Anda di halaman 1dari 117

PENGENALAN BENTANGLAHAN

PULAU JAWA BAGIAN TENGAH


LAPORAN KULIAH KERJA LAPANGAN 1

Disusun oleh:

Favian Riza Nafis


NIM : 21/477112/GE/09567
LEMBAR PENGESAHAN

PENGENALAN BENTANGLAHAN
PULAU JAWA BAGIAN TENGAH

Laporan
Kuliah Kerja Lapangan 1

Disusun oleh:
Favian Riza Nafis
NIM : 21/477112/GE/09567

Disetujui dan disyahkan oleh Dosen Pembimbing Lapangan, pada:

Hari : Minggu
Tanggal : 10 Juli 2022

Dosen Pembimbing Lapangan:

Dr. Eng. Guruh Samodra, S.Si., M.Sc.

- 2 -
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis haturkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas anugerah,
rahmat, hidayah-Nya sehingga dapat diberikan kesempatan dan kesabaran untuk
menyelesaikan Tugas Kuliah Kerja Lapangan ( KKL 1 ) dan Menyusun laporan
KKL 1 dengan judul “Pengenalan Bentanglahan Jawa Bagian Tengah”.
Terimakasih penulis haturkan kepada Bapak Dr. Eng. Guruh Samodra, S.Si.,
M.Sc. selaku dosen pembimbing dan juga kepada teman-teman kelompok A3
yang telah mendukung dan membantu dalam melaksanakan kegiatan Kuliah Kerja
Lapangan 1.
Laporan KKL 1 ini disusun untuk memenuhi persyaratan dalam menyelesaikan
mata kuliah KKL 1 pada semester dua yang dilaksanakan di beberapa titik
bentanglahan Jawa bagian tengah. KKL 1 (Kuliah Kerja Lapangan 1) telah
dilaksanakan dan disusun laporannya mulai tanggal 1 Juli 2022 hingga 10 Juli
2022. Mata kuliah KKL 1 (Kuliah Kerja Lapangan 1) bertujuan untuk menambah
wawasan para mahasiswa Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada dalam
mengenali karakteristik bentanglahan yang berupa bentang alam dan bentang
budaya di Jawa bagian tengah. Mata kuliah KKL 1 (Kuliah Kerja Lapangan 1)
diharapkan menjadi pondasi untuk memahami ilmu-ilmu yang akan dipelajari di
semester berikutnya.
Tentunya dalam penulisan laporan ini penulis menyadari belum sepenuhnya
sempurna dan masih banyak kekuranganya. Oleh sebab itu, jika ada saran atau
kritik yang membagun penulis terima dengan senang hati. Semoga laporan ini
dapat bermanfaat bagi kita semua. Terima kasih.

Yogyakarta, 4 Juli 2022


Penyusun

Favian Riza Nafis

- 3 -
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ii
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI iv

BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang 6
1.2. Tujuan dan Sasaran 7
1.3. Tinjauan Pustaka 8

BAB II METODE
2.1. Metode Survei dan Pelaporan 12
2.2. Alat dan Bahan 12
2.3. Materi Kajian dan Wilayah Pengamatan 13

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN


3.1. Bentanglahan Zona Selatan Pulau Jawa
3.1.1. Bentanglahan Asal Proses Struktural Patahan 15
A. Genesis 15
B. Lokasi Pengamatan 16

3.1.2. Bentanglahan Asal Proses Solusional 18


A. Genesis 18
B. Lokasi Pengamatan 19

3.1.3. Bentanglahan Asal Proses Marin dan Aeolian 23


A. Genesis 23
B. Lokasi Pengamatan 24

3.2. Bentanglahan Transisi Zona Selatan dan Tengah Pulau Jawa


A. Genesis 27
B. Lokasi Pengamatan 28

3.3. Bentanglahan Zona Tengah Pulau Jawa


3.3.1. Bentanglahan Asal Proses Vulkanik 30
A. Genesis 30
B. Lokasi Pengamatan 31

3.3.2. Bentanglahan Asal Proses Fluvio-vulkanik 36

- 4 -
A. Genesis 36
B. Lokasi Pengamatan 37

3.4. Bentanglahan Transisi Zona Tengah dan Utara Pulau Jawa


Kubah Sangiran di Sragen 44
A. Genesis 45
B. Lokasi Pengamatan 47

3.5. Bentanglahan Zona Utara Pulau Jawa


3.5.1. Bentanglahan Asal Proses Struktural Lipatan 48
A. Genesis 48
B. Lokasi Pengamatan 49

3.5.2. Bentanglahan Asal Proses Fluvio-marin 54


A. Genesis 54
B. Lokasi Pengamatan 55

3.5.3. Bentanglahan Asal Proses Antropogenik 61


A. Genesis 61
B. Lokasi Pengamatan 62

BAB V KESIMPULAN 65

DAFTAR PUSTAKA 67

LAMPIRAN 71

- 5 -
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Jawa adalah salah satu pulau penyusun archipelago Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah
merupakah sebuah provinsi yang memiliki keragaman budaya dan juga kaya
akan kenampakan alamnya. Sebuah keragaman budaya dan kekayaan
kenampakan alam dipelajari oleh para geograf. Menurut Bintarto (1993),
geografi adalah ilmu pengetahuan yang mencitrakan, menerangkan sifat-sifat
bumi, menganalisis gejala-gejala alam, dan penduduk, serta mempelajari
corak yang khas mengenai kehidupan dan berusaha mencari fungsi dari
unsur-unsur bumi dalam ruang dan waktu.
Daerah Istimewa Yogyakarta dan sebagian Jawa Tengah memiliki
variasi bentuklahan yang sangat kompleks, dengan terdapat 9 dari 10
klasifikasi bentuklahan yang dapat ditemukan di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Daerah Istimewa Yogyakarta dapat dikelompokkan menjadi lima kelompok
besar bentanglahan, antara lain bentanglahan kegunungapian Merapi,
bentanglahan wilayah kepesisiran Bantul Kulonprogo, bentanglahan
Perbukitan Menoreh, bentanglahan Perbukitan Patahan Baturagung, serta
bentanglahan Perbukitan Karst Gunungsewu. Oleh karena itu, dapat
disimpulkan bahwa secara geomorfologis, Daerah Istimewa Yogyakarta
menjadi satu-satunya wilayah yang memiliki fenomena bentanglahan asal
proses terlengkap di dunia.
Menurut Bemmelen (1970), Jawa sendiri dibagi dalam tiga zona, yaitu
zona selatan, zona tengah, dan zona utara. Zona bagian selatan merupakan
zona patahan akibat proses struktural oleh tenaga endogen pada zaman tersier.
Zona selatan berbentuk plato yang menjorok ke selatan dan sebagian besar
terpotong oleh gawir sesar di sisi utara akibat proses struktural pada kala
Tersier (Susanto, 2007; Santosa dan Muta’ali, 2014). Zona bagian tengah
merupakan zona transisi yang ditemui banyak aktivitas-aktivitas vulkanik
dengan ditandai oleh keberadaan gunung-gunung berapi dan rangkaian

- 6 -
pegunungan sebagai perpaduan antara zona utara dengan zona selatan. Zona
bagian utara merupakan zona lipatan dengan dominasi material lunak dengan
ditandai oleh rangkaian perbukitan lipatan yang membentuk perbukitan atau
pegunungan yang materialnya didominasi material lunak.
Wilayah pengamatan di Jawa bagian tengah ini diperkirakan mampu
memberikan setidaknya 9 dari 10 fenomena bentuklahan dan budaya, baik
kenampakan perdesaan, perkotaan, pertanian, dan non pertanian. Variasi
karakteristik dari zona utara, transisi, hingga zona selatan dinilai efektif dalam
memberikan gambaran terkait berbagai bentanglahan. Berdasarkan hal ini,
geograf akan memahami secara keseluruhan terkait dengan bentanglahan,
yakni bentang alam dan bentang budaya melalui pengamatan di lapangan.

1.2. Tujuan dan Sasaran


1.2.1. Tujuan
Secara umum tujuan Kuliah Kerja Lapangan I bagi mahasiswa
Fakultas Geografi, UGM, ini adalah:
1. memperkenalkan fenomena bentanglahan (bentang alami dan bentang
budaya) kepada mahasiswa, baik secara teoritis maupun praktis;
2. menunjukkan kenampakan dan karakteristik berbagai komponen penyusun
bentanglahan kepada mahasiswa; dan
3. menunjukkan hubungan saling ketergantungan antar komponen penyusun
bentanglahan di lapangan.
1.2.2. Sasaran
Sasaran yang hendak dicapai dalam Kuliah Kerja Lapangan I bagi
mahasiswa Fakultas Geografi, UGM, adalah:
1. mahasiswa dapat mengenal, mengidentifikasi, dan mengukur, baik
parameter fisik maupun sosial ekonomi di lapangan, serta mampu
mengenali wilayah secara holistik di lapangan;
2. mahasiswa dapat menggunakan peta, foto udara dan citra penginderaan
jauh, untuk mengidentifikasi fenomena bentanglahan;

- 7 -
3. mahasiswa dapat menggunakan berbagai peralatan untuk interpretasi dan
pengukuran di lapangan maupun di laboratorium;
4. mahasiswa dapat memotret obyek secara profesional dan dapat membuat
sketsa pada lokasi pengamatan; dan
5. mahasiswa dapat mengetahui persamaan maupun perbedaan setiap
fenomena geosfer dalam konteks keruangan, kelingkungan, dan kompleks
wilayah.

1.3. Tinjauan Pustaka


1.3.1. Bentanglahan
Istilah bentanglahan berasal dari kata landscape (Inggris) atau landscap
(Belanda) atau landschaft (Jerman), yang secara umum berarti pemandangan.
Menurut Turttle (1975), bentanglahan merupakan gabungan dari bentuklahan
(landform). Bentuklahan merupakan kenampakan tunggal, seperti sebuah
bukit atau sebuah lembah sungai. Kombinasi dari kenampakan tersebut
membentuk suatu bentanglahan, seperti daerah perbukitan yang bervariasi
bentuk dan ukurannya dengan aliran air sungai di sela-selanya. Bentanglahan
merupakan sebuah dasar dari segala aktivitas dan lingkungan manusia.
Menurut Vink (1983), bentanglahan merupakan bentangan permukaan bumi
dengan seluruh fenomena nya, mencakup: bentuk lahan, tanah, vegetasi, dan
atribut- yang dipengaruhi oleh aktivitas manusia.
Berdasarkan beberapa pengertian bentanglahan tersebut, dapat
diketahui 8 unsur penyusun, yaitu: udara, batuan, tanah, air, bentuklahan,
flora, fauna, dan manusia dengan segala aktivitasnya. Unsur-unsur tersebut
merupakan faktor penentu terbentuknya bentanglahan, yang terdiri dari faktor
geomorfik (G), litologi L), edafik (E), klimatik (K), hidrologi (H), oseanik
(O), biotik (B), dan faktor antropogenik (A). Dengan demikian berdasarkan
faktor-faktor pembentuknya, bentanglahan (Ls) dapat dirumuskan sebagai:
Ls = ƒ (G, L, E, K, H, 0, B, A)
Keterangan: Ls (bentanglahan); G (geomorfik); L (litologik); E (edafik); K
(klimatik); H (hidrologik); O (oseanik) B; (biotik) A; (antropogenik). Di

- 8 -
dalam bentanglahan terdapat dua objek utama geografi yaitu bentang alam dan
bentang budaya yang keduanya merupakan satu kesatuan dan berhubungan
satu sama lain.
1.3.2. Bentangalam
Bentangalam adalah bagian yang tampak dari lingkungan alami
seperti: bentuk permukaan bumi (relief, morfologi daratan dan perairan) yang
merupakan sebagai perwujudan komponen geosfer, berupa : atmosfer, litosfer,
pedosfer, hidrosfer, dan biosfer yang memiliki pengaruh kepada kehidupan
manusia. Sebagai unit geomorfologis, maka disiplin ilmu yang mengkaji
bentangalam adalah ilmu geomorfologi. Ilmu tersebut mempelajari tentang
bentangalam dengan obyek atau sasaran utama bentuklahan yang merupakan
bentangan muka bumi relief khas akibat pengaruh kuat dari proses-proses
yang terjadi selama pembentukan bumi (Santosa, 2000; Santosa dan Muta’ali,
2014). Verstappen (1983) telah mengklasifikasikan bentuklahan berdasarkan
genesisnya menjadi 10 macam bentuklahan asal proses tersebut diuraikan
seabagai berikut:
1. Bentuklahan asal proses volkanik (V), merupakan kelompok besar satuan
bentuklahan yang terjadi akibat aktivitas gunungapi.
2. Bentuklahan asal proses struktural (S), merupakan kelompok besar satuan
bentuklahan yang terjadi akibat pengaruh kuat struktur geologis.
3. Bentuklahan asal fluvial (F) merupakan kelompok besar satuan
bentuklahan yang terjadi akibat aktivitas sungai.
4. Bentuklahan asal proses solusional (S) merupakan kelompok besar satuan
bentuklahan yang terjadi akibat proses pelarutan pada batuan yang mudah
larut.
5. Bentuklahan asal proses denudasional (D) merupakan kelompok besar
satuan bentuklahan yang terjadi akibat proses degradasi, seperti longsor
dan erosi.
6. Bentuklahan asal proses eolian (E) merupakan kelompok besar satuan
bentuklahan yang terjadi akibat proses angin.

- 9 -
7. Bentuklahan asal marine (M) merupakan kelompok besar satuan
bentuklahan yang terjadi akibat proses laut oleh tenaga gelombang, arus,
dan pasang-surut.
8. Bentuklahan asal glasial (G) merupakan kelompok besar satuan
bentuklahan yang terjadi akibat proses gerakan es (gletser).
9. Bentuklahan asal organik (O) merupakan kelompok besar satuan
bentuklahan yang terjadi akibat pengaruh kuat aktivitas organisme (flora
dan fauna).
10. Bentuklahan asal antropogenik (A) merupakan kelompok besar satuan
bentuklahan yang terjadi akibat aktivitas manusia.

Gambar 1.1. Beragam Fenomena Genesis Bentuklahan


(Sumber: Verstappen, 1983 dalam Santosa dan Muta’ali, 2014)

1.3.3. Bentangbudaya
Bentang budaya berasal dari manusia sebagai penciptanya sebagai
hasil adaptasi terhadap lingkungannya. Bentang budaya merupakan
kenampakan nyata yang diperoleh dari interaksi, adaptasi atau penyesuaian
diri terhadap lingkungan alam (Santosa dan Muta’ali, 2014). Bentang budaya

- 10 -
ini bersifat dinamis dan mengisi variasi ruang dari bentang alam. Bentang
budaya memiliki beberapa karakteristik yang dapat dikenali dengan 2
pendekatan, yaitu :
1. Pendekatan Wilayah Berdasarkan pendekatan wilayah, bentang budaya
dibagi menjadi 2 jenis, yaitu :
I. Bentang Budaya Kawasan Pedesaan, bentang budaya jenis ini
terdiri dari permukiman penduduk, pekarangan, dan persawahan.
Sarana transportasi masih terbatas dan akses serta jaringan jalan
belum begitu maksimal. Relasi antara manusia dengan lahan
insentif yang tergambar dari tingginya tingkat ketergantungan
masyarakart terhadap lahan.
II. Bentang Budaya Kawasan Perkotaan, bentang budaya jenis ini
merupakan salah satu bentuk bentang budaya yang dihasilkan dari
perpaduan antara kegiatan sekelompok manusia dengan
lingkungannya beserta gejala gejala pemusatan penduduk, bersifat
non-agraris, strata sosialnya yang heterogen dan materialistic.
Bentang budaya ini umumnya didominasi dengan permukiman
penduduk, lahan rekreasi, dan perkantoran. Akses dan jaringan
jalannya sudah cukup maksimal dan padat.
2. Pendekatan Pemanfaatan Ruang Pengenalan bentang budaya juga dapat
diamati secara kasat mata dari kegiatan-kegiatan yang berlangsung
dipermukaan bumi, khususnya pemanfaatan lahan dalam memenuhi
kebutuhannya. Berdasarkan pandangan ini, bentang budaya dapat
dikelompokkan kedalam 7 tipe, yaitu bentang permukiman, bentang
pertanian, bentang pertambangan, bentang industri, bentang perkantoran
dan jasa, dan bentang pariwisata.

- 11 -
BAB II
METODE
2.1. Metode Survey dan Pelaporan
Kuliah Kerja Lapangan I dilaksanakan dengan beberapa metode
pembelajaran yang dilakukan secara terpadu dalam satu rangkaian, yaitu:
1. Kuliah tatap muka, dilakukan dengan tujuan untuk memberikan materi
awal konsepsional yang akan menjadi dasar bagi mahasiswa dalam
memahami kondisi lapangan. Sebagai bagian dari perkuliahan digunakan
juga metode diskusi untuk meningkatkan tingkat pemahaman.
2. Visualisasi bentanglahan, yang dilakukan dengan menggunakan teknik
presentasi audio visual atau multimedia.
3. Pengamatan lapangan, yaitu menelusuri jalur perjalanan yang telah
ditentukan, melakukan pengamatan, identifikasi dan pengukuran setiap
parameter pada setiap fenomena komponen penyusun bentanglahan.
4. Diskusi aktif, yang dilakukan baik di lapangan, untuk mengevaluasi
tingkat pemahaman mahasiswa selama Kuliah Kerja Lapangan.
5. Penulisan Laporan, yang dimaksudkan untuk melatih mahasiswa
menyajikan hasil pengamatan dan penyelidikan di lapangan secara ilmiah,
lengkap dan sistematis.
2.2. Alat dan Bahan
Kegiatan Kuliah Kerja Lapangan 1 menggunakan alat bantu yang
berguna untuk memenuhi data dan memvalidasi argument sehingga kegiatan
dapat berjalan dengan lancar. Peralatan yang digunakan antara lain :
1. Alat
a. Alat tulis
b. Aplikasi GPS
c. Buku catatan
d. Ceklis survey pengenalan bentanglahan
e. Speaker
f. Whiteboard portable
g. Handphone

- 12 -
2. Bahan
a. Citra Landsat-8 OLI D.I. Yogyakarta dan Jawa Tengah
Tahun 2015 Komposit 547
b. Citra Landsat-8 OLI Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun
2019 Komposit 567
c. Citra medan Google Maps
d. Media pendukung pembelajaran berupa kumpulan banner

2.3. Materi Kajian dan Wilayah Pengamatan


2.3.1. Materi Kajian
Secara umum lingkup materi kajian meliputi seluruh fenomena
geosfer, yaitu: komponen atmosfer, hidrosfer, litosfer, biosfer, pedosfer, dan
antroposfer. Secara khusus dapat dirumuskan sebagai berikut ini.
1. Materi tentang pengenalan objek kajian (fenomena geosfer) melalui peta
dan perangkat analisis keruangan serta sketsa objek pengamatan;
2. Pengenalan dan identifikasi karakteristik dan komponen penyusun bentang
alami (biogeofisik), baik morfologi, stuktur dan proses; serta komponen
fisik lahan lainnya, yaitu: batuan, tanah, air, iklim, oseanografi, dan
komponen biotik.
3. Pengenalan dan identifikasi karakteristik dan komponen penyusun bentang
budaya, yaitu: tipe daerah dan aktivitas manusia, serta aspek-aspek
demografis, sosial, ekonomi, dan budaya; dan
4. Pemahaman tiga pendekatan dalam mengkaji bentanglahan, yaitu:
keruangan, lingkungan, dan kompleks wilayah, untuk memahami
hubungan keterkaitan antar komponen penyusun bentanglahan.
2.3.2. Wilayah Pengamatan
Lingkup wilayah kajian meliputi wilayah atau zona selatan, tengah dan
utara. Secara administratif meliputi: Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
dan Provinsi Jawa Tengah. Wilayah kabupaten atau kota yang dijadikan jalur
pengamatan, meliputi: Kabupaten Sleman, Kota Yogyakarta, Kabupaten
Bantul, Gunungkidul, Wonogiri, Sragen, Purwodadi, Rembang, Pati, Jepara,

- 13 -
Demak, Kota Semarang, Kabupaten Semarang, dan Kabupaten Magelang.
Masing-masing wilayah yang dijadikan objek pengamatan memiliki
kenampakan bentanglahan yang bervariasi.

Gambar 2.1. Jalur Pengamatan Kuliah Kerja Lapangan 1


(Sumber: Citra Google Earth)

- 14 -
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Bentanglahan Zona Selatan Pulau Jawa


3.1.1. Bentanglahan Asal Proses Struktural Patahan
A. Genesis
Pulau Jawa bagian selatan merupakan bagian yang banyak
dipengaruhi oleh proses struktural patahan. Bentanglahan asal proses
struktural adalah bentanglahan yang diakibatkan karena adanya tenaga
endogen atau diatropisme yang bekerja, sehingga terjadinya patahan dan
lipatan. Menurut Anderson & Burbank (2008), tenaga endogen
menghasilkan jenis tekanan yang berbeda, yaitu tekanan normal (saling
mendekat), thrust (saling menjauh), dan strike-slip (bergesekan). Tenaga
endogen yang berpengaruh terhadap terbentuknya bentanglahan asal
proses struktural adalah tenaga tektonisme. Tektonisme atau diastropisme
adalah perubahan lapisan bumi secara mendatar atau vertikal yang
mengakibatkan perubahan letak atau dislokasi dan bentuk atau deformasi
pada kulit bumi sehingga menghasilkan lipatan atau patahan (Deti dan
Retno, 2016). Dapat diketahui bahwa bumi atau litosfer mempunyai
ketebalan relatif sangat tipis dan pecah dalam bentuk lempeng tektonik
yang terus bergerak, baik secara horizontal maupun vertikal
(Sukandarrumidi, dkk., 2014).
Bentanglahan asal proses struktural merupakan fitur geomorfik
yang dikendalikan oleh struktur geologi yang mendasarinya serta sebaran
batuan dengan ketahanan yang berbeda terhadap erosi (Gutiérrez, 2016).
Keberadaan bentanglahan asal proses struktural dapat diketahui dengan
penginterpretasian peta maupun citra penginderaan jauh (Haryanto,
2013). Patahan atau sesar adalah gejala retaknya kulit bumi akibat
pengaruh tenaga horizontal dan tenaga vertikal. Proses ini mengakibatkan
kulit bumi tidak sampai terlipat akibat prosesnya yang terlalu cepat.
Daerah retakan selalu mengalami perubahan dari keadaan semula dan

- 15 -
sering mempunyai bagian yang terangkat atau tenggelam. Bentuk patahan
dapat dibedakan berdasarkan arah dan kekuatan tenaga tekanan seperti
berikut:
(1) Tenaga endogen dengan arah mendatar dan saling
menjauh satu sama lain, sehingga pada bongkah batuan
terjadi retakan-retakan dan akhirnya patah, pada satu
bagian menurun membentuk graben atau slenk, dan
bagian yang lain terangkat membentuk horst.
(2) Tenaga endogen yang berarah vertikal, sehingga
membentuk patahan normal.
(3) Dua buah tenaga endogen mendatar yang berlawan arah,
sehingga menimbulkan pergeseran batuan, yang disebut
sesar mendatar, yang dapat berupa dekstral maupun
senistral.
B. Lokasi Pengamatan
Waduk Gajah Mungkur Wonogiri merupakan sebuah bentuklahan
basin, atau yang lebih dikenal sebagai Basin Baturetno. Basin ini dapat
terbentuk ketika terjadi sebuah proses pengangkatan pada zaman tersier.
Pengangkatan yang terjadi tidak sekaligus mengangkat semua ke
permukaan secara vertikal, namun ada bagian yang turun sehingga
membentuk suatu basin atau cekungan. Proses pembangunan Waduk
Gajah Mungkur Wonogiri dipengaruhi oleh manusia.Pembangunan Waduk
Gajah Mungkur direncanakan sejak tahun 1964 sebagai salah satu proyek
waduk serbaguna yang bertujuan untuk mengendalikan banjir, penyediaan
air untuk irigasi dan PLTA di lembah Sungai Bengawan Solo. Area
genangannya yaitu sekitar 8800 hektar yang meliputi 51 desa dan 6
kecamatan.
Lokasi pengamatan secara absolut horizontal terletak pada
koordinat 7°51’24” S, 110°54’43” E dan secara absolut vertikal terletak
pada 140 mdpl. Lokasi pengamatan secara administratif berada pada 6 km
ke arah selatan kota dari Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Material pada

- 16 -
sekitar Waduk Gajah Mungkur ini merupakan material campuran dari
gunungapi dan formasi pegunungan di sekitarnya. Karakteristik tanah
berupa lempung berpasir, lanau dengan sifat yang subur sehingga
dimanfaatkan untuk lahan pertanian dan kebun campuran. Karakteristik
hidrologi yang terdapat pada Waduk Gajah Mungkur memiliki warna air
yang keruh dengan bersumber dari 4 DAS utama yakni, DAS Kaduang,
DAS Temon, DAS Alang, dan DAS Wuryantoro. Sumber air di bagian
waduk sangat baik. Selain itu, sumber airtanah sangat baik terdapat di
Formasi Baturetno dan Lawu.

Gambar 3.1. Kenampakan Waduk Gajah Mungkur


(Foto: Dokumentasi Pribadi, 2022)
Fenomena dan masalah lingkungan fisik yang terjadi di Waduk
Gajah Mungkur adalah terjadinya sedimentasi yang masif sehingga dapat
memperpendek usia pakai waduk. Material sedimentasi tersebut berasal
dari DAS utama yang terpengaruh oleh adanya erosi pada
perbukitan-perbukitan sekitar. Kemudian, material erosi tersebut
tertransportasi oleh aliran sungai dan mengendap ke dasar Waduk Gajah
Mungkur. Akibatnya Waduk Gajah Mungkur menjadi semakin dangkal.

Adapun mengenai kondisi kependudukan di area sekitar lokasi


pengamatan dengan jumlah penduduk sebesar 81.370 jiwa. Pada wilayah
tersebut laju pertumbuhan penduduknya sebesar 0,54% yang tergolong
rendah. Angka kepadatan penduduk pada wilayah sekitar lokasi

- 17 -
pengamatan sebesar 988 jiwa/km2. Sex ratio sebesar 97 dengan angka
pengangguran 2,5%. TPAK pada wilayah tersebut sebesar 70% dengan
didominasi angkatan kerja lulusan sekolah dasar.

Gambar 3.2. Citra Lokasi Pengamatan


(Sumber: Google Earth)
Sektor pariwisata pada Waduk Gajah Mungkur juga memiliki
fenomena dan masalah lingkungan sosial. Permasalahan yang timbul yaitu
terlihat dari kurangnya daya tarik masyarakat untuk berkunjung ke Waduk
Gajah Mungkur, Demi menarik daya tarik masyarakat dapat dilakukan
dengan mengaplikasikan teori pengembangan pariwisata yang memuat
tiga aspek penting agar menarik wisatawan, yaitu atraksi (apa yang
ditawarkan dan menarik), amenitas (fasilitas pendukung aktivitas
pariwisata), serta aksesibilitas (selain jalan, juga berkaitan dengan
ketersediaan informasi mengenai objek pariwisata ini). Selain itu masalah
lingkungan sosial yang dapat ditemukan yaitu terkait gizi buruk karena
angka stunting yang relatif tinggi.

3.1.2. Bentanglahan Asal Proses Solusional


A. Genesis
Bentanglahan asal proses solusional adalah bentanglahan yang
terbentuk oleh proses pelarutan pada batuan yang mudah larut
(Verstappen, 1983). Batuan yang mudah larut tersebut seperti gamping
dan dolomit. Pelarutan batuan tersebut menyebabkan perubahan pada
bentuk sehingga memicu terbentuknya bentukan karst. Batuan gamping

- 18 -
merupakan batuan utama karst dan juga sebagai batuan penyusun karst
dengan berbagai bentuk (Noor, 2010). Proses pelarutan yang terjadi akan
membentuk morfologi berdasarkan keberadaanya, yaitu endokarst dan
eksokarst. Eksokarst merupakan bentuklahan asal proses solusional yang
berada di atas permukaan bumi. Endokarst merupakan bentuklahan asal
proses solusional yang berada di bawah permukaan bumi. Proses
pelarutan yang berlangsung menyebabkan kondisi ekstrim, yakni
kekeringan pada bagian permukaan dan kaya air di bawah permukaan
tanah (Cahyadi, 2010).
Karakteristik bentanglahan karst pada bentanglahan tropis yang
terdapat di Pegunungan Sewu sebagai berikut:
1. Batuan dasarnya berupa batu gamping dari proses metamorfosis
terumbu karang, yang merupakan ekosistem khas daerah tropis
yang mengalami pengangkatan tektonik.
2. Curah hujan yang tinggi di daerah tropis menyebabkan tingkat
pelarutan yang tinggi.
3. Tutupan permukaan didominasi vegetasi yang mengeluarkan
karbondioksida sebagai hasil fotosintesis, karbon dioksida
membantu solusional.
4. Kandungan karbon di atmosfer tinggi.

B. Lokasi Pengamatan
Karst Gunungsewu terdapat lembah (negatif) karst dan perbukitan
karst (positif) yang dapat ditemui pada wilayah tersebut. Proses
geomorfologi yang terjadi merupakan perpaduan dari proses solusional
dan fluvial. Material karst yang mengalami pelarutan secara masif akan
terangkut oleh tenaga fluvial hingga terdistribusi ke lembahan-lembahan
karst. Lembah-lembah karst yang terbentuk cenderung memiliki
karakteristik subur karena materialnya berasal dari campuran alluvium
dan material piroklastik gunungapi.

- 19 -
Lokasi pengamatan secara absolut horizontal terletak pada
koordinat 8°2’11” S, 110°47’3” E dan secara absolut vertikal terletak
pada 290 mdpl. Lokasi pengamatan secara administratif berada di
Kecamatan Pracimantoro, Kabupaten Wonogiri, Provinsi Jawa Tengah.
Morfologinya berbukit dengan didominasi material berupa batu
gamping, marmer, dan kalsit. Hasil pelapukan batu gamping dan sedikit
tercampur dengan material aluvium yang berasal dari gunungapi,
sehingga pada wilayah tersebut karakteristik tanah yang agak subur.

Gambar 3.3. Kenampakan Perbukitan Karst


(Foto: Dokumentasi Pribadi, 2022)
Kondisi hidrologi pada wilayah tersebut yakni memiliki air
permukaan yang berasal dari telaga-telaga musiman. Aliran sungainya
berjenis allogenic yang secara perlahan aliran airnya akan masuk
mengisi ke aliran bawah tanah melalui diaklas-diaklas. Pada awal
pembentukannya, pola alirannya dendritik dan kemudian secara lebih
lanjut menjadi paralel sehingga pada akhirnya akan berupa multibasinal
apabila telah berkembang dengan sangat baik. Airtanahnya membentuk
sungai bawah tanah yang aliran airnya mengarah ke mata air dan
menjadi satu pada sebuah cekungan-cekungan kecil.
Karakteristik hayati yang ada pada lokasi pengamatan adalah
keberadaan tanaman budidaya musiman seperti jagung, hingga padi dan
tanaman berakar kuat seperti jati. Fenomena dan masalah lingkungan
fisik yang terdapat pada wilayah tersebut seperti keterbatasan air yang

- 20 -
menyebabkan berbagai masalah sosial muncul. Keterbatasan air
mengakibatkan masyarakat melakukan urbanisasi untuk mencari sumber
penghidupan yang lebih layak. Penghidupan masyarakat dapat
dikendalikan dan dioptimalkan dengan tiga strategi pendekatan. Pertama
adalah intensifikasi dan ekstensifikasi yaitu dengan mengoptimalkan apa
yang dimiliki (intensifikasi) dan membuka lahan baru (ekstensifikasi).
Kedua adalah diversifikasi, yaitu membuat kegiatan penghidupan yang
berbeda, contohnya adalah adanya pekerjaan sampingan yang dapat
menambah income. Adapun strategi pendekatan yang lain adalah adanya
migrasi keluar dari daerahnya untuk mencari penghidupan yang baru.
Pada daerah karst terdapat suatu cekungan-cekungan baik yang
berbentuk doline atau logva yang nantinya akan terisi oleh air hujan dan
semakin lama akan membentuk telaga yang disebut sebagai logva.
Terbentuknya logva tentu tidak lepas dari terbentuknya doline. Telaga
Namberan merupakan suatu doline pond yang memiliki relief
bergelombang hingga berbukit. Doline adalah suatu bentukan depresi
atau cekungan yang terbentuk akibat proses pelarutan. Disebut doline
pond karena pada telaga tersebut tidak ada suatu gelombang air. Air pada
Telaga Namberan berasal dari air hujan sebagai suatu reservoir.
Fenomena dan masalah lingkungan fisik pada daerah tersebut adalah
adanya suatu sedimentasi yang mengakibatkan suatu pendangkalan
sungai. Selain itu, penutup lahan di sekitar telaga yang tidak sesuai dapat
mengakibatkan penguapan berlebih pada telaga tersebut sehingga
volume air semakin berkurang.

- 21 -
Gambar 3.4. Kenampakan Logva Namberan
(Foto: Dokumentasi Pribadi, 2022)

Lokasi pengamatan secara absolut horizontal terletak pada


koordinat 8°02’24” S, 110°31’04” E dan secara absolut vertikal terletak
pada 300 mdpl. Lokasi pengamatan secara administratif berada di Desa
Karangasem, Kecamatan Paliyan, Kabupaten Gunungkidul.
Karakteristik tanah pada wilayah tersebut tergolong kurang subur karena
didominasi oleh tanah yang berjenis terrarosa. Pada wilayah yang
mengalami perkembangan karst yang signifikan, dapat menyebabkan air
tanah menjadi mudah tercemar sehingga simpanan air relatif sedikit
(Santosa, dkk., 2018; Sukandarrumidi, dkk., 2018).

Gambar 3.5. Citra Lokasi Pengamatan


(Sumber: Google Earth)
Kondisi wilayahnya dipengaruhi oleh karakteristik bentang budaya
pada lokasi pengamatan berupa pedesaan yang didominasi aktivitas
perkebunan dan pariwisata. Kondisi kependudukan pada wilayah tersebut
dapat ditemukan banyak migrasi keluar dari desa, terutama penduduk usia
produktif untuk mencari kesejahteraan dan melakukan diversifikasi
pekerjaan, sehingga menyebabkan kepadatan penduduk rendah dan
berpotensi mengalami depopulasi atau penurunan populasi. Adapun pola
permukimannya adalah menyebar dengan mata pencaharian utama sebagai
petani lahan kering.

- 22 -
3.1.3. Bentanglahan Asal Proses Marin dan Aeolian
A. Genesis
Zona kepesisiran selatan Jawa memiliki perbedaan karakteristik
dengan pantai utara Jawa mulai dari asal proses, fisiografis, material
penyusun dan pemanfaatan ruang oleh masyarakat. Pembentukan
bentanglahan pada kepesisiran selatan Jawa dipengaruhi oleh proses
marine-aeolian. Menurut Verstappen (1983), bentanglahan asal proses
marine adalah bentanglahan yang terbentuk akibat proses laut yang
dihasilkan dari tenaga eksogen seperti gelombang, arus, dan pasang surut
air laut. Terdapat dua proses yang menjadi dasar terbentuknya
bentuklahan asal proses marine, yaitu proses pengendapan dan abrasi.
Kedua proses tersebut terjadi pada wilayah pesisir. Dalam proses
pengendapan dapat menimbulkan bentuklahan baru, sedangkan dalam
proses abrasi dapat menimbulkan pengikisan pada wilayah tersebut.
Wilayah kepesisiran secara umum dapat dibagi menjadi 4, yaitu lepas
pantai (offshore), dekat pantai (nearshore), pantai (shore), dan coast
(pesisir) (Petersen et al, 2011).
Bentanglahan asal proses aeolin merupakan bentanglahan yang
terbentuk akibat adanya tenaga angin yang bekerja. Angin tersebut akan
mengakibatkan proses geologi berupa erosi, transportasi, dan deposisi.
Proses erosi akan mengikis batuan dan dibagi menjadi deflasi dan abrasi,
Deflasi merupakan proses pengangkutan satu material dari satu tempat ke
tempat yang lain karena adanya tenaga angin (Hasmunir, 2017). Abrasi
merupakan proses pengikisan permukaan batuan oleh partikel yang
terbawa oleh angin (Octova, 2016). Transportasi adalah pemindahan
sedimen oleh tenaga angin dan dibagi menjadi bed load dan suspended
load.

- 23 -
B. Lokasi Pengamatan
Gumuk pasir dapat diartikan sebagai bukit atau igir yang terbentuk
akibat gundukan pasir oleh proses angin. Tenaga geomorfologi utama
pembentuk gumuk pasir sendiri adalah angin. Gumuk pasir umumnya
dijumpai di wilayah beriklim gurun (Pye dan Tsoar, 2009). Gumuk Pasir
pada Wilayah Kepesisiran Parangkusumo - Parangtritis adalah bentukan
aeolin yang terbentuk akibat adanya tenaga angin yang bekerja.

Gambar 3.6. Kenampakan Gumuk Pasir di Parangkusumo


(Foto: Dokumentasi Pribadi, 2022)

Pantai Parangtritis pembentukannya dipengaruhi oleh proses marin


dan aeolin. Angin tersebut akan mengakibatkan proses geologi berupa
erosi, transportasi, dan deposisi. Proses erosi akan mengikis batuan dan
dibagi menjadi deflasi dan abrasi. Deflasi merupakan proses
pengangkutan satu material dari satu tempat ke tempat yang lain karena
adanya tenaga angin (Hasmunir, 2017). Abrasi merupakan proses
pengikisan permukaan batuan oleh partikel yang terbawa oleh angin
(Octova, 2016). Transportasi adalah pemindahan sedimen oleh tenaga
angin dan dibagi menjadi bed load dan suspended load.
Keberadaan gumuk pasir di Wilayah Kepesisiran Parangkusumo -
Parangtritis merupakan suatu fenomena langka, karena berada di wilayah
beriklim tropis basah dan umumnya memiliki tipe barkhan atau bulan

- 24 -
sabit. Faktanya adalah, gumuk pasir barkhan ini merupakan satu-satunya
tipe gumuk pasir di Asia Tenggara (Simoen, 1996).
Proses terbentuknya gumuk pasir di Wilayah Kepesisiran
Parangkusumo - Parangtritis secara umum diawali dengan transportasi
material dari Gunungapi Merapi yang dialirkan oleh sungai, kemudian
pada akhirnya akan bermuara di laut. Pada musim Barat, angin dan arus
sejajar pantai akan membawa material pasir ke sisi timur dan barat sungai
hingga sejauh > 50 km. Material pasir yang terbawa ke sisi timur akan
terhalang oleh bukit karst yang terletak di sebelah timur Pantai
Parangtritis. Gunungapi Merapi berperan sebagai penyuplai utama
material pasir di gumuk pasir Parangtritis, dan keberadaan bukit karst di
sebelah timur Parangtritis sebagai penghalang. Pada musim Timur, angin
dari Australia membawa material pasir dan diendapkan di lokasi gumuk
pasir.
Proses terangkutnya material pasir oleh angin (deflasi) dibedakan
menjadi tiga proses, yaitu merayap, meloncat, dan melayang. Material
yang terangkut angin tersebut akan memiliki hubungan dengan ketinggian
perangkap pasir. Semakin tinggi letak perangkap pasir dari permukaan
pasir, maka akan semakin kecil diameter pasirnya. Hal tersebut juga
berlaku sebaliknya. Syarat terjadinya suatu deflasi yang baik antara lain
suatu wilayah harus memiliki material pasir yang melimpah, memiliki
periode kering yang panjang dan tegas, adanya angin yang mampu
membawa material pasir dengan adanya suatu bidang escarpment yang
mengakibatkan terakumulasinya tiupan angin (dalam hal ini keberadaan
Perbukitan Baturagung), serta gerakan angin yang tidak terhalang
(Mardianto, dkk., 2018).
Lokasi pengamatan secara absolut horizontal terletak pada
koordinat 8°01’05” S, 110°18’59” E dan secara absolut vertikal terletak
pada 10 mdpl. Lokasi secara administratif berada di Kecamatan Kretek,
Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Lokasi pengamatan
yang dahulu merupakan sebuah padang pasir yang gersang menjadi terisi

- 25 -
oleh vegetasi-vegetasi yang dijadikan sebuah tempat pariwisata dengan
seiring berkembangnya zaman.

Gambar 3.7. Citra Lokasi Pengamatan


(Sumber: Google Earth)
Karakteristik hidrologi pada Wilayah Kepesisiran Parangkusumo -
Parangtritis memiliki air permukaan yang berasal dari keberadaan Sungai
Opak di sekitar wilayah pengamatan tersebut. Airtanah pada Wilayah
Kepesisiran Parangkusumo - Parangtritis memiliki akuifer yang
bertengger dengan aliran air ke utara dan selatan. Lokasi pengamatan
tersebut termasuk dalam Cekungan Airtanah Yogyakarta Sleman yang
membentang mulai dari Gunungapi Merapi hingga wilayah kepesisiran
Kabupaten Bantul.
Perkembangan lokasi pengamatan menjadi sebuah kawasan
pariwisata yang merupakan desa pesisir dipengaruhi oleh aktivitas
perekonomian manusia yang melihat adanya suatu potensi ekonomis
dalam hal ini keindahan gumuk pasir dan keberadaan pantai. Akan tetapi,
dengan adanya aktivitas pariwisata tersebut mengakibatkan munculnya

- 26 -
fenomena dan masalah lingkungan fisik. Adanya pariwisata seperti wisata
jeep, penanaman vegetasi dengan fungsi sebagai tempat berteduh, dan
aktivitas sandboarding mengakibatkan material pasir menjadi padat
sehingga akan susah untuk tertransportasi dan akan mengalami deflasi
yang buruk. Akibat dari deflasi yang tidak baik akan menyebabkan
aktivitas gumuk pasir tersebut terhenti. Fenomena dan masalah
lingkungan sosial yang sering terjadi di lokasi pengamatan adalah
kurangnya perhatian pemerintah, sehingga banyak tumbuh tempat-tempat
prostitusi dan hiburan malam pada wilayah pengamatan tersebut.

3.2. Bentanglahan Transisi Zona Selatan dan Tengah Pulau Jawa


A. Genesis
Gunung Tenong merupakan sebuah bukit yang material batuannya
berupa batuan beku intrusi yang berkomposisi diorit mikro. Gunung
Tenong dikelilingi oleh perlapisan batuan piroklastika dengan komposisi
andesit – dasit, dan lava koheren berkomposisi andesit basalt – andesit
membentuk bentang alam mirip bentuk bulan sabit. Pada kondisi saat ini,
wilayah sekitar Gunung Tenong tersebut merupakan sebuah dataran
alluvial Lembah Bengawan Solo yang dikelilingi oleh perbukitan tinggi.
Geologi gunung api ini berasosiasi dengan batuan beku intrusi dan
kelompok batuan yang mengelilinginya diyakini sebagai sisa tubuh
Gunungapi purba Gajah Mungkur yang telah mengalami erosi tingkat
lanjut. Gunung Tenong tersebut juga diyakini sebagai suatu pusat erupsi
Gunungapi purba Gajah Mungkur.
Pada wilayah sekitar Gunung Tenong memiliki bentuk muka bumi
yang mirip dengan kaldera. Hal itu dapat mencerminkan sisa tubuh
kepundan Gunungapi purba Gajah Mungkur. Sisa kepundan tersebut
berupa batuan beku plutonik berkomposisi diorit piroksin – amfibol.
Secara ilmu kegunungapian fenomena bentang alam ini dapat
mengindikasikan bahwa lokasi tersebut merupakan sisa tubuh gunung api
purba yang telah mengalami pelapukan dan tererosi lanjut. Di sisi lain,

- 27 -
bentuk setengah melingkar pada sekitar wilayah Gunung Tenong
berhubungan dengan diameter kawah yang terbentuk setelah bagian
puncak hingga punggung Gunungapi purba Gajah Mungkur terbongkar
karena erupsi dahsyat yang diikuti terbentuknya kaldera Gajah Mungkur.
Hal lain yang mendukung adalah proses erosi, namun sangat kecil
pengaruhnya dalam pembentukan lembah kawah purbanya (Hartono,
2011; Sukandarrumidi, dkk., 2014).

B. Lokasi Pengamatan
Lokasi pengamatan secara absolut horizontal terletak pada
koordinat 7°47’08” S, 110°53’42” E dan secara absolut vertikal terletak
pada 118 mdpl. Lokasi pengamatan secara administratif berada di
Kecamatan Selogiri, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah.`Karakteristik
tanah yang terdapat pada lokasi pengamatan yaitu tanah alluvial yang
dipengaruhi oleh hasil sedimen Sungai Bengawan Solo. Karakteristik
tanah yang subur dan mudah diolah dapat dimanfaatkan sebagai lahan
pertanian.

Gambar 3.8. Kenampakan Gunung Tenong


(Foto: Dokumentasi Pribadi, 2022)

- 28 -
Gambar 3.9. Citra Lokasi Pengamatan
(Sumber: Google Earth)
Karakteristik hidrologi air permukaan bersumber dari Sungai
Bengawan Solo yang merupakan suatu DAS terbesar di Jawa. Aliran
sungainya perenial dengan recharge area yang luas. Kondisi air tanah
dengan jumlah air yang besar dan pola alirannya mengikuti topografi.
Karakteristik hayati pada lokasi pengamatan dapat ditemukan seperti
tanaman padi dan palawija. Hal itu dipengaruhi oleh kondisi wilayah
pengamatan dengan tidak adanya periode kering.
Fenomena dan masalah lingkungan fisik yang dapat ditemukan di
wilayah pengamatan yaitu pencemaran air, udara, dan tanah. Selain itu,
konversi lahan yang cepat dapat menjadi masalah lingkungan fisik karena
lahan pertanian akan semakin berkurang oleh alih fungsi lahan sebagai
wilayah pemekaran kota. Pada wilayah pengamatan juga sangat
dipengaruhi oleh Kota Surakarta yang merupakan suatu kota besar
sehingga akan semakin memperluas cakupan wilayahnya hingga ke arah
pinggiran. Masalah lingkungan fisik yang selanjutnya yaitu meluapnya
Sungai Bengawan Solo yang merupakan suatu DAS terbesar di Jawa.
Adapun karakteristik bentanglahan budaya yang berkembang pada
daerah atau kawasan yang berfungsi sebagai kawasan pinggiran atau juga
dapat diartikan wilayah sub urban sebagai wilayah peralihan desa ke kota.
Fungsi lahan didominasi oleh pertanian dan permukiman dengan mata
pencaharian didominasi sebagai petani, karyawan swasta, dan buruh.
Kondisi penduduk pada wilayah pengamatan didominasi oleh migrasi ke
kota besar, terutama Kota Surakarta karena jaraknya dekat. Migrasi
tersebut dikarenakan peluang kerja yang tidak besar dan didominasi oleh
sektor agraria. Migrasi yang dilakukan ialah migrasi ulang-alik karena
jarak yang ditempuh tidak begitu jauh. Akses pendidikan dan kesehatan
pada wilayah pengamatan tersebut sangat mudah dijangkau karena
letaknya yang tidak jauh dari pusat kota.

- 29 -
3.3. Bentanglahan Zona Tengah Pulau Jawa
Bentanglahan zona Tengah Pulau Jawa banyak dijumpai oleh
deretan gunung api-gunung api dan depresi-depresi, hal itu dipengaruhi
karena proses konvergensi lempeng tektonik yang terjadi di selatan Jawa.
Gunung api di zona Tengah mempunyai aktivitas yang tinggi sehingga
mampu menyumbangkan material-material vulkanik dengan tingkat
kesuburan yang tinggi bagi tanaman. Terdapat pula suatu
cekungan-cekungan menjadikan daerah ini disebut pula sebagai zona
intervolcanic basin dimana zona ini mempunyai akuifer yang sangat
bagus sehingga memicu kesuburan tanah sehingga masyarakat dapat
memanfaatkannya.

3.3.1. Bentanglahan Asal Proses Vulkanik


A. Genesis
Bentanglahan asal proses vulkanik ialah bentanglahan yang
dikontrol oleh proses vulkanisme di dalam proses terciptanya.
Vulkanisme adalah fenomena keluarnya magma dari permukaan bumi
(Herlambang, 2014). Bentanglahan asal proses vulkanik merupakan
bentanglahan yang sangat identik dengan gunung api. Pergerakan
lempeng sebagai pembentukan bentanglahan asal proses vulkanik atau
gunung api dibagi menjadi tiga, yakni divergen, konvergen, dan transform
(Sumardani, 2018). Gerakan divergen ialah gerakan saling menjauh
sehingga menimbulkan rekahan. Gerakan konvergen ialah pergerakan
lempeng yang bertumbukan sehingga terjadi subduksi. Gerakan
konvergen memicu terbentuknya deretan gunung api di zona tengah.
Gerakan transform ialah pergerakan saling geser antar benua yang sejajar
berlawanan sehingga menimbulkan rekahan. Terdapat 7 tipe letusan
gunungapi, yakni Hawaiian, Iceland, Strombolian, Vulvanian, Vesuvian,
Plinian, Pelean (Arie Poldevaart, 1917). Gunungapi tidak terbentuk
karena lipatan, erosi, maupun pengangkatan, tetapi membentuk tubuhnya

- 30 -
sendiri oleh adanya pengumpulan bahan erupsi seperti lava, jatuhan dan
aliran laharik (Sumintaredja, 2000).
Gunungapi Ungaran mengalami letusan yang mengalami proses
pembekuan sehingga terbentuk Gunungapi Ungaran. Proses pembekuan
tersebut berasal dari magma terdahulu yang mengalami proses
pembekuan dan berhenti tiba-tiba. Kondisi tersebut dapat disebut sebagai
sudden stop. Material yang dihasilkan pada proses pembekuan tersebut
bersifat hornblende atau material yang menutupinya. Sifat magma
gunungapi di Indonesia didominasi sifat intermediet. Gunungapi
intermediet dapat menghasilkan magma yang bersifat asam maupun basa.
Dengan demikian, rata-rata tipe gunungapi di Indonesia adalah tipe strato.
Tipe strato tersusun dari selang-seling endapan lava, aglomerat, bom,
lapili, pasir, dan tuff.

B. Lokasi Pengamatan
I. Gunungapi Merapi di Kali Putih
Lokasi pengamatan secara absolut horizontal terletak pada
koordinat 7°36’19,03” S, 110°18’5,5” E dan secara absolut vertikal
terletak pada 360 mdpl. Lokasi pengamatan secara administratif berada di
Desa Jumoyo, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang. Kali Putih
merupakan salah satu sub daerah aliran sungai Progo yang telah terkena
dampak banjir lahar hujan pasca erupsi Gunungapi Merapi tahun 2010.
Lokasi Kali Putih berada di lereng barat daya Gunungapi Merapi yang
berpotensi terkena banjir lahar.

- 31 -
Gambar 3.10. Kenampakan Kali Putih
(Foto: Dokumentasi Pribadi, 2022)

Gambar 3.11. Citra Lokasi Pengamatan


(Sumber: Google Earth)
Material yang terdapat di lokasi pengamatan tersebut merupakan
material piroklastik dan vulkanik muda. Kemudian, jenis tanah berupa
tanah regosol dan litosol yang relatif masih muda. Tanah yang subur di
daerah pengamatan tersebut difungsikan sebagai daerah pertanian oleh
masyarakat sekitar. Morfologi daerah pengamatan merupakan morfologi
terjal sehingga apabila terjadi banjir lahar, aliran airnya akan cukup deras.
Karakteristik hidrologi aliran sungai permukaan berupa air yang
tawar dan jernih. Hal itu terjadi karena material yang dialirkan sangat kecil
dan tidak tersuspensi sehingga airnya jernih. Akuifer material pasir di
daerah kaki Gunungapi cukup banyak. Sumber mata air-mata air di lokasi
pengamatan tersebut banyak bersumber dari mata air yang banyak
ditemukan di kerucut hingga lereng gunungapi. Karakteristik hayati yang
dapat ditemukan di lokasi pengamatan seperti pisang, padi, dan tanaman
sejenisnya.
Fenomena dan masalah lingkungan fisik yang terjadi di lokasi
pengamatan bersumber dari erupsi Gunungapi Merapi. Apabila daerah
utara mengalami erupsi gunungapi, maka di daerah selatan mengalami
gempa. Selain itu, material erupsi yang dimuntahkan oleh gunungapi dan
membentuk deposit lahar, sewaktu hujan dapat menjadi sebuah banjir

- 32 -
lahar. Banjir lahar tersebut dapat mempengaruhi kondisi fisik dataran
alluvial sekitar lokasi pengamatan.
Adapun mengenai kondisi kependudukan di area sekitar lokasi
pengamatan dengan jumlah penduduk sebesar 8.527 jiwa. Dengan
didominasi berprofesi sebagai karyawan swasta dan buruh. Pada wilayah
tersebut laju pertumbuhan penduduknya sebesar 0.79% yang tergolong
relatif rendah. Angka kepadatan penduduk pada wilayah sekitar lokasi
pengamatan sebesar 2.243 jiwa/km2. Sex ratio sebesar 99.4 dengan
didominasi banyak perempuan. .
Kondisi wilayahnya dipengaruhi oleh karakteristik bentang budaya
pada lokasi pengamatan berupa pinggiran perkotaan yang didominasi
aktivitas perdagangan dan migrasi. Permukiman yang terdapat di
sekitarnya merupakan permukiman sederhana yang tidak begitu padat dan
memiliki pola yang mengelompok dengan tipe permanen yang berbahan
dasar batu bata dan semen. Akses pendidikan dan kesehatan di sekitar
lokasi pengamatan tergolong mudah hingga sangat mudah.
Terjadinya erupsi mengakibatkan material-material yang
merupakan material erupsi bisa dikonversi dalam nilai ekonomi melalui
aktivitas tambang. Hal tersebut merupakan suatu aktivitas perekonomian
pada lokasi pengamatan dengan melakukan tambang pasir. Pada lokasi
pengamatan tersebut juga digunakan pula sebagai wisata ilmiah sehingga
daerah tersebut merupakan tempat perdagangan dan jasa.
Fenomena dan masalah lingkungan sosial pada wilayah tersebut
adalah terdapatnya tambang pasir ilegal. Tambang ilegal dapat
mempengaruhi dan merubah kondisi sekitar sungai. Selain itu, adanya alih
fungsi lahan sebagai daerah perdagangan dan jasa akan mempengaruhi
aliran sungai.

- 33 -
II. Gunungapi Ungaran di Bandungan
Lokasi pengamatan secara absolut horizontal terletak pada
koordinat 7°13’18” S, 110°21’55” E dan secara absolut vertikal terletak
pada 940 mdpl. Lokasi pengamatan secara administratif berada di
Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang, Provinsi Jawa Tengah.
Karakteristik tanah yang terdapat pada lokasi pengamatan yaitu tanah
yang sangat subur karena terdiri dari material piroklastik (berpasir,
lembab, sejuk, dan tebal). Secara lebih spesifik tanah di daerah
pengamatan tersebut merupakan tanah andosol yang telah mengalami
dekomposisi. Tanah andosol memiliki warna hitam pekat dengan
kesuburan tinggi. Oleh karena itu, pada Kecamatan Bandungan banyak
dijumpai vegetasi yang dapat tumbuh seperti sayur-sayuran, buah-buahan,
tanaman berkayu, dan bunga. Material batuannya berupa material
piroklastik yang berasal dari aktivitas vulkanik dengan berbagai ukuran.

Gambar 3.12. Citra Lokasi Pengamatan


(Sumber: Google Earth)
Karakteristik air permukaan pada wilayah pengamatan tersebut
sangat melimpah dengan sungai bersifat perenial yang mengalir
sepanjang tahun. Air permukaan ini berasal dari infiltrasi air hujan, tetapi
dikarenakan banyaknya lahan tertutup, maka air hujan tersebut dapat
menjadi aliran permukaan yang mengalir di atas permukaan tanah menuju
ke sungai. Selain itu air permukaan juga muncul pada tekuk lereng yang
kemudian mengalir mengikuti lembah-lembah. Adanya tekuk-lereng
tersebut mengakibatkan mata air yang dihasilkan pada kualitas yang baik.

- 34 -
Lereng Gunungapi Ungaran memiliki air tanah yang dalam tetapi
potensial. Karakteristik air tanah juga melimpah dengan kuantitas dan
kualitas yang baik. Potensi lahan di Gunungapi Ungaran dapat dicirikan
dengan lahan yang subur dengan ditemukan mataair pada tekuk lereng.
Fenomena dan masalah lingkungan fisik yang terjadi di Kecamatan
Bandungan, Kabupaten Semarang, Provinsi Jawa Tengah adalah limpasan
permukaan yang mengalir berdebit banyak. Pada wilayah pengamatan
tersebut memiliki lereng yang curam dan sedikit ditemukan daerah tadah
hujan. Apabila terjadi hujan yang sangat lebat, limpasan permukaan yang
memiliki debit yang besar dapat mengakibatkan banjir di bagian hilir.
Akan tetapi, dengan melihat adanya peluang untuk mengubah
permasalahan fisik menjadi potensi pariwisata. Masyarakat setempat
memunculkan potensi untuk menjadi kawasan wisata yang dapat menarik
pengunjung dan kemunculan kawasan wisata dapat membuka peluang
pekerjaan bagi masyarakat secara langsung maupun tidak langsung.

Gambar 3.13. Kenampakan Bandungan


(Foto: Dokumentasi Pribadi, 2022)
Wilayah Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang, Provinsi
Jawa Tengah merupakan sebuah bentang pedesaan dengan dipengaruhi
oleh aktivitas pertanian dan pariwisata. Kondisi kependudukan di area
sekitar lokasi pengamatan dengan jumlah penduduk sebesar 2330 jiwa.
Mayoritas mata pencaharian pada wilayah pengamatan sebagai petani.
Pola permukiman pada wilayah tersebut mengelompok dan mengikuti
jalan dengan bangunan bertipe permanen yang berbahan dasar batu bata

- 35 -
dan semen. Kondisi kependudukan pada pedesaan sekitar lokasi
pengamatan memiliki tekanan yang cukup kuat. Masyarakat asli daerah
tersebut yang didominasi berprofesi sebagai petani merasa tertekan oleh
adanya investor-investor luar yang berinvestasi pariwisata pada wilayah
tersebut. Masyarakat pedesaan sekitar lokasi pengamatan mengalami
kesenjangan sosial. Akibat dari adanya kesenjangan sosial, pada wilayah
tersebut mengalami pergeseran sosial dari profesi petani ke pengusaha.
Fenomena dan masalah sosial yang lain pada area sekitar lokasi
pengamatan adalah banyaknya konversi lahan yang terjadi. Konversi
tersebut berkaitan dengan tekanan yang penduduk asli alami seperti yang
disebutkan sebelumnya. Investor yang bergerak di bidang pariwisata
melihat potensi pada wilayah Bandungan yang memiliki kenampakan
alam cukup indah. Oleh karena itu banyak dibangun penginapan hingga
villa. Bangunan-bangunan tersebut berdiri di lahan yang tadinya
merupakan lahan pertanian milik warga sekitar.

3.3.2. Bentanglahan Asal Proses Fluvio-vulkanik


A. Genesis
Terbentuknya bentanglahan asal proses Fluvio-Vulkanik
disebabkan oleh adanya aktivitas vulkanik yang selanjutnya dipengaruhi
oleh iklim. Proses tersebut menjadi dasar terbentuknya sungai-sungai yang
juga ikut mempengaruhi terbentuknya bentanglahan asal proses
fluvio-vulkanik. Aliran Sungai (fluvio) yang membawa material- material
gunungapi ter sedimentasi di daerah yang bertopografi datar sehingga
dapat membentuk dataran-dataran aluvium atau dataran banjir, sehingga
pada proses ini akan terbentuk sebuah bentanglahan karena proses
fluvio-vulkanik.
Bentanglahan asal proses fluvio-vulkanik memiliki karakteristik
yang tanah yang subur sehingga pada daerah dataran-dataran banjir
dimanfaatkan sebagai zona pertanian lahan basah maupun kering (Santosa,
2016). Aliran permukaan pada bentanglahan asal proses fluvio-vulkanik

- 36 -
disebabkan karena adanya proses rembesan oleh mata air di tekuk-tekuk
lereng. Kondisi tersebut terjadi karena sifat dari piroklastik yang
menyebabkan terbentuknya akuifer yang bagus secara kualitas sehingga
air tanah dapat tersimpan dengan baik.

B. Lokasi Pengamatan
I. Lembah antar Gunungapi Rawa Pening
Terbentuknya Rawa Pening karena adanya sebuah longsoran yang
sangat besar ketika terjadinya erupsi di masa lampau. Material longsoran
tersebut sulit untuk diidentifikasi karena adanya tutupan material yang
lebih muda. Erupsi Gunung Merapi, Merbabu, dan Lawu adalah erupsi
yang relatif lebih baru dan mengubur erupsi yang lebih lama.
Terbentuknya basin tersebut karena adanya material yang menutupi aliran
air dari berbagai gunung di sekitar yang kemudian basin tersebut terisi air
dan menjadi perairan. Air di daerah tersebut bersumber dari pegunungan
dan perbukitan di sekitarnya seperti Suropati-Telomoyo dan Gunung
Ungaran. Secara alami air menggenang selama ribuan tahun dan
membentuk rawa eutrofik dengan suplai sedimen dan nutrien oleh
aktivitas pertanian dan perikanan disekitarnya. Kapasitas air pada Rawa
Pening berkisar antara 25 juta m3- 65 juta m3 yang banyak dimanfaatkan
untuk kebutuhan irigasi sawah, pembangkit tenaga listrik, perikanan,
kebutuhan rumah tangga dan wisata (Guritno, 2003).

Gambar 3.13. Kenampakan Rawa Pening


(Foto: Dokumentasi Pribadi, 2022)

- 37 -
Lokasi pengamatan secara absolut horizontal terletak pada
koordinat 07°16’17,94” S dan 110°25’17,9” E dan secara absolut vertikal
terletak pada 470 mdpl. Lokasi pengamatan secara administratif berada di
Kabupaten Semarang Jawa Tengah dibatasi oleh empat kecamatan yaitu
Ambarawa, Tuntang, Bawen dan Banyubiru. Rawa Pening merupakan
sebuah danau yang memiliki relief datar dari basin yang dikelilingi oleh
perbukitan dan pegunungan Suropati-Telomoyo dan Ungaran pada zona
inter-volcano basin dengan kemiringan 0-8%. Morfologinya berupa
cekungan alami dengan relief datar hingga landai dan terjadi proses erosi
serta sedimentasi.

Gambar 3.14. Citra Lokasi Pengamatan


(Sumber: Google Earth)

Karakteristik hidrologi dari lokasi pengamatan yaitu memiliki air


permukaan berasal dari gunung-gunung di sekitar Rawa Pening. Air
tanahnya sulit didapat karena memiliki jenis tanah berupa lempung dan
lumpur sehingga sulit untuk menyimpan air tanah. Karakteristik hayati
dapat ditemukan pohon vegetasi tinggi, pohon berkayu, tegakan, dan
eceng gondok. Selain itu, ditemukan pula tambak-tambak ikan air tawar.
Fenomena dan masalah lingkungan fisik yang ditemukan di sekitar
lokasi pengamatan yaitu terjadinya eutrofikasi. Penelitian yang dilakukan
oleh Aida dan Utomo (2016) menunjukkan bahwa nilai kesuburan perairan
di Rawa Pening memiliki tingkat kesuburan yang tinggi, namun
kecerahannya rendah dikarenakan banyaknya material sedimen serta
perairan yang telah eutrofik. Hal tersebut yang mengakibatkan eceng

- 38 -
gondok dapat berkembang pesat dan sulit untuk dikendalikan. Dampak
dari berkembangnya eceng gondok secara pesat adalah terhadap kualitas
air menjadi kurang baik dan akan menghambat pertumbuhan ikan, karena
pernafasan terganggu, dan daya dukung perairan untuk perikanan menjadi
berkurang.
Karakteristik bentang budaya pada lokasi pengamatan berupa
pedesaan yang didominasi aktivitas pertanian. Kondisi kependudukan pada
Kecamatan Ambarawa merupakan kecamatan dengan kepadatan penduduk
tertinggi. Jumlah penduduk pada sekitar lokasi pengamatan yang
mencakup Kecamatan Ambarawa, Tuntang, Bawen, dan Banyubiru
sebesar 37.000-38.000 jiwa. Adapun pola permukimannya adalah
menyebar dengan mata pencaharian utama sebagai petani lahan kering.
Mata pencaharian masyarakat didominasi oleh profesi petani dan
buruh. Berkembangnya perekonomian di wilayah tersebut dengan adanya
perikanan dan pariwisata kuliner bahari di lokasi pengamatan tersebut.
Ditemukan pula pengrajin souvenir yang berasal dari kerajinan eceng
gondok. Kerajinan eceng gondok sendiri secara tidak langsung dapat
mengurangi tingkat populasi eceng gondok di Rawa Pening. Rawa Pening
merupakan danau prioritas nasional yang memiliki keunikan sehingga
harus dilindungi.
Akses pendidikan dan kesehatan di sekitar Rawa Pening tergolong
mudah dijangkau. Akan tetapi, mayoritas penduduk di sekitar lokasi
pengamatan tersebut berpendidikan rendah sehingga kualitas sumberdaya
manusianya kurang kompetitif di dunia kerja. Hal tersebut memicu
permasalahan lingkungan sosial di sekitar Rawa Pening berupa konflik
sosial dan ekonomi yang diakibatkan oleh sumber daya manusia yang
rendah serta sumber daya alam yang berkurang.

- 39 -
II. Lembah Sungai Progo dan Kota Magelang
Lokasi pengamatan secara absolut horizontal terletak pada
koordinat 7°34’24,3” S, 110°20’97,3” E dan secara absolut vertikal
terletak pada 460 mdpl. Lokasi pengamatan secara administratif berada di
Desa Madureso, Kecamatan Temanggung, Kabupaten Temanggung,
Provinsi Jawa Tengah. Sungai Progo merupakan sungai yang memiliki
hulu di Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing. Sungai ini melintasi Jawa
Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Material yang dibawa oleh
aliran Sungai Progo merupakan material vulkanik yang umumnya berasal
dari Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing.

Gambar 3.15. Kenampakan Sungai Progo


(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2022)
Sungai Progo bersifat perenial atau tidak pernah surut dan terus
mengalir sepanjang tahunnya. Morfologi sungai ini yaitu terjal pada
bagian hulu dan semakin landai hingga muara dengan relief berombak dan
bergunung. Pembentuknya dikarenakan aktivitas material vulkanik yang
terbawa, terkikis, dan ter sedimentasi oleh aliran sungai.
Karakteristik hidrologi pada lembah Sungai Progo memiliki air
berwarna keruh dikarenakan material yang terbawa berupa material
vulkanik, batuan sedimen, dan lumpur yang terbawa ketika banjir lahar
dingin. Air sungai mendapat pasokan air yang berasal dari mata air-mata
air di Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing. Karakteristik tanahnya

- 40 -
berupa tanah latosol dengan material penyusun berupa lempungan.
Terdapat mata air yang merembes di kanan-kiri sungai. Akan tetapi,
jumlahnya tidak banyak karena akan diserap oleh lempung. Karakteristik
hayati berupa tanaman pertanian, pepohonan, padi, ketela, dan jagung.
Adapun mengenai kondisi kependudukan di area sekitar lokasi
pengamatan dengan jumlah penduduk sebesar 4.342 jiwa. Dengan
didominasi berprofesi sebagai petani. Pada wilayah tersebut laju
pertumbuhan penduduknya sebesar 1,6% yang tergolong relatif cepat.
Angka kepadatan penduduk pada wilayah sekitar lokasi pengamatan
sebesar 2.139 jiwa/km2. Sex ratio sebesar 95.94 dengan didominasi
banyak perempuan. Wilayah sekitar lokasi pengamatan mayoritas
beragama islam dengan persentase 97,7%.

Gambar 3.16. Citra Lokasi Pengamatan


(Sumber: Google Earth)
Kondisi wilayahnya dipengaruhi oleh karakteristik bentang budaya
pada lokasi pengamatan berupa pinggiran perkotaan yang didominasi
aktivitas pertanian dan perindustrian. Area sekitar lokasi pengamatan
merupakan area pinggiran perkotaan karena telah terjadi peningkatan
pekerjaan di bidang jasa. Permukiman yang terdapat di sekitarnya
merupakan permukiman sederhana yang tidak begitu padat dan memiliki
pola yang mengikuti jalan. Akses pendidikan dan kesehatan di sekitar
lokasi pengamatan tergolong mudah hingga sangat mudah.

- 41 -
Fenomena dan masalah lingkungan sosial yang terdapat di lokasi
pengamatan adalah sebagai penyumbang gizi buruk yang besar di daerah
Kabupaten Temanggung. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
perhatian orang tua kepada anaknya masih sangat kurang dan abai dalam
memperhatikan keseimbangan gizi dan pola hidup anaknya. Selain
fenomena dan masalah lingkungan sosial, terdapat pula fenomena dan
masalah lingkungan fisik.
Fenomena dan masalah lingkungan fisik yang terdapat pada lokasi
pengamatan berupa pelapukan, erosi, dan longsor tebing. Erosi merupakan
suatu permasalahan DAS Sungai Progo yang paling mendominasi. Salah
satu penyebab erosi yaitu berkurangnya vegetasi pada daerah hulu DAS,
sehingga menimbulkan terjadinya limpasan dan meningkatkan laju erosi,
Jika erosi terus berlanjut akan mengakibatkan hilangnya lapisan tanah atas
yang kemudian terbawa oleh sungai-sungai di hilir dan menyebabkan
sedimentasi. Sedimen di bagian hilir DAS Progo berasal dari beberapa
anak sungai, terutama yang berasal dari Gunung Merapi.

III. Dataran Aluvial Lembah Bengawan Solo di Kota Solo


Surakarta merupakan wilayah basin intervulkanik antara Gunung
Lawu - Gunung Merapi - Gunung Merbabu yang diantaranya mengalir
Sungai Bengawan Solo. Material hasil erupsi dari kedua gunung tertimbun
dan diendapkan selama bertahun-tahun di basin tersebut. Selain itu,
pengaruh proses fluvial yang semakin menyebarkan material dan
mencirikan lembah fluvio-vulkanik gunungapi.

- 42 -
Gambar 3.17. Citra Lokasi Pengamatan
(Sumber: Google Earth)
Kota Solo Baru adalah suatu kota mandiri yang dikembangkan oleh
PT. Pondok Solo Permai. Tujuan dibangunnya Kota Solo Baru tersebut
sebagai kota satelit yang dibangun di atas area seluas 200 ha. Kota Solo
Baru memiliki fungsi sebatas sebagai penyedia layanan pemukiman bagi
kota besar, dalam hal ini Kota Surakarta. Akan tetapi, dengan seiring
berkembangnya waktu, Kota Solo Baru tumbuh menjadi kota satelit
dengan fungsi desentralisasi kawasan perkotaan yang kepadatannya
berlebihan, pemenuh penghidupan dari tempat tinggal, jasa-perdagangan,
dan lapangan kerja, lalu sebagai pemenuh fasilitas bagi wilayah desa di
dekatnya (Zahnd, 2006).

Gambar 3.18. Solo at the Night


(Foto: Dokumentasi Pribadi, 2022)
Kota Solo Baru dan Kota Surakarta memiliki morfologi lembah
dengan material penyusun berupa material alluvial yang berasal dari
Sungai Bengawan Solo. Penggunaan lahan dimanfaatkan untuk
pemukiman, jasa, dan pusat perdagangan. Akan tetapi, perbedaan
keduanya terletak pada fungsi dan peruntukannya. Kota Solo Baru
merupakan kota satelit sehingga tidak memiliki perkantoran dan pusat

- 43 -
administrasi kota atau kabupaten sebagaimana Kota Surakarta.
Karakteristik tanah dari Kota Solo sendiri merupakan tanah aluvial yang
subur serta memiliki karakteristik hidrologi berupa keterdapatan air
permukaan yang disuplai dari Sungai Bengawan Solo. Kondisi
kependudukan pada area lokasi pengamatan yaitu banyaknya migrasi
masuk untuk mencari lapangan pekerjaan di Kota Solo Baru. Kota Solo
Baru memiliki kepadatan penduduk yang relatif tinggi. Mayoritas
masyarakat Kota Solo Baru beragama Islam.
Fenomena dan masalah lingkungan sosial yang dihadapi warga
antara lain mulai munculnya pemukiman kumuh dan semakin parah
apabila sungai Bengawan Solo meluap (Prasetyo dan Firdaus, 2009).
Selain itu, meningkatnya volume kendaraan yang berbanding lurus dengan
naiknya tingkat kemacetan di jalanan sekitar lokasi pengamatan. Dengan
demikian, dampak dari adanya kemacetan juga dapat meningkatkan polusi
udara. Kota Solo Baru juga memiliki masalah lingkungan sosial yang
utama, yakni kesenjangan antara warga biasa dengan pemukiman elit. Hal
tersebut dapat terlihat jelas pada bangunan-bangunan yang
mengelompok-mengelompok yang telah diatur oleh pihak swasta dengan
konsep sektoral.

3.4. Bentanglahan Transisi Zona Tengah dan Utara Pulau Jawa Kubah
Sangiran di Sragen
Transisi zona tengah dan utara merupakan zona yang dipenuhi
oleh bentukan depresi dan juga jajaran gunung api – gunung api yang
memberikan tekanan secara endogen. Material-material yang ditemukan
pada transisi zona tengah dan utara bersifat plastis. Aktivitas-aktivitas
gunungapi tersebut juga memberikan pengaruh berupa gaya yang bersifat
menekan dari arah selatan dan dari arah utara. Akibat adanya gaya yang
menekan tersebut menyebabkan material-materialnya menyembul ke atas
dan terbentuk sebuah bentukan kubah-kubah.

- 44 -
A. Genesis
Kubah Sangiran merupakan suatu bentuklahan struktural yang
terbentuk karena adanya proses endogen berupa proses tektonik atau
diastropisme. Proses tektonik atau diastropisme meliputi pengangkatan,
penurunan, dan juga perlipatan kerak bumi sehingga terbentuk struktur
geologi yang berupa lipatan dan patahan (Dibyosaputro, 2016). Kubah
Sangiran berasal dari suatu proses diapirisme karena ada dua tekanan dari
arah yang berbeda. Tekanan tersebut berasal dari Gunung Lawu dan
lempeng tektonik lainnya. Tenaga endogen yang terjadi berulang-berulang
mengakibatkan permukaan tanah di sangiran naik. Hal tersebut berakibat
adanya dorongan dari dalam dan membentuk suatu bukit.
Formasi pembentukan daerah Sangiran beserta kondisi yang terjadi
pada masa tersebut sebagai berikut:
1. Formasi Kalibeng
Formasi Kalibeng terbentuk sejak 2.400.000 tahun yang lalu dan
pada masa itu wajah Sangiran adalah dasar laut.

Gambar 3.19. Papan Penjelasan di Museum Sangiran


(Foto: Dokumentasi Pribadi, 2022)
2. Formasi Pucangan
Formasi Pucangan terbentuk sejak 1.800.000 tahun yang lalu, pada
masa itu Sangiran adalah lingkungan peralihan dari laut menuju
daratan.

- 45 -
3. Formasi Grenzbank
Formasi Grenzbank terbentuk sejak 900.000 tahun yang lalu dan
pada saat itu, Sangiran telah beralih menjadi daratan. Sebelum
menjadi daratan sepenuhnya, Sangiran seolah riuh oleh pergolakan
alam.
4. Formasi Kabuh
Formasi Kabuh terbentuk sejak 730.000 tahun yang lalu dan pada
masa itu Sangiran menjelma menjadi sabana hijau yang dinamis.
Pada masa ini fauna dan Homo erectus Sangiran merayakan
kehidupannya.
5. Formasi Notopuro
Formasi Notopuro terbentuk sejak 300.000 tahun yang lalu dan
pada saat itu, Sangiran merupakan wilayah berupa lahan kering dan
tandus. Di tengah kerapnya letusan gunungapi yang mengelilingi
Sangiran, sungai-sungai yang ada menjadi mengering. Sabana yang
subur berlimpah air berubah menjadi gersang.

Gambar 3.20. Papan Penjelasan di Museum Sangiran


(Foto: Dokumentasi Pribadi, 2022)

- 46 -
B. Lokasi Pengamatan
Lokasi pengamatan secara absolut horizontal terletak pada
koordinat 7°27’27” S, 110°50’03” E dan secara absolut vertikal terletak
pada 110 mdpl. Lokasi secara administratif berada di Kabupaten Sragen,
Jawa Tengah. Karakteristik tanah pada lokasi pengamatan yaitu tanah
lempung dengan kembang-kerut yang tinggi dan breksi, hal tersebut
berkaitan dengan kondisi lingkungan Sangiran pada masa lampau, yaitu
berada di bawah laut. Tanah lempung memiliki tekstur yang halus,
porositas besar, serta kedap air. Hal tersebut dapat menimbulkan masalah
kekeringan apabila sedang musim kering. Kondisi tanah yang memiliki
karakteristik seperti itu dapat menyebabkan mata pencaharian petani di
lokasi pengamatan bersifat musiman. Apabila sedang musim kering, maka
sebagian petani akan melakukan migrasi keluar, sehingga disebut migrasi
ulak-alik yang bergantung dengan musim.

Gambar 3.21. Citra Lokasi Pengamatan


(Sumber: Google Earth)
Kondisi hidrologi permukaan di sekitar lokasi pengamatan saat
musim hujan terdapat aliran permukaan, akan tetapi saat musim kemarau
tidak ada aliran permukaan. Kondisi airtanahnya sangat susah karena
formasi material penyusunnya terdapat breksi, lempung, lempung laut
dalam, gamping, dan lempung danau. Sehingga dengan ciri impermeable
hingga semi impermeable sulit untuk menghasilkan air tanah pada lokasi
pengamatan tersebut. Karakteristik hayati yang dapat ditemukan di sekitar

- 47 -
lokasi pengamatan yaitu adanya kadal, ular, biawak, elang jawa, serta
ditemukan pohon jati yang memiliki kualitas kayu yang baik.
Kondisi wilayahnya dipengaruhi oleh karakteristik bentang budaya
pada lokasi pengamatan berupa pedesaan yang didominasi aktivitas
pertanian dan migrasi. Permukiman yang terdapat di sekitarnya merupakan
permukiman yang tidak begitu padat dan memiliki pola yang
mengelompok dan linier di sepanjang jalan dengan tipe bangunan
permanen hingga semi permanen. Akses pendidikan dan kesehatan di
sekitar lokasi pengamatan tergolong mudah hingga sangat mudah.
Fenomena dan masalah lingkungan sosial yang terdapat di lokasi
pengamatan adalah terdapat konflik kepentingan berupa ketidakpastian
hak milik tanah dan konflik antara pemilik tanah setempat dan
pengembang wisata.

3.5. Bentanglahan Zona Utara Pulau Jawa


3.5.1. Bentanglahan Asal Proses Struktural Lipatan
A. Genesis
Bentuklahan struktural adalah bentuklahan yang diakibatkan
karena adanya tenaga endogen atau diatropisme yang bekerja, sehingga
terjadinya patahan dan lipatan. Menurut Anderson & Burbank (2008),
tenaga endogen menghasilkan jenis tekanan yang berbeda, yaitu tekanan
normal (saling mendekat), thrust (saling menjauh), dan strike-slip
(bergesekan). Bentanglahan struktural merupakan fitur geomorfik yang
dikendalikan oleh struktur geologi yang mendasarinya serta sebaran
batuan dengan ketahanan yang berbeda terhadap erosi (Gutiérrez, 2016).
Keberadaan bentuklahan proses asal struktural dapat diketahui dengan
penginterpretasian peta maupun citra penginderaan jauh (Haryanto, 2013).
Lipatan terjadi apabila tenaga endogen tersebut tidak melebihi daya
elastisitas material terhadap tekanan. Sementara patahan terjadi apabila
tenaga endogen tersebut melebihi besarnya daya elastisitas dari material
tersebut. (Dibyosaputro, 2016). Proses lipatan (folded process), yaitu suatu

- 48 -
proses yang menyebabkan susunan kulit bumi berbentuk lipatan
(gelombang) akibat adanya aktivitas tenaga endogen dengan arah yang
mendatar dari dua arah yang berlawanan terhadap material penyusun yang
bersifat plastis atau elastis. Hal tersebut mengakibatkan lapisan-lapisan di
sekitarnya menjadi terlipat, membentuk puncak lipatan (antiklinal) dan
lembah lipatan (sinklinal).

B. Lokasi Pengamatan
I. Sinklinorium Randublatung Lembah Jono
Lokasi pengamatan Sinklinorium Randublatung Lembah Jono
secara absolut horizontal terletak pada koordinat 07°05’12” S,
110°58’54,5” E dan secara absolut vertikal terletak pada 30 mdpal. Lokasi
pengamatan secara administratif berada di Desa Jono, Kecamatan
Kawangharjo, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Lokasi pengamatan
tersebut memiliki fenomena yang unik karena terdapat suatu tambak
garam di desa tersebut. Keberadaan garam tersebut tak lepas dari sejarah
terbentuknya morfologi Desa Jono. Pembentukan morfologi Pulau Jawa
diawali oleh pengangkatan zona selatan dan diikuti oleh pengangkatan
zona utara. Sebagian zona utara terlipat membentuk suatu pegunungan
lipatan. Pegunungan lipatan tersebut seperti Pegunungan Kendeng dan
Pegunungan Rembang. Diantara kedua pegunungan tersebut terdapat suatu
depresi yang merupakan perairan laut dangkal.

- 49 -
Gambar 3.22. Citra Lokasi Pengamatan
(Sumber: Google Earth)
Terbentuknya Formasi Randublatung disebabkan oleh terangkatnya
depresi tersebut sehingga membentuk daratan. Daratan yang telah
terbentuk kemudian dilapisi oleh endapan Sungai Lusi sehingga
membentuk dataran aluvial. Akan tetapi, saat terjadinya pengangkatan
zona depresi tersebut mengakibatkan terjebaknya air laut yang semula
mengisi zona depresi sehingga terdapat perched aquifer atau akuifer
menggantung yang berisi air asin. Air asin sendiri keluar karena adanya
suatu dorongan dari dalam bumi serta adanya proses diapirisme yang
dilakukan oleh gas metana. Pada saat ini, munculnya air asin tersebut
dapat dimanfaatkan oleh masyarakat Desa Jono sebagai tambak garam,
yang disebut Garam Bleng. Garam memiliki tingkat keasinan air mencapai
lebih dari 4500 μ mohs.

Gambar 3.22. Area Tambak Garam


(Foto: Dokumentasi Pribadi, 2022)

Kondisi hidrologi lokasi pengamatan yaitu memiliki air permukaan


yang berasal dari Sungai Lusi. Terdapat airtanah asin yang berasal dari air
laut purba yang terangkat lewat pertukaran kation, sehingga disebut air
tanah fosil. Akibat air tanah yang dihasilkan dalam kondisi asin, maka
warga sekitar memenuhi kebutuhan air bersih dengan menggunakan air
dari PDAM. Karakteristik tanah yang terdapat pada lokasi pengamatan
yaitu tanahnya memiliki jenis lempung monthmorilonith dengan sifat

- 50 -
kembang-kerut lempung. Tanah ini juga disebut sebagai tanah vertisol.
Sifat kembang-kerut dari tanah ini berpotensi merusak aspal dan
infrastruktur lain. Karakteristik tanah tersebut dapat dimanfaatkan sebagai
lahan pertanian kering.

Gambar 3.23. Mata air Asin Desa Jono


(Foto: Dokumentasi Pribadi, 2022)
Kondisi wilayahnya dipengaruhi oleh karakteristik bentang budaya
pada lokasi pengamatan berupa pedesaan yang didominasi aktivitas
pertanian dan tambak garam. Kondisi kependudukan di area sekitar lokasi
pengamatan dengan jumlah penduduk sebesar 2.361 jiwa. Dengan
didominasi berprofesi sebagai karyawan swasta dan buruh. Pada wilayah
tersebut laju pertumbuhan penduduknya sebesar 1.1% yang tergolong
relatif tinggi karena faktor fertilitas. Rata-rata jumlah keluarga tiap Kartu
Keluarga (kk) sebanyak 5 orang.
Permukiman yang terdapat di sekitar lokasi pengamatan
merupakan permukiman yang memiliki pola yang linear di sepanjang jalan
dengan tipe bangunan non permanen yang berbahan dasar berupa kayu.
Akses pendidikan dan kesehatan di sekitar lokasi pengamatan tergolong
mudah hingga sangat mudah. Sebagian besar masyarakat di lokasi
pengamatan berprofesi sebagai buruh tani dan buruh industri. Penggunaan
lahan didominasi oleh lahan pertanian karena mata pencaharian
didominasi sektor pertanian. Fenomena dan masalah lingkungan sosial

- 51 -
yang terdapat di lokasi pengamatan yaitu perekonomian masyarakat yang
tergolong miskin. Hal itu ditunjukkan dengan angka indeks ketahanan desa
membangun sebesar 0.6% hingga 0.7% dengan keluarga pra sejahtera dan
keluarga sejahtera 1 (ekonomi bawah) mendominasi sebesar 78%.
Kabupaten Grobogan merupakan kabupaten yang masuk ke 10 besar
kabupaten termiskin Jawa Tengah.
II. Bledug Kuwu
Bledug Kuwu merupakan fenomena mud volcano yang ada di Jawa
Tengah dan terjadi secara alami. Lokasi pengamatan Bledug Kuwu secara
absolut horizontal terletak pada koordinat 07°06’56” S, 111°07’17” E dan
secara absolut vertikal terletak pada 50 mdpl. Lokasi pengamatan secara
administratif berada di Desa Kuwu, Kecamatan Kradenan, Kabupaten
Grobogan, Jawa Tengah. Secara geologi, kawah lumpur tersebut adalah
aktivitas pelepasan gas dari dalam teras bumi berupa gas metana. Kuwu
adalah satu-satunya yang berlokasi di Jawa Tengah, tepatnya di
Sinklinorium Randublatung. Letupan-letupan lumpur yang terjadi
biasanya membawa larutan kaya mineral diantaranya adalah sulfur dan
garam dengan konsentrasi tinggi. Tipe dari Bledug Kuwu adalah mud
volcano mirip rawa (Davies, dkk., 2008).

Gambar 3.24. Citra Lokasi Pengamatan


(Sumber: Google Earth)

- 52 -
Adanya proses diapirisme menyebabkan proses munculnya
lumpur-lumpur tersebut hampir sama dengan proses munculnya metana
dan air asin di Desa Jono. Lokasi pengamatan memiliki morfologi yang
datar dengan material berupa lumpur. Kandungan sulfur dan salinitas yang
cukup tinggi dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai alternatif
pengobatan dan sebagai bahan pembuat garam.

Gambar 3.25. Kenampakan Bledug Kuwu


(Foto: Dokumentasi Pribadi, 2022)
Karakteristik hidrologi air permukaan berasal dari Sungai Lusi yang
aliran sungainya tersuspensi karena material lempung yang kecil. Air
permukaannya cenderung berwarna keruh. Selain itu, air tanahnya telah
bercampur dengan lumpur dan asin karena berasal dari air laut purba yang
terangkat lewat pertukaran kation, sehingga disebut air tanah fosil. Dengan
kondisi airtanah tersebut sehingga tidak bisa untuk dimanfaatkan.
Masyarakat sekitar sendiri untuk memenuhi kebutuhan air bersihnya
dilakukan dengan cara membeli.
Kondisi wilayahnya dipengaruhi oleh karakteristik bentang budaya
pada lokasi pengamatan berupa perkotaan yang didominasi aktivitas
pariwisata. Kondisi kependudukan pada wilayah tersebut dapat ditemukan
banyak migrasi keluar dari desa, terutama penduduk usia produktif untuk
mencari kesejahteraan dan melakukan diversifikasi pekerjaan. Pada

- 53 -
wilayah tersebut laju pertumbuhan penduduknya sebesar 1%. Rata-rata
jumlah keluarga tiap Kartu Keluarga (kk) sebanyak 3 orang.
Permukiman yang terdapat di sekitar lokasi pengamatan
merupakan permukiman yang memiliki pola yang linear di sepanjang jalan
dengan tipe bangunan permanen. Akses pendidikan dan kesehatan di
sekitar lokasi pengamatan tergolong mudah hingga sangat mudah.
Sebagian besar masyarakat di lokasi pengamatan berprofesi sebagai buruh
tani, buruh industri, dan pelaku pariwisata. Penggunaan lahan didominasi
oleh pariwisata. Fenomena dan masalah lingkungan sosial yang terdapat di
lokasi pengamatan yaitu perekonomian masyarakat yang tergolong miskin.
Hal itu ditunjukkan dengan angka indeks ketahanan desa membangun
sebesar 0.6% hingga 0.7% dengan keluarga pra sejahtera dan keluarga
sejahtera 1 (ekonomi bawah) mendominasi sebesar 56,8%. Kabupaten
Grobogan merupakan kabupaten yang masuk ke 10 besar kabupaten
termiskin Jawa Tengah.

3.5.2. Bentanglahan Asal Proses Fluvio-marin


A. Genesis
Bentanglahan asal proses fluvio-marin adalah bentanglahan yang
terbentuk karena gabungan antara proses struktural pada orde 2, fluvial
dan marine pada orde 3. Wilayah pesisir identik dengan wilayah pinggiran
pantai. Oleh karena itu, bentanglahan wilayah kepesisiran sangat berkaitan
dengan bentuklahan marine. Indonesia merupakan negara yang memiliki
garis pantai sangat panjang dengan total lebih dari 60.000 km,
mengelilingi 15.700 pulau. Pengaruh proses marin berpengaruh sangat
aktif pada daerah pesisir sepanjang pantai tersebut, bahkan ada diantaranya
yang sampai puluhan kilometer masuk ke pedalaman, selain itu, berbagai
proses yang lain seperti proses tektonik masa lampau, erupsi gunungapi,
perubahan muka air laut, sangat besar pengaruhnya terhadap kondisi
medan pesisir beserta karakteristik lahannya (Dibyosaputro, 2016).

- 54 -
Menurut Verstappen (1983), bentuklahan asal proses marine adalah
bentuklahan yang terbentuk akibat proses laut yang dihasilkan dari tenaga
eksogen seperti gelombang, arus, dan pasang surut air laut. Terdapat dua
proses yang menjadi dasar terbentuknya bentuklahan asal proses marine,
yaitu proses pengendapan dan abrasi. Kedua proses tersebut terjadi pada
wilayah pesisir. Dalam proses pengendapan dapat menimbulkan
bentuklahan baru, sedangkan dalam proses abrasi dapat menimbulkan
pengikisan pada wilayah tersebut. Wilayah kepesisiran secara umum dapat
dibagi menjadi 4, yaitu lepas pantai (offshore), dekat pantai (nearshore),
pantai (shore), dan coast (pesisir) (Petersen et al, 2011).

B. Lokasi Pengamatan
I. Dataran Fluvio-marin eks Selat Muria di Demak
Dataran eks Selat Muria merupakan bentanglahan asal proses
fluvio-marine. Lokasi pengamatan tersebut secara absolut horizontal
terletak pada koordinat 06°55’57,4” S, 110°31’58,3” E dan secara absolut
vertikal terletak pada 4 mdpl. Lokasi pengamatan secara administratif
berada di Kecamatan Demak, Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Lokasi
pengamatan dahulu merupakan sebuah laut dangkal yang dikenal sebagai
sebuah selat bernama Selat Muria. Selat ini terletak di antara utara Pulau
Jawa dengan Pulau Gunungapi Muria. Hal tersebut didukung oleh catatan
sejarah bahwa Kerajaan Demak yang terletak di tepi Selat Muria (Ikatan
Ahli Geologi Indonesia, 2013). Seiring berjalannya waktu, selat itu
selanjutnya tertutupi oleh sedimen yang berasal dari Gunungapi Muria.
Selain itu, proses terjadinya pendangkalan pada Selat Muria dipengaruhi
oleh proses sedimentasi dari muara-muara sungai yang ada di pantai utara
Jawa. Mulai dari Sungai Tuntang yang berhulu di cekungan Rawa Pening,
yang materialnya bersumber dari deretan-deretan Gunungapi Ungaran,
Suropati, Telomoyo, dan Merbabu. Material-material sedimen juga
bersumber dari Gunungapi Muria. Proses pendangkalan tersebut semakin
berkembangnya zaman juga semakin meluas hingga wilayah-wilayah

- 55 -
sekitar pantai utara Jawa. Material yang menjadi penyusun berupa material
pasir dan lempung hasil proses fluvial. Adapun morfologi dari lokasi
pengamatan yaitu datar dan merupakan hasil proses sedimentasi juga erosi.

Gambar 3.26. Citra Lokasi Pengamatan


(Sumber: Google Maps)
Lokasi pengamatan memiliki karakteristik tanah berupa tanah
lempung marine. Tanah tersebut merupakan tanah yang subur meski belum
berkembang sepenuhnya (tanah entrisol). Oleh karena itu, karakteristik
tanahnya dapat mendukung untuk dimanfaatkan sebagai lahan persawahan
di sekitar lokasi pengamatan. Karakteristik hidrologi dari lokasi
pengamatan yaitu air permukaan bersifat keruh karena sedimen yang
tersuspensi. Apabila terjadi pasang, maka aliran air sungainya akan penuh.
Airtanah pada lokasi pengamatan memiliki sifat asin jika air tanah didapat
di tempat yang dangkal. Hal tersebut berkaitan dengan asal muasal daerah
ini, yaitu berasal dari bawah laut. Adapun jika airtanah ditelusuri pada
kedalaman 60 hingga 80 meter, maka akan ditemukan air tawar.

- 56 -
Gambar 3.27. Kenampakan eks Selat Muria
(Foto: Dokumentasi Pribadi, 2022)
Fenomena dan masalah lingkungan fisik yang dapat ditemukan di
lokasi pengamatan yaitu akibat adanya proses land subsidence, maka
rawan terjadi overland flow yang berupa banjir. Lokasi pengamatan yaitu
di Kecamatan Sayung, juga sering terkena banjir rob yang intensitas lebih
tinggi dibandingkan wilayah lain di Demak (Desmawan & Sukamdi,
2012). Banjir yang bersumber baik dari sungai maupun laut masih menjadi
masalah umum di Demak hingga saat ini.
Kondisi wilayahnya dipengaruhi oleh karakteristik bentang budaya
pada lokasi pengamatan berupa perbatasan antara pedesaan dan perkotaan
yang didominasi aktivitas pertanian dan industri. Kondisi kependudukan
pada wilayah tersebut dengan jumlah penduduk 1.2 juta jiwa dan laju
pertumbuhan penduduknya sebesar 0.9% hingga 1%. Kepadatan penduduk
di sekitar lokasi pengamatan sebesar 1200 jiwa/km2 dengan angka sex
ratio sebesar 101,2 dengan jumlah laki-laki lebih banyak dari perempuan.
Permukiman yang terdapat di sekitar lokasi pengamatan
merupakan permukiman yang memiliki pola yang linear di sepanjang jalan
dengan tipe bangunan permanen. Akses pendidikan dan kesehatan di
sekitar lokasi pengamatan tergolong mudah hingga sangat mudah. Mata
pencaharian didominasi sebagai buruh dan karyawan sebesar 42%.
Penggunaan lahan didominasi oleh pertanian sawah dan kawasan industri.
Fenomena dan masalah lingkungan sosial yang terdapat di lokasi
pengamatan yaitu perekonomian masyarakat yang tergolong miskin
dengan angka kemiskinan sebesar 12,9%. Hal itu diperkuat dengan angka
pengangguran sebesar 5%.
II. Wilayah Kepesisiran di Banjir Kanal Timur Semarang
Banjir Kanal Timur merupakan bentanglahan kepesisiran
Semarang karena dataran ini merupakan dataran yang berasosiasi dengan
pantai. Lokasi pengamatan tersebut secara absolut horizontal terletak pada
koordinat 06°57’135” S, 110°76’49” E dan secara absolut vertikal terletak

- 57 -
pada 3 mdpl. Lokasi pengamatan berada di pinggir jalan raya Kota
Semarang. Banjir Kanal Timur termasuk dalam sub aerial deposition coast
berupa rataan pasang surut. Selain dipengaruhi oleh proses marine,
wilayah ini juga dipengaruhi oleh proses fluvial seperti proses
pengendapan material-material sedimen di aliran sungai. Material-material
tersebut berasal dari material dari Gunung Api Ungaran yang salah satu
muaranya melewati daerah ini. Material endapan tersebut berupa lempung,
pasir, dan debu.

Gambar 3.28. Citra Lokasi Pengamatan


(Sumber: Google Earth)
Karakteristik tanah di lokasi pengamatan berjenis vertisol dengan
sifat yang sulit untuk menyimpan dan mengalirkan airtanah. Karakteristik
hidrologi di lokasi pengamatan ini yaitu memiliki air tanah yang
mengandung kadar asin karena material lumpur tersebut apabila tercampur
air laut akan mengalami elektrolisis. Dengan demikian, airtanah akan
mengandung kadar asin di lokasi pengamatan tersebut. Di bawah tanah
juga terdapat akuifer menggantung yang terendapkan membentuk lensa di
antara lempung (ada air tawar). Di lokasi ini tidak ada intrusi air laut,
kalau pun ada, air laut hanya menyusup lewat sungai. Air permukaan pada
lokasi pengamatan sendiri dipengaruhi curah hujan tinggi dengan sifat
yang keruh karena sedimen yang tersuspensi dan efek dari pemompaan air.

- 58 -
Wilayah ini memiliki potensi besar untuk sering terjadi banjir dikarenakan
banyak batuan yang permeabilitasnya tidak tinggi, sehingga limpasan air
menjadi banyak. Selain itu, bentuk DAS yang besar di hulu, namun kecil
di hilir akan membuat air mengumpul di titik pertemuan anak-anak sungai,
sehingga banjir juga bisa terjadi karena ini. Adapun untuk mengurangi
resiko banjir adalah dengan pembangunan banjir kanal tersebut.

Gambar 3.29. Kenampakan Banjir Kanal Timur


(Foto: Dokumentasi Pribadi, 2022)
Karakteristik hayati di lokasi pengamatan tersebut dapat ditemukan
tanaman mangrove. Tanaman mangrove dapat tumbuh di air payau karena
terdapat percampuran substrat lumpur dan lempung. Mangrove memiliki
fungsi yang sangat beragam antara lain digunakan sebagai pertahanan dari
erosi, gelombang, dan abrasi. Selain itu, mangrove juga dapat digunakan
sebagai pereduksi pencemaran di sekitar Banjir Kanal Timur yang
didominasi oleh aktivitas industri. Adanya vegetasi mangrove dapat
mengurangi kandungan pencemar tersebut. Mangrove juga dapat berfungsi
sebagai pemecah angin (wind breaker) dan penyerap CO terbesar setelah
gambut.
Fenomena dan masalah lingkungan fisik yang dapat ditemukan di
lokasi pengamatan yaitu akibat adanya proses land subsidence. Tanah
lempung yang mudah bergerak dengan daya dukung yang rendah dapat
dengan cepat akan amblas dan mengalami land subsidence. Karakteristik
permukiman yang padat penduduk dan industri sangat mendominasi dapat

- 59 -
menyebabkan adanya pencemaran yang sangat tinggi. Menurut penelitian,
yang dilakukan oleh Universitas Diponegoro (2004) disebutkan bahwa
secara umum, kandungan bakteri koprostanol dan coliform sangatlah
tinggi. Bakteri-bakteri tersebut berasal dari aktivitas manusia berupa
limbah industri yang bersifat beracun dengan perubahan salinitas, sekitar
akan menyebabkan tekanan lingkungan (Atmojo, Bachtiar, Radjasa, &
Sabdono, 2004).
Kondisi wilayahnya dipengaruhi oleh karakteristik bentang budaya
pada lokasi pengamatan berupa perkotaan yang didominasi aktivitas
industri. Kondisi kependudukan pada wilayah tersebut dengan kepadatan
penduduk yang tinggi. Selain itu, tingkat migrasi pada wilayah tersebut
sangat tinggi.
Permukiman yang terdapat di sekitar lokasi pengamatan
merupakan permukiman yang memiliki pola yang linear di sepanjang jalan
dan mengelompok dengan tipe bangunan permanen. Akses pendidikan dan
kesehatan di sekitar lokasi pengamatan tergolong mudah hingga sangat
mudah. Penggunaan lahan didominasi oleh kawasan industri. Fenomena
dan masalah lingkungan sosial yang terdapat di lokasi pengamatan yaitu
perekonomian masyarakat yang tergolong miskin dengan angka
kemiskinan sebesar 4% hingga 6%. Hal itu dilatarbelakangi oleh tingkat
pendidikan masyarakat yang rendah. Selain itu, angka kriminalitas yang
tinggi terutama di wilayah yang berdekatan dengan pelabuhan.

- 60 -
3.5.3. Bentanglahan Asal Proses Antropogenik
A. Genesis
Bentuklahan asal proses antropogenik adalah bentuklahan yang terbentuk
sebagai hasil aktivitas manusia (Andini dkk, 2012). Manusia berperan
penting dalam proses terbentuknya bentuklahan asal proses antropogenik.
Menurut Pratiwi dkk (2019), bentuklahan asal proses antropogenik terus
mengalami perubahan dan perkembangan dalam waktu yang cukup
singkat. Bentuklahan ini dapat terbentuk oleh dua proses, yaitu proses
langsung dan tidak langsung. Dalam proses langsung contohnya
konstruktif, pertanian, ekskavasi, dan intervensi hidrologi. Dalam proses
tidak langsung contohnya penurunan permukaan air tanah pada suatu
wilayah. Bentuklahan asal proses antropogenik dapat dilakukan
identifikasi menggunakan citra penginderaan jauh.
Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh manusia dengan
kepentingan untuk meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari
sudut lingkungan dan sosial ekonomi. Reklamasi dilakukan dengan cara
pengurugan lahan, pengeringan lahan atau drainase. Reklamasi kawasan
perairan merupakan upaya pembentukan suatu kawasan daratan baru. Hal
itu dapat terjadi baik di wilayah pesisir pantai ataupun di tengah lautan.
Tujuan utama reklamasi ini adalah untuk menjadikan kawasan berair yang
rusak atau belum termanfaatkan menjadi suatu kawasan baru yang lebih
baik dan bermanfaat untuk ekonomi maupun tujuan strategis lain.
Kawasan hasil reklamasi dapat dimanfaatkan untuk kawasan
permukiman, perindustrian, pertokoan, bandara, perkotaan, pertanian, dan
sebagai tanggul perlindungan daratan lama dari ancaman abrasi serta
untuk menjadi suatu kawasan wisata terpadu. Pada dasarnya berbagai
aktivitas manusia dapat merubah alam dari bentukan alaminya. Bentuk
lahan antropogenik dapat dibentuk dari bentuk-bentuk lahan yang telah
ada.

- 61 -
B. Lokasi Pengamatan
Kawasan Wisata Pantai Marina, Semarang merupakan pantai
reklamasi yang dipengaruhi oleh aktivitas manusia dengan proses
antropogenik. Lokasi pengamatan tersebut secara absolut horizontal
terletak pada koordinat 06°57’1,4” S, 110°23’24,8” E dan secara absolut
vertikal terletak pada 3 mdpl. Lokasi pengamatan berada di Desa
Tawangsari, Kecamatan Semarang Utara, Kota Semarang. Tanah yang
digunakan untuk reklamasi merupakan hasil penambangan dari bukit-bukit
non produktif. Material tersebut kemudian dipindahkan ke lokasi
reklamasi. Akibat yang timbul adalah hancurnya bukit-bukit menjadi rata
dan material tanah di pantai pun merupakan material campuran yang tidak
beraturan. Adapun campurannya berupa tanah gleisol, pasir, kerakal,
hingga kerikil.

Gambar 3.30. Citra Lokasi Pengamatan


(Sumber: Google Earth)
Pada awalnya wilayah Kawasan Wisata Pantai Marina merupakan
mudflat yang setelah diberikan suatu izin reklamasi terbentuk sebagai
kawasan reklamasi eksklusif di Semarang. Reklamasi pantai tersebut
dituding sebagai salah satu penyebab rob yang pada akhirnya berakibat
pada land subsidence. Pada kenyataannya banjir rob menggenangi lahan
yang dibentuk dari hasil reklamasi (Slamet dan Iswahyuni, 2005).
Karakteristik geomorfologi Kawasan Wisata Pantai Marina yang datar
dengan adanya lahan yang lebih rendah daripada permukaan laut akibat
adanya land subsidence. Luas kawasan tersebut sekitar 35 hektar Selain

- 62 -
itu, terdapat pemecah gelombang berupa deretan bongkahan batu untuk
menghindari abrasi.

Gambar 3.31. Kenampakan Pantai Marina


(Foto: Dokumentasi Pribadi, 2022)
Karakteristik hidrologi Kawasan Wisata Pantai Marina dengan
sumber air bersih yang berasal dari PDAM. Hal tersebut berkaitan erat
dengan genesis wilayah tersebut yang sebelumnya merupakan laut,
sehingga ketika dilakukan penimbunan material, terbentuk banyak jebakan
air asin. Karakteristik hayati lokasi pengamatan dapat ditemukan tanaman
hias dan cemara laut. Tanaman tersebut memang sengaja dibudidayakan
dengan fungsi utama sebagai pemecah angin.
Fenomena dan masalah lingkungan fisik di lokasi pengamatan
yaitu berubahnya arus laut yang dapat mengakibatkan abrasi semakin kuat.
Perubahan arus laut tersebut merupakan salah satu dampak dari adanya
reklamasi pantai tersebut. Material lumpur yang sulit untuk menyimpan
dan mengalirkan air mengakibatkan sedikitnya kapasitas air yang dapat
ditampung. Akibatnya Kawasan Wisata Pantai Marina menjadi rawan
banjir. Selain itu, perubahan keseimbangan ekosistem karena merupakan
suatu daerah buatan dan terjadinya pencemaran yang tinggi.
Kondisi wilayahnya dipengaruhi oleh karakteristik bentang budaya
pada lokasi pengamatan berupa daerah pinggiran dengan destinasi sebagai
pangkalan nelayan dan wisata. Kondisi kependudukan pada wilayah

- 63 -
tersebut dengan kepadatan penduduk yang tidak padat sehingga cenderung
sedang dan didominasi oleh orang-orang berekonomi tinggi. Keberadaan
penduduk dengan kelas ekonomi tinggi mendorong munculnya pusat
perdagangan dan jasa. Pembangunan pantai reklamasi yang tergolong
mahal sehingga kalangan masyarakat dengan kelas ekonomi tinggi yang
dapat membeli lahan di lokasi tersebut. Hal itu dapat dilihat dengan bentuk
rumah yang modern dan cenderung mewah karena termasuk dalam real
estate. Pola pemukiman kawasan tersebut merupakan pola perumahan
dengan bangunan yang elit dan strata sosial antara warga miskin dengan
warga kaya terlihat. Akses pendidikan dan kesehatan di sekitar lokasi
pengamatan tergolong mudah hingga sangat mudah. Penggunaan lahan
didominasi oleh permukiman dan kawasan wisata yang dibangun dari
reklamasi pantai.
Fenomena dan masalah lingkungan sosial yang terdapat di lokasi
pengamatan yaitu dengan adanya reklamasi pantai mengakibatkan tingkat
urbanisasi menjadi sangat masif. Perlu diketahui, bahwa masyarakat
dengan kelas sosial rendah merupakan warga lama yang sudah tinggal
sejak sebelum reklamasi, sedangkan para pemilik rumah elit merupakan
pendatang yang mayoritas bekerja di sektor CBD. Masyarakat kelas sosial
rendah yang tinggal mayoritas bekerja sebagai nelayan dan pedagang
jajanan untuk wisatawan. Masyarakat yang telah lama tinggal pada
wilayah tersebut juga merupakan warga terdampak akibat adanya
reklamasi pantai tersebut. Hal itu terjadi karena mata pencaharian mereka
sebagai petani harus musnah akibat reklamasi pantai tersebut. Dengan
demikian, sebagian besar masyarakat bermigrasi keluar untuk melakukan
diversifikasi pekerjaan. Akibat dari angka migrasi keluar yang tinggi,
maka angka pertumbuhan penduduk sebesar -0.38%.

- 64 -
BAB IV
KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil dari kegiatan Kuliah Kerja Lapangan 1
tentang Pengenalan Bentang Lahan Pulau Jawa Bagian Tengah antara lain:

1. Pulau Jawa dibagi menjadi tiga zona berdasarkan karakteristik alamnya, yaitu
zona selatan, zona tengah, dan zona utara. Setiap pergantian zona terdapat
zona transisi seperti, transisi zona selatan dan tengah, transisi zona tengah dan
utara.
2. Zona Selatan Jawa merupakan zona yang dipengaruhi oleh bentuklahan asal
proses solusional dan struktural patahan. Karakteristik materialnya bersifat
keras yang berasal dari batuan vulkanik dan batugamping. Karakteristik
hidrologi pada air permukaan dan air tanah pada bentuklahan solusional sangat
sulit dijangkau karena material batuan yang mudah larut sehingga air masuk ke
dalam sistem sungai bawah tanah. Zona selatan ini rentan akan terjadinya
gempa tektonik akibat aktivitas lempeng bumi yang terus bergerak.
3. Zona Transisi Selatan-Tengah Pulau Jawa ditandai dengan sisa tubuh
Gunungapi Purba Gajah Mungkur yang telah mengalami erosi tingkat lanjut.
Bukit Tenong diyakini sebagai suatu pusat erupsi Gunungapi purba Gajah
Mungkur. Bukit ini merupakan bentukan yang terbentuk akibat intrusi magma
yang terjadi. Mulai dari bukit ini hingga ke utara zona tengah merupakan
dataran aluvial Lembah Bengawan Solo yang dikelilingi oleh perbukitan tinggi
dengan karakteristik tanah yang subur.
4. Zona Tengah Jawa merupakan zona yang dipengaruhi oleh bentuklahan asal
proses vulkanik dan fluvial. Pada zona tengah dicirikan dengan deretan gunung
api-gunung api dan depresi-depresi, hal itu dipengaruhi karena proses
konvergensi lempeng tektonik yang terjadi di selatan Jawa. Karakteristik
Material penyusunnya berupa material piroklastik dan aluvium. Dengan
karakteristik material tersebut, maka pada zona ini memiliki lahan yang subur
dan banyak ditemukan sawah. Selain itu, karakteristik hidrologi terkait pasokan
air pada zona tengah secara kuantitatif cukup banyak. Hal itu terjadi karena
terdapat aliran permukaan yang bersumber dari sungai-sungai yang mengalir.

- 65 -
Fenomena dan masalah lingkungan fisik yang ada pada zona ini yaitu ancaman
erupsi gunungapi dan banjir.
5. Zona Transisi Tengah-Utara Pulau Jawa dipengaruhi oleh bentuklahan
struktural berupa lipatan antiklinal yang tererosi. Zona transisi tersebut
dipenuhi oleh bentukan depresi dan juga jajaran gunung api – gunung api yang
memberikan tekanan secara endogen. Pada zona tersebut juga dipengaruhi
aktivitas sungai sebagai ciri dari zona tengah dan lipatan merupakan ciri dari
utara.
6. Zona Utara Jawa merupakan zona yang dipengaruhi oleh bentuklahan
struktural dan lipatan. Pada zona tersebut memiliki ciri utama berupa adanya
perbukitan dan lembah lipatan. Karakteristik materialnya berupa lempung yang
bersifat elastis sehingga memiliki kembang kerut yang tinggi. Akibat dari
material lempung tersebut, maka pada zona utara sangat buruk sebagai akuifer,
sehingga kurang cocok dijadikan sebagai lahan pertanian.

- 66 -
Daftar Pustaka
Aida, S.N. dan Utomo, A.D. 2016. Kajian Kualitas Perairan untuk Perikanan di
Rawa Pening Jawa Tengah. BAWAL, Vol. 8, No. 3: pp. 173-182.

Anderson, R. S., Burbank, D. W., (2008). Tectonic Geomorphology. Singapore:


Blackwell Publishing Andini, K., Nurlina, N. and Nasrullah, A.V., 2012.
Analisis Citra Alos Palsar dalam Pembuatan Peta Geomorfologi Kalimantan
Selatan. Jurnal Fisika Flux: Jurnal Ilmiah Fisika FMIPA Universitas
Lambung Mangkurat, 9(2), pp.111-119.

Atmojo, T. Y., Bachtiar, T., Radjasa , O. K., & Sabdono, A. (2004). Kandungan
Koprostanol dan Bakteri Coliform Pada Lingkungan Perairan Sungai,
Muara, dan Pantai di Banjir Kanal Timur, Semarang Pada Monsun Timur.
Jurnal Ilmu Kelautan Vol 9(I), 54-60.

Bemmelen, R.W. van, 1970. The Geology of Indonesia, General Geology of


Indonesia and Adjacent Archipelagoes. Government Printing Office. The
Haque.

Bintarto, R. (1993). Urbanisasi dan Permasalahannya. Yogyakarta: Ghalia


Indonesia Blog Mahasiswa Univeristas Brawijaya. Survey Tanah dan
Evaluasi Lahan. Diakses pada 5 Juli pukul 23.35 pada laman
https://blog.ub.ac.id/damaikrissara7/2018/03/08/koleksipeta/peta-tata-gunala
han/

Cahyadi, A. 2010. Pengelolaan Kawasan Karst dan Peranannya dalam Siklus


Karbon di Indonesia. Proseeding Seminar Nasional Perubahan Iklim di
Indonesia. Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana UGM.

Desmawan, B. T.,, dan Sukamdi. (2012). Adaptasi Masyarakat Kawasan Pesisir


terhadap Banjir Rob di Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, Jawa
Tengah. Jurnal Bumi Indonesia, 1(1).

Dibyosaputro, S. 2016. Morphometry Characteristics of Riverbed Sediment


Grains as Basic Indicator Management of River Valley Environtment (Case

- 67 -
Study of Bogowonto River, Central Java). Forum Geografi, Vol. 29, No. 2:
pp. 175 - 187.

Guritno, B. 2003. Program Penyelamatan Rawa Pening. Materi disampaikan


dalam kegiatan Pekan Ilmiah Mahasiswa. Universitas Kristen Satya
Wacana. Salatiga.

Gutiérrez, F., & Gutiérrez, M. (2016). Structural Landforms. In Landforms of the


Earth (pp.3-19). Springer, Cham.

Hartono, H.G. 2011. Geologi Gunung Api Purba Gajah Mungkur Wonogiri, Jawa
Tengah. Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 4, No. 2: pp: 101-112.

Haryanto, L., 2013. Struktur Sesar di Pulau Jawa Bagian Barat Berdasarkan Hasil
Interpretasi Geologi. Bandung: Bulletin of Scientific Contribution, 11, pp.
1-10

Hasmunir. (2017). Mater Pembelajaran Geomorfologi untuk Program Studi


Pendidikan Geografi. Jurnal Pendidikan Geosfer, 2(2), 9-21

Herlambang, S. (2014). Dasar-Dasar Geomorfologi. Malang: Universitas Negeri


Malang.

Ikatan Ahli Geologi Indonesia. 2013. Tinjauan Awal: Sedimentasi di Selat Muria
sebagai Salah Satu Penyebab Mundurnya Kerajaan Demak. Diakses dari
https://www.iagi.or.id/paper/tinjauan-awal-sedimentasi-di-selat-muria-sebag
ai-salah-satu-penyebab-mundurnya-kerajaan-demak, pada 11 Juli 2019,
pukul 16:30.

Mardianto, D., Sunarto., dan Marfai, M.A. 2018. Penafsisan Multirisiko Bencana
di Wilayah Kepesisiran Parangtritis. Yogyakarta: UGM Press.

Noor, D. (2010). Geomorfologi, Program Studi Teknik Geologi Fakultas Teknik.


Universitas Pakuan. Edisi Kedua. Bogor

- 68 -
Octova, Adree. (2016). Paket Keahlian Geologi Pertambangan. Medan:
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Pusat Pengembangan dan
Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Bidang Bangunan dan
Listrik.

Petersen, J. F., Sack, D., & Gabler, R. E. (2011). Fundamentals of Physical


Geography. Belmont: Brooks/Cole engage Learning.

Poldervaart, A. (1971). Volcanic Landforms and Surface Featutes. New York:


Pringer-Verlag

Prasetyo, R.B. dan Firdaus, M. 2009. Pengaruh Infrastruktur pada Pertumbuhan


Ekonomi Wilayah di Indonesia. Jurnal Ekonomi dan Kebijakan
Pembangunan, Vol. 2, No. 2: pp. 222-236.

Pratiwi, S.D., ISNANIAWARDHANI, V, and Oktavia, D., 2019.


GEOMORPHOSITES DAN BENTUK LAHAN ANTROPOGENIK
DALAM PENGEMBANGAN KAWASAN GEOHERITAGE DAN
GEOKONSERVASI PADA GEOPARK PULA BELITONG. Bulletin of
Scientific Contribution: GEOLOGY, 17(2), pp.65-76.

Pye. K. dan Tsoar. H. (2009). Aeolian Sand and Sand Dunes.Berlin: Springer.

Santosa, L.W., Adji, T.N., Pitoyo, A.J., dan Suyanto, A. 2018. Kajian Lingkungan
Hidup Strategis (KLHS) Kabupaten Banggai Kepulauan. Yogyakarta: UGM
Press.

Santosa, L.W. 2016. Keistimewaan Yogyakarta dari Sudut Pandang


Geomorfologi. Yogyakarta: UGM Press.

Simoen, S. 1996. Pengenalan Bentanglahan Parangtritis-Bali. Yogyakarta:


Yayasan Pembina Fakultas Geografi UGM.

Slamet, S. dan Iswahyuni, N.E. 2005. Analisis Kebijakan Reklamasi Pantai di


Kawasan Pantai Marina Semarang. Dialogue, Vol. 2, No. 3: pp. 1-10.

- 69 -
Sukandarrumidi, Kotta, H.Z., dan Maulana, F.W. 2014. Geologi Umum Bagian
Pertama. Yogyakarta: UGM Press.

Sukandarrumidi., Kotta, H.Z., dan Wintolo, D. 2018. Energi Terbarukan: Konsep


Dasar Menuju Kemandirian Energi. Yogyakarta: UGM Press.

Sumardani, D. (2008). Gunung Api Dunia. Taiwan: National Chiayi University.

Sumintadireja, Prihadi. 2000. Catatan Kuliah Volkanologi. Bandung : ITB.

Susanto, M. 2007. Meditation in Red. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.


Thornbury, W.D. 1954. Principles of Geomorphology. London: John Wiley
and Sons.

Verstappen, H. 1983. Applied Geomorphology: Geomorphological Surveys for


Environmental Development. Amsterdam: Elsevier.

Vink, A.P.A. 1983. Landscape Ecology and Land Use. London: Longman.

Zahnd, M. 2006. Perancangan Kota secara Terpadu: Teori Perancangan Kota


dan Penerapannya. Yogyakarta: Universitas Soegijapranata Press.

- 70 -
Lampiran

- 71 -

Anda mungkin juga menyukai