi tampak menunjukkan bahwa sudut dari articular eminence
tidak dihubungkan dengan hubungan oklusal yang spesifik .1-3. Dengan kata lain, ACFs dan
PCFs tidak terikat pada satu sama lain. Mereka mandiri, sekalipun begitu mereka masih
berfungsi bersama-sama di dalam mendikte pergerakan mandibula. Ini adalah suatu konsep
penting sebab ACFs dapat dipengaruhi oleh prosedur perawatan gigi. Perubahan ACFs dapat
berperan pada bagian penting di dalam perawatan gangguan oklusal di dalam system mastikasi.
Acuan
1. Moffett BC: Temporomandibular sambungan. Di (dalam) Sharry JJ, editor: Gigi tiruan lengkap
prostodonsi, New York, 1962, Mc Graw-Hill, pp213-230.
2. Ricketts RM: Variasi TMJ ketika diungkap oleh cephalometric laminagraphy, J Orthod 36:877-
892, 1950.
3. Ricketts RM: Faktor di dalam bentuk temporomandibular, J Anat 83:223-234, 1948.
BAB 8 Tanda dan Gejala Gangguan Temporomandibular
“Kamu tidak akan pernah mendiagnosa sesuatu yang belum pernah kamu ketahui
sebelumnya”
Bab sebelumnya telah menggambarkan kejadian dan kondisi tertentu yang dapat
mengarahkan kepada perubahan fungsi normal dari sistem mastikasi. faktor etiologi
seperti trauma, stress emosional, ketidakstabilan ortopedi dan sumber nyeri yang dalam
dan hiperaktifitas otot diimplikasiakn sebagai komponen yang signifikan. Pada bab ini
tanda dan gejala umum pada disfungsi mastikasi akan didiskusikan. Tanda dan gejala
klinis dari disfungsi mstikasi dapat dikelompokkan ke dalam kategori menurut struktur
yang terlibat : 1. otot, 2. sendi temporomandibular(TMJs) dan 3. gigi geligi. Gangguan
otot dan sendi temporomandibular membuat kelompok keadaan yang dikenal sebagai
gangguan temporomandibular (TMDs). Termasuk dengan tanda dan gejalanya
merupakan faktor etiologi baik yang menjadi penyebab atau yang memiliki kontribusi
terhadap gangguan tersebut.
Pada saat mengevaluasi pasien, penting untuk diidentifikasi baik tanda dan gejala
secara jelas. Tanda merupakan sebuah hasil penemuan klinis yang tidak tertutupi oleh
dokter selama pemeriksaan klinis. Sebuah gejala adalah gambaran atau keluhan yang
dilaporkan oleh pasien. Pasien secara akut sadar akan gejala, tetapi mungkin mereka
belum menyadari dengan tanda klinis. Sebagai contoh, seseorang melaporkan adanya
kekerasan otot pada saat membuka rahang bawah tapi secara total tidak menyadari
adanya suara pada persendian. Baik kekerasan otot dan suara pada sendi merupakan
tanda klinis, tetapi hanya kekerasan otot yang dipertimbangkan sebagai sebuah gejala.
Untuk menghindari adanya tanda subklinis, pemeriksa harus secara cepat sadar akan
tanda dan gejala umum untuk setiap gangguan yang spesifik.
8.1.1 Nyeri
Keluhan yang paling umum terjadi pada pasien dengan gangguan otot matikasi
adalah nyeri otot, yang mana mungkin berkisar dari kekakuan otot ringan hingga nyeri
tajam yang tidak nyaman pada jaringan otot yang disebut dengan myalgia. Myalgia dapat
berkembang dari peningkatan penggunaan otot. Gejala umumnya dihubungkan dengan
perasaan fatigue pada otot dan kekakuan. Meskipun secara pasti sumber dari nyeri otot
ini masih diperdebatkan, beberapa pengarang menyarankan hal ini berhubungan dengan
vasokonstriksi pada arteri nutrisi yang terkait dan akumulasi produk sisa metabolisme
pada jaringan otot. Pada daerah otot yang mengalami iskemia, substansi algogenik yang
pasti dihasilkan (mis: bradikinis, prostaglandin), menyebabkan nyeri otot.
Nyeri otot, bagaimanapun juga, jauh lebih kompleks dibandingkan dengan
overuse dan fatigue yang sederhana. Pada kenyataannya, nyeri otot yang dihubungkan
dengan kebanyakan TMD tidak berhubungan secara kuat dengan peningkatan aktivitas
seperti spasme. Hal ini disadari bahwa nyeri otot dapat dipengaruhi secara kuat oleh
mekanisme pusat. (Didiskusikan pada bab ini)
Keparahan nyeri otot secara langsung berhubungan dengan aktivitas fungsional
dari otot yang terlibat. Dari itu pasien sering melaporkan bahwa nyeri ini mempengaruhi
aktivitas fungsional mereka. Hal yang perlu diingat, ketika pasien melaporkan
mengalami rasa nyeri selama mengunyah atau berbicara, aktivitas fungsional ini tidak
selalu menjadi penyebab gangguanh umu ini. Justru keluhan ini meningkatkan kesadaran
pasien. Beberapa jenis aktivitas yang mungki lebih atau system saraf pusat (CNS)
mengakibatkan nyeri otot, dan demikian perawatan yang secara langsung ditujukan pada
aktivitas fungsional tidak akan tepat atau berhasil; lebih baik, perawatan ditujukan
langsung untuk mengurangi efek CNS atau kemungkinan adanya hiperaktivitas otot.
Para dokter juga harus ingat bahwa nyeri myogenous (nyeri yang berasal dari
jaringan otot) merupakan jenis nyeri yang dalam dan jika terus terjadi dengan konstan,
dapat menimbulkan efek excitatory pusat. Seperti yang digambarkan pada Bab 2, efek-
efek ini mungkin terjadi sebagai efek sensory ( mis: referred pain atau secondary
hiperalgesia), efek efferent (mis: efek otot) atau efek autonomi. Berdasarkan fakta-fakta,
perlu diingat bahwa nyeri otot dapat menginisiasi kembali terjadinya nyeri otot yang
lebih banyak (mis: efek cyclic yang dibahas pada Bab 2. Fenomenan klinis ini
digambarkan pertama kali pada tahun 1942 oleh Schwartz sebagai cyclic muscle spasme
dan kemudian berhubungan dengan otot-otot mastikasi. Penemuan berikutnya yang lebih
banyak lagi bahwa otot yang mengalami nyeri tidak semuanya merupakan spasme, istilah
cyclic muscle pain digambarkan pada teks ini. Hal yang penting dari cyclic muscle pain
didiskusikan pada pada bab ini. Jaringan otot adalah jenis nyeri dalam dan dan jika
terjadi secara konstan, dapat menimbulkan efek excitatory pusat. Seperti digambarkan
pada bab 2, efek-efek ini mungkin terjadi sebagai efek sensori ( mis: referred pain atau
secondary hiperalgesia ), efek efferent ( mis: efek otot) atau efek autonomi. Berdasarkan
fakta-fakta, perlu diingat bahwa nyeri otot dapat menginisisasi kembali terjadinya nyeri
otot yang lebih banyak (mis: efek cyclic dibahas pada bab 2). Fenomenan klinis ini
digambarkan pertama kali pada tahun 1942 oleh Schwartz sebagai cyclic muscle spasme
dan kemudian berhuungan dengan otot-otot mastikasi. Penemuan berikutnya yang lebih
banyak lagi bahwa otot yang mengalami nyeri tidak semuanya merupakan spasme, istilah
cyclic muscle pain digambarkan pada teks ini. Hal yang penting dari cyclic muscle pain
didiskusikan pada pada bab ini.
Gejala umum lain yang berhubungan dengan nyeri otot mastikasi adalah rasa sakit
kepala. Karena terdapat beberapa jenis sakit kepala, gejala ini didiskusikan pada bagian
yang terpisah pada bab ini.
8.1.2 Disfungsi
Disfungsi merupakan gejala klinis umum yang berhubungan dengan gangguan
otot. Biasanya gejala ini terlihat sebagai adanya penurunan pergerakan mandibula.
Ketika jaringan otot telah dicurigai mengalami penggunaan yang berlebih, berbagai
kontraksi atau pelebaran meningkatkan rasa nyeri. Dari itu untuk memelihara rasa
nyaman, pasien membatasi tingkat pergerakan sehingga tidak meningkatkan tingkat
nyeri. Secara klinis hal ini tampak sebagai ketidakmampuan untuk membuka mulut
secara lebar. Batasan ini mungkin berada pada berbagai derajat membuka mulut
bergantung pada dimana rasa tidak nyaman itu dirasakan. Pada beberapa gangguan
myalgia pasien juga dapat membuka mulut dengan lebar secara perlahan-lahan, tetapi
,
akut yang kurang mampu dideteksi) pasien secara umum akan mengeluhkan adanya
ketidakstabilan untuk beroklusi secara normal. Para klinisi sebaiknya mengingat bahwa
sebuah maloklusi akut merupakan hasil dari gangguan otot dan bukan merupakan
penyebabnya. Dari itu, perawatan sebaiknya tidak langsung dilakukan untuk mengoreksi
maloklusi. Lebih baik, hal ini sebaiknya ditujukan untuk mengeliminasi gangguan otot.
Ketika kondisi ini diredakan, kondisi oklusal akan kembali menjadi normal. Seperti yang
telah didiskusikan sebelumnya, gangguan intrakapsular secara pasti dapat juga mengarah
kepada terjadinya maloklusi yang akut.
Semua gangguan otot mastikasi secara klinis tidak tampak sama. Paling sedikit
terdapat 5 perbedaan jenis, dan kemampuan untuk dapat membedakannya merupakan hal
yang penting karena perawatan dari tiap jenisnya pun berbeda. Lima jenis tersebut
adalah protective co-contraction (splinting otot), rasa sakit pada otot yang terlokalisisr,
nyeri myofacial (trigger point), myospasme dan myalgia kronis yang dimediasi secara
terpusat. Enam kondisi yang dikenal sebagai fibromyalgia juga perlu didiskusikan. Tiga
kondisi pertama merupakan keadaan yang umumnya didapatkan di klink gigi (protective
co-contraction, rasa sakit pada otot yang terlokalisir dan nyeri myofascial. Myospasme
dan myalgia kronis yang dimediasi secara terpusat merupakan kasus yang jaran
ditemukan. Kebanyakan gangguan otot ini terjadi dan dapat diatasi dalam waktu yang
relative singkat. Ketika kondisi ini tidak dapat diatasi, banyak gangguan nyeri kronis lain
yang mungkin terjadi. Gangguan otot mastikasi yang kronis menjadi lebih komplit dan
orientasi perawatannya secara umum berbeda dengan masalah yang akut. Dari itu para
dokter harus mampu membedakan gangguan otot akut dari gangguan yang kronis
sehingga dapat diaplikasikan terapi yang tepat. Fibromyalgia merupakan gangguan
myalgia kronis, yang mana terjadi sebagai suatu nyeri musculoskeletal sistemik yang
perlu diketahui oleh seorang dokter gigi dan dilakukan managemen yang terbaik oleh
para dokter medis yang tepat.
Model ini menggambarkan hubungan antara berbagai gangguan nyeri otot yang
secara klinis dapat terdeteksi dengan beberapa pertimbangan etiologi. Penjelasan yang
jelas pada model ini akan dibahas pada teks. (dimodifikasi dari model asli yang
dikembangkan oleh J.P. Okeson, D.A. Falace, C.R. Carlson, A. Nitz, dan D.T. Anderson,
Pusat Nyeri orofacial, Universitas Kentucky,1991)
Jika rasa sakit terlokalisir pada otot tidak teratasi, perubahan pada jaringan otot
mungkin berkembang, menghasilkan input nyeri yang terus-menerus. Input nyeri dalam
yang dihasilkan ssecara konstan ini dapat mempengaruhi CNS, mengarahkan kepada
terjadinya respon otot (Lihat Bab 2). Dua contoh CNS yang mempengaruhi gangguan
nyeri otot adalah nyeri myofascial dan myospasme. Pada beberapa instansi respon CNS
pada keadaan tertentu atau kondisi yang local dengan cara mempengaruhi kontraksi
secara tidak sengaja tampak secara klinis sebagai spasme otot. Myospasme tidak bersifat
kronis tapi terjadi dalam kondisi dengan durasi yang relative singkat. Pada satu waktu,
myosapsme difikirkan sebagai keadaan yang bersifat sementara dan bertanggung jawab
terhadap terjadinya myalgia. Studi terbaru ini menyarankan bahwa myospasme tdak
umum terjadi pada pasien yang memgalami nyeri pada otot mastikasi.
Gangguan otot mstikasi ini biasanya terjadi sebagai masalah yang bersifat relative
dan, sekali lagi dapat diidentifikasi dan dirawat, otot akan kembali ke fungsi normal.
Jika, bagaimanapun juga, gangguan myalgia akut ini tidak diketahui atau dimanajemen
secara tepat, kondisi yang terus menerus dapat meningkatkan masalah ini menjadi
gangguan myialgia yang lebih kronis. Jika gangguan myalgia menjadi lebih kronis, CNS
akan memberikam lebih banyak lagi untuk memelihara kondisi ini. Karena CNS
merupakan sebuah faktor penting pada kondisi ini, hal ini merujuk kepada myalgia yang
dimediasi secara terpusat. Myalgia kronis yang dimediasi secara terpusat seringkali sulit
untuk diatasi, dan strategi perawtan haus dirubah dari perawatan pasien yang mengalami
gangguan myalgia akut.
Contoh lain dari nyeri musculoskeletal kronis adalah fibromyalgia.. Meskipun
gangguan ini bukanlah merupakan gangguan nyeri muskuloskeletelal yang utama, para
dokter gigi perlu untuk mengetahui kondisi ini sehingga dapat menghindari perawatan
gigi yang tidak penting. Tidak seperti gangguan nyeri otot lain yang bersifat regional,
fibromyalgia merupakan kondisi nyeri musculoskeletal yang bersifat tersebar, global.
Para dokter gigi perlu untuk menyadari bahwa manajemen gangguan nyeri kronis ini
berbeda.
Untuk pemahaman yang lebih baik mengenai model nyeri otot mastikasi, setiap
komponen dari model didiskusikan secara detail.
8.2.1 Kejadian-kejadian
Fungsi otot yang normal dapat diganggu oleh berbagai jenis kejadian. Kejadian-
kejadian ini dapat meningkat baik dari faktor local maupun faktor sistemik. Faktor local
mewakili berbagai kejadian yang secara akut merubah input sensoris atau proprioceptive
dalam struktur mastikasi (mis: fraktur gigi atau penempatan restorasi pada supraoklusi).
Trauma struktur local seperti kerusakan jaringan diakibatkan oleh injeksi gigi mewakili
jenis lain dari kejadian local. Trauma mungkin meningkat dari penggunaan struktur
mastikasi yang berlebihan atau tidak biasa, seperti mengunyah makanan keras atau
mengunyah dalam periode yang panjang (mis: mengunyah permen karet). Membuka
mulut terlalu besar mungkin menghasilkan ketegangan pada ligament yang mendukung
sendi dan atau otot. Hal ini mungkin muncul sebagai hasil dari prosedur perawatan gigi
yang lama atau membuka mulut terlalu lebar ( mis: menguap).
Berbagai sumber input nyeri dalam mungkin juga merupakan faktor local yang
yang merubah fungsi otot. Input nyeri ini mungkin memiliki sumbernya sendiri pada
struktur local seperti gigeligi, sendi atau otot itu sendiri. Sumber nyeri, bagaimanapun
juga, tidaklah signifikan karena berbagai nyeri dalam yang konstan, meskipun nyeri
bersifat idiopatik, mungkin akan menghasilkan respon otot.
Faktor sistemik mungkin juga mewakili kejadian yang dapat menggangu fungsi
normal otot. Satu dari faktor sistemik yang umumnya dikenal adalah stress emosional.
Stres tampaknya merubah fungsi otot melalui system eferent gamma terhadap spindle
otot atau yang mana aktivitas simpatik terhadap jaringan otot dan struktur yang
berhubungan. Tentu saja, respon terhadap stress emosional bersifat individual. Dari itu
reaksi emosi pasien dan respon psikofisiologi terhadap faktor stressor mungkin sangat
besar. Telah didemonstrasikan bahwa paparan seorang subjek terhadap pengalaman
stressor secara cepat dapat meningkatan aktivitas elektromiografi (EMG) pada otot
mastikasi. Respon fisiologi ini memberikan pengetahuan secara langsung bagaimana
stress emosional mempengaruhi aktivitas otot dan nyeri otot.
Faktor sistemik lain dapat mempengaruhi fungsi dan masih sedikti dipahami,
seperti penyakit akut dan infeksi virus. Demikian juga, kategori yang luas pada
pemahaman yang buruk untuk keberadaan setiap pasien. Beberapa faktor termasuk
resistensi imunologi dan keseimbangan autonomi pada pasien. Faktor-faktor ini
tampaknya bertujuan untuk mengurangi kemampuan individu untuk monolak dan
melawan perubahan atau kerusakan yang dibuat oleh suatu kejadian. Faktor dasar
mungkin dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, diet dan mungkin faktor predisposisi
seperti faktor genetic. Para klinis sadar bahwa pasien seringkali merespon secara berbeda
terhadap kejadian yang sama. Dari itu hal ini diasumsikan bahwa faktor dasar yang pasti
tetap ada dan dapat mempengaruhi respon individual. Faktor-faktor ini belum terlalu
dipahami dan tidak terdapat definisi yang baik seperti yang berhubungan dengan
gangguan nyeri otot.
8.2.2 Protevtive co-contraction (splinting otot)
Respon pertama otot mastikasi terhadap kejadian yang sebelumnya digambarkan
adalah protective co- contraction Protective co- contraction adalah sebuah respon CNS
terhadap injury atau perawatan injury. Respon ini juga disebut sebagai perlindungan
splinting otot. Hal ini telah digambarkan pada beberapa tahun tapi hanya
didokumentasikan baru-baru ini. Pada keadaan dimana terdapat injuri atau perawatan
terhadap injuri, rangakaian aktivitas otot yang normal tampaknya diubah untuk
melindungi bagian yang mendapatkan perawatan dari injuri yang lebih jauh.
Perlindungan co- contraction dapat menjadi seperti co-contraction yang diobservasi
selama melakukan aktifitas fungsional yang normal, seperti menahan lengan ketika
melakukan suatu tugas dengan jari-jemari. Jika terdapat perubahan input sensori atau
nyeri, kelompok otot antagonis terlihat bertahan selama gerakan dalam sebuah perubahan
untuk melindungi bagian yang mengalami injuri. Pada system mastikasi, sebagai
contoh, pasien yang mendapatkan pengalaman co-contraction akan mendemonstrasikan
sebuah peningkatan dalam aktifitas otot elevator selama membuka mulut. Selama proses
menutup mulut sebuah peningkatan aktifitas dicatat dalam otot yang mengalami
penurunan. Co-activation otot antagonis ini dipikirkan menjadi perlindungan yang
normal atau mekanisme pertahanan dan dibutuhkan untuk diakui oleh para dokter.
Protective co-contraction bukan merupakan kondisi patologis, meskipun ketika terjadi
perpanjangan waktu hal ini mungkin mengarah kepada gejala otot.
Etiologi dari protective co-contraction dapat berupa berbagai perubahan dalam
input sensori ataupun proprioceptive dari struktur yang berhubungan. Sebuah contoh
beberapa kejadian dalam system mastikasi adalah penempatan mahkota yang tinggi.
Protective co-contraction dapat juga disebabkan oleh beberapa input sumber nyeri dalam
atau sebuah peningkatan stress emosional.
Co-contraction dilaporkan secara klinis sebagai sebuah perasaan lemah pada otot
yang secara langsung mengikuti sebuah kejadian. Saat posisi istirahat tidak terjadi nyeri,
tapi penggunaan otot biasanya meningkatkan rasa nyeri. Pasien biasanya mengalami
gangguan ini disertai dengan pembukaan mulut yang terbatas. tetapi ketika diminta untuk
membuka mulut secara perlahan, pembukaan mulut yang sempurna dapat dilakukan.
Kunci untuk mengidentifikasi co-contraction adalah bahwa hal ini secara mendadak
terjadi mengikuti sebuah kejadian, dan dari itu riwayat dari pasien merupakan hal yang
penting. Jika protective co-contraction berlanjut untuk beberapa jam atau hari, jaringan
otot dapat membahayakan dan masalah otot lokal mungkin akan berkembang.
Gambar 8-2
Sebuah trigger point (ditandai dengan huruf x) pada bagian occipital otot occipitofrontalis
yang menghasilkan rasa sakit kepala dibelakang mata. (dari Travell JG, Simons
DG:Nyeri dan dsifungsi myofascial. Trigger point manual, Baltimore,1983, Williams
&Wilkins, p 291.)
Gambar 8-3
Trigger point yang terletak pada otot trapezius (ditandai dengan huruf x) rasa nyeri
berada dibelakang telinga, dahi, dan sudut rahang (dari Travell JG, Simons DG:Nyeri
dan disfungsi Myofascial. Trigger point manual, Baltimore,1983, Williams & Wilkins, p
184.)
Bentuk klinis yang paling umum dari nyeri miofascial adalah adanya area
terlokalisir yang nyata, hipersensitif dari jaringan otot (mis, trigger point). meskipun
palpasi dari trigger point menghasilkan rasa nyeri, sensitivitas otot local bukanlah
keluhan yang paling umum dari pasien yang mengalami rasa nyeri miofascial dari trigger
point. Gejala yang paling umum adalah selalu berhubungan dengan efek rangsangan
pusat yang dihasilkan oleh trigger point. Pada banyak bagian, pasien-pasien mungkin
hanya menyadari rasa nyeri dan tidak mengetahui tentang trigger point. Sebuah contoh
yang sempurna adalah pasien yang menderita nyeri trigger point myofascial dalam otot
trapezius yang menyebabkan nyeri menyebar pada region dahi.(lihat gambaar 8-3).
Keluhan utama adalah rasa sakit kepala temporal, dengan pengetahuan yang sedikit pada
trigger point di bahu. Presentasi klinis ini dapat secara mudah membingungkan dokter
dari sumber masalah. Pasien akan menarik perhatian dokter pada sisi yang mengalami
rasa nyeri (sakit kepala temporal) dan bukan sumbernya. Para dokter harus selalu ingat
bahwa untuk mendapatkan perawatan yang efektif, harus dilakukan secara langsung ke
arah sumber nyeri, bukan sisinya. Dari itu seorang dokter harus selalu mencari sumber
nyeri yang sebenarnya.
Gambar 8-4
Trigger point yang terletak pada sternocleidomastoideus membuat rasa nyeri pada daerah
dahi (mis jenis sakit kepala temporal). Dari Travell JG, Simons DG: Disfungsi dan nyeri
myofascial. Trigger point manual, Baltimore,1983, Williams & Wilkins, p 203.)
Karena trigger point dapat menyebabkan efek rangsangan pusat, hal ini juga
penting untuk disadari pada semua kemungkinan manifestasi klinis. Seperti yang
dinyatakan pada Bab 2, efek rangsangan pusat dapat terjadi sebagai nyeri yang teralihkan,
hiperalgesia kedua, protective co-contraction atau respon autonom. Kondisi-kondisi ini
harus dipertimbangkan ketika mengevaluasi pasien.
Sebuah karakteristik klinis yang menarik pada trigger point adalah bahwa hal ini
mungkin terjadi pada tahap aktif atau tahap laten. Pada tahap aktif hal ini memproduksi
efek rangsangan pusat. Dari itu ketika trigger point sedang aktif, rasa sakit kepala
umumnya dirasakan. Karena nyeri refer secara keseluruhan bergantung pada sumber
aslinya, palpasi pada daerah trigger point (provokasi local) selalu meningkat seperti rasa
nyeri. Meskipun tidak selalu terjadi, ketika karakteristik ini terjadi dibutuhkan sebuah
bantuan diagnostic yang besar. Pada tahap laten sebuah trigger point tidak sensitive
terhadap palpasi dan dari itu tidak menimbulkan referred pain. Ketika trigger point
menjadi laten, mereka tidak dapat dirasakan dengan cara palpasi dan pasien tidak
mengeluhkan adanya rasa sakit kepala. Pada kasus ini riwayat gangguan hanya
merupakan data yang mengarahkan dokter untuk membuat diagnose nyeri myofascial.
Pada beberapa instansi para dokter sebaiknya mempertimbangkan untuk meminta pasien
kembali ke klinik ketika terjadi sakit kepala sehingga konfirmasi pada bentuk nyeri yang
teralihkan dapat diverifikasi dan diagnose dapat dikonfirmasi.
Para ahli percaya bahwa trigger point tidak dapat diatasi tanpa perawatan. pada
kenyataannya Trigger point mungkin menjadi laten atau dorman, membuat sebuah
perawatan sementara untuk nyeri yang teralihkan ini. Trigger point mungkin diaktifkan
oleh beberapa faktor seperti meningkatkan penggunaan otot, ketegangan pada otot, stress
emosiomal atau adanya infeksi pada saluran pernafasan bawah. Ketika trigger point
diaktifkan, rasa sakit kepala akan terjadi kembali. Hal ini merupakan penemuan yang
umumnya terjadi pada pasien dengan keluhan rasa sakit kepala disore hari pada saat.
Sepanjang nyeri alih, efek rangsangan pusat yang lain mungkin dirasakan.
Ketika hiperalgesia kedua terjadi, nyeri ini umumnya dirasakan sebagai sebuah
peningkatan sensitivitas pada saat menyentuh kulit kepala. Beberapa pasien melaporkan
bahwa mereka merasakan sakit pada rambut atau rasa sakit pada saat menyisir rambut
mereka. Co-contraction merupakan kondisi umum lainnya yang berhubungan dengan
nyeri myofascial. Trigger Point pada otot bahu dan cervical dapat memproduksi co-
contraction pada otot mastikasi. Jika hal ini terus berlanjutrasa sakit otot local pada otot
mastikasi dapat berkembang. perawatan otot mastikasi tidak akan akan menyelesaikan
masalah ini karena sumbernya adalah trigger point otot cervicospinal dan bahu.
Bagaimanapun juga, perwatan trigger point pada oto bahu akan menyembuhkan
gangguan otot mastikasi. Manajemen mungkin menjadi sulit ketika rasa sakit pada otot
telah terjadi pada waktu yang lama karena hal ini dapat menginisiasi siklus nyeri otot
(Lihat Bab 2). pada kasus ini perluasan perawatan ke otot mastikasi dan trigger point otot
cervicospinal dan bahu akan menyelesaikan masalah ini.
Pada satu kesempatan, efek autonomic diproduksi oleh input nyeri yang dalam
dari trigger point. Hal ini mungkin menghasilkan beberapa penemuan seperti mata basah
atau kering, atau perubahan aliran darah mungkin terjadi (mis. memutihkan atau
membuat jaringan berwarna merah, atau keduanya). Terkadang konjungtiva akan
menjadi merah. Perubahan mukosa mungkin menghasilkan perubahan pada nasal sama
seperti respon sebuah alergi. Kunci untuk menentukan apakah efek autonomi
berhubungan dengan efek rangsangan pusat atau terhadap reaksi local seperti terlihat
unilateral. Efek rangsangan pusat pada daerah trigeminal tidak selalu melewati daerah
midline. Dari itu jika nyeri yang dalam terjadi secara unilateral, efek autonomi akan
berada pada sisi yang sama seperti nyeri. Dengan kata lain, satu mata akan menjadi
merah dan mata yang lain berwarna normal, satu hidung akan mengeluarkan mucus
kering dan sisi yang lain tidak. Dengan respon alergi, baik kedua mata atau kedaua
hidung akan terlibat.
Secara ringkas, gejala klinis yang dilaporkan dengan nyeri myiofascial paling
umum berhubungan dengan efek rangsangan pusat yang dihasilkan oleh trigger point dan
bukan dari trigger point itu sendiri. Para dokter harus menyadari hal ini dan menemukan
trigeer point yang terlibat. Ketika daerah-daerah ini dipalpasi, teraba daerah hipersensitif
sering teraba seperti ikatan yang tegang di dalam otot. Biasanya tidak terdapat nyeri
local ketika otot sedang beristirahat, tetapi beberapa nyeri dirasakan ketika otot
digunakan. Seringkali disfungi structural akan terlihat pada otot yang mengandung
trigger point. Hal ini umumnya dilaporkan sebagai “leher yang kaku”.
8.2.7 Pertimbangan Nyeri otot yang kronis
Gangguan myialgia yang telah digambarkan umumnya terlihat pada praktik
umum dari dokter gigi dan biasanya mewakili masalah dengan durasi yang singkat.
Ketika dilakukan terapi yang tepat, gangguan-gangguan ini dapat diselesaikan secara
tuntas. Bagaimanapun juga, ketika nyeri myogenous terjadi, gangguan otot yang kronis
kompleks dan lebih kronis dapat berkembang. Dengan tingkat kronisitas, gangguan nyeri
myogenous dipengaruhi lebih banyak oleh CNS, dihasilkan pada daerah yang lebih
banyak atau biasanya terjadi nyeri global. Siklus nyeri otot juga sering menjadi
karakteristik yang penting yang mengabadikan kondisi ini.
Pada aliran yang umum, nyeri kronis dipertimbangkan sebagai nyeri yang terjadi
selama 6 bulan atau lebih lama. Bagaimanapun juga, durasi nyeri mungkin tidak
menjadi faktor yang paling penting dalam menentukan kronisistas. Beberapa nyeri,
terjadi untuk beberapa tahun tapi tidak pernah menjadi kondisi nyeri yang kronis.
Demikian juga, kondisi beberapa nyeri secara klinis menjadi kronis pada beberapa bulan.
Faktor tambahan yang harus dipertimbangkan adalah kelanjutan nyeri. Ketika rasa nyeri
terjadi secara konstan, dengan tidak disertai periode penyembuhan, manifestasi klinis dari
kronisitas akan berkembang secara cepat. Pada sisi lain, jika nyeri mengganggu periode
penyembuhan ( tanpa nyeri), kondisi ini tidak akan pernah menjadi gangguan nyeri yang
kronis. Sebagai contoh, kluster rasa sakit kepala merupakan sebuah kondisi nyeri
neurovascular yang terjadi untuk beberapa tahun dan tidak pernah menjadi gangguan
nyeri yang kronis. Alasan untuk keadaan ini adalah karena periode penyembuhan yang
signifikan terjadi diantara episode nyeri. Sebaliknya, nyeri yang konstan berhubungan
dengan myialgia yang dimediasi secara terpusat, ketika tidak di rawat, dapat berkembang
manifestasi klinis dari kronsiistas selama beberapa bulan.
Para dokter gigi harus mengetahui bahwa perkembangan keluhan myialgia dari
ganggguan yang bersifat akut ke kronis, efektivitas dari perawatn local dapat secara tajam
diturunkan. Gangguan nyeri kronis seringkali harus di manajemen oleh pendekatan
multidisiplin. Pada banyak instansi dokter gigi itu sendiri tidak dilengkapi pengetahuan
untuk menangani masalah ini. Dari itu hal ini penting bagi para dokter gigi untuk
mengetahui gangguan nyeri yang bersifat kronis dan mempertimbangkan merujuk pasien
ke ahli yang tepat yang dapat merawat kondisi nyeri ini dengan lebih baik.
8.3.1 Nyeri
Nyeri pada setiap struktur sendi (termasuk TMJs) disebut arthralgia. Nyeri ini tampak
logis bahwa beberapa nyeri di awali dari permukaan articular ketika sendi dibebani oleh otot.
Hal ini tidak mungkin, bagaimanapun juga, dalam sebuah sendi yang sehat karena tidak
terdapat innervasi permukaan articular. Arthralgia dari itu dapat berasal hanya dari nociceptor
yang terletak pada jaringan lunak di sekitar sendi.
Tiga jaringan periarticular yang mengandung beberapa nociceptor : ligament discal,
ligament capsular, jaringan retrodiscal. Ketika ligament-ligamen ini dielongasi atau jaringan
retrodiscal dipendekkan, nociceptor akan mengirim sinyal keluar dan akan menimbulkan nyeri.
Orang-orang yang tidak dapat membedakan ketiga struktur ini, sehingga nociceptor apapun
yang terstimulas didalam setiap strukutr meradiasi sinyal yang diterima sebagi rasa nyeri.
Stimulasi nociceptor yang dibuat untuk menghambat aksi pada otot yang menggerakkan
mandibula. Dari itu ketika nyeri tiba-tiba dirasaskan dan tidak diharapkan, pergerakan
mandibula secara cepat berhenti (reflex nociceptif). Ketika nyeri kronis dirasakan, pergerakan
menjadi terbatas dan disengaja ( protective co-contraction).
Arthralgia dari struktur jaringa sehat yang normal dari sendi adalah nyeri tajam, tiba-
tiba dan intens yang secara dekat berhubungan dengan pergerakan sendi. Ketika sendi dalam
posisi istirahat, rasa nyeri akan teratasi dengan cepat. Jika struktur sendi rusak, inflamasi dapat
menghasilkan nyeri yang konstan yang ditonjolkan oleh pergerakan sendi. Seperti yang
dibacarakan sebelumnya, sebuah kerusakan jaringan sendi yang dihasilkan pada kehilangan
permukaan artikular yang normal, membuat nyeri yang mula-mula berawal dari tulang
subartikular.
8.3.2 Disfungsi
Disfungsi umumnya disertai dengan gangguan fungsional TMJ. Biasanya hal ini
terjadi sebagai sebuah kerusakan pergerakan discus condilus yang normal, dengan
menghasilkan suara pada sendi. Suara sendi mungkin terjadi sekali dengan durasi singkat
dikenal dengan bunyi “klik”. Jika suara ini keras, bunyi ini mengarah kepada sebuah “pop”.
Crepitation merupakan sebuah bunyi yang multipel, kasar, seperti batu kerikil dan rumit.
Disfungsi TMJ mungkin juga terjadi sebagai sebuah sensasi pegangan ketika pasien membuka
mulutnya. Terkadang beberapa rahang dapat mengunci dengan sendirinya. Disfungsi TMJ
secara langsung berhubungan dengan pergerakan rahang.
Gambar 8-5
A. Pada posisi sendi menutup, tarikan otot pterygoid superior lateral berada pada jarak
anteromedial (tanda panah). B, Ketika mandibula bergerak translasi ke depan pada
posisi potrusif, tarikan pada bagian kepala superior ditujukan lebih medial (tanda
panah). Pada posisi protrusi, tarikan mayor otot terletak dimedial dan tidak.
Ketika discus berada pada posisi lebih kedepan dan medial, fungsi dari sendi dapat di
kompromikan. Ketika mulut dibuka dan condole bergerak ke depan, pergerakan translator
dengan jarak yang pendek dapat terjadi diantara condil dan discus hingga condil sekali lagi
diasumsikan pada posisi normalnya pada daerah yang paling kecil dari discus (zona
intermediate). Ketika terjadi gerakan translasi mengelilingi permukaan posterior dari discus ke
daerah intermediate, tekanan interarticular memelihara hubungan ini dan diskus dibawa ke
depan dengan condil melalui bagian yang tersisa dari gerakan translator. Setelah gerakan
kedepan seara keseluruhan di lakukan, codil memulai untuk kembali dan serat fiber lamina
retrodiscal superior diregangkan membantu diskus kembali dengan condil terhadap posisi
sendi menutup. Sekali lagi, tekanan interarticular memelihara permukaan articular condil pada
zona intermediate discus dengan cara tidak membolehkan batas anterior yang lebih tebal lewat
diantara condil dan eminensia artikularis.
Gambar 8-6
A. Posisi normal dari discus di atas condilus pada posisi sendi tertutup. B,
Pemindahan fungsional dari discus. Batas posterior ini telah dikecilkan dan
ligamen retrodiscal discal dan inferior dipanjangkan, berdasarkan aktivasi dari
pterygoid superior lateral ke pemindahan discus secara anterior (dan medial), C,
pada specimen ini condil diartikulasikan pada ikatan posterior discus (PB) dan
tidak pada zona intermediate (IZ). Hal ini menggambarkan pemindahan discus
secara anterior. (Laporan Dr. Julio Turell, University of Montevideo, Uruguay.)
Pada saat posisi sendi menutup, diskcus berada pada posisi bebas untuk berpinndah
berdasarkan perlekatan fungsional yang diminta. Adanya kekerasan otot akan
mendorong untuk mengasumsikan posisi paling anteromedial yang membolehkan
perlekatan discal dan morofologinya sendiri. Satu gambaran bahwa jika otot bersifat
hiperaktif, otot pterygoid superior lateral akan memiliki pengaruh yang cukup besar pada
psosisi discus.
Karakteristik yang penting dari hubungan fungsional ini adalah bahwa gerakan
translate dari condole melintasi discus pada beberapa derajat ketika perpindahahan
dimulai. Jenis perpindahan ini tidak terjadi pada sendi yang normal. Selama pergerakan
terjadi peningkatan tekanan interarticular yang mungkin mencegah permukaan articular
dari gerakan meluncur melewati satu sama lain dengan cara yag halus. Discus dapat
berupa tongkat atau seperti sisir yang lurus, menyebabkan sebuah pergerakan yang kasar
dari condile melintasinya ke hubungan discus condilus yang normal. Suara kliking
seringkali menyertai pergerakan yang kasar ini. Ketika sendi terkunci, hubungan normal
antara discus dan condile terjadi kembali dan hubungan ini dipelihara selama posisi
membuka istirahat. Selama posisi mulut menutup dalam hubungan normal antara discus
dan condile dipelihara karena adanya tekanan interarticular. Bagaimanapun juga, ketika
mulut ditutup dan tekanan interarticular menjadi rendah, discus sekali lagi dipindahkan
ke depan oleh kekerasan dari otot pteryigoid superior lateral. Pada kebanyakan instansi
jika pemindahan terjadi lurus dan tekanan interarticular menjadi rendah, tidak ada bunyi
klik yang dicatat pada pemindahan kembali ini (Gambar 8-7). Bunyi klik tunggal ini
diobservasi selama pergerakan membuka mulut yang mewakili tahap awal dari gangguan
kerusakan discus, yang disebut dengan kerusakan internal.
Gambar 8-7
Diantara dua posisi 2 dan 3 sebuah bunyi klik dirasakan seperti condile
bergerak melintasi batas posterior menuju zona intermediate dari discus. Fungsi
condil-discus yang normal terjadu selama gerakan membuka dan menutup. Pada
posisi sendi menutup (1) discus sekali lagi berpindah melintasi (secara medial)
oleh aktifitas pteryigoid superior lateral.
Jika kondisi ini terus bertahan, tahap kedua dari kerusakan dapat terjadi. Pada
saat discus secara lebih kronis diletakkan kembali di depan dan medial oleh aksi otot
pterygoid superior lateral, ligament discus akan lebih jauh mengalami pemanjangan.
Posisi lebih depan yang berlanjut dari discus juga menyebabkan pemanjangan lamina
retrodiscal inferior. Bersamaan dengan kerusakan ini adalah sebuah pemendekan batas
posterior discus yang berlanjut, yang mana membolehkan discus terletak kembali lebih ke
anterior, menghasilkan condil yang terletak lebih ke posterior pada batas posterior.
Perubahan morfologi discus pada daerah dimana condil beristirahat dapat menghasilkan
sebuah bunyi klik kedua selama tahap lanjut pada condilar sesaat setelah posisi sendi
menutup. Tahap kerusakan ini disebut reciprocal klik.
Posisi antara 2 dan 3 sebuah bunyi klik dirasakan pada saat condil bergerak melintasi
batas posterior discus. Fungsi normal discus-condilus terjadi selama pergerakan
membuka dan pergerakan menutup hingga posisi menutup dari sendi didapatkan.
Kemudian bunyi klik yang kedua kali didengar pada saat condil bergerak dari zona
intermediate ke batas posterior discus (antara 8 dan 1).
Klik pada saat membuka dapat terjadi di waktu kapanpun dimana pergerakannya
bergantung pada morfologi discus-condil, tarikan otot, dan tarikan lamina retrodiscal
superior. Klik pada saaat menutup juga selalau terjadi pada saat mendekati posisi
menutup dan posisi intercups (ICP).
Para dokter sebaiknya mengingat abhwa ketika discus berpindah secara anterior oleh
otot, lamina superior retrodiscal menjadi panjang. Jika kondisi ini terjadi untuk beberapa
periode yang lama, elastisitas lamina retyrodiscal superior dapat menjadi rusak dan
hilang. Yang terpenting, area ini merupakan satu-satunya struktur yang dapat
mengaplikasikan tekanan retractif pada discus. Ketika tekanan ini hilang, tidak ada
mekanisme yang dapat menarik kembali discus secara posterior.
Beberapa pengarang menyarankan bahwa otot superior lateral bukan merupakan
faktor mayor yang mempengaruhi pemindahan secara anterior media dari discus.
Meskipun aplikasi ini menjadi faktor yang mempengaruhi secara nyata, karakteristik lain
secara pasti juga perlu di pertimbangkan. Tanaka telah mengidentifikasi adanya
perlekatan ligament pada bagian medial discus-condil yang lengkap ke dinding media
dari fiossa. Jika ligament ini terikat secara kuat, pergerakan condil ke depan mungkin
menghasilkan sebuah perlekatan yang kuat pada aspek media pada fossa posterior tapi
tidak pada aspek lareral. Hal ini juga menyarankan bahwa aspek lateral dari discus dapat
secara lebih mudah berpindah dari pada aspek medial, mempermudah arah pemindahan
discus kea rah lebih anteromedial. Faktor tambahan yang belum digambarakan mungkin
akan digambarkan. Investigasi lebih lajut pada area ini merupakan hal yang penting.
Gambar 8-9
Spesimen ini menunjukkan sebuah perlekatan ligament (LA) pada kompleks discus-
condil (CDC) ke dinding medial dari dari fossa (MW). Selama pergerakan condil ke
depan perlekatan ini mungkin terikat pada jarak anteromedial. Perlekatan ini telah
ditunjukkan oleh Tanaka dan mungkin membantu untuk menjelaskan pemindahan dalam
jarak anteromedial dari beberapa discus. (Laporan Dr. Terry Tanaka, Chula Vista, Calif.)
Gambar 8-10
Condile tidak pernah mengasumsikan sebuah hubungan yang normal pada discus tetapi
justru menyebabkan discus bergerak ke depan. Kondisi ini membatasi jarak. hal ini
dapat mengakibatkan pergrakan translate ke depan.
Tahap berikutnya dari kerusakan discus dikenal dengan dislokasi discus
fungsional tanpa penurunan. Kondisi ini terjadi ketika seseorang tidak dapat
mengembalikan dislokasi discus ke posisi normalnya pada condil. Mulut tidak daoat
dibuka secara maksimal karena posisi discus tidak membolehkan gerakan translasi
sepenuhnya dari condil (Gambar 8-12). Menurut jenisnya pembukaan mulut awal akan
terjadi hanya sekitar 25 hingga 30 mm antar incisal, yang mana mewakili rotasi
maksimum dari sendi. Seseorang biasanya sadar mengenai sendi yang terlibat dan dapat
mengingat waktu kejadian terjadinya penguncian. Karena hanya satu sendi yang
biasanya terkunci, sebuah bentuk yang jelas dari gerakan mandibula diobservasi secara
klinis. Sendi dengan dislokasi discus secara fungsional tanpa penurunan tidak
membolehkan gerakan transalasi seluruhnya dari condil itu sendiri, sedangkan sendi yang
lain berfungsi secara normal. Dari itu ketika pasien membuka mulut dengan lebar, garis
tengah dari mandibula didefleksikan ke sisi yang terlibat. Pasien juga dapat melakukan
gerakan lateral normal ke sisi yang terlibat (condil pada sisi yang terlibat hanya dapat
melakukan gerakan berotasi). Bagaimanapun juga, ketika gerakan dicobakan pada sisi
yang tidak terlibat, sebuah batasan berkembang (condil pada sisi yang terlibat tidak dapat
bergerak translasi melewati discus yang mengalami dislokasi fungsional secara anterior).
Dislokasi tanpa penurunan juga diistilahkan sebagai penguncian tertutup karena pasien
merasa terkunci disisi dekat dengan posisi mulut tertutup. Pasien mungkin melaporkan
nyeri ketika mandibula digerakkan ke titik puncak batasan, tapi nyeri tidak selalu
menyertai kondisi ini.
Jika penguncian tertutup terus terjadi, condil secara kronis akan diposisikan pada
jaringan retrodiscal. Jaringan-jaringan ini secara struktur anatomi tidak mampu
menerima tekanannya. Dari itu pada saat tenaga diaplikasikan, sebuah kemungkinan
yang hebat terjadi yaitu jaringan mungkin mengalami merusakan. Dengan adanya
kerusakan ini akan mengakibatkan inflamasi jaringan (yang mana didiskusikan pada
kategori lain dari gangguan TMJ).
Setiap kondisi atau kejadian yang mengarah pada perpanjangan ligament discal
atau perpendekan discus dapat menyebabkan kerusakan-kerusakan gangguan condole-
discus yang kompleks. Secara pasti satu dari faktor yang paling umum adalah trauma.
Dua jenius umum dari trauma yang perlu dipertimbangkan adalah : makrotrauma dan
mikrotrauma.
8.3.3.1.1 Makrotrauma
Makrotrauma dipertimbangkan sebagai kekuatan yang bersifat tiba-tiba yang
dapat menyebabkan perubahan structural. Perubahan structural yang paling umum
terjadi melibatkan TMJ adalah perpanjagan ligament discal. Makrotrauma dapat dibagi
ke dalam subdivisi yaitu trauma langsung atau trauma tidak langsung.
Trauma langsung. Trauma langsung yang signifikan pada mandibula, seperti
pukulan pada dagu, secara cepat dapat mengakibatkan gangguan intracapsular. Jika
trauma ini terjadi pada saat gigi geligi tidak beroklusi (trauma mulut terbuka) condil
dapat segera ditempatkan kembali ke fossa. Gerakan condil yang tiba-tiba ini dilawan
oleh ligamentum-ligamentum. Jika kekuatannya besar, ligament dapat menjadi panjang,
yang mana mungkin mampu mengkompromikan mekanisme normal condil-discus. Hasil
dari peningkatan kehilangan dapat mengarah kepada pemindahan discal, gejala kliking
dan terjepit. Makrotrauma yang tidak diharapkan terhadap rahang (seperti yang mungkin
didertita selama jatuh atau kecelakaan sepeda motor) mungkin mengarah kepada
pergeseran discal dan atau dislokasi.
Satu yang perlu dicatat bahwa dengan trauma mulut terbuka, sisi sendi yang
berlawaan yang paling banyak menerima injuri. Sebagai contoh, jika seseorang
menerima sebuah pukulan dari sisi kanan mandibula, mandibula ada secara cepat
bergeser ke kiri. Condil kanan di dukung dengan baik oleh dinding medial dari fossa.
Dari itu condil ini tidak mengalami pergeseran dan ligament tidak mengalami injuri.
Bagaimanapun juga, ketika sebuah pukulan datang pada sisi kanan, condil sebelah kiri
dapat secara cepat bergerak ke lateral dimana tidak terdapat dukungan tulang, hanya
ligament. Ligament-ligament ini dapat secara tiba-tiba mengalami elongasi,
menghasilkan pergeseran diskus TMJ bagian kiri.
Makrotrauma dapat juga terjadi ketika gigi geligi berada pada keadaan oklusi
(trauma mulut tertutup). Jika trauma terjadi dimandibula pada saat gigi geligi sedang
kontak, intercups dari gigi geligi mempertahankan posisi rahang, dan mencegah
terjadinya pergeseran sendi. Trauma mulut tertutup merupakan jenis injuri yang jarang
terjadi pada kompleks discus-condil. Penurunan potensi injuri ini menjadi nyata ketika
satu pemeriksaan insiden injuri dihubungkan dengan aktivitas atletik. Atlit yang
menggunakan alat pelindung mulut secara signifikan lebih sedikit mengalami injuri yang
berhubungan dengan rahang daripada mereka yang tidak menggunakan. Hal ini akan
bijaksana, dari itu, jika trauma mulut dapat dihindari, untuk mennguanakn alat-alat yang
halus atau paling tidak memegang gigi geligi secara kuat pada ICP. Sayangnya, banyak
makrotrauma langsung tidak diharapkan (mis kecelakaan sepeda motor) dan dari itu gigi
geligi yang tidak beroklusi, secara umum menghasilkan injuri pada struktur sendi.
Trauma mulut tertutup bukanlah tidak mungkin tanpa konsekuensi. Meskipun
ligament mungkin tidak mengalami pemanjangan, permukaan artikular dapat secara pasti
menerima beban trauma secara tiba-tiba. Dampak dari jenis beban ini mungkin
mengganggu permukaan artikular dari condil, fossa atau discus, yang mana mengarahkan
kepada perubahan permukaan yang halus dari sendi, menyebabkan kekasaran dan sulit
selama bergerak. Dari itu jenis trauma ini mungkin menghasilkan adhesion, yang mana
akan dibahas kemudian pada bab ini.
Trauma langsung juga dapat bersifat iatrogenic. Setiap waktu rahang mengalami
perluasan yang berlebih, elongasi dari ligament dapat terjadi. Pasien lebih memiliki
resiko untuk jenis injuri ini jika mereka telah disedasi, menurunkan stabilitas sendi
normal oleh otot. Sedikit contoh yang umum dari trauma iatrogenic adalah prosedur
intubasi, prosedur pencabutan gigi molar ketiga dan prosedur perawatan gigi yang lama.
Kenyataannya, setiap pembukaan mulut yang luas (mis menguap) memiliki potensi untuk
memanjangkan ligament discal. Para dokter umum dan dokter gigi perlu untuk
menyadari secara akurat kondisi-kondisi ini sehingga tidak mengakibatkan masalah
kerusakan discus yang mungkin terjadi diakhir hidup pasien.
Trauma tidak langsung. Trauma tidak langsung mengarah kepada injuri yang
mungkin terjadi pada TMJ kedua akibat tekanan yang tiba-tiba, tapi tidak terjadi secara
langsung pada mandibula. Jenis yang paling umum dari trauma indirect dilaporkan
berhubungan dengan perluasan servikal/ injuri fleksi (injuri pada leher). Meskipun
literature merefleksikan sebuah hubungan antara injuri di leher dan gejala TMD, data
yang tersedia masih sedikit mengenai hubungan yang alami ini.
Model computer menyarankan bahwa injuri sepeda motor yang pasti tiudak
mengakibatkan fleksi-ekstensi dari TMJ yang sama dengan yang terlihat pada leher.
Dalam dukungan, seorang sukarelawan uji tabarkan sepeda motor gagal untuk
menunjukkan pergeseran rahang setelah mendpaatkan tumbukan dari belakang. Dari itu
terdapat sedikit bukti yang mendorong pada waktu itu untuk mendukung konsep bahwa
trauma secara tidak langsung umumnya menghasilkan pergerakan condile yang cepat di
dalam fossa, membuat injuri yang sama pada jaringan lunak seperti yang terlihat pada
cervical spine. Hal ini tidak untuk mengatakan bahwa jenis injuri tidak pernah terjadi,
hanya mungkin jarang terjadi.
Jika pernyataan itu benar, mengapa gejala TMD umumnya berhubungan dengan
injuri servical line? Jawaban atas pertanyaan ini adalah pemahaman akan gejala
heterotopic (lihat Bab 2). Para dokter selalu membutuhkan pikiran bahwa input nyeri
dalam konstan yang berasal dari servikal spine umumnya membuat gejala heterotopic
pada muka. Gejala-gejala heterotopic ini mungkin mengarah kepada nyeri (sensori) dan
atau co-contraction pada otot mastikasi (motor). Kronn melaporkan bahwa pasien yang
mengalami pengalaman baru-baru saja mengalami injuri di leher memiliki insiden nyeri
pada TMJ, membuka mulut yang terbatas dan nyeri pada otot mastikasi pada saat palpasi
daripada kelompok kontrol. Semua gejala ini dapat dijelaskan sebagai gejala heterotopic
yang berhubungan dengan input nyeri dalam dari cervical spine. Pemahaman konsep
klinis ini adalah sangat penting karena hal ini menunjukkan terapi yang diperlukan.
Seperti yang akan dibahas pada bab berikutnya, ketika keadaan–keadaan ini terjadi, terapi
yang meluas ke struktur mastikasi akan memiliki efek sedikit pada penyelesaian input
nyeri cervical yang dalam. Perhatian utama perlu diberikan secara langsung terhadap
injuri servikal (nyeri yang asli).
8.3.3.1.2 Mikrotrauma
Mikrotrauma mengarah kepada semua bentuk tekanan kecil yang terjadi secara
berulang-ulang pada struktur sendi dalam waktu yang lama. Seperti yang didiskusikan
pada Bab 1, jaringan penghubung fibrous tebal yang menutupi permukaan artikular dari
sendi dapat dengan baik mentoleransi beban tekanan. Kenyataannya, jaringan ini perlu
untuk mendapatka jumlah beban yang pasti untuk bertahan karena beban tekanan
membawa cairan synovial masuk dan keluar pada permukaan artikular, melewatinya
dengan nutrisi dan membuang produk keluar. Jika, bagaimanapun juga, penggunaan
jaringan yang melebihi batas fungsional, perubahan yang irreversible atau kerusakan
dapat terjadi. Ketika batas fungsional telah dilewati, fibril collagen menjadi fragme,
menghasilkan sebuah penurunan kekakuan dari jaringan kolagen. Hal ini membolehkan
air proteoglikan gel untuk bertambah dan mengalir keluar ke dalam ruang sendi,
menyebabkan articular menjadi halus. Bagian yang halus ini disebut chondromalacia.
Tahap awal chondromalacia bersifat reversible jika dilakukan penurunan beban muatan.
Jika, bagaimanapun juga beban berlanjut ke perluasan kapasitas jaringan articular,
perubahan yang bersifat irreversible dapat terjadi. Daerah yang mengalami fibrillation
dapat berkembang, menghasilkan focal permukaan artikular yang kasar. Perubahan
karakteristik frictional permukaan dan mungkin mengarahkan kepada permukan artikular
yang sticking, menyebabkan perubahan mekanisme gerakan ligament discus. Sticking
yang berlanjut dan atau kekasaran menyebabkan ketegangan pada ligament discal selama
gerakan dan pada akhirnya menyebabkan pergeseran (didiskusikan pada bagian ini).
Pertimbangan lain yang berhubungan dengan beban adalah adanya hipoksia/ teori
reperfusion. Seperti yang telah dinyatakan sebelumnya, beban pada permukaana
artikular adalah normal dan penting untuk kesehatan. Bagaimanapun juga, pada
kesempatan tekanan diaplikasikan ke permukaan artikular dapat memperbesar tekanan
kapiler dari pembuluh darah yang menyuplai. Jika tekanan ini terus menerus ada,
hipoksia dapat berkembang di dalam struktur yang disuplai oleh pembuluh darah. Ketika
tekanan interartikular kembali ke normal, terdapat tahap reperfusion. Para ahli percaya
bahwa selama tahap reperfusion, radikal bebas dikeluarkan ke dalam cairan synovial.
Radikal bebas ini dapat secara cepat merusak asam hyaluronic, yang mana melindungi
fosfolipid yang mengelilingi permukaan sendi dan menyediakan cairan pelumas yang
penting. Ketika fosfolipid hilang, permukaan sendi artikular tidak meluncur
menyebabkan sedikit gesekan, menyebabkan terjadinya kerusakan. Hasil ‘sticking” ini
dapat mengarahkan terjadinya pergeseran discus. Radikal bebas juga dihubungkan
dengan tahap hiperalgesik dan dari itu dapat memproduksi nyeri pada sendi.
Mikrotrauma berasal dari beban yang dihubungkan dengan hiperaktivitas otot
seperti menggerinding atau mencengkram. Hal ini dapat terjadi jika aktifitas
menggerinding terjadi terus menerus dan jaringan tidak memiliki kesempatan untuk
beradaptasi. Hal ini mungkin bahwa jika menggerinding berjalan dalam waktu lama,
jaringan artikular telah beradaptasi terhadap beban tekanan dan tidak akan terlihat
perubahan. Kenyataannya, pada kebanyakan pasien yang mengalami beban muatan
permukaan articular sedikit demi sedikit akan mengarah pada permukaan yang lebih
tebal. jaringan articular lebih mentoleransi.
Jenis mikrotrauma lain yang dihasilkan dari ketidakstabilan orthopedic
mandibular. Seperti yang telah digambarkan sebelumnya, stabilitas orthopedic terjadi
ketika ICP gigi geligi stabil berada harmoni dengan posisi stabil dari musculoskeletal
pada condil. Ketika kondisi ini tidak terjadi, mikrotrauma dapat terjadi. Trauma ini tidak
terjadi ketika gigi geligi secara inisial berada dalam posisi kontak tapi hanya selama
beban system mastikasi oleh otot elevator. Ketika gigi geligi berada pada posisi ICP,
aktivitas otot elevator memuat gigi geligi dan sendi. Karena ICP mewakili posisi yang
paling stabil untuk gigi geligi, beban diterima oleh gigi geligi tanpa konsekuensi. Jika
condile juga berada di dalam hubungan yang stabil dengan fossa, beban terjadi tidak
disertai dengan efek yang merugikan pada struktur sendi. Jika, bagaimanapun juga,
beban muatan terjadi ketika sendi tidak berada dalam hubungan yag stabil dengan discus
dan fossa, gerakan yang tidak biasa dapat terjadi dalam percobaan untuk melawan
stabilitas. Gerakan ini serigkali merupakan gerakan perubahan translatori diantara discus
dan condil. Gerakan ini dapat mengarah kepada pemanjangan ligament discal dan
pengecilan discus. Ingat bahwa jumlah dan intensitas beben muatan yang besar
mempengaruhi apakah ketidakstabilan ortopedik akan mengarah kepada gangguan
kerusakan discus. Pasien yang mengalami bruksisem dengan ketidakstabilan ortopedik,
dari itu, juga lebih umum untuk menghasilkan masalah daripada yang tidak bruksisem
dengan oklusi yang sama.
Sebuah pertanyaan penting yang ada di dalam bidang kedokteran gigi adalah “
apakah kondisi oklusi secara umum berhubungan dengan kerusakan discus?” hal ini telah
ditunjukkan bahwa ketika kondisi oklusi menyebabkan sebuah condil diposisikan secara
posterior terhadap posisiu stabil otot secara skeletal, batas posterior dari discus dapat
menjadi lebih kecil. Kondisi oklusal umum yang telah disarankan untuk menyediakan
hubungan ini adalah deep bite skeletal klass II, yang mana akan diperparah lebih jauh
lagi ketika hubunga divisi 2 anterior telah ada. Satu hal yag perlu disadari,
bagaimanapun juga, tidak semua pasien dengan maloklusi klass II disertai dengan
gangguan kerusakan discus. Beberapa studi tidak menunjukkan hubungan antara
maloklusi klass II dan gangguan-gangguan ini. Studi lain tidak menunjukkan hubungan
antara hubungan horizontal dan vertical pada gigi geligi anterior dan gangguan kerusakan
discus. Karakteristik yang penting pada kondisi oklusal yang mengarahkan kepada
gangguan kerusakan discus adalah kurangnya stabilitas sendi ketika gigi geligi beroklusi
secara kuat. Beberapa maloklusi klass II mungkin menyebabkan stabilitas sendi,
sedangkan yang lain tidak. Faktor lain yang harus dipertimbangkan adalah jumlah dan
durasi beban muatan sendi. Boleh jadi beban muatan sendi akan lebih bersifat merusak
jika disertai dengan maloklusi klass II.
Pertimbangan lain yang berhubugan dengan stabilitas orthopedic dan gangguan
intracapsular yang berkenaan dengan kontak gigi dihubungkan dengan gerakan eksentrik
mandibula. Kebanyakan studi saat ini telah melihat hubungan yang statisantara gigi
geligi dan gejala TMD. Boleh jadi studi yang mempelajari kontak selama gerakan
mandibula akan mengungkapkan wawasan baru. Dalam sebuah studi didapatkan
hubungan yang positif antara dislokasi discus dan kontak gigi geligi saat tidak bekerja.
Bukti-bukti menyarankan bahwa jika sebuah kontak nonworking merupakan kontak gigi
yang utama selama gerakan eksentris, bagian ipsilateral condil akan mengalami
penurunan kekuatan beban yang signifikan. Jika oklusi ini dipasangkan dengan beban
yang berat seperti bruksisem, stabilitas sendi mungkin didapatkan. Studi yang akan
datang perlu secara langsung melihat hubungan antara ketidakstabilan orthopedic dan
beban muatan.
Secara nyata, tidak ada hubungan yang sederhana antara oklusi, ketidakstabilan
ortopedi dan ganggua intracapsular. Bagimanapun juga, hal ini secara vital sangatlah
penting ketika terjadi ketidakstabilan ortopedi diidentifikasi sebagai faktor etiologi yang
potensial. Hubungan antara penemuan ini dan gejala TMD perlu dievaluasi dalam
aturan yang akan ditunjukkan pada teks berikutnya.
Gambar 8-13
Pada posisi 1 adhesion ditunjukkan antara condil dan discus. Selama membuka,
tidak ada gerakan rotasi discal yang terjadi. Pada posisi 3 adhesion menjadi
rusak, menghasilkan bunyi klik dan fungsi normal dari point ini terjadi. Tidak
ada reciprocal atau kliking tambahan terjadi kecuali diikuti oleh beban muatan
static pada sendi utnuk sebuah periode.
Adherence dapat terjadi antara discus dan condil, sama antara discus dan fossa.
Ketika mereka terjadi pada ruang sendi inferior, condil dan discus bersama-sama
menyatu, menghambat gerakan rotasi normal atara mereka. Meskipun pasien dapan
melakukan gerakan translasi dari condil ke depan hingga mulut secara relative terbuka,
gerakan ini dirasakan kasar dan tidak nyaman. Seringkali juga disertai kekakuan. Ketika
adherence terjadi pada ruang sendi superior, discus dan fossa bersama-samam menyatu,
menghambat gerakan translator diantara mereka. Pasien dapat membuka mulut hanya
sekitar 25-30 mm. Kondisi ini sama dengan mulut terkunci tertutup. Sebuah diagnosa
yang akurat dibuat dengan cara mendapatkan riwayat secara hati-hati.
Dokter sebaiknya mengingat bahwa istilah adherence mengimplikasikan bahwa
struktur artikular secara sementara telah bersama-sama bersatu tapi belum terdapat
perubahan apapun secara fisik untuk mengikat jaringan secara bersama-sama. Sekali lagi
beban muatan yang cukup dibangkitkan untuk merusak adherence, sehingga fungsi
normal dapat kembali. Jika, bagaimanapun juga, adherence tersisa untuk periode waktu
yang signifikan, jaringan fibrous dapat berkembang diantara struktur artikular dan
adhesion yang sebenarnya dapat terjadi. Kondisi ini mewakili hubungan mekanis yang
membatasi fungsi normal dari condil/discus/fossa pada basis yang permanen.
Mikrotrauma maupun mikrotrauma secara signifikan menjadi faktor dalam
maslaah adhesion TMJ. Ketika trauma merubah permukaan artikular, mereka dapat di
abraded, mengarahkan kepada masalah sticking. Secara umum, trauma mulut tertutup
merupakan jenis injuri spesifik yang memicu terjadinya adhesion. Ketika rahang
menerima sebuah pukulan dengan gigi geligi dalam posisi oklusi, struktur mayor yang
menerima tekanan adalah permukaan artikular sendi dan gigi geligi. Jenis injuri imi
dapat merubah permukaan halus yang sedikit kasar pada sendi. Faktor etiologi lain
adhesion adalah hemarthrosis (perdaraha di dalam sendi). Adanya produk darah
tampaknya menyediakan sebuah matriks untuk penyatuan jaringan fibrous di dalam
adhesion. Hemarthrosis dapat terjadi ketika jaringan retrodiscal dirusak oleh trauma
rahang eksternal atau intervensi bedah.
Bersamaan dengan sendi yang goyang, permukaan artikular TMJ dipertahankan
dalam kontak menutup yang konstan. Karena hal ini, karakteristik morfologi permukaan
biasanya menyesuaikan untuk menutup satu sama lain. Jika morfologi discus, condil atau
fossa diubah, fungsi sendi dapat dirusak. Sebagai contoh, Tonjolan tulang pada condil
atau fossa mungkin menagkap discus pada derajat membuka yang pasti, menyebabkan
perubahan fungsi. Discus itu sendiri mungkin menjadi lebih kecil (seiring dengan
pemindahan discus) atau jika terjadi perforasi, menyebabkan perubahan fungsi yang
signifikan. Bentuk perubahan-perubahan ini dapat membuat kliking atau menagkap
rahang sama seperti yang terlihat pada pergeseran discus secara fungsional.
Karakteristik klinis utama yang membedakan jenis masalah ini dari pergeseran
discus adalah adanya gejala yang konsisten dan lokasi gejala selama rahang bergerak.
Karena gangguan berhubungan dengan perubahan bentuk, gejala selalu terjadi pada
derajat pembukaan mandibula yang mana fungsi normal dapat diganggu (Gambar 8-14).
Selama mandibula menutup gejala juga terjadi pada pembukaan interincisal yang sama,
meskipun ketika kecepatan dan tenaga membuka dan menutup berubah. Seperti yang
dinyatakan sebelumnya, dengan pergeseran discus, bunyi klik pada saat membuka dan
menutup adalah berada pada jarak intertisiel yang berbeda. Dengan pergeseran discus ini
juga, perubahan kecepatan dan tekanan membuka dapat merubah hubungan gejala yang
berhubungan.
Perubahan dalam bentuk mungkin disebabkan oleh kondisi perkembangan atau
trauma langsung. Beberapa kondisi trauma yang didiskusikan pada sesi berikutnya
mungkin juga mengarahkan kepada perubahan bentuk permukaan artikular.
8.3.3.2.1 Subluksasi
Istilah subluksasi (kadang-kadang mengarah kepada hipermobilitas) digunakan
untuk menggambarkan gerakan TMJ yang secara klinis pasti diamati selama pembukaan
yang lebar. Anatomi sendi yang normal membolehkan gerakan yang relative halus pada
condil sama ketika bergerak turun dan melintasi eminensia artikular. Gerakan ini dibantu
oleh rotasi discus posterior pada condil selama traslasi. Anatomi beberapa sendi,
bagaimanapun juga, tidak member kesempatan kepadanya untuk gerakan yang halus ini.
Observasi klinis pada beberapa sendi menyatakan bahwa pada saat mulut terbuka lebar,
akan terhenti sejenak, diikuti oleh lompatan yang tiba-tiba atau melompat ke posisi
membuka yang paling maksimal. Lompatan ini tidak menghasilkan suara klik tapi justru
disertai dengan suara gebukan yang lebih banyak. Pemeriksa dapat membacanya dengan
melihat sisi dari muka pasien. Selama pembukaan maksimum pada sisi lateral ujung
condil akan melompat ke depan, menyebabkan depresi preauricular yang nyata. Kondisi
ini disebut subkluksasi atau hipermobilitas.
Gambar 8-14
Pada posisi 1 kerusakan struktural (perubahan dalam bentuk) terjadi di dalam
condil dan discus. Antara posisi 3 dan 4 condil bergerak diluar kerusakan,
menghasilkan bunyi klik. Condil bergerak kembali ke kerusakan ini antara posisi
6 dan 7. Bunyi klik pada saat membuka dan menutup terjadi pada derajat
pembukaan yang sama.
Hal yag penting, dokter sebaiknya mencatat bahwa dislokasi secara spontan dapat
terjadi pada TMJ yang dipaksa melewati batas maksimum pembukaan. Bagimanapun
juga, hal ini biasanya terjadi di dalam sebuah sendi yang menunjukkan kecenderungan
terjadinya subluksasi. Dislokasi spontaneous bukan merupakan hasil kondisi patologis.
Hal ini merupakan keadaan sendi normal yang telah digerakkan melewati batas normal.
Gambar 8-17
A dan B, transalsi sendi dengan eminensia artikular yang dangkal. Yang perlu
dicatat adalah derajat gerakan rotasi yang terjadi diantara condil dan discus
artikular. C dan D, eminensia artikular yang tajam. Derajat gerakan rotasi antara
condil dan discus lebih besar di dalam sendi dengan eminensia artikular yang
dangkal. (Dimodifikasi oleh Bell WE: Temporomandibular disorders, ed2,
Chicago, 1986, Buku Kedoteran Tahunan.)
8.3.3.4.1 Synovitis
Ketika jaringan synovial yang yang mengelilingi sendi mengalami inflamasi, kondisi
ini disebut synovitis. Jenis nyeri ini dikarakteristikan oleh nyeri intracapsular yang
konstan yang dipertinggi oleh gerakan sendi. Sinovitis umumnya disebabkan oleh
kondisi iritasi di dalam sendi. Hal ini mungkin terjadi pada fungsi yang tidak biasanya
atau trauma. Gangguan inflamasi ini sulit untuk dibedakan secara klinis dari satu sama
lain karena presentasi klinis yang sama. Sebagai contoh, synovitis dan capsulitis tidak
mungkin dibedakan secara klinis. Seringkali, diagnose banding merupakan hal yang
paling penting jika perawatan berbeda, seperti yang didiskusikan pada bab berikutnya.
8.3.3.4.2 Capsulitis
Ketika terjadi inflamasi pada ligament capsular, kondisi ini ddisebut capsulitits.
Secara klinis bagian kolateral condil terasa keras saat dipalpasi. Capsulitis menghasilkan
nyeri meskipun sendi berada pada posisi statis, tapi gerakan sendi secara umum
meningkatkan nyeri. Meskipun jumlah faktor etiologi dapat menyebabkan capsulitis, hal
yang paling umum adalah makrotrauma (terutama saat injuri mulut terbuka). Dengan
demikian, ketika ligament capsular diperpanjang dan respon inflamasi dideteksi, hal ini
mungkin bahwa trauma akan ditemukan pada riwayat pasien. Capsulitis juga dapat
berkembang pada jaringan rusak dan inflamasi disekitarnya.
8.3.3.4.3 Retrodiscitis
Jaringan retrodiscal memiliki vaskularisasi dan innervasi yang tinggi. Dengan
demikian mereka tidak dapat mentoleransi beban yang lebih banyak. Jika condil
melewati jaringan ini, kerusakan dan inflamasi dapat terjadi. Seperti dengan gangguan
inflamasi yang lain, inflamasi jaringan retrodiscal (retyridicitis) dikarakteristukan oleh
nyeri yang konstan, tumpul dan sakit yang sering ditingkatkan oleh cengkerama. JIka
inflamasi menjadi parah, pembengkakan mugkin terjadi dan memaksa condil untuk
bergerak ke depan bawah slope posterior dari eminensia artikularis. Perubahan ini dapat
menyebabkan sebuah maloklusi akut. Secara klinis sebuah akut oklusi dilihat sebagai
lepasan gigi posterior ipsi lateral dan kontak yang berat antara kontralateral kaninus.
Seperti dengan capsulitis, trauma merupakan faktor etilogoi mayor terjadinya
retrodiscitis. Makrotrauma mulut terbuka (sebuah pukulan pada dagu) secara tiba-tiba
dapat memaksa condil masuk ke jaringan retrodiscal. Mikrotrauma juga dapat menjadi
faktor dan biasanaya berhubungan dengan pergeseran discal. Pada saat discus menjadi
pendek dan ligament memanjang, codil memulai utnuk melewati jaringan retrodiscal.
Area yang pertama kali rusak adalah lamina retrodiscal inferior, yang mana memudahkan
terjadinya pergeseran discal. Dengan kerusakan yang berlanjut,discolorisasi discus
terjadi dan memaksa keseluruhan condil untuk berartikulasi pada jaringan retrodiscal.
Jika beban muatan terlalu besar untuk jaringan retrodiscal, kerusakan berlanjut dan
perforasi dapat terjadi. Dengan perfiorasi jaringan retrodiscal, condil mungkin akhirnya
bergerak melalui jaringan-jaringan ini dan berartikulasid dengan fossa.
8.3.3.4.4 Arthritides
Arthtitides sendi menunjukkan sekelompk gangguan dimana terlihat perubahan
berupa penghancuran tulang. Satu jenis yang paling umum dari arthritides TMJ adalah
osteoarthritis (kadang-kadang disebut penyakit degenerative sendi). Osteoartritis
menujukkan sebuah proses kerusakan yang mana permukaan artikular tulang condil dan
fossa menjadi mengalami perubahan. Hal ini secara umum dipertimbangkan sebagai
respon tubuh untuk meningkatkan beban sendi. Pada saat beban muatan dipaksa untuk
berlanjut, permukaan artikular menjadi halus (chondromalacia) dan tulang subartikular
memulai untuk diresorbsi. Degenerasi progresif pada akhirnya menghilangkan lapisan
subcondral cortical, erosi tulang dan bukti subsequent radiografi osteoarthritis. Hal yang
penting, dokter sebaiknya mencatat bahwa perubahan radiografi yang hanya terlihat pada
tahap osteoartriits dan mungkin tidak merefleksikan penyakit itu secara akurat (Lihat
Gambar 9).
Osteoartristis biasanya bersifat nyeri dan gerakan rahang merupakan gejala yang
menonjol. Krepitasi (suara sendi seperti parutan) merupakan hal yang seringa ditemukan
menyertai penyakit ini. Osteoartritis dapat terjadi pada setiap waktu sendi menerima
kelebihan beban tapi umumnya berhubungan dengan dislokasi discus atau perforasi. Satu
saat diskus mengalami dislokasi dan jaringan retrodiskal mengalami kerusakan, condil
memulai untuk berartikulasi secara langsung dengan fossa, berakselerasi mempercepat
proses kerusakan. Pada saat permukaan dense fibrous artikular dirusak, dan terjadila
perubahan tulang. Secara radiografis, permukaan tampak erosi dan datar. Setiap
pergerakan permukaan ini menghasilkan rasa nyeri sehingga fungsi sendi menjadi
terbatas. Meskipun osteoarthritis merupakan kategori gangguan inflaamasi, hal ini bukan
merupakan kondisi inflamasi yang sesungguhnya. Pada saat beban muatan diturunkan,
kondisi arthritis dapat beradaptasi. Tahap adaptasi telah mengarah kepada osteoarthritis.
(Sebuah gambaran yang lebih terperinci mengenai osteoarthritis/osteoartrosis di sediakan
pada Bab 13).
Jenis arthritis yang lain secara pasti mempengaruhi TMJ. Kondisi-kondisi ini akan
dibahas pada bab berikutnya.
8.4.1 Kegoyangan
Salah satu tempat terjadinya kerusakan gigi adalah struktur pendukung gigi geligi.
Ketika hal ini terjadi, tanda klinis adalah kegoyangan gigi, diobservasi secara klinis
sebagai derajat kegoyangan yang tidak biasa di dalam soket gigi.
Dua faktor yang dapat mengarah kepada kegoyangan gigi : hilangnya tulang
pendukung dan tekanan oklusal yang besar.
Pada saat penyakit periodontal kronis menurunkan tulang yang mendukung gigi,
mobilitas terjadi. Jenis kegoyangan ini terjadi berdasarkan tekanan oklusal yang
ditempatkan di atas gigi (meskipun tekanan besar mungkin mempertinggi derajatnya).
Kehilangan tulang pendukung secara utama merupakan hasil penyakit periodontal
(Gambar 8-19).
Faktor kedua yang menjadi penyebab kegoyangan gigi adalah tekanan oklusal yang
besar. Jenis kegoyangan ini sangat berhubungan dengan hiperaktifitas otot dan demikian
menjadi tanda adanya gangguan fungsional system mastikasi. Pada saat mendapatkan
tekanan yang besar (terutama secara horizontal) ditempatkan di atas gigi geligi, ligament
periodontal tidak dapat sempurna menerima distribusi tekanan ke tulang. Ketika tekanan
horizontal besar diaplikasikan ke tulang, sisi akar yang mendapat tekanan menunjukkan
tanda kerusakan selular, sedangakan sisi yang berlawanan (sisi tekan) menunjukkan tanda
dilatasi vaskulasrisasi dan perpanjangan ligament periodontal. Hal ini meningkatkan
kedalaman ruang periodontal pada kedua sisi gigi; ruang ini pada awalnya diisi dengan
jaringan granulasi yang halus, tapi saat kondisi ini menjadi kronis, meninggalkan
peningkatan ruang periodontal. Peningkatan kedalaman ruang periodontal ini
menimbulkan kegoyangan gigi (Gambar 8-19 B).
Jumlah kegoyangan gigi bergantung pada durasi dan derajat tekanan yang
diaplikasikan di atas gigi. Terkadang sebuah gigi dapat menjadi sangat goyang dan akan
keluar dari jalurnya, mebiarkan tekanan yang besar berada di atas gigi geligi yang lain.
Sebagai contoh selama gerakan laterotrusive, kontak yang berat terjadi pada gigi
premolar pertama rahang bawah, yang mana tidak memasukkan gigi caninus. Jika
tekanan ini terlalu besar untuk gigi, maka akan terjadi kegoyangan. Pada saat kegoyangan
meningkat, gerakan lanjutan laterotrusif menggeser gigi premolar, menghasilkan kontak
dengan gigi caninus. Gigi caninus secara structural menghasilkan suara gigi dan dapat
bertoleransi terhadap gigi. Dari itu jumlah kegoyangan gigi premolar terbatas pada
derajat dan jarak kontak sebelum hal ini dipindah oklusikan oleh caninus.
Karena dua faktor independen menyebabkan gigi goyang (penyakit periodontal
dan tekanan oklusal), pertanyaan yang timbul: bagaimana, mereka semua dapat
berinteraksi ? Yang lebih spesifik, dapatkah tekanan oklusal menyebabkan penyakit
periodontal? pertanyaan ini telah diteliti dan didebatkan oleh beberapa orang dan belum
dipecahkan secara keseluruhan. Hal ini secaras luas telah diterima bahwa tekanan
oklusal dapat menyebabkan resorpsi lateral tulang pendukung gigi tapi tidak
menyebabkan kerusakan serat supracrestal ligament periodontal. Dengan kata lain,
tekanan oklusal yang besar tidak membuat migrasi apical perlekatan epithelial gingival.
Dengan perlekatan sehat yang masih tersisa, perubahan patologis terjadi hanya pada
tingkat tulang. Pada saat tekanan oklusal yang besar dihilangkan, jaringan tulang
diperbaiki dan menurunkan kegoyangan gigi ke tingkat yang normal. Dari itu tidak ada
perubahan permanen dalam perlekatan gingival atau struktur pendukung gigi dapat
terjadi.
Bagaimanapun juga, rangkaian kerusakan berbeda yang terjadi ketika reaksi
inflamasi untuk plak juga terjadi (gingivitis). Adanyan gingivitis menyebabkan
hilangnya perlekatan epithelial gingiva. Hal ini menandai dimulainya penyakit
periodontal, tanpa memperhatikan tekana oklusal. Ketika perlekatan hilang dan inflamasi
dekat dengan tulang, hal ini terjadi bahwa tekana oklusal dapat memainkan peran yang
signifikan di dalam kerusakan jaringan pendukung. Dengan kata lain, penyakit
periodontal berpasanagn dengan tekanan oklusal yang berat cenderung menyebabkan
hilangnya jaringan tulang yang cepat. Tidak seperti kegoyangan tanpa inflamasi,
kegoyangan yang disertai dengan hilangnya tulang bersifat irreversible. Meskipun bukti
cenderung mendukung konsep ini, beberapa penelitian tidak memperkuat hal ini.
Spesifik terminology digunakan untuk menggambarkan kegoyangan yang
berhubungan dengan inflamasi dan stress oklusal yang besar. Primary traumatic oklusal
adalah kegoyangan yang dihasilkan dari tekanan oklusal yang berat yang diaplikasikan ke
gigi dengan struktur periodontal pendukung yang dasarnya normal. Jenis ini biasanya
bersifat reversible ketika tekanan oklusal dieliminasi. Traumatik oklusi kedua dihasilkan
dari tekanan oklusal, yang mana mungkin normal atau berat, beretindak untuk
melemahkan struktur pendukung jaringan periodontal. Dengan jenis ini, penyakit
periodontal terjadi dan perlu untuk dirawat.
Fenomena asli menarik lainnya yang dipikirkan berhubungan dengan beban
muatan yang besar pada gigi geligi adalah perkembangan mandibula. Studi telah
menemukan hubungan yang spesifik antara adanya mandibulatori pada populasi TMD,
yang dibandingkan dengan kelompok control.
Bagaimanapun juga, tidak ada penemuan yang membantu untuk menjelaskan
hubungan ini. Hal yang lebih dipikirkan saat ini adalah bahwa etilogogi dari
mandibulatori yang berkaitan dengan sebuah pengaruh antara faktor genetic dan kondisi
lingkungan.
8.4.2 Pulpitis
Gejala lain yang terkadang berhubungan dengan gangguan fungsional gigi geligi
adalah pulpitis. Beban yang berat pada aktivitas para fungsional, terutama ketika
ditempatkan di atas beberapa gigi, dapat menimbulkan gejala pulpitits. Menurut jenisnya
pasien mengeluh terhadap sensitivitas dingin dan panas. Rasa nyeri biasanya terjadi
dalam durasi yang singkat dan dikarakteristikan sebagai pulpitis reversible. Pada kasus
yang parah trauma yang cukup besar yang dapat mencapai pulpa disebut pulpitis
irreversible, dan menyebsbkan nekrosis pada pulpa.
Beberapa ahli telah mengatakan bahwa sebuah etiologi pulpitis adalah aplikasu
kronis dari tekanan berat pada gigi. Beban yang berlebihan ini dapat merubah aliran
darah melalui foramen apical. Perubahan suplai darah terhadap pulpa memberikan
peningkatan gejala pulpitis. Jika suplai darah diubah secara besar-besaran atau jika
tekanan lateral cukup besar untuk menutupi secara keseluruhan atau memutuskan arteri
kecil yang melewati foramen apical, nekrosisi pulpa mungkin terjadi (Gambar 8-20).
Gambar 8-20
Gigi premolar pertama rahang atas yang non votal karena tekanan oklusal yang
besar. Kondisi ini dimulai ketika mahkota ditempatkan pada gigi caninus rahang
atas. Petunjuk lateroprotrusif tidak didirikan kembali pada mahkota, menghasilkan
konbtak lateroprotrusif pada gigi premolar (traumatic oklusi). Akar Gigi caninus
memiliki ukuran yang baik untuk menerima tekanan lateral (horizontal) daripada
pada akar gigi premolar yang lebih kecil.
Pulpitis dapat juga disebabkan oleh faktor etiologi lain, seperti karies atau
prosedur perawatn gigi. Pemeriksaan klinis dan radiografi membantu dalam mengetahui
faktor ini. Ketika faktor yag lain telah diketahui, trauma oklusal sebaiknya
dipertimbangkan. Seringkali melalui riwayat membantu utuk mengidentifikasi diagnose
yang sering kali mengalami kesalahan.
8.4.3 Tooth wear
Lebih jauh lagi, tanda utama yang berhubungan dengan gangguan fungsional gigi
geligi adalah tooth wear. Hal ini diobservasi sebagai daerah datar yang berkilau pada
gigi yang tidak sesuai dengan oklusi sebenarnya dari gigi. Sebuah area yang disebut
wear facet. Meskipun wear facet merupakan sebuah penemuan yang ekstrim pada
pasien, gejalanya jarang dilaporkan. Mereka yang dilaporkan biasanya terkonsentrasi
pada daerah estetik dan perasaan tidak nyaman.
Etiologi utama dari tooth wear adalah aktivitas para fungsional. Hal ini dapat
bervariasi dengan mengobservasi lokasi yang paling banyak memiliki wear facets. Jika
tooth wear dihubngkan dengan aktivitas fungsional, secara logis dapat ditemukan pada
permukaan fugsional gigi (mis cups palatinal gigi rahang atas dan cups buccal gigi
rahang bawah). Setelah memeriksa pasien hal ini dapat menjadi bukti bahwa
kebanayakan tooth wear dihasilkan dari kontak eksentrik gigi yang dihasilkan oleh
gerakan jenis bruksisem (Gambar 8-22). Satu-satunya jalan untuk menjelaskan adanya
facets ini adalah melalui pertimbangan posisi eksentris yang diasumsikan selama
nocturnal bruksisem.
Gambar 8-21
Tooth wear selama gerakan protrusive
Gambar 8-22
Pada pemeriksaan yang hati-hati dari 168 pasien gigi umum, 95% diobservasi
memiliki beberapa bentuk tooth wear. Penemuan ini menyarankan bahwa hampir
seluruh pasien memiliki pengalaman aktivitas para fungsional selama hidup mereka.
Hal ini lebih jauh disarankan bahwa aktivitas para fungsional merupakan proses
normal, tetapi secara pasti tidak disertai dengan komplikasi pada beberapa pasien.
Tooth wear dapat menjadi proses yang menghancurkan dan mungkin pada akhirnya
mengarahkan kepada masalah fungsional (Gambar 8-23). Untuk bagian yang paling
banyak, bagaimanapun juga, tooth wear merupakan gejala normal dan dari tiu bisa
jadi merupakan bentuk yang paling mentoleransi kerusakana pada system mastikasi.
Tooth wear belum ditemukan secara kuat berhubungan dengan gejala TMD.
Gambar 8-23
Tooth wear yang parah terhadap bruksisem, yang mana mengkompromikan aktivitas
fungsional dari system mastikasi
Beberapa wear facet ditemukan berada di dekat daerah perhentian centric oklusal
gigi yang berlawanan. Hal ini umumnya terjadi di region anterior. Meskipun hal ini
mungkin merupakan hasil aktivitas para fungsi, beberapa dokter telah menyarabkan
bahwa jenis tooth wear ini dihasilkan ketika struktur gigi melanggar gerakan fungsional
envelope. Disisi lain, hal ini mungkin dihasilkan lebih banyak pada pasien yang memiliki
kontak gigi anterior lebih berat dibandingkan dengan gigi posterior dalam perubahan
posisi makanan. Ketika kondisi ini terjadi, aktivitas fungsional mengunyah menghasilkan
kontak gigi anterior yang berat. Jika hal ini terus berlanjut, akan menghasilkan wear
tooth.
Perbedaan antara kedua jenis tooth wear ini penting karena etiologi sangat
berbeda. Secondary tooth wear ke bruksisem nocturnal secara terpusat diiduksi (lihat
Bab 7) dan perlu dimanajemen dengan percobaan mekanisme kontrol pusat (mis
manajemen stres) dan atau melindungi gigi dengan alat-alat oklusal. Di sisi lain, tooth
wear secondary ke struktur gigi yang melangar gerakan fungsional envelope mungkin
dirawat dengan penyesuaian gigi untuk menghasilkan lebih banyak kebebasan selama
gerakan fungsional. Pada waktu ini data setiap subjek masih sedikit. Apakah perbedaan
ini secara pasti terjadi dan bagaimana salah satunya dapat dibedakan untuk perawatan
terpilih yang sesuai belum ditentukan.
8.6 Referensi
1. Schiffman EL, Fricton JR, Haley DP, Shapiro BL: The prevalence and treatment
needs of subjects with temporomandibular disorders, JAm Dental Assoc 120:295-
303, 1990.
2. Mc Creary CP, Clark GT, Merril RL et al: Psychological distress and diagnostic
subgroups of temporomandibular disorder patients, Pain 44:29-34, 1991.
3. Okeson JP: Bell's orofacial pains, ed 6, Chicago, 2005, Quintessence, pp 287-328.
4. Mense S, Meyer H: Bradykinin-induced sensitization of high-threshold muscle
receptors with slowly conducting afferent fibers, Pain(Suppl):S204, 1981.
5. Keele KD: A physician looks at pain. In Weisenberg M, editor: Pain:clinical and
experimental perspectives, St Louis, 1975, Mosby, pp 45-52.
6. Layzer RB: Muscle pain, cramps and fatigue. In Engel AG, Franzini-Armstrong C,
editors: Myology, New York, 1994, Mc Graw-Hill, pp 1754-1786.
7. Svensson P, Graven-Nielsen T: Craniofacial muscle pain: review of mechanismsand
clinical manifestations, J Orofac Pain 15:117-145, 2001.
8. Lund JP, Widmer CG: Evaluation of the use of surface electromyography in the
diagnosis, documentation, and treatment of dental patients, J Craniomandib Disord
3:125-137, 1989.
9. Lund JP, Widmer CG, Feine JS: Validity of diagnostic and monitoring tests used for
temporomandibular disorders, J Dent Res 74:1133-1143, 1995.
10. Paesani DA, Tallents RH, Murphy WC, Hatala MP, Proskin HM: Evaluation of there
producibility of rest activity of the anterior temporal and masseter muscles in
asymptomatic and symptomatic temporomandibular subjects, J Orofac Pain 8:402-
406, 1994.
11. Carlson CR, Okeson JP, Falace DA et al: Comparison of psychological and
physiological functioning between patients with masticatory muscle pain and
matched controls, J Orofac Pain 7:15-22, 1993.
12. Curran SL, Carlson CR, Okeson JP: Emotional and physiologic responses to
laboratorychallenges: patients with temporomandibular disorders versus matched
control subjects, J Orofac Pain 10:141-150, 1996.
13. Mense S: Considerations concerning the neurobiological basis of muscle pain, Can J
Physiol Pharmacol 69:610-616, 1991.
14. Mense S: Nociception from skeletal muscle in relation to clinical muscle pain, Pain
54:241-289,1993.
15. Travell JG, Rinzler S, Herman M: Pain and disability of the shoulder and arm, JAMA
120:417, 1942.
16. Schwartz LL: A temporomandibular joint pain-dysfunction syndrome, J Chron Dis
3:284-292, 1956.
17. Yemm R: A neurophysiological approach to the pathology and a etiology of
temporomandibular dysfunction, J Oral Rehabil 12:343-353, 1985.
18. Schroeder H, Siegmund H, Santibanez G, Kluge A: Causes and signs of
temporomandibular joint pain and dysfunction: an electromyographical investigation,
J Oral Rehabil 18:301-310, 1991.
“Tidak ada yang lebih penting dalam keberhasilan yang diawal dengan data yang
lengkap.”
-JPO
Tidak seluruh tanda dan gejala mengindikasikan kebutuhan perawatan. Tanda dan
etiologi, sertap prognosis kelainan, adalah faktor yang menentukan kebutuhan perawatan.
Namun, tanda penyakit tidak dapat diperiksa hingga tanda tersebut dapat diketahui.
Karena terdapat sejumlah besar tanda yang terjadi secara subklinis, maka sebagian besar
kelainan dapat berkembang dan tidak terdiagnosa dan sebab itu tidak dirawat oleh dokter.
Efektivitas dan keberhasilan perawatan bergantung pada kemampuan dokter untuk
menetapkan diagnosis yang tepat. Hal ini dapat dicapai dengan pemeriksaan tanda dan
gejala gangguan fungsional pasien. Tiap-tiap tanda merupakan bagian informasi yang
diperlukan untuk menegakkan diagnosis yang tepat. Sebab itu, tiap tanda dan gejala perlu
diidentifikasi melalui riwayat dan pemeriksaan. Hal ini sangat penting untuk keberhasilan
perawatan.
Tujuan riwayat dan pemeriksaan adalah untuk mengetahui daerah atau struktur
sistem pengunyahan yang menunjukkan kerusakan atau perubahan patologis. Untuk
melakukan pemeriksaan yang efektif, pemeriksa harus memahami dengan baik tampilan
klinis dan fungsi sistem pengunyahan yang sehat (lihat Bab 1). Kerusakan sistem
pengunyahan secara umum ditndai oleh sakit dan/atau disfungsi. Riwayat dan
pemeriksaan sebaiknya diarahkan ke arah identifikasi rasa sakit dan disfungsi
pengunyahan.
Jika keluhan utama pasien adalah rasa sakit, maka sangat penting untuk
mengidentifikasi sumber masalah. Peranan utama dokter gigi dalam terapi adalah
perawatan nyeri pengunyahan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnhya, nyeri
pengunyahan memiliki sumber dan berasal dari struktur penguyahan. Struktur
penguyahan adalah gigi, periodontium, jaringan pendukung gigi, temporomandibular
joint (TMJ) dan otot yang menggerakan rahang bawah. Dengan pelatihan yang baik,
dokter gigi adalah orang yang paling sesuai untuk perawatan struktur tersebut. Namun,
kelainan kepala dan leher terkadang menyebabkan rasa sakit heterotopic yang dirasakan
dalam struktur pengunyahan tapi tidak memiliki sumber di dalam struktur penguyahan
(lihat Bab 2). TIpe nyeri ini harus diidentifikasi dengan tepat selama pemeriksaan
sehingga diagnose yang akurat dapat ditegakkan. Agar efektif, perawatan sebaiknya
diarahkan pada sumber sakit dan bukan pada daerah sakit. Agar perawatan gigi efektif,
rasa sakit harus berasal dari sistem pengunyahan.
Sebuah aturan utama dalam mengidentifikan rasa sakit penguyahan adalah fungsi
rahang terkadang memperburuk atau menekankan masalah yang terjadi. Dengan kata
lain, aktivitas fungsional penguyahan dan berbiasa akan meningkatkan rasa sakit. Namun,
aturan ini tidak selalu benar karena pada beberapa nyeri yang bukan berasal dari sistem
pengunyahan dapat menyebabkan hiperalgesia sekunder pada struktur pengunyahan, dan
sebab itu gerakan fungsional akan meningkatkan rasa akit. Sebaiknya dokter memberikan
perhatian lebih bagi asien yang melaporkan rasa sakit pada TMJ atau otot pengunyahan
namun riwayat dan pemeriksaan tidak menunjukkan perubahan dalam pergerakan rahang
atau peningkatan rasa sakit pada saat melakukan gerakan fungsional. Jika hal ini terjadi,
terapi yang diarahkan pada struktur pengunyahan tidak akan bermanfaat. Pemeriksa harus
menemukan sumber rasa sakit yang asli sebelum perawatan efektif dapat diberikan.
Karena prevalensi TMD yang tinggi, maka tiap pasien yang datang di klinik gigi
dianjurkan untuk menjalani pemeriksaan TMD, meskipun pasien tampak membutuhkan
atau tidak membutuhkan perawatan tersebut. TUjuan dilakukannya screening riwayat dan
pemeriksaan adalah untuk mengidentifikasi pasien dengan tanda subklinis, serta gejala
yang tidak dapat pasien hubungkan tapi secara umum berhubungan dengan gangguan
fungsional sistem pengunyahan (yaitu sakit kepala, gejala pada telinga). Screening
riwayat meliputi sejumlah pertanyaan yang akan membantu mengorientasikan dokter ke
arah TMD. Pertanyaan ini dapat ditanyakan langsung oleh klinis atau dapat dimasukkan
dalam kuisioner kesehatan dan gigi umum yang diisi oleh pasien sebelum bertemu
dengan dokter gigi.
Berikut ini adalah pertanyaan yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi gangguang
fungsional:
Apakah anga mengalami kesulitan dan/atau rasa sakit pada saat membuka
mulut, contohnya, pada saat menguap?
Apakah rahang anda terasa “melekat” atau “terkunci” atau “terlepas”?
Apakah anda mengalami kesulitan dan/atau rasa sakit pada saat mengunyah,
berbicara, atau menggunakan rahang anda?
Apakah anda merasakan bunyi pada sendi rahang anda?
Apakah rahang anda sering terasa keras, kaku atau lemah?
Apakah anda merasakan rasa sakit pada atau sekitar daerah telinga, pelipis,
atau pipi?
Apakah anda sering merasa sakit kelapa, sakit leher, atau sakit gigi?
Apakah anda baru-baru ini mengalami cedera pada kelapa, leher, atau rahang
anda?
Apakah anda merasa terjadi perubahan gigitan anda?
Apakah anda pernah menjalani perawatan untuk rasa wajah atau sendi rahang
yang tidak diketahui penyebabnya?
Beberapa struktur penting dalam sistem pengunyahan dapat dipalpasi untuk rasa
sakit atau rasa nyeri pada pemeriksaan screening. Otot temporal dan massetes dapat
dipalpasi secara bilateral sepanjang aspek lateral TMJ. Rasa sakit atau nyeri sebaiknya
dianggap sebagai indicator TMD potensial.
Pemeriksaan riwayat tidak dapat diabaikan. Pada saat dokter memeriksa pasien
untuk penyakit gigi (yaitu karies), riwayat hanya akan memberikan informasi dalam
persentase yang relatif kecil untuk penegakan diagnosis; sebagian besar informasi akan
diperoleh dari pemeriksaan. Namun, diagnose rasa sakit cukup berbeda. Dengan kelainan
nyeri, hampir 70% hingga 80% informasi yang diperlukan untuk penegakkan diagnosis
berasal dari riwayat, dimana pemeriksaan hanya berperan kecil dalam penegakan
diagnosa.
Sebagian besar pasien akan memberikan informasi penting yang tidak dapat
diperoleh dari prosedur pemeriksana. Riwayat adalah kunci utama dalam menegakkan
diagnosis yang akurat, dan terkadang pasien akan memberitahukan diagnose kepada
pemeriksaan tetapi dengan kata lain.
Terdapat dua metode untuk mendapatkan riwayat pasien. Beberapa dokter secara
langsung mengubah riwayat masalah pasien. Hal ini memungkinkan klinis untuk
memberikan pertanyaan langsung yang sesuai dengan respon pasien sebelumnya.
Meskipun metode untuk mencari fakta vital ini efektif, namun metode ini sangat
bergantung pada kemampuan dokter untuk memeriksa seluruh daerah keluhan pasien.
Riwayat yang lebih teliti dan konsisten dapat diperoleh melalui kuisioner tertulis yang
mencakup seluruh daerah pemeriksaan. Metode ini memastikan seluruh informasi yang
diperlukan dapat diperoleh. Meskipun metode ini lebih lengkap, beberapa pasien
mengalami kesulitan dalam mengutarakan masalah mereka dalam bentuk standar. Sebab
itu, pada sebagian kasus, pemeriksaan riwayat terbaik adalah meminta pasien untuk
mengisi kuisioner sehingga klinis dapat memeriksa kuisioner dengan pasien dan
membahas hasilnya.
Pasien sebaiknya mengisi kuisioner di ruangan yang tenang tanpa batasan waktu.
Karena dokter perlu menguraikan kuisioner dengan pasien, gangguan atau keluhan utama
dapat dibahas dengan pasien untuk mendapatkan informasi tambahan. Pada saat ini,
pasien diperbolehkan untuk mengutarakan hal yang tidak dikatakan dalam kuisioner.
Riwayat dimulai dengan kuisioner medis lengkap yang mengidentifikasi masalah medis
mayor pasien. Masalah medis mayor dapat memegang peranan penting dalam gangguang
fungsional. Sebagai contoh, kondisi arthritic generalized pasien juga dapat
mempengaruhi TMJ. Gejala yang tidak berhubungan dengan masalah medis mayor juga
dapat memegang peranan penting dalam pemilihan metode perawatan.
Riwayat efektif merupakan pusat dari keluhan utama pasien. Hal ini menjadi titik
awal yang baik untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan. Pasien diizinkan
menjelaskan keluhan utama mereka dalam katanya sendiri. Jika pasien memiliki lebih
dari satu keluhan, tiap-tiap keluhan diawali dengan informasi lengkap yang dikumpulkan
secara terpiah. Riwayat lengkap mencakup informasi dalam daerah spesifik berikut.
9.2.1. SAKIT
Jika rasa sakit terjadi, maka rasa sakit diperiksa berdasarkan penjelasan keluhan
utama pasien; lokasi; onset; karakteristik; faktor pemicu dan pereda rasa sakit; perawatan
sebelumnya; dan hubungannya dengan keluhan lain seperti lokasi, perilaku, kualitas,
durasi dan derajat sakit. Faktor-faktor ini akan dibahas dalam bab ini dan ditampilkan
pada Kotak 9-1.
Titik awal yang baik dalam pemeriksaan riwayat adalah mendapatkan penjelasan
yang akurat mengenai keluhan utama pasien. Hal ini pertama kali dilakukan
menggunakan penjelasan pasien dan kemudian dinyatakan ulang dalam bahasa teknis
seperti yang diindikasikan. Jika pasien memiliki lebih dari satu keluhan, tiap-tiap keluhan
harus diperhatikan dan, jika memungkinkan, diurutkan berdasarkan pengaruhnya
terhadap pasien. Masing-masing keluhan perlu diperiksa berdasarkan faktor-faktor yang
diutarakan dalam riwayat. Setelah itu, keluhan rasa sakit perlu diperiksa berdasarkan
hubungannya terhadap keluhan lain. Beberapa keluhan dapat disebabkan oleh keluhan
lain, sedangkan keluhan lain dapat bersifat independent. Penentuan hubungan ini adalah
dasar dari perawatan pasien.
Kemampuan pasien untuk melokalisasi rasa sakit dengan akurat memberikan nilai
diagnostic. Namun, pemeriksa sebaiknya berhati-hati dalam asumsi bahwa daerah sakit
merupakan sumber sakit utama - struktur yang merupakan sumber rasa sakit. Penjelasan
pasien mengenai lokasi keluhan utama pasien hanya menunjukkan daerah sakit.
Merupakan tanggung jawab pasien untuk menentukan apakah daerah tersebut juga
merupakan sumber sakit utama. Terkadang, apa yang tampak jelas menjadi penyebab
daerah sakit dapat menyebabkan kesalahan diagnose bagi pasien dan dokter, seperti lesi
herpetic superficial yang tampak pada daerah yang juga merupakan daerah yang
mengalami rasa sakit yang berasal dari daerah cervical. Dokter perlu melakukan uji
diagnose yang diperlukan untuk menentukan sumber sakit utama (lihat Bab 10).
Kotak 9-1.
Gambar kepala dan leher dapat membantu pasien untuk menguraikan lokasi rasa
sakit (Gbr. 9-1). Hal ini memungkinkan pasien mengutarakan seluruh daerah sakit
dengan cara pasien. Pasien juga dapat menarik panah yang menunjukkan pola refer pain.
Gambaran ini memberikan gambaran bagi pasien mengenai lokasi dan tipe rasa sakit
yang dialami pasien.
Gbr. 9-1.
Pemeriksaan kondosi yang berhubungan dengan onset awal keluhan sakit sangat
penting. Kondisi ini dapat dicurigai sebagai penyebab rasa sakit. Sebagai contoh, pada
kasus rasa sakit yang terjadi setelah kecelakaan kendaraan bermotor. Trauma merupakan
penyebab utama dari rasa sakit dan tidak hanya memberikan pemahaman mengenai rasa
sakit tapi juga pertimbangan kondisi sakit lainnya yang berhubungan dengan penyakit
sistemik atau fungsi rahang, atau dapat berupa rasa sakit spontan. Dengan mengetahui
kondisi terbaru pasien yang berhubungan dengan onset awal rasa sakit secara kronologis
sangat penting untuk menghubungan pemeriksaan yang telah dilakukan.
Sangat penting untuk menanyakan hal yang diyakini oleh pasien yang dapat
menyebabkan rasa sakit. Hal ini memberikan pemahaman mengenai pandangan pasien
terhadap rasa sakit tersebut. Pada sejumlah kasus, pasien mengetahui dengan tepat apa
yang menyebabkan rasa sakit tersebut. Meskipun pasien kurang mengetahup
penyebabnya, pemeriksa dapat memperoleh informasi yang berharga yang berguna dalam
perawatan. Sebagai contoh, pertanyaan ini dapat menunjukkan emosi pasien terhadap
rasa sakit. Yang terpenting, pemeriksa harus mengetahui apakah pasien merasa jika
kesalahan perawatan atau praktisi lain yang menyebabkan rasa sakit. Tipe emosi ini
sangat mempengaruhi hasi perawatan selanjutnya.
Karakteristik rasa sakit perlu dijelaskan dengan tepat oleh pasien berdasarkan
kualitas, sifat, intensitas, gejala yang menyertai dan manner of flow.
Sifat sakit biasanya diperiksa berdasarkan frekuensi atau sifat temporal, serta
durasi dan lokalisasinya.
9.2.1.1.3.5. Lokalisasi
Sifat lokalisasi sakit sebaiknya dimasukkan dalam penjelasan sakit. Jika pasien
dapat menjelaskan rasa sakit yang terjadi pada lokasi anatomis yang tepat, maka rasa
sakit diklasifikasikan sebagai sakit localized. Jika lokasi sakit kurang dapat ditunjukkan
oleh pasien, dan terasa sama-sama dan memiliki lokasi anatomis yang bervariasi, maka
disebut sakit diffuse. Rasa sakit yang cepat berubah disebut rasa sakit radiating.
Ekaserbasi luka potong sementara biasanya disebut sakit menusuk. Rasa sakit yang
mengalami perubahan secara perlahan disebut rasa sakit yang menyebar, dan jika rasa
sakit mencapai daerah anatomis disekitarnya, maka rasa sakit disebut enlarging. Jika rasa
sakit berpindah-pindah dari satu lokasi ke lokasi lain, maka keluhan disebut migrating.
Referred pain dan hiperalgesia sekunder adalah tanda klinis dari sakit sekunder atau
heteropic.
Intensitas sakit sebaiknya diperiksa dengan membedakan antara sakit ringan dan
berat. Hal ini dapat dilakukan berdasarkan bagaimana pasien bereaksi terhadap rasa sakit
yang dialami. Sakit ringan berhubungan dengan rasa sakit yang dijelaskan oleh pasien,
tapi tidak tampak reaksi fisik. Sakit berat berhubungan dengan reaksi pasien yang
signifikan terhadap provokasi pada daerah yang sakit. Salah satu metode terbaik untuk
memeriksa intensitas sakit adalah dengan menggunakan visual analog scale. Pasien
diberikan garis dengan tanda “tidak sakit” yang tertulis pada salah satu ujung garis dan
“Sangat sakit” pada ujung garis yang lainnya. Pasien diminta untuk memberikan tanda
pada lokasi garis yang menjelaskan rasa sakit yang dialaminya. Skala 0 hingga 5 atau 0
hingga 0 dapat digunakan untuk memeriksa intensitas sakit, 0 dianggap tidak sakit dan 10
adalah sangat sakit. Skala ini tidak hanya membantu untuk pemeriksaan sakit awal tapi
juga berguna pada kunjungan follow-up untuk memeriksa keberhasilan atau kegagalan
terapi.
Seluruh gejala yang menyertai seperti efek sensoris, motoris, atau autonomic yang
menyertai rasa sakit juga perlu diperiksa. Sensasi seperti hyperesthesia, hypoesthesia,
anesthesia, paresthesia atau dysesthesia perlu diperiksa. Perubahan fungsi indra khusus
mempengaruhi penglihatan, pendengaran, penciuman, dan pengecapan perlu diperiksa.
Perubahan motoris yang tampak berupa kelemahan otot, kontraksi muscular, atau spasme
juga perlu diperiksa. Gejala autonomic lokal perlu diperiksa dan diuraikan. Gejala ocular
dapat meliputi lacrimasi, injeksi conjunctiva, perubahan papillary, dan edema kelompak
mata. Gejala pada nasal dapat meliputi sekresi nasal dan hidung tersumbat. Gehala
kutaneous meliputi peningkatan temperature kulit, warna pada kulit, keringan dan
piloereksi. Gejala gastik meliputi nausea dan gangguan pencernaan.
Rasa sakit dapat dipicu oleh stimulasi superficial minor seperti sentuhan atau
pergerakan kulit, bibir, wajah, lidah atau tenggorokan. Jika rasa sakit terpicu oleh
aktivitas tersebut, maka sebaiknya pemeriksa membedakan antara stimulasi jaringan yang
secara tidak sengaja terstimulasi dan menyebabkan gerakan fungsional sendi atau otot itu
sendiri. Stimulasi superficial minor merupakan pemicu sakit nyata, sedangkan pergerakan
fungsional tersebut adalah induksi sakit. Perbedaan ini dapat ditegakkan dengan
mengstabilkan sendi dan otot dengan menggunakan bite block untuk mencegah
pergerakan sendi pada saat menggerakkan atau mengstimulasi struktur lain. Jika masih
meragukan, pemeriksaan dapat dilakukan dengan menggunakan anastesi lokal. Anastesi
topical pada tenggorokan dapat secara efektif menahan rasa sakit pada nervu
glossopharyngeal. Anastesi block mandibula dapat menahan rasa sakit pada bibir bawah
dan lidah. Anastesi infraorbital dapat menahan rasa sakit pada bibir atas dan kulit rahang
atas. Seluruh prosedur anastesi ini tidak dapat mencegah rasa sakit pengunyahan.
Pasien perlu ditanyakan mengenai efek panas atau dingin terhadap rasa sakit.
Pasien perlu ditanyakan apakah pasien pernah melakukan perawatan lain seperti pijatan
atau terapi TENS (transcutaneous electrical neural stimulation), dan jika ya, bagaimana
hasil yang diperoleh. Hasil terapi terseut dapat memberikan informasi mengenai tipe dan
responsivitas terapi terhadap rasa sakit.
9.2.1.1.4.3. Medikasi
Terdapat hubungan antara beberapa rasa sakit dan kualitas tidur pasien. Sebab itu,
sangat penting untuk memeriksa kualitas tidur pasien. Pasien yang melaporkan kualitas
tidur yang buruk sebaiknya dicurigai mengenai hubungan kualitas tidur tersebut dengan
rasa sakit. Catatan khusus perlu dilakukan jika pasien melaporkan terbangun pada malam
hari dan merasa sakit atau jika rasa sakit terjadi sehingga membangunkan pasien.
Seperti yang diuraikan sebelumnya, beberapa pasien dapat melaporkan lebih dari
satu keluhan sakit. Jika terdapat lebih dari satu keluhan, dokter perlu memeriksa tiap
aspek dari tiap-tiap keluhan secara terpisah. Setelah tiap-tiap keluhan diperiksa
berdasarkan criteria yang telah disebutkan di sebelumnya, hubungan satu keluhan dengan
keluhan lain perlu ditetapkan. Terkadang, suatu keluhan sakit dapat disebabkan oleh
keluhan lain. Pada kasus ini, perawatan keluhan sakit primer yang efektif juga akan
mengobati keluhan sakit sekunder. Pada kasus lain, satu keluhan tidak bergantung dengan
keluhan lain. Jika hal ini terjadii, terapi individual perlu dilakukan untuk masing-masing
keluhan. Pemeriksaan hubungan antara keluhan ini sangat penting dan sangat bergantung
pada riwayat pasien.
9.2.1.2. Riwayat Medis
Karena rasa sakit dapat berupa gejala yang berhubungan dengan sejumlah
penyakit dan kelainan fisik, maka pemeriksaan kondisi medis dahulu dan sekarang sangat
penting. Penyakit serius yang pernah diderita, rawat inap, operasi, medikasi atau
perawatan signifikan lainnya perlu dibahas dalam hubungannya dengan keluhan sakit saat
ini. Jika diindikasikan, dokter yang melakukan perawatan perlu dihubungi untuk
mendapatkan informasi tambahan. Selain itu, perawatan yang dianjurkan bagi pasien
dapat didiskusikan dengan dokter pasien jika pasien menderita masalah kesehatan
signifikan.
Riwayat lengkap juga perlu mencakup pertanyaan mengenai status sistem tubuh
umum pasien. Pertanyaan yang diberikan sebaiknya memeriksa mengenai status
kesehatan pasien saat ini yang meliputi sistem tubuh berikut ini: cardiovascular (meliputi
paru-paru), pencernaan, ginjal, hati, dan sistem nervus perifer dan pusat. Kelainan dalam
sistem perlu dicata, dan dilakukan pemeriksaan hubungan kelainan tersebut dengan
keluhan sakit pasien.
Jika rasa sakit menjadi kronis, maka umumnya terjadi faktor psikologis yang
berhubungan dengan keluhan sakit. Pemeriksaan psikologis rutin tidak diperlukan pada
sakit akut; namun, pada sakit kronis, pemeriksaan ini sangat penting. Terkadang sangat
sulit bagi praktisi umum untuk memeriksa faktor psikologis dengan baik. Untuk itu,
perawatan pasien dengan sakit kronis yang terbaik dilakukan dengan melakukan
pendekatan multidisiplin.
Alat lain yang dapat digunakan adalah Symptom Check List 90 (SCL-90).
Pemeriksaan ini mencakup pemeriksaan delapan kondisi psikologis: somatisasi, perilaku
obsesif-kompulsif, sensitivitas interpersonal, depresi, anxietas, hostilitas, anxietas phobic,
ideasi paranoid, dan psychoticism. Pemeriksaan faktor ini penting dalam memeriksa
pasien dengan sakit kronis.
Terkadang, praktisi umum tidak dapat memiliki akses langsung untuk bantuan
pemeriksaan psikologis. Pada kasus ini, praktisi dapat menggunakan IMPATH atau skala
TMJ. KEdua skala ini telah dikembangkan untuk digunakan dalam praktek gigi pribadi
untuk membantu pemeriksaan faktor psikologis klinis dan tertentu yang berhubungan
dengan nyeri orofacial. Skala ini dapat membantu dokter gigi untuk mengidentifikasi
apakah masalah psikologis merupakan aspek penting dari kondisi sakit pasien. Meskipun
skala ini membantu, namun skala ini kurang lengkap dibandingkan uji psikologis yang
disebutkan sebelumnya dan tentu saja tidak dapat menggantikan pemeriksaan dari ahli
psikologis.
Nervus cranial pertama memiliki fiber sensoris yang berasal dalam membrane
mucous rongga hidung dan memberikan sensasi penciuman. Nervus ini diperiksa dengan
meminta pasien untuk mendeteksi perbedaan antara bau peppermint, vanilla, dan coklat.
(Sebaiknya bahan ini tersedia di klinis sehingga dapat membantu pemeriksaan). Dokter
juga harus menentukan apakah hidung pasien tersumbat atau tidak. Hal ini dapat
dilakukan dengan meminta pasien untuk bernafas melalui hidung ke arah kaca. Embun
yang terbentuk pada kaca dari kedua lubang hidung menunjukkan aliran udara yang
adekuat.
Nervus cranial kedua, juga merupakan nervus sensoris, dengan fiber yang berasal
dalam retina, memberikan indra penglihatan. Nervus ini dapat diuji dengam meminta
pasien untuk menutup salah satu mata dan membaca beberapa kalimat. Mata yang
satunya diperiksa dengan cara yang sama. Bidang pandangan juga diperiksa dengan
berdiri dibelakang pasien dan dengan perlahan menggerakkan jari anda dari belakang di
sekeliling pandangan (Gbr. 9-2). Pasien memberitahukan jika telah melihat jari anda.
Secara normal, tidak terdapat perbedaan pandangan kanan dan kiri.
Nervus cranial ketiga, keempat, dan keenam, mengsuplai fiber motoris pada otot
ekstraocular, diperiksa dengan meminta pasien untuk mengikuti jari pasien dimana dokter
menggerakkan tangan membentuk huruf X (Gbr. 9-3). Kedua mata seharusnya bergerak
secara perlahan dan serentak pada saat mengikuti gerakan jari. Pupil memiliki ukuran
seimbang, bulat dan bereaksi dengan cahaya dengan cara konstriksi. Refleks akomodasi
diuji dengan meminta pasien untuk mengubah focus dari objek jauh ke objek dekat. Pupil
seharusnya berkontriksi jika objek (jari) mendekati wajah pasien. Pupil tidak hanya
berkontriksi terhadap cahaya langsung, tapi juga berkontruksi terhadap cahaya yang
diarahkan pada mata lain (reflex cahaya konsensual) (Gbr. 9-4).
Nervus cranial kelima adalah nervus sensoris (dari wajah, kulit kepala, hidung
dan mulut) dan motoris (otot pengunyahan). Input sensoris diuji dengan mengesekkan
wajah dengan cotton tip secara bilateral pada tiga regio: dahi, pipi dan rahang bawah
(Gbr. 9-5). Pemeriksaan ini akan gambaran kasar mengenai fungsi cabang ophithalmic,
maksilaris, dan mandibularis dari nervus trigeminal. Pasien seharusnya memberikan
penjelasan sensasi yang serupa pada tiap-tiap sisi. Nervus trigeminal juga memiliki fiber
sensoris dari kornea. Refleks kornea dapat diuji dengan memeriksa kedipan respon pasien
terhadap sentuhan ringan pada kornea dengan cotton pellet steril atau tissue. Input
motoris kasar diuji dengan meminta pasien menggigitkan rahang dan memeriksa otot
masseter dan temporal (Gbr. 9-6). Otot seharusnya memberikan kontraksi seimbang
secara bilateral.
Gbr. 9-4
Kontriksi pupil dapat terlihat jika cahaya diarahkan ke mata. Pupil mata tetangga
juga berkontrksi, menunjukkan reflex cahaya consensual.
Gbr. 9-5.
Gbr. 9-6.
Fungsi motoris nervus trigeminal diuji dengan memeriksa kekuatan kontraksi otot
masseter. Pasien diminta untuk mengigit pada saat dokter memeriksa keseimbangan
kontraksi otot masseter kanan dan kiri. Pemeriksaan ini juga dilakukan untuk otot
temporalis.
Nervus cranial ketujuh adalah nervus sensoris dan motoris. Bagian sensoris,
mengsuplai sensasi pengecapan dari bagian anterior lidah, diuji dengan meminta pasien
untuk membedakan garam dan gula dengan menggunakan ujung lidah. Bagian motoris,
yang menginervasi otot ekspresi facial, diuji dengan meminta pasien untuk mengangkat
kedua alis mata, tersenyum, dan menunjukkan gigi bawah. Pada saat pergerakan ini,
perbedaan bilateral harus dicatat.
Gbr. 9-7
Pendengaran dapat diperiksa dengan menggosokkan rambut dengan jari dan ibu
jari di dekat telinga pasien dan memeriksa sensitivitas pendengaran kanan dan kiri.
Nervus cranial kedua mengsuplai fiber motoris ke lidah. Untuk menguji nervus
ini, minta pasien untuk mendorong lidah dan perhatkan jika terjadi deviasi lateral yang
tidak terkontrol atau konsisten. Kekuatan lidah juga dapat diperiksa dengan meminta
pasien untuk mendorong tongue blade ke lateral.
Gbr. 9-8.
Fungsi nervus aksesoris spinal (motoris) pada sternocleidomastoid diuji dengan
meminta pasien untuk menggerakkan kepala yang telah diberi resistensi ke arah kanan
dan kiri. Sisi kanan dan kiri seharusnya memiliki kekuatan yang seimbang.
Sekitar 90% pasien dengan keluhan nyeri TMJ juga mengeluhkan gangguan
telinga. Jarak telinga yang dekat dengan TMJ dan otot pengunyahan, serta innervasi
trigeminal yang sama, menyebabkan seringnya terjadi referred pain. Meskipun hanya
beberapa dari pasien ini yang juga menderita penyakit telinga, maka sangat penting utnuk
memeriksa penyakit tersebut dan mengkonsul pasien untuk menjalani perawatan yang
tepat. Dokter gigi yang merawat TMD sebaiknya terampil dalam memeriksa telinga
untuk mendeteksi patologi umum. Pendengaran diperiksa dalam pemeriksaan nervus
cranial kedelapan. Infeksi meatus auditorius eksternal (otitis ekstrernal) dapat
diidentifikasi dengan menekan tragus. Jika penekanan ini menimbulkan rasa sakit, maka
diperiksa terjadi infeksi telinga eksternal dan pasien sebaiknya dikonsul pada
otolaryngologist. Otoscope diperlukan untuk melihat membrane tympani untuk
memeriksa terjadinya inflamasi, perforasi atau cairan (Gbr. 9-9).
Gbr. 9-9.
Otoscope digunakan untuk melihat saluran telinga eksternal dan membrane
tympani. Jika dicurigai terjadi hal abnormal, pasien sebaiknya dikonsul pada
otolaryngologist untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Perlu diingat bahwa peranan dokter gigi hanya semata-mata untuk melakukan
pemeriksaan penyakit telinga dengan pemeriksaan otologis. Temuan yang meragukan
sebaiknya dikonsul pada otolaryngologist untuk pemeriksaan lebih lanjut. Sebaliknya,
temuan normal dari pemeriksaan otologic dapat dianggap sebagai dukungan untuk
mencari sumber sakit atau disfungsi utama.
Seperti yang dijelaskan dalam Bab 2, nyeri dan disfungsi cervicospinal dapat
disebabkan oleh struktur pengunyahan. Karena hal ini sering terjadi, maka sangat penting
untuk memeriksa leher untuk rasa sakit atau kesulitan pergerakan. Pemeriksaan screening
sederhana untuk kelainan craniocervical dapat dengan mudah dilakukan, Mobilitas leher
diperiksa untuk kisaran gerakan dan gejala. Pasien diminta untuk melihat ke sebelah
kanan dan kemudian ke kiri (Gbr. 9-10A). Rotasi yang terjadi minimal sebesar 70 derajat.
Kemudian pasien diminta untuk melihat ke atas sejauh mungkin (ekstensi) (Gbr. 9-10B)
dan kemudian ke bawah mungkin (fleksi) (Gbr. 9-10 C). kepala secara normal bergerak
ke bawah sebesar 60 derajat dan ke atas sekitar 45 derajat. Akhirnya, pasien diminta
untuk membengkokkan leher ke kanan dan kiri (Gbr. 9-10D). Gerakan ini secara normal
dilakukan kurang lebih 40 derajat. Jika terjadi sakit, dan keterbatasan pergerakan, maka
dilakukan pemeriksaan teliti untuk menentukan apakah sumber sakit berasal dari otot
atau tulang belakang. Jika pasien dengan keterbatasan pergerakan dapat diregangkan
secara pasien hingga menghasilkan gerakan yang lebih luas, hal ini mungkin disebabkan
oleh muscular. Pasien dengan gangguan tulang belakang umumnya tidak dapat
diregangkan. Jika dokter mencurigai bahwa pasien menderita gangguan craniocervical,
maka konsul untuk pemeriksaan lengkap (cervicospinal) diindikasikan. Hal ini penting
karena kelainan craniocervikal sangat berhubungan dengan gejala TMD.
Setelah nervus cranial, telinga dan daerah cervicospinal diperiksa, maka
dilakukan pemeriksaan sistem pengunyahan. Pemeriksaan pengunyahan meliputi
pemeriksaan tiga struktur utama: otot, sendi dan gigi. Pemeriksaan otot digunakan untuk
memeriksa kesehatan dan fungsi otot. Pemeriksaan TMJ digunakan untuk memeriksa
kesehatan dan fungsi sendi. Dan pemeriksaan oklusal digunakan untuk memeriksa
kesehatan dan fungsi gigi dan struktur pendukungnya.
Rasa sakit tidak berhubungan dengan fungsi normal atau palpasi otot sehat.
Sebaliknya, tanda klinis gangguan jaringan otot yang paling sering terjadi adalah sakit.
Kondisi yang menyebabkan gangguan atau jaringan otot tidak sehat adalah penggunaan
otot yang berlebihan atau trauma fisik seperti peregangan yang berlebihan atau benturan
pada jaringan otot itu sendiri. Sering kali, otot pengunyahan terganggu oleh karena
peningkatan aktivitas. Jika jumlah dan durasi kontraksi meningkat, maka kebutuhan
fisiologis jaringan otot juga meningkat. Namun, peningkatan tonisitas otot atau
hiperaktivitas dapat menyebabkan penurunan aliran darah dalam jaringan otot,
menurunkan aliran substansi nutrisi yang diperlukan untuk fungsi sel normal serta produk
sisa metabolit akan berakumulasi dalam otot. Akumulasi produk sisa metabolit ini dan
substansi algogenik lainnya dianggap menyebabkan sakit pada otot. Saat ini, diketahui
bahwa sistem nervus sentralis dapat menyebabkan myalgia dengan inflamasi neurogenik
Pasien diminta untuk melihat kanan dan kiri (A), pasien diminta untuk melihat ke
atas (B), melihat ke bawah (C), dan melengkungkan leher ke kanan dan kiri (D).
Dalam myalga tahap awal hanya tampak selama gerakan fungsi otot. Jika
hiperaktivitas terus terjadi, maka myalgia dapat terjadi dalam waktu dalam waktu lama
dan menyebabkan rasa sakit aching tumpul yang terkadang menyebar pada seluruh otot.
Rasa sakit dapat membatasi pergerakan fungsional mandibula. Derajat dan lokasi sakit
dan nyeri otot dapat diketahui pada saat pemeriksaan otot. Otot dapat diperiksa dengan
palpasi langsung atau dengan manipulasi fungsional.
9.3.5.1. Palpasi Otot
Metode yang paling sering digunakan dalam pemeriksaan nyeri dan sakit otot
adalah dengan palpasi digital. Otot yang sehat tidak menunjukkan nyeri atau sakit jika
dipalpasi. Deformasi jaringan otot rusak pada saat palpasi otot spesifik, dapat
menunjukkan bahwa otot jaringan tersebut mengalami gangguan oleh karena trauma atau
kelelahan.
Palpasi otot umumnya dilakukan dengan permukaan palmar jari tengah, dengan
jari telunjuk memeriksa daerah di sekitar otot. Tekanan pelan tapi kuat diaplikasikan pada
otot yang ingin diperiksa, dengan jari menekan jaringan di sekitar dengan gerakan
memutar. Satu tekanan dengan durasi 1 atau 2 detik biasanya lebih baik dibandingkan
beberapa tekanan ringan. Selama palpasi, pasien ditanyakan apakah merasa sakit atau
tidak.
Untuk pemeriksaan otot bermanfaat, derajat rasa tidak nyaman terhadap pasien
diperiksa dan direkam. Hal ini terkadang sulit dilakukan. Rasa sakit bersifat subjektf dan
dirasakan dan ditunjukkan secara berbeda dari satu pasien dengan pasien yang lain.
Namun derajat ketidaknyamanan dalam struktur sangat penting untuk mengetahui
gangguan sakit pasien, serta merupakan metode yang sangat bail untuk memeriksa efek
perawatan. Sebab itu pemeriksaan dilakukan bukan hanya untuk mengidentifikasi otot
yang sakit tapi juga untuk mengklasifikasikan tingkat rasa sakit. Jika otot dipalpasi,
respon pasien dikelompokkan menjadi empat kategori. Nol (0) diberikan jika otot
dipalpasi dan tidak terdapat rasa sakit atau nyeri yang dilaporkan oleh pasien. Angka 1
diberikan jika pasien mengatakan bahwa palpasi memberikan rasa tidak nyaman (nyeri
atau sakit). Angka 2 diberikan jika pasien merasakan rasa tidak nyaman yang cukup
menganggu pasien. Angka 3 diberikan jika pasien menunjukkan reaksi menghindar atau
mengeluarkan air mata atau menolak untuk melakukan palpasi pada daerah tersebut. Rasa
sakit atau nyeri tiap-tiap otot direkam pada lembar pemeriksaan, yang akan membantu
diagnosis dan kemudian digunakan dalam pemeriksaan dan perkembangan perawatan.
Pemeriksaan otot lengkap sebaiknya tidak hanya mengidentifikasikan nyeri dan
sakit otot secara umum tapi juga titik picu hipersensitif kecil yang berhubungan dengan
nyeri myofascial. Seperti yang dikatakan pada Bab 2 dan 8, titik picu berperan sebagai
sumber rasa sakit dalam yang dapat menghasilkan efek eksitatori sentralis. Daerah ini
harus diperiksa dan dicatat. Untuk melokalisasi titik picu, pemeriksa melakukan palpasi
pada seluruh otot. Nyeri otot generalized biasanya tidak terjadi pada otot dengan titik
picu. Pada saat pencatatan hasil pemeriksaan, sangat penting untuk membedakan antara
sakit otot generalized dan sakit titik picu karena terkadang diagnosis dan perawatan yang
berbeda.
Jika titik picu diketahui, pemeriksa sebaiknya menentukan apakah terdapat pola
referred pain. Tekanan dapt diaplikasikan pada titik picu selama 4 hingga 5 detik, dan
pasien ditanyakan apakah rasa sakit yang dirasakan menyebar. Jika pola referred pain
dilaporkan, maka perlu dituliskan pada gambar wajah untuk acuan perawatan selanjutnya.
Pola referred pain sering membantu dalam mengidentifikasi dan mendiagnosa konsidi
sakit tertentu.
Pemeriksaan otot rutin meliputi palpasi otot atau kelompok otot berikut ini:
temporalis, masseter, sternocleidomastoideus, dan cervical posterior (yaitu splenius
capitis dan trapezius). Untuk peningkatan efisiensi pemeriksaan, otot kanan dan kirir
dipalpasi secara bersama-sama. Tehnik palpasi masing-masing otot akan dijelaskan.
Pemahamanan anatomy dan fungsi otot sangat penting untuk palpasi yang tepat (lihat
Bab 1).
9.3.5.1.1. Temporalis
Otot temporalis dibagi menjadi tiga daerah fungsional, dan sebab itu masing-
masing daerah dipalpasi secara terpisah. Regio anterior dipalpasi di atas lengkung
zygomatic dan anterio dari TMJ (Gbr. 9-11A). Otot pada regio ini berjalan dalam arah
vertical. Regio tengah dipalpasi langsung di atas TMJ dan superior dari lengkung
zygomatic (Gbr. 9-11B). Otot pada regio ini berjalan dalam arah oblique melintasi aspek
lateral tengkorak. Regio posterior dipalpasi di atas dan dibelakang telinga (Gbr. 9-11C).
Otot ini berjalan ke arah horizontal.
Jika terdapat keraguan mengenai penempatan jari yang tepat, pasien diminta
untuk mengatupkan rahang. Otot temporalis akan berkontraksi dan serat otot dapat
dirasakan dengan ujung jari. Hal ini akan membantu dalam penempatan jari di belakang
pasien dan penggunaan tangan kanan dan kiri untuk melakukan palpasi daerah otot secara
serempak. Pada saat palpasi, pasien ditanyakan apakah merasa sakit atau tidak nyaman,
dan respon pasien diklasifikasikan sebagai 0, 1, 2, dan 3, berdasarkan criteria yang telah
diuraikan sebelumnya. Jika titik picu ditemukan, maka hal ini harus dicatat dalam lembar
pemeriksaan disertai dengan pola referred pain.
Pada saat pemeriksaan otot temporalis, sangat penting juga untuk melakukan
palpasi tendon otot. Serat otot temporalis berjalan ke inferior untuk menutup tendon yang
melekat pada prosesus coronoid mandibula. Beberapa TMD umumnya menyebabkan
tendonit temporalis yang dapat menyebabkan rasa sakit pada bodilus mandibula, serta
referred pain di sekitar matas (nyeri retroorbital). Tendon temporalis terpalpasi dengan
meletakkan jari tangan secara intraoral pada tepi anterior ramus dan jari lain secara
ekstraoral pada daerah yang sama. Jari intraoral bergerak ke atas mengarah ke tepi
anterior ramus hingga prosesus coronoid dan tendon terpalpasi (Gbr. 9-12). Pasien
ditanyakan apakah merasa sakit atau tidak nyaman.
Gbr. 9-11.
Palpasi regio posterior (A), tengah (B) dan anterior (C) otot temporalis.
9.3.5.1.2. Masseter
Otot masseter terpalpasi secara bilateral pada perlekatan superior dan inferior
otot. Pertama-tama, jari diletakkan pada lengkung zygomatic (tepat di anterior dari TMJ).
Jari diturunkan sedikit ke bagian masseter yang melekat pada lengkung zygomatic, tepat
dianterior dari sendi (Gbr. 9-13). Setelah bagian ini (masseter dalam) terpalpasi, jari
diturunkan ke perlekatan inferior pada tepi interior ramus. Daerah palpasi diarahkan
langsung di atas perlekatan masseter (yaitu masseter superficial) (Gbr. 9-13). Respon
pasien direkam.
Jari digerakkan ke tepi ramus hingga pemeriksa merasakan prosesus coronoid dan
perlekatan tendon temporalis.
9.2.5.1.3. Sternocleidomastoideus
Meskipun SCM tidak berfungsi secara langsung dalam pergerakan rahang bawah,
otot ini juga dibahas karena sering menjadi simptomatik dengan TMD dan mudah
terpalpasi. Palpasi dilakukan secara bilateral dekat daerah insersi otot pada permukaan
luar fossa mastoid, dibelakang telinga (Gbr. 9-14A). Seluruh panjang otot dipalpasi,
menurun hingga hampir mendekati clavicula (Gbr. 9-14B). Pasien diminta untuk
melaporkan jika merasa tidak nyaman selama prosedur.
Selain itu, titik picu yang ditemukan pada otot ini perlu dicatat karena sering
menjadi sumber referred pain pada daerah temporal, sendi dan telinga.
Pada saat melakukan palpasi otot ini, jari pemeriksa bergeser ke belakang kepala
pasien. Jari tangan kanan melakukan palpasi pada daerah occipital kanan, dan jari tangan
kiri melakukan palpasi daerah kiri (Gbr. 9-15A) yang merupakan titik awal otot. Pasien
ditanyakan mengenai rasa tidak nyaman yang dirasakan. Jari bergerak ke bawah
sepanjang otot leher melalui daerah cervical (Gbr. 9-15B), dan dilakukan pencatatan
seluruh rasa tidak nyaman yang dirasakan pasien. Sangat penting untuk memeriksa titik
picu pada otot ini karena sering menjadi sumber sakit kepala frontal.
Gbr. 9-13
SLenius capitis dipalpasi untuk rasa sakit atau nyeri umum, serta untuk titik picu.
Perlekatan otot pada tengkorak berupa daerah cekungan di posterior perlekatan SCM
(Gbr. 9-16). Palpasi dimulai pada titik ini dan bergerak ke inferior hingga otot menyatu
dengan otot leher lainnya. Rasa sakit, nyeri atau titik picu direkam.
Gbr. 9-14
Otot trapezius merupakan otot yang sangat besar pada daerah punggung, bahu dan
leher yang (sama seperti SCM dan splenius) tidak secara langsung mempengaruhi fungsi
rahang tapi sering menjadi sumber sakit kepala dan mudah terpalpasi. Tujuan utama
palpasi otot ini bukan untuk memeriksa fungsi bahu tapi untuk mencari titik picu aktif
yang dapat menyebabkan terjadinya referred pain. Otot trapezius umumnya memiliki titik
picu yang menyebakan refer pain pasa wajah. Jika nyeri facial adalah keluhan utama
pasien, otot ini sebaiknya menjadi salah satu otot yang harus diperiksa. Bangan atas
dipalpasi dari belakang SCM, secara inferolateral dari bahu (Gbr. 9-17), dan titik picu
yang ditemukan sebaiknya dicatat.
Gbr. 9-15
A, Palpasi perlekatan otot pada regio occipital leher. B, Jari digerakkan secara
inferior ke daerah cervical, dan otot dipalpasi untuk rasa sakit dan nyeri.
Seperti yang dibahas pada Bab 2, titik picu dapat berada dalam kondisi aktif atau
laten. Jika aktif, titik picu tampak secara klinis berupa daerah hipersensitif spesifik dalam
jaringan otot. Titik picu dapat berupa ikatan otot kecil, kuat dan keras. Jika dalam kondisi
latent, titik picu tidak dapat terdeteksi. Titik picu aktif sering menjadi sumber sakit dalam
dan menghasilkan efek eksitatori sentral. Sebab itu, jika terdeteksi referred pain
(heterotropic) maka hal ini sangat bergantung pada kondisi titik picu (sumber sakit). Hal
ini berarti bahwa jika titijj picu aktif distimulasi, referred pain akan meningkat, yang akan
menjadi tanda diagnostic signifikan dalam menghubungkan keluhan sakit dengan
sumbernya. Sebagai contoh, jika keluhan utama pasien sakit kepala, palpasi otot leher
untuk memeriksa titik picu akan menunjukkan sumber sakit tersebut. Jika titik picu
ditemukan, tekanan pada daerah tersebut akan meningkatkan sakit kepala (referred pain).
Gbr. 9-16.
Pola spesifik dari referred pain dari berbagai lokasi titik picu telah diuraikan oleh
Travell dan Simons (lihat Bab 8). Pemahaman daerah referral dapat membantu dokter
yang mencoba untuk mendiagnosa masalah nyeri facial. Seperti yang dibahas dalam
dalam Bab 10, blok anastesi pada titik picu terkadang dapat menghilangkan sakit kepala
referred pain dan sebab itu sangat membantu dalam diagnostic.
Gbr. 9-17.
Sebelumnya, tehnik intraoral dianjukan untuk palpasi pterygoid lateral, tapi tehnik
ini tidak terbukti efektif. Karena lokasi otot yang tidak memungkinkan untuk terpalpasi,
metode kedua untuk memeriksa gejala otot, disebut manipulasi fungsional,
dikembangkan berdasarkan prinsip dimana otot menjadi lelah dan simptomatik, gerakan
fungsional selanjutnya akan menimbulkan rasa sakit. Sebab itu otot yang disertai dengan
aktivitas berlebihan akan menimbulkan rasa sakit baik pada saat kontraksi dan jika
diregangkan, dan dalam kasusini, manipulasi fungsional merupakan satu-satunya tehnik
pemeriksaan yang dapat menunjukkan apakah otot tersebut merupakan sumber sakit.
Pada beberapa kasus, palpasi pada regio pterygoid lateral dan medial dapat
menimbulkan rasa sakit, tapi manipulasi fungsional tidak menimbulkan rasa sakit.
Sebuah penelitian yang membandingkan palpasi dan manipulasi fungsional pterygoid
lateral inferior menunjukkan bahwa 27% kelompok kontrol memiliki rasa sakit pada
palpasi intraoral, tapi tidak ada pasien yang memiliki gejala setelah manipulasi
fungsional. Hal ini menunjukkan bahwa 27% hasil positif-palsu dilaporkan pada palpasi.
Pada penelitian yang sama, sebuah kelompok pasien dengan nyeri orofacial menjalani
pemeriksaan serupa. 69% pasien menderita rasa sakit pterygoid lateral dengan tehnik
palpasi, namun hanya 27% pasien yang menderita rasa sakit dengan manipulasi
fungsional. Pada kasus ini, ditunjukkan bahwa jika palpasi digunakan, pterygoid lateral
dapat menunjukkan rasa sakit sebesar 42% meskipun bukan merupakan sumber sakit
utama. Tidak terdapat pertanyaan bahwa jika daerah posterior dari tuberositas maksilaris
dipalpasi, terjadi insidensi sakit yang tinggi; manipulasi fungsional menunjukkan bahwa
rasa sakit ini tidak berasal dari pterygoid lateral, tapi berasal dari struktur lain.
9.3.5.2.1.1. Kontraksi
9.3.5.2.1.2. Peregangan
Otot pterygoid lateral inferior meregang jika gigi berada dalam posisi intercuspal
maksimus. Sebab itu, jika otot ini merupakan sumber sakit jika pasien menggigit, maka
rasa sakit akan meningkat. Jika tongue blade diletakkan di antara gigi posterior, posisi
intercuspal (ICP) tidak dapat dilakukan dan sebab itu pterygoid lateral inferior tidak
meregang sepenuhnya. Sebab itu, penggigitan separator tidak akan meningkatkan rasa
sakit tapi bahkan menurunkan atau menghilangkan rasa sakit.
Gbr. 9-19
9.3.4.2.2.2. Peregangan
Sama seperti otot pterygoid lateral, peregangan otot pterygoid lateral superior
terjadi pada posisi intercuspasi maksimum. Sebab itu, peregangan dan kontraksi otot ini
terjadi pada aktivitas yang sama, yaitu menggertakkan gigi. Jika pterygoid lateral
superior merupakan sumber sakit, menggertakkan gigi akan meningkatkan rasa sakit
tersebut. Pterygoid lateral superior dapat dibedakan dari sakit otot elevator dengan
meminta pasien untum membuka mulut lebar. Gerakan ini akan meregangkan otot
elevator tapi tidak meregangkan otot pterygoid lateral. Jika pembukaan mulut tidak
menimbulkan rasa sakit, maka rasa sakit saat menggertakkan berasal dari pterygoid
lateral superior. Jika rasa sakit meningkat pada saat membuka mulut, maka rasa sakit
dapat berasal dari otot pterygoid lateral superior dan elevator. Pembedaan rasa sakit
sering sulit dilakukan kecuali pasien dapat membedakan lokasi otot yang sakit.
9.3.5.2.3. Manipulasi Fungsional Otot Pterygoid Medial
9.3.5.2.3.1. Kontraksi
Otot pterygoid medial adalah otot elevator dan sebab itu berkontraksi pada saat
gigi bertemu. Jika otot ini merupakan sumber sakit, menggertakkan gigi akan
meningkatkan rasa sakit. Jika tongue blade diletakkan di antara gigi posterior dan pasien
diminta untuk menggigitnya, rasa sakit masih akan meningkat karena otot elevator masih
berkontraksi.
9.3.5.2.3.2. Peregangan
Otot pterygoid medial juga meregang jika mulut dibuka lebar. Sebab itu, jika otot
ini merupakan sumber sakit, pembukaan mulut dengan lebar akan meningkatkan rasa
sakit.
Jika sumber otot merupakan sumber sakit utama, manipulasi fungsional akan
membantu dalam mengidentifikasi sumber ini. Namun, rasa sakit yang dihasilkan selama
manipulasi fungsional tidak selalu berarti bahwa sumber sakit telah diketahui. Gejala
referred pain seperti hiperalgia sekunder dapat menyebabkan gejala sakit pada saat fungsi
otot. Pada kasus ini, manipulasi fungsional hanya mengidentifikasi daerah sakit, dan
bukan sumber sakit. Block anastesi dapat diperlukan untuk membedakan sumber sakit
dari daerah tertentu (lihat Bab 10).
Hasil ini tampak logis tapi membingungkan karena hasil yang diperoleh serupa
jika otot pterygoid lateral inferior yang menjadi daerah sakit. Sebab itu, uji kelima harus
dilakukan untuk membedakan otot pterygoid lateral inferior dari sakit intracapsular. Hal
ini dapat dilakukan dengan meletakkan separator di antara gigi posterior di sisi yang
sakit. Pasien diminta untuk menggigit separator dan kemudian melakukan gerakan
protrusi untuk mendorong tahanan. Jika kelainan intracapsular merupakan daerah sakit,
rasa sakit tidak akan meningkat (atau mungkin akan menurun) karena penggigitan
separator akan menurunkan tekanan interarticular dan akan menurunkan tekanan pada
struktur yang mengalami inflamasi. Namun, lontraksi pterygoif lateral inferior akan
meningkat pada saat pergerakan protrusif dan sebab itu rasa sakit akan meningkat jika
otot ini merupakan sumber sakit.
Pemeriksaan otot tidak lengkap hingga efek fungsi otot terhadap rahang bawah
telah diperiksa. Kirasan normal pembukaan otot jika diukur secara interinsisal adalah
antara 53 dan 58 mm. Anak usia 6 tahun dapat melakukan pembukaan mulut maksimum
sebesar 40 mm atau lebih. Karena gejala otot sering meningkat pada saat gerakan
fungsional, maka terkadang diasumsikan sebagai keterbatasan pergerakan mulut. Pasien
diminta untuk membuka mulut secara perlahan hingga sakit dirasakan untuk pertama kali
(Gbr. 9-20A). PAda titik ini, jarak antara tepi insisal gigi anterior atas dan bawah diukur.
Jarak ini adalah batas pembukaan mulut yang nyaman bagi pasien. Kemudian pasien
diminta untuk membuka mulut secara maksimal (Gbr. 9-20B). Jarak ini dianggap
pembukaan mulut maksimum. TIdak tidak terjadi rasa sakit m maka jarak pembukaan
mulut yang nyaman bagi pasien dan pembukaan mulut maksimal akan sama.
A. Pasien diminta untuk membuka mulut hingga merasakan sakit untuk pertama
kali. Pada titik ini, jarak antara tepi insisal gigi anterior diukur. Pengukuran ini disebut
pembukaan mulut maksimum yang masih terasa nyaman bagi pasien. B, pasien kemudian
diminta untuk membuka mulut selebar mungkin meskipun terasa sakit. Pengukuran ini
disebut pembukaan mulut maksimum.
Tekanan yang pelan tapi kuat diberikan pada insisivus bawah sekitar 10 hingga 15
detik. Peningkatan pembukaan rahang bawah menunjukkan end feel lunak (biasanya
berhubungan dengan kelainan otot pengunyahan).
Jalur garis median rahang bawah selama pembukaan maksimum juga diperiksa.
Pada sistem pengunyahan yang sehat, tidak terdapat perubahan dalam jalur pembukaan
mulut yang lurus. Perubahan dalam pembukaan mulut juga dicatat. Terdapat dua jenis
perubahan yang dapat terjadi: deviasi dan defleksi. Deviasi adalah pergeseran garis
median rahang bawah selama pembukaan mulut yang tidak terjadi seiring pergerakan
rahang bawah (kembali ke garis median) (Gbr. 9-23). Kelainan ini biasanya disebabkan
oleh kerusakan lemping TMJ pada satu atau kedua sendi dan disebbakan oleh pergerakan
kondil yang harus melalui lemping TMJ pada saat tranlasi. Setelah kondil dapat
mengatasi gangguan ini, garis median akan lurus kembali. Defleksi adalah pergeseran
garis median pada satu sisi yang semakin besar seiring pembukaan mulut dan tidak hilang
pada pembukaan mulut maksimum (tidak kembali ke garis median) (Gbr. 9-23). Hal ini
disebabkan oleh keterbatasan pegerakan pada salah satu sendi. Penyebab hal ini tampak
bervariasi dan perlu diperiksa
A. Psien diperiksa pada posisi intercuspal maksimum, dan daerah insisivus bawah
tepat di bawah garis median antara insisivus sentralis atas. Lokasi ini dapat ditandai
dengan pensil. B, pasien melakukan pergerakan ke kiri secara maksimum dan kemudian
pergerakan laterotrusif kanan maksimum, dan jarak antara tanda dan garis median diukur.
Hal ini akan menunjukkan jarak pergerakan rahang bawah.
Keterbatasan ekstracapusal secara khas terjadi dengan spamse otot elevator. Otot
ini cenderung membatasi translasi dan sebab itu membatasi pembukaan mulut. Namun,
rasa sakit pada otot elevator tidak membatasi pergerakan lateral dan protrusif. Sebab itu
pada tipe keterbatasan ini, tampak pergerakan eccentric normal tapi pembukaan mulut
yang terbatas, umumnya karena rasa sakit. Titik keterbatasan dapat berkisar dari 0 hingga
40 mm secara interinsical. Pada tipe keterbatasan ini, pasien biasanya mampu untuk
meningkatkan pembukaan mulut secara perlahat, tapi rasa sakit akan semakin meningkat
(end feel lunak).
TMJ diperiksa untuk tanda atau gejala yang berhubungan dengan sakit dan
disfungsi. Rafiografi atau tehnik penggambaran lain juga dapat dignakan (lihat
Pemeriksaan DIagnostik Tambahan).
Rasa sakit atau nyeri TMJ ditentukan oleh palpasi digital sendi pada saat rahang
bawah tidak bergerak dan selama pergerakan dinamik. Ujung jari diletakkan di atas aspek
lateral kedua daerah sendi secara serempak. Jika terdapat keragu-raguan mengenai posisi
jari yang tepat, pasien diminta untuk membuka dan menutup rahang selama beberapa
kali. Ujung jari dapat merasakan kutub lateral kondil yang berjalan menurun dan depan
melintasi articular eminences. Setelah posisi jari di atas sendi telah tepat, pasien diminta
untuk mengendurkan otot dan tekanan medial diaplikasikan pada daerah sendi (Gbr. 9-
24A). Pasien diminta untuk melaporkan gejala yang dialami, dan gejala tersebut dicatat
dalam kode numerik yang sama seperti yang digunakan untuk otot. Setelah gejala
diperiksa dalam posisi statik, pasien diminta untuk membuka dan menutup mulut, dan
gejala yang berhubungan dengan pergerakan ini juga direkam (Gbr. 9-24B). Pada saat
pasien membuka mulut secara maksimal, jari pemeriksa sebaiknya berotasi sedikit ke
posterior untuk memberikan tekanan pada aspek posterior kondil (Gbr. 9-24C). Capsulitis
posterior dan retrodiscitis dapat diperiksa dengan menggunakan metode ini.
A. Aspek lateral sendi dengan mulut tertutup. B, Aspek lateral sendi selama
pembukaan dan penutupan mulut. C, Pada saat mulut terbuka penuh, jari digerakkan di
belakang kondil untuk melakukan palpasi aspek posterior sendi.
Disfungsi TMJ dapat dibedakan menjadi dua tipe: bunyi sendi dan keterbatasan
sendi.
9.3.6.2.1. Bunyi Sendi
Seperti yang diuraikan dalam Bab 8, bunyi sendi dapat berupa click atau crepitasi.
Bunyi click adalah bunyi tunggal dalam durasi sinkat. Bunyi ini relatif keras, yang
terkadang disebut pop. Krepitasi adalah bunyi yang menyerupai kerikil yang disebut
grating dan complicated. Crepitasi umumnya berhubungan dengan perubahan
osteoarthritic permukaan articular sendi.
Bunyi sendi dapat diperiksa dengan meletakkan ujung jari di atas permukaan
lateral sendi dan meminta pasien untuk membuka dan menutup mulu. Bunyi ini
terkadang dapat dirasakan oleh ujung jari. Pemeriksaan yang lebih teliti dapat dilakukan
dengan menempatkan stethoscope di atas daerah sendi. Jika stethescope digunakan,
dokter harus mengetahui bahwa alat tersebut dapat mendeteksi lebih banyak suara
dibandingkan palpasi dan suara tersebut perlu diperiksa. Tidak semua bunyi sendi perlu
dianggap sebagai gangguan yang membutuhkan perawatan (lihat Bab 13). Pada sebagian
besar kasus, tehnik palpasi sudah cukup untuk merekam bunyi sendi.
Tidak hanya karakter bunyi sendi yang direkam (yaitu clicking, crepitasi), tapi
derajat pembukaan mulut juga harus diperiksa (yaitu jarak interincisal) yang berhubungan
dengan bunyi. Yang terpenting adalah apakah bunyi sendi terjadi selama pembukaan atau
penutupan mulut atau dapat didengar (atau dirasakan) selama kedua pergerakan tersebut
(yaitu reciprocal click, lihat Bab 8).
Pemeriksaan bunyi sendi dengan meletakkan jari pada telinga pasien sebaiknya
tidak dilakukan. Telah ditunjukkan bahwa tehnik ini dapat menghasilkan bunyi sendi
yang tidak terjadi selama fungsi sendi normal. Dianggap bahwa tehnik ini menenkan
kartilago saluran telinga terhadap aspek posterior sendi dan jaringan ini menghasilkan
suara atau tekanan akan menggeser lemping, yang menghasilkan bunyi tambahan.
Hasil dari pemeriksaan otot dan TMJ dicatat lembar hasil perawatan (Gbr. 9-25).
Lembar ini memiliki ruangan yang tersedia untuk mencatatan infomasi yang diperoleh
pada kunjungan berikutnya setelah terapi dilakukan, sehingga memungkinkan ahli terapi
untuk melakukan pemeriksaan mengenai efek perawatan terhadap gejala yang terjadi.
Dalam pemeriksaan pasien untuk TMD, struktur gigi harus diperiksa dengan teliti.
Tampilan yang paling penting untuk pemeriksaan gigi adalah stabilitas orthopedic antara
ICP gigi dan posisi TMJ. Pemeriksaan struktur gigi untuk kerusakan yang dapat
menunjukkan adanya gangguan fungsional juga penting dalam perawatan pasien.
Jika pasien menunjukkan kondisi oklusal yang tidak optimal maupun normal,
maka sering diasumsikan bahwa hal ini merupakan faktor yang menyebabkan gangguan
tersebut. Meskipun hal ini tampak logis, namun asumsi ini tidak didukung oleh
penelitian. Sebab itu, pada saat pemeriksaan oklusal, dokter dapat mengamati hubungan
gigi dan mencatat hasil yang ditemukan relatif terhadap kondisi normal dan optimal.
Hasil ini harus disertai dengan hasil pemeriksaan lain untuk menentukan hubungannya
terhadap TMD.
9.3.7.1. Mobilitas
Mobilitas gigi dapat disebabkan oleh dua faktor: kehilangan pendukung tulang
(penyakit periodontal) dan tekanan oklusal besar (traumatic occluson). Jika hal ini terjadi,
kedua faktor perlu dipertimbangkan. Mobilitas gigi diperiksa dengan mengaplikasikan
tekanan bukal dan lingual secara intermittent pada tiap-tiap gigi. Hal ini dapat dilakukan
dengan menggunakan dua pegangan kaca mulut atau satu pengangan kaca mulut dan jari
(Gbr. 9-26). Umumnya, dua jari tidak akan memberikan pemeriksaan yang baik. Sebuah
pengangan kaca mulut diaplikasikan pertama kali ke arah lingual dan kemudian ke bukal.
Gigi diperiksa apakah mengalami pergerakan.
Perlu diketahui, seluruh gigi menunjukkan derajat mobilitas kecil. Hal ini sering
ditemukan pada insisivus rahang bawah. Pergerakan gigi tersebut dapat lebih dari 0.5
mm. Klasifikasi yang sering digunakan untuk mobilitas menggunakan penilaian dari 1
hingga 3. Nilai 1 diberikan jika mobilitas gigi lebih dari nilai normal. Penilaian 2
diberikan jika terjadi pergerakan lebih dari 1 mm dari posisi normal. Penilaian 2
diberikan jika mobilitas lebih dari 1 mm. Jika mobilitas terjadi, maka sangat penting
untuk memeriksa kesehatan perodontal dan perlekatan gingiva gigi. Informasi ini
menentukan penentukan apakah terjadi traumatic occlusion primer atau sekunder.
Traumatic occlusion primer terjadi jika terjadi tekanan oklusal berat yang melebihi
resistensi periodontium sehat, sehingga menyebabkan mobilitas. Traumatic occlusion
sekunder terjadi jika tekanan ringan hingga normal melebihi resistensi periodontium yang
lemah, sehingga menyebabkan mobilitas. Kondisi periodontium lemah disebabkan oleh
kehilangan tulang.
Gbr. 9-25. Lembar pemeriksaan otot dan temporomandibular joint dan hasil
perawatan
9.3.7.1.2. Osteosclerosis
Secara umum, jika jaringan diberikan tekanan yang kuat, maka akan terjadi satu
atau dua proses. Proses tersebut berupa kerusakan, dan menjadi atrophic, atau
memberikan respon terhadap iritasi dengan menjadi hipertropik. Proses yang sama terjadi
pada struktur tulang pendukung gigi. Tulang dapat hilang, menyebabkan pelebaran ruang
periodontal. Pada kasus lain, hal ini dapat memberikan respon dengan aktivitas
hipertrophic dan menyebabkan osteosclerosis. Osteosclerosis adalah peningkatan densitas
tulang dan tampak berupa daerah tulang yang lebih radiopaque. (Gbr. 9-28).
9.3.7.1.3. Hipersementosis
Aktivitas hipertropik juga dapat terjadi pada tingkat sementum, dengan proliferasi
sementum. Hal ini dapat tampak secara radiografis sebagai pelebaran daerah apikal akar
(Gb. 9-29).
9.3.7.2. Pulpitis
Keluhan yang paling sering ditemukan pada pasien yang datang di klinik gigi
adalah sensitivitas gigi atau pulpitis. Sejumlah faktor kausatif mayor dapat menyebabkan
terjadinya gejala ini. Yang paling sering ditemukan adakan berkembangnya karies gigi ke
arah jaringan pulpa. Sebab itu, sangat penting untuk membedakan faktor ini dengan
pemeriksaan gigi dan radiografi yang tepat. Namun, terkadang pasien datang dengan
pulpitis yang tidak menunjukkan etiologi dental atau periodontal yang jelas. Pasien
mengeluhan sensitivitas terhadap perubahan suhu, khususnya dingin. Jika seluruh faktor
kausatif lain telah dikeluarkan, maka dokter harus mempertimbangkan tekanan oklusal
yang besar. Mekanisme dimana tekanan oklusan besar menyebabkan pulpitis masih
belum jelas. Telah ditunjukkan bahwa tekanan besar yang diaplikasikan pada gigi dapat
meningkatkan tekanan darah dan kongesti pasif dalam pulpa, sehingga menyebabkan
pulpitis. Pulpitis kronis dapat menyebabkan nekrosis pulpa. Meskipun beberapa
penelitian lain tidak mendukung konsep ini, namun penelitian klinis menunjukkan
hubungan antara pulpitis dan tekanan oklusal besar.
Pemeriksa harus mengetahui bahwa sakit gigi dapat terjadi meskipun tidak berasal
dari gigi itu sendiri. Jika pasien melaporkan sakit gigi dan pemeriksa tidak dapat
menemukan penyebab lokal, daerah penyebab yang jauh perlu dipertimbangkan. Sakit
gigi yang tidak berasal dari gigi dapat berasal dari otot, vaskular, neural atau sinus.
Sebagian besar sumber non-dental berasal dari otot. Titik picu yang terjadi pada otot
tertentu dapat menimbulkan efek eksitasi yang menimbulkan sakit pada gigi. TIga otot
yang dapat menyebabkan referred pain pada gigi: temporalis, masseter, dan bagian
anterior digastric. Seperti yang ditampilkan pada Gbr. 9-30 A, B, dan C, masing-masing
otot memiliki pola referred pain spesifik. Temporalis biasanya menyebabkan sakit pada
gigi rahang atas tapi juga pada gigi anterior dan posterior, bergantung pada lokasi titik
picu. Masseter hanya menimbulkan referred pain pada gigi posterior tapi juga pada
gigi rahang atas atau bawah, bergantung pada lokasi titik picu. Digastric anterior
menimbulkan referred pain pada gigi anterior bawah saja.
Gbr. 9-30. Refered pain titik picu myofascial pada gigi
Kunci untuk mengidentifikasi referred pain pada gigi adalah provokasi lokal gigi
sakit tidak meningkatkan gejala yang terjadi. Dengan kata lain, panas, dingin, dan/atau
gigitan pada gigi tidak meningkatkan atau merubah sakit. Namun, provokasi lokal titik
picu aktif akan meningkatan gejala sakit gigi. jika pemeriksa mencurigai referred pain
pada gigi, block anastesi gigi dan/atau otot dapat membantu dalam menegaskan diagnosis
(seperti yang dibahasa pada Bab 10). Infiltrasi anastesi lokal di sekitar gigi yang sakit
tidak akan menurunkan rasa sakit, tapi block anastesi titik picu dengan anastesi akan
menganastesi titik picu dan menghilangkan sakit gigi.
Keausan gigi bukan merupakan tanda kerusakan gigi. Hal ini lebih sering
ditemukan pada kasus gangguan fungsional lain pada sistem pengunyahan. Sebagian
besar keausan gigi disebabkan langsung oleh aktivitas parafunsional. Jika ditemukan,
aktivitas fungsional atau parafungsional harus diperiksa. Hal ini dilakukan dengan cara
memeriksa permukaan gigi yang aus (Gbr. 9-31).
Keausan fungsional biasaya terjadi di dekat daerah fossa dan ujung cusp centic.
Permukaan aus ini terjadi pada dataran yang memandu rahang bawah dalam tahap
pengunyahan akhir. Keausan yang ditemukan pada saat pergerakan eccentric sebagian
besar disebabkan oleh aktivitas parafungsional. Untuk mengidentifikasi tipe keausan ini,
maka pasien diminta untuk menutup permukaan aus dan memeriksa posisi rahang bawah
(Gbr. 9-32). Jika posisi rahang bawah dekat dengan ICP, maka keausan itu cenderung
berupa keausan fungsional. Namun, jika posisi eccentric dapat dilakukan oleh pasien,
penyebab keausan lebih cenderung berupa aktivitas parafungsional.
Jika keausan gigi terjadi tapi gigi tetangga yang aus tidak dapat berkontak,
maka perlu dipertimbangkan faktor etiologi lain. Pasien sebaiknya ditanyakan mengenai
kebiasaan oral seperti mengigit pipa atau peniti (Gbr. 9-33A). Dokter juga harus
mengetahui bahwa beberapa gigi tampak aus, namun sebenarnya gigi tersebut mengalami
abrasi kimia. Dengan menyimpan buah asam citric kuat (yaitu lemon) di dalam mulut
atau regurfitasi asam kronis (asam lambung) dapat menyebabkan abrasi kimia (Gbr. 9-33,
B dan C).
Gbr. 9.32. Jika pasien menutup permukaan aus, maka diperoleh posisi laterotrusif rahang
bawah. Hal ini menunjukkan aktivitas parafungsional
9.3.7.4. Abfraksi
Abfraksi adalah lesi servikal nonkaries atau defek yang berbentuk baji pada gigi
(Gbr. 9-34). Sebagian besar abfrakti tampak pada daerah servikal facial atau buka
premolar pertama yang diikuti oleh premolar kedua. Gigi rahang atas dan bawah tampak
mengalami abfraksi dengan tingkat yang sebanding, dengan pengecualian pada kaninus
bawah. Prevalensi berkembangannya abfraksi secara umum meningkat seiring
peningkatan usia. Etiologi abfraksi masih diperdebatkan. Beberapa peneliti mengatakan
bahwa abfraksi disebabkan oleh cekungan akar pada regio servikal dimana pada saat gigi
mendapatkan tekanan oklusal yang besar. Jika hal ini benar, maka aktivitas bruxism akan
cenderung menyebabkan abfraksi. Namun, peneliti lain tidak menemukan korelasi kuat
antara beban oklusal dan abfraksi. Beberapa peneliti menyakini bahwa abfraksi
disebabkan oleh penyikatan gigi yang terlalu kuat. Karena penyebab abfraksi masih
belum jelas, penanganan kasus ini masih belum dapat ditegakkan. Namun, jika pasien
menunjukkan permukaan aus yang luas pada gigi yang juga mengalami abfraksi, maka
dapat dicurigai terjadi hubungan antara kedua kasus tersebut. Dalam kondisi ini, dapat
dipertimbangkan untuk melindungi gigi dengan mengurangi tekanan pada gigi tersebut
(terapi alat oklusal).
Gbr. 9-33.
Pada kasus tertentu, gigi tetangga yang aus tidak dapat berkontak. Jika hal ini
terjadi, maka dapat dicurigai adanya sumber keausan lain. A, Cekungan pada tepi insisal
insisivus sentralis kanan dibentuk oleh kebiasaan membuka tutup botol dengan gigi ini. B
dan C, Abrasi kimia. Pasien ini sering mengisap lemon dan asam citric telah mengabrasi
email secara kimia.
Gbr. 9-34. Defek atau abfraksi pada regio servikal kaninus rahang atas dan premolar
pertama yang dianggap oleh beberapa peeliti disebabkan oleh beban oklusal yang besar.
Pola kontak oklusal gigi diperiksa pada seluruh posisi dan pergerakan mandibula:
posisi CR, ICP, pergerakan protrusig, dan pergerakan laterotrusif kanan dan kiri. Dalam
pemeriksaan kondisi oklusal, perlu diketahui kriteria untuk oklusi fungsional optimal
(lihat Bab 5). Variasi dari oklusi fungsional optimal tersebut dapat (tapi tidak selalu)
berperan sebagai faktor penyebab gangguan fungsional.
Sejumlah tehnik dapat digunakan untuk menentukan kontak oklusal pada gigi.
Terkadang, tampak sangat membantu untuk menanyakan pasien mengenai adanya dan
lokasi kontak gigi. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan untuk menegaskan jawaban pasien
dengan memberikan tanda kontak dengan articulating paper atau ribbon. Jika articulating
paper digunakan, maka sebaiknya gigi dikeringan dengan baik sebelum pemberian tanda
sehingga articulating paper akan memberikan tanda yang baik. Shim stock (Mylar strip
dengan ketebalan 0.0005-inchi) juga membantu dalam mengidentifikasi adanya kontak
oklusal. Tehnik ini dijelaskan dalam bagian Kontak Mediotrusif.
Pada saat pemeriksaan oklusal, perlu diingat bahwa sistem pengunyahan terdiri
dari jaringan yang mampu melengkung, tertekan, dan mengalami perubahan posisi jika
diberikan tekanan. Pemeriksaan model diagnostik pada articulator rigid menyebabkan
dokter gigi meyakini bahwa sistem pengunyahan bersifat rigid.
Namun, hal tersebut bukan merupakan asumsi yang tepat. Kontak oklusal
menyebabkan gigi sedikit bergerak karena ligamentum periodontal dan tulang tertekan.
Sebab itu, untuk memeriksa kondisi oklusal dengan akurat, pemeriksa harus meminta
pasien menutup mulut dengan teliti hingga mencapai titik kontak gigi dan kemudian
melakukan pemeriksaan. Semakin besar tekanan yang diberikan, kontak gigi awal dapat
bergeser. Hal ini akan memungkinkan kontak gigi multipel, yang akan menyamarkan
kontak awal dan tidak memungkinkan untuk menentukan lokasi titik oklusi awal,
khususnya pada CR.
Untuk mencoba penentuan CR, pasien harus merasa santai. Hal ini dapat dibantu
dengan memposisikan pasien untuk berbaris dengan santai di kursi unit. Pilihan kata
orang lain juga dapat membantu. Pemintaan “bersantai” dalam bahasa lazim tidak bersifat
mendukung. Pasien menjalani pendekatan secara perlahan, lemah-lembuh,
menenteramkan hati pasien dan mudah dipahami. Pujian diberikan jika pemeriksaan
berhasil dilakukan.
Dawson telah menjelaskan tehnik efektif untuk panduan mandibula ke dalam CR.
Tehnik tersebut dimulai dengan meminta pasien untuk berbaring dengan dagu mengarah
ke depan (Gbr. 9035). Pengangkatan dagu ke depat menyebabkan kepala dalam posisi
yang paling mudah untuk pemeriksaan posisi CR.
Dokter gigi duduk di belakang pasien, dan empat jari pada masing-masing tangan
diletakkan di tepi bawah mandibula dengan jari kelingking berada di belakang angulus
mandibula. Hal ini sangat penting karena jari dapat ditempaktkan di atas tulang dan
bukan pada jaringan lunak leher (Gbr. 9-35 B dan C). Kemudian, kedua ibu jari
diletakkan di atas symphysis dagu sehingga kedua ibu jari bersentuhan di antara dagu dan
bibir bawah (Gbr. 9-35 D dan E). Pada saat tangan berada dalam posisi ini, mandibula
dipandu oleh tekanan ke depan yang diberikan pada tepi mandibula dan angulus
mandibula dengan jari, pada saat bersamaan, ibu jari menekan ke bawah dan ke belakan
pada dagu. Seluruh tekanan pada mandibula diarahkan sehingga kondil akan duduk di
dalam posisi paling superioanterior tertahan pada slope posterior eminences (Gbr. 9-36).
Tekanan kuat tapi pelan diberikan untuk memandu mandibula sehingga tidak
menimbulkan refleks protektif.
Penentuan lokasi CR dimulai dengan gigi anterior dengan jarak tidak lebih dari 10
mm untuk memasitkan bahwa ligamentum temporomandibular tidak mengalami translasi
kondil yang berlebihan (lihat Bab 1). Mandibula diposisikan dengan arcing lemah hingga
dapat berotasi dengan bebas dalam posisi MS (CR). Arcing ini terdiri dari pergerakan
pendek sebesar 2 hingga 4 mm. Setelah mandibula dapat berotasi dalam posisi CR,
tekanan kuat diberikan oleh jari untuk mendudukan kondil pada posisi paling
superoanterior.
Gbr. 9-35
Gb. 9-36.
Jika tekanan ke bawah diaplikasikan pada dagu (ibu jari) (panah) dan tekanan ke
atas diaplikasikan pada angulus mandibula (jari), kondil akan didudukkan dalam posisi
superoanterior dalam fossa.
Gbr. 9-37
Gbr. 9-38
Untuk membantu menentukan lokasi kontak awal dalam relasi sentrik, pemeriksa
menempatkan articulating paper (dipegang dengan forcep [tang]) di antara gigi pada saat
menutup gigi.
Setelah kontak diketahui, tekanan ringan dapat diaplikasikan oleh pasien untuk
membantu untuk menandai kontak dengan articulating paper. Forcep (tang) digunakan
untuk menahan kertas atau pita penanda (Gbr. 9-38). Jika pasien diminta untuk menutup
mulut, kondil harus dipertahankan dalam posisi paling superioanterior dan pasien dapat
dibantu dengan menuntun gigi hingga berkontak.
Jika kontak awal terjadi, prosedur diulangi untuk membuktikan atau menegaskan
kontak tersebut. Hasil yang diperoleh harus bersifat reproduksibel. Jika kontak terjadi
pada gigi lain, maka CR yang diperoleh tidak akurat dan sebaiknya prosedur diulangi
hingga diperoleh kontak yang reproduksibel. Setelah kontak awal telah akurat, rekam gigi
yang mengalami kontak serta lokasi kontak dicatat. Kontak ini disebut kontak CR awal.
Maloklusi akut adalah perubahan ICP cepat yang secara langsung berhubungan
dengan kelainan fungsional. Pasien mengetahui perubahan ini dan melaporkannya
berdasarkan keinginan sendiri. Maloklusi akut dapat dipicu oleh kelainan otot dan
kelainan intracapsular.
Spasme otot dapat merubah posisi postural mandibula. Jika hal ini terjadi dan gigi
berkontak, kondisi oklusal yang mengalam perubahan dapat dirasakan oleh pasien.
Spasme otot pterygoid lateral inferior dapat menyebabkan kondil pada sisi terssebut
tertarik ke anterior dan medial, menyebabkan disoklusi gigi posterior pada sisi ipsilateral
dan kontak gigi anterior berat pada sisi kontralateral (Gbr. 9-39). Spasme sempurna otot
elevator menyebabkan pasien tidak dapat membuka mulut, namun, spamse parsial otot
elevator hanya memberikan efek ringan. Spasme parsial otot elevator hanya
menyebabkan sedikit perubahan yang dapat tidak terlihat secara klinis. Meskipun tidak
tampak secara klinis, pasien sering mengeluhkan bahwa “giginya tidak sesuai”.
Tidak terdapat perbedaan antara posisi MS sendi dan ICP gigi stabil. Telah
disebutkan bahwa perbedaan kecil (1 hingga 2 mm) umumnya terjadi antara CR dan ICP.
Meskipun hal ini tidak menganggu stabilitas mandibula, namun perbedaan yang lebih
besar dapat menimbulkan gangguan stabilitas mandibula.
Perubahan ini disebabkan oleh spamse unilateral otot pterygoid lateral inferior.
Pasien menjelaskan kehilangan kontak gigi pada gigi posterior ipsilateral dan kontak
berat pada kaninus kontralateral.
Stabilitas oklusal diperiksa dengan memposisikan pasien dalam posisi tegak dan
santai. Pasien menutup mulut secara perlahan hingga kontak gigi pertama. Posisi ini
dipertahankan semetara dokter memeriksa relasi oklusal. Kemudian pasien diminta untuk
menggertakkan gigi. Jika terjadi pergeseran signifikan dalam posisi mandibular dari
kontak gigi ringan ke posisi menggetakkan gigi, maka perlu dicurigai terjadi kekurangan
stabilitas antara sendi dan posisi gigi. Karena pergeseran bergantung pada berbagai
tampilan yang dikendalikan pasien, seperti posisi kepala, dan sikat badan, maka
pemeriksaan sebaiknya diulangi beberapa kali untuk verifikasi hasil. Kurangnya stabilitas
antara posisi intercuspasi dan sendi dapat menjadi faktor yang berperan penting dalam
kelainan susunan lemping. Jika pemeriksaan ini menunjukkan ketidakstabilan orthopedic,
maka hal tersebut harus dibuktikan dengan tehnik pemeriksaan lain yang telah dibahas
sebelumnya. Meskipun tehnik ini dapat membantu, namun sebaiknya dokter tidak terlalu
bergantung pada tehnik ini dalam mendiagnosa ketidakstabilan orthopedic.
A, Kehilangan pendukung articular tulang pada kondil kiri yang disebabkan oleh
osteoarthritis. Hal tersebut menyebabkan terjadinya maloklusi. Pasien mengeluhkan
bahwa pasien hanya dapat merasakan kontak satu gigi posterior kiri. Dengan terjadinya
kehilangan dukungan kondilar, rahang bawah telah bergeser dan terjadi kontak berat pada
sisi tersebut. Daerah tersebut berperan sebagai titik tumpu, memutar mandibula dan
memisahkan gigi posterior pada sisi berlawanan. B, Tampilan sisi kanan. Tidak tampak
kontak gigi posterior.
Dimensi vertikal oklusi merupakan jarak antara lengkung rahang atas dan bawah
pada saat gigi beroklusi. Jarak tersebut dapat dipengaruhi oleh kehilangan gigi, karies,
drifting, dan keausan oklusal. Kondisi umum yang menyebabkan kehilangan dimensi
vertikal terbentuk jika terjadi kehilangan gigi posterior dalam jumlah yang signifikan dan
gigi anterior berperan sebagai stop fungsional untuk penutupan rahang bawah. Gigi
anterior atas tidak dirancang untuk menerima tekanan oklusal berat, dan terkadang gigi
tersebut akan miring ke labial. Ruang terbentuk antara gigi anterior jika dimensi vertikal
menurun (Gbr. 9-42). Hal ini disebut posterior bite collapse dan dapat berhubungan
dengan kelainan fungsionjal. Terkadang, dimensi vertikal mengalami peningkatan
iatrogenic oleh karena restorasi yang terlalu tinggi. Perubahan dalam dimensi vertikal
oklusi, apakah terjadi peningkatan atau penurunan selama pemeriksaan.
(yaitu posterior bite collapse). A, Gigi anterior akan miring ke labial. Hal ini
menyebabkan peningkatan ruang interdental. B, Kemiringan labial gigi anterior atas dan
menyebabkan peningkatan ruang interdental.
A, Kondisi oklusal yang relatif normal. Namun, posisi dan relais oklusal kaninus
atas kanan perlu diperiksa. B, Selama pergerakan laterotrusive kanan, kaninus tidak dapat
memberikan panduan anterior, sehingga menyebabkan kontak mediotrusif pada sisi
kontralateral
Jika gigi anterior beroklusi pada saat pergerakan mandibula eccentric, gigi
anterior terkadang memberikan panduan langsung untuk gigi lainnya. Pada sebagian
besar kasus, gigi tidak berkontak dalam intercsupasi maksimum (open bite anterior).
Sebab itu panduan eccentric diberikan oleh gigi posterior. Jika gigi tersebut berkontak
pada ICP. Ovelap horizontal dan vertikal gigi menentukan efektivitas panduan.
Panduan harus diperiksa untuk efisiensinya dalam disoklusi gigi posterior pada
saat pergerakan eccentric (Gbr. 9-41). Pada beberapa kasus, overlap vertikal tampak
adekuat, tapi terjadi overlap horizontal signifikan yang menahan gigi anterior untuk
berkontak dalam intercuspasi maksimum. Kemudian, rahang bawah harus bergerak
sebelum gigi anterior beroklusi dan panduan dapat dicapai. Panduan pada pasien tersebut
tidak langsung dapat diperoleh dan sebab itu, tidak dianggap efektif (lihat Bab 5).
Efektiitas panduan eccentric dicatat.
Pasien diminta untuk menggerakkan rahang bawah dari posisi ICP menjadi posisi
protrusif. Kontak oklusal diperiksa hingga gigi anterior bawah melewati tepi insisival gigi
anterior atas sepenuhnya atau jarak 8 hingga 10 mm (Gbr. 9-44). Articulating paper dua
warna dapat membantu dalam mengidentifikasi kontak tersebut. Kertas biru dapat
diletakkan di antara gigi dan pasien diminta untuk menutup mulut dan melakukan
gerakan protrusif beberapa kali. Kemudian, kertas mera diletakkan dan pasien sekali lagi
diminta untuk menutup mulut dan menggerakkan gigi dalam posisi ICP. Tanda merah
akan menunjukkan kontak oklusal centric, dan tanda biru yang tidak tertutupi oleh tanda
merah akan menunjukkan kontak protrusif. Seluruh posisi kontak protrusif direkam.
Pasien diminta untuk menggerakkan rahang bawah ke lateral hingga melalui relasi
end-to-end kaninus. Tipe panduan diperiksa. Pasien ini menunjukkan panduan kaninus
yang membuka gigi posterior.
Jika daerah kontak antara gigi yang terjadi berukuran kecil, sistem neuromuskular
dapat dengan mudah menghindari kontak tersebut. Namun, jika daerah tersebut besar,
gerakan refleks tersebut kurang efektif dan kontak akan terjadi (Gbr. 9-46). Karena
kontak ini dapat memegang peranan penting dalam gangguang fungsional, maka sangat
penting untuk mengidentifikasi kontak tersebut dan tidak disamarkan oleh sistem
neuromuskular.
Dalam sebuah penelitian yang meneliti 103 pasien (206 sisi), hanya 29.9% yang
menunjukkan kontak mediotrusif unassisted. Jika pergerakan assisted, maka akan
meningkat hingga 87.8%. Kontak mediotrusif assisted dan unassisted perlu diidentifikasi
karena memberikan pengaruh yang berbeda pada fungsi pengunyahan.
Gbr. 9-47.
Gbr. 9-48
Shim stock atau Mylar strip dapat membantu dalam pemeriksaan kontak
mediotrusif.
Informasi yang paling penting untuk menegakkan diagnosis TMD berasal dari
riwayat dan pemeriksaan. Setelah informasi ini dikumpulkan, diagnosis klinis dapat
ditegakkan. Terkadang, pemeriksaan diagnostik lainnya dapat memberikan informasi
tambahan yang dapat membantu membuktikan atau menentang diagnosis klinis yang
telah ditetapkan. Perlu diingat bahwa pemeriksaan tambahan ini hanya digunakan untuk
mendapatkan informasi tambahan dan tidak pernah bertujuan untuk menegakkan
diagnosis.
Radiografi TMJ dipersulit oleh anatomis dan kondisi teknik yang menghalangan
visualiasi sendi yang jelas dan tidak terhalang. Tampilan lateral murni kondisil tidak
memungkinkan dengan peralatan sinar-X konvensonal karena superimposisi struktur
tulang wajah tengah (Gbr. 9-49). Sebab itu, untuk mendapatkan proyeksi TMJ yang
berhasil, sinar-X harus diarahkan melintasi kepala baik dari bawah wajah tengah dalam
arah superior (tampilan infracranial atau transpharyngeal) atau melalui tengkoral yang
diarahkan inferior di atas wajah tengah pada kondil (transcranial). Dengan menggunakan
proyeksi tomography khusus dapat menghasilkan tampilan lateral murni kondil.
Gbr. 9-49. Tehnik Radiografi Konvensional yang Digunakan untuk Melihat Kondil
Gbr. 9-50
Empat tehnik radiografi dasar yang dapat digunakan dalam klinik gigi untuk
pemeriksaan TMJ: (1) panoramik, (2) transcranial lateral, (3) transpharyngeal, dan d(4)
transmaksilaris (anteroposterior [AP]). Selain itu, tehnik terbaru dapat digunakan jika
membutuhkan informasi tambahan.
Meskipun struktur tulang kondil dapat diperiksa dengan baik, tampilan panoramic
memiliki beberapa keterbatasan. Untuk dapat melihat kondil dengan baik, terkasang
pasien diminta untuk membuka mulut secara maksimal sehingga struktur fossa articularis
tidak akan menghalangi kondil. Jika pasien mengalami keterbatasan pembukaan mulut,
superimposisi akan terjadi. Dengan tehnik ini, kondil merupakan satu-satunya struktur
yang dapat terlihat dengan baik. Fossa articularis terkadang hanya tampak setengah,
namun lebih sering tertutup seluruhnya.
Tampilan transcranial lateral dapat memberikan visualisasi yang baik pada kondil
dan fossa. Dalam beberapa tahun lali, tehnik ini sangat terkenal karena biaya yang
minimal, tehnik ini dapat diadaptasikan dengan sebagian besar tehnik radiografi gigi
umum.
Pasien diposisikan, dan sinar-X diarahkan secara inferior melintasi tenkorak (di
atas wajah tengah) ke TMJ kontralateral dan direkam (Gbr. 9-52). Biasanya sejumlah
proyeksi dilakukan untuk tiap sendi sehingga fungsi sendi dapat diperiksa. Sebagai
contoh, satu proyeksi diperoleh dengan gigi berkontak dalam posisi intercuspasi
maksimum, dan proyeksi lain dengan mulut terbuka maksimal. Interpretasi tampilan
transcranial dimulai dengan memahami sudut yang dibentuk oleh proyeksi.
A. GIgi berkontak, B, Posisi mulut terbuka lebar. C, Kondil dapat terlihat dalam
fossa dengan eminensia articularis mengarah ke anterior. Posterior dari kondil tampak
daerah yang relatif bulat (gelap) adalah meaut auditorius eksternal. Kondil keluar dari
fossa selama pembukaan mulut.
Tampilan ini sama seperti tampilan panoramik. Namun, karena sinar-X diarahkan
dari bawah angulus mandibula atau melalui sigmoid notch, sudut yang dapat
memperoyeksikan kondil tidak sebesar seperti pada tampilan panoramik. Hal ini berarti
bahwa proyeksi yang dihasilkan hampir menyerupai tampilan lateral murni (Gbr. 9-54).
Meskipun tehnik ini dapat menampilkan kondil dengan baik, fossa mandibula biasanya
tidak dapat terlihat sama seperti pada tampilan transcranial.
Tampilan ini juga dapat membantu pemeriksaan. Tampilan ini diperoleh dari
anterior ke posterior dengan mulut terbuka lebar dan kondil keluar dari fossa (Gbr. 9-55).
Jika kondl tidak dapat crest eminensia, maka akan terjadi superimpoisisi tulang
subarticular dan radiografi ini tidak berguna. Jika proyeksi ini dapat dilakukan dengan
baik, maka akan memberikan tampilan tulang subarticular superior kondil dengan baik,
serta kutub medial dan lateral. Proyeksi AP juga memberikan hasil yang baik untuk
pemeriksaan fraktur pada leher kondil.
Gbr. 9-56. Pasien didudukkan di atas unit tomography dengan posisi yang tepat untuk
tomogram temporomandibular joint lateral.
9.3.8.1.1.5. Tomography
Tomogram dapat diperoleh pada interval sagital yang tepat, sehingga potongan
sendi dapat terlihat (kutub lateral, tengah dan medial). Perubahan tulang dan hubungan
fungsional sendi juga dapat terlihat dengan mudah.
9.3.8.1.1.6. Arthrography
Tehnik lain yang telah dikembangkan dalam dekade terakhir ini adalah computed
tomographic (CT) scanning. CT scanner menghasilkan transmisi digital melalui berbagai
jaringan. Data ini dapat diubah ke dalam skala densitas dan digunakan untuk membentuk
atau menyusun gambar visual (Gbr. 9-59A). Teknologi ini dapat merekonstruksi TMJ
dalam gambar tiga-dimensi yang dapat memberikan informasi diagnostik yang lebih baik
(Gbr. 9-59B).
Perkembangan terbaru dari teknologi ini disebut cone beam tomography. Cone
beam tomography dapat menampilkan kondil dalam dataran multipel sehingga seluruh
permukaan dapat terlihat (Gbr. 9-60). Teknologi ini juga mampu melakukan rekonstruksi
gambar tiga-dimensi pasien yang dapat dirotasi pada layar komputer untuk tampilan yang
lebih lengkap (Gbr. 9-61). Cone beam tomography dapat menggambarkan jaringan keras
dan lunak; sebab itu relasi lemping-kondil dapat terlihat dan diperiksa tanpa terganggu
oleh relasi anatomis lainnya.
Namun, CT scan memiliki beberapa kekurangan. Peralatan yang relatif mahal dan
sebba itu tidak selalu dapat terjangkai. CT scan memaparkan lebih banyak radiasi bagi
pasien dibandingkan film yang lebih lebih sederhana, tapi teknologi cone beam baru
memberikan gambar yang lebih baik dengan radiasi yang lebih kecil. Teknologi ini
memberikan berbagai tampilan untuk membantu dokter agar dapat memahami kondisi
pasien dengan lebih baik.
Kerugian MRI adalah sama seperti CT scan. Unit MRI biasanya cukup mahal dan
tidak tersedia dalam klinik gigi tradisional. Teknologi ini juga dapat bervariasi dan sebab
itu kualitas gambar dapat berbeda. Kerugian lain dari MRI adalah umumnya memberikan
gambar statik, meskipun telah ditemukan cine MRI yang memebrikan informasi
mengenai pergerakan lemping dan sendi. Teknologi ini meningkatkan kualitas teknologi
sebelumnya dan dapat mengantikan sejumlah metode penggambaran sebelumnya.
Medium kontras radiopaque telah diinjeksikan ke dalam ruang sendi inferior yang
menggambarkan permukaan inferior lemping articular dalam sendi normal. Pada posisi
mulut tertutup sendi normal (A), medium kontras dapat terlihat di ruang sendi inferior.
Jika mulut terbuka (B), lemping berotasi ke posterior, menekan medium kontras ke dalam
regio posterior ruang sendi inferior. Jika mulut dibuka penuh (C), lemping berotasi ke
posisi posterior maksimum di atas kondil, menekan medium kontras keluar dari regio
anterior ruang sendi. Pada posisi ini, medium kontras hanya terlihat dalam regio posterior
ruang sendi inferior. D hingga F, lemping yang terdislokasi anterio tanpa reduksi. Pada
saat pembukaan mulut, medium kontras masih tertinggal dalam bagian anterior ruang
sendi inferior. Medium masih tertinggal karena lemping mengalami dislokasi dan tidak
dapat berotasi ke posterior kondil.
Dokter perlu mengetahui bahwa terjadinya pergeseran lemping dalam MRI bukan
menunjukkan temuan patologis. Ditunjukkan bahwa antara 26% dan 38% subjek
asimptomasi normal menunjukkan posisi lemping abnormal pada MRI. Penelitian
tersebut menunjukkan bahwa positif palsu dan negatif palsi sering ditemukan dengan
tehnik penggambaran ini, dan sebab itu interpretasi hasil sebaiknya dilakukan dengan
teliti.
Pada kondisi klinis tertentu, terkadang perlu untuk mengetahui apakah terjadi
proses inflamasi aktif dalam TMJ. Radiografi standar dapat menunjukkan bahwa
morfologi kondil telah berubah, tapi radiografi tersebut tidak membantu dalam
menentukan apakah proses tersebut bersifat aktif (osteoarthritis) atau tidak aktif
(osteoarthrosis). Jika informasi ini penting untuk perawatan, scan tulang dapat membantu
dalam pemeriksaan. Scan tulang diperoleh dengan menginjeksikan materi radiolabeled ke
dalam aliran darah yang dapat berkonsentrasi pada daerah tulang yang cepat mengalami
pergantian (Gbr. 9-63). Setelah materi bergerak ke daerah dengan aktivitas tulang tinggi,
maka emisi gambar dilakukan. Tehnik yang digunakan menyerupai singlephoton
emission tunggal compoted tomography (SPECT) untuk mengidentifikasi daerah dengan
peningkatan aktivitas tulang. Namun, tehnik ini tidak dapat membedakan antara
remodeling dan degenerasi tulang. Sebab itu, informasi yang diperoleh harus
digabungkan dengan temuan klinis lainnya.
Gbr. 9-61.
Gambar ini telah direkonstruksi menggunakan teknologi cone beam. Gambar tiga
dimensi ini dapat dirotasi di layar komputer sehingga dokter dapat melihat daerah yang
ingin diperiksa.
A, Jika mulut ditutup, lemping articular (daerah gelap yang dikelilingi oleh
panah) mengalami dislokasi anterior dari kondil. B, Pada saat membuka mulut, lemping
(panah) kembali ke dalam posisi normal di dalam kondil.
Struktur primer terlihat dengan radiografi terbesar adalah komponen tulang dalam
sendi. Bentuk karakteristik struktur tulang dapat menampilkan patologi sendi, namun,
dokter harus mengingat bahwa perubahan dalam bentuk tulang tidak selalu menunjukkan
patologi.
Gbr. 9-63. Scan tulang kepala dan leher menunjukkan konsentrasi konsentrasi materi
radio-labeled tinggi pada temporomandibular joint dan regio maksilaris. Hasil ini
menunjukkan peningkatan aktivitas selular dalam regio tersebut. LP.
Gbr. 9-64.
Gbr. 9-65
Setelah dipahami bahwa jaringan lunak tidak dapat terlihat dalam radiografi,
morfologi komponen tulang sendi dapat diperiksa. Tampilan radiografi permukaan tulang
sendi normalnya halus. Kelainan yang ditemukan sebaiknya dicurigai bahwa perubahan
tulang telah terjadi. Fossa articular dan kondil sebaiknya diperiksa karena perubahan
dapat terjadi pada kedua struktur tersebut.
Sejumlah perubahan sering terjadi pada permukaan subarticular kondil dan fossa.
Erosi tampak seperti kontur permukaan tulang yang bintik-bintik dan yang tidak teratur
(Gbr. 9-66). Seiring perkembangan kelainan, dapat terlihat cekungan yang lebih besar.
Pada beberapa kasus, struktur tulang akan rata (Gbr. 9-67). Jika kondil telah menjadi rata,
kondisi ini disebut lipping dan proyeksi tulang kecil (osteophyte) dapat terbentuk (Gbr. 9-
68 dan Gbr. 9-69). Terkadang, tulang subarticular akan menebal dan osteosclerosis dapat
terlihat di sekitar permukaan articular sendi. Kista subchondral juga dapat tampak seperi
daerah radiolucent pada tulang subarticular.
Gbr. 9-68.
Gbr. 9-69
Osteophyte kondil seperti yang ditampilkan dalam tampilan panoramik (A) dan
dalam tampilan tomographic (B).
Gbr. 6-70
Gbr. 9-71
Kelainan tulang lain yang dapat dengan mudah diketahui adalah ukuran relatif
kondil terhadap fossa (Gbr. 9-72). Kondil yang lebih kecil kurang mampu menahan
beban yang besar dan sebab itu lebih cenderung menunjukkan perubahan osteoarthritic.
Namun, kondil yang kecil tidak menunjukkan kondisi patologis. Hasil ini harus
dihubungkan dengan temuan klinis.
Radiografi juga sangat membantu dalam screening jaringan tulang untuk kelainan
structural yang dapat menimbulkan gejala, yang menyerupai TMD. Tampilan panoramic
sangat berguna untuk hal ini. Kista dan tumor gigi dan tulang dapat terlihat. Sinus
maksilaris juga dapat terlihat. Prosesus styloid dapat terlihat, khususnya dengan panjang
tidak tidak lazim. Terkadang, ligament styloid akan mengalami kalsifikasi dan secara
radiografi tampak cukup panjang (Gbr. 9-73). Prosesus styloid yang memanjang akan
menimbulkan gejala sakit jika prosesus tersebut menekan jaringan lunak leher pada saat
pergerakan kepala normal. Kondisi ini disebut sindrom Eagle dan dapat menyerupai
gejala TMD.
Gbr. 9-72
A, Prosesus styloid yang sangat panjang dan terkalsifikasi tampak dalam proyeksi
panoramic ini. Pasien ini menderita sakit leher submandibula, khususnya pada saat
pergerakan kepala. B, Dalam proyeksi panoramic ini, prosesus styloid besar mengalami
fraktur. Radiolusensi besar pada regio molar bawah disebabkan oleh luka tembak.
Gbr. 9-75
Posisi satu kondil tampak lebih ke posterior di dalam fossa (A), sedangkan posisi
kondil lainnya tampak lebih ke anterior (B). Meskipun tomogram ini menunjukkan
tampilan lateral murni, perbedaan ruang sendi tidak selalu menunjukkan posisi kondil
patologis. Ketebalan lemping (tidak terlihat) dapat menunjukkan ruang sendi yang tidak
seimbang. Hasil ini harus dihubungkan dengan gejala klinis.
Dalam TMJ yang berfungsi normal, kondil tampak berjalan menurun dari
articular eminence hingga ke tinggi crast dan, pada sejumlah kasus, bahkan melebihi titik
tersebut. Jika kondil tidak dapat bergerak hingga mencapai titik tersebut, maka dapat
dicurigai terjadinya beberapa tipe keterbatasan pergerakan. Hal ini dapat disebabkan dari
sumber ekstracapsular (yaitu otot) atau sumber intracapsular (yaitu ligamen, lemping).
Yang terpenting, posisi kepala pasien harus tetap konstan baik pada saat
pemaparan radiografi pada posisi terbuka dan tertutup untuk memastikan bahwa tidak
terjadi variasi dalam ruang sendi.
Temuan radiografi keterbatasan sendi ini hanya bersifat membantu dan bukan
berperan dalam diagnosis. Riwayat dan temuan klinis sebaiknya digabungkan dengan
temuan radiografi untuk menegakkan diagnosis. Pergerakan kondil yang kecil pada
radiografi tidak akan berarti tampak temmuan klinis ini. Sebagai contoh, pasien yang
menderita sakit otot berat yang meningkat pada saat membuka mulut. Radiografi TMJ
menunjukkan pergerakan kondil yang kecil. Bukti radiografi saja tidak menunjukkan
keterbatasan sendi jika seandainya terdapat sendi sehat normal yang terhalangi oleh
kelainan otot.
Pasien kedua dapat menderita ankylosis fibrotic kondil yang membatasi
pergerakan TMJ. Karena unit fibrous ini terdiri dari jaringan lunak dan tidak dapat
terlihat secara radiografi, maka radiografi tampak sama seperti pasien pertama. Temuan
klinis merupakan tanda satu-satunya yang dapat membedakan keterbatasan sendi nyata
(intracapsular) pada pasien kedua dari sendi normal dengan keterbatan ekstracapsular
pada pasien pertama.
Pada saat pemeriksaan fungsi sendi, sangat membantu untuk membandingkan sisi
kanan dan kiri pasien. Pergerakan seharusnya sama. Pada ankylosis atau lemping yang
mengalami dislokasi anterior, sisi yang mengalami kelainan akan menunjukka pergerakan
yang lebih kecil dibandingkan sisi normal. Namun, salah satu kesalahan umum pada
tehnik radiografi akan menyebabkan pembacaan pergerakan fungsional positif-palsu.
Selama tehnik radiografi, pasien diinstruksikan untuk membuka mulut lebat untuk
pemaparan TMJ kanan. Pembukaan mulut lebar ini dapat meningkatkan rasa sakit.
Kemudian, posisi kepala diubah sehingga dapat dilakukan pemaparan sisi kiri dapat
dilakukan. Sekali lagi, pasien membuka mulut lebar. Namun, karena pasien mengetahui
bahwa rasa sakit akat terjadi, maka pasien cenderung membuka mulut kurang lebar pada
saat pemaparan sisi kiri. Jika pemeriksa tidak menyadari alasan untuk variasi ini,
pergerakan kondil kiri secara radiografis akan tampak lebih terbatas dibandingkan sisi
kanan padahal sebenarnya tidak terdapat perbedaan. Untuk menghindari terjadi
perbedaan ini, separator standar dapat diletakkan di antara gigi pada saat pemaparan
sehingga dapat diperoleh pergerakan kondil yang seimbang dan sebab itu memungkinkan
dilakukannya perbandingan radiografi kedua sisi.
Keterbataan pergerakan sendi akan ditegaskan oleh hasil pemeriksaan klinis. Jika
salah satu sendi mengalami keterbatasan, pembukaan rahang bawah akan membelokkan
rahang bawah ke arah sisi yang mengalami keterbatasan pergerakan. Jika keterbatasan
gerakan ini tampak secara radiografis, sebaiknya pasien menjalani pemeriksaan untuk
tipe pergerakan ini.
Yang terpenting, dokter harus mengingat bahwa temuan radiologi abnormal harus
diperiksa dengabn teliti. Sebuah penelitian klinis menunjukkan hubungan signifikan
secara statistik antara temuan radiografi dan gejala klinis. Selain itu, informasi yang
diperoleh dari interupsi radiografi tampak tidak bermanfaat dalam menentukan hasil
perawatan.
Karena hubungan antara oklusi dan gejala TMD kurang dapat memberikan hasil
akurat pada pemeriksaan awal (lihat Bab 7), model artikulator tidak terlalu bermanfaat
dalam diagnosa TMD awal atau bentuk nyeri orofacial lainnya. Peranan kondisi oklusal
sebagai faktor yang berperan dalam TMD dapat ditegaskan dengan uji terapi (dibahas
dalam bab selanjutnya). Untuk itu, sebagian besar model artikulator dilakukan jika dokter
menemukan bukti klinis signifikan yang menunjukkan bahwa kondisi oklusal
berhubungan dengan gejala TMD.
9.3.8.3. Electromygraphy
Selain itu, ditunjukkan juga bahwa variasi yang relatif kecil dalam pemasangan
electrode dapt merubah perekaman EMG secara signifikan. Hal ini berarti bahwa
perekaman yang dilakukan pada kunjungan berulang tidak dapat dibandingkan kecuali
pemasangan electrode dilakukan secara teliti pada lokasi yang sama untuk tiap kali
perekaman. Dengan perbedaan kecil dan variasi yang besar ini, perekaman EMG
sebaiknya tidak digunakan untuk mendiagnosa dan memantai perawatan TMD. Hal ini
tidak menunjukkan bahwa rekam EMG tidak vali atau tidak berguna. Electromyography
dapat memberikan informasi yang sangat baik mengenai fungsi otot dalam kondisi
penelitian. Metode ini juga berguna dengan berbagai tehnik biofeedback untuk
memungkinkan pasien untuk memeriksa tegangan otot selama pelatihan relaksasi. Tehnik
ini dibahas pada Bab 11.
9.3.8.5. Sonography
Sonography adalah tehnik perekaman dan menampilkan bunyi sendi secara grafik.
Beberapa tehnik menggunakan alat pengeras suara, sedangkan tehnik lain bergantung
pada rekaman echo ultrasound (ultrasonography Doppler). Meskipun alat ini dapat
merekam bunyi sendi secara akurat, namun peranan bunyi ini belum dapat dibuktikan
dengan baik. Seperti yang dibahas pada Bab 8, bunyi sendi sering berhubungan dengan
kelainan lemping spesifik dan sebab itu bunyi sendi dapat menjadi tanda. Sebaliknya,
adanya bunyi sendi terkadang tidak menunjukkan terjadiya masalah. Sejumlah sendi
sehat dapat menghasilkan bunyi sendi pada saat melakukan gerakan tertentu. Agar
sonografi dapat digunakan dengan baik, alat tersebut harus dapat membedakan suara
yang memiliki peranan terhadap perawatan dengan suara yang tidak mempengaruhi
perawata. Saat ini, sonography tidak memberikan informasi diagnostik tambahan
dibandingkan pemeriksaan palpasi manual atau stethoscopic.
9.3.8.7. Thermography
Thermography adalah tehnik yang merekam dan mengilustrasikan secara grafik
permukaan suhu kulit. Berbagai suhu direkam dengan warna berbeda, menghasilkan peta
yang menggambarkan permukaan yang diteliti. Telah ditunjukkan bahwa subjek normal
memiliki thermogram bilateral simetris. Dari konsep ini, beberapa penelitian mengatakan
bahwa thermogram tidak simetris menunjukkan adanya masalah seperti TMD. Meskipun
beberapa penelitian menunjukkan abhwa themogram yang tidak simetris berhubungan
dengan TMD, namun beberapa penelitian lain tidak menunjukkan hal tersebut. Sebuah
penelitian lain menunjukkan adanya variabilitas yang tinggi pada suhu permukaan wajah
normal pada kedua sisi. Sensitivitas dan spesifitas dalam mengidentifikasi titik picu
myofascial dengan thermography masih belum terpercaya. Variasi yang besar antara
kedua sisi, pasien dan laporan menunjukkan bahwa, untuk saat ini, thermography bukan
merupakan tehnik yang bermanfaat untuk diagnosis dan penanganan TMD.
BAB 11. Pertimbangan Umum dalam Perawatan
Temporomandibula Disorders
“TMD merupakan kondisi yang kompleks dan multifactorial, demikian juga pasien
kami.”
Keterkaitan dari berbagai TMDs harus selalu dipertimbangkan dalam evaluasi dan
perawatan pasien. Kadang-kadang hampir mustahil untuk mengidentifikasi penyakit
mendahului yang lain. Sering kali bukti untuk menentukan seperti itu hanya melalui
riwayat menyeluruh. Contoh-contoh berikut menunjukkan keterkaitan yang komplek
antara beberpa TMDs.
Seorang pasien yang menderita gangguan otot pengunyahan seperti nyeri otot
local atau nyeri myofascial biasanya akan memberitahu keluhan utama myalgia. Kondisi
otot cenderung meningkatkan tonisitas otot-otot elevator, menciptakan peningkatan
tekanan interartikular sendi. Kondisi ini dapat diperburuk dengan hiperaktivitas dari otot
pterigoid superior lateral (bruxism), yang dapat menonjolkan gangguan subklinis disc
derangement.
Pengunyahan Derangement
Derangement Pengunyahan
Ketika beberapa gangguan disc derangement meningkat, permukaan articular
tulang sendi mengalami perubahan. Dengan kata lain, gangguan disc derangement dapat
menyebabkan inflamasi sendi.
Derangement Pengunyahan
Gangguan Inflamasi
Derangement Pengunyahan
Gangguan Gangguan
Trauma adalah kondisi lain yang mempengaruhi seluruh gangguan. Trauma pada
setiap struktur sistem pengunyahan dapat menyebabkan atau berkontribusi pada sebagian
besar TMDs lainnya.
Trauma
Gangguan Gangguan
Diagram ini mulai menggambarkan keterkaitan yang rumit yang mungkin terjadi
antara berbagai TMDs. Hal ini menunjukkan mengapa banyak pasien memiliki gejala
yang berhubungan dengan lebih dari satu gangguan dan bagaimana hubungan ini dapat
membuat suatu diagnosis dan keputusan perawatan yang sulit.
Perawatan yang telah disarankan untuk TMDs sangat bervariasi pada spectrum
modalitas yang besar. Agar dokter dapat percaya diri memilih perawatan yang tepat, ia
harus menuntut bukti ilmiah untuk mendukung penggunaannya. Dukungan ini harus
menemukan bukti literature yang mencatat kesuksesan dan kegagalan perawatan.
Sayangnya, hal ini tidak selalu terjadi. Banyak artikel yang dipublikasikan menunjukkan
keberhasilan berbagai pilihan perawatan yang mungkin tidak diperkuat dengan bukti
ilmiah. Mungkin ini sebabnya mengapa para ahli bingung tentang penanganan TMD.
Hal ini juga menarik untuk dicatat bahwa popularitas metode perawatan tertentu
dapat ditemukan secara geografis regional. Hal ini mungkin sangat tepat karena
penelitian epidemiologi tidak melaporkan regionalisasi tiap TMD tertentu. Hal ini juga
dapat dicatat bahwa pilihan perawatan berkorelasi kuat dengn spesialisasi dokter tempat
pasien berkonsultasi. Jika pasien dating ke spesialis ortodontik, perawatan ortodontik
mungkin akan diberikan, jika ke dokter bedah mulut, prosedur pembedahan akan
diberikan, jika ke dokter prostodonsi, terapi oklusal. Tidak ada alasan yang menunjukkan
bahwa pasien dengan masalah yang sama harus menerima perawatan yang berbeda pada
tiap daerah. Juga tidak ada alasan mengapa pasien dengan masalah yang sama dirawat
secara berbeda dengan dokter spesialis yang berbeda.
Pengamatan lain yang menarik bahwa perawatan yang diberikan secara baru dan
revolusioner benar-benar ditunjukkan para ahli tahun sebelumnya dan ditemukan sedikit
tanpa nilai. Hal ini terlihat bahwa satu generasi telah lewat, seseorang menemukan
kembali perawatan dan memperkenalkan sebagai yang baru. Kemudian dokter menerima
ide dan mulai merawat pasien mereka. Hal ini tentunya kurang menguntungkan bagi
pasien karena mereka harus menderita dan menanggung biaya tambahan dan kadang-
kadang prosedur gigi tidak dapat kembali lagi bila telah gagal.
Pertanyaan yang harus ditanyakan adalah bagaimana dengan begitu banyak terapi
yang sudah dipublikasikan yang menyarankan mereka untuk menangani TMDs. Tidak
ada jawaban yang mudah untuk pertanyaan ini. Namun, pertimbangan tertentu dapat
membantu menjelaskan kontroversi ini. Berikut adalah beberapa diantaranya:
Bukti ilmiah yang memadai terdengar menghubungkan terapi dengan efek
perawatan yang kurang. Meskipun banyak penelitian yang telah menyelidiki
TMDs, kebanyakan secara metodologi gagal. Hanya baru-baru ini ahli gigi mulai
memberi bukti dasar metodologi. Terkontrol, dua arah, uji klinis adalah standar
untuk penelitian klinis dan penelitian ini langka di bidang TMD. Para ahli harus
mendorong lebih banyak penelitian untuk memajukan pengetahuan dalam bidang
ini 1
Upaya penelitian yang signifikan hanya dapat dimulai dengan kesepakatan
mengenai kategori diagnostic spesifik TMDs. Seperti telah ditekankan dalam teks
ini, tugas yang paling penting dari dokter adalah menegakkan diagnosis yang
tepat. Gangguan yang berbeda merespon secara berbeda terhadap perawatan
berbeda. Oleh karena itu hanya dengan diagnosis yang tepat dapat dipilih terapi
yang tepat. Pada kenyataannya membuat diagnosis sangat penting. Pada banyak
studi masa lalu menggambarkan kelompok perawatan sebagai pasien TMJ.
Deskripsi yang luas ini tidak meningkatkan pengetahuan karena terapi diselidiki
dapat mempengaruhi satu sub kategori dan lainnya. Dalam mengevaluasi dampak
perawatan tertentu, terapi ini harus diuji dalam kelompok pasien dengan diagnosis
umum. Ketika dokter mengevaluasi penelitian saat ini, dia butuh bersikap kritis
pada kelompok pasien uji dalam penelitian.1
Beberapa faktor-faktor etiologi yang berkontribusi pada TMDs sulit untuk di
kendalikan atau di hilangkan (mis stress emosional). Ketika faktor ini muncul,
efek perawatan gigi diminimalkan. Metode perawatan yang lebih efektif harus di
kembangkan untuk faktor ini.
Beberapa faktor yang menyebabkan TMD belum diidentifikasi dan mungkin
dipengaruhi dengan metode parawatan. Jadi gejala menetap setelah perawatan.
Sebagai faktor tambahan yang diidentifikasi, seleksi dan efektivitas perawatan
akan sangat meningkat.
Sering kali intensitas nyeri gangguan muckuloskeletal bermacam-macam dari
waktu ke waktu. Dengan kata lain, beberapa mungkin sangat nyeri dan pasien
yang lain hanya merasa sedikit nyeri. Variasi ini mungkin terjadi selama
berbulan-bulan. Dengan gejalan yang bervariasi, kebutuhan perawatan pasien
dirasakan dapat berubah. Pasien akan sering mencari perawatan untuk kondisi
saat sering muncul gejala. Pada saat ini dokter gigi menawarkan perawatan dan
gejala mulai di tangani. Pertanyaan yang harus diajukan adalah “Apakah gejala-
gejala pasien hilang karena efek terapi perawatan, atau hilang karena kembali ke
tingkat dasar yang berhubungan dengan fluktuasi tingkat gejala?”. Ini adalah
konsep yang penting dan disebut regresi dengan rata-rata.2 Setelah konsep ini di
hargai, akan terlihat jelas bahwa banyak perawatan dapat muncul dengan berhasil
ketika tidak memiliki nilai terupetik.Dalam mempelajari nilai sebenarnya dari
terpai perawatan, harus dibandingkan terus-menerus dengan yang tanpa
perawatan sama sekali. Inilah sebabnya mengapa kontrol uji klinis diperlukan.
Sayangnya, penelitian jenis ini kurang pada TMD. Konsep regresi akan dibahas
lebih rinci pada bab 15.
Tabel 11-1 dan tabel 11-2 memperlihatkan hasil dari kelompok penelitian jangka
panjang 3-43 untuk perawatan TMDs yang bervariasi. Penelitian perawatan jangka panjang
memberi informasi yang akurat mengenai efektivitas perawatan. Penelitian telah
ditempatkan dalam salah satu dari dua kategori:yang tersedia lebih konservatif, terapi
reversible dan yang tersedia non konvensional, terapi irreversible.
Ketika meninjau penelitian ini, orang harus ingat bahwa jenis pasien, kriteria
diagnosis, dan tingkat keberhasilan bervariasi sehingga penelitian sulit di bandingkan.
Sebuah pengamatan umum yang menarik, namun hal ini konservatif dan tidak konservatif
terlihat melaporkan tingkat kesuksesan secara jangka-panjang (70%-85%). Meskipun
terdapat kenungkinan bawaha populasi pasien diantara kelompok itu sangat berbeda,
perawatan konservatif dan non konservatif telah sukses secara jangka panjang. Oleh
karena itu terlihat bahwa pendekatan logis untuk manajemen pasien dilakukan pertama
dengan terapi konservatif dan mempertimbangkan terapi non konservatif hanya jika
perawatan konservatif gagal menangani gangguan tersebut.44,45 Filosofi ini berdasarkan
penanganan TMD, serta jenis gangguan lainnya.
%
Penulis Diagnosis Perawatan Jumlah Tahun Kesuksesan
Pasien Perawatan
Greene and Laskin Otot Exercise, meds, PT, appliances 135 0.5-8.0 76,0
Greene and Sendi Exercise, meds, PT, appliances 32 0.5-3.0 84,0
Markovic
Carlsson and Gale Otot dan Sendi Biofeedback 11 0.4-1.3 73,0
Carraro and Otot Appliances 27 0.5-4.0 85,0
Caffesse
Sendi Appliances 20 0.5-4.0 70,0
Otot dan Sendi Counsel, exercise, meds 40 0.5-12.0 76,0
Cohen Otot dan Sendi Counsel, exercise, meds 118 0.5-12.1 85,0
Dohrmann and Otot Biofeedback 16 1,0 75,0
Laskin
Nel Otot Meds, exercise, SG, appliances 127 2.5 95,0
Heloe and Heiberg Otot Counsel, meds, appliances, SG 108 1.5 81,0
Wessberg et al. Otot dan Sendi TENS, appliances 21 1,0 8,60
Green and Laskin Otot Biofeedback, meds, relax, 175 5,0 90,0
appliances
Magnusson and Otot dan Sendi Counsel, exercise, appliances 52 2.5 76,0
Carlsson
Wedel and Carlsson Otot dan Sendi Exercise, appliances, SG 350 2.5 75,0
Strychalsky et al. Otot dan Sendi Exercise, appliances 31 2,0-3,0 72,0
Okeson and Hayes Otot dan Sendi Meds, relax, appliances, SG 110 4,0-5,0 85,0
Randolph et al. Otot dan Sendi Counsel, appliances, meds, 110 2,0 88,0
TENS, PT
Okeson Sendi Appliances 40 2,5 75,0
Williamson Sendi Appliances 160 0.3 89,4
Kurita Otot dan Sendi Appliances 232 0.16 84,0
Sato Sendi None 22 1.5 68,2
Meds, Resep obat; PT, Terapi Fisik; SG, selektif grinding; TENS, stimulasi nervus
elektrikal transcutaneous
Diagnosis menunjukkan populasi tiap pasien pada otot dengan gangguan otot
ektracapsular atau gangguan intracapsular sendi.
Seperti yang tercantum dalam Bab 7, hasil TMD pada keadaan normal dari sistem
pengunyahan terganggu dalam suatu keadaan (gambar 11-1). Kejadian itu adalah
etiologinya. Terpai definitive dimaksudkan utnuk mengurangi kejadian ini atau
konsekuensinya. Kejadian umum yang mungkin adalah lokal trauma pada jaringan atau
peningkatan stress emosional. Kejadian yang akut mengubah input sensory ke struktur
pengunyahan (perubahan akut pada oklusi). Seperti yang dibahas pada Bab 7, hal ini
merupakan suatu mekanisme dimana oklusi dapat menyebabkan TMD tertentu.
Tabel 11-2 Penelitian Jangka Panjang Terapi Nonkonservatif (ireversibel)
%
Penulis Diagnosis Perawatan Jumlah Tahun Kesuksesan
Pasien Perawatan
Zarb and Thompson Otot dan Sendi Appliance, SG, 56 2,5-3,0 0,0
Reconstruction 80,0
Banks and Sendi Condylotomy 174 1,0-20,0 73,0
Mackenzie
Cherry and Frew Sendi High condylectomy 55 0,4-4,0 77,0
Brown Sendi Meniscectomy 214 0,3-15,0 80,0
Bjornland and Sendi Discectomy 15 3,0 73,0
Larheim
Marcianini and Sendi TMJ surgery 51 2,9 77,0
Ziegler
Merjesjo and Otot dan Sendi Counsel, appliances, SG, 154 7,0 80,0
Carlsson reconstruction
Upton et al. Sendi Ortho, ortho-surg 55 2,0-5,0 78,0
Benson and Keith Sendi Plica, high condylotomy 84 2,0 88,0
Eriksson and Sendi Discectomy 69 0,5-20,0 74,0
Westesson
Silver Sendi Meniscectomy 224 1,0-20,0 85,0
Holmlund et al. Sendi Discectomy 21 1,0 86,0
Sendi Plica, high condylectomy 68 2,5 90,0
Moses and Poker Sendi Arthroscopy 237 0,0-9,0 92,0
Murakami et al. Sendi Arthroscopy 15 3,0-5,0 93,3
Kirk Sendi Arthrotomy and arthroplasty 210 4,0-9,0 90,1
Murakami Sendi Arthroscopy 41 5,0 70,0
Gynther Sendi Arthroscopy 23 1,0 74,0
Summer Sendi Reconstruction 75 1,0 - 6,0 84,0-92,0
Sato Sendi Arthrocentesis, HA acid 26 0,5 71,3
Nitzan Sendi Arthrocentesis 39 1,4 95
Rosenberg Sendi Arthrocentesis 90 2,5 82,0
Carvajal Sendi Arthrocentesis 26 4,0 88,0
HA, Hyaluronic;ortho-surg, pembedahan ortho;plica, plication;SC, slektif
grinding;TMI,sendi temporomandibula
Diagnosis menunjukkan populasi tiap pasien pada otot dengan gangguan otot
ekstracapsular atau gangguan intracapsular sendi
(Seperti yang didiskusikan dalam Bab 7). Perawatan definitive yang menyebabkan
faktor-faktor berhubungan dengan kejadian yang memiliki fungsi normal dalam sistem
pengunyahan.
Pengaruh kedua efek oklusi berasal dari ketidakstabilan ortopedi. Seperti diskusi
sebelumnya, ketidakstabilan ortopedi saja tidak berperan penting pada TMDs. Masalah
yang muncul ketika ketidakstabilan ortopedi di kombinasikan dengan kekuatan yang
berhubungan dengan beban. Oleh karena ketidakstabilan ortopedi dianggap sebagai salah
satu komponen yang mempengaruhi toleransi psikologi pasien. Oklusi dapat
mempengaruhi TMDs dalam dua cara. Riwayat dan pemeriksaan sangat penting dalam
memahami peran kondisi oklusal pada TMD. Salah satu yang harus selalu diingat bahwa
adanya gangguan oklusal tidak menunjukkan etiologi. Hampir semua individu memiliki
gangguan oklusal. Kondisi oklusal bukan saja etiologi dari TMDs. Kondisi oklusal dapat
berubah atau mewakili ketidakstabilan ortopedi. Ketika oklusi bukan merupakan faktor
etiologi, perawatan oklusal menjadi terapi definitif.
Etiologi TMD yang lain yakni peningkatan stress emosional. Ketika kondisi ini di
curigai, terapi yang digunakan untuk mengurangi stress dipertimbangkan sebagai
perawatan definitif.
Dalam bagian ini masing-masing dari 5 jenis pertimbangan etiologi dibahas dan
perawatan definitive masing-masing jenis. Memastikan faktor etiologi yang paling
penting yang menyebabkan TMD sering sulit, khususnya pada kunjungan awal. Oleh
karena itu adalah bijaksana berhati-hati dengan perawatan dan menghindari perawatan
yang agresif pada awalnya. Dengan alasan ini, pernyataan berikut dibuat: Seluruh
perawatan awal harus konservatif, reversible dan non invasive.
Terapi oklusal reversible mengubah kondisi oklusal pasien hanya sementara dan
yang terbaik dilakukan dengan piranti oklusal. Ini merupakan piranti aklirik yang
dipasang diatas gigi pada satu lengkung yang memiliki permukaan antagonis yang
membuat dan mengubah posisi mandibula dan pola kontak gigi (gbr 11-2)
Gambar 11-2
Posisi mandibula dan oklusi yang tepat akan tergantung pada etiologi dari
gangguan. Ketika aktivitas parafungsional di tangani, piranti menyediakan posisi
mandibula dan oklusi yang sesuai dengan kriteria hubungan oklusal yang optimum (lihat
bab 5). Dengan demikian ketika piranti sedang digunakan, pola kontak oklusi yang
harmonis dengan hubungan sendi fosa kondil optimum pasien terbentuk. Oleh karena itu
piranti memberikan stabilitas ortopedi. Jenis piranti ini telah digunakan untuk
mengurangi gejala yang berhubungan dengan berbagai TMDs 6,46-48
serta menurunkan
aktivitas parafungsional 49-60.
Tentunya, stabilitas ortopedi dipertahankan hanya melalui
piranti yang sedang digunakan dan oleh karena itu dianggap sebagai perawatan revrsibel.
Ketika dihilangkan, kondisi awal kembali. Piranti oklusal yang menggunakan posisi
musculoskeletal kondil disebut sebagai piranti stabilitas.
Sifat kepribadian yang dianggap sebagai fitur yang relative permanen pada
indiviidu. Hal ini menjadi signifikan dan membantu dalam menegakkan diagnosis jika
sifat-sifat tertntu yang umum ditemukan pada TMDs. Banyak penelitian 68-75
telah
berusaha untuk mengklasifikasikan sifat umum kepribadian. Beberapa74,75 telah
menyimpulkan bahwa pasien TMD umumnya perfeksionis, kompulsif dan dominan.
Penelitian lain76 melaporkan bahwa pasien TMD lebih tertutup dan dengan kecemasan
yang tinggi. Salah satu penelitian menunjukkan kepribadian tipe A terlihat lebih umum
pada pasien TMD dibandingkan kepribadian tipe B77. Yang lain68,69 telah dijelaskan
bahwa pasien ini bertanggung jawab dan murah hati. Penelitian lain 73 telah menunjukkan
bahwa pada umumnya kurang bahagia, kurang puas dan merusak diri-sendiri. Peneliti
lain76 juga menunjukkan bahwa pasien TMD memiliki kepribadian yang lebih rentan
terhadap tekanan hidup daripada pasien tanpa TMD. Namun penelitian lain 78-80
melaporkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara kelompok TMD, kelompok pasien
nyeri, kelompok pasien kontrol dalam tipe kepribadian, respon terhadap penyakit dan
cara-cara untuk mengatasi stress. Sebagai penelitian lanjutan, mereka terlihat banyak
konflik. Dengan demikian kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa variasi besar
dalam sifat kepribadian populasi pasien mencegah sifat umum dalam membantu
mengidentifikasi faktor etiologi TMDs.
Input gabungan dari kondisi emosional menentukan tingkat stress yang dialami
oleh pasien. Beberapa bukti49-95 yang menunjukkan bahwa tingakat yang lebih besar dari
stress emosional dapat menyebabkan aktivitas parafungsional meningkat dalam sistem
pengunyahan. Aktivitas otot yang meningkat tidak hanya berhubungan dengan clinching
atau bruksism tetapi hanya dapat mewakili peningkatan openingkatan tingkattot. 63
Dengan demikian korelasi dapat ditarik antara peningkatan tingkat kecemasan, ketakutan,
frustrasi dan kemarahan dan hiperaktivitas otot. Oleh karena itu penting untuk berhati-
hati pada kondisi pasien. Sayangnya, bagaimanapun, tidak adanya tes psikologi yang
dapat diberikan untuk menentukan apakah keadaan emosional berkontribusi terhadap
hiperaktivitas otot96,97. Penting, bahwa tidak semua penelitian menemukan hubungan yang
jelas antara peningkatan tingkat stress emosional dan peningkatan level aktivitas
parafungsional97,98
Fakta bahwa kelompok pasien pada tingkat kecemasan tinggi tidak sendirinya
berarti bahwa pasien yang diberi skor kecemasn tinggi selalu mengalami hiperaktivitas
otot karena kecemasannya. Menyadari hal ini hubungan antara stress emosional dan
hiperkativitas otot adalah penting sehingga dapat dipertimbangkan dalam memilih
perawatan yang tepat. Jika peningkatan tingkat stress emosional dan kecemasan
berhubungan dengan peningkatan hiperaktivitas otot, maka akan diharapkan terlihat
gangguan otot daripada gangguan intracapsular yang behubungan dengan stress
emosional. Dokter melihat banyak gangguan otot, jadi ini ternyata benar. Pasien yang
menderita gangguan otot melaporkan tingginya tingkat stress emosional dibandingkan
dengan pasien yang menderita gangguan derangement sendi.61,87,99-101.
Pertimbangan psikologi lain yang muncul secara signifikan terkait dengan nyeri
wajah kronis adalah riwayat kekerasan fisik atau seksual. Penelitian 122-128 melaporkan
bahwa wanita yang menderita nyeri wajah kronis, nonresponsive dan askit kepala
memiliki insiden yang lebih tinggi secara signifikan pada kekerasan fisik atau seksual.
Pada beberapa pasien dengan riwayat kekerasan mengalami gangguan stress posttrauma,
kondisi psikologi yang merupakan peningkatan respon sistem nervus anatomi. Regulasi
sistem nervus anatomi yang tinggi terlihat mengubah kemampuan tubuh untuk mengatasi
tantangan baru, baik fisik atau psikologi. Pada kenyataannya pengalaman sebelumnnya
terkait dengan nyeri wajah, dokter gigi dapat ditempatkan pada kondisi yang
menguntungkan. Banyak pasien yang dating ke dokter gigi untuk perawatan nyeri wajah
tidak mengetahui adanya hubungan emosional traumatic dan oleh karena itu tidak
memberitahu ke dokter gigi tentang pengalaman tersebut. Jika kekerasan fisik atau
seksual masa lalu merupakan bagian penting dari masalah nyeri kronis, dokter gigi
mungkin gagal untuk merawat nyeri tersebut dengan terapi gig. Disisi lain, dokter gigi
harus berhati-hati dalam mendekati hal ini karena kepekaan dan karena pasien mungkin
tidak sadar akan hubungan kekerasan itu terhadap masalah nyeri. Ketika kekerasan fisik
atau seksual diduga, hal yang terbaik bagi dokter gigi untuk merujuk pasien ke dokter
psikologi atau psikiater untuk evaluasi dan terapi yang tepat. Namun, dokter gigi mampu
membantu perawatan pasien dengan mengintruksikan individu dengan teknik yang akan
membantu dalam menurunkan regulasi sistem nervus autonomi. Teknik ini akan
dijelaskan kemudian pada bab ini.
Masih kondisi emosional lain yang kadang-kadang harus diatasi untuk merawat
pasien dengan nyeri wajah kronis dikenal sebagai tambahan sekunder. Untuk beberapa
pasien, pengalaman nyeri melengkapi manfaat yang dibutuhkan. Hal ini dapat memberi
perhatian dan penghiburan dari pasangan atau teman-teman. 129-130. Hal ini juga dapat
digunakan sebagai alasan dari pekerjaan atau kewajiban yang tidak menyenangkan.
Meskipun tidak menjadi perhatian utama dalam perawatan pasien TMD, tambahan
sekunder dianggap sebagai faktor yang mungkin bagi kegagalan perawatan kronik 131.
Ketika pasien menerima tambahan sekunder dari nyeri, mungkin merupakan perawatan
yang akan gagal.
Ketika penelitian terpisah pasien dengan gangguan otot pengunyahan dari orang-
orang dengan keluhan intracapsular, beberapa perbedaan terlihat61,87,132. Pasien nyeri otot
memperlihatkan derajat tinggi nyeri dan sakit dibandingkan pasien itracapsular. 133
Mereka juga memperlihatkan perhatian yang lebih untuk fungsi bodily dan sakit.
Penelitian lain memperlihatkan tidak ada perbedaan pasien dengan nyeri otot dan sendi
ketika evaluasi stress dan kecemasan tetapi menemukan bahwa pasien nyeri otot secara
umum merasakan bahwa mereka lepas kendali terhadap situasi hidup mereka. 64,84. Hal ini
didukung dengan penelitian lain134 yang mengungkapkan tidak ada perbedaan pada
depresi diri sendiri dan kecemasan antara pasien TMD dan kontrol: namun, pasien
merasa kurang mampu mengontrol masalah mereka. Mungkin perasaan diluar kendali
akan terbukti menjadi faktor yang signifikan dalam TMD. JIka hal ini benar, mengajar
pasien kami dengan metode lebih baik untuk mengontrol kondisi hidup mereka
seharusnya secara signifikan mempengaruhi jumlah pasien yang mencari perawatan.
Tidak ada sifat kepribadian tunggal yang tampaknya umu dalam kelompok pasien
ini. Sebaliknya, variasi sifat ditemukan. Tidak ada bukti penelitian yang
menunjukkan pasien baik neurotic atau psikotok. Sejumlah besar pasien TMD
memiliki karakteristik kepribadian atau kondisi emosional yang membuat atau
menyerupai situasi hidup yang sulit99,135-138 Tidak ada tes kepribadian yang efektif
membantu dalam memilih perawatan yang tepat untuk diberikan pada individu.
Tampaknya pasien TMD, khususnya kondisi kronis, pengalaman secara umum
dan laporan peningkatan tingkat kecemasan, frustasi dan kemarahan. Adanya
kondisi emosional cenderung meningkatkan tingkat stress emosional yang dapat
berkontribusi pada TMD139-140 Depresi dan kecemasan berhubungan dengan
peristiwa besar dalam hidup yang dapat mengubah persepsi pasien dan toleransi
gejala, menyebabkan pasien mencari perawatan yang lebih.72,141-143 Tidak ada bukti
yang menunjukkan bahwa pengujian individu untuk tingkat kondisi emosionalnya
akan berguna pada pemilihan perawatan yang tepat.
Banyak dokter gigi yang merasa tidak nyaman memberikan perawatan untuk
stress emosional. Hal ini dibenarkan karena pendidikan gigi tidak memberi pengetahuan
yang memadai untuk perawatan tersebut. Setelah itu, dokter gigi bertanggung jawab
untuk kesehatan mulut, bukan psikologis pasien. Namun, TMDs adalah salah satu bidang
kedokteran gigi yang erat kaitannya dengan keadaan emosional pasien. Dokter gigi
mungkin tidak dapat memberikan terapi psikologi, tetapi harus memperhatikan hubungan
itu dan dapat menghubungkan dengan informasi dari pasien. Ketika terapi psikologi
diindikasikan, pasien seharusnya dirujuk ke terapis yang handal. Pada banyak kasus,
pasien mengalami tingkat stress emosional tinggi dari rutinitas sehari-hari mereka. Ketika
dicurigai, jenis terapi stress emosional sederhana di gunakan.
Pasien seharusnya mencoba untuk menyadari setiap saat gigi berkontak sewaktu
mengunyah, menelan dan berbicara. Seringkali pasien menyangkal bahwa salah satu
kontak gigi nonfungsional terjadi sampai mereka aktif mencoba untuk
mengidentifikasinya. Pasien akan sering kembali pada kunjungan kedua dengan
apresiasi yang lebih baik untuk jumlah kontak ggi nonfungsional yang terjadi selama
waktu lalu yang tidak disadari. Membangun kesadaran kontak gigi nonfungsional,
hiperaktivitas otot dan stress penting dalam perawatan.
Kebiasaan rongga mulut lainnya yakni menggigit benda (pensil) atau menaruh
telepon antara mandibula dan bahu yang dapat memperburuk gejala TMD. Kebiasaan ini
perlu diidentifikasi dan tidak dilanjutkan.144 Aktivitas parafungsional yang terjadi di
bawah alam sadar khususnya saat tidur, sulit untuk dikontrol sendiri dan untuk itu terapi
lain seperti piranti oklusal diindikasikan.
Stres emosional dapat juga dikontrol sendiri hingga batas tertentu. Stelah stress
diidentifikasi, pasien dianjurkan untuk menghindarinya. Sebagai contoh, Jika stress
meningkat saat berkendara dijalan yang padat, rute alternative dapat dilakukan untuk
menghindari kemacetan. Ketika stress disebabkan oleh pekerjaan, harus dihindari. Jelas,
seluruh penyebab stress tidak dapat dan tidak harus dihindari. Seperti dibahas dalam Bab
7, beberapa hal positif dan membantu memotivasi individu mencapai tujuannya. Hans
Selye145,menyatakan kebebasan penuh dari stress adalah kematian”. Ketika penyebab
stress tidak dapat dihindari sepenuhnya, frekuensi dan durasi stress harus dikurangi.
Dua jenis terapi relaksasi dapat di kembangkan untuk mengurangi tingkat stress
emosional: substitusi dan aktif
Olahraga teratur juga dapat menjadi pelepas stress, yang mendorong pasien untuk
merasa senang. Tentu saja tidak akan sesuai untuk seluruh pasien dan kondisi tubuh
umum dan kesehatan harus selalu dipertimbangkan sebelum menasihatkan pasien
memulai program latihan aktif.
Terapi relaksasi aktif dapat mengurangi aktivitas otot. Salah satu keluhan umum
pasien dengan gangguan fungsional adalah nyeri otot. Nyeri otot local berasal dari
jaringan otot yang mengikuti peningkatan co-kontraksi. Jika pasien dilatih untuk
mengendurkan otot-otot, fungsi normal dapat diperoleh.
Rekaman suara dari prosedur dapat dikembangkan untuk membantu dalam teknik
ini. Pasien mendengar rekaman di sesi latihan dikantor dan setelah mengerti apa yang
harus dicapai, lalu mengambil rekaman rumah dengan intruksi yakni mendengarkan
setidaknya sekali sehari untuk membuat otot relaks. Gejala otot umumnya menurun
ketika indivdu memiliki keterampilan teknik ini.
Selama 20 menit setiap hari pasien disarankan untuk berbaring dan bersantai
dalam tempat yang nyaman dan tenang. Rekaman suara teknik relaksasi progresif di
sediakan dan membantu dalam mencapai relaksasi. Hal ini dapat membantu banyak
pasien menurunkan gejala otot mereka.
Teknik relaksasi telah terbukti efektif dalam beberapa penelitian149-158. Teknik ini
menjadi yang terbaik bagi terapis selama kunjungan untuk membantu dan mendorong
kebiasaan relaksasi yang tepat. Meskipun tidak berbahaya untuk membiarkan pasien
belajar teknik ini dirumah sendirian, sangat kecil kemungkinan hasil yang bagus akan
dicapai dengan penjelasan sederhana prosedur relaksasi. 159 Juga, hasil terbaik dapat
dicapai dalam sebulan latihan dan bukan hanya hitungan hari atau minggu.
Bentuk relaksasi progresif lain menggunakan pendekatan sebaliknya. Disamping
meminta pasien untuk mengkontraksikan otot dan kemudian rileks, otot-otot secara pasif
mereganf dan kemudian relaks.160-162 Tampaknya teknik ini juga efektif dalam mengajar
relaksasi progresif memiliki satu keuntungan besar pada teknik Jacobson. Pasien dengan
gangguan otot pengunyahan sering melaporkan rasa nyeri kektika diminta untuk
mengkontraksikanotot mereka. Peningkatan nyeri ini membuat relaksasi lebih sulit.
Sebaliknya, peregangan otot tampaknya membantu relaksasi. Banyak pasien menemukan
teknik ini lebih sesuai daripada teknik Jacobson.
Meskipun otot relaksasi terlihat menjadi prosedur yang sederhana, kadang juga
tidak. Pasien, terutama mereka yang menderit nyeri otot, sering merasa kesulitan untuk
belajar meregangkan otot mereka secara efektif. Mereka kadang-kadang bisa
mendapatkan keuntungan dari feedback sementara keberhasilan atau kegagalan usaha
mereka.
Salah satu metode untuk mencapai hal ini yakni dengan teknik biofeedback 158,169-
173
Yang membantu pasien dalam mengatur fungsi tubuh yang umumnya dikendalikan
secara tak sadar. Hal ini telah digunakan untuk membantu pasien mengubah fungsi
seperti tekanan darah, aliran darah, aktivitas gelombang otak serat relaksasi otot.
Dilakukan dengan elektromyographically memantau keadaan kontraksi atau relaksasi otot
melalui elektroda yang ditempatkan diatas otot-otot yang akan dipanatau. Diantara otot
wajah, otot maseter sering terpilih (gbr 11-5). Ketika seluruh tubuh relaksasi itu adalah
tujuannya, otot frontal sering dipantau.
Setelah pasien mencapai tingkat rendah aktivitas otot, instruksi selanjutnya adalah
terbiasa dengan rasa atau perasaan relaks. Saat telah dicapai dan rendahnya tingkat
aktivitas otot dirasakan cukup, pasien dapat lebih efektif untuk mendapatkan kembali
waktu bahkan tanpa alat biofeedback dan dianjurkan bekerja untuk mencapai tujuan itu.
Relaksasi progresif dapat membantudalam latihan ini.
Oleh karena itu kebanyakan biofeedback efektif untuk perawatan gejala yang
berhubungan dengan aktivitas parafungsional yang membantu pasien mempelajari
relaksasi otot simptomatik. Hal ini penting untuk diingat bahwa biofeedback hanya untuk
membantu pasien dalam mempelajari teknik yang membantu meringankan gejala.
Evaluasi tingkat stress emosional dalam hidup pasien sangat sulit. Banyak variasi
dari pasien ke pasien dan bahkan sering seluruh riwayat gagal untuk
mengungkapkan faktor yang signifikan. Bahkan ketika penyebab stress muncul,
signifikasinya tidak diketahui. Ingat, bahwa jumlah penyebab stress pada
pengalaman pasien signifikan tetapi dampak penyebab stress terhadap kesehatan
dan fungsi pasien.
Ketika stress emosional tingkat tinggi dicurigai sebagai faktor etiologi yang
berkontribusi pada gangguan, terapi pengurangan stress seharusnya dimulai. Ini
terdiri dari prosedur yang sederhana dan invasive. Jika seorang pasien tidak
melakukan terapi ini, anggota terapi psikologi dan modifikasi perilaku
dikonsultasikan. Pasien yang tidak merespon mungkin menderita gangguan yang
baik dilakukan oleh professional kesehatan.
Salah satu metode yang efektif untuk mengurangi stress adalah dengan
membangun hubungan positif dokter dan pasien. Ini dimulai dengan apresiasi
fakta bahwa pasien telah dating ke kantor dengan nyeri dan disfungsi. Nyeri,
khususnya yang krinik, menginduksi stre yang berpontensial menjadi masalah.
Ketidak pastian pasien mengenai keparahan dari masalah dan perawatan yang
tepat dapat juga meningkatkan tingkat stress emosional. Dokter harus
berkomunikasi dengan sikap yang angat, ramah dan meyakinkan, yang akan
meningkatkan rasa percaya diri. Pasien ditawarkan penjelasan menyeluruh
gangguan itu dan diyakinkan (bila perlu) bahwa hal itu tidak seserius yang
dipikirkan. Cara hubungan dokter dan pasien dikembangkan dan sangat penting
untuk hasil perawatan (gbr 11-6). Usaha besar dilakukan dokter untuk
meminimalkan kekawatiran pasien, frustasi, permusuhan, kemarahan dan
ketakutan.
Karena stress emosional merupakan faktor yang sulit untuk menilai, dengan
mudah dapat menjadi kambing hitam untk perawatan yang gagal. Terlalu
seringnya praktisi menyimpulkan bahwa stress adalah faktor utama yang
berkontribusiketika perawatan yang disarankan gagal untuk menangani masalah
pasien: sebenarnya baik tujuan perawatan mereka tidak terpenuhi atau
menegakkan diagnosis yang tidak tepat. Seseorang tidak dapat menekankan
perlunya riwayat menyeluruh dan pemeriksaan sehingga diangnosa yang tepat
dapat ditegakkan. Karena kesulitan dalam mengevaluasi stress emosional, terapi
emosional yang luas harus dipertimbangkan setelah semua etiologi lain
dikesampingkan.
Gambar 11-6
Truma merupakan salah satu dari lima faktor etiologi yang dapat menyebabkan
TMD. Seperti dijelaskan sebelumnya trauma dapat terjadi dalam dua bentuk:
makrotrauma dan mikrotrauma. Pada kasus makrotrauma, terapi definitive bermakna
sedikit karena trauma biasanya tidak lagi muncul. Sekali makrotrauma mengalami cedera
jaringan, hanya terapi yang dapat membantu menyelesaikan respon jaringan dengan
terapi suportif. Namun, pada kasus makrotrauma, tindakan preventif harus selalu
dipertimbangkan. Ketika kemungkinan makrotrauma, seperti ketika berpartisipasi dalam
acara olahraga176 proteksi yang tepat struktur pengunyahan harus dipertimbangkan. Cara
yang sederhana dan efektif untuk meminimalkan cedera yang berhubungan dengan
makrotrauma yang memakai alat oklusal lunak atau mouth guard. Ketika alat dipasang,
mandibula stabil dengan maksila yang meminimalkan cedera struktur pengunyahan
selama makrotrauma177,178 Atlet seharusnya melindungi diri dengan alat lunak, saat
makrotrauma mungkin terjadi. Sayangnya fakta pada kebanyakan pasien yang
memberitahu ke klinik gigi dengan cedera trauma tidak pernah menyangka akan terjadi
trauma. Contoh umumnya yakni kecelakaan sepeda motor.
Kadang-kadang cedera adalah bukan hasil yang tiba-tiba dari makrotrauma tetapi
setidaknya sejumlah tekanan yang berulang selama jangka waktu panjang. Kondisi ini
disebut mikrotrauma dan saat ini terapi definitive diindikasikan untuk mengurangi
trauma. Mikrotrauma mungkin hasil berulang tekanan pada struktur sendi seperti
bruksism atau clenching. Dalam kondisi ini, terapi definitive terdiri dari pengurangan
atau penghilangan aktivitas parafungsional. Pada situasi lain mikrotrauma merupakan
hasil dari fungsi normal tekanan tetapi tekanan terjadi pada jaringan retrodiscal karena
perpindahan sendi secara anterior. Pada kasus ini, terpai definitive dilakuakn untuk
membangun hubungan kondilus/ sendi yang tidak menekan jaringan retrodiscal dan
sendi. Hal ini dapat diperoleh dengan alat oklusal (lihat Bab 13)
Mungkin faktor etiologi yang paling sering terabaikan berhubugan dengan TMD
adalah sumber nyeri hebat. Terlalu sering dokter berasumsi pasien mengalami nyeri
wajah merupakan masalah yangbanyak pada TMD. Asumsi ini menyebabkan kegagalan
perawatan. Seperti yang dibahas pada bab sebelumnya, nyeri orofacial kompleks. Banyak
struktur kepala dan leher dapat menghasilkan keluhan nyeri menyerupai TMD.
Kebingungan bertambah yakni pain referral (lihat Bab 2) Sperti yang ditekankan dalam
bab-bab sebelumnya, tugas paling penting dari klinisi adalah untuk menetapkan diagnosis
yang bear. Tanpa hal itu perawatan pasti gagal. Sebelum memulai perawatan TMD dokter
harus memastikan bahwa riwayat dan pemeriksaan pendukung diagnosis spesifik jenis
TMD. Jika klinisi tidak dapat menemukan bukti bahwa nyeri ororfacial bersumber dari
strukturmuskuloskeletal sistem pengunyahan, sumber utama yang paling benar sebelum
terapi dapat dipilih. Jika sumber sakit tidak jelas rujukan dokter gigi lain atau ahli
kesehatan mungkin membantu dalam menegakkan diagnosis.
Dokter juga harus ingat bahwa beberapa TMDs sebenarnya mungkin menjadi
sumber sekunder atau lainnya dari nyeri hebat (lihat bab 2). Pada pasien TMD
diidentifikasi riwayat dan pemeriksaan tetapi TMD ditrawat tanpa menangani nyeri
hebat, perawatan akan gagal. Contoh yang terlah dibahas adalah pasien yang mengalami
cedera serviks dan nyeri hebat dari struktur servikal menghasilkan nyeri yang disebut
nyeri wajah dan co kontraksi protektif otot pengunyahan sekunder. JIka dokter hanya
mengetahui gangguan otot pengunyahan dan merawatnya tanpa memperhatikan rasa sakit
servikal, perawatan akan gagal. Namun, jika klinisi tidak mengetahui nyeri servikal dan
hubungan nyeri otot pengunyahan dan menanganinya dengan tepat (mis rujukan ke terapi
fisik) perawatan yang tepat pada otot pengunyahan akan berhasil. Kedua perawatan
tersebut di lakukan pada waktu yang sama akan memberikan kesuksesan perawatan pada
pasien.
Penting ketika sekunder TMD sumber nyeri lain berhasil ditangani, biasanya tidak
perlu untuk kontrol ke terapi gigi. Alasan untuk ini adalah karena penyebab TMD itu
bukan oklusal tetapi sekunder dari sumber nyeri hebat. Setelah sumber nyeri hebat diatas,
TMD akan terselesaikan. Pada waktu lalu banyak dokter gigi akan mengubah oklusi
pasien. Pemahaman TMD jauh lebih baik sekarang, dan dokter harus dapat mengetahui
bahwa TMD adalah sumber sekunder untuk nyeri hebat.
Terapi suportif dilakukan untuk mengurangi gejala pasien dan sering tidak ada
efek penyebab gangguan tersebut. Contoh sederhana adalah memberikan aspirin pada
pasien sakit kepala yang menyebabkan kelaparan. Pasien yang merasa lega dari sakit
kepala, tetapi tidak ada perubahan pada faktor kausatif (kelaparan) menciptakan gejala
ini. Karena banyak pasien sangat menderita karena TMDs, terapi suportif sering
membantu memberi bantuan langsung pada gejala. Selalu ingat, bagaimanapun, bahwa
terapi suportif hanya simptomatik dan bukan pengganti terapi definitive. Faktor etiologi
dibutuhkan untuk diatasi dan dihilangkan dengan kesuksesan perawatan jangka panjang
ynag dicapai. Terapi suportif dilakukan untuk mengurangi nyeri dan disfungsi. Dua tipe
umum terapi suportif yakni terapi farmakologi dan terapi fisik.
11.2.2.1 Terapi Farmakologi
Terapi farmakologi dapat menjadi metode yang efektif untuk menangani gejala
yang berhubungan dengan TMDs. PAsien seharusnya sadar obat tidak selalu
menawarkan solusi atau kesembuhan untuk masalah mereka. Namun, obat-obatan
berhubungan dengan terapi fisik yang tepat dan pengobatan definitive yang menawarkan
pendekatan yang lebih lengkap untuk banyak masalah.
Perawatan harus disesuaikan dengan jenis dan cara pemberian obat. Karena
banyak gejala TMDs yang muncul secara periodic atau siklik ada kecenderungan untuk
meresepkan obat “seperlunya”(atau prn). Jenis manajemen ini mendorong pasien
menyalahgunakan obat.192-195 yang menyebabkan ketergantungan fisik atau psikologis.
Obat yang paling sering disalahgunakan oleh pasien adalah analgesic narkotika dan obat
penenang. Ini memberikan waktu singkat euphoria atau perasaan senang dan kadang
dapat menjadi tidak sadar dengan yeri itu. Penggunaan prn obat menyebabkan siklus sakit
yang lebih sering dan efektivitas obat berkurang. Saran umum adalah bahwa ketika obat
diindikasikan untuk TMD, harus diresepkan secara berkala untuk jangka waktu tertentu
(mis tiga kali sehari selama 10 hari). Akhirnya diharapkan bahwa perawatan tidak
diperlukan. Hal ini terutama berlaku bagi narkotik analgesic dan obat penenang.
Obat-obatan analgesik merupakan bagian penting dari terapi suportif TMDs. Pada
gangguan nyeri yang berat sebenarnya penyebab dari gangguan (nyeri otot siklik),
analgesic mewakili terapi definitive. Analgesik baik opiate atau nonopiate. Analgesic non
opiat yakni kelompok senyawa heterogen yang membagi aksi teraupetik dan efek
samping. Efektifitasnya untuk nyeri ringan hingga sedang berhubungan dengan TMD..
Salah satu obat untuk nyeri sedang yakni Tylenol (asetaminofen). 196 obat ini biasanya
ditoleransi baik oleh pasien dengan efek samping yang kecil. Aspirin (salisilat) yang
menghambat sistesis prostaglandin adalah prototype untuk senyawa analgesic. Semua
obat salisilat adalah antipiuretik, analgesic dan antiinflamasi tetapi ada perbedaan penting
pada efeknya. Jika pasien sensitive terhadap aspirin , aspirin nonasetil, trisalisilat
magnesium kolin (Trilisat), atau salsalat (Disalcid) mungkin efektif. Efek terupetik
narkotik opoid bekerja pada opiate spesifik reseptor dalam sistem saraf pusat dan perifer.
Obat-obat ini memiliki kualitas dan sifat kecanduan sistem saraf pusat. Dipertimbangkan
untuk penggunaan jangka pendek untuk nyeri akut sedang hingga berat.197
Pada keadaan yang jarang analgesic kuat mungkin diperlukan. Dalam kasus ini,
kodein atau hydrocodone dikombinasikan dengan salisilat dan asetaminofen dapat
membantu. Efek terupetik narkotik opoid bekerja pada reseptor opiate pada sistem saraf
pusat dan perifer. Obat ini memiliki kualitas dan kecanduan sistem saraf pusat.
Dipertimbangkan untuk penggunaan jangka pendek untuk nyeri akut sedang hingga
berat.197 Jika obat yang diperlukan, harus diresepkan dalam dosis teratur selama periode
singkat untuk meminimalkan penyalahgunaan. Obat yang sangat adiktif (mis morfin)
kontraindikasi umum untuk nyeri musculoskeletal.
Ibuprofen (mis Motrin, Advil, Nuprin) telah terbukti efektif mengurangi nyeri
musculoskeletal. Dosis umu 600 hingga 800 mg tiga kali sehari akan mengurangi nyeri
dan menghentikan efek siklik nyeri yang berat. Jumlah NSAIDs lainnya tersedia, dan jika
ibuprofen tidak mengurangi nyeri, lainnya dapat dicoba.
Klas yang relative baru obat NSAIDs adalah inhibitor COX-2. Seperti disebutkan
sebelumnya, siklooksogenase (COX) adalah enzim yang digunakan untuk mensisntesis
prostaglandin dari asam arakidonat. COX menghambat sistesis prostaglandin dalam dua
arah. Hal ini dikenal sebagai COX-1 dan COX-2. COX-1 terlibat dalam merpertahankan
fungsi hemostatic termasuk pemeliharaan integritas lambung dan ginjal. Jalur COX-2
memiliki besar efek pada respon inflamasi. Kebanyakan NSAIDs menghambat dua jalur,
oleh karena itu mengurangi inflamasi tetapi pada waktu yang sama sekresi lambung
melindungi dinding perut. Hasilnya sering pengurangan nyeri tetapi juga iritasi perut.
Inhibitor COX 2 yang baru hanya mempengaruhi jalur COX-2, yang mengurangi respon
inflamasi tanpa mempengaruhi fungsi lambung dan ginjal.202
Inhibitor COX-2 yang ada pada penulisan ini yakni celecoxib (Celebrex). Obat ini
tidak hanya keuntungan dari efek samping lambung yang kurang tetapi juga
membutuhkan di minum hanya satu atau dua kali sehari. Penelitian akhir-akhir ini
menunjukkan bahwa obat ini dapat membantu dalam mengelola nyeri TMD 203 tetapi
mungkin lebih daripada naproxen204
Metode lain pemberian NSAID adalah dengan gel topical atau salep. Beberapa
penelitian melaporkan bahwa aplikasi topical NSAID seperti ketoprofen, memiliki efek
yang lebih besar untuk mengurangi nyeri daripada gel placebo. 205,206. Sayangnya, pada
waktu ini data masih bercampur dengan efektivitas utama topical NSAIDs.
NSAIDs oral telah dibahas dibawah kategori analgesic. Ketika diminum teratur,
obat ini berguna untuk mengelola gangguan inflamasi sendi, serta chronic centrally
mediated myalgia. Aspirin atau ibuprofen dapat bermanfaat dalam kapasitas ini sambil
memberikan efek analgesic. Banyak antiinflamasi oral yang lain tersedia (mis naproxen,
flurbiprofen, nabumetone, ketoprofen). Ingat, meskipun, obat ini sering tidak segera
mencapaitingkat tekanan darah baik dan oleh karena itu harus diminum teratur selama
minimal 3 minggu. Kesehatan umum dan kondisi pasien harus selalu di pertimbangkan
sebelum obat ini di resepkan dan sering pada kasus, mungkin perlu berkonsultasi dengan
dokter mengenai kalayakan terapi obat. Jika iritasi perut menjadi masalah, inhibitor
COX-2 mungkin dipertimbangkan.
11.2.2.1.4 Kortokosteroid
Kortikosteroid adalah anti inflamasi ampuh yang tidak umum diresepkan untuk
penggunaan sistemik pada perawatan TMDs karena efek sampingnya. Pengecualian
untuk inflamasi sendi dan otot akut, general berhubungan dengan polyarthritis.
Kortikosteroid dapat diberikan secara oral atau injeksi.
Kortikosteroid oral dapat diberikan dalam satu paket yang memberikan pasien
dengan dosis signifikan pada periode perawatan dan kemudian diikuti dengan
pengurangan dosis hingga obat dihentikan. Hal ini adalah cara paling aman untuk
menggunakan kortikosteroid untuk mencegah infeksi sekunder.
Injeksi antiinflamasi seperti hidrokortioson pada sendi telah di anjurkan 207-211
untuk mengurangi nyeri dan gerakan terbatas. Injeksi tunggal intraartikular terlihat
berguna bagi pasien usia lanjut namun terlihat kurang berhasil209 pada pasien muda
hingga usia 25 tahun. Meskipun injeksi tunggal kadang membantu, beberapa penelitian
212-214
melaporkan bahwa injeksi multiple dapat membahayakan struktur sendi dan harus
dihindari. Tindak lanjut jangka panjang injeksi kortikosteroid intraartikular juga
dilaporkan meningkatkan gejala TMJ akut karena arthritis reumatik tanpa gejala jangka
panjang yang merugikan.211
Solusi injeksi lain yang digunakan untuk injeksi intracapsular adalah sodium
hyaluronate. Meskipun ini bukan local anestesi, sodium hyaluronate di sarankan untuk
perawatan penyakit TMJ artikular215,210. Penelitian tentang perawatan perpindahan sendi
dan dislokasi sendi tanpa pengurangan menjanjikan 216-218. Beberapa penelitian 39,219,220
Ketika stress emosional tingkat tinggi dianggap berkontribusi pada TMD, agen
anxiolitik (antianxiety) mungkin membantu dalam mengelola gejala221,222 Ingat bahwa
agen anxiolitik tidak meghilangkan stress, tetapi hanya mengubah persepsi pasien atau
reaksi stress. Penggunaan agen anxiolitik kerena itu merupakan terapi suportif. Kelompok
umu dari anxiolitik yakni benzodiazepine seperti diazepam (Valium) yang memperoleh
perhatian lebih. Obat ini dapat diresepkan setiap hari karena depedensi pontensial, tidak
digunakan lebih dari 7 hari berturut-turut. Dosis tunggal (2.5 – 5 mg) diazepam dapat
membantu pada waktu tidur untuk mengendurkan otot-otot dan mungkin mengurangi
aktivitas dari parafungsional nocturnal.183,223 Bila hanya dosis tunggal yang diresepkan,
durasi penggunaannya dapat diperpanjang 2 minggu.
Dua obat benzodiazepine yang digunakan pada gangguan otot pengunyahan yakni
clonazepam (Klonopin)224-226 dan alprazolam (Xanax)227. Agen ini dapat berguna dalam
mengelola gejala akut, khususnya yang berhubungan dengan kecemasan dan
kemungkinan bruksism nocturnal tetapi Valium, potensi adiktif dan efek sedatif
kontraindikasi jangka panjang dengan kondisi kronik.221
Mephenesin adalah protoipe untuk mayoritas relaksan otot mulut, yang termasuk
propanediols (mis carisoprodol [Soma], methocarbamol [Robaxin] dan secara kimia
terkait dengan chloraxazome [Paraflex, Parafon])228 Secara eksperimental, relaksan otot
menekan reflex tulang belakang polysynaptic selama reflex monosinaptik. Senyawa ini
mempengaruhi aktivitas neuronal berhubungan dengan reflex peregangan otot, terutama
dilateral daerah batang otak. Dosis oral semua obat ini jauh dibawah level yang
dibutuhkan untuk memperoleh aktivitas relaksan otot eksperimental. 229 Relaksan otot
yang memiliki efek sentral lebih kecil yakni metaxalone (Skelaxin). Obat ini lebih sesuai
untuk pasien yang harus bekerja sambil relaksan otot.
Perlu dicatat untuk beberapa relaksan otot untuk mencapai efek terapi pada otot-
otot pengunyahan, dosis sering kali harus dinaikkan ke tingkat yang tidak memungkinkan
pasien untuk melakukan aktivitas normal. Pasien yang melakukan relaksan otot harus
diingatkan pada efek sedasi dan diberitahu tidak mengendarai kendaraan atau melakukan
pekerjaan berat.
Beberapa relaksan otot skeletal pusat tersedia dalam kombinasi dengan analgesic
(mis carisoprodol dengan fenacetin dan kafein [Soma Compound], chlorzoxazone dengan
acetaminophen [Parafon Forte], orphenadrine sitrat dengan aspirin dan kafein [Norgesic
Forte], methocarbamol dengan aspirin [Robaxisal])
Relaksan otot tampaknya memberi efek positif pada berbagai nyeri otot, seperti
TMDs, yakni cyclobenzaprine [Flexeril] 230-223 Obat ini adalah senyawa yang mirip dengan
antidepresantrisiklik dan dapat bekerja dengan cara yang sama. Dosis tunggal 5 – 10 mg
sebelum tidur dapat mengurangi nyeri otot, khususnya di pagi hari. Dosis lainnya 5-10
mg selama siang hari berguna untuk nyeri, tetapi sering pasien menemukan bahwa hal itu
membuat mengantuk.
11.2.2.1.7 Antidepresan
Lokal anestesi dapat berguna untuk diagnosis dan bahkan penanganan variasi
TMDs. Salah satu yang penggunaan yang paling penting adalah untuk menegakkan
diagnosis yang tepat. Lokal anestesi dapat digunakan untuk membedakan rasa nyeri
utama dari bangian nyeri (LIhat Bab 10). Ketika sumber nyeri muncul pada sendi atau
otot, menyuntikkan lokal anestesi ke sumber nyeri akan menghilangkan nyeri,
membenarkan diagnosis265
Anestesi lokal juga dapat digunakan sebagai terapi untuk gangguan tertentu. 266
Sebagai contoh, injeksi anestesi lokal ke trigger point myofasial dapat menghasilkan
pengurangan nyeri yang signifikan setelah anestesi di metabolis. 267-271 Konsep dan
rasional untuk penggunaan
Injeksi anestesi local untuk penanganan nyeri myofasial dibahas dalam Bab 12.
Dua obat paling umum anestesi local yang digunakan untuk durasi pendek
pengurangan nyeri pada TMDs yakni 2% lidokain (Xylocaine) dan 3% mepivikain
(Carbocaine)275 Meskipun Prokain di anjurkan untuk injeksi trigger point myofasial276 Ini
bukan lagi di kemas dalam karpul dan dengan demikian kurang nyaman digunakan
dengan jarum suntik standar. Untuk injeksi otot, solusi tanpa vasokonstriktor harus
digunakan.277 Ketika anstesi durasi panjang diindikasikan, 0,5 % bupivikain (Marcaine)
digunakan278 Meskipun bupivikain kadang-kadang diindikasikan untuk nyeri sendi (blok
nervus auriculotemporalrena myotoksisiti) , tidak harus secara rutin digunakan injeksi
otot karena miotoksisitinya279
Solusi injeksi lain yang digunakan untuk injeksi intracapsuler yakni sodium
hyaluronate. Meskipun obat ini bukan anestesi local, sodium hyaluronate dianjurkan
untuk perawatan penyakit TMJ artikular 215,210 Penelitian dalam perawatan displacement
sendi dan dislokasi sendi tanpa pengurangan menjajikan216-218,280 Beberapa
penelitian39,219,220 yang telah ditemukan bahwa penggunaan sodium hyaluronate pada
arthrosentesis TMJ dapat berguna untuk pengurangan nyeri (lihat Bab 13). Penggunaan
sodium hyaluronate pada TMJ dibatasi saat ini tetapi terlihat menjajikan281
11.2.2.2 Terapi Fisik
Kebanyakan terapi fisik masuk dalam salah satu dari dua kategori umum: teknik
modalitas dan manual. Meskipun kategori-kategori ini dibahas terpisah, namun dapat
bekerja bersama ketika dipilih dan dikombinasikan dengan tepat untuk kebutuhan
individu pasien. Pemilihan paling tepat teknik modalitas dan manual untuk setiap pasien
mungkin sulit bagi dokter gigi karena dokter gigi tidak diajarkan dalam penangannanya.
Dokter yang sering mengobati pasien TMD harus membangun hubungan kerja dengan
ahli terapi fisik yang juga memiliki minat pada TMD. Membangun hubungan ini akan
bermanfaat bagi pasien dan dokter.
Gambar 11-7
Hangat-hangat di aplikasikan untuk otot simptomatik sering dapat mengurangi tingkat
nyeri dan rasa tidak nyaman. Secara komersial tersedia pad hangat dapat dihangatkan
dalam microwave. Handuk hangat juga dapat digunakan.
Kompres es diaplikasikan pada daerah yang nyeri selama 2-4 menit atau sampai jaringan
kram. Kemudian jaringan di kompres hangat lagi. Hl ini dapat diulang sesuai kebutuhan.
Es tidak harus dibiarkan pada wajah lebih dari 5-7 menit atau cedera jaringan dapat
terjadi.
11.2.2.2.1.1 Termoterapi
Panas diaplikasikan dengan meletakkan handuk panas, hangat pada daerah gejala
(gbr 11-7).289 Botol air panas diatas handuk akan membantu menjaa panas. Kombinasi ini
harus selama 10-15 menit, tidak lebih dari 30 menit. Sebuah pad panas elektrik
digunakan, tetapi harus berhati-hati untuk tidak meninggalkannya tanpa pengawasan.
Tertidur saat pemanasan pad dapat menyebabkan luka bakar serius.
Seperti termoterapi, terapi dingin telah terbukti menjadi metode yang sederhana
dan sering efektif mengurangi nyeri (gbr 11-8)290 Saran telah dibuat 291-292
bahwa dingin
dapat mendorong relaksasi otot yang kejang dan mengurangi nyeri . Es seharusnya
diaplikasikan langsung pada daerah yang terkena dan dengan gerakan melingkar tanpa
tekanan ke jaringan. Pasien akan merasa tidak nyaman yang secara cepat akan berubah ke
sensasi aburning. Sakit berlanjut akan menghasilkan sakit ringan dan kemudian mati
rasa293 Ketika mati rasa mulai, es dipindahkan. Es tidak dibiarkan pada jaringan lebih dari
5-7 menit. Setelah periode pemanasan aplikasi kedua yakni didinginkan. Diperkirakan
bahwa selama pemanasan terjadi peningkatan aliran darah ke jaringan yang membantu
perbaikan jaringan.
Spray Fluorometan diaplikasikan pada daerah yang nyer kira-kira 5 detik. Otot
diregangkan dengan lembut. Hal ini diulang beberapa kali selama kunjungan. Mata,
hidung dan telinga di lindungi dari spray.
Terapi dingin yang umum menggunakan spray uap. Dua spray yang paling umum
digunakan adalah etil klorida dan fluorometan. Pada penelitian awal291,292 ethil klorida
pada umumnya digunakan, tetapi ditemukan mudah terbakar dan depresan cardiac. Jadi
fluoromethane dianjurkan baru-baru ini267 karena tidak menimbulkan resiko. Spray
vapocoolant diaplikasikan pada area yang diinginkan dari jarak 1 atau 2 kaki (Gabr.11-9)
sekitar 5 detik. Setelah jaringan dihangatkan kembali, prosedur dapat diulang. Perawatan
harus dilakukan tanpa spary terkena mata, telinga, hidung dan mulut. Handuk dapat
digunakan untuk melindungi daerah tersebut. Spary vapocoolant tidak menembus
jaringan seperti es dan oleh karena itu kemungkinan mengurangi nyeri berhubungan
dengan stimulasi fiber nervus kutaneus yang menutup fiber nyeri yang lebih kecil (fiber
C). yang dibahas dalam Bab 12. Tipe pengurangan nyeri ini berkaitan dengan durasi yang
pendek
Ketika nyeri myofasial (trigger point) muncul, teknik dijelaskan sebagai sparay
dan stretch” digunakan267,294,295 Ini melibatkan spary jaringan diatas otot dengan trigger
point dan kemudian secara pasief meregangkan otot. Teknik di bahas penuh dalam Bab
12
Gambar 11-10
Terapi ultrasound dapat berguna secara signifikan bagi gejala dari banyak pasien. Hal ini
meningkatkan temperature antar jaringan dan memberikan panas yang dalam.
11.2.2.2.1.4 Phonophoresis
Ultrasound juga digunakan 301-304 untuk mengatur obat melalui kulit dengan proses
phonophoresis. Sebagai contoh, 10% krem hidrokortison diaplikasikan ke sendi yang
meradang dan ultrasound transuder diarahkan pada sendi. Efek dari salisilat dan anestesi
topical lain juga dapat ditingkatkan dengan cara ini.
11.2.2.2.1.5 Iontophoresis
Obat-obat ditempatkan pada pad dan kemudia arus listrik rendah melewati pad,
membawa obat ke jaringan. Anestesi local dan antiinflamasi adalah obat umum yang
digunakan dengan iontophoresis.
TENS,315-317 seperti yang dijelaskan dalam Bab 12, dihasilkan melalu stimulasi
terus menerus dari fiber nervus kutaneus pada level nyeri318 Ketika unit TENS
ditempatkan pada jaringan yang sakit, aktivitas elektrik mengurangi persepsi nyeri. TENS
menggunakan tegangan rendah, arus rendah, biphasic frekwensi bervariasi dan dirancang
terutama untuk stimulasi sensori berlawanan pada gangguan nyeri319-321
Ketika intensitas unit TENS meningkatkan hingga titik serat motoric diaktifkan,
unit TENS menjadi unit EGS yang tidak lagi digunakan untuk koktrol nyeri tetapi untuk
relaksasi otot seperti yang dijelaskan sebelumnya. Pertukaran ini sering membingungkan
dokter.
11.2.2.2.1.8 Akupuntur
Teknik lain untuk modulasi nyeri, akupuntur (lihat gambar 2), penggunaan sistem
antinociceptive tubuh sendiri untuk mengurangi tingkat nyeri. Stimulasi daerah tertentu
(atau titik akupuntur) muncul yang menyebabkan pelepasan endorphin, yang mengurangi
sensasi nyeri melalui interneuron afferent dengan stimuli n subthreshold (gambar 11-13).
Hal ini secara efektif menutup transmisi impuls noxious dan kemudian mengurangi
sensasi nyeri. Stimulasi intermiten sekitar dua puls per detik terlihat lebih efektif dalam
mengurangi ketidaknyamanan berhubungan dengan disfungsi mastikasi 328 Akupuntur
telah sukses untuk beberapa gejala TMD54,329-332 meskipun pasien lebih memilih
perawatan tradisional333 Akupuntur muncul dengan modalitas yang menjanjikan
meskipun mekanisme kerjanya belum dipahami dengan baik. Penelitian lebih lanjut tentu
diindikasikan.
Unit portable TENS ditempatkan pada daerah yang sakit dapat membantu mengurangi
gejala. Hal ini dicapai dengan stimulasi elektik ringan nervus sensori kutaneus
Gambar 11-13
Jarum akupuntur ditempatkan pada wajah untuk mengurangi nyeri. Jarum ini di
pertahankan pada posisiya kira-kira 30 menit, dimana diputa-putar (stimulasi) tiap 5
hingga 10n enit.
Beberapa stusi kasus dimana laser dingin digunakan pada nyeri TMJ persisten
telah di publikasikan282,330,346-349 Meskipun hasil penelitian ini telah menguntungkan,
penelitian kurang kontrol dan ukuran sampel yang memadai. Penyelidikan lebih lanjut
akan diperlukan sebelum laser terapi menjadi modalitas rutin dalam kedokteran gigi.
Teknik manual atau terapi “hands-on” dilakukan oleh terapi fisik untuk
mengurangi nyeri dan disfungsi. Teknik manual dibagi dalam tiga kategori: mobilisasi
jaringan dan kondisi otot.
Terapi fisik dapat membantu dalam memperoleh kembali fungsi normal dan
mobilitas luka atau jaringan yang sakit. Mobilisasi jaringan lunak pada kondisi nyeri otot
dan dilakukan pemijatan yang dalam dan luar. Pada diskusi sebelumnya, stimulasi ringan
nervus sensori kutaneus mempengaruhi inhibitor nyeri.318,350 Dengan demikian pemijatan
lembut pada jaringan daerah yang sering sakit dapat mengurangi persepsi nyeri. Pasien
dapat diajarkan teknik pemijatan lembut dan didorong untuk melakukannya selama
diperlukan untuk pengurangan nyeri. Teknik ini dengan pergangan otot dapat membantu
dalam mengurangi nyeri. Teknik ini juga membuat pasien secara aktif terlibat dalam
perawatan yang dapat memberi pasien perasaan penting dalam kontrol(gbr 11-14)
Ketika nyeri otot merupakan keluhan utama, pijatan dapat membantu. Pasien didorong
untuk melakukan pijata lembut kedaerah yang sakit secara teratur sepanjang hari. Hal ini
dapat menstimulasi nervus sensori kutaneus untuk penghambatan inhibitor nyeri. Jika
nyeri meningkat, hal ini harus dihentikan
Gambar 11-15 Distraksi Sendi pada Sendi Temporo Mandibula
Hal ini dapat dicapai dengan menempatkan ibu jari pada mulut pasien sepanjang gigi
molar kedua mandibula pada sisi yang terganggu. Sementara kepala di stabilkan dengan
tangan lain, ibu jari memberi tekanan ke bawah pada gigi molar.
Catatan penting bahwa distraksi ringan pada sendi normal tidak menyebabkan
nyeri. Jika nyeri timbul, terapis harus curiga gangguan inflamasi sendi dan menghentikan
prosedur distraksi.
Distraksi tulang belakang juga membantu beberapa pasien dengan keluhan nyeri
ororfasial. Hal ini harus di buat dan dipantau oleh seorang spesialis terlatih dalam fungsi
servikospinal. Dokter gigi tidak dilatih secara normal untuk terapi traksi servikal dan oleh
karena itu tidak merekomendasikan jenis terapi ini. Namun, dokter gigi mengobati nyeri
orofasial pasien yang menggunakan traksi servikal yang direkomendasikan oleh dokter
mereka untuk gangguan servikal.
Peregangan otot pasif nyeri, otot memendek dapat efektif menangani beberapa
TMDs352,353. Peregangan otot berlawanan dengan otot yang memendek yang berkontribusi
untuk mengurangi aliran darah dan akumulasi dari substansi algogenik yang
bertanggungjawab pada nyeri otot. Seringnya peregangan otot pasif dapat membantu
dalam membangun panjang otot normal dan fungsinya. Pasien searusnya di instruksikan
dengan perlahan dan membuka mulut hingga nyeri dirasakan. Nyeri harus dihindari
karena dapat menyebabkan nyeri otot siklik. Kadang-kadang dapat membantu pasien
yang mengalami nyeri otot untuk mengamati pembukaan mulut mereka dicermin
sehingga mereka dapat berjalan baik tanpa cacat atau diviasi ( Gbr 11-16). Gerakan
eksentrik lateral dan gerakan protrusi harus dilakuakn dalam rentang nyeri.
Dengan gangguan intracapsular membuka mulut menjadi tidak mungkin ata tidak
diinginkan. Meminta pada pasien dengan dislokasi sendi atau ketidak sesuaian structural
untuk membuka mulut sebenarnya dapat memperburuk kondisi nyeri. Pasien harus
diintruksikan untuk membuka mulut lebar dengan nyaman yang menyebabkan sedikit
perlawanan dari gangguan sendi. Kadang-kadang defleksi pada saat membuka telah
dipelajari oleh pasien dan upaya untuk memperbaiki hal ini benar-benar dapat
memperburuk kondisi.
Gambar 11-17
Latihan peregangan sering digunakan untuk mendapatkan kembali buka mulut normal.
PAsien diinstruksikan untuk melakukan tekanan pereangan secara lembut dan perlahan-
lahan pada otot elevator dengan jari. Nyeri tidak boleh terjadi. Jika ada nyeri, tekanan
harus dikurangi atau latihan dihentikan.
Peregangan otot pasif dapat membantu dalam laihan pasien untuk melakukan
gerakan yang akan mengatasi disfungsi354 Sebagai contoh, selama gerakan membuka,
pasien dengan suara pada sendi sering mentranslasi kondilus kedepan sebelum berputar.
Pssien dengan jenis masalah ini didorong untuk mengvisualisaskan gerakan mandibula
mereka di cermin dan untuk berputar sebelum translasi. Sekali lagi, diagnosis adalah
kunci untuk pemilihan perawatan yang tepat.
Sekali otot telah meregang, dapat dihangatkan dengan tangan dan prosedur
diulang dua hingga tiga kali. Hal ini diasumsikan bahwa titik pemicu dihilangkan dengan
peregangan aktif pada otot. Spray digunakan hanya sebagai iritan sementara mengurangi
nyeri sehingga otot dapat diregangkan tanpa rasa sakit (teori gate kontrol 350). Jika nyeri
muncul selama peregangan, otot akan berkontraksi, yang mengurangi efektivitas teknik
ini. Produksi nyeri dapat juga menyebabkan nyeri otot siklik.
Latihan Isometrik (latihan resisten) dapat berguna pada pasien muda dengan nyeri
clicking awal. Hal ini telah mengemukakan bahwa struktur sendi pada usia ini membantu
dalam memperkuat ligament dan permukaan artikular 362 Latihan isometric juga
memperkuat otot-otot yang mendukung sendi, meningkatkan fungsi dan resisten terhadap
displacement.
Gambar 11-18
Meskipun terdapat bukti bahwa gangguan serviks sangat erat kaitannya dengan
gejala TMD. Hubungan yang tepat tidak sepenuhnya jelas. Tentu saja efek nyeri alihan
disebabkan oleh eksitasi sentral sebagai penyumbang utama ( lihat Bab 2). Beberapa
dokter363,364 juga telah menyarankan bahwa postur kepala, leher, dan bahu dapat
berkontribusi pada gejala TMD. Meskipun hal ini mungkin logis, bukti ilmiah lemah 365,366
dan beberapa kasus tidak mendukung367-369 Postur kepala kedepan telah menarik
perhatian. Telah dijelaskan bahwa jika kepala dalam posisi maju, pasien harus memutar
kepala keatas untuk melihat dengan baik. Posisi kepala kedepan dan berputar
menghasilkan elongasi otot suprahyoid dan otot infrahyoid dan juga menutup ruang
posterior antara atlas dan axis. Telah di kemukakan bahwa mempertahankan posisi ini
sering menyebabkan gejala otot dan servikal. Pada pasien TMD dengan nyeri otot yang
juga memiliki postur kepala kedepan, latihan pasien untuk menjaga kepala pada
hubungan normal dengan bahu dapat mengurangi gejala TMD370
Latihan telah disarankan pada pasien untuk meningkatkan postru kepala dan
servikal367,370. Karena latihan sederhana dan tidak invasive, dapat di presentasikan kepada
semua psien dengan posisi kepala kedepan dan nyeri TMD. Efektivitas latihan ini belum
ditetapkan. Penelitian ilmiah pada area ini diperlukan.
Dari catatan bahwa efektivitas modalitas terapi fisik dan teknik perlu dievaluasi
lebih menyeluruh dalam uji klinis terkontrol. Sebagian besar dari gaya manajemen telah
dikembangkan, dengan penelitian berbasis bukti285,300,357,371,372 Karena kebanyakan terapi
konservatif, ada kemungkinan bahwa tidak ada salahnya dilakukan. Disisi lain, pada
masyarakat secara finansial, efektivitas perlu dipertimbangkan.
Ketika TMD akut, terapi segera diarahkan pada etiologi yang biasanya cukup
untuk mengurangi dan menghilangkan gejal. Namun, ketika gejala berkepanjangan,
penanganan menjadi lebih sulit. TMD kronik sering tidak diselesaikan dengan prosedur
perawatan gigi sederhana (mis alat oklusal). Hal ini mungkin karena adanya faktor-faktor
penting lainnya yang tidak terkait dengan kondisi gigi. Beberapa faktor memiliki masalah
psikososial yang terkait dengan perubahan karakteristik kontrol otak. Dalam sebuah studi
yang menarik oleh Phillips,dkk140 pasien dengan gejala TMD akut di evaluasi secara
psikososial tetapi tidak memberikan perawatan formal. Individu ini kemudian
diingatkandalam 6 bulan untuk menjelaskan status gejala TMD mereka. Phillips
melaporkan bahwa individu yang terus mengalami gejala TMD, berbeda dalam
pertimbangan psikososial dari mereka yang tidak memiliki gejala yang lama. Individu
TMD kronik mengalami gangguan kecemasan dan depresi yang lebih daripada mereka
yang telah sembuh. Perbedaan juga dilaporkan antara pria dan wanita. Pria yang
menderita TMD kronik lebih cenderung menunjukkan gangguan kepribadian sedangkan
wanita lebih menunjukkan tingkat yang signifikan pada psikopatologi utama. Hal itu
merupakan pemikiran penting bahwa individu mungkin memiliki masalah psikososial
tertentu dan diubah dengan respon fisiologis terhadap rangsangan yang membuat mereka
lebih rentan mengalami TMD kronis. Seperti yang disebutkan dalam bab ini, trauma
emosional yang sebelumnya dialami oleh seseorang individu yang kronis bias
meningkatkan sistm saraf ototnom. Upregulasi dan psikologi terganggu dapat membuat
lebih sulit bagi individu untuk pulih dari cedera tau gejala, sehingga mengacu ke kondisi
kronis. Inilah sebabnya mengapa TMD menjadi pedekatan kronik yang harus di
pertimbangkan. Minimal kelompok untuk TMD kronik adalah dokter gigi, psikologi, dan
terapi fisik atau praktisi yang memiliki kombinasi keterampilan dalam tiap disiplin ilmu.
Pendekatan perawatan yang benar dalam menangani nyeri TMD dan nyeri
orofasial yakni mengembangkan intervensi yang mengatasi karakteristik spesifik umum
yang ditemukan pada pasien TMD kronik. Penelitian laboratorium Universitas Kentucky
telah mengembangkan program penelitian85,373 yang menyarankan seseorang dengan nyeri
ororfasial kronik otot dibedakan melalui lima karakteristik:
Individu melaporkan intensitas nyeri signifikan bila dibandingkan dengan pasien
nyeri yang lain, dan mereka juga lebih sensitive terhadap stimuli nyeri pada
region trigeminal. Sensitivitas pada stimuli nyeri adalah konsisten dengan
penelitian pada nyeri ororfasial lain374,375
Pasien nyeri melaporkan tingkat signifkan kelelahan yang merusak fungsi normal.
Kelelahan ini berkaitan erat dengan karakteristik penting ketiga, depresi
Depresi umum terjadi di antara pasien dengan nyeri orofasial otot kronik. Namun
komponen signifikan dari kelelahan tidak dikaitkan dengan depresi itu sendiri.
Bentuk pernapasan terganggu sehingga tingkat karbondioksida yang rendah pada
pasien daripada kelompok kontrol. Penemuan ini menunjukkan bahwa pola
pernapasan mungkin berkontribusi pada disregulasi fisik yang dilaporka pasien.
Pasien yang sakit melaporkan gangguan tidur yang signifikan yang melibatkan
sulit tidur atau terbangun
Berikut ini adalah pendekatan perawatan nyeri orofasial kronis yang didasarkan
pada interpretasi dari hasil penelitian yang di kembangkan oleh Drs. Peter Bertarand dan
Charles Carlson pada tahun 1993. Fokus perawatan ini yakni 1) mengatasi rasa sakit dan
kelelahan sebagai gangguan fisiologis yang membutuhkan perawatan ini, 2) menangani
disregulasi autonomi, 3) mengubah pola pernapasan disfungsional,4) meningkatkan tidur.
Karena pendekatan ini melibatkan keterampilan khusus untuk mengubah parameter
fisiologis, pendekatn ini disebut “physical self-regulation” (PSR). Latihan manual dari
PSR dikembangkan oleh Drs. Crlson dan Berrand tahun 1995 untuk menyusun dan
menstandarisasi prosedur itu376 Pada tahun 1997 Drs. Bertrand dan Carlson melakukan uji
acak, kontrol klinis pada PSR pada sampel pasien nyeri orofasial di Nasional Naval
Dental Center di Bethesda, Maryland377 Uji klinis termasuk pengacakan dari 44 pasien
dengan usia rata-rata 34,6 tahun dan dengan nyeri yang berlangsung selama 52 bulan
pada kelompok dengan PSR atau kelompok dengan standar perawatan gigi (SDC) yang
termasuk stablisasi suatu alat. Kedua perlakuan mengakibatkan penurunan yang
signifikan dalam intensitas nyeri dan interfensi dari 6 minggu setelah perawatan dimulai.
Pada 6 bulan follow up, bagaimanapun, kelompok PSR melaporkan nyeri yang rendah
disbanding kelompok SDC. Pembukaan mulut yang nyaman dan maksimumditingkatkan
untuk kelompok awal. Pada 6 bulan follow up, kelompok PSR membuka mulut lebih
nyaman dan maksimum dibandingkan dengan kelompok SDC. HAsil ini didukung
dengan penggunaan evaluasi pendekatan PSR untuk menangani nyeri orofasial.
Pendekatan PSR terdiri dari 8 area pendidikan dan pelatihan. Pertama, pasien
disediakan dengan penjelasan tentang kondisi mereka dan kesempatan untuk
mengembangkan masalah pribadi. Kedua, pasien diberi instruksi menegnai posisi struktur
region ororfasial378 dan pentingnya mengurangi aktivasi otot dengan mengenali apakah
otot kepala atau leher merespon. Ketiga, keterampilan spesifik disediakan untuk
meningkatakan kesadaran pada posisi postural, khususnya region kepala dan leher.
Bentuk ini disebut pendidikan proprioceptive dan alasan untuk hal ini lebih jauh
dijelaskan oleh Carlson dkk377. Keempat keterampilan untuk ketegangan yang relaks juga
disampaikan pasien melali latihan yang melibatkan posisi struktur tubuh yang dilakukan
pasien, melibatkan gerakan pelan pada kelompok otot rhomboid. Kelima, relaksasi
progresif melibatkan posisi struktur tubuh diberikan pada pasien, bersama dengan
instruksi yang mengambil setidaknya dua periode selama aktivitas sehari-hari untuk
relaksasi otot yang dalam dan mengurangi tegangan. Latihan ini diikuti dengan
diagfragma yang pelan, relaksasi ketika otot skeletal tidak merespon stimuli. Ketujuh,
pasien diberi instruksi untuk mulai tidur pada posisi relaks dengan rekomendasi tidur
yang nyaman. Terakhir, pasien di beri petunjuk tentang asupan cairan, nutrisi dan latihan
untuk restorasi fungsi normal. Program PSR seluruhnya disajikan dalam kerangka kerja
yang berfokus pada pemahaman nyeri sebagai gangguan fisiologis yang baik dikelola
oelh orang-orang yang mengatasi gangguan melalui istirahat, nutrisi dan perbaikan
jaringan, regulasi perilaku fungsi autonomic dan aktivitas yang tepat. Pendekatan PSR
berfokus pada pembatasan aktivitas yang meningkatkan rasa tidak nyaman atau nyeri
untuk mengembangakn fungsi bebas nyeri.
11.4 Referensi
Albino JEN, Commiakutttee Chairperson: The National Institutes of Health
Technology Assessment Conference Statement on the Management evaluation of
conservative treatment for myofascial pain-dysfunction, 1996.
Whitney CW, Von Korff M: Regression to the mean in treated versus untreated
chronic pain, Pain 50:281-285, 1992.
Greene CS, Laskin DM: Long-term evaluation of conservative treatment for
myofascial pain-dysfunction syndrome, J Am Dent Assoc 89:1365-1368, 1974.
Greene CS, Markovic MA: Response to nonsurgical treatment of patients with
positive radiographic findings in the temporomandibula joint, J Oral Surg 34:692-
697, 1976.
Carlsson SG, Gale EN: Biofeedback in the treatment of long-term
temporomandibula joint pain: an outcome study, Biofeedback Self Regul 2:161-
171, 1977.
Carraro JJ, Caffesse RG: Effect of occlusal splints on TMJ symptomatology, J
Prosthet Dent 40:563-566, 1978.
Cohen SR: Follow-up evaluation of 105 patients with myofascial pain-
dysfunction syndrome, J Am Dent Assoc 97:825-828, 1978.
Dohrmann RJ, Laskin DM: An evaluation of electromyographic biofeedback in
the treatment of myofascial pain-dysfunction syndrome, J Am Dent Assoc 96:656-
662, 1978.
Nel H: Myofascial pain-dysfunction syndrome, J Prosthet Dent 40:438-441,
1978.
Heloe B, Heiberg AN: A follow-up study of a group of female patients with
myofascial pain-dysfunction syndrome, Acta Odontol Scand 38:129-134, 1980.
Wessberg GA, Carroll WL, Dinham R, Wolford LM: Transcutaneous electrical
stimulation as an adjunct in the management of myofascial pain-dysfunction
syndrome, J Prosthet Dent 45:307-314, 1981.
Greene CS, Laskin DM: Long-term evaluation of treatment for myofascial
paindysfunction syndrome: a comparative analysis, J Am Dent Assoc 107:235-
238, 1983.
Magnusson T, Carlsson GE: A 21 ½2-yearfollow-up of changes in headache and
mandibula dysfunction after stomatognathic treatment, J Prosthet Dent 49:398-
402, 1983.
Wedel A, Carlsson GE: Retrospective review of 350 patients referred to a TMJ
clinic, Community Dent Oral Epidemiol 11:69-73, 1983.
Strychalski ID, Mohl ND, McCall WD Jr, Uthman AA: Three year follow-up
TMJ patients: success rates and silent periods, J Oral Rehabil 11:71-78, 1984.
Okeson JP, Hayes DK: Long-term results of treatment for temporomandibula
disorders: an evaluation by patients, J Am Dent Assoc 112:473-478, 1986.
Randolph CS, Greene CS, Moretti R, Forbes D, Perry HT: Conservative
management of temporomandibula disorders: a posttreatment comparison
between patients from a university clinic and from private practice, Am J Orthod
Dentofacial Orthop 98:77-82, 1990.
Okeson JP: Long-term treatment of disk-interference disorders of the
temporomandibula joint with anterior repositioning occlusal splints, J Prosthet
Dent 60:611-616, 1988.
Williamson EH, Rosenzweig BJ: The treatment of temporomandibula disorders
through repositioning splint therapy: a follow-up study, Cranio 16:222-225, 1998.
Kurita H, Kurashina K, Kotani A: Clinical effect of full coverage occlusal splint
therapy for specific temporomandibula disorder conditions and symptoms, J
Prosthet Dent 78:506-510, 1997.
Sato S, Kawamura H, Nagasaka H, Motegi K: The natural course of anterior disc
displacement without reduction in the temporomandibula joint:follow-up at 6, 12,
and 18 months, J Oral Maxillofac Surg 55:234-238; discussion 238-239, 1997.
Zarb GA, Thompson GW: Assessment of clinical treatment of patients with
temporomandibula joint dysfunction, J Prosthet Dent 24:542-554, 1970.
Banks P, Mackenzie I: Condylotomy. A clinical and experimental appraisal of a
surgical technique, J Maxillofac Surg 3:170-181, 1975.
Cherry CQ, Frew A Jr: High condylectomy for treatment of arthritis of the
temporomandibula joint, J Oral Surg 35:285-288, 1977.
Brown WA: Internal derangement of the temporomandibula joint: review of 214
patients following meniscectomy, Can J Surg 23:30-32, 1980.
Bjornland T, Larheim TA: Synovectomy and diskectomy of the
temporomandibula joint in patients with chronic arthritic disease compared with
diskectomies in patients with internal derangement. A 3-year follow-up study, Eur
J Oral Sci 103:2-7, 1995.
Marciani RD, Ziegler RC: Temporomandibula joint surgery: a review of fifty-one
operations, Oral Surg Oral Med Oral Pathol 56:472-476, 1983.
Mejersjo C, Carlsson GE: Analysis of factors influencing the long-term effect of
treatment of TMJ-pain dysfunction, J Oral Rehabil 11:289-297, 1984.
Upton LG, Scott RF, Hayward JR: Major maxillomandibula malrelations and
temporomandibula joint pain-dysfunction, J Prosthet Dent 51:686-690, 1984.
Benson BJ, Keith DA: Patient response to surgical and nonsurgical treatment for
internal derangement of the temporomandibula joint, J Oral Maxillofac Surg
43:770-777, 1985.
Eriksson L, Westesson PL: Results of temporomandibula joint diskectomies in
Sweden 1965-85, Swed Dent J 11:1-9, 1987.
Silver CM: Long-term results of meniscectomy of the temporomandibula joint,
Cranio 3:46 57, 1984.
Holmlund A, Gynther G, Axelsson S: Efficacy of arthroscopic lysis and lavage in
patients with chronic locking of the temporomandibula joint, Int J Oral
Maxillofac Surg 23:262-265, 1994
Moses JJ, Poker ID: TMJ arthroscopic surgery: an analysis of 237 patients, J Oral
Maxillofac Surg 47:790-794, 1989.
Murakami K, Moriya Y, Goto K, Segami N: Four-year follow-up study of
temporomandibula joint arthroscopic surgery for advanced stage internal
derangements, J Oral Maxillofac Surg 54:285-290, 1996.
Kirk WS Jr: Risk factors and initial surgical failures of TMJ arthrotomy and
arthroplasty: a four to nine year evaluation of 303 surgical procedures, Cranio
16:154-161, 1998.
Murakami KI, Tsuboi Y, Bessho K, Yokoe Y, Nishida M et al: Outcome of
arthroscopic surgery to the temporomandibula joint correlates with stage of
internal derangement: five-year follow-up study, Br J Oral Maxillofac Surg
36:30-34, 1998.
Summer JD, Westesson PL: Mandibula repositioning can be effective in treatment
of reducing TMJ disk displacement. A long-term clinical and MR imaging follow-
up, Cranio 15:107-120, 1997.
Sato S, Ohta M, Ohki H, Kawamura H, Motegi K: Effect of lavage with injection
of sodium hyaluronate for patients with nonreducing disk displacement of the
temporomandibula joint, Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod
84:241-244, 1997.
Nitzan DW, Samson B, Better H: Long-term outcome of arthrocentesis for
sudden-onset, persistent, severe closed lock of the temporomandibula joint, J Oral
Maxillofac Surg 55:151 157; discussion 157-158, 1997.
Rosenberg I, Goss AN: The outcome of arthroscopic treatment of
temporomandibula joint arthropathy, Aust Dent J 44:106-111, 1999.
Carvajal WA, Laskin DM: Long-term evaluation of arthrocentesis for the
treatment of internal derangements of the temporomandibula joint, J Oral
Maxillofac Surg 58:852-855; discussion 856-857, 2000.
Hall HD, Navarro EZ, Gibbs SJ: One-and three-year prospective outcome study
of modified condylotomy for treatment of reducing disc displacement, J Oral
Maxillofac Surg 58:7-17, 2000.
De Boever JA, Carlsson GE, Klineberg IJ: Need for occlusal therapy and
prosthodontics treatment in the management of temporomandibula disorders. Part
II: tooth loss and prosthodontic treatment, J Oral Rehabil 27:647-659, 2000.
Yatani H, Minakuchi H, Matsuka Y, Fujisawa T, Yamashita A: The long-term
effect of occlusal therapy on self-administered treatment outcomes of TMD, J
Orofac Pain 12:75-88, 1998.
Ramfjord SP, Ash MM: Occlusion, ed 3, Philadelphia, 1983, Saunders, p 500.
Franks AST: Conservative treatment of temporomandibula joint dysfunction: a
comparative study, Dent Pract Dent Rec 15:205-210, 1965.
Okeson JP, Kemper JT, Moody PM: A study of the use of occlusion splints in the
treatment of acute and chronic patients with craniomandibula disorders, J
Prosthet Dent 48:708-712, 1982.
Clark GT, Beemsterboer PL, Solberg WK, Rugh JD: Nocturnal
electromyographic evaluation of myofascial pain dysfunction in patients
undergoing occlusal splint therapy, J Am Dent Assoc 99:607-611, 1979.
Solberg WK, Clark GT, Rugh JD: Nocturnal electromyographic evaluation of
bruxism patients undergoing short term splint therapy, J Oral Rehabil 2:215-223,
1975.
Fuchs P: The muscular activity of the chewing apparatus during night sleep. An
examination of healthy subjects and patients with functional disturbances, J Oral
Rehabi l2:35-48, 1975.
Okeson JP: The effects of hard and soft occlusal splints on nocturnal bruxism, J
Am Dent Assoc 114:788-791, 1987.
Brown DT, Gaudet EL Jr: Outcome measurement for treated and untreated TMD
patients using the TMJ scale, Cranio 12:216-222, 1994.
Dahlstrom L: Conservative treatment methods in craniomandibula disorder, Swed
Dent J 16:217-230, 1992.
Yustin D, Neff P, Rieger MR, Hurst T: Characterization of 86 bruxing patients
with long-term study of their management with occlusal devices and other forms
of therapy, J Orofac Pain 7:54-60, 1993.
Linde C, Isacsson G, Jonsson BG: Outcome of 6-week treatment with
transcutaneous electric nerve stimulation compared with splint on symptomatic
temporomandibula joint disk displacement without reduction, Acta Odontol Scand
53:92-98, 1995.
Garefis P, Grigoriadou E, Zarifi A, Koidis PT: Effectiveness of conservative
treatment for craniomandibula disorders: a 2-year longitudinal study, J Orofac
Pain 8:309-314, 1994.
Wright E, Anderson G, Schulte J: A randomized clinical trial of intraoral soft
splints and palliative treatment for masticatory muscle pain, J Orofac Pain 9:192-
199, 1995.
Yap AU: Effects of stabilization appliances on nocturnal parafunctional activities
in patients with and without signs of temporomandibula disorders, J Oral Rehabil
25:64-68, 1998.
Ekberg EC, Vallon D, Nilner M: Occlusal appliance therapy in patients with
temporomandibula disorders. A double-blind controlled study in a short-term
perspective, Acta Odontol Scand 56:122-128, 1998.
Kight M, Gatchel RJ, Wesley L: Temporomandibula disorders: evidence for
significant overlap with psychopathology, Health Psychol 18:177-182, 1999.
Wexler GB, Steed PA: Psychological factors and temporomandibula outcomes,
Cranio 16:72-77, 1998.
Carlson CR, Okeson JP, Falace DA, Nitz AJ, Curran SL et al: Comparison of
psychologic and physiologic functioning between patients with masticatory
muscle pain and matched controls, J Orofac Pain 7:15-22, 1993.
De Leeuw J, Steenks MH, Ros WJ, Bosman F, Winnubst JA et al: Psychosocial
aspects of craniomandibula dysfunction. An assessment of clinical and
community findings, J Oral Rehabil 21:127-143, 1994.
Grassi C, Passatore M: Action of the sympathetic sistem on skeletal muscle, Ital J
Neurol Sci9:23-28, 1988.
Passatore M, Grassi C, Filippi GM: Sympathetically-induced development of
tension in jaw muscles: the possible contraction of intrafusal muscle fibres,
Pflugers Arch 405:297-304, 1985.
Korszun A, Papadopoulos E, Demitrack M, Engleberg C, Crofford L: The
relationship between temporomandibula disorders and stress-associated
syndromes, Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod 86:416-420,
1998.
Lupton DE: A preliminary investigation of the personality of female
temporomandibula joint dysfunction patients, Psychother Psychosom 14:199-216,
1966.
Grieder A: Psychologic aspects of prosthodontics, J Prosthet Dent 30:736-744,
1973.
Solberg WK, Flint RT, Brantner JP: Temporomandibula joint pain and
dysfunction: a clinical study of emotional and occlusal components, J Prosthet
Dent 28:412-422, 1972.
Gross SM, Vacchiano RB: Personality correlates of patients with
temporomandibula joint dysfunction, J Prosthet Dent 30:326-329, 1973.
Molin C, Edman G, Schalling D: Psychological studies of patients with
mandibula pain dysfunction syndrome. 2. Tolerance for experimentally induced
pain, Sven Tandlak Tidskr 66:15-23, 1973.
Engle GL: Primary atypical facial neuralgia, Psychosom Med 13:375-396, 1951
Moulton R: Psychiatric considerations in maxillofacial pain, J Am Dent Assoc
51:408-414, 1955.
Lesse S: Atypical facial pain syndrome of psychogenic origin, J Nerv Ment Dis
124:346-351, 1956.
Southwell J, Deary IJ, Geissler P: Personality and anxiety in temporomandibula
joint syndrome patients, J Oral Rehabil 17:239-243, 1990.
Pingitore G, Chrobak V, Petrie J: The social and psychologic factors of bruxism, J
Prosthet Dent 65:443-446, 1991.
Schnurr RF, Brooke RI, Rollman GB: Psychosocial correlates of
temporomandibula joint pain and dysfunction [see comments], Pain 42:153-165,
1990.
Marbach JJ: The ‘temporomandibula pain dysfunction syndrome'personality: fact
or fiction? J Oral Rehabil 19:545-560, 1992.
Michelotti A, Martina R, Russo M, Romeo R: Personality characteristics of
temporomandibula disorder patients using M. M. P. I., Cranio 16:119-125, 1998.
Solberg WK, Rugh JD: The use of bio-feedback devices in the treatment of
bruxism, J South Calif Dent Assoc 40:852-853, 1972.
Kydd WL: Psychosomatic aspects of temporomandibula joint dysfunction, J. Am
Dent Assoc 59:31-44, 1959.
McCal CMJ, Szmyd L, Ritter RM: Personality characteristics in patients with
temporomandibula pain and dysfunction syndrome: psychosocial, health
behavior, physical illness and injury, J Am Dent Assoc 62:694-698, 1961.
Marbach JJ, Lennon MC, Dohrenwend BP: Candidate risk factors for
temporomandibula pain and dysfunction syndrome: psychosocial, health
behavior, physical illness and injury, Pain 34:139-151, 1988.
Carlson CR, Reid KI, Curran SL, Studts J, Okeson JP et al: Psychological and
physiological parameters of masticatory muscle pain, Pain 76:297-307, 1998.
Madland G, Feinmann C, Newman S: Factors associated with anxiety and
depression in facial arthromyalgia, Pain 84:225-232, 2000.
Glaros AG: Emotional factors in temporomandibula joint disorders, J Indiana
Dent Assoc 79:20-23, 2000.
Mongini F, Ciccone G, Ibertis F, Negro C; Personality characteristics and
accompanying symptoms in terporpmandibula joint dysfunction, headache, and
facial pain, J Orofac Pain 14:52-58, 2000.
De Leeuw R, Bertoli E, Schmidt JE, Carlson CR: Prevalence of post-traumatic
stress disorder symptoms in orofacial pain patients, Oral Surg Oral Med Oral
Pathol Oral Radiol Endod 99:558-568, 2005.
Sherman JJ, Carlson CR, Wilson JF, Okeson JP, McCubbin JA: Post-traumatic
stress disorder among patients with orofacial pain, J Orofac Pain 19:309-317,
2005.
Kinney RK, Gatchel RJ, Ellis E, Holt C: Major psychological disorders in chronic
TMD patients: implications for successful management [see comments], J Am
Dent Assoc 123:49-54, 1992.
Meldolesi G, Picardi A, Accivile E, Toraldo di Francia R, Biondi M: Personality
and psychopathology in patients with temporomandibula joint pain-dysfunction
syndrome. A controlled investigation, Psychother Psychosom 69:322-328, 2000.
Rugh JD, Solberg WK: Electromyographic studies of bruxist behavior before and
during treatment, J Calif Dent Assoc 3:56-59, 1975.
Rugh JD, Solberg WK: Psychological implications in temporomandibula pain and
dysfunction, Oral Sci Rev 7:3-30, 1976.
Van Selms MK, Lobbezoo F, Wicks DJ, Hamburger HL, Naeije M:
Craniomandibula pain, oral parafunctions, and psychological stress in a
longitudinal case study, J Oral Rehabil 31:738 745, 2004.
Moss RA, Adams HE: The assessment of personality, anxiety and depression in
mandibula pain dysfunction subjects, J Oral Rehabil 11:233-235, 1984. J Orofac
Pain 9:51-56, 1995.
Watanabe T, Ichikawa K, Clark GT: Bruxism levels and daily behaviors: 3 weeks
of measurement and correlation, J Orofac Pain 17:65-73, 2003.
Eversole LR, Stone CE, Matheson D, Kaplan H: Psychometric profiles and facial
pain, Oral Surg Oral Med Oral Pathol 60:269-274, 1985.
Pierce CJ, Gale EN: Prediction of outcome for bruxing treatment, J Dent Res
65:233, 1986 (abstract).
Lindroth JE, Schmidt JE, Carlson CR: A comparison between masticatory
muscle pain patients and intracapsular pain patients on behavioral and
psychosocial domains, J Orofac Pain 16:277-283, 2002.
Fine EW: Psychological factors associated with non-organic temporomandibula
joint pain dysfunction syndrome, Br Dent J 131:402-404, 1971.
Haley WE, Turner JA, Romano JM: Depression in chronic pain patients: relation
to pain, activity, and sex differences, Pain 23:337-343, 1985.
Bassett DL, Gerke DC, Goss AN: Psychological factors in temporomandibula
joint dysfunction: depression, Aust Prosthodont J 4:41-45, 1990.
Rugh JD, Woods BJ, Dahlstrom L: Temporomandibula disorders: assessment of
psychological factors, Adv Dent Res 7:127-136, 1993.
Magni G, Moreschi C, Rigatti-Luchini S, Merskey H: Prospective study on the
relationship between depressive symptoms and chronic musculoskeletal pain,
Pain 56:289-297,1994.
Auerbach SM, Laskin DM, Frantsve LM, Orr T: Depression, pain, exposure to
stressful life events, and long-term outcomes in temporomandibula disorder
patients, J Oral Maxillofac Surg 59:628-633, 2001.
Marbach JJ, Lund P: Depression, anhedonia and anxiety in temporomandibula
joint and other facial pain syndromes, Pain 11:73-84, 1981.
Olson RE, Schwartz RA: Depression in patients with myofascial pain-
dysfunction syndrome, J Dent Res 56:160, 1977 (abstract).
Tauschke E, Merskey H, Helmes E: Psychological defense mechanisms in
patients with pain, Pain 40:161-170, 1990.
Gamsa A: Is emotional disturbance a precipitator or a consequence of chronic
pain? Pain 42:183-195, 1990.
Magni G, Marchetti M, Moreschi C, Merskey H, Luchini SR: Chronic
musculoskeletal pain and depressive symptoms in the National Health and
Nutrition Examination I. Epidemiologic follow-up study, Pain 53:163-168, 1993.
Von Korff M, Le Reschle L, Dworkin SF: First onset of common pain
symptoms: a prospective study of depression as a risk factor, Pain 55:251-258,
1993.
Yap AU, Dworkin SF, Chua EK, List T, Tan KB et al: Prevalence of
temporomandibula disorder subtypes, psychologic distress, and psychosocial
dysfunction in Asian patients, J Orofac Pain 17:21-28, 2003.
Manfredini D, di Poggio AB, Romagnoli M, Dell'Osso L, Bosco M: Mood
spectrum in patients with different painful temporomandibula disorders, Cranio
22:234-240, 2004.
Tversky J, Reade PC, Gerschman JA, Holwill BJ, Wright J: Role of depressive
illness in the outcome of treatment of temporomandibula joint pain-dysfunction
syndrome, Oral Surg Oral Med Oral Pathol 71:696-699, 1991.
Gessel AH: Electromyographic biofeedback and tricyclic antidepressants in
myofascial pain-dysfunction syndrome: psychological predictors of outcome, J
Am Dent Assoc 91:1048-1052, 1975.
Schwartz RA, Greene CS, Laskin DM: Personality characteristics of patients
with myofascial pain-dysfunction (MPD) syndrome unresponsive to
conventional therapy, J Dent Res 58:1435-1439, 1979.
Millstein-Prentky S, Olson RE: Predictability of treatment outcome in patients
with myofascial pain-dysfunction (MPD) syndrome, J Dent Res 58:1341-1346,
1979.
Dworkin SF: Benign chronic orofacial pain. Clinical criteria and
therapeuticapproaches, Postgrad Med 74:239-242, 245, 247-248, 1983.
Schulte J, Anderson G, Hathaway KM: Psychometric profile and related pain
characteristics of temporomandibula disorders patients, J Orofac Pain 7:247-
253, 1993.
Wurtele SK, Kaplan GM, Keairnes M: Childhood sexual abuse among chronic
pain patients, Clin J Pain 6:110-113, 1990.
Domino JV, Haber JD: Prior physical and sexual abuse in women with chronic
headache: clinical correlates, Headache 27:310-314, 1987.
Curran SL, Sherman JJ, Cunningham LL, Okeson JP, Reid KI et al: Physical and
sexual abuse among orofacial pain patients: linkages with pain and psychologic
distress, J Orofac Pain 9:340-346, 1995.
Toomey TC, Hernandez JT, Gittelman DF, Hulka JF: Relationship of sexual and
physical abuse to pain and psychological assessment variables in chronic pelvic
pain patients, Pain 53:105-109, 1993.
Haber JD, Roos C: Effects of spouse abuse and/or sexual abuse in the
development and maintenance of chronic pain in women, Adv Pain Res Ther
9:889-894, 1985.
Riley JL III, Robinson ME, Kvaal SA, Gremillion HA: Effects of physical and
sexual abuse in facial pain: direct or mediated? Cranio 16:259-266, 1998.
Campbell LC, Riley JL III, Kashikar Zuck S, Gremillion H, Robinson
ME:Somatic, affective, and pain characteristics of chronic TMD patients with
sexual versus physical abuse histories, J Orofac Pain 14:112-119, 2000.
Romano JM, Turner JA, Friedman LS, Bulcroft RA, Jensen MP et al: Sequential
analysis of chronic pain behaviors and spouse responses, J Consult Clin Psychol
60:777-782, 1992.
Stenger EM: Chronic back pain: view from a psychiatrist's office, Clin J Pain
8:242-246, 1992.
Burgess JA, Dworkin SF: Litigation and post-traumatic TMD: how patients
report treatment outcome, J Am Dent Assoc 124:105-110, 1993.
De Leeuw J, Ros WJ, Steenks MH, Lobbezoo-Scholte AM, Bosman F et al:
Multidimensional evaluation of craniomandibula dysfunction. II: pain
assessment, J Oral Rehabi l21:515-532, 1994.
McCreary CP, Clark GT, Merril RL, Flack V, Oakley ME: Psychological
distress and diagnostic subgroups of temporomandibula disorder patients, Pain
44:29-34, 1991.
Stockstill JW, Callahan CD: Personality hardiness, anxiety, and depression as
constructs of interest in the study of temporomandibula disorders, J
Craniomandib Disord 5:129-134, 1991.
Rugh JD, Solberg WK: Psychological implications in temporomandibula pain
and dysfunction. In Zarb GA, Carlsson GE, editor: Temporomandibula joint
function and dysfunction, Copenhagen, 1979, Munksgard, pp 239-268.
Duinkerke AS, Luteijn F, Bouman TK, de Jong HP: Relations between TMJ pain
dysfunction syndrome (PDS) and some psychologic and biographic variables,
Community Dent Oral Epidemiol 13:185-189, 1985.
Suvinen TI, Hanes KR, Reade PC: Outcome of therapy in the conservative
management of temporomandibula pain dysfunction disorder, J Oral Rehabil
24:718-724, 1997.
Epker J, Gatchel RJ: Coping profile differences in the biopsychosocial
functioning of patients with temporomandibula disorder, Psychosom Med 62:69-
75, 2000.
Hagberg C, Hagberg M, Kopp S: Musculoskeletal symptoms and psychosocial
factors among patients with craniomandibula disorders, Acta Odontol Scand
52:170-177, 1994.
Phillips JM, Gatchel RJ, Wesley AL, Ellis E III: Clinical implications of sex in
acute temporomandibula disorders, J Am Dent Assoc 132:49-57, 2001.
Malow RM, Olson RE, Greene CS: Myofascial pain dysfunction syndrome: a
psychophysiological disorder. In Golden C, Alcaparras S, Strider F, Graber B,
editors: Applied techniques in behavioral medicine, New York, 1981, Grune
&Stratton, pp 101-133.
Melzack R: Neurophysiological foundations of pain. In Sternback RA, editor:
The psychology of pain, New York, 1986, Raven, pp 1-25.
Rugh JD: Psychological components of pain, Dent Clin North Am 31:579-594,
1987.
Gramling SE, Neblett J, Grayson R, Townsend D: Temporomandibula disorder:
efficacy of an oral habit reversal treatment program, J Behav Ther Exp
Psychiatry 27:245-255, 1996
Selye H: Stress without distress, Philadelphia, 1974, JB Lippincott, p 32.
Oakley ME, McCreary CP, Clark GT, Holston S, Glover D et al: A cognitive-
behavioral approach to temporomandibula dysfunction treatment failures: a
controlled comparison, J Orofac Pain 8:397-401, 1994.
Jacobson E: Progressive relaxation, Chicago, 1968, University of Chicago Press,
pp 69-87.
Moller E, Sheik-Ol-Eslam A, Lous I: Deliberate relaxation of the temporal and
masseter muscles in subjects with functional disorders of the chewing apparatus,
Scand J Dent Res 79:478-482, 1971.
Gessel AH, Alderman MM: Management of myofascial pain dysfunction
syndrome of the temporomandibula joint by tension control training,
Psychosomatics 12:302-309, 1971.
Goldberg G: The psychological, physiological and hypnotic approach to bruxism
in the treatment of periodontal disease, J Am Soc Psychosom Dent Med 20:75-91,
1973.
Reading A, Raw M: The treatment of mandibula dysfunction pain. Possible
application of psychological methods, Br Dent J 140:201-205, 1976.
Blanchard F, Andrasik F, Evans D, Neff D, Applebaum K et al: Behavioral
treatment of 250 chronic headache patients: a clinical replication series, Behavior
Ther 16:308-327, 1985.
Larsson B, Melin L: Chronic headaches in adolescents: treatment in a school
setting with relaxation training as compared with information-contact and self-
registration, Pain 25:325-336, 1986.
Dahlstrom L, Carlsson SG: Treatment of mandibula dysfunction: the clinical
usefulness of biofeedback in relation to splint therapy, J Oral Rehabil 11:277-
284, 1984.
Lacroix JM, Clarke MA, Bock JC, Doxey NC: Muscle-contraction headaches in
multiple pain patients: treatment under worsening baseline conditions, Arch Phys
Med Rehabil 67:14-18, 1986.
Hijzen TH, Slangen JL, van Houweligen HC: Subjective, clinical and EMG
effects of biofeedback and splint treatment, J Oral Rehabil 13:529-539, 1986.
Raft D, Toomey T, Gregg JM: Behavior modification and haloperidol in chronic
facial pain, South Med J 72:155-159, 1979.
Erlandson PM Jr, Poppen R: Electromyographic biofeedback and rest position
training of masticatory muscles in myofascial pain-dysfunction patients, J
Prosthet Dent 62:335-338, 1989.
Okeson JP, Moody PM, Kemper JT, Haley JV: Evaluation of occlusal splint
therapy and relaxation procedures in patients with temporomandibula disorders,
J Am Dent Assoc 107:420 424, 1983.
Carlson CR, Ventrella MA, Sturgis ET: Relaxation training through muscle
stretching procedures: a pilot case, J Behav Ther Exp Psychiatry 18:121-126,
1987.
Carlson CR, Collins FL Jr, Nitz AJ, Sturgis ET, Rogers JL: Muscle stretchingas
analternative relaxation training procedure, J Behav Ther Exp Psychiatry 21:29-
38, 1990.
Carlson CR, Okeson JP, Falace DA, Nitz AJ, Anderson D: Stretch-based
relaxation and the reduction of EMG activity among masticatory muscle pain
patients, J Craniomandib Disord 5:205-212, 1991.
Shaw RM, Dettmar DM: Monitoring behavioural stress control using a
craniomandibula index, Aust Dent J 35:147-151, 1990.
Manns A, Zuazola RV, Sirhan RM, Quiroz M, Rocabado M: Relationship
between the tonic elevator mandibula activity and the vertical dimension during
the states of vigilance and hypnosis, Cranio 8:163-170, 1990.
Gerschman J, Burrows G, Reade P: Hypnotherapy in the treatment of oro-
facialpain, Aust Dent J 23:492-496, 1978.
Simon EP, Lewis DM: Medical hypnosis for temporomandibula disorders:
treatment efficacy and medical utilization outcome, Oral Surg Oral Med Oral
Pathol Oral Radiol Endod 90:54-63, 2000.
Stam HJ, McGrath PA, Brooke RI, Cosier F: Hypnotizability and the treatment
of chronic facial pain, Int J Clin Exp Hypn 34:182-191, 1986.
Dubin LL: The use of hypnosis for temporomandibula joint (TMJ), Psychiatr
Med 10:99-103, 1992.
Flor H, Birbaumer N: Comparison of the efficacy of electromyographic
biofeedback, cognitive-behavioral therapy, and conservative medical
interventions in the treatment of chronic musculoskeletal pain, J Consult Clin
Psychol 61:653-658, 1993.
Santoro F, Maiorana C, Campiotti A: [Neuromuscular relaxation and CCMDP.
Biofeedback and TENS. 4], Dent Cadmos 57:88-89, 1989.
Crider AB, Glaros AG: A meta-analysis of EMG biofeedback treatment of
temporomandibula disorders, J Orofac Pain 13:29-37, 1999.
Mishra KD, Gatchel RJ, Gardea MA: The relative efficacy of three cognitive-
behavioral treatment approaches to temporomandibula disorders, J Behav Med
23:293-309, 2000.
Grazzi L, Bussone G: Effect of biofeedback treatment on sympathetic function in
common migraine and tension-type headache, Cephalalgia 13:197-200, 1993.
Funch DP, Gale EN: Factors associated with nocturnal bruxism and its treatment,
J Behav Med 3:385-397, 1980.
Cassisi JE, McGlynn FD, Belles DR: EMG-activated feedback alarms for the
treatment of nocturnal bruxism: current status and future directions, Bio feedback
Self Reg 12:13-30, 1987.
Lee-Knight CT, Harrison EL, Price CJ: Dental injuries at the 1989 Canada
games: an epidemiological study, J Can Dent Assoc 58:810-815, 1992.
Garon MW, Merkle A, Wright JT: Mouth protectors and oral trauma: a study of
adolescent football players, J Am Dent Assoc 112:663-665, 1986.
Seals RR Jr, Morrow RM, Kuebker WA, Farney WD: An evaluation of
mouthguard programs in Texas high school football, J Am Dent Assoc 110:904-
909, 1985.
Okeson JP, Phillips BA, Berry DT, Cook Y, Paesani D et al: Nocturnal bruxing
events in healthy geriatric subjects, J Oral Rehabil 17:411-418, 1990.
Okeson JP, Phillips BA, Berry DT, Cook YR, Cabelka JF: Nocturnal bruxing
events in subjects with sleep-disordered breathing and control subjects, J
Craniomandib Disord 5:258-264, 1991.
Okeson JP, Phillips BA, Berry DT, Baldwin RM: Nocturnal bruxing events: a
report of normative data and cardiovascular response, J Oral Rehabil 21:623-
630, 1994.
Satoh T, Harada Y: Electrophysiological study on tooth-grinding during sleep,
Electroencephalogr Clin Neurophysiol 35:267-275, 1973.
Rugh JD, Robbins JW: Oral habits disorders. In Ingersoll B, editor:Behavioral
aspects in dentistry, New York, 1982, Appleton-Century-Crofts, 1982, pp 179-
202.
Turk DC, Rudy TE, Kubinski JA, Zaki HS, Greco CM: Dysfunctional patients
with disorders: evaluating the efficacy of a tailored treatment protocol, J Consult
Clin Psychol 64:139-146, 1996.
Clarke NG: Occlusion and myofascial pain dysfunction: is there a relationship? J
Am Dent Assoc 104:443-446, 1982.
Hicks RA, Conti P: Nocturnal bruxism and self reports of stress-related
symptoms, Percept Mot Skills 72:1182, 1991.
Clarke NG, Townsend GC: Distribution of nocturnal bruxing patterns in man, J
Oral Rehabil 11:529-534, 1984.
Lavigne GI, Montplaisir JY: Bruxism: epidemiology, diagnosis,
pathophysiology, and pharmacology. In Fricton JR, Dubner RB,
editors:Orofacial pain and temporomandibula disorders, New York, 1995,
Raven, pp 387-404.
Miguel AV, Montplaisir J, Rompre PH, Lund JP, Lavigne GJ: Bruxism and other
orofacial movements during sleep, J Craniomandib Disord 6:71-81, 1992.
Westrup DA, Keller SR, Nellis TA, Hicks RA: Arousability and bruxism in male
and female college students, Percept Mot Skills 75:796-798, 1992.
Bailey JO, Rugh JD: Effects of occlusal adjustment on bruxism as monitored by
nocturnal EMG recordings, J Dent Res 59:317, 1980.
Fordyce WE: Behavior methods for chronic pain and illness, St Louis, 1976,
Mosby, p 500.
Black RG: The chronic pain syndrome, Surg Clin North Am 55:999-1011, 1975.
Turk DC, Brody MC: Chronic opioid therapy for persistent noncancer
pain:panacea or oxymoron? Am Pain Soc Bull 1:4-7, 1993.
Fordyce WE: On opioids and treatment targets, Am Pain Society Bull 1:1-13,
1991.
Abbadie C, Besson JM: Chronic treatments with aspirin or acetaminophen
reduce both the development of polyarthritis and Fos-like immunoreactivity in
rat lumbar spinal cord,Pain 57:45-54, 1994.
Hargreaves KM, Troullos ES, Dionne RA: Pharmacologic rationale for the
treatmentof acute pain, Dent Clin North Am 31:675-694, 1987.
Ekberg EC, Kopp S, Akerman S: Diclofenac sodium as an alternative
treatmentof temporomandibula joint pain, Acta Odontol Scand 54:154-159,
1996.
Dionne RA, Berthold CW: Therapeutic uses of non-steroidal anti-inflammatory
drugs in dentistry, Crit Rev Oral Biol Med 12:315-330, 2001.
Garcia RLA, Jick H: Risk of upper gastrointestinal bleeding and perforation
associated with individual non-steroidal anti-inflammatory drugs [published
erratum appears in Lancet 343:1048, 1994], Lancet 343:769-772, 1994.
Langman MJ, Weil J, Wainwright P, Lawson DH, Rawlins MD et al: Risks of
bleeding peptic ulcer associated with individual non-steroidal anti-inflammatory
drugs [see comments] [published erratum appears in Lancet 343:1302,1994],
Lancet 343:1075-1078, 1994.
Cicconetti A, Bartoli A, Ripari F, Ripari A: COX-2 selective inhibitors: a
literature review of analgesic efficacy and safety in oral-maxillofacial surgery,
Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod 97:139-146, 2004.
Quinn JH, Kent JH, Moise A, Lukiw WJ: Cyclooxygenase-2 in synovial tissue
and fluid of dysfunctional temporo-mandibula joints with internal derangement,
J Oral Maxillofac Surg 58:1229-1232, 2000.
Ta LE, Dionne RA: Treatment of painful temporo-mandibula joints with a
cyclooxygenase-2 inhibitor: a randomized placebo-controlled comparison of
celecoxibn to naproxen, Pain 111:13-21, 2004.
Svensson P, Houe L, Arendt-Nielsen L: Effect of sistemic versus topical
nonsteroidal anti-inflammatory drugs on postexercise jaw-muscle soreness: a
placebo-controlled study, J Orofac Pain 11:353-362, 1997.
Airaksinen O, Venalainen J, Pietilainen T: Ketoprofen 2.5% gel versus placebo
gel in the treatment of acute soft tissue injuries, Int J Clin Pharmacol Ther
Toxicol 31:561-563, 1993.
Henny FA: Intra-articular injection of hydrocortisone into the temporomandibula
joint, J Oral Surg 12:314-319, 1954.
Toller PA: Osteoarthrosis of the mandibula condyle, Br Dent J 134:223-231,
1973.
Toller P: Non-surgical treatment of dysfunctions of the temporo-mandibula joint,
Oral Sci Rev 7:70-85, 1976.
Kopp S, Carlsson GE, Haraldson T, Wenneberg B: Long-term effect of intra-
articular injections of sodium hyaluronate and corticosteroid on
temporomandibula joint arthritis, J Oral Maxillofac Surg 45:929-935, 1987.
Wenneberg B, Kopp S, Grondahl HG: Long-term effect of intra-articular
injections of a glucocorticosteroid into the TMJ: a clinical and radiographic 8-
year follow-up, J Craniomandib Disord 5:11-18, 1991.
Poswillo D: Experimental investigation of the effects of intra-articular
hydrocortisone and high condylectomy on the mandibula condyle, Oral Surg
Oral Med Oral Pathol 30:161-173, 1970.
Zarb GA, Spech JE: The treatment of mandibula dysfunction. In Zarb GA,
Carlsson GE, editors: Temporomandibula joint: function and dysfunction, St
Louis, 1979, Mosby.
Schindler C, Paessler L, Eckelt U, Kirch W: Severe temporomandibula
dysfunction and joint destruction after intra-articular injection of triamcinolone, J
Oral Pathol Med 34:184-186, 2005.
Kopp S, Wenneberg B, Haraldson T, Carlsson GE: The short-term effect of
intraarticular injections of sodium hyaluronate and corticosteroid on
temporomandibula joint pain and dysfunction, J Oral Maxillofac Surg 43:429-
435, 1985.
Bertolami CN, Gay T, Clark GT, Rendell J, Shetty V et al: Use of sodium
hyaluronate in treating temporomandibula joint disorders: a randomized, double-
blind, placebocontrolled clinical trial, J Oral Maxillofac Surg 51:232-242, 1993.
Alpaslan C, Bilgihan A, Alpaslan GH, Guner B, OzgurYis M et al: Effect of
arthrocentesis and sodium hyaluronate injection on nitrite, nitrate, and
thiobarbituric acid-reactive substance levels in the synovial fluid, Oral Surg Oral
Med Oral Pathol Oral Radiol Endod 89:686-690, 2000.
Hirota W: Intra-articular injection of hyaluronic acid reduces total amounts of
leukotriene C4, 6-keto-prostaglandin F1alpha, prostaglandin F2alpha and
interleukin-1beta in synovial fluid of patients with internal derangement in
disorders of the temporomandibula joint, Br J Oral Maxillofac Surg 36:35-38,
1998.
Sato S, Sakamoto M, Kawamura H, Motegi K: Disc position and morphology in
patient with nonreducing disc displacement treated by injection of sodium
hyaluronate, Int J Oral Maxillofac Surg 28:253-257, 1999.
Alpaslan GH, Alpaslan C: Efficacy of temporomandibula joint arthrocentesis
with and without injection of sodium hyaluronate in treatment of internal
derangements, J Oral Maxillofac Surg 59:613-618, 2001.
Dellemijn PL, Fields HL: Do benzodiazepines have a role in chronic pain
management? Pain 57:137-152, 1994.
Denucci DJ, Dionne RA, Dubner R: Identifying a neurobiologic basis for drug
therapy in TMDs, J Am Dent Assoc 127:581-593, 1996.
Rugh JD, Harlan J: Nocturnal bruxism and temporomandibula disorders. In
Jankovic J, Tolosa E, editors: Facial dyskinesias, New York, 1988, Raven, pp
329-341.
Harkins S, Linford J, Cohen J, Kramer T, Cueva L: Administration of
clonazepam in the treatment of TMD and associated myofascial pain: a double-
blind pilot study, J Craniomandib Disord 5:179-186, 1991.
McQuay H, Carroll D, Jadad AR, Wiffen P, Moore A: Anticonvulsant drugs for
management of pain: a sistematic review, Br Med J 311:1047-1052, 1995.
Wiffen P, Mc Quay H, Carroll D, Jadad A, Moore A: Anticonvulsant drugs for
acute and chronic pain, Cochrane Database Syst Rev CD001133, 2000.
Nemcovsky CE, Gross MD: A comparative study of the stereognathic ability
between patients with myofascial pain dysfunction syndrome and a control
group, Cranio 9:35-38, 1991.
Stanko JR: Review of oral skeletal muscle relaxants for the craniomandibula
disorder (CMD) practitioner, Cranio 8:234-243, 1990.
Tseng TC, Wang SC: Locus of action of centrally acting muscle relaxants,
diazepam and tybamate, J Pharmacol Exp Ther 178:350-360, 1971.
DG, Lacks S, Wiesel SW: Cyclobenzaprine and naproxen versus naproxen alone
in the treatment of acute low back pain and muscle spasm, Clin Ther 12:125-131,
1990.
Reynolds WJ, Moldofsky H, Saskin P, Lue FA: The effects of cyclobenzaprine
on sleep physiology and symptoms in patients with fibromyalgia, J Rheumatol
18:452-454, 1991.
Hamaty D, Valentine JL, Howard R, Howard CW, Wakefield V et al: The
plasma endorphin, prostaglandin and catecholamine profile of patients with
fibrositis treated with cyclobenzaprine and placebo: a 5-month study, J
Rheumatol Suppl 19:164-168, 1989.
Herman CR, Schiffman EL, Look JO, Rindal DB: The effectiveness of adding
pharmacologic treatment with clonazepam or cyclobenzaprine to patient
education and self-care for the treatment of jaw pain upon awakening:a
randomized clinical trial, J Orofac Pain 16:64 70, 2002.
Kreisberg MK: Tricyclic antidepressants: analgesic effect and indications in
orofacial pain, J Craniomandib Disord 2:171-177, 1988.
Lascelles RG: Atypical facial pain and depression, Br J Psychiatry 112:651-659,
1966.
Brown RS, Bottomley WK: Utilization and mechanism of action of tricyclic
antidepressants in the treatment of chronic facial pain: a review of the literature,
Anesth Prog 37:223-229, 1990.
Philipp M, Fickinger M: Psychotropic drugs in the management of chronic pain
syndromes, Pharmacopsychiatry 26:221-234, 1993.
Ward N, Bokan JA, Phillips M, Benedetti C, Butler S et al: Anti depressants in
concomitant chronic back pain and depression: doxepin and desipramine
compared, J Clin Psychiatry 45:54-59, 1984.
Dionne RA: Pharmacologic treatments for temporomandibula disorders, Oral
Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod 83:134-142, 1997.
Brazeau GA, Gremillion HA, Widmer CG, Mahan PE, Benson MB et al: The
role of pharmacy in the management of patients with temporomandibula
disorders and orofacial pain, J Am Pharm Assoc (Wash) 38:354-361, 1998.
Pettengill CA, Reisner-Keller L: The use of tricyclic antidepressants for the
control of nchronic orofacial pain, Cranio 15:53-56, 1997.
Plesh O, Curtis D, Levine J, McCall WD Jr: Amitriptyline treatment of chronic
pain in patients with temporomandibula disorders, J Oral Rehabil 27:834-841,
2000.
Saarto T, Wiffen PJ: Antidepressants for neuropathic pain, Cochrane Database
Syst Rev CD005454, 2005.
Sharav Y, Singer E, Schmidt E, Dionne RA, Dubner R: The analgesic effect of
amitriptyline on chronic facial pain, Pain 31:199-209, 1987.
Fields HL: Pain II: new approaches to management, Ann Neurol 9:101-106,
1981.
Spiegel K, Kalb R, Pasternak GW: Analgesic activity of tricyclic
antidepressants, Ann Neurol 13:462-465, 1983.
Zitman FG, Linssen AC, Edelbroek PM, Stijnen T: Low dose amitriptyline in
chronic pain: the gain is modest, Pain 42:35-42, 1990.
Benoliel R, Eliav E, Elishoov H, Sharav Y: Diagnosis and treatment of persistent
pain after trauma to the head and neck, J Oral Maxillofac Surg 52:1138-1147,
1994.
Egbunike IG, Chaffee BJ: Antidepressants in the management of chronic pain
syndromes, Adv Pain Res Ther 10:262-270, 1990.
Tura B, Tura SM: The analgesic effect of tricyclic antidepressants, Brain Res
518:19-22, 1990.
Rizzatti-Barbosa CM, Nogueira MT, de Andrade ED, Ambrosano GM, de
Barbosa JR: Clinical evaluation of amitriptyline for the control of chronic pain
caused by temporomandibula joint disorders, Cranio 21:221-225, 2003.
Kerrick JM, Fine PG, Lipman AG, Love G: Low-dose amitriptyline as an
adjunct to opioids for postoperative orthopedic pain: a placebo-controlled trial,
Pain 52:325-330, 1993.
Harris M: Medical versus surgical management of temporomandibula joint pain
and dysfunction, Br J Oral Maxillofac Surg 25:113-120, 1987
Moja PL, Cusi C, Sterzi RR, Canepari C: Selective serotonin re-uptake inhibitors
(SSRIs) for preventing migraine and tension-type headaches, Cochrane
Database Syst Rev CD002919, 2005.
Ware JC: Tricyclic antidepressants in the treatment of insomnia, J Clin
Psychiatry 44:25 28, 1983.
Wilke WS, Mackenzie AH: Proposed pathogenesis of fibrositis, Cleve Clin Q
52:147-154, 1985.
Treadwell BL: Fibromyalgia or the fibrositis syndrome: a new look, N Z Med J
94:457-459, 1981.
Moldofsky H, Scarisbrick P, England R, Smythe H: Musculoskeletal symptoms
and non REM sleep disturbance in patients with fibrositis syndrome and healthy
subjects, Psychosom Med 37:341-351, 1975.
Moldofsky H, Scarisbrick P: Induction of neurasthenic musculoskeletal
painsyndrome by selective sleep stage deprivation, Psychosom Med 38:35-44,
1976.
Carette S, McCain GA, Bell DA, Fam AG: Evaluation of amitriptyline in
primary fibrositis. A double-blind, placebo-controlled study, Arthritis Rheum
29:655-659, 1986.
Goldenberg DL, Felson DT, Dinerman H: A randomized, controlled trial of
amitriptyline and naproxen in the treatment of patients with fibromyalgia,
Arthritis Rheum 29:1371-1377, 1986.
Wolfe F: The clinical syndrome of fibrositis, Am J Med 81:7-14, 1986.
Goldenberg DL: A review of the role of tricyclic medications in the treatment of
fibromyalgia syndrome, J Rheumatol Suppl 19:137-139, 1989.
Gendreau RM, Thorn MD, Gendreau JF, Kranzler JD, Ribeiro S et al: Efficacy
of milnacipran in patients with fibromyalgia, J Rheumatol 32:1975-1985, 2005.
Okeson JP: Bell's orofacial pains, ed 6, Chicago, 2005, Quintessence, pp 141-
196.
Tremont-Lukats IW, Challapalli V, McNicol ED, Lau J, Carr DB: Sistemic
administration of local anesthetics to relieve neuropathic pain: a sistematic
review and meta-analysis, Anesth Analg 101:1738-1749, 2005.
Simons DG, Travell JG, Simons LS: Travell& Simons' myofascial pain and
dysfunction: the trigger point manual, ed 2, Baltimore, 1999, Lippincott
Williams & Wilkins.
Fine PG, Milano R, Hare BD: The effects of myofascial trigger point injections
are naloxone reversible, Pain 32:15-20, 1988
Hameroff SR, Crago BR, Blitt CD, Womble J, Kanel J: Comparison of
bupivacaine, etidocaine, and saline for trigger-point therapy, Anesth Analg
60:752-755, 1981.
Graboski CL, Gray DS, Burnham RS: Botulinum toxin A versus bupivacaine
trigger point injections for the treatment of myofascial pain syndrome: a
randomised double blind crossover study, Pain 118:170-175, 2005.
Kamanli A, Kaya A, Ardicoglu O, Ozgocmen S, Zengin FO et al: Comparison of
lidocaine injection, botulinum toxin injection, and dry needling to trigger points
in myofascial pain syndrome, Rheumatol Int 25:604-611, 2005.
Danzig W, May S, McNeill C, Miller A: Effect of an anesthetic injected into the
temporomandibula joint space in patients with TMD, J Craniomandib Disord
6:288-295, 1992.
Gracely RH, Lynch SA, Bennett GJ: Painful neuropathy: altered central
processing maintained dynamically by peripheral input [published erratum
appears in Pain 52:251-253, 1993] [see comments], Pain 51:175-194, 1992.
Black RG, Bonica JJ: Analgesic blocks, Postgrad Med 53:105-110, 1973.
Ernest EA: Temporomandibula joint and craniofacial pain, Montgomery, Ala,
1983, Ernest Publications, pp 105-113.
Travell J: Temporomandibula joint pain referred from muscles of the head and
neck, J Prosthet Dent 10:745-763, 1960.
Bell WE: Temporomandibula disorders: classification, diagnosis, management,
ed 3, Chicago, 1990, Year Book Medical, pp 215-218.
Laskin JL, Wallace WR, DeLeo B: Use of bupivacaine hydrochloride in oral
surgery—a clinical study, J Oral Surg 35:25-29, 1977.
Guttu RL, Page DG, Laskin DM: Delayed healing of muscle after injection of
bupivacaine and steroid, Ann Dent 49:5-8, 1990.
Hepguler S, Akkoc YS, Pehlivan M, Ozturk C, Celebi G et al: The efficacy of
intraarticular sodium hyaluronate in patients with reducing displaced disc of the
temporomandibula joint, J Oral Rehabil 29:80-86, 2002.
Guarda-Nardini L, Tito R, Staffieri A, Beltrame A: Treatment of patients with
arthrosis of the temporomandibula joint by infiltration of sodium hyaluronate: a
preliminary study, Eur Arch Otorhinolaryngol 259:279-284, 2002.
Gray RJ, Quayle AA, Hall CA, Schofield MA: Physiotherapy in the treatment of
temporomandibula joint disorders: a comparative study of four treatment
methods, Br Dent J 176:257-261, 1994.
Heinrich SD, Sharps CH: Lower extremity torsional deformities in children: a
prospective comparison of two treatment modalities, Orthopedics 14:655-659,
1991.
Di Fabio RP: Physical therapy for patients with TMD: a descriptive study of
treatment, disability, and health status, J Orofac Pain 12:124-135, 1998.
McNeely ML, Armijo Olivo S, Magee DJ: A sistematic review of the
effectiveness of physical therapy interventions for temporomandibula disorders,
Phys Ther 86:710-725, 2006.
Hall LJ: Physical therapy treatment results for 178 patients with
temporomandibula joint syndrome, Am J Otol 5:183-196, 1984.
Heinrich S: The role of physical therapy in craniofacial pain disorders: an
adjunct to dental pain management, Cranio 9:71-75, 1991.
Murphy GJ: Physical medicine modalities and trigger point injections in the
management of temporomandibula disorders and assessing treatment outcome,
Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod 83:118-122, 1997.
Nelson SJ, Ash MM Jr: An evaluation of a moist heating pad for the treatment of
TMJ/ muscle pain dysfunction, Cranio 6:355-359, 1988.
Burgess JA, Sommers EE, Truelove EL, Dworkin SF: Short-term effect of two
therapeutic methods on myofascial pain and dysfunction of the masticatory
sistem, J Prosthet Dent 60:606 610, 1988.
Schwartz LL: Ethyl chloride treatment of limited painful mandibula movement, J
Am Dent Assoc 48:497-507, 1954.
Travell J: Ethyl chloride spray for painful muscle spasms, Arch Phys Med
Rehabil 33:291 298, 1952.
Satlerthwaite JR: Ice massage, Pain Management 2:116, 1989.
Travell JG, Rinzler SH: The myofascial genesis of pain, Postgrad Med 11:425-
434, 1952.
Jaeger B, Reeves JL: Quantification of changes in myofascial trigger point
sensitivity with the pressure algometer following passive stretch, Pain 27:203-
210, 1986.
Esposito CJ, Veal SJ, Farman AG: Alleviation of myofascial pain with ultrasonic
therapy, J Prosthet Dent 51:106-108, 1984.
Griffin JE, Karselis TC: Physical agents for physical therapists, ed 2, Spring
field, III, 1982, Charles C Thomas, pp 279-312.
Kahn J: Iontophoresis and ultrasound for postsurgical temporomandibula trismus
and paresthesia, Phys Ther 60:307-308, 1980.
Phero JC, Raj PP, McDonald JS: Transcutaneous electrical nerve stimulation
and myoneural injection therapy for management of chronic myofascial pain,
Dent Clin North Am 31:703-723, 1987.
Van der Windt DA, van der Heijden GJ, van den Berg SG, ter Riet G, de Winter
AF et al: Ultrasound therapy for musculoskeletal disorders: a sistematic review,
Pain 81:257-271, 1999.
Kleinkort JA, Wood F: Phonophoresis with 1 percent versus 10 percent
hydrocortisone, Phys Ther 55:1320-1324, 1975.
Cameron MH, Monroe LG: Relative transmission of ultrasound by media
customarily used for phonophoresis [see comments], Phys Ther 72:142-148,
1992.
Shin SM, Choi JK: Effect of indomethacin phonophoresis on the relief of
temporomandibula joint pain, Cranio 15:345-348, 1997.
Klaiman MD, Shrader JA, Danoff JV, Hicks JE, Pesce WJ et al: Phonophoresis
versus ultrasound in the treatment of common musculoskeletal conditions, Med
Sci Sports Exerc 30:1349-1355, 1998.
Banta CA: A prospective, nonrandomized study of iontophoresis, wrist splinting,
and antiinflammatory medication in the treatment of early-mild carpal tunnel
syndrome, J Occup Med 36:166-168, 1994.
Kahn J: Iontophoresis and ultrasound for postsurgical temporomandibula tissues
and paresthesias, Phys Ther 60:307-308, 1980.
Lark MR, Gangarosa LP Sr: Iontophoresis: an effective modality for the
treatment of nflammatory disorders of the temporomandibula joint and
myofascial pain, Cranio 8:108-119, 1990.
Gangarosa LP: Iontophoresis in dental practice, Chicago, 1983, Quintessence,
pp 35-39.
Braun BL: Treatment of an acute anterior disk displacement in the
temporomandibula joint. A case report, Phys Ther 67:1234-1236, 1987.
Schiffman EL, Braun BL, Lindgren BR: Temporomandibula joint iontophoresis:
a double-blind randomized clinical trial, J Orofac Pain 10:157-165, 1996.
Reid KI, Dionne RA, Sicard-Rosenbaum L, Lord D, Dubner RA: Evaluation of
iontophoretically applied dexamethasone for painful pathologic
temporomandibula joints, Oral Surg Oral Med Oral Pathol 77:605-609, 1994.
Jankelson B, Swain CW: Physiological aspects of masticatory muscle
stimulation:the myomonitor, Quintessence Int 3:57-62, 1972.
Murphy GJ: Electrical physical therapy in treating TMJ patients, J
Craniomandib Pract 1:67-73, 1983.
Mohl ND, Ohrbach RK, Crow HC, Gross AJ: Devices for the diagnosis and
treatment of temporomandibula disorders. Part III: thermography, ultrasound,
electrical stimulation, and electromyographic biofeedback, J Prosthet Dent
63:472-477, 1990.
Kane K, Taub A: A history of local electrical analgesia, Pain 1:125-138, 1975.
Long DM, Hagfors N: Electrical stimulation in the nervous sistem: the current
status of electrical stimulation of the nervous sistem for relief of pain, Pain
1:109-123, 1975.
Sternback RH, Ignelzi RJ, Deems LM, Timmermans G: Transcutaneous
electrical analgesia: a follow-up analysis, Pain 2:35-41, 1976.
Wall PD: The gate control theory of pain mechanisms: a reexamination and
restatement, Brain 101:1-18, 1978.
Dubner R: Neurophysiology of pain, Dent Clin North Am 22:11-30, 1978.
Moystad A, Krogstad BS, Larheim TA: Transcutaneous nerve stimulation in a
group of patients with rheumatic disease involving the temporomandibula joint, J
Prosthet Dent 64:596-600, 1990.
Marchand S, Charest J, Jinxue L, Chenard JR, Lavignolle B et al: Is TENS
purely a placebo effect? A controlled study on chronic low back pain, Pain
54:99-106, 1993.
Jay GW, Brunson J, Branson SJ: The effectiveness of physical therapy in the
treatment of chronic daily headaches, Headache 29:156-162, 1989.
Lapeer GL: High-intensity transcutaneous nerve stimulation at the Hoku
acupuncture point for relief of muscular headache pain. Literature review and
clinical trial, Cranio 4:164-171, 1986.
Black RR: Use of transcutaneous electrical nerve stimulation in dentistry, J Am
Dent Assoc 113:649-652, 1986
Ghia JN, Mao W, Toomey TC, Gregg JM: Acupuncture and chronic pain
mechanisms, Pain 2:285-299, 1976.
Graff-Radford SB, Reeves JL, Baker RL, Chiu D: Effects of transcutaneous
electrical nerve stimulation on myofascial pain and trigger point sensitivity, Pain
37:1-5, 1989.
Dos Santos J Jr: Supportive conservative therapies for temporomandibula
disorders, Dent Clin North Am 39:459-477, 1995.
Raustia AM, Pohjola RT: Acupuncture compared with stomatognathic treatment
for TMJ dysfunction. Part III: effect of treatment on mobility, J Prosthet Dent
56:616-623, 1986.
Johansson A, Wenneberg B, Wagersten C, Haraldson T: Acupuncture in
treatment of facial muscular pain, Acta Odontol Scand 49:153-158, 1991.
Wang K: A report of 22 cases of temporomandibula joint dysfunction syndrome
treated with acupuncture and laser radiation, J Tradit Chin Med 12:116-118,
1992.
Elsharkawy TM, Ali NM: Evaluation of acupuncture and occlusal splint therapy
in the treatment of temporomandibula joint disorders, Egypt Dent J 41:1227-
1232, 1995.
Goddard G: Short term pain reduction with acupuncture treatment for chronic
orofacial pain patients, Med Sci Monit 11:CR71-74, 2005.
List T, Helkimo M, Karlsson R: Pressure pain thresholds in patients with
craniomandibula disorders before and after treatment with acupuncture and
occlusal splint therapy: a controlled 334. Rosted P: The use of acupuncture in
dentistry: a review of the scientific validity of published papers, Oral Dis 4:100-
104, 1998.
Rosted P: The use of acupuncture in dentistry: a review of the scientific validity
of published papers, Oral Dis 4:100-104, 1998.
Hansson P, Ekblom A, Thomsson M, Fjellner B: Influence of naloxone on relief
of acute oro-facial pain by transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS) or
vibration, Pain 24:323-329, 1986.
Kleinkort JA, Foley R: Laser acupuncture. Its use in physical therapy, Am J
Acupunct 12:51-55, 1984.
Snyder-Mackler L, Bork CE: Effect of helium-neon laser irradiation on
peripheral sensory nerve latency, Phys Ther 68:223-225, 1988.
Walker J: Relief from chronic pain by low power laser irradiation, Neurosci Lett
43:339 344, 1983.
Bliddal H, Hellesen C, Ditlevsen P, Asselberghs J, Lyager L: Soft-laser therapy
of rheumatoid arthritis, Scand J Rheumatol 16:225-228, 1987.
Roynesdal AK, Bjornland T, Barkvoll P, Haanaes HR: The effect of soft-laser
application on postoperative pain and swelling. A double-blind, crossover study,
Int J Oral Maxillofac Surg 22:242-245, 1993.
Hall G, Anneroth G, Schennings T, Zetterqvist L, Ryden H: Effect of low level
energy laser irradiation on wound healing. An experimental study in rats, Swed
Dent J 18:29-34, 1994.
Gam AN, Thorsen H, Lonnberg F: The effect of low-level laser therapy on
musculoskeletal pain: a meta-analysis, Pain 52:63-66, 1993.
Bertolucci LE, Grey T: Clinical analysis of mid-laser versus placebo treatment of
arthralgic TMJ degenerative joints, Cranio 13:26-29, 1995.
Bertolucci LE, Grey T: Clinical comparative study of microcurrent electrical
stimulation to mid-laser and placebo treatment in degenerative joint disease of
the temporomandibula joint, Cranio 13:116-120, 1995.
Nunez SC, Garcez AS, Suzuki SS, Ribeiro MS: Management of mouth opening
in patients with temporomandibula disorders through low-level laser therapy and
transcutaneous electrical neural stimulation, Photomed Laser Surg 24:45-49,
2006.
Hanson TL: Infrared laser in the treatment of craniomandibula arthrogenous
pain, J Prosthet Dent 61:614-617, 1989.
Palano D, Martelli M: A clinical statistical investigation dysfunction of the
temporomandibula joint (TMJ), Med Laser Rep 2:21-29, 1985.
Bezuur NJ, Habets LL, Hansson TL: The effect of therapeutic laser treatment in
patients with craniomandibula disorders, J Craniomandib Disord 2:83-86, 1988.
Conti PC: Low level laser therapy in the treatment of temporomandibula
disorders (TMD): a double-blind pilot study, Cranio 15:144-149, 1997.
Melzack R, Wall PD: Pain mechanisms: a new theory, Science 150:971-979,
1965.
Simons DG, Travell JG, Simons LS: Travell& Simons' myofascial pain and
dysfunction: the trigger point manual, ed 2, Baltimore, 1999, Lippincott
Williams &Wilkins, pp 126-173.
Magnusson T, Syren M: Therapeutic jaw exercises and interocclusal appliance
therapy. A comparison between two common treatments of temporomandibula
disorders, Swed Dent J 23:27-37, 1999.
Maloney GE, Mehta N, Forgione AG, Zawawi KH, Al-Badawi EA et al: Effect
of a passive jaw motion device on pain and range of motion in TMD patients not
responding to flat plane intraoral appliances, Cranio 20:55-66, 2002.
Nicolakis P, Erdogmus B, Kopf A, Djaber Ansari A, Piehslinger E et al: Exercise
therapy for craniomandibula disorders, Arch Phys Med Rehabil 81:1137-1142,
2000.
Wilk BR, McCain JP: Rehabilitation of the temporomandibula joint after
arthroscopic surgery, Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod
73:531-536, 1992.
Austin BD, Shupe SM: The role of physical therapy in recovery after
temporomandibula joint surgery, J Oral Maxillofac Surg 51:495-498, 1993.
Kropmans TJ, Dijkstra PU, Stegenga B, de Bont LG: Therapeutic outcome
assessment in permanent temporomandibula joint disc displacement, J Oral
Rehabil 26:357-363, 1999.
Casares G, Benito C, de la Hoz JL: Treatment of TMJ static disk with
arthroscopic lysis and lavage: a comparison between MRI arthroscopic findings
and clinical results, Cranio 17:49-57, 1999.
Chung SC, Kim HS: The effect of the stabilization splint on the TMJ closed lock,
Cranio 11:95-101, 1993.
Nicolakis P, Erdogmus B, Kopf A, Ebenbichler G, Kollmitzer J et al:
Effectiveness of exercise therapy in patients with internal derangement of the
temporomandibula joint, J Oral Rehabil 28:1158-1164, 2001.
Chayes CM, Schwartz LL: Management of mandibula dysfunction: general and
specific considerations. In Schwartz LL, Chayes CM, editors: Facial pain and
mandibula dysfunction, Philadelphia, 1968, Saunders.
Gage JP: Collagen biosynthesis related to temporomandibula joint clicking in
childhood, J Prosthet Dent 53:714-717, 1985.
Rocabado M: Diagnosis and treatment of abnormal craniocervical and
craniomandibula mechanics. In Solberg WK, Clark GT, editors:Abnormal jaw
mechanics, Chicago, 1984,Quintessence, pp 141-159.
Darnell MW: A proposed chronology of events for forward head posture, J
Craniomandib Pract 1:49-54, 1983.
Lee WY, Okeson JP, Lindroth J: The relationship between forward head posture
and temporomandibula disorders, J Orofac Pain 9:161-167, 1995.
Komiyama O, Kawara M, Arai M, Asano T, Kobayashi K: Posture correction as
part of behavioural therapy in treatment of myofascial pain with limited opening,
J Oral Rehabil 26:428-435, 1999.
Clark GT, Green EM, Dornan MR, Flack VF: Craniocervical dysfunction
levelsin a patient sample from a temporomandibula joint clinic, J Am Dent Assoc
115:251-256, 1987.
Darlow LA, Pesco J, Greenberg MS: The relationship of posture to myofascial
pain dysfunction syndrome, J Am Dent Assoc 114:73-75, 1987.
Munhoz WC, Marques AP, de Siqueira JT: Evaluation of body posture
inindividuals with internal temporomandibula joint derangement, Cranio 23:269-
277, 2005.
Wright EF, Domenech MA, Fischer JR Jr: Usefulness of posture training for
patients with temporomandibula disorders [see comments], J Am Dent Assoc
131:202-210, 2000.
Feine JS, Lund JP: An assessment of the efficacy of physical therapy and
physical modalities for the control of chronic musculoskeletal pain, Pain 71:5-
23, 1997.
Feine JS, Widmer CG, Lund JP: Physical therapy: a critique [see comments],
Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod 83:123-127, 1997.
Curran SL, Carlson CR, Okeson JP: Emotional and physiologic responses to
laboratory challenges: patients with temporomandibula disordersversus matched
control subjects, J Orofac Pain 10:141-150, 1996.
Maixner W, Fillingim R, Booker D, Sigurdsson A: Sensitivity of patients with
painful temporomandibula disorders to experimentally evoked pain, Pain
63:341-351, 1995.
Svensson P, Arendt-Nielsen L, Nielsen H, Larsen JK: Effect of chronic and
experimental jaw muscle pain on pain-pressure thresholds andstimulus-response
curves, J Orofac Pain 9:347 356, 1995.
Carlson CR, Bertrand P: Self-regulation training manual, Lexington, Ky, 1995,
University Press.
Carlson C, Bertrand P, Ehrlich A, Maxwell A, Burton RG: Physical self-
regulation training for the management of temporomandibula disorders, J Orofac
Pain 15:47-55, 2001.
Carlson CR, Sherman JJ, Studts JL, Bertrand PM: The effects of tongue position
on mandibula muscle activity, J Orofac Pain 11:291-297, 1997.
Bertrand PM: The management of facial pain, American Association of Oral and
Maxillofacial Surgery Knowledge Update Series, Bethesda, Md, 2002, Bethesda
Press.
*Referensi 71,72,74,82,91,92
BAB 12 Perawatan Gangguan Otot Pengunyahan
Sistem klasifikasi yang digunakan untuk mendiagnosis gangguan
temporomadibular
Bagian yang ditebalkan menunjukkan gangguan yang dibahas dalam bab ini
Gangguan otot Pengunyahan (Bab 12)
Protective co-contarction
Nyeri otot lokal
Myospasme
Nyeri Myofascial
Centrally mediated myalgia
Fibromyalgia
Gangguan Centrally mediated motoric
Gangguan Temporo mandibula joint (Bab 13)
Deragement of condyle-disc kompleks
Disdisplacement
Disdislokasi dengan reduksi
Disdislokasi tanpa reduksi
Ketidaksesuaian struktur permukaan articular
Penyimpangan dalam bentuk
Disc
Kondil
Fosa
Adherences dan Adhesi
Disc ke kondil
Disc ke fosa
Subluksasi
Dislokasi spontan
Gangguan inflamasi TMJ
Synovitis dan capsulitis
Retrodiscitis
Arthritides
Osteoarthritis
Osteoarthrosis
Polyarthritides
Traumatic arthritis
Infeksi arthritis
Rheumatoidarthritis
Hyperuricemia
Psoriatic arthritis
Ankylosingspondylitis
Gangguan inflamasi yang berhubungan dengan struktur
Temporal tendonitis
Inflamasi ligament Stylomandibula
Pertimbangan umum ketika merawat trauma akut pada TMJ
Hipomobiliti mandibula kronik (Bab 140)
Ankilosis
Capsularfibrosis
Bony
Kontraktur otot
Myositis
a. Peregangan pasif
Gangguan kongenital dan perkembangan tulang
Agenesis
Hypoplasia
Hiperplasia
Neoplasia
Gangguan kongenital dan perkembangan otot
Hipotrofi
Hipertrofi
Neoplasia
“Nyeri otot pengunyahan adalah gejala umum terbanyak TMD. Jadi mengapa banyak
dokter menyebutnya ‘TMJ’?
Ini merupakan bagian pertama dari tiga bab yang akan membahas perawatan
berbagai gangguan temporomandibula (TMDs). Setiap bab dikhususkan untuk masing-
masing gangguan utama. Tiap bab subklas secara singkat diuraikan menurut penyebab,
sejarah, dan temuan klinis (Penjelasan lebih rinci telah dibahas pada bab 8 dan 10).
Berikut ulasannya, terapi definitif dan suportif yang tepat dibahas. Akhirnya, pada setiap
akhir bab, beberapa laporan klinis di laporkan.
Keluhan utama pasien dengan gangguan otot pengunyahan yakni myalgia. Hal ini
sering dilaporkan sebagai keadaan tiba-tiba dan berulang. Nyeri yang berasal dari otot
dan karena itu terbatasnya pergerakan mandibula disebabkan nyeri muscular
ekstrakapsular. Seluruh gangguan otot pengunyahan tidak sama secara klinis. Seperti
dibahas dalam bab 8, terdapat sedikitnya 5 tipe yang berbeda dan membedakannya
merupakan hal penting karena perawatan tiap tipe berbeda. Kelima tipe tersebut adalah 1)
protective co-contraction (splinting otot), 2) nyeri otot lokal, 3) nyeri myofascial (titik
pemicu), 4) myospasme, dan 5) chronic centrally mediated myalgia. Dua tipe akan di
bahas dalam bab ini yakni gangguan centrally mediated motoric dan fibromyalgia. Tiga
keadaan pertama (protective co-contraction, nyeri otot lokal dan nyeri myofascial) sering
didapati di klinik gigi. Tiga tipe lainnya jarang ditemukan.
Beberapa gangguan otot terjadi dan sembuh terjadi. Dalam waktu yang relatif
singkat (co-contrantion dan nyeri otot lokal). Ketika keadaan ini tidak dapat sembuh,
gangguan nyeri kronik dapat terjadi. Gangguan otot pengunyahan kronik menjadi lebih
rumit dan perawatan umumnya terorientasi berbeda dibandingkan masalah akut. Dengan
waktu system saraf pusat dapat (CNS) dapat berperan penting dalam mempertahankan
gangguan otot (nyeri myofascial, myospams, chronic centrally mediated myalgia dan
gangguan centrally mediated motorik). Oleh karena itu menjadi hal penting bahwa dokter
dapat mengidentifikasi gangguan otot akut sehingga terapi yang tepat dapat diberikan.
Fibromialgia adalah gangguan myalgia kronik yang merupakan nyeri musculoskeletal
sistemik yang harus di ketahui dokter gigi dan perawatan terbaik dengan rujukan tenaga
medis yang benar.
Protective co-contraction adalah respon awal dari otot untuk mengubah input
sensori dan proprioseptif atau cedera (atau ancaman luka). Respon ini disebut protective
muscle splinting1 atau coaktivasi2. Kondisi ini di demonstrasi oleh beberapa peneliti.3-7 co-
contraction adalah fenomena umum dan dapat diamati selama kegiatan fungsional normal
seperti lengan saat mencapai tugas dengan jari.2 dengan adanya input sensoris atau nyeri,
kelompok otot antagonis tampaknya muncul selama pergerakan dalam upaya untuk
melindungibagian yang terluka. Oleh karena itu nyeri system pengunyahan dapat
menghasilkan protective co-contraction nyeri pengunyahan3 Secara klinis hasil
meningkatkan aktivitas otot rahang selama penutupan mulut, serta peningkatan aktivitas
penutupan otot selama pembukaan mulut. Orang harus ingat bahwa protective co-
kontraksi bukanlah kondisi patologis tetapi respon fisiologis normal system
muskuloskeletal.7
12.1.1 Penyebab
Perubahan input sensori dan proprioceptive
Adanya input nyeri dalam konstan
Peningkatan stress emosional
12.1.2 Riwayat
Sebuah perubahan terbaru dalam struktur lokal
Sebuah sumber baru-baru ini nyeri dalam konstan
Peningkatan terbaru pada stress emosional
Disfungsi structural: pengurangan gerakan, tetapi pasien dapat mencapai kisaran
relatif normal ketika diminta melakukannya
Minimal nyeri saat istirahat
Peningkatan nyeri dengan fungsi
Perasaan lemah otot
Penting, dokter harus ingat bahwa protective co-contraction adalah respon normal
CNS dan oleh karena itu tidak terdapat indikasi untuk merawat kondisi otot itu sendiri.
Perawatan sebaliknya hanya diarahkan pada alasan untuk co-contraction. Ketika hasil co-
contraction dari trauma, perawatan definitif tidak diindikasikan karena penyebabnya lebih
besar.
Ketika hasil co-contraction dari restorasi yang buruk, perawatan definitif terdiri
dari perubahan restorasi untuk menyelaraskan dengan oklusi yang ada, Perubahan kondisi
oklusal untuk menghilangkan co-contraction diarahkan hanya pada restorasi yang
bersinggungan dan keseluruhan pertumbuan gigi. Setelah restorasi yang bersinggungan di
hilangkan, kondisi oklusal sebelumnya yang menyelesaikan gejala (gbr 12-1)
Jika co-contraction adalah hasil dari sumber nyeri dalam, nyeri harus ditangani
dengan tepat. Peningkatan stress emosional adalah penyebab, manajemen stress yang
tepat seperti teknik pegaturan fisik (PSR) di lakukan.
Gambar 12-1
Pendahuluan kontak oklusal yang berat dapat memulai protective co-contarction. A.
Kontak oklusal berat terdapat di fosa sentral pada mahkota (tanda panah). B, Kontak hati-
hati diubah untuk mengoklusikan secara stimultan dengan gigi ttanga pada lengkung. C
Setelah penyesuaian, kontal oklusal sama pada semua gigi.
Gambar 12-2 Ulser apthous akut yang menyebabkan nyeri ketika rubbed terhadap gigi
molar tetangganya
Nyeri ini cenderung co-contraction. Terapi suportif yang tepat di inisiasikan untuk
meminimalkan nyeri dan kemudian menurunkan gejala co-contraction.
Nyeri otot lokal adalah gangguan primer, tidak inflamasi, nyeri myogenous. Ini
merupaka respon awal dari jaringan otot untuk berlanjut menjadi protective co-
contraction. Meskipun co-contraction merupakan respon otot CNS yang diinduksi, nyeri
otot lokal merupakan perubahan lokal lingkungan jaringan otot. Merupakan respon awal
terhadap penggunaan berlebihan yang dianggap fatique.
12.3 Penyebab
Protective co-contraction sekunder yang berkepanjangan menjadi perubahan
struktur lokal atau sumber nyeri dalam yang terus-menerus
Taruma jaringan lokal atau penggunaan otot yang tak biasa
Peningkatan stress emosional
12.4 Riwayat
Riwayat yang dilaporkan oleh pasien nyeri otot lokal akan mencakup satu dari hal
berikut:
Nyeri mulai beberapa jam/hari seteah tindakan yang berhubungan dengan
protective co-contraction
Nyeri mulai berhubungan dengan cedar jaringan (injeksi, buka mulut yang luas
atau penggunaan otot yang tak biasa sehingga reaksi nyeri terlambata)
Nyeri mulai sekunder hingga sumber nyeri dalam
Terdapat kelanjutan peningkatan stress emosional
Disfungsi struktur: penurunan tajam dalam kecepatan dan jangkauan gerkan
mandibula (berbagai macam gerakan tidak dapat dicapai oleh pasien)
Nyeri minimum saat istirahat
Peningkatan nyeri dengan fungsi
Kelemahan otot muncul
Nyeri lokal ketika otot-otot yang terlibat di palpasi
Karena nyeri otot lokal menghasilkan nyeri dalam yang sering menimbulkan
protective co-contraction sekunder dengan nyeri otot siklik. Oleh karena itu tujuan utama
dalam merawat nyeri otot lokal untuk mengurangi input sendory (seperti nyeri) hingga
CNS. Tahap berikut menurunkan input sensori:
Menghilangkan input sensori atau proprioseptif yang berlangsung
Menghilangkan sumber yang berkelanjutan sumber input nyeri dalam (baik gigi
atau lainnya)
Memberikan pasien pendidikan dan informasi manajemen diri (PSR). Empat
daerah yang harus ditekankan:
Menyarankan pasien untuk membatasi penggunaan mandibula hingga batas
nyer. Setiap kali penggunaan mandibula menyebabkan nyeri, co-contraction di
bentuk kembali. Oleh karena itu pasien seharusnya diintruksikan tidak
membuka mulut hingga titik nyeri. Makanan lunak dianjurkan dengan gigitan
kecil dan pengunyahan pelan.
Pasien dianjurkan menggunakan rahangnya hingga batas nyeri sehingga
proprioseptor dan mechanoseptor pada system musculoskeletal distimulasi.
Aktivitas ini mendorong kembali ke fungsi otot normal. 9 Oleh karena itu
kehati-hatian dan kesengajaan menggunakan otot dapat menyebabkan resolusi
nyeri otot lokal. Pasien dianjurkan untuk menggunakan otot tetapi hanya
samapi batas nyeri. Penggunaan otot yang sempurna tidak sesuai untuk pasien
dengan pengalaman nyeri otot lokal.
Pasien dianjurkan untuk mengurangi kontak gigi nonfungsional. Ini mulai
dengan meminta pasien untuk lebih sadar ketika gigi berkontak dan
mengembangkan teknik untuk menghilangkan kontak (kesadaran kognitif)10,11
Pasien diintruksikan untuk menjaga bibir dan gigi terpisah. Kebanyakan
pasien dapat mengembangkan keterampilan yang diperlukan untuk
membebaskan gigi selama sadar.
Pasien seharusnya disadarkan hubungan antara peningkatan level stress
emosional dan kondisi nyeri otot. Ketika stress emosional tampaknya menjadi
kontributor signifikan pada nyeri otot lokal, teknik yang mengurangi stress
dan medukung relaksasi seharasunya dianjurkan12
Meskipun pasien sering mengontrol kontak gigi di siang hari, sebagian besar
memiliki seedikit kontrol atas kontak nocturnal gigi 13 Ketika clenching malam
hari atau bruksism dicurigai ( nyeri pagi hari), hal ini tepat untuk membuat suatu
alat oklusal untuk malam hari14-19 Alat oklusal ini terbuat dari aklirik yang
menutup gigi dalam lengkung rahang dan memberi kontak oklusal tepat dalam
lengkung berlawanan (Gbr.12-3). Alat stabilisasi (mis relasi sntrik (CR)) akan
memberikan kontak oklusal ketika kondilus berada pada posisi anterosuperior
bahkan kontak artikular terhadap eminensia articular (musculoskeletal). Penuntun
eksentrik diperoleh dari kaninus saja. Pasien diintruksikan untuk menggunakan
alat pada malam hari selama tidur dan kadang-kadang pada siang hari untuk
membantu mengurangi nyeri. Penggunaan paruh waktu dari alat ini untuk nyeri
otot lokal telah terbukti dalam mengurang nyeri otot daripada dalam waktu
penuh20 Fabrikasinya dibahas dalam Bab 15
Gambar 12-3
Alat stabilisasi, B, kontak oklusal ditandai. Catatan bahwa posisi musculoskeletal
yang stabil dari kondilus (hubungan sentris) bahkan ada dan simultan dari kontak gigi
posterior (ujung cusp berkontak pada permukaan datar). Penuntun eksentris diberikan
oleh gigi kaninus.
Alat oklusal dianjurkan oleh dokter gigi selama bertahun-tahun dan data
menyarankan hal itu dapat membantu untuk mengurangi gangguan nyeri otot
pengunyahan19,21-24 Namun karena profesi menuntut penelitian berbasis bukti, alat oklusal
mungkin tidak dapat membantu.25,26 Perlu disarankan uji coba untuk lebih memahami
dampak dari alat untuk gejala TMD. Namun, karena alat stabilitas dibuat untuk terapi
reversible dengan sedikit efek samping negative, dapat dipertimbangkan untuk
menangani nyeri otot lokal.
Jika terapi yang disebutkan sebelumnya gagal untuk mengatasi kondisi sakit,
dokter mungkin mempertimbangkan penggunaan analgesic ringan atau mungkin
relaksan otot27 farmako terapi akan membantu mengurangi input nyeri dalam yang
menghasilkan nyeri otot siklik dank arena itu dianjurkan terapi definitif dan
suportif
Terapi suportif untuk nyeri otot lokal diarahkan untuk mengurangi rasa nyeri dan
meulihkan fungsi otot normal. Pada banyak kasus, nyeri dapat dengan mudah dikontrol
dengan terapi definitif. Namun, jika nyeri berlanjut, biasanya di kontrol dengan analgesik
ringan seperti aspirin, asetaminofen atau NSAID (mis ibuprofen). Pasien harus
dianjurkan untuk minum obat secara teratur sehingga nyeri dapat dikontrol. Jika pasien
tidak minum teratur, efek siklik input nyeri tidak dapat dihentikan. Pasien harus
diintruksikan minum obat selama 4 – 6 jam untuk 5 -7 hari sehingga nyeri dapat
dihilangkan dan berhenti. Setelah itu pasien tidak membutuhkan obat lagi.
Teknik terapi fisik manual seperti stretching otot pasif dan pijatan lembut juga
sangat membantu. Terapi relaksasi juga membantu jika peningkatan stress emosional
dicurigai.
Nyeri otot lokal harus merespon terapi selama 1 – 3 minggu. Ketika terapi ini
tidak efektif. Dokter harus mempertimbangkan kemungkinan diagnosis yang salah. Jika
evaluasi ulang kondisi nyeri memperkuat gangguan otot pengunyahan, salah satu
gangguan myalgia yang sulit harus dipertimbangkan.
Dari catatan bahwa aktivitas dalam CNS mempengaruhi kondisi empat otot
berikut: myospasme, nyeri myofascial, chronic centrally mediated myalgia dan
fibromyalgia. Apresiasi dokter terhadap peranan CNS adalah penting. Myospasme adalah
gangguan lokal akut, sedangkan nyeri myofascial dan chronic centrally mediated myalgia
adalah gangguan regional kronik. Fibromyalgia adalah gangguan nyeri sistemik kronik
(global)
12.9 Penyebab
Lnajutan input nyeri yang dalam
Faktor metabolic lokal dalam jaringan otot berhubungan dengan fatique atau
penggunaan berlebih28
Mekanisme myospasme idiopatik
12… Riwayat
Disfungsi struktur, pembatsan ditandai dengan rentang pergerakan mandibula
berdasarkan otot yang terlibat; maloklusi akut biasa
Minimum nyeri saat istirahat
Peningkatan nyeri saat berfungsi
Otot yang berpengaruh kaku dan nyeri saat dipalpasi
Otot terasa keras
Dua perawatan yang dianjurkan untuk myospasme akut. Yang pertama langsung
untuk mengurangi spasme itu sendiri, sedangkan yang lain membahas penyebabnya:
Myospasme paling baik ditangani dengan mengurangi rasa sakit dan kemudian
pemanjangan dan penrengangan pasif otot yang terlibat. Pengurangan nyeri dapat
diperoleh dengan pijatan manual (gambar 12-4, spary vapo-coolant, es atau
injeksi lokal anestesi ke otot yang spasme. Sekali nyeri berkurang, otot akan
memanjang. Jika injeksi digunakan (sering merupakan cara yang efektif untuk
menghentikan kejang persisten), 2% lidokain tanpa vasokontriktor
direkomendasikan)
Bila penyebab yang jelas muncul ( mis input nyeri dalam), upaya arus dilakukan
untuk menghilangkan faktor-faktor sehingga mengurangi kemungkinan
myospasme berulang. Ketika myospasme sekunder ke fatique dan penggunaan
berlebih (latihan panjang), pasien disarankan untuk mengistirahatkan otot dan
membentuk kembali keseimbangan elektrolit normal.
Gambar 12-4
Nyeri akibat myospasme akut dapat dikurangi dengan pijatan lembut pada otot. Efek ini
di hasilkan oleh perubahan input sensori.
Sering kali terapi fisik adalah kunci untuk menangani myospasme. Mobilisasi
jaringan lunak seperti pijatan dan peregangan pasif adalah dua perawatan langsung yang
penting. Sekali myospasme berkurang, terapi fisik lain dapat membantu dalam
menangani faktor-faktor lokal dan sistemik seperti latihan otot dan teknik relaksasi.
Terapi farmakologi tidak diindikasikan karena kondisi akut.
Nyeri Myofascial adalah kondisi nyeri myogenous yang ditandai dengan area
kaku, hipersensitif jaringan otot yang disebut trigger point29. Kondisi ini juga disebut
nyeri myofascial trigger point. Adanya efek rangsang biasanya dengan gangguan
myalgia. Efek yang sering muncul yakni nyeri, sering digambarkan pasien seperti
ketegangan pada kepala.
12.14.1 Penyebab
Lanjutan sumber nyeri dalam30,31
Peningkatan stress emosional32
Adanya gangguan tidur33,34
Faktor lokal yang meningkatkan aktivitas otot seperti kebiasaan, posisi tubuh,
tegang otot atau bahkan pengalaman menakutkan
Faktor sistmik seperti kekurangan gizi35, kondisi tubuh yang lemah, fatigue 30dan
infeksi virus
Idiopatik mekanisme trigger poin
12.14.2 Riwayat
Keluhan utama pasien sering nyeri heterotopic dan bukan sumber nyeri yang
sebenarnya (titik pemicu). Oleh karena itu pasien akan mengarahkan dokter pada sakit
kepala atau protective co-contraction. Jika dokter tidak berhati-hati, dapat mengarahkan
perawatan pada nyeri sekunder yang tentunya akan gagal. Dokter harus memiliki
pengetahuan diagnostic untuk mengidentifikasi sumber utama nyeri sehingga perawatan
yang tepat dapat diberikan.
Disfungsi struktur; Penurunan dalam kecepatan dan jangkauan pergerakan
mandibula tergantung pada lokasi dan intensitas dari titik pemicu. Disfungsi
struktur ringan yakni sekunder terhadap efek inhibitor nyeri (protective co-
contraction)
Nyeri heterotopikyang dirasakan bahkan saat istirahat
Peningkatan nyeri saat berfungsi
Ketika di gunakan, otot kaku dengan titik pemicu yang meningkatkan nyeri
heterotopic
Menghilangkan sumber nyeri dalam dengan cara yang tepat sesuai dengan
penyebab
Mengurangi faktor-faktor lokal dan sistemik yang mempengaruhi nyeri
nyofascial. Perawatan ini individual dengan kebutuhan pasien. Sebagai contoh,
jika stress emosional merupakan bagian penting dari gangguan, teknik
penanganan stress diindikasikan. Ketika posisi tubuh atau kerja mempengaruhi
nyeri myofascial, upaya yang harus dilakukan dengan memperbaiki kondisi.
Teknik PSR (lihat Bab 11) berguna dalam menangani nyeri myofascial.
Jika gangguan tidur dicurigai, evaluasi yang tepat dan rujukan harus dibuat.
Sering kali dosis rendah antidepresan trisiklik seperti 10 – 20 mg amitriptyline
sebelum tidur dapat membantu (lihat Bab 13).
Salah satu pertimbangan yang penting dalam menangani nyeri myofascial adalah
menghilangkan titik pemicu. Hal ini dilakukan dengan peregangan otot tanpa rasa
nyeri yang terdapat titik pemicu. Teknik berikut dapat digunakan untuk mencapai
hal ini.
Salah satu metode yang paling umum dan konservatif dalam menghilangkan titik
pemicu adalah dengan teknik spray dan regangan 37,38 Teknik ini terdiri dari semprotan
spary vapo coolant (mis fluorometan) pada jaringan otot atasnya dengan titik pemicu dan
kemudianperegangan aktif otot. Spray vapocoolant memberi stimulasi saraf kutaneus ang
sementara mengurangi persepsi nyeri didaerah itu (lihat Bab 2). Setelah jaringan di
semprot otot diregangkan tanpa rasa nyeri (Gambar 12-5). Spray vapocoolant
diaplikasikan dari jarak sekitar 18 inci dan pada tempat gejala. Penting, peregangan pasif
dilakukan tanpa nyeri. Jika rasa nyeri timbul, otot akan protective co –contraction,
menghasilkan aktivitas otot yang berlebih (nyeri otot siklik). Teknik yang tepat untuk tiap
otot di jelaskan oleh Simon dan Travell39
Teks ini harus menjadi bagian penting dari armamentarium semua dokter dalam
menangani nyeri myofascial.
Dalam beberapa kasus pijatan atau manipulasi titik pemicu dapat menyebabkan
hal itu hilang. Perawatan harus dilakukan, bagaimanapun tanpa nyeri. Beberapa ahli
menyarankan37 bahwa peningkatan tekanan dilakukan pada titi pemicu juga teknik yang
efektif dapat meghilangkan nyeri. Tekanan dinaikkan kira-kira 20 lb dan dipertahankan
30-60 detik. Jika teknik ini menimbulkan nyeri, harus dihentikan karena nyeri dapat
memperkuat nyeri otot siklik.
Spary Vapocoolant diaplikasikan pada otot trapezius atas dan otot servikal yang
menghilangkan titik pemicu myofascial. Mata, hidung, mulut dan telinga dilindungi
dari semprotan. B Segera setelah semprotan, otot diregangkan tanpa nyeri.
Metode lain yang efektif dalam menghilangkan titik pemicu dengan teknik injeksi
(gambar 12-6). Paling umum anestesi lokal diinjeksikan dan otot diregangkan tanpa
nyeri43,44> Meskipun anestesi berguna mengurangi nyeri45tampaknya bukan faktor yang
paling penting dalam menghilangkan titik pemicu46,47 Sebaliknya gangguan mekanik pada
titik pemicu dari jarum tampaknya memberikan efek terapi.
Gambar 12-6 Injeksi titik pemicu
Titik pemicu pada otot maseter kanan berada, diantara kedua jari dan disuntikkan
(dengan jarum gauge 27 pendek)
Injeksi titik pemicu mungkin merupakan perawatan yang tepat untuk nyeri
myofascial bila ditemukan bahwa injeksi memberi kelegaan pada pasien, bahakan setelah
efek anestesi hilang. Injeksi ulang diindikasikan jika perode nyeri terus menerus antara
tiap injeksi. Jika injeksi titik pemicu gagal memberi pengurangan nyeri, tidak ada indikasi
untuk mengulang prosedurnya.
Seperti dengan injeksi, empat aturan yang dijelaskan dalam Bab 10 harus selalu
diikuti. Pertimbangan anatomi dan teknik injeksi untuk setiap otot dijelaskan oleh Simons
dan Travell43 dan dalam teks berkonsultasi dengan dokter menarik dalam menangani
nyeri myofascial dengan injeksi titik pemicu.
Seperti yang telah dibahas, modalitas terapi fisik dan berbagai teknik manual yang
digunakan untuk mengobati nyeri myofascial. Teknik ini tercatat dibawah perawatan
definitif karena mengeliminasi titik pemicu. Hal yang penting dari mobilisasi jaringan
lunak dan teknik kondisi otot.
Terapi farmakologi seperti relaksan otot dapat membantu, tetapi biasanya tidak
menghilangkantitik pemicu. Obat seperti cyclobenzaprine (Flexeril) 10 mg sebelum
tiduer dapat mengurangi nyeri tetapi titik pemicu masih ditangani dibahas sebelumnya.
Relaksan otot membantu mengubah titik pemicu aktif menjadi titik pemicu laten atau
tidak aktif, tetapi mungkin belum tentu meghilangkannya. Analgesik mungkin juga
membantu dalam mempengaruhi efek siklik nyeri.
Centrally Mediated Myalgia adalah kronik, nyeri gangguan otot kronis berasal
didominasi dari efek CNS yang dirasakan pada jaringan otot perifer.Gangguan ini secara
klinis menimbulkan gejala yang sama dengan kondisi inflamasi jaringan otot dan oleh
karena itu kadang disebut myositis.
12.15.1 Penyebab
Penyebab centrally mediated myalgia seperti namanya CNS dan umunya tidak
terkait struktur dari system pengunyahan. Sebagai CNS menjadi masukan nosiseptif
berkepanjangan, jalur batang otak fungsional dapat berubah. Hal ini dapat mengakibatkan
efek neuron afern perifer. Dengan kata lain, neuron yang biasanya hanya membawa
informasi dari perifer ke CNS dapat membawa informasi sebaliknya dari CNS ke
jaringan perifer. Hal ini mungkin terjadi melalui transportasi system akson 52 Ketika
terjadi hal ini neuron aferen pada perifer dapat melepas neurotransmitter nosiseptor
seperti substansi P dan bradikinin yang menyebabkan nyeri jaringan perifer. Proses ini
disebut inflamasi neurogenik53-57
Konsep penting untuk diingat bahwa nyeri otot diungkapkan pasien dengan
centrally mediated myalgia kronik tidak dapat dirawat dengan menangani jaringan otot
yang nyeri. Perawatan harus diarahkan ke mekanisme pusat, suatu proses berpikir yang
dapat menjadi asing bagi dokter gigi.
Centrally mediated myalgia kronik dapat disebabkan oleh input nyer otot yang
berhubungan dengan nyeri otot lokal atau nyeri myofascial. Dengan kata lain, semakin
lama pasien mengeluh nyeri myogenous, semakin besar kemungkinan centrally mediated
myalgia kronik. Namun mungkin bahwa mekanisme sentral lain mungkin memainkan
perananpenting dalam menyebabkan centrally mediated myalgia seperti upregulasi kronik
system nervus autonomic, stress emosional kronik atau sumber lain nyeri dalam (gbr 12-
7)
Beberapa gangguan otot berasal dari system nervus pusat meskipun nyeri dirasakan pada
otot perifer. Ilustrasi ini menggambarkan aktivasi hipotalamus pusat, struktur limbic, dan
korteks dapat bergabung menghasilkan efek antidromik pada jaringan otot. Ketika hal itu
terjadi, kunci sukses dalam perawatan nyeri ini terletak pada mekanisme sentral dan tidak
mengubah struktur perifer (gigi, otot, atau sendi)
12.15.2 Riwayat
Disfungsi struktur: pasien mengalami centrally mediated myalgia dengan
penurunan yang signifikan pada kecepatan dan jangkauan pergerakan mandibula
Nyeri signifikan saat istirahat
Peningkatan nyeri saat fungsi
Perasaan kaku otot
Nyeri signifikan pada palpasi otot
Saat centrally mediated myalgia menjadi berlarut-larut, hal itu dapat
menyebabkan atrofi dan atau kontraktor myostatik atu myofibrotik
Seperti halnya dengan nyeri otot lokal, empat strategi perawatan umum dilakukan
pasien dengan centrally mediated myalgia kronik. Namun, meskipun agak mirip, mereka
tidak identic. Bahkan, terapi untuk nyeri otot lokal sering memperburuk centrally
mediated myalgia kronik. Oleh karena itu jika dokter dalam merawat nyeri otot lokal dan
gejala menjadi lebih parah, kemungkinan kondisi sebenarnya centrally mediated myalgia.
Berikut regimen yang seharusnya digunakan:
Batasi penggunaan mandibula hingga batas nyeri. Menggunakan otot yang nyeri
memperparah kondisi. Pasien seharusnya menjaga rahang tidak bergerak untuk
mengurangi nyeri. Makanan yang lunak di anjurkan, dengan gigitan pelan dan
gigitan kecil. Jika nyeri fungsional tidak dikontrol, makanan cair diperlukan.
Makanan cair harus dipertahankan cukup lama untuk mengurangi nyeri sehingga
pasien dapat kembali mengonsumsi makanan lunak tanpa rasa nyeri.
Hindari olahraga atau injeksi. Karena jaringan otot inflamasi neurogenic, setiap
penggunaan menyebabkan nyeri. Pasien seharusnya mengistirahatkan otot
sebanyak mungkin. Injeksi anestesi lokal harus dihindari karena trauma
menyebabkan inflamasi jaringan. Anestesi lokal memblokir centrally mediated
myalgia yang seringditandai peningkatan nyeri setelah anestesi di metabolism.
Fitur klinis membantu menegakkan diagnosis.
Membebaskan gigi. Seperti pada nyeri otot lokal, penanganan centrally chronic
mediated myalgia dibantu dengan membebaskan gigi baik secara sukarela atau
tanpa sadar. Pembebasan sukarela dilakukan dengan teknik PSR yang dibahas
dalam Bab 11. Pembebasan tak terkendali dari gigi (bruksism nocturnal) dicapai
dengan stabilisasi alat dengan cara yang sama seperti pada nyeri otot lokal
Mulai mengonsumsi obat antiinflamsi. Karena jaringan otot lokal inflamasi,
merupakan hal tepat meresepkan antiinflamasi. NSAID seperti ibuprofen adalah
pilihan tepat dan seharusnya diberikan secara teratur (600 mg empat kali sehari)
selama 2 minggu sehingga peningkatan darah yang meningkat mencapai efek
klinis. Dosis tidak teratur tidak akan mencapai efek yang diinginkan. Ibuprofen
juga anlgesik dan dengan demikian dapat membantu mengurangi nyeri otot siklik
yang dapat menyebabkan centrally mediated myalgia kronik, seperti diskusi
sebelumnya, pasien harus ditanyai setiap riwayat keluhan perut dan memantau
gejala iritasi lambung selama pengobatan. Jika gejala muncul, inhibitor
cyclooxygenase-2 (COX-2) harus dipertimbangkan )lihat Bab 11)
Pada awal perawatan centrally mediated myalgia kronik, modalitas terapi fisik
harus digunakan hati-hati karena manipulasi dapat meningkatkan nyeri. Kadang-kadang
panas lembab dapat membantu (Gbr. 12-8) Untuk pasien lainnya, es tampak lebih
bermanfaat. Pasien akan berhubungan baik dengan itu. Jika gejala mulai terselesaikan
terapi ultrasound dan peregangan lembut dimulai. Jika nyeri meningkat dengan terapi,
intensitasnya harus diturunkan.
Karena perawatan centrally mediated myalgia kronik sering lebih lama, dua
kondisi yang berbeda dapat berkembang: perubahan hipotropik dan kontraktur miostatik.
Hal ini terjadi sebagai akibat dari kurangnya penggunaan otot elevator (temporalis,
maseter, pterigoideus medialis). Setelah gejala akut reda, aktivitas otot perlahan-lahan
dimulai. Beberapa latihan rahang isometric juga membantu dalam mendapatkan kembali
panjang dari otot elelvator ( lihat Bab 11). Ingat, perawatan centrally mediated myalgia
kronik adalah proses yang lambat dan tidak dapat terburu-buru. Jika terapi fisik di
perkenalkan terlalu cepat, centrally mediated myalgia kronik dapat menjadi buruk.
Gambar 12-8
Aplikasi panas atau dingin dapat membantu dalam centrally mediated myalgia kronik. A,
Bantalan panas diaplikasikan pada otot maseter selama 15-20 ment dan diulang sesering
munkin sepanjang hari. B, ketika panas tidak efektif, dingin dapat dicoba. Bantalan es
ditempatkan pada otot simptomatik hingga jaringan terasa kram (tidak lebih dari 5-7
menit). Otot secara bertahap dihangatkan lagi. Jika nyeri berkurang, prosedur dapat
diulangi.
Gambar 12-9
Latihan rahang isometric yang lembut membantu dalam meningkatkan kekuatan otot
hipotropik. A, Tujuannya adalah untuk menahan sedikit pembukaan mulut. B, Pasien
menggerakkan rahang secara lateral saat melawan gerakan jari. Hal ini dilakukan 3 – 5
detik selama membuka, gerakan kekiri, kanan serta gerakan kedepan. Latihan ini diulang
sepanjang hari.
12.16.1 Penyebab
Etiologi dari fibromyalgia tidak dicatat dengan baik. Hal ini mungkin berkaitan
dengan perubahan pada proses perifer (muskuloskeletal) oleh CNS. Sistem inhibitor,
aksis hipotalamik-pituitari adreal (HPA) dan system imun, diimplikasikan 60-64 Tentu saja
kondisi yang tak dikenal ini juga menyebabkan adanya fibromyalgia58 Meskipun
penyebab fibromyalgia berbeda dari gangguan nyeri otot, kedua kondisi ini ada pada
beberapa pasien kronik.65-74
12.16.2 Riwayat
Disfungsi klinis: jika otot pengunyahan terlibat, ada penurunan yang signifikan
dari kecepatan dan jangkauan gerkan mandibula.
Nyeri myogenous yang luas saat istrirahat berfluktuasi dari waktu ke waktu
dengan keluhan fibromyalgic
Nyeri yang meningkat saat berfungsi dari otot-otot yang terlibat
Pasien yang mengalami fibromyalgia melaporkan kondisi umum seperti
kelemahan otot. Mereka juga melaporkan fatigue kronik yang luas.
Fibromyalgia ditandai dengan titik yang banyak dari kuadran tubuh. Titik tender
tidak menghasilkan nyeri heterotopic saat di palpasi. Penemuan ini
memperlihatkan perbedaan klinis antara nyeri fibromyalgia dan nyeri myofascial.
Menurut kriteria yang ditetapkan59 Pasien fibromyalgia harus memperlihatkan
nyeri paling tidak 11- 18 bagian setidaknya tiga dari 4 kuadran tubuh.
Pasien dengan fibromyalgia umumnya kondisi fisiknya berkurang. Karena fungsi
otot meningkatakan nyeri, pasien fibromyalgia sering menolak latihan. Hal ini
mejadi kondisi tetap karena kondisi fisik menetap dapat menjadi faktor
predisposisi fibromyalgia.
Ketika gangguan otot pengunyahan lainnya juga muncul, terpai harus diarahkan
pada gangguan tersebut.
Ketika kondisi tetap dibahas dalam Bab 8 muncul, harus ditangani dengan tepat.
NSAID tampaknya bermanfaat untuk gejala fibromyalgia dan harus diberikan
dengan cara yang sama seperti centrally mediated myalgia kronik
Jika gangguan tidur diidentifikasi, harus ditangani. Dosis rendah antidepresan
trisiklik seperti 10 – 50 mg amitriptyline pada saat tidur dapat membantu
mengurangi gejala yang berhubungan dengan fibromyalgia 76-78 Mekanisme ini
diduga berkaitan dengan peningkatan kualitas tidur76,77,79 atau efek positif dari
system inhibitor. Cyclobenzaprine (Flexril), 10 mg saat tidur, juga bermanfaat
saat tidur dan mengurangi nyeri80,82
Jika depresi muncul, harus ditangani dengan professional kesehatan yang tepat.
Modalitas terapi fisik dan teknik manual dapat bermanfaat pada pasien
fibromyalgia. Tekniknya terdiri dari terapi panas, pijatan lembut, peregangan pasif dan
latihan relaksasi yang berguna. Disamping itu, kondisi otot dapat berperan penting dalam
perawatan. Program latihan terkontrol dan ringan seperti berjalan tau berenang dapat
membantu dalam mengurangi nyeri otot yang berhubungan dengan fibromyalgia50,83
Perawatn harus dilakukan untuk mengembangkan program individual pada tiap pasien.
Awalnya para ahli berpikir bahwa ala oklusal efektif karena secara langsung
memberikan kondisi oklusal yang ideal dan ketika digunakan, maloklusi di hilangkan.
Secara logis menyarankan bahwa lat oklusal menyebabkan penurunan gejala otot, faktor
maloklusi yang menjadi penyebab dan selektif grinding gigi diindikasikan ntuk
mengoreksi kondisi secara permanen. Selektif grinding, tidak mengurangi bruksism 93,102
Alasan mengapa alat oklusal dapat mengurangi gejala TMD jauh lebih rumit dari hanya
bagaimana mengubah kondisi oklusal. Setidaknya ada enam faktor lain yang meungkin
bertanggung jawab untukmenurunkan gejala ini (lihat Bab 15 untuk diskusi lengkap).
Salah satu dari faktor-faktor tersebut bahwa alat oklusal memberikan input sensori
perifer ke CNS yang mengaktifkan mekanisme umpan balik negative yang menahan
aktivitas otot yang berat. Dengan kata lain, alat itu dapat mempertahankan ambang batas
normal untuk aktivitas reflex protektif pada system neuromuscular. Ketika aktivitas
reflex normal muncul, kekuatan bruksism cenderung meningkat ke kerusakan struktur
dadn gejala.
Saat ini tidak ada metode pengobatan yang diketahui untuk menghilangkan
bruksism secara permanen. Meskipun alat oklusal dapat mengurangi efek berbahaya dari
penggunaan gigi dan dapat mengurangi nyeri muskuloskeletal, namun tidak dapat
mengobati pasien dati bruksism103 Pada kebanyakan kasus ketika alat dilepas, bahkan
setelah terapi jangka panjang dengan alat oklusal, bruksism kembali13
Karena pengobatan bruksism tidak diketahui, dokter gigi harus selalu memilih
terapi konservatif reversible. Alat stabilisasi seperti modalitas (efek spesifik system
pengunyahan dibahas secara lengkap dalam Bab 15)
Menurut definisi, dystonia berarti “gangguan tonisitas otot” 109 Secara klinis dapat
diamati tiba-tiba dan kontraksi otot tak terkendali. Kontraksi tunggal berkelanjutan
disebut myospasme (diskusi pada awal bab). Namun, ketika myospasme yang tak
terkendali terulang, itu dianggap sebagai dystonia. Beberapa pasien yang menderita
dengan dystonia terdapat dalam beberapa kelompok otot. Ketika dystonia hanya
melibatkan otot tertentu atau kelompok otot. Kondisi ini disebut sebagai focal dystonia.
Dystonia Orormandibula adalah focal dystonia berulang atau spasme yang terjadi pada
otot pengunyahan, fasial atu lingual. Spasme menghasilkan nyeri pembukaan rahang,
penutupan rahang, pemunduran rahang dan kombinasi aksi tersebut.110-112
Gambar 12-10
Kadang-kadang sasaran otot sulit untuk dilokasikan dan dipalpasi (miso otot
pterygoid lateral inferior dan pterigoid medial). Meskipun dokter gigi harus mengetahui
jelas dimana otot terbebut terletak ketika akan diinjeksi sulit untuk mengetahui lokasi
yang tepat pada ujung jarum. Oleh karena itu otot diinjeksi, jarum electromyogram
digunakan. Teknik ini dapat memastikan bahwa botulinum toksin di alirkan ke otot yang
tepat (Gbr 12-11)
Gambar 12-11
A, Teknik untuk injeksi botulinum toksin ke otot pterigoid lateral inferior. Perhatikan
terdapat elektroda pada dagu dan kawat yang melekat pada jarum sehingga aktivitas
elektromiografi dapat dipantau pada ujung jarum. B, Setelah jarum ditempatkan dengan
kedalaman yang tepat, pasien diminta untuk menekan balik resiten yang diberikan
operator. Jika jarum ditempatkan dengan tepat pada otot pterigoid lateral inferior,
electromyogram akan meningkat dalam monitor. Setelah posisi yang tepat dipastikan,
botulinum toksin diinjeksikan.
Botulinum toksin dapat memberi terapi yang sangat baik pada pasien dystonia
oromandibula. Namun, sebagai dokter harus mengamati lebih luas efek klinisnya, terlihat
jelas bahwa gangguan lain juga memperoleh manfaat dari botulinum toksin. PAda area
TMD, beberapa gangguan nyeri otot kronik menjadi pilihan yang baik untuk injeksi
botulinum toksis. Namun, botulinum toksin tentunya bukan pilihan pertama perawatan
untuk nyeri otot pada kebanyakan nyeri otot pengunyahan. Salah satu yang herus diingat
bahwa toksin botulinum toksin tidak secara permanen mengendurkan otot dank arena itu
tidak dianggap sebagai terapi definitif. Setiap kali dokter dapat menghilangkan etiologi
gangguan nyeri, hal itu harus dilakukan. Ini merupakan cara yang tepat dan efekti untuk
menangani tiap gangguan. Oleh karena itu kondisi myalgia akut seperti protective co-
contraction dan nyeri otot lokal bukan pilihan untuk botulinum toksin. Bahkan nyeri
myofascial harus ditangani pertama dengan teknik yang dibahas pada awal bab ini.
Namun, pada kasus dimana nyeri otot tetap ada bahkan setelah terapi awal dilakukan,
botulinum toksin di pertimbangkan. Penanganan nyeri myofascial kronik dengan injeksi
botulinum toksin telah didukung perkembangannya135-149 beberapa penelitian
bagaimanapun mengungkapkan injeksi botulinum toksin lebih efektif daripada injeksi
plasebo150,151
Kasus 1
Seorang pedangang 41 tahun datang ke klinik gigi mengeluhkan nyeri maseter dan
temporalis kanan yang telah muncul selama 2 hari dan dmulai tak lama setelah restorasi
amalgam ditumpat. Nyeri meningkat dengan penggunaan rahang dan hilang dengan tidak
menggerakkan mulut.
Pemeriksaan klinis menunjukkan nyeri temporalis kanan (nilai, 1) dan nyeri pada maseter
kanan (nilai, 2). Buka mulut yang nyaman yakni 32 mm edngan maksimum buka mulut
52 mm. Pemeriksaan sendi temporo mandibula(TMJ) menunjukkan tidak ada rsa nyeri
atau sakit. Bunyi pada rahang kanan didapati 24 mm setelah buka mulut. Hal ini
asimptomatik dan pasien memberitahu bahwa ini sudah terjadi selama 15 tahun.
Pemeriksaan oklusal menunjukkan gigi lengkap, dalam keadaan baik. Selain dari tanda
yang mengkilap dari restorasi tidak ada tanda klinis yang didapat.
Perawatan: Restorasi amalgam telah disesuaikan untuk berkontak rata dan bersamaan
dengan gigi yang tetangga dan sekitarnya. Pasien diintruksikan untuk membatasi
pergerakan dalam rentang nyeri hingga nyeri mereda. Juga diinstruksikan untuk kembali
keklinik 3 hari dan jika nyeri semakin memburuk harus segera menghubungi. Jika pasien
kembali, nyeri harus reda dan tidak ada gejala yang muncul.
Kasus 2
Mahasiswa perempuan usia 19 tahun mengeluhkan ke klinik gigi nyeri ototyang luas di
sisi kiri wajahnya. Nyeri terasa bila mengunyah. Sudah muncul selama sekitar 1 minggu.
Dalam diskusi masalah dia mengungkapkan bahwa nyeri muncul beberapa waktu lain,2,6
dan 8 bulan lalu. Dia tidak melaporkan setiap perubahan pada oklusinya tetapi merasa
bahwa nyeri membatasi pembukaan mandibula. Pertanyaan lebih lanjut mengungkapkan
bahwa masing-masing dari tiga keadaan nyeri seperti keadaan ini disertai pemeriksaan
kuliahnya.
Pemeriksaan klinis menunjukkan nyeri pada otot maseter kiri dan kanan (nilai,1 ) dan
otot temporalis kiri (nilai, 1) . Manipulasi fungsi dari pterigoid lateral inferior kiri
menimbulkan ketidaknyamanan yang signifikan (nilai, 3). Pembukaan interinsisal yang
nyaman yakni 22 mm. Dia bisa membuka maksimal menjadi 33 mm, tapi hal ini
menyakitkan. Pembukaan pasif oleh dokter dengan mencapai 45 mm (lembut).
Pemeriksaan TMJ negative dengan nyeri atau bunyi. Tidak ada penemuan yang
signifikan yang ada selama pemeriksaan klinis.
Seorang guru usia 38 tahun dating ke klinik gigi mengelukan pembukaan mandibula yang
terbatas dan nyeri fasial kiri. Kondisi ini telah muncul selama 10 hari. Riwayat
mengungkapkan bahwa gejala telah mulai setelah kunjungan gigi dimana dia menerima
injeksi anestesi lokal. Enam jam setelah bagian yang diinjeksi menjadi nyeri, terbatasnya
kemampuan membuka mulut yang nyaman. Pasien tidak dirawat saat itu dan sejak itu
perlahan-lahan membururk. Rasa nyeri terbesar pada pagi hari.
Pemeriksaan klinis menunjukkan nyeri pada ptrygoid medial kiri (nilai, 2) Temporalis
kiri dan kanan dipalpasi lembut (nilai, 1). Buka mulut yang nyaman kira-kira 26 mm.
Pemeriksaan TMJ negative untuk nyeri dan disfungsi. Tidak ada tanda klinis yang
ditemukan pada bagian yang di injeksi anestesi lokal. Radiografi panoramic biasa saja.
Tidak ada penemuan klinis yang signifikan.
Diagnosis Nyeri otot lokal sekunder menuju protacted co-contractiom yang berhubungan
dengan trauma setelah injeksi
Perawatan Karena tidak ada bukti inflamasi didaerah injeksi, tidak ada perawatan yang
diindikasikan pada derah ini.Ternyata trauma setelah injeksi telah sembuh, dan nyeri otot
lokal menjadi tetap (nyeri otot siklik). Nyeri otot lokal dirawat dengan alat stabilisasi
selama tidur untuk bruksism disertai dengan instruksi membatasi penggunaan mandibula.
Penggunaan ibuprofen diatur (600 mg tiga kali sehari). Pijatan dan terapi suhu juga
dimulai. Setelah 1 minggu pasien kembali dan melaporkan 60% gejala reda. Terapi yang
sama dilanjutkan dan 1 minggu kemudian gejala tidak muncul sama sekali.
Kasus 4
Seorang perempuan iburumah tangga usia 36 tahun dating ke klinik gigi dengan riwayat
3 minggu nyeri pada otot sebelah kanan wajahnya. Nyeri relatif konstan. Pasien
melaporkan bahwa telah mengalami kejadian berulang nyeri yang sana, tetapi tidak
seburuk ini atau berlangsung lama. Riwayat mengungkapkan tidak ada trauma, tetapi
gejala biasanya berhubungan dengan stress merawat kedua anak yang masih kecil. Nyeri
yang terbesar saat bangun.
Pemeriksaan klinis menunjukkan palpasi yang lembut pada otot temporalis dan
sternocleidomastoideus kanan (nilai, 1) dan nyeri yang parah pada otot maseter (nilai, 3).
Pembukaan mandibula maksimum yang nyaman hanya 18 mm dengan nyeri yang
signifikan ketika mencoba membuka lebih besar. Pemeriksaan TMJ gagal
memperlihatkan rasa nyeri atau disfungsi. Selama pemeriksaan oklusal dicatat bahwa gigi
molar pertama mandibula telah dicabut dan gigi molar kedua miring kedaerah yang
kosong karena pergeseran lateral mandibula dari posisi stabil muskuloskeletal (CR)
terhadap kondilus ke posisi maksimum intercusp (ICP). Pemeriksaan klinis tidak
menunjukkan penemuan yang signifikan.
Diagnosis. Centrally mediated myalgia kronik sekunder ke nyeri otot lokal. Aktivitas
parafungsional merupakan faktor yang mungkin berhubungan dengan stress emosional.
Setelah seluruh gejala hilang, pentingnya kondisi oklusal dibahas dengan pasien. Pasien
disarankan mengganti gigi molar yang hilang sehingga lengkung dapat stabil dan kondisi
oklusal membaik. Dokter menunjukkan bahwa dengan selesainya perawatan tidak
menjamin bahwa gejala tidak akan kembali, tetapi ni stress dengan peningkatan stabilitas
diharapkan akan mengurangi kemungkinan hal tersebut. Pasien diingatkan mengenai
faktor stress emosional dan bagaimana menangani stress yang dapat mengembalikan
gejala. Keuntungan lain tentang gigi pengganti dibahas dan pasien dianjurkan menerima
perawatan.Gigi molar kedua kiri dan kanan dilakukan ortodontk dan posterior implant
dengan mahkota mengganti gigi molar pertam yang hilang. Kondisi oklusal diperbaiki
untuk berkontak simultan dengan protesa tetap ketika kondilus berapa pada posisi stabil
muskuloskeletal (CR). Kontak laterotrusif yang adekuat pada gigi anterior tidak
berkontak dengan gigi posterior selama gerakan eksentrik. Tahun 1 dan 2 kunjungan
berikut gejala tidak muncul lagi.
Kasus 5
Seorang sekretaris perempuan usia 27 tahun mengeluhkan ke klinik gigi kekauan otot
rahang dan sakit kepala konstan. Sakit kepala berasal dari area pelipis bilateral. Sakit
kepala muncul selama 4 bulan dan menjadi buruk saat sore hari setelah mengetik
sepanjang hari. Kekauan otot rahang meningkat saat mengunyah namun tidak
memperburuk sakit kepala. Namun gerak leher dan kaku bahu tidak terlihat
meningkatkan nyeri kepala.
Diagnosis. Nyeri myofascial servikal posterior dan otot trapezius engan yeri alih (tipe
sakit kepala) pada region temporal dengan co-contraction sekunder dan nyeri otot lokal
pada otot maseter.
Perawatan. Penjelasan diberikan pada pasien mengenai nyeri myofascial dan penyebab
umumnya. Pasien diberitahu mengenai hubungan nyeri myofascial dan stress emosional.
Efek yang mungkin dari posisi mengetik juga dibahas dan saran diberikan untuk
meningkatkan ergonomic selama mengetik. Intruksi teknik PSR dianjurkan. Titik pemicu
pada otot trapezius dan otot leher posterior di spary dan diregangkan. Pasien pulang
rumah dengan rekomendasi untuk peregangan pasif dan panas pada otot leher dan bahu.
Pasien kembali 1 minggu kmudian dan melaporkan penurunan yang signifikan sakit
kepalanya. Pembukaan mandibula yang nyaman sekarang 35 mm dengan rata-rata
maksimum 44 mm. Meskipun kebanyakan titik pemicu telah diselesaikan. Titik pemicu
di injeksikan dengan 1 ml lidokain 2% (tidak ada vasokonstriktor) dan otot diregangkan.
Injeksi langsung menghilangkan keluhan sakit kepala. Pasien kembali ke klinik gigi
setelah 1 minggu dan melaporkan tidak ada sakit kepala lagi. Pasien dianjurkan untuk
melanjutkan untuk memantau ergonomic mengetiknya dan melanjutkan teknik PSR.
Kasus 6
Seorang lelaki usia 27 tahun mengeluhkan di klinik gigi bahwa ia “tidak bias menggigit
dengan giginya bersama-sama”. Pasien melaporkan bahwa dia tidak dapat membuka
mulut lebar dan rahangnya tampak kekiri. Kondisi ini telah muncul sejak ia bangun pagi
2 jam sebelumnya. Pasien melaporkan hanya sakit ringan ketika rahang beristirahat tetapi
ketika mencoba untuk memakai gigi bersama-sama nyeri meningkat pda bagian kanan.
Tidak ada riwayat trauma terjadi.
Perawatan. Es diaplikasikan pada sisi kanan wajah pada area otot pterigoid lateral, diikuti
dengan manipulasi lembut pada mandibula ke oklusi yang tepat(peregangan lembut pada
otot pterigoid lateral inferior kanan). Hal ini terlihat meningkatkan kondisi ini. Otot
pterigoid lateral kanan di injeksikan 1 ml lidokain 2% ( tidak ada epinefrin). Dalam
waktu 5 menit kondisi teratasi dan oklusi normal dibentuk kembali. Pasien diintruksikan
untuk mengurangi fungsi rahang selama 2 – 3 hari dan manganjurkan makanan lunak.
Pasien diminta untuk menghubungi segera jika kondisi kembali. Pasien terlihat
melakukan perawatan gig rutin dua bulan kemudian dan melaporkan hilangnya gejala.
Kasus 7
Seorang wanita usia 45 tahun melaporkan ke klinik gigi keluhan sakit kepala. Nyeri ini
dirasakan pada seluruh kepala dan muncul kurang lebih dari 2 bulan. Pasien mampu
bekerja, tetapi nyeri mengurangi efektivitasnya. Nyeri bilateral dan menuju ke leher.
Pertanyaan lebih lanjut pada pasien menunjukkan keluhan pada bahu, punggung dan
lengan. Pasien melaporkan kualitas tidur yang kurang dan energy yang rendah. Masalah
nyeri menurunkan kualitas hidupnya dan menjadi depresi. Tidak ada riwayat trauma atau
gangguan pada gigi.
Pemeriksaan klinis menunjukkan otot lunak pada leher dan kepala. Palpasi pada area
lunak tidak memperburuk atau menambah sakit kepala. Rata-rata gerakan mandibula
hanya sebatas 38 mm dan tidak ada nyeri atau bunyi sendi. Kondisi oklusalnya stabil
pada posisi stabil muskuloskeletal manidbula. Radiografi panoramic biasa saja.
Kasus 8
Seorang wanita usia 37 tahun melaporkan ke klinik dengan keluhan pembukaan rahang
yang spontan. Kejadian ini mulai 4 tahun lalu dan menjadi lebih sering selama 6 bulan
lalu. Selama kejadian ini pasien melaporkan “pembukaan terkunci” selama beberapa jam.
Pasien secara rutin kerumah sakit gawat darurat untuk dibius dan mulutnya dipaksa
tertutup. Pasien dsudah pernah kebebrapa dokter gigi untuk masalah ini dan menjalani
pembedahan TMJ (eminektomi) 2 tahun lalu. Pembedahan ini hanya membantu selama 2
bulan, dan kemudian masalah kembali. Saat ini kejadian berulang tiap 2 hingga 3 minggu
dan berhubungan dengan nyeri yang signifikan. Antara kejadian kadang berfungsi normal
tanpa nyeri. Baru-baru ini dokter gigi merawatnya dengan valium dan memberi kawat
giginya selama 2 – 3 minggu selama kejadian. Pasien dirujuk kedokter gigi untuk
dievaluasi.
Kunjungan awal pasien terjadi antara kejadian keluhan terkunci rahang. Oleh karena itu
pemeriksaan menunjukkan tidak ada temuan yang tidak biasa. Pemeriksaan nervus
kranial dalam batas normal seperti pemeriksaan servikal. Palpasi pada otot kepala dan
leher gagal menunjukkan nyeri. Kisaran normal pergerakan rahang ada, meskipun pasien
tidak mau membuka mulut penuh karena kejadian pembukaan rahang gagal yang lalu.
Hubungan olusal ditemukan pada posisi stabil muskuloskeletal. Radiografi panoramic
biasa saja dengan pengecualian eminensia artikularis yang terlihat sekunder untuk operasi
sebelumnya. Braket ortodontik dilakukan pada gigi posterior untuk digunakan sebagai
kawat menutup mulut selama kejadian.
Perawatan. Pasien diberitahu tentang diagnosis dan penjelasan tentang etiologi dan
pilihan yang tersedia. Pasien diberi gabapentin sebagai percobaan dalam upaya untuk
mencegah kejadian lebih lanjut. Pasien dintruksikan untuk kembali ke klinik jika kejadian
kembali. Pasien tidak mengalami kejadian selama 1 bulan dan kemudian melaporkan ke
klinik jika kesulitan dan rasa nyeri mulut saat terkunci. Pasien segera diberi injeksi pada
otot pterigoid lateral kiri dan kanan dengan lidokain 2 % ( tidak ada vasokonstriktor).
Dalam waktu 5 menit nyeri berkurang 75 %. Pada waktu itu mulut bias dipaksa menutup
dan gigi yang di kawat bersama menggunakan braket ortodontik. Pasien dihentikan resep
obat cyclobenzaprine dan obat nyeri. Satu minggu kemudian pasien kembali dan
melaporkan bahwa “tarikan” hampir teratasi dan kemudian relatif nyaman. Selama
kunjungan 40 U botulinum toksin A diinjeksikan pada tiap otot pterigoid lateral kiri dan
kanan menggunakan jarum elektromiogram. Pasien diberhentikan memakai kawat. Psien
kembali dalam 1 minggu dan kawat lengkung dilepas. Pasien diminta untuk kembali 3
bulan untuk dievaluasi atau jika sensasi terkunci muncul lagi. Selama 3 bulan pasien
kembali dan melaporkan kejadian terkunci. Pasien senang karena kejadian yang tak
muncul selama lebih dari setahun. Pasien tidak lagi mencatat bahwa selama seminggu
yang lalu merasa “kejang atau tertarik” pada area otot pterigoid lateral. Injeksi botulinum
toksin A diulang pada waktu itu. Pasien dihentikan dan dijadwal ulang untuk evaluasi
kembali dalam 4 bulan. Pasien diminta untuk melaporkan segera ke klinik jika gejala
kembali. Setiap saat kembali ke klinik tiap 4 hingga 5 bulan untuk mengulangi injeksi
botulinum toksin A.
Referensi
Bell WE: Temporomandibula disorders: classification, diagnosis, management,
ed 3, Chicago, 1990, Year Book Medical, pp 60-61.
Smith AM: The coactivation of antagonist muscles, Can J Physiol Pharmacol
59:733, 1981.
Lund JP, Olsson KA: The importance of reflexes and their control during jaw
movements, Trends Neurosci 6:458-463, 1983.
Finger M, Stohler CS, Ash MM Jr: The effect of acrylic bite plane splints and
their vertical dimension on jaw muscle silent period in healthy young adults, J
Oral Rehabil 12:381-388, 1985.
Ashton-Miller JA, McGlashen KM, Herzenberg JE, Stohler CS: Cervical muscle
myoelectric response to acute experimental sternocleidomastoid pain, Spine
15:1006-1012,1990.
Stohler CS: Clinical perspectives on masticatory and related muscle disorders. In
Sessle BJ, Bryant PS, Dionne RA, editors: Temporomandibula disorders and
related pain conditions, Seattle, 1995, IASP Press, pp 3-29.
Lund JP, Donga R, Widmer CG, Stohler CS: The pain-adaptation model: a
discussion of the relationship between chronic musculoskeletal pain and motor
activity, Can J Physiol Pharmacol 69:683-694, 1991.
Tzakis MG, Dahlstrom L, Haraldson T: Evaluation of masticatory function before
and after treatment in patients with craniomandibula disorders, J Craniomandib
Disord 6:267-272, 1992.
Bell WE: Temporomandibula disorders: classification, diagnosis, management,
ed 3, Chicago, 1990, Year Book Medical, p 280.
Rosen JC: Self-monitoring in the treatment of diurnal bruxism, J Behav Ther Exp
Psychiatry 12:347-350, 1981.
Bornstein PH, Hamilton SB, Bornstein MT: Self-monitoring procedures. In
Ciminero AR, Calhoun KS, Adams HE, editors: Handbook of behavioral
assessment, ed 2, New York, 1986, Wiley, pp 176-222.
Turk DC, Zaki HS, Rudy TE: Effects of intraoral appliance and
biofeedback/stress management alone and in combination in treating pain and
depression in patients with temporomandibula disorders, J Prosthet Dent 70:158-
164, 1993
Pierce CJ, Gale EN: A comparison of different treatments for nocturnal bruxism,
J Dent Res 67:597-601, 1988.
Solberg WK, Clark GT, Rugh JD: Nocturnal electromyographic evaluation of
bruxism patients undergoing short term splint therapy, J Oral Rehabil 2:215-223,
1975.
Clark GT, Beemsterboer PL, Solberg WK, Rugh JD: Nocturnal
electromyographic evaluation of myofascial pain dysfunction in patients
undergoing occlusal splint therapy, J Am Dent Assoc 99:607-611, 1979.ra>
Yap AU: Effects of stabilization appliances on nocturnal parafunctional activities
in patients with and without signs of temporomandibula disorders, J Oral Rehabil
25:64-68, 1998.
Kurita H, Kurashina K, Kotani A: Clinical effect of full coverage occlusal splint
therapy for specific temporomandibula disorder conditions and symptoms, J
Prosthet Dent 78:506-510, 1997.
Kreiner M, Betancor E, Clark G: Occlusal stabilization appliances: evidence of
their efficacy, J Am Dent Assoc 132:700-717, 2001.
Ekberg E, Nilner M: Treatment outcome of appliance therapy in
temporomandibula disorder patients with myofascial pain after 6 and 12 months,
Acta Odontol Scand 62:343-349, 2004.
Wilkinson T, Hansson TL, McNeill C, Marcel T: A comparison of the success of
24- hour occlusal splint therapy versus nocturnal occlusal splint therapy in
reducing craniomandibula disorders, J Craniomandib Disord 6:64-73, 1992.
Kuttila M, Le Bell Y, Savolainen-Niemi E, Kuttila S, Alanen P: Efficiency of
occlusal appliance therapy in secondary otalgia and temporomandibula disorders,
Acta Odontol Scand 60:248-254, 2002.
Ekberg E, Nilner M: A 6- and 12-month follow-up of appliance therapy in TMD
patients: a follow-up of a controlled trial, Int J Prosthodont 15:564-570, 2002.
Ekberg E, Vallon D, Nilner M: The efficacy of appliance therapy in patients with
temporomandibula disorders of mainly myogenous origin. A randomized,
controlled, short-term trial, J Orofac Pain 17:133-139, 2003.
Forssell H, Kalso E, Koskela P, Vehmanen R, Puukka P et al: Occlusal treatments
in temporomandibula disorders: a qualitative systematic review of randomized
controlled trials, Pain 83:549-560, 1999
Al-Ani MZ, Davies SJ, Gray RJ, Sloan P, Glenny AM: Stabilization splint
therapy for temporomandibula pain dysfunction syndrome, Cochrane Database
Syst Rev CD002778, 2004.
Wassell RW, Adams N, Kelly PJ: Treatment of temporomandibula disorders by
stabilising splints in general dental practice: results after initial treatment, Br Dent
J 197:35-41; discussion 31; quiz 50-51, 2004.
VanHelder WP: Medical treatment of muscle soreness [editorial; comment], Can
J Sport Sci 17:74-79, 1992.
Kakulas BA, Adams RD: Diseases of muscle, Philadelphia, 1985, Harper & Row,
pp 725-727.
Simons DG, Travell JG, Simons LS: Travell& Simons' myofascial pain and
dysfunction: the trigger point manual, ed 2, Baltimore, 1999, Lippincott Williams
& Wilkins, pp 19-30.
Simons DG, Travell JG, Simons LS: Travell& Simons' myofascial pain and
dysfunction: the trigger point manual, ed 2, Baltimore, 1999, Lippincott
Williams& Wilkins, pp 178-186.
Sarlani E, Grace EG, Reynolds MA, Greenspan JD: Evidence for up-regulated
central nociceptive processing in patients with masticatory myofascial pain, J
Orofac Pain 18:41-55, 2004.
Simons DG, Travell JG, Simons LS: Travell& Simons' myofascial pain and
dysfunction: the trigger point manual, ed 2, Baltimore, 1999, Lippincott Williams
&Wilkins, pp 220-222.
Simons DG, Travell JG, Simons LS: Travell& Simons' myofascial pain and
dysfunction: the trigger point manual, ed 2, Baltimore, 1999, Lippincott Williams
&Wilkins, pp 226-227.
Moldofsky H, Scarisbrick P: Induction of neurasthenic musculoskeletal pain
syndrome by selective sleep stage deprivation, Psychosom Med 38:35-44, 1976.
Simons DG, Travell JG, Simons LS: Travell& Simons’ myofascial pain and
dysfunction: the trigger point manual, ed 2, Baltimore, 1999, Lippincott Williams
&Wilkins, pp 186-220.
Simons DG, Travell JG, Simons LS: Travell& Simons' myofascial pain and
dysfunction: the trigger point manual, ed 2, Baltimore, 1999, Lippincott Williams
&Wilkins, pp 223-226.
Simons DG, Travell JG, Simons LS: Travell& Simons' myofascial pain and
dysfunction: the trigger point manual, ed 2, Baltimore, 1999, Lippincott Williams
&Wilkins, pp 127-142.
Jaeger B, Reeves JL: Quantification of changes in myofascial trigger point
sensitivity with the pressure algometer following passive stretch, Pain 27:203-
210, 1986.
Simons DG, Travell JG, Simons LS: Travell& Simons' myofascial pain and
dysfunction: the trigger point manual, ed 2, Baltimore, 1999, Lippincott Williams
&Wilkins, pp 138-142.
Zohn DA, Mennell JM: Musculoskeletal pain: diagnosis and physical treatment,
Boston, 1976, Little, Brown, pp 126-137.
Bonica JJ: Management of myofascial pain syndromes in general practice, JAMA
164:732-738, 1957.
Kamyszek G, Ketcham R, Garcia R Jr, Radke J: Electromyographic evidence of
reduced muscle activity when ULF-TENS is applied to the 5th and 7th cranial
nerves, Cranio 19:162-168, 2001.
Simons DG, Travell JG, Simons LS: Travell& Simons' myofascial pain and
dysfunction: the trigger point manual, ed 2, Baltimore, 1999, Lippincott Williams
&Wilkins, pp 150-173.
Pippa P, Allegra A, Cirillo L, Doni L, Rivituso C: Fibromyalgia and trigger
points, Minerva Anestesio l60:281-283, 1994.
Carlson CR, Okeson JP, Falace DA, Nitz AJ, Lindroth JE: Reduction of pain and
EMG activity in the masseter region by trapezius trigger point injection, Pain
55:397-400, 1993.
Hong CZ: Lidocaine injection versus dry needling to myofascial trigger point.
The importance of the lokal twitch response, Am J Phys Med Rehabil 73:256-263,
1994.
Scicchitano J, Rounsefell B, Pilowsky I: Baseline correlates of the response to the
treatment of chronic lokalized myofascial pain syndrome by injection of lokal
anaesthetic, J Psychosom Res 40:75-85, 1996.
Fine PG, Milano R, Hare BD: The effects of myofascial trigger point injections
are naloxone reversible, Pain 32:15-20, 1988.
Guttu RL, Page DG, Laskin DM: Delayed healing of muscle after injection of
bupivacaine and steroid, Ann Dent 49:5-8, 1990.
McCain GA: Role of physical fitness training in fibrosis/fibromyalgia syndromes,
Am J Med81(suppl 3A): 73-77, 1986.
Zeno E, Griffin J, Boyd C, Oladehin A, Kasser R: The effects of a home exercise
program on pain and perceived dysfunction in a woman with TMD: a case study,
Cranio 19:279-288, 2001.
Okeson JP: Bell's orofacial pains, ed 6, Chicago, 2005, Quintessence, pp 45-62.
Bowsher D: Neurogenic pain syndromes and their management, Br Med Bull
47:644-666, 1991.
La Motte RH, Shain CN, Simone DA, Tsai EF: Neurogenic
hyperalgesia:psychophysical studies of underlying mechanisms, J Neurophysiol
66:190-211, 1991.
Sessle BJ: The neural basis of temporomandibula joint and masticatory muscle
pain, J Orofac Pain 13:238-245, 1999.
Simone DA, Sorkin LS, Oh U, Chung JM, Owens C et al: Neurogenic
hyperalgesia: central neural correlates in responses of spinothalamic tract neurons,
J Neurophysiol 66:228-246, 1991.
Wong JK, Haas DA, Hu JW: Lokal anesthesia does not block mustard-oil-induced
temporomandibula inflammation, Anesth Analg 92:1035-1040, 2001.
McCain GA, Scudds RA: The concept of primary fibromyalgia (fibrositis):clinical
value, relation and significance to other chronic musculoskeletal pain syndromes,
Pain 33:273-287, 1988.
Wolfe F, Smythe HA, Yunus MB, Bennett RM, Bombardier C et al: The
American College of Rheumatology 1990 Criteria for the Classification of
Fibromyalgia. Report of the Multicenter Criteria Committee [seecomments],
Arthritis Rheum 33:160-172, 1990.
Korszun A, Young EA, Singer K, Carlson NE, Brown MB et al: Basal circadian
cortisol secretion in women with temporomandibula disorders, J Dent Res
81:279-283, 2002.
McLean SA, Williams DA, Harris RE, Kop WJ, Groner KH et al: Momentary
relationship between cortisol secretion and symptoms in patients with
fibromyalgia, Arthritis Rheum 52:3660-3669, 2005.
Crofford LJ, Demitrack MA: Evidence that abnormalities of central
neurohormonal systems are key to understanding fibromyalgia and chronic
fatigue syndrome, Rheum Dis Clin North Am 22:267-284, 1996.
Crofford LJ, Pillemer SR, Kalogeras KT, Cash JM, Michelson D et al:
Hypothalamicpituitary- adrenal axis perturbations in patients with fibromyalgia,
Arthritis Rheum 37: 1583-1592, 1994.
McBeth J, Chiu YH, Silman AJ, Ray D, Morriss R et al: Hypothalamic-pituitary-
adrenal stress axis function and the relationship with chronic widespread pain and
its antecedents, Arthritis Res Ther 7:R992-R1000, 2005.
Cimino R, Michelotti A, Stradi R, Farinaro C: Comparison of clinical and
psychologic features of fibromyalgia and masticatory myofascial pain, J Orofac
Pain 12:35-41, 1998.
Dao TT, Reynolds WJ, Tenenbaum HC: Comorbidity between myofascial pain of
the masticatory muscles and fibromyalgia, J Orofac Pain 11:232-241, 1997.
Goldenberg DL: Fibromyalgia, chronic fatigue syndrome, and myofascial pain
syndrome, Curr Opin Rheumatol l5:199-208, 1993.
Hedenberg Magnusson B, Ernberg M, Kopp S: Symptoms and signs of
temporomandibula disorders in patients with fibromyalgia and lokal myalgia of
the temporomandibula system. A comparative study, Acta Odontol Scand 55:344-
349, 1997.
Hedenberg-Magnusson B, Ernberg M, Kopp S: Presence of orofacial pain and
temporomandibula disorder in fibromyalgia. A study by questionnaire, Swed Dent
J 23:185-192, 1999.
Hedenberg-Magnusson B, Ernberg M, Kopp S: Symptoms and signs of
temporomandibula disorders in patients with fibromyalgia and lokal myalgia of
the temporomandibula system. A comparative study, Acta Odontol Scand 55:344-
349, 1997.
Plesh O, Wolfe F, Lane N: The relationship between fibromyalgia and
temporomandibula disorders: prevalence and symptom severity, J Rheumatol
23:1948-1952, 1996.
Yunus MB, Kalyan-Raman UP, Kalyan-Raman K: Primary fibromyalgia
syndrome and myofascial pain syndrome: clinical features and muscle pathology,
Arch Phys Med Rehabil 69:451-454, 1989.
Rhodus NL, Fricton J, Carlson P, Messner R: Oral symptoms associated with
fibromyalgia syndrome, J Rheumatol 30:1841-1845, 2003.
Manfredini D, Tognini F, Montagnani G, Bazzichi L, Bombardieri S et al:
Comparison of masticatory dysfunction in temporomandibula disorders and
fibromyalgia, Minerva Stomatol 53:641-650, 2004.
Bennett R, Campbell S, Burckhardt C, Clark S, O'Reilly C et al: A
multidisciplinary approach to fibromyalgia management, J Musculoskel Med
8:21-32, 1991
Carette S, McCain GA, Bell DA, Fam AG: Evaluation of amitriptyline in primary
fibrositis. A double-blind, placebo-controlled study, Arthritis Rheum 29:655-659,
1986.
Goldenberg DL, Felson DT, Dinerman H: A randomized, controlled trial of
amitriptyline and naproxen in the treatment of patients with fibromyalgia,
Arthritis Rheum 29:1371-1377, 1986.
Crofford LJ: Meta-analysis of antidepressants in fibromyalgia, Curr Rheumatol
Rep 3:115-122, 2001.
Goldenberg DL: A review of the role of tricyclic medications in the treatment of
fibromyalgia syndrome, J Rheumatol Suppl 19:137-139, 1989.
Reynolds WJ, Moldofsky H, Saskin P, Lue FA: The effects of cyclobenzaprine on
sleep physiology and symptoms in patients with fibromyalgia, J Rheumatol
18:452-454, 1991.
Hamaty D, Valentine JL, Howard R, Howard CW, Wakefield V et al: The plasma
endorphin, prostaglandin and catecholamine profile of patients with fibrositis
treated with cyclobenzaprine and placebo: a 5-month study, J Rheumatol Suppl
19:164-68, 1989.
Tofferi JK, Jackson JL, O'Malley PG: Treatment of fibromyalgia with
cyclobenzaprine: a meta-analysis, Arthritis Rheum 51:9-13, 2004.
Granges G, Littlejohn GO: A comparative study of clinical signs in fibromyalgia/
fibrositis syndrome, healthy and exercising subjects, J Rheumatol 20:344-351,
1993.
Ramfjord SP: Dysfunctional temporomandibula joint and muscle pain, J Prosthet
Dent 11:353-362, 1961.
Ramfjord S: Bruxism: a clinical and electromyographic study, J Am Dent Assoc
62:21-28, 1961.
Randow K, Carlsson K, Edlund J, Oberg T: The effect of an occlusal interference
on the masticatory system. An experimental investigation, Odontol Rev 27:245-
256, 1976.
Arnold M: Bruxism and the occlusion, Dent Clin North Am 25:395-407, 1981.
Ramfjord SP, Ash MM: Occlusion, ed 3, Philadelphia, 1983, Saunders, p 342.
Graf H: Bruxism, Dent Clin North Am 13:659-665, 1969.
Shore NA: Occlusal equilibration and temporomandibula joint dysfunction,
Philadelphia, 1959, Lippincott, p 500.
Posselt U: The temporomandibula joint syndrome and occlusion, J Prosthet Dent
25:432-438, 1971.
Rugh JD, Barghi N, Drago CJ: Experimental occlusal discrepancies and nocturnal
bruxism, J Prosthet Dent 51:548-553, 1984.
Bailey JO, Rugh JD: Effects of occlusal adjustment on bruxism as monitored by
nocturnal EMG recordings, J Dent Res 59(special issue):317, 1980.
Rugh JD, Solberg WK: Electromyographic studies of bruxist behavior before and
during treatment, J Calif Dent Assoc 3:56-59, 1975.
Solberg WK, Flint RT, Brantner JP: Temporomandibula joint pain and
dysfunction: a clinical study of emotional and occlusal components, J Prosthet
Dent 28:412-422, 1972.
Franks AST: Conservative treatment of temporomandibula joint dysfunction: a
comparative study, Dent Pract Dent Rec 15:205-210, 1965.
Okeson JP, Moody PM, Kemper JT, Haley JV: Evaluation of occlusal splint
therapy and relaxation procedures in patients with temporomandibula disorders, J
Am Dent Assoc 107:420-424, 1983.
Okeson JP, Kemper JT, Moody PM: A study of the use of occlusion splints in the
treatment of acute and chronic patients with craniomandibula disorders, J
Prosthet Dent 48:708-712, 1982.
Okeson JP: The effects of hard and soft occlusal splints on nocturnal bruxism, J
Am Dent Assoc 114:788-791, 1987.
Fuchs P: The muscular activity of the chewing apparatus during night sleep. An
examination of healthy subjects and patients with functional disturbances, J Oral
Rehabil 2:35-48, 1975.
Sheikholeslam A, Holmgren K, Riise C: A clinical and electromyographic study
of the long-term effects of an occlusal splint on the temporal and masseter
muscles in patients with functional disorders and nocturnal bruxism, J Oral
Rehabil 13:137-145, 1986.
Tsukiyama Y, Baba K, Clark GT: An evidence-based assessment of occlusal
adjustment as a treatment for temporomandibula disorders, J Prosthet Dent
86:57-66, 2001.
Holmgren K, Sheikholeslam A, Riise C: Effect of a full-arch maxillary occlusal
splint on parafunctional activity during sleep in patients with nocturnal bruxisn
and signs and symptoms of craniomandibula disorders, J Prosthet Dent 69:293-
297, 1993.
Saletu A, Parapatics S, Saletu B, Anderer P, Prause W et al: On the
pharmacotherapy of sleep bruxism: placebo-controlled polysomnographic and
psychometric studies with clonazepam, Neuropsychobiology 51:214-225, 2005.
Ware JC: Tricyclic antidepressants in the treatment of insomnia, J Clin
Psychiatry 44:25-28, 1983.
Rizzatti-Barbosa CM, Nogueira MT, de Andrade ED, Ambrosano GM, de
Barbosa JR: Clinical evaluation of amitriptyline for the control of chronic pain
caused by temporomandibula joint disorders, Cranio 21:221-225, 2003.
Plesh O, Curtis D, Levine J, McCall WD Jr: Amitriptyline treatment of chronic
pain in patients with temporomandibula disorders, J Oral Rehabil 27:834-841,
2000.
Herman CR, Schiffman EL, Look JO, Rindal DB: The effectiveness of adding
pharmacologic treatment with clonazepam or cyclobenzaprine to patient
education and self-care for the treatment of jaw pain upon awakening:a
randomized clinical trial, J Orofac Pain 16:64-70, 2002.
Dorland's illustrated medical dictionary, ed 30, Philadelphia, 2003, Saunders, p
579.
Tolosa E, Marti MJ: Blepharospasme-oromandibula dystonia syndrome
(Meige'ssyndrome): clinical aspects, Adv Neurol 49:73-84, 1988.
Jankovic J: Etiology and differential diagnosis of blepharospasme and
oromandibula dystonia, Adv Neurol 49:103-116, 1988.
Cardoso F, Jankovic J: Peripherally induced tremor and parkinsonism, Arch
Neurol 52:263-270, 1995.
Nutt JG, Muenter MD, Aronson A, Kurland LT, Melton LJ III: Epidemiology of
focal and generalized dystonia in Rochester, Minnesota, Mov Disord 3:188-194,
1988.
Tan EK, Jankovic J: Botulinum toxin A in patients with oromandibula dystonia:
longterm follow-up, Neurology 53:2102-2107, 1999.
Bakke M, Werdelin LM, Dalager T, Fuglsang-Frederiksen A, Prytz S et al:
Reduced jaw opening from paradoxical activity of mandibula elevator muscles
treated with botulinum toxin, Eur J Neurol 10:695-699, 2003.
Sankhla C, Jankovic J, Duane D: Variability of the immunologic and clinical
response in dystonic patients immunoresistant to botulinum toxin injections, Mov
Disord 13:150-154, 1998.
Waddy HM, Fletcher NA, Harding AE, Marsden CD: A genetic study of
idiopathic focal dystonias, Ann Neurol 29:320-324, 1991.
Behari M, Singh KK, Seshadri S, Prasad K, Ahuja GK: Botulinum toxin A in
blepharospasme and hemifacial spasme, J Assoc Physicians India 42:205-208,
1994.
Tan EK, Jankovic J: Tardive and idiopathic oromandibula dystonia: a clinical
comparison, J Neurol Neurosurg Psychiatry 68:186-190, 2000.
Singer C, Papapetropoulos S: A comparison of jaw-closing and jaw-opening
idiopathic oromandibula dystonia, Parkinsonism Relat Disord 12:115-118, 2006.
Gray AR, Barker GR: Idiopathic blepharospasme-oromandibula dystonia
syndrome (Meige's syndrome) presenting as chronic temporomandibula joint
dislocation, Br J Oral Maxillofac Surg 29:97-99, 1991.
Evans BK, Jankovic J: Tuberous sclerosis and chorea, Ann Neurol 13:106-107,
1983.
Goetz CG, Horn SS: Treatment of tremor and dystonia, Neurol Clin 19:129-144,
vi-vii, 2001.
Vazquez-Delgado E, Okeson JP: Treatment of inferior lateral pterygoid muscle
dystonia with zolpidem tartrate, botulinum toxin injections, and physical self-
regulation procedures: a case report, Cranio 22:325-329, 2004.
Balash Y, Giladi N: Efficacy of pharmacological treatment of dystonia:evidence-
based review including meta-analysis of the effect of botulinum toxin and other
cure options, Eur J Neurol 11:361-370, 2004.
Goldman JG, Comella CL: Treatment of dystonia, Clin Neuropharmacol 26:102-
108, 2003.
Wessberg G: Management of oromandibula dystonia, Hawaii Dent J 34:15-16,
2003.
Bressman SB: Dystonia update, Clin Neuropharmacol 23:239-251, 2000
Jankovic J, Orman J: Botulinum A toxin for cranial-cervical dystonia: a double-
blind, placebo-controlled study, Neurology 37:616-623, 1987.
Poungvarin N, Devahastin V, Chaisevikul R, Prayoonwiwat N, Viriyavejakul
A:Botulinum A toxin treatment for blepharospasme and Meige syndrome:report
of 100 patients, J Med Assoc Thai 80:1-8, 1997.
Jankovic J, Brin MF: Therapeutic uses of botulinum toxin, N Engl J Med
324:1186-1194, 1991.
Zuber M, Sebald M, Bathien N, de Recondo J, Rondot P: Botulinum antibodies
in dystonic patients treated with type A botulinum toxin: frequency and
significance, Neurology 43:1715 1718, 1993.
Jankovic J, Schwartz K: Response and immunoresistance to botulinum toxin
injections, Neurology 45:1743-1746, 1995.
Clark GT: The management of oromandibula motor disorders and facial spasmes
with injections of botulinum toxin, Phys Med Rehabil Clin N Am 14:727-748,
2003.
Gobel H, Heinze A, Reichel G, Hefter H, Benecke R: Efficacy and safety of a
single botulinum type A toxin complex treatment (Dysport) for the relief of
upper back myofascial pain syndrome: results from a randomized double-blind
placebo-controlled multicentre study, Pain 125:82-88, 2006.
Kamanli A, Kaya A, Ardicoglu O, Ozgocmen S, Zengin FO et al: Comparison of
lidocaine injection, botulinum toxin injection, and dry needling to trigger points
in myofascial pain syndrome, Rheumatol Int 25:604-611, 2005.
Royal MA: Botulinum toxins in pain management, Phys Med Rehabil Clin N
Am14:805-820, 2003.
Lang AM: A preliminary comparison of the efficacy and tolerability of
botulinum toxin serotypes A and B in the treatment of myofascial pain
syndrome: a retrospective, openlabel chart review, Clin Ther 25:2268-2278,
2003.
De Andres J, Cerda-Olmedo G, Valia JC, Monsalve V, Lopez A et al: Use of
botulinum toxin in the treatment of chronic myofascial pain, Clin J Pain 19:269-
275, 2003.
Lang AM: Botulinum toxin type A therapy in chronic pain disorders, Arch Phys
Med Rehabil 84:S69-73; quiz S74-75, 2003.
Porta M: A comparative trial of botulinum toxin type A and methylprednisolone
for the treatment of myofascial pain syndrome and pain from chronic muscle
spasme, Pain 85:101-105, 2000.
Cheshire WP, Abashian SW, Mann JD: Botulinum toxin in the treatment of
myofascial pain syndrome, Pain 59:65-69, 1994.
Freund B, Schwartz M, Symington JM: The use of botulinum toxin for the
treatment of temporomandibula disorders: preliminary findings, J Oral
Maxillofac Surg 57:916-920, 1999.
Freund B, Schwartz M, Symington JM: Botulinum toxin: new treatment for
temporomandibula disorders, Br J Oral Maxillofac Surg 38:466-471, 2000.
Daelen B, Thorwirth V, Koch A: Treatment of recurrent dislocation of the
temporomandibula joint with type A botulinum toxin, Int J Oral Maxillofac Surg
26:458-460, 1997.
Ivanhoe CB, Lai JM, Francisco GE: Bruxism after brain injury: successful
treatment with botulinum toxin-A, Arch Phys Med Rehabil 78:1272-1273, 1997.
Moore AP, Wood GD: The medical management of masseteric hypertrophy with
botulinum toxin type A, Br J Maxillofac Surg 32:26-28, 1994.
Moore AP, Wood GD: Medical treatment of recurrent temporomandibula joint
dislocation using botulinum toxin A, Br Dent J 183:415-417, 1997.
Sankhla C, Lai EC, Jankovic J: Peripherally induced oromandibula dystonia, J
Neurol Neurosurg Psychiatry 65:722-728, 1998.
Ojala T, Arokoski JP, Partanen J: The effect of small doses of botulinum toxin A
on neck-shoulder myofascial pain syndrome: a double-blind, randomized, and
controlled crossover trial, Clin J Pain 22:90-96, 2006.
Graboski CL, Gray DS, Burnham RS: Botulinum toxin A versus bupivacaine
trigger point injections for the treatment of myofascial pain syndrome: a
randomized double blind crossover study, Pain 118:170-175, 2005.
Raj PP: Botulinum toxin therapy in pain management, Anesthesiol Clin North
America 21:715-731, 2003.
Aoki KR: Evidence for antinociceptive activity of botulinum toxin type A in pain
management, Headache 43(suppl 1):S9-15, 2003.
Gobel H: Botulinum toxin in migraine prophylaxis, J Neurol 251(suppl 1):I8-11,
2004.
Gobel H, Heinze A, Heinze-Kuhn K, Jost WH: Evidence-based medicine:
botulinum toxin A in migraine and tension-type headache, J Neurol 248(suppl
1):34-38, 2001.
Binder WJ, Brin MF, Blitzer A, Schoenrock LD, Pogoda JM: Botulinum toxin
type A (BOTOX) for treatment of migraine headaches: an open-label study,
Otolaryngol Head Neck Surg 123:669-676, 2000.
Silberstein S, Mathew N, Saper J, Jenkins S: Botulinum toxin type A as a
migraine preventive treatment. For the BOTOX Migraine Clinical Research
Group, Headache 40:445-450,2000.
Smuts JA, Schultz D, Barnard A: Mechanism of action of botulinum toxin type
A in migraine prevention: a pilot study, Headache 44:801-805, 2004.
Dodick DW, Mauskop A, Elkind AH, DeGryse R, Brin MF et al: Botulinum
toxin type A for the prophylaxis of chronic daily headache: subgroup analysis of
patients not receiving other prophylactic medications: a randomized double-
blind, placebocontrolled study, Headache 45:315-324, 2005.
Rollnik JD, Dengler R: Botulinum toxin (DYSPORT) in tension-type headaches,
Acta Neurochir Suppl 79:123-126, 2002.
Mense S: Neurobiological basis for the use of botulinum toxin in pain therapy, J
Neurol 251(suppl 1):1-7, 2004
Argoff CE: A focused review on the use of botulinum toxins for neuropathic
pain, Clin J Pain 18:S177-181, 2002.
Liu HT, Tsai SK, Kao MC, Hu JS: Botulinum toxin A relieved neuropathic pain
in a case of postherpetic neuralgia, Pain Med 7:89-91, 2006.
BAB 15 TERAPI ALAT OKLUSAL
Suatu alat oklusal (sering disebut splint) adalah suatu alat lepasan, biasanya dibuat dari
akrilik keras, yang didudukkan diatas permukaan oklusal dan incisal dari gigi dalam satu
lengkung, menciptakan kontak oklusal tepat dengan gigi dari lengkung yang berlawanan
(Gbr. 15-1). Itu secara umu berkenaan sebagai bite guard, night guard, interalat oklusal,
atau bahakan suatu perangkat orthopedic (contoh; orthotic). Alat oklusal mempunyai
beberapa kegunaan, satu diantaranya adalah untuk menyediakan secara sementara suantu
kondisi oklusal yang mengizinkan TMJ untuk menerima posisi sendi paling stabil secara
ortophedik. Mereka juga dapat digunakan untuk menperkenalkan kondisi oklusal
optimim yang mengatur kembali aktivitas refkleks, yang kembali mengurangi aktivitas
otot abnormal sambil mendorong fungsi otot lebih normal. Alat oklusal juga digunakan
untuk melindungi gigi dan mendukung struktur dari kekuatan abnormal yang dapat
menciptakan kerusakan dan/atau pemakaian gigi.
PERTIMBANGAN UMUM
Alat-alat terapi mempunyai beberapa kualitas menguntungkan yang membuat itu sangat
membantu untuk menangani berbagai temporomandibular disorders (TMDs). Karena
etiologic dan keterhubungan dari banyak TMDs yang sering kompleks, terapi inisial
biasanya terbalik dan noninvasif. Alat oklusal dapat menawarkan seperti terapi
sementara memperbaiki hubungan fungsional dari system mastikasi. Ketika alat oklusal
secara spesifik didesain untuk mengubah suatu factor penyebab dari TMDs, bahkan
secara sementara, gejala juga diubah. Dalam pengertian ini appliance menjadi
pendiagnosa. Perhatian harus diambil, bagaimanapun tidak menyederhanakan secara
berlebihan hubungan ini. Seperti didiskusikan kemudian dalam bab ini, suatu alat dapat
mempengaruhi gejala pasien dalam beberapa jalan. Ini sangat penting, ketika itu
mengurangi gejala, hubungan tepat sebab-dan-akibat dapat diidentifikasi sebelum terapi
bolak-balik dimulai. Pertimbangan ini penting utnutk menjamin bahwa perawatan yang
lebik ekstensif akan menghasilkan kesuksesan jangka panjang. Alat oklusal sama-sama
membantu dalam beberapa keputusan factor penyebab pasti. Ketika suatu maloklusi
diduga memberi kontribusi terhadap suatu TMD, terapi alat oklusal dapat dengan cepat
dan reversible memperkenalkan suatu kondisi oklusal yang diinginkan. Jika tidak
mempengaruhi gejala, maloklusi mungkin bukan factor penyebab dan tentunya perlu
terapi oklusal bolak-balik ditanyakan.
Kualitas lain yang menguntungkan dari terapi alat oklusal dalam menangani TMDs
adalah bahwa itu membantu dalam mengurangi gejala. Suatu literature kritismenyatakan
bahwa efektivitas antara 70% dan 90%. Bagaimanapun, banyak artikel sekarang
menggunakan Cochrane Database Systematic Review melaporkan bahwa alat oklusal
tidak mempunyai kekuatan atau efek yang dapat diandalkan pada gejala TMD. Ini seperti
suatu reflex dari desain penelitian yang memprihatinkan yang biasanya digunakan dalam
sutdi yang lebih cepat. Mekanisme tepat oleh alat dapat mengurangi gejala TMD sudah
diperdebatkan dan tidak meyakinkan saat ini. Pekerjaan harus menyediakan lebih baik
data berbasis bukti untuk lebih baik mengerti aturan alat dari TMDs. Demikian mereka
sering diindikasikan dalam insial dan beberapa perawatan jangka panjang dari banyak
TMDs.
Gbr. 15-1
15.2.1.2 Indikasi
Stabilization appliance secara umum digunakan untuk merawat penyakit sakit otot.
Penelitian telah menunjukkan bahwa memakainya dapat menurunkan aktivitas
parafungsional yang sering menyertai periode tekanan. Demikian ketika pasien
melaporkan dengan TMD yang berhubungan dengan hiperaktivitas otot seperti bruxism,
stabilization appliance seharusnya dipertimbangkan. Studi yang lebih baru kurang
meyakinkan mengenai mekanisme yang tepat dimana alat oklusal membantu mengurangi
gejala TMD namun penulis sebagian besar masih mendukung penggunaannya. Pasien
dengan rasa sakit otot local atau kronik secara terpusat memediasi myalgia, juga,
mungkin calon yang baik untuk jenis alat ini. Stablization appliances juga membantu
untuk pasien yang mengalami retrodiscitis sekunder terhadap trauma. Alat ini dapat
membantu mengurangi kekuatan untuk menghancurkan jaringan, juga memungkinkan
penyembuhan lebih efisien.
Gbr. 15-3
Gbr. 15-4
Kelebihan meliputi jaringan palatal dihapus dengan roda karet keras pada mesin
bubut. A, sebelum. B, setelah.
Batas lingual alat di panjangkan 10-12 mm dari batas gingiva melewati porsi lingual dari
lengkung. Bur besar akrilik digunakan untuk menghaluskanbtepi-tepi. Batas labial dari
alat mengakhiri antara incisal dan dan tengah pertiga gigi anterior. (Bats sekitar gigi
posterior mungkin lebih panjang sedikit). Hal ini lebih aman untuk meninggalkan batas
sedikit lebih lama saat ini. Jika alat oklusal tidak sepenuhnya duduk didalam mulut, batas
secara hati-hati dipendekkan sampai pas yang memadai diperoleh. Jumlah sedikit yang
bersih, self-curing, resin akrilik dicambupur dalam dappen dish. Seperti mengental, itu
ditambahkan ke permukaan oklusal dari bagian anterior alat (Gbr. 15-5). Akrilik ini akan
bertindak sebagai pemberhenti anterior. Ini lebarnya sekitar 4 mm dan harus diperluas ke
daerah mana anterior gigi insisivus sentralis mandibular akan berkontak (Gbr. 15-6).
Gbr. 15-5
A, jumlah kecil self-curing akrilik ditambahkan ke bagian anterior alat sebagai
pemberhenti untuk gigi seri bawah. Wilayah ini berhenti sekitar 4 sampai 6 mm.
B, pandangan lateroocclusal pemberhenti anterior ditempatkan pada alat.
Gbr. 15-6
Alat ini ditempatkan di atas gigi rahang atas dan dievaluasi untuk posisi tepat.
Seharusnya nyaman, memberikan retensi yang memadai yang tidak goyang.
Jika perbatasan alat telah dipertahankan di dekat persimpangan tengah dan sepertiga
insisal pada permukaan facial dari gigi, retensi yang memadai akan ada. Jika tidak duduk
sepenuhnya, dapat dipanaskan dengan hati-hati di luar mulut dengan pengering rambut
dan didudukkan kembali pada gigi. Hal ini akan membantu mencapai alat yang pas.
Perawatan yang diambil seharusnya tidak terlalu memanasi plastic atau bentuknya bias
hilang.
Pada kesempatan, bila resin tidak beradaptasi dengan baik pada gigi atau retensi miskin,
alat oklusal dapat dilapisi di dalam mulut dengan self-curing akrilik. Hal ini hanya dapat
dicapai bila menggunakan lembaran akrilik yang solid. Ketika lembar permukaan ganda
digunakan (soft / hard side), pelapisan ulang tidak mungkin. Sebelum memulai proses
pelapisan ulang, pasien diperiksa untuk setiap restorasi akrilik (misalnya, mahkota
sementara). Dokter seharus melanjutkan dengan langkah-langkah berikut:
1. Semua restorasi akrilik dilubrikasi baik dengan petroleum untuk mencegah
bonding dengan akrilik baru.
2. Sebuah prosedur pelapisan ulang dilakukan dengan mencampur sejumlah kecil
self-curing akrilik resin dalam dappen dish. Monomer ditambahkan ke dalam alat
oklusal untuk membantu dalam ikatan resin. Satu sampai dua milimeter dari resin
akrilik yang setting ditempatkan pada alat. Akrilik yang setting harus dikeringkan
dengan jarum suntik udara, dan, ketika menjadi melekat, pasien membasahi gigi
rahang atas. Kemudian alat didudukkan di gigi. Pasien tidak harus menggigit di
atasnya.
3. Resin yang setting yang berlebih dihilangkan dari area interproksimal labial.
4. Sebagai resin, alat akan dihilangkan dan diganti beberapa kali untuk menghindari
penguncian resin akrilik yang setting ke dalam daerah undercut.
5. Ketika resin menjadi hangat, alat dipindahkan untuk proses curing di luar
mulut.Gigi pasien segera diperiksa dan dibersihkan dari setiap akrilik yang setting
yang mungkin tertinggal. Setelah akrilik telah di-cure, alat diperiksa dan setiap
tepi yang tajam atau kelebihan sekitar perbatasan dihilangkan. Ketika alat
dipasang kembali pada gigi, retensi dan stabilitas yang memadai sekarang harus
ada.
Ketika alat oklusal sudah dengan adekuat terpasang pada gigi maksila, oklusi
dikembangkan dan disempurnakan.
Yang pertama menggunakan teknik manipulasi bilateral Panduan dijelaskan dalam Bab 9.
DalamTMJ yang normal, ketika kondilus ditempatkan ke posisi cakram MS cakram
secara tepat yang terletak antara kondilus dan fossa artikularis. Jika cakram juga secara
fungsional dipindahkan atau dislokasi, teknik panduan manual mandibular akan jaringan
kondilus retrodiscal. Ketika panduan manual mandibula menghasilkan nyeri pada sendi,
suatu gangguan intracapsular harus dicurigai dan stabilitas posisi ini harus dipertanyakan.
Perawatan harus diarahkan pada sumber rasa sakit intracapsular. Sebuah alat posisi
anterior mungkin terapi yang lebih tepat.
Teknik kedua menggunakan peletakan syop pada region anterior dari alat, dan otot
digunakan untuk melokasikan posisi MS dari kondilus. (Teknik ini mneggunakan prinsip
pekerja yang sama dengan lembar pengukur; lihat bab 9). Dalam posisi berbaring pasien
diminta untuk
menutup pada gigi posterior, yang menyebabkan hanya satu gigi seri rahang bawah
berkontak pada stop anterior dari alat. stop harus memberikan ketebalan yang
mempertahankangigi anterior 3 sampai 5 mm terpisah. Hal ini akan mengakibatkan gigi
posterior yang dipisahkan hanya 1 sampai 3 mm. Gigi posterior mandibula seharusnya
tidak berkontak pada setiap bagian dari alat. Jika gigi posterior berkontak dengan alat,
harus ditipiskan untuk menghilangkan kontak ini.
Kontak pada stop anterior ditandai dengan kertas artikulasi dan disesuaikan sehingga
menyediakan stop yang tegak lurus terhadap sumbu panjang gigi mandibula yang sedang
dikontakkan. Yang penting, tidak ada angulasi ke kontak yang harus terjadi karena
angulasi akan cenderung untuk membelokkan posisi mandibula. Jika inklinasi distal ada
di stop, clenching akan memaksa mandibula secra posterior (retrusif) menjauh dari posisi
MS (Gbr. 15-7). Ini stop anterior tidak harus menciptakan kekuatan retrusif ke
mandibula. Demikian juga, stop anterior tidak boleh cenderung ke mesial dan
menciptakan pergeseran ke depan atau slide dari mandibula karena clenching yang akan
cenderung memposisikan kondilus ke depan, jauh dari posisi paling MS (Gbr. 15-8).
Ketika stop anterior datar dan pasien menutup pada gigi posterior, tarikan fungsional
otot-otot elevator akan memposisikan kondilus dalam posisi yang paling superoanterior
mereka di dasar lereng posterior eminensia artikularis (Gbr. 15-9).
Gbr. 15-7
Jika stop anterior menyediakan inklinasi distal, penutupan rahang akan cenderung
membelokkan mandibula secara posterior, jauh dari posisi musculoskeletally
paling stabil.
Gbr. 15-8
Gbr. 15-9
Ketika stop anterior datar dan tegak lurus terhadap sumbu panjang dari kontak
gigi seri mandibula, tarikan fungsional dari otot-otot elevator akan mendudukkan
kondilus dalam posisi yang paling superoanterior di fossa, posisi istirahat
bertentangan dengan posterior lereng eminensia artikularis.
Dalam kedua teknik sangat penting untuk berkomunikasi dengan baik dengan pasien
mengenai posisi tepat mandibula. Karena stop anterior datar, pasien dapat memajukan,
menutup dalam posisi anterior ke posisi MS. Hal ini dihindari dengan meminta pasien
untuk menutup pada gigi posterior. Juga, ketika pasien sedang berbaring di kursi gigi,
gravitasi cenderung memposisikan mandibula secara posterior. Dalam beberapa kasus
akan sangat membantu untuk memiliki pasien meletakkan ujung lidah pada aspek
posterior dari palatum lunak sambil perlahan-lahan menutup.
Mungkin metode yang paling dapat diandalkan dan dapat diulang untuk menemukan
posisi MS dari kondilus adalah dengan menggunakan kedua teknik secara bersamaan.
Dengan alat di tempat dan pasien berbaring, dokter pertama-tama harus menemukan
posisi MS dengan teknik manipulasi bilateral. Dokter harus membawa gigi dekat
bersama-sama dan kemudian meminta pasien untuk berulang kali menutup pada posterior
gigi. Setelah beberapa penutupan, kontak ditandai pada stop anterior harus menjadi
reproduksi, mencerminkan letak posisi mandibula stabil (Gambar 15-10).
Gbr.15 -10
A, Kontak dari gigi seri bawah pada berhenti anterior. Tidak ada kontak lain yang
hadir. B,
Kontak anterior ditandai dengan kertas artikulasi dan diamati menjadi datar dan
tegak lurus dengan sumbu panjang gigi seri rahang bawah. Ketika posisi MS telah
diletakkan hati-hati oleh pasien (dengan atau tanpa panduan manual), alat akan
dkeluarkan dari mulut dan self-curing akrilik ditambahkan ke anterior yang tersisa
dan daerah posterior permukaan oklusal (Gambar 15-11). Resin yang cukup harus
ditambahkan untuk menunjukkan lekukan dari setiap gigi mandibula, dan resin
ditambahkan ke daerah labial region anterior sampai gigi kaninus mandibula
untuk jalan panduan masa depan.
Gbr. 15-11
Sebelum alat dikembalikan ke mulut, adalah penting bahwa semua monomer bebas
dihilangkan dengan jarum suntik udara. Setelah akrilik yang setting dikeringkan dari
monomer bebas, alat yang dibilas dengan air hangat. Alat ini kemudian kembali ke mulut,
dan prosedur manipulasi bilateral manual dilakukan. Setelah dokter berkeyakinan bahwa
kondilus sudah terletak tepat, pasien diminta untuk menutup gigi posterior ke dalam
akrilik yang setting (Gambar 15-12).
Gigi mandibula harus tenggelam dalam akrilik yang setting sampai gigi seri berkontak
dengan stop anterior. Setelah 5 sampai 6 detik pasien diinstruksikan untuk membuka
mulut, dan alat akan dilepas. Permukaan oklusal dari alat tersebut divisualisasikan untuk
memastikan semua gigi mandibula telah membuat lekukan di akrilik yang setting dan ada
akrilik labial yang memadai sampai dengan gigi taring untuk pengembangan masa depan
dari panduan eksentrik. Alat tersebut dapat dikembalikan ke mulut beberapa kali, setiap
kali relokasi posisi MS sampai akrilik yang setting menjadi teguh dan memegang
bentuknya. Kemudian alat akan dihapus untuk set terakhir.
Gbr. 15-12
A, Alat dengan akrilik yang setting ditempatkan di mulut, dan rahang bawah
adalah ditutup ke dalam hubungan sentris pada stop anterior. Resin labial yang
adekuat untuk gigi kaninus mandibula memberikan panduan untuk kaninus di
msa depan.
Catatan: Alat harus dikeluarkan jauh sebelum resin menghasilkan panas. Hal ini
kemudian dibiarkan ke bench-cure sampai benar-benar keras. Menempatkan akrilik yang
setting dalam secangkir air hangat dapat mengurangi jumlah gelembung yang
berkembang dalam sebuah alat.
Gbr. 15-13
Setelah akrilik telah ditetapkan, jejak dari masing-masing ujung cusp bukal mandibula
dan tepi insisal ditandai dengan pensil. Ini merupakan kontak relasi sentris jadi yang akan
hadir pada alat selesai.
Gbr. 15-14
Kelebihan akrilik sekitar kontak sentris dihapus dengan roda karet keras
mesin bubut. Semua daerah, kecuali labial dengan gigi kaninus rahang bawah,
diratakan ke kontak (pensil) tanda. Daerah ini akan menciptakan bimbingan
eksentrik.
Setiap kelebihan akrilik paling cepat dihapus dengan roda karet keras pada mesin bubut
(Gambar 15-14). Resin diratakan sesuai dengan tanda pensil di semua kecuali anterior
dan bibir dengan gigi kaninus. Sebuah bur besar akrilik dalam slow-speed handpiece
sangat membantu dalam memperbaiki dan merapikan alat setelah mesin bubut. Ketika
alat telah cukup rapi, itu dikembalikan ke mulut dan kontak RS ditandai oleh kertas
artikulasi merah saat pasien menutup. Semua kontak, baik anterior dan posterior, harus
hati-hati disempurnakan sehingga mereka akan terjadi pada permukaan datar dengan
kekuatan oklusal yang sama. Dalam banyak kasus, pengaturan penyusutan normal resin
akan
mendistorsi permukaan oklusal sehingga ujung cusp tidak dapat mencapai kedalaman
jejak dan akan menghasilkan tanda "Doughnutlike. Ketika ini terjadi, resin sekitar jejak
masing-masing harus dikurangi, memungkinkan cusp untuk berkontak sepenuhnya dalam
fossa tersebut. Pasien harus dapat menutup dan merasakan semua gigi yang berkontak
secara merata dan secara simultan pada permukaan datar (Gambar 15-15).
Gbr.15-15 PANDANGAN OKLUSAL DARI WELL-ADJUSTED STABILIZATION
APPLIANCE KETIKA PASIEN MENUTUP POSISI STABIL
IMMUNOSKELETAL (RELASI SENTRIS [RS])
Kaninus rahang bawah harus dapat bergerak bebas dan lancar di atas permukaan oklusal
dari alat. Jika angulasi dari tonjolan terlalu curam, kaninus akan membatasi gerakan \
mandibula dan dapat memperburuk gangguan otot yang ada. Kebingungan dapat
dihindari dengan menggunakan kertas artikulasi yang berbeda-warna untuk merekam
kontak eksentrik. Alat dikembalikan ke mulut pasien. Dengan kertas artikulasi biru,
pasien menutup di RS dan bergerak dalam laterotrusive kiri ,laterotrusive kanan, dan
protrusive lurus. Kertas artikulasi biru dihapus dan diganti dengan kertas artikulasi
merah. Mandibula menutup di RS dan kontak tersebut ditandai lagi. Alat ini kemudian
dihapus dan diperiksa. Garis biru pada bagian anterior menggambarkan kontak
laterotrusive dan protrusive dari
kaninus mandibula dan harus halus dan kontinyu. Jika kaninus mengikuti jalur tidak
teratur atau menampilkan gerakan mengejar, jalur butuh penyesuaian (Gambar 15-17).
Gbr 15-16
Panduan kaninus harus memberikan disocclusion halus dan lembut pada gigi posterior.
Kontak apa saja yang ditandai dengan warna biru pada permukaan posterior dari alat
akan telah dibuat oleh gangguan eksentrik posterior dan harus dihilangkan, hanya
menyisakan bekas merah RS. Kontak eksentrik gigi insisivus sentralis dan lateral rahang
bawah juga harus dihilangkan sehingga bahwa tanda dominan adalah dari kaninus
mandibula (Gambar 15-18).
Gbr 15-17
A, Panduan laterotrusive dan protrusive tidak terus menerus, konta mulus-
mengalir. Ini harus disesuaikan untuk menghasilkan yang mulus, jalur terus
menerus seperti yang ditunjukkan di B.
Selama gerakan protrusif, panduan oleh gigi kaninus rahang bawah, bukan gigi incisivus
sentalis dan lateralis mandibula, adalah tujuan. Incisivus mandibula dapat digunakan
untuk membantu dalam gerakan protrusif, tetapi ketika mereka, perawatan harus
dilakukan untuk tidak memberikan seluruh kekuatan seluruh dari protrusive ke gigi
incisivus sentralis. Seringkali sederhana (dan sama-sama dapat diterima) solusi adalah
menempatkan panduan protrusif hanya pada gigi kaninus mandibula, sehingga
memungkinkan untuk penghapusan cepat setiap kontak eksentrik dari gigi insisivus
mandibula. Setelah penyesuaian telah dibuat, alat dikembalikan ke mulut pasien untuk
mengulang tanda-tanda. Penyesuaian harus berlanjut sampai kontak gigi posterior hanya
pada permukaan datar di RS.
OKLUSAL
Setelah alat stabilisasi telah disesuaikan dalam posisi berbaring, pasien dinaikkan
ke posisi kepala tegak atau sedikit ke depan (Gambar 15-19) dan diperintahkan untuk
menekan ringan pada gigi posterior. Jika kontak anterior lebih berat daripada kontak
posterior, mandibula telah mengambil posisi yang sedikit anterior selama perubahan
postural (lihat Bab 5) dan kontak anterior perlu dikurangi sampai mereka lebih ringan
dari posterior. Sesegera pasien dapat menutup ringan dan merasa kontak posterior
mendominan, penyesuaian tersebut selesai.
Gbr 15-19
Setelah alat stabilisasi telah benar disesuaikan, itu dihaluskan dan dipoles. Pasien harus
diminta untuk memeriksa dengan lidah nya dan bibir untuk setiap daerah tajam atau tidak
nyaman. Dalam beberapa kasus perluasan akrilik sampai permukaan labial gigi maksila
tidak akan menjadi penting untuk retensi dan tidak akan dibutuhkan untuk panduan
eksentrik. Hal ini dapat dihilangkan dari gigi anterior maksila untuk meningkatkan estetik
dari
alat.
Gbr 15-20
1. Kontak oklusal akhir untuk alat stabilisasi. Ini harus secara akurat sesuai dengan gigi
maksila, dengan stabilitas total dan retensi saat gigi mandibular berkopntak dan
ketika diperiksa dengan palpasi digital.
2. Dalam RS semua cusp bukal mandibula dan tepi insisal harus berkontak pada
permukaan datar dengan bahkan kekuatan.
3. Selama gerakan protrusive dari mandibula harus berkontak dengan alat dengan
kekuatan. Gigi incisivus mandibula juga dapat berkontak tetapi tidak dengan
kekuatan lebih dari kaninus.
4. Dalam setiap gerakan lateral, hanya kaninus mandibula boleh menunjukkan kontak
laterotrusive pada alat.
5. Gigi posterior mandibula harus berkontak dengan alat sedikit lebih berat daripada
gigi anterior selama penutupan.
6. Dalam alert feeding position gigi posterior harus berkontak dengan alat lebih
jelas dibandingkan dengan gigi anterior.
7. Permukaan oklusal alat harus sedatar mungkin tanpa jejak cusp mandibula.
8. Alat oklusal dipoles sehingga tidak akan mengiritasi jaringan lunak yang berdekatan.
Pasien diinstruksikan untuk memakai alat sesuai dengan gangguan yang sedang dirawat.
Ketika seorang pasien melaporkan nyeri otot pada saat tidur, bruxism adalah tersangka
dan penggunaan malam hari adalah penting. Ketika seorang pasien melaporkan sakit saat
petang, aktivitas otot diurnal terkait dengan stres emosional, ergonomi, dan kelelahan
mungkin lebih penting. Untuk pasien alat mungkin tidak diperlukan pada siang hari, dan
teknik self-regulaton fisik dibahas dalam Bab 11 harus digunakan. Alat mungkin awalnya
membantu selama hari itu sebagai pengingat dari apa yang mereka lakukan dengan gigi
mereka (kognitif kesadaran). Sebagai pasien master teknik ini, alat tersebut tidak lagi
diperlukan selama hari itu. Ketika ini retrodiscitis, alat mungkin perlu lebih sering
dipakai. Telah ditunjukkan bahwa gangguan nyeri myogenous terbaik merespon untuk
paruh waktu penggunaan (terutama penggunaan malam hari), sedangkan gangguan
intracapsular lebih baik dikelola dengan penggunaan lebih terus menerus. Jika
penggunaan menyebabkan peningkatan nyeri, pasien harus menghentikan pemakaian dan
melaporkan segera masalah untuk evaluasi dan koreksi.
Awalnya, peningkatan air liur dapat terjadi. Hal ini akan menyelesaikan dalam beberapa
jam. Alat harus disikat segera setelah dibawa keluar dari mulut (dengan air, pasta gigi,
atau mungkin baking soda) untuk mencegah penumpukan plak dan kalkulus, dan pada
saat yang sama hindari setiap yang tidak menyenangkan setelah merasakannya.
Pasien diminta untuk kembali dalam 2 sampai 7 hari untuk evaluasi. Pada waktu itu tanda
oklusal pada alat adalah diulang. Seperti otot-otot rileks dan penyelesaian gejala, posisi
lebih superoanterior pada kondilus tersebut dapat diterima. Perubahan ini harus disertai
dengan penyesuaian ke kondisi optimum oklusal. Pemeriksaan otot dan TMJ yang
berulang
pada setiap kunjungan berikutnya, sehingga dapat ditentukan apakah tanda-tanda dan
gejala sedang dihilangkan.
Ketika gejala ini dihilangkan dengan alat, ada kemungkinan bahwa diagnosa yang tepat
telah dibuat dan pengobatan ternyata berhasil. Jika gejala tidak membaik atau hilang, alat
harus dievaluasi supaya tepat dan kontak oklusal. Jika faktor-faktor ini benar dan pasien
memakai alat seperti yang diperintahkan, sumber gangguan tersebut mungkin sudah tidak
terpengaruh. Entah diagnosis awal tidak benar atau gangguan otot sekunder untuk kondisi
lain. Seperti dibahas sebelumnya pengobatan efektif dari gangguan otot sekunder dapat
terjadi hanya setelah eliminasi dari gangguan nyeri primer.
15.2.2.2 Indikasi
Anterior positioning appliance digunakan terutama untuk mengobati pergeseran dan
dislokasi diskus dengan pengurangan. Pasien dengan bunyi sendi (misalnya, satu klik
atau timbal balik) bisa kadang dibantu olehnya. Penguncian intermiten atau kronis dari
sendi juga dapat diobati dengan itu. Beberapa gangguan inflamasi dikelola dengan alat
ini, terutama ketika penempatan kedua kondilus sedikit anterior lebih nyaman bagi pasien
(misalnya, retrodiscitis).
A, hubungan dari gigi anterior ke stop anterior dalam relasi sentris. B, pasien
sedikit memajukan hinggan gerakan membuka dan menutup menghilangkan
kekacauan gangguan diskus. Bidang kontak pada stop anterior ditandai dengan
kertas artikulasi dalam posisi ini. C, Dua tanda kontak yang ditunjukkan: relasi
sentris (RS) kontak dan posisi anterior yang diinginkan yang menghilangkan
kekacauan gejala diskus (AP).
Jika nyeri sendi dan bunyi klik belum dihilangkan, pasien diinstruksikan memajukan
sedikit mandibular untuk membuka dan menutup mulut dalam posisi ini (Gbr.15-22).
Sendi dievaluasi kembali untuk gejala, dan posisi anterior yang berhentikan bunyi klik
diletakkan dan ditandai dengan kertas merah penanda sebagai keran pasien di stop. Posisi
yang digunakan harus jarak terpendek posisi anterior dari posisi MS (RS) yang
menghilangkan gejala. Setelah ditandai, alat akan disingkirkan dan bidang kontak yang
beralur sekitar kedalaman 1 mm dengan bur bulat kecil (Gambar 15-23). Ini akan
memberikan lokasi kontak positif untuk gigi incisivus mandibula. Alat ini kemudian
dikembalikan ke mulut dan pasien menempatkan alur dan keran ke dalamnya. Setelah
lokasi yang tepat untuk gigi incisivus telah ditemukan, pasien membuka dan menutup,
kembali ke posisi ini, sementara gejala sendi dievaluasi.Disana seharusnya tidak ada
bunyi sendi selama pembukaan dan penutupan. Nyeri sendi selama mengepalkan juga
harus dikurangi atau dihilangkan. Nyeri Myogenous berasal dari pterygoideus lateral
siperior, Namun, tidak akan dihilangkan karena otot ini aktif selama mengepalkan.
Teknik manipulasi fungsional dapat membantu dalam membedakan rasa sakit ini (lihat
Bab 9).
Gbr 15-23
Kontak pada stop anterior, menandai posisi anterior yang diinginkan, yang dibuat
alur dengan bur bundar kecil. Hal ini akan membantu pasien dalam kembali ke
posisi mandibula yang diinginkan.
Jika tidak ada tanda-tanda atau gejala yang dicatat, posisi ini ditetapkan sebagai posisi
anterior uang benar untukalat. Jika gejala sendi masih ada, posisi tidak memuaskan dan
yang baru harus dipastikan.
Tujuan pengobatan dari anterior positioning appliance adalah untuk menghilangkan suara
sendi dan nyeri. Namun, meskipun menghilangkan suara sendi dapat membantu
menentukan posisi mandibular yang tepati, tidak adanya suara tidak selalu menunjukkan
bahwa kondilus sedang beristirahat di zona intermediate diskus. Kedua arthrography dan
computed tomografi scanning telah diungkapkan bahwa suara sendi bahkan ketika
dieliminasi oleh anterior positioning appliance, beberapa diskus masih salah tempat atau
dislokasi. Itu telah dikemukakan bahwa teknik lebih canggih seperti arthroscopy atau
resonansi magnetik imaging digunakan untuk membantu dalam menemukan posisi
optimal mandibula untuk alat. pasti akan sangat membantu, namun sebagian besar
praktisi akan menemukan teknik-teknik praktis dan terlalu mahal. Oleh karena itu lebih
layak untuk menetapkan posisi awalnya dengan menggunakan suara sendi klinis dan, jika
alat gagal untuk mengurangi gejala, kemudian gunakan teknik yang lebih canggih untuk
bantuan.
Ketika gejala sendi telah dieliminasi dan diperiksa oleh stop anterior, alat diambil keluar
dari mulut pasien dan self-curing akrilik ditambahkan ke sisa permukaan oklusal
sehingga semua kontak oklusal dapat dibentuk (Gambar 15-24).
Gbr. 15-24
Self-curing akrilik ditambahkan ke seluruh area oklusal dari alat kecuali stop
anterior. Sebuah keunggulan dari resin adalah membentuk lingual ke kontak masa
depan gigi anterior mandibula. Ini akan membentuk panduan jalan retrusive.
Akrilik yang setting dikeringkan dengan jarum suntik udara dan kemudian dibilas
dengan air hangat sebelum ditempatkan dalam pasien mulut.
Dokter harus mencatat bahwa stop anterior tidak harus ditutupi oleh akrilik. Sebuah
kelebihan akrilik ditempatkan di daerah anterior palatal, yang akan diletakkan lingual ke
gigi anterior mandibula saat oklusi. Akrilik yang setting dikeringkan dengan jarum suntik
udara dan dibilas dalam air hangat, dan alat ini kemudian dikembalikan ke mulut. Pasien
diminta untuk menutup perlahan ke daerah berlekuk pada stop anterior. Penutupan awal
dapat dibantu oleh menginstruksikan pasien ke dalam posisi yang tepat (Gambar 15-25).
Karena pasien mungkin tidak mampu menutup langsung ke alur, posisi sedikit lebih
anterior didorong, dan, setelah stop anterior disentuh, pasien perlahan-lahan dapat
membawa mandibula ke posterior sampai alur dirasakan. Dengan cara ini, akrilik yang
setting yang akan menjadi panduan jalan anterior akan terganggu. Ketika gigi anterior
mandibula dirasakan berkontak di alur pada stop anterior, posisi diverifikasi dengan
membuka dan menutup beberapa kali (Gambar 15-26). Ketika resin menjadi kuat dan
sebelum panas dihasilkan, alat disingkirkan dan dibiarkan benchcure.
Gbr 15-25
Pasien menggigit ke akrilik yang setting pada posisi anterior yang diinginkan
ditentukan oleh alur.
Gbr 15-26
Ketika gigi anterior mandibula dipisahkan dari akrilik yang setting, jejak yang
dibentuk oleh gigi anterior mandibula dapat dilihat. Resin lingual pada gigi
anterior ditunjukkan. Ini akan memberikan panduan retrusive.
Alat dievaluasi, kelebihan kasar dikeluarkan dengan roda karet keras pada bubut. Sebuah
bur akrilik dalam slow-speed handpiece memperhalus resin akrilik. datar kontak oklusal
dikembangkan untuk gigi posterior, dan jalan besar ingual di daerah anterior hanya
dihaluskan. Alat dikembalikan ke mulut, dan pasien menutup di posisi maju. Setelah
beberapa tap di atas kertas artikulasi merah di alat dihapus dan dievaluasi. Bunyi kontak
harus terlihat pada semua ujung cusp. Dalam banyak kasus resin yang setting akan sedikit
menyusut, tidak membiarkan ujung cusp untuk mencapai kedalaman dari jejak, dan
menghasilkan tanda seperti donat. Ketika ini terjadi, resin sekitar jejak masing-masing
harus dikurangi, memungkinkankatup untuk kontak sepenuhnya dalam fossa tersebut.
Well-adjusted appliance memungkinkan kontak pada semua gigi secara merata dan
serentak ditetapkan di posisi depan (Gambar 15-28). Jika pasien ingin meretrusikan
mandibula, jalan panduan menonjol anterior akan menghubungi gigi insisivus mandibula
dan selama gerakan penutupan kembali mandibula ke gigi incisivus mandibula yang
diinginkan dan selama gerakan penutupan kembali mandibula ke posisi yang diinginkan
(Gbr. 15-29). Jalan dikembangkan ke permukaan sliding yang halus agar tidak mengunci
gigi dalam posisi apapun.
Gbr 15-27
A, anterior positioning appliance menyebabkan mandibula untuk mengasumsikan
posisi ke depan, menciptakan hubungan kondilus-diskus yang lebih
menguntungkan. B, Selama penutupan normal kontak gigi depan mandibula
dalam jalan disediakan oleh alat maksila yang. C, mandibula naik ke oklusi, jalan
menyebabkannya bergeser
ke posisi yang diinginkan yang akan menghilangkan kekacauan gangguan diskus.
Pada posisi depan yang diinginkan, semua gigi berkontak untuk menjaga stabilitas
lengkung.
Beberapa dokter lebih memilih untuk menggunakan alat posisi mandibula anterior karena
mungkin lebih dapat diterima dari sudut pandang fungsional dan estetik. Masalah
fungsional dan estetik hanya penting jika alat tersebut untuk dikenakan pada siang hari.
Seperti hanya disebutkan, ini adalah jarang diperlukan untuk sebagian besar pasien
dengan perpindahan diskus dan dislokasi dengan pengurangan. Jika alat mandibula
digunakan, pasien harus diinstruksikan untuk mempertahankan posisi depan diatur oleh
alat mandibula. Alat maksila terbaik untuk penggunaan malam hari karena pasien tidak
bisa secara sadar mempertahankan posisi depan. Sangat mungkin bahwa selama tidur
mandibula akan retrusi dan alat maksila (dengan jalan retrusive menonjol) yang lebih
baik akan membatasi gerakan ini (Gambar 15-30).
Gbr 15-28
A, Kontak semua gigi dan panduan memotong jalan panduan anterior
diperlihatkan dalam pandangan oklusal dari alat posisi anterior maksila. B,
pandangan frontal dari maxillaty anterior positioning appliance.
Lamanya waktu bahwa alat yang dikenakan akan ditentukan oleh tingkat, jenis, dan
kronisitas gangguan tersebut. Kesehatan dan usia pasien juga adalah faktor dalam
pengobatan (lihat Bab 13).
Gbr 15-29
15.2.3.2 Indikasi
Bite plane anterior telah diusulkan untuk pengobatan gangguan otot yang berhubungan
dengan ketidakstabilan ortopedi atau perubahan akut dalam kondisi oklusal (Gambar 15-
32). Kegiatan parafungsional juga dapat diobati dengan alat itu untuk waktu yang singkat.
Beberapa komplikasi utama dapat muncul ketika bite plane anterior atau alat yang
mencakup hanya sebagian dari satu lengkungan yang digunakan. Gigi antagonis posterior
memiliki potensi untuk supra erupsi. Jika alat ini dipakai terus menerus atau beberapa
minggu atau bulan, ada kemungkinan besar bahwa gigi antagonis posterior mandibula
akan supra erupsi. Ketika ini terjadi dan alat dilepas, gigi anterior tidak akan kontak lebih
lama dan hasilnya akan menjadi gigitan terbuka anterior.
Berbeda dengan stabilization appliance , masing-masing cusp sentris pada alat ini
cocok menjadi depresi kecil atau fossa, yang menentukan posisi depan yang
diinginkan. Alat ini hanya digunakan ketika posisi mandibula siang hari
diperlukan untuk mengurangi gejala. Segera setelah gejala dikendalikan siang
hari, alat tersebut diesingkirkan. Penggunaan malam hari dari alat posisi maksila
dilanjutkan sampai adaptasi jaringan yang memadai terjadi.
Terapi bite plane anterior harus diawasi secara ketat dan hanya digunakan untuk jangka
pendek. Efek pengobatan yang sama dapat dicapai dengan stabilization appliance , dan
karena ini biasanya adalah pilihan yang lebih baik. Ketika sebuah perangkat lengkung-
penuh ini dibuat dan disesuaikan, supra erupsi tidak bisa terjadi terlepas dari lamanya
waktu alat dipakai.
Baru-baru ini perangkat telah dipasarkan sebagai hal baru dan bermanfaat bagi
manajemen sakit kepala. Stabilization appliance telah ditunjuk oleh inventor45
Ketegangan yang dimiliki oleh Nociceptive Trigeminal Inhibition Tension Suppression
System (NTI TSS) atau NTI. Konsep ini tidak baru, hanya ide yang dibangkitkan dari
literatur tentang bite plane anterior. Pada kenyataannya, itu adalah bite plane plane
anterior yang hanya memungkinkan anterior insisivus sentralis untuk beroklusi. Kertas
awal menyarankan bahwa NTI hanya sedikit lebih efektif daripada terapi alat standar
untuk pengurangan rasa sakit kepala. Namun, penulis studi ini tidak membandingkan NTI
dengan stabilization appliance yang akan memiliki perwakilan standar emas untuk alat
terapi. Sebaliknya, mereka membandingkannya dengan pemutihan belaching tray belum
pernah dievaluasi untuk sakit kepala. Membandingkan dua variabel adalah kesalahan
fatal dalam desain penelitian dan demikian hasil yang valid. Dalam suatu desain yang
lebih ilmiah uji coba parallel secara acak, NTI tidak lebih efektif dibandingkan alat
appliance untuk TMD dan gejala sakit kepala. Al Quran juga menemukan bahwa NTI
tidak lebih efektif dari stabilization appliance untuk TMD. Dalam rancangan baik yang
lainnya, secara acak kontrol studi, NTI itu tidak efektif sebagai stabilization appliance di
hampir semua parameter ukur. Bahkan, sebuah temuan penting yang menarik adalah
bahwa 1 dari 15 pasien mengembangkan gigitan terbuka anterior dengan NTI, sedangkan
tidak ada pasien memakai appliance stabilization memiliki perubahan oklusal. Hal ini
menunjukkan bahwa NTI menimbulkan faktor risiko yang lebih besar secara permanen
mengubah oklusi dibandingkan stabilization appliance.
Ada sedikit keraguan bahwa alat oklusal dapat mengurangi beberapa sakit kepala pada
beberapa individu. Penyelidikan lebiih lanjut apa yang perlu adalah jenis rspon sakit
kepala terhadap jenis alat apa Apa yang perlu penyelidikan lebih lanjut adalah jenis
respon sakit kepala menanggapi apa jenis peralatan. Data sangat kurang saat ini. Alat
yang ideal harus memiliki efektivitas maksimum dengan efek samping minimal dan biaya
yang efektif. Kebutuhan profesi untuk menentukan secara ilmiah alat ini dan tidak cepat
melompat ke klaim tak berdasar orang-orang dengan kepentingan bisnis.
Gbr 15-32
A, pasien ini telah memakai alat mandibula selama 4 bulan yang molar kedua
mandibula tidak termasuk di dalamnya. Sementara alat sedang dipakai, molar
kedua supra erupsi. B, Bila alat telah dilepas dan pasien diminta untuk beroklusi,
hanya molar kedua yang erupsi yang berkontak dengan molar maksila. Memakai
ini telah menciptakan gigita terbuka anterior.
Catatan alat ini hanya menyediakan kontak oklusal pada gigi posterior
15.2.4.2 Indikasi
Bite plane posterior telah dianjurkan dalam kasus berat kehilangan dimensi vertikal atau
ketika ada kebutuhan untuk membuat perubahan besar dalam posisi anterior dari
mandibula. Beberapa terapis telah menyarankan bahwa alat ini dapat digunakan oleh atlet
untuk meningkatkan atletik kinerja. Saat ini, bagaimanapun, bukti ilmiah tidak
mendukung teori ini.
Penggunaan perangkat ini mungkin berguna untuk gangguan kekacauan disc tertentu,
meskipun hal ini alat ini belum diteliti dengan baik untuk kondisi ini. Seperti dengan bite
plane anterior, kekhawatiran utama seputar alat ini adalah bahwa alat itu beroklusi hanya
dengan sebagian dari lengkung gigi dan oleh karena itu memungkinkan potensi supra
erupsi dari gigi antagonis dan / atau gangguan dari oklusi gigi (Gambar 15-34).
Penggunaan konstan dan jangka panjang harus dianjurkan. Pada kebanyakan kasus,
ketika kekacauan
gangguan diskus dirawat, seluruh lengkung harus disertakan, sebagaimana dengan
anterior positioning appliance.
Gbr 15-34
Pasien ini telah memakai alat gigitan alat gigitan posterior terus menerus selama
sekitar 1 tahun. A, Dengan alat tersebut di tempat, semua gigi berkontak. B,
Ketika alat ini dilepaskan, itu bisa dengan mudah dilihat bahwa gigi tidak lagi
berkontak dalam posisi intercusp. Alat ini telah mengintrusi gigi atau
memungkinkan potensi supra erupsi dari gigi anterior (atau keduanya). C,
pandangan Anterior dari pasien lain yang telah memakai alat alat gigitan posterior
selama beberapa tahun. Gigi anterior yang beroklusi normal. D, pandangan lateral
dengan alat ini di tempat. E, Bila alat dikeluarkan, hasilnya gigitan terbuka
posterior yang signifikan. Perubahan oklusal tidak diinginkan menggambarkan
kelemahan utama dari jenis alat ini.
15.2.5.2 Indikasi
Pivoting appliance pada awalnya dikembangkan dengan gagasan bahwa hal itu akan
mengurangi tekanan interarticular dan dengan demikian menurunkan permukaan artikular
pada sendi. Hal ini dianggap memungkinkan ketika gigi anterior bergerak mendekat
bersama-sama, menciptakan titik tumpu sekitar molar kedua, Putaran kondilus ke bawah
dan ke belakang jauh dari fossa. Namun, efek seperti itu dapat terjadi hanya jika kekuatan
yang menutup mandibula terletak anterior ke poros. Sayangnya, kekuatan otot elevator
terletak utamanya posterior titik tumpu, yang karenanya melarang tindakan berputar.
Bahwa pada awalnya disarankan bahwa terapi ini akan membantu dalam mengobati
suara sendi, sekarang tampak bahwa anterior positioning appliance lebih cocok untuk
tujuan ini karena memberikan kontrol yang lebih baik dari posisi perubahan. Mungkin
efek yang positif bahwa pivoting appliance mungkin menawarkan dalam perpindahan
diskus atau pasien dislokasi adalah bahwa poros tidak membatasi posisi mandibula dan
oleh karena itu pasien dapat menutup dan posisi mandibula lebih ke bawah dan ke depan
untuk menghindari poros. Jika hal ini terjadi kondilus akan diposisikan diam dalam
jaringan retrodiscal, menyediakan terapi yang berpengaruh pada gangguan tersebut.
Pemikiran ini bersifat spekulatif, dan penelitian ilmiah diperlukan untuk lebih baik
memahami apakah alat ini mempunyai kegunaan dalam kedokteran gigi.
Pivoting appliance juga telah dianjurkan untuk pengobatan gejala yang berkaitan dengan
osteoarthritis TMJs. Ini juga telah disarankan bahwa perangkat dimasukkan dan perban
elastis membungkus dari dagu ke atas kepala untuk mengurangi gaya padasendi.
Pedoman kekuatan ekstraoral ke dagu juga dapat digunakan untuk mengurangi tekanan
intra-artikular.
Alat satu-satunya yang secara rutin dapat mengalihkan distraksi dari kondilus fossa
adalah unilateral pivot appliance. Ketika pivot unilateral ditempatkan di wilayah molar
kedua, menutupi mandibula itu akan memuat sendi kontralateral dan sedikit distraksi
satu ipsilateral (yaitu, meningkatkan ruang discal). Biomekanik dari alat ini mungkin
tampak diindikasikan untuk pengobatan dislokasi akut diskus unilateral tanpa
pengurangan. Namun, tidak ada bukti ilmiah saat ini bahwa perawatan semacam ini
efektif dalam mengurangi diskus. Perangkat ini tidak boleh digunakan selama lebih dari 1
minggu karena kemungkinan mengganggu molar kedua yang digunakan sebagai sumbu
(Gambar 15-36).
Gbr 15-36
A, photo Klinis dari mandibula pivoting appliance. Hanya molar pertama maksila
berkontak dengan alat. B, Pasien memakai pivot appliance ini terus menerus
hanya 2 minggu. Ketika itu dilepas, oklusi berubah. Molar pertama maksila yang
terintrusi keluar dari kontak oklusal.
15.2.6.2 Indikasi
Alat lunak telah dianjurkan untuk beberapa kegunaan. Sayangnya sedikit bukti untuk
mendukung banyak dari ini. Tentu saja indikasi yang paling umum dan baik-dibuktikan
adalah sebagai perangkat pelindung untuk orang-orang yang cenderung menerima trauma
pada lengkungan gigi mereka (Gambar 15-37). Splints atletik pelindung mengurangi
kemungkinan kerusakan pada struktur oral ketika trauma diterima.
Alat lunak juga telah direkomendasikan untuk pasien yang menunjukkan tingkat tinggi
dari clenching dan bruxism. Tampaknya masuk akal bahwa mereka harus membantu
menghilangkan beberapa kekuatan beban berat ditemui selama kegiatan parafungsional.
Alat lunak belum terbukti menurunkan aktivitas bruxism aktivitas nocturnal. Bahkan
dalam sebuah penelitian Okeson menunjukkan bahwa Okeson18 nocturnal masseter
aktivitas nocturnal elektromiografi meningkat dalam 5 dari 10 subyek dengan alat lunak.
hal yang sama studi 8 dari 10 subyek memiliki penurunan yang signifikan dari aktivitas
nocturnal elektromiografi dengan alat stabilisasi keras. (Hanya satu subjek menunjukkan
pengurangan aktivitas dengan lunak). Penelitian lain mengevaluasi efektivitas alat keras
dan lunak pada gejala menunjukkan bahwa meskipun alat lunak dapat mengurangi gejala
alat keras tampaknya mengurangi gejala lebih cepat dan efektif. alat keras tampaknya
mengurangi aktivitas elektromiografi dari otot masseter dan otot temporalis lebih
daripada alat lunak sementara mengendalikan dari clenching gigi. Dalam studi saat ini
penggunaan jangka pendek dari alat lunak ini terbukti lebih membantu daripada terapi ini
paliatif dan tidak ada terapi dalam mengurangi gejala TMD . Baru-baru ini Truelove et al.
menunjukkan bahwa alat keras dan lunak keduanya tampaknya mengurangi gejala TMD.
Bukti ilmiah mendukung penggunaan alat keras untuk mengurangi gejala yang
berhubungan dengan aktivitas clenching dan aktivitas bruxism . Alat lunak telah kurang
didokumentasikan dalam literatur ilmiah namun penelitian yang lebih baru menunjukkan
bahwa beberapa mungkin membantu dalam beberapa pasien untuk penggunaan jangka
pendek.
Peralatan soft telah dianjurkan untuk pasien yang menderita sinusitis kronis atau berulang
mengakibatkan gigi posterior sangat sensitif. Dalam beberapa kasus sinusitis maksila gigi
posterior (dengan akar memluas ke daerah sinus) menjadi sangat sensitif terhadap
kekuatan oklusal. Alat lunak dapat membantu mengurangi gejala, meskipun pengobatan
definitif diarahkan pada sinusitis.
Seperti yang dinyatakan sebelumnya, banyak bukti penelitian menunjukkan bahwa terapi
alat oklusal adalah pengobatan yang berhasil dalam mengurangi gejala pada 70% sampai
90% dari TMD. Namun, ada banyak kontroversi mengenai mekanisme yang tepat di
mana peralatan oklusal mengurangi gejala. Dalam studi sebelumnya banyak penulis
menyimpulkan, bahwa peralatan oklusal mengurangi aktivitas otot (terutama aktivitas
parafungsional). Ketika aktivitas otot menurun, nyeri myogenous menurun. Penurunan
aktivitas otot. Para aktivitas otot berkurang juga mengurangi kekuatan yang ditempatkan
pada TMJs dan struktur lainnya dalam sistem pengunyahan. Ketika struktur ini
diturunkan, gejala yang terkait menurun. Beberapa dari kontroversi yang masih ada
adalah di mana ciri khusus dari alat penurunan aktivitas otot. Sayangnya, banyak dokter
membuat perangkat oklusal dan, sebagai gejala membaik, itu menegaskan kepada mereka
diagnosis yang telah ditetapkan sebelumnya. Mereka kemudian segera mengarahkan
pengobatan permanen menuju fitur dari sistem pengunyahan yang mereka percaya alat
telah mempengaruhi. Dalam beberapa kasus mereka mungkin benar, namun, dalam kasus
lain, pengobatan ini mungkin sangat tidak pantas.
Sebelum setiap terapi permanen dimulai, orang harus menyadari bahwa setidaknya tujuh
fitur umum berlaku umum untuk semua peralatan, yang mungkin menjelaskan mengapa
peralatan oklusal mengurangi gejala terkait dengan TMD. Masing-masing kemungkinan
harus dipertimbangkan sebelum terapi permanen oklusal diupayakan:
1. Perubahan kondisi oklusal: Semua peralatan oklusal sementara mengubah kondisi
oklusal yang sudah ada. Suatu perubahan, terutama terhadap kondisi yang lebih
stabil dan optimal, umumnya menurunkan aktivitas otot, yang dapat
mengakibatkan pengurangan gejala. Konsep ini telah diterima selama bertahun-
tahun dan sering dianggap oleh banyak menjadi cara hanya dengan yang peralatan
oklusal mempengaruhi gejala TMD. Pendekatan ini mencerminkan pandangan
sempit dan
dapat menyebabkan dokter untuk membuat perubahan oklusal yang tidak
permanen Sebelum ada perubahan permanen dimulai, berikut enam pertimbangan
tambahan perlu dipertimbangkan.
2. Perubahan posisi condylar: peralatan kebanyakan mengubah posisi condylar ke
salah satu lebih MS atau posisi yang lebih struktural kompetibel dan fungsional.
Efek pada stabilitas sendi dapat bertanggung jawab untuk penurunan gejala.
3. Peningkatan dimensi vertikal: Semua peralatan interocclusal sementara
meningkatkan dimensi vertikal pasien . Efek ini bersifat universal terlepas dari
tujuan pengobatan. Telah ditunjukkan bahwa peningkatan dimensi vertikal
sementara dapat menurunkan aktivitas otot. Oleh karena itu perubahan ini
mungkin bertanggung jawab untuk pengurangan gejala.
4. Kesadaran kognitif: Pasien yang memakai peralatan oklusal menjadi lebih sadar
dari perilaku fungsional dan parafungsional mereka. Alat bertindak sebagai
pengingat untuk mengubah kegiatan yang dapat mempengaruhi gangguan
tersebut. Sebagai kesadaran kognitif meningkat, faktor yang berkontribusi
terhadap gangguan tersebut diturunkan. Hasilnya adalah penurunan gejala.
5. Efek Placebo: Seperti pengobatan apapun, efek plasebo dapat menghasilkan.
Studi menunjukkan bahwa sekitar 40% dari pasien yang menderita TMD tertentu
merespon menguntungkan untuk pengobatan tersebut. Efek plasebo positif
mungkin menghasilkan dari cara yang kompeten dan meyakinkan di mana dokter
mendekati pasien dan memberikan terapi. Hubungan dokter-pasien yang
menguntungkan, disertai dengan penjelasan tentang masalah dan jaminan bahwa
alat akan efektif, sering mengarah ke penurunan stres emosional yang dialami
oleh pasien, yang mungkin merupakan faktor penting yang bertanggung jawab
untuk efek plasebo.
6. Peningkatan perifer input ke sistem saraf pusat (SSP): Seperti yang telah dibahas
dalam Bab 7, hiperaktivitas otot nokturnal tampaknya memiliki sumbernya dalam
SSP. Setiap perubahan pada masukan sensorik perifer tampaknya memiliki efek
penghambatan pada aktivitas SSP. ketika sebuah alat oklusal ditempatkan antara
gigi, memberikan perubahan sensorik perifer masukan dan dengan demikian
mengurangi SSP-induksi bruxism. Alat tidak menyembuhkan bruxism, hanya
menghambat kecenderungan bruxing saat itu sedang dipakai. Studies19, 90,91
menunjukkan bahwa bahkan setelah jangka panjang penggunaan suatu alat ,
bruxism kembali jika penggunaan perangkat dihentikan. Juga, ketika sebuah
individu memakai sebuah alat setiap malam, mungkin masih ada pengembalian
bruxism sebagai pasien mengakomodasi dengan masukan sensorik diubah.
7. Regresi untuk rerata: Regresi untuk rerata adalah istilah statistik yang membahas
fluktuasi umum gejala yang berhubungan dengan kondisi nyeri kronis. Jika salah
satu berikut gejala pasien TMD dari waktu ke waktu, hal itu akan dicatat bahwa
intensitas nyeri sering bervariasi setiap hari. Beberapa hari akan sangat
menyakitkan, sedangkan hari-hari lain yang lebih ditoleransi. Jika pasien diminta
untuk menilai intensitas nyeri setiap hari pada analog visual skala dengan 0
menjadi tidak ada rasa sakit dan 10 rasa sakit terburuk mungkin pernah, pasien
mungkin melaporkan rata-rata per hari menjadi 3. Hal ini akan mewakili nilai
nyeri rata-rata sesorang. Namun, beberapa hari nyeri dapat mencapai 7 atau 8 tapi
kemudian sering dengan waktu rasa sakit kembali ke tingkat rata-rata 3. Pasien
paling sering melapor ke klinik gigi ketika intensitas nyeri besar karena itu sering
menjadi faktor yang memotivasi mereka untuk mencari pengobatan. Ketika dokter
memberikan terapi (seperti alat oklusal) dan gejala berkurang ke tingkat rata-rata
3, kita harus mempertanyakan apakah pengurangan gejala sebenarnya efek
terapeutik pengobatan atau apakah gejala pasien hanya mundur ke rerata. Faktor
ini dapat membingungkan untuk dokter dan dapat menyebabkan penyesatan
pengobatan di masa mendatang. Studi jangka pendek tak terkontrol yang
melaporkan keberhasilan berbagai terapi berbagai perlu dipertanyakan mengenai
efek sebenarnya. Adalah pengurangan gejala yang disebabkan oleh efek terapi
sebenarnya dari modalitas, atau apakah itu regresi untuk rerata? Pentingnya dar
baik-terkontrol, studi buta menjadi jelas ketika mencoba untuk menjawab
pertanyaan ini.
Ketika gejala-gejala pasien dikurangi dengan terapi alat oklusal, masing-masing dari
tujuh faktor harus dianggap bertanggung jawab atas keberhasilan. Pengobatan permanen
harus ditunda sampai ada bukti yang signifikan untuk menyingkirkan faktor-faktor lain.
Misalnya, seorang pasien melaporkan sakit parah yang berhubungan dengan nyeri otot
pengunyahan. Pemeriksaan klinis menunjukkan kerugian yang jelas dari dimensi vertikal.
Sebuah perangkat yang dibuat untuk membangun kembali dimensi itu. Dalam 1 minggu
pasien melaporkan merasa tidak ada gejala. Awalnya tampak bahwa peningkatan dimensi
vertikal telah bertanggung jawab untuk menghilangkan gejala, tetapi enam faktor lainnya
tidak dapat dikesampingkan. Sebelum perubahan permanen dimensi vertikal dilakukan,
upaya harus dilakukan untuk memverifikasi efek perubahan dimensi vertikal atau
mengesampingkan faktor-faktor lainnya. Perangkat harus secara bertahap menipis sambil
mempertahankan kontak oklusal yang sama dan posisi kondilus. Signifikansi penurunan
dari dimensi vertikal dikonfirmasi jika gejala kembali karena alat sudah ditipiskan.
Meminta pasien terus memakai alat pada dimensi vertikal yang benar selama 4 sampai 6
minggu akan sering mengurangi efek plasebo karena efek ini adalah terbesar selama
kontak awal dengan pasien. Jika pasien tetap nyaman, f sampai 6 minggu terapi alat
dengan tidak ada gejala kembali, pasien harus diminta untuk melepaskan alat selama
beberapa hari. Kambuhnya gejala dapat mengkonfirmasi diagnosis dari penurunan
dimensi vertikal, tetapi tidak mengesampingkan faktor lain seperti kondisi oklusal atau
posisi kondilus. Jika gejala tidak kembali, maka faktor-faktor lain (misalnya, kognitif
kesadaran, efek plasebo, bruxing terkait dengan stres emosional, regresi untuk rerata)
harus dipertimbangkan. Stres emosional sering siklik dan membatasi diri dan dapat
berkontribusi pada eskalasi nyeri otot lokal.
Yang penting, setiap perubahan mendadak dalam penurunan dimensi vertikal tampaknya
memiliki efek positif pada pengurangan banyak gejala TMD (terutama myalgia). Efek
ini, bagaimanapun, mungkin hanya bersifat sementara dan tidak menunjukkan bahwa
perubahan permanen dalam penurunan dimensi vertikal akan terus menyelesaikan gejala
TMD. Studi tidak menunjukkan bahwa penurunan dimensi vertikal merupakan
penyumbang utama untuk TMD. Karena itu, perawatan lebih harus diambil untuk
menetapkan faktor penyebab yang benar sebelum perubahan dalam penurunan dimensi
vertikal dilakukan.
15.4 Referensi