Anda di halaman 1dari 4

Dalam penyelesaian kasus terkait polemik kandungan bakteri e.

sakazakii pada produk


susu formula yang dijual secara umum di pasaran Nasional. Secara sah berdasarkan putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 218/Pdt.Bth/2011/PN.Jkt.Pst telah mengabulkan
permohonan dari gugatan saudara David Tobing. Pemerintah melalui Menteri Kesehatan dan
BPOM sebagai pihak yang membawahi kesehatan pangan masyarakat dianggap lalai dalam
memperhatikan perlindungan kesehatan produk susu formula untuk bayi yang dikonsumsi oleh
masyarakat umum.

Pada mulanya kasus ini berkembang setelah dilakukannya penelitian oleh Perguruan Tinggi
Institut Pertanian Bogor yang menyatakan adanya susu formula untuk bayi yang mengandung
bakteri e.sakazakii, sebagai pihak independen yang mengedepankan aspek keilmuan IPB (Institut
Pertanian Bogor) telah memberikan hasil penelitian tersebut kepada instansi pemerintah yang
berwenang, namun terkait produk susu formula yang terkontaminasi tersebut tidak
dipublikasikan secara rinci produk dengan merek atau jenis mana saja yang terkontaminasi.

Secara sudut pandang hukum, putusan yang dikeluarkan oleh hakim telah menjunjung
tinggi nilai-nilai keadilan namun terkait penegakan dan upaya hukum yang diterapkan masih
sangat minim. Sebagai contoh semenjak putusan ini disahkan belum ada tindakan konkret
pempublikasian terkait produk-produk yang terkontaminasi oleh bakteri tersebut. Padahal sudah
menjadi hak masyarakat untuk mengetahui produk mana saja yang menurut hasil penelitian
tersebut terkontaminasi bakteri e.sakazakii.

Berdasar pendekatan prinsip kehati-hatian precautionary principles mengingat bahaya dari


kontaminasi bakteri  e.sakazakii menunjukkan bahwa bakteri ini dapat
menyebabkan radang selaput otak (meningitis) dan radangusus pada bayi. Kelompok bayi yang
memiliki resiko tertinggi terinfeksi E. sakazakii yaitu neonatus (baru lahir hingga umur 28 hari),
bayi dengan gangguan sistem tubuh, bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR), bayi
prematur, dan bayi yang lahir dari ibu yang mengidap Human Immunodeficiency Virus (HIV).
Angka kematian akibat infeksi E. sakazakii mencapai 40-80%. Sebanyak 50% pasien yang
dilaporkan menderita infeksi E. sakazakii meninggal dalam waktu satu minggu setelah diagnosa.
Hingga kini belum ada penentuan dosis infeksi E. sakazakii, namun sebesar 3 cfu/100 gram
dapat digunakan sebagai perkiraan awal dosis infeksi. 1

Akan tetapi pemerintah dengan pendapatnya menganggap kemungkinan dampak dari bakteri
tersebut sangat minim dan menyatakan adanya kemungkinan unsur lain seperti genetika penyakit
bawaan dari keadaan bayi menjadi hal yang melatarbelakangi penyakit-penyakit tersebut.
Padahal upaya preventif bisa dilakukan melalui publikasi secara resmi dari Kementerian
Kesehatan atau BPOM agar masyarakat dapat menghindari produk-produk tertentu atau
setidaknya ada upaya transparansi kandungan dari setiap produk yang dikonsumsi masyarakat.

Muncul stigma disimpanginya prinsip kehati-hatian dikarenakan kekhawatiran


Pemerintah atas dampak ekonomis yang secara langsung akan menjatuhkan perusahaan susu
formula untuk bayi. Akan tetapi alasan tersebut menjadi sangat ironi dikarenakan risiko atas
keputusan menutup-nutupi informasi tersebut secara tidak langsung menggadaikan kesehatan
warga negaranya. Dapat dikatakan akan muncul multiple effect atas publikasi tersebut namun
perlu diingat kesehatan masyarakat menjadi hasil akhir yang perlu diperhatikan dengan saksama.

Manfaat dari putusan publikasi untuk umum disisi lain akan membahayakan sektor bisnis
dan kepercayaan publik pada produk tertentu akan tetapi dampak jangka pendeknya akan
melindungi konsumen dan juga secara jangka panjang akan menciptakan industri produk susu
yang kualitasnya akan meningkat dan menjunjung tinggi perlindungan kesehatan bagi konsumen.

Kebijakan tegas dari instansi pemerintah yang berwenang menjadi tolok ukur keberlakuan
prinsip kehati-hatian yang ada. Bukan berarti hasil penelitian tersebut dapat disimpangi oleh
penelitian lain lalu secara langsung meniadakan penelitian-penelitian yang telah ada secara
mutlak, karena prinsip kehati-hatian berupaya menghindarkan masyarakat menjadi kelinci
percobaan suatu produk.

Dampak apapun yang ditimbulkan oleh suatu kebijakan akan berimplikasi pada kehidupan
masyarakat tentu saja hal-hal yang berkaitan dengan terganggunya kesehatan jika dikalkulasi
memerlukan biaya yang tidak sedikit belum lagi jika dampak yang ditimbulkan dalam skala
massal. Pencegahan menjadi upaya yang sangat relevan dibandingkan penanggulangan atas
penanganan akibat yang telah terjadi.
1
http://perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/103012-[_Konten_]-Diragukan%20Produk
%20susu.pdf/ oleh Tri Wahyuni diakses pada pukul 23:11/ 29 Maret 2019/
Putusan Mahkamah Agung tersebut menjadi tidak solutif dikarenakan upaya pasca
putusan terkesan tidak serius dalam mengupayakan perlindungan kesehatan untuk warganya.
Hampir bisa dikatakan hanya secara yuridis saja berpihak pada masyarakat akan tetapi langkah
konkretnya dalam penindakan malah berpihak ke golongan tertentu yang seharusnya diawasi
karena sudah menjadi tugas pemerintah menjalankan fungsi pengawasan.

Jika pemerintah melaksanakan secara utuh putusan dari Pengadilan sebenarnya pihak
produsen produk-produk susu formula tersebut tidak serta merta menjadi terpojokkan dalam
skema bisnis yang ada terdapat banyak opsi yang masih dimiliki para produsen susu formula.
Selain melaksanakan transparansi uji kelayakan produk dapat pula dilakukan perbaikan produk
secara serentak yang dapat dijadikan dasar peningkatan mutu produk secara keseluruhan
sehingga tidak memojokkan salah satu pihak ataupun jika memang dilakukan publikasi
mengenai merek yang ternyata memang terkontaminasi oleh bakteri e.sakazakii masih dapat
dilakukan penjelasan publik atas dasar munculnya hasil penelitian tersebut. Karena tidak
menutup kemungkinan perkembangan zaman yang selaras dengan perkembangan teknologi
menjadikan prasyarat standar kelayakan atas suatu produk meningkat setiap tahunnya.

Malah menjadi tidak masuk akal jika suatu putusan Mahkamah Agung yang dikabulkan
melalui upaya hukum kasasi tidak ditanggapi lebih lanjut dan terkesan dilakukan pembiaran oleh
pemerintah padahal dengan pendekatan prinsip kehati-hatian harus dilakukan tindakan
meminimalisir segala hal bersifat membahayakan masyarakat.

Melihat landasan hukum yang ada pada bentuk prinsip kehati-hatian atau precautionary
principle tersebut diadopsi dan disisipkan dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sehinggan menjadi suatu keharusan setiap
penentuan keputusan dan kebijakan pemerintah harus menitikberatkan pada kesesuaian prinsip
kehati-hatian.

Akan tetapi tentu saja prinsip kehati-hatian yang diterapkan harus tetap menggunakan dasar
acuan yang jelas dan terukur karena disatu sisi jika kita hanya terfokus pada prinsip ini saja tanpa
didasari unsur-unsur lain yang menguatkan menjadikan setiap hal memerlukan kualifikasi yang
sangat tinggi dan membutihkan pembiayaan yang tidak sedikit. Sebagai upaya yang tetap
memiliki efisiensi dan ketepatan pengkajian setiap hal tidak boleh hanya ditujukan untuk
melindungi sektor tertentu, seperti pada kasus diatas hanya menitikberatkan sektir bisnis dan
insutri saja padahal sektor kesehatan dan kepercayaan publik serta kualitas dan penjaminan mutu
produk pada lingkup Nasional menjadi sangat rendah. Tentu menjadi catatan negatif juga pada
para produsen maupun importir produk lain diluar susu formula. Karena dapat dianggap
kredibilitasnya menjadi diragukan.

Sebagai kebijakan solusi yang dikeluarkan oleh instansi pemerintah yang berwenang
dengan tidak mempublikasikan merek tertentu yang dinyatakan melalui hasil lab tersebut
sesunggunya telah menciderai kepercayaan publik atas bentuk perlindungan yang diharapkan
dimiliki setiap warga negara.

Anda mungkin juga menyukai