Anda di halaman 1dari 25

Window of Public Health Journal,Vol. xx No.

xx (Bulan, Tahun) : x-xx

ARTIKEL RISET
URL artikel: http://jurnal.fkm.umi.ac.id/index.php/woph/article/view/wophxxxx

Pengendalian Da n Pencegahan Stunting Melalui


Kader Pembangunan Manusia Di Kab. Jeneponto
K
Syamsul Alam1
1
Prodi Kesehatan Masyarakat, UIN Alauddin Makassar
Email Penulis Korespondensi/penulis pertama (K): syamsul.alam@uin-alauddin.ac.id
E-mail Penulis : syamsul.alam@uin-alauddin.ac.id
(085255393783)

ABSTRAK
(Huruf Kapital, Posisi ditengah, Tegak, Times New Roman 11, Spasi Satu)

Template ini merupakan format panduan untuk menulis artikel pada Window of Public Health Journal
(WoPHJ) yang sudah disesuaikan dengan gaya selingkung jurnal WoPHJ. Para penulis harus mengikuti
petunjuk yang diberikan dalam panduan ini. Dokumen ini dapat digunakan sebagai referensi dalam
menulis manuscript Anda. Pastikan untuk tidak mengubah style yang ada pada template ini, meliputi jenis
dan ukuran font, besar spasi, jarak indent, dan lain sebagainya. Jumlah halaman untuk jurnal W oPHJ
maksimal 13 halaman. Jika terdapat istilah-istilah asing yang belum dibakukan ditulis italic. Penulisan
abstrak maksimal 250 kata berbahasa Indonesia dengan menggunakan Times New Roman 10 point, spasi
1. Abstrak berisi: pendahuluan (1-2 kalimat), tujuan penelitian (1 kalimat), bahan dan metode (3-5
kalimat), hasil penelitian (3-5 kalimat), kesimpulan (1 kalimat) yang dibuat dalam 1 (satu) paragraf.

Kata kunci : Kata 1; kata 2; kata 3; kata 4; kata 5


Minimal 3 kata maksimal 5 kata (huruf kapital hanya terdapat pada kata kunci pertama, dipisahkan
dengan tanda titik koma (;) dan tidak diakhiri tanda titik pada kata kunci terakhir)

Article history : (dilengkapi oleh admin)


PUBLISHED BY :
Pusat Kajian dan Pengelola Jurnal ReceivedTanggalBulanTahun
Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI Received in revised form TanggalBulanTahun
Address : AcceptedTanggalBulanTahun
Jl. Urip Sumoharjo Km. 5 (Kampus II UMI) Available online TanggalBulanTahun
Makassar, Sulawesi Selatan. licensedbyCreativeCommonsAttribution-ShareAlike4.0InternationalLicense.
Email :
jurnal.woph@umi.ac.id
Phone :
+62 853 9504 1141

Penerbit :Pusat Kajian Dan Pengelola Jurnal Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI 1
Window of Public Health Journal,Vol. xx No. xx (Bulan, Tahun) : x-xx E-ISSN 2721-2920

ABSTRACT
(Capital, Center Position, Times New Roman 11, Italic, One Space)

This template is a guide format for writing articles on the Window of Public Health Journal (WoPHJ)
that has been adapted to the style of the WoPHJ journal. The authors must follow the instructions given
in this guide. This document can be used as a reference in writing your manuscript. Be sure not to change
the style that is in this template, including font type and size, space size, indent distance, and so on. The
maximum number of pages for a WoPHJ is 13 pages. If there are foreign terms that have not been
standardized, italic is written. Writing abstracts of up to 250 Indonesian words using Times New Roman
10 points, spacing 1. Abstract contains: introduction (1-2 sentences), research objectives (1 sentence),
materials and methods (3-5 sentences), research results (3 -5 sentences), conclusions (1 sentence) made
in 1 (one) paragraph.

Keywords : Word 1; word 2; word 3; word 4; word 5


At least 3 words maximum of 5 words (capital letters are only found in the first keyword, separated by
point commas (;) and are not terminated on the last keyword)

PENDAHULUAN
(Huruf Kapital, Posisi Ditengah, Tegak, Ditebalkan, Times New Roman12, Spasi 1,5)

Kekurangan gizi pada anak balita merupakan masalah gizi secara global dan sampai saat ini
masih mejadi perhatian utama di dunia, terutama pada sebagaian besar berada di negara berkembang
termasuk Indonesia (MCA Indonesia 2013). Masalah kekurangan gizi yang ditemukan baik itu masalah
akut dan atau kronik terdiri dari tiga kategori yaitu gizi pendek yang biasa diistilahkan stunting , gizi
kurang (underweight) dan kurus (wasting) serta mikronutrient yaitu kekurangan gizi mikro baik itu
vitamin maupun mineral. Hasil riset kesehatan dasar menjukkan prevalensi stunting masih diatas angka
standar global sesuai yang direkomendasikan oleh badan kesehatan dunia atau WHO (stunting < 20%)
yaitu pada tahun 2007 sebesar 36,8%, tahun 2010 34,6% meningkat pada tahun 2013 sebesar 37,2 %
dan terjadi penurunan 6,2% dalam kurun waktu lima tahun yaitu sebesar 30,8% pada tahun 2018 (Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan 2018).

Di Sulawesi Selatan menunjukan prevalensi balita dengan masalah kekurangan gizi atau
underweight adalah 25,1%, stunting sebesar 35,6 % dan balita wasting sebesar 9,3 %. Salah satu dari
tiga kabupaten di Sulawesi Selatan dengan prevalesi masalah giz pada balita adalah Kabupaten
Jeneponto. Hasil Riskesdas (2018) menunjukan prevalensi balita dengan masalah underweight adalah
35,8%, stunting sebesar 48,4 % dan balita wasting sebesar 11,7 %. Ini menggambarkan bahwa masalah
gizi balita di Kab. Jeneponto dengan kategori akut-kronis dan merupakan salah satu kabupaten tertinggi
di Sulawesi Selatan.

Kekurangan gizi yang terjadi pada anak balita dapat berdampak besar jika tidak tertangani
dengan baik. Dampak jangka pendek dari kekurangan gizi adalah angka kesakitan dan kematian yang
meningkat, gannguan tumbuh kembang anak, dan meningkatnya beban tanggungan pembiayaan
kesehatan. Sedangkan dampak jangka panjangnya dapat menyebabkan gangguan kesehatan reproduksi,
prestasi belajar tidak tercapai dan produktivitas kerja yang rendah (B. et al. 2010) (Müller and

Penerbit :Pusat Kajian dan Pengelola Jurnal Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI 2
Window of Public Health Journal,Vol. xx No. xx (Bulan, Tahun) : x-xx E-ISSN 2721-2920

Krawinkel 2005). Resiko penyakit degenerative lebih besar akan diderita ketika dewasa bagi anak
dengan berat badan lahir rendah (BBL kurang dari 2500 gr) dan berlanjut pada masa kanak-kanaknya
mengalami kekurangan gizi (García Cruz et al. 2017) (Paudel et al. 2012)(Reurings et al. 2013).
Berbagaia penelitian yang dilakukan di berbagai negara menunjukkan hubungan yang signifikan antara
kejadian stunting dan BBLR yaitu anak yang lahir BBLR beresiko 20% menderita stunting (Oncol
2010)

Gannguan pertumbuhan pada anak memberikan kontribusi yang besar pada kualitas sumber
daya manusia yang tentunya akan berdampak dari berbagai aspek pada pembangunan suatu bangsa.
Dampak nyatanya adalah rendahnya pertumbuhan ekonomi, meningkatnya angka kemiskinan, dan
ketimpangan yang meluas. Berbagai fakta dan pengalama beberapa negara di dunia menggambarkan
bahwa kekurangan gizi sepertu stunting mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan produktivitas pasar
kerja yang menurun (Hoddinott et al. 2013).

Berbagai upaya perbaikan gizi masyarakat telah dilakukan selama ini, seperti kegiatan promosi
gizi melalui media, kegiatan penyuluhan gizi dan pemberian makanan pendamping air susui ibu (MP-
ASI) di posyandu, pangan fungsional, fortifikasi dan suplemtasi gizi, surveilans gizi, namun pada
kenyataannya masih banyak masayarkat atau keluarga balita yang memiliki perilaku yang kurang sehat
dan masih tingginya prevalesi masalah gizi balita. Praktek asuhan gizi keluarga belum terlaksan optimal
karena masih banyaknya kasus gizi kurang dan gizi buruk di masyarakat khusunya pada kelompok umur
balita. Salah satu langkah yang cukup strategis untuk menimbulkan motivasi kearah perbaikan perilaku
pengasuhan yang baik sesuai dengan konsep kesehatan adalah melakukan pemberdayaan masyarakat
yang salah satunya adalah pemanfaatan asset sumber daya yang tersedia di desa dengan pendekatan
asset-based community development (ABCD) (Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan
Transmigrasi 2017) .

Kementrian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi telah menetapkan


regulasi kebijakan penting mengenai prioritas pencegahan stunting melalui pemanfaatan dana desa.
Kebijakan konvergensi pencegahan stunting di desa dari KEMENDES merupakan upaya untuk
memastikan bahwa nana desa diprioritaskan untuk pencegahan stunting. Pendampingan yang dilakukan
kepada pemerinta dan masayarakat desa melalui fasilitasi konvergensi diharapkan kegiatan program
pembangunan di desa yang berdampak langsung pada upaya percepatan pencegahan stunting. Bentuk
pendampingan dalam pencegahan stunting di desa dilakukan oleh Kader Pembangunan Manusia (KPM)
yang telah dibentuk oleh pemerintah setempat dan fasilitatori oleh tenaga pendamping masyarakat desa.

Keberadaan kader pembangunan desa diharapkan dapat menjadi promotor atau garda terdepan
pada pengendalian dan pencegahan stunting. Salah satu kabupaten yang telah melaksanakan lokus
stunting adalah Kab.Jeneponto dengan prevalensi stunting sebesar 48,8% pada tahun 2018 dan
diharapkan terjadi penurunan 19% pda tahun 2023 (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
2018). Diharapan terjadi penurunan stunting sebesar 5,76% setiap tahunnya seiring dengan adanya lokus

Penerbit :Pusat Kajian dan Pengelola Jurnal Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI 3
Window of Public Health Journal,Vol. xx No. xx (Bulan, Tahun) : x-xx E-ISSN 2721-2920

kabupaten prioritas program penanggulangan stuting dan adanya kader pembangunan manusia pada
program lokus stunting yang berjalan. Olehnya itu penelitian ini perlu dilakukan sebagai masukan untuk
keberlangsungan dan keberlanjutan peran KPM pada upaya pengendalian dan pencegahan stunting
sehingga target penurunan prevalensi stunting Kabupaten Jeneponto, Provinsi Sulawesi Selatan dapat
tercapai sesuai rekomendasi WHO dengan prevalensi stunting disuatu wilaya kurang dari 20%. Tujuan
penelitian adalah menganalisi peran Kader Pembangunan Manusia (KPM) pada upaya
pengendalian dan pencegahan stunting di Kabupaten Jeneponto (Lokus Stunting) dan
menganilisis perubahan prevalensi stunting sebelum dan setelah adanya kader pembangunan
manusia di desa.

METODE
Penelitian ini menggunakan metode penelitian studi deskriptif dengan pendekatan kantitatif dan
kualitatif. Data kuantitatif diperkuat dengan data kualitatif, yang diperoleh dari hasil wawancara
mendalam terhadap informan. Pengumpulan data kuantitatif diperoleh melalui wancara langsung kepada
Kader Pembangunan Manusia (KPM) dengan menggunakan kuesioner terstruktur yang terdiri dari
beberapa pertanyaan yaitu pertanyaan yang berisi tentang karakteristik demografi responden, tugas kader
KPM, Hubungan KPM dengan kelembagaan desa, peningkatan kapasitas dan Operasional KPM,
pemanfaatan dana desa pada upaya stunting, serta pengetahuan KPM tentang pendataan, pemantauan
layanan bagi sasaran rumah tangga 1000 HPK dan stunting. Dikumpulkan pula data kuantitatif berupa
prevalensi stunting tingkat desa yang diperoleh berdasarkan laporan pemantauan status gizi yang
dilakukan oleh tenaga pelaksana gizi di puskesmas setiap bulan dan data kabupaten diperoleh dari
laporan haril riset studi status gizi indonesia tahun 2020 dan 2021 yang dilakukan oleh
BALITBANGKES RI kerja sama dengan Dinas Kesehatan Kabupate Jeneponto.
Fokus daerah yang menjadi sampel pada penelitian ini yaitu desa dengan adanya KPM yang telah
melakukan program pencegahan stunting. Waktu penelitian ini dilakukan bulan Maret – Juji 2022.
Sampel pada penelitian ini diperoleh melalui teknik non probability sampling dengan teknik purposive
sampling sehingga diperoleh jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 44 responden. data
menguatkan data kuantitatif maka diperlukan infotmasi pendukukng/data kualitatif yang dioperoleh dari
beberap informan. Informan yang ditetapkan secara sengaja atas dasar kriteria atau pertimbangan
tertentu.

HASIL
Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Jeneponto pada Bulan Maret-Juni Tahun 2022, dengan
subyek utama penelitian adalah Kader Pembangununan Manusia (KPM) yang telah dibentuk oleh
pemerintah setempat dan bertugas di masing-masing desa sesuai dengan tempat domisili KPM. Untuk
mengetahui adanya perubahan prevalensi stunting di Kabupaten Jeneponto selama keberadaan KPM di
desa, dilakukan analisis data status gizi yang bersumber dari laporan pemantauan perrtumbuhan oleh
puskesmas dan data hasil riset studi status gizi di Kabupaten Jeneponto tahun 2020 dan 2021.

Penerbit :Pusat Kajian dan Pengelola Jurnal Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI 4
Window of Public Health Journal,Vol. xx No. xx (Bulan, Tahun) : x-xx E-ISSN 2721-2920

Tabel 4.1 Distribusi frekuensi berdasarkan karakteristik KPM


Karakteristik KPM Jumlah (n = 44) Persentase (%)
Kelompok Umur
22 – 34 tahun 32 72,7
35 – 47 tahun 12 27,3

Jenis Kelamin
Laki-laki 5 11,4
Perempuan 39 88,6

Pendidikan Terakhir
SMA 23 52,3
Diploma (D1/D2/D3) 4 9,1
Sarjana (S1) 17 38,6

Pekerjaan Utama KPM


Tidak bekerja 9 20,5
Petani 3 6,8
Wiraswasta/ Dagang/ Jual-jual 6 13,6
Honorer/ Tenaga harian 18 40,9
Ibu rumah tangga 5 11,4
Mahasiswa 2 4,5
Kader PKK dan Dasawisma 1 2,3

Tahun mulai bekerja sebagai KPM


2020
2021
2022
28 63,6
9 20,4
7 16,0
Sumber : Data primer, 2022

Berdasarkan tabel 1. di atas, diketahui bahwa dari 44 orang responden, terdapat 32 orang (72,7%)
yang termasuk dalam kelompok umur 22 – 34 tahun. Diketahui pula bahwa mayoritas KPM berjenis
kelamin perempuan, yaitu 39 orang (88,6%). Terdapat 17 orang (38,6%) yang lulusan S1, dan 23 orang
(52,3%) lulusan SMA. Pekerjaan utama KPM yang paling mendominasi adalah honorer, dengan jumlah
18 orang (40,9%), dan sebanyak 28 orang (63,6%) mulai bekerja sebagai KPM pada tahun 2020.
Berdasarkan tabel 2 di bawah, diketahui bahwa dari 44 orang responden dan 7 tugas pokok KPM,
mayoritas telah menjalankan tugasnya. Terdapat 38 orang (86,4%) telah melakukan sosialisasi kebijakan
konvergensi pencegahan stunting pada masyarakat, 35 orang (79,5%) melakukan konseling gizi dan
Kesehatan ibu – anak kepada para kepala rumah tangga. 41 orang (93,2%) telah melakukan pendataan
sasaran rumah tangga 1.000 HPK, memfasilitasi peningkatan belanja APBDes untuk kegiatan pencegahan
stunting, dan juga memfasilitasi masyarakat agar berperan aktif dalam perencanaan, pelaksanaan, dan
pegawasan program layanan gizi. Selain itu, semua KPM (100%) juga telah melakukan pemantauan
layanan pencegahan stunting terhadap sasaran rumah tangga 1.000 HPK, dan bekerja sama dengan
berbagai pihak dalam pelayanan pencegahan stunting.

Penerbit :Pusat Kajian dan Pengelola Jurnal Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI 5
Window of Public Health Journal,Vol. xx No. xx (Bulan, Tahun) : x-xx E-ISSN 2721-2920

Tabel2. Distribusi frekuensi berdasarkan tugas KPM

Tugas KPM Jumlah (n = Persentase (%)


44)
a. Mensosialisasikan kebijakan konvergensi pencegahan stunting di Desa kepada masyarakat di
Desa, termasuk memperkenalkan tikar pertumbuhan untuk pengukuran panjang/tinggi badan
baduta sebagai alat deteksi dini stunting.
Ya
Tidak 38 86,4
b. Melakukan pendataan secara menyeluruh (1 desa) sasaran rumah tangga 1.000 HPK. 6 13,6
Ya
Tidak
41 93,2
c. Melakukuan pemantauan layanan pencegahan stunting terhadap sasaran rumah tangga 1.000
3 6,8
HPK untuk memastikan setiap sasaran pencegahan stunting mendapatkan layanan yang
berkualitas.
Ya
Tidak 44 100
d. Memfasilitas dan mengadvokasi peningkatan belanja APBDes utamanya yang bersumber dari 0 0
Dana Desa, untuk digunakan membiayai kegiatan pencegahan stunting.
Ya
Tidak
e. Memfasilitasi suami ibu hamil dan bapak dari anak usia 0-23 bulan untuk mengikuti kegiatan
konseling gizi serta kesehatan ibu dan anak. 41 93,2
Ya 3 6,8
Tidak
f. Memfasilitasi masyarakat Desa untuk berpartisipasi aktif dalam perencanaan, pelaksanaan dan
pengawasan program/kegiatan pembangunan Desa untuk pemenuhan layanan gizi.
Ya 35 79,5
Tidak 9 20,5
g. Berkoordinasi dan/atau kerjasama dengan para pihak yang berperan serta dalam pelayanan
pencegahan stunting, seperti bidan Desa, petugas puskesmas (petugas gizi, petugas promosi
41 93,2
kesehatan, sanitarian), guru PAUD dan/atau perangkat Desa.
3 6,8
Ya
Tidak

44 100
0 0
Sumber : Data primer, 2022

Hasil wawancara mendalam terhadap KPM diperoleh beragam informasi tentang tugas KPM.
Peneliti menanyakan tujuh poin utama tugas KPM yaitu Masih terdapat KPM (13,6%) di desa tidak
mensosialisasikan kebijakan konvergensi pencegahan stunting kepada masyarakat di desa, termasuk
memperkenalkan tikar pertumbuhan untuk pengukuran panjang/tinggi badan baduta sebagai alat deteksi
dini stunting. Hasil wawancara mendalam terhadap KPM diperoleh informasi bahwa :
“sosialisasi yang saya lakukan untuk kebijakan konvergensi stunting itu kebanyakan itu yang
saya sosialisasikan soal pemeriksaan diri dan juga pentingnnya menjaga gizi dari balita, itu
biasanya dilakukan di posyandu atau dari rumah ke rumah untuk pendataan sekaligus
sosialisasi, kegiatan ini di laksanakan biasanya setiap hari posyandu”
(R, 30 Tahun, Perempuan, SMA, KPM, 20 Mei, Desa Bontomanai)
“kami bekerjasama bersama nakes, untuk melakukan sosialisasi agar tidak stunting dan balita
dapat di jaga pola makannya, kami melakukan di setiap posyandu”
(J, 32 Tahun, Perempuan, S1, KPM, 1 April, Desa Bululoe)
“pendataan yang saya lakukan di desa, biasanya saya lakukan bersama kader posyandu dari
rumah ke rumah tapi lebih sering dilakukan di posyandu, sedangkan kalau dari ibu hamilnya
kita ambil datanya itu di bidan desa, alat yang biasa saya gunakan untuk pendataan itu ada
Penerbit :Pusat Kajian dan Pengelola Jurnal Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI 6
Window of Public Health Journal,Vol. xx No. xx (Bulan, Tahun) : x-xx E-ISSN 2721-2920

aplikasi yang di ajarkan yaitu aplikasi HDW itu tinggal di isi-isi saja”
(R, 30 Tahun, Perempuan, SMA, KPM, 20 Mei, Desa Bontomanai)
“kalau pemantauannya itu sekaligus yah, ketika pendataan kami juga melihat apakah memadai
fasilitas yang di gunakan, saya bersama kader-kader posyandu dalam pemantauan”
(J, 32 Tahun, Perempuan, S1, KPM, 1 April, Desa Bululoe)

“saya melakukan pemantauan itu langsung ke rumahnya atau saya tanyakan langsung ke
sasarannya bagaimana layanan kesehatannya, kalau saya melakukan pemantauan itu
biasanya di temani sama kader posyandu, bidan desa, dan petugas puskesmas”
(RM, 27 Tahun, Perempuan, SMK, KPM, 27 Mei, Desa Jombe)
“alhamdulillah anggaran itu tersalurkan dengan baik, karena banyak kemarin tahun lalu
pemberian PMT dan sebako untuk semua sasaran balita dan itu langsung di panggil ke
kantor desa untuk di berikan secara langsung, itu di laksanakan dua kali tahun lalu. Beda
yang di berikan posyandu dan juga pemberian oleh pemerintah desa”
(RH, 30 Tahun, Perempuan, S1, KPM, 31 Maret, Desa Bungungloe)
“saya selalu melakukan pembicaraan tapi selalu juga tidak ada tindakan, saya mengirimkan
surat pencairan dana untuk kegiatan itu juga tidak ada tindakan sampai sekarang, awalnya
kita semangat tapi ketika tidak ada respon dari pemerintah kita jadi malas untuk berbicara
lagi”
(BH, 38 Tahun, Laki-Laki, S1, KPM, 30 Maret, Desa Paitana)
ada beberapa kegiatan konseling seperti kelas ibu hamil, kelas ibu menyusui dan kelas anak
balita, biasanya di lakukan 3-4 bulan dalam 1 tahun, kegiatan ini dilakukan di pustu”
(SR, 45 Tahun, Perempuan, SMK, KPM, 20 Mei, Desa Pallantikang)

“ada kelas ibu hamil itu di lakukan pada bulan januari dan maret. Yang memberikan materi
dari bidan puskesmas”
(SS, 31 Tahun, Perempuan, D-3, KPM, 12 April, Desa Rumbia)
“kalau soal pembicaraan untuk melaksanakan, merencanakan dan pengawasan program untuk
masyarakat itu tidak pernah di lakukan”
(R, 30 Tahun, Perempuan, SMA, KPM, 20 Mei, Desa Bontomanai)

“ini tidak pernah dilakukan”


(J, 32 Tahun, Perempuan, S1, KPM, 1 April, Desa Bululoe)

“kami melakukan koordinasi itu biasanya secara online, untuk membicarakan apa saja yang
kurang dalam pendataan, yang saya temani dalam berkoordinasi itu bidan desa, petugas
puskesmas”
(J, 32 Tahun, Perempuan, S1, KPM, 1 April, Desa Bululoe)

“kalau ada kegiatan itu biasanya KPM dan kader-kader itu mengajak masyarakat atau biasa
juga itu ibu-ibu PKK membuat program kesehatan kayak senam ibu hamil, atau juma’at
bersih”
(RH, 30 Tahun, Perempuan, S1, KPM, 31 Maret, Desa Bungungloe)

Berdasarkan tabel 3. diketahui bahwa, semua KPM telah menjalankan koordinasi dengan
pemerintah desa, dan 19 orang diantaranya (43,2%) melakukannnya setiap bulan, terdapat 31
orang (70,5%) yang berkoodinasi dengan BPD dengan 17 orang diantaranya (38,6%) melakukan
tiap 3 bulan, dan hanya 2 orang (4,5%) yang setiap 4 bulan. Selain itu, semua KPM (100%) juga
telah berkoordinasi dengan tim pelayanan Kesehatan desa, di mana mayoritas melakukannya
pada setiap bulan, yaitu sebanyak 36 orang (81,8%). Lalu, terdapat 43 orang (97,7%) yang juga
bekerja sama dengan penyedia layanan Pendidikan desa, koordinasi ini dilakukan setiap bulan
Penerbit :Pusat Kajian dan Pengelola Jurnal Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI 7
Window of Public Health Journal,Vol. xx No. xx (Bulan, Tahun) : x-xx E-ISSN 2721-2920

oleh 23 orang (53,3%).


KPM juga perlu berkomunikasi dengan Lembaga sosial keagamaan di desa. Pada
penelitian ini, terdapat 36 orang (81,8%) yang melakukan hal tersebut. Terdapat 14 orang
(31,8%) yang berkomunikasi setiap bulan, dan hanya 2 orang (4,5%) yang setiap 6 bulan.
Kemudian, sebanyak 42 orang (95,9%) berkoodinasi dengan tenaga pendamping desa. Terdapat
15 orang yang melakukan hal ini setiap bulan.
Tabel 3. Distribusi frekuensi berdasarkan hubungan KPM dengan kelembagaan desa
Hubungan KPM dengan Kelembagaan Desa Jumlah (n = 44) Persentase (%)
a. Berkoordinasi dengan Pemerintahan Desa/Kepala Desa pada kegiatan upaya pencegahan stunting
di desa. 44 100
Ya 0 0
Tidak
b. Frekuensi berkoordinasi dengan Pemerintahan Desa/Kepala Desa pada kegiatan upaya pencegahan
stunting di desa selama tahun 2021.
Setiap bulan (1 kali sebulan)
Setiap 3 bulan (4 kali dalam setahun)
19 43,2
Setiap 4 bulan (3 kali dalam setahun)
15 34,1
Setiap 6 bulan (2 kali dalam setahun)
3 6,8
Satu kali dalam setahun
3 6,8
Tidak pernah sama sekali
3 6,8
c. Berkoordinasi dengan Badan Permusyawatan Desa (BPD) pada kegiatan upaya pencegahan
1 2,3
stunting di desa.
Ya
Tidak
d. Frekuensi berkoordinasi dengan Badan Permusyawatan Desa (BPD) pada kegiatan upaya 31 70,5
pencegahan stunting di desa selama tahun 2021. 13 29,5
Setiap bulan (1 kali sebulan)
Setiap 3 bulan (4 kali dalam setahun)
Setiap 4 bulan (3 kali dalam setahun)
Setiap 6 bulan (2 kali dalam setahun)
Satu kali dalam setahun 9 20,5
Tidak pernah sama sekali 17 38,6
e. Berkoordinasi dengan penyedia layanan kesehatan di Desa seperti puskesmas pembantu (pustu), 2 4,5
polindes, dan penyedia layanan kesehatan lainnya pada kegiatan upaya pencegahan stunting di 3 6,8
desa. 3 6,8
Ya 10 22,7
f. Frekuensi berkoordinasi dengan penyedia layanan kesehatan di Desa seperti puskesmas pembantu
(pustu), polindes, dan penyedia layanan kesehatan lainnya pada kegiatan upaya pencegahan
stunting di desa.
Setiap bulan (1 kali sebulan) 44 100
Setiap 3 bulan (4 kali dalam setahun)
Setiap 4 bulan (3 kali dalam setahun)
Satu kali dalam setahun
g. Berkoordinasi dengan penyedia layanan pendidikan di desa seperti Guru TK, Guru PIUD pada 81,8
kegiatan upaya pencegahan stunting di desa. 36 11,4
Ya 5 2,3
Tidak 1 4,5
h. Frekuensi berkoordinasi dengan penyedia layanan pendidikan di desa seperti Guru TK, Guru 2
PIUD pada kegiatan upaya pencegahan stunting di desa.
Setiap bulan (1 kali sebulan)
Setiap 3 bulan (4 kali dalam setahun) 97,7
Setiap 4 bulan (3 kali dalam setahun) 43 2,3
Setiap 6 bulan (2 kali dalam setahun) 1
Satu kali dalam setahun
i. Berkoordinasi dengan organisasi sosial keagamaan di desa seperti kelompok majelis taklim, PKK 53,3
Desa, Karang taruna, dan sebagainya, pada kegiatan upaya pencegahan stunting di desa. 25,0
Ya 23
11 4,5
Tidak 9,1
j. Frekuensi berkoordinasi dengan organisasi sosial keagamaan di desa seperti kelompok majelis 2
4 9,1
taklim, PKK Desa, Karang taruna, dan sebagainya, pada kegiatan upaya pencegahan stunting di
desa. 4
Setiap bulan (1 kali sebulan)
Setiap 3 bulan (4 kali dalam setahun) 81,8
Setiap 4 bulan (3 kali dalam setahun) 18,2
36
Setiap 6 bulan (2 kali dalam setahun)
8
Satu kali dalam setahun
Tidak pernah sama sekali
k. Berkoordinasi dengan tenaga pendamping desa pada kegiatan upaya pencegahan stunting di desa.
Ya 31,8
Tidak 29,5
Penerbit :Pusat Kajian dan Pengelola Jurnal Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI 8
Window of Public Health Journal,Vol. xx No. xx (Bulan, Tahun) : x-xx E-ISSN 2721-2920

l. Frekuensi berkoordinasi dengan tenaga pendamping desa pada kegiatan upaya pencegahan 14 9,1
stunting di desa. 13 4,5
Setiap bulan (1 kali sebulan) 4 9,1
Setiap 3 bulan (4 kali dalam setahun) 2 15,9
Setiap 4 bulan (3 kali dalam setahun) 4
Setiap 6 bulan (2 kali dalam setahun) 7 95,5
Satu kali dalam setahun 4,5
Tidak pernah sama sekali 42
2

34,1
31,8
15 6,8
14 11,4
3 11,4
5 4,5
5
2

Tabel 4. Distribusi frekuensi mengenai Peningkatan Kapasitas dan Organisasi KPM

Peningkatan Kapasitas dan Operasional KPM Jumlah (n = Persentase (%)


44)
a. Pernah mendapatkan fasilitas pengembangan kapasitas berupa pelatihan dasar dan beragam kegiatan
pembelajaran tentang kegiatan upaya pencegahan stunting di desa.
Ya
Tidak 32 72,7
b. Pernah mendapatkan fasilitas pengembangan kapasitas berupa pelatihan tentang kegiatan upaya 12 27,3
pencegahan stunting di desa.
Ya
Tidak
30 68,2
c. Sumber pembiayaan kegiatan pelatihan yang KPM (Bapak/Ibu) ikuti.
14 31,8
APBD Desa/ Dana desa
Puskesmas/ Dinas Kesehatan kabupaten
Kementerian terkait/ Pusat (Kementerian desa, Kemenkes) 28 63,6
Tidak diketahui 6 13,6
d. Mendapatkan intensif untuk operasional kegiatan upaya pencegahan stunting di desa. 3 6,8
Ya 7 15,9
Tidak
e. Sumber dana operasional KPM.
APBD Desa/ Pemerintah desa
Puskesmas 42 95,5
APBD Desa/ Pemerintah desa dan puskesmas 2 4,5

40 90,9
1 2,3
3 6,8
Sumber : Data primer, 2022

Berdasarkan tabel 4. di atas, diketahui bahwa dari 44 orang KPM, terdapat 32 orang
(72,7%) yang mendapat fasilitas pengembangan kapasitas berupa pelatihan dasar dan kegiatan
pembelajaran, terdapat 30 orang (68,2%) yang mendapatkan fasilitas pengembangan kapasitas,
di mana 28 orang diantaranya (63,6%) bersumber dari APBD Desa. Selain itu, diketahui pula
bahwa sebanyak 42 orang (95,5%) mendapatkan insentif untuk operasional kegiatan pencegahan
stunting, dan kebanyakan bersumber dari APBD Desa, yaitu 40 orang (90,9%).
Berdasarkan tabel 5 diketahui bahwa dari 44 orang responden, terdapat 43 orang (97,7%)
yang menyatakan bahwa terdapat anggaran dana desa terhadap program air bersih dan sanitasi.
Selain itu 100% KPM mengetahui bahwa dana desa juga dianggarkan untuk program makanan
tambahan untuk balita. Terdapat 34 orang (77,3%) menyebutkan hal yang sama untuk program
pelatihan pemantauan perkembangan Kesehatan ibu hamil atau ibu menyusui, 42 orang (95,5%)

Penerbit :Pusat Kajian dan Pengelola Jurnal Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI 9
Window of Public Health Journal,Vol. xx No. xx (Bulan, Tahun) : x-xx E-ISSN 2721-2920

juga menjabarkan bahwa ada anggaran desa untuk operasional posyandu.


Berikutnya, diketahui bahwa sebanyak 25 orang (56,8%) menyatakan bahwa dana desa
tidak dianggarkan untuk program apotik hidup desa, 33 orang (75%) menyebutkan bahwa
terdapat anggaran dalam kegiatan pengembangan ketahanan pangan, 29 orang (65,9%)
menyatakan, tidak terdapat dana untuk program penanganan kualitas hidup lainnya, dan 29 orang
pula (65,9%) yang menjelaskan bahwa tidak ada sumber dana lainnya untuk upaya pelayanan
gizi dan pencegahan stunting selain dari dana desa.

Tabel 5. Distribusi frekuensi berdasarkan Pemanfaatan Dana Desa pada upaya pencegahan stunting

Pemanfaatan Dana Desa pada Upaya Stunting Jumlah (n) Persentase (%)

a. Program penyediaan air bersih dan sanitasi pada tahun 2021.


Ya 43 97,7
Tidak 1 2,3
b. Program pemberian makanan tambahan dan bergizi untuk balita pada tahun 2021.
Ya
Tidak 44 100
c. Program pelatihan pemantauan perkembangan kesehatan ibu hamil atau ibu menyusui pada tahun 0 0
2021.
Ya
Tidak
34 77,3
d. Bantuan posyandu untuk mendukung kegiatan pemeriksaan berkala kesehatan ibu hamil atau ibu
10 22,7
menyusui pada tahun 2021.
Ya
Tidak
e. Program pengembangan apotik hidup desa dan produk hotikultura untuk memenuhi kebutuhan gizi 42 95,5
ibu hamil atau ibu menyusui pada tahun 2021. 2 4,5
Ya
Tidak
f. Program pengembangan ketahanan pangan di desa pada tahun 2021.
Ya 19 43,2
Tidak 25 56,8
g. Program kegiatan penanganan kualitas hidup lainnya (ambulance desa, pelayanan kesehatan
darurat, pemenuhan gizi bayi usia 0-11 bulan) yang sesuai dengan kewenangan desa dan 33 75,0
diputuskan dalam musyawarah desa pada tahun 2021. 11 25,0
Ya
Tidak
h. Sumber pembiayaan lainnya (selain dana desa) pada upaya pelayanan gizi dan pencegahan anak
kerdil (stunting).
Ya
15 34,1
Tidak
29 65,9

15 34,1
29 65,9
Sumber : Data primer, 2022

Responden/KPM diberikan pertanyaan tentang pengetahuannya tentang pendataan,


pemantauan layanan bagi sasaran rumah tangga 1.000 HPK dan Stunting yang terdiri dari 10
pertanyaan. Isi pertanyaan berupa pengetahuan umum KPM tentang layanan sasaran 1.000 HPK,
pengetahuan stunting, dan pengetahuan kegiatan pencegahan stunting berupa intervensi gizi
spesifik maupun sensitif. Hasil penelitian tentang pengetahuan KPM tergambar pada tabel Grafik

Penerbit :Pusat Kajian dan Pengelola Jurnal Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI 10
Window of Public Health Journal,Vol. xx No. xx (Bulan, Tahun) : x-xx E-ISSN 2721-2920

4.1 dan tabel 4.7.


Berdasarkan tabel 6 dan grafik 4.1 di atas, diketahui bahwa dari 44 orang responden,
terdapat 24 orang (54,5%) yang berpengetahuan baik mengenai pendataan dan pemantauan
layanan bagi rumah tangga 1.000 HPK dan stunting. Namun, terdapat 20 orang diantaranya
(45,5%) yang masih berpengetahuan kurang mengenai hal tersebut. Rerata skor pengetahuan
KPM 74,77 dengan nilai tertinggi 100 dan terendah dengan skor 20 poin. Dari 10 pertanyaan
yang diberikan sebayak 43,2% KPM yang ada di Kabupaten Jeneponto tidak mengetahui
tentang ibu bersalin harus mendapatkan layanan nifas oleh tenaga kesehatan, masih tingginya
jawaban yang salah yaitu 34,1% pada pertanyaan tentang Ibu hamil mendapatkan dan minum 1
tablet tambah darah (pil FE) setiap hari, serta masih ada 34,1% KPM tidak mengetahui bulan
pengukuran tinggi/panjang badan anak usia 0-23 bulan oleh tenaga kesehatan terlatih minimal 2
kali dalam setahun (februari dan agustus.

Grafik 4.1. Persentase Jawaban Pengetahuan KPM (10 Per-


tanyaan)
Ibu bersalin mendapatkan layanan nifas oleh nakes dilaksanakan, yaitu ... 43.256.8
34.1 65.9
29.5 60.5
Bayi usia 12 bulan ke bawah mendapatkan imunisasi dasar lengkap. Jenis Imunisasi dasar lengkap yang harus didapat pada bayi usia 12 bulan ke bawah adalah … 27.3 62.7
34.1 65.9
18.2 81.8
Kegiatan pencegahan stunting berupa intervensi gizi spesifik maupun sensitif bagi sasaran rumah tangga 1.000 HPK dibagi dalam 5 (lima) paket layanan intervensi, kecuali … 20.5 79.5
4.5 95.5
34.1 65.9
1.000 HPK adalah singkatan dari? 11.4 88.6
0 20 40 60 80 100 120

Salah Benar

Tabel 6. Kategori Pengetahuan KPM


Pengetahuan Jumlah (n) Persentase (%) Ket
KPM
Baik 24 54,5% Mean = 74,77
Kurang 20 45,5% Maks = 100, Min = 20
Total 44 100 Mo = 100, Me = 80
Sumber : Data primer, 2022

PEMBAHASAN
Karakteristik KPM
KPM merupakan salah satu terobosan pemerintah melalui Kementerian Desa yang
mewajibkan setiap desa mengangkat dan menugaskan KPM di desa sebagai upaya, cara atau
solusi dalam percepatan pencegahan dan penanggulangan stunting di Indonesia. Kabupaten

Penerbit :Pusat Kajian dan Pengelola Jurnal Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI 11
Window of Public Health Journal,Vol. xx No. xx (Bulan, Tahun) : x-xx E-ISSN 2721-2920

Jeneponto merupakan salah satu daerah dengan prevalesnsi stunting yang sangat tinggi
sehingga pada tahun 2020 ditetapkan sebagai desa lokus stunting yang salah satu program
wajib pemberdayaan masyarakat desa yang harus dimplementasikan adalah keberadaa KPM
disetiap desa. Keberadaa KPM diharapkan mampu menfasilitasi pelaksanaan konvergensi
pencegahan stunting di desa (KDPDTT, 2018).

KPM yang diberikan mandat oleh desa telah memenuhi kriteria minimal SDM sesuai
petunjuk teknis pedoman umum KPM dari Direktur Jenderal Pembangunan dan
Pemberdayaan Masyarakat Desa. Beberapa kriteria KPM diantaranya adalah berpengalaman
sebagai kader masyarakat seperti kader posyandu, memiliki kemampuan komunikasi yang
baik khsusnya dapat berbahasa daerah setempat dan pendidikan minimal SLTP. Berdasarkan
hasil penelitian yang telah dilakukan di Kabupaten Jeneponto menjukkan bahwa KPM yang
telah bertugas saat ini sudas sesuai dengan kriteria KPM yang telah ditentukan, dimana 52,3%
pendidikan terendah KPM adalah SMA dan sebanyak 47,7% tamat perguruan tinggi yang
terdiri dari 38,6% strata satu dan 9,1% diploma. Mayoritas KPM berusia antara 22 – 34 tahun
yaitu sebanyak 72,7%. Ini menggambarkan bahwa KPM yang ada di Kabupaten Jeneponto
memiliki usia produktif dan sangat ideal dalam kegiatan pemberdayaan sehingga diharapkan
memberikan kontribusi yang besar dalam percepatan akselarasi konvergensi stunting di desa.

Berdasarkan latar belakang pekerjaan utama KPM menunjukkan keberagaman jenis


pekerjaaan mulai dari petani, wiraswasta, honorer/tenaga harian, adapula yang berstatus
mahasiswa, ibu rumah tangga bahkan ada sebagai kader PPK dan dasawisma. Mayoritas
KPM di Kab.Jeneponto adalah perempuan (88,6%), ini menggambarkan bahwa animo
perempuan terhadap kegiatan stunting sangat tinggi yang bisa saja dikarenakan bahwa
umumnya keberadaaan kader – kader di desa adalah perempuan, seperti kader posyandu,
kader gizi kader jumantik, dan kader-kader kesehatan lainnya. Terlepas dari hal tersebut,
keberadaan perempuan sebagai kader pembangunan manusia dipengaruhi oleh adanya rasa
kuat dalam dirinya teutama ingin melihat keadaan status kesehatan anak diwilayahnya dalam
keadaan normal atau tidak mengalami kekurangan gizi, apalagi KPM perempuan punya
pengalaman pribadi dalam proses pengasuhan anak dilingkup rumah tangganya. Hal inilah
yang mendorong sehingga KPM perempuan di Kabupaten Jeneponto lebih banyak dibanding
KPM laki-laki terlepas dari adanya keputusan dari pemerintah desa setempat.

Persentase jenis pekerjaan utama KPM yang terbanyak adalah tenaga honorer/tenaga
harian yaitu 40,9%. Keberagaman jenis pekerjaan utama KPM tidak menjadi suatu problem
dalam menjalankan tugasnya sebagai KPM selama KPM tersebut memilki komitmen dan
keinginan untuk memberikan kontribusi nyata dalam aksi konvergensi stunting. KPM yang
ada di Kab. Jeneponto ini sudah sesuai dengan salah satu kriteria utama sebagai seorang KPM
yang diharapkan memiliki kemampuan komunikasi yang baik dalam menfasilitasi dan
mengkoordinasikan kegiatan konvergensi stunting. Diperoleh pula informasi bahwa sebanyak
63,6% KPM mulai bertugas di desa sejak tahun 2020, ini menggambarkan bahwa pemerintah
setempat telah menjalankan amanat dari pusat tentang desa lokus stunting yang ditetapkan
pada tahun 2020 oleh kemeterian terkait yang mengharuskan KPM sudah ada di desa lokus.

Tugas KPM
KPM yang telah diberikan mandat oleh pemeritah desa diharapkan menjalankan tugas sesuai
tupoksinya. Berdasarkan buku pedomam umum KPM bahwa terdapat tujuh tugas pokok KPM di desa.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas KPM telah menjalankan tugasnya dengan rerata
persentase KPM yang menjalankan tugasnya mulai dari tugas 1 s.d.tugas 7 berada diangka 79,5%
s.d.100%. persentasen tertinggi adalah pada tugas 3 dan 7 yaitu 100% KPM yang diwawancarai telah
Penerbit :Pusat Kajian dan Pengelola Jurnal Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI 12
Window of Public Health Journal,Vol. xx No. xx (Bulan, Tahun) : x-xx E-ISSN 2721-2920

melakukuan pemantauan layanan pencegahan stunting terhadap sasaran rumah tangga 1.000 HPK
untuk memastikan setiap sasaran pencegahan stunting mendapatkan layanan yang berkualitas dan
berkoordinasi dan/atau kerjasama dengan para pihak yang berperan serta dalam pelayanan pencegahan
stunting, seperti bidan Desa, petugas puskesmas (petugas gizi, petugas promosi kesehatan, sanitarian),
guru PAUD dan/atau perangkat Desa.

2.1.1 Tugas 1 : KPM Mensosialisasikan kebijakan konvergensi pencegahan stunting di Desa


kepada masyarakat di Desa, termasuk memperkenalkan tikar pertumbuhan untuk
pengukuran panjang/tinggi badan baduta sebagai alat deteksi dini stunting.
Sosialisasi kebijakan konvergensi stunting yaitu upaya KPM di desa mengajak masyarakat
terutama sasaran rumah tangga 1.000 HPK mengikuti kegiatan konvergensi stunting. Hasil penelitian
menujukkan bahwa masih terdapat KPM (13,6%) di desa tidak mensosialisasikan kebijakan konvergensi
pencegahan stunting kepada masyarakat di desa, termasuk memperkenalkan tikar pertumbuhan untuk
pengukuran panjang/tinggi badan baduta sebagai alat deteksi dini stunting. Berdasarkan indepth
interview yang telah dilakukan diperoleh informasi bahwa KPM menggambarkan bahwa kegiatan
sosialisasi konvergensi stunting yang mereka pahami adalah sosialisasi tentang pelaksanaan kegiatan
rutinitas tingkat desa berupa pemeriksaan kesehatan anak dan pentingnya menjaga gizi balita melalui
pemberian makanan tambahan. Adapula yang beranggapan bahwa kegiatan penyampaian informasi
tentang stunting di posyandu merupakan bagian dari kegiatan sosialisasi kebiajakan konvergensi
stunting, padahal apa yang dilakukan oleh KPM sudah termasuk pada tahap implementasi kegaitan
konvergensi stunting.
Dasar kebijakan konvergensi stunting perlu dipahami oleh setiap KPM sebelum ia melakukan
sosialisasi sehingga mereka memahami secara mendasar tentang program-program pencegahan stunting
tingkat desa. Sehingga ketika KPM maelakukan sosialisasi konvergensi, mereka mampu mengajak
masyarakat setempat terutama sasaran rumah tangga 1.000 HPK untuk mengikuti berbagai kegiatan
penanggulangan dan pencegahan stunting sehingga terjalin koordinasi antar semua elemen yang ada di
desa untuk bergotong royong, bersatu padu teribat dan mengabdikan diri pada upaya meningkatkan
akses layanan pada sasran prioritas pencegahan stunting. Penelitian yang dilakukan oleh Permatasari,
dkk (2020) menemukan bahwa sosialisasi kebijakan konvergensi stunting belum optimal terlaksana
karena masih banyaknya elemen yang kurang mengerti tentang program pencegahan stunting
(Permanasari et al., 2020). Sosialisasi konvergensi stunting dapat dilakasnakan dengan baik oleh KPM
sebagaiaman pemerintah telah mengeluarkan kebijakan konvergensi stunting yang diharapkan dapat
membantu dalam pencegahan stunting yang akan di lakukan mencakup intervensi gizi spesifik dan
intervensi gizi sensitive (Permanasari et al., 2020).

2.1.2 Tugas 1 : KPM Melakukan pendataan secara menyeluruh (1 desa) sasaran rumah tangga
1.000 HPK.
KPM dalam menjalankan tugasnya wajib melakukan pendataan secara menyeluruh terhadap
sasaran prioritas yaitu rumah tangga 1.000 HPK. Tujuan dari pendataan ini adalah untuk mengetahui
permasalahan status kesehatan dan gizi di desa sebagai dasar untuk melakukan pemetaan sosial dan
perencanaan program konvergensi stuntuing di desa. Hasil penelitian ditemukan masih ada KPM (6,8%)
yang tidak melakukan pendataaan pada sasaran rumah tangga 1.000 HPK. Hal ini tentunya akan
berdampak dengan kinerja KPM tersebut karena mereka tidak memilki pondasi dasar dalam melakukan
intervensi kegiatan.
Data sasaran rumah tangga 1000 HPK adalah ibu hamil dan anak usia 0-23 bulan, kegiatan
pendataan 1000 HPK diawali dengan mendata layanan dan sasaran rumah tangga 1000 HPK ini
dilakukan untuk menilai kondisi layanan kesehatan dan pendidikan didesa yang akan diakses oleh
sasaran 1000 HPK dengan melalui, penyusunan peta sosial dasar secara partisipatif dan pengisian data
kondisi layanan. Akurasi data dan infortmasi sangat menunjang dalam membuat perencanaan dan
kegiatan yang ajan diimplementasikan. KPM yang telah melakukan pendataan diharapkan mampu
memecahakan masalah yang ada, tentunya data tersebut dikoordinasikan dengan pemerintah desa dan
petugas kesehatan setempat sehinnga terdapat komitmen bersama dalam merencanakan dan
Penerbit :Pusat Kajian dan Pengelola Jurnal Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI 13
Window of Public Health Journal,Vol. xx No. xx (Bulan, Tahun) : x-xx E-ISSN 2721-2920

megimplementasikan program pencegahan stunting yang telah dibahas dan disetujui pada saat rembuk
stunting desa.
2.1.3 Tugas 3 : Melakukuan pemantauan layanan pencegahan stunting terhadap sasaran rumah
tangga 1.000 HPK untuk memastikan setiap sasaran pencegahan stunting mendapatkan layanan
yang berkualitas.
Mayoritas KPM telah melakukan pemantauan layanan pencegahan stunting terhadap sasaran
rumah tangga 1.000 HPK. Terpantaunya sasaran rumah tangga 1000 HPK seperti kondisi layanan dan
jumlah sasaran rumah tangga 1000 HPK (ibu hamil dan anak 0-23 bulan), hasil pengukuran tikar
pertumbuhan (deteksi dini stunting), kelengkapan konvergensi paket layanan pencegahan stunting bagi
sasaran rumah tangga 1000 HPK, tingkat perkembangan konvergensi desa dan jumlah dana desa yang
digunakan untuk pencegahan stunting. Data pemantauan layanan merupakan salah satu instrumen
uatama oleh KPM dan pemerintah desa untuk merencanakan dan melaksanakan kegiatan intevensi
stunting tingkat desa. Kegiatan pemantauan layanan yang dilakukan oleh KPM itu pada umumnya
dilaksanakan bersama dengan kader posyandu, PKK Desa dan tenaga kesehatan dari puskesmas.
Beberapa KPM melakukan pemantaua bersamaan pada kegiatan pendataan sasaran 1.000 HPK.
Kegiatan pemantauan layanan yang dilakukan adalah memastikan bahwa sasaran 1.000 HPK
memperoleh layanan kesehatan dasar berupa akses rumah teangga terhadap air bersih, kepemiliki
jamban sehat, pemanfaaatn layanan kesehatan di posyandu. KPM mengupayakan dan menfasilitasi
sasaran 1.000 HPK dari rumah tangga kurang mampu yang tidak memiliki WC pribadi yang layak
dipergunakan sesuai standar WC Sehat ke pemerintah desa untuk melakukan aksi melalui prioritas
pembangunan WC pada sasaran tersebut.
KPM dihrapakan mampu memahmi indikator paket layanan intervensi pencegahan stunting desa
berdasarkan kelompok sasaran. Pada ibu hamil terdapat empat paket layanan yaitu KIA, Gizi, air bersih
dan sanitasi, serta perlindungan sosial dan kesehatan. Salah satu indikatornya pada KIA adalah ibu
hamil periksa kehamilan paling sedikit 4 kali selama kehamilan. Sedangkan pada sasaran 0-23 ada lima
paket layanyan yaitu yaitu KIA, Konseling Gizi, air bersih dan sanitasi, serta perlindungan sosial dan
kesehatan serta Paud. Salah satu indikatornya adalah Orang tua/pengasuh yang memiliki anak usia 0-23
bulan mengikuti kegiatan konseling gizi secara rutin minimal sebulan sekali. Rutin jika Orang
tua/pengasuh minimal 80% atau 9 kali mengikuti konseling gizi di posyandu atau kelas ibu-anak dalam
setahun.

2.1.4 Tugas 4 : Memfasilitasi dan mengadvokasi peningkatan belanja APBDes utamanya yang
bersumber dari Dana Desa, untuk digunakan membiayai kegiatan pencegahan stunting.
Kader Pembangunan Manusia (KPM) dibentuk untuk mendampingi Pemerintah Desa dan
Masyarakat Desa didalam menfasilitasi pencegahan konvergensi stunting. Salah satu tugasnya adalah
menfasilitasi dan mendgadvokasi peningkatan belanja APBDes untuk digunakan membiayai kegiatan
pencegahan stunting berupa layanan intervensi gizi spesifik dan sensitif. Dana transfer desa didorong
menjadi salah satu potensi dalam Program Penurunan Stunting. Kementerian Desa, Pembangunan
Daerah tertinggal dan Transmigrasi menerbitkan Buku Saku Desa (2018) dalam Penanganan Stunting
yang memuat potensi atau kegiatan-kegiatan apa saja yang dapat dialokasikan dalam APBDes dan
dibiayai dengan Dana Desa sebagai upaya penanganan stunting. Keberadaan KPM diharapkan menjadi
mediator dan fasilitaor dalam peningkatan belanja APBDes untuk membiayai kegiatan pencegahan
stunting di desa. Hasil penelitian menunjukkan mayoritas KPM (93,2%) telah memfasilitasi dan
mengadvokasi peningkatan belanja APBDes utamanya yang bersumber dari Dana Desa, untuk
digunakan membiayai kegiatan pencegahan stunting. Namun, hasil wawancara mendalam terhadap
beberapa KPM diperoleh beragam informasi yang berbeda. beberapa KPM melakukan advokasi
anggaran melalui koordinasi dengan pemerintah setempat terkait anggran pelaksanaan kegiatan pada
sasaran dan ada pula KPM yang sudah menyampaikan tetapi tidak direspon dari pemerintah desa terkait
hal tersbut. Mayoritas KPM menyampaikan ke pemerintah desa mengenai kebutuhan pemberian
makanan tambahan untuk dianggarkan melalui APBDes.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa KPM sebagai advocator program stunting di
desa belum memahami secara penuh kebijakan konvergensi stunting terutama usulan program
penggunaan dana desa untuk stunting. Sebagian besar usulan penganggaran hanya pada kegiatan
Penerbit :Pusat Kajian dan Pengelola Jurnal Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI 14
Window of Public Health Journal,Vol. xx No. xx (Bulan, Tahun) : x-xx E-ISSN 2721-2920

pemberian makanan tambahan kepda kelompok sasaran. Hal ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Diana Damayanti (2021) bahwa pemerintah Desa Gununglurah sebagai
implementor Program Penurunan Stunting melalui Dana Desa belum memahami secara penuh
kebijakan konvergensi stunting, mereka telah menyusun dan melaksanakan kegiatan-kegiatan
berskala desa yang relevan dengan upaya penurunan stunting melalui APBDes. Namun, dari
aspek Faktual, pemerintah desa Gununglurah cenderung hanya mematuhi dan melaksanakan
kegiatan yang direkomendasikan oleh Buku Saku Desa dalam Penurunan Stunting tanpa melihat
lebih jauh kegiatan atau program apa yang sebenarnya paling dibutuhkan dan perlu
diprioritaskan untuk mempercepat penurunan stunting (Diana Damayanti, 2021).
2.1.5 Tugas 5 : Memfasilitasi suami ibu hamil dan bapak dari anak usia 0-23 bulan untuk
mengikuti kegiatan konseling gizi serta kesehatan ibu dan anak.
KPM menfasilitasi keluarga sasaran 1.000 HPK dalam hal ini suami dari ibu hamil dan
bapak dari anak yang berusia 0-23 bulan mengikuti kegiatan konseling. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa masih ada KPM yang tidak melakukan tugas tersebut yaitu sebanyak
20,5%. KPM menfasilitasi konseling gizi dilakukan pada saat kegiatan kelas ibu hamil, kelas ibu
balita yang kegiatan tersebut ada yang sudah terjadwal dari petugas kesehatan setempat yang
pesertanya adalah para ibu dari sasaran 1.000 HPK dan kader posyandu. Ini menggambarkan
bahwa keterlibatan suami dan bapak dari sasaran 1.000 HPK mengikuti konseling gizi belum
optimal.
Penanganan masalah gizi pada sasaran 1.000 HPK ditingkat keluarga perlu melibatkan
peran ayah secara proporsional. Pandangan tradisional yang banyak dianut oleh masyarakat
memposisikan peran pengasuhan lebih dibebankan kepada ibu. Namun, seiring dengan
perkembangan zaman, pandangan tersebut mulai berubah. Kini muncul pandangan mengenai
peran orang tua yang bersifat androgini, yaitu antara ayah dan ibu memiliki peran dan fungsi
yang relatif sama dalam pengasuhan (Hidayati et al., 2011). Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Hidayati et al. (2011) diketahui bahwa seiring meningkatnya jumlah ibu bekerja
menyebabkan ayah mendapatkan tuntutan peran dan partisipasi yang lebih besar dalam
kehidupan keluarga.
Peran ayah tidak hanya terbatas pada mencari nafkah namun juga terlibat membimbing
dan mengasuh anak di rumah. Keberadaan fasilitas konseling keluarga yang disiapkan oleh
KPM di desa sedapat mungkin seorang bapak dan ayah mampu mengakses dan atau ikut
berpartisipasi pada upaya perbaikan gizi keluarga. Penelitian yang dilakukan oleh Devi Putri
Iswandari, dkk (2020) tetang keterlibatan ayah dalam mengikuti kegiatan biblio-journaling dapat
meningkatkan pemahaman ayah tentang stunting sehingga peran ayah pada 1000 Hari Pertama
Kehidupan (HPK) menjadi optimal sebagai upaya menurunkan kejadian stunting. Biblio-
journaling adalah sebuah upaya yang dapat dilakukan untuk optimalisasi peran ayah pada 1000
HPK sehingga diharapkan dapat mewujudkan tumbuh kembang balita secara optimal, dan
dampak jangka panjangnya dapat menurunkan kejadian stunting melalui kegiatan teknik
bibliotherapy yaitu penyiapan bahan bacaan khusus yang harus dibaca oleh ayah dan teknik
journaling therapy dilakukan sejalan dengan pelaksanaan bibliotherapy. Journaling dilakukan
setiap akhir sub tahap bibliotherapy. Tujuannya adalah untuk mengetahui wawasan yang berhasil
dikuasai oleh ayah setelah membaca bahan bacaan yang telah disiapkan.

2.1.6 Tugas 6 : Memfasilitasi masyarakat Desa untuk berpartisipasi aktif dalam perencanaan,
pelaksanaan dan pengawasan program/kegiatan pembangunan Desa untuk pemenuhan
layanan gizi.
Keberadaan KPM didesa diharapkan mampu mendorong partispasi aktif masyarakat
setempat dalam pelakasanaan kegiatan pemenuhan layanan gizi mulai dari tahap perencanaan
sampai pada tahap pengawasan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak diperoleh informasi
terkait implementasi dari KPM memfasilitasi masyarakat untuk berpatisipasi aktif mulai dari
perencanaan sampai pada pengawasan kegiatan palayanan gizi di desa berdasarkan pengakuan

Penerbit :Pusat Kajian dan Pengelola Jurnal Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI 15
Window of Public Health Journal,Vol. xx No. xx (Bulan, Tahun) : x-xx E-ISSN 2721-2920

responden saat dilakukan wawancara mendalam dan probing. Ini menggambarkan bahwa KPM
masih hanya sebatas menyampaikan kegiatan intervensi stunting di desa kepada masyarakat
setempat. Aktivitas KPM yang menfasilitasi masyarakat belum terlihat nyata pada iplementasi
tugas keenam KPM.
KPM perlu memahami secara mendasar tentag konsep partispatif masyarakat dalam
penanggulangan stunting. Partisipasi masyarakat adalah keikutsertaan dalam proses pengambilan
keputusan maupun menjalankan suatu program, yang mana masyarakat juga ikut merasakan
manfaat dari kebijakan program tersebut. Selain itu dalam melakukan sebuah evaluasi
masyarakat tentunya juga ikut dilibatkan agar bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat
(Mulyadi, 2009:13). KPM harus mampu meyakinkan masyarakat dengan narasi penjelasan
berupa masyakat mengatahui dampak dari stunting yang beresiko terhadap masa depan anaknya,
sehingga masyarakat terdorong untuk ikut berpartisipasi dalam program peneggulangan stunting.
Penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Yusup Iswanto (2021) menujukkan bahwa Faktor yang
mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam penanggulangan balita Stunting diantaranya: (1)
faktor pendukung berupa intervensi dari pemerintah, kesadaran masyarakat, tempat tinggal, dan
program gratis. (2) faktor penghambat berupa pengetahuan, pekerjaan, komunikasi, dan tindak
lanjut yang kurang.
2.1.7 Tugas 7 : Berkoordinasi dan/atau kerjasama dengan para pihak yang berperan serta dalam
pelayanan pencegahan stunting, seperti bidan Desa, petugas puskesmas (petugas gizi,
petugas promosi kesehatan, sanitarian), guru PAUD dan/atau perangkat Desa)
KPM dalam menjalankan tugasnya senantiasa berkoordiansi dan bekerjasama dengan
pihak terkait dalam menjalankan implementasi konvergesi stunting di desa.
2.3 Hubungan KPM dengan Kelembagaan Desa
Keberadaan KPM di desa dalam hal pencegahan stunting harus selalu berkoordinasi
dengan kelembagaan yang ada di desa, unit penyedia layanan kesehatan dan pendidikan serta
berbagai kelompok masyarakat di Desa yang peduli dengan upaya pencegahan stunting.
Pendamping masyarakat Desa bersama dengan KPM memfasilitasi pemerintah Desa, BPD dan
masyarakat Desa untuk membentuk Rumah Desa Sehat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
KPM telah menjalankan koordinasi dengan pemerintah desa yaitu 43,2% melakukannnya setiap
bulan, terdapat 70,5% KPM yang berkoodinasi dengan BPD dengan 38,6% melakukan tiap 3
bulan. KPM dalan menajlankan tugasnya telah melakukan (100% KPM) telah berkoordinasi
dengan tim pelayanan Kesehatan desa diantaranya berkoordinasi dengan petugas kesehatan yang
ditempatkan di desa, di mana mayoritas melakukannya pada setiap bulan, yaitu 81,8%. Selain
itu, KPM juga telah melakukan koordinasi dengan penyedia layanan Pendidikan desa (97,7%
KPM), koordinasi ini dilakukan setiap bulan oleh KPM sebanyak 53,3%.
Hubungan koordinasi yang telah dilakukan oleh KPM dengan berbagai kelembagaan
yang ada di desa dapat menunjang terlaksananya berbagai agenda KPM dalam menjalankan
tugasnya sebagai agen pembaharu dalam percepatan pencegahan dan penganggulangan stunting
di desa. Hasil penelitian menujukkan bahwa 81,8% KPM berkomunikasi dengan lembaga sosial
keagamaan di desa dan 95,5% KPM berkoordinasi dengan tenaga pendamping desa. Hubungan
koordniasi ini menciptakan sarana komunikasi, informasi dan edukasi tentang pentingnya
implementasi pelaksanaan kegiatan konvergensi stunting berbasis kearifan lokal yang tentunya
akan berdampak pada aktivitas masyarakat dalam pemenuhan kualitas pelayanan sosial dasar di
desa. Koordiansi yang dibangun oleh KPM selama menjalankan tugasnya dapat mewujudkan
sarana sinkronisasi program stunting dan kegiatan antar sector di desa dan tentunya dapat
membangun kontrol sosial dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan kesehatan di desa.
Hubungan koordinasi KPM dengan kelembgaan yang di desa di Kab. Jeneponto sejalan
dengan kosnsep yang dipopulerkan oleh Norton (1994) tentang partispasi dan koordinasi antar
semua elemen dalam mengambil keputusan pelaksanaan kebijakan program di Amerika Serikat.
Pengalaman pemerintahan lokal di Amerika Serikat menyebutkan bahwa otoritas daerah secara
tradisional menunjukkan perhatian untuk melibatkan para warganegara dalam proses

Penerbit :Pusat Kajian dan Pengelola Jurnal Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI 16
Window of Public Health Journal,Vol. xx No. xx (Bulan, Tahun) : x-xx E-ISSN 2721-2920

pemerintahan. Mereka konsultasi dengan individu, melibatkan organisasi-organisasi swasta


dalam pengambilan keputusan mereka, membiarkan para anggota masyarakat berpartisipasi
dalam rapat dewan serta komite dan mencoba menghormati kelompok kepentingan dan pers
setempat.
Koordiansi yang dibangun oleh KPM merupakan agenda pramusyawarah utnuk
penggalian gagasan sebagai upaya penguatan dukungan dan komitmen dari setiap stakeholder
yang ada di desa dalam rangka meningkatkan kualitas perencanaan pembangunan desa yang
terfokus pada upaya percepatan penurunan stunting dan memastikan kegiatan stunting
mendapatkan dukungan dan pembiayaan dari APBD desa. Dukungan upaya intervensi dari setiap
stakeholder kelembagaan di desa seperti kepala desa, BPD, para kader, toma/tokoh agama,
organisasi kemasyarakatan dan tenaga kesehatan dapat menunjang pelayanan gizi dan kesehatan
di posyandu, penguatan kegiatan promotif-preventif dan penguatan fungsi monitoring dan
evaluasi di desa untuk memastikan sasaran yang beresiko stunting mendapatkan intervensi yang
dibutuhkan.
2.4. Peningkatan Kapasitas dan Operasional KPM
Setiap KPM berhak mendapatkan fasilitas pengembangan kapasitas berupa pelatihan
dasar dan beragam kegiatan pembelajaran. Pelatihan Dasar diberikan sebelum KPM menjalan
tugas. Sedangkan beragam pembelajaran lainnya akan diberikan kepada KPM pada saat sudah
bertugas. Pelatihan kepada KPM secara teknis akan dikelola oleh tenaga pendamping masyarakat
Desa. Sumber pembiayaan kegiatan pelatihan maupun pembelajaran bagi KPM adalah APB
Desa, APBD Kabupaten/Kota, APBD Provinsi, APBN, dan/atau sumber-sumber pembiayaan
lainnya yang sah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 72,7% KPM telah mengikuti kegiatan
berupa pelatihan dasar dan kegiatan pembelajaran, 68,2% KPM yang mendapatkan fasilitas
pengembangan kapasitas. Sebanyak 63,6% KPM menggunakan pembiayaan APBD Desa dalam
pelaksanaan kegiatan peningkatan kapasitas yang mereka ikuti. Selain itu, diketahui pula bahwa
sebanyak 95,5% KPM telah mendapatkan insentif untuk operasional kegiatan pencegahan
stunting dari APBD Desa. Insentif yang diperoleh KPM merupakan dukungan pemerintah desa
kepada KPM dalam menjalankan tugasnya untuk operasional berupa biaya pemantauan dan
pengisian scorecards konvergensi Desa. Beberapa menunjukkan bahwa kader yang telah
mengikuti kegiatan pelatihan dan atau kegiatan peningkatan kapasitas lainnya dapat
meningkatkan keterampilan, skill dan pengetahuan kader kesehatan sesuai dengan konteks
materi pelatihan yang diberikan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sitti Fatimah, dkk (2020)
melaporkan bahwa adanya kegiatan penyuluhan dan pelatihan yang diberikan kepada kader
kesehatan dapat meningkatkan kapasitas kader posyandu dalam memahami mengenai stunting
dan cara mendeteksi balita berisiko stunting. Hal serupa dengan hasil penelitian Khosiah, K., &
Muhardini, S. (2019) menujukkan bahwa kader pembangunan manusia (KPM) yang telah
mengikuti pelatihan sudah mampu memahami permasalahan, upaya pencegahan dan penanganan
stunting (Khosiah Khosiah, 2019). Pemberian pelatihan penyegaran kepada KPM perlu ada
dukungan masyarakat dan tenaga kesehatan profesional serta aparat pemerintahlah yang
sehingga terdapat peningkatan kinerja KPM di desa.
Dukungan operasional yang memadai baik itu untuk kegiatan peningkatan kapasitas
maupun untuk insentif operasinal KPM dalam menjalankan tugasnya memberikan pengaruh
terhadap kinerja KPM Desa dalam percepatan penurunan prevalensi stunting di desa. KPM yang
telah memperoleh kegiatan peningkatan kapasitas dan adanya dukungan insentif dari pemerintah
desa diharapkan mereka lebih bisa memahami secara mendalam maksud dan tujuan dari
kegiatan konvergensi stunting di desa sehingga mampu menfasilitasi masyarakat menumbuhkan
sikap partispatif pada kegiatan upaya pencegahan stunting desa dan memastikan seluruh sasaran
rumah tangga 1.000 HPK dapat mengakses layanan kesehatan dasar. Menurut Bhattacharyya et
al. (2001) faktor yang mempengaruhi kinerja kader diantaranya yaitu adanya insentif. Tidak ada
suatu jenis insentif baik insentif moneter (berupa uang) maupun non moneter (bukan
uang),cyang mampu menjamin meningkatnyacmotivasi pada kader, karena hal tersebut sangat

Penerbit :Pusat Kajian dan Pengelola Jurnal Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI 17
Window of Public Health Journal,Vol. xx No. xx (Bulan, Tahun) : x-xx E-ISSN 2721-2920

dipengaruhi oleh berbagai faktor. Pemberian insentif berupa uang, akan dapat menimbulkan
masalah seperti mungkin uang tidak cukup bagi kader, sangat membebani pemerintah daerah,
uang tidak dapat dibayarkan secara teratur, dapat berhenti sama sekali dan dapat menjadi
masalah karena kecemburuan (Bhattacharyya et al., 2001). Hasil penelitian Ratih Rirapuspita
(2013) melalporkan bahwa kinerja kader berhubungan dengan pemberian bantuan operasional,
piagam, uang transport dan pelatihan. Sedangkan pemberian seragam, keikutsertakan lomba,
tunjangan kesehatan, sembako, THR, kunjangan kelurahan, kunjungan ketua RT, kunjungan
pimpus dan rekreasi tidak berhubungan dengan kinerja kader. Hal ini menunjukkan bahwa kader
juga membutuhkan dukungan insentif yang secara teratur diberikan, dimana sebagian besar
kader adalah ibu rumah tangga yang membutuhkan tambahan pemasukan untuk keluarganya.
2.5. Pemanfaatan Dana Desa pada Upaya Stunting
Peran pemerintah desa dalam penyelenggaraan percepatan penurunan stunting
berdasarkan PERPRES 72 Tahun 2021 mendorong pemerintah desa memprioritaskan
penggunaan dana desa dalam mendukung penyelenggaraan percepatan penurunan stunting.
Pemerintah desa mengoptimalkan program dan kegiatan pembangunan desa dalam mendukung
penyelenggraan percepatan pennurunan stunting. Hasil penelitian yang dilakukan di Kabupaten
Jeneponto tentang pemanfaatan dana desa pada upaya stunting menunjukkan beragam kegiatan
yang didanai desa baik intervensi stunting yang bersifat spesifik maupun intervensi sensitif. Pada
tahun 2021, 100% KPM menyampaikan bahwa desa telah menganggarkan kegiatan program
pemberian makanan tambahan dan bergizi untuk balita. Ini menunjukkan bahwa pemerintah desa
di Kab.Jeneponto mengoptimalkan pada kegiatan intervensi spesifik. Sedangkan pertanyaan
yang diberikan kepada KPM tentang pemanfaatan dana desa pada intervensi sensitif menunjukan
pemanfaatan dana yang beragam kegiatan pada tahun 2021. Mayoritas KPM (97,7%)
melaporkan bahwa desa telah memanfaatkan dana desa pada program penyediaan air bersih dan
sanitasi, 77,3% desa telah melakukan kegiatan pelatihan pemantauan perkembangan kesehatan
ibu hamil atau ibu menyusui, 95,5% mengalokasikan dana untuk posyandu untuk mendukung
kegiatan pemeriksaan berkala kesehatan ibu hamil atau ibu menyusui, 43,2% desa
menganggarkan pengembangan apotik hidup desa dan produk holtikultura untuk memenuhi
kebutuhan gizi ibu hamil atau ibu menyusui, 75% desa mengalokasi dana untuk kegiatan
pengembangan ketahanan pangan, dan 34,1% desa di kabupaten jeneponto mengalokasi
anngaran desa pada program kegiatan penanganan kualitas hidup lainnya (ambulance desa,
pelayanan kesehatan darurat, pemenuhan gizi bayi usia 0-11 bulan) yang sesuai dengan
kewenangan desa dan diputuskan dalam musyawarah desa pada tahun 2021. Gambaran tentang
penggunaan dana desa untuk stunting di Kab.Jeneponto sejalan dengan temuan penelitian yang
dilakukan oleh Prihatini, D., & Subanda, I. N. (2020) menjelaskan bahwa Implementasi
Kebijakan Alokasi Dana Desa (ADD) di Desa Kubutamabahan utamanya dalam upaya
pencegahan stunting berjalan cukup lancar. Hal ini dapat terlihat dari tahap persiapan berupa
penyusunan Daftar Usulan Rencana kegiatan (DURK), penyelesaian setiap kegiatan sampai
dengan tahap penyusunan pertanggungjawaban. Namun demikian pencapaian tujuan Alokasi
Dana Desa belum optimal.
Beragammnya kegaiatan intervensi stunting yang dilakukan oleh setiap desa terutama
pada kegiatann intervensi sesnsitif yang fokus pada penyelesaian penyebab tidak langsung
terjadinya masalah gizi itu sudah diatur dalam Peraturan Menteri Pembangunan Daerah
Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT) No. 16 Tahun 2018 tentang Prioritas Penggunaan Dana
desa Tahun 2019 menjadikan desa untuk memprioritaskan pembangunan di desa masing-masing.
Khusus dalam hal pembangunan kesehatan di desa dengan program atau permasalahan yang
terdapat di desa masing- masing. Permasalahan yang masih menjadi perhatian adalah Stunting.
Beragam penanganan stunting juga terwadahi melalui Peraturan Menteri Desa, Pembangunan
Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 16 Tahun 2018 tentang pemanfaatan dana desa.
Melalui peraturan tersebut, warga desa terlibat aktif dan inovatif menghadirkan beragam
kegiatan yang berhubungan dengan pencegahan dan penanganan stunting (Chasanah et al.,

Penerbit :Pusat Kajian dan Pengelola Jurnal Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI 18
Window of Public Health Journal,Vol. xx No. xx (Bulan, Tahun) : x-xx E-ISSN 2721-2920

2017).
2.6. Pengetahuan KPM tentang pendataan, pemantauan layanan bagi sasaran rumah tangga 1.000
HPK dan Stunting.
Pengetahuan merupakan suatu komponen penting yang dapat mempengaruhi peningkat
perubahan suatu perilaku karena pengetahuan merupakan hasil tahu yang terjadi karena adanya
pengindraan terhadap suatu obyek tertentu dan sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh
melalui indra mata dan telinga. KPM sebelum melaksanakan peran dan tugasnya tentunya
mereka telah memilki buku saku KPM yang telah diberikan oleh pemerintah desa dan beberapa
KPM telah mengikuti kegiatan peningkatan kapasitas sehingga diharapkan dapat meningkatkan
pengetahuan KPM tentang stunting dan layayan pada sasaran rumah tangga 1.000 Hari Pertama
Kehidupan (1.000 HPK). Pada penelitian ini KPM diberikan 10 pertanyaan mengenai
pengetahuan KPM tentang pendataan, pemantauan layanan bagi sasaran rumah tangga 1.000
HPK dan stunting. Setiap pertanyaan yang dijawab dengan benar memperoleh poin 10 dan salah
poin 0. Hasil penelitian menujukkan bahwa hanya terdapa 54,5% pengetahuan KPM dengan
kategori baik dengan nilai rerata skor pengetahuan KPM 74,77. Pada Grafik 4.1 pada hasil
penelitian menunjukkan sebayak 43,2% KPM yang ada di Kabupaten Jeneponto tidak
mengetahui pertanyaan tentang ibu bersalin harus mendapatkan layanan nifas oleh tenaga
kesehatan, masih tingginya jawaban yang salah yaitu 34,1% pada pertanyaan tentang Ibu hamil
mendapatkan dan minum 1 tablet tambah darah (pil FE) setiap hari, serta masih ada 34,1% KPM
tidak mengetahui bulan pengukuran tinggi/panjang badan anak usia 0-23 bulan oleh tenaga
kesehatan terlatih minimal 2 kali dalam setahun (februari dan agustus). Pada umumnya, 95,5%
KPM sudah mengetahui pemahaman mendasar tentang maksud dari stunting dan 88,6% KPM
sudah mengetahui singkatan dan sasaran 1.000 HPK.
Hasil penelitian memberikan gambaran tingkat pengetahuan KPM yang ada di Kabupaten
Jeneponto tidak merata sama diantara beberapa KPM yang bertugas di desa. KPM yang telah
diberikan mandat oleh pemerintah desa diharapkan dapat memahami secara mendasar tentang
tugas dan perannya sebagai seorang KPM sehingga mereka dapat menfasilitasi masyarakat untuk
ikut berpatisipasi aktif dalam setiap kegiatan konvergensi stunting di desa. KPM yang sudah
memilki pemahaman yang mumpuni tentang stunting dan layanan pada sasaran 1.000 HPK
merupakan suatu kekutan yang dimilikinya untuk melakukan aksi di desa. Kurangnya
pengetahun yang dimilki oleh seorang KPM tentunya akan berdampak pada kinerja dari KPM itu
sendiri sehingga berfek pada implementasi kegiatan konvergensi stunting dan bisa jadi KPM
hanya simbol atau atribut pelengkap adminstratif di desa. Artinya, secara legal KPM sudah ada
di desa sesuai amanat dari Kementerian Desa namun tidak dapat berbuat sesuai apa yang
diharapkan pada upaya pengendalian dan pencegahan stunting di desa.
Berbagai riset studi memberikan gambaran bahwa pengetahuan yang dimilki oleh kader
kesehatan meberikan korelasi terhadap kinerjanya. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Irma
Afifa (2019) menunjukkan bahwa pengetahuan kader posyandu wilayah Puskesmas Pagelaran
berhubungan signifikan dengan kinerja kader posyandu dalam pencegahan stunting, hal ini
dimungkikan dengan tingkat pendidian kader yang baik dapat mempengaruhi tigkat
pengetahuannya karena jejang pendidikan yang mereka telah jalani dapat membentuk pola pikir
dan nalar dari seorang kader. Penlitian yang dilakukan oleh sutiani (2014) memberikan
gambaran pengetahuan yang dimilki oleh seorang kader tidak serta merta mampu merubah
perilaku karena membutuhkan proses yang kompleksibiliats dan rentetan waktu yang panjang.
Hasil riset terdahulu sejalan dengan temuan penelitian ini bahwa tingkat pengetahuan KPM yang
di Kabupaten Jeneponto tidak sama antar KPM dan ini bisa saja dimungkinkan karena factor
tingkat pendidikan dan umur yang berbeda dari setiap KPM.
Pemerataan peningkatan pengetahuan KPM tentunya dapat dilakukan dengan berbagai
cara diantaranya dengan memberikan kegiatan pelatihan peningktan kapasitas KPM dan atau
kegiatan pendampingan secara stimultan, terstruktur yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dari
puskesmas serta bisa memanfaatkan jalinan mitra dengan institusi pendidikan kesehatan

Penerbit :Pusat Kajian dan Pengelola Jurnal Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI 19
Window of Public Health Journal,Vol. xx No. xx (Bulan, Tahun) : x-xx E-ISSN 2721-2920

sehingga KPM mampu memahami tugas dan tanggungjawabnya pada upaya kegiatan
konvergensi stunting di desa. Hasil penelitian terdahulu memberikan kepada kita bahwa kegiatan
pelatihan dan atau pendampingan kepada kader kesehatan dapat meninkatkan kinerjanya. Hasil
kegiatan pelatihan dan pemdampingan yang dilakukan oleh Ria Angelina, dkk (2020)
melaporkan bahwa kegiatan pelatihan dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan kader
dalam pengelolaan posyandu melalui 5 meja, 58,3% kader memiliki pengetahuan yang baik,
41,67% kader mampu mendemontrasikan pengelolaan posyandu dengan benar. Kegiatan
pelatihan yang dilakukan oleh Endang Wahyuningsih dan Sri Handayani (2016) melaporkan
bahwa ada pengaruh pelatihan pemberian makan pada bayi dan anak terhadap pengetahuan kader
di wilayah Puskesmas Klaten Tengah Kabupaten Klaten.

2.7. Prevalensi Stunting di Kabupaten Jeneponto


Pada penelitian ini data prevalensi stunting yang kami anlisis berdasarkan data tingkat
kabupaten dari hasil Studi Status Gizi Indonesi yang dilaksanakan oleh Badan Penelitian Dan
Pengembangan Kesehatan Kemetrian Kesehatan RI (BALITBANGKES) yang telah melakukan
riset studi di Kabupaten Jeneponto pada tahun 2019, 2020, dan 2021. Selain itu ada pula data
prevalensi stunting 11 desa yang diperoleh pada saat dilakukan penelitian yang bersumber dari
tenaga pelaksana gizi puskemas di Kabupate Jeneponto.
Hasil telaah dokumen laporan dari SSGBI, SSGI yang dilakukan oleh BALITBAKES RI
menujukkan bahwa prevalensi stunting di Kabupaten Jeneponto masih jauh lebih tinggi dari rata
– rata angka nasional dan provinsi Sulawesi Selatan. Di Indonesia tahun 2019 tercatat prevalensi
stunting sebesar 27,67%, Sulawesi Selatan 30,59% sedangkan di Kabupten Jeneponto prevalensi
stunting sebesar 41,11% dan ini maerupakan daerah dengan prevalensi stunting sangat berat.
Angka tersebut merupakan hasil dari Integrasi Susenas Maret 2019 dan SSGBI Tahun 2019.
Untuk melihat tingkat presisi dari angka prevalensi balita stunting yang dihasilkan hingga level
kabupaten/kota digunakan nilai Relative Standard Error (RSE) sebagai acuan dengan cutting
point 25 persen (Balitbangkes 2019). Sedangkan pada tahun 2020, tidak dilakukan riset, karen
adanya pandemic covid di seluruh dunia termasuk di Indonesia maka tidak dapat dilakukan
pengukuran antropometri sehingga tidak tersedia angka prevalensi stunting tahun 2020. Namu
dilakukan pemodelan prediksi stunting tingkat nasional dan provinsi, sehinnga tidak diperoleh
data prediksi stunting tingkat kabupaten/kota. Mengingat pentingnya angka prevalensi stunting
tahun 2020 sebagai dasar pemantauan dan evaluasi kinerja program percepatan penurunan angka
prevalensi stunting tahun 2020, tidak hanya oleh sektor kesehatan tetapi juga sektor lain yang
terkait dengan upaya penurunan stunting di Indonesia maka Badan Penelitian dan Kesehatan,
Kementerian Kesehatan dan Biro Pusat Statistik (BPS) bersama TP2AK berupaya menyediakan
Angka Prevalensi Stunting Tahun 2020 melalui pemodelan prediksi statitsik menggunakan
metode Small Area Estimation (SAE) Lag. Ruang lingkup analisis prediksi stunting 2020 adalah
hanya untuk menghasilkan angka prevalensi stunting nasional dan angka prevalensi provinsi.
Angka prediksi stunting 2020 tidak sampai menghasilkan angka prevalensi kabupaten karena
adanya keterbatasan sumber data yang tidak maksimal terutama untuk data status gizi pada
SSGBI tahun 2019 terdapat beberapa kabupaten/kota memilki nilai RSE cukup tinggi sehingga
dikhwatirkan akan menyebabkan model yang diperoleh kurang akurat dan presisi. Hasil
pemodelan diperoleh data prediksi stunting pada tahun 2020 secara nasional yaitu 26,92 % dan
di Sulawesi Selatan 19,73%.
Pada Riset Status Gizi Indonesia tahun 2021 diperoleh prevalensi stunting Kabupaten
Jeneponto sebesar 37,9% terjadi penurunan 3,21% dari tahun 2019. Namun, angka prevalensi ini
masih sangat tinggi jika dibandingkan dengan angka stunting Provinsi Sulawesi Selatan sebesar
27,4% dengan persentase penurunan 3,19% dari tahun 2019. Secara nasional dilaporkan
prevalensi stunting di Indonesia pada tahun 2021 sebesar 24,7% dan terjadi penurunan dalam
rentang waktu kurang lebih 2 tahun sebesar 3,27% dari tahun 2019. Angka penurunan ini

Penerbit :Pusat Kajian dan Pengelola Jurnal Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI 20
Window of Public Health Journal,Vol. xx No. xx (Bulan, Tahun) : x-xx E-ISSN 2721-2920

menunjukkan bahwa rerata penurunan prevalensi Kabupaten Jeneponto hampir sama dengan
angka provinsi dan nasional bahkan lebih tinggi 0,02% dari penurunan prevalensi stunting di
Provinsi Sulawesi Selatan.
Berdasarkan data prevalensi stunting tingkat desa (11 desa) yang diperoleh dari laporan
pemantauan status gizi puskemas diperoleh gambaran perubahan prevalensi stunting yang
beragam dari tahun 2020 dan 2021. Terdapat 5 desa terjadi penurunan prevalensi stunting,
dimana desa rumbia mengalami penurunan terbesar prevalensi stunting 4,63%, dan terdapat 6
desa yang mengalami peningkatan prevalensi stunting dengan Desa Bungung Loe terjadi
peningkatan tertintinggi prevalesni stuntingnya yaitu meningkat sebesar 7,3%. Ini
menggambarkan bahwa adanya penurunan dan peningkatan prevalensi stunting tingkat desa
perlu menjadi perhatian bagi seluruh stakeholder yang terlibat dalam pelaksananan kegiatan
percepatan penanggulangan dan pencegahan stunting. Perhatian bukan hanya sekedar melakukan
kegiatan yang berhungan dengan kegiatan intervensi stunting, tetapi dalam pemantauan rutin
pertumbuhan anak balita perlu kontrol sehingga kualitas data status gizi tingkat desa merupakat
data yang valid. Untuk memperoleh data status gizi yang valid bayak factor yang
mempengaruhinya, diantanya adalah kemampuan SDM dalam hal ini petugas kesehatan dan
kader kesehatan yang melakukan pengukuran antropometri (pengukuran berat badan dan
tinggi/panjang badan), begitupula alat yang digunakan seperti timbangan dan alat ukur
tinggi/panjang badan yang terstandarisasi dan terkalibrasi dengan baik.
Keberadaan Kader Pembangunan Manusia (KPM) sejak tahun 2020 tentunya telah
memberikan kontribusi nyata dalam upaya penurunan prevalensi stunting di Kabupaten
Jeneponto. Hal terkecil yang dilakukan oleh KPM temtunya memberikan bukti nyata bahwa
keberadaan KPM di desa ikut andil dalam capaian penurunan stunting di Kab.Jeneponto
berdasarkan laporan prevalensi stunting oleh BALITBAKES RI dari 41,11% pada tahun 2019
menjadi 37,9% (SSGI, 201). Hal ini tidak terlepas dari adanya komitmen pemerintah daerah
dalam melibatkan seluruh perangkat daerah untuk bersama-sama memberikan perhatian khusus
terhadapa upaya implementasi konvergensi stunting. Keberdaaan program-program stunting
yang dilaknanakan oleh dinas kesehatan dan jejaringnya, BKKBN sebagai ujung tombak
pelaksanaan program dengan berbagai kegiatan inovasi tentunya dengan dukungan Dinas
Pemberdayaan Masyakat Desa yang menfasiliatsi dan mendorong terbentuknya Kader
Pembagunan Manusia di desa merupakan suatu kekuatan yang besa untuk mengejar target
nasional prevalensi stunting kurang dari 20% sebagaimana yang diamanatkan oleh WHO.
Keberadaan KPM yang melaksanaka tugas dan perannya denagn baik di setiap desa pada
Kabupaten Jeneponto tentuyan meilki waktu yang cukup panjang untuk memberikan
berkntribusi terhadap target capaian prevalensi stunting secara nasional yaitu 14% pada tahun
2024 sebagaimana pemerintah telah menetapkan di RPJMN 2024.
Keberadaan KPM diharapkan dapat menurunkan prevalensi stunting di Kabupaten
Jeneponto. Hasil penelitian terdahulu tentang peran pemerintah desa, masyarakat dan keberadaan
kader kesehatan di suatu daerah memberikan dampak positif terhadap pembangunan kesehatan
di Indonesia. Hasil penelitian oleh Andy Dikson P.Tse (2017) menunjukkan peran kader
posyandu sudah efektif dilihat dari tingkat efektifitas dan sasaran program berupa kegiatan
pelayanan KIA (Kesehatan Ibu dan Anak) di desa (Dickson et al., 2017). Peningkatan kapasitas
aparat desa tentang stunting dan peningkatan kompetensi kader dalam mendeteksi dini stunting
memberikan peran dalam penanganan stunting di desa (Yayuk & Rahayu, 2020).

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas KPM telah menjalankan peran dan tugasnya
dengan rerata persentase KPM yang menjalankan tugasnya mulai dari tugas 1 s.d.tugas 7
Penerbit :Pusat Kajian dan Pengelola Jurnal Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI 21
Window of Public Health Journal,Vol. xx No. xx (Bulan, Tahun) : x-xx E-ISSN 2721-2920

berada diangka 79,5% s.d.100%. persentasen tertinggi adalah pada tugas 3 dan 7 yaitu 100%
KPM yang diwawancarai telah melakukuan pemantauan layanan pencegahan stunting
terhadap sasaran rumah tangga 1.000 HPK untuk memastikan setiap sasaran pencegahan
stunting mendapatkan layanan yang berkualitas dan berkoordinasi dan/atau kerjasama
dengan para pihak yang berperan serta dalam pelayanan pencegahan stunting, seperti bidan
Desa, petugas puskesmas (petugas gizi, petugas promosi kesehatan, sanitarian), guru PAUD
dan/atau perangkat Desa.
2. Hubungan koordinasi yang telah dilakukan oleh KPM dengan berbagai kelembagaan yang
ada di desa, unit penyedia layanan kesehatan dan pendidikan serta berbagai kelompok
masyarakat di Desa dapat menunjang terlaksananya berbagai agenda KPM dalam
menjalankan tugasnya sebagai agen pembaharu dalam percepatan pencegahan dan
penganggulangan stunting di desa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua KPM telah
menjalankan koordinasi dengan pemerintah desa dimana 43,2% KPM melakukannnya setiap
bulan, terdapat 70,5% yang berkoodinasi dengan BPD dengan 38,6% melakukan tiap 3
bulan. Seluruh KPM (100%) juga telah berkoordinasi dengan tim pelayanan kesehatan desa,
di mana mayoritas (81,8%) melakukannya pada setiap bulan. Terdapat 81,8% KPM
berkomunikasi dengan lembaga sosial keagamaan di desa dan 95,5% KPM berkoordinasi
dengan tenaga pendamping desa. Koordiansi yang dibangun oleh KPM selama menjalankan
tugasnya dapat mewujudkan sarana sinkronisasi program stunting dan kegiatan antar sector
di desa dan tentunya dapat membangun kontrol sosial dalam perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan kesehatan di desa.
3. KPM mendapatkan fasilitas pengembangan kapasitas berupa pelatihan dasar dan beragam
kegiatan pembelajaran serta memperoleh insentif dari pemerintah desa. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa 72,7% KPM telah mengikuti kegiatan berupa pelatihan dasar dan
kegiatan pembelajaran, 68,2% KPM yang mendapatkan fasilitas pengembangan kapasitas.
Sebanyak 63,6% KPM menggunakan pembiayaan APBD Desa dalam pelaksanaan kegiatan
peningkatan kapasitas yang mereka ikuti. Selain itu, diketahui pula bahwa sebanyak 95,5%
KPM telah mendapatkan insentif untuk operasional kegiatan pencegahan stunting dari APBD
Desa. Insentif yang diperoleh KPM merupakan dukungan pemerintah desa kepada KPM
dalam menjalankan tugasnya.
4. KPM mengadvokasi ke pemerintah desa untuk mengalokasi anggaran APBDes dalam
penyelenggaraan percepatan padapenurunan stunting. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
desa telah mengalokasi anggran program pada upaya stunting baik yang bersifat intervensi
spesifik maupun intervensi sensitif. Pada tahun 2021, 100% KPM menyampaikan bahwa
desa telah menganggarkan kegiatan program pemberian makanan tambahan dan bergizi
untuk balita. Ini menunjukkan bahwa pemerintah desa di Kab.Jeneponto mengoptimalkan
pada kegiatan intervensi spesifik. Sedangkan pertanyaan yang diberikan kepada KPM
tentang pemanfaatan dana desa pada intervensi sensitif menunjukan pemanfaatan dana yang
beragam kegiatannya pada setiap desa mulai dari program penyediaan air bersih dan sanitasi,
kegiatan pelatihan pemantauan perkembangan kesehatan ibu hamil atau ibu menyusui,
kegiatan operasional posyandu, pengembangan apotik hidup desa dan produk holtikultura,
ketahanan pangan desa, serta kegiatan penanganan kualitas hidup lainnya.
5. Pengetahuan KPM tentang pendataan, pemantauan layanan bagi sasaran rumah tangga 1.000
HPK dan Stunting. Hasil penelitian menujukkan bahwa hanya terdapat 54,5% pengetahuan
KPM dengan kategori baik dengan nilai rerata skor pengetahuan KPM 74,77. Tingkat
pengetahuan KPM yang ada di Kabupaten Jeneponto tidak merata sama diantara beberapa
KPM yang bertugas di desa.
6. Prevalensi stunting Kab. Jeneponto berdasarkan hasil Riset Status Gizi Indonesia tahun 2021
diperoleh prevalensi stunting sebesar 37,9% terjadi penurunan 3,21% dari tahun 2019 yaitu
41,11%. Namun, angka prevalensi ini masih sangat tinggi jika dibandingkan dengan angka
stunting Provinsi Sulawesi Selatan sebesar 27,4% dan secara nasional 24,4%. Sedangkan

Penerbit :Pusat Kajian dan Pengelola Jurnal Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI 22
Window of Public Health Journal,Vol. xx No. xx (Bulan, Tahun) : x-xx E-ISSN 2721-2920

berdasarkan data prevalensi stunting tingkat desa (11 desa) yang diperoleh dari laporan
pemantauan status gizi puskemas diperoleh gambaran perubahan prevalensi stunting yang
beragam dari tahun 2020 dan 2021.
Saran
1. Keberadaan KPM di desa diharapkan optimal dalam melaksanakan tujuh tugas pokok KPM
terutama tugas pokok yang pertama yaitu validasi data sasaran rumah tangga 1.000 HPK
sebagai acuan perencanaan kegiatan konvergensi stunting tingkat desa.
2. KPM dalam rutinitasnya pada kegiatan konvergensi stunting di desa diharapkan
meningkatkan intesitas koordinasi dengan pemangku kepentingan di desa terutama dengan
pemerintah desa dan badan permusyawaratan desa (BPD) sehingga agenda konvergensi
memperoleh legitimasi yang kuat serta advokasi anggaran dari APBDes untuk stunting
menjadi prioritas utama desa.
3. Perlunya peningkatan pengetahuan KPM di Kab. Jeneponto tentang stunting dan
pemahaman mendasar tentang kegiatan konvergensi stunting melalui kegiatan refreshing
kader atau pembinaan oleh tenaga kesehatan puskesmas, dan desa menfasilitasi KPM untuk
mengikuti kegiatan peningkatan kapasitas berupa workshop atau pelatihan.

DAFTAR PUSTAKA
1. Afifa, I. (2019). Kinerja Kader dalam Pencegahan Stunting: Peran Lama Kerja sebagai Kader,
Pengetahuan dan Motivasi. Jurnal Kedokteran Brawijaya, 30(4), 336-341.

2. Angelina, R., Sinaga, A., Sianipar, I., Musa, E., & Yuliani, Y. (2020). Peningkatan Kinerja Kader
Kesehatan Melalui Pelatihan Kader Posyandu di Desa Babakan Kecamatan Ciparay. JPKMI (Jurnal
Pengabdian Kepada Masyarakat Indonesia), 1(2), 68-76.

3. Adistie, F., Lumbantobing, V. B. M., & Maryam, N. N. A. (2018). Pemberdayaan kader kesehatan
dalam deteksi dini stunting dan stimulasi tumbuh kembang pada balita. Media Karya
Kesehatan, 1(2).

4. Amir, Aswita, S Fatimah Muis, and Suyatno. 2012. “Penyuluhan Model Pendampingan Dan
Perubahan Status Gizi Anak Usia 6-24 Bulan.” Pemberian Cairan Karbohidrat Elektrolit, Status
Hidrasi dan Kelelahan pada Pekerja Wanita.

5. B., Kanjilal, Mazumdar P.G., Mukherjee M., and Rahman M.H. 2010. “Nutritional Status of
Children in India: Household Socio-Economic Condition as the Contextual Determinant.”
International Journal for Equity in Health.

6. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2018. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Laporan Nasional Riskesdas 2018. Jakarta.

7. Bappenas. 2018. “Pedoman Pelaksanaan Intervensi Penurunan Stunting Terintegrasi Di


Kabupaten/Kota.” Rencana Aksi Nasional dalam Rangka Penurunan Stunting: Rembuk
Stunting.JakartakpmKP

8. Based Case Control Study in Nepal.” Kathmandu University Medical Journal. Reurings, Marieke,
Marieke Vossenaar, Colleen M. Doak, and Noel W. Solomons. 2013. “Stunting Rates in Infants and
Toddlers Born in Metropolitan Quetzaltenango, Guatemala.” Nutrition.

9. Chasanah, K., Rosyadi, S., & Kurniasih, D. (2017). Implementasi Kebijakan Dana Desa. The
Indonesian Journal of Public Administration (IJPA), 3(2), 12-32.
Penerbit :Pusat Kajian dan Pengelola Jurnal Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI 23
Window of Public Health Journal,Vol. xx No. xx (Bulan, Tahun) : x-xx E-ISSN 2721-2920

10. Bhattacharyya, K., Winch, P., Leban, K. & Tien, M. 2001. Community Health Worker Incentives
and Disincentives: How Th ey Aff ect Motivation, Retention, and Sustainability.

11. Damayanti, Diana (2021) Implementasi Program Penurunan Stunting melalui Dana Desa (Study di
Desa Gununglurah, Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas). Masters thesis, Universitas
Jenderal Soedirman.

12. García Cruz, Loida M. et al. 2017. “Factors Associated with Stunting among Children Aged 0 to 59
Months from the Central Region of Mozambique.” Nutrients.

13. Hoddinott, John et al. 2013. “The Economic Rationale for Investing in Stunting Reduction.”
Maternal and Child Nutrition.

14. Hidayati, F., Kaloeti, D. V. ., & Karyono. (2011). Peran Ayah dalam Pengasuhan Anak. Jurnal
Psikologi Undip, 9(1), 1–10.

15. International Food Policy Research Institute. 2016. Global Nutrition Report - From promise to
impact: ending malnutrition by 2030 The 2016 Global Nutrition Report. Global Nutrition Report
2016:From Promise to Impact: Ending Malnutrition by 2030.

16. Iswandari, D. P., Hariastuti, I., Anggriana, T. M., & Wardani, S. Y. (2020). Biblio-Journaling
sebagai optimalisasi peran Ayah pada 1000 Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK). Counsellia: Jurnal
Bimbingan dan Konseling, 10(1), 14-27.

17. ISWANTO, A. Y.2021. Partisipasi masyarakat dalam penanggulangan balita stunting melalui
program kegiatan gizi puskesmas kutukan di Desa Kediren Kecamatan Randublatung Blora.

18. Kakietek, Jakub, Julia Dayton Eberwein, Dylan Walters, and Meera Shekar. 2017. An Investment
Framework for Nutrition: Reaching the Global Targets for Stunting, Anemia, Breastfeeding, and
Wasting Unleashing Gains in Economic Productivity with Investments in Nutrition.

19. Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. 2017. “Buku Saku Desa
Dalam Penanganan Stunting.” Buku Saku Desa Dalam Penanganan Stunting.

20. Khosiah, K., & Muhardini, S. (2019). Pengembangan Sumberdaya Manusia (PSDM) unsur
perangkat desa dan kader pembangunan manusia se-Kecamatan Aikmel Kabupaten Lombok
(Stunting dan konvergensi pencegahan stunting). JUPE: Jurnal Pendidikan Mandala, 4(5).

21. Khosiah, K., & Muhardini, S. (2019). Pengembangan Sumberdaya Manusia (PSDM) unsur
perangkat desa dan kader pembangunan manusia se-Kecamatan Aikmel Kabupaten Lombok
(Stunting dan konvergensi pencegahan stunting). JUPE: Jurnal Pendidikan Mandala, 4(5).

22. Le Roux, Ingrid M. et al. 2010. “Home Visits by Neighborhood Mentor Mothers Provide Timely
Recovery from Childhood Malnutrition in South Africa: Results from a Randomized Controlled
Trial.” Nutrition Journal.

23. MCA Indonesia. 2013. “Stunting Dan Masa Depan Indonesia.” Millennium Challenge Account -
Indonesia.

24. Müller, Olaf, and Michael Krawinkel. 2005. “Malnutrition and Health in Developing Countries.”
CMAJ.

25. Norton, Alan, 1997, International Handbook of Local and Regional Government, A Comparative
Analysis of Advanced Democracies, UK: Edward Elgar Publishing Limited.

26. Oncol, Lancet. 2010. “Supplementary Webappendix to Walker Wt Al 2011.” Online. Paudel, Rajan
et al. 2012. “Risk Factors for Stunting among Children: A Community

27. Patimah, S., Darlis, I., Nukman, N., & Nurlinda, A. (2020). Peningkatan Kapasitas Kader Kesehatan
Dalam Upaya Pencegahan Stunting Di Desa Mangki Kecamatan Cempa Kabupaten Pinrang. Jurnal
Penerbit :Pusat Kajian dan Pengelola Jurnal Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI 24
Window of Public Health Journal,Vol. xx No. xx (Bulan, Tahun) : x-xx E-ISSN 2721-2920

Dedikasi Masyarakat, 3(2).

28. Prihatini, D., & Subanda, I. N. (2020). Implementasi Kebijakan Alokasi Dana Desa Dalam Upaya
Pencegahan Stunting Terintegrasi. Jurnal Ilmiah MEA (Manajemen, Ekonomi, & Akuntansi), 4(2),
46-59.

29. Rl, K. (2021). Buku Saku Hasil Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) Tahun 2021. Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia.

30. Rl, K. (2021). Prediksi Angka Stunting Tahun 2020. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

31. Statistik, B. P. (2019). Laporan Pelaksanaan Integrasi Susenas Maret 2019 dan SSGBI Tahun 2019.

32. Sutiani, R., Lubis, Z., & Siagian, A. (2014). Gambaran Pengetahuan dan Keterampilan Kader Dalam
Pemantauan Pertumbuhan Bayi dan Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Desa Lalang Tahun
2014. Gizi, Kesehatan Reproduksi dan Epidemiologi, 1(3).

33. UNICEF. 2013. Improving Child Nutrition: The achievable imperative for global progress Informe
UNICEF 2013. Datos y Cifras Clave Sobre Nutrición.

34. Wahidmurni, 2017. Pemaparan Metode Penelitian Kualitatif. http://repository.uin-


malang.ac.id/1984/2/1984.pdf

35. Wirapuspita, R. (2013). Insentif dan kinerja kader posyandu. KEMAS: Jurnal Kesehatan
Masyarakat, 9(1), 58-65.

36. Wahyuningsih, E., & Handayani, S. (2016). Pengaruh pelatihan pemberian makan pada bayi dan
anak terhadap pengetahuan kader di wilayah Puskesmas Klaten Tengah Kabupaten
Klaten. MOTORIK Jurnal Ilmu Kesehatan, 10(21).

Penerbit :Pusat Kajian dan Pengelola Jurnal Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI 25

Anda mungkin juga menyukai