Anda di halaman 1dari 149

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

AKTIVITAS ANTIBAKTERI SABUN TANAH


BENTONIT DAN KAOLIN TERHADAP BAKTERI
AIR LIUR ANJING

SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi

AULIA WARDAHANI ERIATNA


NIM: 1113102000054

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
SEPTEMBER 2017
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

AKTIVITAS ANTIBAKTERI SABUN TANAH


BENTONIT DAN KAOLIN TERHADAP BAKTERI
AIR LIUR ANJING

SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi

AULIA WARDAHANI ERIATNA


NIM: 1113102000054

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
SEPTEMBER 2017

ii
iii
iv
v
ABSTRAK

Nama : Aulia Wardahani Eriatna


Program Studi : Farmasi
Judul Skripsi : Aktivitas Antibakteri Sabun Tanah Bentonit dan Kaolin
terhadap Bakteri Air Liur Anjing

Clay (tanah) yang berasal dari alam memiliki kemampuan adsorpsi dan absorpsi
yang dapat dimanfaatkan dalam berbagai kosmetik dan formulasi farmasetik.
Bentonit dan kaolin dapat menghilangkan bakteri dengan cara adsorpsi. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui aktivitas antibakteri sabun clay padat
bentonit dan kaolin terhadap bakteri air liur anjing. Penelitian ini menggunakan
air liur tiga jenis anjing yaitu Pitbull, Herder dan Beagle yang diidentifikasi dan
dihitung jumlah bakteri dan dilanjutkan dengan uji aktivitas antibakteri dari
sabun padat tanah pada konsentrasi tanah 5%, 10%, 15% dan 20% menggunakan
metode uji dilusi padat dan swab. Hasil uji dilusi padat menunjukkan bahwa
penambahan tanah dalam sabun dapat meningkatkan kemampuan sabun
menghambat pertumbuhan bakteri. Semakin tinggi konsentrasi tanah maka
semakin rendah pertumbuhan bakteri. Hasil uji swab menunjukkan bahwa pada
penyucian ketujuh, sabun yang mengandung tanah dapat menghilangkan seluruh
bakteri air liur anjing. Semakin tinggi konsentrasi tanah maka semakin cepat
proses penghilangan bakteri dari tangan.

Kata kunci: Antibakteri, bentonit, kaolin, dan air liur anjing.

vi
ABSTRACT

Nama : Aulia Wardahani Eriatna


Program Studi : Pharmacy
Judul Skripsi : Antibacterial Activity of Clay Bentonite and Kaolin
Soaps to Bacterial of Dog Saliva

Nature clay has an absorption and adsorption ability, that can be used in various
cosmetics and pharmaceutical formulations. That adsorption ability of bentonit
and kaolin can remove bacteria. Therefore, this study conducted to determine an
antibacterial activity of solid bentonit and kaolin clay soap against bacteria of dog
saliva. Pitbull, Herder and Beagle dog saliva was used to identify and calculate
bacteria. Antibacterial activity test was done by swab and solid dilution method,
using solid clay soap with 5%, 10%, 15% and 20% concentrations. Solid dilution
test showed that ability of soap to inhibit bacterial growth increase with addition
of clay. The higher clay concentration, the lower bacterial growth. Swab test
showed that on seven times sanctification, clay soap can removed all bacteria of
dog saliva. The higher clay concentration, the faster removal bacteria process
from the hands.

Keywords: Antibacterial, bentonite, kaolin, and dog saliva.

vii
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah


SWT yang telah melimpahkan berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat
menyusun skripsi ini hingga selesai. Penulisan skripsi yang berjudul “Aktivitas
Antibakteri Sabun Tanah Bentonit dan Kaolin terhadap Air Liur Anjing”
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi di Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.

Skripsi ini tidak mungkin terwujud tanpa adanya dorongan, bimbingan,


semangat, motivasi, bantuan baik moral maupun material serta doa dari berbagai
pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima
kasih kepada:

1. Yuni Anggraeni, M.Farm., Apt. dan Ofa Suzanti Betha, M.Si., Apt sebagai
dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, dukungan, dan saran
dalam penelitian hingga menyusun skripsi.
2. Prof. Dr. H. Arif Sumantri, S.KM., M.Kes., sebagai Dekan Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Dr. Nurmeilis, M.Si., Apt. sebagai Ketua Program Studi Farmasi Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Nelly Suryani, Ph.D., Apt. sebagai pembimbing akademik yang telah
membimbing dan memberikan dukungan dalam menghadapi permasalahan
akademik.
5. Bapak dan Ibu staf pengajar, serta karyawan yang telah memberikan
bimbingan dan bantuan selama menempuh pendidikan di Program Studi
Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
6. Kedua orang tua, papa tercinta Bapak Yayat Suyatna dan mama tersayang Ibu
Suherni yang selalu memberikan kasih sayang, dukungan secara moril dan
materi, dan doa yang tiada terhenti senantiasa mengiringi perjalanan hidup
penulis. Adik-adik tersayang Azizia Amalia dan Sulthan Maulana yang telah
memberikan doa, dukungan dan semangat dalam menyelesaikan penulisan
skripsi ini berjalan dengan lancar.
7. Bapak Agus Sumantri dan Bapak Nur yang telah memberikan dukungan,

viii
bantuan, dan kejasamanya selama penelitian di Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor.
8. Seluruh kakak-kakak laboran Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Kak Eris, Kak
Rahmadi, Kak Yaenap, Kak Rani, Kak Tiwi, dan Kak Walid yang telah
memberikan dukungan dan kerjasamanya dalam penelitian ini.
9. Sahabat-sahabat Fairytale tercinta, Upi, Aisyah, Marrisa, Lisa, dan Gita yang
telah menjadi keluarga kedua, menghabiskan waktu susah senang bersama
dan mendengarkan segala keluh kesah penulis.
10. Ramaza, Berliana, Asyraq, Tewe, Amel, Auliyani, Yaya, Nuril, Puspa, serta
teman-teman laboratorium yang telah banyak memberikan semangat dan
kebesamaannya dalam penelitian ini.
11. Teman sekosan Ervina dan Ria yang selalu memberikan dukungan dan
semangat dalam menyelesaikan penelitian ini.
12. Teman-teman seperjuangan Farmasi 2013 yang selalu memberikan semangat
dan doa selama ini
13. Semua pihak yang telah membantu penulis selama melakukan penelitian dan
penulisan yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih banyak


kekurangan dan jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik
dan saran yang bersifat membangun demi perbaikan skripsi ini. Penulis berdoa
semoga amal baik dari semua pihak yang telah membantu penulis mendapat
balasan dari Allah SWT. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat
bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

Ciputat, 5 September 2017

Penulis

ix
DAFTAR ISI

JUDUL...................................................................................................................... ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS .................................................. iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING....... Error! Bookmark not defined.
HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI ................................................................ v
ABSTRAK............................................................................................................... vi
ABSTRACT ........................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... viii
DAFTAR ISI ............................................................................................................ x
DAFTAR TABEL.................................................................................................. xii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xiii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xiv

BAB 1 PENDAHULUAN........................................................................................ 1
1.1. Latar Belakang ....................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah.................................................................................. 3
1.3. Tujuan penelitian ................................................................................... 3
1.4. Manfaat Penelitian ................................................................................. 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 4


2.1. Anjing .................................................................................................... 4
2.1.1. Sejarah Anjing........................................................................... 4
2.1.2. Klasifikasi Anjing ..................................................................... 4
2.1.3. Air Liur Anjing ......................................................................... 6
2.2. Najis dan Cara Bersuci (Thaharah)........................................................ 8
2.2.1. Pengertian Thaharah ................................................................. 8
2.2.2. Klasifikasi Najis ........................................................................ 8
2.2.3. Cara Menghilangkan dan Membersihkan Najis........................ 9
2.3. Sabun ................................................................................................... 10
2.3.1. Pengertian Sabun..................................................................... 10
2.3.2. Klasifikasi Sabun .................................................................... 11
2.3.3. Prinsip Kerja Sabun ................................................................ 12
2.3.4. Reaksi Penyabunan ................................................................. 13
2.3.5. Formula Sabun ........................................................................ 14
2.4. Clay ...................................................................................................... 17
2.4.1. Bentonit ................................................................................... 20
2.4.2. Kaolin...................................................................................... 20
2.5. Mikroorganisme................................................................................... 21
2.6. Bakteri.................................................................................................. 29
2.7. Antibakteri ........................................................................................... 30

x
2.7. Metode Pengujian Antibakteri ............................................................. 32
2.7.1. Metode Difusi ......................................................................... 32
2.7.2. Metode Dilusi.......................................................................... 34

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN .............................................................. 36


3.1. Tempat dan Waktu Penelitian.............................................................. 36
3.2. Alat dan Bahan Penelitian ................................................................... 36
3.2.1. Alat Penelitian ......................................................................... 36
3.2.2. Bahan Penelitian ...................................................................... 36
3.3. Metode Penelitian ................................................................................ 37
3.3.1. Preparasi Sampel Uji............................................................... 37
3.3.1.1. Formulasi Sabun Tanah Padat ................................... 37
3.3.1.2. Pembuatan Sabun Tanah Padat.................................. 37
3.3.2. Preparasi dan Identifikasi Bakteri Air Liur Anjing................. 38
3.3.2.1. Preparasi Air Liur Anjing .......................................... 38
3.3.2.2. Identifikasi Air Liur Anjing ....................................... 38
3.3.3. Preparasi Suspensi Bakteri Air Liur Anjing ........................... 41
3.3.4. Perhitungan Jumlah Total Bakteri Air Liur Anjing ................ 42
3.3.5. Preparasi Uji Aktivitas Antibakteri Sabun Tanah Padat
Bentonit dan Kaolin terhadap Bakteri Air Liur Anjing
Menggunakan Uji Dilusi Padat................................................ 42
3.3.6. Preparasi Uji Swab Sabun Tanah Padat Bentonit dan Kaolin
terhadap Bakteri Air Liur Anjing ............................................ 43

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. 44


4.1. Pembuatan Sabun Tanah Padat............................................................ 44
4.2. Identifikasi Bakteri Air Liur Anjing .................................................... 45
4.3. Perhitungan Jumlah Total Bakteri Air Liur Anjing ............................. 50
4.4. Uji Aktivitas Antibakteri Sabun Tanah Padat Bentonit dan Kaolin
terhadap Bakteri Air Liur Anjing ........................................................ 51
4.5. Uji Swab Sabun Tanah Padat Bentonit dan Kaolin terhadap Bakteri Air
Liur Anjing .......................................................................................... 53

BAB 5 PENUTUP.................................................................................................. 58
5.1. Kesimpulan .......................................................................................... 58
5.2. Saran .................................................................................................... 58

DAFTAR PUSTAKA ................................................. Error! Bookmark not defined.


LAMPIRAN ........................................................................................................... 59

xi
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Komponen Bakteri Air Liur Anjing ..................................................... ....7


Tabel 2.2 Fisikokimia Minyak Kelapa ................................................................ ..14
Tabel 3.1 Formulasi Sabun Tanah ....................................................................... ..37
Tabel 4.1 Isolasi Bakteri Air Liur Anjing pada Media MCA dan Agar Darah ... ..46
Tabel 4.2 Pewarnaan Gram dan Uji Biokimia Bakteri Air Liur Anjing Pitbull... ..46
Tabel 4.3 Pewarnaan Gram dan Uji Biokimia Bakteri Air Liur Anjing Herder…47
Tabel 4.4 Pewarnaan Gram dan Uji Biokimia Bakteri Air Liur Anjing Beagle .. ..47
Tabel 4.5 Hasil Identifikasi Bakteri Air Liur Anjing ........................................... ..50
Tabel 4.6 Total Bakteri pada Air Liur Anjing...................................................... ..50
Tabel 4.7 Hasil Uji Dilusi Padat Sabun Tanah Bentonit dan Kaolin................... ..52
Tabel 4.8 Hasil Uji Dilusi Padat Tanah Bentonit dan Kaolin .............................. ..52
Tabel 4.9 Hasil Uji Swab Sabun Tanah Bentonit dan Kaolin.............................. ..54
Tabel 4.10 Hasil Uji Swab Tanah Bentonit dan Kaolin....................................... ..56
Tabel 4.11 Hasil Uji Swab dengan Akuades Steril .............................................. ..57

xii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Monomer Sufaktan yang Membentuk Misel.................................... ..13


Gambar 2.2 Proses Netralasi pada Sabun ............................................................ ..13
Gambar 2.3 Proses Saponifikasi pada Sabun ...................................................... ..13
Gambar 2.4 Struktur Kimia Natrium Lauril Sulfat .............................................. ..15
Gambar 2.5 Struktur Kimia Gliserin .................................................................... ..16
Gambar 2.6 Struktur Kimia Butylated Hidroxy Toluene..................................... ..17
Gambar 2.7 Struktur Kimia Kokoamidopropil Betain......................................... ..17
Gambar 4.1 Sabun Tanah Padat Kaolin ............................................................... ..44
Gambar 4.2 Sabun Tanah Padat Bentonit............................................................. ..45

xiii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Skema Prosedur Penelitian ............................................................ ..68


Lampiran 2. Sertifikat Bahan Minyak Kelapa................................................... ..69
Lampiran 3. Sertifikat Bahan Natrium Hidoksida ............................................. ..70
Lampiran 4. Sertifikat Bahan Asam Stearat Lampiran ...................................... ..71
Lampiran 5. Sertifikat Bahan Kokoamidopropil Betain .................................... ..72
Lampiran 6. Sertifikat Bahan Kaolin ................................................................. ..73
Lampiran 7. Data Jumlah Total Bakteri Air Liur Anjing ................................... ..74
Lampiran 8. Data Uji Dilusi Padat Sabun Tanah Bentonit dan Kaolin ............. ..75
Lampiran 9. Data Uji Dilusi Padat Tanah Bentonit dan Kaolin ........................ ..75
Lampiran 10. Data Uji Swab Sabun Tanah Bentonit dan Kaolin ........................ ..76
Lampiran 11. Data Uji Swab Tanah Bentonit dan Kaolin ................................... ..77
Lampiran 12. Data Uji Swab dengan Akuades Steril........................................... ..78
Lampiran 13. Anjing yang Digunakan untuk Penelitian ...................................... ..79
Lampiran 14. Isolasi Bakteri Air Liur Anjing yang Ditumbuhkan di Blood
Agar .............................................................................................. ..79
Lampiran 15. Isolasi Bakteri Air Liur Anjing yang Ditumbuhkan di Mac Conkey
Agar .............................................................................................. ..79
Lampiran 16. Identifikasi Bakteri Air Liur Anjing dengan Uji Biokimia............ ..80
Lampiran 17. Identifikasi Bakteri Air Liur Anjing dengan Pewarnaan Gram .... ..81
Lampiran 18. Hasil Uji Dilusi Padat Kontrol Bakteri.......................................... ..82
Lampiran 19. Hasil Uji Dilusi Padat Tanah Bentonit Konsentrasi 2,5% ............ ..82
Lampiran 20. Hasil Uji Dilusi Padat Tanah Kaolin Konsentrasi 2,5% ............... ..82
Lampiran 21. Hasil Uji Dilusi Padat Tanah Bentonit Konsentrasi 5% ............... ..83
Lampiran 22. Hasil Uji Dilusi Padat Tanah Kaolin Konsentrasi 5% .................. ..83
Lampiran 23. Hasil Uji Dilusi Padat Tanah Bentonit Konsentrasi 7,5% ............ ..83
Lampiran 24. Hasil Uji Dilusi Padat Tanah Kaolin Konsentrasi 7,5% ............... ..84
Lampiran 25. Hasil Uji Dilusi Padat Tanah Bentonit Konsentrasi 10% ............. ..84
Lampiran 26. Hasil Uji Dilusi Padat Tanah Kaolin Konsentrasi 10% ................ ..84
Lampiran 27. Hasil Uji Dilusi Padat Sabun tanpa Penambahan Tanah............... ..85
Lampiran 28. Hasil Uji Dilusi Padat Sabun Tanah Bentonit 5% ........................ ..85
Lampiran 29. Hasil Uji Dilusi Padat Sabun Tanah Kaolin 5% ........................... ..85
Lampiran 30. Hasil Uji Dilusi Padat Sabun Tanah Bentonit 10% ...................... ..86
Lampiran 31. Hasil Uji Dilusi Padat Sabun Tanah Kaolin 10% ......................... ..86
Lampiran 32. Hasil Uji Dilusi Padat Sabun Tanah Bentonit 15% ...................... ..86
Lampiran 33. Hasil Uji Dilusi Padat Sabun Tanah Kaolin 15% ......................... ..87
Lampiran 34. Hasil Uji Dilusi Padat Sabun Tanah Bentonit 20% ...................... ..87
Lampiran 35. Hasil Uji Dilusi Padat Sabun Tanah Kaolin 20% ......................... ..87
Lampiran 36. Hasil Uji Swab Sebelum Penyucian............................................... ..88

xiv
Lampiran 37. Hasil Uji Swab Tanah Bentonit 5% terhadap Bakteri Air Liur
Anjing Pitbull................................................................................. ..88
Lampiran 38. Hasil Uji Swab Tanah Bentonit 5% terhadap Bakteri Air Liur
Anjing Herder................................................................................ ..89
Lampiran 39. Hasil Uji Swab Tanah Bentonit 5% terhadap Bakteri Air Liur
Anjing Beagle ................................................................................ ..90
Lampiran 40. Hasil Uji Swab Tanah Kaolin 5% terhadap Bakteri Air Liur
Anjing Pitbull................................................................................. ..91
Lampiran 41. Hasil Uji Swab Tanah Kaolin 5% terhadap Bakteri Air Liur
Anjing Herder................................................................................ ..92
Lampiran 42. Hasil Uji Swab Tanah Kaolin 5% terhadap Bakteri Air Liur
Anjing Beagle ................................................................................ ..93
Lampiran 43. Hasil Uji Swab Tanah Bentonit 10% terhadap Bakteri Air Liur
Anjing Pitbull................................................................................. ..94
Lampiran 44. Hasil Uji Swab Tanah Bentonit 10% terhadap Bakteri Air Liur
Anjing Herder................................................................................ ..95
Lampiran 45. Hasil Uji Swab Tanah Bentonit 10% terhadap Bakteri Air Liur
Anjing Beagle ................................................................................ ..96
Lampiran 46. Hasil Uji Swab Tanah Kaolin 10% terhadap Bakteri Air Liur
Anjing Pitbull................................................................................. ..97
Lampiran 47. Hasil Uji Swab Tanah Kaolin 10% terhadap Bakteri Air Liur
Anjing Herder................................................................................ ..98
Lampiran 48. Hasil Uji Swab Tanah Kaolin 10% terhadap Bakteri Air Liur
Anjing Beagle ................................................................................ ..99
Lampiran 49. Hasil Uji Swab Tanah Bentonit 15% terhadap Bakteri Air Liur
Anjing Pitbull................................................................................. 100
Lampiran 50. Hasil Uji Swab Tanah Bentonit 15% terhadap Bakteri Air Liur
Anjing Herder................................................................................ 101
Lampiran 51. Hasil Uji Swab Tanah Bentonit 15% terhadap Bakteri Air Liur
Anjing Beagle ................................................................................ 102
Lampiran 52. Hasil Uji Swab Tanah Kaolin 15% terhadap Bakteri Air Liur
Anjing Pitbull................................................................................. 103
Lampiran 53. Hasil Uji Swab Tanah Kaolin 15% terhadap Bakteri Air Liur
Anjing Herder................................................................................ 104
Lampiran 54. Hasil Uji Swab Tanah Kaolin 15% terhadap Bakteri Air Liur
Anjing Beagle ................................................................................ 105
Lampiran 55. Hasil Uji Swab Tanah Bentonit 20% terhadap Bakteri Air Liur
Anjing Pitbull................................................................................. 106
Lampiran 56. Hasil Uji Swab Tanah Bentonit 20% terhadap Bakteri Air Liur
Anjing Herder................................................................................ 107
Lampiran 57. Hasil Uji Swab Tanah Bentonit 20% terhadap Bakteri Air Liur
Anjing Beagle ................................................................................ 108

xv
Lampiran 58. Hasil Uji Swab Tanah Kaolin 20% terhadap Bakteri Air Liur
Anjing Pitbull................................................................................. 109
Lampiran 59. Hasil Uji Swab Tanah Kaolin 20% terhadap Bakteri Air Liur
Anjing Herder................................................................................ 110
Lampiran 60. Hasil Uji Swab Tanah Kaolin 20% terhadap Bakteri Air Liur
Anjing Beagle ................................................................................ 111
Lampiran 61. Hasil Uji Swab Sabun Tanah Bentonit 5% terhadap Bakteri Air
Liur Anjing Pitbull......................................................................... 112
Lampiran 62. Hasil Uji Swab Sabun Tanah Bentonit 5% terhadap Bakteri Air
Liur Anjing Herder........................................................................ 113
Lampiran 63. Hasil Uji Swab Sabun Tanah Bentonit 5% terhadap Bakteri Air
Liur Anjing Beagle ........................................................................ 114
Lampiran 64. Hasil Uji Swab Sabun Tanah Kaolin 5% terhadap Bakteri Air
Liur Anjing Pitbull......................................................................... 115
Lampiran 65. Hasil Uji Swab Sabun Tanah Kaolin 5% terhadap Bakteri Air
Liur Anjing Herder........................................................................ 116
Lampiran 66. Hasil Uji Swab Sabun Tanah Kaolin 5% terhadap Bakteri Air
Liur Anjing Beagle ........................................................................ 117
Lampiran 67. Hasil Uji Swab Sabun Tanah Bentonit 10% terhadap Bakteri
Air Liur Anjing Pitbull................................................................... 118
Lampiran 68. Hasil Uji Swab Sabun Tanah Bentonit 10% terhadap Bakteri
Air Liur Anjing Herder ................................................................. 119
Lampiran 69. Hasil Uji Swab Sabun Tanah Bentonit 10% terhadap Bakteri
Air Liur Anjing Beagle .................................................................. 120
Lampiran 70. Hasil Uji Swab Sabun Tanah Kaolin 10% terhadap Bakteri Air
Liur Anjing Pitbull......................................................................... 121
Lampiran 71. Hasil Uji Swab Sabun Tanah Kaolin 10% terhadap Bakteri Air
Liur Anjing Herder........................................................................ 122
Lampiran 72. Hasil Uji Swab Sabun Tanah Kaolin 10% terhadap Bakteri Air
Liur Anjing Beagle ........................................................................ 123
Lampiran 73. Hasil Uji Swab Sabun Tanah Bentonit 15% terhadap Bakteri Air
Liur Anjing Pitbull......................................................................... 124
Lampiran 74. Hasil Uji Swab Sabun Tanah Bentonit 15% terhadap Bakteri Air
Liur Anjing Herder........................................................................ 125
Lampiran 75. Hasil Uji Swab Sabun Tanah Bentonit 15% terhadap Bakteri Air
Liur Anjing Beagle ........................................................................ 126
Lampiran 76. Hasil Uji Swab Sabun Tanah Kaolin 15% terhadap Bakteri Air
Liur Anjing Pitbull......................................................................... 127
Lampiran 77. Hasil Uji Swab Sabun Tanah Kaolin 15% terhadap Bakteri Air
Liur Anjing Herder........................................................................ 128
Lampiran 78. Hasil Uji Swab Sabun Tanah Kaolin 15% terhadap Bakteri Air
Liur Anjing Beagle ........................................................................ 129

xvi
Lampiran 79. Hasil Uji Swab Sabun Tanah Bentonit 20% terhadap Bakteri Air
Liur Anjing Pitbull......................................................................... 130
Lampiran 80. Hasil Uji Swab Sabun Tanah Bentonit 20% terhadap Bakteri Air
Liur Anjing Herder........................................................................ 131
Lampiran 81. Hasil Uji Swab Sabun Tanah Bentonit 20% terhadap Bakteri Air
Liur Anjing Beagle ........................................................................ 132
Lampiran 82. Hasil Uji Swab Sabun Tanah Kaolin 20% terhadap Bakteri Air
Liur Anjing Pitbull......................................................................... 133
Lampiran 83. Hasil Uji Swab Sabun Tanah Kaolin 20% terhadap Bakteri Air
Liur Anjing Herder........................................................................ 134
Lampiran 84. Hasil Uji Swab Sabun Tanah Kaolin 20% terhadap Bakteri Air
Liur Anjing Beagle ........................................................................ 135
Lampiran 85. Hasil Uji Swab Sabun tanpa Penambahan Tanah terhadap
Bakteri Air Liur Anjing Pitbull...................................................... 136
Lampiran 86. Hasil Uji Swab Sabun tanpa Penambahan Tanah terhadap
Bakteri Air Liur Anjing Herder..................................................... 137
Lampiran 87. Hasil Uji Swab Sabun tanpa Penambahan Tanah terhadap
Bakteri Air Liur Anjing Beagle ..................................................... 138
Lampiran 88. Hasil Uji Swab dengan Akuades Steril terhadap Bakteri Air Liur
Anjing Pitbull................................................................................. 139
Lampiran 89. Hasil Uji Swab dengan Akuades Steril terhadap Bakteri Air Liur
Anjing Herder................................................................................ 140
Lampiran 90. Hasil Uji Swab dengan Akuades Steril terhadap Bakteri Air Liur
Anjing Beagle ................................................................................ 141

xvii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Salah satu alat yang digunakan untuk bersuci dari najis yakni tanah.
Tanah yang digunakan dalam bersuci memiliki syarat sebagai berikut, yaitu:
tidak mengandung unsur najis, bebas dari kotoran, dan bukan tanah yang telah
digunakan untuk tayamum (Jabatan Kemajuan Islam Malaysia, 2013). Bersuci
dengan menggunakan tanah merupakan cara membersihkan dari najis
mughallazah. Najis mughallazah yakni najis berat berupa semua yang berasal
dari babi maupun anjing. Cara mensucikan najis tersebut dengan cara dicuci
menggunakan air bersih sebanyak tujuh kali dan salah satunya dicampur
dengan tanah.
Tanah diformulasikan dalam sediaan farmasi yaitu sabun untuk
memudahkan kegiatan bersuci dari najis berat. Majelis Ulama Indonesia
mengeluarkan fatwa tahun 2008 yang menyatakan bahwa debu atau tanah
yang digunakan untuk menyucikan najis mughallazah dapat diganti dengan
sabun (Zurinal, 2008). Sabun yang mengandung tanah sudah banyak
diproduksi di negara Malaysia dan Thailand. Fatwa Majlis Kebangsaan Bagi
Hal Ehwal Ugama Islam Kali Malaysia Ke-76 menyatakan bahwa sabun yang
mengandung tanah boleh digunakan untuk menyucikan najis mughallazah.
Hal ini membuktikan adanya perkembangan penggunaan sabun tanah di
Malaysia.
Di Indonesia, sudah mulai dikembangkan produk sabun yang
mengandung tanah untuk penyucian najis mughallazah. Peneliti Anggraeni
(2016) membuat formulasi sabun penyuci najis mughallazah dengan
memvariasikan jenis minyak dan tanah. Tanah yang digunakan yaitu bentonit
dan kaolin dengan konsentrasi 5%, 10%, 15%, dan 20%. Sabun yang dibuat
berbentuk padat dan berwarna coklat pada sabun bentonit sedangkan sabun
kaolin berwarna puih. Formula yang menunjukkan karakteristik yang paling
baik dari ketiga formula variasi minyak adalah formula sabun yang
menggunakan minyak kelapa food grade. Namun, karena perbedaan

1
2

karakteristiknya tidak terlalu signifikan maka dipilih yang lebih ekonomis


yaitu formula yang menggunakan minyak kelapa sawit food grade.
Penggunaan sabun tanah diharapkan mampu memiliki kemampuan dalam
menyucikan najis mughallzah. Tanah itu sendiri memiliki peranan penting lain
yaitu membersihkan unsur-unsur najis seperti mikroorganisme, yaitu bakteri,
virus, maupun jamur. Salah satu contohnya terdapat pada air liur anjing yang
membawa mikroorganisme patogen sehingga sangat merugikan manusia yang
berada di lingkungan sekitarnya. Kontak langsung dengan anjing dapat
memudahkan mikroorganisme patogen berpindah ke manusia melalui
sentuhan kulit, gigitannya, urin, maupun air liur.
Patogen yang ditularkan anjing di antaranya bakteri: Bartonella
alsatica, Brucella canis, dan Capnocytophaga canimorsus, cacing:
Cryptosporidium sp., Toxocara canis, Giardia duodenalis, serta virus rabies
(Stull dkk., 2015). Hal ini didukung hasil penelitian Sivakami, dkk. yang
mengidentifikasi air liur anjing liar dari Thiruvottiyur, Chennai, menunjukkan
bahwa air liur hewan tersebut mengandung beberapa patogen diantaranya
yang paling umum yaitu Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis,
Steptococcus sp., Esherichia coli, Corynebacterium sp. (Sivakami dkk., 2015).
Penelitian ini menggunakan air liur anjing dan hanya mengidentifikasi pada
bakteri yang terdapat di dalamnya.
Bentonit dan kaolin dapat menghilangkan bakteri dengan cara adsorpsi.
Hasil penelitian Alekseeva dkk. yang memodifikasikan matriks hidroksietil
selulosa dan bentonit, menunjukkan bahwa semakin tinggi kadar bentonit pada
matriks HOEC maka semakin besar ukuran zona lisis sehingga semakin besar
aktivitas antimikroba dan fungi (Aleseeva dkk., 2015). Penelitian tersebut
didukung oleh penelitian yang dilakukan Hassouna dkk. yang melakukan
evaluasi efikasi antimikroba dari tanah liat kaolin dan dibentuk dalam Carbon
Nanotubes (CNT) dan Silver Nanoparticles (AgNP) terhadap isolat bakteri
dari air yang berbeda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi
kadar kaolin dalam CNT dan AgNP maka semakin besar aktivitas antibakteri
(Hassouna dkk., 2016).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


3

Salah satu hal yang penting dari proses penyucian najis (samak) yaitu
hilangnya patogen di daerah yang terkena najis mughallazah. Sabun yang
mengandung tanah diharapkan memiliki kemampuan untuk membilas patogen
tersebut. Berdasarkan latar belakang tersebut, perlu dilakukan pengujian
antibakteri sabun tanah dari bentonit dan kaolin untuk melihat aktivitas
antibakteri.

1.2. Rumusan Masalah


Permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah
“Bagaimana aktivitas antibakteri sabun clay padat bentonit dan kaolin
terhadap bakteri air liur anjing dengan menggunakan uji dilusi padat dan uji
swab?”

1.3. Tujuan penelitian


Tujuan penelitian yang dilakukan adalah untuk mengetahui aktivitas
antibakteri sabun clay padat bentonit dan kaolin terhadap bakteri air liur
anjing dengan menggunakan uji dilusi padat dan uji swab.

1.4. Manfaat Penelitian


Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi mengenai
aktivitas antibakteri pada bentonit dan kaolin yang telah dirancang sebagai
sediaan sabun padat. Selain itu, diharapkan bermanfaat bagi masyarakat,
khususnya beragama Islam, dalam pensucian terhadap najis Mughallazah
sehingga lebih mudah dibawa, digunakan, dan praktis untuk menghilangkan
najis

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anjing
2.1.1. Sejarah Anjing
Anjing telah berkembang menjadi ratusan ras dengan berbagai variasi,
tinggi anjing dengan beberapa puluh cm seperti Cihuahua hingga lebih dari
satu meter yaitu Irish Wolhound. Warna bulu yang beraneka ragam antara lain
putih, hitam, merah, abu-abu dan coklat. Anjing juga memiliki berbagai macam
bulu, sangat pendek hingga mencapai beberapa sentimeter. Bulu anjing yang
lurus dan keriting, serta bertekstur kasar hingga lembut (American Kennel
Club, 1992).
Berdasarkan UK Wolf Conservation Trust, anjing masih dihitung
sebagai sub spesialis Grey Wolf (Canis lupus familiaris). Grey Wolf ini
diyakini telah berevolusi sekitar 2,7 tahun yang lalu. Bukti faktor morfologi
dan catatan fosil menunjukkan anjing masih dekat dengan family grey wolf
sekitar 14.000 – 15.000 tahun yang lalu, namun beberapa studi genetik
mengatakan perbedaan jauh lebih tua hingga 135000 tahun yang lalu. Di
bawah ini adalah taksonomi anjing (Case, 1999):
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata
Kelas : Mamalia
Ordo : Canidae
Genus : Canis
Spesies : Canis lupus

2.1.2. Klasifikasi Anjing


American Kennel Club (1997) mengklasifikasikan anjing dalam 7
kategori berdasarkan fungsi anjing, antara lain:

4
5

1. Herding
Anjing penggembala ternak ini memiliki keunggulan yaitu
mengatur gerakan hewan-hewan lain. Jenis herding digunakan para
petani dan peternak menjaga ternak dan formasi kawanan ternak. Anjing
kelompok ini seperti Border Collies, Belgian Malinois. German
Shepherd, Welsh Corgi, Canaan, dan Australian Cattle.
2. Hound
Anjing pemburu (gun dog atau bird dog) hanya memburu hewan
yang merugikan manusia. Anjing pointing breed (penunjuk lokasi
buruan), setter (pencari hewan buruan), spaniel dan retriever (pemungut
buman). Kelompok ini antara lain Basenji, Afghan Hound, Beagle,
Basset Hound, dan Harrier.
3. Sporting
Anjing ini memiliki karakteristik hyperactive. Mereka dibesarkan
untuk melihat dan bereaksi terhadap segala sesuatu, bahkan saat
bergerak. Anjing ini membutuhkan latihan sehari-hari yang penuh
semangat, seperti lari. Bejalan-jalan di sekitar blok tidak cukup.
Kelompok anjing sporting yaitu American Water Spaniel, Brittany,
Chesapeake Bay Retriever, Clumber Spaniel, Cocker Spaniel, dan Curly-
Coated Retriever.
4. Non-Sporting
Beberapa anggota kelompok ini memiliki karakteristik kelompok
working (Keeshond dan Schipperke) sementara yang lain memiliki
karakteristik kelompok sporting (Finlandia Spitz, Poodle dan
Dalmatian). Anggota lain dibiakkan secara khusus untuk hewan penjaga
(ChowChow, Cina Shar-Pei dan Llasa Apso) sementara yang lain
dibiakkan untuk menjadi hewan pendamping atau hadiah (Bichon Frise,
Tibet Spaniel, Boston Terrier, Perancis Bulldog dan Tibet Terrier)
5. Working
Beberapa anjing ini mencoba mendominasi pemiliknya jika
pemilik tidak menunjukkan kuat, adil, dan kepemimpinan yang
konsisten. Mereka sangat posesif terhadap benda seperti mainan mereka,

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


6

pemiliknya, atau bahkan daerah favorit mereka di rumah dan halaman.


Kelompok anjing working antara lain Akita, Alaskan Malamute,
Anatolian Shepherd, Bernese Mountain Dog, Black Russian Terrier, dan
Boxer.
6. Toy
Pelatihan lebih sulit di awal karena anjing bertubuh kecil. Banyak
anjing jenis ini tidak menyadari mereka bertubuh kecil sehingga
berperilaku seolah-olah bertubuh besar. Hal ini menyebabkan mereka
sering berani melawan dan bermain dengan anjing yang jauh lebih besar
ukuan tubuhnya. Kelompok anjing ini antara lain Affenpinscher,
Brussels Griffon, Cavalier King Charles Spaniel, Chihuahua, Chinese
Crested, dan English Toy Spaniel.
7. Terrier
Para pengontrol hama berupa hewan pengerat. Anjing ini memiliki
ciri fisik telinga tegak, berukuran tubuh kecil dan memiliki kaki yang
pendek, sehingga dapat mengejar mangsa yang berada di dalam liang.
Kelompok anjing tersebut antara lain Border terrier, Australian terrier,
Bedington terrier, Bull terrier,dan Irish terrier.

2.1.3. Air Liur Anjing


Air liur anjing yang dihasilkan oleh kelenjar saliva termasuk aksesoris
sistem digestivus atau disebut juga apparatus digestorius. Apparatus digestivus
terdiri dari rongga mulut, pharynx, alimentary canal dan kelenjar aksesorius.
Kelenjar aksesorius terdiri dari gigi, lidah, kelenjar ludah, hati, gallbladder,
pankreas dan kantung anal (Evans, 1993).
Saliva merupakan salah satu dari cairan dalam rongga mulut yang
diproduksi dan diekskresikan oleh kelenjar saliva serta dialirkan ke dalam
rongga mulut melalui saluran. Saliva terdiri dari 98% kandungan air dan
sisanya adalah elektrolit, mukus, dan enzim-enzim (Hasibuan, 1998; Winasa,
1995). Kelenjar saliva terbagi menjadi 2 bagian yaitu kelenjar saliva mayor
yang terdiri dari kelenjar parotid, mandibular, sublingual dan kelenjar
zygomaticus, sedangkan kelenjar saliva minor terdapat pada daerah ventral

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


7

buccalis (Peter, 1997). Peran saliva sangat besar dalam proses mencegah
terjadinya kerusakan gigi, dengan komposisi saliva yang mengandung zat
organik dan anorganik dengan kadar yang berbeda-beda tergantung masing-
masing kelenjar saliva (Almeida, dkk., 2008). Saliva terdiri dari 95% berupa
cairan dan sisanya merupakan komponen – komponen yang larut dibedakan
atas komponen anorganik elektrolit dan bentuk ion, seperti ion natrium (Na⁺),
kalium(K⁺), magnesium(Mg²⁺), klorida(Cl⁻), dan fosfat, serta komponen
organik terutama protein, musin, lipida, asam lemak, dan ureum (Vasudevan,
2011).
Tabel 2.1 Komponen Bakteri Air Liur Anjing

[Sumber: Elliott et al., 2005]

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


8

2.2. Najis dan Cara Bersuci (Thaharah)


2.2.1. Pengertian Thaharah
Menurut Ritonga dan Zainuddin, secara terminologi, thaharah adalah
membersihkan diri dari segala kotoran, baik kotoran jasmani maupun kotoran
rohani. Pengertian menurut syara’ yaitu menghilangkan hadats atau najis, atau
perbuatan yang dianggap dan berbentuk seperti menghilangkan hadats atau
najis tetapi tidak berfungsi untuk menghilangkan hadast atau najis,
sebagaimana basuhan yang kedua dan ketiga, mandi sunah, memperbarui
wudlu, tayammum, dan lain-lainnya yang kesemuanya tidak berfungsi
menghilangkan hadats dan najis (Munawwir, 1997).
Pengertian thaharah menurut istilah dalam kitab Al-Fiqhul ala Madzib
mempunyai beberapa definisi sebagaimana dikemukakan oleh para imam
mazhab berikut ini:
1. Hanafiyyah: thaharah adalah membersihkan hadats dan khobats
2. Malikiyyah: thaharah adalah sifat hukum yang diwajibkan agar bisa
melaksanakan shalat, dengan pakaian yang membawanya untuk
melaksanakan shalat, dan pada tempat untuk melaksanakan shalat.
3. Syafi‟iyyah: thaharah adalah suatu perbuatan yang mengarah untuk
memperbolehkan shalat dari berupa wudhu, membasuh, tayamum, dan
menghilangkan najis.
4. Hanabilah: thahaharah adalah menghilangkan hadats dan apa-apa yang
semacamnya, dan menghilangkan najis
Bersuci dari hadats itu ada tiga macam, yaitu thaharah kubra (mandi),
thaharah shugra (wudhu), dan pengganti keduanya manakala keduanya tidak
dapat dilakukan (tayammum). Sedang bersuci dari najis juga ada tiga macam,
membersihkan diri, menyapu dan memercikkan air (Al-Zuhaily, 2004).

2.2.2. Klasifikasi Najis


Menurut Al-Dimyathy, najis adalah sesuatu yang dianggap kotor.
Sedangkan menurut syara’ adalah sesuatu yang dianggap kotor yang
menghalangi keshahihan shalat. Najis menurut istilah adalah sesuatu yang
kotor sehinga harus dihindarkan atau disucikan ketika hendak mengerjakan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


9

ibadah terhadap pakaian, badan dan tempat agar ibadah menjadi sah dan
diterima Allah SWT (Mujieb, dkk., 1994).
Bedasarkan Nawawi Al-Jawi Al-Bantani, najis dapat diklasifikasikan
menjadi tiga macam, antara lain:
1. Najis Mukhafaffah merupakan najis yang ringan, seperti pada air
kencing bayi laki-laki yang berumur kurang dari dua tahun dan belum
makan apa-apa kecuali air susu ibunya.
2. Najis Mutawassithah atau najis sedang, seperti kotoran manusia atau
binatang, air kencing, nanah, darah, bangkai (kecuali bangkai ikan,
belalang, mayat manusia) dan najis-najis lain selain najis ringan dan
berat. Adapun najis sedang ini ini dibai menjadi dua, yaitu: (Rifa’i,
1978)
a. Najis ‘Ainiyyah, yaitu najis yang bendanya berwujud, seperti
darah, nanah, air kencing dan sebagainya.
b. Najis Hukmiyyah, yaitu najis yang bendanya tidak berwujud,
seperti bekas kencing, arak yang sudah kering.
3. Najis Mughallazah atau najis yang berat, seperti najis anjing dan babi
serta turunan dari keduanya.

2.2.3. Cara Menghilangkan dan Membersihkan Najis


Cara menyucikan najis bebeda-beda, tergantung jenis najisnya. Cara
yang lebih banyak dilakukan adalah mencuci atau membasuhnya dengan air,
walaupun telah bersuci dengan tiga batu setelah istinja. Besuci dengan
menggunakan air lebih diutamakan karena air lebih bisa menghilangkan benda
dan bekasnya (‘Umairah, 1997).
Sesuatu yang dikenakan najis dapat dibersihkan kembali dengan cara
tertentu sesuai dengan najis yang mengenainya. Dalam hal ini, ada tiga macam
cara membersihkan najis yaitu: (Nasution, 2001)
1. Menurut jumhur ulama, apabila suatu benda terkena najis yang berasal
dari anjing dan babi, seperti kotorannya, air liurnya dan lain-lain, maka
cara menyucikannya adalah benda itu dicuci dengan air sebanyak tujuh
kali, satu kali diantaranya dicampurkan debu/tanah.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


10

‫اء أَ َح ِدكُم اِ َذا َولَ َغ فِي ِه‬


ِ َ‫صلَّى هللا ُ عَ لَي ِه َو َسلَّم طُه ُْو ُر اِن‬َ ِ‫ال َرسُو ُل هللا‬ َ َ‫ال ق‬َ َ‫عَ ْن أَ ِبى ه ُ َري َْرةَ ق‬
‫ت أُوال ه ُ َّن ِبال ُّت َراب‬
ٍ ‫الْ َكلْبُ أَ ْن يَ ْغ ِسلَه ُ َسبْ َع َمرَّا‬
Dari Abu Hurairah r.a. katanya: "Bersabda Rasulullah s.a.w.:
"Membersihkan bekas yang dijilat anjing, adalah dengan membasuhnya
tujuh kali dan basuhan pertama dicampur dengan tanah" (HR. Muslim).
2. Najis Mutawassitah (pertengahan) yaitu najis yang lain selain najis
ringan dan berat.
a. Najis Hukmiyyah, yaiu najis yang tidak nampak. Cara mencuci
najis ini cukup dengan cara menggalirkan air di atas benda yang
terkena najis tersebut. Apabila tidak hilang setelah digosok-gosok,
maka dimaafkan (Hamid, 2002).
b. Najis ‘Ainiyyah yaitu najis yang terlihat zat, warna, dan baunya.
Menurut Khatib Al-Syarbaini, cara mencuci najisnya dengan
menghilangkan zatnya terlebih dahulu, hingga hilang wujud, bau
dan warnanya. Kemudian menyiram dengan air sampai bersih dan
dikeringkan. Bau dan warna yang sangat sukar hilangnya meskipun
sudah digosok-gosok dapat, maka dimaafkan
3. Najis Mukhafaffah atau najis ringan, misalnya pada kencing laki-laki
yang belum memakan apa-apa selain ASI. Cara menghilangkan najis
tersebut hanya dengan memercikan air pada pakaian yang terkena air
kencing bayi laki-laki tersebut. apabila terkena kencing bayi laki-laki
yang sudah mengkonsumsi makanan, maka harus dicuci. Bila terkena
kencing bayi perempuan, maka pakaian yang terkena air kencing tesebut
haus dicuci baik yang belum maupun sudah mengkonsumsi makanan
(Muhammad, 2001).

2.3. Sabun
2.3.1. Pengertian Sabun
Sabun adalah bahan yang digunakan untuk mencuci dan mengemulsi,
terdiri dari dua komponen utama yaitu asam lemak dengan rantai karbon C16
dan natrium atau kalium (Ophardt, 2003). Menurut Standar Nasional Indonesia

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


11

(1994), sabun mandi adalah senyawa natrium dan kalium dengan asam lemak
dari minyak nabati dan atau lemak hewani berbentuk padat, lunak atau cair,
berbusa yang digunakan untuk pembersih, dengan menambahkan zat pewangi
dan bahan lainnya yang tidak membahayakan kesehatan.
Sabun yang biasa digunakan dibuat melalui reaksi saponifikasi dari
minyak dan lemak dengan NaOH atau KOH. Sabun yang dibuat menggunakan
NaOH disebut sabun keras sedangkan sabun yang dibuat menggunakan KOH
disebut sabun lembut atau sabun lembek, sabun mandi biasanya termasuk jenis
sabun keras (Mitsui T, 1997).

2.3.2. Klasifikasi Sabun


Dilihat dari kualitasnya, sabun dibagi menjadi tiga jenis, antara lain:
(Ophardt, 2003)
1. Sabun Kualitas A
Sabun yang dibuat dengan menggunakan bahan dari minyak atau
lemak terbaik dan mengandung sedikit alkali atau tidak mengandung
alkali bebas. Umumnya digunakan sebagai sabun mandi.
2. Sabun Kualitas B
Sabun yang dibuat dengan menggunakan bahan dari minyak atau
lemak kualitas lebih rendah dan mengandung sedikit alkali tetapi tidak
menyebabkan iritasi kulit. Umumnya digunakan pada sabun cuci pakaian
atau piring.
3. Sabun Kualitas C
Sabun yang dibuat dengan menggunakan bahan dari minyak atau
lemak kualitas rendah berwarna gelap dan mengandung banyak alkali.
Sedangkan dilihat dari fisiknya, sabun dibagi menjadi dua jenis, antara
lain (Ophardt, 2003):
1. Sabun Padat atau Hard Soap
Sabun terbuat dari NaOH dan asam lemak rantai pendek yang
memiliki ikatan jenuh (Steve, 2008). Berdasarkan tingkat
transparansinya, sabun padat dikelompokkan menjadi beberapa jenis,
sebagai berikut:

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


12

a. Sabun opaque yang memiliki tampilan tidak transparan.


b. Sabun translucent yang memiliki tampilan agak transparan.
c. Sabun transparan yang memiliki tampilan sangat transparan.
2. Sabun Cair (Soft Soap)
Sabun yang terbuat dari KOH dan asam lemak rantai pendek ikatan
tak jenuh (Steve, 2008). Definisi sabun cair adalah sediaan pembersih
kulit berbentuk cair yang dibuat dari bahan dasar sabun atau deterjen
dengan penambahan bahan lain yang diizinkan dan digunakan tanpa
menimbulkan iritasi kulit (Standar Nasional Indonesia, 1996).

2.3.3. Prinsip Kerja Sabun


Molekul pada sabun terdiri dari sebagian besar hidrokarbon nonpolar
yang bersifat hidrofobik dan ion karboksilat yang bersifat hidrofilik. Apabila
sabun dilarutkan dalam air, maka ujung hidrofilik ditarik ke dalam air dan
melarutkannya tetapi pada bagian hidrofobik ditolak oleh air sehingga lapisan
terbentuk di atas pemukaan air dan menurunkan tegangan permukaan air. Bila
sabun mengenai barang berlemak atau beminyak (sebagian besar kotoran),
maka bagian molekul sabun terorientasi. Bagian hidofobik membalut kotoran
yang bersifat minyak dan bagian hidofilik tetap larut dalam air (Ashar, 2006).
Beberapa kotoran dapat dihilangkan dengan dengan cara tersolubilisasi dalam
misel yang terbentuk oleh sabun (Mitsui, 1997).
Sifat utama dari bahan dasar sabun harus dapat menurunkan tegangan
pemukaan. Bahan yang dapat menurunkan tegangan pemukaan pada air secara
efektif yaitu surfaktan. Surfaktan berperan penting dalam poses membersihkan
yaitu dengan cara menghilangkan bau dan membentuk emulsi serta mengikat
kotoran dalam bentuk suspensi (Kamikaze, 2002).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


13

Keterangan: Kepala surfaktan (hidofilik) diandai dengan lingkaran hitam. Ekor sufaktan
(hidrofobik) ditandai dengan garis hitam (Yagui, 2005)

Gambar 2.1. Monomer Surfaktan yang Membentuk Misel


[Sumber: Yagui, CO Rangel,. Pessoa Jr A., Tavares LC, 2005]

2.3.4. Reaksi Penyabunan


Sabun dapat dibuat dengan dua cara, antara lain: (Spitz, 1996; Ophardt,
2003)
1. Proses Netralisasi
Proses yang terjadi karena reaksi antara asam lemak dengan alkali.
Proses tersebut tidak menghasilkan gliserol.

Gambar 2.2 Proses Netralisasi pada Sabun


[Sumber: Mitsui, 1996]

2. Proses saponifikasi.
Proses saponifikasi terjadi karena reaksi antara trigliserida dengan
alkali yang menghasilkan produk samping berupa gliserol.

Gambar 2.3 Proses Saponifikasi pada Sabun


[Sumber: Mitsui, 1996]

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


14

2.3.5. Formula Sabun


Bahan-bahan penyusun sabun terdiri dari dua bagian yaiu bahan dasar
dan bahan tambahan. Bahan dasar terdiri dari pelarut sehingga umumnya
menempati volume yang lebih besar dari bahan lainnya. Bahan dasar memiliki
fungsi utama untuk membersihkan dan menurunkan tegangan permukaan air
(Wasiatmadja, 2007 dalam Gandasasmita, 2006). Bahan tambahan merupakan
bahan yang sengaja ditambahkan untuk memberikan efek-efek tertentu yang
diinginkan seperi melembutkan kulit, aseptis, harum, dan lain-lain (Suani, dkk.,
2002 dalam Gandasasmita, 2006).
Bahan-bahan yang digunakan dalam formula sabun tanah, sebagai
berikut:
1. Minyak Kelapa
Minyak kelapa merupakan salah satu minyak nabati yang paling
penting yang digunakan dalam pembuatan sabun. (Barel, dkk., 2009).
Minyak kelapa adalah minyak lemak yang diperoleh dengan pemerasan
endosperm kering Cocos nucifera L (Departemen Kesehatan RI, 1979).
Minyak ini mengandung asam laurat C12 yang berperan dalam
pembentukan sabun dan pembusaan (Mitsui, 1997).

Tabel 2.2 Fisikokimia Minyak Kelapa


Karakteristik Nilai
Indeks Bias (pada 400C) 1,448 1,450

Bilangan Asam (penetapan Tidak lebih dari 0,2


dilakukan menggunakan 20 g)
Bilangan Iodium 7 11

Bilangan Penyabunan 250 264

Zat Tak Tersabunkan Tidak lebih dari 0,8%

[Sumber: Departemen Kesehatan RI, 1979]

2. Natrium Lauril Sulfat


Natrium Lauril Sulfat berbentuk sebuk putih, berbusa lembut,
banyak dan tebal, surfaktan yang larut dalam air, kinerja baik dan kuat

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


15

yang membersihkan kotoran dan minyak, menghasilkan sediaan yang


memiliki wana yang baik tetapi jika digunakan dalam konsentrasi ttinggi
dapat menyebabkan iritasi kulit (Huning, 1983).
Natrium Lauril Sulfat termasuk kedalam golongan surfaktan
anionik. Natrium Lauril Sulfat (NLS) memiliki panjang rantai karbon 12
dan merupakan salah satu surfaktan yang paling umum. Kombinasi
dengan surfaktan lain dapat meningkatkan kompatibilitas NLS terhadap
kulit sekaligus menghasilkan busa yang lebih baik (Paye, dkk., 2006).
Natrium lauril sulfat (NLS) adalah campuran dari natrium alkil sulfat,
natrium dodesil sulfat, C12H25SO4-Na+, sangat larut dalam air pada
suhu kamar (Attwood, dkk., 2012).

Gambar 2.4 Struktur Kimia Natrium Lauril Sulfat


[Sumber: ICF Consulting, 2006]

3. NaOH (Natrium Hidroksida)


NaOH adalah alkali yang paling sering digunakan dalam
pembuatan hard soap, jenis sabun yang paling banyak diproduksi dan
dikonsumsi (Shrivastava, 1982). Natrium hidroksida diperoleh dari
proses hidolisis natrium klorida, sering disebut sebagai kaustik soda atau
soda api. NaOH bersifat korosif serta mudah menghancurkan jaringan
organik yang halus. NaOH memiliki bentuk butiran padat, berwarna
putih, dan memilki sifat higroskopis (Wade & Weller, 1994). Berat
molekul NaOH yaitu 40 dan basa kuat yang larut dalam air dan etanol
(Departemen Kesehatan RI, 1979).
4. Asam Stearat
Asam stearat berupa zat padat keras mengkilat yang menunjukkan
susunan hablur, warna putih atau kuning pucat, mirip lemak lilin; larut
dalam 20 bagian etanol (95%) P, 2 bagian kloroform P, dan 3 bagian eter
P (Departemen Kesehatan RI, 1979). Asam stearat memiliki atom

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


16

karbon C18 yang merupakan asam lemak jenuh serta berfungi untuk
memberikan konsistensi dan kekerasan pada produk (Mitsui, 1997).
Asam stearat memiliki titik cair pada suhu 69,4°C (Ketaren, 1986).
5. Gliserin
Gliserin atau propan-1,2,3-triol memiliki bobot molekul 92,09.
Gliserin memiliki beberapa manfaat diantaranya sebagai pengawet,
antimikroba, kosolven, emolien, humektan, pelarut, pemanis, dan
plasticizer (Nunez & Medina, 2009). Gliserin memiliki bentuk cairan
jernih, tidak berbau, dan memiliki rasa manis. Gliserin diperoleh dari
hasil samping dalam proses pembuatan sabun atau dari asam lemak
tumbuhan dan hewan (Mitsui, 1997). Serta dapat bercampur dengan air
dan dengan etanol 95% P, praktis tidak larut dalamkloroform P, dalam
eter P dan dalam minyak lemak (Departemen Kesehatan RI, 1979).

Gambar 2.5 Struktur Kimia Gliserin


[Sumber: USP, 2009]

6. Butylated Hidroxy Toluene (BHT)


Serbuk hablur bewarna putih, hampir putih, atau padat seperti
malam, bewarna putih kekuningan, dan bau aromatic. BHT sangat larut
dalam aseton, benzena, metanol, toluene, fixed oil, minyak mineral, dan
etanol (95%) P; praktis tidak larut dalam air, gliserin, propilen glikol,
larutan hidroksida alkali, dan dilute aqueous asam mineral. BHT
befungsi sebagai antioksidan untuk minyak dan lemak dengan
konsentrasi 0,02% (Wade and Weller, 1994; Rowe, dkk., 2006).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


17

Gambar 2.6 Struktur Kimia Butylated Hidroxy Toluene


[Sumber: Yehye, dkk., 2012]

7. Kokoamidopropil betain
Menurut Guertechin (2009), betain umumnya digolongkan ke
dalam surfaktan amfoterik, tetapi penggolongan ini tidak tepat karena
surfaktan tersebut tidak pernah dalam bentuk anionik tunggal. Alkil
betain bermuatan positif sehingga dikelompokkan sebagai surfaktan
kationik. Tetapi surfaktan ini memiliki gugus bermuatan negatif dalam
kondisi pH netral dan basa sehingga sering dianggap surfaktan amfoter.
Betain adalah surfaktan dengan sifat pembusa, pembasah, dan
pengemulsi yang baik, khususnya dengan keberadaan surfaktan anionic
(Barel, dkk, 2009). Daya busanya tidak dipengaruhi pH dan kompatibel
dengan surfaktan anionik, kationik, ataupun nonionic (Rieger &Rhein,
1997).

Gambar 2.7 Struktur Kimia Kokoamidopropil Betain


[Sumber: Danov, dkk., 2004]

2.4. Clay
Tanah liat atau clay istilah telah digunakan dalam cara yang berbeda.
Umumnya istilah itu diterapkan untuk sedimen berbentuk butiran halus dan
batuan sedimen. Beberapa didefinisikan sebagai partikel yang kurang dari
1/265 mm (0,004 mm) atau kurang dari 0,002 mm. Ukuran itu dipilih karena
partikel-partikel kecil ini atau lebih kecil tidak dapat diidentifikasi dengan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


18

metode optik atau fisik konvensional. Sedimen yang dibuat dari partikel-
partikel halus yang konvensional hanya clay (Nesse, 2012).
Pada teknik difraksi x-ray ditemukan bahwa sebagian besar sedimen
clay-sized terdiri dari kumpulan lapisan mineral silikat, sehingga istilah clay
mineral berasal dari lapisan mineral silikat yang berbutir halus (<0,002 mm).
Terminologi yang digunakan di sini adalah berikut: (Nesse, 2012)
1. Clay merupakan sedimen atau batuan (claystone) yang berukuran kurang
dari 0,002 mm.
2. Clay-sized merupakan patikel yang memiiki dimensi kurang dari 0,002
mm.
3. Clay mineral merupakan lapisan mineral silika terjadi pada fraksi clay-
size, sedimen, sedimen batuan, dan batuan yang lapuk.
4. Agillaceous atau berlempung merupakan batuan atau sedimen yang
mengandung jumlah clay mineral signifikan.
Das (1994), menerangkan bahwa tanah lempung merupakan tanah
dengan ukuran mikronis sampai dengan sub-mikronis yang dari pelapukan
unrsur-unsur kimiawi penyusun batuan. Tanah lempung sangat keras dalam
keadaan kering dan bersifat plastis pada kadar air sedang. Pada kadar air lebih
tinggi lempung bersifat lengket (kohesif) dan sangat lunak. Sifat-sifat yang
dimiliki tanah lempung menurut Hardiyatmo (1992) adalah sebagai berikut:
1. Ukuran butir halus, kurang dari 0,002 mm
2. Permebilitas rendah
3. Kenaikan air kapiler tinggi
4. Bersifat sangat kohesif
5. Kadar kembang susut yang tinggi
6. Proses konsolidasi lambat
Susunan umumnya tanah lempung terdiri dari silikat tetrahedral dan
aluminium oktahedral. Silika dan aluminium secara parsial dapat digantikan
dengan elemen lain dalam kesatuannya, hal ini dikenal dengan substitusi
isomorf.
Definisi clay mineral memiliki persyaratan ukuran, yang merupakan
kriteria non-mineralogical. Berikut beberapa mineral yang termasuk sebagi

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


19

clay mineral, antara lain kaolinit, smektit, illit, vermikulit, dan klorit. Clay
telah digunakan sejak dahulu dan terus digunakan dalam berbagai produk
industri dan komersial. Beberapa kegunaan dari clay antara lain pelapis dan
pengisi kertas, keramik, kosmetik, produk tahan api, produk bangunan, semen
portland, absorben, makanan sebagai aditif makanan, dan obat-obatan (Nesse,
2012). Bahan clay yang digunakan dalam penilitian adalah bentonit dan kaolin.
Mekanisme kerja clay yaitu dengan cara adsorpsi. Sifat seperti ukuran
partikel koloid, struktur kristal, luas permukaan spesifik tinggi, kapasitas tukar
dan swelling memberikan perilaku rheologi yang optimal dan kapasitas
adsorpsi yang sangat baik dari zat anorganik dan organik. Substitusi ion atau
kekosongan lokasi pada lembar tetrahedral dan atau oktahedral menimbulkan
permukaan bermuatan negatif. Kation bertukar antara lapisan muatan negatif
dan dapat dengan mudah ditukar dengan kation logam lainnya. Secara khusus,
permukaan tanah liat yang bermuatan listrik mengendalikan interaksi dengan
ion lingkungan lainnya, molekul, polimer, mikroorganisme dan partikel (Parolo
dkk., 2011; Moore, 1997).
Dua sumber utama bagi asal usul muatan negatif pada permukaan clay
menurut Kim. H.Tan (1991) yaitu:
1. Adanya subtitusi isomorfik. Proses ini merupakan sumber utama muatan
negatif dalam lempung lapis 2:1. Sebagian dari silikon dalam lapisan
tetrahedral dapat diganti oleh ion yang berukuran sama, yang biasanya
Al³⁺ demikian pula sebagian dari aluminium dalam lembar oktahedral
dapat digantikan oleh Mg²⁺ tanpa mengganggu struktur kristal. Muatan
negatif yang dihasilkan dari proses subtitusi isomorfik tersebut dianggap
sebagai muatan permanen karena tidak berubah dengan berubahnya pH.
Kemudahan terjadinya subtitusi isomorfik tergantung dari ukuran dan
valensi ion-ion yang terlibat.
2. Disosiasi gugus hidrosil yang terbuka. Keberadaan gugus -OH pada tepi
kristal dapat juga mengakibatkan muatan negatif khususnya pada pH
tinggi. Hidrogen dari hidroksil (OHˉ) terurai sedikit dari permukaan
lempung menjadi bermuatan negatif dari ion oksigen. Muatan negatif
tipe ini disebut muatan berubah-ubah atau muatan tergantung pH.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


20

Sebaliknya proton (H⁺) tidak hanya dapat terdisosiasi dari gugus –OH
(hidroksil) yang terbuka tetapi dapat juga menyerap atau memperoleh
proton, proses ini akan tejadi pada media yang sangat asam (pH rendah)
sehingga dapat menghasilkan muatan positif pada permukaan lempung.
Pada mineral lempung kering, muatan negatif pada permukaan akan
dinetralkan oleh kation-kation lain yang mengelilingi partikel tersebut secara
exchangeable cation akibat adanya perbedaan kekuatan muatan dimungkinkan
antar kation yang ada disekeliling partikel lempung bisa saling mendesak posisi
atau bertukar. Kemanapuan mendesak dari kation-kation dapat dilihat dari
besarnya potensi mendesak sesuai urutan berikut:
Al³⁺ > Ca²⁺ > Mg²⁺ > NH₄⁺ > K⁺ > H⁺ > Na⁺ > Li⁺
Kation Li⁺ tidak dapat mendesak kation lain yang berada dikirinya (Kim. H.
Tan, 1982).

2.4.1. Bentonit
Bentonit dibedakan menjadi 2 golongan berdasarkan kandungan
alumunium silikat hydrous yaitu activated clay dan fuller's Earth. Activated
clay yaitu lempung yang kurang memiliki daya pemucat, namun dapat
ditingkatkan dengan pengolahan tertentu. Fuller's earth digunakan dalam
fulling atau pembersih bahan wool dari lemak. Bentonit merupakan koloid
aluminium silikat terhidrasi terutama yang terdiri dari montmorilonit
(Al2 O 3 .4SiO 2 .H2 O), kemungkinan mengandung kalsium, magnesium dan besi.
Bentonit berupa kristal, mineral seperti clay, tidak berbau, kuning pucat hingga
krem keabu-abuan, berbentuk bubuk halus yang bebas dari gift. Terdiri dari
partikel sekitar 1-2 μm. Bentonit dalam bidang farmasi digunakan untuk
memformulasi suspensi, gel dan sol. Selain itu digunakan untuk
mensuspensikan serbuk dalam sediaan cair dan mempersiapkan basis krim
yang mengandung agen pengemulsi minyak dalam air (Rowe, dkk., 2009).

2.4.2. Kaolin
Kaolin atau tanah liat cina adalah sedimen sisa yang terdiri dari kaolinit
murni. Clay mineral dari kelompok aluminosilikat terhidrasi sebagai produk

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


21

sisa pelapukan kimia feldspar, terutama dari batu granit. Endapan kaolin
biasanya dibentuk oleh endapan kaolinit setelah adanya perpindahan pendek
oleh air dari granit gneiss, terutama di lingkungan lakustrin. Lapisan kaolin
biasanya terletak di sepanjang danau pasir, lumpur dan batu bara atau gambut.
Kaolin adalah bahan baku mineral yang bernilai untuk pembuatan keramik,
terutama porselen, dan bahan baku dalam produksi kertas (Haldar & Tišljar,
2014).
Kaolin adalah aluminium silikat hidrat alam yang telah dimurnikan
dengan pencucian dan dikeringkan, mengandung bahan pendispersi
(Departemen Kesehatan RI, 1979) dengan rumus kimia Al2 O3 .2SiO 2 .2H2 O
(Rowe, dkk., 2006). Kaolin berbentuk serbuk ringan, putih, bebas dari butiran
kasar, tidak berbau, dan tidak mempunyai rasa dan licin (Departemen
Kesehatan RI, 1979). Kaolin mengandung mineral yang digunakan dalam
formulasi oral dan topikal di bidang farmasi. Kaolin digunakan sebagai diluen
dalam formulasi tablet dan kapsul, digunakan juga sebagai pembawa suspensi.
Kaolin dapat berfungsi sebagai adsorben, agen pensuspensi, diluen tablet dan
kapsul (Rowe, dkk., 2006).
Kaolin praktis tidak larut dalam dietil eter, etanol (95%), air, pelarut
organik lainnya, asam encer dingin, dan larutan alkali hidroksida. Kaolin
merupakan bahan atau material yang stabil dan tidak beracun (Rowe, dkk.,
2006).

2.5. Mikroorganisme
Bentuk umum mikroorganisme terdiri dari satu sel (uniseluler) seperti
pada bakteri, yeast, dan mikroalga. Bentuk lain dapat berupa filamen atau
benang, yaitu rangkaian sel yang terdiri dari dua atau lebih yang menyambung
seperti rantai. Bentuk benang umum terdapat pada fungi (jamur benang) dan
mikroalga. Bentuk filamen pada kenyataannya dapat berupa filamen-semu dan
filamen-benar. Filamen semu adalah apabila hubungan antara sel satu dengan
lainnya tidak menyatu, seperti pada yeast dan streptomyces. Filamen benar
adalah apabila hubungan satu sel dengan sel lainnya menyatu, baik hubungan
secara morfologis (bentuk sel) ataupun hubungan secara fisiologis (fungsi sel),

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


22

seperti yang ada pada jamur benang dan mikroalga benang. Bentuk lain yang
perlu diperhatikan adalah koloni dan jaringan semu. Koloni merupakan
gabungan dua sel atau lebih di dalam satu ruang, seperti pada mikroalga.
Koloni pada mikroalga berbeda dengan koloni bakteri (Purnomo, 2005).

Berikut ini klasifikasi mikroorganisme, antara lain:


1. Protozoa
Ukuran dan bentuk protozoa sangat beragam. Beberapa bentuk
lonjong atau membola, memanjang, dan polimorfik atau mempunyai
berbagai bentuk morfologi pada tingkat-tingkat yang berbeda dalam
siklus hidupnya. Ukuran protozoa berbeda-beda, mulai dari berdiameter
1 µm sampai beberapa mm. Amoeba proteus hanya berukuran ± 1 µm,
Ciliata ± 2 mm (Purnomo, 2005).
Protozoa dikelompokkan dalam 4 filum berdasarkan tipe
pergerakannya, yaitu (Pratiwi, 2008):
a. Filum Mastigophora (flagellata), bergerak dengan menggunakan
flagela.
b. Filum Sarcodina, bergerak menggunakan pseudopodia.
c. Filum Ciliophora (Ciliata), bergerak dengan menggunakan silia.
d. Filum Sporozoa, tidak memiliki anggota gerak dan mempentuk
spora.
Protozoa berkembang biak melalui berbagai proses seksual
(perkawinan) dan aseksual (tanpa kawin). Reproduksi aseksual dapat
berlangsung melalui proses pembelahan sel (mitosis) dan bertunas,
dengan hasil anak-anak sel yang berukuran sama atau tidak sama.
Pembelahan sel dapat berlangsung secara melintang maupun membujur.
Reproduksi aseksual protozoa yang umum dengan cara membentuk
tunas. Reproduksi seksual terjadi pada berbagai kelompok protozoa yang
berlangsung karena adanya peleburan dua isi sel menjadi satu yang
kemudian dilanjutkan pembelahan miosis. Pada Ciliata terjadi konjugasi,
yaitu penyatuan antara dua individu yang bersamaan dengan pertukaran
bahan nukleus (Purnomo, 2005).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


23

2. Alga
Alga adalah sekelompok organisme autotrof. Alga digolongkan
dalam tumbuhan talus. Alga meliputi organisme bersel satu (uniseluler)
maupun bersel banyak (multiseluler). Ganggang memiliki ukuran
beragam dari beberapa mikrometer sampai kepada bermeter-meter
panjangnya. Organisme ini mengandung klorofil untuk melangsungkan
fotosintesis. Umumnya alga berukuran mikroskopis (Hajoeningtijas,
2012).
Penggolongan alga berdasarkan 6 ciri, yaitu : pigmen, produk
makanan cadangan, flagela, dinding sel, organisasi sel dan reproduksi.
Dasar pembedaan pigmen akan membedakan susunan kimia dan
kandungan masing-masing pigmen yang membedakan warna tubuh alga.
Produk makanan cadangan yang berbeda akan menandakan kandungan
kimia yang berbeda (pati, minyak, protein). Flagela dibedakan
berdasarkan jumlah dan morfologinya, sedangkan dinding sel dibedakan
berdasarkan susunan kimia dan sifat fisiknya (Purnomo, 2005).
a. Devisio Chloro-phycophyta: pigmen berwarna hijau, produk
makanan cadangan berupa karbohidrat dan minyak, non motil (
uniseluler & sel reproduksi motil). Terutama hidup di air tawar
(sebagian laut, darat), satu kloroplas per sel, beberapa perenoid
(tempat pembentukan pati) per kloroplas.
b. Devisio Rhodo-phycophyta: pigmen berwarna merah, produk
makanan cadangan berupa glikogen, non motil, dinding sel
mengandung karagenan.
c. Devisio Chryso-phycophyta: pigmen berwarna coklat keemasan,
produk makanan cadangan berupa karbohidrat dan minyak,
flagela 1 atau 2 atau amoeboid, dinding sel mengandung sisik.
d. Devisio Phaeo-phycophyta: pigmen berwarna coklat, produk
makanan cadangan berupa manitol, flagela 2 lateral tak sama,
dinding sel mengandung asam alginate.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


24

e. Devisio Xanto-phycophyta; pigmen berwarna hijau kekuningan,


produk makanan cadangan berupa pati dan minyak, flagela 2 tak
sama apikal.
f. Devisio Bacillario-phycophyta (Diatome): produk makanan
cadangan berupa karbohidrat dan minyak, flagela 1 pada gamet
jantan, dinding sel mengandung silika.
g. Devisio Eugleno-phycophyta: produk makanan cadangan berupa
karbohidrat dan minyak, flagela 1,2 atau 3 yang sama agak apikal,
tak berdinding sel, ada kerongkongan.
h. Devisio Crypto-phycophyta: produk makanan cadangan berupa
pati, flagela 2 tak sama terletak lateral, tak berdinding sel,
sebagian berkerongkongan.
i. Devisio Pyro-phycophyta: produk makanan cadangan berupa pati
dan minyak, flagela 2 terletak lateral menyeret dan melilit.
Alga berkembangbiak secara seksual dan aseksual, meskipun
beberapa diantaranya terbatas berkembangbiak hanya menggunakan
salah satu cara. Reproduksi aseksual dapat berlangsung dengan cara
pembelahan biner, fragmentasi organisme multiseluler, dan
pembentukan spora. Spora yang dibentuk dapat berflagela dinamakan
zoospora atau tidak mempunyai alat gerak disebut aplanospora.
Aplanospora biasanya dibentuk oleh alga darat. Akinet merupakan spora
yang dibentuk dari sel vegetatif yang menebal. Semua alga dapat
melakukan reproduksi seksual. Perkawinan terjadi karena terjadi
konjugasi gamet yang menghasilkan zigot. Jika gamet yang melakukan
konjugasi morfologinya serupa maka proses konjugasinya disebut
isogami dan jika berbeda ukuran ataupun morfologinya maka konjugasi
demikian disebut heterogami (Purnomo, 2005).
3. Monera
a. Cyanobakteri
Dulu Cyanobakteri dikenal dengan nama ganggang biru-
hijau, tersebar luas di seluruh dunia, baik di air tawar maupun air
laut. Cyanobakteri memperoleh energi dari kegiatan fotosintesis

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


25

aerobik seperti alga, tetapi mempunyai organisasi sel prokariotik.


Oleh karena itu, klorofilnya tidak terdapat dalam kloroplas tetapi
dalam lamela khusus yang disebut tilakoid. Fotopigmennya
berupa klorofil dan fikobiliprotein. Beberapa terdapat sebagai sel
tunggal dan yang lain dapat berupa rantaian sel atau filamen yang
lurus atau bercabang. Reproduksi dapat dengan pembelahan biner,
pembelahan ganda, atau dengan membebaskan eksospora secara
berturut-turut. Bentuk-bentuk filamen dapat berkembangbiak
dengan fragmentasi dengan membebaskan ujung rantai pendek
bersifat motil (dapat bergerak). Beberapa cyanobakteri berbentuk
benang yang sel-selnya dapat menebal disebut heterosista.
Heterosista berfungsi untuk mengubah nitrogen dalam atmosfir
menjadi amoniak sehingga nitrogen menjadi tersedia untuk
metabolisme sel (Purnomo, 2005).
b. Bakteri
Komponen utama genom bakteri adalah sebuah molekul
DNA sirkular untai-ganda atau yang sering kita sebut sebagai
kromosom bakteri. Selain kromosom, banyak bekteri juga
memiliki plasmid, lingkaran-lingkaran DNA yang jauh lebih kecil
lagi (Campbell, 2006).
Ada beberapa bentuk dasar sel bakteri, yaitu bulat (coccus),
batang atau silinder (bacillus), dan spiral yaitu berbentuk batang
melengkung atau melingkar (Pratiwi, 2008).
Sebagian besar bakteri berkembangbiak secara aseksual,
dengan cara memanjangkan sel diikuti dengan pembelahan sel
menjadi dua bagian sel anakan. Pembelahan tersebut disebut
pembelahan biner melintang. Pembelahan biner melintang
merupakan suatu proses reproduksi aseksual. Pembelahan biner
lebih banyak terjadi pada bakteri yang berkaitan dengan tumbuh
manusia. Bakteri-bakteri lain dapat berproduksi dengan proses
pembentukan spora, fragmentasi filamen, dan pertunasan.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


26

Pelajaran ini akan dibahas lebih lanjut pada bab pertumbuhan


mikroorganisme (Purnomo, 2005).
4. Virus
Virus terkecil memiliki diameter hanya 20 nm - lebih kecil dari
ribosom (Campbell, 2006). Ukuran virus panjang sekitar 1400 nm,
kapsidnya sekitar 80 nm, diameter kapsidnya 10nm–30nm.
Supermikroorganisme ini hanya dapat dilihat melalui scanning atau
transmisi mikroskop elektron (Subandi, 2010). Virus hanya memiliki
satu tipe asam nukleat, tidak memiliki sistem metabolisme sehingga
virus tidak dapat tumbuh dan bereproduksi tanpa adanya sel inang
(Hajoeningtijas, 2012). Struktur virus memiliki kapsid tersusun dari
protein merupakan pelindung asam nukleat dari kerusakan yang
disebabkan oleh enzim perusak DNA. Inti asam nukleat merupakan
genom bakteriofag yang mengandung informasi genetik yang perlu
untuk replikasi partikel bakteriofag yang baru. Bagian pangkal dan ekor
merupakan bagian tempat menempelnya bakteriofag pada titik tertentu
pada bakteri (Subandi, 2010).
Ada dua macam cara reproduksi virus yaitu siklus litik atau siklus
lisogenik. Infeksi secara litik melalui fase-fase berikut ini (Campbell,
2006):
a. Fase adsorbsi dan infeksi
Dengan ujung ekornya fag melekat atau menginfeksi
bagian tertentudari dinding sel bakteri. Virus penyerang bakteri
memiliki enzim lisozim yang berfungsi merusak atau melubangi
dinding sel bakteri, maka seluruh isi fag masuk ke dalam sel
bakteri. Fag kemudian merusak dan mengendalikan DNA sel
bakteri.
b. Fase replikasi
DNA fag mengadakan pembentukan DNA (replikasi)
menggunakan DNA bakteri sebagai bahan, serta membentuk
selubung protein. Maka terbentuklah beratus-ratus molekul DNA
baru virus yang lengkap dengan selubungnya.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


27

c. Fase pembebasan virus fag-fag baru/fase lisis


Sesudah fag baru terbentuk, sel bakteri akan pecah (lisis),
sehingga keluarlah fag yang baru. Pembentukan partikel
bakterifag memerlukan waktu 20 menit.
Infeksi secara lisogenik melalui fase-fase berikut ini (Campbell,
2006):
a. Fase adsorbsi dan infeksi
Fag menempel pada tempat yang spesifik. Virus melakukan
penetrasi pada bakteri kemudian mengeluarkan DNAnya pada
tubuh bakteri.
b. Fase penggabungan
DNA virus bersatu dengan DNA bakteri membentuk
profag.
c. Fase pembelahan
Bila bakteri membelah diri, profag ikut membelah sehingga
dua sel anakan bakteri juga mengandung profag di dalam selnya.
Hal ini akan berlangsung terus menerus selama sel bakteri
mengandung profag membelah.
5. Fungi
Ciri-ciri organisme yang dikelompokkan ke dalam Regnum Fungi
adalah eukariotik, tidak memiliki klorofil, tumbuh sebagai hifa atau
sebagai sel khamir, memiliki dinding sel yang mengandung kitin,
bersifat heterotrof, menyerap nutrien melalui dinding selnya dan
mengekspresikan enzim-enzim ekstraseluler ke lingkungan,
menghasilkan spora atau konidia, melakukan reproduksi seksual
dan/atau aseksual (Gandjar dkk., 2006).
Mekanisme reproduksi jamur disebut pembentukan spora. Spora
jamur harus dipikirkan sebagai sesuatu yang analog dengan biji pada
tumbuhan yaitu sebagai alat pertumbuhan, meskipun semua bagian
jamur mampu tumbuh. Spora jamur dapat terbentuk karena proses
perkawinan (seksual) maupun tidak (aseksual). Spora seksual diproduksi
dengan terjadinya peleburan (fusi) dua sel, sedangkan spora aseksual

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


28

dibentuk oleh satu sel tanpa adanya pembuahan (fertilisasi) oleh individu
kedua. Berdasarkan jumlah sel per individunya, jamur dibedakan
menjadi dua golongan, yakni : jamur satu sel atau khamir (yeast) dan
jamur benang atau hanya disebut 'jamur' saja (Purnomo, 2005).
a. Khamir (Yeast)
Tubuh atau talus khamir berupa sel tunggal. Khamir
bersifat mikroskopik sebagai sel bebas yang sederhana. Biasanya
berbentuk bulat atau lonjong, termasuk sel eukariotik.
Berkembang biak secara seksual maupun aseksual. Cara seksual
yang umum dilakukan yaitu dua sel khamir melebur (fusi)
menjadi sel tunggal berbentuk kantong yang disebut askus. Di
dalam askus terbentuk satu sampai delapan spora, yang disebut
askospora. Dalam kondisi yang cocok, askus akan pecah
selanjutnya askospora akan tumbuh membentuk sel khamir baru
(Purnomo, 2005).
Semua kelompok khamir dapat berkembangbiak secara
aseksual, tetapi tidak semua khamir dapat berkembangbiak secara
seksual. Khamir yang hanya berkembangbiak secara aseksual
dikelompokan ke dalam Deuteromycetes, sedangkan khamir yang
membentuk spora seksual dikelompokan sesuai dengan spora
seksual yang dibentuknya (Purnomo, 2005).
b. Jamur Benang
Jamur benang meliputi : kapang (mold), buduk (mildew),
jamur payung dan sejenisnya (mushroom, champhignon), jamur
karat (rust fungi), jamur jelaga (smuts fungi), jamur bola (puff-
ball fungi), dan jamur mangkok (cup fungi). Tubuh atau talus
jamur benang terdiri dari dua bagian, yaitu bagian vegetatif
berupa benang dan bagian generatif berupa spora. Bagian
vegetatif jamur parasit biasanya berupa benang-benang halus yang
bersekat atau tidak bersekat. Bagian yang berupa benang disebut
hifa dan kumpulan dari hifa disebut miselium. Setiap hifa
lebarnya hanya 2 – 10 µm (Purnomo, 2005)..

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


29

Beberapa jamur dapat membentuk rhizomorf, sklerotium


dan klamidospora sebagai alat pertahanan diri. Jamur mempunyai
dua macam alat perkembangbiakan, yakni seksual (dengan kawin)
dan aseksual (tanpa kawin). Perkembangbiakan aseksual pada
Phycomycetes terjadi dengan pembentukan sporangiospora (spora
yang dibentuk di dalam sporangium) yang dapat berupa zoospora
(sporangiospora yang mempunyai alat gerak dan tidak
mempunyai dinding yang jelas), konidium (sporangium yang
hanya membentuk satu spora), klamidospora (pembulatan sel hifa
dan berdinding tebal (Purnomo, 2005).

2.6. Bakteri
Bakteri berasal dari kata bakterion (Yunani= batang kecil). Klasifikasi
bakteri digolongkan dalam divisio Schizomycetes. Bakteri dari kata latin
bacterium (jamak, bacteria), adalah kelompok dari organisme hidup. Bakteri
sangatlah kecil dan umumnya uniseluler, dengan struktur sel yang relatif
sederhana tanpa nukleus/inti sel, sitoskeleton, dan organel lain seperti
mitokondria dan kloroplas (Dwidjoseputro, 2005). Bakteri merupakan
mikroorganime bersel satu dan berkembang biak dengan cara membelah diri
(aseksual). Ukuran bakteri bervariasi baik penampang maupun panjangnya,
tetapi pada umumnya penampan bakteri adalah sekitar 0,7-1,5 μm dan
panjangnya sekitar 1-6 μm (Jawetz, dkk., 2001).
Bakteri dibagi dalam golongan Gram positif dan Gram negatif
berdasarkan reaksinya terhadap pewarnaan Gram. Perbedaan antara bakteri
Gram positif dan Gram negatif dapat dilihat dari perbedaan dinding sel.
Dinding sel bakteri Gram positif sebagian besar terdiri atas beberapa lapisan
peptidoglikan yang membentuk struktur tebal dan kaku. Kekakuan pada
dinding sel bakteri yang disebabkan karena lapisan peptidoglikan dan ketebalan
peptidoglikan ini membuat bakteri Gram positif resisten terhadap lisis osmotik
(Jawetz, dkk., 2001).
Dinding sel bakteri Gram positif mengandung lapisan peptidoglikan
yang tebal dan asam teikoat. Dinding sel bakteri Gram negatif mengandung

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


30

lapisan peptidoglikan yang tipis, membran luar yang terdiri dari protein,
lipoprotein, fosfolipid dan lipopolisakarida, daerah periplasma dan membran
dalam. Bakteri Gram negatif terdiri atas satu atau sedikit lapisan peptidoglikan
pada dinding selnya. Selain itu dinding sel bakteri Gram negatif ini tidak
mengandung asam teikoat tetapi mengandung polisakarida dan lebih rentan
terhadap kerusakan mekanik dan kimia. (Jawetz , dkk., 2001).
Berdasarkan bentuk morfologinya bakteri dibagi atas tiga golongan
antara lain (Dwidjoseputro,1990):
1. Golongan Basil
Basil berbentuk serupa batang, silindris. Sebagian besar bakteri
berupa basil. Ukuran bakteri basil ada yang lebarnya 0,2 sampai 2,0 μ
sedangkan panjangnya ada yang 1 sampai 15 μ.
2. Golongan Kokus
Kokus adalah bakteri yang bentuknya bulat. Golongan ini tidak
sebanyak golongan basil. Ukuran bakteri kokus ada yang berdiameter
0,5 μ ada pula yang berdiameter sampai 2,5 μ.
3. Golongan Spiral
Spiral adalah bakteri yang bengkok atau berbengkok-bengkok
serupa spiral. Bakteri yang berbentuk spiral ini tidak banyak terdapat
jika dibandingkan dengan golongan kokus maupun golongan basil.
Istilah pertumbuhan umum digunakan untuk bakteri dan mikroorganisme
lain dan biasanya mengacu pada perubahan di dalam hasil panen sel
(Pertambahan total massa sel) dan bukan pertumbuhan individu organisme.
Inokulum hampir selalu mengandung ribuan organisme Pertumbuhan
menyatakan pertambahan jumlah dan atau masa melebihi yang ada didalam
inokulum asalnya (Michael et al, 2008).

2.7. Antibakteri
Antibakteri merupakan bahan atau senyawa yang khusus digunakan
untuk kelompok bakteri. Antibakteri dibedakan berdasarkan mekanisme
kerjanya, antara lain antibakteri yang menghambat pertumbuhan dinding sel,
antibakteri yang mengakibatkan perubahan permeabilitas membran sel atau

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


31

menghambat pengangkutan aktif melalui membran sel, antibakteri yang


menghambat sintesis protein, serta antibakteri yang menghambat sintesis asam
nukleat sel. Aktivitas antibakteri dibagi menjadi 2 macam yaitu aktivitas
bakteriostatik (menghambat pertumbuhan tetapi tidak membunuh patogen) dan
aktivitas bakterisidal (dapat membunuh patogen dalam kisaran luas) (Brooks,
dkk., 2005).
Berdasarkan Pelczar (1988), mekanisme kerja antibakteri sebagai
berikut:
1. Menghambat sintesis dinding sel
Struktur dinding sel dapat dirusak dengan cara menghambat
pembentukannya atau mengubah dinding sel setelah terbentuk.
2. Mengganggu keutuhan dinding sel
Membran sitoplasma mempertahankan bahan-bahan tertentu di
dalam sel dan mengatur aliran keluar-masuknya bahan-bahan lain.
Membran menjaga integritas komponen-komponen selular. Kerusakan
pada membran tersebut akan mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan
sel atau matinya sel.
3. Menghambat sintesis protein sel
Hidupnya suatu sel bergantung pada terpeliharanya molekul-
molekul protein dan asam nukleat dalam keadaan alaminya. Suatu
kondisi atau substansi yang mengubah keadaan tersebut, yaitu
mendenaturasi protein dan asam-asam nukleat dapat merusak sel tanpa
dapat diperbaiki kembali. Suhu tinggi dan konsentrasi pekat beberapa zat
kimia dapat menyebabkan koagulasi/denaturasi ireversible (tidak dapat
balik) komponen-komponen selular yang vital tersebut.
4. Mengganggu metabolisme sel
Setiap enzim dari berbagai enzim berbeda-beda, di dalam sel ada
yang merupakan sasaran potensial bagi bekerjanya suatu penghambat.
Banyak zat kimia telah diketahui dapat mengganggu reaksi biokimia.
Penghambatan ini dapat mengakibatkan terganggunya metabolisme atau
matinya sel.
5. Penghambatan asam nukleat dan protein

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


32

DNA, RNA, dan protein memegang peranan penting di dalam


proses kehidupan sel normal. Hal tersebut berarti bahwa gangguan yang
akan terjadi pada pembentukan atau pada fungsi zat-zat tersebut dapat
mengakibatkan kerusakan total pada sel.

2.7. Metode Pengujian Antibakteri


2.7.1. Metode Difusi
1. Cakram
Cara ini merupakan cara yang paling sering digunakan untuk
menentukan kepekaan kuman terhadap berbagai macam obat-obatan. Uji
ini dilakukan dengan menggunakan suatu cakram (paper disc) yang
berfungsi sebagai tempat menampung zat antimikroba. Cakram tersebut
kemudian diletakkan pada lempeng agar yang telah diinokulasikan
mikroba uji, kemudian diinkubasi pada waktu tertentu dan suhu tertentu
sesuai dengan kondisi optimum dari mikroba uji. Pada umumnya, hasil
yang diperoleh dapat diamati setelah inkubasi selama 18-24 jam dengan
suhu 37°C. Hasil pengamatan yang diperoleh berupa ada atau tidaknya
daerah bening yang terbentuk di sekeliling kertas cakram yang
menunjukkan zona hambat pada pertumbuhan bakteri.
Kelebihan metode ini adalah pengerjaannya mudah, tidak
membutuhkan peralatan khusus dan relatif murah. Namun memiliki
kelemahan yaitu ukuran zona bening yang terbentuk tergantung pada
kondisi inkubasi, inokulum, predifusi, dan preinkubasi, serta ketebalan
membran. Metode cakram ini tidak dapat diaplikasikan pada
mikroorganisme yang pertumbuhannya lambat dan bersifat anaerob
obligat (Jawetz, dkk., 1995).
2. Cara Parit (Ditch)
Lempengan agar yang telah diinokulasikan dengan bakteri uji
dibuat sebidang parit, parit tersebut berisi zat antibakteri, kemudian
diinkubasi pada waktu dan suhu optimum yang sesuai untuk mikroba uji.
Hasil berupa ada atau tidaknya zona hambat yang terbentuk di sekitar
parit (Jawetz, dkk., 1995).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


33

3. Cara Sumuran (Hole/Cup)


Lempengan agar yang telah diinokulasikan dengan bakteri uji
dibuat suatu lubang, lubang tersebut berisi zat antibakteri, kemudian
diinkubasi pada waktu dan suhu optimum yang sesuai untuk mikroba uji.
Hasil berupa ada atau tidaknya zona hambat yang terbentuk di sekitar
lubang (Jawetz, dkk., 1995).
4. E-test
Metode E-test digunakan untuk mengestimasi MIC (Minimum
Inhibitory Concentration) atau KHM (Kadar Hambat Minimum),
merupakan konsentrasi minimal suatu agen antimikroba untuk dapat
menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Metode ini digunakan strip
plastic yang mengandung agen antimikroba dari kadar terendah hingga
tertinggi dan diletakkan pada permukaan media Agar yang telah
ditanami mikroorganisme. Pengamatan dilakukan pada area jernih yang
ditimbulkannya yang menunjukkan kadar agen antimikroba yang
menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada media Agar (Pratiwi,
2008).
5. Gradient Plat Technique
Pada metode ini konsentrasi agen antimikroba pada media agar
secara teoritis bervariasi dari 0 hingga maksimal. Media Agar dicairkan
dan diambahkan uji. Campuran kemudian dituangkan ke dalam cawan
petri dan diletakkan dalam posisi miring. Nutrisi kedua selanjutnya
dituangkan di atasnya. Plate diinkubasi selama 24 jam untuk
memungkinkan agen antimikroba berdifusi dan permukaan media
mengering. Mikroba uji (maksimal 6 macam) digoreskan pada arah
mulai dari konsentrasi tinggi ke rendah. Hasil diperhitungkan sebagai
panjang total pertumbuhan mikroorganisme maksimum yang mungkin
dibandingkan dengan panjang pertumbuhan hasil goresan.
Bila :
X = Panjang total pertumbuhan mikroorganisme yang mungkin
Y = Panjang pertumbuhan aktual

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


34

C = Konsentrasi final agen antimikroba pada total volume media mg/mL


atau μg/mL,
Maka konsentrasi hambat yaitu:

𝑋. 𝑌 mg g
( atau µ )
𝐶 ml ml

Hal yang perlu diperhatikan adalah hasil perbandingan yang


didapat dari lingkungan padat dan cair, faktor difusi agen antimikroba
dapat mempengaruhi keseluruhan hasil pada media padat (Pratiwi,
2008).

2.7.2. Metode Dilusi


Metode dilusi disebut metode pengenceran. Metode dilusi (dilution
method) menggunakan senyawa antimikroba dengan kadar yang menurun
secara bertahap, baik dengan media cair atau padat. Pada media yang
diinokulasi mikroba uji, dilarutkan senyawa antimikroba dengan menggunakan
beberapa tingkatan konsentrasi senyawa antimikroba, dan kemudian diamati
pada konsentrasi berapakah senyawa antimikrobia tersebut bersifat
menghambat atau mematikan (Jawetz dkk, 2001). Keuntungan metode ini
dibandingkan dengan metode difusi adalah dapat menentukan Kadar Hambat
Minimum (KHM) atau MIC (Minimum Inhibitory Concentration) (Koneman
dkk., 1997).
Metode dilusi dibedakan menjadi dua, sebagai berikut:
1. Metode Dilusi Cair/Broth Dilution Test
Metode ini mengukur MIC (Minimum Inhibitory Concentration)
atau Kadar hambat minimum (KHM) dan MBC (Minimum Bacteridal
Concentration)atau Kadar Bunuh Minimum (KBM). Cara yang
dilakukan yaitu dengan membuat seri pengenceran agen antimikroba
pada medium cair yang ditambahkan dengan mikroba uji. Larutan uji
agen antimikroba pada kadar terkecil terlihat jernih tanpa adanya
pertumbuhan mikroba uji ditetapkan sebagai KHM tersebut selanjutnya
dikultur ulang pada media cair tanpa penambahan mikroba uji ataupun

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


35

agen antimikroba, dan diinkubasi selama 18-24 jam. Media cair yang
tetap akan terlihat jernih setelah inkubasi ditetapkan sebagai KBM
(Pratiwi, 2008).
2. Metode Dilusi Padat/Solid Dilution Test
Metode ini serupa dengan metode dilusi cair namun menggunakan
media padat (solid). Pada metode agar dilusi digunakan satu seri plate
agar, masing-masing mengandung konsentrasi larutan uji agen
antimikroba yang berbeda. Setelah inkubasi dapat dilihat hasilnya
dengan membaca kekeruhan pada masing-masing konsentrasi sehingga
bisa ditentukan MIC (Koneman dkk., 1997). Keuntungan metode ini
adalah satu konsentrasi agen mikroba yang diuji dapat digunakan untuk
menguji beberapa mikroba uji (Pratiwi, 2008).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penelitian II dan
Laboratorium Kimia Obat Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Laboratorium Diagnostik
Bagian Mikrobiologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan
Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Waktu penelitian dimulai pada Januari hingga Juni 2017.

3.2. Alat dan Bahan Penelitian


3.2.1. Alat Penelitian
Alat yang digunakan meliputi timbangan analitik, termometer, vortex,
penjepit kayu, magnetic stirrer, hot plate, batang pengaduk, pipet tetes, kaca
arloji, spatula, cetakan sabun, oven, penangas air, pipet tetes, inkubator
(France Etuves), autoklaf (ALP Ogawa Seiki), jarum ose, api Bunsen,
mikropipet (Thermoscientific), gelas ukur (Pyrex), alumunium foil, dan cotton
swab steril.

3.2.2. Bahan Penelitian


Bahan yang digunakan meliputi bentonit, kaolin (Kamin), gliserin,
natrium hidroksida (Chengdo Huaong), asam stearat (Shadong Bio-
technology), natrium lauril sulfat, kokamidopropil betain (Evonik), butylated
hidroxytoluene, minyak kelapa sawit food grade (MKS-FG), parfum (green
tree oil), aquadest, air liur anjing, media Plate Count Agar (HiMedia), NaCl
fisiologis, media Nutrient Broth (Oxoid), Mueller Hinton Agar (Oxoid), Blood
Agar (Oxoid), Nutrient Agar (Oxoid), Mac Conkey Agar (Oxoid), kristal violet,
lugol, aseton alkohol, safranin, KaOH 3%, H₂O₂ 3%, media TSIA (Oxoid),
media urea (International Biotechnologies Inc), media indol (Oxoid), Simmon’s
Citrate Agar (Oxoid), glukosa (Oxoid), sukrosa (Oxoid), laktosa (Oxoid),

36
37

maltosa (Oxoid), manitol (Oxoid), reagen kovacs dan buffered pepton water
(Liofilchem).

3.3. Metode Penelitian


3.3.1. Preparasi Sampel Uji
3.3.1.1. Formulasi Sabun Tanah Padat
Formula sabun tanah dibuat dalam satu formula dengan empat
konsentrasi tanah yang berbeda. Tanah yang digunakan yaitu bentonit dan
kaolin.
Tabel 3.1 Formula Sabun Tanah Padat
Formula
Bahan
FB1 FB2 FB3 FB4 FK1 FK2 FK3 FK4
MKS-FG 17% 17% 17% 17% 17% 17% 17% 17%
NaOH 30% 15% 15% 15% 15% 15% 15% 15% 15%
Asam Stearat 9% 9% 9% 9% 9% 9% 9% 9%
Kokamidopropil 3% 3% 3% 3% 3% 3% 3% 3%
betain
Natrium Lauril 4% 4% 4% 4% 4% 4% 4% 4%
Sulfat
Bentonit 5% 10% 15% 20% - - - -
Kaolin - - - - 5% 10% 15% 20%
Gliserin 17% 17% 17% 17% 17% 17% 17% 17%
Butylated 0,02% 0,02% 0,02% 0,02% 0,02% 0,02% 0,02% 0,02%
Hidroxy Toluene
Aquadest Add Add Add Add Add Add Add Add
100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100%
Keterangan: MKS-FG: minyak kelapa sawit food grade

3.3.1.2. Pembuatan Sabun Tanah Padat


Bahan yang digunakan ditimbang sesuai dengan kebutuhan. Asam
stearat, minyak, BHT dilebur di dalam cawan penguap di atas penangas air
pada suhu 70°C, kemudian ditambahkan larutan NaOH 30% pada suhu 70°C,
diaduk hingga terbentuk campuran yang homogen. Campuran yang telah
terbentuk ditambahkan gliserin, natrium lauril sulfat yang telah dilarutkan
dalam air, kokamidopropil betain, tanah, dan sisa air sedikit demi sedikit pada
suhu yang sama, lalu diaduk hingga homogen. Campuran yang terbentuk
didinginkan hingga suhu 40°- 50°C dan diaduk hingga terbentuk massa yang

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


38

kental. Sediaan dituangkan ke dalam cetakan yang telah diolesi gliserin, lalu
didiamkan hingga mengeras di dalam lemari pendingin. Sediaan yang
dihasilkan dikeluarkan dari cetakan.

3.3.2. Preparasi dan Identifikasi Bakteri Air Liur Anjing


3.3.2.1. Preparasi Air Liur Anjing
Sampel air liur anjing yang digunakan dari tiga jenis anjing yang
berbeda yaitu Pitbull berumur 2 tahun, Herder berumur 4 tahun, dan Beagle
berumur 5 tahun dengan jenis kelamin jantan. Ketiga anjing berasal dari
Rumah Sakit Hewan Pendidikan Institut Pertanian Bogor, Jawa Barat. Air liur
anjing yang dikumpulkan sebanyak 0,5 ml.

3.3.2.2. Identifikasi Air Liur Anjing


1. Isolasi Bakteri
Sampel air liur anjing sebanyak 0,5 ml dilarutkan dengan
NaCL fisiologis sebanyak 4,5 ml sehingga dihasilkan 5 ml
kemudian ditumbuhkan pada media Blood Agar dan MCA,
media agar dibiarkan memadat kemudian dimasukkan ke dalam
inkubator dengan suhu 37°C selama 24 jam. Selanjutnya,
dilakukan pemisahan koloni yang berbeda dengan cara diambil
dan digoreskan pada media NA menggunakan ose steril lalu
diikubasi pada suhu 37°C selama 24 jam (Hakim, 2008 dengan
modifikasi).
2. Pewarnaan Gram
Pewarnaan Gram bertujuan untuk menentukan sampel
bakteri termasuk ke dalam kelompok bakteri Gram positif atau
bakteri Gram negatif (Kismiyati dkk., 2009). Pewarnaan Gram
dilakukan dari isolat pada media NA. Sampel yang sudah diambil
menggunakan jarum ose, diletakkan pada object glass dan
ditetesi dengan akuades steril. Selanjutnya, difiksasi dengan cara
dilewatkan diatas api. Zat warna yang diberikan adalah kristal
violet dan ditambahkan dengan lugol masing-masing selama 1

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


39

menit lalu dicuci dengan menggunakan air mengalir. Aseton


alkohol ditambahkan dan dibiarkan selama 20 detik dan segera
dicuci dengan air mengalir. Safranin diberikan dan dibiarkan
selama 1 menit, kemudian dicuci dengan air mengalir dan
dikeringkan. Bakteri diamati menggunakan mikroskop dengan
perbesaran 100 x menggunakan minyak emersi (Hakim, 2008
dengan modifikasi).
3. Uji KOH 3%
Uji KOH dilakukan untuk mengetahui Gram strain dari
bakteri. Pengujian ini menggunakan larutan KOH 3%. Isolat
yang sudah diambil dari media NA dengan menggunakan jarum
ose kemudian diletakkan pada kaca objek dan ditetesi KOH 3%.
Hasil positif ditandai dengan lendir pada kaca objek (Hakim,
2008 dengan modifikasi).
4. Uji Katalase
Uji katalase ini dilakukan untuk membedakan
mikroorganisme yang memiliki enzim katalase yang digunakan
untuk mendegredasi hidrogen peroksida yang bersifat toksik.
(Lay, 1994). Uji katalase menggunakan larutan H₂0₂ 3%. Isolat
yang sudah diambil dari media NA dengan menggunakan jarum
ose kemudian diletakkan pada kaca objek dan ditetesi KOH 3%.
Katalase positif ditandai dengan pembentukan gelembung udara
pada koloni dan sekitarnya (Hakim, 2008 dengan modifikasi).
5. Uji Oksidase
Tujuan uji oksidase adalah untuk mengetahui ada tidaknya
enzim oksidase pada bakteri (Kismiyati dkk., 2009). Uji oksidase
dilakukan dengan diteteskan reagen oksidase pada kertas saring
kemudian dioleskan bakteri pada kertas saring yang telah diberi
reagen. Oksidase positif ditandai dengan meninggalkan warna
biru pada kertas saring dalam beberapa menit (Hakim, 2008
dengan modifikasi).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


40

6. Uji Fermentasi Karbohidrat


Uji fermentasi karbohidrat bertujuan untuk mengetahui
kemampuan isolat bakteri dalam menghidrolisis karbohidrat
(Lay, 1994). Uji fermentasi karbohidrat menggunakan glukosa,
sukrosa, laktosa, maltosa dan manitol yang menggunakan
indikator Brom Cresol Purple (BPC) atau Phenol Red (PR)
sebagai indikator pH. Isolat bakteri masing-masing diinokulasi
ke tiap karbohidrat meggunakan ose steril secara hati-hati (tidak
menimbulkan gelembung gas dalam tabung Durham). Lima
tabung karbohidrat tersebut diinkubasi dalam inkubator pada
suhu 37°C selama 24 jam. Hasil yang positif menunjukan adanya
perubahan warna dari merah menjadi jingga dan gelembung gas
yang terperangkap pada tabung durham tersebut (Hakim, 2008
dengan modifikasi).
7. Uji Indol
Uji indol digunakan untuk mengetahui apakah dalam proses
pertumbuhannya bakteri dapat membentuk indol dari asam amino
esential triptofan. (Lay, 1994). Uji indol menggunakan media
semi padat yang kaya triptofan dan reagen Kovacs. Isolat
diinokulasikan ke dalam media semi padat dengan cara
menusukkan needle steril hingga kedalaman 1/2 bagian dari
permulaan media, lalu diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 – 48
jam. Hari kedua ditambahkan reagen Kovacs ke dalam agar semi
padat dan diamati setelah beberapa menit. Uji indol positif
ditunjukkan dengan menghasilkan cincin warna merah pada
permukaan media (Hakim, 2008 dengan modifikasi).
8. Uji Sitrat
Uji sitrat digunakan untuk melihat kemampuan
mikroorganisme untuk menggunakan sitrat sebagai satu-satunya
sumber karbon dan energi (Capuccino dan Sherman, 1992). Uji
sitrat menggunakan media Simmon’s citrate agar. Isolat
diinokulasikan ke dalam media dengan menggunakan goresan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


41

pada bagian miring lalu diinkubasi pada suhu 37°C selama 48


jam. Uji sitrat positif ditandai dengan perubahan warna media
dari hijau menjadi biru (Hakim, 2008 dengan modifikasi).
9. Uji Urea
Uji ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan bakteri
dalam menghidrolisis urea dengan menggunakan enzim urease
dan mengubah pH media dari pH netral menjadi basa (Lay,
1994). Uji urea menggunakan media padat urea. Isolat
diinokulasikan ke dalam media dengan menggunakan goresan
pada bagian miring lalu diinkubasi pada suhu 37°C selama 12-24
jam. Uji urea positif ditandai dengan perubahan warna media
menjadi merah muda (Hakim, 2008 dengan modifikasi).
10. Uji TSIA
Uji TSIA (Triple Sugar Iron Agar) bertujuan untuk
membedakan jenis bakteri berdasarkan kemampuan memecahkan
dekstrosa, laktosa, sukrosa dan pembebasan sulfida. Selain itu,
uji TSIA berfungsi untuk mengetahui kemampuan bakteri
tersebut menghasilkan gas (Kismiyati dkk., 2009). Uji TSIA
menggunakan semi padat agar. Isolat diinokulasikan ke dalam
media semi padat dengan cara menusukkan needle steril hingga
kedalaman 3/4 bagian dari permukaan media dan menggoreskan
pada bagian miring agar, lalu diinkubasi pada suhu 37°C selama
24 – 48 jam. Uji TSIA positif ditunjukkan dengan adanya
pembentukan gas dan endapan H₂S berwarna hitam pada media
(Hakim, 2008 dengan modifikasi).

3.3.3. Preparasi Suspensi Bakteri Air Liur Anjing


Bakteri air liur anjing yang telah tumbuh di media Nutrient Agar
diambil satu ose lalu dimasukkan ke dalam larutan NaCl fisiologis sebanyak 10
ml. Selanjunya dihomogenkan dengan vortex. Campuran tersebut dibandingkan
dengan larutan Mc Farland I yang setara dengan 3x10⁸ cfu/ml (Widyastutik
dkk., 2013).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


42

3.3.4. Perhitungan Jumlah Total Bakteri Air Liur Anjing


Suspensi bakteri air liur anjing sebanyak 1 ml dilarutkan dengan NaCl
fisiologis sebanyak 9 ml, kemudian didapatkan hasil pengenceran 10-1 ,
selanjutnya dilakukan pengenceran 1:100 dengan memindahkan 1 ml dari
pengenceran 10-2 ke dalam larutan NaCl fisiologis sebanyak 9 ml dan
dihomogenkan menggunakan vortex dengan cara yang sama (10-3 , 10-4 , dan
seterusnya hingga 10-8 ). Media PCA (Plate Count Agar) sebanyak 10-15 ml
dimasukkan ke dalam masing-masing cawan petri pada suhu 40°-50°C
kemudian media agar dibiarkan memadat. Hasil pengenceran (10-1 hingga 10-8 )
dimasukkan ke dalam masing-masing cawan petri sebanyak 0,1 ml, kemudian
disebar di atas media. Cawan petri dimasukkan ke dalam inkubator dengan
suhu 37°C selama 24 jam, dilakukan secara duplo dan dihitung jumlah koloni
dengan standart plate count 30-300 cfu/ml pada kedua cawan petri kemudian
dihitung rata-ratanya (Hakim, 2008).

3.3.5. Preparasi Uji Aktivitas Antibakteri Sabun Tanah Padat Bentonit


dan Kaolin terhadap Bakteri Air Liur Anjing Menggunakan Uji
Dilusi Padat
Sabun tanah (0%, 5%, 10%, 15%, dan 20%) dilarutkan dengan NaCl
fisiologis (1:1), kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi
Nutrient Broth. Suspensi bakteri ditambahkan pada campuran media dan tanah
tersebut. Kontrol media (KM) dan kontrol bakteri (KB) dimasukan ke dalam
tabung lainnya. Seluruh tabung divortex hingga homogen. Selanjutnya
diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam pada inkubator. Campuran tersebut
dimasukkan ke dalam cawan petri kemudian media MHA (Mueller Hinton
Agar) sebanyak 10-15 ml dimasukkan ke dalam cawan petri, lalu
dihomogenkan (metode pour plate). Selanjutnya, diinkubasi pada suhu 37°C
selama 24 jam pada inkubator kemudian dihitung jumlah bakteri yang tumbuh.
Selain sabun tanah, dilakukan uji dilusi padat pada kontrol tanah bentonit dan
kaolin dengan konsentrasi 2,5%, 5%, 7,5%, dan 10% (Atikah, 2013; Dewi,
2010 dengan modifikasi).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


43

3.3.6. Preparasi Uji Swab Sabun Tanah Padat Bentonit dan Kaolin
terhadap Bakteri Air Liur Anjing
Suspensi bakteri sebanyak dituangkan ke salah satu telapak tangan
kemudian digosokkan pada kedua telapak tangan. Telapak tangan dicuci
menggunakan sabun bentonit dan kaolin dengan konsentrasi 0%, 5%, 10%,
15%, dan 20% masing-masing sebanyak 1 kali pada pada bilasan pertama dan
diswab, kemudian dicuci menggunakan akuades steril dan diswab kembali
menggunakan cotton swab dengan membentuk lingkaran berdiameter 0,5 cm
(bilasan kedua hingga ketujuh). Cotton swab dimasukkan ke dalam tabung
reaksi yang telah berisi larutan 0,1% buffered pepton water dan dihomogen.
Larutan yang berisi cotton swab diambil dan dimasukkan ke dalam 0,1%
buffered pepton water, kemudian didapatkan hasil pengenceran 10 -1 . Hasil
pengenceran 10-1 dimasukkan ke dalam cawan petri kemudian media PCA
(Plate Count Agar) sebanyak 10-15 ml dimasukkan ke dalam cawan petri pada
suhu 40°-50°C, lalu dihomogenkan (metode pour plate). Selanjutnya,
diinkubasi selama 24 jam (37°C), kemudian dihitung jumlah bakteri yang
bertahan. Selain sabun tanah, dilakukan uji swab pada kontrol tanah bentonit
dan kaolin dengan konsentrasi 5%, 10%, 15%, dan 20% (Hakim, 2008 dengan
modifikasi).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Pembuatan Sabun Tanah Padat


Pembuatan sabun tanah dalam penelitian ini menggunakan variasi
konsentrasi tanah yaitu bentonit dan kaolin. Formula sabun yang digunakan
yaitu uji pendahuluan yang dilakukan oleh Anggraeni (2016). Formula sabun
padat bentonit dan kaolin yang dibuat Anggareni (2016) yang memvariasikan
konsentrasi bentonit dan kaolin. Peneliti membuat sebanyak delapan formula
sabun padat menggunakan variasi konsentrasi tanah serta satu formula tanpa
kandungan kaolin dan bentonit sebagai kontrol negatif. Sabun yang
menggunakan bentonit memiliki warna coklat, sedangkan sabun yang
menggunakan kaolin memiliki warna putih. Sabun tanah yang dibuat berbenuk
padat.

(a) (b)

(c) (d)

Keterangan: FK1 (a); FK2 (b); FK3 (c); FK4 (d).

Gambar 4.1 Sabun Tanah Padat Kaolin

44
45

(a) (b)

(c) (d)
Keterangan: FB1 (a); FB2 (b); FB3 (c); FB4 (d).

Gambar 4.2 Sabun Tanah Padat Bentonit

4.2. Identifikasi Bakteri Air Liur Anjing


Isolasi bakteri dilakukan dengan mengunakan media MCA atau
Mac Conkey Agar dan Blood Agar. Mac Conkey Agar digunakan untuk
mendeteksi dan isolasi bakteri Gram negatif. Media agar ini selektif karena
memiliki konsentrasi garam empedu yang dapat menghambat mikroorganisme
Gram positif (HiMedialabs, 2011). Media Blood Agar digunakan untuk
menumbuhkan dan mengisolasi mikroorganisme yang membutuhkan darah
untuk pertumbuhannya. Agar darah juga digunakan untuk mendeteksi dan
membedakan kemampuan hemolisis bakteri (Mims, 1982; Carter, 1986;
Cheesbrough, 1991).
Tabel 4.1 menunjukkan hasil isolasi bakteri dari ketiga anjing.
Berdasarkan tabel di atas, anjing Pitbull, Herder, dan Beagle masing-masing
memiliki 5 isolat bakteri, 4 isolat bakteri, dan 5 isolat bakteri. Isolat bakteri 1,
4, dan 5 pada anjing Pitbull menghasilkan β-hemolisis yang dapat melisiskan
lengkap sel darah merah dan hemoglobin. Isolat bakteri 1 dan 3 pada anjing
Herder menghasilkan γ-hemolisis yaitu tidak dapat melisiskan darah dan isolat
bakteri 1 pada anjing Beagle menghasilkan α-hemolisis yaitu dapat melisiskan
secara parsial atau sebagian sel darah dan hemoglobin. Hal ini menunjukkan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


46

bahwa keenam isolat bakteri merupakan bakteri Gram positif. Sebagian besar
isolat bakteri yang dihasilkan, tumbuh pada media MacConkey Agar yang
selektif pada pertumbuhan bakteri Gram negatif.

Tabel 4.1 Isolasi Bakteri Air Liur Anjing pada Media MCA dan Agar Darah
Nama Hasil Uji
Isolat MCA Agar Darah
Anjing Pitbull
1 Tidak tumbuh β-hemolisis
2 Tumbuh
3 Tumbuh
4 Tidak tumbuh β-hemolisis
5 Tidak tumbuh β-hemolisis
Anjing Herder
1 Tidak tumbuh γ-hemolisis
2 Tumbuh
3 Tidak tumbuh γ-hemolisis
4 Tumbuh
Anjing Beagle
1 Tidak tumbuh α-hemolisis
2 Tumbuh
3 Tumbuh
4 Tumbuh
5 Tumbuh

Tabel 4.2 Pewarnaan Gram dan Uji Biokimia Bakteri Air Liur Anjing Pitbull
No Identifikasi Nama Isolat Bakteri
Bakteri 1 2 3 4 5
Karakterisasi Morfologi Mikroskopik
1 Bentuk sel Batang Batang Batang Batang Batang
2 Warna Ungu Merah Merah Ungu Ungu
3 Gram + - - + +
Karakterisasi Biokimia
4 KaOH 3% - + + - -
5 Uji Katalase + - - + +
6 Uji Oksidase + - - + +
7 Fermentasi
Karbohidrat
- Glukosa + + + + +
- Laktosa + + + + +
- Maltosa + + + + +
- Manitol + - - + +
- Sukrosa + + + + +
8 Uji Urea - - - - -
9 TSIA - - - - -
10 Uji Indol - - - - -
11 Uji Sitrat - - - - -

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


47

Tabel 4.3 Pewarnaan Gram dan Uji Biokimia Bakteri Air Liur Anjing Herder
No Identifikasi Nama Isolat Bakteri
Bakteri 1 2 3 4
Karakterisasi Morfologi Mikroskopik
1 Bentuk sel Bulat Batang Bulat Bulat
2 Warna Ungu Merah Ungu Merah
3 Gram + - + -
Karakterisasi Biokimia
4 KaOH 3% - + - +
5 Uji Katalase + + + +
6 Uji Oksidase + + + +
7 Uji Fermentasi
Karbohidrat
- Glukosa + + + +
- Laktosa + + + +
- Maltosa + + + +
- Manitol + + + +
- Sukrosa + + + +
8 Uji Urea + - + +
9 TSIA - - - -
10 Uji Indol - - - -
11 Uji Sitrat - - - -

Tabel 4.4 Pewarnaan Gram dan Uji Biokimia Bakteri Air Liur Anjing Beagle
No Identifikasi Nama Isolat Bakteri
Bakteri 1 2 3 4 5
Karakterisasi Morfologi Mikroskopik
1 Bentuk sel Bulat Batang Bulat Batang Bulat
2 Warna Ungu Merah Merah Merah Merah
3 Gram + - - - -
Karakterisasi Biokimia
4 KaOH 3% - + + + +
5 Uji Katalase + + + + +
6 Uji Oksidase + + + + +
7 Uji Fermentasi
Karbohidrat
- Glukosa + + + + +
- Laktosa + + + + +
- Maltosa + + + + +
- Manitol + + + + +
- Sukrosa + + + + +
8 Uji Urea + - + - +
9 TSIA - - - - -
10 Uji Indol - - - - -
11 Uji Sitrat - - - - -

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


48

Hasil pewarnaan Gram dan uji biokimia pada bakteri air liur anjing
Pitbull, Herder, dan Beagle masing-masing ditunjukkan pada tabel 4.2, 4.3,
4.4. Pewarnaan Gram bertujuan untuk menentukan sampel bakteri termasuk
ke dalam kelompok bakteri Gram positif atau bakteri Gram negatif. Bakteri
Gram positif akan mempertahankan zat pewarna kristal violet sehingga
menghasilkan warna ungu tua. Bakteri Gram negatif akan kehilangan kristal
violet ketika dicuci dengan asetil alkohol, kemudian diberi zat pewarna
safranin menghasilkan warna merah (Pelczar & Chan, 2008).
Uji KOH 3% pada bakteri Gram negatif menghasilkan lendir pada
kaca objek sedangkan pada bakteri Gram positif tidak menghasilkan lendir
pada kaca objek. Kelompok bakteri Gram negatif memiliki komponen
peptidoglikan yang tipis sehingga sel bakteri Gram negatif akan mudah pecah
(Waluyo, 2005). Isolat bakteri 1, 4, dan 5 pada anjing Pitbull, 1 dan 3 pada
anjing Herder, serta 1 pada anjing Beagle tidak menghasilkan lendir dan
berwarna ungu sehingga dikategorikan bakteri Gram positif. Isolat bakteri 2
dan 3 pada anjing Pitbull, 2 dan 4 pada anjing Herder, serta 2, 3, 4, dan 5 pada
anjing Beagle menghasilkan lendir dan berwarna merah sehingga
dikategorikan bakteri Gram negatif.
Uji katalase yang positif ditandai dengan terbentuknya gelembung
udara. Gelembung udara terbentuk karena degradasi H2 O2 oleh enzim katalase
menjadi oksigen. H2 O 2 3% sebagai pereaksi besifat toksik karena
menginaktifasikan enzim dalam sel. Uji oksidase yang bernilai positif
ditandai dengan kertas yang berubah menjadi warna biru. Perubahan warna
menunjukkan adanya enzim oksidase pada bakteri. Isolat bakteri 2 dan 3 pada
anjing Pitbull menghasilkan uji oksidase dan katalase negatif sedangkan isolat
bakteri lainnya menghasilkan uji positif.
Fermentasi karbohidrat dilakukan pada media glukosa, laktosa,
maltosa, manitol, dan sukrosa. Hasil yang positif akan menunjukkan
perubahan warna dari merah menjadi jingga maupun kuning. Motil dan non-
motil pada bakteri dapat diuji dengan menggunakan uji indol. Isolat bakteri
melayang di permukaan agar maka menandakan adanya pergerakan atau
motilitas. Isolat bakteri yang berada di atas permukaan agar, menandakan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


49

tidak adanya pergerakan. Uji indol yang bernilai positif akan menghasilkan
cincin warna merah pada permukaan media sebagai pembentukan indol. Hasil
uji indol pada ketiga sampel anjing menunjukkan nilai negatif. Isolat bakteri
anjing Herder dan Beagle melayang di permukaan agar sehingga bakteri
tersebut motil atau dapat bergerak.
Uji TSIA dilakukan untuk melihat pembentukan H₂S dan gas pada
isolat bakteri. Hasil yang bernilai positif ditandai dengan endapan warna
hitam. Isolat bakteri air liur ketiga anjing menunjukkan hasil negatif yaitu
tidak adanya endapan hitam dan gas di agar.
Uji sitrat yang bernilai positif ditandai dengan perubahan warna pada
medium Simmon’s Citrate Agar dari warna hijau menjadi warna biru
sedangkan uji yang bernilai negatif tidak ada perubahan warna. Hal ini
menunjukkan adanya penggunaan sitrat sebagai sumber karbon (Anggraini
dkk, 2016). Isolat bakteri 1, 3, dan 4 pada anjing Herder serta 1, 3, dan 5 pada
anjing Beagle menunjukkan hasil positif yang ditandai perubahan warna agar
menjadi biru.
Uji urea yang menghasilkan nilai positif menunjukkan isolat bakteri
memiliki enzim urease yang dapat memecah urea. Hasil uji isolat bakteri yang
benilai positif ditandai dengan adanya perubahan warna kuning menjadi
merah muda pada media. Isolat bakteri 3 dan 4 pada anjing Herder serta 5
pada anjing Beagle menunjukkan hasil yang positif yaitu adanya perubahan
warna menjadi merah muda.
Berdasarkan hasil uji pewarnaan Gram, uji biokimia dan identifikasi
menggunakan buku Bergey’s Manual of Systematic Bacteriology dan Manual
for the Identification of Medical Bacteria terdapat 6 genus bakteri pada ketiga
sampel anjing. Genus bakteri yang teridentifikasi pada anjing Pitbull yaitu
Bacillus sp.dan Shigella sp. Anjing Herder memiliki 3 genus yang berbeda
yaitu Micrococcus sp., Shigella sp., dan Neisseria sp. sedangkan anjing
Beagle memiliki 3 genus yang berbeda yaitu Micrococcus sp., Pseudomonas
sp., dan Neisseria sp. Genus bakteri yang sama belum tentu memiliki spesies
bakteri yang sama.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


50

Tabel 4.5 Hasil Identifikasi Bakteri Air Liur Anjing


Nama Isolat Bakteri
Anjing Pitbull
1 Bacillus sp.
2 Shigella sp.
3 Shigella sp.
4 Bacillus sp.
5 Bacillus sp.
Anjing Herder
1 Micrococcus sp.
2 Actinobacillus sp.
3 Micrococcus sp.
4 Neisseria sp.
Anjing Beagle
1 Micrococcus sp.
2 Pseudomonas sp.
3 Neisseria sp.
4 Pseudomonas sp.
5 Neisseria sp.

4.3. Perhitungan Jumlah Total Bakteri Air Liur Anjing


Tabel 4.6 Total Bakteri Air Liur Anjing
Nama Hasil Total Pengenceran (cfu/ml) Rata-
Sampel rata
Total
10ˉ¹ 10ˉ² 10ˉ³ 10ˉ⁴ 10ˉ⁵ 10ˉ⁶ 10ˉ⁷ 10ˉ⁸
Bakteri
(cfu/ml)
A1 242 230 212 122 39 27 0 0 1,6x10⁷
A2 ∞ 232 200 89 53 38 3 1 4,4x10⁷
A3 ∞ ∞ 280 80 54 3 3 0 1,6x10⁶
Keterangan:
A1: Anjing Pitbull; A2: Anjing Herder; A3: Anjing Beagle;

Wasteson dan Hornes (2009) mengemukakan bahwa tujuan pengenceran


bertingkat adalah memperkecil atau mengurangi jumlah mikroba yang
tersuspensi dalam cairan. Penentuan banyaknya tingkat pengenceran
tergantung perkiraan jumlah bakteri dalam sampel. Tabel 4.6 menunjukkan
hasil dari total bakteri air liur anjing pada ketiga anjing. Rata-rata total bakteri
air liur anjing Pitbull, Herder, Beagle masing-masing yaitu 1,6x10⁷, 4,4x10⁷,
dan 1,6x10⁶ cfu/cm². Air liur anjing Herder memiliki jumlah bakteri tertinggi
sedangkan air liur anjing Beagle memiliki jumlah bakteri terendah.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


51

4.4. Uji Aktivitas Antibakteri Sabun Tanah Padat Bentonit dan Kaolin
terhadap Bakteri Air Liur Anjing
Uji potensi aktivitas antibakteri pada bentonit dan kaolin dilakukan
dengan menggunakan metode dilusi. Uji dilusi dilakukan untuk mengamati
aktivitas antibakteri yang kontak langsung dengan mikroorganisme. Clay
(tanah) berbentuk koloid sehingga sukar untuk berdifusi ke dalam agar. Koloid
memiliki nilai difusi yang rendah sehingga metode dilusi tepat untuk
digunakan (Yumike, 2014). Mekanisme kerja dari clay (tanah) yaitu adsorpsi
dan pertukaran kation sehingga perlu adanya kontak langsung antara clay
(tanah) dan bakteri (William dan Haydel, 2010; Galimberti, 2011). Pemilihan
metode dilusi padat dibandingkan dengan dilusi cair karena bentonit dan kaolin
sangat keruh sehingga tidak dapat dibaca oleh spektrofotometer UV-Vis.
Tabel 4.7 menunjukkan bahwa sabun tanah padat dan tanpa penambahan
tanah dapat menghambat bakteri air liur anjing. Hasil uji dilusi padat sabun
tanah dan tanpa tanah menunjukkan jumlah bakteri yang tumbuh di media lebih
sedikit dibandingkan dengan hasil dilusi padat tanah bentonit dan kaolin saja.
Hal ini kemungkinan disebabkan adanya bahan-bahan dalam formula sabun
yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Bahan yang dimaksud yaitu
gliserin dan BHT atau Butylated Hidroxytoluene sebagai antioksidan dalam
formula sabun dengan menghambat proses oksidasi (Anggraini, 2007). Bakteri
mendapatkan sumber energi dari proses oksidasi senyawa organik sehingga
apabila proses oksidasi itu dihambat, bakteri akan kehilangan sumber
energinya. Gliserin dapat berfungsi sebagai antimikroba pada tingkat
konsentrasi < 25% (Rowe, dkk., 2009).
Uji dilusi padat sabun tanpa penambahan tanah menghasilkan jumlah
bakteri yang lebih banyak dibandingkan dengan sabun yang ditambahkan tanah
bentonit dan kaolin. Penelitian ini menunjukkan bahwa bahan tanah yang
ditambahkan dalam pembuatan sabun memiliki kemampuan lebih tinggi untuk
mengurangi jumlah bakteri yang tumbuh. Penambahan konsentrasi tanah dapat
meningkatkan kemampuan sabun untuk menahan pertumbuhan bakteri.
Semakin tinggi konsentrasi bentonit dan kaolin maka semakin rendah bakteri
yang tumbuh di media agar.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


52

Tabel 4.7 Hasil Uji Dilusi Padat Sabun Tanah Bentonit dan Kaolin

Jumlah Bakteri (x10⁶ cfu/ml)


Sampel
A1 A2 A3
KM 0 0 0
KB ∞ ∞ ∞
F0 172 106 128
FB1 87 77 47
FB2 50 38 47
FB3 26 38 28
FB4 21 20 13
FK1 90 88 116
FK2 38 41 60
FK3 37 40 40
FK4 29 18 17
Keterangan:
KM: Media yang tidak diberi bakteri; KB: Media yang diberi bakteri; A1:
Anjing Pitbull; A2: Anjing Herder; A3: Anjing Beagle; KM: Kontrol media;
KB: kontrol bakteri; FS0: Sabun tanpa bentonit dan kaolin; FB1: Sabun bentonit
konsentrasi 5%; FK1: Sabun kaolin konsentrasi 5%; FB2: Sabun bentonit
konsentrasi 10%; FK2: Sabun kaolin konsentrasi 10%; FB3: Sabun bentonit
konsentrasi 15%; FK3: Sabun kaolin konsentrasi 15%; FB4: Sabun bentonit
konsentrasi 20%; FK4: Sabun kaolin konsentrasi 20%; ∞: Tidak terhingga.

Tabel 4.8 Hasil Uji Dilusi Padat Tanah Bentonit dan Kaolin
Jumlah Bakteri (x10⁶ cfu/ml)
Sampel
A1 A2 A3
KM 0 0 0
KB ∞ ∞ ∞
TB1* ∞ ∞ ∞
TB2* ∞ ∞ ∞
TB3* ∞ ∞ ∞
TB4* ∞ ∞ ∞
TK1* ∞ ∞ ∞
TK2* ∞ ∞ ∞
TK3* ∞ ∞ ∞
TK4* ∞ ∞ ∞
Keterangan:
KM: Media yang tidak diberi bakteri; KB: Media yang diberi bakteri; A1:
Anjing Pitbull; A2: Anjing Herder; A3: Anjing Beagle; TB1*: Tanah bentonit
konsentrasi 2,5%; TK1*: Tanah kaolin konsentrasi 2,5%; TB2*: Tanah bentonit
konsentrasi 5%; TK2*: Tanah kaolin konsentrasi 5%; TB3*: Tanah bentonit
konsentrasi 7,5%; TK3*: Tanah kaolin konsentrasi 7,5%; TB4*: Tanah bentonit
konsentrasi 10%; TK4*: Tanah kaolin konsentrasi 10% ; ∞: Tidak terhingga.

Selain sabun tanah dan tanpa penambahan tanah, uji dilusi padat
dilakukan pada kontrol tanah bentonit dan kaolin saja. Tabel 4.8 menunjukkan
hasil uji dilusi padat tanah bentonit dan kaolin. Hasil uji dilusi padat tanah

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


53

bentonit dan kaolin adalah bakteri yang tumbuh di media berjumlah tidak
terhingga. Penelitian ini menunjukkan bahwa tanah kaolin dan bentonit tidak
dapat menghambat maupun membunuh bakteri air liur anjing. Hal ini sejalan
dengan penelitian Hassouna dkk. (2016) bahwa natural clay tidak dapat
menghambat pertumbuhan bakteri

4.5. Uji Swab Sabun Tanah Padat Bentonit dan Kaolin terhadap Bakteri
Air Liur Anjing
Tabel 4.9 menunjukkan hasil uji swab sabun tanah padat bentonit dan
kaolin. Hasil uji swab sabun tanah sebanyak tujuh kali penyucian menunjukkan
tidak adanya bakteri yang tertinggal di tangan. Penyucian menggunakan sabun
clay bentonit dan kaolin dengan konsentrasi 15% dan 20% dari awal penyucian
dapat menghilangkan seluruh bakteri air liur anjing pada tangan. Standar
perhitungan bakteri menggunakan metode swab didasarkan pada penelitian
yang dilakukan Sneed dkk. (2004), hasil total plate count dikategorikan baik
apabila jumlah cemaran sebanyak < 20 cfu/cm². Sabun tanah padat bentonit
dan kaolin yang digunakan untuk penyucian bakteri air liur anjing
dikategorikan baik karena jumlah bakteri yang tumbuh di media sebanyak < 20
cfu/cm².
Penyucian dengan menggunakan sabun tanpa penambahan clay tidak
mampu membilas seluruh bakteri air liur anjing hingga tujuh kali penyucian.
Ini menunjukkan bahwa penambahan tanah dapat meningkatkan kerja sabun
untuk membilas bakteri. Semakin tinggi konsentrasi tanah maka akan semakin
banyak jumlah bakteri yang hilang pada penyucian awal. Kerja tanah (clay)
yang dapat mengikat bakteri dengan cara adsorpsi dan pertukaran kation,
meningkatkan pembilasan bakteri di tangan.
Sabun yang dibuat pada penelitian ini merupakan sabun berbasis
minyak dan surfaktan. Mekanisme pembersihan sabun adalah dengan
menurunkan tegangan antarmuka antara kotoran dan pemukaan kulit. Surfaktan
akan membentuk misel dengan kotoran yang terjebak di dalamnya, sehingga
ketika pembilasan misel akan terbawa oleh air dan kotoran akan ikut terbawa.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


54

Tabel 4.9 Hasil Uji Swab Sabun Tanah Bentonit dan Kaolin
Jumlah Bakteri (cfu/cm²)
Sampel Penyucian
A1 A2 A3
0* - ∞ ∞ ∞
F0 1 2,2x10³ 1,6x10³ 1,3x10³
3 9,6x10² 1,3x10³ 9,6x10²
5 <300 9,6x10 9,6x10²
7 <300 <300 0
FB1 1 <300 1,6x10³ 1,6x10³
3 <300 1,3x10³ <300
5 <300 0 0
7 0 0 0
FB2 1 <300 <300 <300
3 <300 0 0
5 0 0 0
7 0 0 0
FB3 1 0 0 0
3 0 0 0
5 0 0 0
7 0 0 0
FB4 1 0 0 0
3 0 0 0
5 0 0 0
7 0 0 0
FK1 1 1,3x10³ 2,6x10³ <300
3 <300 <300 0
5 <300 0 0
7 0 0 0
FK2 1 <300 <300 <300
3 0 <300 0
5 0 0 0
7 0 0 0
FK3 1 0 0 0
3 0 0 0
5 0 0 0
7 0 0 0
FK4 1 0 0 0
3 0 0 0
5 0 0 0
7 0 0 0

Keterangan:
0*: Tanpa penyucian; ∞: Tidak terhingga; A1: Anjing Pitbull; A2: Anjing
Herder; A3: Anjing Beagle; FS0: Sabun tanpa bentonit dan kaolin; FB1: Sabun
bentonit konsentrasi 5%; FK1: Sabun kaolin konsentrasi 5%; FB2: Sabun
bentonit konsentrasi 10%; FK2: Sabun kaolin konsentrasi 10%; FB3: Sabun
bentonit konsentrasi 15%; FK3: Sabun kaolin konsentrasi 15%; FB4: Sabun
bentonit konsentrasi 20%; FK4: Sabun kaolin konsentrasi 20%.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


55

Selain sabun tanah dan tanpa penambahan tanah, uji swab dilakukan
pada kontrol tanah bentonit dan kaolin saja. Tabel 4.10 menunjukkan hasil uji
swab tanah bentonit dan kaolin terhadap bakteri air liur anjing. Hasil uji swab
tanah bentonit dan kaolin sebanyak tujuh kali penyucian menunjukkan tidak
adanya bakteri yang tertinggal di tangan. Penyucian dengan kaolin konsentrasi
20% pada awal penyucian dapat menghilangkan seluruh bakteri air liur anjing
Beagle.
Tanah bentonit dan kaolin yang digunakan untuk penyucian bakteri air
liur anjing dikategorikan baik karena jumlah bakteri yang tumbuh di media
sebanyak < 20 cfu/cm². Clay atau tanah mampu membilas bakteri dengan cara
adsorpsi dan petukaran kation. Clay atau tanah memiliki kapasitas tukar kation
(KTK) yaitu kemampuan kapasitas tanah untuk menyerap dan mempertukarkan
kation (Galimberti, 2011).
Tanah dengan konsentrasi 15% tanpa diformulasikan menjadi sabun
belum mampu membilas seluruh bakteri air anjing di awal penyucian
sedangkan sabun tanah padat dengan konsentrasi 15% sudah mampu membilas
seluruh bakteri air liur anjing dari awal penyucian. Bahan tanah yang
ditambahkan pada pembuatan sabun memiliki kemampuan lebih tinggi dalam
menghilangkan bakteri dibandingkan dengan tanah tanpa diformulasikan
menjadi sabun. Ini disebabkan adanya surfaktan yang membantu membilas
bakteri pada tangan dan gliserin yang dapat berfungsi sebagai antimikroba pada
konsentrasi < 25% (Rowe, dkk., 2009).
Galimberti (2011) menyatakan bahwa bentonit yang sebagian besar
terdiri dari montmorillonit memiliki KTK sebesar 80 - 120 mek / 100 gram
sedangkan kaolin yang sebagian besar terdiri dari kaolinit memiliki KTK
sebesar 3 - 15 mek / 100 gram. KTK atau kapasitas tukar kation adalah
kemampuan kapasitas tanah untuk menyerap dan mempertukarkan kation.
Semakin besar KTK clay maka semakin besar ikatan ion antara ion negatif
permukaan clay dengan ion positif dinding sel bakteri dan semakin mudah
bertukarnya kation dengan bakteri.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


56

Tabel 4.10 Hasil Uji Swab Tanah Bentonit dan Kaolin


Jumlah Bakteri (cfu/cm²)
Sampel Penyucian
A1 A2 A3
0* - ∞ ∞ ∞
TB1 1 9,6x10² 2,6x10³ 2,6x10³
3 <300 <300 <300
5 <300 <300 0
7 0 0 0
TB2 1 <300 1,3x10³ 1,3x10
3 <300 0 <300
5 0 0 0
7 0 0 0
TB3 1 <300 9,6x10² 9,6x10²
3 0 <300 <300
5 0 0 0
7 0 0 0
TB4 1 <300 <300 <300
3 0 0 <300
5 0 0 0
7 0 0 0
TK1 1 1,2x10³ 3,5x10³ <300
3 <300 <300 <300
5 <300 <300 <300
7 0 0 0
TK2 1 <300 1,3x10³ <300
3 0 <300 0
5 0 0 0
7 0 0 0
TK3 1 1,3x10³ 9,6x10² <300
3 <300 <300 0
5 0 0 0
7 0 0 0
TK3 1 <300 <300 0
3 0 0 0
5 0 0 0
7 0 0 0

Keterangan:
0*: Tanpa penyucian; ∞: Tidak terhingga; A1: Anjing Pitbull; A2: Anjing
Herder; A3: Anjing Beagle; TB1: Tanah bentonit konsentrasi 5%; TK1: Tanah
kaolin konsentrasi 5%; TB2: Tanah bentonit konsentrasi 10%; TK2: Tanah
kaolin konsentrasi 10%; TB3: Tanah bentonit konsentrasi 15%; TK3: Tanah
kaolin konsentrasi 15%; TB4: Tanah bentonit konsentrasi 20%; TK4: Tanah
kaolin konsentrasi 20% .

Partikel-partikel tanah lempung atau clay umumnya mempunyai muatan


negatif pada permukaannya (Hardiyatmo, 1992). Interaksi clay (tanah) dan
bakteri adalah dengan gaya elektrostatistik yaitu gaya tarik menarik antara
muatan negatif permukaan clay dan muatan positif dinding sel bakteri. Bakteri

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


57

memiliki ion Ca2+ dan Mg 2+ yang berfungsi menghubungkan lipopolisakarida


pada dinding sel bakteri gram negatif, sedangkan pada bakteri gram positif
kation ini berfungsi menghubungkan asam teikoatnya (Nikaido dan Vaara,
1985).
Tabel 4.11 Hasil Uji Swab dengan Akuades Steril
Pencucian Jumlah Bakteri (cfu/cm²)
A1 A2 A3
-* ∞ ∞ ∞
1 ∞ ∞ ∞
3 2,2x10⁴ 6,4x10³ 1,9x10⁴
5 1,3x10³ 1,9x10³ <300
7 <300 9,6x10² <300
Keterangan:
0*: Tanpa penyucian; ∞: Tidak terhingga.

Selanjunya, uji swab dilakukan dengan menggunakan kontrol akuades


steril saja tanpa menggunakan tanah pada salah satu penyucian. Tabel 4.11
menunjukkan bahwa penyucian dengan menggunakan akuades steril saja tidak
dapat menghilangkan bakteri yang berasal dari air liur anjing. Jumlah bakteri
yang tertinggal lebih banyak dibandingkan dengan menggunakan tanah, sabun
yang ditambahkan tanah maupun tanpa tanah. Hal ini menunjukkan bahwa
penyucian yang hanya menggunakan air sebanyak tujuh kali tidak cukup untuk
menyuci najis mughallazah. Penggunaan tanah atau clay sangatlah penting
untuk proses pembilasan bakteri. Frekuensi pembilasan membantu mengurangi
jumlah bakteri. Semakin banyak frekuensi pembilasan maka semakin sedikit
bakteri yang tertinggal.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


BAB 5
PENUTUP

5.1. Kesimpulan
1. Uji aktivitas antibakteri menggunakan metode dilusi padat
menunjukkan penambahan tanah dengan konsentrasi 5%, 10%, 15%,
dan 20% dalam sabun dapat mengurangi jumlah pertumbuhan bakteri
air liur anjing. Semakin tinggi konsentrasi tanah maka semakin rendah
pertumbuhan bakteri.
2. Uji swab menunjukkan bahwa sabun yang mengandung tanah dengan
konsentrasi 5%, 10%, 15%, dan 20% hingga tujuh kali penyucian dapat
menghilangkan seluruh bakteri air liur anjing. Semakin tinggi
konsentrasi tanah maka semakin cepat proses pembersihan tangan dari
bakteri.
3. Kemampuan sabun tanah membersihkan bakteri lebih baik daripada
tanah saja dan sabun tanpa tanah.
4. Uji aktivitas antibakteri menggunakan metode dilusi padat dan swab
membuktikan bahwa sabun tanah dapat digunakan sebagai bahan
penyuci najis mughallazah dan dicuci dengan air sebanyak tujuh kali
yang sebagaimana telah dikutip dari Hadist Nabi yang diriwayatkan
oleh Muslim.

5.2. Saran
1. Melakukan pengujian aktivitas antibakteri terhadap DNA bakteri air
liur anjing.
2. Melakukan pengujian aktivitas antibakteri terhadap bakteri lain.
3. Melakukan pengujian aktivitas antibakteri menggunakan jenis tanah
atau clay selain bentonit dan kaolin.

58
Lampiran 1. Skema Prosedur Penelitian

Pembuatan Sabun

Pengambilan Sampel

Perhitungan Jumlah Total


Bakteri pada Sampel

Uji Aktivitas Identifikasi Bakteri pada


Antibakteri Sampel

Uji Dilusi Padat pada Uji Swab pada Tanah


Tanah dan Sabun Clay dan Sabun Clay

Pewarnaan Gram Uji Biokimia

59
60

Lampiran 2. Sertifikat Bahan Minyak Kelapa

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


61

Lampiran 3. Sertifikat Bahan Natrium Hidroksida

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


62

Lampiran 4. Sertifikat Bahan Asam Stearat

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


63

Lampiran 5. Sertifikat Bahan Kokoamidopropil Betain

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


64

Lampiran 6. Sertifikat Bahan Kaolin

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


65

Lampiran 7. Data Jumlah Total Bakteri Air Liur Anjing

Pengulangan 1
No Nama Hasil Total Pengenceran (cfu per cawan)
Sampel 10ˉ¹ 10ˉ² 10ˉ³ 10ˉ⁴ 10ˉ⁵ 10ˉ⁶ 10ˉ⁷ 10ˉ⁸
1 Anjing 1
243 230 205 120 39 22 0 0
(Pitbull)
2 Anjing 2
∞ 235 205 89 54 42 2 1
(Herder)
3 Anjing 3
∞ ∞ 280 81 56 3 2 0
(Beagle)

Pengulangan 2
No Nama Hasil Total Pengenceran (cfu per cawan)
Sampel 10ˉ¹ 10ˉ² 10ˉ³ 10ˉ⁴ 10ˉ⁵ 10ˉ⁶ 10ˉ⁷ 10ˉ⁸
1 Anjing 1
241 230 219 123 38 31 0 0
(Pitbull)
2 Anjing 2
∞ 229 195 91 52 34 4 0
(Herder)
3 Anjing 3
∞ 289 280 78 51 3 3 0
(Beagle)

Perhitungan Rata-Rata Total Bakteri Air Liur Anjing

Rumus: (Capuccino dan Sherman, 2008)

(𝑎 𝑥 10 𝑒 )+ (𝑏 𝑥 10 𝑓)+ (𝑐 𝑥 10 𝑔)+ ….𝑑𝑠𝑡


K=
𝑛

Keterangan:
K : Banyak koloni (cfu/ml)
a,b,c : Jumlah koloni bakteri
e,f,g : Faktor pengenceran
n : Banyaknya data

Contoh Perhitungan rata-rata total bakteri air liur anjing Pitbull pada pengulangan
pertama:
(242 𝑥 101 )+ (230 𝑥 102 )+ (212 𝑥 103 )+ (122 𝑥 104 )+ (39 𝑥 101 )
K= 5
= 16. 337. 420 cfu/ ml ≈ 1,6 x 10 ⁷ cfu/ml

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


66

Lampiran 8. Data Uji Dilusi Padat Sabun Tanah Bentonit dan Kaolin

Jumlah Bakteri (x10⁶ cfu per cawan)


No Perlakuan A1 A2 A3
Uji 1 Uji 2 Uji 1 Uji 2 Uji 1 Uji 2
1 FS0 170 174 106 105 127 128
2 FB1 86 88 76 78 46 48
FK1 92 88 86 89 116 116
3 FB2 49 50 36 39 50 46
FK2 39 36 41 40 60 60
4 FB3 26 25 38 37 27 28
FK3 35 39 41 39 41 39
5 FB4 20 21 20 18 14 11
FK4 30 28 18 18 18 15
Keterangan :
A1: Anjing Pitbull; A2: Anjing Herder; A3: Anjing Beagle; FS0: Sabun tanpa bentonit dan
kaolin; FB1: Sabun bentonit konsentrasi 5%; FK1: Sabun kaolin konsentrasi 5%; FB2:
Sabun bentonit konsentrasi 10%; FK2: Sabun kaolin konsentrasi 10%; FB3: Sabun bentonit
konsentrasi 15%; FK3: Sabun kaolin konsentrasi 15%; FB4: Sabun bentonit konsentrasi
20%; FK4: Sabun kaolin konsentrasi 20%; ∞: Tidak terhingga.

Lampiran 9. Data Uji Dilusi Padat Tanah Bentonit dan Kaolin

Jumlah Bakteri (cfu per cawan)


No Perlakuan Uji 1 Uji 2 Uji 1 Uji 2 Uji 1 Uji 2
A1 A2 A3
1 KM 0 0 0 0 0 0
2 KB ∞ ∞ ∞ ∞ ∞ ∞
3 TB1 ∞ ∞ ∞ ∞ ∞ ∞
TK1 ∞ ∞ ∞ ∞ ∞ ∞
4 TB2 ∞ ∞ ∞ ∞ ∞ ∞
TK2 ∞ ∞ ∞ ∞ ∞ ∞
5 TB3 ∞ ∞ ∞ ∞ ∞ ∞
TK3 ∞ ∞ ∞ ∞ ∞ ∞
6 TB4 ∞ ∞ ∞ ∞ ∞ ∞
TK4 ∞ ∞ ∞ ∞ ∞ ∞
Keterangan :
KM: Media yang tidak diberi bakteri; KB: Media yang diberi bakteri; A1: Anjing Pitbull;
A2: Anjing Herder; A3: Anjing Beagle; TB1*: Tanah bentonit konsentrasi 2,5%; TK1*:
Tanah kaolin konsentrasi 2,5%; TB2*: Tanah bentonit konsentrasi 5%; TK2*: Tanah kaolin
konsentrasi 5%; TB3*: Tanah bentonit konsentrasi 7,5%; TK3*: Tanah kaolin konsentrasi
7,5%; TB4*: Tanah bentonit konsentrasi 10%; TK4*: Tanah kaolin konsentrasi 10% ; ∞:
Tidak terhingga.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


67

Lampiran 10. Data Uji Swab Sabun Tanah Bentonit dan Kaolin

Jumlah Bakteri (cfu per cawan)


No Perlakuan Pencucian A1 A2 A3
Uji 1 Uji 2 Uji 1 Uji 2 Uji 1 Uji 2
1 0* - ∞ ∞ ∞ ∞ ∞ ∞
2 FS0 1 7 6 5 5 4 5
3 3 3 4 3 3 3
5 3 1 3 2 3 2
7 1 0 1 0 0 0
3 FB1 1 1 1 5 4 5 4
3 1 1 4 3 1 1
5 1 0 0 0 0 0
7 0 0 0 0 0 0
FK1 1 4 4 9 7 2 1
3 1 0 2 1 0 0
5 0 0 0 0 0 0
7 0 0 0 0 0 0
4 FB2 1 1 1 1 1 1 1
3 1 0 0 0 0 0
5 0 0 0 0 0 0
7 0 0 0 0 0 0
FK2 1 1 1 2 1 1 1
3 0 0 1 0 0 0
5 0 0 0 0 0 0
7 0 0 0 0 0 0
5 FB3 1 0 0 0 0 0 0
3 0 0 0 0 0 0
5 0 0 0 0 0 0
7 0 0 0 0 0 0
FK3 1 0 0 0 0 0 0
3 0 0 0 0 0 0
5 0 0 0 0 0 0
7 0 0 0 0 0 0
6 FB4 1 0 0 0 0 0 0
3 0 0 0 0 0 0
5 0 0 0 0 0 0
7 0 0 0 0 0 0
FK4 1 0 0 0 0 0 0
3 0 0 0 0 0 0
5 0 0 0 0 0 0
7 0 0 0 0 0 0
Keterangan:
0*: Tanpa penyucian; ∞: Tidak terhingga; A1: Anjing Pitbull; A2: Anjing Herder; A3:
Anjing Beagle; FS0: Sabun tanpa bentonit dan kaolin; FB1: Sabun bentonit konsentrasi 5%;
FK1: Sabun kaolin konsentrasi 5%; FB2: Sabun bentonit konsentrasi 10%; FK2: Sabun
kaolin konsentrasi 10%; FB3: Sabun bentonit konsentrasi 15%; FK3: Sabun kaolin

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


68

konsentrasi 15%; FB4: Sabun bentonit konsentrasi 20%; FK4: Sabun kaolin konsentrasi
20%.

Lampiran 11. Data Uji Swab Tanah Bentonit dan Kaolin

Jumlah Bakteri (cfu per cawan)


No Perlakuan Pencucian A1 A2 A3
Uji 1 Uji 2 Uji 1 Uji 2 Uji 1 Uji 2
1 0* - ∞ ∞ ∞ ∞ ∞ ∞
2 TB1 1 3 4 6 9 10 6
3 1 1 1 1 1 1
5 0 1 0 1 0 0
7 0 0 0 0 0 0
TK1 1 2 5 10 12 2 2
3 1 1 1 2 1 1
5 1 1 1 2 0 1
7 0 0 0 0 0 0
3 TB2 1 2 1 3 5 5 2
3 1 1 0 0 0 1
5 0 0 0 0 0 0
7 0 0 0 0 0 0
TK2 1 1 1 3 4 1 1
3 0 0 0 1 0 0
5 0 0 0 0 0 0
7 0 0 0 0 0 0
4 TB3 1 1 2 2 3 2 3
3 0 0 0 1 0 1
5 0 0 0 0 0 0
7 0 0 0 0 0 0
TK3 1 2 5 2 3 1 0
3 1 1 0 1 0 0
5 0 0 0 0 0 0
7 0 0 0 0 0 0
5 TB4 1 1 1 1 2 1 1
3 0 0 0 0 0 1
5 0 0 0 0 0 0
7 0 0 0 0 0 0
TK4 1 1 1 1 2 0 0
3 0 0 0 0 0 0
5 0 0 0 0 0 0
7 0 0 0 0 0 0

Keterangan:
0*: Bakteri air liur anjing tanpa perlakuan; ∞: Tidak terhingga; A1: Anjing Pitbull; A2:
Anjing Herder; A3: Anjing Beagle; TB1: Tanah bentonit konsentrasi 5%; TK1: Tanah
kaolin konsentrasi 5%; TB2: Tanah bentonit konsentrasi 10%; TK2: Tanah kaolin
konsentrasi 10%; TB3: Tanah bentonit konsentrasi 15%; TK3: Tanah kaolin konsentrasi
15%; TB4: Tanah bentonit konsentrasi 20%; TK4: Tanah kaolin konsentrasi 20% .

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


69

Lampiran 12. Data Uji Swab dengan Akuades Steril

Jumlah Bakteri (cfu per cawan)


Pencucian A1 A2 A3
Uji 1 Uji 2 Uji 1 Uji 2 Uji 1 Uji 2
- ∞ ∞ ∞ ∞ ∞ ∞
1 ∞ ∞ 252 ∞ ∞ ∞
3 70 69 10 30 62 58
5 3 5 3 8 1 2
7 2 1 0 3 0 1
Keterangan:
*: tanpa pencucian; ∞: tidak terhingga; A1: Anjing Pitbull; A2: Anjing Herder; A3: Anjing
Beagle.

Perhitungan jumlah bakteri (cfu/cm²) (Nugroho, 2014):


Jumlah Bakteri (cfu/ml) = Jumlah koloni x Faktor pengenceran
Faktor Pengenceran = 1
Tingkat Pengenceran
Jumlah Bakteri (cfu/cm²)= Jumlah Bakteri (cfu/ml)
Luas Daerah (cm²)
Contoh perhitungan jumlah bakteri air liur anjing Pitbull penyucian kelima
dengan akuades steril pada uji pertama:
1
Jumlah Bakteri (cfu/ml) = 3 x
10 −1

= 30 cfu/ml
30 𝑐𝑓𝑢/𝑚𝑙
Jumlah Bakteri (cfu/cm²)= , Luas daerah =
0,0312 𝑐𝑚²
1
𝑥 0,25 𝑐𝑚 𝑥 0,25 𝑐𝑚 = 0,312 cm²
2

= 961,53 cfu/cm²

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


70

Lampiran 13. Anjing yang Digunakan untuk Penelitian

(a) (b) (c)


Keterangan: Anjing Pitbull (a); Anjing Herder (b); Anjing Beagle (c).

Lampiran 14. Isolasi Bakteri Air Liur Anjing yang Ditumbuhkan di Blood
Agar

A1.1 A1.5 A2.1


A2.3
1
A3.1
A1.4

Keterangan: A1: Anjing Pitbull; A2: Anjing Herder; A3: Anjing Beagle; 1, 2, 3, 4, 5: Isolat bakteri

Lampiran 15. Isolasi Bakteri Air Liur Anjing yang Ditumbuhkan di Mac
Conkey Agar

A3.1 A2.3 A1.3


A1.2
A3.5 A2.4 A2.1
A3.2
A3.4 A3.3 A2.2 A1.1 A1.4 A1.5

Keterangan: A1: Anjing Pitbull; A2: Anjing Herder; A3: Anjing Beagle; 1, 2, 3, 4, 5: Isolat bakteri

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


71

Lampiran 16. Identifikasi Bakteri Air Liur Anjing dengan Uji Biokimia

(A1.1) (A1.2)

(A2.1) (A2.2)

(A2.4) (A3.2)
Keterangan: A1: Anjing Pitbull; A2: Anjing Herder; A3: Anjing Beagle; 1, 2, 3, 4, 5: Isolat bakteri

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


72

Lampiran 17. Identifikasi Bakteri Air Liur Anjing dengan Pewarnaan Gram

(A1.1) (A1.2) (A2.1)

(A2.3) (A3.1) (A3.3)


Keterangan: A1: Anjing Pitbull; A2: Anjing Herder; A3: Anjing Beagle; 1, 2, 3, 4, 5: Isolat bak

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


73

Lampiran 18. Hasil Uji Dilusi Padat Kontrol Bakteri

(a) (b) (c)


Keterangan: Hasil uji dilusi padat kontrol bakteri air liur anjing Pitbull (a), Herder (b), dan Beagle
(c).

Lampiran 19. Hasil Uji Dilusi Padat Tanah Bentonit Konsentrasi 2,5%

(a) (b) (c)

Keterangan: Hasil uji dilusi padat bakteri air liur anjing Pitbull (a), Herder (b), d an Beagle (c).

Lampiran 20. Hasil Uji Dilusi Padat Tanah Kaolin Konsentrasi 2,5%

(a) (b) (c)


Keterangan: Hasil uji dilusi padat bakteri air liur Anjing Pitbull (a), Herder (b), dan Beagle (c).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


74

Lampiran 21. Hasil Uji Dilusi Padat Tanah Bentonit Konsentrasi 5%

(a) (b) (c)


Keterangan: Hasil uji dilusi padat bakteri air liur anjing Pitbull (a), Herder (b), dan Beagle (c).

Lampiran 22. Hasil Uji Dilusi Padat Tanah Kaolin Konsentrasi 5%

(a) (b) (c)


Keterangan: hasil uji dilusi padat bakteri air liur anjing Pitbull (a), Herder (b), dan Beagle (c).

Lampiran 23. Hasil Uji Dilusi Padat Tanah Bentonit Konsentrasi 7,5%

(a) (b) (c)


Keterangan: Hasil uji dilusi padat bakteri air liur anjing Pitbull (a), Herder (b), dan Beagle (c).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


75

Lampiran 24. Hasil Uji Dilusi Padat Tanah Kaolin Konsentrasi 7,5%

(a) (b) (c)


Keterangan: Hasil uji dilusi padat bakteri air liur anjing Pitbull (a), Herder (b), dan Beagle (c).

Lampiran 25. Hasil Uji Dilusi Padat Tanah Bentonit Konsentrasi 10%

(a) (b) (c)


Keterangan: Hasil uji dilusi padat bakteri air liur anjing Pitbull (a), Herder (b), dan Beagle (c).

Lampiran 26. Hasil Uji Dilusi Padat Tanah Kaolin Konsentrasi 10%

(a) (b) (c)


Keterangan: Hasil uji dilusi padat bakteri air liur anjing Pitbull (a), Herder (b), dan Beagle (c).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


76

Lampiran 27. Hasil Uji Dilusi Padat Sabun Padat tanpa Penambahan Tanah

(a) (b) (c)


Keterangan: Hasil uji dilusi padat bakteri air liur anjing Pitbull (a), Herder (b), dan Beagle (c).

Lampiran 28. Hasil Uji Dilusi Padat Sabun Padat Tanah Bentonit 5%

(a) (b) (c)


Keterangan: Hasil uji dilusi padat bakteri air liur anjing Pitbull (a), Herder (b), dan Beagle (c).

Lampiran 29. Hasil Uji Dilusi Padat Sabun Padat Tanah Kaolin 5%

(a) (b) (c)


Keterangan: Hasil uji dilusi padat bakteri air liur anjing Pitbull (a), Herder (b), dan Beagle (c).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


77

Lampiran 30. Hasil Uji Dilusi Padat Sabun Padat Tanah Bentonit 10%

(a) (b) (c)


Keterangan: Hasil uji dilusi padat bakteri air liur anjing Pitbull (a), Herder (b), dan Beagle (c).

Lampiran 31. Hasil Uji Dilusi Padat Sabun Padat Tanah Kaolin 10%

(a) (b) (c)


Keterangan: Hasil uji dilusi padat bakteri air liur anjing Pitbull (a), Herder (b), dan Beagle (c).

Lampiran 32. Hasil Uji Dilusi Padat Sabun Padat Tanah Bentonit 15%

(a) (b) (c)


Keterangan: Hasil uji dilusi padat bakteri air liur anjing Pitbull (a), Herder (b), dan Beagle (c).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


78

Lampiran 33. Hasil Uji Dilusi Padat Sabun Padat Tanah Kaolin 15%

(a) (b) (c)


Keterangan: Hasil uji dilusi padat bakteri air liur anjing Pitbull (a), Herder (b), dan Beagle (c).

Lampiran 34. Hasil Uji Dilusi Padat Sabun Padat Tanah Bentonit 20%

(a) (b) (c)


Keterangan: Hasil uji dilusi padat bakteri air liur anjing Pitbull (a), Herder (b), dan Beagle (c).

Lampiran 35. Hasil Uji Dilusi Padat Sabun Padat Tanah Kaolin 20%

(a) (b) (c)


Keterangan: Hasil uji dilusi padat bakteri air liur anjing Pitbull (a), Herder (b), dan Beagle (c).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


79

Lampiran 36. Hasil Uji Swab Sebelum Penyucian

(a) (b) (c)


Keterangan: Hasil uji swab bakteri air liur anjing Pitbull (a), Herder (b), dan Beagle (c).

Lampiran 37. Hasil Uji Swab Tanah Bentonit 5% terhadap Bakteri Air Liur
Anjing Pitbull

(a) (b) (c)

(d)
Keterangan: Hasil uji swab pada penyucian pertama (a), ketiga (b), kelima (c), dan ketujuh (d).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


80

Lampiran 38. Hasil Uji Swab Tanah Bentonit 5% terhadap Bakteri Air Liur
Anjing Herder

(a) (b) (c)

(d)
Keterangan: Hasil uji swab pada penyucian pertama (a), ketiga (b), kelima (c), dan ketujuh (d).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


81

Lampiran 39. Hasil Uji Swab Tanah Bentonit 5% terhadap Bakteri Air Liur
Anjing Beagle

(a) (b) (c)

(d)
Keterangan: Hasil uji swab pada penyucian pertama (a), ketiga (b), kelima (c), dan ketujuh (d).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


82

Lampiran 40. Hasil Uji Swab Tanah Kaolin 5% terhadap Bakteri Air Liur
Anjing Pitbull

(a) (b) (c)

(d)
Keterangan: Hasil uji swab pada penyucian pertama (a), ketiga (b), kelima (c), dan ketujuh (d).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


83

Lampiran 41. Hasil Uji Swab Tanah Kaolin 5% terhadap Bakteri Air Liur
Anjing Herder

(a) (b) (c)

(d)
Keterangan: Hasil uji swab pada penyucian pertama (a), ketiga (b), kelima (c), dan ketujuh (d).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


84

Lampiran 42. Hasil Uji Swab Tanah Kaolin 5% terhadap Bakteri Air Liur
Anjing Beagle

(a) (b) (c)

(d)
Keterangan: Hasil uji swab pada penyucian pertama (a), ketiga (b), kelima (c), dan ketujuh (d).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


85

Lampiran 43. Hasil Uji Swab Tanah Bentonit 10% terhadap Bakteri Air Liur
Anjing Pitbull

(a) (b) (c)

(d)
Keterangan: Hasil uji swab pada penyucian pertama (a), ketiga (b), kelima (c), dan ketujuh (d).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


86

Lampiran 44. Hasil Uji Swab Tanah Bentonit 10% terhadap Bakteri Air Liur
Anjing Herder

(a) (b) (c)

(d)
Keterangan: Hasil uji swab pada penyucian pertama (a), ketiga (b), kelima (c), dan ketujuh (d).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


87

Lampiran 45. Hasil Uji Swab Tanah Bentonit 10% terhadap Bakteri Air Liur
Anjing Beagle

(a) (b) (c)

(d)
Keterangan: Hasil uji swab pada penyucian pertama (a), ketiga (b), kelima (c), dan ketujuh (d).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


88

Lampiran 46. Hasil Uji Swab Tanah Kaolin 10% terhadap Bakteri Air Liur
Anjing Pitbull

(a) (b) (c)

(d)
Keterangan: Hasil uji swab pada penyucian pertama (a), ketiga (b), kelima (c), dan ketujuh (d).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


89

Lampiran 47. Hasil Uji Swab Tanah Kaolin 10% terhadap Bakteri Air Liur
Anjing Herder

(a) (b) (c)

(d)
Keterangan: Hasil uji swab pada penyucian pertama (a), ketiga (b), kelima (c), dan ketujuh (d).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


90

Lampiran 48. Hasil Uji Swab Tanah Kaolin 10% terhadap Bakteri Air Liur
Anjing Beagle

(a) (b) (c)

(d)
Keterangan: Hasil uji swab pada penyucian pertama (a), ketiga (b), kelima (c), dan ketujuh (d).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


91

Lampiran 49. Hasil Uji Swab Tanah Bentonit 15% terhadap Bakteri Air Liur
Anjing Pitbull

(a) (b) (c)

(d)
Keterangan: Hasil uji swab pada penyucian pertama (a), ketiga (b), kelima (c), dan ketujuh (d).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


92

Lampiran 50. Hasil Uji Swab Tanah Bentonit 15% terhadap Bakteri Air Liur
Anjing Herder

(a) (b) (c)

(d)
Keterangan: Hasil uji swab pada penyucian pertama (a), ketiga (b), kelima (c), dan ketujuh (d).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


93

Lampiran 51. Hasil Uji Swab Tanah Bentonit 15% terhadap Bakteri Air Liur
Anjing Beagle

(a) (b) (c)

(d)
Keterangan: Hasil uji swab pada penyucian pertama (a), ketiga (b), kelima (c), dan ketujuh (d).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


94

Lampiran 52. Hasil Uji Swab Tanah Kaolin 15% terhadap Bakteri Air Liur
Anjing Pitbull

(a) (b) (c)

(d)
Keterangan: Hasil uji swab pada penyucian pertama (a), ketiga (b), kelima (c), dan ketujuh (d).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


95

Lampiran 53. Hasil Uji Swab Tanah Kaolin 15% terhadap Bakteri Air Liur
Anjing Herder

(a) (b) (c)

(d)
Keterangan: Hasil uji swab pada penyucian pertama (a), ketiga (b), kelima (c), dan ketujuh (d).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


96

Lampiran 54. Hasil Uji Swab Tanah Kaolin 15% terhadap Bakteri Air Liur
Anjing Beagle

(a) (b) (c)

(d)
Keterangan: Hasil uji swab pada penyucian pertama (a), ketiga (b), kelima (c), dan ketujuh (d).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


97

Lampiran 55. Hasil Uji Swab Tanah Bentonit 20% terhadap Bakteri Air Liur
Anjing Pitbull

(a) (b) (d)

(e)
Keterangan: Hasil uji swab pada penyucian pertama (a), ketiga (b), kelima (c), dan ketujuh (d).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


98

Lampiran 56. Hasil Uji Swab Tanah Bentonit 20% terhadap Bakteri Air Liur
Anjing Herder

(a) (b) (c)

(d)
Keterangan: Hasil uji swab pada penyucian pertama (a), ketiga (b), kelima (c), dan ketujuh (d).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


99

Lampiran 57. Hasil Uji Swab Tanah Bentonit 20% terhadap Bakteri Air Liur
Anjing Beagle

(a) (b) (c)

(d)
Keterangan: Hasil uji swab pada penyucian pertama (a), ketiga (b), kelima (c), dan ketujuh (d).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


100

Lampiran 58. Hasil Uji Swab Tanah Kaolin 20% terhadap Bakteri Air Liur
Anjing Pitbull

(a) (b) (c)

(d)
Keterangan: Hasil uji swab pada penyucian pertama (a), ketiga (b), kelima (c), dan ketujuh (d).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


101

Lampiran 59. Hasil Uji Swab Tanah Kaolin 20% terhadap Bakteri Air Liur
Anjing Herder

(a) (b) (c)

(d)
Keterangan: Hasil uji swab pada penyucian pertama (a), ketiga (b), kelima (c), dan ketujuh (d).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


102

Lampiran 60. Hasil Uji Swab Tanah Kaolin 20% terhadap Bakteri Air Liur
Anjing Beagle

(a) (b) (c)

(d)
Keterangan: Hasil uji swab pada penyucian pertama (a), ketiga (b), kelima (c), dan ketujuh (d).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


103

Lampiran 61. Hasil Uji Swab Sabun Tanah Bentonit 5% terhadap Bakteri
Air Liur Anjing Pitbull

(a) (b) (c)

(d)
Keterangan: Hasil uji swab pada penyucian pertama (a), ketiga (b), kelima (c), dan ketujuh (d).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


104

Lampiran 62. Hasil Uji Swab Sabun Tanah Bentonit 5% terhadap Bakteri
Air Liur Anjing Herder

(a) (b) (c)

(d)
Keterangan: Hasil uji swab pada penyucian pertama (a), ketiga (b), kelima (c), dan ketujuh (d).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


105

Lampiran 63. Hasil Uji Swab Sabun Tanah Bentonit 5% terhadap Bakteri
Air Liur Anjing Beagle

(a) (b) (c)

(d)
Keterangan: Hasil uji swab pada penyucian pertama (a), ketiga (b), kelima (c), dan ketujuh (d).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


106

Lampiran 64. Hasil Uji Swab Sabun Tanah Kaolin 5% terhadap Bakteri Air
Liur Anjing Pitbull

(a) (b) (c)

(d)
Keterangan: Hasil uji swab pada penyucian pertama (a), ketiga (b), kelima (c), dan ketujuh (d).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


107

Lampiran 65. Hasil Uji Swab Sabun Tanah Kaolin 5% terhadap Bakteri Air
Liur Anjing Herder

(a) (b) (c)

(d)
Keterangan: Hasil uji swab pada penyucian pertama (a), ketiga (b), kelima (c), dan ketujuh (d).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


108

Lampiran 66. Hasil Uji Swab Sabun Tanah Kaolin 5% terhadap Bakteri Air
Liur Anjing Beagle

(a) (b) (c)

(d)
Keterangan: Hasil uji swab pada penyucian pertama (a), ketiga (b), kelima (c), dan ketujuh (d).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


109

Lampiran 67. Hasil Uji Swab Sabun Tanah Bentonit 10% terhadap Bakteri
Air Liur Anjing Pitbull

(a) (b) (c)

(d)
Keterangan: Hasil uji swab pada penyucian pertama (a), ketiga (b), kelima (c), dan ketujuh (d).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


110

Lampiran 68. Hasil Uji Swab Sabun Tanah Bentonit 10% terhadap Bakteri
Air Liur Anjing Herder

(a) (b) (c)

(d)
Keterangan: Hasil uji swab pada penyucian pertama (a), ketiga (b), kelima (c), dan ketujuh (d).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


111

Lampiran 69. Hasil Uji Swab Sabun Tanah Bentonit 10% terhadap Bakteri
Air Liur Anjing Beagle

(a) (b) (c)

(d)
Keterangan: Hasil uji swab pada penyucian pertama (a), ketiga (b), kelima (c), dan ketujuh (d).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


112

Lampiran 70. Hasil Uji Swab Sabun Tanah Kaolin 10% terhadap Bakteri Air
Liur Anjing Pitbull

(a) (b) (c)

(d)
Keterangan: Hasil uji swab pada penyucian pertama (a), ketiga (b), kelima (c), dan ketujuh (d).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


113

Lampiran 71. Hasil Uji Swab Sabun Tanah Kaolin 10% terhadap Bakteri Air
Liur Anjing Herder

(a) (b) (c)

(d)
Keterangan: Hasil uji swab pada penyucian pertama (a), ketiga (b), kelima (c), dan ketujuh (d).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


114

Lampiran 72. Hasil Uji Swab Sabun Tanah Kaolin 10% terhadap Bakteri Air
Liur Anjing Beagle

(a) (b) (c)

(d)
Keterangan: Hasil uji swab pada penyucian pertama (a), ketiga (b), kelima (c), dan ketujuh (d).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


115

Lampiran 73. Hasil Uji Swab Sabun Tanah Bentonit 15% terhadap Bakteri
Air Liur Anjing Pitbull

(a) (b) (c)

(d)
Keterangan: Hasil uji swab pada penyucian pertama (a), ketiga (b), kelima (c), dan ketujuh (d).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


116

Lampiran 74. Hasil Uji Swab Sabun Tanah Bentonit 15% terhadap Bakteri
Air Liur Anjing Herder

(a) (b) (c)

(d)
Keterangan: Hasil uji swab pada penyucian pertama (a), ketiga (b), kelima (c), dan ketujuh (d).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


117

Lampiran 75. Hasil Uji Swab Sabun Tanah Bentonit 15% terhadap Bakteri
Air Liur Anjing Beagle

(a) (b) (c)

(d)
Keterangan: Hasil uji swab pada penyucian pertama (a), ketiga (b), kelima (c), dan ketujuh (d).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


118

Lampiran 76. Hasil Uji Swab Sabun Tanah Kaolin 15% terhadap Bakteri Air
Liur Anjing Pitbull

(a) (b) (c)

(d)
Keterangan: Hasil uji swab pada penyucian pertama (a), ketiga (b), kelima (c), dan ketujuh (d).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


119

Lampiran 77. Hasil Uji Swab Sabun Tanah Kaolin 15% terhadap Bakteri Air
Liur Anjing Herder

(a) (b) (c)

(d)
Keterangan: Hasil uji swab pada penyucian pertama (a), ketiga (b), kelima (c), dan ketujuh (d).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


120

Lampiran 78. Hasil Uji Swab Sabun Tanah Kaolin 15% terhadap Bakteri Air
Liur Anjing Beagle

(a) (b) (c)

(d)
Keterangan: Hasil uji swab pada penyucian pertama (a), ketiga (b), kelima (c), dan ketujuh (d).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


121

Lampiran 79. Hasil Uji Swab Sabun Tanah Bentonit 20% terhadap Bakteri
Air Liur Anjing Pitbull

(a) (b) (c)

(d)
Keterangan: Hasil uji swab pada penyucian pertama (a), ketiga (b), kelima (c), dan ketujuh (d).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


122

Lampiran 80. Hasil Uji Swab Sabun Tanah Bentonit 20% terhadap Bakteri
Air Liur Anjing Herder

(a) (b) (c)

(d)
Keterangan: Hasil uji swab pada penyucian pertama (a), ketiga (b), kelima (c), dan ketujuh (d).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


123

Lampiran 81. Hasil Uji Swab Sabun Tanah Bentonit 20% terhadap Bakteri
Air Liur Anjing Beagle

(a) (b) (c)

(d)
Keterangan: Hasil uji swab pada penyucian pertama (a), ketiga (b), kelima (c), dan ketujuh (d).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


124

Lampiran 82. Hasil Uji Swab Sabun Tanah Kaolin 20% terhadap Bakteri Air
Liur Anjing Pitbull

(a) (b) (c)

(d)
Keterangan: Hasil uji swab pada penyucian pertama (a), ketiga (b), kelima (c), dan ketujuh (d).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


125

Lampiran 83. Hasil Uji Swab Sabun Tanah Kaolin 20% terhadap Bakteri Air
Liur Anjing Herder

(a) (b) (c)

(d)
Keterangan: Hasil uji swab pada penyucian pertama (a), ketiga (b), kelima (c), dan ketujuh (d).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


126

Lampiran 84. Hasil Uji Swab Sabun Tanah Kaolin 20% terhadap Bakteri Air
Liur Anjing Beagle

(a) (b) (c)

(d)
Keterangan: Hasil uji swab pada penyucian pertama (a), ketiga (b), kelima (c), dan ketujuh (d).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


127

Lampiran 85. Hasil Uji Swab Sabun tanpa Penambahan Tanah terhadap
Bakteri Air Liur Anjing Pitbull

(a) (b) (c)

(d)
Keterangan: Hasil uji swab pada penyucian pertama (a), ketiga (b), kelima (c), dan ketujuh (d).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


128

Lampiran 86. Hasil Uji Swab Sabun tanpa Penambahan Tanah terhadap
Bakteri Air Liur Anjing Herder

(a) (b) (c)

(d)
Keterangan: Hasil uji swab pada penyucian pertama (a), ketiga (b), kelima (c), dan ketujuh (d).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


129

Lampiran 87. Hasil Uji Swab Sabun tanpa Penambahan Tanah terhadap
Bakteri Air Liur Anjing Beagle

(a) (b) (c)

(d)
Keterangan: Hasil uji swab pada penyucian pertama (a), ketiga (b), kelima (c), dan ketujuh (d).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


130

Lampiran 88. Hasil Uji Swab dengan Akuades Steril terhadap Bakteri Air
Liur Anjing Pitbull

(a) (b) (c)

(d)
Keterangan: Hasil uji swab pada penyucian pertama (a), ketiga (b), kelima (c), dan ketujuh (d).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


131

Lampiran 89. Hasil Uji Swab dengan Akuades Steril terhadap Bakteri Air
Liur Anjing Herder

(a) (b) (c)

(d)
Keterangan: Hasil uji swab pada penyucian pertama (a), ketiga (b), kelima (c), dan ketujuh (d).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


132

Lampiran 90. Hasil Uji Swab dengan Akuades Steril terhadap Bakteri Air
Liur Anjing Beagle

(a) (b) (c)

(d)
Keterangan: Hasil uji swab pada penyucian pertama (a), ketiga (b), kelima (c), dan ketujuh (d).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Anda mungkin juga menyukai