Httperepo Unud Ac Idideprintbbc39d PDF
Httperepo Unud Ac Idideprintbbc39d PDF
ABSTRAK
Komunikasi dalam kehidupan manusia merupakan sesuatu yang sangat penting, namun
secara fungsi maupun lokasi anatomi “wicara” ataupun “bahasa” adalah hal yang berbeda.
Bahasa merupakan alat komunikasi utama manusia dan dasar dari kemampuan kognitif.
Gangguan wicara (speech disorders) bersifat perifer disebabkan oleh kelainan saraf tepi,
otot maupun struktur anatomis yang dipakai untuk berbicara dan biasanya disertai gangguan
suara (speech and voice disorders). Gangguan wicara, dalam bahasa medis disebut sebagai
“disartria” berkaitan dengan neuromuskular, artikulasi, respirasi, dan resonansi.
Gangguan berbahasa (language disorders) yang disebut sebagai afasia, mencakup
gangguan yang lebih kompleks, bersifat multimodalitas dan gangguannya terletak di korteks
serebri. Afasia biasanya disebabkan oleh gangguan pembuluh darah otak seperti stroke, cedera
kepala, infeksi juga gangguan degeneratif.
Afasia terjadi akibat kerusakan pada area pengaturan bahasa di otak. Pada manusia,
fungsi pengaturan bahasa mengalami lateralisasi ke hemisfer kiri otak pada 96-99% orang yang
dominan tangan kanan (kinan) dan 60% orang yang dominan tangan kiri (kidal). Pada pasien
yang menderita afasia, sebagian besar lesi terletak pada hemisfer kiri. Komponen neuroanatomi
yang berperan dalam proses produksi bahasa dan pemahaman meliputi masukan (input) auditori
dan pengkodean bahasa di lobus temporal superior, analisis bahasa di lobus parietal dan ekspresi
di lobus frontal. Pada pertemuan ini dikemukakan sedikit mengenai anatomi, gejala afasia untuk
selanjutnya dapat meletakkan dasar penatalaksanaan yang lebih awal dan adekuat dibidang terapi
“wicara-bahasa”.
*Seminar dan Workshop Nasional “Assesment Klinis dan Managemen Afasia Dewasa serta
hubungan terhadap Gangguan Bahasa Neurogenik”
**Divisi Neurobehavior, Departemen/KSM Neurologi FK UNUD/ RSUP Sanglah Denpasar, 14
September 2018 , Bali
Pendahuluan
Komunikasi merupakan hal yang terpenting dalam kehidupan manusia sehari-hari. Dalam
berkomunikasi diperlukan suatu perangkat yang dikenal sebagai fungsi “wicara-bahasa”,
sehingga gangguan berkomunikasi seringkali disebut juga sebagai gangguan “wicara–bahasa”
atau gangguan berbahasa. Untuk dapat berkomunikasi yang baik, menggunakan sejumlah fungsi
berupa simbolisasi (kemampuan pemahaman dan formulasi bahasa dan simbol lainnya), untuk
meningkatkan kemampuan tenaga dalam berbicara diperlukan kemampuan respirasi yang baik
sedangkan kemampuan resonansi untuk menghasilkan nada tertentu, fonasi untuk membunyikan
suara, artikulasi untuk menghasilkan vocal dan konsonan, lafal yang menghasilkan bunyi bahasa,
prosodi membuat lagu irama kalimat dan kemampuan komunikasi berupa kemauan dan
kemampuan berinteraksi komunikasi.
Wicara (speech) dibedakan dengan bahasa (language) secara fungsional maupun
lokalisasi lesi dan anatominya. Gangguan wicara bersifat perifer disebabkan oleh kelainan saraf
tepi, otot maupun struktur anatomis yang dipakai untuk berbicara. Gangguan wicara ini biasanya
disertai gangguan suara (speech and voice disorders) yang dalam bahasa medis disebut sebagai
“disartria”. Gangguan bahasa yang lazimnya disebut sebagai afasia mencakup gangguan yang
lebih kompleks, bersifat multimodalitas dan letak gangguannya di korteks serebri yang biasanya
disebabkan oleh gangguan pembuluh darah otak seperti stroke, juga cedera kepala, infeksi. Pada
pertemuan ini dikemukakan tentang neuroanatomi, gejala gangguan komunikasi (afasia) disertai
kerjasama penatalaksanaan yang lebih awal dan adekuat dibidang terapi wicara-bahasa.
Bahasa
Definisi Bahasa
Bahasa merupakan alat komunikasi utama manusia dan dasar dari sebagian besar
kemampuan kognitif. Gangguan kognitif adalah gangguan proses berpikir yang rasional
termasuk proses mengingat, menilai, orientasi, persepsi dan juga memperhatikan. Gangguan ini
erat kaitannya dengan fungsi otak secara keseluruhan. Gangguan berbahasa (language disorders)
biasanya disebut afasia, sedangkan gangguan berbicara (speech disorders) atau wicara seringkali
disebut disartri yang berkaitan dengan neuromuskular, artikulasi, respirasi, dan resonansi.
Gangguan komunikasi menghubungkan tiga aspek bahasa yaitu sosial, kognitif dan linguistik.
Anatomi dan Fisiologi Bahasa
Susunan saraf manusia terdiri dari Susunan Saraf Pusat dan Susunan Saraf Tepi. Susunan
Saraf Pusat terdiri dari otak besar (serebrum), otak kecil (serebelum) dan sumsum tulang
belakang (medulla spinalis). Serebrum banyak berperan dalam gangguan bahasa, serebrum
terdiri dari 2 belahan otak (hemisfer kiri dan kanan) yang dihubungkan oleh korpus kalosum.
Secara umum, hemisfer kiri mengatur bagian tubuh sisi kanan dan hemisfer kanan mengatur
bagian tubuh sisi kiri. Permukaan otak (serebrum) ini terdiri atas korteks (grey matter), yang
merupakan pusat sebagian besar aktivitas manusia termasuk pengaturan tata bahasa dan
pengetahuan tentang bahasa. Selain itu korteks juga merupakan organ tempat pengambilan
keputusan, setelah menerima pesan dari seluruh organ sensori dan melakukan segala aktivitas
volunteer. Korteks terbagi kepada empat lobus yaitu lobus frontalis berfungsi untuk mengontrol
gerakan motorik dan fungsi eksekutif yang lebih tinggi, lobus parietalis untuk fungsi sensoris,
lobus temporalis untuk mendengar, memori dan pemahaman bahasa dan lobus oksipitalis untuk
persepsi visual (Pearl dkk, 2014).
Kesempurnaan fungsi-fungsi yang ada di korteks serebri dengan segala peranannya hanya
terjadi pada otak manusia yang matang (matured brain). Semua terjadi melalui perkembangan
otak secara ontogenetis sejak dini. Proses perkembangan ini disebut dengan lateralisasi yang
berarti adanya pergeseran fungsi, terjadi spesialisasi hemisfer yaitu hemisfer kiri dan kanan
manusia mempunyai fungsi yang berbeda sehingga dalam fungsinya kedua hemisfer tersebut
tidaklah sama. Disebutkan bahwa hemisfer kiri orang kinan (orang yang cekat tangan kanan)
akan menjadi dominan dalam fungsi bahasa (linguistic functions) dan hemisfer kanan berperan
sebagai “spatial and affective functions”. Namun tidak menutup kemungkinan hemisfer kanan
(non-dominan) berperan dalam fungsi bahasa terutama dalam modalitas pengertian bahasa dan
juga membantu dalam pemulihan gejala afasia (Grey dan Hall, 2004).
Area Exner dikenali sebagai daerah Brodmann 6, dimana area ini terletak tepat di atas area Broca
dan anterior area kontrol motor primer. Area ini untuk mengetahui kemampuan menulis,
berdekatan dengan lokasi gerakan tangan. Kerusakan area Exner akan mengakibatkan agraphia.
Area membaca terletak di bagian medial lobus oksipital kiri dan di splenium corpus callosum.
Daerah ini merupakan pusat membaca. Ia menerima impuls dari mata dan mengirimkan impuls
tersebut ke daerah assosiasi untuk dianalisa, kemudian dihantarkan ke fasikulus arkuata. Lesi
pada area ini menyebabkan kebutaan kata murni. Daerah ini neuroanatomi digambarkan sebagai
daerah Brodmann 17 (Gupta dan Singhal, 2011; Rohkamm, 2004).
Komponen neuroanatomi yang berperan dalam proses produksi bahasa dan pemahaman
meliputi masukan (input) auditori dan pengkodean bahasa di lobus temporal superior, analisis
bahasa di lobus parietal, dan ekspresi di lobus frontal. Masukan tersebut kemudian naik ke
traktus kortikobulbar menuju kapsula interna dan batang otak, dengan efek modulator dari basal
ganglia dan serebelum. Terakhir, masukan dimaknai sebagai bahasa lengkap dengan kosakata,
makna sintaksis, dan gramatikal di interkoneksi antar pusat-pusat bahasa (Sherwood, 2010).
Stimulus pendengaran dihantarkan dari perifer melalui sistem auditif ke area auditif
primer di girus Hischl pada kedua lobus Temporalis. Di hemisfer dominan, informasi diteruskan
ke area assosiasi auditif (area Wernicke untuk identifikasi kata) di bagian posterior lobus
temporalis superior. Kemudian sebagai simbol bahasa diteruskan ke area pengenalan kata di
inferior lobus parietal hemisfer dominan. Lalu informasi disampaikan kembali melalui area
Wernicke ke area lain di otak untuk encoding atau respon bahasa (Sherwood, 2010).
Gambar 2.2. Organisasi dari area asosiasi visual dan auditori somatik menjadi mekanisme umum untuk
interpretasi dari pengalaman sensori (Guyton dan Hall, 2006)
Gambar 2.3. Jalur kortikal untuk mengucapkan kata yang dilihat atau didengar
(Guyton dan Hall, 2006)
Arteri yang menyuplai area Broca dan area Wernicke ialah arteri serebri media. Arteri serebri
media terbagi menjadi 4 segmen, yaitu :
- M1 (dari arteri karotis interna menuju bifurkasi atau trifurcation)
- M2 (dari bifurkasi arteri serebri media ke sulkus melingkari insula)
- M3 (dari sulkus melingkar dengan aspek dangkal dari fisura Sylvian)
- M4 yang terdiri dari cabang kortikal.
Segmen M1 bercabang menjadi arteri lenticulostriata, yang memasuki komisura anterior, kapsula
interna, nukleus kaudatus, putamen dan globus pallidus, dan arteri temporalis anterior, yang
menyuplai lobus temporal anterior.
Segmen M2 bermula dari titik divisi utama segmen M1, selama insula dalam fisura Sylvii, dan
berakhir pada insula. Terdapat dua percabangan utama yaitu percabangan terminal superior
terdiri dari arteri frontobasal lateral (orbito-frontal) arteri sulci prefrontal, arteri sulci pra-
Rolandic (precentral) dan Rolandic (pusat). Percabangan terminal inferior bercabang mnejadi
tiga ke arteri di temporal (anterior, tengah, posterior), bercabang ke angular gyrus dan menjadi
dua cabang yang menyuplai area parietal (anterior, posterior).
Segmen M3 dimulai pada sulkus insula dan berakhir di permukaan fisura Sylvii. Bagian ini
dikirimkan melalui permukaan opercula frontal dan temporal untuk mencapai permukaan luar
fisura Sylvii.
Segmen M4 dimulai pada permukaan fisura Sylvii dan membentang di atas permukaan korteks
serebri. Cabang kortikal ini menyuplai daerah orbitofrontal, prefrontal, presentral, sentral,
anterior dan posterior parietal, temporo-oksipital, cabang temporopolar (Tubbs dkk, 2013).
Area motorik menempati gyrus presentral (area brodmann 4) di lobus frontal. Area
motorik disuplai oleh arteri serebri anterior dan arteri serebri media yang bercabang dari arteri
karotis interna. Arteri serebri anterior menyuplai korteks lobus frontalis dan lobus parietalis,
dimana arteri serebri media menyuplai korteks bagian lateral. Oleh itu arteri serebri anterior dan
arteri serebri media bertanggung jawab dalam menyuplai darah ke bagian kepala, tangan dan
kaki (Pearl dkk, 2014).
Klasifikasi Afasia
1. Berdasarkan manifestasi klinik dan lokasi anatomi.
Berdasarkan manifestasi klinik, dibagi berdasarkan kelancaran berbicara:
a. Fluent (Lancar)
Pada afasia ini penderita bicara lancar, artikulasi dan irama baik, tetapi isi bicara tidak
bermakna dan tidak dapat dimengerti artinya.
Gambaran klinisnya ialah:
Keluaran bicara yang lancar
Panjang kalimat normal
Artikulasi dan irama bicara baik
Terdapat parafasia
Kemampuan memahami pendengaran dan membaca buruk
Pengulangan (repetisi) terganggu
Menulis lancar tadi tidak ada arti
b. Non Fluent (Tidak lancar)
Keluaran bicara terbatas. Menggunakan kalimat pendek dan bentuk bicara sederhana.
Sering disertai artikulasi dan irama bicara yang buruk.
Gambaran klinisnya ialah:
Pasien tampak sulit memulai bicara
Panjang kalimat sedikit (5 kata atau kurang per kalimat)
Gramatika bahasa berkurang dan tidak kompleks
Artikulasi umumnya terganggu
Irama bicara terganggu
Pemahaman cukup baik, tapi sulit memahami kalimat yang lebih kompleks
Pengulangan (repetisi) buruk
Kemampuan menamai, menyebut nama benda buruk
Seorang afasia yang non-fluent mungkin akan mengatakan dengan tidak lancar dan tertegun-
tegun: “mana… rokok… beli.”
Seorang afasia fluent mungkin akan mengatakan dengan lancar: “rokok beli tembakau kemana
situ tadi gimana dia toko jalan.”
2. Berdasarkan anatomi dari lesinya, dibedakan (Batson dan Avent, 2011; Solomon dkk, 2010):
a. Afasia Wernicke
Pemahaman terganggu terutama pada bahasa yang didengar dan dilihat, baik untuk 1 kata
maupun pada 1 kalimat utuh. Bahasa dapat diucapkan dengan lancar namun sangat parafasik
dan sirkumlokusius. Kecenderungan kesalahan parafasik sangat tinggi hingga terkadang disebut
neologisme, yang disebut juga jargon afasia. Pembicaraan biasanya mengandung banyak kata
sifat namun sedikit mengandung kata benda atau kata kerja. Pembicaraan banyak, namun tanpa
arti.
Penggunaan bahasa tubuh tidak banyak membantu komunikasi. Pasien tampak mengerti
bahwa pembicaraannya tidak dapat dimengerti oleh orang lain sehingga pasien tampak marah
dan tidak sabar ketika pemeriksa tidak mengerti maksud dari pembicaraannya. Pada pasien
dengan afasia wernicke dapat disertai dengan agitasi motorik dan perilaku paranoid. Pasien
dengan afasia wernicke tidak dapat mengekspresikan pemikiran mereka melalui kata-kata yang
sesuai dan tidak dapat memahami arti dari setiap kata yang masuk. Lesi ini terletak di area
wernicke
Bila area Wernicke pada hemisfer dominan seorang dewasa mengalami kerusakan,
normalnya pasien akan kehilangan hampir seluruh fungsi intelektual yang berhubungan dengan
bahasa atau simbolisme verbal seperti kemampuan membaca, kemampuan memecahkan
perhitungan matematika juga kemampuan untuk berpikir logis. Bila area Wernicke mengalami
kerusakan yang parah, pasien mungkin masih dapat mendengar dengan sempurna dan bahkan
masih dapat mengenali kata-kata namun tetap tak mampu menyusun kata-kata ini menjadi suatu
pikiran yang logis. Demikian juga, pasien masih mampu membaca kata-kata tertulis namun
tidak mampu mengenali gagasan yang disampaikan. Pasien afasia Wernicke tidak mampu
memformulasikan buah pikirannya untuk dikomunikasikan. Bila lesinya tidak terlalu parah,
pasien masih mampu memformulasikan pikirannya namun tak mampu menyusun kata-kata yang
sesuai secara berurutan dan bersama-sama untuk mengekspresikan pikirannya.
Etiologi paling sering dari afasia wernicke adalah emboli dari arteri serebri media.
Etiologi lain bisa berasal dari perdarahan intraserebral, trauma kepala berat, dan tumor. Adanya
hemianopia kanan atau quadrantanopia superior dan pendataran sudut nasolabial kanan dapat
mempertegas adanya lesi di area wernicke.
b. Afasia Broca
Afasia Broca adalah suatu sindrom afasia non fluent yang ditandai oleh output verbal
yang sulit dikeluarkan, disartri, disprosodi dan agramatikal. Penderita dengan afasia Broca
masih memiliki pengertian yang utuh tetapi seringkali kesulitan dalam menguasai bahasa lisan
maupun tulisan pada hubungan gramatikal khusus (“put the blue square on top of the red
circle”). Repetisi, membaca dengan suara keras, penamaan dan menulis juga terganggu. Lesi
yang bertanggung jawab untuk afasia Broca mencakup girus frontal inferior dan daerah di dekat
operkulum dan insula pada daerah yang terletak di atas arteri serebri media. Luasnya lesi
menentukan gambaran dari sindrom afasianya. Kerusakan pada operkulum frontal menghasilkan
kesulitan untuk mengawali percakapan; cedera pada korteks lower motor mengakibatkan
disartria dan disprosodi; kerusakan yang menyebar lebih ke posterior sehingga meliputi koneksi
temporoparietal hingga operkulum yang menyebabkan parafasia fonemik serupa dengan yang
terjadi pada afasia konduksi. Afasia Broca klasik yang mengkombinasikan semua gambaran
tersebut dengan gumaman yang agramatikal dan diperpendek terlihat jika daerah diatas ventrikel
serta substansia alba yang berdekatan dan mengandung jaras periventrikuler limbik-frontal
tercakup dalam lesi. Jika lesi frontal meliputi area premotor dan operkulum frontal maka terjadi
hemiparesis kanan yang mengenai wajah dan tungkai atas yang lebih menonjol daripada tungkai
bawah biasanya menyertai afasia, dan suatu apraksia simpatetik (didiskusikan di bawah) dapat
mempengaruhi fungsi bukolingual dan fungsi tungkai sebelah kiri.
c. Afasia Global
Penderita afasia global mengalami gangguan secara jelas pada seluruh aspek fungsi
bahasa mencakup output verbal spontan, pengertian, repetisi, penamaan, membaca dengan suara
keras, pengertian dalam membaca, dan menulis. Seringkali verbalisasi spontan hanya berupa
produksi, tidak bermakna dan stereotip seperti “za,za,za,” meskipun beberapa pasien dapat
mengucapkan pengulangan kecil dari frase yang telah diperlajari yang dapat digumamkan
dengan fasih, dan banyak penderita afasia global yang dapat mengutuk dengan mudah saat
marah. Ucapan otomatis (menghitung, menyebutkan nama hari dalam minggu atau bulan dalam
tahun), dan menggumamkan nada-nada yang telah dipelajari (“Happy Birthday,” “Jingle Bells”)
dapat terjadi meskipun terdapat defek yang berat dalam bahasa ekspresif proporsional.
Pengertian bahasa yang buruk membedakan afasi global dari afasia Broca, dan repertisi yang
buruk membedakannya dengan afasia transkortikal campuran (afasia isolasi). Banyak penderita
afasia global akan mengikuti keseluruhan perintah utuh (“stand up,’”sit down”), dapat
membedakan bahasa asing dan percakapan omong-kosong dari pengujar asli, dapat menilai
infleksi secara memdasar untuk membedakan pertanyaan dan perintah, dapat mengenali nama
orang dan peristiwa penting yang relevan secara personal baik yang disebut maupun yang ditulis,
dan akan menolak bahasa tertulis yang ditampilkan terbalik, meskipun pengertiannya sangat
parah terganggu.
Secara patologik, lesi yang umumnya menyebabkan afasia global adalah infark besar
yang terletak di sebelah kiri yang disuplai arteri serebri media. Terdapat hemiparesis, defisit
hemisensoris, dan homonim hemianopsia khas yang menyertai. Sindrom ini menyatakan adanya
disfungsi dari Broca dan Wernicke. Sindrom ini juga dapat menjadi gejala awal dari afasia
Wernicke yang kemudian berkembang menjadi afasia Wernicke yang klasik.
d. Afasia Konduktif
Afasia konduksi merupakan sindrom afasia fasih yang unik dimana pengeluaran kata-kata
lancar namun parafasik, pemahaman bahasa masih baik, namun repetisi secara disproporsional
terganggu. Percakapan spontan ditandai oleh jeda pencarian kata dan perdominasi fonemik atau
parafasia literal terhadap parafasia semantik atau parafasia neologistik. Seringkali penderita
menyadari telah membuat kesalahan dan membuat perkiraan yang mendekati kata yang
dimaksud (conduit d’approche). Membaca dengan suara keras terganggu tetapi pengertian dalam
membaca masih utuh. Penamaan dan menulis keduanya abnormal dan mengandung subsitusi
parafasik fonemik.
e. Afasia Anomik
Anomia dapat ditemukan di berbagai jenis penyakit yang mengenai hemisfer otak dan
tampak pada seluruh jenis afasia seperti halnya pada ensefalopati toksik metabolik dan pada
penderita dengan peningkatan tekanan intrakranial. Tiga tipe primer anomia terjadi pada sindrom
afasik yakni anomia produksi kata, anomia seleksi kata, dan anomia semantik. Anomia produksi
kata ditandai dengan ketidakmampuan untuk mengekspresikan kata yang dimaksudkan. Problem
primernya adalah gangguan dalam mengawali kata dan pasien siap bereaksi terhadap petunjuk2
fonemik (suku kata pertama atau bunyi pertama dari sebuah kata). Anomia produksi kata
merupakan karakteristik dari afasia tidak fasih seperti afasia Broca dan afasia motor
transkortikal. Anomia produksi kata juga merupakan tipe utama defisit penamaan pada penderita
dengan demensia subkortikal.
Penderita dengan anomia sematik mengalami gangguan pada kemampuan terhadap nama,
tidak bereaksi terhadap petunjuk, dan tidak mengenali kata jika kata itu disebutkan oleh
pemeriksa. Bunyi dari kata kehilangan makna. Anemia semantic terjadi pada afasia Wernicke
dan afasia sensoris transkortikal. Anomia seleksi kata menggambarkan anomia, yakni kegagalan
untuk bereaksi terhadap petunjuk2 fonemik tetapi memiliki kemampuan utuh untuk mengenali
kata jika diberikan. Anomia seleksi kata merupakan gambaran utama dari afasia anomik.
Anomia akan tampak pada tes penamaan konfrontasi dan pada menulis spontan. Pasien
biasanya dapat mengenali kata yang benar jika ditampilkan oleh pemeriksa meskipun tidak
terkecuali. Afasia anomik biasanya mengindikasikan sebuah lesi pada girus angularis kiri atau
area yang berdikatan dengan girus teporalis kedua posterior. Beberapa penderita dengan afasia
anomik telah memiliki lesi pada daerah temporal anterior kiri atau daerah polar temporal. Afasia
anomik seringkali merupakan defisit residual setelah penyembuhan dari sindrom afasia yang
lebih luas (afasia Wernicke, afasia konduksi).
Beberapa perangkat pemeriksaan yang dapat digunakan untuk evaluasi neurobehavior adalah:
1. Minnesota Test For Differential Diagnosis Of Aphasia (MTDDA) dikembangkan oleh
Schuell thn 1965. Tujuan untuk diagnosis differensial afasia ya/tidak, diagnosis
differensial afasia dengan/ tanpa apraksia, disartria, gangguan persepsi. Lamanya tes rata-
rata 3 jam.
2. Tes Keping 36 , modifikasi dari A Shortened Version of The Token Test Ennio De Renzi
1979 untuk menentukan derajat kemampuan pengertian bahasa. Untuk mengukur
pemahaman bahasa auditif tanpa mengandalkan daya ingat atau intelegensi pasien.
Waktu yang diperlukan sekitar 20-30 menit. Tes ini sangat peka, juga untuk melacak
orang yang terkena afasia yang ringan sekalipun.
3. Test Boston, dibuat oleh Goodglass and Kaplan (1972, 1983) yaitu The Assesment of
Aphasia and Related Disorders, secara garis besar terdiri dari 2 bagian yaitu bagian
Verbal dan Nonverbal untuk menentukan jenis afasia dan keparahannya.
Untuk mendiagnosis afasia dan sindrom-sindrom afasia sehingga memberi kesimpulan
tentang lokasi kelainan serebral. Digunakan untuk pedoman dan penilaian perkembangan
pengobatan. Terdiri dari 27 subtes yang dikelompokkan dalam 5 bagian, yaitu: (bicara
spontan, pemahaman auditif, ekspresi lisan, membaca dengan pemahaman, menulis).
Waktu tes cukup lama antara 1-3 jam
4. TADIR (Test Afasia untuk Diagnosis, Informasi, Rehabilitasi), Dharmaperwira-Prins
1996 yang dikembangkan oleh Akademi Terapi Wicara di Jakarta tahun 1994. Tes ini
dikembangkan berdasarkan pengetahuan dan pengalaman pengarang yang mendalam
mengenai bahasa/komunikasi dan afasia, baik dari segi ilmiah maupun penanganan pada
pasien-pasien afasia. Membuat diagnosis afasia/bukan afasia; membuat diagnosis
sindrom afasia yang mana; memberi informasi kepada pasien, lingkungannya dan orang
lain, menjadi titik tolak untuk penanganan wicara (rehabilitasi) (Dharmaperwira,1996)
Manajemen Afasia
Semua afasia berkembang dari waktu ke waktu, sehingga kemungkinan prognosis harus
dibuat berdasarkan penilaian awal (3 sampai 4 minggu setelah onset). Misalnya, kondisi pasien
yang awalnya dengan afasia nonfluent berat (global) dengan pemberian terapi wicara-bahasa
yang adekuat cenderung berkembang menjadi afasia tipe Broca kronis. Kondisi pasien yang
awalnya dengan afasia fluent berat (Wernicke) dengan pemberian terapi yang adekuat memiliki
kemungkinan untuk berkembang menjadi afasia konduksi atau anomia.
Proses pemulihan dari afasia cenderung memakan waktu lama, dari bulan hingga
tahunan, dan pada sebagian pasien dengan tingkat keparahan afasia berat akan menetap
sepanjang hidupnya. Hanya sekitar 38% penderita afasia mengalami resolusi pada 7 hari pertama
pasca stroke. 18 bulan setelah onset stroke, resolusi komplit afasia hanya didapatkan pada 24%
pasien, sedangkan 43% pasien masih menderita afasia yang signifikan (Zhang dkk, 2016).
A. Terapi Medikamentosa
Belum ada tatalaksana medikamentosa yang dinilai efektif dalam tatalaksana afasia.
Tatalaksana medikamentosa pada afasia akut akibat stroke terbatas pada kesegaran reperfusi
otak dalam 1 jam pertama onset stroke. Pada penelitian yang dilakukan oleh Zhang dkk
(2016), turunan GABA (Gamma aminobutirat acid) yang diberikan 6 minggu – 6 bulan
dengan dosis 4800 mg dianggap berperan pada fase akut dan subakut namun belum dipahami
secara pasti, diduga terjadi peningkatan aliran darah otak di daerah bahasa utama yang
berkorelasi positif dengan pemulihan bahasa. Mekanisme lain dengan melibatkan modulasi
kolinergik, glutamatergik, dan sistem neurotransmiter seperti GABA-ergik (Prawiroharjo
dkk, 2017)
Kolinesterase inhibitor, donepezil menunjukkan beberapa efek terapi positif afasia pasca stroke.
Diduga dapat memfasilitasi neurotransmisi pada sambungan kolinergik otak ke daerah bahasa.
Jalur ini berperan penting untuk plastisitas potensial jangka panjang meningkatkan atensi,
pembelajaran, dan memori. Pada sebuah studi yang meneliti efek donepezil, dalam 4 minggu
pertama diberikan donepezil dosis 5mg, dilanjutkan 10mg dalam 12 minggu, dan selama
observasi 4 minggu selanjutnya tercatat efek perbaikan fungsi berbahasa pada pasien yaitu
diskriminasi fonemik, repetisi kata, mencocokkan gambar, menamai benda, dan peningkatan
skor proses semantik leksikal, serta luaran fonologi yang signifikan (Prawiroharjo dkk, 2017).
Memantin merupakan agonis reseptor N metil-d-aspartat (NMDA) yang sudah diuji
dengan RCT pada afasia dengan dosis 10 mg dua kali sehari dan dilaporkan berhubungan dengan
efek jangka panjang perbaikan kemampuan komunikasi fungsional (Prawiroharjo dkk, 2017).
B. Terapi Nonmedikamentosa
Pelopor dalam terapi wicara adalah Emil Froeschels (Austria) 1909 yang melakukan
terapi wicara secara terprogram. Luria (1973) menekankan filosofi dan konsep rehabilitasi
yaitu adanya sistem fungsional dasar di zona kortikal yang terdiri dari area primer, sekunder
dan tersier. Konsep rehabilitasi dikaitkan dengan restorasi dari fungsi spesifik dan bertujuan
memperbaiki gangguan berbahasa agar menjadi produktif dapat memperbaiki kualitas hidup
(Goldstein 1987). Memang ada periode pemulihan spontan (Geschwind 1974) dari
pengamatan ada proses pemulihan yang lama. Prinsip terapi adalah mengembangkan
program stimulasi, materi dan jadwal terapi terstruktur. Pendidikan dan konseling dengan
keluarga juga sangat penting.
Beberapa terapi pendekatan spesifik tersedia untuk pasien dengan afasia dan telah
terbukti efektif. Studi metaanalisis menunjukkan bahwa hasil terapi untuk afasia telah
menunjukkan bahwa terapi wicara-bahasa untuk afasia memiliki dampak positif yang
signifikan pada pemulihan dalam fase akut dan fase kronis, dan durasi terapi wicara-bahasa
merupakan faktor penting untuk memberikan pemulihan yang efektif dan bertahan lama.
Terapi afasia intensif (rata-rata 98 jam) tampaknya menjadi persyaratan untuk hasil yang
positif, dan durasi terapi yang lebih singkat (rata-rata 44 jam atau kurang) ternyata kurang
efektif.
Sesudah terjadi afasia, ahli logopedi harus secepatnya menciptakan kontak dengan
pasien. Biasanya hal ini dilakukan pada tahap awal di rumah sakit, seringkali di tempat tidur
pasien. Sesudah memperkenalkan diri dan mengajukan beberapa pertanyaan, mungkin sudah
dapat diperoleh kesan tentang gangguannya. Sejak awal terutama harus dijaga agar jangan
sampai pasien menjadi putus asa karena merasa tidak dipahami lingkungannya.
Sesudah pemeriksaan, diharapkan kita sudah memiliki data tentang gangguannya dan
kemungkinan-kemungkinan yang ada pada pasien untuk berkomunikasi. Dari sejak awal,
lingkungan perlu diberi kesadaran bahwa sebenarnya bukan bahasa yang menjadi sasaran,
melainkan komunikasi dan bahwa komunikasi adalah sesuatu yang harus dilakukan dengan
orang lain sehingga komunikasi itu merupakan tanggung jawab kedua belah pihak
Beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk membantu pasien memahami dan
memberitahukan sesuatu:
Bicara dengan tenang dan jelas serta menggunakan kalimat yang singkat. Tekankan
kata-kata yang penting dalam kalimat. Selalu gunakan kalimat dengan satu pesan dan
tunggu reaksi pasien untuk melihat bagaimana reaksi pasien untuk melihat apakah ia
memahaminya. Kalau perlu ulangi lagi.
Bicaralah dengan pasien tentang hal-hal sekelilingnya yang menarik perhatiannya.
Sediakan buku catatan dan pena untuk menuliskan kata-kata pokok suatu cerita
Jika pasien sulit memahami, jelaskanlah dengan gerak-isyarat atau gambar
Kalau pasien sulit menjawab, ajukan pertanyaan yang jawabannya: ya atau tidak.
Tunjukkan bahwa proses komunikasi dengan jalan apapun telah berjalan baik. Hal itu
akan mendorong pasien untuk mencobanya lagi pada kesempatan lain.
Faktor-faktor lain yang dapat memengaruhi yang harus diperhatikan:
Pasien jangan terlalu letih.
Coba bercakap-cakap dalam lingkungan yang tenang agar perhatian tidak teralihkan.
Jangan membicarakan pasien atau penyakitnya di depan pasien itu sendiri.
Ciptakan suasana kebersamaan yang tidak harus melalui percakapan, komunikasi
dapat dilakukan dengan kegiatan seperti nonton TV bersama, bermain catur, kartu dll.
Cobalah membuat pasien tertawa dan ciptakan suasana santai untuk komunikasi.
Libatkan lingkungan sebanyak mungkin ke dalam proses penanganan seperti
keluarga, perawat dan orang lain di sekitarnya.
Terapi Wicara
Ada dua tahapan pemulihan bahasa:
(1) penyembuhan awal yang spontan yang dimulai dalam beberapa hari dari onset dan berakhir
sekitar 1 bulan (mungkin lebih) setelah onset.
(2) pemulihan jangka panjang, yang berlangsung berbulan-bulan atau bahkan tahunan.
Idealnya, terapi intensif afasia harus dimulai dan dipertahankan secepat-cepatnya saat pasien
dinyatakan stabil secara medis dan neurologis (meskipun dengan penundaan sampai 6 bulan post
onset, terapi masih menunjukkan manfaat). Terapi wicara harus ditujukan kepada pasien dan
keluarga pasien atau pihak lain yang terkait. Terapi biasa diberikan 3-5 kali perminggu untuk 2-3
bulan, selama itu pasien direevaluasi pada bulan pertama dan setelah bulan kedua atau ketiga.
Saat kemajuan terapi mencapai hasil yang tinggi, maka pemberian terapi secara bertahap
dihentikan (penghentian mendadak akan membahayakan secara psikologis) dengan mengurangi
terapi 1-2 kali perminggu, kemudian tiap 1 sampai 2 bulan dengan reevaluasi pada bulan keenam
dan kesepuluh.
Terapi wicara (individu atau grup) untuk afasia pada umumnya dilaporkan bermanfaat dan
tidak merugikan pada pasien dengan etiologi nonprogresif (stroke dan tumor otak yang sudah
operasi). Studi terbaru perbaikan afasia berat terjadi dalam 2 tahun pertama post onset dengan
catatan terdapat perbaikan signifikan dalam fungsi komunikasi sampai 18 bulan, dengan
perbaikan terbanyak terjadi pada 6 bulan pertama.
Adanya bermacam-macam tipe dari afasia mungkin memerlukan pendekatan terapi serta
cara komunikasi yang berbeda:
1) Afasia Global: lebih ditekankan pada peningkatan kemampuan anggota keluarga untuk
komunikasi dengan penderita dari pada peningkatan kemampuan bahasa dari penderita.
Tehnik yang digunakan:
־ Menggunakan suara dan ekspresi wajah.
־ Menunjuk benda-benda tertentu di lingkungannya untuk memberi masukan visual
־ Menggunakan gerak-isyarat yang sederhana untuk suatu ide (misalnya: menganggukkan
kepala untuk “ya”, menggelengkan kepala untuk “tidak”).
־ Tata bahasa yang sederhana, bicara pelan-pelan, jangan mengubah topik terlalu cepat.
2) Afasia Broca: penanganan ditekankan kepada pengembangan kemampuan mengeluarkan
suara (“sesukanya”) sebagai alat untuk mengekspresikan maksudnya (dapat dengan bantuan
gambar-gambar, foto-foto maupun cermin).
3) Afasia Wernicke:
־ Pada permulaan ditekankan kepada peningkatan komprehensi pendengaran dan umpan
baliknya.
־ Mengembangkan kesadaran bahwa ada gangguan komunikasi.
־ Memperbaiki kualitas keluaran ucapan.
4) Afasia Konduksi: ciri utamanya repetisi kata-kata yang berat gangguannya. Penanganannya
dengan tehnik mengurangi kecepatan bicara, memperpanjang durasi fonem, belajar
mengawali bicara dengan mudah. Pasien dengan afasia konduksi sadar akan kekeliruannya
dan berusaha membetulkannya.
5) Afasia Anomik: penanganannya ditekankan pada membangun kembali asosiasi di antara
kata-kata dengan cara :
־ Mengindividualkan kata-kata yang menjadi target.
־ Latihan memvisualkan kata-kata target.
־ Melatih memikirkan ciri-ciri fisik dari kata-kata target.
־ Melatih mencari sinonim kata dan definisi kata-kata target.
Ada bermacam-macam metode terapi wicara pada pasien afasia, antara lain:
1. Tehnik Stimulasi (Schuell, 1964)
Pada tehnik ini tidak dibeda-bedakan sindrom-sindrom afasia, pendekatan dilakukan dengan
pemberian stimulasi berupa auditori, bahasa tertulis maupun gambar-gambar. Dalam
memancing respon dapat lebih dari satu modalitas, misalnya dengan meminta pasien
menyebutkan nama gambar, menyuruh mengulangi kata tersebut, menuliskan kata tersebut
serta mengucapkannya kembali.
Prognosis
Prognosis pemulihan bahasa bervariasi sesuai dengan penyebab afasia dan tipe defisit
gangguan berbahasanya. Afasia karena penyebab vaskuler paling banyak yang membaik
terutama dalam waktu 3 – 6 bulan pertama meskipun derajat penyembuhan akan berlanjut
selama 5 tahun atau lebih. Afasia global memiliki prognosis paling buruk untuk perbaikan
ketrampilan bahasa yang bermanfaat; afasia Broca dan afasia Wernicke memiliki keseluruhan
prognosis untuk penyembuhan dengan ukuran yang bervariasi dari satu pasien ke pasien lain;
afasia anomik, afasia konduksi, dan afasia transkortikal memiliki prognosis yang relatif baik,
dengan beberapa penderita sembuh sempurna. Penelitian pencitraan neurologik menyediakan
informasi prognostik yang bermanfaat. Lesi2 yang secara langsung mencakup daerah temporal
superoposterior pada hemisfer kiri menyarankan bahwa akan terjadi penyembuhan yang terbatas
pada pengertian auditorik, dan lesi2 yang besar mengenai daerah rolandik berhubungan dengan
pemulihan yang buruk dari kelancaran berbicara. Pada banyak kasus, penderita dengan defisit
linguistik yang lebih luas biasanya berkembang ke dalam tahap afasia anomik residual. Penderita
afasia yang lebih muda cenderung untuk mengalami perbaikan ketrampilan bahasa yang lebih
baik daripada penderita yang lebih tua, dan penderita yang kidal memiliki prognosis yang lebih
baik daripada penderita yang kinan. Secara umum pengertian bahasa membaik lebih daripada
kelancaran berbicara yang ekspresif.
Penutup
Komunikasi dalam kehidupan manusia merupakan hal yang sangat penting. Secara fungsi
maupun lokasi anatomi “wicara-bahasa” adalah berbeda. Bahasa merupakan alat komunikasi
utama manusia dan dasar dari kemampuan kognitif (kemampuan berpikir). Afasia merupakan
gangguan komunikasi (berbahasa) karena kerusakan otak yang mengatur fungsi bahasa,
umumnya di hemisfer serebri kiri (dominan). Kebanyakan terjadi akibat kelainan yang berkaitan
dengan stroke, cedera kepala, tumor serebri atau penyakit degeneratif.
Beberapa pendekatan penanganan afasia, menunjukkan hasil yang signifikan pada pemulihan
fase akut dan kronis, lamanya penanganan juga penting untuk memberikan pemulihan yang
efektif dan bertahan lama. Terapi afasia intensif (rata-rata 98 jam) tampaknya menjadi
persyaratan untuk hasil yang positif, dan durasi terapi yang lebih singkat (rata-rata 44 jam atau
kurang) ternyata kurang efektif.
Sesudah terjadi afasia, ahli logopedi harus secepatnya menciptakan kontak dengan pasien.
Biasanya hal ini dilakukan pada tahap awal di rumah sakit, seringkali di tempat tidur pasien.
Sesudah memperkenalkan diri dan mengajukan beberapa pertanyaan, mungkin sudah dapat
diperoleh kesan tentang gangguannya. Sejak awal terutama harus dijaga agar jangan sampai
pasien menjadi putus asa karena merasa tidak dipahami lingkungannya.
Sesudah pemeriksaan, diharapkan kita sudah memiliki data tentang gangguannya dan
kemungkinan-kemungkinan yang ada pada pasien untuk berkomunikasi. Dari sejak awal,
lingkungan perlu diberi kesadaran bahwa sebenarnya bukan bahasa yang menjadi sasaran,
melainkan komunikasi dan bahwa komunikasi adalah sesuatu yang harus dilakukan dengan
orang lain sehingga komunikasi itu merupakan tanggung jawab kedua belah pihak
Beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk membantu pasien memahami dan
memberitahukan sesuatu:
DAFTAR PUSTAKA
Batson DW, Avent J. 2011. Adult Neurogenic Communication Disorders. In: Braddom RL. Physical
Medicine and Rehabilitation. 4th ed. Philadelphia: Saunders. p. 54-57
Dharmaperwira PR. 1996. TADIR Tes Afasia Untuk Diagnosis Informasi Rehabilitasi. Jakarta: Balai
Penerbit FK UI.
Dharmaperwira PR, Maas W. 2002. Afasia Deskripsi Pemeriksaan Penanganan. Edisi Kedua. Jakarta:
Balai Penerbit FK UI.
Gupta A, Singhal G. 2011. Understanding Aphasia in a simplified Manner, Journal Indian Academy of
Clinical Medicine.
Guyton AC, Hall JE. Textbook of Medical Physiology. 11th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2006.
Kusumoputro S. 1992. Gangguan Berbahasa Hemisfer Kiri. Dalam : Kusumoputro S, editor. Afasia :
Gangguan Berbahasa Edisi 1. Jakarta : Balai Penerbit FK UI.
Pearl L.P, Emsellem A. Helene. 2014. The Central Nervous System : Brain and Cord. Dalam: Neurologic
a primer on localization. p 3-27.
Pedersen PM, Vinter K, Olsen TS. 2004. Aphasia after stroke: type, severity and prognostic. The
Copenhagen Aphasia Study. Cerebrovasc Dis. 17(1):36-43
Prawiroharjo P, Tiksnadi A, Lastri DN. 2014. Afasia. Buku ajar Neurologi : Buku 1. Departemen
Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Bab 11: 181-194
Rohkamm R. 2004. Middle Cerebral Artery, Language dalam M.D. Color Atlas of Neurology. 12: 124-
127.
Sherwood L. Human Physiology From Cells to Systems. 7th ed. Belmont (USA): Brooks/Cole, Cengage
Learning; 2010.
Solomon B, Brewer C, Brodsky MB, Palmer JB, Ryder J. 2010. Speech, Language, Swallowing, and
Auditory Rehabilitation. In: Frontera WR, DeLisa JA, editors. DeLisa’s Physical Medicine &
Rehabilitation Principles and Practice. 5th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, a
Wolters Kluwer Business. p. 420-422
Tan JC. 1998. Practical Manual of Physical Medicine and Rehabilitation. St. Louis (Missouri): Mosby.
Tubbs RS, Hankinson TC, Wyler AR. 2013. Middle Cerebral Artery. Dikutip dari
http://emedicine.medscape.com/article/1877617overview#aw2aab6b3
Zhang J, Wei R, Chen Z, Luo B. 2016. Piracetam for aphasia in post stroke patient: A systematic review
and meta-analysis of randomized controlled trials. CNS drugs. 30 (7): 575-87