Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN STUDI KASUS

KELAINAN SEKSUAL “Lesbian”


(LESBIAN DALAM MIXED ORIENTATION MARRIAGE)

Di susun oleh:
FRISKA ANANDA BARAU
NIM: 115021020

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN INDONESIA JAYA PALU
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas kasih dan rahmatNya sehingga
penyusun dapat menyelesaikan tugas laporan kasus Kelainan Seksual mata kuliah
Psikologi II dengan baik dan tepat waktu.

Penyusun sangat berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat dan menjadi
referensi untuk menambah ilmu dan wawasan para pembaca semua. Penyusun juga
berterima kasih kepada semua pihak yang sudah membantu sehingga laporan ini dapat
terselesaikan.

Penyusun menyadari bahwa dalam penulisan laporan ini masih banyak terdapat
kekurangan, baik dari segi penyusunan bahasa maupun aspek lainnya. Kritik dan saran
dari pembaca tentunya sangat diharapkan demi perbaikan dan kesempurnaan laporan ini.
Akhir kata kami ucapkan terimakasih.

Palu, 24 juni 2022

Penyusu
n
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL............................................................................................. 1
KATA PENGANTAR.............................................................................................. 2
DAFTAR ISI............................................................................................................. 3
A. Biodata Singkat Subjek............................................................................... 4
B. Data Yang Diperoleh Dari Observasi......................................................... 4
C. Landasan Teori
1.Pengertian Lesbian...................................................................................... 6
2. Relasi Lesbian............................................................................................ 7
3. Lesbian Didalam Masyarakat..................................................................... 9
4. Pengertian Mixed Orientation Marriage ................................................... 9
D. Ulasan Materi .............................................................................................. 10
E. Kesimpulan................................................................................................... 12
F. Saran.............................................................................................................. 13

DAFTAR PUSTAKA
A. Biodata singkat subjeks

1. Subjek 1
Nama (inisial) : NN
Umur : 32 Tahun
Suku : Minang
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : IRT
Usia pernikahan : 13 tahun
Junlah anak :2
Pendidikan : SMA
Jenis Kelainan : Lesbian ”kelainan seksual”
2. Subjek 2
Nama (inisial) : NM
Umur : 31 Tahun
Suku : Jawa
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : IRT
Usia pernikahan : 8 tahun
Junlah anak :2
Pendidikan : S1
Jenis Kelainan : Lesbian ”kelainan seksual”
B. Data yang diperoleh dari observasi

1. Motif yang mendasari individu lesbian untuk menikah dengan lawan jenis
 Tekanan dari orang tua akibat perjodohan dengan pilihan orang tua
 Tekanan lingkungan yang serta kurangnya dukungan dari orang terdekat
 Dampak tekanan psiologis sehingga mereka melakukan hal tersebut.
 Memanas manasi pacar perempuanya sehingga terpaksa menikah
 Merasa memalukan keluaraga karena keluaga tidak dapat menerima LGBT
 Merasa salah satu jalan keluar dari semua tekanan yang ada
 Terjadinya suatu konflik dengan pacar perempuan sehingga timbul kesadaran
2. Relasi individu dengan suaminya dalam kehidupan sehari-hari
 Merasa cukup dekat dengan suami seperti layaknya berteman
 Merasa hubungan mereka cenderung dingin dan tampak baik dari luar saja
 Merasa disayangi dan diperhatikan akan tetapi merasa lebih rishi dan tidak
nyaman
 Sikap suami lebuh mendominasi dan sifat posesif meskipun suami
menyanyanginya
 Timbul sikap keras sehingga suami tidak gampang menerima perlakuan dan
permintaan suami
 Kadang mereka akan mengungkapkan ketidaknyamanannya secara langsung
 Adanya prilaku yang tidak nyaman yang secara tidak langsung terlihat
 Ketika terjadi konflik suami lebih mengalah
3. Konflik yang dihadapi selama menjalani mixed orientation marriage
 Timbulnya pertemgkaran akibat ketidaknyaman dan perasaan malas
 Perbedaan cara mengasuh anak membuat timbulnya keinginan bercerai
 Suami lebih sering menunjukan pertemgkaran di depan anak
 Suami yang kurang mendengarkan apa yang disampaikan dan membuat
kesalahan yang berulang
 Hubungan seksual yang tidak dikehandaki, seperti berhubungan pada saat tidur
sehingga si istri merasa tdk di hargai
 Keinginan tidak mau hamil akan tetapi hal itu terjadi sehingga terjadi upaya
mengugurkan kandungan
 Suami menjadikan anak sebagai senjata pada saat marah terhadap subjek
 Rasa tidak mau mengalah satu sama lain
4. Cara lesbian menghadapi dan menyelesaikan konflik-konflik
 Mengingatkan suami untuk tidak elakukan hal tersebut lagi
 Berusaha menyembunyikan anak dikamar atau keluar kota apabila terjadi
pertengkaran
 Mengalah dan rela menurunkan ego demi anak
 Merasa berpura pura sedang tidak terjadi pertengkaran diantara
 Keduanya berusaha mempertahankan pernikahan
5. Dampak yang dialami yang dialami selama menjalani mixed orientation
marriage
 Timbulnya pikiran negatif diri yaitu kurang Bahagia, merasa terpaksa,putus asa
dan terkekang
 Merasa tidak berarti dan merasa hubungan sia sia akibat timbulnya konflik
 Merasa ketakutan dan takut jati dirinya terbongkar akibat perselingkuhan
 Sering merasa tertekan,Lelah, muak dan jenuh akibat berpura pura Bahagia
agar terlihat baik baik saja
 Perasaan kasihan dan tidak tega terhadap perempuan yang menjadi pacaranya
 Merasa kasihan terhadap anaknya akibat sering bertengkar
 Merasa hubungan seksual dengan suami suatu keterpaksaan
 Sering melakukan kebohongan
 Sering merasa berkonflik dengan batin
 Sering timbul perasaaan tidak yakin
6. Dampak kehadiran anak bagi relasi dengan suami dan individu
 Memberikan motivasi dan semangat untuk menjadi kuat dan bertahan
 Menjadikan anak sebagai pelarian ketika terjadi masalah
 Kehadiran anak akan mempengaruhi pola konflik yang dialami
 Berusaha menyembunyikan konflik bahkan mengurangi konflik secara
langsung
7. Harapan individu lesbian terhadap pernikahanya
 Memiliki angan angan untuk bercerai dari suaminya dan telah
mempersiapkannya dari saat ini.
 Berusaha membuat keluarganya memdukung percerainya
 Mempersiapkan modal untuk hidup mandiri
 Berusaha mempersiapakan anak-anaknya untuk kuat menghadapi perceraian
setelah dewasa dengan memberi pengertian
 Berupaya tidak menutup nutupi kebenaran dan ingin menjadi diri sendiri dan
berharap anaknya dapat menerimanya apa adanya
 Berupaya memberikan pemahaman yang luas kepada anaknya agar memiliki
wawasan yang luas,berpikiran terbuka, bisa toleransi dan tidak diskriminasi
C. Landasan teori

1. Pengertiani Lesbian

Lesbian merupakan perempuan yang mencintai perempuan, baik secara fisik,


seksual, emosional atau secara spiritual. Lesbian adalah istilah bagi perempuan
yang mengarahkan pilihan orientasi seksualnya secara homoseksual (Agustina
dalam Yuwono, 2013). Homoseksual yaitu ketertarikan seseorang secara seksual
terhadap individu dengan jenis kelamin yang sama (Supratiknya dalam Mastuti,
Winarno & Hastuti, 2012).
Pada kelompok lesbian, terdapat label gender yang dibedakan berdasarkan
pola sikap, perilaku dan gaya berpakaian, misalnya butch, femme dan
butch/femme (Tan dalam Setya, 2013).
Seiring dengan label ini, ada gradasi label gender lesbian dalam komunitas
lesbian, misalnya adalah "soft butch" dan "stone butch"(Agustine dalam Setya,
2013).
a. "Soft butch" adalah lesbian yang merepresentasikan spektrum
maskulin, namun tetap memiliki beberapa kualitas feminim.
b. “Stone butch” digambarkan lebih maskulin dalam cara berpakaian
maupun potongan rambutnya. Mereka mengenakan pakaian laki-laki,
terkadang membebat dadanya agar terlihat lebih rata dan
menggunakan sesuatu di dalam pakaian dalamnya sehingga
menciptakan kesan berpenis.
Studi kualitatif yang dilakukan bahwa lesbian butch merasa orang lain
mengharapkan mereka "menjadi tangguh, menjadi pemimpin, mengurus dan
melindungi orang lain, tidak menangis, tidak berkencan dengan sesama butch,
menjadi dominan secara seksual, dan mengurus tugas-tugas yang sebenarnya
merupakan tanggung jawab laki-laki”. Beberapa butch merasa bahwa stereotipe
tersebut akurat, namun beberapa merasa bahwa ada stereotipe yang tidak
mewakili identitas butch mereka (Levitt & Hiestand dalam Walker et al, 2012).
Lesbian femme menjelaskan bahwa stereotipe yang mengatakan lesbian
femme hanya memiliki relasi romantis dengan butch dan hanya terlibat dalam
"kegiatan feminin" cenderung tidak akurat dan membatasi identitas mereka.
Femme memang cenderung tertarik dengan butch, akan tetapi mereka tetap
terbuka pada jenis kencan lainnya, misalnya femme-femme. Mereka merasa bahwa
relasi romantik didasarkan pada daya tarik kepribadian dan perilaku, bukan label
gender lesbian (Levitt et al dalam Walker et al, 2012).
2. Relasi Lesbian

Para peneliti berpendapat bahwa orientasi seksual perempuan dan relasi


lesbian memiliki mekanisme dan manifestasi yang unik (Chiver, Rieger, Latty &
Bailey dalam Diamond, 2013). Kurdek (dalam O’Neill, Hamer & Dixon, 2012)
mendeskripsikan relasi lesbian sebagai relasi yang lebih empatik, egaliter dan
memuaskan dibandingkan dengan relasi heteroseksual.
Pasangan lesbian cenderung membagi tugas rumah tangga dan tugas
bayar-membayar secara adil dan setara (Patterson, Suffin & Fulcher dalam
O’Neill et al, 2012). Chafetz (dalam Caldwell & Peplau, 1984) mengemukakan
bahwa relasi lesbian menolak peran seks tradisional dan kesetaraan lebih mudah
diterapkan pada pasangan sesama perempuan dibandingkan pada pasangan laki-
laki-perempuan maupun pada pasangan sesama laki-laki. Hal ini hampir sama
dengan pendapat Kelly (dalam Caldwell & Peplau, 1984) bahwa relasi percintaan
antara sesama wanita cenderung lebih bebas dari faktor ketidaksetaraan. Barnhart
(dalam Caldwell & Peplau, 1984) menemukan bahwa pasangan lesbian cenderung
menilai tinggi kesetaraan dalam relasi personal mereka. Perempuan dalam relasi
dengan kesetaraan power melaporkan memiliki kepuasan personal dan kedekatan
yang lebih tinggi, serta mampu mengantisipasi lebih banyak masalah di dalam
relasi mereka
Relasi di antara perempuan lesbian cenderung eksklusif secara seksual.
Hal ini cenderung berbeda jauh jika dibandingkan dengan relasi di antara laki-
laki gay. Data American Couples yang didapatkan oleh Philip Blumstein dan
Pepper Schwartz (dalam Peplau dan Ghavami, 2009) membuktikan hal ini. Hanya
ada 36% laki-laki gay yang berpendapat bahwa relasi seksual monogami
merupakan sesuatu yang penting. Jumlah ini sangat sedikit bila dibandingkan
dengan presentase pada lesbian (71%), suami heteroseksual (75%) dan istri
heteroseksual (84%). Dalam perilaku aktualpun hanya sedikit lesbian (28%),
suami heteroseksual (26%) dan istri heteroseksual (21%) yang terlibat dalam seks
di luar relasi terikat, dibandingkan dengan 82% gay yang melakukan hal serupa.
Kesetiaan seksual berelasi positif dengan kepuasan relasi bagi lesbian dan
pasangan heteroseksual, namun tidak bagi gay.
Meskipun beberapa peneliti menemukan bahwa relasi lesbian cenderung
lebih memuaskan dibandingkan dengan jenis relasi lain, terdapat penelitian yang
menemukan hal yang sebaliknya. Kepuasan pada relasi lesbian tidak berbeda
dengan kepuasan pada relasi gay dan relasi heteroseksual.
Ada beberapa faktor yang jauh lebih mempermudah pasangan lesbian
mencapai kepuasan dibandingkan dengan pasangan lain, yaitu :
a. Kesetaraan keterlibatan

Individu lesbian yang terlibat dalam relasi sesama jenis cenderung


memiliki afeksi dan komitmen yang sama besar satu sama lain. Hal ini
memperkuat cinta di antara mereka dan membuat kepuasan relasi cenderung
meningkat (Blau dalam Peplau, Padesky & Hamilton, 1982).
b. Kesetaraan power

Studi etnografis pada komunitas lesbian di California (Wolf dalam Peplau


et al, 1982) dan Oregon (Barnhart dalam Peplau et al, 1982) menemukan bahwa
banyak pasangan lesbian menerapkan kesetaraan power di dalam relasi mereka
dan menolak dominasi salah satu partner saja.
c. Kesamaan karakteristik individu

Orang cenderung sangat tertarik satu sama lain jika mereka memiliki
kesamaan sikap dan karakteristik demografi (Berscheid & Walster dalam Peplau
et al, 1982). Meskipun demikian, beberapa peneliti menemukan bahwa
"kesamaan" merupakan hal yang kurang diperhatikan dalam relasi lesbian karena
"identitas lesbian" menjadi pertimbangan yang paling penting. Cotton (dalam
Peplau et al, 1982) bahkan berspekulasi bahwa lesbian cenderung memilih
pasangan yang berbeda dari diri mereka dalam hal karakteristik sosial dan
ekonomi
3. Lesbian di dalam Masyarakat

Meskipun secara ilmiah homoseksualitas tidak lagi dianggap sebagai


sebuah abnormalitas, homoseksual, termasuk lesbian di dalamnya, masih sering
mendapatkan prasangka dan diskriminasi. Prasangka dan diskriminasi yang
diterima oleh homoseksual ini disebabkan oleh adanya ideologi
heteroseksisme yang telah ditanamkan sejak dini dan dibentuk dalam beberapa
tingkatan.
Heteroseksisme merupakan sebuah sistem ideologi yang menyangkal,
menilai buruk dan menstigmatisasi segala bentuk non- heteroseksual, baik dalam
perilaku, identitas, relasi maupun komunitas (Herek dalam Ben-Ari, 2001).
Penolakan masyarakat terhadap keberadaan homoseksual, termasuk
lesbian, tersebar di seluruh dunia (Rahardjo, 2007). Berdasarkan survei yang
dilakukan oleh Pew Research Center (2013b), empat dari sepuluh orang (39%)
mengaku pernah ditolak oleh keluarga atau teman terdekat mereka dikarenakan
orientasi seksual yang dimiliki. 29% mengatakan bahwa mereka pernah merasa
tidak diterima di beberapa tempat dan 21% mengungkapkan bahwa mereka
pernah diperlakukan tidak adil oleh orang lain. Enam dari sepuluh orang (58%)
bahkan mengaku sering diejek dan menjadi bahan olokan.
Selain diskriminasi dan marginalisasi di lingkungan sosial, di beberapa
daerah seperti Aceh dan Sumatera Selatan, aktivitas homoseksual dianggap
sebagai sebuah tindakan kriminal dan pelakunya bisa dikenakan denda dan
dihukum penjara. Majelis Ulama Indonesia (MUI) bahkan mengeluarkan fatwa
yang menyerukan berbagai hukuman, dari cambuk hingga hukuman mati, untuk
kaum homoseksual pada 3 Maret 2015 (Wibowo, 2015).
Walaupun individu lesbian, gay dan biseksual belajar untuk menghadapi
stigma sosial terhadap orientasi seksual mereka, pola dari prasangka dan
diskriminasi memberikan efek negatif yang sangat serius terhadap Kesehatan.
4. Pengertian Mixed orientation marriage

Mixed orientation marriage merupakan hubungan dimana satu partner


mengalami ketertarikan sesama jenis dan diidentifikasi sebagai gay, lesbian atau
biseksual, sedangkan satu partner yang lain diidentifikasi sebagai heteroseksual
tanpa ketertarikan sesama jenis (Buxton dalam Tornello & Patterson, 2011).
D. Ulasan Materi

Menurut Cass (1979), tahap pertama yang dilalui seseorang dalam


pembentukan identitas adalah identity confusion. Pada tahap ini, individu mulai
bertanya-tanya siapa dirinya yang sebenarnya dan apakah ia berbeda dari orang-orang
di sekitarnya. Individu berusaha melihat dirinya sama dengan lingkungan di sekitarnya
sehingga terus menolak perasaan yang ia rasakan. Subjek II melalui tahapan ini. Ia
menceritakan bahwa hal tersebut terjadi karena saat itu dia belum banyak mengenal
tentang konsep LGBT.
Stigma negatif dan penolakan membuat kedua subjek memilih untuk
menyembunyikan orientasi seksualnya yang sebenarnya. Sayangnya, keluarga merasa
curiga setelah memperhatikan perkembangan anaknya di lingkungan sosial. Keluarga
kemudian menjodohkan dan memaksa kedua subjek untuk menikah dengan laki-laki
pilihan mereka. Hal ini sesuai dengan penemuan Ross (dalam Tornello & Patterson,
2011) yang menyebutkan bahwa salah satu alasan yang paling sering muncul yang
membuat seorang homoseksual menikah dengan lawan jenis adalah karena adanya
tekanan dari lingkungan luar, misalnya keluarga dan teman. Selain itu hal ini juga
barangkali berkaitan dengan harapan keluarga bahwa menikah bisa “menyembuhkan”
homoseksualitas yang dimiliki kedua subjek. Subjek II merasa bahwa memang tidak
ada jalan lain selain menuruti orangtua, akan tetapi di sisi lain, subjek I memiliki
alasan lain yang membuatnya tidak menolak dijodohkan, yaitu untuk memanas-manasi
pacar perempuan yang saat itu sedang berkonflik dengannya.
Pernikahan memberikan banyak dampak negatif bagi kedua subjek di dalam
pernikahan ini. Dampak tersebut dapat dibagi menjadi dua kategori :
1. Dampak di Dalam Diri

Kedua subjek banyak merasakan emosi-emosi negatif setelah menikah dengan


suami. Subjek I mengaku merasa terpaksa, tidak bahagia, putus asa, terkekang dan
tidak berarti. Selain itu, subjek I merasa bahwa pernikahan ini adalah sesuatu yang sia-
sia. pernikahan memunculkan perasaan kasihan dan perasaan bersalah terhadap orang
lain.
Berdasarkan hasil penelitian Binger (dalam Ben-Ari & Adler, 2010), perasaan
bersalah berasal dari gaya hidup mereka yang tidak asli dan dari penyembunyian itu
sendiri.
2. Dampak di Luar Diri

Pernikahan membuat mereka memiliki beberapa sikap negatif terhadap orang di


sekitar. Pribadi yang lebih egois setelah menikah. Pernikahan dan perlakuan yang
tidak adil dari orang-orang sekitar membuatnya merasa tidak perlu berbaik hati pada
mereka.
Berdasarkan pemahaman peneliti, perubahan sikap kedua subjek penelitian
terhadap lingkungan sosial terjadi sebagai akibat perubahan pola pikir atau persepsi
terhadap dunia luar. Janoff-Bulman (dalam Updegraff & Taylor, 2000) menjelaskan
bahwa individu yang tidak mengalami pengalaman hidup negatif mampu
mengembangkan persepsi positif mengenai dirinya dan orang lain, serta memegang
keyakinan bahwa dunia merupakan tempat yang adil, pantas, bermakna dan tidak
berbahaya
Kedua subjek mengatakan bahwa pernikahan membuat mereka memiliki beberapa
sikap negatif terhadap orang di sekitar. Subjek I mengaku menjadi pribadi yang lebih
egois setelah menikah. Sementara itu, subjek II merasa menjadi pribadi yang lebih
cuek, jutek dan tidak peduli pada orang lain selain orang-orang yang dia sayang.
Subjek II mengatakan bahwa dirinya yang sekarang sangat berbeda dengan dirinya
yang dulu. Pernikahan dan perlakuan yang tidak adil dari orang-orang sekitar
membuatnya merasa tidak perlu berbaik hati pada mereka.
Berdasarkan pemahaman peneliti, perubahan sikap kedua subjek penelitian
terhadap lingkungan sosial terjadi sebagai akibat perubahan pola pikir atau persepsi
terhadap dunia luar. Janoff-Bulman (dalam Updegraff & Taylor, 2000) menjelaskan
bahwa individu yang tidak mengalami pengalaman hidup negatif mampu
mengembangkan persepsi positif mengenai dirinya dan orang lain, serta memegang
keyakinan bahwa dunia merupakan tempat yang adil, pantas, bermakna dan tidak
berbahaya. Ketika pengalaman hidup negatif terjadi, hal tersebut tidak dapat
dipertahankan lagi dan menjadi hancur berantakan. Untuk bisa pulih, individu
mengemban tugas yang cukup berat untuk membangun keyakinan baru yang
mempermudahnya memahami diri dan orang lain. Berhasil ataupun tidak, persepsi
seseorang terhadap diri dan orang lain tentu akan mempengaruhi sikap dan
perilakunya.
Berdasarkan penelitian, terlihat cukup jelas bahwa mixed orientation marriage
membawa lesbian dalam situasi yang sangat kompleks. Selain banyak mengalami
emosi negatif, individu terus menerus dihadapkan pada konflik di dalam diri maupun
konflik dengan suami. Kedua subjek yang menikah secara terpaksa pada akhirnya
berusaha untuk keluar dari relasi dengan suami dengan segala cara, bahkan dengan
mengkambinghitamkan suami. Tidak hanya terbatas pada suami-istri, pernikahan juga
mejadikan anak sebagai korban. Anak terus menerus menjadi saksi pertikaian kedua
orangtuanya, belum lagi apabila kedua orangtua memutuskan untuk bercerai.
Meskipun menimbulkan banyak korban, menurut peneliti, kedua subjek dalam
penelitian ini tidak dapat disalahkan, mengingat pernikahan terjadi bukan karena
kehendak mereka. Keterpaksaan membuat mereka tidak merasa bertanggungjawab
untuk mempertahankan pernikahan sehingga cenderung seenaknya. Dari sini, peneliti
mengambil kesimpulan bahwa apapun yang dipaksakan itu tidak baik hasilnya.
Apabila seorang lesbian menikah dengan lawan jenis, hal tersebut harus terjadi
atas kehendaknya sendiri. Apapun alasan yang mendasari, individu harus terlebih
dahulu menyadari apa yang akan ia hadapi kemudian. Hal ini diperlukan agar individu
mempersiapkan diri dan mempertimbangkan matang-matang apakah ia mampu
berkomitmen dalam menjalani pernikahan yang sudah pasti akan berat.
E. Kesimpulan

Mixed orientation marriage membawa individu lesbian dalam situasi yang sangat
kompleks dan problematik. Individu harus berhadapan dengan ketidaknyamanan
karena harus berelasi intim, fisik maupun emosional, dengan seorang lawan jenis. Hal
ini tentu mempengaruhi relasi suami-istri di dalam pernikahan. Relasi individu dengan
suaminya cenderung dingin dan banyak diwarnai konflik, sehingga memunculkan
berbagai emosi negatif di diri individu lesbian, misalnya perasaan tidak bahagia, putus
asa, tertekan, lelah, takut dan lain sebagainya. Pernikahan di sisi lain juga berdampak
pada relasi individu di dalam lingkungan sosialnya. Terhadap lingkungan secara
umum, individu cenderung bersikap negatif sebagai balasan atas perlakuan yang
diterimanya. Dengan komunitas LGBT, individu cenderung menghindar dan menjauh
karena merasa tidak lagi diterima.
Jika berfokus pada konflik interpersonal, konflik individu lesbian dengan suami
cenderung bervariasi, mulai dari konflik kecil hingga konflik besar dan berlarut-larut.
Bentuk pengungkapan maupun penyelesaiannya pun juga berbeda satu sama lain.
Meskipun demikian, salah satu konflik yang pasti terjadi dalam mixed orientation
marriage adalah adanya ketidakpuasan dan ketidaknyamanan dalam hubungan seksual.
Individu di dalam penelitian ini belum menemukan cara yang efektif untuk
meregulasi diri dalam menghadapi situasi sulit di pernikahan. Kedua individu hanya
berusaha berdamai dengan keadaan dan menjalani hidup apa adanya. Anak memang
membuat kedua individu merasa lebih kuat, namun besarnya tekanan yang dihadapi
membuat kedua subjek yang menikah secara terpaksa pada akhirnya berusaha untuk
keluar dari relasi dengan segala cara, bahkan dengan mengkambinghitamkan suami.
Hal ini juga dikarenakan munculnya kesadaran dalam diri individu bahwa pernikahan
yang tidak sehat akan memberikan dampak buruk bagi perkembangan psikologis anak.

F. Saran

Melihat beratnya pernikahan heteroseksual yang harus dijalani individu lesbian,


peneliti menyarankan individu-individu lesbian lain supaya jangan memutuskan
menikah untuk sekedar memenuhi tuntutan orang lain. Walaupun terhindar dari
tekanan dari luar dan stigma publik, pernikahan yang dipaksakan hanya membawa
individu pada kesulitan baru. Pernikahan harus didasari oleh keinginan pribadi dari
dalam diri dan setelah dilakukan pertimbangan secara matang. Apabila individu
mengetahui kemungkinan situasi yang akan dihadapinya saat menikah, individu akan
lebih berkomitmen dan lebih mau berusaha mencari solusi konflik tanpa
mengorbankan banyak orang.
Apabila individu telah terlanjur telibat dalam pernikahan heteroseksual, sebaiknya
individu mencari pendampingan psikologis. Selain mendapatkan dukungan emosional,
individu juga bisa terbantu dalam menghadapi segala konflik di dalam maupun di luar
dirinya.
Komunitas LGBT merupakan salah satu wadah penting yang memberikan
pengetahuan, dukungan dan perlindungan bagi individu-individu LGBT. Mengingat
komunitas cukup berpengaruh secara signifikan terhadap perkembangan individu,
peneliti merasa bahwa komunitas perlu membuka diri terhadap individu lesbian yang
menikah dengan laki-laki. Individu lesbian dalam mixed orientation marriage
memerlukan dukungan emosional dan hal ini bisa didapatkan dari komunitas LGBT
apabila komunitas tersebut memberikan perhatian penuh dan tidak menghakimi, serta
mendukung dan membantu saat individu mengalami konflik intrapersonal maupun
interpersonal terkait pernikahannya.

DAFTAR PUSTAKA

Agustiningsih, N. (2010). Fenomena masyarakat mengatasi masalah dan daya tahan


dalam menghadapi stress. Skripsi tidak diterbitkan, Universitas Brawijaya Surabaya,
Indonesia.
Alessi, E. J. (2008). Staying put in the closet : Examining clinical practice and
countertransference issues in work with gay men married to heterosexual women.
Clin Soc Work J, 36, 195-201.
American Academy of Pediatrics. (2005). Gay, lesbian or bisexual parents : Information
for children and parents. New York : Pengarang.
American Psychological Association. (2008). Answers to your questions: For a better
understanding of sexual orientation and homosexuality. Diakses pada 19 Oktober
2015 melalui http://www.apa.org/topics/sorientation.pdf.
Arus Pelangi (org.). (2015, Februari 14). Pres rilis: LGBTI dan kekerasan terhadap
perempuan one billion rising indonesia. Diakses pada 19 Oktober 2015 melalui
http://aruspelangi.org/pres-rilis-lgbti-dan-kekerasan-terhadap- perempuan-one-
billion-rising-indonesia-14-februari-2015/.
Auerback, S., & Moser, C. (1987). Groups of the wives of gay and bisexual men.
Social Work, 32(4), 321-325.
Basrowi & Suwandi. (2008). Memahami penelitian kualitatif. Jakarta : Rineka Cipta.
Ben-Ari, A. (2001, February). Homosexuality and heterosexism : Views from academics
in the helping professions. The British Journal of Social Work, 31(1), 119-131.
Ben-Ari, A., & Adler, A. (2010). Dialectics between splitting and integrating in the
lives of heterosexually married gay men. Psychology, 1, 106-112.
Borchet, J., & Lewandowska-Walter, A. (tanpa tahun). The Intensity of Parental Conflict
in Balanced and Unvbalanced Family Systems. Naskah yang tidak diterbitkan,
University of Gdansk, Poland.
Brandenberger, A. J. (2007). Relationship conflict : The good, the bad and the ugly.
Advances in Communication Theory & Research, 1 (1), 1-22.
Buxton, A.P., & Schwartz, L.B. (2004). Straight spouses speak out : Implications for gay
and lesbian marriage. Californian Journal of Health Promotion, 2, 24-31.
Caldwell, M. A., & Peplau, L. A. (1984). The balance of power in lesbian relationships.
Sex Roles, 10(7), 587-599.
Cass, V. C. (1979). Homosexual identity formation: A theoretical model. Journal of
Homosexuality, 4, 219-235.
Creswell, J. W. (2007). Qualitative inquiry and research design : Choosing among five
approaches. California : Sage Publications, Inc.
Creswell, J. W. (2008). Research design : Qualiative, quantitative, and mixed methods
approaches. California : Sage Publications Inc.
Creswell, J. W. (2009). Research design : Qualitative, quantitative, and mixed methods
approaches. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Crohan, S. E. (1996). Marital quality and conflict across the transition to parenthood in
african american and white couples. Journal of Marriage and the Family, 58.
Decha-ananwong, P., Tuicomepee, A., & Kotrajaras, S. (2013). Self-acceptance of sexual
orientation in gay men: A consensual qualitative research. The Asian Conference on
Psychology & the Behavioral Sciences 2013 (pp. 349-365). Osaka : Iafor.
Diamond, L. (2013). Concept of female sexual orientation. In C. J. Patterson & A.
R. D’Augelli (Eds.), Handbook of psychology and sexual orientation. New York :
Oxford University Press.
Ellis, S. J., Kitzinger, C., & Wilkinson, S. (2003). Attitudes towards lesbians and gay
men and support for lesbian and gay human rights among psychology students.
Journal of Homosexuality, 44(1), 121-138.
Gallagher, C. (2013.) 7 ways sex can kill a marriage. Diakses 24 Januari 2017 melalui
http://www.huffingtonpost.com/christine-gallagher/7-ways-sex-can- kill-a-
mar_b_2506541.html.
Golombok, S., Perry, B., Burston, A., Murray, C., Mooney-Somers, J., et al. (2003).
Children with lesbian parents : A community study. Developmental Psychology,
39(1), 20-33.
Gottschalk, L. (2008). Coming out and living as lesbians and gay men in regional and
rural areas. Disertasi doktor yang tidak diterbitkan, School of Business, University
of Ballarat.
Greenbaum, M. (2013). Homoparental families : Dealing with homophobia and
heterosexism. Paris : Coalition des Families Homoparentales.
Gross, R. (2015). Psychology : The science of mind and behavior. UK : Harchette.
Guntur, S. (2015). Perlindungan hukum hak asasi peserta didik dalam sistem pendidikan
nasional. Jabal Hikmah, 4(2), 223-234.
Hernandez, B. C., Schwenke, N. J., & Wilson, C. M. (2011). Spouses in mixed
orientation marriage : A 20-year review of empirical studies. Journal of Marital and
Family Therapy, 37 (3), 307-318.
Hernandez, B. C., & Wilson, C. M. (2007). Another kind of ambiguous loss : Seventh-
day adventist women in mixed-orientation marriages. Family Relations, 56 (2), 184-
195.
Himpunan Psikologi Indonesia. (2010). Kode etik psikologi. Jakarta : Pengurus Pusat
Himpunan Psikologi Indonesia.
Indahyani. (2013, Juli). Memahami komunikasi antar pribadi dalam pernikahan beda
agama dalam upaya mempertahankan hubungan yang harmonis. The Messenger, 5
(2), 47-54
Kerns, J. G., & Fine, M. (1994). The relation between gender and negative attitudes
towards gay men and lesbians : Do gender role attitudes mediate this relation. Sex
Roles, 31(5), 297-307.
Kort, J. (2006). Mixed orientation marriages. Diakses pada 14 Maret 2016 melalui
http://www.glbtq.com.
Kring, A. M., Johnson, S. L., Davidson, G., & Neale, J. (2012). Abnormal psychology.
Washington, DC : John Wiley & Sons, Inc.
Kurdek, L. A. (1994, November). Areas of conflicts for gay, lesbian and heterosexual
couples: What couples argue about influences relationship satisfaction. Journal of
Marriage and the Family, 56(4), 923-934.
Legate, N., Ryan, R. M., & Weinstein, N. (2012). Is coming out always a “good
thing”? Exploring the relations of autonomy, support, outness and wellness for
lesbian, gay, and bisexual individuals. Social Psychological and Personality
Science, 3(2), 145-152.
Mastuti, R. E., Winarno, R. D., & Hastuti, L. W. (2012, Desember). Pembentukan
identitas orientasi seksual pada remaja gay. Prediksi, Kajian Ilmah Psikologi,
1(2), 194-197.
Morris, J. F., Balsam, K. F., & Rothblum, E. D. (2002). Lesbian and bisexual mothers
and nonmothers : Demographic and the coming out process. Journal of Family
Psychology, 16(2), 144-156.

LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai