Anda di halaman 1dari 50

ANALISIS VEGETASI TUMBUHAN DAN KELIMPAHAN LABA-LABA DI

KABUPATEN MALANG BERDASARKAN PERBEDAAN KETINGGIAN

TESIS

Disusun oleh:
IDHAM CHOLID
186090100111003

PROGRAM MAGISTER BIOLOGI


JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2020

1
ANALISIS VEGETASI TUMBUHAN DAN KELIMPAHAN LABA-LABA DI
KABUPATEN MALANG BERDASARKAN PERBEDAAN KETINGGIAN

TESIS

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar


Magister Sains dalam Bidang Biologi

Oleh:
IDHAM CHOLID
186090100111003

PROGRAM MAGISTER BIOLOGI


JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2020
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara didunia yang memiliki keragaman hayati
sangat tinggi, baik flora maupun fauna, hal ini disebabkan karena topografi Indonesia yang
tersusun atas pulau-pulau dan setiap pulau memiliki karakteristik ekosistem sendiri.
Ekosistem yang baik adalah ekosistem yang memiliki keanekaragaman tinggi,
keanekaragaman yang tinggi menunjukan bahwa ekosistem tersebut masih terjaga, karena
komponen penyusun ekosistem satu dengan yang lain sangat erat berkaitan, seperti halnya
konsep rantai makanan, dimana konsumen pada dasarnya butuh dengan produsen, dan
produsen bisa tumbuh dan berkembang akibat faktor lingkungan yang memenuhi (Siregar,
2009).
Keanekaragaman hayati adalah variabilitas di antara makhluk hidup dari semua
sumber, termasuk interaksi ekosistem terestrial, pesisir dan lautan dan ekosistem akuatik.
Hal ini meliputi keanekaragaman jenis, antar jenis dan ekosistem (Convention on
Biological Diversity, 1993). Pengertian yang lain, keanekaragaman hayati adalah
ketersediaan keanekaragaman sumber daya hayati berupa jenis maupun kekayaan plasma
nutfah (keanekaragaman genetik di dalam jenis, keanekaragaman antar jenis dan
keanekaragaman ekosistem (Sudarsono dkk., 2005).
Keanekaragaman jenis adalah suatu karakteritik tingkatan komunitas berdasarkan
kelimpahan spesies yang dapat digunakan untuk menyatakan struktur komunitas, Suatu
komunitas dikatakan mempunyai keanekaragaman jenis tinggi jika komunitas itu disusun
oleh banyak spesies (jenis) dengan kelimpahan spesies yang sama atau hampir sama.
Sebaliknya jika komunitas itu disusun oleh sangat sedikit spesies, dan jika hanya sedikit
saja spesies yang dominan, maka keanekaragaman jenisnya rendah (Sugianto, 1994).
Keanekaragaman jenis yang tinggi menunjukkan bahwa suatu komunitas memiliki
kompleksitas tinggi, karena dalam komunitas itu terjadi interaksi spesies yang tinggi
pula. Jadi dalam suatu komunitas yang mempunyai keanekaragaman jenis yang tinggi
akan terjadi interaksi spesies yang melibatkan transfer energi (jaring makanan),
predasi, kompetisi, dan pembagian relung yang secara teoritis lebih kompleks.
Keanekaragaman adalah faktor utama penilaian ekosistem, ekosistem yang baik memiliki
keanekaragaman yang tinggi, (Sugianto, 1994).
Menurut Untung 2006, Ekosistem secara umum dibagi menjadi 2, yaitu ekosistem
alami dan ekosistem buatan, ekosistem alami adalah ekosistem yang perkembangan dan
pertumbuhannya tidak melibatkan manusia, dan hanya berkembang secara alamiah, seperti
hutan, dll, sedangkan ekosistem buatan adalah ekosistem yang perkembangannya
tergantung dengan campur tangan manusia, seperti pertanian, perkebunan, dsb. Perbedaan
tata kelola membuat penyusun ekosistemnya berbeda pula, sebab keberadaan flora akan
mempengaruhi keberadaan faunannya juga, semakin beragam flora, maka keberadaan
faunanya akan sangat beragam. Selain perbedaan tata kelola ekosistem, juga terdapat
faktor yang menyebabkan keragaman ekosistem berbeda, salah satunya adalah faktor
ketinggian suatu wilayah.
Ketinggian wilayah adalah ketinggian dari permukaan air laut (elevasi). Ketinggian
wilayah mempengaruhi perubahan suhu udara. Semakin tinggi suatu wilayah, misalnya
pegunungan, semakin rendah suhu udaranya atau udaranya semakin dingin. Semakin
rendah wilayahnya maka suhu udaranya akan semakin tinggi / panas. Faktor iklim di
dalamnya termasuk suhu udara, sinar matahari, kelembaban udara dan angin. Unsur-unsur
ini sangat berpengaruh terhadap proses pertumbuhan flora dan fauna. Oleh karena itu,
ketinggian suatu tempat berpengaruh terhadap ekositem suatu wilayah (Hamzah, 2010).

Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh Nurlaela (2017), kelimpahan


Invertebrata akan menurun seiring dengan naiknya ketinggian. Sebagai contoh, semut,
dan rayap hampir tidak ditemukan pada daerah yang tinggi, namun sangat umum
dijumpai di tempat yang rendah. Ketinggian suatu lokasi akan berdampak pada kondisi
klimak. Turunnya temperatur seiring dengan naiknya ketinggian merupakan pembatas
distribusi bagi berbagai spesies yang hidup di pegunungan, baik hewan maupun
tumbuhan. Temperatur sebagai faktor klimatik yang dominan akan memberikan pengaruh
bagi berbagai faktor lingkungan lain seperti contoh hujan dan kelembaban. Keberadaan
invertebrata sangat penting bagi keseimbangan ekosistem, salah satu invertebrata yang
peranannya sangat penting adalah laba-laba yang termasuk dalam filum arthropoda.

Laba-laba merupakan salah satu musuh alami hama (predator), terutama terhadap
serangga sehingga dapat berperan dalam mengontrol populasi serangga. Laba-laba adalah
predator polifag sehingga berpotensi untuk mengendalikan berbagai spesies serangga hama
(Nyffeler,2003). Laba-laba mampu menempati berbagai macam habitat sehingga bisa
berpindah dari satu habitat kehabitat lainnya bila mengalami gangguan (Suana et al. 2001).
Ada banyak jenis jaring laba-laba yang dapat kita temukan di dunia ini, bentuk jaring
laba-laba dapat dibedakan berdasarkan cara laba-laba menenunnya, yaitu jaring bola spiral,
yang dihasilkan oleh laba-laba famili Araneidae, Tetragnathidae dan Uloboridae (Suana et
al. 2001).
Laba-laba juga merupakan spesies indikator biologi yang mampu memberikan
informasi tentang keadaan ekologis, ekopsikologis dan juga perubahan lingkungan
setempat. Kajian tentang hal ini telah dilakukan Suana (2001), di Gunung Tangkuban
Perahu Jawa Barat terhadap indikasi daerah yang kering dan adanya belerang. Hasil
penelitiannya adalah Pardosa sp dan Trochosa terricola dominan terdapat di daerah kering
serta daerah banyak cahaya matahari. Di daerah hutan yang lembap banyak ditemukan
Dolomedes sp dan Pisaura sp. Laba-laba tersebut dikenal sebagai indicator terhadap
kelembapan.
Penelitian yang dilakukan oleh Russell-Smith A dan Stork NA (1994), di pulau
Sulawesi, Indonesia. telah mengidentifikasi laba-laba sebanyak 1642 individu yang berasal
dari family Clubionidae, Castianeirinae, Theridiidae, Salticidae, Araneidae, dan
Lyniphiidae. Pada wilayah dengan ketinggian 400 m terdapat 69 spesies, dengan jumlah
648 individu; 6% dari total laba-laba adalah Clubionidae dan Araneidae. Sedangkan pada
ketinggian 1150 m, family yang paling banyak ditemukan adalah Lyniphidae, dan
Clubionidae. Data tersebut menunjukan bahwa perbedaan ketinggian sangat berpengaruh
terhadap keberadaan arthropoda.
Salah satu wilayah di Indonesia yang memiliki ketinggian beragam adalah Kabupaten
Malang. Kabupaten Malang terletak pada wilayah dataran tinggi, dengan koordinat 112°
17’ 10,9” - 112° 57’ 0,0” Bujur Timur dan 7° 44” 55,11” - 8° 26’ 35,45” Lintang selatan.
Luas wilayah Kabupaten Malang adalah 334.787
Ha, terdiri dari 33 Kecamatan yang tersebar pada wilayah perkotaan dan perdesaan.
Kabupaten Malang terletak antara ketinggian 0 - 2000 m dpl (Pemkab Malang, 2015).
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis merasa perlu melakukan penelitian tentang
“Keanekaragaman dan Kelimpahan Laba- Laba di Kabupaten Malang Berdasarkan
Perbedaan Ketinggian” agar dapat menganalisis habitat laba-laba sesuai dengan ketinggian
wilayah di Kabupaten Malang.

2.1 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas dapat diambil beberapa rumusan masalah sebagai
berikut:
1. Bagiamana kelimpahan dan keanekaragaman laba-laba di Kabupaten Malang
berdasarkan perbedaan ketinggian?
2. Bagaimana vegetasi tumbuhan di Kabupaten Malang berdasarkan perbedaan
ketinggian?
3. Bagaimana korelasi antara faktor abiotik dengan kelimpahan laba-laba di
Kabupaten Malang berdasarkan perbedaan ketinggian?

3.1 Tujuan Penelitian


Tujuan dilakukan penelitian ini untuk:
1. Menganalisis kelimpahan dan keanekaragaman laba-laba di Kabupaten Malang
berdasarkan perbedaan ketinggian
2. Mengevaluasi vegetasi tumbuhan di Kabupaten Malang berdasarkan perbedaan
ketinggian
3. Mengevaluasi korelasi antara faktor abiotik dengan kelimpahan laba-laba di
kabupaten Malang dengan perbedaan ketinggian.

4.1 Manfaat Penelitian


Manfaat penelitian ini adalah:
1. Penelitan ini bermanfaat dalam upaya konservasi alam terutama dalam memberikan
informasi dan gambaran tentang keanekaragaman laba-laba dan untuk mengetahui
laba-laba jenis apa saja yang terdapat di Kabupaten Malang berdasarkan perbedaan
ketinggian.
2. Sebagai panduan untuk penelitian yang akan dilakukan kedepannya tentang
identifikasi jenis-jenis laba-laba yang ada di Kabupaten Malang.
3. Sebagai penunjang pengaplikasian pemanfaatan agen hayati dalam bidang
pertanian sebagai pengendali musuh alami bagi hama pertanian.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Deskripsi Laba-laba


Laba-laba adalah sejenis hewan berbuku-buku (arthropoda) dengan dua segmen
tubuh, empat pasang kaki, dan tidak bersayap. Ilmu yang mempelajari laba-laba disebut
Arachnology.

Gambar 1. Laba-laba (Suryadi, 2011)

Klasifikasi Ilmiah
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Arachnida
Ordo : Araneae
Laba-laba bukan termasuk serangga tetapi kelas Arachnida, yaitu sekelompok
dengan caplak, tungau, dan kalajengking. Laba-laba termasuk ke dalam ordo Araneae
(Rusyana, 2014). Ordo laba-laba terbagi atas tiga golongan besar pada subordo, yaitu
Mesothelae, Mygalomorphae atau Orthognatha, dan Araneomorphae (Suryadi, 2011).

2.2. Struktur Morfologi Laba-laba


Kelas Arachnida dibedakan dengan kelas yang lainnya dengan tidakadanya anggota
badan sebagai organ perasa yang sering disebut antena yang biasanya terdapat di bagian
depan kepala di keempat kelas lainnya. Tidak seperti serangga yang memiliki tiga bagian
tubuh, laba-laba hanya memiliki dua segmen bagian depan disebut cephalothorax atau
prosoma, yang sebenarnya merupakan gabungan dari kepala dan dada (thorax). Sedangkan
segmen bagian belakang disebut abdomen (perut) atau opisthosoma. Antara cephalothorax
dan abdomen terdapat penghubung tipis yang dinamai pedicle atau pedicellus (Rusyana,
2014).

Gambar 2. Morfologi Laba-laba (Rusyana, 2014)

Pada cephalothorax melekat empat pasang kaki,dan satu sampai empat pasang
mata. Selain sepasang rahang bertaring besar (disebut chelicera), terdapat pula sepasang
atau beberapa alat bantu mulut serupa tangan yang disebut pedipalpus. Pada beberapa jenis
laba-laba, pedipalpus pada hewan jantan dewasa membesar dan berubah fungsi sebagai alat
bantu dalam perkawinan (Rusyana, 2014).

2.3. Struktur Anatomi dan Fisiologi Laba-laba


Struktur Anatomi dan fisiologi laba-laba di daerah sefalotorak terdapat khelisera,
pedipalpi, mata dan tungkai Khelisera merupakan sepasang organ yang digunakan untuk
menaklukkan mangsa atau menggigit sebagi bentuk pertahanan kalau terancam. Pada
beberapa kelompok laba-laba alat ini digunakan sebagai alat menggali (pada kelompok
laba-laba penjerat), untuk mengangkut mangsa dan membawa kantung telur pada beberapa
laba-laba lainnya. Setiap khelisera terdiri atas bagian dasar yang kuat (paturon) dan bagian
gigi taring yang dapat bergerak (fang). Fang ini terletak di dalam celah dan akan bergerak
saat berfungsi. Di dekat bagian ujung setiap fang terdapat lubang halus tempat keluarnya
venom, yang berasal dari kelenjar venom di bagian dasar kelisera. Mulut laba-laba terletak
tepat di belakang kelisera. Sebagian besar laba-laba mempunyai 8 mata terletak di bagian
depan sefalotoraks (Campbell, 2008). Laba-laba yang beradaptasi untuk hidup dalam gelap
gulita dan dengan cadangan makanan yang terbatas biasanya memperoleh penampilan
khusus yang termasuk depigmentasi, mikro atau anophthalmy, kehilangan sayap, elaborasi
struktur sensorik ekstra-optik, pemanjangan pelengkap (dalam kasus troglobionts) atau
memperpendek pelengkap (dalam kasus geobionts), kutikula menipis (Deltshev,et al.,
2011).
Bagian abdomen (opistosoma) laba-laba terdiri dari mesosoma dan metasoma. Pada
bagian posterior abdomen terdapat spineret yang merupakan organ berbentuk kerucut dan
dapat berputar bebas. Di dalam spineret terdapat banyak spigot yang merupakan lubang
pengeluaran kelenjar benang halus atau kelenjar benang abdomen. Kelenjar benang halus
mensekresikan cairan yang mengandung protein elastik. Protein elastik tersebut akan
mengeras di udara membentuk benang halus yang digunakan untuk menjebak mangsa
(Rusyana, 2014).
Laba-laba bernapas dengan paru-paru buku atau trakea. Paru-paru buku adalah
organ respirasi berlapis banyak seperti buku dan terletak pada bagian abdomen.
Ekskresi laba-laba dilakukan dengan tubula (tunggal = tubulus) Malpighi. Tubula Malpighi
merupakan tabung kecil panjang dan buntu dan organ ini terletak di dalam hemosol yang
bermuara ke dalam usus. Selain tubula malpighi, sistemekskresi lainnya dilakukan dengan
kelenjar koksal. Kelenjar koksal merupakan kelenjar ekskretori buntu yang bermuara pada
daerah koksa (segmen pada kaki insecta) (Campbell, 2008).

Gambar 3. Anatomi dan Fisiologi Laba-laba (Campbell, 2008).


2.4. Daur Hidup Laba-laba
Daur Hidup Laba-laba setelah fertilisasi (pembuahan), laba-laba betina
menghasilkan kantung telur, yang ukuran dan bentuknya berbeda-beda tergantung spesies.
Kantung telur umumnya terdiri atas kumpulan benang sutera yang membungkus telur.
Beberapa spesies meninggalkan kantung ini di dekat habitatnya atau di dalam galian. Telur
menetas di dalam kantung, dan laba-laba muda berganti kulit sekali sebulum muncul.
Laba-laba muda ini disebut spiderling atau nimfa, dan sudah mencari makanan sendiri.
Nimfa ini adalah bentuk miniatur laba-laba dewasa, yang mempunyai spineret dan kelenjar
racun yang sudah berfungsi. Nimfa mengalami molting 2-12 kali sebagai juvenil,
tergantung jenis laba-laba, sebelum mencapai dewasa kelamin. Laba-laba ini bisa
memencar dengan mengembangkan benang-benang suteranya dan terbawa angin. Daur
hidup pada kebanyakan labah-laba pemintal benang adalah kurang dari 12 bulan, tetapi
pada laba-laba penggali tanah berekembang lebih lama dan tampaknya mempunyai daur
hidup yang lebih lama (beberapa tahun). Perkawinan laba-laba sangat menarik. Organ
reproduksi pada yang jantan terletak di pedipalpi. Bila siap berkopulasi laba-laba jantan
memintal jaring kecil dan menaruh setitik spermanya di situ atau ditanah atau beberapa
tumpukan serasah. Setelah itu dia mengambil cairan tersebut dipindahkan ke dalam labu-
labu kecil pada pedipalpinya. Setelah itu dia mengambil cairan tersebut dengan pedipalpi
dan mencari betina, serta menyalurkannya kepada spermateka betina. Setelah betina
dibuahi, jantan seringkali ditangkap dan dimakan oleh yang betina (Hadi, 2012)
Laba-laba mengalami sangat sedikit metamorfosis selama perkembangan mereka.
Apabila menetas, mereka kelihatan seperti dewasa-dewasa yang kecil. Bila tungkai-tungkai
hilang selama perkembangan, mereka biasanya dapat beregenerasi. Laba-laba biasanya
berganti kulit dari 4 sampai 12 kali selama pertumbuhan mereka sampai dewasa.
Kebanyakan laba-laba berumur 1-2 tahun (Borror, 1996).

2.5. Ekologi Laba-laba


Laba-laba mampu beradaptasi di berbagai habitat namun laba-laba sangat sensitif
terhadap gangguan yang terjadi di lingkungannya. Gangguan lingkungan yang berdampak
negatif terhadap kelimpahan laba-laba, antara lain: pengolahan tanah, pemangkasan
tumbuhan serta penggunaan pestisida sintesis. Berubahnya komposisi spesies laba-laba
diekosistem pertanian sangat dipengaruhi oleh berubahnya komposisi tanaman di lahan
budidaya tanaman (Foelix, 1996). Laba-laba terdiri dari kelompok yang mungkin berguna
sebagai indikator ekologi karena keragaman mereka, kelimpahan, dan kemudahan
sampling. Juga, interaksi mereka dengan lingkungan mungkin mencerminkan perubahan
ekologi (Churchill,1997 dalam Pompozzi, et al, 2011).
Laba-laba mampu beradaptasi diberbagai habitat sehingga keanekaragamannya
tinggi. Beberapa spesies dapat menghuni habitat dengan kondisi lingkungan yang
menguntungkan, sementara spesies lain dengan kemampuan penyebaran yang buruk dan
tidak dapat menjajah semua habitat di mana mereka bisa tidak mampu untuk bertahan
hidup (Artigas, et al. 2016).
Bonev, dkk (2006) menjelaskan bahwa suatu zona habitat laba-laba memiliki ciri
iklim mikro yang spesifik dan relung berbeda. Terdapat kurang lebih 20.000 spesies laba-
laba di alam yang sebagian besar hidup di darat (Hawkeswood, 2003). Di antara jumlah
spesies tersebut 23% (4.600 spesies) mampu membuat jaring (Platnick, 2011 dalam
Blackledge dan Hayashi, 2006). Laba-laba ditemukan hampir di semua permukaan bumi
dari kutub sampai daerah padang pasir yang kering. Laba-laba melimpah di area dengan
vegetasi rapat. Baenadi (1988) menginformasikan bahwa laba-laba dapat berpindah dari
suatu tempat ke tempat lain dengan bergerak aktif seperti berjalan, melompat atau secara
tidak aktif yakni terbawa angin atau agen lainnya.
Laba-laba sangat berperan penting dalam jaring makanan karena kebiasaan makan
laba-laba. Menurut Borror (1996) dalam prastowo (2013) jumlah laba-laba yang banyak
dan kebiasaan makannya ternyata mampu mengontrol jumlah dari banyaknya hewan
lainnya terutama serangga. Dengan begitu, para petani sangat terbantu dengan adanya laba-
laba dalam ekosistem tersebut. laba-laba menjadi sahabat para petani karena memakan
serangga hama tanaman yang dapat mengurangi terjadinya kegagalan pada saat panen.
Hutan hujan tropis memiliki keanekaragaman spesies laba-laba yang tinggi. Hal ini
dikarenakan laba-laba menyukai habitat yang terlindung dari suhu ekstrim, dapat
menempelkan jaringnya, aman terhadap kerusakan sarang dan jaringnya serta dapat
memaksimalkan waktu mencari mangsanya. Laba-laba banyak ditemukan pada iklim
subtropis, sehingga di Indonesia sebagai negara subtropis laba-laba banyak ditemukan
dimana-mana, habitat laba-laba dapat ditemukan dalam tanah, dibawah batu, di rumput, di
cabang-cabang pohon, di gua-gua dan di atas air. bagi laba-laba yang hidup di serasah,
daun-daun yang gugur di hutan merupakan habitat yang sesuai baginya. Jumlahnya
meningkat lebih banyak ketika lapisan serasah semakin tebal karena lebih banyak
tempat tersedia untuk bersembunyi dan terhindar dari suhu yang ekstrim (Suana,2006).
Laba-laba adalah salah satu kelompok terbesar dan paling beragam dari arthropoda.
Terdapat sekitar 40.000 spesies dijelaskan dari laba-laba, memiliki lebih dari 100 famili
dan 3600 genera. Diperkirakan terdapat 170.000 spesies arachnida ada di dunia, hal ini
mencerminkan bahwa studi dan penelitian tentang kelompok ini masih sedikit (Mineo dan
Claro, 2009).
Berdasarkan ordonya, Araneae dapat dibagi dalam dua subordo, yaitu: Mesothelae
dan Opisthothelae. Subordo Mesothelae hanya memiliki satu infraorder, yaitu
Liphistiomorphae, yang meliputi laba-laba dengan karakter primitif seperti jejak
segmentasi pada perut. Hewan ini ditemukan secara eksklusif di Asia. Subordo
Opisthothelae terdiri dari dua infraorder yaitu: Mygalomorphae dan Araneomorphae. Laba-
laba yang masuk pada infraorder Mygalomorphaeg dikenal sebagai "caranguejeiras" atau
"Tarantula" dan mudah dibedakan dengan posisi paralel chelicerae (salah satu pasangan
anterior organ mulut/capit) dan (sebagian besar kali) dua pasang pemintal. Laba-laba pada
Araneomorphae ini, mencakup sekitar 90% dari spesies yang dikenal dari takson ini serta
dibedakan oleh chelicerae vertikal lawan dan terdapat tiga pasang pemintal (Mineo dan
Claro, 2009).

Gambar 4. Klasifikasi Laba-laba (Pollard, 2007)

Menurut Suryadi, (2011) Ordo Araneae ini terbagi atas tiga golongan besar atas
subordo, yakni mesothelae,mygalomorphae dan areneomorphae. Sedangkan menurut polar
(2017) ordo araneae hanya terbagi atas dua subordo yakni mygalomorphae dan
araneomorphae. 1)Mesothelae, yang merupakan laba-laba primitif tak berbisa, dengan
ruas-ruas tubuh yang nampak jelas; memperlihatkan hubungan kekerabatan yang lebih
dekat dengan leluhurnya yakni artropoda beruas-ruas. 2)Mygalomorphae atau Orthognatha,
adalah kelompok laba-laba yang membuat liang persembunyian, dan juga yang membuat
lubang jebakan di tanah. Banyak jenisnya yang bertubuh besar, seperti tarantula dan juga
lancah maung. 3)Araneomorphae adalah kelompok laba-laba ‘modern’. Kebanyakan laba-
laba yang kita temui termasuk ke dalam subordo ini, mengingat bahwa anggotanya terdiri
dari 95 suku dan mencakup kurang lebih 94% dari jumlah spesies laba-laba. Taring dari
kelompok ini mengarah agak miring ke depan (dan bukan tegak seperti pada kelompok
tarantula) dan digerakkan berlawanan arah seperti capit dalam menggigit mangsanya.
Beberapa famili laba-laba menurut Borror (1996) Famili Atypidae (Laba-laba
pembuat sarang-kantung) Laba-laba ini membuat benang-benang sutera di dasar batang
pohon, buluh-buluh menjulur dari tempat sedikit di dalam tanah sampai kira-kira 150 mm
di atas tanah. Apabila seekor serangga mendarat di atas buluh ini, laba-laba menggigit
melalui buluh, merenggut serangga tersebut, dan menariknya ke dalam buluh. Laba-laba
ini panjangnya 10-30 mm. Famili Araneidae (Pemintal sarang berbentuk lingkaran) Famili
ini adalah kelompok yang besar dan sangat luas tersebar dan hampir semua dari
anggotanya membuat sebuah sarang laba-laba yang berbentuk lingkaran. Terdapat cukup
keragaman dalam ukuran, warna dan bentuk dalam famili ini. Famili Tetragnathidae
(Pemintal sarang bentuk lingkaran yang bergeraham panjang)
Laba-laba ini memiliki kelisera-kelisera yang sangat panjang dan menjulur,
terutama pada yang jantan. Kebanyakan jenis berwarna kecoklat-coklatan dan secara relatif
panjang dan ramping, tungkainya, terutama pasangan bagian depan, sangat panjang. Laba-
laba ini biasanya didapatkan didaerah yang berawa. A) Famili Agelenidae (Laba-laba
pembuat sarang berbentuk corong) Laba-laba ini adalah sebuah kelompok yang besar
(kira-kira 250 jenisnya di Amerika Utara) dari laba-laba umum yang membuat sarang laba-
laba seperti lembaran di rumput-rumputan, di bawah karang atau papan-papan dan
direruntuhan. Sarang dari jenis yang lebih besar agak berbentuk corong dengan satu tempat
persembunyian yang berbentuk buluh mengarah ke bawah masuk dalam bahan dimana
sarang tersebut terbuat. B) Famili Hahniidae (Laba-laba pembuat sarang-lembaran
Hahniid) Hahniid-hahniid adalah laba-laba yang kecil, panjangnya 1,5-3,2 mm, dengan alat
pembuat benang dalam satu baris transversal tunggal. Mereka membuat sarang laba-laba
serupa dengan Agelenidae, tanpa tempat persembunyian seperti corong. Sarang laba-laba
tersebut sangat halus dan jarang terlihat kecuali tertutup oleh embun (Borror, 1996).

2.6. Faktor Fisika Kimia Lingkungan


a) Suhu Udara
Suhu adalah faktor ekologis yang sangat terkenal dan juga sangat mudah diukur.
Pengaruh suhu bersifat umum. Seringkali suhu merupakan faktor pembatas terhadap
pertumbuhan dan penyebaran tanaman dan hewan (Michael, 1995).
Temperatur merupakan faktor lingkungan yang dapat menembus dan menyebar ke
berbagai tempat di muka bumi.Perubahan temperatur akan mengubah faktor-faktor
lingkungan abiotik lainnya, sehingga di tempat tersebut terjadi perubahan kombinasi baru
antara faktor-faktor lingkungan abiotik. Arthropoda tidak dapat hidup pada suhu di bawah
titik beku air. Suhu antara kira-kira 10°C - 40°C adalah temperatur optimum bagi hewan
tersebut. jika temperatur berubah dari 40°C - 45°C dan 10°C-0°C hewan menjadi pingsan.
Pada suhu antara 45°C-55°C dan 0°C-10°C hewan mengalami koma dan di atas 55°C atau
di bawah -10°C hewan akan mati (Susanto, 2000).
b) Kelembaban Udara
Jumlah uap air yang ada dalam udara diacu sebagai kelembaban.Bobot sebenarnya
uap air yang ada dalam satuan bobot udara dinyatakan sebagai kelembaban mutlak. Karena
suhu dan tekanan mempengaruhi kelembaban, maka biasanya diukur sebagai kelembaban
relatif. Kelembaban relatif adalah persen uap air yang sebenarnya ada dibandingkan
dengan kadar kejenuhan dalam suhu dan tekanan yang sedang ada (Michael, 1995).
Kelembaban merupakan jumlah uap air yang terdapat diudara. Kelembaban mutlak
adalah rasio berat uap air persatuan udara (gram per kilogram udara).
Beberapa hal penting yang berkaitan dengan kelembaban adalah :1)Kelembaban
dapat mempengaruhi efek temperatur terhadap organisme. 2)Kelembaban dapat
berfluktuasi horizontal (malam hari kelembaban tinggi, sedangkan siang hari kelembaban
rendah). 3)Kelembaban juga berfluktuasi vertikal (pada suatu tempat dengan ketinggian
tertentu mempunyai kelembaban tertentu). 4) Kelembaban, temperatur dan cahaya
berperan sangat besar dalam mengatur aktivitas organisme dan sering menjadi faktor
pembatas terhadap penyebaran organisme (Subagja, 2001).
c) Intensitas Cahaya
Cahaya merupakan salah satu sumber daya yang menghasilkan energi bagi
kehidupan organisme. Cahaya mempengaruhi gerakan hewan, terutama hewan-hewan
kecil. Arah datangnya cahaya dapat mempengaruhi arah gerakan hewan. Hewan ada yang
mendekati sumber cahaya, dan ada yang menjauhi sumber cahaya. Menurut Susanto
(2000) intensitas cahaya mempengaruhi kecepatan gerak dan arah gerak hewan-hewan
tertentu. Misalnya: gerakan larva lalat menjadi makin cepat jika intensitas makin kuat, dan
menjadi lambat jika intensitas cahaya menjadi lemah.
2.7. Keanekaragaman Jenis
Keanekaragaman jenis adalah suatu karakteristik tingkatan komunitas berdasarkan
kelimpahan spesies yang dapat digunakan untuk menyatakan struktur komunitas. Suatu
komunitas dikatakan mempunyai keanekaragaman jenis tinggi jika komunitas itu disusun
oleh banyak spesies (jenis) dengan kelimpahan spesies yang sama atau hampir sama.
Sebaliknya jika komunitas itu disusun oleh sangat sedikit spesies, dan jika hanya sedikit
saja spesies yang dominan, maka keanekaragaman jenisnya rendah. Keanekaragaman jenis
yang tinggi menunjukkan bahwa suatu komunitas memiliki kompleksitas tinggi, karena
dalam komunitas itu terjadi interaksi spesies yang tinggi pula. Jadi dalam suatu komunitas
yang mempunyai keanekaragaman jenis yang tinggi akan terjadi interaksi spesies yang
melibatkan transfer energy (jaring makanan), predasi, kompetisi, dan pembagian relung
yang secara teoritis lebih kompleks (Soegianto, 1994).
Menurut Odum (1996), pada prinsipnya nilai indeks makin tinggi, berrarti
komunitas di ekosistem itu semakin beragam dan tidak didominasi oleh satu atau lebih dari
takson yang ada. Indeks keanekaragaman dapat dihitung dengan menggunakan rumus
sebagai berikut:

Keterangan rumus:
H‟ : Indeks keanekaragaman Shannon
Pi : Proporsi spesies ke I di dalam sampel total
ni : Jumlah individu dari seluruh jenis
N : Jumlah total individu dari seluruh jenis
Besarnya nilai 𝐻′ didefinisikan sebagai berikut:
𝐻′< 1 : Keanekaragaman rendah
𝐻′ 1 - 3 : Keanekaragaman sedang
𝐻′> 3 : Keanekaragaman tinggi

2.8. Indeks dominansi (C)


Komunitas alami dikendalikan oleh kondisi fisik atau abiotik yaitu kelembaban,
temperatur, dan oleh beberapa mekanisme biologi. Komunitas yang terkendali secara
biologi sering dipengaruhi oleh satu spesies tunggal atau satu kelompok spesies yang
mendominasi lingkungan dan organisme ini biasanya disebut dominan. Dominansi
komunitas yang tinggi menunjukkan keanekaragaman yang rendah. Nilai indeks dominansi
mendekati satu (1) apabila komunitas didominasi oleh jenis atau spesies tertentu dan jika
indeks dominansi mendekati nol (0) maka tidak ada jenis atau spesies yang mendominasi.
(Odum, 1996). Dominansi dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Keterangan Rumus:
C : Dominansi
ni : Jumlah total individu dari suatu jenis.
N : total individu dari seluruh jenis.
Menurut Price (1997), menyatakan bahwa didalam kondisi yang beragam, suatu
spesies tidak dapat menjadi lebih dominan daripada yang lain. Sedangkan didalam
komunitas yang kurang beragam, maka satu atau dua sepsis dapat mencapai kepadatan
yang lebih besar dibandingkan yang lain.

2.1. Kabupaten Malang


Kabupaten Malang adalah sebuah kawasan yang terletak pada bagian tengah
selatan wilayah Propinsi Jawa Timur. Berbatasan dengan 6 (enam) kabupaten dan
Samudera Hindia. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten
Probolinggo. Sebelah Timur, berbatasan dengan Kabupaten Lumajang. Sebelah Selatan
berbatasan dengan Samudera Indonesia. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten
Kediri dan Kabupaten Mojokerto. Letak geografis tersebut menyebabkan Kabupaten
Malang memiliki posisi yang cukup strategis. Hal ini ditandai dengan semakin ramainya
jalur transportasi utara maupun selatan yang melalui Kabupaten Malang dari waktu ke
waktu. Posisi koordinat Kabupaten Malang terletak antara 112’17’,10,90” Bujur Timur dan
112’57’,00,00” Bujur Timur dan antara 7’44’,55,11” Lintang Selatan dan 8’26’ ,35,45”
Lintang Selatan
(Badan Perencanaan Pembangunan Kabupaten Malang, 2014).
Kabupaten Malang terletak pada ketinggian 450 meter diatas permukaan laut,
wilayah Kabupaten Malang juga dikelilingi oleh beberapa gunung, yaitu antara lain
Gunung Semeru dan Gunung Bromo di sebelah timur, Gunung Arjuna, Gunung Welirang,
dan Gunung Anjasmara di sebelah utara, Gunung Kelud, Gunung Kawi, dan Gunung
Panderman di sebelah barat. Sedangkan di sebelah selatan terbentang samudra Indonesia.
Dengan luas wilayah sekitar 3.238,26 Km2,31 Kabupaten Malang terletak pada urutan luas
terbesar kedua setelah Kabupaten Banyuwangi dari 38 kabupaten/kota di wilayah Propinsi
Jawa Timur. Kondisi topografI Kabupaten Malang merupakan daerah dataran tinggi yang
dikelilingi oleh beberapa gunung dan dataran rendah atau daerah lembab pada ketinggian
250-500 meter diatas permukaan laut (dpl) yang terletak di bagian tengah wilayah
Kabupaten Malang (Badan Perencanaan Pembangunan Kabupaten Malang, 2014).

Gambar 5 Peta wilayah Kabupaten Malang


Daerah dataran tinggi merupakan daerah perbukitan kapur (Pegunungan Kendeng)
di bagian selatan pada ketinggian 350-650 meter dpl, daerah lereng Tengger-Semeru di
bagian timur membujur dari utara ke selatan pada ketinggian 500-3600 meter dpl dan
daerah lereng Kawi-Arjuno di bagian barat pada ketinggian 500-3.300 meter dpl. Struktur
penggunaan lahan meliputi: permukiman/kawasan terbangun 22,89%; industri 0.21%;
sawah 13,10%; pertanian lahan kering 23,70%; perkebunan 6,21%; hutan 28,75%;
rawa/waduk 0,20%; tambak/kolam 0,03%; padang rumput 0,30%; tanah tandus/tanah rusak
1,55%; tambang galian C 0,26%; lain-lain 2,82%. Secara administratif pemerintahan,
wilayah Kabupaten Malang terdiri dari 33 kecamatan, 12 kelurahan, 378 desa, 3.155
Rukun Warga (RW) dan 14.686 Rukun Tetangga (RT) (Sucipto, 2011).

2.9. Kerangka Konseptual


Laba-laba merupakan bagian dari Arthropoda dengan keanekaragaman dan
kelimpahan yang tinggi. Laba-laba memiliki relung yang sangat luas dan dimorfisme
dalam satu spesies. Selain itu laba-laba memiliki bentuk dan pola warna yang berbeda dari
segi morfologi. Keanekaragaman fauna laba-laba di berbagai tipe lingkungan yang berbeda
menunjukkan bahwa laba-laba memiliki kecenderungan sebagai indikator yang sensitif
dari penggunaan lahan. Struktur komunitas laba-laba pada habitat, erat kaitannya dengan
faktor lingkungan dan juga pada agroekosistem. Selain itu, laba-laba merupakan predator
yang memiliki peran mengendalikan populasi serangga dan invertebrata lainnya serta
regulasi di dalammnya. Oleh karena itu, laba-laba memiliki peran di dalam stabilisasi
ekosistem. Perbedaan tata guna lahan akan membentuk struktur vegetasi dan fungsi
ekologi berbeda yang dapat memengaruhi struktur komunitas laba-laba. Keanekaragaman
laba-laba sering digunakan sebagai indikator kestabilan ekosistem karena berperan sebagai
predator artropoda dan keberadaannya yang terkait struktur dan komposisi vegetasi dan
kerusakan area.

Kabupaten malang memiliki 33 kecamatan, 378 desa yang masing-masing desa


memiliki ketinggian yang berbeda. Dalam penelitian ini ditentukan 3 kecamatan yang
mewakili daerah malang yaitu kecamatan Bantur (303-357) mdpl, kecamatan Lawang
(454-603) mdpl, dan kecamatan Poncokususmo (729-2365 mdpl). Menurut Hamzah
(2010), ketinggian suatu wilayah menyebabkan terjadinya perbedaan ekosistem, wilayah
yang lebih tinggi cenderung memiliki keanekaragaman flora dan fauna yang relatif rendah
dibandingkan dengan wilayah yang memiliki ketinggian rendah, kondisi ini menyebabkan
keberadaan laba-laba juga berbeda-beda berdasarkan ketinggian suatu wilayah. Inilah yang
menjadi alasan penulis melakukan penelitian ini.

Penelitian tentang keanekaragaman dan kelimpahan laba-laba berdasarkan


perbedaan ketinggian di kabupaten malang dilakukan dengan cara mengidentifkasi laba-
laba apa saja yang terdapat dilokasi yang telah ditentukan, dan menganalisis
keanekaragaman, serta kelimpahan yang terdapat pada masing-masing lokasi penelitian.
Analisis ekosistem dilakukan dengan cara membandingkan jenis dan jumlah laba-laba
terhadap faktor lingkungan pada setiap lokasi penelitian, yang meliputi suhu, kelembaban
udara, intensitas cahaya dan kecepatan angin. Hasil analisis tersebut nantinya akan
menggambarkan suatu pola ekosistem yang nantinya akan menjadi indikator perubahan
lingkungan.
Laba-Laba Perubahan Kerusakan Alam
Lingkungan

Keanekaragaman Kelimpahan

Ketersediaaan Kemampuan
Faktor
sumber pakan hidup
lingkungan
(abiotik)
Suhu,
Intensitas cahaya,
Kelembapan, Perbedaan Ketinggian
Kecepatan angin

Lokasi Penelitian Vegetasi


tumbuhan

Morfologi laba-
laba Keberadaan
laba-laba
Faktor biotik dan Korelasi
abiotik Faktor
abiotik
dengan
laba-laba

Nilai Profil Habitat Laba-


Keanekaragaman laba
dan Kelimpahan

Gambar 6. Kerangka konsep penelitian. Keterangan: garis putus-putus merupakan fokus


penelitian.
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Poncokusumo, Lawang, Bantur,
Kabupaten Malang. Pengambilan sampel pertama dilakukan pada tanggal 04–10 Januari
2020 di Kecamatan Poncokusumo, pengambilan sampel kedua dilakukan pada tanggal 11-
17 Januari 2020 di Kecamatan Lawang, pengambilan sampel ke empat dilakukan pada
tanggal 18-24 Januari 2020 di Kecamatan Bantur. Proses identifikasi spesimen-spesimen
laba-laba dilaksanakan di Laboratorium Diversitas hewan, Jurusan Biologi, Fakultas
MIPA, Universitas Brawijaya.

3.2. Kerangka Operasional


Penelitian ini dilakukan pada 3 kecamatan di Kabupaten Malang, yang masing-
masing wilayah memiliki ketinggian berbeda-beda. Kecamatan Poncokusumo memiliki
ketinggian berkisar antara (729-2365 mdpl), Kecamatan Lawang memiliki ketinggian
wilayah (454-603 mdpl), dan Kecamatan Bantur memiliki ketinggian wilayah (303-357
mdpl).
Masing-masing wilayah terdapat II stasiun pengamatan, yang terbagi atas Stasiun I:
adalah lahan Ekosistem Ternaungi dan Stasiun II adalah Ekosistem Terbuka. Total stasiun
penelitian pada pengamatan laba-laba adalah 6 Stasiun. Pada stasiun I terdapat 3 transek
dan pada stasiun II terdapat 2 transek yang tersusun secara acak, sesuai dengan lokasi
vegetasi yang akan diamati.. Pengamatan laba-laba dilakukan dengan metode Visual
Encounter Survey, yaitu melakukan pengamatan secara langsung pada 1 garis transek
dengan memanfaatkan binokuler dan kamera sebagai alat dokumentasi. Pengamatan laba-
laba dilakukan pada jam 09.00-14.00 WIB.
Sedangkan Total stasiun penelitian pada analisis vegetasi adalah 6 Stasiun,. Pada
Stasiun I: ekosistem ternaungi, dibuat 4 plot persegi, 20x20m, 10x10m, 5x5m dan 2x2m.
sedangkan pada stasiun II : ekositem tertutup dibuat hanya 1 plot persegi 2x2m.
Faktor abiotik yang diamati adalah meliputi suhu, kelembaban udara, kecepatan
angin, intensitas cahaya, sedangakan faktor biotik yang diamati dalam penelitian ini berupa
vegetasi tumbuhan pada setiap stasiun.
Identifikasi morfologi laba-laba dilakukan dengan cara mengamati warna tubuh,
jumlah mata, susunan mata, bentuk karapas, ukuran prosoma dan ukuran ophistosoma, lalu

20
mengidentifikasinya dengan menggunakan buku identifikasi Barrion dan Litsinger (1995),
Levi (1990), dan Hawkeswood (2003) dan BugGuide.net. Sedangkan identifikasi
morfologi tumbuhan dilakukan dengan mengamati bentuk daun, batang, bunga dan buah.
Lalu mengidentifikasinya dengan menggunakan buku identifikasi flora (Steniss,2006),
flora of java (Backer dkk, 1963), plant list.org (2019) .
Data di Analisis dengan menggunakan analisis Indeks Shannon Wiener (H’),
Kelimpahan, Indeks Evenness (keseragaman), Indeks Nilai Penting, Indeks Dominansi,
dan Principal Component Analysis (PCA).

3.3. Alat dan Bahan


Alat dan bahan yang digunakan antara lain: kamera, GPS, tabel pengamatan,
meteran, tali rafia, mikroskop binokuler, thermohigrometer, lux meter, cawan petri,
anemometer, alat tulis menulis.

3.4. Prosedur Penelitian


3.4.1. Observasi
Langkah pertama adalah observasi tempat penelitian. Hal tersebut bertujuan untuk
mengetahui dan menganalisis kondisi lokasi penelitian. Selain itu, peneliti ingin
menentukan metode pengambilan sampel dan beberapa stasiun pengamatan yang akan
dilakukan di Kabupaten Malang Jawa Timur.
3.4.2. Penentuan Lokasi Penelitian
Lokasi pengambilan sampel dibagi menjadi 3 wilayah berdasarkan perbedaan
ketinggian, yaitu (Gambar 3.2):
a. Lokasi I kecamatan Bantur dengan ketinggian 303-357 MDPL
b. Lokasi II kecamatan Lawang dengan ketinggian 453-603 MDPL
c. Lokasi III kecamatan Poncokusumo dengan ketinggian 729-2365 MDPL.
3 LOKASI
Pengambilan sampel laba-
laba dan Analisis Vegetasi Bantur
(303-357) mdpl
Lawang
Visual and Counter (454-603) mdpl
Metode Kuadrat 3 Lokasi penelitian
2 Stasiun / Lokasi Poncokusumo
5 Plot / Stasiun (729-2365 mdpl)

Pengambilan gambar
spesimen
Pengukuran Faktor abiotik
(suhu, intensitas cahaya,
Identifikasi Spesies kecepatan angin kelembapan
Penelitian laba-laba: warna
udara)
tubuh, jumlah mata, susunan
mata, bentuk karapas, ukuran Pengukuran Faktor Biotik
prosoma dan ukuran
(Vegetasi Tumbuhan)
ophistosoma.
Penelitian analisis vegetasi:
daun, batang, bunga, buah
Analisis: Indeks Shannon
ANALISIS DATA Wiener (H’), Kelimpahan,
Indeks Evenness, Indeks Nilai
Penting, Indeks Dominansi,
Korelasi Faktor Abiotik Indek Kesamaan dan Principal
dengan laba-laba Component Analysis (PCA)

Untuk mengetahui profil habitat laba-laba dan penunjang


perumusan terkait kebijakan perlindungan ekosistem dan pelestarian
sumber daya hayati khususnya jenis-jenis laba-laba di kabupaten
Malang.

Gambar 7. Kerangka Operasional penelitian. Keterangan: garis putus-putus merupakan


fokus penelitian.
Gambar 8. Lokasi Pengambilan Sampel laba-laba

3.4.3. Teknik pengambilan sampel laba-laba


Metode pengambilan sampel dilakukan dengan Visual Encounter Survey yaitu
dengan cara melakukan pengamatan laba-laba secara langsung pada setiap transek yang
telah ditentukan dengan bantuan binokuler dan kamera sebagai alat dokumentasi. Panjang
garis transek pada Stasiun I: ekosistem ternaungi adalah 100m, dan panjang garis transek
untuk Stasiun II: Ekosistem terbuka adalah 10m dengan lebar transek 5m. Menurut
Ramazas (2012), Panjang transek yang digunakan pada pengamatan Visual Encounter
Survey Untuk vegetasi hutan adalah 50 m-100 m, sedangkan untuk vegetasi semak belukar,
garis yang digunakan cukup 5 m-10 m. Apabila metode ini digunakan pada vegetasi yang
lebih sederhana, maka garis yang digunakan cukup 1 m.
Laba-laba yang telah terdokumentasi langsung dilakukan identifikasi sementara dan
ditulis pada tabel pengamatan yang sebelumnya telah disediakan, tabel pengamatan
berisikan tentang data-data untuk menunjang identifikasi lanjutan, meliputi: nama spesies,
jumlah individu, dan morfologi. Identifikasi Lanjutan dilakukan di Laboratorium.

3.4.4. Identifikasi Laba-laba


Identifikasi spesimen laba-laba sampai tingkat genus dilakukan dengan
membandingkan ciri-ciri morfologi spesimen dengan menggunakan buku identifikasi
Barrion dan Litsinger (1995), Levi (1990), dan Hawkeswood (2003) dan BugGuide.net.
Identifikasi laba-laba dimulai dari menentukan famili laba-laba yang diidentifikasi
kemudian dilanjutkan ke tingkat genus laba-laba. Proses identifikasi dilakukan dengan
melihat karakteristik morfologi seperti warna tubuh, jumlah mata, susunan mata, bentuk
karapas, ukuran prosoma dan ukuran ophistosoma.

3.4.5. Pengukuran Faktor abiotik


Parameter dari pengukuran faktor abiotik adalah suhu udara, kelembaban udara,
kecepatan angin, dan intensitas cahaya yang dilakukan pada tiap lokasi pengamatan.

3.4.6. Analisis Vegetasi Tumbuhan


Analisis vegetasi dapat digunakan untuk mengetahui komposisi vegetasi. Pada

penelitian ini digunakan metode kuadrat yaitu metode pengamatan vegetasi dengan cara

membuat plot. Pada Stasiun I: Ekosistem Ternaungi, dilakukan dengan cara membuat

plot persegi berukuran 20x20m, 10x10m, 5x5m dan 2x2m. Sedangkan pada Stasiun II:

Ekosistem terbuka, dilakukan dengan cara membuat plot dengan ukuran 2x2m.

Gambar 9. Desain Plot Analisis Vegetasi


Keterangan:
A : Plot berukuran 20m x 20m digunakan untuk pengukuran tingkat pohon
dengan diameter > 20cm.
B : Plot berukuran 10m x 10m digunakan untuk pengukuran tingkat tiang dengan
diameternya 10-20cm.
C : Plot berukuran 5m x 5m digunakan untuk pengukuran tingkat pancang
dengan diameternya < 10 cm dan tinggi tanmannya > 1,5m.
D : Plot berukuran 2m x 2m digunakan untuk pengukuran tingkat semai dengan
tinggi tumbuhan < 1,5m.

3.5. Analisis Data


Hasil data akan dilakukan identifikasi dan analisis menggunakan Indeks
Keanekaragaman Jenis, Indeks Dominansi, Indeks Nilai Penting (INP), Indeks
Kemerataan, dan Principal Component Analysis untuk mengetahui korelasi antara laba-
laba dengan faktor abiotik dan vegetasi habitat. Analisis data dihitung dengan rumus
sebagai berikut:

a) Indeks Keanekaragaman
Indeks keanekaragaman Shannon wienner dihitung dengan menggunakan rumus sebagai
berikut :

Indeks Keragaman ( H’ =

Keterangan:
H’ = Indeks keragaman Shannon (Shannon Index Diversity)
ni = Jumlah individu suatu jenis
N = Total jumlah individu seluruh jenis
Pi = Proposal individu jenis ke-i terhadap semua jenis.

b) Indeks Dominanasi Laba- laba


Indeks dominansi dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Suheriyanto,
2008) :
C =∑(ni/N)2
Keterangan :
ni = Nilai kepentingan setiap spesies
N = Total Nilai kepentingan

c) Indeks Nilai Penting (INP)


Untuk mengetahui persentase jenis serangga terhadap komunitasnya, dihitung indeks nilai
pentingnya dengan menggunakan rumus yang tercantum dalam Soegianto (1994), sebagai
berikut:
1. Frekuensi (F)
Ji
F=
K
Fi : Frekuensi relatif untuk spesies ke i
Ji : Jumlah plot yang terdapat spesies ke i
K : Jumlah total plot yang dibuat

2. Frekuensi relatif (Fr) dengan rumus:

Fi
Fr= x 100 %
∑F
Fr : Frekuensi relatif spesies ke i
Fi : Frekuensi untuk spesies ke i
∑F : Jumlah total frekuensi untuk semua spesies

3. Kelimpahan (K) dengan rumus:

K= ¿
A
K : Kelimpahan spesies untuk spesies ke i
ni : Jumlah total individu spesies ke i
A : Luas total daerah yang disampling

4. Kelimpahan relatif (Kr) dengan rumus:


Ki
Kr= X 100 %
∑K
Kr : Kelimpahan relatif spesies ke i
Ki : Kelimpahan untuk spesies ke i
∑K : Jumlah kelimpahan semua spesies

5. Dominansi (D)
Luas Basal Area
D=
Luas Seluruh Petak Contoh
6. Dominansi Relatif (DR)

Total Dominansi Spesies Ke−i


DR= x 100 %
Luas Seluruh Petak Contoh
7. Indeks Nilai Penting Laba-laba
INP = Fr + Kr
Fr : Frekuensi relatif
Kr : Kelimpahan relatif
8. Indeks Nilai Penting Analisis Vegetasi
INP = Fr + Kr+Dr
Fr : Frekuensi relatif
Kr : Kelimpahan relatif
Dr : Dominansi Relatif
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Komposisi dan struktur komunitas laba-laba berdasarkan perbedaan ketinggian


di Kabupaten Malang
4.1.1. Komposisi laba-laba berdasarkan perbedaan ketinggian di Kabupaten Malang
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada 3 lokasi dengan ketinggian
yang berbeda, Poncokusumo memiliki ketinggian (1482 mdpl), Lawang memiliki
ketinggian (446 mdpl) dan Bantur memiliki ketinggian (321 mdpl), didapatkan 5 genus
pada ekosistem terbuka (Tabel 1), dengan proporsi total di Poncokusumo ditemukan 62
individu, pada lokasi Lawang ditemukan 11 individu, dan dilokasi Bantur ditemukan 29
Individu. Diantara ketiga lokasi yang paling banyak ditemukan laba-laba adalah pada
lokasi Poncokusumo yaitu sebanyak 62 individu. Pada lokasi Poncokusumo genus yang
paling banyak didapatkan adalah Leucauge sebanyak 31 individu. Menurut Nurlela (2017)
genus leucauge Genus Leucauge memiliki warna perak hitam pada jantan dan kuning pada
betina. Leucauge membuat identifikasi genus relatif mudah, mereka memiliki dua baris
rambut panjang melengkung ramping di tulang paha kaki keempat. Dalam kebanyakan
kasus, jaring tersebut lebih miring daripada vertikal dan laba-laba berada di tengah jaring
dengan bagian bawahnya menghadap ke atas. Sedangkan pada lokasi Lawang genus yang
paling banyak adalah Nephila yaitu sebanyak 4 individu, sedangkan pada lokasi Bantur
genus yang paling banyak didapkan adalah Argiope yaitu sebanyak 16 individu.

Tabel 1. Komposisi jenis Laba-laba pada ekosistem ternaungi


No Genus PK LW BT
1 Argiope 15 3 16
2 Colonous 0 2 10
3 Leucauge 31 0 1
4 Nephila 0 4 2
5 Tetragnatha 16 2 0
Jumlah Total 62 11 29
 Total Abundance 20.7 9.33 10
 Taxa Richness 3 5 4
Ket: PK= Poncokusumo, LW= Lawang, BT= Bantur
Hasil identifikasi laba-laba di ekosistem terbuka pada ke 3 lokasi didaptkan 6
Genus laba-laba, diantaranya adalah, lokasi poncokusumo didapatkan 18 Individu, lokasi
Lawang didapatkan 7 individu, dan lokasi Bantur didaptkan 6 Individu (Tabel 2). Diantara
ketiga lokasi yang paling banyak ditemukan laba-laba adalah pada lokasi Poncokusumo
dengan total laba-laba sebanyak 18 individu. Pada lokasi Poncokusumo genus yang paling
banyak ditemukan adalah Tetragnatha yaitu sebanyak 12 Individu, Genus Tetragnatha
menurut Prastowo (2013) merupakan laba-laba penjaring yang memiliki kaki depan sangat
Panjang, dan memiliki kemampuan bersembunyi yang luar biasa, seperti bersembunyi
dibalik daun, ranting bahkan di tempat yang hamper tidak terlihat oleh musuh alami seperti
semak, dsb. Itulah yang menyebabkan mengapa genus tersebut dapat bertahan hidup dan
berkembang pada lingkungan ekosistem terbuka ytang didominasi oleh tumbuhan tingkat
semai. Sedangkan pada lokasi Lawang genus yang paling banyak didapatkan adalah
Leucauge sebanyak 5 Individu, dan pada lokasi Bantur genus yang paling banyak
didaptkan adalah Leucauge sebanyak 3 Individu.

Tabel 2. Komposisi jenis Laba-laba pada ekosistem terbuka


No Genus PK LW BT
1 Argiope 2 1 1
2 Colonous 0 0 0
3 Leucauge 4 5 3
4 Nephila 0 0 0
5 Tetragnatha 12 0 2
6 Trichonephila 0 1 0
 Jumlah Total 18 7 6
 Total Abundance 12 5.5 7.5
 Taxa Richness 3 4 3
Ket: PK= Poncokusumo, LW= Lawang, BT= Bantur

4.1.2. Kelimpahan Total dan Kekayaan Taksa

Menururt Ratnasari (2015), Kelimpahan merupakan banyaknya individu untuk


setiap jenis, kelimpahan juga diartikan banyaknya individu dari suatu spesies yang
menempati area atau wilayah tertentu. Kelimpahan suatu spesies dalam area tertentu juga
dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan tersebut, sebab itulah kelimpahan suatu spesies
berbeda beda antara satu lokasi dengan lokasi lainnya. Hasil penelitian menunjuka adanya
perbedaan diantara 3 lokasi penelitian.
Berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan diketahui kelimpahan pada
ekositem ternaungi di lokasi Poncokusumo adalah (20,7 Individu/m²), lokasi Lawang
memiliki kelimpahan total (9,33 Individu/m²), lokasi Bantur memiliki kelimpahan total (10
individu/m²) (Tabel 11). Kelimpahan tertinggi untuk ekosistem ternaungi terdapat pada
lokasi Poncokusumo , sedangkan untuk lokasi Lawang kelimpahannya relatif lebih rendah
(Gambar 1). Hal ini disebabkan karena pada lokasi Lawang keberadaan tumbuhan tingkat
pohon relatif jarang dibandingkan dengan lokasi Bantur, dan Poncokusumo. Lokasi
Poncokusumo memiliki ketinggian 1482mdpl membuat pohon-pohon besar seperti
Eucalyptus sp sangat mudah untuk tumbuh dan berkembang tinggi yang akan menjadi
rumah untuk membuat sarang bagi laba-laba dan meminimalisir adanya predator karena
letak sarang yang relative tinggi. Sedangkan pada Lokasi Bantur, dengan ketinggian
321mdpl, merupakan habitat bagi tumbuhan Tabernaemontana macrocarpa. Menurut Atie
(2016) Tabernaemontana macrocarpa adalah tumbuhan yang berbunga sepanjang tahun,
dengan jumlah buah dan jumlah biji didalam buah mencapai puluhan biji. Habitat alaminya
adalah ekosistem karst. Dengan kondisi seperti ini, Tabernaemontana macrocarpa
merupakan spesies yang mudah tumbuh pada lingkungan dengan berbagai gangguan.
Tabernaemontana macrocarpa merupakan tumbuhan yang paling sering digunakan laba-
laba untuk membuat sarang pada lokasi Bantur, karena struktur rantingnya yang saling
mendukung dan tidak terlalu jauh jaraknya membuat laba-laba mudah untuk membuat
sarang. Hasil analisis data Kekayaan taksa pada ekosistem ternaungi adalah Lawang
memiliki kekayaan taksa paling tinggi (5), selanjutnya adalah Bantur (4) dan poncokusumo
(3) (gambar 10).

0
Poncokusumo Lawang Bantur

Gambar 10. Nilai Kekayaan taksa ekosistem ternaungi


25

20

15

10

0
Poncokusumo Lawang Bantur
Gambar 11. Kelimpahan total ekosistem ternaungi
Berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan diketahui kelimpahan pada ekositem
terbuka di lokasi Poncokusumo adalah (12 Individu/m²), lokasi Lawang memiliki
kelimpahan total (5,5 Individu/m²), lokasi Bantur memiliki kelimpahan total (7,5
individu/m²) (Tabel 12).
Kelimpahan tertinggi pada ekosistem terbuka adalah pada lokasi Poncokusumo (12
Individu/m²), sedangkan yang paling rendah adalah pada lokasi Lawang (5,5 Individu/m²)
(Gambar 13). Hal ini disebabkan karena lokasi Poncokusumo dengan ketinggian 1482mdpl
kondisi tumbuhan bawahnya sangat rapat sehingga banyak ditemukan laba-laba yang
berhabitat di tumbuhan bawah, khususnya bagi genus Tetragnatha yang banyak ditemukan
bersembunyi dibalik tumbuhan bawah. Menurut Prastowo (2013), Genus Tetragnatha
merupakan laba-laba penjaring yang memiliki kaki depan sangat Panjang, dan memiliki
kemampuan bersembunyi yang luar biasa, seperti bersembunyi dibalik daun, ranting
bahkan di tempat yang hampir tidak terlihat oleh musuh alami seperti semak, dsb. Itulah
yang menyebabkan mengapa genus tersebut dapat bertahan hidup dan berkembang pada
lingkungan ekosistem terbuka yang didominasi oleh tumbuhan tingkat semai. Hasil analisis
data Kekayaan taksa pada ekosistem ternaungi adalah Lawang memiliki kekayaan taksa
paling tinggi (4), selanjutnya adalah Bantur (3) dan poncokusumo (3) (gambar 12).

4.5
4
3.5
3
2.5
2
1.5
1
0.5
0
Poncokusumo Lawang Bantur
Gambar 12. Nilai Kekayaan taksa ekositem terbuka
14
12
10
8
6
4
2
0
Poncokusumo Lawang Bantur
` Gambar 13. Kelimpahan total ekosistem terbuka

4.1.3. Indeks Keanekaragaman Shannon Wienner (H’)


Berdasarkan hasil analisis data pada ekosistem ternaungi didapatkan hasil Indeks
Keanekaragaman tertinggi adalah pada lokasi Lawang (2,3), lalu Bantur (1,6) dan
Poncokusumo (1,5) (Gambar 3). Sedangkan pada ekosistem terbuka indeks
keanekaragaman tertinggi adalah pada lokasi Bantur (1,34) lalu Poncokusumo (1,31) dan
Lawang (1,28) (Gambar 4). Keanekaragaman laba-laba pada 3 lokasi juga termasuk dalam
kategori sedang, berkisar antara 1-3. Menurut Leksono (2007) jika H' < 1 :
Keanekaragaman rendah H ' 1 - 3 : Keanekaragaman sedang H ' > 3 : Keanekaragaman
tinggi. Keanekaragaman tertinggi terdapat pada lokasi Lawang, hal ini karena laba-laba
yang terdapat dilokasi tersebut sangat beranekaragam. Lokasi Lawang juga memiliki
indeks kekayaan spesies yang tinggi dibandingkan dengan lokasi Poncokusumo dan
Bantur. Menurut Campbell & Reece (2008 ) Keanekaragaman berisi individu dan
kumpulan individu merupakan populasi yang menempati suatu tempat tertentu. Ada dua
komponen dalam keanekaragaman spesies yaitu kekayaan spesies (species richness) yang
merupakan jumlah spesies berbeda dalam komunitas, lalu komponen kedua adalah
kelimpahan relatif (relativeabundance), yaitu proporsi yang direpresentasikan oleh masing-
masing spesies dari seluruh individu dalam komunitas.

Gambar 14. Indeks Keanekaragaman pada ekosistem ternaungi

H
2.5

1.5

0.5

0
Poncokusumo Lawang Bantur
H
1.36

1.34

1.32

1.30

1.28

1.26

1.24
Poncokusumo Lawang Bantur
Gambar 15. Indeks Keanekaragaman pada ekosistem terbuka

4.1.4. Indeks Nilai Penting

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada ekositem ternaungi dilokasi
Poncokusumo yang memiliki INP tertinggi adalah genus Lucauge, sedangkan pada lokasi
Lawang yang memiliki INP tertinggi adalah genus Argiope dan pada lokasi Bantur yang
memiliki INP tertinggi adalah genus Argiope (Tabel 3). Sedangkan pada ekosistem terbuka
nilai INP tertinggi dilokasi Poncokusumo adalah genus Tetragnatha, sedangkan pada lokasi
Lawang yang memiliki INP tertinggi adalah genus Leucauge, dan pada lokasi Bantur yang
memiliki nilai INP tertingi adalah genus Leucauge (Tabel 4). Indeks Nilai Penting (lNP)
atau Impontant Value Index merupakan indeks kepentingan yang menggambarkan
pentingnya peranan suatu jenis vegetasi dalam ekosistemnya. Hasil analisis Kerapatan
jenis, Kerapatan relatif, Frekuensi jenis, Frekuensi relatif, Dominansi Jenis dan Dominansi
relative (Parmadi, 2016). sebagaimana menurut Indriyanto (2006) menambahkan,
keberhasilan jenis-jenis tumbuhan untuk tumbuh dan bertambah banyak tidak lepas dari
daya mempertahankan diri pada kondisi lingkungan dilokasi tersebut.
Tabel 3. Indeks Nilai Penting pada Ekosistem Ternaungi

No Nama Genus KR (%) FR (%) DR (%) INP (%)


1 Argiope 24.19 37.5 15.60 77.30
2 Tetragnatha 25.81 25 17.75 68.56
3 Leucauge 50 37.5 66.64 154.14
Poncokusumo
No Nama Genus KR (%) FR (%) DR (%) INP (%)
1 Argiope 25 27.27 30.25 82.52
2 Tetragnatha 17.86 18.18 15.43 51.47
3 Leucauge 21.43 18.18 22.22 61.83
4 Colonous 14.29 18.18 9.88 42.34
5 Nephila 21.43 18.18 22.22 61.83
Lawang
No Nama Genus KR (%) FR (%) DR (%) INP (%)
1 Argiope 51.61 33.33 69.38 154.32
2 Colonus 32.26 33.33 27.10 92.69
3 Leucauge 9.68 22.22 2.44 34.34
4 Nephila 6.45 11.11 1.08 18.65
Bantur

Tabel 4. Indeks Nilai Penting pada Ekosistem Terbuka


No Nama Genus KR (%) FR (%) DR (%) INP (%)
1 Argiope 8.33 20 1.57 29.91
2 Tetragnatha 54.17 40 66.54 160.70
3 Leucauge 37.5 40 31.89 109.39
Poncokusumo
No Nama Genus KR (%) FR (%) DR (%) INP (%)
1 Argiope 9.09 20 1.49 30.58
2 Tetragnatha 9.09 20 1.49 30.58
3 Leucauge 72.73 40 95.52 208.25
4 Trichonephila 9.09 20 1.49 30.58
Lawang
No Nama Genus KR (%) FR (%) DR (%) INP (%)
1 Argiope 26.67 40 15.84 82.51
2 Leucauge 60 40 80.20 180.20
3 Tetragnatha 13.33 20 3.96 37.29
Bantur
4.2. Analisis vegetasi tumbuhan berdasarkan perbedaan ketinggian di Kabupaten
Malang

Tabel 5. Analisis Vegetasi di Lokasi Poncokusumo

No Nama Ilmiah Habitus KR (%) FR (%) DR (%) INP (%)


1 Eucalyptus acmenoides 7.7 40 72.2 119.9
2 Pinus merkusii Pohon 66.7 20 12.8 99.5
3 Toona sureni 25.6 40 15 80.6
4 Hibiscus tileaceus 27.3 42.9 37.7 107.8
5 Solanum torvum Pancang 18.2 28.6 45.6 92.3
6 Leucaena glauca 54.5 28.6 16.7 99.9
7 Oplismenus undulatifolius 16.9 12.5 ˗ 29.4
8 Brachiaria decumbens s 16.9 8.3 ˗ 25.2
9 Chromolaena odorata 7.2 16.7 ˗ 23.8
10 Lantana camara 14.8 8.3 ˗ 23.1
11 Cyperus alopecuroides R 13.1 8.3 ˗ 21.4
Semai
12 Calypthocarpus vialis L 6.8 12.5 ˗ 19.3
13 Panicus repens L 9.3 8.3 ˗ 17.6
14 Ageratina riparia 8.9 8.3 ˗ 17.2
15 Pilea pumila 4.2 12.5 ˗ 16.7
16 Cyperus kylinga 2.1 4.2 ˗ 6.3

Hasil identifikasi tingkat pohon yang ditemukan di Kecamatan Poncokusumo


adalah Toona sureni, Pinus merkusii dan Eucalyptus acmenoides. Tumbuhan Toona
sureni memiliki INP 80,6, Pinus merkusii memiliki INP 99,5 dan Eucalyptus acmenoides
memiliki INP 119,9. (Tabel 3). Nilai INP tertinggi di Kecamatan Poncokusumo adalah
tumbuhan Eucalyptus acmenoides. Tanaman Eucalyptus sp. merupakan famili Myrtaceae,
terdiri atas lebih kurang 700 jenis. Jenis Eucalyptus sp. dapat berupa semak dan perdu
sampai mencapai ketinggian 100 meter (Agustian et al., 2009). Eucalyptus sp. Merupakan
salah satu tanaman yang bersifat fast growing (tanaman cepat tumbuh). Eucalyptus sp. juga
dikenal sebagai tanaman yang dapat bertahan hidup pada musim kering. Eucalyptus sp.
merupakan salah satu jenis tanaman yang dikembangkan dalam pembangunan hutan
tanaman industri (Poerwowidodo, 1991).
Hasil identifikasi tingkat pancang yang dilakukan di Poncokusumo adalah Solanum
torvum, Leucaena glauca, Hibiscus tileaceus. Tumbuhan Solanum torvum memiliki nilai
INP 92,3, Tumbuhan Leucaena glauca memiliki nilai INP 99,9, Tumbuhan Hibiscus
tileaceus memiliki INP 107,8 (Tabel 5). tumbuhan yang memiliki INP tertinggi adalah
Hibiscus tileaceus. Tanaman waru merupakan tumbuhan tropis berbatang sedang, terutama
tumbuh di pantai yang tidak berawa atau di dekat pesisir. Waru tumbuh liar di hutan dan di
ladang, kadang-kadang tanaman waru ditanam di pekarangan atau di tepi jalan sebagai
pohon pelindung, pohon waru merupakan tanaman yang mudah tumbuh diberbagai tempat
dan tidak memerlukan syarat khusus untuk tumbuh (Dalimartha, 2000).
Hasil identifikasi tingkat semai yang dilakukan di Poncokusumo adalah Ageratina
riparia, Brachiaria decumbens s, Calypthocarpus vialis L, Chromolaena odorata, Cyperus
alopecuroides R, Cyperus kylinga, Lantana camara, Oplismenus undulatifolius, Panicus
repens L, Pilea pumila. Tumbuhan Ageratina riparia memiliki nilai INP 17,2, Brachiaria
decumbens memiliki nilai INP 25,2, Calypthocarpus vialis L memiliki nilai INP 19,3,
Chromolaena odorata memiliki nilai INP 23,8, Cyperus alopecuroides R memiliki nilai
INP 21,4, Cyperus kylinga memiliki nilai INP 6,3, Lantana camara memiliki nilai INP
23,1, Oplismenus undulatifolius memiliki nilai INP 29,4, Panicus repens L memiliki nilai
INP 17,6, Pilea pumila memiliki nilai INP 16,7 (Tabel 3). Nilai INP tertinggi adalah
Oplismenus undulatifolius 0,29. Menurut Nurlaela (2017) Oplismenus undulatifolius ini
memiliki panjang 15–50 cm dengan bilah daun sedikit lanset , bulat telur, dan panjang 1–7
cm dan lebar 4–15 mm Perbungaannya memiliki panjang 2–8 sentimeter. Tumbuhan ini
tersebar diberbagai negara karena sifat invasifnya yang mampu tumbuh dimanapun dan
juga tidak memerlukan prasyarat khusus untuk tumbuh seperti dapat tumbuh di tanah
gersang, tanah subuh, tanah dengan kandungan asam-basa dan tanah berlumpur.
Tabel 6. Analisis Vegetasi di Lokasi Lawang
No Nama Ilmiah Habitus KR (%) FR (%) DR (%) INP (%)
1 Swietenia macrophylla   37.9 28.6 66.2 132.7
2 Albizia chinensis Pohon 48.3 42.9 18.3 109.4
3 Hibiscus tilinaceus   13.8 28.6 15.5 57.8
4 Leucaena glauca 80 66.7 11.1 157.7
Tiang
5 Hibiscus tileaceus 20 33.3 88.9 142.3
6 Leucaena glauca 85.7 75 48.6 209.3
Pancang
7 Morinda citrifolia 14.3 25 51.4 90.7
8 Marsilea crenata 22.1 8.3 ˗ 30.5
9 Brachiaria decumbens s 16.8 8.3 ˗ 25.1
10 scoparia dulcis L 13.7 8.3 ˗ 22.1
11 Oplismenus undulatifolius 9.5 8.3 ˗ 17.9
12 Panicus repens L 6.9 8.3 ˗ 15.2
13 Portulacca oleracea 6.5 8.3 ˗ 14.8
14 Ageratina riparia 5.3 8.3 ˗ 13.7
15 Mimmosa pudica Semai 3.4 8.3 ˗ 11.8
16 Colocasia esculenta 1.5 8.3 ˗ 9.9
17 Eclipta alba 3.4 4.2 ˗ 7.6
18 Euphorbia heterophylla 3.4 4.2 ˗ 7.6
19 Ageratum conyzoides 3.1 4.2 ˗ 7.2
20 acmella caulirhiza D 2.7 4.2 ˗ 6.8
21 Amaranthus spinosus 1.1 4.2 ˗ 5.3
22 Solanum torvum 0.4 4.2 ˗ 4.5

Hasil identifikasi tingkat pohon yang ditemukan di Kecamatan Lawang adalah


Albizia chinensis, Hibiscus tilinaceus, Swietenia macrophylla. Tumbuhan Albizia
chinensis memiliki INP 109,4, tumbuhan Hibiscus tilinaceus memiliki INP 57,8, tumbuhan
Swietenia macrophylla memiliki INP 132,7 (Tabel 6). Nilai INP tertinggi di Kecamatan
Lawang adalah Tumbuhan Swietenia macrophylla. Menurut Windawati, (2014) Tanaman
Swietenia macrophylla termasuk jenis tanaman yang tidak memiliki persyaratan tipe tanah
secara spesifik, mampu bertahan hidup pada berbagai jenis tanah subur maupun tanah
gersang, walaupun tidak hujan selama berbulan-bulan Swietenia macrophylla masih
mampu untuk bertahan hidup. Pertumbuhan Swietenia macrophylla akan tetap subur pada
kondisi tanah yang memiliki pH 6,5 sampai 7,5, dan Swietenia macrophylla juga tumbuh
dengan baik sampai ketinggian maksimum 1.200 mdpl (Mindawati 2014).
Hasil identifikasi tingkat tiang yang ditemukan di Kecamatan Lawang adalah
Hibiscus tileaceus dan Leucaena glauca. Tumbuhan Hibiscus tileaceus memiliki nilai INP
142,3 dan tumbuhan Leucaena glauca memiliki nilai INP 157,7 (Tabel 4). nilai INP
tertinggi didapatkan oleh tumbuhan Leucaena glauca memiliki nilai INP 157,7.
Hasil identifikasi tingkat pancang yang ditemukan di Kecamatan Lawang adalah
Leucaena glauca dan Morinda citrifolia. Tumbuhan Leucaena glauca memiliki INP 209,3
dan tumbuhan Morinda citrifolia memiliki nilai INP 90,7 (Tabel 4). Tumbuhan dengan
nilai INP tertinggi adalah Leucaena glauca 209,3.
Hasil identifikasi tingkat semai yang ditemukan di Kecamatan Lawang adalah
Acmella caulirhiza D, Ageratina riparia, Ageratum conyzoides, Amaranthus spinosus,
Brachiaria decumbens, Colocasia esculenta, Eclipta alba, Euphorbia heterophylla,
Marsilea crenata, Mimmosa pudica, Oplismenus undulatifolius, Panicus repens L,
Portulacca oleracea, Scoparia dulcis L, Solanum torvum. Tumbuhan Acmella caulirhiza D
Memiliki nilai INP 6,8, Ageratina riparia Memiliki nilai INP 13,7, Ageratum conyzoides
Memiliki nilai INP 7,2, Amaranthus spinosus Memiliki nilai INP 5,3, Brachiaria
decumbens Memiliki nilai INP 25,1, Colocasia esculenta Memiliki nilai INP 9,9, Eclipta
alba Memiliki nilai INP 7,6, Euphorbia heterophylla Memiliki nilai INP 7,6, Marsilea
crenata Memiliki nilai INP 30,5, Mimmosa pudica Memiliki nilai INP 11,8, Oplismenus
undulatifolius Memiliki nilai INP 17,9, Panicus repens L Memiliki nilai INP 15,2,
Portulacca oleracea Memiliki nilai INP 14,8, Scoparia dulcis L Memiliki nilai INP 22,1,
Solanum torvum Memiliki nilai INP 4,5 (Tabel 4). Nilai INP tertinggi adalah Marsilea
crenata Memiliki nilai INP 30,5. Menurut Zuhri (2003), tumbuhan Marsilea crenata
adalah tumbuhan yang hidup subur di lahan yang berair dan tidak dapat hidup pada lahan
yang kering dan gersang. Ini sesuai dengan lokasi penelitian yang memiliki kondisi tanah
berair.
Tabel 7. Analisis Vegetasi di Lokasi Bantur
Habitu
No Nama Ilmiah s KR (%) FR (%) DR (%) INP (%)
1 Ficus benjamina 23.5 33.3 70 126.8
2 Tabernaemontana macrocarpa 41.2 33.3 15.1 89.7
Pohon
3 Matudaea trinervia 29.4 22.2 13.3 64.9
4 Euonymus latifolius 5.9 11.1 1.6 18.6
5 Leea indica 66.7 42.9 27.4 136.9
6 Ficus benjamina Tiang 16.7 28.6 38.2 83.5
7 Euonymus latifolius 16.7 28.6 34.4 79.6
8 Juglans regia 40 33.3 55.7 129
9 Clerodendrum chinense Pancang 50 50 26.2 126.2
10 Leea indica 10 16.7 18.2 44.8
11 Oplismenus undulatifolius 13.5 11.5 ˗ 25
12 Cyperus rotundus 13.1 11.5 ˗ 24.6
13 Chromolaena odorata 7.5 11.5 ˗ 19
14 Ligustrum sinense 7.5 11.5 ˗ 19
15 euphorbia hirta 10.5 7.7 ˗ 18.2
16 Biophytum sensitivum 13.9 3.8 ˗ 17.7
Semai
17 oxallis barrelieri 7.5 7.7 ˗ 15.2
18 Ageratum conyzoides 7.1 7.7 ˗ 14.8
19 Salvia microphylla 7.1 7.7 ˗ 14.8
20 Richardia scabra 5.6 7.7 ˗ 13.3
21 Ruellia tuberosa L 4.1 7.7 ˗ 11.8
22 Centrosema pubescens 2.6 3.8 ˗ 6.5

Hasil identifikasi tingkat pohon yang ditemukan di Kecamatan Bantur adalah Ficus
benjamina, Tabernaemontana macrocarpa, Matudaea trinervia, Euonymus latifolius
Tumbuhan Ficus benjamina memiliki INP 126,8, tumbuhan Tabernaemontana
macrocarpa memiliki INP 89,7, tumbuhan Matudaea trinervia memiliki INP 64,9 dan
tumbuhan Euonymus latifolius memiliki INP 18,6 (Tabel 7). Nilai INP tertinggi di
Kecamatan Bantur adalah Tumbuhan Ficus benjamina.

Hasil identifikasi tingkat tiang yang ditemukan di Kecamatan Bantur adalah Leea
indica memiliki INP 136,9, Ficus benjamina memiliki INP 83,5, Euonymus latifolius
memiliki INP 79,6 (Tabel 5). tumbuhan yang memiliki nilai INP tertinggi adalah Leea
indica 136,9 . Secara morfologi, Leea indica atau tumbuhan girang merupakan tumbuhan
perdu dengan tinggi 5 m. Batang tegak, berkayu, bulat, bekas melekatnya daun tampak
jelas, dan berwarna hijau. Daun hijau, majemuk, berseling, lonjong, pertulangan menyirip,
panjang 8-16 cm, lebar 3-7 cm, dan bertangkai bulat. Bunga berwarna hijau, majemuk,
berkelamin dua, berbentuk payung, di ketiak daun, kelopak berbentuk bintang, mahkota
berbentuk torong, kepala sari berwarna putih. Buah buni, bulat, dan berwarna hitam. Biji
bulat dan berwarna putih. Akar tunggang dan berwarna coklat. Girang tumbuh di hutan
campuran dan hutan jati, kadang-kadang ditemukan di semak belukar. Jenis ini tersebar
dari dataran rendah sampai ketinggian tempat 1.700 mdpl (Zuhud, 2013).
Hasil identifikasi tingkat pancang yang ditemukan di Kecamatan Bantur adalah
Juglans regia Memiliki INP 129, Clerodendrum chinense Memiliki INP 126,2, Leea
indica Memiliki INP 44,8 (Tabel 5). Tumbuhan dengan nilai INP tertinggi adalah Juglans
regia 129.
Hasil identifikasi tingkat semai yang ditemukan di Kecamatan Bantur adalah
Oplismenus undulatifolius Memiliki INP 25, Cyperus rotundus Memiliki INP 24,6,
Chromolaena odorataMemiliki INP 19, Ligustrum sinense Memiliki INP 19, euphorbia
hirta Memiliki INP 18,2, Biophytum sensitivum Memiliki INP 17,7, oxallis barrelieri
Memiliki INP 15,2, Ageratum conyzoides Memiliki INP 14,8, Salvia microphylla
Memiliki INP 14,8, Richardia scabra Memiliki INP 13,3, Ruellia tuberosa L
Memiliki INP 11,8, Centrosema pubescens Memiliki INP 6,5. (Tabel 5). Nilai INP
tertinggi adalah tumbuhan Oplismenus undulatifolius (25).

4.3. Korelasi antara faktor abiotik dengan laba-laba


Berdasarkan hasil analisis PCA, terdapat 2 PC dengan nilai Eigen Value >1, PC 1
memiliki nilai Eigen value = 4,517, sedangkan PC2 memiliki nilai 2,31, dan nilai %
variance PC1 dan PC2 56,42 + 28,73= 85,15%, mencapai >75%. Faktor abiotic yang diuji
pada PCA adalah meliputi, suhu, kelembaban, intesitas cahaya, dan kecepatan angin,
ketinggian wilayah. Pada PC 1 nilai variable tertinggi yang menunjukan korelasi positif
adalah intensitas cahaya, lalu kelembaban, kemudian nilai variable tertinggi yang
menunjukan korelasi negatif adalah ketinggian wilayah. Sedangkan pada PC 2, nilai
variable tertinggi yang menunjukan korelasi positif adalah Kecepatan angin, lalu
kelembaban, dan kemudian nilai variable tertinggi yang menunjukan korelasi negatif
adalah Intensitas cahaya (Tabel 6).
Tabel 8. Analisis PCA

Faktor Abiotik PC 1 PC 2
Suhu 0.438 0.159
Kelembaban 0.455 0.483
Intensitas Cahaya 0.464 -0.542
Kecepatan Angin 0.317 0.543
Ketinggian wilyah -0.535 0.391
Eigenvalues 4,517 2,31
% variance 56,42 28,73

Berdasarkan hasil analisis PCA dapat diketahui bahwa distribusi profil habitat yang
berbeda adalah Poncokusumo, sementara lokasi Lawang dan Bantur menunjukkan
kemiripan. Karakter habitat ditunjukan dengan arah garis, lokasi poncokusumo dicirikan
oleh ketinggian wilayah yang termasuk dalam dataran tinggi dan keberadaan genus
Leucauge yang tinggi, serta kecepatan angin, kelembaban dan suhu yang rendah.
Sedangkan lokasi Lawang dicirikan dengan keberadaan genus Argiope dan Tetragnatha
yang tinggi, ketinggian wilayah termasuk dataran tinggi, dan memiliki intensitas cahaya
yang rendah. Lokasi bantur dicirikan dengan ketinggian wilayahnya yang rendah, dan
memiliki intensitas cahaya yang tinggi, serta keberadaan genus Colonous yang tinggi
(gambar 7).

Gambar 16. Principal Component Analysis


Indikator potensial, ditunjukkan oleh interaksi erat antara variable biotik dan
abiotik. Dalam hal ini, kelimpahan genus Tetragnatha dan Argiope menjadi bioindikator
intensitas cahaya yang rendah, sedangkan genus Trichonephila dan Colonous menjadi
bioindikator kecepatan angin, suhu, dan kelembaban tinggi. Sedangkan pada genus
Nephila dan Colonous menjadi menjadi bioindicator intensitas cahaya yang tinggi, serta
ketinggian suatu wilayah yang rendah. Menurut Rahayu (2012) menyatakan bahwa
ketinggian tempat erat kaitannya dengan suhu udara yang memegang peranan penting dan
sering menjadi faktor pembatas karena mempengaruhi kecepatan proses metabolisme dan
kehidupan serangga dalam berbagai segi antara lain aktivitas makan serangga, dan
perkembangannya. Hal ini juga didukung oleh hasil penelitian Hoiss et al. (2012) yang
menyatakan bahwa jumlah spesies serangga menurun dengan meningkatnya lintang atau
ketinggian tempat yang disebabkan oleh pengaruh lingkungan.
BAB V

PENUTUP
1.1. Kesimpulan
1. Hasil penelitian laba – laba berdasarkan perbedaan ketinggian di Kabupaten Malang:
- kelimpahan pada ekositem ternaungi di lokasi Poncokusumo adalah (20,7
Individu/m²), lokasi Lawang memiliki kelimpahan total (9,33 Individu/m²), lokasi
Bantur memiliki kelimpahan total (10 individu/m²)
- kelimpahan pada ekositem terbuka di lokasi Poncokusumo adalah (12 Individu/m²),
lokasi Lawang memiliki kelimpahan total (5,5 Individu/m²), lokasi Bantur memiliki
kelimpahan total (7,5 individu/m²)
- Pada ekosistem ternaungi didapatkan hasil Indeks Keanekaragaman tertinggi adalah
pada lokasi Lawang (2,3), lalu Bantur (1,6) dan Poncokusumo (1,5)
- Pada ekosistem terbuka indeks keanekaragaman tertinggi adalah pada lokasi Bantur
(1,34) lalu Poncokusumo (1,31) dan Lawang (1,28). Keanekaragaman laba-laba
pada 3 lokasi juga termasuk dalam kategori sedang, berkisar antara 1-3

2. Hasil analisis vegetasi tumbuhan berdasarkan perbedaan ketinggian:


- Identifikasi tingkat pohon yang ditemukan di Kecamatan Poncokusumo adalah
Toona sureni, Pinus merkusii dan Eucalyptus acmenoides.
- Hasil identifikasi tingkat pancang yang dilakukan di Poncokusumo adalah Solanum
torvum, Leucaena glauca, Hibiscus tileaceus
- Hasil identifikasi tingkat semai yang dilakukan di Poncokusumo adalah Ageratina
riparia, Brachiaria decumbens s, Calypthocarpus vialis L, Chromolaena odorata,
Cyperus alopecuroides R, Cyperus kylinga, Lantana camara, Oplismenus
undulatifolius, Panicus repens L, Pilea pumila
- Hasil identifikasi tingkat pohon yang ditemukan di Kecamatan Lawang adalah
Albizia chinensis, Hibiscus tilinaceus, Swietenia macrophylla
- Hasil identifikasi tingkat tiang yang ditemukan di Kecamatan Lawang adalah
Hibiscus tileaceus dan Leucaena glauca
- Hasil identifikasi tingkat pancang yang ditemukan di Kecamatan Lawang adalah
Leucaena glauca dan Morinda citrifolia
- Hasil identifikasi tingkat semai yang ditemukan di Kecamatan Lawang adalah
Acmella caulirhiza D, Ageratina riparia, Ageratum conyzoides, Amaranthus
spinosus, Brachiaria decumbens, Colocasia esculenta, Eclipta alba, Euphorbia
heterophylla, Marsilea crenata, Mimmosa pudica, Oplismenus undulatifolius,
Panicus repens L, Portulacca oleracea, Scoparia dulcis L, Solanum torvum
- Hasil identifikasi tingkat pohon yang ditemukan di Kecamatan Bantur adalah Ficus
benjamina, Tabernaemontana macrocarpa, Matudaea trinervia, Euonymus
latifolius
- Hasil identifikasi tingkat tiang yang ditemukan di Kecamatan Bantur adalah Leea
indica ,Ficus benjamina, Euonymus latifolius
- Hasil identifikasi tingkat pancang yang ditemukan di Kecamatan Bantur adalah
Juglans regia, Clerodendrum chinense, Leea indica.
- Hasil identifikasi tingkat semai yang ditemukan di Kecamatan Bantur adalah
Oplismenus undulatifolius, Cyperus rotundus, Chromolaena odorata, Ligustrum
sinense, Euphorbia hirta, Biophytum sensitivum, Oxallis barrelieri, Ageratum
conyzoides, Salvia microphylla, Richardia scabra, Ruellia tuberosa L, Centrosema
pubescens.
3. Korelasi antara faktor abiotik dengan laba-laba

- Berdasarkan hasil analisis PCA dapat diketahui bahwa distribusi profil habitat yang
berbeda adalah Poncokusumo, sementara lokasi Lawang dan Bantur menunjukkan
kemiripan. Karakter habitat ditunjukan dengan arah garis, lokasi poncokusumo
dicirikan oleh ketinggian wilayah yang termasuk dalam dataran tinggi dan
keberadaan genus Leucauge yang tinggi, serta kecepatan angin, kelembaban dan
suhu yang rendah. Sedangkan lokasi Lawang dicirikan dengan keberadaan genus
Argiope dan Tetragnatha yang tinggi, ketinggian wilayah termasuk dataran tinggi,
dan memiliki intensitas cahaya yang rendah. Lokasi bantur dicirikan dengan
ketinggian wilayahnya yang rendah, dan memiliki intensitas cahaya yang tinggi,
serta keberadaan genus Colonous yang tinggi.

1.2. Saran
- Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk identifikasi sampai tingkat Spesies pada

penelitian kelimpahan laba-laba di Kabupaten Malang

- Perlu dilakukan penelitian lanjutan secara berkala dengan perluasan lokasi

penelitian yang belum diteliti, perbedaan musim, dan perbedaan metode.

DAFTAR PUSTAKA

Artigas, S. M. R., Ballester, R. and Corronca, J. A. 2016. Factors that influence the beta-
diversity of spider communities in northwestern Argentinean Grasslands. PeerJ,
DOI10.7717. https://peerj.com/articles/1946.pdf

Badan Perencanaan Pembangunan Kabupaten Malang, 2014. Profil Potensi Kabupaten


Malang. Malang: CV.Cipta Karya.

Baenaedi, S, 1988, Laba-Laba pada habiat pertanaman adi di Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta, klasifikasidan perilaku pemangsa, Tesis, Universitas Gajah Mada,
Yogyakarta.

Blackledge, TA & Hayashi, CY, 2006, ‘Silken toolkits: biomechanics of silk fibers spun by
the orb webspider Argiopeargentata (Fabricius 1775)’, Experimental Zoology, vol.
209, hal. 2452–2461,diakses tanggal 12 Desember 2012
http://jeb.biologists.org/content/209/13/2452.full.pdf
Bonev, B., Grieve, S., Herberstein, M. E., Kishore, A. I., Watts, A., and Separovic, 2006,
Orientational order if australian spider silk and determinated by solid-state NMR,
Biopolymers, vol. 82, hal. 134-143, diakses tanggal 12 desember 2012
http://www.bioch.ox.ac.uk/oubsu/pdfs/BonevBiopoly.pdf

Borror, D.J. Triplehorn, C.A. dan Johnson, N.F. 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga
Edisi Keenam. Terjemah oleh Soetiyono Partosoedjono. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.

BugGuide. 2019. Identification, Images, & Information for Insect, Spider & Their KinFor
the United States & Canada. Canada. http://bugguide.net/.

Campbell, R., (2008). Biologi edisi kedelapan jilid 2. jakarta : Penerbit Erlangga

Dalimartha Setiawan. 2000. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. Bogor : Trobus Agriwidya.

Deltshev, C. 2011. A Survey of Spiders (Araneae) Inhabiting the Euedaphic Soil Stratum
and the Superficial Underground Compartment in Bulgaria. journal of
Arachnologische Mitteilungen 40: 33-46.

Foelix RF (1996) Biology of spider. Oxford University Press, Madison Avenue, New York.
10016.

Foelix, R. F. 1996, Biology of spider, second edition, Oxford University press, New York.

Hadi, H.M., Udi, T., Rully, R. 2009. Biologi Insekta Entomologi. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Hadi, K. 2012. Pengenalan Arthropoda dan Biologi serangga. Fakultas Kedokteran


Hewan : Insitut Pertanian Bogor Press.
Hamzah, M. F. (2010). Studi Morfologi dan Anatomi Daun Edelweis Jawa (Anaphalis
javanica) Pada Zona Ketinggian yang Berbeda di Taman Nasional Bromo Tengger
Semeru Jawa Timur. Skripsi. Malang: UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.

Hawkeswood, J. T, 2003, Spider of Australia: An introduction to their classification,


Biology and distribution, Pensoft, Moscow

Indriyanto, 2006. Ekologi Hutan. Jakarta: Penerbit PT Bumi Aksara.


Kartohadjono, Arifin. 2011. Penggunaan Musuh Alami Sebagai Komponen Pengendalian
Hama Padi Berbasis Ekologi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Pengembangan
Inovasi Pertanian 4(1): 29-46.

Levi, L., HW. 1990. The spider genera Gea and Argiope in America (Araneae:
Araneidae). Bulletin of the Museum of Comparative Zoology 136: 390-479.

Michael, P., (1994), Metode Ekologi untuk Penyelidikan Ladang dan Laboratorium,
Universitas Indonesia, Jakarta.
Mindawati, N. 2011. Kajian Kualitas Tapak Hutan Tanaman Industri Hibrid Eucalyptus
urogandis Sebagai Bahan Baku Industri Pulp Dalam Pengelolaan Hutan Lestari.
Disertasi. Institut Pertanian Bogor. 224 hlm
Mineo, M. F. dan Claro, K. D. 2009. Diversity of Tropical Spiders Ground Dwelling
Species of Brazilian Savannas. Tropical Biology and Conservation Management.
Vol. XI. Diversity of Tropical Spiders Ground Dwelling Species of Brazilian
Savannas. https://www.eolss.net/Sample-Chapters/C20/E6-142-CS-09.pdf

Nurlaela. 2017. Keragaman Jenis Laba-Laba (Arthropoda:Araneae) di Kelurahan Samata


Kabupaten Gowa. Skripsi. UIN Allaudin Makasar Press.

Nyffeler M, Sunderland KD. 2003. Composition, Abundance And Pest Control Potential
of Spider Communities in Agroecosystem: a Comparison of European and US
Studies. Agriculture, Ecosystem & Environment 95:576612.
Oberg S (2007) Spider in theagriculture landscape. Diversity, recolonitation, and boddy
condition. Dortoral Thesis. Swedish University ofAgricultural Sciences. Uppsala.

Parmadi, E. H., I. Dewiyanti dan S. Karina.2016.Indeks Nilai Penting Vegetasi Mangrove


di Kawasan Kuala Idi, Kabupaten Aceh Timur. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kelautan
dan Perikanan Unsyiah.
Pemerintah Kabupaten Malang. 2015. Rencana Program Investasi Jangka Menengah
(RPIJM). Dinas PU.

Poerwowidodo, 1991. Genesa Tanah: Batuan Pembentuk Tanah. Rajawali Press, Jakarta.
Pompozzi1, G. A. et all, 2011. Effects of Different Frequencies of Fire on an Epigeal
Spider Community in Southern Caldenal, Argentina. Journal of Zoological Studies
50(6): 718-724 (2011).
Prastowo, P. dan Manik, D. A.W. 2013. Studi Keanekaragaman Laba-Laba Pejaring Pada
Tegakan Pohon Jambu Biji (Psidium guajava L). Jurnal Prosiding Seminar Nasional
Biologi.

Russell-Smith A, Stork NA (1994) Abudance and diversity of spider from the canopy of
tropical rainforest with particular reference to Sulawesi, Indonesia. J Tropical Ecol
10:545-558

Rusyana, A. 2014. Zoologi Invertebrata. Bandung : Alfabeta.

Siregar. 2009. Serangga Berguna Pertanian. Medan : USU Press.

Soegianto, A. 1994. Ekologi kuantitatif. Surabaya: Usaha Nasional.

Suana I. W., Solihin, D. D., Buchari, D. (2004) Komunitas laba-laba pada lansekap
persawahan di Cianjur. Hayati11:145-152

Suana IW, Solihin DD, Buchori D, Manuwoto S, Triwidodo H. 2001. Kolonisasi dan
suksesi labalaba (Araneae) pada pertanaman padi. Jurnal Biologi IX:1-7.
Subagja, Y., (2001), Ekologi, Universitas Terbuka, Jakarta

Sucipto, Andre. 2011. Profil Kabupaten Malang. Malang: Penerbit Cipta Kusuma.

Suryadi. 2011. Serangga. http://blogs.unpad.ac.id/suryadi/201105/05/serangga/, (Akses 12


Januari 2012).

Susanto, P. 2000. Pengantar Ekologi Hewan. Jakarta: Proyek Pengembangan Guru


Sekolah Menengah IBRD Loan No. 3979 Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Departemen Pendidikan Nasional

Untung, K. 1993. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Fakultas Pertanian. Yogyakarta:


Universitas Gadjah Mada University Press.

LAMPIRAN
Lampiran 1. Lokasi Pengambilan Sampel

LG 1. Lokasi Poncokusumo

LG 2. Lokasi Lawang
LG 3. Lokasi Bantur

Lampiran 2. Laba-laba

LG 4. Genus Argiope

LG 5. Genus Colonus LG 6. Genus Leucauge LG 7. Genus Nephila

LG 8. Genus Tetragnatha LG 9. Genus Trichonephila


Lampiran 3. Tumbuhan
LG 10. Toona sp LG 11. Pinus sp LG 12. Eucalyptus sp

LG 13. Hibiscus sp LG 14. Ficus sp

LG 17. Clerodendrum sp

LG 16. Juglans sp LG 15. Leea sp


LG 18. Leucana sp

LG 19. Tabermontana sp

Anda mungkin juga menyukai