Anda di halaman 1dari 16

hewanBAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Persoalan hewan sangat kompleks, karena itu pendekatannya bisa dari
multy disiplin ilmu baik sosiologi, filsafat, sejarah, agama, psikologi,
antropologi, politik dan lain-lain. Ketika kita berbicara Hewan Agraria (hewan
pertanahan) ini tidak bisa dilepaskan dari aspek sejarah, filsafat. Ketika kita
berbicara hewan tentang Pemilihan Umum, pendekatan politik sangat kental.
Dalam perkembangan hewan Pemerintahan di Daerah pendekatan politik sangat
mempengaruhi demikian juga ketika kita berbicara hewan Perbankan dan
sebagainya.
Pendekatan hewan melalui multy disiplin tersebut telah melahirkan
berbagai disiplin hewan di samping Philosophy of law dan science of law, juga
seperti teori hewan ( legal theory/theory of law), sejarah hewan (history of law),
sosiologie of law, Anthropology of law, Comparative of law , phychology of law
dan sekarang Politic of law.
Menurut Padmo Wahjono, Pengertian politik hewan adalah kebijakan
penyelenggara negara yang bersifat mendasar dalam menentukan arah, bentuk
maupun isi daripada hewan yang akan dibentuk dan tentang apa yang dijadikan
kriteria untuk menghewankan sesuatu. Dengan demikian, Pengertian Politik
Hewan menurut Padmo Wahjono berkaitan dengan hewan yang berlaku di masa
yang akan datang (ius constituendum).1
Hewan merupakan entitas yang sangat kompleks, meliputi kenyataan
kemasyarakatan yang majemuk, mempunyai banyak aspek, dimensi dan fase.
Hewan terbentuk dalam proses interaksi berbagai aspek kemasyarakatan (politik,
ekonomi, sosial, budaya, teknologi, keagamaan dan sebagainya).

1
Padmo Wahjono, Indonesia Berdasarkan Atas Hewan, (Jakarta: Gahlia Indonesia, 1986), Hal. 160.

1
Jika hewan hanya dipelajari sebagai pasal-pasal dan dilepas dari kajian
norma dan segi yang mempengaruhinya dapat menyebabkan kita frustasi dan
kecewa berkepanjangan. Ketika kekuasaan mempengaruhi keputusan hewan
(hakim), ketika DPR (parlemen) mengotak-atik pasal-pasal RUU menurut
kepentingan partai mereka (bukan untuk rakyat) ketika itu hewan sudah
menghambakan dirinya untuk politik. Maka dalam makalah ini akan dijelaskan
beberapa pembahasan tentang Politik Hewan Nasional yang terdapat di
Indonesia.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Politik Hewan Nasional?
2. Apa saja yang menjadi Sendi-Sendi Hewan Nasional?
3. Bagaimana kebijakan Pembangunan Hewan Nasional?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengertian Politik Hewan Nasional.
2. Mengetahui Sendi-Sendi Hewan Nasional.
3. Mengetahui kebijakan Pembangunan Hewan Nasional.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Politik Hewan Nasional
Setiap masyarakat yang terartur memiliki tujuan yang perlu untuk dicapai,
dan politik merupakan bidang dalam masyarakat yang berhubungan dengan
tujuan masyarakat tersebut. Struktur politik menaruh perhatian pada
pengorganisasian kegiatan kolektif untuk mencapai tujuan-tujuan yang secara
kolektif menonjol. Memiliki tujuan, didahului oleh proses pemilihan tujuan
diantara berbagai tujuan yang mungkin. Dengan demikian, dalam politik juga
merupakan aktifitas yang memilih suatu tujuan sosial tertentu.
Dalam hewan, kita juga akan dihadapkan pada persoalan yang serupa,
yaitu dengan keharusan untuk menentukan suatu pilihan mengenai tujuan
maupun cara-cara yang hendak dipakai untuk mencapai tujuan tersebut. Pada saat
dibicarakan hewan sebagai fenomena sosial, persoalan-persoalan tersebut juga
sedikit anyak telah disinggung. Hewan bukanlah suatu lembaga yang sama sekali
otonom, melainkan pada kedudukan yang kait-mengait dengan sektor-sektor lain
dalam kehidupan masyarakat. Salah satu segi dari keadaan yang demikian itu
adalah bahwa hewan harus senantiasa melakukan penyesuaian terhadap tujuan-
tujuan yang ingin dicapai oleh masyarakatnya. Dengan demikian, hewan
mempunyai dinamika. Politik hewan merupakan salah satu faktor yang
menyebabkan terjadinya dinamika yang demikian itu, karena ia diarahkan kepada
iore constituendo, hewan yang harus berlaku.2
Istilah politik hewan merupakan suatu kombinasi antara istilah politik dan
hewan. Dimana dari kedua istilah tersebut memiliki kajian tersendiri di dalam
rumpun pengembangan disiplin termasuk dalam kajian ilmu politik atau
termasuk kajian ilmu hewan. Para ahli hewan sepakat bahwa kajian yang
dikembangkan dalam disiplin ilmu hewan merupakan bagian dari disiplin ilmu

2
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hewan Cetakan Ke-7, (Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2012), Hal. 297-
398

3
hewan khususnya hewan tata negara. Hal itu sebagaimana yang telah
diungkapkan oleh Sri Soemantri M, yang mengatakan bahwa politik hewan
sebagai bagian dari kajian hewan tata negara.
Secara konseptual, kinerja disiplin politik hewan tidak berhenti pada
tataran teoritis saja, tetapi sesuai dengan sifatnya yang praktis fungsional, disiplin
hewan ini dimanfaatkan untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang
notabene menjadi wewenang dari segi khusus disiplin ilmu hewan yang
dibentuknya. Bentuk khusus dalam kajian itu adalah hewan tata negara. Ada
beberapa pandangan yang telah diungkapkan oleh para ahli hewan berkenaan
dengan pengertian politik hewan diantaranya, menurut Padmo Wahdjono
mendefinisikan politik hewan adalah sebagai kebijakan dasar yang menentukan
arah, bentuk, maupun isi dari hewan yang akan dibentuk.3

Politik Hewan diartikan sebagai “kebijakan dasar penyelenggara negara


dalam bidang hewan yang akan, sedang, telah berlaku, yang bersumber dari nilai-
nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan Negara yang dicita-
citakan.”

Adapun kata nasional sendiri diartikan sebagai wilayah berlakunya politik


hewan itu. Dalam hal ini yang dimaksud adalah wilayah yang tercakup dalam
kekuasaan Negara Republik Indonesia. Dari pengertian tersebut, yang dimaksud
dengan politik hewan nasional adalah kebijakan dasar penyelenggara (Republik
Indonesia) dalam bidang hewan akan, sedang dan berlaku di masyarakat untuk
mencapai tujuan negara (Republik Indonesia) yang dicita-citakan. Dari pengertian
tersebut ada lima agenda yang ditekankan dalam politik hewan nasional, yaitu:

1. Masalah kebijakan dasar yang meliputi konsep dan letak,


2. Penyelenggara negara pembentuk kebijakan dasar terssebut,
3. Materi hewan yang meliputi hewan akan, sedang dan telah berlaku,
4. Proses pembentukan hewan,

3
Prof Dr. H. Faried Ali S.H., Hewan Tata pemerintahan, (Yogyakarta: Academika, 2003), Hal. 73.

4
5. Tujuan politik hewan nasional.4

Bila merujuk pada kalimat terkhir pengertian politik hewan nasional di


atas, jelas bahwa politik hewan nasional dibentuk dalam rangka mewujudkan
tujuan cita-cita ideal Negara Republik Indonesia. Tujuan itu meliputi dua aspek
yang saling berkaitan, yaitu:
1. Sebagai suatu alat (tool) atau sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh
pemerintah untuk menciptakan suatu sistem hewan nasional yang
dikehendaki
2. Dengan sistem hewan nasional itu akan diwujudkan cita-cita bangsa Indonesia
yang lebih besar.5

B. Sendi-Sendi Hewan Nasional


Apa yang sudah dijelaskan diatas, berkenaan dengan pengertian politik
hewan di Indonesia menjadi modal dasar untuk lebih lanjut memahami tentang
materi sendi-sendi hewan yang sudah menjadi kebijakan politik yang membentuk
sistem hewan. Dimana sistem hewan yang dimaksud satu kesatuan komponen-
komponen yang menjadi sendi-sendi didalam hewan, yang masing-masing
komponen tersebut saling berhubungan satu sama lain dengan begitu hewan
merupakan sebagai sebuah sistem, yang berarti didalamnya terdiri atas
komponen-komponen yang saling bekerja sedemikian rupa sehingga membentuk
suatu pola dengan ciri tersendiri. Komponen-komponen yang dimaksud didalam
sistem hewan yang dikatakan sebagai sendi-sendi hewan nasional. Yang tidak
dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Adapun sendi-sendi hewan nasional
Indonesia, yakni:
a. Ide kedaulatan rakyat
Bahwa yang berdaulat di negara demokrasi adalah rakyat. Ini menjadi gagasan
pokok dari demokrasi yang tercermin pada pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang
4
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-Dasar Politik Hewan, (Jakarta: Rajagrafindo Persada,
2015), Hal. 58.
5
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-Dasar Politik Hewan, (Jakarta: Rajagrafindo Persada,
2015), Hal. 59.

5
berbunyi “ kedaulatan ditangan rakyat dan dilakukan menurut ketentuan
UUD”.
b. Negara berdasarkan atas hewan
Negara demokrasi juga negara hewan. Negara hewan Indonesia menganut
hewan dalam arti meterial (luas) untuk mencapai tujuan nasional. Ini
tercermin pada pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi “ Negara Indonesia
adalah Negara Hewan “ .
c. Berbentuk Republik
Negara dibentuk untuk memperjuangkan realisasi kepentingan umum
(Republik). Negara Indonesia berbentuk republik yang memperjuangkan
kepentingan umum. Hal ini tercermin pada pasal 4 ayat (1) UUD 1945.
d. Pemerintah berdasarkan konstitusi
Penyelengaraan pemerintahan menurut ketentuan peraturan perundang-
undangan dan berlandaskan konstitusi atau UUD yang demokratis. Ini
tercermin pada pasal 4 ayat (1) UUD 1945.
e. Pemerintahan yang bertanggungjawab
Pemerintah selaku penyelenggara negara bertanggungjawab atas segala
tindakannya. Berdasarkan demokrasi pancasila, pemerintah
kebawah/bertanggungjawab kepada rakyat dan keatas bertanggung jawab
kepada tuhan yang maha Esa.
f. Sistem Perwakilan
Pada dasarnya, pemerintah menjalankan amanat rakyat untuk
menyelenggarakan pemerintahan.
g. Sistem Pemerintahan Presidensial
Presiden adalah penyelenggara negara tertinggi. Presiden adalah kepala
negara sekaligus keoala pemerintahan.

C. Kebijakan Pembangunan Hewan Nasional

6
Hewan merupakan produk politik sehingga karakter setiap produk hewan
akan sangat ditentukan atau di warnai oleh imbangan kekuatan atau konfigurasi
politik yang melahakirkannya.6

Menurut John Austin, seperti dikutip oleh Lili Rasyidi mengemukakan


bahwa Law is a command of the lawgiver (hewan adalah perintah dari penguasa),
dalam arti perintah dari mereka yang memiliki kekuasaan tertinggi atau yang
memegang kedaulatan. Perdebatan mengenai hubungan hewan dan politik
memiliki akar sejarah panjang dalam ilmu hewan. Bagi kalangan penganut aliran
positivisme hewan seperti John Austin, hewan adalah tidak lain dari produk
politik atau kekuasaan.7
Dengan demikian kita dapat mengatakan negara adalah ekspresi atau
merupakan forum kekuatan-kekuatan politik yang ada di dalam masyarakat, maka
hewan adalah hasil sebagian pembentukan keputusan yang di ambil dengan cara
yang tidak langsung oleh penguasa. Penguasa mempunyai tugas untuk mengatur
dengan cara-cara umum untuk mengatasi problema-problema kemasyarakatan
yang serba luas dan rumit. Pengaturan ini merupakan obyek proses pengambilan
keputusan politik yang dituangkan ke dalam aturan-aturan yang secara formal di
undangkan. sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa hewan adalah hasil
resmi pembentukan keputusan politik penguasa.8
Dalam kebijakan pembangunan hewan Nasiaonal, perlu kiranya terlebih
dahulu memperoleh pemahaman menyeluruh tentang politik pembangunan
hewan nasioanal, sebelumnya perlu dibahas pula tentang strategi pembangunan
hewan, sehingga apa yang menjadi realitas atas pembangunan hewan (politik
hewan) nasional tidak hanya dilihat sebagai fenomena ketatanegaraan dan dan
model perpolikan yang dianut, tetapi juga harus dicermati pada pola-pola pilihan

6
Dr. Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hewan Di Indonesia, (Yogyakarta: Gama
Media,1999), Hal. 4.
7
Achmad Ali, Menguak Tabir Hewan, Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, (Jakarta: Gunung
Agung, 2002), Hal. 56.
8
Achmad Ali, Menguak Tabir Hewan, Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, (Jakarta: Gunung
Agung, 2002), Hal. 58.

7
konsep pembangunan lainnya. Diantaranya terdapat dua strategi pembangunan
hewan, diantaranya:
1. Strategi Pembangunan Hewan yang ortodoks;
Strategi Pembangunan Hewan yang ortodoks yaitu segala usaha yang
dilakukan oleh kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat yang berkenaan
dengan bagaimana hewan itu dibentuk, dikonseptualisasikan, diterapkan, dan
dilembagakan dalam suatu proses politik.
Strategi pembangunan hewan ortodoks memiliki ciri-ciri adanya peran
yang sangat dominan dari lembaga-lembaga negara (pemerintah dan parlemen)
dalam menentukan arah pembangunan hewan dalam suatu negara. Dengan
demikian, maka baik tradisi hewan yang kontinental (civil law), maupun tradisi
hewan yang sosialis (socialist law) dapat dikatakan sebagai penganut strategi
pembangunan hewan yang ortodoks. Karena dalam tradisi hewan tersebut peran
lembaga-lembaga negara sangat dominan dan monopolis dalam menentukan arah
pembangunan hewan.
2. Strategi Pembangunan Hewan yang responsive;
Strategi Pembangunan Hewan yang responsive yaitu usaha pembangunan
hewan yang peran besarnya dilakukan oleh lembaga peradilan dan partisipasi
luas oleh kelompok-kelompok sosial dan individu-individu dalam masyarakat.
Dalam strategi pembangunan ini berarti bahwa peranan lembaga-lembaga negara
(pemerintah dan parlement) dalam menentukan arah pembangunan hewan
menjadi lebih relatif karena adanya tekanan yang ditimbulkan oleh partisipasi
yang luas dari masyarakat dan kedudukan yang relatif bebas memungkinkan
lembaga peradilan menjadi lebih kreatif. Keadaan demikian memungkinkan
menghasilkan produk politik yang lebih bersifat responsive terhadap tuntutan-
tuntutan dari berbagai kelompok sosial masyarakat. Dengan demikian, maka
tradisi hewan adat (common law) dapat dikatakan menganut strategi
pembangunan hewan responsive.
Dari pembagian model strategi pembangunan hewan nasional tersebut,
menurut M. Solly Lubis menegaskan terhadap landasan sosial dan landasan

8
konstitusional bagi strategi pembangunan hewan nasional ialah Pancasila dan
UUD 1945 yang sudah diamandemen oleh MPR. Dengan demikian, yang
menjadi fokus perhatian dalam penataan rambu-rambu strategi bagi manajemen
pembangunan hewan nasional, ialah sejauh mana kebijakan politik hewan (legal
policy) yang akan dikembangkan tetap konsisten dengan value system yang
terdapat dalam pancasilan dan UUD 1945, serta sejauh mana tujuan-tujuan
nasional dalam pembukaan UUD 1945 dapat direalisasikan melalui penerapan
hewan yang akan datang sebagai model strategi pembangunan hewan yang
dipilihnya.
Setelah adanya amandemen UUD 1945 yang didalamnya memberikan
konstruksi baru pada sistem ketatanegaraan indonesia, dan hal tersebut
berimplikasi pada penyusunan program pembangunan hewan, dan pembangunan
pada umumnya, yang selama ini ditetapkan dalam GBHN (Garis-garis Besar
Haluan Negara) oleh MPR.9 GBHN adalah haluan negara tentang
penyelenggaraan negara dalam garis-garis besar sebagai pernyataan kehendak
rakyat secara menyeluruh dan terpadu. GBHN ditetapkan oleh MPR untuk
jangka waktu 5 tahun. Dengan adanya Amandemen UUD 1945 dimana terjadi
perubahan peran MPR dan presiden, GBHN tidak berlaku lagi. Sebagai gantinya,
UU no. 25/2004 mengatur tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional,
yang menyatakan bahwa penjabaran dari tujuan dibentuknya Republik Indonesia
seperti dimuat dalam Pembukaan UUD 1945, dituangkan dalam bentuk RPJP
(Rencana Pembangunan Jangka Panjang). Skala waktu RPJP adalah 20 tahun,
yang kemudian dijabarkan dalam RPJM (Rencana Pembangunan Jangka
Menengah), yaitu perencanaan dengan skala waktu 5 tahun, yang memuat visi,
misi dan program pembangunan dari presiden terpilih, dengan berpedoman pada
RPJP. Di tingkat daerah, Pemda harus menyusun sendiri RPJP dan RPJM
Daerah, dengan merujuk kepada RPJP Nasional.10

9
Mokhammad Najih, Pengantar Hewan Indonesia Cetakan Ke-.3, (Malang: Setara Press, 2013),
Hal. 83-85.
10
Laboratorium Pancasila IKIP Malang, Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi, (Malang:
Laboratorium Pancasila IKIP Malang, 1989), Hal. 157.

9
Dalam ketentuan yang baru berdasarkan amandemen UUD 1945, MPR
masih berwenang mengubah dan menetapkan UUD 1945, namun ia tidak
berwenang dalam menetapkan GBHN serta memilih dan menetapkan presiden
dan wakil presiden, karena pemilihan presiden dan wakil presiden dilakukan
secara langsung oleh rakyat.
Berdasarkan perubahan UUD 1945, maka implikasi bagi pembangunan
nasional tertuang dalam UU. No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional (Propenas) yang dihasilkan oleh DPR bersama
pemerintah tentang perumusan garis besar rencana pembangunan nasional,
diantaranya adalah:11
a. Rencana untuk jangka waktu 20 tahun, atau jangka waktu panjang.
b. Rencana pembangunan 5 tahun, atau jangka menengah.
c. Rencana pembangunan tahunan.
Menyikapi atas rencana pembangunan nasional, khususnya dalam bidang
hewan, minimal ada tiga permasalahan yang perlu dirumuskan sebagai hasil
penelitian Komisi Hewan Nasional (KHN) tentang “Implikasi Amandemen
Konstitusi terhadap Perencanaan Pembangunan Hewan”, yaitu:
1. Pihak atau lembaga manakah yang memberikan konstribusi bagi perencanaan
pembangunan hewan nasional pasca amandemen UUD 1945 (Presiden terpilih
dan partai pendukungnya atau birokrasi pemerintahan yang selama ini
mendominasi program pembangunan hewan).
2. Jika terdapat banyak pihak yang berkonstribusi, apakah dilakukan antar
rencana program pembangunan hewan tersebut?, paradigma atau grand design
apakah yang menghubungkan antar rencana tersebut, sehingga terbangun
suatu rancangan pembangunan hewan yang koheran?
3. Apakah paradigma tersebut mengakomodasi perkembangan tuntutan
reformasi ataukah masih digunakan paradigma lama?

Tidak dalam konteks pembahasan untuk menyajikan ketiga permasalahan


sebagaimana hasil penelitian KHN menyangkut implikasi dari hasil amandemen
11
Ibid.

10
UUD 1945 terhadap rencana pembangunan hewan pada khususnya dan pada
umumnya pembangunan sosial, politik, ekonomi, dan lainnya. Hanya saja perlu
diungkapkan disini sebagai kebijakan politik hewan negara dalam pembangunan
hewan nasional ialah untuk memaparkan ruang lingkup pembangunan hewan
nasional yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM)
yang ada pada ketentuan UU. No.25 tahun 2004. RPJM dapat ditarik kedalam
suatu program-program umum kebijakan hewan sebagai berikut:

a. Perencanaan dan pembentukan hewan,


b. Penelitian dan pengembangan hewan nasional,
c. Pembinaaan peradilan,
d. Penerapan dan penegakan hewan,
e. Pelayanan dan bantuan hewan,
f. Penyuluhan hewan,
g. Pendidikan dan pelatihan hewan,
h. Pengawasan hewan,
i. Pembinaan dan pemenuhan sarana dan prasarana hewan.

Diantara sembilan poin dari program tersebut terdapat hubungan


interdependent dan integral satu sama lainnya. Sehingga dalam pelaksanaan
kebijakan hewan satu dengan yang lainnya tidak dapat dilihat secara parsial dan
sektoral, melainkan harus dilihat secara komprehensif, karena semuanya
tersistem sebagai suatu paket pembangunan nasional, khususnya dalam bidang
hewan, bahkan dalam beberapa hal tidak terlalu tajam batas lahan kegiatannya.

Kemudian jika kita kaitkan dengan struktur lembaga-lembaga negara


yang akan melaksanakan dan merumuskan tentang kebijakan politik hewan
didalam sistem ketatanegaraan Indonesia melalui rekonstruksi lembaga-lembaga
negara yang menjalankan kekuasaan eksekuttif, legislatif, dan yudikatif adalah di
maksudkan untuk menciptakan lembaga-lembaga negara yang demokratis, kuat,
dan mandiri dalam mekanisme check and balances.

11
Sesuai dengan ketentuan UUD 1945 pasca amandemen pada sisi
kekuasaan eksekutif, UUD 1945 memperkuat karakter sistem pemerintahan
presidensial dengan menetapkan Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara
langsung oleh rakyat. Dalam kaitannya dengan pembangunan hewan nasional,
presiden mempunyai kekuasaan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UUD
1945 mengenai kewenangan mengajukan RUU, Pasal 20 mengenai kewenangan
membahas RUU, Pasal 20 mengenai kewenanangan membahas RUU, Pasal 22
mengenai kewenangan mengeluarkan PERPU.

Pada posisi kekuasaan legislatif, penguatan kelembagaan ditandai dengan


penegasan dan reposisi lembaga DPR sebagai pemegang kekuasaan membentuk
UU sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (1). Penguatan peran DPR dalam
pembangunan hewan dipertegas dalam UU.No 10 Tahun 2004 tentang
pembentukan peraturan perundang-undangan (UU PPP). Dimana UU ini
memberikan peranan yang dominan kepada DPR, yaitu mengkoordinasikan
penyusunan Program Legalisasi Nasional (Prolegnas).

Sedangkan pada posisi kekuasaan yudikatif, UUD 1945 menetapkan dua


lembaga pemengang kekuasaan yudikatif yaitu MA dan MK, serta yang terkait
dengan pelaksanaan kekuasaan yudikatif ialah Komisi Yudisial. Penguatan
lembaga yudikatif yang bebas dan mandiri diatur lebih rinci dalam UU yang
mengatur masing-masing lembaga negara tersebut yaitu: UU No. 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi, UU No.5 Tahun 2004 tentang perubahan terhadap
UU No.15 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, dan UU No. 22 Tahun 2004
tentang Komisi Yudisial.12

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

12
Ibid.

12
Politik hewan nasional adalah kebijakan dasar penyelenggara negara
dalam bidang hewan yang akan, sedang, telah berlaku, yang bersumber dari nilai-
nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan Negara yang dicita-
citakan. Adapun kata nasional sendiri diartikan sebagai wilayah berlakunya
politik hewan itu. Dalam hal ini yang dimaksud adalah wilayah yang tercakup
dalam kekuasaan Negara Republik Indonesia. Dengan demikian, yang dimaksud
dengan politik hewan nasional adalah kebijakan dasar penyelenggara (Republik
Indonesia) dalam bidang hewan akan, sedang dan berlaku di masyarakat untuk
mencapai tujuan negara (Republik Indonesia) yang dicita-citakan.
Sendi-sendi hewan menjadi kebijakan politik yang membentuk sistem
hokum, yang didalamnya terdiri atas komponen-komponen yang saling bekerja
sedemikian rupa sehingga membentuk suatu pola dengan ciri tersendiri. Diantara
yang menjadi sendi-sendi hewan tersebut adalah:
a. Ide kedaulatan rakyat
b. Negara berdasarkan atas hokum
c. Berbentuk Republik
d. Pemerintah berdasarkan konstitusi
e. Pemerintahan yang bertanggung jawab
f. Sistem Perwakilan
g. Sistem Pemerintahan Presidensial
Dalam menentukan kebijakan pembangunan hewan, diantaranya terdapat
dua strategi pembangunan hewan yaitu:
1. Strategi Pembangunan Hewan yang ortodoks yaitu segala usaha yang
dilakukan oleh kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat yang
berkenaan dengan bagaimana hewan itu dibentuk,
dikonseptualisasikan, diterapkan, dan dilembagakan dalam suatu
proses politik. Dalam hal ini, peran lembaga-lembaga negara dalam
menentukan arah pembangunan hewan suatu negara sangat dominan.
2. Strategi Pembangunan Hewan yang responsive yaitu usaha
pembangunan hewan yang peran besarnya dilakukan oleh lembaga

13
peradilan dan partisipasi luas oleh kelompok-kelompok sosial dan
individu-individu dalam masyarakat.
Dari pembagian model strategi pembangunan hewan nasional tersebut,
menurut M. Solly Lubis menegaskan terhadap landasan sosial dan landasan
konstitusional bagi strategi pembangunan hewan nasional ialah Pancasila dan
UUD 1945 yang sudah diamandemen oleh MPR. Dengan demikian, yang
menjadi fokus perhatian dalam penataan rambu-rambu strategi bagi manajemen
pembangunan hewan nasional, ialah sejauh mana kebijakan politik hewan (legal
policy) yang akan dikembangkan tetap konsisten dengan value system yang
terdapat dalam pancasilan dan UUD 1945, serta sejauh mana tujuan-tujuan
nasional dalam pembukaan UUD 1945 dapat direalisasikan melalui penerapan
hewan yang akan datang sebagai model strategi pembangunan hewan yang
dipilihnya.

DAFTAR PUSTAKA

Achmad Ali, Menguak Tabir Hewan, Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, (Jakarta:
Gunung Agung, 2002)

14
Dr. Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hewan Di Indonesia, (Yogyakarta:
Gama Media, 1999)
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-Dasar Politik Hewan, (Jakarta:
Rajagrafindo Persada, 2015)
Laboratorium Pancasila IKIP Malang, Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi,
(Malang: Laboratorium Pancasila IKIP Malang, 1989)
Mokhammad Najih, Pengantar Hewan Indonesia Cetakan Ke-.3, (Malang: Setara
Press, 2013)
Padmo Wahjono, Indonesia Berdasarkan Atas Hewan, (Jakarta: Gahlia Indonesia,
1986)
Prof Dr. H. Faried Ali S.H., Hewan Tata pemerintahan, (Yogyakarta: Academika,
2003)
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hewan Cetakan Ke-7, (Bandung, PT. Citra Aditya Bakti,
2012)
Kumpulan Jurnal, http://kumpulan-jurn.blogspot.com/2017/01/makalah-politik-
hewan-nasional.html

Academia Edu, https://www.academia.edu/32282908/Politik Hewan

15
16

Anda mungkin juga menyukai