Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA

Disusun Oleh:

1. Johan Trinanda Hermawan (B1D0191 )


2. Jul Pikri (B1D0191 )
3. Kamilaini (B1D019126)
4. Laeli Dwiyani (B1D0I9I33)
5. Laras Santi (B1D019139)
6. Lina Septiana (B1D019140)
7. Listiani (B1D019143)
8. Lukmanul Hakim (B1D019143)
9. Marlina Ismi (B1D019155)
10. M. Rahul (B1D019151)
11. Muhammad Supiandi Asri (B1D019183)
12. Muhammad Rezky (B1D019181)
13. Mulisa (B1D019186)
14. Ni Putu Desy Guna Pratiwi (B1D019193)
15. Nuranggriani (B1D019196)

FAKULTAS
PETERNAKAN
UNIVERSITAS MATARAM
2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan kita
petunjuk_Nya sehingga makalah yang berjudul “ PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA”
dapat terselesaikan tepat pada waktunya.

Makalah ini disusun berdasarkan berbagai sumber yang relevan dengan materi yang
disajikan dalam makalah ini. Adapun materi yang dipaparkan adalah mengenai pengertian
etika, pengertian nilai, norma dan moral. Nilai dasar, nilai instrumental, nilai praktis .
Hubungan nilai, norma dan moral. Serta aplikasi nilai, norma dan moral dalm kehidupan
sehari-hari.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu,
kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat konstruktif sangat penulis harapkan guna
kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata penulis ucapkan terima kasih, semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis
maupun bagi para pembacanya.

Mataram,23 september 2019

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................

DAFTAR ISI................................................................................................................................

BAB I : PENDAHULUAN..........................................................................................................

A. Latar Belakang..................................................................................................................
B. Rumusan Masalah.............................................................................................................
C. Tujuan Penulisan...............................................................................................................

BAB II : PEMBAHASAN...........................................................................................................

A. Konsep dan Urgensi Pancasila sebagai Sistem Etika........................................................


B. Alasan Diperlukannya Pancasila sebagai Sistem Etika.....................................................
C. Sumber Historis, Sosiologis, Politis tentang Pancasila sebagai Sistem Etika
D. Argumen tentang Dinamika dan Tantangan Pancasila sebagai Sistem Etika...................
E. Esensi dan Urgensi Pancasila sebagai Sistem Etika..........................................................
F. Pancasila sebagai Solusi Problem Bangsa, Koupsi, Kerusakan Lingkungan dan
Dekadensi Moral...............................................................................................................

BAB III : PENUTUP...................................................................................................................

A. Kesimpulan .......................................................................................................................
B. Saran .................................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................
BAB II

PEMBAHASA

A. Konsep dan Urgensi Pancasila sebagai Sistem Etika


1. Konsep Pancasila sebagai Sistem Etika
Istilah “etika” berasal dari bahasa Yunani, “Ethos” yang artinya tempat tinggal
yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, watak, perasaan, sikap, dan
cara berpikir. Secara etimologis, etika berarti ilmu tentang segala sesuatu yang biasa
dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Dalam arti ini, etika berkaitan dengan
kebiasaan hidup yang baik, tata cara hidup yang baik, baik pada diri seseorang
maupun masyarakat. Kebiasaan hidup yang baik ini dianut dan diwariskan dari satu
generasi ke generasi yang lain. Dalam artian ini, etika sama maknanya dengan moral.
Etika dalam arti yang luas ialah ilmu yang membahas tentang kriteria baik dan buruk
(Bertens, 1997: 4--6). Etika pada umumnya dimengerti sebagai pemikiran filosofis
mengenai segala sesuatu yang dianggap baik atau buruk dalam perilaku manusia.
Keseluruhan perilaku manusia dengan norma dan prinsip-prinsip yang mengaturnya
itu kerap kali disebut moralitas atau etika (Sastrapratedja, 2002: 81).
2. Aliran-aliran Etika
Dalam kajian etika dikenal tiga teori/aliran besar, yaitu deontologi,
teleologi dan keutamaan. Setiap aliran memiliki sudut pandang sendiri-sendiri
dalam menilai apakah suatu perbuatan dikatakan baik atau buruk.
a. Etika deontologi
Etika deontologi memandang bahwa tindakan dinilai baik atau buruk berdasarkan
apakah tindakan itu sesuai atau tidak dengan kewajiban. Etika deontologi tidak
mempersoalkan akibat dari tindakan tersebut, baik atau buruknya. Tokoh yang
mengemukakan teori ini adalah Immanuel Kant (1734-1804). Ukuran kebaikan
dalam etika deontologi adalah kewajiban, kemauan baik, kerja keras dan otonomi
bebas. Tindakan itu baik bila didasari oleh kemauan baik dan kerja keras dan
sungguh-sungguh untuk melakukan perbuatan itu, dan tindakan yang baik adalah
didasarkan atas otonomi bebasnya tanpa ada paksaan dari luar.
b. Etika teleologi
Pandangan etika teleologi berkebalikan dengan etika deontologi, yaitu bahwa baik
buruk suatu tindakan dilihat berdasarkan tujuan atau akibat dari perbuatan
itu.Contoh sederhana kewajiban mengenakan helm bagi pengendara motor tidak
dapat dipenuhi karena lebih fokus pada satu tujuan yaitu mencari keselamatan. etika
teleologi dapat digolongkan menjadi dua, yaitu :
a. Egoisme etis memandang bahwa tindakan yang baik adalah tindakan yang
berakibat baik untuk pelakunya.
b. Utilitarianisme menilai bahwa baik buruknya suatu perbuatan tergantung
bagaimana akibatnya terhadap banyak orang. Tindakan dikatakan baik apabila
mendatangkan manfaat yang besar bagi banyak orang. Etika utilitarianisme ini
menjawab pertanyaan etika egoisme, bahwa kemanfaatan banyak oranglah yang
lebih diutamakan. Kemanfaatan diri diperbolehkan sewajarnya, karena kemanfaatan
itu harus dibagi kepada yang lain. Sonny Keraf (2002: 19-21) mencatat ada beberapa
kelemahan etika ini, yaitu:
a) Karena alasan kemanfaatan untuk orang banyak berarti akan ada sebagian
masyarakat yang dirugikan, dan itu dibenarkan. Dengan demikian utilitarianisme
membenarkan adanya ketidakadilan terutama terhadap minoritas.
b) Kemanfaatan yang dipandang oleh etika utilitarianisme sering dilihat dalam
jangka pendek, tidak melihat akibat jangka panjang. Padahal,misalnya dalam
persoalan lingkungan, kebijakan yang dilakukan sekarang akan memberikan
dampak negatif pada masa yang akan datang.
c) Karena etika utilitarianisme tidak menganggap penting nilai dan norma, tapi
lebih pada orientasi hasil, maka tindakan yang melanggar nilai dan norma atas nama
kemanfaatan yang besar, misalnya perjudian/prostitusi, dapat dibenarkan.
Menyadari kelemahan itu etika utilitarianisme membedakannya dalam dua
tingkatan, yaitu utilitarianisme aturan dan tindakan. Atas dasar ini, maka :
1) Setiap kebijakan dan tindakan harus dicek apakah bertentangan dengan nilai dan
norma atau tidak. Kalau bertentangan maka kebijakan dan tindakan tersebut harus
ditolak meskipun memiliki kemanfaatan yang besar.
2) Kemanfaatan harus dilihat tidak hanya yang bersifat fisik saja tetapi juga yang
non-fisik seperti kerusakan mental, moralitas, kerusakan lingkungan dan
sebagainya.
3) Terhadap masyarakat yang dirugikan perlu pendekatan personal dan
kompensasi yang memadai untuk memperkecil kerugian material dan non-
material.
c. Etika keutamaan
Etika ini tidak mempersoalkan akibat suatu tindakan, tidak juga mendasarkan pada
penilaian moral pada kewajiban terhadap hukum moral universal, tetapi pada
pengembangan karakter moral pada diri setiap orang.Karakter moral ini dibangun
dengan cara meneladani perbuatan-perbuatan baik yang dilakukan oleh para tokoh
besar. Internalisasi ini dapat dibangun melalui cerita, sejarah yang di dalamnya
mengandung nilai-nilai keutamaan agar dihayati dan ditiru oleh masyarakatnya.
Kelemahan etika ini adalah ketika terjadi dalam masyarakat yang majemuk,
maka tokoh-tokoh yang dijadikan panutan juga beragam sehingga konsep
keutamaan menjadi sangat beragam pula, dan keadaan ini dikhawatirkan akan
menimbulkan benturan sosial.
Kelemahan etika keutamaan dapat diatasi dengan cara mengarahkan keteladanan
tidak pada figur tokoh, tetapi pada perbuatan baik yang dilakukan oleh tokoh itu
sendiri, sehingga akan ditemukan prinsip-prinsip umum tentang karakter yang
bermoral itu seperti apa.
3. Pengertian Nilai, Norma, dan Moral
Etika selalu terkait dengan masalah nilai sehingga perbincangan tentang etika,
pada umumnya membicarakan tentang masalah nilai (baik atau buruk). Frondizi
menerangkan bahwa nilai merupakan kualitas yang tidak real karena nilai itu tidak
ada untuk dirinya sendiri, nilai membutuhkan pengemban untuk berada (2001:7).
Misalnya, nilai kejujuran melekat pada sikap dan kepribadian seseorang. Istilah nilai
mengandung penggunaan yang kompleks dan bervariasi. Lacey menjelaskan bahwa
paling tidak ada enam pengertian nilai dalam penggunaan secara umum, yaitu
sebagai berikut:

1. Sesuatu yang fundamental yang dicari orang sepanjang hidupnya.


2. Suatu kualitas atau tindakan yang berharga, kebaikan, makna atau
pemenuhan karakter untuk kehidupan seseorang.
3. Suatu kualitas atau tindakan sebagian membentuk identitas seseorang
sebagai pengevaluasian diri, penginterpretasian diri, dan pembentukan diri.
4. Suatu kriteria fundamental bagi seseorang untuk memilih sesuatu yang baik
di antara berbagai kemungkinan tindakan.
5. Suatu standar yang fundamental yang dipegang oleh seseorang
ketika bertingkah laku bagi dirinya dan orang lain.
6. Suatu ”objek nilai”, suatu hubungan yang tepat dengan sesuatu yang sekaligus
membentuk hidup yang berharga dengan identitas kepribadian seseorang.
Objek
nilai mencakup karya seni, teori ilmiah, teknologi, objek yang disucikan,
budaya, tradisi, lembaga, orang lain, dan alam itu sendiri. (Lacey, 1999: 23).
Dengan demikian, nilai sebagaimana pengertian butir kelima (5), yaitu sebagai
standar fundamental yang menjadi pegangan bagi seseorang dalam bertindak,
merupakan kriteria yang penting untuk mengukur karakter seseorang. Nilai sebagai
standar fundamental ini pula yang diterapkan seseorang dalam pergaulannya dengan
orang lain sehingga perbuatannya dapat dikategorikan etis atau tidak.

1) Nilai Dasar
Meskipun nilai bersifat abstrak dan tidak dapat diamati oleh panca indra
manusia, namun dalam kenyataannya nilai berhubungan dengan tingkah laku manusia.
Setiap orang miliki nilai dasar yaitu berupa hakikat, esensi, intisari atau makna yang
dalam dari nilai-nilai tersebut. Nilai dasar berifat universal karena karena menyangkut
kenyataan obyek dari segala sesuatu.
Contohnya tentang hakikat Tuhan, manusia serta mahkluk hidup lainnya. Nilai
dasar yang berkaitan dengan hakikat manusia maka nilai-nilai itu harus bersumber
pada hakikat kemanusiaan yang dijabarkan dalam norma hukum yang diistilahkan
dengan hak dasar (hak asasi manusia). Dan apabila nilai dasar itu berdasarkan kepada
hakikat suatu benda (kuatutas,aksi, ruang dan waktu) maka nilai dasar itu juga dapat
disebut sebagai norma yang direalisasikan dalam kehidupan yang praksis. Nilai Dasar
yang menjadi sumber etika bagi bangsa Indonesia adalah nilai-nilai yang terkandung
dalam Pancasila
2) Nilai Instrumental

Nilai instrumental adalah nilai yang menjadi pedoman pelaksanaan dari nilai
dasar. Nilai dasar belum dapat bermakna sepenuhnya apabila belum memiliki
formulasi serta parameter atau ukuran yang jelas dan konkrit. Apabila nilai
instrumental itu berkaitan dengan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari
maka itu akan menjadi norma moral. Namun apabila nilai instrumental itu berkaitan
dengan suatu organisasi atau Negara, maka nilai instrumental itu merupakan suatu
arahan, kebijakan, atau strategi yangbersumber pada nilai dasar sehingga dapat juga
dikatakan bahwa nilai instrumental itu merupakan suatu eksplisitasi dari nilai dasar.
Dalam kehidupan ketatanegaraan Republik Indonesia, nilai-nilai instrumental dapat
ditemukan dalam pasal-pasal undang-undang dasar yang merupakan penjabaran
Pancasila.
3) Nilai Praksis

Nilai praksis merupakan penjabaran lebih lanjut dari nilai instrumental dalam
kehidupan yang lebih nyata dengan demikian nilai praksis merupakan
pelaksanaan secara nyata dari nilai-nilai dasar.

Norma adalah perwujudan martabat manusia sebagai mahluk budaya, moral, religi,
dan sosial. Norma merupakan suatu kesadaran dan sikap luhur yang dikehendaki oleh
tata nilai untuk dipatuhi. Oleh karena itu norma dalam perwujudannya norma agama,
norma filsafat, norma kesusilaan, norma hukum dan norma sosial. Norma memiliki
kekuatan untuk dipatuhi karena adanya sanksi. Norma-norma yang terdapat dalam
masyarakat antara lain :

a. Norma agama adalah ketentuan hidup masyarakat yang bersumber pada agama.
b. Norma kesusilaan adalah ketentuan hidup yang bersumber pada hati nurani,
moral atau filsafat hidup.
c. Norma hukum adalah ketentuan-ketentuan tertulis yang berlaku dan bersumber
pada UU suatu Negara tertentu.
d. Norma sosial adalah ketentuan hidup yang berlaku dalam hubungan
antara manusia dalam masyarakat.
Moral berasal dari kata mos (mores) yang sinonim dengan kesusilaan,
kelakuan. Moral adalah ajaran tentang hal yang baik dan buruk, yang
menyangkut tingkah laku dan perbuatan manusia.
Seorang pribadi yang taat kepada aturan-aturan, kaidah-kaidah dan norma-norma
yang berlaku dalam masyarakatnya, dianggap sesuai dan bertindak secara moral. Jika
sebaliknya yang terjadi maka pribadi itu dianggap tidak bermoral.
Moral dalam perwujudannya dapat berupa peraturan dan atau prinsip-prinsip yang
benar, baik terpuji dan mulia. Moral dapat berupa kesetiaan, kepatuhan terhadap nilai
dan norma yang mengikat kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
4. Hubungan antara Nilai, Norma dan Moral
Nilai, norma dan moral langsung maupun tidak langsung memiliki hubungan
yang cukup erat, karena masing-masing akan menentukan etika bangsa ini. Hubungan
antarnya dapat diringkas sebagai berikut :
Nilai: kualitas dari suatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia (lahir dan batin).
- Nilai bersifat abstrak hanya dapat dipahami, dipikirkan, dimengerti dan dihayati
oleh manusia. Nilai berkaitan dengan harapan, cita-cita, keinginan, dan segala sesuatu
pertimbangan batiniah manusia
- Nilai dapat juga bersifat subyektif bila diberikan olehs ubyek, dan bersifat
obyektif bila melekat pada sesuatu yang terlepasd arti penilaian manusia
Norma: wujud konkrit dari nilai, yang menuntun sikap dan tingkah laku manusia.
Norma hukum merupakan norma yang paling kuat keberlakuannya, karena dapat
dipaksakan oleh suatu kekuasaan eksternal, misalnya penguasa atau penegak hukum.
Nilai dan norma senantiasa berkaitan dengan moral dan etika.
Makna moral yang terkandung dalam kepribadian seseorang akan tercermin pada
sikap dan -tingkah lakunya. Norma menjadi penuntun sikap dan tingkah laku manusia.
Moral dan etika sangat erat hubungannya.
Keterkaitan nilai, norma dan moral merupakan suatu kenyataan yang
seharusnya tetapterpelihara di setiap waktu pada hidup dan kehidupan manusia.
Keterkaitan itu mutlak di garis bawahi bila seorang individu, masyarakat, bangsa
dan negara menghendaki pondasi yang kuat tumbuh dan berkembang. Sebagaimana
tersebut di atas maka nilai akan berguna menuntun sikap dan tingkah laku manusia
bila dikonkritkan dan diformulakan menjadi lebih obyektif sehingga memudahkan
manusia untuk menjabarkannya dalam aktivitas sehari-hari.
Dalam kaitannya dengan moral maka aktivitas turunan dari nilai dan norma
akan memperoleh integritas dan martabat manusia. Derajat kepribadian itu amat
ditentukan oleh moralitas yang mengawalnya. Sementara itu, hubungan antara moral
dan etika kadang-kadang atau seringkali disejajarkan arti dan maknanya. Namun
demikian, etika dalam pengertiannya tidak berwenang menentukan apa yang boleh
dan tidak boleh dilakukan seseorang. Wewenang itu dipandang berada di tangan
pihak yang memberikan ajaran moral.
5. Aplikasi Nilai, Norma dan Moral dalam Kehidupan Sehari-hari
Dalam kehidupan kita akan selalu berhadapan dengan istilah nilai dan norma
dan juga moral dalam kehidupan sehari-hari. Dapat kita ketahui bahwa yang
dimaksud dengan nilai social merupakan nilai yang dianut oleh suatu masyarakat,
mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk oleh masyarakat.
Sebagai contoh, orang menanggap menolong memiliki nilai baik, sedangkan mencuri
bernilai buruk. Dan dapat juga dicontohkan, seorang kepala keluarga yang belum
mampu memberi nafkah kepada keluarganya akan merasa sebagai kepala
keluarga yang tidak bertanggung jawab.
Demikian pula, guru yang melihat siswanya gagal dalam ujian akan merasa
gagal dalam mendidik anak tersebut. Bagi manusia, nilai berfungsi sebagai landasan,
alasan, atau motivasi dalam segala tingkah laku dan perbuatannya. Nilai
mencerminkan kualitas pilihan tindakan dan pandangan hidup seseorang dalam
masyarakat. Itu adalah yang dimaksud dan juga contoh dari nilai.
Dapat di jelaskan juga bahwa yang dimaksud norma social adalah patokan
perilaku dalam suatu kelompok masyarakat tertentu. Norma sering juga disebut
dengan peraturan sosial. Norma menyangkut perilaku-perilaku yang pantas dilakukan
dalam menjalani interaksi sosialnya. Keberadaan norma dalam masyarakat bersifat
memaksa individu atau suatu kelompok agar bertindak sesuai dengan aturan sosial
yang telah terbentuk. Pada dasarnya, norma disusun agar hubungan di antara manusia
dalam masyarakat dapat berlangsung tertib sebagaimana yang diharapkan.
Tingakat norma dasar didalam masyarakat dibedakan menjadi 4 yaitu:
1. Cara
Contoh: cara makan yang wajar dan baik apabila tidak mengeluarkan suara seperti
hewan
2. Kebiasaan
Contoh: Memberi hadiah kepada orang-orang yang berprestasi dalam suatu kegiatan
atau kedudukan, memakai baju yang bagus pada waktu pesta.
3. Tata kelakuan
Contoh: Melarang pembunuhan, pemerkosaan, atau menikahi saudara kandung.
4. Adat istiadat, Misalnya orang yang melanggar hukum adat akan dibuang
dan diasingkan ke daerah lain.,upacara adat (misalnya di Bali)
Norma hukum (laws)
- Tidak melanggar rambu lalu lintas walaupun tidak ada polentas
- Menghormati pengadilan dan peradilan di
Indonesia Norma kesusilaan
Contoh : orang yang berhubungan intim di tempat umum akan di cap tidak susila,
melecehkan wanita ataupun laki-laki didepan orang.
Norma kesopananContoh :
- memberikan tempat duduk di bis umum pada lansia dan wanita hamil.
-Tidak meludah di sembarang tempat, memberi atau menerima sesuatu dengan tangan
kanan, kencing di sembarang tempat
Dan ada beberapa norma yang lain yang belum di sebutkan dalam hal ini.
Setelah masuk pada nilai dan norma. Dalam aplikasi yang terakhir akan membahas
tentang moral.
Moral (Bahasa Latin Moralitas) adalah istilah manusia menyebut ke manusia
atau orang lainnya dalam tindakan yang mempunyai nilai positif. Manusia yang tidak
memiliki moral disebut amoral artinya dia tidak bermoral dan tidak memiliki nilai
positif di mata manusia lainnya. Sehingga moral adalah hal mutlak yang harus
dimiliki oleh manusia. Moral secara ekplisit adalah hal-hal yang berhubungan dengan
proses sosialisasi individu tanpa moral manusia tidak bisa melakukan
proses sosialisasi. Moral dalam zaman sekarang mempunyai nilai implisit karena
banyak orang yang mempunyai moral atau sikap amoral itu dari sudut pandang yang
sempit. Moral itu sifat dasar yang diajarkan di sekolah-sekolah dan manusia harus
mempunyai moral jika ia ingin dihormati oleh sesamanya. Moral adalah nilai ke-
absolutan dalam kehidupan bermasyarakat secara utuh.
Contoh moral adalah : Tidak terdapat adanya pemaksaan suatu agama tertentu kepada
orang lain, dengan demikian masyarakat dan bangsa Indonesia menjunjung tinggi
nilai nilai HAM. Dapat dicontoh dalam hal nya pendidikan. Seorang siswa yang ingin
bersekolah tapi dengan tidak dana maka ia tak dapat sekolah sampai cita-citanya tidak
terwujud.
Contohnya moral dalam halnya kehidupan sehari kalau kita menemukan tas yang
berisikan dokumen penting dan juga sejumlah uang yang tersapat dalam tas tersebut.
Seandainya kita memiliki moral yang baik maka kita akan memberikan tas itu pada
kepemiliknya kalau tidak pada yang berwajib.
6. Etika Pancasila
Etika Pancasila adalah cabang filsafat yang dijabarkan dari sila-sila Pancasila
untuk mengatur perilaku kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di
Indonesia. Oleh karena itu, dalam etika Pancasila terkandung nilai-nilai ketuhanan,
kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Kelima nilai tersebut membentuk
perilaku manusia Indonesia dalam semua aspek kehidupannya. Sila ketuhanan
mengandung dimensi moral berupa nilai spiritualitas yang mendekatkan diri manusia
kepada Sang Pencipta, ketaatan kepada nilai agama yang dianutnya. Sila kemanusiaan
mengandung dimensi humanus, artinya menjadikan manusia lebih manusiawi, yaitu
upaya meningkatkan kualitas kemanusiaan dalam pergaulan antar sesama. Sila
persatuan mengandung dimensi nilai solidaritas, rasa kebersamaan (mitsein), cinta
tanah air. Sila kerakyatan mengandung dimensi nilai berupa sikap menghargai orang
lain, mau mendengar pendapat orang lain, tidak memaksakan kehendak kepada orang
lain. Sila keadilan mengandung dimensi nilai mau peduli atas nasib orang lain,
kesediaan membantu kesulitan orang lain.

Etika Pancasila itu lebih dekat pada pengertian etika keutamaan atau etika
kebajikan, meskipun corak kedua mainstream yang lain, deontologis dan teleologis
termuat pula di dalamnya. Namun, etika keutamaan lebih dominan karena etika
Pancasila tercermin dalam empat tabiat saleh, yaitu kebijaksanaan, kesederhanaan,
keteguhan, dan keadilan. Kebijaksanaan artinya melaksanakan suatu tindakan yang
didorong oleh kehendak yang tertuju pada kebaikan serta atas dasar kesatuan akal –
rasa – kehendak yang berupa kepercayaan yang tertuju pada kenyataan mutlak (Tuhan)
dengan memelihara nilai-nilai hidup kemanusiaan dan nilai-nilai hidup religius.
Kesederhaaan artinya membatasi diri dalam arti tidak melampaui batas dalam hal
kenikmatan. Keteguhan artinya membatasi diri dalam arti tidak melampaui batas
dalam menghindari penderitaan. Keadilan artinya memberikan sebagai rasa wajib
kepada diri sendiri dan manusia lain, serta terhadap Tuhan terkait dengan segala
sesuatu yang telah menjadi haknya (Mudhofir, 2009: 386).

Etika Pancasila berbicara tentang nilai-nilai yang sangat mendasar dalam


kehidupan manusia, diantaranya:

1. Nilai ketuhanan
Secara hirarkis nilai ini bisa dikatakan sebagai nilai yang tertinggi karena
menyangkut nilai yang bersifat mutlak. Seluruh nilai kebaikan diturunkan dari
nilai ini. Suatu perbuatan dikatakan baik apabila tidak bertentangan dengan nilai,
kaedah dan hukum Tuhan. Pandangan demikian secara empiris bisa dibuktikan
bahwa setiap perbuatan yang melanggar nilai, kaedah dan hukum Tuhan, baik itu
kaitannya dengan hubungan antara manusia maupun alam pasti akan berdampak
buruk. Misalnya pelanggaran akan kaedah Tuhan tentang menjalin hubungan
kasih sayang antar sesama akan menghasilkan konflik dan permusuhan.
Pelanggaran kaedah Tuhan untuk melestarikan alam akan menghasilkan bencana
alam, dan lain-lain.
2. Nilai kemanusiaan
Suatu perbuatan dikatakan baik apabila sesuai dengan nilai-nilaiKemanusiaan.
Prinsip pokok dalam nilai Kemanusiaan Pancasila adalah keadilan dan keadaban.
Keadilan mensyaratkan keseimbangan antara lahir dan batin, jasmani dan rohani,
individu dan sosial, makhluk bebas mandiri dan makhluk Tuhan yang terikat
hukum-hukum Tuhan. Keadaban mengindikasikan keunggulan manusia dibanding
dengan makhluk lain, yaitu hewan, tumbuhan, dan benda tak hidup. Karena itu
perbuatan itu dikatakan baik apabila sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang
didasarkan pada konsep keadilan dan keadaban.
3. Nilai persatuan
Suatu perbuatan dikatakan baik apabila dapat memperkuat persatuan dan kesatuan.
Sikap egois dan menang sendiri merupakan perbuatan buruk, demikian pula sikap
yang memecah belah persatuan. Sangat mungkin seseorang seakan-akan
mendasarkan perbuatannya atas nama agama (sila ke-1), namun apabila perbuatan
tersebut dapat memecah persatuan dan kesatuan maka menurut pandangan etika
Pancasila bukan merupakan perbuatan baik.
4. Nilai kerakyatan
Dalam kaitan dengan kerakyatan ini terkandung nilai lain yang sangat penting
yaitu nilai hikmat/kebijaksanaan dan permusyawaratan. Kata
hikmat/kebijaksanaan berorientasi pada tindakan yang mengandung nilai kebaikan
tertinggi. Atas nama mencari kebaikan, pandangan minoritas belum tentu kalah
dibanding mayoritas. Pelajaran yang sangat baik misalnya peristiwa penghapusan
tujuh kata dalam sila pertama Piagam Jakarta. Sebagian besar anggota PPKI
menyetujui tujuh kata tersebut, namun memperhatikan kelompok yang sedikit
(dari wilayah Timur) yang secara argumentatif dan realistis bisa diterima, maka
pandangan minoritas “dimenangkan” atas pandangan mayoritas. Dengan demikian,
perbuatan belum tentu baik apabila disetujui/bermanfaat untuk orang banyak,
namun perbuatan itu baik jika atas dasar musyawarah yang didasarkan pada
konsep hikmah/kebijaksanaan.
5. Nilai keadilan
Apabila dalam sila kedua disebutkan kata adil, maka kata tersebut lebih dilihat
dalam konteks manusia selaku individu. Adapun nilai keadilan pada sila kelima
lebih diarahkan pada konteks sosial. Suatu perbuatan dikatakan baik apabila
sesuai dengan prinsip keadilan masyarakat banyak. Menurut Kohlberg (1995: 37),
keadilan merupakan kebajikan utama bagi setiap pribadi dan masyarakat.
Keadilan mengandaikan sesama sebagai partner yang bebas dan sama
derajatnya dengan orang lain.

Menilik nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, maka Pancasila dapat


menjadi sistem etika yang sangat kuat, nilai-nilai yang ada tidak hanya bersifat
mendasar, namun juga realistis dan aplikatif. Apabila dalam kajian aksiologi
dikatakan bahwa keberadaan nilai mendahului fakta, maka nilai-nilai Pancasila
merupakan nilai-nilai ideal yang sudah ada dalam cita-cita bangsa Indonesia yang
harus diwujudkan dalam realitas kehidupan. Nilai-nilai tersebut dalam istilah
Notonagoro merupakan nilai yang bersifat abstrak umum dan universal, yaitu nilai
yang melingkupi realitas kemanusiaan di manapun, kapanpun dan merupakan dasar
bagi setiap tindakan dan munculnya nilai-nilai yang lain. Sebagai contoh, nilai
Ketuhanan akan menghasilkan nilai spiritualitas, ketaatan, dan toleransi. Nilai
Kemanusiaan, menghasilkan nilai kesusilaan, tolong menolong, penghargaan,
penghormatan, kerjasama, dan lain-lain. Nilai Persatuan menghasilkan nilai cinta
tanah air, pengorbanan dan lain-lain. Nilai Kerakyatan menghasilkan nilai menghargai
perbedaan, kesetaraan, dan lain-lain Nilai Keadilan menghasilkan nilai kepedulian,
kesejajaran ekonomi, kemajuan bersama dan lain-lain.
7. Urgensi Pancasila sebagai sistem etika
Pentingnya Pancasila sebagai sistem etika terkait dengan problem
yang dihadapi bangsa Indonesia sebagai berikut:
1) banyaknya kasus korupsi yang melanda negara Indonesia sehingga dapat
melemahkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
2) masih terjadinya aksi terorisme yang mengatasnamakan agama sehingga
dapat merusak semangat toleransi dalam kehidupan antar umat beragama, dan
meluluhlantakkan semangat persatuan atau mengancam disintegrasi bangsa.
3) masih terjadinya pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam kehidupan
bernegara, seperti: kasus penyerbuan Lembaga Pemasyarakatan Cebongan
Yogyakarta, pada tahun 2013 yang lalu.
4) kesenjangan antara kelompok masyarakat kaya dan miskin masih menandai
kehidupan masyarakat Indonesia.
5) ketidakadilan hukum yang masih mewarnai proses peradilan di Indonesia, seperti
putusan bebas bersyarat atas pengedar narkoba asal Australia Schapell Corby.
6) banyaknya orang kaya yang tidak bersedia membayar pajak dengan benar, seperti
kasus penggelapan pajak oleh perusahaan, kasus panama papers yang menghindari
atau mengurangi pembayaran pajak. Kesemuanya itu memperlihatkan pentingnya dan
mendesaknya peran dan kedudukan Pancasila sebagai sistem etika karena dapat
menjadi tuntunan atau sebagai Leading Principle bagi warga negara untuk berperilaku
sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.

Etika Pancasila diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan


bernegara sebab berisikan tuntunan nilai-nilai moral yang hidup. Namun, diperlukan
kajian kritis- rasional terhadap nilai-nilai moral yang hidup tersebut agar tidak terjebak ke
dalam pandangan yang bersifat mitos. Misalnya, korupsi terjadi lantaran seorang pejabat
diberi hadiah oleh seseorang yang memerlukan bantuan atau jasa si pejabat agar
urusannya lancar. Si pejabat menerima hadiah tanpa memikirkan alasan orang tersebut
memberikan hadiah. Demikian pula halnya dengan masyarakat yang menerima sesuatu
dalam konteks politik sehingga dapat dikategorikan sebagai bentuk suap.

B. Alasan Diperlukannya Pancasila sebagai Sistem Etika


Pancasila sebagai sistem etika itu diperlukan dalam penyelenggaraan
kehidupan bernegara di Indonesia, meliputi hal-hal sebagai berikut:
1) dekadensi moral. Dewasa ini, fenomena materialisme, pragmatisme, dan
hedonisme makin menggejala dalam kehidupan bermasyarakat. Paham-paham
tersebut mengikis moralitas dan akhlak masyarakat, khususnya generasi muda.
Fenomena dekadensi moral tersebut terekspresikan dan tersosialisasikan lewat
tayangan berbagai media massa. Perhatikan tontonan-tontonan yang disuguhkan
dalam media siaran dewasa ini. Begitu banyak tontonan yang bukan hanya
mengajarkan kekerasan, melainkan juga perilaku tidak bermoral seperti
pengkhianatan dan perilaku pergaulan bebas. Bahkan, perilaku kekerasan juga
acapkali disuguhkan dalam sinetron-sinetron yang notabene menjadi tontonan
keluarga. Sungguh ironis, tayangan yang memperlihatkan perilaku kurang terpuji
justru menjadi tontonan yang paling disenangi. Hasilnya sudah dapat ditebak,
perilaku menyimpang di kalangan remaja semakin meningkat.
dekadensi moral yang melanda kehidupan masyarakat, terutama generasi muda
sehingga membahayakan kelangsungan hidup bernegara. Generasi muda yang
tidak mendapat pendidikan karakter yang memadai dihadapkan pada pluralitas
nilai yang melanda Indonesia sebagai akibat globalisasi sehingga mereka
kehilangan arah. Dekadensi moral itu terjadi ketika pengaruh globalisasi tidak
sejalan dengan nilai-nilai Pancasila, tetapi justru nilai-nilai dari luar berlaku
dominan. Contoh-contoh dekadensi moral, antara lain: penyalahgunaan narkoba,
kebebasan tanpa batas, rendahnya rasa hormat kepada orang tua, menipisnya rasa
kejujuran, tawuran di kalangan para pelajar. Kesemuanya itu menunjukkan
lemahnya tatanan nilai moral dalam kehidupan bangsa Indonesia. Oleh karena itu,
Pancasila sebagai sistem etika diperlukan kehadirannya sejak dini, terutama dalam
bentuk pendidikan karakter di sekolah-sekolah.
2) masalah korupsi sampai sekarang masih banyak terjadi, baik di pusat maupun di
daerah. Transparency Internasional (TI) merilis situasi korupsi di 188 negara
untuk tahun 2015. Berdasarkan data dari TI tersebut, Indonesia masih menduduki
peringkat 88 dalam urutan negara paling korup di dunia. Hal tersebut
menunjukkan bahwa masih ditemukan adanya perilaku pejabat publik yang
kurang sesuai dengan standar nilai/moral Pancasila. Agar perilaku koruptif
tersebut ke depan dapat makin direduksi, maka mata kuliahpendidikan Pancasila
perlu diintensifkan di perguruan tinggi. Hal tersebut dikarenakan mahasiswa
merupakan kelompok elit intelektual generasi muda calon-calon pejabat publik di
kemudian hari. Sebenarnya, perilaku koruptif ini hanya dilakukan oleh segelintir
pejabat publik saja. Tetapi seperti kata peribahasa, karena nila setitik rusak susu
sebelanga. Hal inilah tantangan yang harus direspon bersama agar prinsip good
governance dapat terwujud dengan lebih baik di negara Indonesia.
korupsi akan bersimaharajalela karena para penyelenggara negara tidak memiliki
rambu-rambu normatif dalam menjalankan tugasnya. Para penyelenggara negara
tidak dapat membedakan batasan yang boleh dan tidak, pantas dan tidak, baik dan
buruk (good and bad). Pancasila sebagai sistem etika terkait dengan pemahaman
atas kriteria baik (good) dan buruk (bad). Archie Bahm dalam Axiology of Science,
menjelaskan bahwa baik dan buruk merupakan dua hal yang terpisah. Namun,
baik dan buruk itu eksis dalam kehidupan manusia, maksudnya godaan untuk
melakukan perbuatan buruk selalu muncul. Ketika seseorang menjadi pejabat dan
mempunyai peluang untuk melakukan tindakan buruk (korupsi), maka hal tersebut
dapat terjadi pada siapa saja. Oleh karena itu, simpulan Archie
Bahm, ”Maksimalkan kebaikan, minimalkan keburukan” (Bahm, 1998: 58).
3) kurangnya rasa perlu berkontribusi dalam pembangunan melalui pembayaran
pajak. Hal tersebut terlihat dari kepatuhan pajak yang masih rendah, padahal
peranan pajak dari tahun ke tahun semakin meningkat dalam membiayai APBN.
Pancasila sebagai sistem etika akan dapat mengarahkan wajib pajak untuk secara
sadar memenuhi kewajiban perpajakannya dengan baik. Dengan kesadaran pajak
yang tinggi maka program pembangunan yang tertuang dalam APBN akan dapat
dijalankan dengan sumber penerimaan dari sektor perpajakan.
4) pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM) dalam kehidupan bernegara di
Indonesia ditandai dengan melemahnya penghargaan seseorang terhadap hak
pihak lain. Kasus-kasus pelanggaran HAM yang dilaporkan di berbagai media,
seperti penganiayaan terhadap pembantu rumah tangga (PRT), penelantaran anak-
anak yatim oleh pihak-pihak yang seharusnya melindungi, kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT), dan lain-lain. Kesemuanya itu menunjukkan bahwa kesadaran
masyarakat terhadap nilai- nilai Pancasila sebagai sistem etika belum berjalan
maksimal. Oleh karena itu, di samping diperlukan sosialisasi sistem etika
Pancasila, diperlukan pula penjabaran sistem etika ke dalam peraturan perundang-
undangan tentang HAM (Lihat Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang
HAM).
5) Indonesia dikenal sebagai paru-paru dunia. Namun dewasa ini, citra tersebut
perlahan mulai luntur seiring dengan banyaknya kasus pembakaran hutan,
perambahan hutan menjadi lahan pertanian, dan yang paling santer dibicarakan,
yaitu beralihnya hutan Indonesia menjadi perkebunan.Selain masalah hutan,
masalah keseharian yang dihadapi masyarakat Indonesia saat ini adalah sampah,
pembangunan yang tidak memperhatikan ANDAL dan AMDAL, polusi yang
diakibatkan pabrik dan kendaraan yang semakin banyak. Hal tersebut
menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat terhadap kelestarian lingkungan masih
perlu ditingkatkan. Peningkatan kesadaran lingkungan tersebut juga merupakan
perhatian pendidikan Pancasila.
kerusakan lingkungan yang berdampak terhadap berbagai aspek kehidupan
manusia, seperti kesehatan, kelancaran penerbangan, nasib generasi yang akan
datang, global warming, perubahan cuaca, dan lain sebagainya. Kasus-kasus
tersebut menunjukkan bahwa kesadaran terhadap nilai-nilai Pancasila sebagai
sistem etika belum mendapat tempat yang tepat di hati masyarakat. Masyarakat
Indonesia dewasa ini cenderung memutuskan tindakan berdasarkan sikap
emosional, mau menang sendiri, keuntungan sesaat, tanpa memikirkan dampak
yang ditimbulkan dari perbuatannya. Contoh yang paling jelas adalah
pembakaran
hutan di Riau sehingga menimbulkan kabut asap. Oleh karena itu, Pancasila
sebagai sistem etika perlu diterapkan ke dalam peraturan perundang-undangan
yang menindak tegas para pelaku pembakaran hutan, baik pribadi maupun
perusahaan yang terlibat. Selain itu, penggiat lingkungan dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara juga perlu mendapat penghargaan.
C. Sumber Historis, Sosiologis, Politis tentang Pancasila sebagai Sistem Etika
1. Sumber Histois
Pada zaman Orde Lama, Pancasila sebagai sistem etika masih berbentuk
sebagai Philosofische Grondslag atau Weltanschauung. Artinya, nilai-nilai Pancasila
belum ditegaskan ke dalam sistem etika, tetapi nilai-nilai moral telah terdapat
pandangan hidup masyarakat. Masyarakat dalam masa orde lama telah mengenal
nilai-nilai kemandirian bangsa yang oleh Presiden Soekarno disebut dengan istilah
berdikari (berdiri di atas kaki sendiri).
Pada zaman Orde Baru, Pancasila sebagai sistem etika disosialisasikan melalui
penataran P-4 dan diinstitusionalkan dalam wadah BP-7. Ada banyak butir Pancasila
yang dijabarkan dari kelima sila Pancasila sebagai hasil temuan dari para peneliti BP-
7.
Pada era reformasi, Pancasila sebagai sistem etika tenggelam dalam hiruk-
pikuk perebutan kekuasaan yang menjurus kepada pelanggaraan etika politik. Salah
satu bentuk pelanggaran etika politik adalah abuse of power, baik oleh penyelenggara
negara di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Penyalahgunaan kekuasaan atau
kewenangan inilah yang menciptakan korupsi di berbagai kalangan penyelenggara
negara.
2. Sumber Sosiologis

Sumber sosiologis Pancasila sebagai sistem etika dapat ditemukan dalam


kehidupan masyarakat berbagai etnik di Indonesia. Misalnya, orang Minangkabau
dalam hal bermusyawarah memakai prinsip “bulat air oleh pembuluh, bulat kata oleh
mufakat”. Masih banyak lagi mutiara kearifan lokal yang bertebaran di bumi
Indonesia ini sehingga memerlukan penelitian yang mendalam.

3. Sumber Politis
Sumber politis Pancasila sebagai sistem etika terdapat dalam norma-norma
dasar (Grundnorm) sebagai sumber penyusunan berbagai peraturan perundangan-
undangan di Indonesia. Hans Kelsen mengatakan bahwa teori hukum itu suatu norma
yang berbentuk piramida. Norma yang lebih rendah memperoleh kekuatannya dari
suatu norma yang lebih tinggi. Semakin tinggi suatu norma, akan semakin abstrak
sifatnya, dan sebaliknya, semakin rendah kedudukannya, akan semakin konkrit norma
tersebut (Kaelan, 2011: 487). Pancasila sebagai sistem etika merupakan norma
tertinggi (Grundnorm) yang sifatnya abstrak, sedangkan perundang-undangan
merupakan norma yang ada di bawahnya bersifat konkrit.

Etika politik mengatur masalah perilaku politikus, berhubungan juga dengan


praktik institusi sosial, hukum, komunitas, struktur-struktur sosial, politik, ekonomi.
Etika politik memiliki 3 dimensi, yaitu tujuan, sarana, dan aksi politik itu sendiri.
Dimensi tujuan terumuskan dalam upaya mencapai kesejahteraan masyarakat dan
hidup damai yang didasarkan pada kebebasan dan keadilan. Dimensi sarana
memungkinkan pencapaian tujuan yang meliputi sistem dan prinsip-prinsip dasar
pengorganisasian praktik penyelenggaraan negara dan yang mendasari institusi-
institusi sosial. Dimensi aksi politik berkaitan dengan pelaku pemegang peran sebagai
pihak yang menentukan rasionalitas politik. Rasionalitas politik terdiri atas
rasionalitas tindakan dan keutamaan. Tindakan politik dinamakan rasional bila pelaku
mempunyai orientasi situasi dan paham permasalahan (Haryatmoko, 2003: 25 – 28).

D. Argumen tentang Dinamika dan Tantangan Pancasila sebagai


Sistem Etika
1. Argumen tentang Dinamika Pancasila sebagai Sistem Etika
Beberapa argumen tentang dinamika Pancasila sebagai sistem etika dalam
penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia dapat diuraikan sebagai berikut:
a. pada zaman Orde Lama, pemilu diselenggarakan dengan semangat demokrasi
yang diikuti banyak partai politik, tetapi dimenangkan empat partai politik,
yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Muslimin Indonesia (PARMUSI),
Partai Nahdhatul Ulama (PNU), dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Tidak
dapat dikatakan bahwa pemerintahan di zaman Orde Lama mengikuti sistem
etika Pancasila, bahkan ada tudingan dari pihak Orde Baru bahwa pemilihan
umum pada zaman Orde Lama dianggap terlalu liberal karena pemerintahan
Soekarno menganut sistem demokrasi terpimpin, yang cenderung otoriter.
b. pada zaman Orde Baru sistem etika Pancasila diletakkan dalam bentuk
penataran P-4. Pada zaman Orde Baru itu pula muncul konsep manusia
Indonesia seutuhnya sebagai cerminan manusia yang berperilaku dan
berakhlak mulia sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Manusia Indonesia
seutuhnya dalam pandangan Orde Baru, artinya manusia sebagai makhluk
ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, yang secara kodrati bersifat monodualistik,
yaitu makhluk rohani sekaligus makhluk jasmani, dan makhluk individu
sekaligus makhluk sosial. Manusia sebagai makhluk pribadi memiliki emosi
yang memiliki pengertian, kasih sayang, harga diri, pengakuan, dan tanggapan
emosional dari manusia lain dalam kebersamaan hidup. Manusia sebagai
makhluk sosial, memiliki tuntutan kebutuhan yang makin maju dan sejahtera.
Tuntutan tersebut hanya dapat terpenuhi melalui kerjasama dengan orang lain,
baik langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itulah, sifat kodrat
manusia sebagai makhluk individu dan sosial harus dikembangkan secara
selaras, serasi, dan seimbang (Martodihardjo, 1993: 171).
Manusia Indonesia seutuhnya (adalah makhluk mono-pluralis yang terdiri atas
susunan kodrat: jiwa dan raga; Kedudukan kodrat: makhluk Tuhan dan
makhluk berdiri sendiri; sifat kodrat: makhluk sosial dan makhluk individual.
Keenam unsur manusia tersebut saling melengkapi satu sama lain dan
merupakan satu kesatuan yang bulat. Manusia Indonesia menjadi pusat
persoalan, pokok dan pelaku utama dalam budaya Pancasila. (Notonagoro
dalam Asdi, 2003: 17-18).
c. sistem etika Pancasila pada era reformasi tenggelam dalam eforia demokrasi.
Namun seiring dengan perjalanan waktu, disadari bahwa demokrasi tanpa
dilandasi sistem etika politik akan menjurus pada penyalahgunaan
kekuasaan, serta machiavelisme (menghalalkan segala cara untuk mencapi
tujuan).
2. Argumen tentang Tantangan Pancasila sebagai Sistem Etika
a. tantangan terhadap sistem etika Pancasila pada zaman Orde Lama berupa sikap
otoriter dalam pemerintahan sebagaimana yang tercermin dalam
penyelenggaraan negara yang menerapkan sistem demokrasi terpimpin. Hal
tersebut tidak sesuai dengan sistem etika Pancasila yang lebih menonjolkan
semangat musyawarah untuk mufakat.
b. tantangan terhadap sistem etika Pancasila pada zaman Orde Baru terkait dengan
masalah NKK (Nepotisme, Kolusi, dan Korupsi) yang merugikan
penyelenggaraan negara. Hal tersebut tidak sesuai dengan keadilan sosial karena
nepotisme, kolusi, dan korupsi hanya menguntungkan segelintir orang atau
kelompok tertentu.
c. tantangan terhadap sistem etika Pancasila pada era Reformasi berupa eforia
kebebasan berpolitik sehingga mengabaikan norma-norma moral. Misalnya,
munculnya anarkisme yang memaksakan kehendak dengan mengatasnamakan
kebebasan berdemokrasi.
E. Esensi dan Urgensi Pancasila sebagai Sistem Etika
1. Esensi Pancasila sebagai Sistem Etika
Hakikat Pancasila sebagai sistem etika terletak pada hal-hal sebagai berikut:
a. hakikat sila ketuhanan terletak pada keyakinan bangsa Indonesia bahwa Tuhan
sebagai penjamin prinsip-prinsip moral. Artinya, setiap perilaku warga negara
harus didasarkan atas nilai-nilai moral yang bersumber pada norma agama. Setiap
prinsip moral yang berlandaskan pada norma agama, maka prinsip tersebut
memiliki kekuatan (force) untuk dilaksanakan oleh pengikut-pengikutnya.
b. hakikat sila kemanusiaan terletak pada actus humanus, yaitu tindakan manusia
yang mengandung implikasi dan konsekuensi moral yang dibedakan dengan actus
homini, yaitu tindakan manusia yang biasa. Tindakan kemanusiaan yang
mengandung implikasi moral diungkapkan dengan cara dan sikap yang adil dan
beradab sehingga menjamin tata pergaulan antarmanusia dan antarmakhluk yang
bersendikan nilai-nilai kemanusiaan yang tertinggi, yaitu kebajikan dan kearifan.
c. hakikat sila persatuan terletak pada kesediaan untuk hidup bersama sebagai
warga bangsa yang mementingkan masalah bangsa di atas kepentingan individu
atau kelompok. Sistem etika yang berlandaskan pada semangat kebersamaan,
solidaritas sosial akan melahirkan kekuatan untuk menghadapi penetrasi nilai
yang bersifat memecah belah bangsa.
d. hakikat sila kerakyatan terletak pada prinsip musyawarah untuk mufakat.
Artinya, menghargai diri sendiri sama halnya dengan menghargai orang lain.
e. hakikat sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan perwujudan
dari sistem etika yang tidak menekankan pada kewajiban semata (deontologis)
atau menekankan pada tujuan belaka (teleologis), tetapi lebih menonjolkan
keutamaan (virtue ethics) yang terkandung dalam nilai keadilan itu sendiri.
2. Urgensi Pancasila sebagai Sistem Etika
Hal-hal penting yang sangat urgen bagi pengembangan Pancasila sebagai
sistem etika meliputi hal-hal sebagai berikut:
a. meletakkan sila-sila Pancasila sebagai sistem etika berarti menempatkan
Pancasila sebagai sumber moral dan inspirasi bagi penentu sikap, tindakan, dan
keputusan yang diambil setiap warga negara.
b. Pancasila sebagai sistem etika memberi guidance bagi setiap warga negara
sehingga memiliki orientasi yang jelas dalam tata pergaulan baik lokal, nasional,
regional, maupun internasional.
c. Pancasila sebagai sistem etika dapat menjadi dasar analisis bagi berbagai
kebijakan yang dibuat oleh penyelenggara negara sehingga tidak keluar
dari semangat negara kebangsaan yang berjiwa Pancasilais.
d. Pancasila sebagai sistem etika dapat menjadi filter untuk menyaring pluralitas
nilai yang berkembang dalam kehidupan masyarakat sebagai dampak
globalisasi yang memengaruhi pemikiran warga negara.
F. Pancasila sebagai Solusi Problem Bangsa, Koupsi, Kerusakan Lingkungan
dan Dekadensi Moral
1. Solusi Korupsi
Membangun kesadaran moral anti korupsi berdasarkan Pancasila adalah
membangun mentalitas melalui penguatan eksternal dan internal tersebut dalam diri
masyarakat. Nilai-nilai Pancasila apabila betul-betul dipahami, dihayati, dan
diamalkan tentu mampu menurunkan angka korupsi, penanaman satu sila saja yaitu
sila pertama apabila bangsa Indonesia menyadari jati dirinya sebagai makhluk
Tuhan tentu tidak akan mudah menjatuhkan martabat dirinya kedalam kehinaan
dengan melakukan korupsi. Perbuatan korupsi terjadi karena hilangnya kontrol diri
dan ketidakmampuan untuk menahan diri melakukan kejahatan.
2. Solusi Kerusakan Lingkungan

Penjabaran, pengamalan atau aplikasi nilai-nilai Pancasila dalam aspek


pembangunan berwawasan lingkungan tidak bisa dipisahkan, sebab Pancasila
merupakan kesatuan yang bulat dan utuh yang memberikan keyakinan kepada rakyat
dan bangsa Indonesia, bahwa kebahagiaan hidup akan tercapai jika didasarkan atas
keselarasan, kerserasian dan keseimbangan, baik dalam hubungan manusia dengan
manusia, manusia dengan alam, dan manusia sebagai pribadi, dalam rangka mencapai
kemajuan lahir dan batin. Antara manusia, masyarakat, dan lingkungan hidup terdapat
hubungan timbal balik, yang harus selalu dibina dan dikembangkan agar dapat tetap
dalam keselarasan, keserasian dan keseimbangan yang dinamis (Koesnadi
Hardjasoemantri, 2000 : 575).

Nilai-nilai yang terkandung dlam Pancasila dari sila ke V yang haus


diaplikasikan atau dijabarkan dalam setiap kegiatan pengelolaan lingkungan hidup
adalah sebagai berikut (Soejadi, 1999 : 88-90) :

Sila ketuhanan

1. Kepercayaan terhadap adanya Tuhan Yang Maha Esa sebagai pencipta


segala sesuatu dengan sifat-sifat yang sempurna dan suci seperti Maha
Kuasa, Maha Pengasih, Maha Adil, Maha Bijaksana dan sebagainya
2. Ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yakni menjalankan semua
perintah_Nya dan menjauhi larangan-larangannya. Dalam memanfaatkan semua
potensi yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Pemurah manusia menyadari,
bahwa setiap benda dan makhluk yang ada di sekeliling manusia merupakan
amanat Tuhan yang harus dijaga dengan sebaik-baiknya, harus dirawat agar tidak
rusak dan harus memperhatikank kepentingan orang lain dan makhluk-makhluk
Tuhan yang lain.
Sila kemanusiaan yang adil dan beradab
1. Pangakuan adanya harkat dan martabat manusia dengan segala hak dan
kewajiban asasinya
2. Perlakuan yang adil terhadap sesama manusia, terhadap diri sendiri, alam sekitar
dan terhadap Tuhan
3. Manusia sebagai makhluk beradab atau berbudaya yang memiliki daya cipta,
rasa, karsa dan keyakinan.
Penerapan, pengamalan atau aplikasi sila ini dalam kehidupan sehari-hari dapat
diwujudkan dalam bentuk kepedulian akan baik setiap orang untuk memperoleh
lingkungan hidup yang baik dan sehat, hak setiap orang untuk mendapatkan informasi
lingkungan hidup yang berkaitan dengan peran dalam pengelolaan lingkungan hidup,
hak setiap orang untuk berperan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup yang
sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku dn sebagainya (Koesnadi
Hardjasoemantri, 2000 : 558).
Dalam hal ini banyak yang bisa dilakukan oleh masyarakat untuk mengamalkan sila
ini, misalnya mengadakan pengendalian tingkat polusi udara agar udara yang
dihirup
bisa tetap nyaman, menjaga kelestarian tumbuh-tumbuhan yang ada di lingkungan
sekitar, mengadakan gerakan penghijauan dan sebagainya.
Sila persatuan
1. Persatuan Indonesia adalah persatuan bangsa yang mendiami wilayah
indonesia serta wajib membela dan menjunjung tinggi (patriotisme)
2. Pengakuan terhadap kebinekatunggalikaan suku bangsa (etnis) dan
kebudayaan bangsa yang memberikan arah dalam pembinaan kesatuan bangsa
3. Cinta dan bangsa akan bangs dan Negara indonesia (nasionalisme)
Aplikasi atau pengamalan sila ini bisa dilakukan dengan beberapa cara antara lain
dengan melakukan inventarisasi tata nilai tradisional yang harus selalu
diperhitungkan dalam pengambilan kebijaksanaan dan pengendalian pembanguan
lingkungan di daerah dan penyuluhan dan dalam pengenalan tata nilai tradisional
dan tata nilai agama yang mendorong perilaku manusia untuk melindungi sumber
daya dan lingkungan (Salladien dalam Burhan Bungin dan Laely Widjajati, 1992 :
156-158).

Sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam


permusyawaratan perwakilan

1. Kedaulatan negara adalah ditangan rakyat


2. Pimpinan kerakyatan adalah hikmat kebijaksanaan yang dilandasi akal sehat
3. Manusia Indonesia sebagai warga negara dan warga masyarakat
mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama
4. Keputusan diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat oleh wakil-wakil
rakyat
Penerapan sila ini bisa dilakukan dalam berbagai bentuk kegiatan, antara lain
(Koesnadi Hardjasoemantri, 2000 : 560) :
1. Mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan kesadaran dan
tanggung jawab para pengambil keputusan dalam pengelolaan lingkungan hidup
2. Mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan kesadaran
akan hak dan tanggung jawab masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup
3. Mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan kemitraan
masyarakat, dunia usaha dan pemerintah dalam upaya pelestarian daya dukung
dan daya tampung lingkungan hidup.
Sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

1. Pelakuan yang adil di segala bidang kehidupan terutama di bidang


politik, ekonomi, dan sosial budaya
2. Perwujudan keadilan sosial itu meliputi seluruh rakyat Indonesia
3. Keseimbangan antara hak dan kewajiban
4. Menghormati hak milik orang lain
5. Cita-cita masyarkat yang adil dan makmur yang merata material spiritual
bagi seluruh rakyat Indonesia
6. Cinta akan kemajuan dan pembangunan

3. Solusi Dekadensi Moral

Sebagai makhluk ciptaannya dan menjadi masyarakat Indonesia khususnya


wajib bertakwa kepada Tuhan yang maha esa serta menjalankan perintahnya, itu
sesuai dengan sila pertama. Tapi makin kesini makin banyak masyarakat yang
tidak memiliki jiwa pancasila, pancasila hanya sebatas ujaran dibibir saja, tapi tidak
diwujudkan, diamalkan dan diaplikasikan dalam kehidupan sehingga dimana-mana
marak terjadi perkelahian antar pelajar, penggunaan obat-obatan terlarang narkoba,
dan pergaulan bebas.

Itu adalah tanda dari kemerosotan akhlak bangsa yang sulit untuk diobati
karena sila pertama untuk masyarakat yang demikian hanyalah tulisan belaka tanpa
diresapi maknanya. Sila persatuan Indonesia, dari bunyinya saja kita harusnya tahu
bahwa kita dituntun utuk saling bersatu membangun negeri Indonesia, dengan cara
menunjukkan rasa persatuan itu dengan sifat saling toleran, kompak, gotong-royong
walaupun di negara kita ini banyak sekali perbedaan. Ketidakpahaman mengenai
Pancasila masyarakat banyak yang bentrok dan lain sebagainya bahkan sampai
terjadinya pembunuhan .

Dengan kondisi seperti ini, sebagai mahasiswa, untuk menjunjung tinggi dan
mencintai Pancasila sebagai pandangan hidup, karena kelima sila Pancasila sesuai
dengan agama dan seyogyanya kita harus menjadi sarjana yang berakhlak mulia,
karena maju atau tidaknya suatu bangsa ditentukan oleh masyarakat bangsa itu sendiri.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN

Pancasila sebagai sistem etika adalah cabang filsafat yang dijabarkan dari sila-sila
Pancasila untuk mengatur perilaku kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
di Indonesia. Oleh karena itu, di dalam etika Pancasila terkandung nilai-nilai ketuhanan,
kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Kelima nilai tersebut membentuk
perilaku manusia Indonesia dalam semua aspek kehidupannya.
Pentingnya pancasia sebagai sistem etika bagi bangsa Indonesia ialah menjadi rambu
normatif untuk mengatur perilaku kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di
Indonesia. Dengan demikian, pelanggaran dalam kehidupan bernegara, seperti korupsi
(penyalahgunaan kekuasaan) dapat diminimalkan.
B. SARAN
Indonesia sebagai masyarakat yang warganya menganut ideologi pancasila sudah
seharusnya menjadikan nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila sebagai dasar dan
pijakan serta nilai-nilai Pancasila senantiasa harus diamalkan dalam setiap kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Agar tercipta persatuan dan kesatuan antar
warga Indonesia.
Etika, norma, nilai dan moral harus senantiasa diterapkan dalam bersikap dan berperilaku
dalam kehidupan sehari-hari, sehingga terwujud perilaku yang sesuai dengan adat,
budaya dan karakter bangsa Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Kementrian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia. Pendidika Pancasila
untuk Perguruan Tinggi, Cetakan ke-1, Jakarta.

Kaelan. 2008. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma


https://id.scribd.com/doc/98095193/Pancasila-Sebagai-Sistem-Etika-Dalam-Kehidupan-
Berbangsa-Dan-Bernegara-Di-Indonesia , diakses pada tanggal 23 september 2019

https://www.academia.edu/17562506/Pancasila_Sebagai_Sistem_Etika , diakses tanggal 23


september 2019

https://www.scribd.com/document/367785150/Pancasila-Sebagai-Solusi-Problem-Bangsa ,
diakses tanggal 23 september 2019

Anda mungkin juga menyukai