TESIS
Disusun oleh:
IDHAM CHOLID
186090100111003
1
ANALISIS VEGETASI TUMBUHAN DAN KELIMPAHAN LABA-LABA DI
KABUPATEN MALANG BERDASARKAN PERBEDAAN KETINGGIAN
TESIS
Oleh:
IDHAM CHOLID
186090100111003
Laba-laba merupakan salah satu musuh alami hama (predator), terutama terhadap
serangga sehingga dapat berperan dalam mengontrol populasi serangga. Laba-laba adalah
predator polifag sehingga berpotensi untuk mengendalikan berbagai spesies serangga hama
(Nyffeler,2003). Laba-laba mampu menempati berbagai macam habitat sehingga bisa
berpindah dari satu habitat kehabitat lainnya bila mengalami gangguan (Suana et al. 2001).
Ada banyak jenis jaring laba-laba yang dapat kita temukan di dunia ini, bentuk jaring
laba-laba dapat dibedakan berdasarkan cara laba-laba menenunnya, yaitu jaring bola spiral,
yang dihasilkan oleh laba-laba famili Araneidae, Tetragnathidae dan Uloboridae (Suana et
al. 2001).
Laba-laba juga merupakan spesies indikator biologi yang mampu memberikan
informasi tentang keadaan ekologis, ekopsikologis dan juga perubahan lingkungan
setempat. Kajian tentang hal ini telah dilakukan Suana (2001), di Gunung Tangkuban
Perahu Jawa Barat terhadap indikasi daerah yang kering dan adanya belerang. Hasil
penelitiannya adalah Pardosa sp dan Trochosa terricola dominan terdapat di daerah kering
serta daerah banyak cahaya matahari. Di daerah hutan yang lembap banyak ditemukan
Dolomedes sp dan Pisaura sp. Laba-laba tersebut dikenal sebagai indicator terhadap
kelembapan.
Penelitian yang dilakukan oleh Russell-Smith A dan Stork NA (1994), di pulau
Sulawesi, Indonesia. telah mengidentifikasi laba-laba sebanyak 1642 individu yang berasal
dari family Clubionidae, Castianeirinae, Theridiidae, Salticidae, Araneidae, dan
Lyniphiidae. Pada wilayah dengan ketinggian 400 m terdapat 69 spesies, dengan jumlah
648 individu; 6% dari total laba-laba adalah Clubionidae dan Araneidae. Sedangkan pada
ketinggian 1150 m, family yang paling banyak ditemukan adalah Lyniphidae, dan
Clubionidae. Data tersebut menunjukan bahwa perbedaan ketinggian sangat berpengaruh
terhadap keberadaan arthropoda.
Salah satu wilayah di Indonesia yang memiliki ketinggian beragam adalah Kabupaten
Malang. Kabupaten Malang terletak pada wilayah dataran tinggi, dengan koordinat 112°
17’ 10,9” - 112° 57’ 0,0” Bujur Timur dan 7° 44” 55,11” - 8° 26’ 35,45” Lintang selatan.
Luas wilayah Kabupaten Malang adalah 334.787
Ha, terdiri dari 33 Kecamatan yang tersebar pada wilayah perkotaan dan perdesaan.
Kabupaten Malang terletak antara ketinggian 0 - 2000 m dpl (Pemkab Malang, 2015).
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis merasa perlu melakukan penelitian tentang
“Keanekaragaman dan Kelimpahan Laba- Laba di Kabupaten Malang Berdasarkan
Perbedaan Ketinggian” agar dapat menganalisis habitat laba-laba sesuai dengan ketinggian
wilayah di Kabupaten Malang.
Klasifikasi Ilmiah
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Arachnida
Ordo : Araneae
Laba-laba bukan termasuk serangga tetapi kelas Arachnida, yaitu sekelompok
dengan caplak, tungau, dan kalajengking. Laba-laba termasuk ke dalam ordo Araneae
(Rusyana, 2014). Ordo laba-laba terbagi atas tiga golongan besar pada subordo, yaitu
Mesothelae, Mygalomorphae atau Orthognatha, dan Araneomorphae (Suryadi, 2011).
Pada cephalothorax melekat empat pasang kaki,dan satu sampai empat pasang
mata. Selain sepasang rahang bertaring besar (disebut chelicera), terdapat pula sepasang
atau beberapa alat bantu mulut serupa tangan yang disebut pedipalpus. Pada beberapa jenis
laba-laba, pedipalpus pada hewan jantan dewasa membesar dan berubah fungsi sebagai alat
bantu dalam perkawinan (Rusyana, 2014).
Menurut Suryadi, (2011) Ordo Araneae ini terbagi atas tiga golongan besar atas
subordo, yakni mesothelae,mygalomorphae dan areneomorphae. Sedangkan menurut polar
(2017) ordo araneae hanya terbagi atas dua subordo yakni mygalomorphae dan
araneomorphae. 1)Mesothelae, yang merupakan laba-laba primitif tak berbisa, dengan
ruas-ruas tubuh yang nampak jelas; memperlihatkan hubungan kekerabatan yang lebih
dekat dengan leluhurnya yakni artropoda beruas-ruas. 2)Mygalomorphae atau Orthognatha,
adalah kelompok laba-laba yang membuat liang persembunyian, dan juga yang membuat
lubang jebakan di tanah. Banyak jenisnya yang bertubuh besar, seperti tarantula dan juga
lancah maung. 3)Araneomorphae adalah kelompok laba-laba ‘modern’. Kebanyakan laba-
laba yang kita temui termasuk ke dalam subordo ini, mengingat bahwa anggotanya terdiri
dari 95 suku dan mencakup kurang lebih 94% dari jumlah spesies laba-laba. Taring dari
kelompok ini mengarah agak miring ke depan (dan bukan tegak seperti pada kelompok
tarantula) dan digerakkan berlawanan arah seperti capit dalam menggigit mangsanya.
Beberapa famili laba-laba menurut Borror (1996) Famili Atypidae (Laba-laba
pembuat sarang-kantung) Laba-laba ini membuat benang-benang sutera di dasar batang
pohon, buluh-buluh menjulur dari tempat sedikit di dalam tanah sampai kira-kira 150 mm
di atas tanah. Apabila seekor serangga mendarat di atas buluh ini, laba-laba menggigit
melalui buluh, merenggut serangga tersebut, dan menariknya ke dalam buluh. Laba-laba
ini panjangnya 10-30 mm. Famili Araneidae (Pemintal sarang berbentuk lingkaran) Famili
ini adalah kelompok yang besar dan sangat luas tersebar dan hampir semua dari
anggotanya membuat sebuah sarang laba-laba yang berbentuk lingkaran. Terdapat cukup
keragaman dalam ukuran, warna dan bentuk dalam famili ini. Famili Tetragnathidae
(Pemintal sarang bentuk lingkaran yang bergeraham panjang)
Laba-laba ini memiliki kelisera-kelisera yang sangat panjang dan menjulur,
terutama pada yang jantan. Kebanyakan jenis berwarna kecoklat-coklatan dan secara relatif
panjang dan ramping, tungkainya, terutama pasangan bagian depan, sangat panjang. Laba-
laba ini biasanya didapatkan didaerah yang berawa. A) Famili Agelenidae (Laba-laba
pembuat sarang berbentuk corong) Laba-laba ini adalah sebuah kelompok yang besar
(kira-kira 250 jenisnya di Amerika Utara) dari laba-laba umum yang membuat sarang laba-
laba seperti lembaran di rumput-rumputan, di bawah karang atau papan-papan dan
direruntuhan. Sarang dari jenis yang lebih besar agak berbentuk corong dengan satu tempat
persembunyian yang berbentuk buluh mengarah ke bawah masuk dalam bahan dimana
sarang tersebut terbuat. B) Famili Hahniidae (Laba-laba pembuat sarang-lembaran
Hahniid) Hahniid-hahniid adalah laba-laba yang kecil, panjangnya 1,5-3,2 mm, dengan alat
pembuat benang dalam satu baris transversal tunggal. Mereka membuat sarang laba-laba
serupa dengan Agelenidae, tanpa tempat persembunyian seperti corong. Sarang laba-laba
tersebut sangat halus dan jarang terlihat kecuali tertutup oleh embun (Borror, 1996).
Keterangan rumus:
H‟ : Indeks keanekaragaman Shannon
Pi : Proporsi spesies ke I di dalam sampel total
ni : Jumlah individu dari seluruh jenis
N : Jumlah total individu dari seluruh jenis
Besarnya nilai 𝐻′ didefinisikan sebagai berikut:
𝐻′< 1 : Keanekaragaman rendah
𝐻′ 1 - 3 : Keanekaragaman sedang
𝐻′> 3 : Keanekaragaman tinggi
Keanekaragaman Kelimpahan
Ketersediaaan Kemampuan
Faktor
sumber pakan hidup
lingkungan
(abiotik)
Suhu,
Intensitas cahaya,
Kelembapan, Perbedaan Ketinggian
Kecepatan angin
Morfologi laba-
laba Keberadaan
laba-laba
Faktor biotik dan Korelasi
abiotik Faktor
abiotik
dengan
laba-laba
20
mengidentifikasinya dengan menggunakan buku identifikasi Barrion dan Litsinger (1995),
Levi (1990), dan Hawkeswood (2003) dan BugGuide.net. Sedangkan identifikasi
morfologi tumbuhan dilakukan dengan mengamati bentuk daun, batang, bunga dan buah.
Lalu mengidentifikasinya dengan menggunakan buku identifikasi flora (Steniss,2006),
flora of java (Backer dkk, 1963), plant list.org (2019) .
Data di Analisis dengan menggunakan analisis Indeks Shannon Wiener (H’),
Kelimpahan, Indeks Evenness (keseragaman), Indeks Nilai Penting, Indeks Dominansi,
dan Principal Component Analysis (PCA).
Pengambilan gambar
spesimen
Pengukuran Faktor abiotik
(suhu, intensitas cahaya,
Identifikasi Spesies kecepatan angin kelembapan
Penelitian laba-laba: warna
udara)
tubuh, jumlah mata, susunan
mata, bentuk karapas, ukuran Pengukuran Faktor Biotik
prosoma dan ukuran
(Vegetasi Tumbuhan)
ophistosoma.
Penelitian analisis vegetasi:
daun, batang, bunga, buah
Analisis: Indeks Shannon
ANALISIS DATA Wiener (H’), Kelimpahan,
Indeks Evenness, Indeks Nilai
Penting, Indeks Dominansi,
Korelasi Faktor Abiotik Indek Kesamaan dan Principal
dengan laba-laba Component Analysis (PCA)
penelitian ini digunakan metode kuadrat yaitu metode pengamatan vegetasi dengan cara
membuat plot. Pada Stasiun I: Ekosistem Ternaungi, dilakukan dengan cara membuat
plot persegi berukuran 20x20m, 10x10m, 5x5m dan 2x2m. Sedangkan pada Stasiun II:
Ekosistem terbuka, dilakukan dengan cara membuat plot dengan ukuran 2x2m.
a) Indeks Keanekaragaman
Indeks keanekaragaman Shannon wienner dihitung dengan menggunakan rumus sebagai
berikut :
Indeks Keragaman ( H’ =
Keterangan:
H’ = Indeks keragaman Shannon (Shannon Index Diversity)
ni = Jumlah individu suatu jenis
N = Total jumlah individu seluruh jenis
Pi = Proposal individu jenis ke-i terhadap semua jenis.
Fi
Fr= x 100 %
∑F
Fr : Frekuensi relatif spesies ke i
Fi : Frekuensi untuk spesies ke i
∑F : Jumlah total frekuensi untuk semua spesies
K= ¿
A
K : Kelimpahan spesies untuk spesies ke i
ni : Jumlah total individu spesies ke i
A : Luas total daerah yang disampling
5. Dominansi (D)
Luas Basal Area
D=
Luas Seluruh Petak Contoh
6. Dominansi Relatif (DR)
0
Poncokusumo Lawang Bantur
20
15
10
0
Poncokusumo Lawang Bantur
Gambar 11. Kelimpahan total ekosistem ternaungi
Berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan diketahui kelimpahan pada ekositem
terbuka di lokasi Poncokusumo adalah (12 Individu/m²), lokasi Lawang memiliki
kelimpahan total (5,5 Individu/m²), lokasi Bantur memiliki kelimpahan total (7,5
individu/m²) (Tabel 12).
Kelimpahan tertinggi pada ekosistem terbuka adalah pada lokasi Poncokusumo (12
Individu/m²), sedangkan yang paling rendah adalah pada lokasi Lawang (5,5 Individu/m²)
(Gambar 13). Hal ini disebabkan karena lokasi Poncokusumo dengan ketinggian 1482mdpl
kondisi tumbuhan bawahnya sangat rapat sehingga banyak ditemukan laba-laba yang
berhabitat di tumbuhan bawah, khususnya bagi genus Tetragnatha yang banyak ditemukan
bersembunyi dibalik tumbuhan bawah. Menurut Prastowo (2013), Genus Tetragnatha
merupakan laba-laba penjaring yang memiliki kaki depan sangat Panjang, dan memiliki
kemampuan bersembunyi yang luar biasa, seperti bersembunyi dibalik daun, ranting
bahkan di tempat yang hampir tidak terlihat oleh musuh alami seperti semak, dsb. Itulah
yang menyebabkan mengapa genus tersebut dapat bertahan hidup dan berkembang pada
lingkungan ekosistem terbuka yang didominasi oleh tumbuhan tingkat semai. Hasil analisis
data Kekayaan taksa pada ekosistem ternaungi adalah Lawang memiliki kekayaan taksa
paling tinggi (4), selanjutnya adalah Bantur (3) dan poncokusumo (3) (gambar 12).
4.5
4
3.5
3
2.5
2
1.5
1
0.5
0
Poncokusumo Lawang Bantur
Gambar 12. Nilai Kekayaan taksa ekositem terbuka
14
12
10
8
6
4
2
0
Poncokusumo Lawang Bantur
` Gambar 13. Kelimpahan total ekosistem terbuka
H
2.5
1.5
0.5
0
Poncokusumo Lawang Bantur
H
1.36
1.34
1.32
1.30
1.28
1.26
1.24
Poncokusumo Lawang Bantur
Gambar 15. Indeks Keanekaragaman pada ekosistem terbuka
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada ekositem ternaungi dilokasi
Poncokusumo yang memiliki INP tertinggi adalah genus Lucauge, sedangkan pada lokasi
Lawang yang memiliki INP tertinggi adalah genus Argiope dan pada lokasi Bantur yang
memiliki INP tertinggi adalah genus Argiope (Tabel 3). Sedangkan pada ekosistem terbuka
nilai INP tertinggi dilokasi Poncokusumo adalah genus Tetragnatha, sedangkan pada lokasi
Lawang yang memiliki INP tertinggi adalah genus Leucauge, dan pada lokasi Bantur yang
memiliki nilai INP tertingi adalah genus Leucauge (Tabel 4). Indeks Nilai Penting (lNP)
atau Impontant Value Index merupakan indeks kepentingan yang menggambarkan
pentingnya peranan suatu jenis vegetasi dalam ekosistemnya. Hasil analisis Kerapatan
jenis, Kerapatan relatif, Frekuensi jenis, Frekuensi relatif, Dominansi Jenis dan Dominansi
relative (Parmadi, 2016). sebagaimana menurut Indriyanto (2006) menambahkan,
keberhasilan jenis-jenis tumbuhan untuk tumbuh dan bertambah banyak tidak lepas dari
daya mempertahankan diri pada kondisi lingkungan dilokasi tersebut.
Tabel 3. Indeks Nilai Penting pada Ekosistem Ternaungi
Hasil identifikasi tingkat pohon yang ditemukan di Kecamatan Bantur adalah Ficus
benjamina, Tabernaemontana macrocarpa, Matudaea trinervia, Euonymus latifolius
Tumbuhan Ficus benjamina memiliki INP 126,8, tumbuhan Tabernaemontana
macrocarpa memiliki INP 89,7, tumbuhan Matudaea trinervia memiliki INP 64,9 dan
tumbuhan Euonymus latifolius memiliki INP 18,6 (Tabel 7). Nilai INP tertinggi di
Kecamatan Bantur adalah Tumbuhan Ficus benjamina.
Hasil identifikasi tingkat tiang yang ditemukan di Kecamatan Bantur adalah Leea
indica memiliki INP 136,9, Ficus benjamina memiliki INP 83,5, Euonymus latifolius
memiliki INP 79,6 (Tabel 5). tumbuhan yang memiliki nilai INP tertinggi adalah Leea
indica 136,9 . Secara morfologi, Leea indica atau tumbuhan girang merupakan tumbuhan
perdu dengan tinggi 5 m. Batang tegak, berkayu, bulat, bekas melekatnya daun tampak
jelas, dan berwarna hijau. Daun hijau, majemuk, berseling, lonjong, pertulangan menyirip,
panjang 8-16 cm, lebar 3-7 cm, dan bertangkai bulat. Bunga berwarna hijau, majemuk,
berkelamin dua, berbentuk payung, di ketiak daun, kelopak berbentuk bintang, mahkota
berbentuk torong, kepala sari berwarna putih. Buah buni, bulat, dan berwarna hitam. Biji
bulat dan berwarna putih. Akar tunggang dan berwarna coklat. Girang tumbuh di hutan
campuran dan hutan jati, kadang-kadang ditemukan di semak belukar. Jenis ini tersebar
dari dataran rendah sampai ketinggian tempat 1.700 mdpl (Zuhud, 2013).
Hasil identifikasi tingkat pancang yang ditemukan di Kecamatan Bantur adalah
Juglans regia Memiliki INP 129, Clerodendrum chinense Memiliki INP 126,2, Leea
indica Memiliki INP 44,8 (Tabel 5). Tumbuhan dengan nilai INP tertinggi adalah Juglans
regia 129.
Hasil identifikasi tingkat semai yang ditemukan di Kecamatan Bantur adalah
Oplismenus undulatifolius Memiliki INP 25, Cyperus rotundus Memiliki INP 24,6,
Chromolaena odorataMemiliki INP 19, Ligustrum sinense Memiliki INP 19, euphorbia
hirta Memiliki INP 18,2, Biophytum sensitivum Memiliki INP 17,7, oxallis barrelieri
Memiliki INP 15,2, Ageratum conyzoides Memiliki INP 14,8, Salvia microphylla
Memiliki INP 14,8, Richardia scabra Memiliki INP 13,3, Ruellia tuberosa L
Memiliki INP 11,8, Centrosema pubescens Memiliki INP 6,5. (Tabel 5). Nilai INP
tertinggi adalah tumbuhan Oplismenus undulatifolius (25).
Faktor Abiotik PC 1 PC 2
Suhu 0.438 0.159
Kelembaban 0.455 0.483
Intensitas Cahaya 0.464 -0.542
Kecepatan Angin 0.317 0.543
Ketinggian wilyah -0.535 0.391
Eigenvalues 4,517 2,31
% variance 56,42 28,73
Berdasarkan hasil analisis PCA dapat diketahui bahwa distribusi profil habitat yang
berbeda adalah Poncokusumo, sementara lokasi Lawang dan Bantur menunjukkan
kemiripan. Karakter habitat ditunjukan dengan arah garis, lokasi poncokusumo dicirikan
oleh ketinggian wilayah yang termasuk dalam dataran tinggi dan keberadaan genus
Leucauge yang tinggi, serta kecepatan angin, kelembaban dan suhu yang rendah.
Sedangkan lokasi Lawang dicirikan dengan keberadaan genus Argiope dan Tetragnatha
yang tinggi, ketinggian wilayah termasuk dataran tinggi, dan memiliki intensitas cahaya
yang rendah. Lokasi bantur dicirikan dengan ketinggian wilayahnya yang rendah, dan
memiliki intensitas cahaya yang tinggi, serta keberadaan genus Colonous yang tinggi
(gambar 7).
PENUTUP
1.1. Kesimpulan
1. Hasil penelitian laba – laba berdasarkan perbedaan ketinggian di Kabupaten Malang:
- kelimpahan pada ekositem ternaungi di lokasi Poncokusumo adalah (20,7
Individu/m²), lokasi Lawang memiliki kelimpahan total (9,33 Individu/m²), lokasi
Bantur memiliki kelimpahan total (10 individu/m²)
- kelimpahan pada ekositem terbuka di lokasi Poncokusumo adalah (12 Individu/m²),
lokasi Lawang memiliki kelimpahan total (5,5 Individu/m²), lokasi Bantur memiliki
kelimpahan total (7,5 individu/m²)
- Pada ekosistem ternaungi didapatkan hasil Indeks Keanekaragaman tertinggi adalah
pada lokasi Lawang (2,3), lalu Bantur (1,6) dan Poncokusumo (1,5)
- Pada ekosistem terbuka indeks keanekaragaman tertinggi adalah pada lokasi Bantur
(1,34) lalu Poncokusumo (1,31) dan Lawang (1,28). Keanekaragaman laba-laba
pada 3 lokasi juga termasuk dalam kategori sedang, berkisar antara 1-3
- Berdasarkan hasil analisis PCA dapat diketahui bahwa distribusi profil habitat yang
berbeda adalah Poncokusumo, sementara lokasi Lawang dan Bantur menunjukkan
kemiripan. Karakter habitat ditunjukan dengan arah garis, lokasi poncokusumo
dicirikan oleh ketinggian wilayah yang termasuk dalam dataran tinggi dan
keberadaan genus Leucauge yang tinggi, serta kecepatan angin, kelembaban dan
suhu yang rendah. Sedangkan lokasi Lawang dicirikan dengan keberadaan genus
Argiope dan Tetragnatha yang tinggi, ketinggian wilayah termasuk dataran tinggi,
dan memiliki intensitas cahaya yang rendah. Lokasi bantur dicirikan dengan
ketinggian wilayahnya yang rendah, dan memiliki intensitas cahaya yang tinggi,
serta keberadaan genus Colonous yang tinggi.
1.2. Saran
- Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk identifikasi sampai tingkat Spesies pada
DAFTAR PUSTAKA
Artigas, S. M. R., Ballester, R. and Corronca, J. A. 2016. Factors that influence the beta-
diversity of spider communities in northwestern Argentinean Grasslands. PeerJ,
DOI10.7717. https://peerj.com/articles/1946.pdf
Baenaedi, S, 1988, Laba-Laba pada habiat pertanaman adi di Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta, klasifikasidan perilaku pemangsa, Tesis, Universitas Gajah Mada,
Yogyakarta.
Blackledge, TA & Hayashi, CY, 2006, ‘Silken toolkits: biomechanics of silk fibers spun by
the orb webspider Argiopeargentata (Fabricius 1775)’, Experimental Zoology, vol.
209, hal. 2452–2461,diakses tanggal 12 Desember 2012
http://jeb.biologists.org/content/209/13/2452.full.pdf
Bonev, B., Grieve, S., Herberstein, M. E., Kishore, A. I., Watts, A., and Separovic, 2006,
Orientational order if australian spider silk and determinated by solid-state NMR,
Biopolymers, vol. 82, hal. 134-143, diakses tanggal 12 desember 2012
http://www.bioch.ox.ac.uk/oubsu/pdfs/BonevBiopoly.pdf
Borror, D.J. Triplehorn, C.A. dan Johnson, N.F. 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga
Edisi Keenam. Terjemah oleh Soetiyono Partosoedjono. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
BugGuide. 2019. Identification, Images, & Information for Insect, Spider & Their KinFor
the United States & Canada. Canada. http://bugguide.net/.
Campbell, R., (2008). Biologi edisi kedelapan jilid 2. jakarta : Penerbit Erlangga
Dalimartha Setiawan. 2000. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. Bogor : Trobus Agriwidya.
Deltshev, C. 2011. A Survey of Spiders (Araneae) Inhabiting the Euedaphic Soil Stratum
and the Superficial Underground Compartment in Bulgaria. journal of
Arachnologische Mitteilungen 40: 33-46.
Foelix RF (1996) Biology of spider. Oxford University Press, Madison Avenue, New York.
10016.
Foelix, R. F. 1996, Biology of spider, second edition, Oxford University press, New York.
Hadi, H.M., Udi, T., Rully, R. 2009. Biologi Insekta Entomologi. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Levi, L., HW. 1990. The spider genera Gea and Argiope in America (Araneae:
Araneidae). Bulletin of the Museum of Comparative Zoology 136: 390-479.
Michael, P., (1994), Metode Ekologi untuk Penyelidikan Ladang dan Laboratorium,
Universitas Indonesia, Jakarta.
Mindawati, N. 2011. Kajian Kualitas Tapak Hutan Tanaman Industri Hibrid Eucalyptus
urogandis Sebagai Bahan Baku Industri Pulp Dalam Pengelolaan Hutan Lestari.
Disertasi. Institut Pertanian Bogor. 224 hlm
Mineo, M. F. dan Claro, K. D. 2009. Diversity of Tropical Spiders Ground Dwelling
Species of Brazilian Savannas. Tropical Biology and Conservation Management.
Vol. XI. Diversity of Tropical Spiders Ground Dwelling Species of Brazilian
Savannas. https://www.eolss.net/Sample-Chapters/C20/E6-142-CS-09.pdf
Nyffeler M, Sunderland KD. 2003. Composition, Abundance And Pest Control Potential
of Spider Communities in Agroecosystem: a Comparison of European and US
Studies. Agriculture, Ecosystem & Environment 95:576612.
Oberg S (2007) Spider in theagriculture landscape. Diversity, recolonitation, and boddy
condition. Dortoral Thesis. Swedish University ofAgricultural Sciences. Uppsala.
Poerwowidodo, 1991. Genesa Tanah: Batuan Pembentuk Tanah. Rajawali Press, Jakarta.
Pompozzi1, G. A. et all, 2011. Effects of Different Frequencies of Fire on an Epigeal
Spider Community in Southern Caldenal, Argentina. Journal of Zoological Studies
50(6): 718-724 (2011).
Prastowo, P. dan Manik, D. A.W. 2013. Studi Keanekaragaman Laba-Laba Pejaring Pada
Tegakan Pohon Jambu Biji (Psidium guajava L). Jurnal Prosiding Seminar Nasional
Biologi.
Russell-Smith A, Stork NA (1994) Abudance and diversity of spider from the canopy of
tropical rainforest with particular reference to Sulawesi, Indonesia. J Tropical Ecol
10:545-558
Suana I. W., Solihin, D. D., Buchari, D. (2004) Komunitas laba-laba pada lansekap
persawahan di Cianjur. Hayati11:145-152
Suana IW, Solihin DD, Buchori D, Manuwoto S, Triwidodo H. 2001. Kolonisasi dan
suksesi labalaba (Araneae) pada pertanaman padi. Jurnal Biologi IX:1-7.
Subagja, Y., (2001), Ekologi, Universitas Terbuka, Jakarta
Sucipto, Andre. 2011. Profil Kabupaten Malang. Malang: Penerbit Cipta Kusuma.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Lokasi Pengambilan Sampel
LG 1. Lokasi Poncokusumo
LG 2. Lokasi Lawang
LG 3. Lokasi Bantur
Lampiran 2. Laba-laba
LG 4. Genus Argiope
LG 17. Clerodendrum sp
LG 19. Tabermontana sp