Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang kaya sumber daya alam, salah satunya adalah
minyak bumi. Produksi minyak di Indonesia termasuk dalam katagori yang besar dan
salah satu yang terbaik di dunia. Namun, untuk pemanfaatan sumur-sumur minyak di
Indonesia masih kurang berjalan secara optimal. Hal ini dikarenakan keterbatasan dalam
proses produksi. Minyak bumi merupakan sumber energi utama di Indonesia dengan
tingkat konsumsi sebesar 1,2 juta kilo liter per hari, meskipun Indonesia merupakan
negara yang mempunyai cadangan minyak yang besar akan tetapi produksi minyak
bumi di Indonesia terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun (Partowidagdo,
2016). Proses perolehan minyak bumi dapat dikelompokkan menjadi tiga fasa, yaitu
fasa primer, fasa sekunder dan fasa tersier. Pada fasa primer diterapkan proses alami
yang tergantung pada kandungan energi alam pada reservoir dan proses stimulasi
dengan menggunakan metode asam (acidizing), metode fracturing, dan metode sumur
horizontal (horizontal wells). Pada fasa sekunder diterapkan proses immiscible gas
flood dan water flood. Metode fasa tersier sering juga disebut sebagai metode Enhanced
Oil Recovery (EOR). Pada fasa primer, rata-rata dapat mengembalikan 15-20% dari
perolehan minyak yang tesisa. Pada tahap sekunder berkisar antara 15-25% perolehan
minyak. Sehingga dapat di simpulkan bahwa fasa primer dan sekunder hanya dapat
mengembalikan kurang dari setengah total jumlah minyak yang diperoleh (Ariska,
Purwono & Murachman, 2011).
Tahap eksploitasi minyak bumi yang berlangsung saat ini masih belum maksimal
karena keterbatasan pemanfaatan teknologi serta terdapat reservoir yang umurnya
relatif sudah tua. Berbagai usaha untuk meningkatkan produksi sumur-sumur tua yang
ada di Indonesia perlu dilakukan untuk memberikan tenaga dorong dari reservoir agar
fluida (minyak) naik ke permukaan. Selain itu, menginjeksikan bahan kimia dari luar
juga dapat meningkatkan produktivitas minyak hinga mencapai 50% dari cadangan
minyak yang tersisa didalam reservoir. Teknologi ini dikenal dengan Enhanced Oil
Recovery (EOR) (Nur fatwa, 2011). Metode Enhanced Oil Recovery (EOR) dapat
melibatkan proses injeksi material yang dapat menyebabkan perubahan dalam reservoir
seperti komposisi minyak, temperatur, rasio monilitas dan karakteristik interaksi antara
batuan dan fluida. Metode EOR dapat dikelompokkan berdasarkan material yang
diinjeksikan ke reservoir yaitu metode panas (air panas, steam stimulation, steamflood,
fireflood), metode kimia dengan menggunakan polimer, surfaktan dan alkali dan metode
solvent-miscible dengan menggunakan pelarut hidrokarbon, campuran gas alam dan
lainnya berupa busa dan mikrobia. Metode EOR ini biasanya disebut dengan recovery
tersier, karena dapat diterapkan sebelum fasa sekunder. Beberapa metode EOR dapat
diterapkan setelah fasa primer atau bahkan saat proses pencarian minyak (Purwono et
al., 2011).

1
Enhanced Oil Recovery (EOR) adalah teknik untuk meningkatkan kapasitas
produksi minyak mentah dari reservoir minyak. Dengan EOR produksi minyak dapat
meningkat 30-60% (US Department of Energy, 2011) bahkan lebih jika dibandingkan
dengan primary dan secondary recovery yang total hanya dapat mengekstrak 20-40%
minyak dari reservoir. Berdasarkan data dari literatur, penerapan metode EOR di
Indonesia ini masih sangat terbatas terkait dengan kemampuan para peneliti masih
dalam usaha pengembangan teknologi EOR (Dasiba et al., 2016). Selama ini Indonesia
menerapkan metode EOR dengan bahan kimia impor sehingga menjadi kurang
ekonomis dan efisien. Metode chemical EOR memanfaatkan bahan kimia. Injeksi bahan
kimia (chemical flooding) adalah salah satu teknologi EOR yang sangat menguntungkan
atau menjanjikan terutama pada reservoir dangkal yang tidak mungkin bisa dilakukan
injeksi CO2 dan N2 karena tekanan yang rendah (Eni et al., 2012). Injeksi kimia
dilakukan dengan cara menginjeksikan bahan kimia seperti surfaktan dan polimer.
Untuk sekarang di Indonesia telah menerapkan dan mengembangkan salah satu bahan
bahan kimia tersebut yaitu surfaktan. Surfaktan merupakan senyawa dapat menurunkan
tegangan antarmuka IFT (Interfacial Tension) dua cairan yang tidak saling bercampur
(minyak-air) antara padatan dengan cairan yang melekat pada batuan di dalam
reservoir. Sehingga akan meningkatkan displacemet efficiency. Fungsi utama surfaktan
juga dapat menurunkan nilai IFT sehingga dapat meningkatkan bilangan kapiler.
Surfaktan yang diterapkan dalam berbagai pengujian di Indonesia biasanya merupakan
surfaktan komersil berbasis petroleum.
Namun, bisa juga dengan menggunakan surfaktan yang berbasis sodium
lignosulfonat (SLS) yang bahan bakunya dapat diperoleh dari produk samping
biomassa. Biomassa yang dapat dibuat menjadi surfaktan SLS merupakan biomassa
yang mengandung kadar lignin yang tinggi sehingga dapat menghasilkan kadar
surfaktan SLS yang banyak. bahan baku yang mengandung lignin antara lain: ampas
tebu, tandan kosong kelapa sawit, sabut kelapa, sekam padi, black liquor, debu sabut
kelapa dan lainnya. Dimana bahan baku biomassa mudah didapatkan dimana saja dan
tidak menyebabkan pencemaran lingkungan karena bahan baku ini merupakan bahan
murah serta melimpah dapat diharapkan dapat meningkatkan keekonomisan EOR,
ramah lingkungan, dapat dimanfaatkan untuk diambil ligninnya dan di proses menjadi
surfaktan SLS. Lignin dapat diperoleh dari proses sulfonasi mejadi SLS (sodium
lignosulfonat).
Tabel 1.1 Karakteristik Surfaktan Menurut Standard SKK Migas
IFT 10-3- 10-4
Phase Behavior Type III (Middle phase) or Type II
(Bottom phase)
Compatibility Clear > 7 days
Thermal Stability IFT in the range of 10-3 dyne/cm for
at least 90 days
Filtration ratio < 1,2

2
Adsorption Average < 0,4 mg/g
pH 6-8
Incremental recovery >10%
Price Ca 5 USD/kg
Surfaktan SLS memiliki potensi untuk dapat dikembangkan dalam industri
perminyakan yang diaplikasikan untuk Enhanced Oil Recovery (EOR) yang merupakan
salah satu upaya dalam peningkatan produksi minyak bumi. Peran surfaktan SLS
merupakan zat aktif permukaan yang dapat menurunkan tegangan antar muka antara
minyak dan air. Adanya proses emulsifikasi antara minyak dengan air injeksi yang
mengandung surfaktan menyebabkan emulsi tersebut menjadi didesak dan
diproduksikan bersama dengan air injeksi sehingga mengakibatkan saturasi sisa minyak
yang terdapat didalam reservoir minyak dapat dikurangi dan diharapkan dapat
meningkatkan perolehan minyak pada saat diproduksikan. Pada penelitian ini dilakukan
dengan skala laboratorium untuk meningkatkan nilai recovery factor berdasarkan
konsentrasi surfaktan yang efektif dan dilakukan penambahan silica nano particle
(SNP) untuk mengurangi jumlah surfaktan yang terjerap didalam batuan. Batuan yang
digunakan yaitu jenis batuan sandstone, dimana batuan ini memiliki tingkat porositas
yang tinggi sehingga dapat mengoptimalkan produksivitas minyak yang terjerap
didalam batuan untuk EOR. Menurut peneliti sebelumnya yang meneliti terkait batuan
untuk EOR menyatakan batuan sandstone lebih efektif dibandingkan batuan limestone.
Surfaktan dikatakan cukup baik untuk dapat diaplikasikan dalam EOR adalah surfaktan
yang minim teradsorpsi/terjerap. Adsorpsi surfaktan menjadi parameter yang
mempengaruhi efisiensi dari surfactant flooding dan berpengaruh besar terhadap
kelayakan ekonomi proyek EOR (Amirmoshiri et al., 2020). Apabila surfaktan yang
terjerap cukup tinggi, hal ini dapat menyebabkan hilangnya surfaktan melalui ikatan
dengan batuan. Selain itu, surfaktan dapat terjebak didalam pori-pori batuan sehingga
tidak optimal untuk mendorong minyak keluar dari dalam batuan (Juita, Arnelli dan
Yusniati, 2016).
1.2 Rumusan dan Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, masalah utama yang akan
dikaji dalam penelitian ini adalah cara memanfaatkan limbah biomassa yaitu tandan
kosong kelapa sawit (TKKS) diubah menjadi surfaktan SLS (Sodium Lignosulfonate)
dan dimodifikasikan dengan melakukan penambahan silica nano particle (SNP) yang
dapat dimanfaatkan untuk teknologi EOR untuk menurunkan tegangan antar muka
minyak dan air di dalam reservoir dan menstabilkan jumlah surfaktan yang terjerap
didalam media. Hal ini menjadi salah satu cara meningkatkan produksi minyak bumi di
Indonesia dan mengurangi import produk surfaktan. Adapun rumusan masalah dari
penelitian ini, antara lain:
1. Bagaimana pengaruh konsentrasi surfaktan SLS terhadap nilai recovery factor
dengan metode coreflooding?

3
2. Bagaimana pengaruh penambahan silica nano particle (SNP) terhadap nilai
recovery factor dengan metode coreflooding?
1.3 Keaslian Penelitian
Berikut ini merupakan penelitian terdahulu yang sudah pernah dilakukan mengenai
pengembangan surfaktan SLS untuk EOR dapat dilihat pada Tabel 1.2.
Tabel 1.2 Penelitian terdahulu terkait Pengembangan Surfaktan SLS dengan
Penambahan silica nano particle (SNP) untuk Enhanced Oil Recovery

Judul Penelitian Hasil Penelitian dan Kesimpulan Referensi


Berdasarkan hasil penelitian tersebut
bahwa surfaktan yang digunakan
merupakan formula sendiri (sintesis
Adsorption Anaysis of dari soap-nut) dengan menggunakan
Natural Anionic batuan Bentonite clay yang paling
Surfactant for baik digunakan untuk EOR, karena
Enhanced Oil memiliki luas permukaan yang lebih
Saxena, et al., 2017
Recovery : The Role luas, Adsorpsi terbaik dengan
of Mineralogy, menggunakan model Langmuir.
salinity, alkalinity, and Silika Nano Partikel dapat
nanoparticles mengurangi surfaktan yang terjerap.
Adsorpsi dilakukan 24 jam dengan
kecepatan pengadukan 3000 rpm dan
waktu 20 menit.
Pada penelitian ini dilakukan
modifikasi epoksida dengan SLS
dengan berbafai konversi epoksida
yang direaksikan dengan SLS pada
suhu 70oC dengan perbandingan
Modifikasi SLS
epoksida:SLS adalah 1:2 selama 1
dengan Epoksida dari
jam. Didapatkan hasil penelitian
Asam Oleat dan
bahwa senyawa epoksida dapat
Hidrogen Peroksida Ariska et al., 2011
digunakan untuk modifikasi SLS
untuk Meningkatkan
karena dapat menurunkan nilai IFT.
Kualitas Surfaktan
Nilai IFT terendah yang didapatkan
pada EOR
mencapai 3,7x10-3 mN/m pada
modifikasi SLS dengan epoksida
konversi 10%. Dari uji kestabilan
paling baik dengan waktu emulsi
113 menit.
Pembuatan Natrium Pada penelitian ini bahan baku Ismiyati et al., 2012
Lignosulfonat Tandan kosong kelapa sawit diambil

4
senyawa ligninnya kemudian
Berbahan Dasar dilakukan proses sulfonasi dengan
Lignin Isolat Tandan menggunakan natrium bisulfit dan
Kosong Kelapa NaOH sebagai katalis dengan suhu
Sawit : Identifikasi reaksi 90,28oC. Hasil dari NLS
dan Uji Kinerjanya tersebut diuji coba dengan
sebagai Bahan mengaplikasikan pada pasta gipsum
Pendispersi dengan variasi perbandingan
konsentrasi NLS/berat gipsum.
Penelitian ini menggunakan bahan
baku berupa bambu dan terdapat 2
jenis bambu yang digunakan, yaitu
Bambu Ori dan Bambu Apus dengan
variasi konsentrasi Natrium Bisulfit.
Berdasarkan hasil penelitian yang
telah dilakukan, jenis bambu tidak
Pengaruh Jenis Bambu
berpengaruh terhadap rendemen
dan Konsentrasi
natrium lignosulfonate sedangkan Andriani & Nasrudin.,
Natrium Bisulfit
untuk konsentrasi natrium bisulfit 2013
terhadap Rendemen
sangat berpengaruh terhadap
Natrium Lignosulfonat
rendemen natrium sulfonate yang
dihasilkan. Bambu Ori menghasilkan
rendemen lignosulfonate yang relatif
lebih tinggi dari Bambu Apus akan
tetapi hasil tersebut tidak terlalu
berpengaruh terhadap rendemen
Natrium Lignosulfonate.
Pada penelitian ini bahan baku yang
digunakan berupa Ampas tebu
Hasil Studi melalui dua proses yaitu proses
Laboratorium isolasi lignin (hidrolisis) dengan
Penentuan NaOH untuk memisahkan lignin dari
Karakteristik Alamiah ampas tebu dan proses sulfonasi,
Surfaktan Natrium mereaksikan lignin dengan Natrium Setiati et al., 2018
Lignosulfonate dari Bisulfit (NaHSO3) dan membentuk
Ampas Tebu sebagai Natrium Lignosulfonate. Hasil
Fluida Injeksi di penelitian didapatkan bahwa
Reservoir Minyak surfaktan SLS dari ampas tebu dapat
digunakan sebagai injeksi minyak
didalam resevoir.
Studi Injeksi Surfaktan Penelitian ini mengunakan bahan Anggara et al., 2019
Sodium Lignosulfonat baku lindi hitam yang diambil lignin

5
nya dan di reaksikan dengan
Natrium Bisulfit (jenis surfaktan
berbasis SLS dengan konsentrasi
1%) akan tetapi dalam pengujian
surfaktan SLS digunakan media
Sandstone dan Limestone dimana
kedua media tersebut dilakukan
(SLS) pada Media
penjenuhan air dan minyak dan
Sandstone dan
pendesakan minyak dengan cara
Limestone dalam
menginjeksikan surfaktan SLS
rangka Enhanced Oil
tersebut. Hasil menunjukan bahwa
Recovery (EOR)
media sandstone dengan surfaktan
berbasis SLS dengan konsentrasi 1%
mempunyai efisiensi pendesakan
yang bagu dan menghasilkan RF
paling besar dibandingkan dengan
media limestone yang cukup rendah
untuk peningkatan oil yield.
Pada penelitian ini menggunakan
Telaah Surfaktan surfaktan AOS (Anionik) dengan
untuk proses media batuan sandstone dan
Enhanced Oil limestone. Hasil yang didapatkan
Juita et al., 2016
Recovery (EOR) dan dari proses adsorpsi ini bahwa media
Profil Adsorpsi batuan yang paling baik digunakan
Surfaktan AOS yaitu sandstone untuk surfaktan jenis
AOS.
Penelitian ini menggunakan jenis
batuan sandstone dan surfaktan
(sodium dodecyl sulfate).
A Comparative study
Berdasarkan hasil penelitian
of surfactant Amirianshoja et al.,
surfaktan anionik lebih sedikit
adsorption by clay 2018
teradsorp daripada surfaktan
minerals
nonionik. Jumlah surfaktan yang
diadsorp naik dengan naiknya
mineral lempung dalam adsorben.

1.4 Tujuan Penelitian


Tujuan umum dari penelitian ini meningkatkan nilai recovery factor (%RF) dengan
metode coreflooding dan menurunkan tegangan antarmuka (Interfacial Tension) antara
dua fasa yang tidak saling bercampur yaitu minyak dan air serta meningkatkan
produktivitas minyak yang terdapat di reservoir dengan menggunakan metode EOR

6
(Enhanced Oil Recovery) dengan menginjeksikan surfaktan SLS. Tujuan khusus dari
penelitian ini adalah:
1. Mengoptimalkan pengaruh konsentrasi surfaktan SLS terhadap nilai recovery
factor dengan metode coreflooding.
2. Mengoptimalkan pengaruh penambahan nano silica particle terhadap nilai
recovery factor dengan metode coreflooding.

1.5 Manfaat Penelitian


Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk Industri Perminyakan di
Indonesia terutama dalam meningkatkan produktivitas minyak yang terjerat pada batuan
yang terdapat pada reservoir (sumur minyak) dan mengurangi impor surfaktan SLS di
Indonesia serta selama ini di Industri perminyakan masih menggunakan surfaktan
berbasis minyak bumi yang dapat menyebabkan terjadinya penggumpalan dan
gangguan pada reservoir dan untuk meningkatkan nilai recovery factor minyak pada
reservoir dengan menggunakan metode coreflooding. Dari segi ekonomi, penggunaan
surfaktan berbasis biomassa, yaitu surfaktan sodium lignosulfonat (SLS) lebih
ekonomis dibandingkan surfaktan komersial. Dan dari sisi lingkungan, dapat
mengurangi limbah biomassa yang dapat di proses menjadi surfaktan SLS yang lebih
ramah lingkungan.

Anda mungkin juga menyukai