Anda di halaman 1dari 4

‫ما الذي شرعه االسالم لألمور التحسينية للناس؟‬

Apa yang diatur Islam untuk kemajuan manusia?

Tahsiniyat

Kebutuhan yang bersifat tahsini yaitu hal yang berhubungan dengan kehormatan,
tatakrama serta bagaimana menjalani kehidupan dengan lurus dan benar. Memang hal ini
tidak berimbas pada kelangsungan hidup dan tidak menimbulkan mafasid, akan tetapi hal
ini menjadikan kehidupan mereka menjadi tidak sedap dan membuat suatu imeg negative.
Tahsini dalam pengertian ini mengacu pada pembentukan akhlaq yang baik, adat atau
kebiasaan yang baik serta segala hal yang bisa membuat kehidupan menjadi benar dan
lurus sesuai syari’at.

Kebutuhan tahsiyat (tersiyer/ pelengkap) adalah kebutuhan yang dituntut oleh harga diri,
normal dan tatanan hidup berperilaku lurus. Jika tidak terpenuhi, maka aturan hidup
manusia tidak rusak seperti jika kebutuhan primer tidak terpenuhi. Mereka tidak pula
mendapatkan kesulitan seperti jika kebutuhan sekunder tidak terpenuhi. Tetapi kehidupan
mereka akan terasing menurut pemikiran yang logis dan akal sehat. Kebutuhan pelengkap
bagi manusia dengan pengertian ini kembali kepada akhlak yang mulia, tradisi yang baik
dan segala tujuan peri kehidupan menurut jalan yang paling baik.[11]

Ø Kebutuhan pelengkap yang di syaratkan oleh islam

Kebutuhan pelengkap manusia, sebagaimana telah kami jelaskan di muka adalah


kembali kepada segala sesuatu yang dapat memperindah keadaan manusia, dapat menjadi
sesuatu yang sesuai dengan tuntutan harga diri dan kemuliaan akhlak. Islam telah
menetapkan berbagai hukum tentang ibadah, muamalah, dan hukuman yang bertujuan
untuk perbaikan, keindahan serta tradisi mereka menjadi lebih baik dan paling tegak.

Dalam hal ibadah, islam menetapkan kebersihan badan, pakaiyan, tempat, menutup
aurat, menjaga dari najis, membersihkan dari kencing, sunnah mengambil perhiasan
ketika masuk masjid, berbuat baik dengan bersedekah, shalat dan puasa, serta segala
bentuk ibadah yang ditetapkan beserta rukun, syarat dan tatakramanya. Semuanya itu
kembali kepada membiasakan manusia ke dalam kebiasaan yang lebih baik.

Dalam hal muamalah, haram melakukan penipuan, memperdaya dan pemalsuan, boros
dan terlalu kikir terhadap diri sendiri. Haram menggunakan sesuatu yang najis dan
berbahaya. Melarang jual beli yang telah di tawar orang lain, menghadang pedagang
sebelum masuk lokasi perdagangan, menaikkan harga (di atas standar), dan muamalah
lain yang menjadikan manusia berada pada jalan yang paling baik.

Dalam hal hukuman, dalam melakukan jihad diharamkan membunuh para rahib, anak-
anak dan wanita. Dilarang melakukan penyiksaan, berkhianat, membunuh orang yang
tidak bersenjata, dan membakar orang hidup atau sudah mati. Dalam hal akhal dan
keutamaan amal, islam menetapkan hal-hal yang dapat mendidik individu dan
masyarakat serta dapat menuntun manusia untuk berjalan di jalan yang lebih lurus.

Allah swt telah menunjukkan maksudnya terhadap kebaikan dan keindahan ini dengan
alasan dan hikmah penetapan hukum yang menyertai sebagian hukumnya. Seperti firman
Allah swt:

‫َولَ ِك ْن ي ُِري ُد لِيُطَه َِّر ُك ْم َولِيُتِ َّم نِ ْع َمتَهُ َعلَ ْي ُك ْم‬

Artinya: “tetapi dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmatnya


bagimu.” (Qs. Al-Maidah: 6)

ِ ‫ار َم اَأْل ْخاَل‬


‫ق‬ ُ ‫اِنَّ َما بُ ِع ْث‬
ِ ‫ت اَل ُتَ ِّم َم َم َك‬
Artinya: “sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia”

‫طيِّبٌ اَل يَ ْقبَ ُل اِاَّل طَيِّبًا‬


َ َ‫اِ َّن هللا‬

Artinya: “sesungguhnya Allah swt. Itu maha baik, dia tidak menerima kecuali yang baik”.

Dari hasil penelitian terhadap hukum-hukum syara’, alasan dan hikmah


pengundangannya dalam masalah dan kejadian yang bermacam-macam, dapat diambil
kesimpulan bahwa syar’i tidak menghendaki penetapan hukum itu kecuali menjaga
kebutuhan primer, sekunder dan kebutuhan pelengkap manusia. Inilah kemaslahatan bagi
mereka.

Imam Abu Ishak As Syathibi telah menjelaskan dalam permualaan juz kedua dari
kitabnya, Al-Muwafaqaat(kemudian setelah imam abu ishak muncul ilmuwan baru yang
mengampanyekan maqashid yaitu imam at-thohir ibn ‘asyur), dalam kekuatan
penjelasan tersebut dengan tidak menambah keterangan lain. Setelah beliau menyebutkan
beberapa contoh hukum syara’ dan hikmahnya yang menunjukkan bahwa semua hukum
syara’ tidak dimaksudkan kecuali satu diantara tiga hal yang dapat menciptakan
kemaslahatan pada manusia, dia berkata: “dari lafal yang dhahir, umum, mutlak dan
terbatas, serta juz (bagian) tertentu dari bermacam-macam barang, dan kejadian yang
berbeda dalam masalah fikih sekaligus salah satu hal diantara pembahasannya, dapat
diambil kesimpulan bahwa pembentukan hukum itu tidak selalu berkisar antara menjaga
tiga hal di atas, yang merupaka dasar kemaslahatan manusia.”

Hikmah syari’ islam dan keinginannya untuk menjaga tiga hal tersebut dengan cara
yang sempurna, menuntut agar ditetapkan beserta hukum yang menjaga tiga hal itu,
hukum yang dapat menyempurnakannya dalam merealisir tujuan-tujuan itu.
Dalam kebutuhan primer, ketika syari’ menetapkan kewajiban shalat demi menjaga
agama, maka ditetapkan pula pelaksanaannya secara berjamaah dan diumumkan dengan
azhan untuk menegakkan agama dan menjaganya secara lebih sempurna dengan
menampakkan syiarnya dan dilakukan secara berkelompok.

Ketika hukum qishash ditetapkan untuk memelihara jiwa manusia, maka di tetapkan pula
“kesamaan” agar sampai kepada tujuan qishash tanpa menimbulkan permusuhan dan
kebencian. Karena pembunuhan yang dilakukan oleh pembunuh pada satu gambaran
dapat lebih keji dari apa yang telah terjadi, yang dapat menyebabkan pertumpahan darah
dan rusaknya tujuan qishash itu sendiri.

Ketika zina diharamkan karena menjaga harga diri, maka di haramkan pula
menyendiri dengan wanita yang bukan muhrimnya untuk menutup jalan perzinaan.
Ketika minum khamer diharamkan untuk memelihara akal, maka diharamkan pula
minum sedikit saja meskipun tidak sampai mabuk. Ditetapkan pula kaidah: kewajiban
yang tidak sempurna tanpa suatu hal, maka suatu hal itu dihukumi wajib, dan sesuatu
yang dapat mengarah kepada yang dilarang maka sesuatu itu juga dilarang. Islam banyak
mengingatkan hal-hal yang mudah, membatasi yang mutlak, dan mentakhsish hal-hal
yang umum demi menutup kemungkinan yang bakal terjadi. Ketika perkawinan itu di
syariatkan untuk beranak dan berketurunan, maka disyaratkan adanya keseimbangan
antara suami istri demi keselarasan dan hubungan keluarga yang harmonis. Jadi, hukum
yang disyariatkan untuk menjaga kebutuhan primer manusia, di sempurnakan dengan
menetapkan hukum yang dapat merealisir tujuan itu dengan cara yang sempurna.

Dalam kebutuhan sekunder, ketika disyariatkan berbagai bentuk muamalah, seperti jual
beli, sewa menyewa, koperasi dan bagi hasil, maka bdisempurnakan dengan larangan
melakukan penipuan, pemalsuan, dan jual beli barang yang tidak ada (ditempat akad).
Dijelaskan hal-hal seperti syarat, yang dapat menjadikan sah atau tidaknya akad, dan hal-
hal lain yang menjadikan muamalah itu dapat memenuhi kebutuhan manusia tanpa
menimbulkan pertengkaran dan kedengkiyan.

Dalam kebutuhan pelengkap, ketika disyaratkan hukum bersuci, disunnahkan pula hal-
hal yang dapat menyempurnakan hukum itu. Ketika ditetapkan hukum sunnah, maka
dijadikan pula ketentuan yang wajib dilakukan dalam kesunnahan itu, agar mukallaf tidak
terbiasa membatalkan perbuatannya sebelum sempurna. Ketika disunnahkan berinfak
(bersedekah) maka disunnahkan agar yang disedekahkan itu dari hasil kerja yang halal.
Barang siapa mau memperdalam penelitiannya terhadap hukum-hukum syariat islam,
maka akan jelas bagi dia bahwa tujuan dari semua hukum syariat itu adalah menjaga
kebutuhan primer, sekunder, tersier atau menyempurnakan pemeliharaan kepada salah
satu tiga kepentingan tersebut.

(khoms yg mencetuskan apakah imam al-juwaini atau imam asy-syatibi)


Abdullah ibn daros; mengkritik tentnag pengabaian maqasidus syari’ah (search)

Jalaluddin

Ini yg ditawarkan oleh imam jalaluddin :hifdzuddin = dhoruri= missal; solat

Hajiy=menutup aurat

Tahsiniy=pakek parfum

Hifdzunnafs = begitu seterusnya

Hifdzul aql = ----“-------

Anda mungkin juga menyukai