Anda di halaman 1dari 14

DESKRIPSI KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA

DITINJAU DARI GAYA BELAJAR

Endri Nuryanto1), Hasnawati2), Salim3)


Jurusan Pendidikan Matematika FKIP Universitas Halu Oleo
1, 2, 3)

Email: endrinuryanto99@gmail.com, hasna fkip@yahoo.co.id, Salimpsa@gmail.com

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mengetahui gaya belajar siswa di SMPN 22 Konawe Selatan; (2)
Untuk mengetahui kemampuan komunikasi matematika siswa di SMPN 22 Konawe Selatan. Sampel
dalam penelitian ini berjumlah 71 siswa diambil menggunakan teknik nonprobability sampling.
Pengumpulan data menggunakan tes tertulis kemampuan komunikasi matematis dan angket gaya
belajar. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan metode penelitian deskriptif yang
bermaksud menggambarkan keadaan nilai satu atau lebih variabel secara mandiri. Hasil penelitian di
SMP Negeri 22 Konawe Selatan pada kelas VII :(1) Terdapat 31 siswa atau 44% siswa bergaya
belajar visual, 12 siswa atau 17% siswa bergaya belajar auditori, 23 siswa atau 32% siswa bergaya
belajar kinestetik, 3 siswa atau 4% siswa bergaya belajar visual-auditorial, dan 2 siswa atau 3% siswa
bergaya belajar visual-kinestetik.; (2) Kemampuan komunikasi matematis siswa diperoleh 10 siswa
atau sebesar 15% siswa berkemampuan sangat baik, 21 siswa atau sebesar 32% siswa berkemampuan
baik, 28 siswa atau sebesar 42% siswa berkemampuan cukup, dan 3 siswa atau sebesar 4% siswa
berkemampuan kurang.

Kata Kunci: gaya belajar visual,gaya belajar auditorial, kinestetik.

DESCRIPTION OF STUDENTS’ MATHEMATICAL COMMUNICATION SKILLS IN


TERMS OF LEARNING STYLES

Abstract
The study is intended to: (1) describe the learning styles of students at SMPN 22 South Konawe;(2)
describe the mathematical communication skills of students at SMPN 22 South Konawe. The sample
in this study was 71 students taken using a non-probability sampling technique. Collecting data using
a written test of mathematical communication skills and learning style questionnaires. This research
is a quantitative research with descriptive research method which intends to describe the state of the
value of one or more variables independently. The results of the research at SMP Negeri 22 Konawe
Selatan in class VII :(1) There are 31 students or 44% of students with visual learning style, 12
students or 17% of students with auditory learning style, 23 students or 32% of students with
kinesthetic learning style, 3 students or 4 % of students with visual-auditorial learning style, and 2
students or 3% of students with visual-kinesthetic learning style; (2) The students' mathematical
communication skills were obtained by 10 students or 15% of students with very good abilities, 21
students or 32% of students with good abilities, 28 students or 42% of students with moderate
abilities, and 3 students or 4% of students with poor abilities.

Keywords: visual, auditory, kinesthetic learning styles,

309
Pendahuluan
Kemendikbud (2017) mengungkapkan kemampuan abad ke-21 dikenal dengan istilah 4C,
yaitu: berpikir kritis dan pemecahan masalah (Critical thinking and problem solving), kreativitas dan
inovasi (Creativity and inovation), kolaboratif (Collaboration), dan komunikasi (Communication).
Hal ini juga tertuang pada National Council of Teachers of Mathematics (NCTM, 2003) yaitu skill
yang harus dimiliki siswa antara lain: problem solving, reasoning and proof, communication,
representation, and connection. Terkait dengan komunikasi matematik, dalam Principles and
Standards for School Mathematics (NCTM, 2000) disebutkan bahwa standar kemampuan yang
seharusnya dikuasai oleh siswa adalah sebagai berikut: 1) mengorganisasikan dan mengkonsolidasi
pemikiran matematik dan mengkomunikasikan kepada siswa lain; 2) mengekspresikan ide-ide
matematik secara jelas kepada siswa lain, guru, dan lainnya; 3) meningkatkan dan/atau memperluas
pengetahuan matematik siswa dengan cara memikirkan strategi kepada siswa lain; 4) menggunakan
bahasa matematik secara tepat dalam berbagai ekspresi matematik.
Hal diatas membuktikan bahwa komunikasi memegang peranan yang sangat penting dalam
kehidupan maupun dalam proses pembelajaran. Melalui komunikasi siswa dapat mengembangkan
berbagai ide-ide matematika atau membangun pengetahuannya. Komunikasi merupakan bentuk
pesan atau lambang yang menimbulkan pengaruh pada proses umpan balik, sebab dengan adanya
umpan balik sudah membuktikan adanya jaminan bahwa pesan telah tersampaikan kepada pendengar
maupun pembaca. Komunikasi matematis adalah suatu keterampilan penting dalam matematika yaitu
kemampuan untuk mengekpresikan ide-ide matematika secara koheren kepada teman, guru, dan
lainnya melalui bahasa lisan maupun tulisan. Dengan menggunakan bahasa matematika yang benar
untuk berbicara dan menulis tentang apa yang mereka kerjakan, mereka akan mampu mengklarifikasi
ide-ide mereka dan belajar bagaimana membuat argumen yang meyakinkan dan mempresentasikan
ide-ide matematika.
Proses komunikasi matematis juga membantu kontruksi pemahaman. Ketika siswa diberikan
tantangan untuk berpikir dan bernalar kemudian mengkomunikasikan hasil pemikirannya, baik secara
lisan maupun tulisan, maka mereka akan semakin jelas dan yakin. Kemampuan komunikasi
matematis dapat diartikan sebagai kemampuan siswa dalam membaca masalah matematika secara
komprehensif, mampu mengembangkan bahasa dan simbol matematika, baik secara tulisan maupun
secara lisan. Kemampuan komunikasi matematis sangat dibutuhkan oleh siswa karena dapat
mengembangkan ide-ide matematika secara koheren. Menurut Asikin (Qonaah, Pujiastuti, & Fatah,
2019) mengungkapkan bahwa peran penting komunikasi matematis dalam pembelajaran matematika
antara lain untuk mengukur pemahaman matematis siswa.
Lerner dalam (Hikmawati, dkk, 2019) mengemukakan bahwa matematika adalah bahasa
simbolis dan universal yang memungkinkan manusia untuk memikirkan dan mengkomunikasikan ide
mengenai elemen dan kuantitas. Kemampuan siswa dalam mengemukakan ide-ide matematis kepada
orang lain secara lisan maupun tulisan dinamakan kemampuan komunikasi matematis.
Komunikasi menjadi bagian yang esensial dari matematika dan pendidikan. Komunikasi
adalah cara untuk berbagi (sharing) gagasan dan mengklarifikasi pemahaman. Melalui komunikasi,
gagasan-gagasan menjadi objek–objek refleksi, penghalusan, diskusi dan perombakan. Proses
komunikasi membantu makna dan kelanggengan untuk gagasan–gagasan, serta menjadikan gagasan-
gagasan itu diketahui publik (Rachmayani, 2014). Pendapat ini mengisyaratkan pentingnya
komunikasi dalam pembelajaran matematika. Pengembangan komunikasi menjadi salah satu tujuan
pembelajaran matematika dan menjadi salah satu standar kompetensi lulusan dalam bidang
matematika seperti yang diungkapkan oleh Mahmudi dalam (Marlina dkk, 2014). Melalui
pembelajaran matematika, siswa diharapkan dapat mengkomunikasikan gagasan dengan simbol,
tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah. Viseu & Oliveria dalam
(Son, 2016) mengemukakan bahwa komunikasi dapat merangsang siswa didalam berbagi ide,
pikiran, dugaan, dan solusi matematika. Belajar matematika saat ini tidak hanya mengutamakan pada
jawaban yang benar saja tetapi bagaimana proses didalam menemukan jawaban tersebut, bagaimana
cara dalam mengomunikasikan ide didalam penyelesaian masalah.
Kemampuan Komunikasi Matematis (KKM) siswa dapat diukur dengan indikator. Adapun
indikator KKM menurut Purba, Maimunah, & Roza (2020) diantaranya: 1) Mendefinisikan dan

Endri Nuryanto, Hasnawati, Salim


merancang kembali ide-ide matematis untuk menyelesaikan masalah melalui tulisan, 2)
Menghubungkan benda nyata gambar dan diagram untuk menyelesaikan masalah secara tulisan dan
lisan, 3) Menggunakan istilah-istilah matematika untuk menyelesaikan masalah kontekstual.
Sedangkan indikator KKM menurut Hodiyonto (2017) adalah: 1) Menulis berkaitan dengan
menjelaskan ide atau solusi dari suatu permasalahan atau gambar dengan menggunakan bahasa
sendiri, 2) Menggambar berkaitan dengan menjelaskan ide atau solusi dari permasalahan matematika
dalam bentuk gambar, 3) Ekspresi matematika berkaitan dengan menyatakan masalah atau peristiwa
sehari-hari dalam bahasa model matematika.
Ansari dalam (Sari, 2017) mengemukakan indikator kemampuan komunikasi matematis
antara lain: 1) kemampuan menjelaskan masalah matematika ke dalam gambar, 2) kemampuan
menjelaskan situasi masalah dengan kata-kata sendiri, dan 3) kemampuan menyatakan masalah
matematika ke dalam model matematika dan melakukan perhitungan untuk menyelesaikannya.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan indikator kemampuan komunikasi matematis menurut
Sari (2017), karena banyak peneliti yang menggunakan indikator menurut Sari, sehingga indikator ini
dapat digunakan dalam penelitian ini.

Tabel 1
Indikator Kemampuan Komunikasi Matematis
No Aspek Deskripsi

1 Mampu menulis secara matematika kemampuan menjelaskan situasi masalah


dengan kalimat sendiri

2 Menggambar secara matematika kemampuan menjelaskan masalah


matematika ke dalam gambar

3 Ekspresi matematika kemampuan menyatakan masalah


matematika ke dalam model matematika
dan melakukan perhitungan untuk
menyelesaikannya
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan salah satu guru mata pelajaran matematika
SMP Negeri 22 Konawe Selatan didapatkan bahwa kemampuan komunikasi matematika siswa hanya
berada dalam kategori cukup, hal ini dapat di ketahui pada tugas-tugas yang diberikan, ada sebagian
siswa yang tidak dapat menyatakan ide-ide matematika dalam bentuk simbol-simbol atau bahasa
matematika secara tertulis dan ada pula siswa masih salah dalam merepresentasikan penyelesaiannya
dalam bentuk grafik, gambar, atau tabel. Padahal guru telah menerapkan model pembelajaran yang
telah direkomendasikan menurut kurikulum 2013 diantaranya pembelajaran berbasis masalah (PBM)
dan Discovery Learning.
Komunikasi matematis dapat dikaji melalui cara siswa dalam menerima suatu informasi
pembelajaran. Salah satu aspek yang mempengaruhi penerimaan dan daya serap siswa adalah gaya
belajar. Gaya belajar merupakan cara seseorang untuk menyerap, mengatur dan mengolah bahan
informasi atau bahan pelajaran. Setiap orang memiliki kemampuan untuk memahami dan menyerap
pelajaran berbeda-beda caranya yakni ada yang cepat, sedang dan ada pula yang lambat Ridwan
dalam (Sumaeni, Kodirun, & Salim, 2020). Honey & Mumford dalam (Ghufron & Risnawita, 2014)
mengatakan penting bagi setiap individu untuk mengetahui gaya belajar masing-masing, sehingga
meningkatkan kesadaran belajar yang sesuai dengan diri sendiri dan yang tidak sesuai untuk diri
sendiri, membantu untuk menentukan pilihan dari sekian banyak aktifitas, membantu seseorang yang
memiliki efektifitas belajar yang kurang dengan melakukan improvisasi, membantu siswa dalam
merencanakan tujuan belajar serta mengatasi dalam menganalisis tingkat keberhasilan seseorang
dalam mencapai prestasi akademiknya.
Setiap individu cenderung memiliki gaya belajar yang berbeda. Menurut Gunawan dalam
(Ghufron, 2014:11), Gaya belajar adalah cara yang lebih disukai dalam melakukan kegiatan berpikir,

Endri Nuryanto, Hasnawati, Salim


memproses dan mengerti suatu informasi. Menurut Deporter & Hernacki (2016:116-120), gaya
belajar menurut modalitasnya dapat digolongkan menjadi tiga macam gaya yaitu visual, auditorial
dan kinestetik. Dari ketiga gaya belajar ini ada individu yang cenderung pada salah satu, dua, atau
tiga gaya belajar. Masing-masing gaya belajar memiliki ciri-ciri yang berbeda-beda.
Ciri-ciri gaya belajar visual (penglihatan), yaitu: rapi dan teratur, berbicara dengan cepat,
perencana dan pengatur jangka panjang yang baik, teliti terhadap detail, mementingkan penampilan,
baik dalam hal pakaian maupun presentasi, pengeja yang baik dan dapat melihat kata-kata yang
sebenarnya dalam pikiran mereka, mengingat apa yang dilihat, daripada yang didengar, mengingat
dengan asosiasi visual, biasanya tidak terganggu oleh keributan, mempunyai masalah untuk
mengingat instruksi verbal kecuali jika ditulis dan seringkali minta bantuan orang untuk
mengulanginya, pembaca cepat dan tekun, lebih suka membaca daripada dibacakan, membutuhkan
pandangan dan tujuan yang menyeluruh dan bersikap waspada sebelum secara mental merasa pasti
tentang suatu masalah atau proyek, mencorat-coret tanpa arti selama berbicara di telepon dan dalam
rapat, lupa menyampaikan pesan verbal kepada orang lain, sering menjawab pertanyaan dengan
jawaban singkat ya atau tidak, lebih suka melakukan demonstrasi daripada berpidato, lebih suka seni
daripada music, seringkali mengetahui apa yang harus dikatakan, tetapi tidak pandai memilih kata-
kata, kadang-kadang kehilangan konsentrasi ketika mereka ingin memperhatikan.
Adapun ciri-ciri gaya belajar auditorial (pendengaran), yaitu: berbicara kepada diri sendiri saat
bekerja, mudah terganggu oleh keributan, menggerakkan bibir dan mengucapkan tulisan di buku
ketika membaca, senang membaca keras dan mendengarkan, dapat mengulangi kembali dan
menirukan nada, birama, dan warna suara, merasa kesulitan untuk menulis, tetapi lebih hebat
bercerita, berbicara dalam irama yang terpola, biasanya pembicara yang fasih, lebih suka musik
daripada seni, belajar dengan mendengarkan dan mengingat apa yang didiskusikan daripada yang
dilihat, suka berbicara, berdiskusi dan menjelaskan sesuatu dengan panjang lebar, mempunyai
masalah dengan pekerjaan-pekerjaan yang melibatkan visualisasi, seperti memotong bagian-bagian
hingga sesuai satu sama lain, lebih pandai mengeja dengan keras daripada menuliskannya, lebih suka
gurauan lisan daripada membaca komik.
Adapun ciri-ciri gaya belajar kinestetik (gerakan), yaitu: berbicara dengan perlahan,
menanggapi perhatian fisik, menyentuh orang untuk mendapatkan perhatian mereka, berdiri dekat
ketika berbicara dengan orang, selalu berorientasi pada fisik dan banyak bergerak , mempunyai
perkembangan otot-otot yang besar, belajar melalui memanipulasi dan praktik, menghafal dengan
cara berjalan dan melihat, menggunakan jari sebagai penunjuk ketika membaca, banyak
menggunakan isyarat tubuh, tidak dapat duduk diam untuk waktu lama, tidak dapat mengingat
geografi, kecuali jika mereka telah pernah berada di tempat itu, menggunakan kata yang mengandung
aksi, menyukai buku-buku yang berorientasi pada plot-mereka mencerminkan aksi dengan gerakan
tubuh saat membaca, kemungkinan tulisannya jelek, ingin melakukan segala sesuatu, menyukai
permainan yang menyibukkan.
Siswa yang belajar dengan menggunakan gaya belajar mereka yang dominan, saat
mengerjakan tes, akan mencapai nilai yang lebih tinggi dibandingkan apabila mereka belajar dengar
cara yang tidak sejalan dengan gaya belajar mereka. Gaya belajar mengacu pada cara belajar yang
lebih disukai pembelajar. Umumnya, dianggap bahwa gaya belajar seseorang berasal dari variabel
kepribadian, termasuk susunan kognitif dan psikologis latar belakang sosial kultural, dan pengalaman
pendidikan. Keanekaragaman gaya belajar siswa perlu diketahui pada awal permulaannya diterima
pada suatu lembaga pendidikan yang akan ia jalani. Menurut Deporter dalam buku Quantum
Learning (2016) membagi gaya belajar dalam tiga kelompok yaitu kelompok pembelajar visual yang
mengakses pembelajaran melalui citra visual, kelompok pembelajar auditorial yang mengakses
pembelajaran melalui citra pendengar dan kelompok pembelajar kinestetik yang mengakses
pembelajaran melalui gerak, emosi dan fisik. Perbedaan gaya belajar yang dimiliki oleh siswa
menyebabkan cara yang berbeda-beda dalam mengikuti pembelajaran dan memahami materi yang
mereka pelajari.
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya tentang hubungan gaya belajar dan kemampuan
komunikasi matematika siswa yaitu penelitian yang dilakukan oleh Auliana, dkk (2017) di kelas VIII
A SMPN VII Kediri menunjukkan hasil: (1) siswa dengan gaya belajar visual cenderung menjawab
pertanyaan dengan singkat secara tulis maupun lisan melalui jawaban singkat yang hanya mengarah
Endri Nuryanto, Hasnawati, Salim
pada poin-poinnya saja; (2) siswa dengan gaya belajar auditorial cenderung mengkomunikasikan
jawaban dengan kalimat yang panjang dan rinci menggunakan bahasanya sendiri tetapi tidak sesuai
dengan maksud soal; sedangkan (3) siswa dengan gaya belajar kinestetik cenderung tidak menuliskan
simbol-simbol matematika dalam mengkomunikasikan jawaban.
Hasil penelitian Daimaturrohmatin & Rufiana (2019) menunjukkan bahwa masing-masing
tipe gaya belajar Kolb (diverger, asimilator, konverger, akomodator) memiliki kemampuan
komunikasi matematis yang berbeda. Subjek dengan tipe gaya belajar diverger lebih dominan
menguasai satu indikator kemampuan komunikasi matematis yaitu indikator menyatakan
permasalahan dalam model atau simbol matematika. Subjek dengan tipe gaya belajar asimilator lebih
dominan menguasai dua indikator kemampuan komunikasi matematis, yakni kemampuan
menyatakan permasalahan dalam model atau simbol matematika dan kemampuan menjelaskan ide
matematika dalam menyelesaikan permasalahan sesuai dengan kaidah matematika yang berlaku.
Kemudian subjek dengan tipe gaya belajar konverger lebih dominan menguasai seluruh indikator
kemampuan komunikasi matematis yang telah ditentukan, yaitu kemampuan menyatakan
permasalahan dalam model atau simbol matematika, kemampuan menjelaskan ide matematika dalam
menyelesaikan permasalahan sesuai dengan kaidah matematika yang berlaku, dan kemampuan dalam
menyimpulkan hasil penyelesaian secara jelas. Subjek yang terakhir yakni subjek dengan tipe gaya
belajar akomodator lebih dominan menguasai dua indikator kemampuan komunikasi matematis,
yaitukemampuan menjelaskan ide matematika dalam menyelesaikan permasalahan sesuai dengan
kaidah matematika yang berlaku dan kemampuan dalam menyimpulkan hasil penyelesaian secara
jelas. Maka dapat disimpulkan bahwa gaya belajar Kolb sangat mempengaruhi kemampuan
komunikasi matematis siswa. Setiap tipe gaya belajar Kolb yang dimiliki oleh siswa mempunyai
kemampuan komunikasi matematis yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu,
dalam kegiatan belajar mengajar di kelas, seorang guru harus menggunakan berbagai macam strategi,
model, dan metode pembelajaran dengan memperhatikan gaya belajar Kolb yang dimiliki oleh
siswanya. Hal ini harus dilakukan oleh guru untuk menghasilkan pembelajaran yang efektif dan
efisien.
Penelitian yang dilakukan oleh Wijayanti, dkk (2019) menunjukkan bahwa siswa dengan
gaya belajar visual dapat secara singkat menghubungkan benda nyata dan gambar ke dalam ide
matematika, serta melakukan penarikan kesimpulan dari pernyataan matematika; (2) siswa dengan
gaya belajar auditorial dapat mengubah kalimat menjadi ide matematika, menjelaskan ide
matematika (rumus), mengubah gambar peristiwa sehari-hari ke dalam simbol matematika,
menjelaskan proses penyelesaian soal, serta melakukan penarikan kesimpulan; (3) siswa dengan gaya
belajar kinestetik dapat mengubah kalimat menjadi ide matematika, menjelaskan ide matematika
dalam bentuk gambar dan rumus, serta mengubah gambar peristiwa sehari-hari ke dalam simbol
matematika.
Penelitian Hamdani, Buyung, & Yarmayani (2019) menunjukkan bahwa hasil hipotesis
statistik yang didapat adalah rata-rata nilai akhir kemampuan komunikasi matematis yang dimiliki
kelompok siswa bergaya belajar kinestetik lebih besar dibandingkan kelompok siswa bergaya belajar
visual, kelompok siswa bergaya belajar kinestetik lebih besar dibandingkan kelompok siswa bergaya
belajar auditorial. Maka dapat dikatakan, kelompok siswa bergaya belajar kinestetik lebih besar
dibandingkan kelompok siswa bergaya belajar visual dan auditorial. Berdasarkan hasil pengolahan
data melalui analisis regresi dan korelasi sederhana menunjukkan bahwa gaya belajar berpengaruh
terhadap hasil tes kemampuan komunikasi matematis kelas XI SMA Islam Al-Falah Jambi.
Hasil penelitian Putra, Susanto, & Suharto (2019) menunjukkan bahwa masing-masing
subjek memiliki kemampuan komunikasi yang berbeda. Siswa dengan gaya belajar visual, memiliki
kecenderungan mampu mengekspresikan idne-ide matematis melalui tulisan dan lisan dengan tepat,
mampu menginterpretasikan ide-ide matematis baik secara tulisan dan lisan dengan tepat, mampu
menggunakan dan menyebutkan notasi atau simbol matematika untuk menyelesaikan permasalahan
dengan langkah penyelesaian lengkap dan benar. Siswa dengan gaya belajar audio, memiliki
kecenderungan mampu mengekspresikan ide-ide matematis melalui tulisan dan lisan dengan tepat,
mampu menginterpretasikan ide-ide matematis baik secara tulisan dan lisan dengan tepat, cukup
mampu menggunakan dan menyebutkan notasi atau simbol matematika untuk menyelesaikan
permasalahan dengan langkah penyelesaian lengkap dan benar. Siswa dengan gaya belajar kinestetik,
Endri Nuryanto, Hasnawati, Salim
memiliki kecenderungan kurang mampu mengekspresikan ide-ide matematis melalui tulisan dan
lisan dengankurang tepat, belum mampu menginterpretasikan ide-ide matematis baik secara tulisan
dan lisan dengan tepat, tidak mampu menggunakan dan menyebutkan notasi atau simbol matematika
untuk menyelesaikan permasalahan dengan langkah penyelesaian lengkap dan benar.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan gaya belajar siswa dan kemampuan
komunikasi matematis siswa di SMP Negeri 22 Konawe Selatan.

Metode
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan
pendekatan kuantitatif. Penelitian deskriptif ini bermaksud mengambarkan keadaan atau nilai satu
atau lebih variabel secara mandiri. Penelitian dilaksanakan di SMPN 22 Konawe Selatan, Desa
Toluwonua Kecamatan Mowila, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara pada semester
ganjil tahun ajaran 2021/2022.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII SMP Negeri 22 Konawe Selatan
tahun pelajaran 2021/2022. Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik
nonprobability sampling. Peneliti mengambil sampel penelitian menggunakan teknik nonprobability
sampling, hal ini dikarenakan pada saat peneliti melakukan penelitian di SMP Negeri 22 Konawe
Selatan, sekolah sedang menerapkan pembelajaran terbatas dengan menggunakan sistem ganjil-genap
di karenakan masih dalam situasi pandemi Covid-19 sehingga siswa yang hadir hanya 50% dari dari
seluruhnya. Maka peneliti mengambil sampel pada siswa kelas VII yang hadir pada hari itu untuk di
beri soal tes kemampuan komunikasi matematika dan mengisi angket gaya belajar. Peneliti
melakukan pengambilan data selama 5 hari dikarenakan peneliti di berikan waktu untuk masuk ke
ruangan kelas untuk memberi soal tes dan angket pada jam pelajaran matematika.

Tabel 2
Populasi dan Sampel
Populasi Sampel
No Kelas
(siswa) (siswa)

1 VII A 31 12

2 VII B 32 12

3 VII C 32 12

4 VII D 32 12

5 VII E 32 12

6 VII F 31 11

Jumlah 190 71

Penelitian ini menggunakan dua instrument penelitian yaitu angket gaya belajar dan tes
tertulis kemampuan komunikasi matematis. Angket yang digunakan dalam penelitian ini adalah
angket gaya belajar menurut indikator Deporter & Hernacki yaitu : 1) Visual, gaya belajar yang
mengandalkan ketajaman penglihatannya; 2) Auditorial, gaya belajar yang mengandalkan
pendengarannya; 3) Kinestetik, gaya belajar yang mengharuskan individu menyentuh sesuatu untuk
menyerap informasi, yang dikembangkan oleh Bandler & Grinder yang diterjemahkan oleh Umrana
(2019). Pemberian angket ini digunakan untuk mengetahui gaya belajar siswa yang terdiri dari 3
(tiga) bagian pertanyaan, yaitu; bagian pertama terdiri dari 14 item pertanyaan untuk mengetahui
gaya belajar visual, bagian kedua terdiri dari 14 item pertanyaan untuk mengetahui gaya belajar

Endri Nuryanto, Hasnawati, Salim


auditori, dan bagian ketiga terdiri dari 14 item pertanyaan untuk mengetahui gaya belajar kinestetik.
Langkah pengambilan keputusan kecenderungan gaya belajar adalah jika terdapat jumlah skor
tertinggi pada satu gaya belajar, maka dapat disimpulkan bahwa sampel cenderung dominan pada
gaya belajar tersebut.
Tes kemampuan komunikasi matematis adalah tes tertulis untuk mengetahui kemampuan
komunikasi matematis siswa dan terdiri dari 3 soal uraian yang dibuat oleh peneliti.Setiap soal
mengukur 1 indikator. Soal 1 mengukur kemampuan menjelaskan masalah matematika ke dalam
gambar, soal 2 mengukur kemampuan menjelaskan situasi masalah dengan kalimat sendiri dan soal 3
mengukur kemampuan menyatakan masalah matematika ke dalam model matematika dan melakukan
perhitungan untuk menyelesaikannya. Instrumen kemampuan komunikasi matematis sebelum
digunakan pada penelitian, dianalisis validitas dan reliabilitasnya terlebih dahulu melalui panelis.
Tim panelis terdiri dari 2 dosen Pendidikan Matematika Universitas Halu Oleo dan 1 guru
matematika SMPN 22 Konawe Selatan. Materi tes tertulis yang akan digunakan adalah materi
Operasi Himpunan kelas VII semester ganjil. Berdasarkan hasil validasi dan reabilitas dari panelis
pada tes kemampuan komunikasi matematis, diperoleh hasil ketiga tes tersebut dinyatakan valid dan
reabel, sehingga ketiga tes tersebut dapat di uji cobakan kepada siswa untuk mengukur kemampuan
komunikasi matematis. Berdasarkan hasil analisis validitas dan reabilitas uji coba instrumen tes
kemampuan komunikasi matematis diperoleh bahwa 3 soal tes tersebut valid. Maka dalam hal ini,
semua soal dapat digunakan untuk mengukur kemampuan komunikasi matematis.

Tabel 3
Pedoman Penskoran Kemampuan Komunikasi Matematis
Menulis Menggambar Ekspresi Matematika Skor

Tidak ada jawaban 0

Jawaban yang Gambar ada namun Ekspresi matematika


ditulis ada, namun tidak sesuai kriteria ada namun tidak
1
sama sekali tidak sesuai kriteria
sesuai kriteria.

Jawaban yang Gambar sesuai Ekspresi matematika


ditulis, sesuai kriteria, namun sesuai kriteria, namun
dengan kriteria, sebagian besar sebagian besar
2
namun sebagian gambar salah jawaban salah
besar jawaban
salah

Jawaban yang gambar benar Ekspresi matematika


ditulis benar sesuai sesuai dengan benar sesuai dengan
dengan kriteria, kriteria, namun kriteria, namun 3
namun terdapat terdapat sedikit terdapat sedikit
sedikit kesalahan kesalahan kesalahan

Jawaban yang Gambar tepat, Ekspresi matematika


ditulis tepat, benar, benar, dan sesuai tepat, benar, dan 4
dan sesuai kriteria kriteria sesuai kriteria

Skor maksimal = 4 Skor maksimal = 4 Skor maksimal = 4

Angket diberikan kepada responden secara langsung dengan memperhatikan protokol


kesehatan. Angket yang digunakan menggunakan alat ukur berupa lembar angket berskala Guttman,

Endri Nuryanto, Hasnawati, Salim


data yang diperoleh berupa data interval atau rasio dikotomi (dua alternatif) yaitu “Ya” dan “Tidak”
sehingga dengan demikian penyusun berharap mendapatkan jawaban yang tegas terhadap suatu
permasalahan yang diteliti. Statistik deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan karakteristik sko r
responden untuk masing-masing variabel yaitu gaya belajar dan kemampuan komunikasi
matematika.

Tabel 4
Kriteria Nilai Kemampuan Komunikasi Matematis
Nilai Siswa Kriteria Kemampuan Komunikasi Matematika Siswa

76 –100 Sangat baik

51– 75 Baik

26 – 50 Cukup

0 – 25 Kurang

(LC dalam Dewi, 2017: 75)

Tabel diatas menunjukkan bahwa kriteria kemampuan komunikasi matematis siswa. siswa
yang memperoleh nilai kisaran 76-100 berarti memiliki kemampuan yang sangat baik, siswa yang
memperoleh nilai kisaran 51-75 berarti memiliki kemampuan komunikasi matematis baik, siswa
yang mendapat nilai kisaran 26-50 berarti memiliki kemampuan komunikasi matematis cukup,
sedangkan siswa yang memperoleh nilai 0-25 berarti memiliki kemampuan komunikasi matematis
yang kurang.

Hasil penelitian dan Pembahasan


Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di SMP Negeri 22 Konawe Selatan, peneliti
mengambil sampel penelitian menggunakan teknik nonprobability sampling, hal ini dikarenakan
pada saat peneliti melakukan penelitian di SMP Negeri 22 Konawe Selatan, sekolah sedang
menerapkan pembelajaran terbatas dengan menggunakan sistem ganjil-genap di karenakan masih
dalam situasi pandemi Covid-19 sehingga siswa yang hadir hanya 50% dari dari seluruhnya. Maka
peneliti mengambil sampel pada siswa kelas VII yang hadir pada hari itu untuk di beri soal tes
kemampuan komunikasi matematika dan mengisi angket gaya belajar. Peneliti melakukan
pengambilan data selama 5 hari dikarenakan peneliti di berikan waktu untuk masuk ke ruangan kelas
untuk memberi soal tes dan angket pada jam pelajaran matematika.
Tabel 5
Hasil Analisis Deskriptif Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa
Kemampuan komunikasi
Analisis Deskriptif
Matematika
Mean 55,72
Median 58
Mode 67
Standard Deviation 20,50
Sample Variance 420,06
Range 74
Minimum 17
Maximum 91
Endri Nuryanto, Hasnawati, Salim
Berdasarkan tabel hasil analisis deskripsi kemampuan komunikasi matematis diperoleh nilai
kemampuan komunikasi matematis siswa berkisar antara 17 sebagai nilai minimum sampai dengan
91 sebagai nilai maksimum sehingga rentang nilai siswa adalah 74. Kemudian nilai rata-rata (mean)
siswa yaitu 55,72; nilai tengah (median) adalah 58; dengan modus 67; standar deviasi 20,50; dan
varians 420,06.
Berdasarkan hasil pemberian tes tertulis kemampuan komunikasi matematis yang dilakukan
peneliti diperoleh hasil kemampuan komunikasi matematis siswa berada pada empat kategori yaitu
kategori sangat baik, kategori baik, kategori cukup, dan kategori kurang.
Tabel 6
Pengkategorian Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa
No Nilai Siswa Banyak Siswa Persentasi Kategori
1 76 - 100 12 17% Sangat Baik
2 51–75 24 35% Baik
3 25–50 32 45% Cukup
4 0 –24 3 4% Kurang
Jumlah 71 100%
Berdasarkan Tabel pengkategorian kemampuan komunikasi matematis siswa menunjukkan
bahwa kemampuan komunikasi matematis siswa kelas VII SMP Negeri 22 Konawe Selatan dengan
kategori sangat baik terdapat 12 siswa dengan persentase sebesar 17%, untuk kategori baik terdapat
24 siswa dengan persentase sebesar 35%, untuk kategori cukup terdapat 32 siswa dengan persentase
sebesar 44%, dan untuk kategori kurang terdapat 3 siswa dengan persentase sebesar 4%.
Terdapat faktor yang dapat menyebabkan kemampuan komunikasi matematis siswa berbeda-
beda, salah satunya adalah gaya belajar siswa atau cara yang dipakai oleh siswa dalam menerima,
menyerap, dan memahami sebuah informasi atau pengetahuan. Menurut Nasution (2013) gaya
belajar adalah cara yang konsisten yang dilakukan oleh seorang murid dalam menangkap stimulus
atau informasi, cara mengingat, berpikir, dan memecahkan soal. Ghufran (2014) menyatakan gaya
belajar merupakan sebuah pendekatan yang menjelaskan mengenai bagaimana individu belajar atau
cara yang ditempuh oleh masing-masing orang untuk berkonsentrasi pada proses, dan menguasai
informasi yang sulit serta baru melalui persepsi yang berbeda.
Deporter membagi gaya belajar tersebut dalam tiga kelompok berdasarkan mondalitasnya
yaitu kelompok pembelajar visual yang mengakses pembelajaran melalui citra visual atau
penglihatan, kelompok pembelajar auditorial yang mengakses pembelajaran melalui citra pendengar
dan kelompok pembelajar kinestetik yang mengakses pembelajaran melalui gerak, emosi dan fisik.
Perbedaan gaya belajar yang dimiliki oleh siswa menyebabkan cara yang berbeda-beda dalam
mengikuti pembelajaran dan memahami materi yang mereka pelajari.
Berdasarkan hasil penyebaran angket gaya belajar, diperoleh tiga macam gaya belajar tunggal
dan dua gaya belajar ganda.

Tabel 7
Distribusi Siswa Berdasarkan Gaya Belajar
Gaya belajar

Visual- Visual-
Visual Auditorial Kinestetik Total
auditorial kinestetik

Jumlah 31 12 23 3 2 71

Persentase 44% 17% 32% 4% 3% 100%

Berdasarkan tabel distribusi siswa berdasarkan gaya belajar di atas menunjukkan distribusi
siswa di kelas VII SMP Negeri 22 Konawe Selatan dari 71 siswa yang diberikan angket gaya belajar,

Endri Nuryanto, Hasnawati, Salim


terdapat 31 siswa atau 44% siswa yang bergaya belajar visual, 12 atau 17% siswa yang bergaya
belajar auditori, 23 siswa atau 32% siswa yang bergaya belajar kinestetik, dan 3 siswa atau 4% siswa
yang bergaya belajar visual-auditorial, serta 2 siswa atau 3% siswa yang bergaya belajar visual-
kinestetik.
100
80
60
40
20
0
Visual Auditori Kinestetik V-A V-K
Gambar 1. Diagram Perbandingan Nilai Rata-Rata Kemampuan Komunikasi Matematis
Berdasarkan diagram diatas menunjukkan bahwa perbandingan nilai rata-rata kemampuan
komunikasi matematis siswa kelas VII SMP Negeri 22 Konawe Selatan pada tiap gaya belajar, siswa
bergaya belajar visual-kinestetik memperoleh nilai rata-rata tertinggi yaitu 83,00 dan siswa bergaya
belajar auditorial memperoleh nilai rata-rata terendah yaitu 49,92, sedangkan siswa bergaya belajar
visual memperoleh nilai 56,97, siswa bergaya belajar kinestetik memperoleh nilai rata-rata 52,17, dan
siswa bergaya belajar visual-auditorial memperoleh nilai rata-rata 75,0. Hal ini sejalan dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Syukuk & Misu (2016) bahwa setiap siswa memiliki gaya belajar
yang dominan mereka gunakan dalam menerima pembelajaran, serta siswa yang memiliki lebih dari
satu gaya belajar yang dominan akan mendapatkan nilai hasil belajar yang lebih baik dari siswa yang
hanya memiliki satu gaya belajar yang dominan, hal ini menunjukkan bahwa apabila siswa mampu
memvariasikan gaya belajar yang dimilikinya dalam menerima pembelajaran maka siswa juga akan
menunjukkan peningkatan hasil belajar yang baik.

4
3.5
3
2.5
Menggambar
2
Menulis
1.5
1 Ekspresi
0.5
0
V A K V-K V-A
Gambar 2. Diagram Skor Rata-Rata Tiap Indikator Kemampuan Komunikasi Matematis
Berdasarkan diagram diatas diproleh bahwa kemampuan komunikasi matematis pada
indikator menggambar skor rata-rata tertinggi pada siswa bergaya belajar visual auditorial yaitu 3,7,
kemudian siswa bergaya belajar visual-kinestetik memperoleh rata-rata skor 3,5, siswa bergaya
belajar visual memperoleh rata-rata skor 3,48, siswa bergaya belajar kinestetik memperoleh rata-rata
skor 3,22, dan siswa bergaya belajar auditorial memperoleh skor 2,92. Pada indikator menulis, siswa
bergaya belajar visual-kinestetik memperoleh rata-rata skor tertinggi yaitu 3,5, siswa bergaya belajar
visual-auditorial memperoleh rata-rata skor 3,3, siswa bergaya belajar visual memperoleh rata-rata
skor 2,13, siswa bergaya belajar kinestetik memperoleh rata-rata skor 2,04, dan siswa bergaya belajar
auditorial memperoleh rata-rata skor 1,67. Kemudian pada indikator ekspresi matematika siswa
bergaya belajar visual-kinestetik memperoleh rata-rata skor 3,0, siswa bergaya belajar visual-
auditorial memperoleh skor 2,0, siswa bergaya belajar auditorial memperoleh rata-rata skor 1,42,
siswa bergaya belajar visual memperoleh rata-rata skor 1,23, dan siswa bergaya kinestetik
memperoleh rata-rata skor 1,00.

Endri Nuryanto, Hasnawati, Salim


Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Bobbi DePorter dan Mike Hernacki bahwa siswa
yang bergaya belajar visual mengandalkan kesuksesan belajarnya melalui citra penglihatan, maka
siswa terbanyak yang memperoleh skor tertinggi pada indikator kemampuan menjelaskan masalah
matematika kedalam bentuk gambar adalah siswa bergaya belajar visual dan banyak siswa yang
memperoleh skor terendah adalah siswa bergaya belajar auditorial. Sedangkan pada indikator
kemampuan menjelaskan situasi masalah dengan kata-kata sendiri, siswa terbanyak yang
memperoleh skor tetinggi adalah siswa bergaya belajar visual dan banyak siswa yang memperoleh
skor terendah adalah siswa bergaya belajar auditorial. Hal ini didukung dengan penelitian yang
dilakukan oleh Bukti dan Istarani dalam (Sutriani, Syahrilfuddin, dan Noviana, 2018) bahwa siswa
yang memiliki kecenderungan pada gaya belajar visual biasanya ketika belajar lebih menekankan
pada ketajaman mata. Sehingga pada gaya belajar visual dapat lebih mudah belajar dengan
menampilkan gambar atau diagram. Pada soal pertama siswa diminta untuk mengagambarkan
diagram venn yang sesuai dengan masalah yang diketahui dalam soal dan soal kedua siswa diminta
untuk menjelaskan maksud diagram venn pada soal dengan kalimat sendiri. Hal ini siswa bergaya
belajar visual memperoleh skor rata-rata tertinggi dimana siswa bergaya belajar visual menyukai
belajar dengan instruksi tertulis, foto, diagram, tabel, dan ilustrasi. Sedangkan pada indikator
kemampuan menyatakan masalah matematika ke dalam model matematika dan melakukan
perhitungan untuk menyelesaikannya siswa terbanyak yang memperoleh skor tertinggi dan terendah
adalah siswa bergaya belajar kinestetik.
Gaya belajar yang dimiliki siswa dapat membantu siswa bagaimana ia menerima, mengelola,
dan mengatur informasi yang diperoleh. Siswa yang bergaya belajar visual adalah siswa yang
menerima informasi dengan cara melihat, maka belajar dengan menggunakan beragam bentuk grafis
berupa slide, film, gambar ilustrasi akan menjadi efektif. Sedangkan siswa bergaya belajar auditorial
adalah siswa yang menerima informasi dengan cara mendengar, maka belajar dengan cara berdiskusi
kelompok dan penyampaian dengan panjang lebar akan menjadi efektif. Selanjutnya siswa bergaya
belajar kinestetik adalah siswa yang menerima informasi dengan cara mengharuskan individu yang
bersangkutan menyentuh sesuatu yang memberikan informasi tertentu agar ia bisa mengingatnya,
maka belajar dengan berorientasi pada fisik dan banyak bergerak dan menggunakan simulasi konsep
secara konkret akan menjadi efektif. Pada siswa yang mempunyai gaya belajar lebih dari satu akan
mudah menerima pelajaran jika ia dapat mevariasikan gaya belajarnya. Pada kenyataannya siswa
kelas VII di SMP Negeri 22 Konawe Selatan dominan bergaya belajar visual, maka guru diharapkan
dapat mevariasikan model pembelajaran dikelas agar proses belajar mengajar bisa menjadi efektif.

Simpulan dan Saran


Simpulan
Berdasarkan hasil analisis deskriptif dan pembahasan data penelitian maka peneliti dapat
menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: Distribusi siswa berdasarkan gaya belajar siswa di
kelas VII SMP Negeri 22 Konawe Selatan menunjukkan bahwa terdapat 31 siswa atau 44% bergaya
belajar visual, 12 atau 17% siswa bergaya belajar auditori, 23 atau 32% siswa bergaya belajar
kinestetik, 3 atau 4% siswa bergaya belajar visual-auditorial, dan 2 atau 3% siswa bergaya belajar
visual-kinestetik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa siswa kelas VII SMP Negeri 22 Konawe
Selatan memiliki kecenderungan bergaya belajar visual. Kemudian pada kemampuan komunikasi
matematis siswa pada kelas VII SMP Negeri 22 Konawe Selatan menunjukkan bahwa terdapat 10
siswa atau sebesar 15% pada kategori sangat baik, 21 siswa atau sebesar 32% pada kategori baik, 28
siswa atau sebesar 42% pada kategori cukup, dan 7 siswa atau sebesar 11% pada kategori kurang.
Hal ini berarti bahwa kemampuan komunikasi matematis siswa kelas VII SMP Negeri 22 Konawe
Selatan dominan berada dalam kategori cukup.

Saran
Adapun saran yang dapat peneliti sampaikan untuk digunakan sebagai pertimbangan sesuai
dengan hasil penelitian ini, yaitu:

Endri Nuryanto, Hasnawati, Salim


Bagi guru: dikarenakan ketika awal masuk sekolah, guru belum mengetahui gaya belajar
siswa, olehnya itu guru sebaiknya memberikan angket gaya belajar agar dapat mengetahui gaya
belajar siswa.
Bagi siswa diharapkan dapat mengenali dan mengembangkan gaya belajarnya sehingga ketika
saat proses pembelajaran berlangsung dapat dengan mudah menerapkan cara yang sesuai untuk
menerima informasi sehingga pembelajaran dapat menciptakan suasana yang menyenangkan.
Bagi guru: dikarenakan banyak siswa yang bergaya belajar visual dikelas maka sebaiknya guru
dapat memvariasikan model pembelajarannya, guru diharapkan dapat memberikan pembelajaran
dengan menggunakan beragam bentuk grafis berupa slide, film, gambar ilustrasi, dan lain-lain untuk
menyampaikan informasi atau materi pelajaran, kemudian diselingi dengan pembelajaran yang
berorientasi pada fisik dan banyak bergerak dan gunakan simulasi konsep secara konkret untuk siswa
bergaya belajar kinestetik, serta diharapkan sedikit menerapkan pembelajaran dengan berdiskusi
kelompok dan menjelaskan pokok bahasan dengan panjang lebar.
Bagi guru: dikarenakan kemampuan komunikasi matematis siswa pada indikator ekspresi
matematis siswa yang masih dalam kategori rendah, olehnya itu sebaiknya guru dapat memberikan
latihan atau masalah yang cukup terkait soal-soal ekspresi matematika.

Daftar Pustaka
Auliana, N., Handayani, A. D., & Katminingsih, Y. (2017). Analisis Kemampuan Komunikasi
Matematis Siswa pada materi Statistika Ditinjau dari Gaya Belajar Visual, Auditorial, dan
Kinestetik (VAK). Simki-Techsain. 1(6), 3-8
Daimaturrohmatin & Rufina, I, S. (2019). Analisis Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa
Ditinjau Dari Gaya Belajar Kolb. Jurnal Ilmiah Mahasiswa. 3(1), 17-31
Deporter, B & Hernacki, M. (2016). Quantum Learning. Bandung: Kaifa.
Dewi, R. (2017). Pengembangan Instrumen Tes untuk Mengukur Kemampuan Komunikasi
Matematis Siswa SMP Negeri 17 Makassar (Doctoral dissertation, Universitas Islam Negeri
Makassar).
Ghufron, M. N, & Risnawita, R. (2014). Gaya Belajar Kajian Teoritik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hamdani, V., Buyung., & Yarmayani, A. (2019). Pengaruh Gaya Belajar Terhadap Kemampuan
Komunikasi Matematis Siswa Kelas Xi Sma Islam Alfalah Jambi. Jurnal Pendidikan
Matematika. 1(3), 40-45
Hikmawati, N, N., Nurcahyono, N, A., & Balkist. P. S. (2019). Kemampuan Komunikasi Matematis
Siswa Dalam Menyelesaikan Soal Geometri Kubus Dan Balok. Jurnal PRISMA. 8 (1), 68-79
Hodiyanto. (2017). Kemampuan Komunikasi Matematis Dalam Pembelajaran Matematis. Jurnal
AdMathEdu. 1(7), 9-18
Minarti, E, D & Nurfauziah, P. (2016). Pendekatan Kontruktivisme Dengan Model Pembelajaran
Generatif Guna Meningkatkan Kemampuan Komunikasi dan Koneksi Matematis Serta Self
Efficacy Mahasiswa Calon Guru Di Cimahi. Jurnal Ilmiah UPT P2M STKIP Siliwangi. 2(3),
68-83
Marlina., Hajidin., & Ikhsan, M. (2014). Penggunaan Model Pembelajaran Kooperatif Think-Pair-
Share (TPS) Untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Dan Disposisi Matematis Siswa
Di SMP Negeri 1 Bireuen. Jurnal Didaktik Matematika. 1(1), 83-95
Nasution. (2013). Berbagai Pendekatan Dalam Proses Belajar Dan Mengajar. Jakarta: PT Bumi
Aksara
Purba, J., Maimunah., & Roza, Y. (2020). Analisis Kemampuan Komunikasi Matematika Siswa
SMP pada Materi Bangun Ruang Sisi Lengkung. EKSAKTA. Jurnal Penelitian Dan
Pembelajaran MIPA. 5(1), 13–21.
Putra, Y, A., Susanto., Suharto. (2019). Analisis komunikasi Matematis Siswa Dalam Menyelesaikan
Soal Persamaan Linear Satu Variabel Ditinjau Dari Gaya Belajar. Kadikma. 1(10), 126-135
Qonaah, A., Pujiastuti, H., & Fatah, A. (2019). Pengaruh Model Pembelajaran Generatif Terhadap
Peningjkatan Kemampuan Komunikasi Matematis Ditinjau dari Kemampuan Kemampuan

Endri Nuryanto, Hasnawati, Salim


Awal Matematis siswa. Jirnal Penelitian Pendidikan Dan Pengajaran Matematika.1(4), 35-
40
Rachmayani, D. (2014). Penerapan Pembelajaran Reciprocal Teaching Untuk Meningkatkan
Kemampuan Komunikasi Matematis Dan Kemandirian Belajar Matematika Siswa. jurnal
Penndidikan Unsika. 1(2), 13-23
Sari, I, K. (2017). Kemampuan Komunikasi Matematika Berdasarkan Perbedaan Gaya Belajar Siswa
Kelas X Sma Negeri 6 Wajo Pada Materi Statistika. Jurnal Nalar Pendidikan. 5 (2), 86-92
Son, A, L. (2015). Pentingnya Kemampuan Komunikasi Matematika Bagi Mahasiswa Calon Guru
Matematika. Jurnal Wiraloda. 15(7), 4-5
Sugiyono. (2019). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta
Sumaeni, S., Kodirun., & Salim. (2020). Pengaruh Gaya Belajar Terhadap Kemampuan Penalaran
Matematika siswa.Jurnal Edukasi Matematika. 2(11), 79-87
Sutriani, E., Syahrilfuddin., & Noviana, E. (2018). Gaya Belajar Siswa Berprestasi akademik Pada
Kelas V Di Sekolah Dasar Negeri 02 Kecamatan Sabak Auh Kabupaten Siak. Jurnal PAJAR.
6(2), 2614-1337
Syukuk, M, & Misu, L. (2016). Hubungan Antara Gaya Belajar dan Hasil Belajar Matematika Kelas
XI SMAN 4 Kendari. Jurnal Penelitian Pendidikan Matematika. 2(4), 153-167
Umrana. (2019). Analisis Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Ditinjau dari Gaya Belajar
Siswa. Jurnal Pembelajaran Berpikir Matematika, 4(1)
Wijayanti, I, D., Hariastuti, R, M., & Yusuf, F, I. (2019).Kemampuan Komunikasi Matematika
Ditinjau Dari Gaya Belajar. Jurnal Inovasi Pendidikan Matematika. 1(2), 68-76

Endri Nuryanto, Hasnawati, Salim


Endri Nuryanto, biasa dipanggil Endri. Lahir di
Karya Bhakti pada tanggal 19 Mei 1999. Anak
pertama dari tiga bersaudara dari pasangan bapak
Suyadi dan Ibu Nuryati. Memulai jenjang
pendidikan di Sekolah Dasar tepatnya di SD
Negeri 33 Kulisusu pada tahun 2005 dan lulus
pada tahun 2011. Kemudian melanjutkan
pendidikan di SMP Satap Negeri 2 Kulisusu
Barat pada tahun 2011 dan lulus pada tahun 2014.
Kemudian melanjutkan pendidikan di SMA
Negeri 1 Kulisusu pada tahun 2014 dan lulus pada tahun 2017.
Melanjutkan pendidikan di Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas
Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Halu Oleo Pada Tahun 2017
melalui jalur SMMPTN dan menyelesaikan pendidikan pada tahun 2022.

Anda mungkin juga menyukai